You are on page 1of 122

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Penderita GGK semakin meningkat jumlahnya, di Amerika pada tahun 2009 diperkirakan terdapat 116395 orang penderita GGK yang baru. Lebih dari 380000 penderita GGK menjalani hemodialisis reguler (USRDS, 2011). Pada tahun 2011 di Indonesia terdapat 15353 pasien yang baru menjalani HD dan pada tahun 2012 terjadi peningkatan pasien yang menjalani HD sebanyak 4268 orang sehingga secara keseluruhan terdapat 19621 pasien yang baru menjalanai HD. Sampai akhir tahun 2012 terdapat 244 unit hemodialisis di Indonesia (IRR, 2013). Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik (Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi (UF) atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 20-30% penderita yang menjalani HD reguler (Tatsuya et al., 2004). Penelitian terhadap pasien dengan HD reguler yang dilakukan di Denpasar, mendapatkan kejadian hipotensi intradialitik sebesar 19,6% (Agustriadi, 2009).

Gangguan hemodinamik saat HD juga bisa berupa peningkatan tekanan darah. Dilaporkan Sekitar 5-15% dari pasien yang menjalani HD reguler tekanan darahnya justru meningkat saat HD. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik (HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal and Light, 2010; Agarwal et al., 2008). Pada penelitian kohort yang dilakukan pada pasien HD didapatkan 12,2% pasien HD mengalami HID (Inrig et al., 2009). Penelitian yang dilakukan di Denpasar mendapatkan hasil yang berbeda yaitu 48,1% dari 54 penyandang HD mengalami paradoxical post dialytic blood pressure reaction (PDBP) (Raka Widiana dan Suwitra, 2011). Hipertensi intradialitik adalah suatu kondisi berupa terjadinya peningkatan tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah selama dan pada saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD. Tekanan darah penderita bisa normal saat memulai HD, tetapi kemudian meningkat sehingga pasien menjadi hipertensi saat dan pada akhir HD. Bisa juga terjadi pada saat memulai HD tekanan darah pasien sudah tinggi dan meningkat pada saat HD, hingga akhir dari HD. Peningkatan tekanan darah ini bisa berat sampai terjadi krisis hipertensi (Chazot dan Jean, 2010). Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi HD yang saat ini mendapat perhatian, karena episode HID akan mempengaruhi adekuasi HD. Beberapa penelitian mandapatkan bahwa HID mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien yang menjalani HD reguler. Mortalitas meningkat jika tekanan darah pasca HD meningkat yaitu bila sistolik 180 mmHg dan diastolik 90 mmHg (rr =1,96 dan 1,73 berturut-turut). Pada pasien yang mengalami peningkatan

tekanan darah sebesar 10 mmHg saat HD didapatkan peningkatan risiko rawat inap di rumah sakit dan kematian (Inrig et al., 2009). Pada pasien dengan gagal jantung biasanya dengan tekanan darah yang rendah, saat HD juga terjadi peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah pada pasien ini tidak mencapai level hipertensi seperti pada pasien yang tidak gagal jantung. Peningkatan tekanan darah ini juga meningkatkan risiko kematian dengan peningkatan 10 mmHg saat HD, walaupun tekanan darah sistolik (TDS) pra HD 120 mmHg (Inrig et al., 2009). Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID seperti aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan ultrafiltrasi (UF), overaktif dari simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), fluid overload, peningkatan cardiac output (COP), obat antihipertensi yang ditarik saat HD dan vasokonstriksi yang diinduksi oleh endothelin-1 (ET-1). Di antara berbagai faktor tersebut yang paling umum diketahui sebagai penyebab HID adalah stimulasi RAAS oleh hipovolemia yang disebabkan oleh UF yang berlebihan saat HD dan variasi dari kadar elektrolit terutama kalsium dan kalium (Chazot dan Jean, 2010). Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah, besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB) antara waktu HD dan target BB kering penderita. BB kering adalah BB di mana penderita merasa nyaman, tidak ada sesak dan tidak ada tanda-tanda kelebihan cairan. Pada penyandang HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar waktu

HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD sekitar 2 liter (Nissenson and Fine, 2008). Guideline K/DOQI 2006 menyatakan bahwa kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8% BB kering (K/DOQI, 2006). Umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi 2 kg bahkan mencapai 5 kg, sehingga pada kondisi ini dilakukan UF lebih dari 2 L. Pada HD dengan excessive UF atau UF berlebih, banyak timbul masalah baik gangguan hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson and Fine, 2008). Pada saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang aktivitas RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot and Jean, 2010). Asumsi yang berbeda dikemukakan oleh Chou et al., yang melakukan penelitian terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dan 30 orang kontrol, didapatkan bahwa pada kelompok HID tidak didapatkan perubahan yang bermakna dari kadar katekolamin, dan renin tetapi didapatkan peningkatan dari resistensi vaskular sistemik dan penurunan keseimbangan rasio nitric oxide dan endothelin-1 (NO/ET-1) (Chou et al., 2006). Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah NO suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA) yang merupakan inhibitor endogen dari NO synthase (NOS) dan ET-1 suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah khususnya

termasuk kejadian HID (Locatelli et al., 2010). Disfungsi endotel dapat menyebabkan perubahan terhadap tekanan darah saat HD, baik hipotensi maupun hipertensi intradialitik. Perubahan ini berhubungan dengan keterkaitan antara endotel, sistem saraf simpatis dan kontrol dari resistensi vaskular perifer (Raj et al., 2002). Terdapat perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 saat HD antara kontrol dan penderita yang prone terhadap hipertensi. Pada saat HD berakhir pada penderita HID terjadi peningkatan signifikan dari kadar ET-1 dan penurunan signifikan pada rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006). Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa pada individu dengan HID terjadi peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah HD (Shafei et al., 2008). Pada penelitian cohort case control 25 pasien HD reguler yang mengalami episode HID, didapatkan hubungan antara HID dan disfungsi endotel. Pada penelitian ini didapatkan bahwa disfungsi endotel dapat menjelaskan sebagian penyebab kejadian HID (Inrig et al., 2011). Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Banyak hal yang belum dapat diterangkan baik patofisiologi, mekanisme dan strategi terapi yang tepat pada HID. Dari uraian di atas kami ingin mencari hubungan antara UF yang berlebih saat HD dengan terjadinya episode HID melalui keterlibatan disfungsi endotel. Disfungsi endotel ditandai dengan peningkatan konsentrasi ET1, atau peningkatan kadar ADMA atau penurunan kadar NO serum saat HD.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular? 2. Apakah perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular? 3. Apakah penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular? 4. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular? 5. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum ? 6. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum? 7. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum?

1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut : 1.3.1 Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah: Untuk membuktikan UF berlebih berperan dalam patogenesis terjadinya HID melalui disfungsi endotel yang

ditandai dengan peningkatan ET-1 atau peningkatan ADMA atau penurunan NO, pada pasien GGK yang menjalani HD reguler.

1.3.2 Tujuan khusus Untuk membuktikan bahwa: 1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID. 2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID. 3. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID. 4. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID. 5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum. 6. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum. 7. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademis Jika pada penelitian ini terbukti bahwa UF yang berlebih saat HD berperan dalam terjadinya HID melalui disfungsi endotel pada penyandang HD reguler, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah berkaitan dengan UF yang berlebih sebagai dasar patogenesis HID melalui keterlibatan disfungsi endotel.

1.4.2 Manfaat praktis Secara praktis, jika terbukti UF yang berlebih saat HD berperan dalam kejadian HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya kadar ADMA, atau meningkatnya kadar ET-1 atau menurunnya kadar NO) pada pasien HD reguler maka usaha-usaha untuk menekan HID melalui penentuan UF yang tepat saat HD dapat digunakan oleh para klinisi dalam penanganan kasus HID.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Epidemiologi Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney disease (CKD) menjadi problem kesehatan yang besar di seluruh dunia. Perubahan yang besar ini mungkin karena berubahnya penyakit yang mendasari patogenesis dari PGK. Beberapa dekade yang lalu penyakit glomerulonefritis merupakan penyebab utama dari PGK. Saat ini infeksi bukan merupakan penyebab yang penting dari PGK. Dari berbagai penelitian diduga bahwa hipertensi dan diabetes merupakan dua penyebab utama dari PGK (Zhang dan Rothenbacher, 2008). Penyakit ginjal kronik tahap 5 (terminal) prevalensinya semakin meningkat di seluruh dunia. Penderita PGK yang mendapat pengobatan terapi pengganti ginjal diperkirakan 1,8 juta orang. Terapi pengganti ginjal transplantasi ginjal dan (Suhardjono, 2006). mencakup dialisis dan

lebih dari 90% di antaranya berada di negara maju

2.1.2 Batasan Penyakit Ginjal Kronik menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) adalah abnormalitas fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan yang ditandai dengan adanya satu atau lebih tanda kerusakan ginjal seperti yang terdapat pada Tabel 2.1 di bawah ini (KDIGO, 2013).

10

Tabel 2.1 Kriteria PGK (kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan) (KDIGO, 2013)

Petanda kerusakan ginjal (satu atau lebih))

Albuminuria (AER 30 mg/24 jam; ACR 30 mg/g [ 3 mg/mmol]) Abnormalitas pada sedimen urin Gangguan elektrolit dan abnormalitas yang berhubungan dengan kerusakan tubulus Abnormalitas pada pemeriksaan histologi Abnormalitas struktural pada pemeriksaan imaging Riwayat transplantasi ginjal LFG < 60 ml/min/1.73 m2 (kategori LFG G3aG5)

Penurunan LFG

2.1.3 Stadium PGK Penyakit ginjal kronik dibagi menjadi 6 stadium seperti Tabel 2.2 di bawah ini (KDIGO, 2013).
Tabel 2.2 Kategori LFG pada PGK (KDIGO, 2013) Kategori LFG G1 G2 G3a G3b G4 G5 LFG (ml/min/1.73 m2) 90 6089 4559 3044 1529 <15 Batasan Normal atau Tinggi Penurunan ringan Penurunan ringan sampai sedang Penurunan sedang sampai berat Penurunan berat Gagal ginjal

2.2 Hemodialisis Prevalensi penderita PGK yang mendapat terapi pengganti ginjal di negara berkembang saat ini meningkat dengan cepat, seiring dengan kemajuan ekonominya. Prevalensi penderita penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang menjalani HD rutin meningkat dari tahun ke tahun. Di seluruh dunia saat ini hampir setengah juta penderita GGK menjalani tindakan HD untuk

memperpanjang hidupnya (Nissenson and Fine, 2008).

11

Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).

2.2.1 Indikasi hemodialisis Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan. A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007): 1. Kegawatan ginjal a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam) c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam) d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5 mmol/l ) e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l) f. Uremia ( BUN >150 mg/dL) g. Ensefalopati uremikum h. Neuropati/miopati uremikum

12

i. Perikarditis uremikum j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L) k. Hipertermia 2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis. B. Indikasi Hemodialisis Kronik Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007): a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah. c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot. d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan. e. Komplikasi metabolik yang refrakter.

2.2.2 Prinsip dan cara kerja hemodialisis Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2) kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di

13

dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al., 2007). Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al., 2007). Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al., 2007).

14

Gambar 2.1 Skema Mekanisme Kerja Hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)

2.2.3 Komplikasi hemodialisis Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD

15

reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan Light, 2010). Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik (Daurgirdas et al., 2007).

2.2.3.1 Komplikasi akut Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia

(Daurgirdas et al., 2007).

16

Tabel 2.3 Komplikasi Akut Hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013) Komplikasi Hipotensi Hipertensi Reaksi Alergi Aritmia Kram Otot Emboli Udara Dialysis disequilibirium Penyebab Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi, infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu cepat, obat antiaritmia yang terdialisis Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit Udara memasuki sirkuit darah Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral. Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus, gejala neurologi, aritmia Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi dari dialisat maupun sirkuti air

Masalah pada dialisat / kualitas air Chlorine Kontaminasi Fluoride Kontaminasi bakteri / endotoksin

2.2.3.2 Komplikasi kronik Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini. (Bieber dan Himmelfarb, 2013).
Tabel 2.4 Komplikasi kronik hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)

Penyakit jantung Malnutrisi Hipertensi / volume excess Anemia Renal osteodystrophy Neurophaty Disfungsi reproduksi Komplikasi pada akses Gangguan perdarahan Infeksi Amiloidosis Acquired cystic kidney disease

17

2.3 Hipertensi Intradialitik 2.3.1 Batasan Hipertensi dialitik sering ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani HD rutin, walaupun komplikasi HD ini sudah dikenal sejak beberapa tahun lalu namun sampai saat ini belum ada batasan yang jelas mengenai HID. Berbagai penelitian mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Beberapa penelitian mendefinisikan HID adalah peningkatan mean arterial blood pressure (MABP) 15 mmHg atau lebih selama atau sesaat setelah HD selesai (Amerling et al., 1995; Mees, 1996). Hipertensi intradialitik juga didefinisikan sebagai adanya hipertensi yang mulai sejak jam kedua atau ketiga saat sesi HD, setelah dilakukan UF atau peningkatan tekanan darah saat HD yang resisten terhadap UF (Cirit et al., 1995). Sementara peneliti lain mengemukakan HID adalah suatu kondisi berupa terjadinya peningkatan tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah selama dan pada saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD (Chazot dan Jean, 2010). Berikut definisi HID pada beberapa penelitian: a. Suatu peningkatan mean arterial blood pressure (MAP) 15 mmHg selama atau segera setelah HD (Amerling et al., 1995). b. Suatu peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) >10 mmHg dari pre ke post HD (Inrig et al., 2007; Inrig et al., 2009). c. Suatu peningkatan tekanan darah yang resisten terhadap UF (Cirit et al., 1995). d. Perburukan dari hipertensi sebelumnya atau terjadinya hipertensi setelah terapi ESA (Sarkar et al., 2005).

18

e. Peningkatan tekanan darah selama atau segera setelah HD dan menyebabkan hipertensi post HD (post HD 130/80 mmHg (KDOQI, 2006).

2.3.2 Prevalensi Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai pada pasien yang menjalani HD rutin, dengan prevalensi 5-15% (Locatelli et al., 2010). Pada penelitian kohort pasien HD selama 2 minggu ditemukan HID

sebesar 8% (Amerling et al., 1995). Penelitian kohort yang terbaru mendapatkan prevalensi HID sebesar 12,2% (Inrig et al., 2009). Penelitian yang dilakukan di Denpasar mendapatkan hasil yang berbeda yaitu 48,1% dari 54 penyandang HD mengalami Paradoxical post dialytic blood pressure reaction (PDBP) (Raka Widiana dan Suwitra, 2011).

2.3.3 Etiologi dan patofisiologi Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID seperti volume overload, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan UF, overaktif dari simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), UF yang berlebih saat HD, obat antihipertensi terekskresikan saat HD dan adanya disfungsi endotel (Locatelli et al., 2010).

19

2.3.3.1 Volume overload Cairan ekstrasel yang berlebihan (overload) menyebabkan meningkatnya cardiac output (COP) merupakan salah satu penyebab yang penting dari meningkatnya tekanan darah. Hipervolumia (fluid overload) diyakini berperan dalam patogenesis HID (Locatelli et al., 2010). Pada penelitian yang dilakukan terhadap 7 pasien yang mengalami hipertensi saat HD, di dapatkan gambaran dilatasi pada jantung. Pada pasien ini tekanan darah meningkat saat dilakukan UF. Pasien ini kemudian diterapi dengan melakukan UF berulang yang intensif untuk menurunkan berat badan keringnya dan dilakukan monitor terhadap fungsi jantung. Semua pasien menunjukkan perbaikan tekanan darah, tekanan darah menjadi normal tanpa pemberian obat antihipertensi. Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan perbaikan dari parameter fungsi jantung. Dari hasil tersebut peneliti menyimpulkan bahwa tekanan darah paradoksal meningkat dengan UF biasanya karena overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan untuk melakukan UF yang intensif pada pasienpasien seperti ini (Cirit et al., 1995). Peneliti lain melakukan penelitian terhadap 6 pasien yang mengalami HID yang resisten terhadap obat antihipertensi. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan sebelum dan saat HD. Pada saat dilakukan UF sedang didapatkan perbaikan fungsi sistolik jantung, tetapi MABP dan indeks jantung juga meningkat. UF yang lebih agresive menghasilkan tekanan darah yang normal pada semua pasien dan indeks jantung juga menjadi normal. Peneliti menjelaskan fenomena ini dengan kurva Frank-Starling. Pasien pada awalnya berada pada bagian yang menurun dari kurva, dengan UF sedang pasien berpindah ke kiri dan ke atas kurva, dengan

20

peningkatan indeks jantung, COP dan tekanan darah. Dengan UF lebih jauh, pasien pindah ke bagian yang bawah pada bagian kurva yang meningkat dengan tekanan darah menjadi normal (Gunal et al., 2002). Penemuan dari 2 penelitian ini mengindikasikan bahwa tekanan darah meningkat paradoksal saat UF mungkin disebabkan oleh karena peningkatan COP karena adanya overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan dilakukan UF yang intensif untuk menurunkan berat badan kering pasien (Cirit et al., 1995; Gunal et al., 2002; Chou et al., 2006). Peneliti lain mengemukakan bahwa HID mungkin berhubungan dengan delayed post HD hypotension. Sehingga bila dilakukan UF yang agresif pasien yang rawat jalan harus dimonitor ketat dengan mengunakan ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) (Chou et al., 2006). Hal yang penting harus dilakukan pasien adalah untuk menurunkan konsumsi garam dan air, diantara sesi HD. Hal ini untuk menurunkan peningkatan BB antar sesi HD, sehingga menurunkan kecepatan UF per jam saat HD berikutnya. Meningkatkan waktu terapi HD mungkin sangat berguna untuk menurunkan kecepatan UF per jam saat HD. Pembatasan dari konsumsi garam dan penurunan dari volume cairan ekstrasel akan menormalkan tekanan darah saat HD pada pasien dengan hipertensi. Penurunan konsumsi garam 100-120 mmol per hari berhubungan dengan penurunan tekanan darah dan menurunkan peningkatan BB antar HD (Locatelli et al., 2010). Pengontrolan terhadap volume overload adalah hal yang paling penting dalam mencegah dan menangani pasien dengan HID (Locatelli et al., 2010).

21

2.3.3.2 RAAS activation Mekanisme lain yang berperan terhadap kejadian HID adalah aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II yang diinduksi oleh UF saat HD. Aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II menyebabkan peningkatan yang tiba-tiba dari resistensi vaskular dan meningkatkan tekanan darah (Chou et al., 2006). Penelitian terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dengan 30 kontrol pasien HD yang matched umur dan jenis kelamin, didapatkan kadar renin rata-rata sebelum dan sesudah HD sama pada kelompok pasien yang prone tehadap HID. Sebaliknya rata-rata kadar renin setelah HD meningkat signifikan pada kelompok kontrol. Disimpukan bahwa aktivasi RAAS bukan merupakan penyebab utama dari HID (Chou et al., 2006).

2.3.3.3 Sympathetic overactivity Pasien dengan PGK umumnya sudah terjadi sympathetic overactivity, ditandai dengan peningkatan konsentrasi katekolamin plasma pada pasien PGK. Hal ini mungkin disebabkan oleh menurunnya kliren renal terhadap katekolamin dan langsung oleh karena aktivitas saraf simpatis. Sympathetic overactivity pada PGK menjadi normal setelah dilakukan nefrektomi, hal ini diduga karena signal dari ginjal yang sakit berperan dalam aktivasi simpatis (Locatelli et al., 2010). Hipertensi intradialitik berhubungan dengan peningkatan stroke volume dan vasokonstriksi perifer, sehingga mungkin sympathetic overactivity berperan dalam onset HID. Pada penelitian lain didapatkan kadar norepinefrin meningkat signifikan setelah HD pada pasien kontrol, bukan pada pasien yang prone

22

terhadap HID (Chou et al., 2006). Evaluasi akurat dari aktivitas simpatis dengan microneurografi pada pasien dengan HID belum dilakukan sehingga mekanisme sympathetic overactivity dalam HID belum didukung oleh evidence-based percobaan klinis (Locatelli et al., 2010).

