You are on page 1of 78

LAPORAN PRAKTIKUM ALGOLOGI

Oleh :
Swastika Oktavia
BIJ007013

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2009
LAPORAN PRAKTIKUM ALGOLOGI

Oleh
Swastika Oktavia
B1J007013
Rombongan II
Kelompok 11
Asisten : Ina Farida

Laporan ini disusun untuk memenuhi persyaratan


Mengikuti ujian akhir praktikum mata kuliah Algologi
di Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Diterima dan disetujui


Tanggal, Mei 2009
Asisten

Ina Farida
NIM.B1J004
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
idayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan praktikum
Algologi.
Penyusunan laporan praktikum Algologi bertujuan untuk memenuhi
persyaratan mengikuti ujian akhir (responsi) praktikum mata kuliah Algologi di
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dosen mata kuliah Algologi.
2. Asisten praktikum Algologi, yang telah memberikan saran dan bimbingan
selama praktikum sehingga disetujuinya laporan ini.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan laporan
praktikum ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

Purwokerto, Mei 2009

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
ACARA
Acara I Kultur Mikroalga dan Keragaman Mikroalga.

Acara II Teknik Penanganan Pasca Panen

Acara III Ekstraksi Agar

Acara IV Ekstraksi Alginat

Acara V Ekstraksi Karaginan (Eucheuma cotonii)


KULTUR MIKROALGA DAN KERAGAMAN MIKROALGA

Oleh :
Nama : Swastika Oktavia
NIM : BIJ007013
Rombongan :2
Kelompok : 11
Asisten : Ina

LAPORAN PRAKTIKUM ALGOLOGI

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2009
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mikroalgae merupakan mikroba tumbuhan air yang berperan penting dalam

lingkungan sebagai produser primer, disamping bakteri dan fungia ada di sekitar kita.

Sebagian besar mikroalgae bersifat fotosintetik, mempunyai klorofil untuk

menangkap energi matahari dan karbon dioksida menjadi karbon organik yang

berguna sebagai sumber energi bagi kehidupan konsumer seperti kopepoda, larva

moluska, udang dan lain-lain. Selain perannya sebagai produser primer, hasil

sampingan fotosintesa mikroalgae yaitu oksigenjuga berperan bagi respirasi biota

sekitarnya. Pengetahuan tentang fikologi telah berkembang pesat setelah beragam

jenis alga dengan karakteristiknya masing-masing berhasil dikultur. Berbagai

institusi di dunia telah menyimpan koleksi kultur mikroalgae yang potensial dapat

dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi (Panggabean, 2007).

Usaha pembenihan khususnya di perairan payau dewasa ini kian

berkembang, baik secara intensif maupun secara semi intensif. Salah satu faktor yang

berperan dalam mencapai keberhasilan pembenihan ikan dan udang adalah

tersedianya pakan alami yang dibutuhkan. Ketersediaan pakan alami baik dalam

jenis maupun ukuran sesuai dengan ukuran bukan mulut ikan pada setiap stadia,

merupakan mata rantai yang sangat penting karena uumnya tingkat kematian benih

terjadi pada stadia larva.

Pakan alami selain mempunyai nilai nutrisi yang tinggi, juga mudah

dikultur, mempunyai ukuran yang sesuai dengan bukan mulut larva, mempunyai

pergerakan yang mampu memberikan rangsang bagi ikan untuk memangsanya ,

mampu berkembang biak dengan cepat dalam waktu yang relatif singkat, serta
membutuhkan biaya yang relatif murah. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas,

maka perlu diadakan kultur pakan alami yang dilakukan dalam skala laboratorium

untuk perbanyakan bibit murni, maupun dalam skala masal untuk memenuhi

kebutuhan pakan larva ikan.

Mikroalgae merupakan mikroba tumbuhan air yang berperan penting dalam

lingkungan sebagi produsen primer. Sebagian besar mikroalgae bersifat fotosintetik,

mempunyai klorofil untuk menangkap energi matahari dan karbon dioksida menjadi

karbon organik yang berguna sebagai sumber energi bagi kehidupan konsumer

seperti kopepoda, larva moluska, udang dan lain-lain. Selain peranannya sebagai

produsen primer, hasil sampingan fotosintesa mikroalgae yaitu oksigen juga berperan

bagi respirasi biota sekitarnya (Panggabean, 2007).

Sebagai salah satu sumberdaya hayati, mikroalga mempunyai beragam

potensi yang telah lama dimanfaatkan oleh manusia. Potensi tersebut, antara lain

sebagai berikut: a) pakan alami berbagai jenis ikan, udang, kerang, b) bahan pangan

nonkonvensional, c) bahan baku dalam industri kimia dan farmasi, d) penghasil

sumber energi, e) pupuk hayati. Mikroalgae juga berperan sebagai indikator

pencemaran perairan dan agen bioremidiasi (Prihatini et al., 2007).

B. Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah mengisolasi mikroalga dari alam dengan

metode pipet kapiler dan mengkultur mikroalga monospesies skala laboratorium.


C. Tinjauan Pustaka

Teknik kultur fitoplankton secara umum dapat dilakukan dalam 3 tahap,

yaitu skala laboratorium, skala semi massal, dan skala massal. Unit-unit pembenihan

ikan maupun udang biasanya hanya melakukan kultur skala semi massal dan skala

massal. Namun demikian keberhasilan dari tahapan kultur semi massal dan massal

tentunyatidak terlepas dari bibit yang dipergunakan (inokulum). Sementara teknik

kultur fitoplankton skala laboratorium banyak mengoleksi plankton dari berbagai

jenis/ strain yang tidak terkontaminasi (murni), sehingga dapat digunakan sebagai

bibit yang baik. Pada usaha pembenihan skala industri sudah mulai dilakukan kultur

fitoplankton skala laboratorium untuk penyediaan bibit dalam memenuhui kebutuhan

pakan alami sebagaai pakan awal (Suriadnyani, 2004).

Pakan alami mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha

pembenihan ikan, udang, kerang kerangan, kepiting dan lain sebagainya. Pakan

hidup, menurut Ryther dan Goldman( 1975) telah terbukti berperan penting dalam

beberapa proyek akuakultur. Menurut Pantastico (1989), pakan hidup memiliki

beberapa kelebihan dibandingkan pakan buatan, karena pakan hidup antara lain

memiliki enzim autolisis sendiri sehingga mudah dicema oleh larva, tidak mengotori

media budidaya. Watanabe et al. (1983) dan Watanabe (1988) menyatakan bahwa

kegiatan pembenihan tidak mungkin berjalan tanpa kehadiran pakan hidup. Pakan

hidup harus diberikan pada larva untuk pertama kali mulai makan (firstfeeding).

Peranan pakan hidup sampai saat ini belum dapat digantikan secara menyeluruh.

Disamping sebagai sumber protein, karbohidrat dan lemak, pakan hidup terutama

mikroalga merupakan sumber utama asam lemak esensial yang sangat potensial

(Renaud et al., 1999). Larva membutuhkan asam lemak, terutama asam lemak tak

jenuh rantai panjang untuk pertumbuhan yang normal (Langdon & Walcock1981;
Enright et al., 1986). Disamping itu mikroalga juga kaya akan mineral yang baik

bagi pertumbuhan ikan (Fabregas dan Herrero, 1986).

Pertumbuhan larva sangat tergantung pada kendungan zat gizi pada pakan

yang diberikan. Plankton berperan sebagai sumber protein, karbohidrat, lemak,

vitamin, dan mineral bagi pemangsanya. Nilai nutrisi yang dikandung plankton

sebagai pakan bervariasi antara satu jenis plankton dengan jenis plankton lainnya.

Zat hara dan kondisi lingkungan seperti intensitas cahaya, lama pencahayaan, dan

suhu dapat mempengaruhi nilai nutrisi yang dikandung oleh satu jenis planklton

(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

Fitoplankton yang dikultur skala laboratorium dapat digunakan sebagai

inokulum pada skala semi massal dan skala massal setelah 5-7 hari pemeliharaan.

Fitoplankton dapat digunakan sebagai pakan larva yang secara visual ditandai

dengan warna air yang sesuai dengan pigmentasi sel plankton yang dikultur,

kepadatan sel yang tinggi dan bentuk sel yang sempurna serta tidak adanya

kontaminan di dalam media pemeliharaannya. Untuk beberapa jenis fitoplankton

dapat dipanen secara parsial dengan penambahan air laut dan nutrient untuk

pertumbuhan selanjutnya. Pemberian biasanya dilakukan setengah dosis dari dosis

awal, dan lama pemeliharaan sekitar 4-5 hari sudah dapat digunakan kembali

(Suriadnyani, 2004).
II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol kultur, lampu TL

40 watt, mikroskop, pipet tetes, aerator dan perangkatnya, kapas dan kain kasa, gelas

ukur, hand counter, haemocytometer, pipet kapiler, cover glass.

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah pupuk walne

chlorin, Na thiosulfat, mikroalga seperti Skeletonema costarum, Chlorella sp.,

Tetraselmis chuii, Spirulina sp., Isochysis gaibona, Nitzchia sp., Dunaliella sp.,

Thallast siesiera, Psiphyridium sp.

B. Metode

1. Koleksi yaitu dengan cara pengambilan mikroalga di alam dengan menggunakan

plankton net untuk dikultur secara murni.

2. Isolasi yaitu dengan metode pipet kapiler, pengenceran berseri, isolasi secara

biologis, pengulangan subkultur, dan metode gores (media agar).

3. Isolasi kultur monospesies yaitu dalam skala lab berdasarkan suhu, aerasi, cahaya

dan pertumbuhan.

4. Panen yaitu dengan menggunakan saringan alga filamen dan diperoleh endapan.

5. Perhitungan bibit mikroalga dengan menggunakan hemocytometer.


III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Skeletonema costarum Chlorella sp. Tetraselmis chuii

Spirulina sp. Isochysis gaibana Nitzchia sp.

Dunaliella sp. Thallase siesiera Porphyridium sp.


● Perhitungan

N1 . V1 = N2 . V2

230.000 . V1 = 20.000 . 500

V1 = 43,48 ml

Keterangan : N1 = Kepadatan awal (sel/ml)

N2 = Kepadatan yang diinginkan (sel/ml)

V1 = Volume bibit yang akan ditebar (ml)

V2 = Volume air media yang diinginkan (ml)

Jadi, volume bibit yang akan ditebar adalah 43,48 ml.


B. Pembahasan

Kultur phytoplankton hingga volume 3 liter yang dilakukan dalam

laboratorium disebut dengan kultur sekala laboratorium (Isnansetyo dan kurniastuty,

1995). Pada praktikum ini Phytolankton atau mikroalga yang digunakan sebagai

bibit adalah dari species Skeletonema costarum, Chlorella sp., Tetraselmis chuii,

Spirulina sp., Isochysis gaibona, Nitzchia sp., Dunaliella sp., Thallast siesiera,

Psiphyridium sp.berasal dari air laut. Kultur mikroalga ini ini dilakukan dalam skala

laboratorium dengan menggunakan medium dasar air tawar dengan volume sekitar 1

liter, dan diperkaya dengan menggunakan pupuk Walne.

Kultur phytoplankton murni atau monospesifik dimulai dari kegiatan isolasi

kemudian dikembangkan sedikit-demi sedikit secara bertingkat. Media kultur yang

digunakan mula-mula beberapa millimeter kemudian meningkat ke volume yang

lebih besar hingga mencapai skala masal. Kultur phytoplankton hingga volume 3

liter yang dilakukan dalam laboratorium disebut dengan kultur skala laboratorium

(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Bibit awal Spirulina sp. yang digunakan dalam

praktikum ini adalah 43,48 ml.