2.3.3.4 Perubahan kadar elektrolit Komposisi yang adekuat dari dialisat dan kontrol terhadap variasi kadar elektrolit sangat penting pada terapi HD. Kadar elektrolit pasien seperti sodium, kalium, kalsium dan perubahan dari elektrolit saat HD sangat penting sebab erat hubungannya dengan kontraktilitas jantung, resistensi vaskular perifer dan kontrol tekanan darah. Penarikan sodium saat dialisis sangat penting karena berperan dalam menjaga stabilitas kardiovaskular saat HD dan mencegah overhidrasi saat dialisis dan HID. Penarikan sodium yang adekuat bisa dicapai dengan memilih kecepatan UF dan konsentrasi sodium dialisat yang tepat. Untuk mempertahankan keseimbangan sodium, berat badan kering dan konsentrasi sodium saat akhir dialisis harus dipertahankan konstan (Locatelli et al., 2010). Perubahan kadar kalium saat HD dapat memberikan dampak klinis yang penting. Hipokalemia dapat mencetuskan autonomic dysfunction dan

mempengaruhi inotropik jantung. Walaupun hipokalemia dapat menyebabkan vasokonstriktor secara langsung, tidak ada data yang mendukung pengaruh konsentrasi kalium pada dialisat terhadap kejadian HID (Locatelli et al., 2010). Pada penelitian yang dilakukan terhadap 30 pasien prone terjadi HID didapatkan bahwa kadar kalium dialisat tidak berhubungan dengan kejadian HID,

23

tidak ada perbedaan antara kadar kalium plasma pre dan post HD pada pasien dengan HID maupun tanpa HID (Chou et al., 2006). Kalium tidak beperan dalam kejadian HID, tapi perubahan kadar kalium yang tajam dapat memicu aritmia (Locatelli et al., 2010). Ion kalsium memegang peranan penting dalam proses kontraktilitas otot polos dan miosit jantung. Beberapa penelitian pada pasien dengan HD memperlihatkan bahwa perubahan kadar kalsium ion memiliki efek hemodinamik melalui perubahan dalam kontraktilitas otot jantung dan perubahan dalam reaktifitas vaskular (Felner, 1993). Hemodialisis dengan konsentrasi dialisat kalsium yang rendah (1,25 mmol/l) berhubungan dengan penurunan yang besar pada tekanan darah dibandingkan dengan dialisis dengan konsentrasi kalsium dialisat yang tinggi (1,75 mmol/l). Perbedaan ini berhubungan dengan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri pada cairan dialisat dengan kadar kalsium yang rendah. Kadar kalsium dialisat yang tinggi juga berhubungan dengan penurunan compliance arteri dan peningkatan kekakuan arteri. Peranan dari dialisat dengan kalsium tinggi dalam patogenesis HID belum sepenuhnya ditemukan (Locatelli et al., 2010). Penelitian lain tidak menemukan perubahan yang relevan dalam konsentrasi kalsium plasma sebelum dan sesudah dialisis pada pasien dengan maupun tanpa HID (Chou et al., 2006).

2.3.3.5 Eliminasi obat saat hemodialisis Beberapa obat termasuk obat anti hipertensi ditarik saat prosedur hemodialisis. Penarikan dari obat anti hipertensi saat HD bisa menyebabkan HID. Golongan obat CCB tidak ditarik saat prosedur hemodialisis, sedangkan sebagian

24

besar dari penghambat ACE secara komplit ditarik saat dialisis (Daugirdas et al., 2007). Pengetahuan akan obat yang di tarik saat HD sangat penting, sehingga terapi bisa disesuaikan pada pasien yang mengalami HID. Tetapi penting diingat bahwa penarikan obat anti hipertensi saat HD, tidak berperan di dalam konsep dari HID (Locatelli et al., 2010).

2.3.3.6 Terapi erythropoiesis-stimulating agents Sejak diperkenalkannya erythropoiesis-stimulating agents (ESA) sebagai terapi anemia pada pasien PGK lebih dari 20 tahun yang lalu, prevalensi hipertensi pada pasien HD meningkat. Peningkatan dari hematokrit dan viskositas darah serta peningkatan dari konsentrasi ET-1, dan peningkatan resistensi vaskular perifer mungkin berperan dalam kondisi ini (Krapf dan Hulter, 2009).

2.3.3.7 Ultrafiltrasi Ultrafiltrasi merupakan salah satu komponen dari peresepan HD. Penentuan besarnya UF harus optimal dengan tujuan untuk mencapai kondisi pasien euvolemik dan normotensi Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah, besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB) penderita antar waktu HD dan target BB kering penderita (K/DOQI, 2006). Berat badan kering didefinisikan sebagai berat badan dimana volume cairan optimal. Penentuan BB kering ini harus akurat, tetapi pada klinik HD tidak selalu tersedia alat untuk menentukan BB kering yaitu multiple frequency bioimpedance spectroscopy. Oleh karena itu penentuan BB kering dilakukan secara klinis

25

melalui evaluasi tekanan darah, tanda-tanda overload cairan dan toleransi pasien terhadap UF saat HD untuk mencapai target BB (K/DOQI, 2006). Definisi berat badan kering menurut Argawal adalah berat badan setelah dialisis yang terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien yang dicapai dengan perubahan secara bertahap BB setelah dialisis, dan terdapat gejala yang minimal dari hipovolemia atau hipervolemia (Agarwal dan Weir, 2010) Pada penderita dengan HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar waktu HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD sekitar 2 liter (Nissenson dan Fine, 2008). Tetapi umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi 2 kg bahkan mencapai 5 kg. Guideline K/DOQI 2006 menyatakan bahwa kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8% BB kering. Sebagai contoh pada pasien dengan BB 70 kg, kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak lebih dari 3,4 kg (K/DOQI, 2006). Pada kondisi kenaikan BB yang berlebih ini banyak timbul masalah saat tindakan HD, karena saat HD akan dilakukan dilakukan UF yang melebihi 4,0% BB kering. Saat HD bila dilakukan UF yang berlebihan akan timbul masalah baik gangguan hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson and Fine, 2008). Pada saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang aktivitas RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot dan Jean, 2010). Pasien dengan terapi hemodialisis memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi yang mungkin berhubungan dengan efek hemodinamik karena UF yang cepat. Flyte dkk. meneliti efek kecepatan UF terhadap mortalitas dan cardiovascular disease (CVD). Kecepatan UF dibagi menjadi 3 kategori yaitu <10 /ml/jam/kgBB, 10-13 ml/jam/kgBB, dan >13 ml/jam/kgBB. Dari penelitian

26

ini didapatkan bahwa UF yang lebih cepat pada pasien HD berhubungan dengan risiko yang lebih besar terhadap berbagai sebab kematian dan kematian karena CVD (Flythe et al., 2011).

Tabel 2.5 Patofisiologi Hipertensi Intradialitik (Chazot dan Jean, 2010)

1. 2. 3. 4. 5.

Kelebihan volume Overaktifitas sistem saraf simpatis Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron Kelainan sel endotel Faktor spesifik hemodialisis a. Net sodium gain b. High ionized calcium c. Hipokalemia 6. Obat-obatan o Erythropoietin stimulating agents (ESA) o Removal of antihypertensive medications 7. Vascular stiffness

2.3.3.8 Fisiologi endotel Endotel adalah satu lapisan sel yang paling dalam yang melapisi seluruh pembuluh darah dalam tubuh. Fenotipe dari endotel bervariasi tergantung dari struktur dan fungsi pembuluh darah di lokasi yang berbeda (Aird, 2007). Sebagai contoh antara glomerulus dan kapiler peritubulus, fungsi endotel sangat berbeda karena fungsi glomerulus dan peritubulus sangat berbeda. Karena itu integritas dari lapisan endotel sangat penting dalam mempertahankan fungsi vaskular. Sebagai contoh dalam pengontrolan tonus vasomotor dan permeabilitas. Walaupun terdapat perbedaan fungsi endotel dalam kompartemen pembuluh darah yang berbeda, tetapi umumnya endotel mampu mensintesis dan mensekresikan berbagai faktor yang mempengaruhi tonus dan pertahanan pembuluh darah (Fliser, 2011). Endotel memproduksi berbagai faktor relaksasi, yang paling utama

27

dan banyak dikenal adalah nitric oxide (NO). Nitric oxide adalah gas pokok yang menstimulasi relaksasi dan menghambat proliferasi otot polos pembuluh darah, mencegah perlekatan dan migrasi leukosit ke dinding arteri, dan mencegah adhesi dan agregasi platelet ke endotel. Prostacyclin endothelium-derived

hyperpolarizing factor juga merupakan vasorelaksan yang penting, yang nantinya berperan sebagai vasodilator pada hipertensi resisten (Fliser, 2011).

2.3.3.9 Disfungsi endotel Disfungsi endotel/Endothelial cell dysfunction (ECD) adalah

ketidakmampuan dari sel endotel untuk mengatur beberapa atau semua fungsinya. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan antara (Ding dan Triggle, 2005): a. faktor relaksasi dan konstriksi b. mediator prokoagulan dan antikoagulan c. vascular growth-inhibiting and growth-promoting substances. Disfungsi endotel bisa diduga dengan pemeriksaan secara tidak langsung, yaitu dengan memeriksa berbagai marker atau petanda antara lain melalui

pemeriksaan flow-mediated vasodilation setelah dilakukan iskemia transien (Correti, 2002) dan evaluasi terhadap perubahan resistensi vaskuler pada arteri besar maupun kecil setelah diberikan rangsangan fisiologis. Cara ini pada dasarnya menganalisis kapasitas pengeluaran NO oleh endotel setelah berbagai stimulus. Pemeriksaan indirek untuk estimasi dari disfungsi endotel yang lain adalah dengan melakukan pengukuran permeabilitas vaskuler dari makromolekul (Vervoort, 1999), pengukuran faktor vasoaktif (vasokontriktor/vasodilator) yaitu NO, EDHF, endotelin-1, ROS, angiotensin-II (Bassenge dan Zanzinger, 1992;

28

Fliser, 2011), aktifitas protrombin prokoagulan, dan marker inflamasi (VCAM-1, ICAM-1 dan E-selectin) (Hwang, 1997), dan pemeriksaan sitokin (IL-1beta, IL-6 dan TNF-alfa), serta pemeriksaan CRP (Spranger, 2003; Pradhan, 2001). Disfungsi endotel akan menyebabkan berbagai komplikasi antara lain meningkatkan ekspresi dari molekul adhesi, sehingga menyebabkan peningkatan adhesi dari lekosit ke sel endotel dan akhirnya mengaktifkan status prokoagulan, aktivasi trombosit dan faktor pembeku, menghambat pengeluaran NO. Hal ini akan menyebabkan ketidaksempurnaan dari pertumbuhan pembuluh darah dan remodelling di dalam dinding pembuluh darah (Fliser, 2011). Penelitian yang luas pada ECD umumnya meneliti mekanisme yang bertanggung jawab terhadap penurunan bioafailibitas dari NO, dimana akan menyebabkan penuruan dari produksi NO atau peningkatan dari degradasi NO. Karena luasnya permukaan tubuh endotel memiliki peranan yang penting pada penyakit hipertensi dan diabetes. Pada penyakit ini endotel bisa mengalami perubahan stuktur dan fungsi sehingga menyebabkan kehilangan peranannya sebagai barier proteksi. Disfungsi endotel pada awalnya menyebabkan aterosclerosis dan gambaran yang utama dari kondisi ini adalah kerusakan dari bioavailabilitas dari NO. Jika berlangsung lama disfungsi endotel akan menyebabkan terjadinya apoptosis, yang pada akhirnya akan menyebabkan disintegrasi dari struktur maupun fungsi endotel. Hal ini akan menyebabkan aktivasi dari lekosit dan trombosit dan menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah (Hansson, 2005).

29

2.3.3.10 Disfungsi endotel pada PGK Pada pasien CKD terjadi disfungsi endotel tapi mekanismenya belum sepenuhnya diketahui. Ada tiga mekanisme potensial yang berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi endotel yaitu : adanya stres oksidatif, defisiensi L-arginin dan ADMA (Martens dan Edwards, 2011). Salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel yang banyak diteliti adalah stres oksidatif. Stres oksidatif adalah adanya gangguan dari keseimbangan antara produksi radikal bebas dan ekskresinya oleh antioksidan endogen (Guzik dan Harrison, 2006). Stres oksidatif menyebabkan terjadinya gangguan jalur NO pada sel endotel dan akhirnya menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Stres oksidatif sering ditemukan pada pasien dengan gangguan ginjal sedang sampai berat (Oberg, 2004) dan juga pada pasien yang menjalani hemodialisis (Yilmaz, 2006). Mekanisme terjadinya disfungsi endotel melalui stres oksidatif pasien PGK terutama terjadi melalui jalur eNOS dan NO (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Skema mekanisme reactive oxygen species (ROS) menurunkan NO (Martens dan Edrwads, 2011)

Defisiensi L-arginin merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi endotel pada pasien PGK. L-arginin diperlukan pada

30

sintesis NO. L-arginin disintesis terutama di tubulus proksimal ginjal dan sintesis ini menurun dengan menurunnya massa ginjal. Gambar 2.3 Menunjukkan mekanisme potensial terjadinya defisiensi L-arginin pada pasien PGK.

Gambar 2.3 Mekanisme potensial defisiensi L-arginin pada PGK (Martens dan Edrwads, 2011)

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi endotel pada pasien PGK terbentuknya inhibitor NOS endogen yaitu ADMA dan LNMMA (Kielstein, 2005, Baylis, 2006). Produksi ADMA 10 kali lipat dari LNMMA dan meningkat pada pasien PGK. Kadar plasma ADMA merupakan predictor dari progression menjadi gagal ginjal pada pasien PGK. ADMA diklasifikasikan sebagai toksin uremik dan ADMA juga dihubungkan dengan terganggunya fungsi endotel. ADMA adalah suatu kompetitor inhibitor dari eNOS. Disfungsi endotel pada pasien PGK memiliki 2 peranan penting, pertama DE merupakan tahap yang penting dalam perkembangan CVD, kedua DE pada kapiler glomerulus menyebabkan progresivitas dari PGK. Pada pasien PGK

31

hubungan antara ECD pada pembuluh darah perifer dan pembuluh darah ginjal belum diteliti lebih jauh. Walaupun banyak penelitian meneliti mengenai bioavaibilitas dari NO pada PGK, tetapi belum banyak yang meneliti keseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator pada PGK (Fliser, 2011). Pada Gambar 2.4 di bawah terlihat mekanisme penurunan NO karena peningkatan dari assymetric N G, NG - dimethylarginine pada pasien dengan penyakit ginjal kronik.

Gambar 2.4 Mekanisme dari penurunan nitric oxide karena peningkatan dari assymetric N G, NG - dimethylarginine pada chronic kidney disease (Sibal et al., 2010)

2.4 Disfungsi Endotel pada Pasien Hemodialisis Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita PGK stadium V atau GGK.

32

Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik (Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UFatau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler, namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik (HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal dan Light, 2010; Agarwal et al., 2008). Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah nitric oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA) yang merupakan inhibitor endogen dari nitric oxide synthase dan endothelin-1 (ET-1) suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah khususnya termasuk kejadian HID (Locatelli et al., 2010). Aktivitas dari sel endotel mungkin juga berperan penting di dalam variasi tekanan darah saat HD. Perubahan volume cairan saat HD dan cetusan hormonal menyebabkan produksi faktor-faktor yang terlibat di dalam kontrol tekanan darah di dalam sel endotel (Raj et al., 2002; Flythe et al., 2011). Substansi vasoaktif yang paling penting adalah nitric oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, asymmetric dimethylarginine (ADMA), suatu inhibitor endogen dari sintesis NO,

33

dan endothelin-1 (ET-1) suatu vasokonstriktor. Substansi ini mempunyai efek penting pada aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah (Locatelli et al., 2010). Penelitianpenelitian yang baru menunjukkan adanya peranan dari disfungsi endotel dalam terjadinya ketidakstabilan hemodinamik saat HD (Morris et al., 2001). Disfungsi endotel dapat menyebabkan perubahan dalam tekanan darah selama HD, termasuk HID atau hipotensi (Raj et al., 2002). Perubahan ini berhubungan dengan interaksi antara endotel, sistem saraf simpatis dan pengontrolan dari resistensi vaskular perifer (Locatelli et al., 2010). Pada penelitian pasien PGK yang mengalami hipotensi saat HD, HID dan tekanan darah stabil saat HD didapatkan penurunan kadar ADMA yang mirip sebelum dan sesudah HD pada ketiga kelompok pasien tadi. Kadar NO tidak berhubungan dengan perubahan tekanan darah saat HD. Sebaliknya kadar ET-1 menurun setelah dialisis pada kelompok pasien dengan hipotensi dan meningkat pada kelompok pasien dengan HID (Raj et al., 2002). Penelitian lain terhadap 30 pasien yang prone HID dengan kontrol didapatkan hasil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Terdapat perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 setelah HD antara kelompok kontrol dan kasus. Pada akhir HD pasien dengan HID terjadi peningkatan yang bermakna dari ET-1 dan penurunan yang bermakna dari rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan pasien kontrol (Chou et al., 2006). Penelitian lain juga menemukan ET-1 meningkat secara bermakna pada pasien dengan HID (Shafei et al., 2008). Penemuan-penemuan ini mengindikasikan bahwa interaksi antara NO, ADMA dan ET-1 memiliki peranan dalam mengontrol tekanan darah dan

34

resistensi vaskular perifer, dan mungkin terlibat didalam konsep dari HID (Bussemarker et al., 2002). Tidak ada data yang menunjukkan efek dari disfungsi endotel pada pasien HID. Di bawah ini akan dibahas mengenai petanda ECD yaitu NO, ADMA dan ET-1.

2.4.1 Nitric oxide Nitric oxide adalah antagonis natural dari katekolamin. Nitric oxide merupakan agen yang labil, sangat aktif dengan masa hidup yang pendek. Nitric oxide disintesis oleh enzim Nitric Oxide Synthase (NOS), dikeluarkan oleh sel endotel ke sirkulasi (Fliser et al., 2003). Pada penelitian in vitro didapatkan bahwa aktivitas NOS meningkat saat darah diekspose pada membran dialiser. Kondisi uremia dilaporkan menghambat sintesa NO. Aktivitas NOS juga berkurang dengan adanya ADMA (Shafei et al., 2008; Xiao et al., 2001). Nitric oxide dibentuk di berbagai lokasi, produksi lokal menentukan aktifitas fisiologisnya. Pada PGK terjadi disfungsi endotel yang ditandai dengan menurunnya produksi NO oleh endotel. Ada berbagai mekanisme terjadinya penurunan NO pada gangguan ginjal seperti defisiensi L-arginin, peningkatan NOS inhibitor seperti ADMA, dan menurunnya aktifitas dari enzim NOS. Berikut ini skema dari pembentukan NO dan berbagai mekanisme yang menyebabkan defisiensi NO pada PGK (Baylis, 2008).

35

Gambar 2.5 Skema biosintesis nitric oxide (NO) dan berbagai mekanisme yang mungkin menyebabkan defisiensi NO (Baylis, 2008)

2.4.2 Asymmetric dimethylarginine (ADMA) Asymmetric Dimethylarginine adalah inhibitor kompetitif endogen dari NOS. ADMA menurunkan produksi dari NO, menyebabkan meningkatnya resistensi perifer dan meningkatnya tekanan darah. Pada PGK terjadi akumulasi ADMA. Konsentrasi ADMA dalam plasma berbanding terbalik dengan GFR. Peningkatan kadar ADMA dihubungkan dengan disfungsi endotel dan sebagai prediktor

progresivitas PGK dan kematian pada pasien dengan PGK. Penelitian epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara ADMA dan hipertensi, hiperkolesterol, dan DM. Adanya disfungsi endotel unumnya ditandai dengan penurunan bioavaibilitas NO (Abedini et al., 2010). Gambar 2.6 di bawah ini menunjukkan skema produksi dan degradasi ADMA (Baylis, 2008).

36

Gambar 2.6 Biochemical pathway produksi dan degradasi ADMA (Baylis, 2008)

2.4.3 Endothelin-1 (ET-1) Endothelin-1 pertama kali ditemukan oleh Yanasigawa pada tahun 1988. Endothelin-1 di produksi oleh sel endotel, merupakan famili peptida yang terdiri dari 21 asam amino. Endothelin 1 merupakan vasokonstriktor endogen yang paling kuat dan predominan pada sistem kardiovaskular. Aktifitas ET-1 terjadi melalui ikatan dengan reseptor. Ada 2 jenis reseptor, yaitu ETAR (Endothelin A Receptor) dan ETBR (Endothelin B Receptor). Reseptor ET-1 tersebar pada berbagai jaringan dan sel. Di dalam pembuluh darah ETAR dan ETBR terletak di dalam otot polos pembuluh darah, menyebabkan efek vasokonstriksi pembuluh darah. ETBRS juga ditemukan ditemukan dalam sel endotel pembuluh darah, diaktifasi terutama oleh NO menyebabkan vasodilatasi. Sebagai tambahan ETBRS mempunyai peran penting dalam ekskresi ET-1 di sirkulasi. Waktu paruh plasma dari ET-1 adalah 1 menit, dengan pengeluaran melaui reseptor dan bukan reseptor. ET-1 berikatan dengan reseptor ETBR dan mengalami internalisasi dan degradasi.

37

Pengeluaran yang lain adalah melalui sirkulasi paru, limpa dan ginjal. Penurunan jumlah maupun blokade dari resoptor ETBR akan menurunkan ekskresi dari ET-1, sehingga meningkatkan jumlah dari ET-1 tanpa peningkatan produksinya (Dhaun et al., 2008). Dalam pembuluh darah yang normal, ET-1 mempertahankan tonus vaskular melalui ETAR, dengan keseimbangan aktifitas ETAR menyebabkan vasodilatasi. Jika ada gangguan pembuluh darah ET-1 memicu hipertensi dan penyakit kardiovaskular melalui berbagai mekanisme. Pada ginjal yang sehat, ETBR memegang peranan dalam tonus vasodilatasi, ETAR mempunyai sedikit peran dalam tonus pembuluh darah ginjal. Peningkatan aliran darah dalam medula dan efek langsung dari ETBR menyebabkan natriuresis dan diuresis. Pada PGK, ETAR menyebabkan vasokonstriksi renal menyebabkan retensi air dan garam sehingga mengakibatkan hipertensi. Pada orang sehat insulin merangsang pengeluaran dari ET-1 dan NO. Pada resistensi insulin terjadi gangguan pengeluaran NO, tetapi produksi ET -1 meningkat. Selengkapnya dapat di lihat pada Gambar 2.7 di bawah ini (Dhaun et al., 2008; Shafei et al., 2008).

38

Gambar 2.7 Peranan ET-1 pada hipertensi, data dari penelitian pada manusia (Dhaun et al., 2008)

Sistem ET-1 secara luas berperan dalam CVD dan PGK. Endothelin-1 berperan dalam patogenesis hipertensi dan kekakuan pembuluh darah, dan merupakan faktor risiko yang baru pada penyakit kardiovaskular (McIntyre, 2009). Endothelin-1 berperan dalam terjadinya disfungsi endotel dan

aterosklerosis (Dhaun et al., 2008).

39

Gambar 2.8 Peranan Endothelin 1 pada PGK dan CVD. Ilustrasi oleh Josh Gramling-Gramling Medical Illustration (Dhaun et al., 2006)

Sebagai respon terhadap UF saat HD, rangsangan hormonal dan mekanis, sel endotel mensintesis dan mengeluarkan faktor humoral yang berperan terhadap homeostasis tekanan darah (Mc Gregor et al., 2003). Ketidakseimbangan endothelial-derived hormone seperti NO suatu vasodilator otot polos, dan ET-1, suatu vasokonstriktor bisa menyebabkan hipotensi ataupun hipertensi saat HD (Inrig, 2010a). Berbagai mekanisme bertanggung jawab terhadap meningkatnya produksi dari ET-1 pada PGK. Sintesis ET-1 oleh ginjal dipicu oleh sitokin, growthfactor, kemokin, faktor vasoaktif, hormon dan reactive oxygen species (ROS), kolesterol dan substansi lainnya. Intake protein berlebihan merangsang tubulus proksimalis memproduksi ET-1, suatu kondisi yang sangat penting dalam progresi penyakit

40

ginjal. Gambar 2.9 di bawah ini menunjukkan pengaturan produksi ET-1 pada pembuluh darah dan ginjal (Kohan, 2010).

Gambar 2.9 Pengaturan produksi ET-1 di dalam pembuluh darah dan ginjal (Kohan, 2010)

Endothelin-1 bisa menginduksi terjadinya memberikan efek ke pembuluh darah dan sel ginjal menyebabkan terjadinya hipertensi dan penyakit ginjal kronik, dapat dilihat pada Gambar 2.10 di bawah ini:

41

Gambar 2.10 Efek ET-1 pada pembuluh darah dan sel ginjal menyebabkan hipertensi, aterosklerosis dan CKD (Kohan, 2010)

Endothelin1 bisa menginduksi kehilangan nefron dari podosit. Diet tinggi protein melalui induksi asidosis metabolik menyebabkan penurunan LFG pada tikus dengan penurunan massa ginjal. Diet tinggi protein menyebabkan kerusakan tubulointerstitial. Penelitian yang terbaru menemukan bahwa kromogranin A yang dikeluarkan oleh saraf simpatis dan sel kromafin merangsang sel glomerulus mengeluarkan ET-1 dan menurunkan LFG (Kohan, 2010).

42

2.5. Penanganan Hipertensi Intradialitik Penanganan dari HID dapat dilihat pada Gambar 2.11 di bawah ini.

Gambar 2.11 Algoritma Penanganan HID Berdasarkan Derajat Hipertensi (Chazot dan Jean, 2010)

Penanganan pertama terhadap HID adalah membatasi peningkatan berat badan antar dialisis dan menurunkan secara bertahap berat badan kering. Hal ini bisa dicapai melalui konseling melalui diet, pembatasan konsumsi garam dan UF yang agresif saat HD. Penentuan cairan yang akan ditarik saat HD memerlukan panduan dengan alat yang non invasif seperti bioimpedance, inferior vena cava ultrasonography, atau monitor volume darah (Peixoto, 2007). Penarikan cairan ini harus hati-hati untuk menghindari instabilitas hemodinamik. Diperlukan HD yang lebih lama dan sering untuk untuk menghindari komplikasi dari UF yang berlebihan saat HD. Secara teori memperpanjang waktu dialisis dan penentuan

43

UFR yang tepat sangat diperlukan dalam penanganan HID (Chazot dan Jean, 2010; Weir dan Jones, 2010). Penambahan sodium saat HD akan meningkatkan plasma refilling yang akan meningkatkan COP, oleh karena itu peresepan cairan dialisat yang tinggi sodium harus dihindari. Begitu juga peresepan dialisat yang tinggi kalsium akan meningkatkan resistensi perifer dan COP sehingga harus dihindari (Inrig, 2010a). Beberapa obat disarankan dalam penanganan HID untuk mencegah krisis hipertensi antara lain calcium channel blockers (CCB) tetapi keamanan obat ini pada kondisi HID belum diteliti (Chazot dan Jean, 2010). Minoxidil, merupakan vasodilator yang kuat juga dapat diberikan pada kondisi ini. Obat ini bekerja dengan efek pada c AMP, menghasilkan vasodilatasi dengan cara relaksasi langsung otot polos arteriolar. Walaupun minoxidil diindikasikan pada HID, tetapi obat ini sangat jarang digunakan (Rizzioli et al., 2009). Obat obat anti hipertensi seperti ace inhibitor sudah digunakan dalam penanganan HID, obat ini tidak difiltrasi saat HD sehingga bisa digunakan untuk pasien HID (Inrig, 2010b)

44

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian kepustakaan di atas maka dapat dibuat kerangka berpikir sebagai berikut: Pada pasien HD yang menjalani HD reguler sering terjadi volume overloaded, kelebihan cairan dalam tubuh ini akan dikeluarkan saat HD melalui preses ultrafiltrasi (UF). UF yang berlebihan saat HD bisa meninbulkan komplikasi saat HD, yaitu HID. Ultrafiltrasi ini mempengaruhi keseimbangan antara NO, ET-1, dan ADMA. Ultrafiltrasi yang berlebihan saat HD akan menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi RAAS, peningkatan COP sehingga bisa menyebabkan kenaikan tekanan darah saat HD. Hipertensi intradialisis juga dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu perubahan

elektrolit saat HD, antara lain natrium, kalium dan kalsium. Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya HID adalah eliminasi obat antihipertensi saat HD, terapi eritropoeitin, penyakit kardiovaskuler dan DM. Hubungan antara volume overloaded, perubahan elektrolit saat HD, eliminasi obat antihipertensi saat HD, terapi eritropoeitin dan kejadian HID sudah diteliti sebelumnya. Peranan besarnya volume UF saat HD dan HID sampai saat ini belum diketahui. Belakangan ini penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Belum diketahui apakah ada peranan dari UF yang berlebihan saat HD dengan disfungsi endotel. Pada

44

45

penelitian ini kami ingin meneliti mengenai peranan UF yang berlebih saat HD dan HID melalui keterlibatan NO, ADMA dan ET-1.

3.2 Konsep Penelitian Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antar variabel. Hubungan ini mencerminkan fenomena yang akan dicari jawabannya melalui penelitian. Manifestasi konsep adalah variabel, sehingga menjadi lebih konkret dan dapat diukur. Pada penelitian ini dicari hubungan antara besarnya UF saat hemodialisis dengan kejadian HID. Penelitian ini terfokus pada peran UF saat HD sebagai faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian HID melalui perubahan kadar ET-1, ADMA dan NO serum. Peningkatan kadar ET-1 serum, peningkatan kadar ADMA serum dan penurunan kadar NO serum merupakan petanda dari disfungsi endotel. Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

46

ULTRAFILTRASI BERLEBIH SAAT HD

Umur Jenis Kelamin Kadar Hb

Dialisat Mesin HD Membran dialiser

Obat-obat antihipertensi Kadar Na, K, Ca serum Terapi eritropoetin

NO , ADMA , ET-1

HIPERTENSI INTRADIALITIK (HID)

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis-hipotesis penelitian disusun berdasarkan kajian pustaka secara deduktif dan konsep dasar penelitian yang diwujudkan dalam suatu kerangka konsep penelitian di atas. Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara terhadap masalah-masalah penelitian dan dirumuskan seperti di bawah ini: 1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID. 2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

47

2. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID. 3. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID. 4. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum. 5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum. 6. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum.

48

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian kasus-kontrol digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara UF saat HD terhadap kejadian HID, dan hubungan antara perubahan ET-1, NO dan ADMA pre dan post HD dengan besarnya UF yang dilakukan saat HD. Pasien PGK stadium V yang menjalani HD reguler yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi, dilakukan pemeriksaan NO, ET-1, ADMA sebelum dan sesudah tindakan satu sesi HD. Untuk menentukan kasus dan kontrol seluruh sampel diikuti secara prospektif sebanyak 6 kali sesi HD. Setiap HD dilakukan pencatatan UF yang dilakukan. Ultrafiltrasi dicatat dari 6 sesi HD berturutan dan dicari rata-ratanya. Tekanan darah pre HD, selama HD dan post HD selama 6 sesi HD dicatat. Sampel kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kasus dan kontrol. Kelompok kasus yaitu kelompok penyandang HD reguler yang mengalami HID, dan kelompok kontrol yaitu kelompok penyandang HD reguler yang tidak mengalami kejadian HID. Hipertensi intradialitik didefinisikan bila terjadi

peningkatan tekanan darah sistolik sesudah HD 10 mmHg dibandingkan dengan TDS pre HD, pada minimal 4 dari 6 sesi HD berturut-turut. Faktor risiko, yaitu adanya disfungsi endotel yang ditandai dengan peningkatan ET-1 atau peningkatan ADMA atau penurunan NO post HD, serta volume UF saat HD ditelusuri dan dianalisis secara retrospektif. Rancangan penelitian digambarkan (Gambar 4.1) sebagai berikut:

48

49

Penentuan kasus dan kontrol

Penelitian dimulai dari sini

Analisis secara Retrospektif

Faktor Risiko (+) Kasus


HID (+) Sampel Penyandang HD 6 kali berturutturut ( dicatat UF dan TD saat HD)

Faktor Risiko (-)

HD
( lab. pre, dan post HD: ET-1, ADMA, NO)

HD reguler

Faktor Risiko (+)


Kontrol
HID (-)

Faktor Risiko (-)

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Kasus- Kontrol

Penelitian dimulai dengan mengidentifikasikan sampel penelitian, pada HD yang pertama dilakukan pemeriksaan laboratorium dan fisik pre dan post HD. Sampel kemudian diikuti secara prospektif selama 6 kali HD berturut-turut. Setelah HD yang ke enam ditentukan kelompok dengan efek (kelompok kasus) dan mencari subjek yang tidak mengalami efek (kelompok kontrol). Yang dimaksud dengan efek positif adalah kejadian hipertensi intradialitik yang

didefinisikan dengan peningkatan tekanan darah sistolik lebih sesudah HD 10 mmHg dibandingkan dengan TDS sebelum HD, pada minimal 4 kali dari 6 sesi HD berturut-turut. Faktor risiko positif adalah peningkatan ET-1, peningkatan ADMA-1, penurunan NO dan UF yang berlebih (> 4,8% BB) saat hemodialisis. Faktor risiko dianalisis secara retrospepektif pada kedua kelompok kemudian dibandingkan.

50

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Unit Hemodialis, RSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan bahan penelitian dilakukan di laboratorium yang terakreditasi. Dengan menggunakan protokol penelitian diperkirakan memerlukan waktu sekitar 6 bulan untuk mencapai jumlah sampel pemeriksaan, analisis dan penulisan.

4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi penelitian a. Populasi target (target population) penelitian ini adalah semua penyandang HD reguler yang menjalani HD di Unit HD rumah sakit di Bali. b. Populasi terjangkau (accessible population) penelitian ini adalah semua penyandang HD reguler yang menjalani HD di RSUP Sanglah Denpasar. c. Sampel (intended sampling) adalah sampel yang dipilih dengan teknik consecutive sampling dari populasi terjangkau penelitian. d. Subjek yang benar-benar diteliti (actual study subjects) adalah subjek yang benar-benar mau ikut penelitian dan mengisi formulir informed consent.

4.3.2 Kriteria inklusi Penderita GGK berumur antara 18-60 tahun yang menjalani HD reguler di unit HD di Denpasar. a. Penderita adalah penduduk suku bangsa Indonesia serta bersikap kooperatif. b. Penderita dalam kondisi stabil, dan sudah menjalani HD reguler minimal 3 bulan.

51

c. Penderita sudah mencapai berat badan kering yang ditentukan oleh dokter konsultan ginjal dan hipertensi.

4.3.3 Kriteria eksklusi: a. Penyakit gagal jantung tak terkompensasi. b. Anemia berat. c. Sepsis d. Keganasan e. Diabetes mellitus

4.3.4 Sampel Adalah semua penyandang HD reguler di unit HD di RSUP Sanglah Denpasar, suku bangsa Indonesia, berumur antara 18-60 tahun. Sudah menjalani HD minimal 3 bulan, dalam kondisi stabil serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.5 Besaran sampel Besaran sampel ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Madiyono dkk., 2010) 1. ADMA
( z + z ) s n1 = n 2 = 2 ( X1 X 2 ) z = 1,96; Z = 0,842;
2

(X1-X2) = 0,5;

s = 0,75

n = 35

52

Pada penelitian ini direncanakan power sebesar 80%, yaitu Z = 1,96; Z = 0,842; (X1-X2) = 0,5; simpang baku (s) = 0,75. Maka jumlah sampel yang diperlukan untuk pemeriksaan ADMA adalah 35 sampel.

2. NO
( z + z ) s n1 = n 2 = 2 ( X1 X 2 ) z = 1,96; Z = 0,842; n = 63 Pada penelitian ini direncanakan power sebesar 80%, yaitu Z = 1,96; Z = 0,842; (X1-X2) = 4; simpang baku (s) = 8. Maka jumlah sampel yang diperlukan untuk pemeriksaan NO adalah 63 sampel.
2

(X1-X2) = 0,5;

s = 0,75

3. Endothelin-1
n= z 2{1 /[Q1 / P 1 + 1 / Q2 / P 2 ]} 2 [ln(1 e)]

= 1,96
OR = 3 P1 = OR x P2 / ((1-P2) + (ORxP2)) = 0,6 P2 = 0,4 n = 110 Ditetapkan z =1,96, sehingga besarnya dan rasio odds yang diperkirakan

sebesar 3 dengan rasio kelompok HID terhadap kontrol =1, proporsi Endothelin-1 yang meningkat sebesar 0,4 sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 110 orang.

53

Dengan demikian jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 110 orang untuk kedua kelompok penelitian.

4.3.6 Teknik penentuan sampel


Sampel dipilih dengan teknik consecutive sampling dari populasi terjangkau penelitian yang menjalani HD reguler di rumah sakit di Denpasar. Populasi

terjangkau adalah penderita HD reguler yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi, dipilih sebagai sampel penelitian, hingga jumlah sampel minimal terpenuhi. Dari sampel yang dikehendaki disaring lagi penderita yang tidak menolak mengikuti penelitian sehingga diperoleh subyek yang benarbenar diteliti (actual study subjects)

4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Identifikasi variabel


Variabel penelitian adalah karakteristik sampel penelitian yang diukur, baik secara numeric atau katagorikal. Variabel-variabel tersebut ditentukan menurut rancangan penelitian yang direncanakan.

4.4.2 Klasifikasi variabel


a. Variabel bebas adalah volume UF saat HD, perubahan kadar NO, ET-1 dan ADMA serum. b. Variabel tergantung adalah efek yaitu HID. c. Variabel kendali adalah umur, jenis kelamin, penyakit ginjal dasar, penyakit penyerta, obat-obatan, faktor HD (dialisat, lama sesi HD, lama terapi HD, dan KT/V, kecepatan aliran darah), faktor membran (luas

54

permukaan, volume priming, koefisien UF, kliren in-vitro). Variabel variabel di atas memenuhi kriteria sebagai variabel perancu sehingga harus dikendalikan (disebut variabel kendali). d. Variabel rambang adalah suku bangsa asli Indonesia, variabel ini secara biomedik dianggap sama pengaruhnya terhadap kelompok kasus maupun kontrol.

4.4.3 Definisi operasional variabel


a. Konsentrasi ADMA adalah kadar ADMA dalam serum yang diukur

dengan quantittatif sandwich enzyme immunoassay (ELISA) satuannya mol/l. Pengukuran 2 kali, pre dan post HD. Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Prodia Denpasar dengan reagen Cat. No. 17 EA 201-96. Alat : Microplate reader produk Biorad 680, tahun 2008. b. Konsentrasi NO adalah kadar nitric oxide dalam serum yang diukur dengan Colory metri/ Cayman satuannya M. Pengukuran 2 kali, pre dan post HD. Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Prodia Denpasar dengan reagen Cat. No. 780001. Alat: Microplate reader produk Biorad 680, tahun 2008. c. Konsentrasi ET-1 adalah kadar endotelin 1 dalam serum yang diukur dengan ELISA satuannya pq/ml. Pengukuran 2 kali, pre dan post HD. Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Prodia Denpasar dengan reagen Cat. No.: DET 100. Alat: Microplate reader produk Biorad 680, tahun 2008.