Menurut Frikardo (2008), Ada 3 metode yang digunakan untuk kultur algae

yaitu metode batch culture, modifikasi barth culture dan semi kontinyu. Metode

kultur batch klasik pada prinsipnya adalah menginokulasi bibit sel kedalam tabung

kultur dengan kepadatan sel algae yang rendah. Metode kultur yang kedua adalah

metode kultur modifikasi batch. Pada prisnsipnya setiap hari melakukan setting

kultur algae sebanyak 500 ml di dalam erlenmeyer flask. Setelah dipelihara 8 hari

kultur, kondisi kultur terlihat sudah cukup tua (kepadatan berkisar 105 – 106 sel /ml)

kultur dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama dan kedua masing-masing 200 ml

dimasukkan kedalam erlenmeyer flask volume 1 liter. Sedangkan sisanya 100 ml


ditambahkan air steril yang sudah disaring dan nutrien sebanyak 400 ml. untuk 500

ml volume kultur di erlenmeyer flask sebagai stok kultur untuk 8 hari kultur yang

akan dating, sedangkan yang volume kultur 1 liter setelah 8 hari kultur dipindahkan

ke 20 liter kultur algae didalan Carboy dan 8 hari kultur berikutnya dari 20 liter

Carboy dipindahkan ke 200-320 liter tabung silinder untuk dikultur 5 – 8 hari kultur.

Dari kultur tabung silinder ini akan digunakan untuk pakan zooplankton atau untuk

larva ikan dan udang. Demikian proses yang terjadi di dalam proses modifikasi

kultur batch yang dapat dilakukan secara indoor kultur namun mendapatkan volume

dan kualitas hasil kultur yang terprediksi. Metode kultur yang ke 3 adalah kultur

semi kontinyu. Pada metode ini biasanya digunakan untuk mendesain kultur skala

kecil yang sering digunakan dari keperluan rumah tangga maupun untuk keperluan

hobi sampai ukuran kultur masal. Metode ini mungkin terlhat tidak konvensional

untuk memanfaatkan pengetahuan tentang kultur axenic. Namun demikian metode

ini adalah praktis dan mempunyai tingkat keberhasilan yang cukup baik dan ini

berjalan beberapa tahun yang lalu. Disana konsisten untuk menumbuhkan kultur

yang berulang-ulang dari periode waktu tertentu sebelum dilakukan pembersihan

peralatan dan wadah untuk melakukan kultur awal dengan inokulan baru.

Pengembangan metode ini mempunyai kelemahan kontrol yang tendah dan biasanya

menghasilkan produk kultur algae yang rendah daripada kultur yang dilakukan

dengan pemebersihan peralatan terlebih dahulu sebelum setiap wadah kultur itu

digunakan lagi. Metode ini barangkali mempunyai tujuan secara kontinyu

menghasilkan produksi sel algae persatuan unit volume daripada untuk mendapatkan

produksi sel algae yang lebih tinggi per satuan volume dalam periode waktu tertentu.

Jadi metode kultur mikroalgae dengan cara semi kontinyu ini merupakan suatu

pengulangan kultur yang harus melakukan panen total dari hasil produksi dengan
kata lain pemanenan hasil produksi kultur dalam metode ini dilakukan berulang

ulang dengan menyisakan sebagian hasil kultur didalam wadah untuk menjadi bibit

kultur yang baru. Disana hanya dilakukan penambahan media air pada periode-

periode waktu pemanenan yang bertahap.

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), kultur phytoplankton skala

laboratorium memerlukan kondisi lingkungan yang terkendali. Hal ini dimaksudkan

agar pertumbuhan phytoplankton dapat optimal sehingga didapatkan bibit (strater)

yang bermutu tinggi. Kultur skala laboratorium dimulai dari volume 0,5 liter hingga

3-5 liter. Air laut dengan salinitas tertentu dimasukkan dalam botol kultur, namun

sebelumnya terlebih dahulu disterilkan agar pertumbuhan mikroalga tersebut tidak

terganggu oleh mikroorganisme lain. Sebelum inokulum dimasukkan terlebih dahulu

medium diberi pupuk kemudian sewaktu inkubasi diberi aerasi dan kultur diletakkan

dalam rak kultur dengan pencahayaan lampu TL. Djarijah (1995) menambahkan

bahwa air laut yang digunakan sebagai medium pertumbuhan harus disaring

menggunakan saringan 15 mikron kemudian disterilisasi dengan pemanasan sampai

mendidih atau dengan penambahan chlorine ataupun dengan penyinaran dengan

menggunakan sinar UV.

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) pertumbuhan phytoplankton

dalam kultur dapat ditandai dngan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah

banyaknya jumlah sel. Ada 4 fase dalam pertumbuhan phytoplankton (mikroalga)

yaitu 1) fase istirahat, Pada fase ini populasi tidak mengalami pertumbuhan namun

ukuran sel secara umum meniningkat, 2) fase logaritmik/ eksponensial, yaitu diawali

dengan pembelahan sel dengan laju pertumbuhan yang tetap dan pada kondisi yang

optimum mencapai laju pertumbuhan yang maksimal, 3) fase stasioner, yaitu

pertumbuhan mulai mengalami penurunan. Pada fase ini laju reproduksi samadengan
laju kematian dan yang ke 4) adalah fase kematian, yaitu laju kematian lebih cepat

dari laju reproduksi dan secara geometric jumlah sel menurun. Berdasarkan pola

pertumbuhanya, maka pemanenan phytoplankton harus dilakukan pada saat yang

tepat yaitu pada saat phytoplankton tersebut mencapai puncak populasinya. Apabila

pemanenan phytoplankton tersebut terlalu cepat maka sisa zat hara dapat

membahayakan organisme pemangsa. Sedangkan apabila pemanenan phytoplankton

tersebut terlambat maka sudah banyak terjadi kematian phytoplankton sehingga

kualitas dan kuantitasnya menurun.

Menurut Brotowidjoyo et al., (1995), phytoplankton dapat digunakan

sebagai jasad pakan tersebut dapat ditangkap dan ditelan oleh larva. Ukuran jasad

pakan yang sesuai dengan bukaan mulut akan mengoptimalkan aktivitas dan jumlah

biomassa jasad pakan yang dimakan. Apabila pakan mempunyai ukuran terlalu kecil

dibanding dengan bukaan mulut larva, dengan aktivitas yang sama maka jumlah

biomassa jasad pakan yang dimakan akan rendah. Hal ini dapat mengakibatkan

pertumbuhan rendah.

Menurut Bougis (1979) dalam Djarijah (1995), klasifikasi dari Chlorella

adalah sebagai berikut :

Phylum : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Chlorococales

Familia : Chlorellaceae

Genus : Chlorella

Spesies : Chlorella sp.

Menurut Stewart (1974) dalam Isnansetyo dan Kurniastuty (1995),

klasifikasi dari spirulina adalah sebagai berikut:


Devisi : Cyanophyta

Kelas : Cyanophyceae

Ordo : Nostocales

Familia : Oscilatoriaceae

Genus : Spirulina

Spesies : Spirulina sp.

Menurut Bougis (1979) dalan Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) Dunaliella

sp. diklasifikasikan sebagai berikut:

Phylum : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Volvocales

Familia : Polyblepharidaceae

Genus : Dunaliella

Spesies : Dunaliella sp.

Menurut Sutomo (2005), Chaetoceros gracilis cepat memiliki daya

adaptasi terhadap lingkungan kultur yang baru. Alga tersebut mengalami masa

adaptasi yang cukup singkat dan langsung tumbuh dengan cepat. Keadaan ini

mungkin disebabkan antara lain benih alga dan juga me-dia air yang digunakan

berasal dari lingkungan laboratorium yang sama. Pola pertumbuhan Tetraselmis sp.

juga memperlihatkan karakteristik yang serupa dengan C. gracilis. Tetraselmis sp.

juga mempunyai laju pertumbuhan daya adaptasi terhadap lingkungan yang relatif

cepat. Pola pertumbuhan Chlorella sp. juga memperlihatkan karakteristik yang

serupa dengan C. gracilis dan Tetraselmis sp.

Menurut Muhaemin (2007), banyak sekali potensi yang didapat dari

mikroalga yang selama ini belum dikenal masyarakat. Dunaliella sauna dapat dapat
menyerap dan mengkompleksasi logam berat seperti timbal. Ligan yang diproduksi

oleh alga berasosiasi dengan gugus fungsional ion logam dan tidak dijumpai

pengaruh signifikan densitas sel terhadap kapasitas pengikatan. Oleh karena itu, ligan

yang dihasilkan oleh alga memegang peranan penting sebagai penyangga ion logam

timbal bebas.

Mikroalga lain yang bermanfaat dalam masyarakat adalah Porphyridium

cruentum. P. cruentum adalah mikroalga merah bersel satu yang termasuk kelas

Rhodophyceae, hidup bebas atau berkoloni yang terikat dalam mucilago yang

diekspresikan secara konstan oleh sel membentuk sebuah kapsul mengelilingi sel. Sel

P. cruentum berbentuk bulat dengan diameter 4- 9 μm. Mikroalga ini dapat

menghasilkan senyawa yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri. P. cruentum

dapat menghambat beberapa bakteri seperti E. coli, B. subtilis, dan S. aureus. Hasil

identifikasi menunjukkan bahwa terdapat senyawa dominan yaitu asam lemak Metil

heksadekanoat (asam palmitat) pada alga ini sebagai senyawa antibakteri (Kusmiyati

dan Agustini, 2007). Chlorella sp. juga dapat mengadopsi logam berat timbal dan

dapat dibuktikannya digunakan metode eksperimental. Hasilnya didapat bahwa

mikroalga Chlorella sp. mampu mengadopsi logam berat timbal (Pb) dan terjadi

perbedaan tingkat adopsi (Setyobudiarso, 2006).


IV. KESIMPULAN

Setelah dilakukan kegiatan praktikum kultur mikroalga dapat disimpulkan

beberapa hal, yaitu:

Pertumbuhan phytoplankton memiliki empat fase pertumbuhan, yaitu fase

istirahat, fase logaritmik atau eksponensial, fase stasioner, dan fase kematian.

Pada penghitungan kepadatan pertumbuhan phytoplankton, diperoleh hasil

kepadatan awal sebesar 230.000 sel/ml.


DAFTAR REFERENSI

Brotowidjoyo, M. D., D. Triwibowono dan E. Mulbyantoro. 1995. Pengantar


Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty, Yogyakarta.
Djarijah, A.S. 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta
Enright, C. T., G. F. Newkirk., J. S. Craigie and J. D. Castle 1986. Evaluation of
phytoplankton as diets for juvenile Ostrea edulis L. J. Exp. Mar. BiolEcol 6:
1-13.
Fabregas, J. and C. Herrero 1986. Marine microalgae as potensial sources of mineral
in fish diet. Aquaculture 51:237-243.
Isnansetyo, A dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan
Zooplankton. Kanisius. Yogyakarta.
Langdon, C. J. and M. J. Walcock 1981. The effect of algae and artificial diets on the
growth and fatty acid composition of Crassostrea gigas spat. J. Mar. Biol
Assoc. 61: 431-448.
Kusmiyati dan N. W. S. Agustini. 2007. Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari
Mikroalga Porphyridium cruentum. Biodiversitas. 8 (1) : 48 – 53.
Muhaemin. 2007. Interaksi Timbal (Pb2+) terhadap Mikroalga Laut Dunaliella
salina. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Lampung.
Panggabean, L. M. G. 2007. Koleksi Kultur Mikroalgae. Oseana. 23 (2) : 11-20.
Pantastico, J.B. 1989. Recent trend and the use of mikroalgae I aquaculture with
emphasis on prawn farming. Paper presented at workshop on biotechnology
of marine phytoplankters in Shoutheast Asean Region, 10-23 September
1989. Ilo Do, Philippines: 7 pp.
Prihatini, N. B., W. Rachmayanti, W. Wardhana. 2007. Pengaruh Variasi
Fotoperiodisitas Terhadap Pertumbuhan Chlorella Dalam Medium Basal
Blod. Biota Vol 12 (1): 32-39.
Renaud, S. M., L. V. Thinh dan D. L. David 1999. The gross chemical compo-sition
and fatty acid composition of 18 species of tropical Australian microalgae
for possible use in mariculture. Aquaculture (170): 147-159.
Ryther, J. H. and J. C. Goldman 1975. Microbe of food in mariculture. Ann. Rev.
Microbiol 29:429-443.
Suriadnyani, N.N, 2004. Teknik Kultur Fitoplankton Secara Tradisionaal. Buletin
Teknik Litkayasa Akuakultur Vol.3 no.2: 21-25.
Watanabe, T., C. Kitajima and S. Fujita 1983. Nutritional value of live organism
used in Japan for mass propagation offish. Aquaculture. 34:115-143.
Watanabe, T. 1988. Fish nutrition and mariculture. JICATexbookThe General
Course. Department Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries.
Tokyo: 233 pp.
Setyobudiarso, H. 2006. Studi Kemampuan Mikroalga Chlorella sp. dalam
Mengadopsi Logam Berat Timbal (Pb).
Sutomo. 2005. Kultur tiga jenis mikroalga (Tetraselmis sp,, Chlorella sp. dan
Chaetoceros gracilis) dan pengaruh kepadatan awal terhadap pertumbuhan
c. gracilis di laboratorium
LAMPIRAN