55

d. Ultrafiltrasi adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin HD selama satu sesi HD, satuannya liter. Ultrafiltrasi terlihat pada monitor masing-masing mesin HD. e. Ultrafiltrasi Rate (UFR) adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin per kilogram berat badan perjam (cc/kg/jam). f. Ultrafiltrasi berlebih adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin HD selama satu sesi HD lebih dari 4,8% BB kering (misal >3,4 kg pada pasien dengan BB kering 70 kg) (K/DOQI, 2006). g. Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih. Kerusakan ginjal ditandai dengan gangguan struktural atau fungsional dari ginjal yang desertai atau tanpa disertai penurunan LFG (K/DOQI, 2006). h. Gagal ginjal kronik adalah menurunnya LFG kurang dari 15 ml/menit/1.73 m luas permukaan tubuh yang disertai dengan tanda dan gejala uremia dan memerlukan terapi pengganti ginjal (K/DOQI, 2006) i. Diabetes melitus ditegakkan dengan riwayat DM sebelumnya. j. CHF adalah penyakit jantung kongestif yang didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan foto thorak. Diagnosis ditetapkan oleh divisi Kardiologi RSUP Sanglah. k. Hipertensi intradialitik didefinisikan bila terjadi peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) sesudah HD 10 mmHg dibandingkan dengan TDS sebelum HD, pada minimal 4 kali dari 6 sesi HD berturut-turut. Tekanan darah diukur dengan alat sphygmomanometer mercuri dan dilakukan oleh perawat hemodialisis yang sudah terlatih.
2

56

l. Kadar Hb diperiksa di laboratorium RSUP Sanglah dengan alat technicon H-1 dengan metode flow-cytometry. m. Usia ditentukan dari tanggal kelahiran sampai saat penelitian berdasarkan kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu keluarga. n. Jenis kelamin, penduduk suku bangsa Indonesia dan tempat tinggal penderita atau kontrol ditentukan dengan pemeriksaan badan (kalau diperlukan) dan KTP atau kartu keluarga. o. Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal dengan cara memisahkan darah dari bahan-bahan uremik melalui membran dialisat, dengan memakai mesin HD merk Nipro. p. Lama terapi hemodialisis adalah waktu antara terapi HD pertama dan HD saat penelitian. q. Lama sesi HD adalah waktu yang diperlukan saat dilakukan 1 sesi HD, satuannya menit. r. Hemodialisis stabil adalah bila HD telah dijalani selama 3 bulan atau lebih. Pada periode ini, pasien umumnya mengalami komplikasi yang minimal selama HD, berat badan kering sebagai berat badan target umumnya telah tercapai dan kualitas hidup pasien umumnya telah pulih. s. Infeksi akut: adanya gejala dan tanda infeksi akut yang dapat diketahui dari klinis dan pemeriksaan fisik, serta adanya peningkatan sel darah putih. t. Sepsis: penderita yang memenuhi kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dengan sumbert infeksi yang jelas. Kriteria terpenuhi bila didapatkan 2 atau lebih kriteria di bawah ini (Balk dan Casey, 2000):

57

a) Demam (temperature >380C) atau hipotermi (temperature <360C). b) Takipneu (frekuensi nafas >24 kali / menit. c) Takikardia (denyut jantung >90 kal / menit). d) Leukositosis (hitung sel darah putih >12000/uL). e) Leukopenia (hitung sel darah putih <4000/uL). u. Keganasan: penderita diketahui menderita keganasan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan melihat catatan medis pasien.

4.5 Bahan Penelitian


Bahan atau materi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah untuk pemeriksaan laboratorium yaitu darah (plasma dan serum, bahan antikoagulan disesuaikan dengan masing-masing metode pemeriksaan). Sebelum pengambilan darah, pasien puasa selama 10 jam. Darah diambil sesaat sebelum HD untuk pemeriksaan NO, ADMA, ET-1, DL, albumin, gula darah, Na, K, Ca, BUN dan SC dan 2 menit sebelum HD berakhir (setelah kecepatan aliran darah diturunkan 50 ml/menit) untuk pemeriksaan: NO, ADMA, ET-1, Na, K, Ca, BUN dan SC. Metode pemeriksaan selengkapnya seperti di bawah ini: a. Darah lengkap: Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan alat technicon H-1 dengan metode flow-cytometry. b. Gula darah Pemeriksaan gula darah menggunakan alat Hitachi 911 automated analayzer (Boehringer Mannheim), dengan metode hexokinase.

58

c. Albumin diperiksa dengan bromocresol purple. d. Pemeriksaan kalium, natrium dengan metode selective elektroda direk, kalsium dengan metode kalorimetri. e. Pemeriksaan NO dengan metode pemeriksaan: calorimetri/cayman. f. Pemeriksaan ET-1 Prinsip pemeriksaan: Menggunakan teknik kuantitatif sandwich enzyme

immunoassay Antibodi monoclonal spesifik untuk ET-1. Metode pemeriksan : ELISA/R & D system. g. Pemeriksaan ADMA dengan enzyme immunoassay, ELISA/DBL.

4.6 Instrumen Penelitian


a. Kuesioner dan rekaman medis yang dipakai untuk mendapatkan data-data tentang faktor demografi, etiologi penyakit, penyakit penyerta, data laboratorium dan terapi pasien. b. Timbangan badan dan tinggi badan menggunakan skala tinggi badan dan timbangan digital merk Seca Digital Scale. c. Alat ukur tekanan darah yaitu sphygmomanoter mercuri merk Riester. d. Stetoscope untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah menggunakan merk Riester. e. Mesin HD menggunakan mesin merk Nipro jenis Surdial 55. f. Membran dialiser yang dipakai jenis Selulosa (diasetat hollow fiber) dengan ukuran FB130-150 TGA tahun produksi 2009, dengan luas permukaan membran sebesar 1,5 m2.

59

4.7 Prosedur Penelitian


Semua sampel diberikan penjelasan rinci dan menandatangani informed

consent. Sebelum dilaksanakan penelitian, dikonsultasikan lebih dahulu dengan Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan FK UNUD-RSUP Sanglah untuk mendapat surat keterangan kelaikan etik. Kuesioner diisi setelah penentuan intended study subject. Sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium diambil setelah pasien puasa 10 jam. Pemeriksaan ET-1, NO dan ADMA, dilakukan sebelum dan sesudah 1 sesi HD, Pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu DL, albumin, gula darah dan SC, dilakukan sebelum satu sesi HD, sedangkan

pemeriksaan Na, K, Ca, BUN dilakukan sebelum dan sesudah satu kali sesi HD. Sampel kemudian diikuti sebanyak 6 kali HD berturut-turut. Sebelum dan sesudah HD dilakukan penimbangan berat badan. Saat HD dilakukan pengukuran tekanan darah dan nadi setiap setengah jam, pencatatan besarnya UF, kecepatan UF, kecepatan putaran mesin, obat yang diberikan dan semua kejadian saat HD berlangsung. Setelah ke 6 sesi HD selesai, ditentukan kelompok yang mengalami HID (kasus) dan kelompok yang tidak mengalami HID (kontrol). Kemudian dilakukan analisis secara retrospektif untuk mencari faktor risiko, yaitu membandingkan besarnya perubahan kadar ET-1, ADMA, NO pre dan post HD, pada kelompok HID dan kontrol, membandingkan rerata UF pada kelompok HID dan kontrol, kemudian dilakukan analisis statistik.

60

Populasi terjangkau
Kriteria inklusi & eksklusi

Sampel (consequtive) Informed consent Intended study subjek


Lab. Pre-HD
(NO, ET-1, ADMA) (DL, BUN, SC, Na, K, Ca, BS, Alb)

HD Lab. Post HD
(NO, ET-1, ADMA) (BUN, Ca, K, Na)

Selisih NO, ET-1, ADMA pre dan post HD

TD

HD I HD II HD III HD IV HD V HD VI

UF UF UF UF UF UF

Hipertensi Intradialitik

TD TD TD TD TD

HID (+)

Kasus Analisis Statistik

HID (-)

Kontrol Simpulan Gambar 4.2 Alur Penelitian kasus-kontrol

Rerata UF

61

4.8 Analisis Data


Setelah data terkumpul, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kelengkapan data. Data yang tidak lengkap, dicoba dilengkapi dengan menghubungi kembali penderita. Analisis yang dilakukan adalah prospektifretrospektif path analysis. Untuk menjawab permasalahan penelitian dilakukan serangkaian tahapan analisis data sebagai berikut: a. Uji normalitas Kosmogorov-Smirnov, digunakan menguji apakah data-data penelitian berdistribusi normal atau tidak. b. Analisis deskriptif, menggambarkan karakteristik umum dan distribusi frekuensi berbagai variabel yaitu: umur, jenis kelamin, tekanan darah, BB, kadar Na, K, Ca, NO, ADMA, dan ET-1 serum. c. Uji kai-kuadrat, menguji perbedaan variabel dengan skala

nominal/kategorikal pada kedua kelompok tsb, yaitu jenis kelamin, dll d. Analisis regresi logistik, menghitung risiko, yaitu rasio odds dari variabel UF terhadap HID, dan mengendalikan variabel perancu terhadap

hubungan tersebut. Rasio odds yang dihasilkan merupakan adjusted rasio odds yang sudah terbebas dari efek perancu. e. Taksiran rasio odds ( odd ratio/OR) yang disajikan dalam bentuk interval keyakinan 95%, diharapkan diperoleh nilai rasio odds dari UF lebih dari 1, dengan interval keyakinan ( Convidance Interval/CI) melewati 1. f. Untuk melihat hubungan langsung antara UF dan HID serta hubungan tidak langsung antara UF dan HID melalui perubahan kadar NO, ADMA, ET-1 serum saat HD dilakukan analisis jalur (path analysis).

62

g. Analisis statistik di atas menggunakan nilai p<0,05 sebagai batas kemaknaan dan memakai perangkat lunak statistika, yaitu SPSS for Window version 15.

63

BAB V HASIL PENELITIAN

Penelitian ini lakukan pada bulan Agustus sampai November 2012, setelah mendapat persetujuan dari Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dengan Surat Kelaikan Etik (Ethical Clearance) dan Surat Ijin Penelitian dari Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar. Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang sudah menjalani HD reguler minimal selama 3 bulan dan dalam kondisis stabil, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 112 pasien HD reguler diikutkan dalam penelitian ini. Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: UF sebagai variabel bebas; NO, ADMA, ET-1 sebagai variabel antara dan kejadian HID sebagai variabel tergantung. Seratus dua belas subjek penelitian terdiri dari 54,5% (61/112) laki-laki dengan rerata umur 44 tahun, diikuti sebanyak 6 kali HD berturut-turut dan didapatkan 32,1% (36/112) mengalami HID. Semua subjek penelitian datanya lengkap dan dapat dianalisis.

63

64

5.1 Karakteristik data


Tabel 5.1 Karakteristik dasar subjek penelitian dari kelompok HID dan Non HID

Karakteristik Umur (tahun) Jenis Kelamin (%) Laki Perempuan Lama HD (bulan) Etiologi (%) Chronic Pyelonephritis Chronic Glomerulonephritis Nefrosklerosis Hemoglobin (g/dl) Albumin serum (mg/dl) Gula Darah Puasa (mg/dl) CaP product Tinggi Badan (cm) Berat Badan Kering (kg) Indeks Massa Tubuh (kg/m ) Terapi Anti Hipertensi (%) ACE Inhibitor CCB Beta Blocker Clonidin ARB Terapi Erythropoetin (%) Ya Tidak
2

HID (n=36) Rerata SB 43,29,54 47,2 52,8 34,5033,15 61,1 38,9 8,21,6 3,90,6 86,710,2 56,2718,30 155,728,41 54,3413,35 22,264,37 69,4 11,1 22,2 30,6 19,4 16,7 50,6

Non HID (n=76) Rerata SB 43,79,38 57,9 42,1 34,8629,4 57,9 39,5 8,31,31 3,80,53 89,1620,12 54,817,3 157,86,4 56,410,48 22,613,5 66,7 9,7 38,9 27,8 13,9 16,7 13,3

Nilai p 0.92

0.42 0.78

0.75 0.43 0.60 0.49 0.06 0.15 0.59 0.31 0.59 0.00 0.45 0.12

0.90

Dari Tabel 5.1 di atas terlihat bahwa rerata umur pasien adalah 43,759,39 tahun. Lama HD 34,7530,51 bulan. Etiologi dari PGK yang terbanyak adalah pyelonefritis kronis. Rerata kadar Hemoglobin adalah 8,341,40 g/dl. Rerata kadar albumin serum adalah 3,870,54 mg/dl. Hasil perkalian antara calsium dan

65

phosphat (CaP product) rata-rata adalah 55,2917,59. Setelah dihitung didapatkan rata-rata IMT pasien adalah 22,493,78 kg/m2. Pada kelompok pasien dengan HID maupun kontol sebagian besar pasien mendapat terapi ace inhibitor sebagai obat anti hipertensi. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terapi dengan betabloker dimana pada kelompok yang tidak mengalami HID lebih banyak yang mendapat terapi betabbloker dibandingkan dengan kelompok HID (38,9 vs 22,2; p =0,00). Tidak terdapat perbedaan dalam terapi erythropoietin pada kedua kelompok.

5.2 Profil tekanan darah selama HD


Pada pengamatan subjek penelitian, dilakukan pengukuran tekanan darah selama HD pada 6 sesi HD berturut-turut. Profil tekanan darah sampel selama pengamatan 6 kali HD berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 5.2 di bawah ini.
Tabel 5.2 Profil tekanan darah subyek penelitian dari kelompok HID dan Non HID
Sesi HD Tekanan Darah HID (Rerata SB) HD-1 HD-2 HD-3 HD-4 HD-5 HD-6 Rerata Sistolik Diastolik Sistolik Diastolik Sistolik Diastolik Sistolik Diastolik Sistolik Diastolik Sistolik Diastolik Sistolik Diastolik 142,522,89 84,7210,27 140,5523,89 84,7210,27 141,3819,29 85,5512,05 138,0521,20 85,2710,27 143,3329,17 85,838,74 138,3320,77 83,339,85 140,6916,69 85,046,49 Pre HD Kelompok Non HID (Rerata SB) 143,2824,02 85,659,42 142,109,42 86,849,26 141,9723,26 85,529,14 141,2824,54 85,9211,33 141,4422,43 85,1310,39 139,3420,74 85,138,71 141,5516,97 85,706,13 -0.79 -0.10 -1.55 -2.12 -0.58 0.02 -3.13 -0.64 1.89 0.70 -1.00 -1.79 -0.86 -0.65 0.87 0.95 0.73 0.28 0.89 0.98 0.51 0.77 0.71 0.72 0.81 0.33 0.80 0.60 Selisih Kelompok Nilai p Kelompok HID (Rerata SB) 147,224,56 88,3312,07 148,0523,52 87,2210,31 148,0520,67 87,512,27 140,5530,75 86,388,3 144,4423,83 87,2210,03 146,6624,14 86,669,56 145,8318,52 87,228,22 Non HID (Rerata SB) 144,2121,92 85,658,3 144,7321,25 86,978,48 141,5719,73 86,848,82 140,1525,86 86,9710,58 140,9220,86 87,1010,04 138,5519,03 85,528,06 141,6916,11 86,515,71 3.01 2.68 3.31 0.25 6.48 0.66 0.39 -0.58 3.52 0.11 8.11 1.14 4.14 0.72 0.52 0.17 0.46 0.89 0.11 0.75 0.94 0.77 0.42 0.95 0.05 0.51 0.23 0.59 Post HD Selisih Kelompok Nilai p

66

Pada pengamatan HD 1,2,4 dan 5 rerata TDS sampel baik pre HD maupun post HD pada kelompok HID lebih tinggi daripada kelompok Non HID, sedangkan pada pengamatan HD 3 dan HD 6 rerata TDS pre HD pada kelompok HID sedikit lebih rendah pada kelompok HID. Setelah dilakukan analisis tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara TDS dan TDD pre HD maupun post HD antara kelompok HID dan non HID.

5.3 Profil Ultrafiltrasi selama HD


Pada pengamatan selama 6 kali HD berturutan dilakukan pencatatan volume UF selama HD pertama sampai ke enam. Rata-rata besaran UF yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 5.3 di bawah ini.
Tabel 5.3 Volume UF kelompok HID dan Non HID

Hemodialisis (HD)

Volume UF (L) HID (Rerata SB) 3,371,00 3,331,16 3,511,05 3,521,19 3,681,03 3,971,22 3,560,91 Non HID (Rerata SB) 2,541,16 2,551,06 2,541,15 2,411,14 2,471,23 2,481,15 2,500,98

Selisih Kelompok

Nilai p

HD-1 HD-2 HD-3 HD-4 HD-5 HD-6 Rerata HD 1-6

0,83 0,78 0,98 1,11 1,20 1,49 1,27

0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Pada Tabel 5.3 di atas terlihat bahwa pada HD 1 sampai 6, dan secara rerata UF pada kelompok HID lebih besar daripada kelompok non HID.

67

5.4 Perubahan kadar Na, K dan Ca saat HD


Pada subjek penelitian dilakukan pemeriksaan kimia darah sebelum dan sesudah HD, pada sesi HD 1. Hasil pemeriksaan kadar kalium, natrium dan kalsium serum sebelum dan sesudah HD I, dapat dilihat pada Tabel 5.4 di bawah ini.
Tabel 5.4 Kadar Natrium, Kalium dan Kalsium pre dan post HD 1
Kelompok HID (Rerata SB) Pre Post HD Selisih HD (postpre HD) 136,33 137,08 0,75 2,62 3,98 3,75 5,58 3,49 -2,08 0,97 0,87 1,04 8,92 11,03 2,1 0,94 1,08 1,49 Kelompok Non HID (Rerata SB) Pre HD Post HD Selisih (Postpre HD) 135,84 136,22 0,38 2,76 3,61 3,78 5,11 3,40 -1,70 0,80 0,60 0,85 9,13 10,61 1,47 ,05 1,07 1,46 Selisih Kelompok Nilai p

Natrium (mmol/L) Kalium (mmol/L) Kalsium (mol/dL)

0,37

0,63

-0,38

0,05

0,63

0,03

Dari Tabel 5.4 di atas terlihat bahwa selisih kadar serum Na, K dan Ca post HD dan pre HD pada kelompok HID lebih besar daripada kelompok non HID. Setelah dilakukan analisis, didapatkan bahwa selisih kadar Natrium tidak berbeda antara kelompok HID dan non HID, sedangkan selisih kadar K dan Ca pada kelompok HID dan non HID berbeda bermakna.Terjadi peningkatan kadar serum kalsium post HD pada kedua kelompok yaitu HID dan non HID, peningkatan yang lebih besar tampak pada kelompok HID. Hal yang sebaliknya terjadi pada kadar kalium, terjadi penurunan kadar kalium post HD pada kedua kelompok dengan penurunan lebih besar pada kelompok HID.

68

5.5 Perubahan kadar NO, ADMA dan ET-1 saat HD


Hasil pemeriksaan kadar NO, ADMA dan ET-1 serum pre dan post HD 1 dapat dilihat pada Tabel 5.5 di bawah ini.
Tabel 5.5 Kadar NO, ADMA, dan ET-1 sebelum dan sesudah HD 1

Kadar serum

NO (M) ADMA (m/L) ET-1 (pq/ml)

Kelompok HID (Rerata SB) Pre HD Post HD Selisih (Post-pre HD) 13,62 3,80 -9,8 5,47 1,4 4,79 0,81 0,47 -0,33 0,23 0,14 0,22 2,14 2,37 0,18 1,25 1,12 0,41

Kelompok Non HID (Rerata SB) Pre HD Post HD Selisih (Post-pre HD) 8,15 3,93 -4,22 3,27 2,22 2,77 0,78 0,95 0,27 0,24 0,51 0,20 2,39 2,58 0,18 1,19 1,35 0,70

Selisih Kelompok

Nilai p

-5.59

0,0

-0.06

0,16

0.00

0,99

Pada Tabel 5.5 di atas terlihat bahwa terjadi penurunan kad(Rerata SB)ar NO post HD pada kedua kelompok. Penurunan NO lebih besar pada kelompok HID dibandingkan dengan kelompok non HID (-9,84,79 vs -4,222,77 M). Hal yang berbeda terjadi pada kadar serum ADMA, Pada kelompok HID terjadi penurunan kadar serum ADMA post HD sedangkan pada kelompok non HID terjadi peningkatan kadar serum ADMA (-0,330,22 vs 0,270,20 m/L), tetapi selisih ADMA ini tidak berbeda antara kelompok HID dan non HID. Hal yang berbeda terlihat pada kadar serum ET-1, terjadi peningkatan kadar serum ET-1 post HD yang hampir sama pada kelompok HID dan non HID (0,180,41 vs 0,180,70 pq/ml), tetapi peningkatan ini tidak berbeda antara kelompok HID dan non HID.

69

5.6 Hubungan antara perubahan kadar NO, ET-1, ADMA dan HID
Untuk melihat hubungan antara perubahan kadar serum NO, ET-1, ADMA saat HD dengan kejadian HID serta hubungan antara volume UF yang dilakukan saat HD dengan kejadian HID, dilakukan analisis regresi, dan untuk menghilangkan pengaruh beberapa variabel pengganggu terhadap hubungan

tersebut, dilakukan pengontrolan terhadap variabel tersebut, yaitu variabel jumlah obat antihipertensi yang diminum, dan perubahan kadar Na dan kalsium post dan pre HD. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.6 di bawah ini.
Tabel 5.6 Hubungan antara NO, ADMA, ET-1, volume UF dengan kejadian HID
Variabel Bebas Unadjusted OR 0,59 0,26 1,00 4,28 100,45 IK 95% Nilai P 0,00 0,16 0,99 0,00 0,00 Adjusted OR 0,60 0,15 0,94 5,17 167,19 IK 95% Nilai P 0,00 0,07 0,85 0,00 0,00

NO (setiap peningkatan 1 m/L) ADMA (setiap peningkatan 1 m/L) ET-1 (setiap peningkatan 1 pg/ml) Volume UF (setiap 1 liter meningkat) UF berlebih ( Volume UF > 4,8% BB Kering) Setiap 1% meningkat

0,48-0,72 0,04-1,67 0,53-2,89 2,41-7,62 21,05-479,33

0,49-0,73 0,02-1,19 0,49-1,794 2,64-10,11 27,56-1013,91

Keterangan : Adjusted OR setelah dilakukan pengontrolan terhadap: 1. Jumlah obat anti hipertensi yang dikonsumsi 2. Selisih natrium post - pre HD 3. Selisih Ca post - pre HD

Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi NO memiliki tingkat signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari 0,05, ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan NO memiliki pengaruh yang signifikan terhadap HID diterima. Nilai OR dari NO adalah 0,59, ini berarti bahwa jika variabel bebas lainnya tetap atau tidak berubah, maka setiap peningkatan 1 mol/L NO akan menyebabkan kejadian HID sebesar 59%. Pengaruh ini tetap signifikan setelah dilakukan

70

pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD ( nilai p=0,001, nilai adjusted OR = 0,6 (95% CI 0,49-0,73). Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi ADMA memiliki tingkat signifikansi 0,16, nilai ini lebih besar dari 0,05, ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan ADMA memiliki pengaruh yang signifikan terhadap HID ditolak. Pengaruh ini tetap tidak signifikan setelah dikontrol dengan terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi yang di minum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD (nilai p=0,07) dengan adjusted OR 0,15 (95% CI 0,02-1,19). Walaupun pengaruh ini tidak signifikan tetapi terdapat kecenderungan bahwa setiap peningkatan 1 m/L ADMA akan menyebabkan kejadian HID sebanyak 15%. Hal yang sama terlihat pada kadar serum ET-1. Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi ET-1 memiliki tingkat signifikansi 0,99, nilai ini lebih besar dari 0,05, ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan ET-1 memiliki pengaruh yang signifikan terhadap HID ditolak. Pengaruh ini tetap tidak signifikan setelah dikontrol terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD (nilai p=0,85 adjusted OR 0,94 (95% CI 0,49-1,79)). Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi volume UF memiliki tingkat signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari 0,05, ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan volume UF memiliki pengaruh yang signifikan terhadap HID diterima. Nilai OR dari volume adalah 4,28, ini berarti bahwa jika

71

variabel bebas lainnya tetap atau tidak berubah, maka setiap peningkatan 1 liter UF akan menyebabkan kejadian HID sebesar 4,28 kali. Pengaruh ini tetap signifikan setelah dilakukan pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD (nilai p=0,001, nilai adjusted OR = 5,17 (95% CI 2,64-10,11). Dari Tabel 5.6 di atas terlihat pula bahwa koefisien regresi UF berlebih ( UF >4,8% BB kering) memiliki tingkat signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari 0,05, ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan UF berlebih memiliki pengaruh yang signifikan terhadap HID diterima. Nilai OR dari UF berlebih adalah 100,45 ini berarti bahwa jika variabel bebas lainnya tetap atau tidak berubah, maka setiap peningkatan 1 persen UF diatas BB kering akan menyebabkan kejadian HID sebesar 100 kali. Pengaruh ini tetap signifikan setelah dilakukan pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD (nilai p=0,001, nilai adjusted OR = 167,19 (95% CI 27,56-1013,91).

5.7 Analisis Jalur (Path analysis)


Untuk melihat hubungan kausal efek dari perubahan kadar NO, ET-1 dan ADMA serta volume UF yang saat HD terhadap kejadian HID, dilakukan analisis jalur. Pada analisis jalur ini variabel eksogen adalah: NO, ADMA, ET-1 dan volume UF sedangkan variabel endogen adalah kejadian HID. Berdasarkan dari teori dan telaah kepustakaan yang ada maka dibuatkan model seperti di bawah ini (Gambar 5.1).

72

z2

NO
z1

Volume Ultrafiltrasi
z3

Hipertensi Intradialitik

Endothelin-1

z4

ADMA

Gambar 5.1 Model Struktural/Path Diagram

Setelah dilakukan analisis terhadap model struktural/path diagram didapatkan df (Degree of freedom) = 3, artinya overidentified, maka estimasi dan penilaian model dapat dilakukan, atau model struktural dapat diproses lebih lanjut. Pada result terdapat kalimat minimum was achieved, dan probability level=0,28, menunjukkan bahwa AMOS telah berhasil mengestimasi varians dan kovarians yang ada. Pada bagian CMIN terlihat P = 0,3 menunjukkan model dapat dianggap fit dengan data yang ada. Pada bagian RMR dan GFI, terlihat bahwa angka GFI 0,9 dan AGFI 0,9 mendekati 1, juga disertai dengan angka RMR 0,1 yang relatif kecil (mendekati 0), semua ini mendukung pernyataan bahwa model struktural sudah fit dengan data yang ada, secara keseluruhan model struktural dapat

dianggap fit sehingga dapat dilakukan analisis jalur.

73

5.7.1 Hasil Analisis Jalur


16.97
z2

NO
-1.37 1.17 Volume Ultrafiltrasi 0.06 0.16 0.38
z3

0.11 -0.05
z1

Hipertensi Intradialitik 0.02

-0.03

Endothelin1
z4

-0.11

0.04

ADMA

Gambar 5.2 Hasil analisis jalur model struktural

Berdasarkan Gambar 5.2 di atas maka didapatkan efek langsung terhadap HID sebagai berikut; efek UF terhadap HID adalah 0,16 (16%), efek NO terhadap HID adalah 0,05 (5%), efek ET-1 terhadap HID adalah 0,02 (2%), efek ADMA terhadap HID adalah 0,11 (11%). Sementara itu efek langsung dari UF terhadap variabel lain adalah sebagai berikut: efek UF terhadap NO adalah 1,37 (137%), efek UF terhadap ADMA adalah 0,03 (3%), efek UF terhadap ET-1 adalah 0,06 (6%). Di sini terlihat bahwa UF memiliki efek paling kuat terhadap NO,

sedangkan variabel yang paling kuat berpengaruh terhadap HID adalah UF. Efek total yang paling kuat terhadap HID adalah efek dari UF (24%).

74

5.7.2 Hubungan antar konstruk


Besarnya efek masing-masing variabel bebas terhadap variabel tergantung dinyatakan dengan critical ratio (CR). Nilai CR didapatkan dari nilai estimasi yang dibagi dengan standard errornya (SE). Semakin tinggi nilai CR maka efeknya semakin signifikan. Setelah dilakukan analisis dengan AMOS, hubungan antar konstruk dapat dilihat pada Tabel 5.7 berikut ini.

Tabel 5.7 Hubungan antara 2 variabel konstruk No Variabel Regression weight Estimate CR Standardize regression weight -0,13 0,07 -0,34 0,40 -0,49 0,02 -0,06

1 2 3 4 5 6 7

Vol. UF ADMA Vol. UF ET-1 Vol. UF NO Vol. UF HID NO HID ET-1 HID ADMA HID

-0,26 0,04 -1,23 0,18 -0,06 -0,02 -0,14

-1,35 0,70 -3,70 5,74 -7,08 -0,25 -0,97

0,18 0,48 *** *** *** 0,80 0,33

Dari Tabel 5.7 di atas dapat disimpulkan bahwa: a) Terdapat hubungan yang signifikan antara volume UF dengan NO (CR 3,70; p <0,01). b) Terdapat hubungan yang signifikan antara volume UF dengan HID (CR 5,74; p <0,01). c) Terdapat hubungan yang signifikan antara NO dengan HID (CR -7,08; p <0,01).

75

d) Tidak ada hubungan yang signifikan antara volume UF dengan ADMA, antara volume UF dengan ET-1, antara ET-1 dengan HID, antara ADMA dengan HID.

Untuk melihat seberapa erat hubungan antar konstruk, dapat dilihat pada nilai Standardized regression weight. Dari analisis didapatkan bahwa faktor loading NO terhadap HID = 0,5. Hal ini berarti bahwa NO dapat menjelaskan kejadian HID. Ada korelasi yang erat antara NO dengan HID. Faktor loading volume UF terhadap NO serta faktor loading volume UF terhadap HID masingmasing 0,3 dan 0,4 berurutan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup erat antara volume UF dengan NO serta volume UF dengan HID. Tabel 5.8 di bawah ini menunjukkan besarnya hubungan antar variabel konstruk (ADMA, NO, ET-1 dan UF) dengan HID sebagai variabel tergantung.
Tabel 5.8 Hubungan antar variabel konstruk dengan HID sebagai variabel tergantung Efek NO HID ET-1 HID ADMA HID UF HID

Efek Total Efek langsung Efek tidak langsung

-0,05 -0,05 0,00

-0,02 -0,02 0,00

-0,12 -0,12 0,00

0,24 0,16 0,07

Dari Tabel 5.8 di atas terlihat bahwa volume UF mempunyai efek total dan efek langsung yang paling kuat terhadap kejadian HID.

76

Tabel 5.9 di bawah ini menunjukkan menunjukkan besarnya hubungan antara variabel konstruk UF sebagai variabel bebas dan ADMA, NO, ET-1sebagai variabel tergantung.

Tabel 5.9 Hubungan antar variabel konstruk dengan UF sebagai variabel bebas Efek Efek total Efek langsung Efek tidak langsung UF NO UF ADMA -0,03 -0,03 0,00 UF ET-1 0,06 0,06 0,00 UF HID 0,24 0,16 0,07

-1,37 -1,37 0,00

Dari Tabel 5.9 di atas terlihat bahwa efek total dan efek langsung yang paling kuat adalah efek volume UF terhadap NO, diikuti dengan efek volume UF terhadap HID. Dari Gambar 5.2 dan Tabel 5.9 di atas terlihat bahwa terdapat hubungan langsung yang signifikan dan erat antara volume UF dengan HID (CR 5,74; p <0,01, efek langsung 16% dan efek total 24%). Terdapat hubungan yang signifikan antara volume UF dengan NO (CR -3,70; p<0,01, efek langsung

137%). Terdapat hubungan langsung antara NO terhadap HID (CR -7,08; p<0,01, efek langsung 5%). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UF dan NO mempunyai efek yang signifikan terhadap HID, NO mempunyai efek yang paling signifikan terhadap HID (CR -7,08), dibandingkan dengan UF (CR 5,74). Sementara itu UF juga mempunyai efek yang signifikan terhadap NO (CR -3,70). Jadi dari gambar

77

tersebut pula dapat dilihat hubungan tidak langsung antara volume UF dengan HID melalui perubahan kadar NO serum.

78

BAB VI PEMBAHASAN

Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai pada pasien yang menjalani HD reguler. Pada penelitian ini ditemukan hampir sepertiga pasien yang menjalani HD reguler mengalami HID. Mekanisme terjadinya HID sampai sekarang belum jelas, sehingga menyulitkan dalam penatalaksanaan HID dan selanjutnya menyebabkan HD menjadi tidak adekuat serta akhirnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Penelitian yang dilakukan oleh Inrig et al., menemukan bahwa pada pasien dengan HD reguler yang

mengalami HID terdapat disfungsi endotel (Inrig et al., 2011). Penelitian yang kami lakukan mendukung penemuan tersebut yaitu terbukti adanya hubungan antara penurunan kadar NO serum dengan kejadian HID. Penurunan NO serum menunjukkan keterlibatan disfungsi endotel dalam kejadian HID. Temuan baru dari penelitian ini adalah terbukti adanya hubungan antara UF yang berlebihan saat HD dengan penurunan kadar NO dan kejadian HID. Pada penelitian ini juga didapatkan hubungan langsung antara volume UF dan HID, penurunan kadar NO dengan HID serta hubungan tidak langsung antara volume UF dengan HID melalui penurunan kadar NO.

6.1 Normalitas Data


Data karakteristik variabel pada populasi penelitian ini meliputi : NO, ADMA, ET-1, dan UF sebagai variabel bebas. Variabel tersebut telah diuji normalitasnya dengan Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov pada tingkat

78

79

kemaknaan = 0,05. Hasil pengujian variabel ADMA pre dan post HD, NO pre HD, UF berdistribusi normal oleh karena p>0,05. Sedangkan kadar NO post HD, ET-1 pre dan post HD tidak berdistribusi normal karena nilai p<0,05.

6.2 Karakteristik pasien dengan HID


Pada penelitian ini karakteristik subjek yang mengalami HID tidak jauh berbeda dengan kelompok non HID, tetapi pada kelompok HID didapatkan BB kering pasien lebih rendah daripada kontrol. Penelitian pada tahun 1995 mendapatkan bahwa pasien dengan HD reguler yang mengalami peningkatan tekanan darah saat UF umumnya pasien dengan overhidrasi dan dilatasi jantung (Cirit et al., 1995). Pada penelitian kohort yang dilakukan oleh Inrig tahun 2009, didapatkan bahwa pada pasien yang mengalami HID memiliki BB kering yang lebih rendah, peningkatan BB interdialitik lebih rendah, serum albumin, phospor lebih rendah daripada pasien yang tidak mengalami HID (Inrig et al., 2009). Tidak terdapat perbedaan pemakaian antihipertensi ace inhibitor, CCB, clonidine dan ARB pada kedua kelompok. Pada penelitian ini kami dapatkan pada kelompok kontrol lebih banyak yang memakai obat betabloker dibandingkan dengan kelompok HID. Pada kedua kelompok ini obat betabloker yang digunakan adalah bisoprolol. Bisoprolol merupakan obat yang sebagian besar tidak terdialisis, sehingga pada pasien yang memakai obat ini tekanan darah saat HD lebih terkontrol. Pemakaian obat ini dapat sebagai pilihan terapi pada pasien yang mengalami HID.

80

6.3 Prevalensi pasien HID


Proporsi dari kejadian HID pada pasien dengan HD reguler tidak diketahui dengan pasti (Rubinger et al., 2012). Penelitian-penelitian sebelumnya melaporkan dalam jumlah yang bervariasi. Belakangan ini proporsi kejadian HID cenderung meningkat. Pada penelitian ini ditemukan kejadian HID sebesar 32,1%. Pada penelitian lain dilaporkan kejadian HID Sekitar 5-15% dari pasien yang menjalani HD reguler. Pada penelitian kohort yang dilakukan pada 1748 pasien HD dimana HID didefinisikan bila terdapat peningkatan TDS post dialisis > 10 mmHg dan dilakukan pengamatan pada 3 sesi HD berturutan, didapatkan 12,2% pasien HD mengalami HID (Inrig et al., 2009). Penelitian kohort retrospektif terhadap 22.955 tindakan HD didapatkan prevalensi HID sebesar 21,3 per 100 tindakan, dengan median prosentase sebesar 17,8% (Van Buren et al., 2012). Pada penelitian lain yang dilakukan pada tahun 2012, Rubinger et al., melaporkan kejadian HID yang tinggi, yaitu sebesar 52% (57/108). Pada penelitian ini

definisi HID adalah bila terjadi peningkatan TDS post HD sebesar 10 mmHg atau hipertensi yang resisten terhadap UF yang terjadi setelah HD (Rubinger et al., 2012). Prevalensi yang berbeda-beda ini mungkin disebabkan karena perbedaan metode pengamatan dan perbedaan definisi HID yang dipakai. Salah satu kesulitan mendefinisikan HID adalah karena sampai saat ini belum ada target tekanan darah saat HD yang pasti, ahli (Levin et al., 2012). masalah ini masih menjadi perdebatan para

81

6.4 Perubahan kadar NO pada HD


Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar NO pre HD pada kelompok HID lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Post HD terjadi penurunan NO pada kedua kelompok. Pada kelompok HID didapatkan penurunan NO yang lebih banyak daripada kelompok kontrol. Hasil ini menyerupai hasil yang didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Chou et al., 2006 didapatkan kadar NO yang jauh lebih tinggi yaitu pada kelompok yang prone hipertensi. Post HD juga didapatkan penurunan NO pada kedua kelompok. Pada penelitian ini juga didapatkan penurunan NO yang jauh lebih besar pada kelompok hipertensi dibandingkan kelompok kontrol (Chou et al., 2006).

6.5 Hubungan antara kadar NO serum dan HID


Nitric oxide adalah antagonis natural dari katekolamin. Nitric oxide disintesis oleh enzim Nitric Oxide Synthase (NOS), dikeluarkan oleh sel endotel ke

sirkulasi. Pada penelitian in vitro didapatkan bahwa aktivitas NOS meningkat saat darah diekspose pada membran dialiser (Fliser et al., 2003). Dengan ditemukannya hubungan antara kadar NO serum dengan kejadian HID, penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya. Penelitian oleh Chou et al., membandingkan antara 30 pasien dengan HID dan 30 orang kontrol, pada pasien yang prone terhadap hipertensi terdapat peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik dan penurunan signifikan NO relatif terhadap ET-1 pada saat akhir HD (Chou et al., 2006). Nitric oxide dibentuk di berbagai lokasi, produksi lokal menentukan aktivitas fisiologisnya. Pada PGK terjadi disfungsi endotel yang ditandai dengan

82

menurunnya produksi NO oleh endotel. Penelitian ini juga mendukung teori bahwa salah satu mekanisme terjadinya HID adalah karena adanya disfungsi endotel yang salah satunya ditandai dengan penurunan kadar serum NO. Penurunan kadar serum NO pada pasien saat HID, dan adanya hubungan antara NO dan kejadian HID menunjukkan peranan disfungsi endotel dalam patogenesis HID. Penurunan NO menyebabkan terjadi gangguan vasodelatasi otot polos, sehingga terjadi vasokonstriksi yang berperan dalam peningkatan tekanan darah saat HD.