Diagram Alir Cara Kerja Kultur Mikroalga

Koleksi

Isolasi

Isolasi kultur monospesies

Panen

Perhitungan bibit mikroalga


TEKNIK PENANGANAN PASCA PANEN

Oleh :
Nama : Swastika Oktavia
NIM : BIJ007013
Rombongan : II
Kelompok : 11
Asisten : Ina Farida

LAPORAN PRAKTIKUM ALGOLOGI

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2009
I. PENDAHULUAN

C. Latar Belakang

Rumput laut tumbuh tersebar di berbagai daerah pantai dari pulau-pulau di

Indonesia dengan bermacam-macam jenisnya. Rumput laut adalah suatu tumbuhan

tingkat rendah termasuk dalam divisi Thallophyta. Rumput laut terdiri dari empat

divisi yaitu alga hijau (Chlorophyta), alga hijau biru (Cyanophyta), alga coklat atau

alga pirang (Phaeophyta), dan alga merah (Rhodophyta). Bagian tumbuhan ini secara

keseluruhan disebut talus, tidak dapat dibedakan antara bagian akar, batang dan

daun. Rumput laut merupakan salah satu komoditi hasil laut yang mempunyai

potensi cukup besar untuk dikembangkan (Chapman, 1980).

Produksi rumput laut Gracilaria gigas di Indonesia, sebagian besar berasal

dari panen alami (wild crop), sehingga kelangsungan produksi sulit dikendalikan,

baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Usaha budidaya yang lebih intensif, perlu

dilakukan untuk meningkatkan produksi dan mutu ekspornya. Peningkatan produksi,

dapat diupayakan dengan meningkatkan teknologi budidayanya. Rumput laut akan

bernilai ekonomis setelah mendapat penanganan lebih lanjut. Pada umumnya

penanganan pasca panen rumput laut oleh petani hanya sampai pada pengeringan

saja (Widyartini dan Insan, 2007).

Rumput laut kering masih merupakan bahan baku dan harus diolah lagi.

Pengolahan rumput laut kering dapat menghasilkan agar-agar, karaginan, atau algin

tergantung kandungan yang terdapat dalam rumput laut. Pengolahan ini kebanyakan

dilakukan oleh pabrik walaupun sebenarnya dapat juga dilakukan oleh petani.

Dikalangan masyarakat umum, khususnya masyarakat nelayan rumput laut sering

hanya dikonsumsi langsung tanpa mengalami pengolahan (Basmal, 2001).


B. Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui tahapan teknik penanganan

pasca panen untuk menghasilkan agar tertinggi.

C. Tinjauan Pustaka

Pascapanen merupakan akhir dari suatu kegiatan budidaya. Saat ini akan

diketahui baik buruknya mutu dan banyaknya jumlah rumput laut yang dipanen

sebagai hasil dari kegiatan budidaya. Mutu dan jumlah produksi akan baik bila telah

dipersiapkan lokasi yang benar, pemilihan bibit yang baik, penanaman dan

pemeliharaan dengan cara yang benar. Hal lain yang juga sangat penting untuk

diperhatikan yaitu umur tanaman pada saat panen, cara panen dan pascapanen yang

dilakukan. Umumnya, rumput laut akan cukup baik untuk dipanen pada umur

tanaman berkisar 4-6 minggu. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas rumput

laut adalah penanganan pasca panen. Penanganan pascapanen merupakan kegiatan

atau proses yang dimulai sejak setelah tanaman dipanen yaitu meliputi pencucian,

pengeringan, pembersihan kotoran atau garam (sortasi), pengepakan, pengangkutan,

dan penyimpanan (Fahrul, 2006).

Menurut Angkasa et al. (2009), panen dapat dilakukan setelah tanaman

berusia sekitar 45 sampai 60 hari (akan sangat tergantung pada kesuburan lokasi

penanaman) atau dengan memilih tanaman yang dianggap sudah cukup matang

untuk dikeringkan. Sedangkan tanaman yang masih belum matang atau bagian

tanaman yang masih muda dipetik untuk kemudian ditanam kembali sebagai bibit

baru. Sebelum dikeringkan hasil panen dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan

air tambak untuk menghilangkan lumpur dan kotoran lainnya. Apabila tidak ada
permintaan lain dari pembeli maka keringkan langsung dengan sinar matahari

dengan dialasi gedek, krey bambu, daun kelapa atau dengan menggunakan bahan

lainnya.
II. MATERI DAN METODE

C. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah nampan plastik, kertas

koran, plastik bening, gunting, dan selotip.

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah rumput laut hasil

panen seperti Gracilaria sp.

D. Metode

1. Rumput laut hasil panen dicuci bersih.

2. Rumput laut yang telah dicuci kemudian diletakkan ke dalam nampan plastik yang

sudah dilapisi kertas koran.

3. Nampan yang berisi rumput laut ditutup rapat menggunakan plastik bening.

4. Hasil dijemur di bawah sinar matahari sampai terjadi perubahan warna talus

menjadi berwarna lebih cerah (putih).


III. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Hasil

Metode pengeringan langsung Metode fermentasi dengan nampan

Metode fermentasi tanpa nampan


D. Pembahasan

Teknik penanganan pascapanen rumput laut ada beberapa cara yaitu

pemanasan langsung, fermentasi dengan nampan dan fermentasi tanpa nampan atau

langsung diletakkan di tanah/dasar. Teknik pemanasan langsung adalah cara umum

yang dilakukan oleh para petani dan dengan metode konvensional karena langsung

dijemur di bawah sinar matahari. Teknik ini menghasilkan rumput laut kering yang

berwarna coklat tua dan cenderung kurang baik jika dibuat agar (Afrianto dan

Liviawati, 1993).

Fermentasi merupakan proses pengubahan suatu bahan menjadi produk

yang berguna bagi manusia. Fermentasi rumput laut merupakan suatu proses

pemucatan dan pengasaman rumput laut. Fermentasi rumput laut akan menghasilkan

perubahan warna thallus rumput laut karena adanya dekolorisasi dan depigmentasi

pada thallus rumput laut disebabkan adanya kondisi lingkungan yang lembab.

Perubahan warna thallus biasanya akan berubah menjadi berwarna putih (Kadi dan

Atmadja, 1988).

Berdasarkan hasil praktikum, dapat dilihat bahwa teknik penanganan

pascapanen dengan fermentasi tanpa nampan lebih baik daripada teknik yang lain.

Teknik ini dapat menghasilkan agar yang kualitasnya baik. Teknik ini merupakan

teknik penanganan pasca panen dengan fermentasi tetapi tidak mengalami keadaan

lingkungan yang kedap udara (anaerob), tetapi udara yang terdapat didalamnya pada

saat fermentasi akan menguap ke atas menjadi uap air dan akan dipantulkan ke dasar,

dan akan terserap di dasar. Metode ini mengkondisikan agar lingkungan tetap kering

dan agar agar lebih sedikit mengandung uap air. Berbeda dengan teknik fermentasi

menggunakan nampan yang mengkondisikan lingkungan kedap udara (anaerob),

sehingga udara yang dikeluarkan rumput laut akan menjadi uap air sehingga akan
menimbulkan kondisi lingkungan yang lembab dan akan menghasilkan rumput laut

yang masih mengandung banyak air (Bold, 1985).

Menurut Fateha (2006), salah satu teknik pengawetan rumput laut dapat

dilakukan dengan mengawetkan rumput laut langsung setelah dipanen dengan

menggunakan larutan KOH 0,1 % untuk perendaman selama 60 menit. Perlakuan ini

akan memperlihatkan nilai rendemen lebih tinggi dan kadar rumput laut kering lebih

rendah yaitu sebesar 11,4% dan 17,8%.

Praktikum penanganan pasca panen ini menggunakan rumput laut jenis

Gracilaria sp. Rumput laut ini merupakan rumput laut yang banyak dibudidayakan

karena mengandung agar untuk industri agar-agar. Selain untuk makanan, rumput

laut ini dapat dimanfaatkan sebagai makanan karena kandungan gizinya cukup tinggi

seperti protein, lemak, dan karbohidrat (Kadi dan Atmadja, 1988).

Beberapa spesies Gracilaria seperti G. asiatica, G. tenuistipitata, G. gigas,

dan G. sjoestedtii dapat dipanen setelah 3-5 bulan. Saat pemanenan, rumput laut

diambil dengan tangan, dibersihkan dari Lumpur dan rumput liar kemudian

dikeringkan di panas matahari. Saat pasca panen, perlu dilakukan pencucian dan

pengeringan rumput laut beberapa kali dengan melentangkannya sampai berwarna

kekuning-kuningan di bawah sinar matahari. Secara normal, rasio dari berat kering

dari berat segar adalah 6-7% (Basmal, 2001).

Menurut Anonim (2005), klasifikasi Gracilaria sp. adalah

Domain : Eukaryota

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Biliphyta

Phylum : Rhodophyta

Subphylum : Macrorhodophytina
Class : Florideophyceae

Order : Gracilariales

Family : Gracilariaceae

Genus : Gracilaria

Species : Gracilaria sp.


IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:


1. Penanganan pasca panen rumput laut dapat dilakukan dengan fermentasi dan
penjemuran langsung.
2. Teknik yang baik agar didapat kualitas agar yang baik adalah dengan cara
fermentasi khususnya dengan mengkondisikan tetap kering.
DAFTAR REFERENSI

Afrianto, E. dan Evi Liviawati. 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara
Pengolahannya. Bathara, Jakarta.
Anonim. 2005. Systema Naturae. http://sn2000.taxonomy.nl/. Diakses tanggal 20
Mei 2009.
Angkasa, W. I., H. Purwoto, dan J. Anggadiredja. 2009. Teknik Budidaya Rumput
Laut. http://kenshuseidesu.tripod.com/. Diakses pada tanggal 19 Mei 2009.
Basmal J. 2001. Perkembangan Teknologi Riset Penanganan Pasca Panen dan
Industri Rumput Laut. Forum Rumput Laut. Jakarta: Pusat Riset Pengolahan
Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan
dan Perikanan. hlm 16-22.
Bold, H. C dan Wynne M. J. 1985. Introduction to Algae 2nd Edition. Prentice-Hall
Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Chapman VJ dan DJ Chapman. 1980. Seaweeds and Their Uses. Third Edition.
London, New York: Chapman and Hall. 333 p.David, L. 1983. Pantai Laut. PT
Widyakarya, Jakarta.
Fahrul. 2006. Pelatihan Budidaya Laut. Yayasan Mattirotasi’, Makassar.
Fateha. 2006. Teknik Penanganan Pascapanen Rumput Laut Coklat Sargassum
filipendula Sebagai Bahan Baku Alginat. Balai Besar Riset Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.
Kadi, A. dan W. S. Atmadja. 1988. Rumput Laut (Algae), Jenis, Reproduksi,
Budidaya dan Pasca Panen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-
LIPI, Jakarta.
Widyartini, D. S. dan A. I. Insan. 2007. Meningkatkan Produksi Rumput Laut
Gracilaria gigas Melalui Modifikasi Sistem Jaring (Studi Kasus : Di Perairan
Nusakambangan, Cilacap). Oseana. 32 (4) : 13 – 20.
LAMPIRAN

● Diagram Alir Cara Kerja

Rumput laut dicuci bersih

Diletakkan di nampan
plastik berlapis koran

Ditutup dengan plastik


bening

Dijemur di bawah
sinar matahari
EKSTRAKSI AGAR

Oleh :
Nama : Swastika Oktavia
NIM : BIJ007013
Kelompok : 11
Rombongan : II
Asisten : Ina Farida

LAPORAN PRAKTIKUM ALGOLOGI

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2009
I. PENDAHULUAN

E. Latar Belakang

Rumput laut banyak diproduksi karena memiliki nilai ekonomis yang cukup

tinggi yaitu dapat menghasilkan agar. Rumput laut di Indonesia sudah dibudidayakan

sejak lama baik secara swadaya oleh nelayan maupun secara massal untuk keperluan

industri maupun ekspor. Rumput laut banyak dimanfaatkan pada berbagai bidang,

antara lain bidang pangan, kosmetik dan farmasi karena memiliki kandungan alginat,

karaginan dan agar yang tinggi.