6.6 Perubahan kadar ADMA serum saat HD


Pada penelitian ini didapatkan rata-rata kadar ADMA predialisis lebih tinggi pada kelompok HID dibandingkan kelompok kontrol. Post HD terjadi penurunan ADMA pada kelompok HID, sedangkan pada kelompok kontrol justru terjadi peningkatan ADMA. Pada penelitian yang dilakukan oleh Young et al., terhadap pasien CKD stadium 3 dan 4 didapatkan kadar ADMA 0.70 0.25 mol/L (Young et al., 2009). Hasil ini sedikit lebih tinggi daripada kadar ADMA pada pasien dengan HD reguler yang kami dapatkan (0,330,22 M/L). Pada penelitian terhadap 227 pasien CKD didapatkan kadar ADMA serum 0.46 0.12 mol/L (Fliser et al., 2004). Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian oleh Raj et al., didapatkan kadar ADMA pada pasien dengan HD reguler jauh lebih tinggi daripada pada penelitian ini yaitu 105.3 25.2 M/L. Tidak jelas mengapa pada penelitian ini didapatkan kadar ADMA serum pasien dengan HD reguler sangat tinggi.

83

6.7 Hubungan antara kadar ADMA dan HID


Pada penelitian ini tidak terbukti adanya hubungan yang signifikan antara ADMA dan kejadian HID. Pengaruh ini tetap tidak signifikan setelah dilakukan adjusted terhadap jumlah obat antihipertensi yang di minum dan perubahan kadar Na dan Ca saat HD. Penelitian epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara ADMA dan hipertensi, hiperkolesterol, dan DM (Abedini et al., 2010). Asymmetric Dymethylarginine adalah inhibitor kompetitif endogen dari NOS, menyebabkan meningkatnya resistensi perifer dan meningkatnya tekanan darah. Pada penelitian ini tidak terbukti adanya hubungan antara ADMA dan kejadian HID, bahkan terjadi hal yang sebaliknya yaitu kecenderungan setiap peningkatan ADMA menyebabkan penurunan kejadian HID, walaupun hubungan ini tidak signifikan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Raj et al., terhadap 27 pasien dengan HD reguler, dievaluasi peranan NO dan ADMA terhadap variasi tekanan darah intradialisis. Pada penelitian ini didapatkan kadar NO tidak signifikan berkorelasi dengan perubahan MAP, dan kadar ADMA tidak berbeda pada kelompok pasien dengan hipotensi intradialisis maupun hipertensi intradialisis (Raj et al., 2002). Pada penelitian ini ADMA tidak terbukti berperan terhadap kejadian HID mungkin disebabkan oleh kadar ADMA yang ditemukan pada penelitian ini lebih rendah daripada penelitian-penelitian sebelumnya. Rerata ADMA pada penelitian ini adalah 0,330,25 M/L sedangkan Raj et al menemukan kadar ADMA adalah 105,325,2 M/L.

84

6.8 Perubahan kadar ET-1 pada HD


Pada penelitian ini didapatkan rata-rata kadar ET-1 predialisis maupun post HD lebih rendah pada kelompok HID dibandingkan kelompok kontrol. Post HD terjadi peningkatan kadar serum ET-1 yang hampir sama pada kelompok HID dan non HID. Hasil ini sedikit berbeda dengan yang didapatkan pada penelitian sebelumnya. Pada saat HD berakhir pada penderita HID terjadi peningkatan signifikan dari kadar ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006). Pada penelitian yang dilakukan terhadap 44 pasien HD reguler ditemukan bahwa kadar ET-1 pada pasien HD lebih tinggi daripada kontrol orang sehat. Pada individu dengan HID terjadi peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah HD (Shafei et al., 2008). Hasil ini berbeda dengan yang kami dapatkan dimana kadar ET-1 baik pre maupun post HD pada semua kelompok jauh lebih rendah.

6.9 Hubungan antara kadar ET-1 dan HID


Pada penelitian yang kami lakukan terjadi peningkatan kadar ET-1 post HD pada kedua kelompok, dan tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar ET-1 dan kejadian HID. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Chou et al., didapatkan kadar ET-1 pre maupun post HD lebih tinggi pada kelompok yang prone terhadap hipertensi (Chou et al., 2006). Penelitian lain mendapatkan kadar ET-1 menurun secara signifikan pada kelompok hipotensi intradialisis, dan meningkat signifikant pada kelompok HID (Raj et al., 2002). Pada penelitian yang dilakukan oleh Shafei et al., 2008 didapatkan peningkatan yang signifikan kadar ET-1 post HD pada kelompok pasien dengan rebound hipertensi saat HD, disimpulkan bahwa perubahan ET-1 mungkin terlibat pada

85

pathogenesis dari rebound hipertensi dan hipotensi saat HD (Shafei et al., 2008). Hasil ini berbeda dengan penelitian yang kami lakukan yaitu tidak didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara perubahan kadar serum ET-1 dan

kejadian HID. Hal ini mungkin disebabkan karena kadar ET-1 pre maupun post HD kelompok HID justru lebih rendah daripada kelompok kontrol.

6.10 Hubungan antara volume UF dengan kadar ET-1, NO, dan ADMA
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mencari hubungan antara volume UF saat HD dengan perubahan kadar ET-1, NO dan ADMA. Pada penelitian ini dengan analisis jalur didapatkan hubungan yang signifikan antara volume UF dengan NO (nilai p <0,01) dan tidak ada hubungan antara volume UF dengan ADMA dan ET-1. Pada saat dilakukan UF yang berlebih terjadi penurunan NO sehingga mungkin hal ini menyebabkan tidak terjadi respon vasodelatasi yang diperantarai oleh NO, sehingga hal ini mungkin dapat menjelaskan sebagian dari terjadinya HID melalui keterlibatan endotel. Penemuan ini mendukung teori yang menyatakan disfungsi endotel sebagai salah satu etiologi dari HID. Belum ada penelitian yang menjelaskan bagaimana mekanisme UF yang berlebih menyebabkan penurunan NO.

6.11 Hubungan antara volume UF dengan HID


Volume UF selama HD 1 sampai HD 6 pada kelompok HID lebih besar daripada dan non HID. Pada kelompok HID saat terjadi peningkatan TDS post HD pada hampir semua sesi HD. Sedangkan pada kelompok non HID pada sebagian besar sesi HD terjadi penurunan TDS post HD, yaitu pada sesi HD (HD

86

3,4,5,dan 6), sedangkan pada HD 1 dan HD 2 terjadi sedikit peningkatan TDS post HD. Umumnya dengan ultrafiltrasi terjadi penurunan tekanan darah, pada sebagian kasus justru terjadi peningkatan tekanan darah. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mencari hubungan antara volume UF dan UF yang berlebih terhadap kejadian HID. Pada penelitian ini didapatkan volume UF dan UF yang berlebih memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian HID. Saat dilakukan UF yang

berlebih, terjadi penarikan cairan dalam jumlah yang banyak dari kompartemen darah, hal ini mungkin menyebabkan terjadi aktivasi simpatis yang menyebabkan kenaikan tekanan darah saat HD. Rubinger et al., pada penelitiannya terhadap 108 pasien dengan HD reguler mendapatkan terjadi overaktivitas simpatis pada pasien yang mengalami HID. Overaktivitas simpatis merupakan mekanisme yang penting yang menjelaskan kejadian HID. Pencetus dari terjadinya peningkatan aktivitas simpatis pada pasien dengan HD masih perlu di teliti lebih jauh (Rubinger et al., 2012). Penelitian kohort retrospektif terhadap 22195 tindakan HD pada JanuariAgustus 2010, menghubungkan HID (didefinisikan sebagai peningkatan TDS pre HD ke post HD sebesar 10 mmHg) dengan ultrafiltration rate yaitu volume UF dibagi dengan lama sesi HD (menit) mendapatkan pada pasien dengan HID mendapatkan kecepatan filtrasi yang lebih rendah daripada yang tanpa HID (10,4 vs 12,2 ml/menit, p 0,02) (Van Buren et al., 2012). Pada penelitian yang dilakukan oleh Kovacik et al., terhadap 23 pasien dengan HD reguler mendapatkan volume UF berhubungan kuat dengan tekanan

87

nadi postdialisis (Kovacik et al., 2003). Belum diteliti mengenai hubungan antara volume UF dengan kejadian HID.

6.12

Analisis Jalur (Path analysis)


Untuk melihat hubungan kausal efek dari perubahan kadar NO, ET-1 dan

ADMA serta volume UF yang dilakukan terhadap kejadian HID, dibuat model struktural dan dianalisis dengan analisis jalur menggunakan program AMOS. Variabel eksogen atau independent adalah: NO, ADMA dan ET-1 sedangkan variabel endogen atau dependent adalah HID. Setelah analisis didapatkan hubungan yang signifikan antara volume UF saat HD dengan kadar serum NO, antara volume UF saat HD dengan HID, dan antara kadar serum NO dengan HID. Tidak ada hubungan antara, ET-1 dengan HID, antara ADMA dengan HID, volume UF dengan ADMA, dan volume UF dengan ET-1. Setelah dilakukan analisis keeratan hubungan (Standardized Regression weight) didapatkan ada korelasi yang erat antara NO dengan HID, dan terdapat hubungan yang cukup erat antara volume UF dengan NO serta volume UF dengan HID. Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa volume UF saat HD memiliki efek total dan efek langsung yang paling kuat terhadap kejadian HID. Juga

didapatkan bahwa volume UF memiliki efek total dan langsung paling kuat terhadap kadar serum NO dan kejadian HID berturutan. Sehingga dengan analisis jalur dapat disimpulkan hubungan antara NO, ADMA, ET-1, UF dan HID sebagai berikut: bahwa terdapat hubungan langsung yang signifikan dan erat antara volume UF saat HD dengan kejadian HID. Terdapat hubungan yang signifikan antara volume UF saat HD dengan kadar serum NO. Terdapat hubungan

88

langsung antara kadar serum NO dengan kejadian HID dan terdapat hubungan tidak langsung antara volume UF saat HD perubahan kadar serum NO. Penelitian sebelumnya meneliti mengenai keterlibatan endotel dalam patofisiologi terjadinya HID. Penelitian ini menganalisis fungsi endotel pada pasien dengan HID didapatkan penurunan sel progenitor endoter dan fase dilatasi dari arteri brakial lebih rendah dibandingkan dengan kontrol , hal ini menegaskan bahwa disfungsi endotel terjadi pada pasien HID (Inrig et al., 2011) Pada penelitian yang kami lakukan mendapatkan keterlibatan salah satu marker disfungsi endotel yaitu NO, dalam terjadinya HID. Penemuan ini mendukung penelitian sebelumnya mengenai keterlibatan disfungsi endotel dalam terjadinya HID. Dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa salah satu faktor yang menyebabkan penurunan NO adalah UF yang berlebihan saat hemodialisis. Dengan path analysis ini dapat dijelaskan patogenesis terjadinya HID yaitu melalui perubahan kadar NO dan UF yang berlebihan saat HD. Dari temuan ini sangat bermanfaat bagi penderita yang sering mengalami HID untuk penentuan UF yang tepat saat HD sehingga dapat mencegah kejadian HID. Disarankan pula untuk pasien-pasien yang overload tidak dilakukan penurunan atau penarikan cairan yang berlebihan dalam satu sesi HD, disarankan penurunan BB bertahap dalam beberapa kali HD. Dengan menurunnya kejadian HID nantinya akan meningkatkan adekuasi HD dan selanjutnya akan menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien yang menjalani HD reguler. dengan kejadian HID melalui

89

6.13

Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan di ruang hemodialisis Divisi Ginjal dan Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSUP Sanglah Denpasar, dengan merekrut penderita secara konsekutif, bukan secara random. 2. Penentuan berat kering penderita adalah secara klinis, tidak menggunakan alat yang dapat mengukur volume cairan dalam tubuh. 3. Pengukuran tekanan darah penderita adalah secara manual, bukan automatik. 4. Penentuan kelompok kasus dan kontrol hanya berdasarkan pengamatan hanya 6 kali HD berturut-turut.

6.14

Kebaruan Penelitian
Dari penelitian yang telah kami lakukan, maka dapat diuraikan bahwa

kebaruan dari penelitian ini adalah: 1. Ultrafiltrasi mempunyai peranan terhadap kejadian HID. 2. Peran itu mungkin diperantarai oleh penurunan kadar NO serum. Mekanisme HID ini belum pernah didapatkan pada penelitian sebelumnya.

90

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Ultrafiltrasi yang berlebih saat HD berperan terhadap kejadian HID, ini dibuktikan dengan adanya hubungan yang signifikan antara UF yang berlebih dengan kejadian HID. 2. Peranan UF yang berlebih terhadap kejadian HID diperantarai oleh penurunan kadar NO serum saat HD. Hal ini terbukti dari adanya hubungan langsung antara kadar NO serum dengan kejadian HID dan hubungan tidak langsung antara volume UF saat HD dengan kejadian HID melalui penurunan kadar NO. 3. Perubahan kadar ADMA dan ET-1 tidak berperan dalam kejadian HID. Hal ini diperkirakan disebabkan karena rerata kadar ADMA dan ET-1 pada penelitian ini lebih rendah daripada penelitian-penelitian sebelumnya.

7.2 Saran
Dengan keterbatasan penelitian yang dilakukan, maka sebagai penelitian lanjutan dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan antara HID dan disfungsi endotel melalui pemeriksaan marker disfungsi endotel yang lebih akurat. 2. Usaha-usaha untuk menekan HID melalui penentuan UF yang tepat saat HD dapat digunakan oleh para klinisi dalam penanganan kasus HID.

90

91

DAFTAR PUSTAKA
Abedini, S., Meinitzer, A., Holme, I., Marz, M., Weihrauch, G., Fellstrm, B., Jardine, A., and Holdaas, H. 2010. Asymmetrical Dimethylarginine is Associated with Renal and Cardiovascular Outcomes and All-cause Mortality in Renal Transplant Recipients. Kid Int, 77: 4450. Aird, W.C., 2007. Phenotypic Heterogeneity of the Endothelium : I. Structure, Function, and Mechanisms. Circ Res,100:158-73. Agarwal, R., and Light, R.P. 2010. Intradialytic Hypertension is a Marker of Volume Excess. Nephrol Dial Transplant, 25(10): 335561. Agarwal, R., and Weir, M.R. 2010. Dry-Weight: A Concept Revisyed in an Effort to Avoid Medication-Directed Approaches for Blood Pressure Control in Hemodialysis Patients. Clin J am Soc Nephrol, 5:1255-60. Agarwal, R., Metiku, T., Tegegne, G., Light, R.P., Bunaye, Z., Bekele, D.M., and Kelley, K. 2008. Diagnosing Hypertension by Intradialytic Blood Pressure Recordings. Clin J Am Soc Nephrol, 3: 136472. Agustriadi, O. 2009. Hubungan antara Perubahan Volume Darah Relatif dan Episode Hipotensi Intradialitik Selama Hemodialisis pada Gagal Ginjal Kronik (karya akhir). Denpasar: Universitas Udayana. Amerling, R.C.G., Dubrow, A., Levin, N.W., Psheroff, R., 1995. Complications During Hemodialysis. Stamford, CT: Appleton and Lange. Balk, R.A., Casey, L.C. 2000. Sepsis and Septic Shock. Critical Care Clinics. Bassenge, E., Zanzinger, J. 1992. Nitrates in different vascular beds, nitrate tolerance, and interactions with endothelial function. Am J Cardiol; 70:23B9B. Baylis, C. 2006. Arginine, arginine analogs and nitric oxide production in chronic kidney disease, Nature Clinical Practice. Nephrology;2(4): 20920. Baylis, C. 2008. Nitric Oxide Deficiency in Chronic Kidney Disease. Am J Physiol Renal Physiol, 294:F1-F9. Beiber, S.D. dan Himmelfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schriers Disease of the Kidney. 9th edition. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C., Schrier, R.W. editors. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia:2473505. Bussemarker, E., Passauer, J., Reimann, D., Schulze, B., Reichel, W., and Gross, P. 2002. The Vascular Endothelin System is not Overactive in Normotensive Hemodialysis Patients. Kid Int, 62: 940-48. Chazot, C., and Jean, G. 2010. Intradialytic Hypertension: It Is Time to Act. Nephron Clin Pract;115:c18288.

92

Chou, K.J., Lee, P.T., Chen, C.L., Chiou, C.W., Hsu, C.Y., Chung, H.M., Liu, C.P., and Fang, H.C. 2006. Physiological changes during hemodialysis in patients with intradialysis hypertension. Kid Int;69: 183338. Cirit, M., Akicek, F., Terzioglu, E., Soydas, C., Ok, E., Ozbasli, C.F., Basci, A., Mees, D. 1995. Paradoxical rise in blood pressure during ultrafiltration in dialysis patients. Nephrol Dial Transplant;10:1417-20. Corretti, M.C., Anderson, T.J., Benjamin, E.T. 2002. Guidelines for the ultrasound assessment of endothelial-dependent flow-mediated vasodilation of the brachial artery: a report of the International Brachial Artery Reactivity Task Force. J Am Coll Cardiol;39:257-65. Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook of Dialysis. 4th ed. Phildelphia. Lipincott William & Wilkins. Dhaun, N., Goddard, J., Webb, D.J. 2006. The Endothelin System and Its Antagonis in Chronic Kidney Disease. J Am Soc Nephrol;17:943-55 Dhaun, N., Goddard, J., Kohan, D.E., Pollock, D.M., Schiffrin, E.L., Webb, D.J. 2008. Role of Endothelin-1 in Clinical Hypertension : 20 Years On. Hypertension; 52:452-59. Ding, H., Triggle, C.R. 2005. Endothelial cell dysfunction and the vascular complications associated with type 2 diabetes: assessing the health of the ium. Vasc Health Risk Manag;1:55-71. Felner, S.K. 1993. Intradialytic Hypertension: II. Semin Dial;6:371-73. Fliser, D., Kielstein, J.T., Haller. H., BodeBoGer, S.M. 2003. Asymmetric dimethylarginine: A cardiovascular risk factor in renal disease? Kid Int;63(84):. S3740. Fliser, D., Kronenberg, F., Kielstein, J.T., Morath, C., BodeBoger, S.M., Haller,H., and Ritz, E. 2004. Asymmetric Dimethylarginine and Progression of Chronic Kidney Disease: The Mild to Moderate Kidney Disease Study. J Am Soc Nephrol 16: 245661. Fliser, D. 2011. The dysfunctional endothelium in CKD and in cardiovascular disease: mapping the origin(s) of cardiovascular problems in CKD and of kidney disease in cardiovascular conditions for a research agenda, Kid Int Supplements;1: 69 Flythe, J.E., Kimmel, S.E., and Brunelli, S.M. 2011. Rapid fluid removal during dialysis is associated with cardiovascular morbidity and mortality. Kid Int;79:25057. Gunal, A.I., Karaca, I., Celiker, H., Iikay. E., and Duman, S. 2002. Paradoxical rise in blood pressure during ultrafiltration is caused by increased cardiac output. J Nephrol.15, 42-7. Guzik, T.J., dan Harrison, D.G. 2006. Vascular NADPH oxidases as drug targets for novel antioxidant strategies. Drug Discovery Today; 11 (11-12): 52433. Hansson, G.K. Inflammation, atherosclerosis, and coronary artery disease. N Engl J Med 2005; 352: 168595

93

Hwang, S.J., Ballantyne, C.M., Sharrett, A.R.1997. Circulating adhesion molecules VCAM-1, ICAM-1, and E-selectin in carotid atherosclerosis and incident coronary heart disease cases: the Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) study. Circulation;96:4219-25. Indonesian Renal Registry (IRR), 2013. 5th Report of Indonesian Renal Registry 2011. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI). Inrig, J.K., Oddone, E.Z., Hasselblad, V., Gillespie, B., Patel, U.D., Reddan, D., Toto, R., Himmelfarb, J., Winchester, J.F., Stivelman, J., Lindsay, R.M., and Szczech, L.A. 2007. Association of intradialytic blood pressure changes with hospitalization and mortality rates in prevalent ESRD patients. Kid Int : 71; 45461. Inrig, J.K., Patel, U.D., Toto, R.D., Szczech, L.A. 2009. AssLeeociation of Blood Pressure Increases During Hemodialysis With 2-Year Mortality in Incident Hemodialysis Patients: A Secondary Analysis of the Dialysis Morbidity and Mortality Wave 2 Study. Am J Kidney Dis, November ; 54(5): 88190. Inrig JK. 2010a. Intradialytic Hypertension: A Less-Recognized Cardiovascular Complication of Hemodialysis. Am J Kidney Disease;55:580-89. Inrig, JK. 2010b. Antihypertensive agents in hemodialysis patients; a current perspective. Semin Dial;23:290-97. Inrig, J.K., Buren, P.V., Kim, C.,Vongpatanasin, W., Povsic, T.J., Toto, R.D., 2011. Intradialytic Hypertension and its Association with Endothelial Cell Dysfunction. Clin J Am Soc Nephrol (8): 2016-24. K/DOQI: Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agent in Chronic Kidney Disease. In Guideline 2 In: Evaluation of Patient with CKD or Hypertension. CKD 2006: 1-18. KDIGO, 2013. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kid Int Supplements (3); 18-27. Kielstein, J.T., dan Zoccali, C. 2005. Asymmetric dimethylarginine: a cardiovascular risk factor and a uremic toxin coming of age?. Am J Kid Dis; 46(2): 186202. Krapf, R., Hulter, H.N. 2009. Arterial hypertension induced by erythropoietin and erythropoiesis-stimulating agents (ESA). Clin J Am Soc Nephrol. Feb;4(2):470-80 Kohan, D.E. 2010. Endothelin, Hypertension, and Chronic Kidney Disease: New Insight. Curr Opin Nephrol Hypertens; 19(2):134-39. Kovacic, L., Roguljic, V., Kovacic, B., Bacic, T., Bosnjak. 2003. Ultrafiltration Volume is Associated with Changes in Different Blood Pressure Clinical Parameters in Chronically Hemodialyzed Patients. The Internet Journal of Internal Medicine. 3; 2:10.5580/2f3 Landry, D.W., and Oliver, J.A. 2006. Blood pressure instability during hemodialysis. Kid Int: 69, 171011.

94

Levin NW, Kotanko P, Eckardt KU, et al. 2012. Blood pressure in chronic kidney disease stage 5D-report from a Kidney Disease Improving Global Outcomes controversies conference. Kidney Int; (77)273-84. Locatelli, F., Cavalli, A., and Tucci, B. 2010. The growing problem of intradialytic Hypertension. Nephrol; 6: 418. Madiyono, B. 2010. In: Sastroasmoro S dan Ismael S., editors. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. 3rd. Ed. Sagung Seto.p 302-31. Martens, C.R., dan Edwards, D.O. 2011. Peripheral Vascu;ar Dysfunction in Chronic Kidney Disease. Cardiology Research and Practice;2011:1-9. McGregor, D.O., Buttimore, A.L., Lynn, K.L., Yandle, T., and Nicholls, M.G., 2003. Effects of long and short hemodialysis on endothelial function: A shortterm study. Kid Int(63); 70971. McIntyre, C.W. 2009. Effects of hemodialysis on cardiac function. Kid Int : 76, 37175. Mees, D. 1996. Rise in blood pressure during hemodialysis-ultrafiltration: a paradoxical phenomenon? Int J Artif Organs;19:569-70. Morris, S.T., McMurray, J., Spiers, A., and Jardine, A.G. 2001. Impaired endothelial function in isolated human uremic resistance arteries. Kid Int; 60: 107782. Nissenson, A.R., and Fine, R.N. 2008. Handbook of Dialysis Therapy. 4th ed. Saunders Elsevier. Philadelphia. Oberg, B.P., McMenamin, E, Lucas, F.L. 2004. Increased prevalence of oxidant stress and inflammation in patients with moderate to severe chronic kidney disease. Kid Int;. 65(3): 100916. Peixoto AJ. 2007. Can diagnostic marker predict blood pressure response in hypertensive dialysis patients? Semin Dial;20:411-15. Pradhan, A.D., Manson, J.E., Rifai, N. 2001. C-ractive protein, interleukin-6 and risk to developing type 2 diabetes mellitus. JAMA;286:327-34. Raj, D., Vincent, B., Simpson, K., Sato, E., Jones, K.L., Welbourne, T.C., Levi, M.V., Blandon, P., Zager, P., and Robbins, R.A. 2002. Hemodynamic changes during hemodialysis: Role of nitric oxide and endothelin. Kid Int;61: 697704. Raka, W.I.G., dan Suwitra, K. 2011. Paradoxical post dialytic blood pressure reaction and association with dialysis modality. Buku Proceeding The 5th Scientific meeting on hypertension - InaSH 2011. Rizzioli, E., Incasa, E., Gamberini, S., and Manfredini, R. 2009. Management of intradialytic hypertension: old problem, old drug? Intern Emerg Med; 4:271 72 Rubinger, D., Backenroth, R., Sapoznikov, D. 2012. Sympathetic Activation and Baroreflex Fuction during Intradialytic Hypertensive Episodes. PloS ONE; 7(5): 1-12

95

Sarkar, SR., Kaitwatcharachai, C., Levin, N.W. 2005. Complications during hemodialysis. McGraw-Hill Professional. Shafei, E.M., El-Nagar, G.F., Selim, M.F., Sorogy. 2008. Is There a role for Endothelin-1 in the hemodynamic changes during hemodialysis? Clin Exp. Nephrol. 12.370-5. Sibal, L., Agarwal, S.C., Home, P.D. 2010. The role of asymmetric dimethylarginine (ADMA) in endothelial dysfunction and cardiovascular disease . C urr Cardiol Rev; 6 : 82 90. Spranger, J., Kore, A., Mohlig, M. Inflammatory cytokines and the risk to develop type 2 diabetes: results of the the prospective population-based European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC)-Postdam Study. Diabetes;52:812-7. Suhardjono. 2006. Proteinuria Pada Penyakit Ginjal Kronik: Mekanisme dan Pengelolaannya. Peranan Stres Oksidatif dan Pengendalian Faktor Risiko pada Progresi Penyakit Ginjal Kronik serta Hipertensi, JNHC 2006; 1-7. Tatsuya, S., Tsubakihara, Y., Fujii, M., Imai, E. 2004. Hemodialysis-associated hypotension as an independent risk factor for two-year mortality in hemodialysis patients. Kidney Int; 66:121220. United States Renal Data System (USRDS). 2011. Annual Data Report: Atlas of Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease in the United States, National Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, Bethesda, MD, 2011. Van Buren, P.N., Kim ,C., Toto, R.D., Inrig, J.K. 2012. The Prevalance of Persistent Intradialytic Hypertension in a Hemodialysis Population with Extended Follow up. Int J Artif Organs. 2012;35(12):1031-8 Vervoort, G., Lutterman, J.A., Smits, P. 1999. Transcapillary escape rate of albumin is increased and related to haemodynamic changes in normoalbuminuric type 1 diabetic patients. J Hypertens; 17(12):1911-6. Weir, M.R., and Jones, H. 2010. Drug Therapy for Hypertension in Hemodialysis Patients. US Nephrology:5(1):457 Xiao, S., Wagner, L., Schmidt, R.J., and Baylis, C. 2001. Circulating endothelial nitric oxide synthase inhibitory factor in some patients with chronic renal disease. Kid Int; 59: 146672. Yilmaz, M.I., Saglam, M., Caglar, K. 2006. The determinants of endothelial dysfunction in CKD: oxidative stress and asymmetric dimethylarginine. Am J Kid Dis; 47(1):4250. Young, J.M., Terrin, N., Wang, X., Greene., T., Beck., G.J., Kusek, J.W, Collins., A.J, Sarnak, M.J., and Menon, V. 2009. Asymmetric Dimethylarginine and Mortality in Stages 3 to 4 Chronic Kidney Disease. Clin J Am Soc Nephrol;4: 111520.

96

Zhang, Q.L., and Rothenbacher, D. 2008. Prevalence of chronic kidney disease in population-based studies: Systematic review. BMC Public Health; 8:117;113.

97

Lampiran 1. Persetujuan (Informed Consent)

PENJELASAN YANG DISAMPAIKAN KEPADA PENDERITA SEBELUM MENANDATANGANI FORMULIR PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN

Pendahuluan
Persetujuan (Informed Consent) pada hakekatnya adalah untuk menghargai hak individu untuk memperoleh penjelasan yang cukup dan tepat berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakans ebelum yang bersangkutan / calon peserta penelitian membuat keputusan yang benar. Informed consent seyogyanya mengandung hal-hal penting sebagai berikut: 1. Penjelasan rinci dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. 2. Adanyan jaminan bahwa penderita mendapatkan kebebasan untuk

memutuskan apakah ikut serta aau menolak, oleh karena secara moral maupun legal penderita memiliki hak untuk itu.

Penelitian ini tentang :

PERANAN ULTRAFILTRASI TERHADAP HIPERTENSI INTRADIALITIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN KADAR: ENDOTHELIN-1, ASYMMETRIC DIMETHYLARGININ DAN NITRIC OXIDE Latar Belakang
Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Penderita GGK semakin meningkat jumlahnya, tahun 2005 diperkirakan mengenai 2 juta orang, dan tahun 2010 diperkirakan meningkat menjadi 2,5 juta orang. Saat ini hampir setengah juta penderita GGK menjalani tindakan

hemodialisis (HD) untuk memperpanjang hidupnya (Nissenson dan Fine, 2008).

98

Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD.

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi (UF) atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler, namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension /HID (Agarwal dan Weir, 2010; Davenport et al., 2008). Hipertensi intradialitik adalah suatu kondisi berupa terjadinya peningkatan tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah selama dan pada saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD (Chazot, 2010). Tekanan darah penderita bisa normal saat memulai HD, tetapi kemudian meningkat sehingga pasien menjadi hipertensi saat dan pada akhir HD. Bisa juga terjadi pada saat memulai HD tekanan darah pasien sudah tinggi dan meningkat pada saat HD hingga akhir dari HD. Peningkatan tekanan darah ini bisa berat sampai terjadi krisis hipertensi. Frekuensi dari HID dilaporkan sekitar 10% pada pasien HD. Pada penelitian kohort yang dilakukan pada pasien HD didapatkan 12,2% pasien HD mengalami HID. Episode HID mempengaruhi survival pasien, mortalitas meningkat jika tekanan darah post HD meningkat yaitu sistolik 180 mmHg dan diastolik 90 mmHg (rr =1,96 dan 1,73 berturut-turut). Pada pasien dengan peningkatan tekanan darah 10 mmHg saat HD didapatkan peningkatan risiko rawat inap di rumah sakit dan kematian (Inrig et al., 2009). Pada pasien dengan gagal jantung biasanya dengan tekanan darah yang rendah, saat HD juga terjadi peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah pada pasien ini tidak mencapai level hipertensi seperti pada pasien yang tidak gagal jantung. Peningkatan tekanan darah ini juga meningkatkan risiko kematian dengan peningkatan 10 mmHg saat HD, walaupun tekanan darah sistolik pra HD 120 mmHg (Inrig et al., 2009). Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID seperti aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena

99

diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan ultrafiltrasi (UF), overaktif dari simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), fluid overload, peningkatan cardiac output (COP), obat antihipertensi yang ditarik saat HD dan

vasokonstriksi yang diinduksi oleh endothelin-1 (ET-1). Di antara berbagai faktor tersebut yang paling umum diketahui sebagai penyebab HID adalah stimulasi RAAS oleh hipovolemia yang disebabkan oleh UF yang berlebihan saat HD dan variasi dari kadar elektrolit terutama kalsium dan kalium (Chazot, 2010). Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah, besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB) penderita antar waktu HD dan target BB kering penderita yaitu BB di mana penderita merasa nyaman, tidak ada sesak dan tidak ada tanda-tanda kelebihan cairan. Pada penderita dengan HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar waktu HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD sekitar 2 liter. Tetapi umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi 2 kg malah sampai 5 kg. Ultrafiltrasi yang dilakukan sesuai dengan kenaikan BB interdialitik, sehingga pada kondisi ini dilakukan UF lebih dari 2 kg. Pada HD dengan excessive UF atau UF berlebih banyak timbul masalah baik gangguan hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson dan Fine, 2008). Pada saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang aktivitas

RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot, 2010). Asumsi yang berbeda dikemukan oleh Chou dkk yang melakukan penelitian terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dan 30 orang kontrol, didapatkan bahwa pada kelompok HID tidak didapatkan perubahan yang bermakna dari kadar katekolamin, dan renin tetapi didapatkan peningkatan dari resistensi vaskular sistemik dan penurunan kesimbangan rasio (NO/ET-1) (Chou et al., 2006). Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah nitric oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA) nitric oxide dan endothelin-1

100

yang merupakan inhibitor endogen dari nitric oxide synthase dan endothelin-1 (ET-1) suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah khususnya termasuk kejadian HID (Locatelli et al, 2010). Disfungsi endotel dapat menyebabkan perubahan terhadap tekanan darah saat HD, baik hipotensi maupun hipertensi intradialitik Perubahan ini berhubungan dengan keterkaitan antara

endotel, sistem saraf simpatis dan kontrol dari resistensi vaskular perifer (Raj et al., 2002). Terdapat perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 saat HD antara kontrol dan penderita yang prone terhadap hipertensi. Pada saat HD berakhir pada penderita HID terjadi peningkatan signifikan dari kadar ET-1 dan penurunan signifikan pada rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006). Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa pada individu dengan HID terjadi peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah HD (Shafey et al., 2008). Pada penelitian Cohort case control 25 pasien HD reguler yang mengalami episode HID, didapatkan hubungan antara HID dan disfungsi endotel. Pada penelitian ini didapatkan bahwa disfungsi endotel dapat menjelaskan sebagian penyebab kejadian HID (Inrig et al., 2011). Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Banyak hal yang belum dapat diterangkan baik patofisiologi, mekanisme dan strategi terapi yang tepat pada HID. Dari uraian di atas kami ingin mencari hubungan antara UF yang berlebih saat HD dengan terjadinya episode HID melalui keterlibatan disfungsi endotel. Kami ingin mengetahui hubungan antara UF yang berlebih saat HD dengan disfungsi endotel pada pasien yang mengalami endotel HID. Disfungsi

ditandai dengan peningkatan konsentrasi ET-1 dan ADMA serta

penurunan NO serum.

Rumusan Masalah :
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat berikut yaitu: dirumuskan masalah sebagai

101

1. Apakah peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular? 2. Apakah perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular? 3. Apakah penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular? 4. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular? 5. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum ? 6. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum? 7. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum?

Tujuan Penelitian Tujuan umum


Tujuan umum penelitian ini adalah : Untuk mengetahui peranan UF dalam patogenesis terjadinya HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan

menurunnya NO atau meningkatnya ET-1 atau meningkatnya ADMA) pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis reguler.

Tujuan khusus
Untuk membuktikan : 1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

102

2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID. 3. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID. 4. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID. 5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum. 6. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum. 7. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum.

Manfaat Penelitian Manfaat akademis


Jika pada penelitian ini terbukti bahwa UF yang berlebih saat HD berperan dalam terjadinya HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya kadar ADMA atau meningkatnya ET-1 atau menurunnya NO) pada penyandang HD reguler, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah berkaitan dengan UF yang berlebih sebagai dasar patogenesis HID melalui disfungsi endotel.

Manfaat praktis
Secara praktis, jika terbukti UF yang berlebih saat HD sebagai faktor risiko kejadian HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya kadar ADMA atau meningkatnya ET-1 atau menurunnya NO) pada pasien HD reguler maka usaha-usaha untuk menekan disfungsi endotel melalui penentuan UF yang tepat dapat digunakan oleh para klinisi dalam penanganan kasus HID.

103

Tatalaksana penelitian :
1. Prosedur yang dilaksanakan pada penderita sesuai dengan protap rutin dan penunjang lainnya maupun pengelolaan / perawatan 2. Prosedur tambahan pada penelitian ini adalah pengambilan darah vena untuk pemeriksaan ADMA, NO dan ET-1 Pembiayaan terkait : Poin 1 : adalah ditanggung penderita Poin 2 : adalah ditanggung peneliti

Risiko selama prosedur penelitian berlangsung :


Akibat langsung dari penelitian ini (pengambilan darah vena) tidak ada, hanya berupa rasa sakit saat pengambilan sampel darah

Hal-hal lain yang juga perlu mendapatkan perhatian :


1. Meskipun prosedur penelitian telah dilaksanakan secara cermat, apabila terjadi risiko atau ketidaknyamanan selama penelitian berlangsung yang diakibatkan langsung oleh pengambilan darah maka akan dirundingkan bersama. 2. Penelitian ini bersifat sukarela maka penderita dapat mengundurkan diri jika terdapat hal-hal lain yang dirasakan merugikan. 3. Hasil penelitian sepenuhnya akan dipakai untuk kepentingan keilmuan, tidak untuk kepentingan publikasi (media masa). 4. Penjelasan ini, serta surat persetujuan dibuat rangkap dua; satu untuk penderita dan satu untuk peneliti.

Penutup :
Untuk dapat berlangsungnya penelitian dengan baik, maka mutlak diperlukan kerjasama yang baik antara penderita / keluarga dan peneliti.

104

Surat Persetujuan Ikut Serta dalam Penelitian Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama Umur Jenis Kelamin Etnia Pekerjaan Alamat No. KTP No.Telp/HP Nama Pendamping No. Tel/HP Pendamping : ..................................................................................... : ..................................................................................... : ..................................................................................... : ..................................................................................... : ..................................................................................... : ..................................................................................... : ..................................................................................... : ..................................................................................... : ..................................................................................... : .....................................................................................

Setelah mendapatkan keterangan secukupnya dan memahami serta menyadari manfaat maupun risiko penelitian tentang :

PERANAN ULTRAFILTRASI TERHADAP HIPERTENSI INTRADIALITIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN KADAR: ENDOTHELIN-1, ASYMMETRIC DIMETHYLARGININ DAN NITRIC OXIDE
Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian tersebut serta mematuhi segala ketentuan penelitian yang sudah dipahami, dengan catatan apabila suatu saat merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini.

Denpasar, Mengetahui Penanggung jawab penelitian Yang menyetujui Peserta penelitian

2012

( ) Saksi Pihak Peneliti

(.) Saksi Pihak Peserta Penelitian

( )

( )

Lampiran 2

105

Prosedur pemeriksaan ADMA (Asymmetric Dimethylarginine) produk DLD Diagnostics) Cat. No. 17 EA 201-96 Konsentrasi ADMA adalah kadar ADMA dalam serum yang diukur dengan quantittatif sandwich enzyme immunoassay (ELISA) satuannya mol/l.
1. Metode Alat Reagensia Sampel : ELISA ( Enzym Link Immuno Assay) : Micro reader panjang gelombang 450 nm : ADMA : Serum 0.5 CC , Stabilitas sampel 6 bulan pada suhu 70 o C

2. Prinsip : Quantitative sandwich enzyme immunoassay technique Monoclonal antibodi spesifik untuk ADMA di precoated ke dalam Microplate precoated antibodi Serum + enzyme linked poliklonal ( rabbit anti-ADMA antiserum ) Reaksi Ag Ab. Pencucian (untuk melepaskan ikatan antigen / free antigen berlebih ) + anti-rabbit / peroxidase, inkubasi conjugate solution, Inkubasi Pencucian, + Substrate TMB/peroxidaase komplek warna + Stop solution Antibodi yang terikat pada solid phase ADMA dibaca pada panjang gelombang 450 nm. Jumlah antibodi yang terikat pada phase solid ADMA jumlahnya berbanding terbalik dengan konsentrasi ADMA dalam sampel.