Perairan Indonesia menyimpan potensi kekayaan rumput laut setidaknya

555 jenis rumput laut. Empat jenis diantaranya merupakan komoditas ekspor yang

bernilai tinggi. Keempat jenis rumput laut tersebut adalah Eucheuma sp., Gracilaria

sp., Gelidium sp., dan Sargassum sp. (Satari (1996) dalam Atmadja et. al., 1996).

Sargassum polycystum merupakan alginofit (penghasil alginat) yang termasuk

kedalam kelas Phaeophyceae. Winarno (1996) menyatakan bahwa Phaeophyceae

merupakan sumber karbohidrat yang disebut laminaran yang menghasilkan algin

atau alginat.

Rumput laut mengandung bahan-bahan atau zat kimia yang penting dan

bermanfaat bagi manusia. Rumput laut dapat diekstraksi untuk mendapatkan zat

kimia murni yang dikandungnya. Salah satu zat kimia hasil ekstraksi rumput laut

adalah algin yang terkandung dalam rumput laut coklat (Phaeophyceae).

Phaeophyceae dapat ditemukan di semua perairan laut. Distribusi maksimal tercapai

pada perairan dengan suhu rendah (dingin) daerah temperata dan garis lintang tinggi.

Bagian dalam dinding sel Phaeophyceae mengandung asam alginik dan alginat serta

mengandung pirenoid dan tilakoid (lembaran fotosintesis).


Rumput laut jenis Gracillaria sp oleh nelayan disebut juga agar-agar ini

bernilai ekonomis penting karena penggunaanya sangat luas dalam berbagai bidang

industri. Menurut Suryadi et al., (1993), rumput laut tumbuh hidup dengan cara

menyerap zat makanan dari perairan dan melakukan fotosintesis, intensitas cahaya

matahari merupakan pembatas dalam proses fotosintesis. Menurut Chapman dan

Chapman dalam Suryadi (1993), bahwa kandungan kimia rumput laut dipengaruhi

oleh umur, musim dan habitat.

Agar-agar adalah senyawa kompleks polisakarida yang bebas nitrogen dan

merupakan hasil ekstraksi baik dalam bentuk kering maupun gel. Agar-agar tidak

larut dalam air dingin dan larut dalam air panas, pada temperatur 32-39˚C berbentuk

beku dan tidak mencair pada suhu 85˚C (Insan dan Widyartini, 2001).

Kandungan agar-agar dari G.gigas Harf. Dan G. verrucosa (Hudson)

Papenfus sangat bervariasi tergantung kepada jenis spesies, lokasi pertumbuhan,

umur panen dan teknik budidaya yang intensif serta penanganan pasca panen yang

tepat (Kadi dan Atmaja, 1997).

B. Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah mengetahui proses ekstraksi agar.

C. Tinjauan Pustaka

Menurut Aslan (1991), rumput laut mengandung berbagai zat dan bahan

yang berguna dalam berbagai industri, zat-zat dalam bahan tersebut adalah:

1. Algin, bentuk asam alginat

2. Agar-agar, berbentuk asam sulfat, ester, dan galaktan linier

3. Karragenan, berbentuk garam


Agar-agar merupakan suatu asam sulfurik, ester dari galactan linier. Bentuk

gel diekstrak dari Agarophyt dari kelompok Rhodophyceae. Penghasil agar- agar

antara lain Gracillaria, Gelidium, Ahnfeltia. Agar-agar tidak dapat larut dalam air

dingin, tetapi larut dalam air panas.

Menurut Indriani dan Suminarsih (1999), fungsi utama agar adalah sebagai

bahan pemantap, bahan pembuat emulsi, bahan pengental, bahan pengisi, dan bahan

pembuat del. Agar banyak dimanfaatkan dalam beberapa industri seperti industri

makanan, kosmetik dan farmasi. Beberapa indutri lain menggunakan agar sebagai

bahan aditif.

Satari (2001), menyatakan bahwa sifat agar antara lain dapat membentuk gel

dalam larutan yang sangat encer misalnya 1%. Konsentrasi rendahpun bisa

menyebabkan agar menjadi rendah. Tidak meleleh pada suhu 85°C.

Winarno (1996), menyatakan bahwa pengolahan rumput laut menjadi agar,

rumput laut yang dikeringkan perlu diasamkan terlebih dahulu sebelum pemasakan

dan ekstraksi. Proses pengasaman ini selain menggunakan asam sulfat dapat juga

digunakan asam lainnya seperti asam sitrat, asan asetat. Pengasaman ini bertujuan

untuk memecah dinding sel sehingga agar mudah untuk diekstak.


II. MATERI DAN METODE

E. Materi

Alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini meliputi neraca analitik,

bak plastik, tempat penjemuran, pisau, oven, erlenmeyer 1 liter, gelas ukur, botol

duran, kertas pH, saringan (kain kasa), freezer, termometer, hot plate, pipet,

pengaduk, blender, beacker glass.

Bahan-bahan yang digunakan antara lain Gracillaria gigas Harvey,

akuades, kaporit 0,3% (b/v), NaOH 15% (b/v), asam cuka 0,5% (v/v), ekstrak jeruk

nipis 50 % dan KCl 0,3% (b/v).

F. Metode

1. Pencucian dan pembersihan

Rumput laut kering dicuci dengan air tawar sampai bersih dari kotoran yang

menempel seperti pasir, kerang dan lumpur serta rumptu laut jenis lain

dihilangkan.

2. Pengeringan

Rumput laut yang sudah dicuci dan dibersihkan kemudian dijemur. Penjemuran

dilakukan di bawah sinar matahari sampai kering (±2 hari). Rumput laut yang

telah kering ditandai dengan berat rumptu laut yang konstan.

3. Perendaman dan pemucatan

Ditimbang sebanyak 20gram rumput laut kering, kemudian dierndam dengan air

sumur sebanyak 400ml (perbandingan rumput laut dengan air 1g : 20ml) selama

24 jam, kemudian dilakukan pemucatan dengan perendaman dalam larutan


kaporit 0,25% dan diaduk. Setelah 1,5 jam rumput laut direndam dengan air

sumur selama 1 jam untuk menghilangkan bau kaporit yang digunakan.

4. Pelembutan

Rumput laut direndam dalam ekstrak jeruk nipis 50% selama 15 menit,

kemudian direndam dan dicuci dengan akuades selama 15 menit dan ditiriskan.

5. Penghancuran

Rumput laut dihaluskan dengan blender hingga halus.

6. Pemasakan (ekstraksi)

Rumput laut halus dimasak dalam akuades sebanyak 800ml (40 kali berat rumput

laut) pada suhu 90°- 100°C sampai mencair. Setelah mendidih diperiksa pH-nya,

bila pH kurang dari 6 maka ditambah larutan NaOH 15% dan bila pH lebih dari

7 ditambahkan dengan pemberian larutan asam cuka 0,5%.

7. Pengepresan

Hasil pemasakan disaring dengan kain kasa denga ukuran 40 mess. Cairan yang

keluar kemudian ditampung dalam bejana dan diendapkan sehingga memisah

antara agar dan air. Air dibuang dan agar dinetralkan dengan penambahan larutan

KCl 0,3% sehingga pHnya menjadi 7-7,5 cairan dimasak kembali sambil diaduk.

Setelah mendidih hasil dituangkan dalam bak plastik (cetakan) hingga membeku.

8. Pendinginan

Cairan yang sudah membeku didinginkan dalam freezer pada suhu 6°-3°C

supaya agar memadat dengan sempurna.

9. Penghitungan rendemen agar

Agar yang diperoleh dihitung dengan metode Colloids, dengan rumus sebagai

berikut:

Berat lembaran Agar agar


Rendemen agar-agar (%) = x 100 %
Berat Rumput LautKering
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Hasil

Berat lembaranagar agar


Rendemen agar-agar = x 100 %
Berat Rumput LautKering
9,48 gram
= x 100%
20gram
= 47,4 %

F. Pembahasan

Gracilaria termasuk dalam kelas Rhodophyceae yang merupakan agarofit.

Ciri-ciri umum Gracilaria adalah thallus berbentuk pipih atau silindris. Percabangan

tidak beraturan, talus kaku, dan didominasi dengan warna kemerahan (Afrianto dan

liviawati, 1993). G. gigas memiliki ciri-ciri talus agak besar, silindris, agak kasar dan

kaku, warna hijau, kuning, ukuran talus mencapai 30 cm dengan diameter sekitar

0,5-2 mm. Percabangan cenderung memusat ke pangkal, memanjang, berselang

seling, berulang ulang searah, ujung meruncing, jarak antar cabang berjauhan sekitar

5-25 mm (Kadi dan Atmadja, 1997). Klasifikasi dari G. gigas menurut Lobban and

Horisson (1994) adalah sebagai berikut :

Divisi : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Bangsa : Gracilariales

Suku : Gracilaria

Marga : Gracilaria

Species : Gracilaria gigas Harvey


Menurut Atmadja et al. (1996), Gracilaria gigas mempunyai thalli yang

agak besar, silindris, agak kasar dan kaku, warna hijau kuning atau hijau. Ukuran

thalli mencapai panjang 30 cm dengan diameter sekitar 0,5 – 2 mm. Percabangan

memusat ke pangkal, memanjang, berselang-seling, berulang-ulang searah, ujung

runcing dan jarak antar cabang relatif berjauhan, sekitar 5 – 25 mm. Agar memiliki

sifat khas yaitu tidak larut dalam air dingin namun larut dalm air panas (Aslan,

1991). Beberapa sifat agar adalah pada suhu 25◦C dengan pemurnian tinggi tidak

larut dalam air dingin namun larut dalam air panas pada suhu 32-39◦C berbentuk

padat dan mencair pada suhu 60-97◦C pada konsentrasi 1,5%. Agar sangat stabil

dalam keadaan kering, pada suhu tinggi dan pH rendah akan mengalami degradasi.

Viskositas agar pada suhu 45◦C pH 4,5-9 dengtan konsentrasi larutan 1% adalah 2-10

Cps ( Istini et al, 2004).

Standar mutu agar-agar yang diperdagangkan harus memenuhi standar

industri Indonesia menurut Indriani & Sumiarsih (1999) yaitu:

Spesifikasi Standar mutu


Kadar air 15-21%
Kadar abu Maksimal 4%
Kadar karbohidrat sebagai galakton Minimal 30%
Logam berbahaya, arsen Negatif
Zat warna tambahan Yang diinginkan untuk makanan dan
minuman

Insan dan Widyartini (2001) menyatakan bahwa agar-agar merupakan

senyawa ester asam sulfat dari senyawa galaktan, tidak larut dalam air dingin, tetapi

larut dalam air panas dengan membentuk gel. Rumus molekul : (C12H14O5(OH)4)n
Rumus bangun agar-agar :

Beberapa sifat dari agar-agar : suhu 25°C dengan kemurnian tinggi tidak

larut dalam air dingin tetapi larut dalam air panas, suhu 32–39°C berbentuk padat

dan mencair pada suhu 60–97°C pada konsetrasi 1,5%, dalam keadaan kering agar-

agar sangat stabil, pada suhu tinggi dan pH rendah agar-agar mengalami degradasi,

viskositas agar-agar pada suhu 45°C, pH 4,5–9 dengan konsentrasi larutan1% adalah

2–10 cp. Senior (2004) menambahkan sifat yang paling menonjol dari agar- agar

adlah daya gelasi (kemampuan membentuk gel), viskositas (kekentalan), setting

point (suhu mencairnya gel) yang sangat menguntungkan untuk dipakai dalam dunia

industri pangan maupun nonpangan.