3. Langkah Pemeriksaan: a. Persiapkan reagen Larutan Pencuci: 50 ml larutan buffer pencuci diencerkan dengan aqua dest hingga 500 ml. Reagen penyeimbang : reagen penyeimbang dilarutkan dengan 5 mL aquadest, dicampur perlahan dan diletakkan di atas roll mixer selama 30 menit. Selama pencampuran diusahakan agar tidak terbentuk gelembung. Reagen Asilasi : satu botol reagen ini dilarutkan dengan dimetilformamida (DMF) dan dikocok selama 5 menit di atas orbital shaker. Reagen yang dibuat harus baru sebelum digunakan.

b. Persiapan sampel Ke dalam plate reaksi dimasukkan 20 L larutan standar A sampai F, 20 L kontrol 1 dan 2 serta 20 L sampel pasien.

106

Setiap sumur pada plate reaksi diisi dengan 25 L larutan penyangga asilasi. Setiap sumur pada plate reaksi diisi dengan 25 L larutan penyeimbang. Plate reaksi diletakkan di atas shaker selama 10 menit. Setiap sumur pada plate reaksi diisi dengan 25 L larutan asilasi yang baru dibuat. Inkubasi dilakukan di atas shaker selama 30 menit pada suhu ruang (20oC). Sebanyak 1.5 mL larutan penyeimbang dilarutkan ke dalam 9 mL aquadest, dicampur dan dipipet 100 L ke dalam setiap sumur reaksi. Inkubasi dilakukan selama 45 menit pada suhu ruang di atas shaker.

c. Prosedur ELISA ADMA.

Standar, kontrol dan sampel yang telah dipreparasi dipipet masingmasing 50 L ke dalam sumur strip mikrotiter yang telah dilabel. Setiap sumur reaksi diisi dengan 50 mL antiserum ADMA dan dishaker sebentar. Mikroteter strip ditutup dengan plastik perekat dan diinkubasi selama 15-20 jam pada suhu 2 8oC. Larutan dalam mikrotiter dihisap dengan mesin pencuci atomatis dengan menggunakan larutan pencuci yang telah dibuat dan dibilas sebanyak 4 kali. Setiap sumur reaksi ditambahkan 100 L enzim konjugat, selanjutnya diinkubasi selama 60 menit pada temperatur ruang di atas orbital shaker. Dicuci dan dibilas 4 kali dengan larutan pencuci. Setiap sumur reaksi diisi dengan 100 L substrat dan diinkubasi selama 20 30 menit pada temperatur ruang dan di atas orbital shaker. Ditambahkan 100 mL larutan stop ke dalam setiap sumur reaksi. Larutan dibaca dengan reader ELISA (photometer) pada panjang gelombang 450 nm dan panjang gelombang reference 620 nm.

d. Interprestasi Hasil Bisa diinterpretasikan setelah data hasil pemeriksaan ADMA diolah SPSS sesuai spesimen dari subyek yang diteliti

107

Lampiran 3

Prosedur Pemeriksaan Human Endothelin-1 (R&D systems) Cat No. : BBE 5 Konsentrasi ET-1 adalah kadar endotelin satu dalam serum yang diukur dengan ELISA satuannya pq/ml. Pemeriksaan Human Endothelin 1 (R&D systems) dengan menggunakan Cat. No. : DET 100. 1. Metode : ELISA Alat : Micro reader panjang gelombang 450 nm
Reagensia Sampel : Endothelin - 1 : Serum 0.5 CC , Stabilitas sampel 6 bulan pada suhu - 70 o C

2. Prinsip Pemeriksaan Pemeriksaan ini menggunakan teknik quantitatif sandwich enzyme immuno-assay. Sebelumnya antibody monoklonal spesifik untuk ET 1 telah di-coated dalam microplate. Standard, sample, control, dan conjugate dipipet ke dalam well dan keberadaan ET 1 akan disandwich (dipasangkan) oleh immobilized antibody dengan antibody enzyme-linked monoklonal spesifik untuk ET 1. Setelah dilakukan pencucian untuk menghilangkan substansisubstansi yang tidak terikat dan atau reagen antibody-enzyme, selanjutnya larutan substrat ditambahkan ke dalam well dan kemudian terbentuklah pembentukan warna yang sebanding dengan jumlah ET 1 yang terikat. Pembentukan warna dihentikan dan kemudian intensitas warna diukur. 3. Penanganan Reagen - Wash Buffer Encerkan 20 mL wash buffer konsentrat ke dalam Aquabidest untuk persiapan 500 mL Wash Buffer.
Calibrator Diluent RD5-48 Larutkan 5 ml calibrator diluent RD5-48 dalam Aquabidest sehingga larutan akhir 25 ml. Larutan Substrate Color Reagen A dan Color Reagen B di campur dengan perbandingan volume yang sama. Dibuat 15 menit sebelum digunakan. Lindungi dari sinar matahari. Endothelin-1 Standard Larutkan Endothelin-1 Standard dengan 1 mL aquabidest. Larutan tersebut merupakan Larutan stock standard dengan konsentrasi 250 pg/ml. Biarkan minimal 15 menit dengan pengocokan.

108

Pipet 900 L Calibrator Diluent masukkan ke dalam masing-masing tabung. Gunakan larutan stok untuk mendapatkan serial larutan seperti gambar di bawah ini.

4. Prosedur Kerja 1. Siapkan semua reagen, sampel, dan standard. 2. Tambahkan 150 l Assay Diluent RD1-105 ke dalam well. 3. Tambahkan 75 l standard, kontrol, dan sampel ke dalam masing-masing well, campur dengan baik. Pastikan penambahan reagen tak terputus dan selesai dalam waktu 10 menit. 4. Tutup plate dengan plate sealer yang tersedia dan inkubasi pada suhu kamar selama 1 jam dengan shaker. 5. Buang isi dari tiap well dan cuci dengan menambahkan 400 l Wash Buffer ke dalam masing-masing well. Ulangi proses tersebut sebanyak 3 kali (total pencucian sebanyak 4 kali). Setelah pencucian terakhir, buang isi dari well, buang sisa Wash Buffer dengan mengetuk-ngetukkan plate secara terbalik pada lap kertas yang bersih. 6. Segera tambahkan 200 l Conjugate ke dalam masing-masing well. Tutup plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar selama 3 jam dengan shaker. 7. Ulangi proses no. 5 8. Segera tambahkan 200 l Substrate Solution ke dalam masing-masing well. Tutup plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar selama 30 menit, lindungi dari cahaya. 9. Tambahkan 50 l Stop Solution ke dalam masing-masing well. 10. Tentukan optical density dari tiap well dalam waktu 30 menit menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 450 nm dan panjang gelombang koreksi pada 540 nm atau 570 nm.

109

Lampiran 4

Pemeriksaan NITRIC OXIDE (NO) (Cayman) Konsentrasi NO adalah kadar nitric oxide dalam serum yang diukur dengan Colory metri/ Cayman satuannya M. Prosedur pemeriksaan Nitrate / Nitrite, Cat. No. 7 80001
1 . Metode Alat Reagensia : Colorimetric Assay : Micro reader panjang gelombang 450 nm : Nitrate/Nitrite Cayman
Nitarte reductase

1.

Prinsip

: Nitrate( NO3- )

Nitrite ( NO2-)

di + Sulfanilamide(Griess Reagen I) & N-ethylenediamine (Gries Regaenn II) Azo compound product ( deep purple). Ukur absorbent dari azo compound secara photomethrik pada panjang gelombang 450 nm. Konsentrasi Nitrite (NO2-) yg terukur sebanding dengan azo compound yg terbentuk. 2. Langkah Pemeriksaan: a. Pengambilan spesimen 5 cc darah vena tanpa antikogulan yang diambil secara aseptic, biarkan darah membeku. Kemudian disentrifuse 3000 RPM/10 menit. Pisahkan serum dimasukkan ke dalam 3 cup fezer masing masing 500 ul, kemudian diberi label dan disimpan di frezer (-20 oC). Sampel serum dikirim ke LITBANG Laboratorium Riset Eksoterik Pusat Prodia Pusat di Jakarta disimpan di suhu 70 o C. b. Penanganan Reagen 1. 2.

Assay Buffer Encerkan Assay Buffer vial sampai 100 ml dengan air Ultrapure. Nitrate Reductase (vial #2) Larutkan isi vial dengan 1.2 ml Assay Buffer. Tetap dalam ice selama digunakan. Simpan di -20C jika tidak digunakan. Enzyme Cofactors (vial #3) Larutkan isi vial dengan 1.2 ml Assay Buffer. Tetap dalam ice selama digunakan. Simpan di -20C jika tidak digunakan. Nitrate Standard (vial #4) Larutkan isi vial dengan 1.0 ml Assay Buffer. Simpan di 4C jika tidak digunakan (jangan dibekukan).

3.

4.

110

5.

Nitrite Standard (vial 5) Larutkan isi vial dengan 1.0 ml Assay Buffer. Simpan di 4C jika tidak digunakan (jangan dibekukan). Griess reagent R1 and R2 (vial 6 dan 7) Tidak perlu penambahan air atau Assay Buffer. Vial sudah siap untuk digunakan. Simpan di 4C jika tidak digunakan (jangan dibekukan).

6.

c. Prosedur Kerja 1. Tambahkan 200 l air atau Assay Buffer ke dalam well. 2. Tambahkan 80 l sampel/larutan sampel ke dalam well. Jumlah volume final disesuaikan sampai 80 l dengan Assay Buffer solution. 3. Tambahkan 10 l enzyme cofactor mixture (vial 3) ke dalam well. 4. Tambahkan 10 l Nitrate reduktase mixture (vial 2) ke dalam well. 5. Tutup plate dengan plate cover, inkubasi pada suhu kamar selama 1 jam. 6. Tambahkan 50 l Griess Reagent R1 (vial 6) ke dalam well. 7. Segera Tambahkan 50 l Griess Reagent R2 (vial 7) ke dalam well. 8. Biarkan terjadi perubahan warna selama 10 menit pada suhu ruang. Plate tidak perlu ditutup. 9. Tentukan absorbansi pada panjang gelombang 540 nm atau 550 nm.

111

Lampiran 5. Uraian Jadwal Kegiatan


Jadwal Penelitian dilakukan pada bulan September 2012 sampai Oktober 2012

Uraian Jadwal kegiatan Rencana Penelitian


NO. Kegiatan 7 1. 2 3 4 5 6 7 Survey Sosialisasi penelitian Persiapan alat-alat penelitian Persiapan subyek penelitian Pelaksanaan Penelitian Pengolahan dan Analisis Data Pembuatan laporan hasil penelitan x x x x x x x x x x x x x x 8 9 10 Bulan 11 12 1 2 3 4

112

Lampiran 6. Rincian Biaya


Biaya yang akan dikeluarkan dalam penelitian ini adalah: a. Biaya Bahan dan Alat 1) Kit pemeriksaan NO, ET-1, ADMA Rp. 14.400.000,00 2) Pemeriksaan Na, K, Ca b. Biaya Operasional 1) Honor Pembantu peneliti 6 orang @ 50.000 selama 21 hari c. Biaya ATK 1) 20 rim kertas A4 berat 80 gram 2) Alat-alat tulis 3) Foto kopi kuesioner d. Biaya tidak terduga Rp. Rp. Rp. 600.000,00 200.000,00 200.000,00 Rp Rp. 42.000.000,00 6.300.000,00 Rp. 93.000.000,00@

Rp. 2.750.000,00

Total biaya

Rp. 145.050.000,00

Total biaya yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebesar Rp. 145.050.000,00

113

Lampiran 7.

KUESIONER PENELITIAN

PERANAN ULTRAFILTRASI TERHADAP HIPERTENSI INTRADIALITIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN KADAR: ENDOTHELIN-1, ASYMMETRIC DIMETHYLARGININ DAN NITRIC OXIDE

I.

IDENTITAS 1. Nama : .................................................................... 2. Sex : .................................................................... 3. Umur : .................................................................... 4. Suku Bangsa : .................................................................... 5. Alamat : .................................................................... 6. Nomor telp. : .................................................................... 7. Pendidikan : .................................................................... 8. Pekerjaan : .................................................................... 9. Nama pendamping : .................................................................... 10. No. Telp Pendamping .................................................................... : ANAMNESIS 1. Riwayat Penyakit: a. HD pertama kali : . (Tgl/Bln/Tahun) b. Lama HD : . (bulan) c. Jadwal HD : . d. Riwayat Penyakit : i. DM : ya/tidak ii. Penyakit Jantung : ya/tidak iii. Batu saluran kemih : ya/tidak iv. Hipertensi : ya/tidak v. MRS dalam 6 bulan terakhir : ya/tidak 2. Riwayat sosial a. Minum kopi : ya/tidak b. Merokok : ya/tidak c. Minum alkohol : ya/tidak

II.

114

III. PEMERIKSAAN FISIK Pre HD Diperiksa tanggal : Oleh : BB Kering : ..Kg BB saat ini : . Kg Tinggi Badan : . cm Lingkar Pinggang : .. cm Tekanan Darah : .. mmHg Frekuensi Pernafasan : .. x/mnt Denyut nadi : .. x/menit Keadaan Umum : ( ) Baik ( ) Sedang ( ) Buruk Sianosis : ( ) ada ( ) Tidak ada Anemia : ( ) ada ( ) Tidak ada Telinga : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan Hidung : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan Gigi mulut : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan Tenggorokan : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan Leher : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan JVP : .. JANTUNG Auskultasi : a. S1 : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan b. S2 : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan c. Murmur : ( ) ada ( ) Tidak ada Thrill : ( ) ada ( ) Tidak ada Ictus cordis : intercostals .. kiri / kanan, garis .. PARU Suara nafas : /.. Ronchi : /.. Whexxing : /.. ABDOMEN Hepar : ( ) Tidak teraba ( ) Teraba Limpa : ( ) Tidak teraba ( ) Teraba Asites : ( ) ada ( ) Tidak ada EKSTREMITAS Edema : ( ) ada ( ) Tidak ada AV shunt : ( ) ada ( ) Tidak ada Bila ada, Lokasi : .

115

IV.

ELEKTROKARDIOGRAM ( ) Normal ( ) Q Waves, lokasi: .................................................................................... ( ) ST Elevasi, lokasi: ................................................................................ ( ) ST Depresi, lokasi: .................................................................................. ( ) T Inversi, lokasi: .................................................................................... FOTO ROTGENT THORAK ( ) Normal ( ) sembab paru ( ) Kardiomegali ( ) Efusi Pleura USG GINJAL ( ) contracted kidney ( ) Policystic kidney PEMERIKSAAN LABORATORIUM
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9. 10. 11. Jenis Pemeriksaan Hemoglobin (mg%) BUN (mg/dl) SC (mg/dl) Albumin (mg/dl) Gula Darah (mg/dl) Natrium Calsium ion Kalium (meq/L) ET-1 (pq/ml) ADMA (mol/L) NO (M) Nilai Pre HD Post HD

V.

VI.

( ) Batu Ginjal ( ) Hideonefrosis

VII.

VIII.

DIAGNOSIS

116

IX. TERAPI 1. Asam Folat 2. Calsium carbonat 3. Lantanum 4. Keto acid 5. Captopril 6. Lisinopril 7. Ramipril 8. losartan 9. Irbesartan 10. Candesartan 11. Betabloker 12. Clonidin 13. Diuretik 14. CCB 15. Statin 16. Allupurinol 17. Eritropoetin a. Ya b. Tidak 18. Besi Parenteral a. Ya b. Tidak

( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( (

) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya ) Ya

( ) Tidak ( ) Tidak ( ) Tidak ( ) Tidak , Dosis .. , Dosis .. , Dosis .. , Dosis .. , Dosis .. , Dosis .. , Dosis .. , Dosis .. , Dosis .. , Dosis .. , Dosis .. , Dosis ..

( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( (

) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak ) Tidak

Jenis ..

Dosis

Jenis ..

Dosis .

X. PENGAMATAN PENDERITA a. Data pengamatan 6 kali HD


HD BERAT BADAN PRE HD 1. 2. 3. 4. 5. 6. POST HD TEKANAN DARAH PRE HD POST HD ULTRAFILTRASI

117

b. Data kejadian selama HD (pengamatan 6 kali HD) TINDAKAN PENGAMATAN HD (MENIT) 1 0 (Pre HD) 30 60 90 120 150 180 210 240 Post HD 2. Pre HD 30 60 90 120 150 180 210 240 Post HD 3 Pre HD 30 60 90 120 150 180 210 240 Post HD Berat badan UFR UF QD QD

118

TINDAKAN PENGAMATAN HD (MENIT) 4. Pre HD 30 60 90 120 150 180 210 240 Post HD 5. Pre HD 30 60 90 120 150 180 210 240 Post HD 6. Pre HD 30 60 90 120 150 180 210 240 Post HD

Berat badan

UFR

UF

QD

QD

119

XI. Hipertensi Intradialitik

: ( ) Ya

( ) Tidak

XII. Perubahan hasil laboratorium pre post HD No 1 2 3 4 5 Pemeriksaan Endothelin-1 Nitric Oxide ADMA
Natrium Calsium ion

Tetap

Meningkat

Menurun

120

Lampiran 8. Penelitian Yang Berhubungan dengan HID Yang Memiliki Kemiripan Dengan Rencana Penelitian

No. 1.

Journal
Clin J Am Soc Nephrol 6: 2016 2024, 2011

Judul
Intradialytic Hypertension and its Association with Endothelial Cell Dysfunction Physiological changes during hemodialysis in patients with intradialysis hypertension

Peneliti
Jula K. Inrig,et al

Metode penelitian
Penelitian case-control cohort study , sampel 25 pasien hemodialisis (HD) tanpa HID (kontrol ) dan 25 pasien HD dengan HID

Kesimpulan
Intradialytic hypertension is associated with endothelial cell dysfunction

2.

Kidney International (2006) 69, 18331838

K-J Chou et al

Penelitian case control. Sampel 30 pasien HD yang prone terhadap HID, dan kontrol 30 pasien HD yang tidak prone terhadap HID

3.

Kidney International, Vol. 63 (2003), pp. 709715

Effects of long and short hemodialysis on endothelial function: A short-term study

David O. Mcgregor et al ,

randomized crossovercontrolled trial sampel : 8 pasien dengan HD reguler

The physiological changes in intradialysis hypertension patients were characterized by inappropriately increased PVR through mechanisms that did not involve sympathetic stimulation or renin activation but might be related with altered NO/ET1 balance. hemodialysis caused a temporary improvement in endothelial dependent vasodilation, may have been due in part to a reduction in plasma ET-1 ,and t Hcy and an increase in adrenomedullin concentration across hemodialysis
Pre-dialysis FENO is elevated in patients with dialysis-induced hypotension and may be a more reliable than NT as a marker for endogenous NOactivity in dialysis patients. Altered NO/ET-1 balance may be involved in the pathogenesis of rebound hypertension and hypotension during dialysis.

4.

Kidney International, Vol. 61 (2002), pp. 697704

Hemodynamic changes during hemodialysis: Role of nitric oxide and endothelin

Dominic S.C. Raj et al

The serumnitrate_nitrite (NT), fractional exhaled NOconcentration (FENO), larginine (L-Arg), NGNG-dimethyll-arginine (ADMA) and endothelin (ET-1) profiles were stud ied in 27 end-stage renal disease (ESRD) patients on HD and- 6 matched controls.

121

Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian

122

Lampiran 10. Ethical Clearance

You might also like