Fungsi utama agar-agar adalah sebagai bahan baku pada industri makanan,

bahan pembuat emulsi pada pembuatan es krim, bahan pengental dan pembentuk gel

pada produksi manisan. Kelebihan ini digunakan dalam beberapa industri seperti

industri makanan, farmasi, kosmetik, tekstil, kulit, dan sebagai media pertumbuhan

mikroba. Pemanfaatan agar-agar dalam pembuatan makanan antara lain berfungsi

sebagai bahan pengental (thickener) dan bahan pemantap (stabilizer). Industri

farmasi agar-agar berguna sebagai pencahar atau peluntur dan media kultur bakteri.

Industri kosmetika digunakan dalam industri salep, cream, sabun, pembersih muka

dan lotion. Beberapa industri lain menggunakan agar-agar sebagi bahan additive atau

tambahan misalnya dalam proses industri kertas, tekstil, fotografi, semir sepatu, pasta
gigi, pengalengan ikan atau daging serta untuk kepentingan mikrotomi, museum dan

kriminologi (Indriani dan suminarsi, 1999).

Menurut Utari et al. (2008), Agar selain digunakan sebagai bahan makanan

juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku utama plastik biodegradabel yang. Agar

ini berasal dari rumput laut jenis Gracilaria coronapifolia karena agar-agar dari jenis

ini mudah diperoleh dan murah harganya. Pemanfaatan agar yang digunakan untuk

plastik biodegradabel ini dapat menambah nilai jual suatu rumput laut dan

mengurangi dampak pencemaran lingkungan.

Kandungan agar dari Gracilaria ini sangat bervariasi tergantung dari

spesies dan lokasi pertumbuhannya yang umumnya berkisar antara 16%-45% (Aslan,

1991). Hasil praktikum didapati kandungan agar pada Gracilaria gigas adalah 47,4

%. Standar mutu agar-agar di Indonesia menurut FAO dalam Indriani dan

Suminarsih (1999) adalah kadar air sebesar 15-21%, kadar abu maksimal 4%, kadar

karbohidrat sebagai galakton minimal 30%, logam berbahaya (arsen) tidak ada, zat

warna tambahan sesuai yang diinginkan untuk makanan dan minuman.

Randemen agar dari Gracilaria sangat tergantung dari jenis, lama

perendaman, lama ekstraksi, konsentrasi zat yang digunakan dalam perendaman dan

pelembutan, metode ekstraksi yang digunakan dan faktor lingkungan tempat rumput

laut tersebut tumbuh. Randemen juga dipengaruhi oleh skala produksi dimana skala

produksi yang besar akan menghasilkan rendemen yang besar pula (Chapman dan

Chapman, 1980).

Istini et al., (2004) menyatakan bahwa penambahan asam cuka berfungsi

untuk mempertahankan pH dan sebagai stabilizer sehingga diperoleh tekstur molekul

yang konsisten. Perendaman rumput laut dalam kaporit 0,25% berfungsi untuk

merubah warna rumput laut menjadi putih dan menjadi lebih bersih. Penambahan
NaOH untuk membuat larutan lebih asam dan penambahan KCl 0,3% untuk

menetralkan pH.

Menurut Zatnika dan Istini (2007), kualitas agar ditentukan oleh 3,6

anhydro galactose, gel strength, dan sedikitnya kandungan sulfat, sedangkan kualitas

rumput laut ditentukan selain oleh kualitas agar tersebut juga rendemennya. Artinya

rumput laut berkualitas baik bila rendemen agarnya tinggi dengan kualitas agar

seperti 3,6 AG, gel strength tinggi sedangkan sulfatnya rendah. Selain parameter-

parameter tersebut masih terdapat parameter kualitas agar lainnya seperti viskositas,

melting point dan gelling point tergantung kebutuhan dalam aplikasi agar tersebut.

Akan tetapi tiga parameter terakhir ini kurang diperlukan dalam industri

memanfaatkan agar.
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :

1. Proses ekstraksi agar adalah pencucian dan pembersihan, pengeringan,

perendaman dan pemucatan menggunakan air dan koporit 0,25 %, pelembutan

menggunakan larutan asam cuka 5 % dan akuades, penghancuran, pemasakan

(ekstraksi) menggunakan akuades dengan penambahan NaOH 15 % dan asam

cuka 0,5 %, pengepresan menggunakan KCl 0,3 %, pendinginan dan

pengeringan.

2. Randemen agar yang didapatkan dalam praktikum kali ini adalah 47,4 %.
DAFTAR REFERENSI

Afrianto, E. Dan E. Liviawati. 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara


Pengolahannya. Bhratara, Jakarta.
Aslan, L. M. 1991. Budidaya Rumput Laut . Kanisius, Yogyakarta.
Atmadja, W. S., Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput
Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta.
Chapman, V.J. dan D.J. Chapman. 1980. Seaweed and Their Uses 3rd ed. Chapman
and Hall Ltd, London.
Insan, A.I. dan D.S. Widyartini. 2001. Makroalga. Fakultas Biologi Unsoed,
Purwokerto
Indriani, H. dan Suminarsih, H. 1999. Rumput Laut: Budidaya, Pengolahan dan
Pemasaran. Penebar Swadaya, Jakarta.
Istini, I., A. Zatnika dan Suhaimi. 2004. Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut
http://www.fao.org/docrep/field/003AB882E/AB882E14.htm. Diakses
tanggal 20 Mei 2009.
Kadi, A dan Atmaja, W.S. 1997. Rumput (Algae) Jenis Reproduksi, Budidaya dan
Pasca Panen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta.
Lobban M. dan K. Horisson. 1994. Biology of Algae. Mc Graw Hill, USA.
Satari, W. 2001. Pembuatan Agar dari Rumput Laut. Gramedia, Jakarta.
Suryadi G. Stetiedharma, H. Hamdani dan Iskandar. 1993. Kecepatan pertumbuhan
rumput laut Euchema alvarezi pada dua sistem budidaya yang berbeda.
Skripsi Tidak dipublikasikan UNPAD, Jatinangor.
Utari, S. M., Y. Darni, dan H. Utami. 2008. Pemanfaatan agar-agar Gracilaria
coronapifolia dan kitosan untuk pembuatan plastik biodegradable dengan
gliserol sebagai plasticizer. Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II.
Universitas Lampung, 17-18 November 2008.
Winarno, F.G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Zatnika, A. dan S. Istini. 2007. Optimasi Perlakuan Alkali Dalam Upaya Peningkatan
Kualitas Agar Dari Rumput Laut (Gracilaria spp.).
LAMPIRAN

Diagram alur pembuatan Agar

Pencucian dan pembersihan

Pengeringan

Perendaman dan pemucatan

Pelembutan

Penghancuran

Pemasakan (ekstraksi)

Pengepresan

Pendinginan

Penghitungan rendemen agar


EKSTRAKSI ALGINAT

Oleh :
Nama : Swastika Oktavia
NIM : BIJ007013
Kelompok : 11
Rombongan : II
Asisten : Ina Farida

LAPORAN PRAKTIKUM ALGOLOGI

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2009
I. PENDAHULUAN

G. Latar Belakang

Rumput laut penghasil alginat (alginofit) banyak ditemukan di Indonesia,

cukup potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri alginat. Alginat

merupakan senyawa pikokoloid yang dihasilkan dari rumput laut coklat

(Phaeophyceae), yaitu Macrocytis, Laminaria, Aschophyllum, Nerocytis, Eklonia,

Fucus, Turbinaria dan Sargassum. Jenis rumput laut alginofit yang banyak

ditemukan di perairan Indonesia adalah Sargassum dan Turbinaria. Kandungan

alginat pada rumput laut Sargassum berkisar antara 8-32% tergantung pada kondisi

perairan tempat tumbuhnya.

Soegiarto et al., (1992), mengemukakan bahwa bentuk luar tanaman ini

tidak mempunyai perbedaan susunan kerangka antara akar, batang, dan daun.

Keseluruhan tanaman ini merupakan batang yang dikenal sebagai talus. Bentuk talus

rumput laut ada bermacam ragam, ada yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat

seperti kantong, seperti rambut dan lain sebagainya, thalli ini ada yang tersusun oleh

satu sel (uniseluler) atau oleh banyak sel (multiseluler).

Rumput laut merupakan salah satu komoditas ekspor penghasil devisa. Di

Indonesia terdapat 555 jenis rumput laut dan empat jenis dikenal sebagai komoditas

ekspor yaitu: Eucheuma sp., Gracillaria sp., Gelidium sp. dan Sargassum sp. (Satari

1996 dalam Atmadja et al., 1996). Dalam praktikum ini menggunakan S.polycystum

yang merupakan alginofit (penghasil alginat) termasuk dalam kelas Phaeophyceae,

famili Sargassaceae. Menurut Winarno (1990), Phaeophyceae merupakan sumber

karbohidrat yang disebut laminaran yang menghasilkan algin atau alginat.


B. Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah mengetahui proses ekstraksi alginat dan

mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi dari setiap tahapan reaksi

C. Tinjauan Pustaka

Alginat merupakan komponen utama dari getah alga coklat dan merupakan

senyawa penting dalam dinding sel. Secara kimia, algin merupakan polimer murni

dari asam uronat yang tersusun dalam bentuk rantai linear yang panjang. Algin dalam

pemanfaatannya berupa garam alginat dan garam ini larut dalam air. Industri yang

membutuhkan alginat adalah industri kosmetik (sebagai bahan hand lotion, jeli, dan

krem), industri karet (penstabil emulsi lateks dan menaikkan viskositas), industri

makanan (sebagai bahan pengental, pembentuk gel, pengikat air, dan penstabil),

industri farmasi (sebagai bahan sediaan cetakan gigi dan sebagai pengikat pada

pembuatan tablet), dan industri kertas (sebagai bahan perekat dan bahan pengawet)

(Winarno, 1990).

Bau senyawa alginat yang dihasilkan adalah tidak berbau (netral). Hal ini

sesuai dengan pendapat Wikanta (1996), yang menyatakan bahwa senyawa alginat

merupakan produk yang tidak berbau. Kerasnya senyawa alginat ini disebabkan

senyawa alginat yang masih berikatan dengan mineral dan senyawa lain. Hal ini

dijelaskan oleh pendapat Wikanta et al. (2000), yang menyatakan tingkat kekerasan

berkaitan dengan kadar abu atau mineral yang masih tinggi.

Algin adalah suatu bahan yang dikandung Phaeophyceae yang dikenal

dalam dunia indistri dan perdagangan karena banyak manfaatnya. Pemanfaatan algin

dalam dunia industri berbentuk asam alginat dan alginat (Soegiarto et al., 1992).
Algin merupakan polimer murni dari asam uronat yang tersusun dalam bentuk rantai

linier yang panjang (Winarno, 1990). Bentuk alginat yang paling banyak dijumpai

adalah natrium alginat yaitu suatu garam alginat yang larut dalam air. Jenis alginat

lain yang larut dalam air adalah kalium atau ammonium alginat, sedangkan alginat

yang tidak larut dalam air adalah kalsium alginat (Zailanie et al., 2001).

Monomer penyusun algin ada 2 yaitu β-D-Mannopiranusil Uronat dan α-L-

Asam-Glukopiranosil uronat, kedua jenis monomer tersebut, algin dapat berupa

hipopolimer yang terdiri dari monomer sejenis, yaitu β-D-Mannopiranusil Uronat

saja atau α-L-Asam-Glukopiranosil uronat saja, atau algin dapat berupa senyawa

heteropolimer jika monomer penyusunnya adalah gabungan kedua jenis monomer

tersebut (Winarno, 1990).

Indriani dan Sumiarsih (1994), menyatakan bahwa algin banyak digunakan

dalam industri:

a. Makanan: pembuatan es krim, serbat, susu es, roti, kue, permen, mentega, saus,

pengalengan daging, selai, sirup dan puding.

b. Farmasi: tablet, salep, kapsul, plaster, filter.

c. Kosmetik: krem, losion, sampo, cat rambut.

d. Tekstil, kertas, keramik, fotografi, insektisida, pestisida, dan bahan pengawet

kayu.

Standar mutu alginat yang digunakan dalam industri yaitu pH algin

bervariasi dari 3,5-10, dengan viskositas (1% larutan alginat, 25oC) 10-5000 cps; dan

kadar air 5-20% dengan ukuran partikel 10-200 mesh (Winarno, 1990).

Alginat yang memiliki mutu food grade harus bebas dari selulosa dan

warnanya sudah dipucatkan (bleached) sehingga terang atau putih. Di samping grade

tersebut, ada hal lain lagi yang disebut industrial grade yang biasanya masih
mengizinkan adanya beberapa bagian dari selulosa, dengan warna dari coklat sampai

putih. pH alginat juga bervariasi dari 3,5–10 (Winarno, 1990).

Monomer penyusun algin ada dua yaitu ß-D-mannopiranusil uronat dan ά-

L-asam Glukopiranosil uronat. Kedua jenis monomer tersebut dapat berupa

hipopolimer yang terdiri dari monomer sejenis yaitu ß-D-mannopiranusil uronat saja

atau ά-L-asam Glukopiranosil uronat. Algin juga dapat berupa heteropolimer jika

monomer penyusunnya adalah gabungan kedua jenis monomer tersebut (Winarno,

1990).

Algin merupakan asam alginik, alginik nya berbentuk derivat garam yang

dinamakan garam alginat yang terdiri dari sodium alginat, potassium alginat, dan

ammonium alginat. Garam alginate tidak larut dalam air tetapi mudah terlarut dalam

larutan alkali. Asam alginik terdiri dari dari asam D-manuroniv dan asam L-

Glukoronik (Kadi, 2006).

Alga Sargassum merupakn salah satu marga Sargassum termasuk dalam

kelas Phaeophyceae. Habitat Sargassum tumbuh diperairan pada kedalaman 0,5-10

m. Pertumbuhan algae ini sebagai makro algae bentik melekat pada substrat dasar

perairan (Kadi, 2006).

Salah satu sifat terpenting dalam pemanfaatan natrium alginat, kalium alginat

maupun magnesium alginat adalah kemampuannya untuk membentuk gel yang

bereaksi dengan ion-ion kalsium. Sumber-sumber kalsium biasanya berupa kalsium

karbonat, kalsium sulfat, kalsium klorida, kalsium fosfat dan kalsium tartrat. Selain

memiliki kemampuan membentuk gel, alginat juga digunakan sebagai pengental

(pengikat air), pengemulsi, penstabil dan bahan pembuat filmstrip (Rasyid, 2005).
II. MATERI DAN METODE

G. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah thermometer, pH

meter, timbangan, gelas piala, gelas ukur, ember, nampan, hot plate, saringan 100

mesh, pipet, pipet ukur, pengaduk dan kain blacu.

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Sargassum

duplicatum, aquades, NaOH 0,5 % dan 10 %, HCl 0,5 % dan 5 %, H2O2 6 %,

Na2CO3 5 % dan alkohol 95 %.

H. Metode

1. Rumput laut kering (S. duplicatum) ditimbang sebanyak 20 gram.

2. Rumput laut direndam dalam larutan NaOH 0,5% selama 30 menit dengan

perbandingan 10:1 (10 bagian larutan pereaksi ditambahkan ke dalam 1 bagian

rumput laut).

3. Rumput laut direndam dalam larutan HCl 0,5% selama 30 menit dengan

perbandingan 10:1

4. Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan larutan Natrium karbonat (Na2CO3)

5% ke dalam larutan dengan perbandingan 10:1 dan dipanaskan pada suhu 50o C

dengan lama ekstraksi 2 jam. Hasil yang didapat kemudian disaring dengan kain

blacu.

5. Larutan hasil penyaringan kemudian diasamkan dengan menambahkan HCl 5%

hingga mencapai pH 2,8-3,2. pengasaman dilakukan sampai 3 jam.

6. Kemudian dilakukan pemucatan dengan menambahkan H2O2 6% dengan

perbandingan 1:1 ke dalam larutan.


7. NaOH 10% ditambahkan ke dalam larutan sedikit demi sedikit hingga dicapai pH

larutan berkisar antara 8,5-9,0. perlakuan ini dilakukan selama 5 jam.

8. Garam algiant yang terdapat pada larutan dimurnikan dengan menambahkan

alkohol 95% dengan perbandingfan 1:1. Gumpalan yang terbentuk kemudian

disaring dan dikeringkan pada suhu kamar (25-28o C).

9. Analisis Hasil

Garam alginat yang didapat kemudian dihitung rendemen. Adapun kandungan

rendemen alginat dapat dihitung dengan menggunakan metode yang dilaporkan

oleh Colloids dalam Sarjana dan Widia (1998) dengan rumus:

Berat senyawaa lg inat


Rendemen alginat = X 100%
Berat rumput laut ker ing
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Hasil

Tabel. Hasil pengamatan ekstraksi alginat Sargassum sp


No. Perlakuan Tujuan Perubahan
Sargassum sp. ditimbang
1. - -
sebanyak 20 g
Pelunakan
dinding sel
Perendaman dengan NaOH rumput laut dan Larutan menjadi
2. 0,5% ± 30 menit dan dicuci menghilangkan coklat
garam dan zat
organik yang
menempel
Larutan menjadi
Perendaman dengan HCl 0,5% Pelunakan coklat
3. ± 30 menit dan dicuci rumput laut kehitaman dan
rumput laut
semakin lembek
Ekstraksi Na2CO3 5% selama 2 Larutan menjadi
4. jam sambil diaduk-aduk pada - bubur
o
suhu 50 C
Untuk Filtrat berwana
memperoleh coklat hitam
5. Disaring dengan kain blacu filtrat dan (alginat)
pemisahan dari
selulosa
Pengasaman dengan HCl 5% ± Mendapatkan Berbusa dan
6. 3 jam endapan asam terbentuk asam
alginat alginat
Untuk
pemucatan,
Warna menjadi
7. Pemucatan dengan H2O2 6% mendegradasi
putih
selama ± 1 jam warna, dan
sebagai oksidator
Alginat yang Terbentuk
Pengendapan dengan NaOH terbentuk stabil endapan
8.
10% pH 8.5-9.0 selama ± 5 jam dan membentuk berwarna coklat
natrium alginat encer
Untuk Terbentuk
Alkohol 95% (1:1) disaring dan pembentukan gumpalan
9. diambil secara cepat dan diperas serat dan agar
alginat yang
terbentuk stabil
10. Alkohol 95% selama ± 30 menit Untuk pemurnian Tekstur yang
dan disaring dan untuk terbentuk
menarik air yang menjadi lebih
tersisa keras

Untuk Terbentuk
11. Pengeringan pada suhu kamar menghilangkan alginat warna
25-1128 oC kadar air yang coklat muda
tersisa

Berat senyawa alginat


Rendemen alginat = X 100%
Berat rumput laut kering

2,12 gram
= X 100 %
20 gram

= 10,6 %

H. Pembahasan

Untuk mendapatkan alginat pada dasarnya meliputi proses pencucian,

perendaman, dan pemucatan serta pengeringan. Selain untuk mendapatkan alginat,

upaya ini dilakukan juga untuk mendapatkan agar, karaginan, maupun zat lainnya

yang bermutu. Prinsip mendapatkan alginat, jelasnya adalah pencucian, perendaman

dengan HCl, pencucian, penghancuran dengan Na2CO3 4%, penyaringan,

pengendapan dengan CaCl2 10 %, pemucatan dengan CaOCl2 0,5%, penyaringan dan

pencucian, pengasaman dengan HCl, dan akhirnya asam alginat diubah menjadi Na-

alginat dengan Na2CO3 1% lalu dikeringkan (Basmal et al., 2003).

Rumput laut yang digunakan pada praktikum kali ini adalah Sargassum

duplicatum. Proses ekstraksi alginat ini pertama-tama rumput laut yang kering

ditimbang seberat 20 gram. Kemudian rumput laut kering dicuci dengan air bersih.

Pencucian dengan menggunakan air berfungsi untuk membersihkan rumput laut dari

segala kotoran yang menempel pada rumput laut tersebut seperti pasir, garam, lumut
atau jenis rumput laut lainnya. Selanjutnya dilakukan perendaman, Perendaman

rumput laut dilakukan 2 kali. Pertama, rumput laut di rendam dalam larutan NaOH

0,5% selama 30 menit dengan perbandingan 10:1, warna menjadi keruh. Kedua

rumput laut direndam dalam larutan HCl 0,5% selama 30 menit dengan

perbandingan 10:1. Perendaman dengan HCl 0,5%, warna larutan tetap, rumput laut

lebih lunak berwarna coklat.

Perendaman dengan NaOH 0,5% merubah warna larutan menjadi keruh

karena kotoran dari rumput laut terserap oleh larutan NaOH. Fungsi perendaman ini

adalah untuk melunakkan dinding-dinding sel. Penggunaan larutan basa berfungsi

untuk membuka permukaan dinding sel rumput laut sehingga permukaannya lebih

luas dan lebih mudah untuk melepaskan alginat (Basmal et al. (1998) dalam Basmal

et al. (2002)).

Perendaman selanjutnya menggunakan HCl 0,5%. Warna setelah

perendaman ini adalah tetap. Larutan Na2CO3 berfungsi sebagai bahan pengekstrak

alginat dari dalam rumput laut. Suasana yang terlalu basa dapat menyebabkan

terhidrolisisnya sebagian alginat di dalam rumput laut sehingga saat direaksikan

dengan asam (HCl) jumlah asam alginat yang diperoleh sedikit. Pengasaman

menyebabkan larutan menjadi berbusa, warna coklat kehitaman, dan agak kental.

Dari hasil praktikum, perendaman menggunakan HCl 0,5%, warna larutan

tetap, rumput laut lunak berwarna cokelat. Menurut Gliksman (1998) penggunaan

HCl pada alginat, akan memecah dinding sel sehingga memudahkan ekstraksi,

karena HCl merupakan asam kuat dan akan terionisasi sempurna dan hasil rendemen

yang diperoleh adalah sebesar 10,6 %.

Proses ekstraksi rumput laut Phaeophyta dilakukan dalam suasana basa yang

bertujuan untuk memisahkan selulosa dan alginat. Bahan pengekstrak yang


digunakan adalah Na2CO3 dan NaOH. Na2CO3 berfungsi untuk mengekstrak

kandungan alginat yang terdapat didalam talus rumput laut coklat. Kecepatan

ekstraksi alginat yang ada dalam talus sangat tergantung pada konsentrasi Na2CO3,

suhu dan lama waktu ekstraksi yang diberikan (Basmal et al., 1998).

Nilai rendemen alginat rumput laut Sargassum duplicatum yang diekstraksi

menggunakan larutan Na2CO3 5% selama 2 jam adalah 2,12%. Menurut Basmal dkk.

(2002), waktu perendaman dan konsentrasi Na2CO3 berpengaruh nyata terhadap

rendemen. Adanya pemberian perlakuan alkali telah menyebabkan kulit luar thallus

yang berwarna coklat terpisah. Diduga ini merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi hasil rendemen. Menurut Basmal et al. (2003), asam alginat akan

terdegradasi oleh larutan alkali, atau senyawa pereduksi. Bila alginat terdegradasi

oleh larutan alkali akan terbentuk sejumlah turunan asam uronat tidak jenuh. Suasana

yang terlalu basa dapat mendegradasi alginat dengan memotong rantai polimer

menjadi oligosakarida dan terdegradasi lebih lanjut menjadi asam 4-deoksi-5-

ketouronat. Yani (1988) dalam Basmall et al. (2002) menyatakan bahwa pada

konsentrasi Na2CO3 lebih dari 2% rendemen cenderung menurun.

Pemucatan menggunakan larutan H2O2 6% menghasilkan warna coklat jernih.

Penggunaan bahan pemucatan (sumber Ca) yang ditambahkan pada proses

pemucatan, semakin kuat asam yang digunakan menyebabkan makin lunaknya

dinding sel rumput laut, sehingga dengan ekstraksi semakin banyak bahan-bahan

yang dapat dikeluarkan dari jaringan ini ( Winarno, 1990)

Kemudian dilakukan pengendapan dengan penambahan NaOH 10%.

NaOH 10% ini berfungsi untuk mengeluarkan atau memisahkan natrium alginat dan

asam alginat sehinga terbentuk natrium alginat dari asam alginat. Menurut Yulianto

(2007), penambahan konsentrasi larutan NaOH selama proses ekstraksi berpengaruh


nyata terhadap nilai viskositas alginat, semakin tinggi konsentrasi NaOH semakin

rendah nilai viskositas yang diperoleh. Sedangkan rendemen dari hasil ekstraksinya

tidak berpengaruh nyata. Perlakuan akhir dengan isopropanol 95% pada suhu kamar

akan mengikat natrium alginat sehingga akan menggumpal (Basmal et al., 1998).

Penggunaan isopropanol 95% secara efektif dalam pemurnian sangat

berkaitan dengan penarikan kadar air. Moirano (1977) mengemukakan bahwa

penggunaan isopropanol pada pengeringan garam alginat berfungsi untuk penarikan

air dari suspensi ekstrak alginat. Dengan bahan baku yang segar maka ekstraksi lebih

mudah karena tidak diperlukan proses rehidrasi sel-sel jaringan rumput laut yang

kering. Semakin pekat konsentrasi isopropanol, semakin tinggi air yang ditarik.

Penggunaan isopropanol lebih sempurna dibandingkan dengan etanol, yang memiliki

sifat lebih polar dibandingkan dengan isopropanol, dimana semakin polar suatu

cairan dan mendekati air yang semakin polar, maka etanol lebih sukar menarik air

( Kadi, 2006).

Algin merupakan asam alginik, alginik dalam derivat garam dinamkan

sgaram alginat terdiri drai sodium alginat, potasium algimnat dan amonium alginat.

Garam alginat tidak larut dalam dalam air, tetapi larut dala larutan alkali. Asam

alginik tersusun dari asan D-manuronik dan asam L- guluroni ( Kadi, 2006).

Rumus bangun moleul asam alginik menurut Aslan (1991), adalah sebagai

berikut:

OH OH COOH O

O O O

alginik

COOH O OH OH
Standar mutu Natrium alginat ( Anonymous, 1981 )

Karakteristik Natrium alginat

Kemurnian ( % bobot kering ) 90,8 – 100%

Kadar As < 3 ppm

Kadar Pb < 10 ppm

Kadar Hg < 0,004%

Kadar abu 18-27%

Kadar air < 15%

Kandungan koloid alginat dari algae Sargassum dalam industri kosmetik

digunakan sebagai bahan pembuat sabun, pomade, cream bodylotion, sampo dan cat

rambut. Di industri farmasi sebagai bahan pembuat kapsul obat, tablet, salep,

emulsifier, suspensi dan stabilizer. Di bidang pertanian sebagai bahan campuran

insektisida dan pelindung kayu. Di industri makanan sebagai bahan pembuat saus

dan campuran mentega. Manfaat lainnya dalam industri fotografi, kertas, tekstil dan

keramik. Di bidang kesehatan iodine digunakan sebagai obat pencegah penyakit

gondok ( Kadi, 2006).

Klasifikasi Sargassum duplicatum menurut Herbarium Bandungense (2009)

adalah

Divisi : Phaeophyta

Kelas : Phaeophyceae

Bangsa : Fucales

Suku : Sargassaceae

Marga : Sargassum
Jenis : Sargassum duplicatum Bory

Kadar abu merupakan salah satu kriteria yang menentukan mutu dari alginat

yang dihasilkan. Tingginya kadar abu pada ekstrak alginat diduga karena rumput laut

yang tumbuh di perairan pantai dipengaruhi oleh baik buruknya air laut karena

polusi. Sedangkan kadar abu yang diperbolehkan menurut food chemical codex

antara 13-27%. Diduga karena pada saat pembentukan garam alginat, pemakaian

NaOH mampu menghancurkan senyawa organik menjadi senyawa anorganik. Data

ini didukung oleh penelitian Junizal dan Jamal (1999) bahwa kadar abu dari jenis

Sargassum sp. berkisar antara 30-35%.

Menurut Rasyid (2007), Pemanfaatan Padina australis dapat dijadikan

bahan baku alternatif setelah Sargassum dan Turbinaria dalam pengolahan natrium

alginat. Namun demikian, dari segi ekonomis kurang menguntungkan sebab

memiliki kadar natrium alginat dan nilai viskositas yang sangat rendah. Hal ini akan

menyebabkan Padina australis kurang diminati untuk dijadikan bahan baku

pengolahan natrium alginat.


IV. KESIMPULAN

Setelah melakukan praktikum ekstraksi alginat, dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut :

1. Prinsip mendapatkan alginat, adalah pencucian, perendaman dengan HCl,

pencucian, penghancuran dengan Na2CO3 4%, penyaringan, pengendapan dengan

CaCl2 10 %, pemucatan dengan CaOCl2 0,5%, penyaringan dan pencucian,

pengasaman dengan HCl, dan akhirnya asam alginat diubah menjadi Na-alginat

dengan Na2CO3 1% lalu dikeringkan.

2. Nilai rendemen yang didapat adalah 2,12%. Hasil ini dipengaruhi oleh

konsentrasi Na2CO3. Konsentrasi Na2CO3 lebih dari 2% rendemen cenderung

menurun.
DAFTAR REFERENSI

Anonim. 1981. Food Chemical Codex, Volume III. National Academic of Science.
Washington DC.
Aslan, L.M. 1991. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Atmadja, W.S., A. Kadi, Sulistijo dan R. Satari. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis
Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta.
Basmal, J. Yunizal, dan Tazwir. 1998. Pengaruh perlakuan pembuatan Semi Refined
Alginat dari Rumput Laut Cokelat (Turbinaria ornata) Segar Terhadap
Kualitas Sodium Alginat. Forum Komunikasi I. Ikatan Fikologi
Indonesia, 97-110.
Basmal. 2003. Pengaruh Kombinasi Perlakuan Kalium Hidroksida dan Natrium
Karbonat dalam Ekstraksi Natrium Alginat terhadap Kualitas Produk yang
Dihasilkan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, volume 8 No. 6 : 45-52.
Glicksman, M. 1969. Gum Technology in the Food Industry. Academic Press, New
York.
Herbarium Bandungense. 2009. Klasifikasi Tumbuhan. http://www.sith.itb.ac.id/
herbarium. Diakses tanggal 20 Mei 2009.
Indriani, H dan Sumiarsih. 1999. Budidaya, Pemanfaatan dan Pemasaran Rumput
Laut. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.
Junizal, J. T. Murtini dan B. Jamal. 1999. Teknologi Ekstraksi Alginat dari Rumput
Laut Cokelat ( Phaeophyceae ). Dalam Laporan Teknis 1998-1999. Balai
Penelitian Perikanan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Jakarta.
Kadi, A. 2006. Beberapa Catatan Kehidupan Marga Sargassum sp. Di Perairan
Indonesia Bidang Sumber Daya Laut. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI,
Jakarta.
Moirano, A. L. 1977. Sulfated Seaweed Polisaccharide Food Colloid. AVI. Wesport.
Connecticut.
Rasyid, A. 2005. Beberapa Catatan Tentang Alginat. Oseana. 25 (1) : 9-14.
________. 2007. Ekstraksi Natrium Alginat dari Padina australis. Oceana. 3 : 271 –
279.
Soegiarto, A, W. A. Atmadja, H. Mubarak. 1978. Rumput Laut, Manfaat, Potensi,
dan Usaha Budidaya. Lembaga Oseanologi LIPI, Jakarta.
Wikanta, T. 1996. Prospek Pengembangan dan Pemanfaatan Rumput Laut Coklat
(Phaeophyceae) di Indonesia Sebagai Sumber Senyawa Alginat. Jurnal
Litbang Pertanian XV (1): 16-21.
Wikanta, T., Basmal J., Yunizal. 2000. Pengaruh Perbedaan Bahan Pengemas dan
Lama Penyimpanan pada Suhu Kamar Terhadap Sifat Fisiko Kimia Produk
Natrium Alginat. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan. (1999/2000):
301-309.
Winarno, F.G. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Yani, M. 1998. Modifikasi dan Optimasi Proses Ekstraksi dalam Rancang Bangun
Proses Tepung Algin dari jenis Turbinaria sp. Skripsi Fakultas Teknologi
Pertanian. IPB. Bogor.
Yulianto, Kresno. 2007. Pengaruh konsentrasi natrium hidroksida terhadap
viskositas natrium alginat yang diekstrak dari sargassum duplicatum j.g.
Agardh (phaeophyta). Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 33 : 295 –
306.
Zailanie, K., T. Susanto dan B.W. Simon. 2001. Ekstraksi dan Pemurnian Alginat
dari Sargassum filipendula Kajian dari Bagian Tanaman, Lama Ekstraksi
dan Konsentrasi Isopropanol. Jurnal Teknologi Pertanian 2: 10-2.
LAMPIRAN

Diagram alur pembuatan Alginat

Sargassum sp., dipotong 3 cm

Perendaman, NaOh 0,5%, 30 menit


(rasio 10:1, v/w)

Perendaman, HCl 0,5%, 30 menit


(rasio 10:1 v/w)

Ekstraksi, Na2CO3 5%
(rasio 10:1, suhu 50oC, selama 2 jam)

Penyaringan (kain blacu)

Pengasaman, HCl 5% (pH 2,8-3), 3 jam

Pemucatan, H2O2 6%, 1 jam


(rasio 1:1, v/v)

Pengendapan, NaoH 10% (pH 8,5-9), 3 jam

Pemurnian, isopropanol 95%, ditambahkan alkohol 955


(rasio 1:1, v/w)

Pengeringan pada suhu kamar (25-28oC)

Algin
EKSTRAKSI KARAGINAN (Eucheuma cotonii)

Oleh :
Nama : Swastika Oktavia
NIM : BIJ007013
Rombongan : II
Kelompok : 11
Asisten : Ina Farida

LAPORAN PRAKTIKUM ALGOLOGI

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2009
I. PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Rumput laut yang banyak dimanfaatkan adalah dari jenis alga merah

(Rhodophyta) karena mengandung agar-agar, keraginan, porpiran dan furcelaran.

Komposisi dinding sel dari jenis rumput laut selain zat tertentu seperti agar, algin dan

keraginan, terdapat juga beberapa zat organik seperti protein, lemak, serabut kasar,

abu dan air (Insan dan Widyartini, 2001).

Rumput laut dimanfaatkan secara luas baik dalam bentuk raw material

maupun dalam bentuk hasil olahan. Dalam bentuk raw material di Indonesia banyak

digunakan sebagai lalapan, sayuran, manisan dan asinan. Pemanfaatan lainnya dalam

bentuk raw material digunakan sebagai makanan ternak dan sebagai sumber energi.

Pemanfaatan hasil olahan yaitu memanfaatkan produk alam yang dikandung (Insan

dan Widyartini, 2001).

Pemakaian karaginan diperkirakan 80% digunakan dibidang industri

makanan, farmasi dan kosmetik. Industri makanan sebagai stabilizer, thickener,

gelling agent, addictive atau komponen tambahan dalam pembuatan coklat, milk,

pudding, instant milk, bakery, dan makanan kaleng. Untuk industri non food antara

lain pada industri farmasi sebagai suspensi, emulsi, stabilizer dalam pembuatan pasta

gigi, obat-obatan, mineral oil.

B. Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah mengetahui tahapan proses ekstraksi karaginan

dan mengetahui perubahan yang terjadi pada setiap tahapnya.


C. Tinjauan Pustaka

Karaginan merupakan polisakarida galaktan yang dapat diekstraksi dari algae

merah (Rhodophyceae). Karaginan mengandung galaktosil dan 3,6-anhidrogalaktose.

Keduanya merupakanunit gula yang mengalami esterifikasi parsial dengan asam

sulfat. Karaginan merupakan suatu produk yang relatif baru, dimana industri

karaginan baru mulai berproduksi setelah tahun 1945 sebagai salah satu substitusi

agar yang diproduksi oleh Jepang (An Ullman's, 1998).

Dunia industri mengenal karaginan sebagai hasil ekstraksi rumput laut yang

digunakan sebagai bahan baku berbagai macam produk. Karaginan berbentuk garam

dengan sodium dan potassium. Karaginan terbagi dalam dua fraksi yaitu kappa

karaginan dan iota karaginan. Kappa karaginan terdapat pada Eucheuma cottonii, E.

edule, E. speciosum, bahan ini larut dalam air panas. Sedangkan iota karaginan larut

dalam air dingin, bahan ini didapat dari E. spinosum (Graham and Lee, 2000).

Menurut Mubarak dalam Suryadi (1993) klasifikasi rumput laut jenis

Eucheuma cotonii adalah sebagai berikut:

Divisio : Thallophyta

Classis : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Familia : Solieraceae

Genus : Eucheuma

Spesies : Eucheuma cotonii

Secara ekologi, komoditas rumput laut memberikan banyak manfaat

terhadap lingkungan sekitarnya antara lain adalah dapat mengkonservasi lahan

pesisir terhadap berbagai aktivitas penangkapan yang tidak berwawasan lingkungan,

seperti penggunaan racun/bom untuk penangkapan ikan. Secara biologis, rumput laut
memegang peranan sebagai produsen primer penghasil bahan organik dan oksigen di

lingkungan perairan. Dari segi ekonomi, merupakan komoditas yang potensial untuk

dikembangkan mengingat nilai gizi yang dikandungnya (Amin et al., 2005).

Penggunaan karaginan dalam dunia industri makanan tergantung pada

beberapa sifat, yaitu kelarutan, viskositas, gel, reaktivitas dengan protein, dan

sinergisme dengan polisakarida yang bukan gel. Kappa dan iota karaginan berperan

sebagai pembentuk gel, sedangkan lambda karaginan yang bukan gel berperan

sebagai pengental. Karaginan juga digunakan pada pembuatan roti, lapisan gula, jelli

(Rasyid, 2003)
II. MATERI DAN METODE

I. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah thermometer, pH meter,

timbangan, gelas piala, gelas ukur, ember, nampan, hot plate, saringan 60 mesh,

pipet, pipet ukur, pengaduk, kain kasa, penjemur, saringan, stop watch, labu ukur 100

ml, para-para penjemur, baskom, pan penjendal, hot plate, beaker glass, blender,

presssure cooker.

Bahan yang digunakan meliputi Eucheuma cotonii, akuades, KOH 10 %,

alkohol 95 %, NaCl 0,05 %, kaporit 0,25 %.

J. Metode

1. Rumput laut kering ditimbang sebanyak 20 gram.

2. Rumput laut direbus dalam pressur coocker pada suhu 1200C selama 15 menit

dengan perbandingan 1:15. Kemudian dihaluskan dengan blender dan ditambah

air.

3. Ekstrasi dilakukan dengan merebusrumput laut selama 6 jam dengan perbandingan

1:30. nilai pH air diatur dengan menambahkan larutan KOH 10 % sehingga

diperoleh pH 8-9.

4. Hasil yang didapatkan kamudian disaring menggunakan kain kasa ddalam keadaan

panas untuk menghindari pembentukan gel.

5. Filtrat hasil penyaringan kemudian dipucatkan (bleaching) menggunakan kaporit

0,25 % kamudian ditambah dengan 0,05 % NaCl untuk memudahkan

pengendapan.
6. Pengendapan karaginan dilakukan dengan cara menuangkan filtrat ke dalam

alkohol 95 % dengan perbandingan 1:2 sedikit demi sedikit sambil diaduk-aduk

selama 15 menit, sehingga terbentuk serat karaginan.

7. Endapan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 600C selama 15-20 jam,

kemudian ditimbang.

8. Kandungan karaginan dihitung menurut metode Glicksman (1978) :

Berat senyawa Karaginan


Rendemen karaginan (%) = x 100 %
Berat Rumput LautKering
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

E. Hasil

Berat senyawa karaginan


Rendemen karaginan = x 100 %
Berat Rumput LautKering
3,76 gram
= x 100%
20gram
= 18,8 %

J. Pembahasan

Rumput laut yg tergolong Rhodophyceae beberapa diantaranya mengandung

bahan yang cukup penting yaitu carrageenan. Karagynophyt adalah penghasil

carrageenan. Carrageenan pada umumnya berbentuk garam bila bereaksi dengan

iodium, kalsium dan potassium (Aslan, 1991).

Berdasarkan hasil perhitungan karaginan didapatkan kandungan karaginan

sebesar 18,8 %. Hasil ini sesuai dengan kisaran Anggadireja et al. (2006) yaitu 8

hingga 32 % tergantung jenis, musim dan kondisi perairan tempat tumbuhnya

Eucheuma cotonii. Kondisi lingkungan tersebut mempengaruhi laju fotosintesis

rumput laut sehingga berpengaruh pada pertumbuhan rumput laut yang pada

akhirnya juga berpengaruh pada karaginan yang dihasilkan, yang menyatakan bahwa

pertumbuhan rumput laut ditentukan oleh tempat tumbuhnya. Laju pertumbuhan,

fotosintesis dan respirasi pada rumput laut cenderung berkorelasi dengan suhu,

cahaya, pH dan nutrien tempat tumbuhnya. Suhu berpengaruh terhadap hasil

rendemen karaginan. Proses pemanasan pada saat ekstraksi membuat proses estraksi

lebih mudah sehingga karaginan yang terlepas dari dalam thalus semakin banyak.
Jelly merupakan makanan paling sederhana yang dibuat dari agar atau

keraginan. Jelly diproduksi biasanya dicampur dengan buah-buahan, ekstrak buah

atau bubur kacang-kacangan pada industri rumah tangga. Pada industri makanan

dalam kaleng, seperti daging atau ikan dalam kaleng, memerlukan bahan pengental,

pembentuk gel, serta pensuspensi dengan memanfaatkan agar dan keraginan, di mana

agar memiliki kemampuan melting temperatur dan gel strenght lebih tinggi

(Anggadiredja et al., 2006).

Eucheuma cotonii Doty mengandung zat carrageen yang dapat digunakan

sebagai bahan campuran (additives) sehingga banyak dicari oleh industri makanan,

farmasi dan kosmetik. Industri-industri ini sebagian besar masih menggunakan bahan

baku rumput laut yang berasal dari alam. Terjadinya eksplorasi yang terus menerus

menyebabkan makin berkurangnya rumput laut di alam. Menurunnya rumput laut di

alam juga dapat mengancam kelestarian spesies rumput laut dan merusak

keseimbangan ekosistem perairan. Dengan meningkatnya industri yang memerlukan

bahan agar-agar, karaginan maupun algin maka perlu dilakukan usaha budidaya yang

lebih efektif dan efisien (Khan dan Satam, 2003).

Menurut Nehem dalam Bawa et al. (2007), karaginan merupakan kelompok

polisakarida galaktosa yang diekstraksi dari rumput laut. Sebagian besar karaginan

mengandung natrium, magnesium, dan kalsium yang dapat terikat pada gugus ester

sulfat dari galaktosa dan kopolimer 3,6-anhydro-galaktosa. Karaginan banyak

digunakan pada sediaan makanan, sediaan farmasi dan kosmetik sebagai bahan

pembuat gel, pengental atau penstabil. Menurut Glickman (1983), karaginan

merupakan getah rumput laut yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut merah

dengan menggunakan air panas (hot water) atau larutan alkali pada temperatur tinggi

(Glicksman 1983).
Menurut Suryaningrum et al. (2003), rumput laut yang diberi perlakuan KOH

6% menghasilkan rendemen dan kekentalan larutan karaginan yang lebih baik.

Perlakuan dengan KOH 8% menghasilkan karaginan yang mempunyai kadar air,

kadar abu dan kadar abu tak larut asam yang lebih baik. Perlakuan terhadap bahan

baku rumput laut dan volume larutan pengekstrak tidak berpengaruh nyata terhadap

kadar sulfat dan kekuatan gel yang dihasilkan.

Menurut Bawa et al. (2007), Senyawa karaginan hasil isolasi identik dengan

senyawa standar. Karaginan yang didapat dari isolasi rumput laut dari jenis

Eucheuma cottonii merupakan senyawa karaginan jenis kappa.


IV. KESIMPULAN

Setelah melakukan praktikum ekstraksi karaginan, dapat disimpulkan :

1. Tahapan proses ekstraksi karaginan adalah penimbangan, perebusan, pelembutan,

filtrasi (penyaringan), pemucatan, pengendapan karaginan, dan pengeringan

endapan.

2. Hasil ekstraksi diperoleh garam karaginan sebanyak 20 gram dan rendemen

karaginan sebanyak 18,8 %.

3. Lama ekstraksi berpengaruh terhadap hasil rendemen karaginan yang didapat.

Semakin lama ekstraksi maka rendemen karaginan yang diperoleh semakin

banyak.
DAFTAR REFERENSI

Amin, M, T. P. Rumayar, N. D. Femmi, D. Kemur dan I. K. Suwitra. 2005. Kajian


Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cotonii) dengan Sistem dan Musim
Tanam Yang Berbeda di Kabupaten Bangkep Sulawesi Tengah. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 8, No.2, Juli 2005
: 282-291.
An Ullman's Encyclopedia. 1998. Industrial Organic Chemicals. Vol. 7. Wiley-VCH,
New York. 4003 – 4008.
Anggadiredja, Jana T., A. Zatnika, H. Purwoto dan S. Istini. 2006. Rumput Laut.
Penebar Swadaya, Jakarta
Aslan, M. L.. 1991. Budidaya Rumput Laut Edisi Revisi. Kanisius, yogyakarta
Bawa, I. G. A. G, A. A. Bawa Putra, dan Ida Ratu Laila. 2007. Penentuan ph
optimum isolasi karaginan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii. Jurnal
Kimia 1(1) : 15-20.
Glicksman, M. 1983. Gum Technology in the Food Industry. Academic Press, New
York
Graham, C. S. dan A. K. Lee. The Benefit of Algae. John Wiley and Sons, New
York.
Insan, A.I dan D.S. Widyartini. 2001. Makroalga. Fakultas Biologi UNSOED,
Purwokerto.
Khan, K dan N. Satam. 2003. Pemanfaatan Karaginan. Armico, Bandung.
Rasyid, A. 2003. Beberapa Catatan Tentang Karaginan. Oseana. 28 (4) : 1-6.
Suryaningrum, T. D., Murdinah dan M. D. Erlina. 2003. Pengaruh Perlakuan Alkali
Dan Volume Larutan Pengekstra Terhadap Mutu Karaginan Dari Rumput
Laut Eucheuma cottonii. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 9(5).
LAMPIRAN

Diagram alur pembuatan Karaginan

Rumput laut kering ditimbang sebanyak 20 gram

Rumput laut direbus dalam pressur coocker (1200C, 15 menit)


dan diblender

Rumput laut direbus selama 6 jam


pH diatur dengan menambahkan KOH 10%

Hasil disaring dengan kain kasa dalam keadaan panas

Filtrat dipucatkan dengan kaporit 0,25% dan ditambah NaCl 0,05%

Filtrat dituang ke dalam alkohol 95%

Endapan dikeringkan dalam oven selama 15-20 jam dan ditimbang

Karaginan

You might also like