You are on page 1of 72

------------------------

------------------
-------------

Bersama
Pers Mahasiswa
Sehimpun Tulisan

Haris Firdaus

1
Tentang Kumpulan Ini

Sejak kali pertama terdaftar sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP


Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, saya langsung tertarik pada aktivitas pers
mahasiswa. Hanya berselang beberapa hari sesudah orientasi mahasiswa baru,
saya mendatangi sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) VISI FISIP UNS
dan mendaftar sebagai anggota organisasi itu. Selama kurun 2004-2008, saya aktif
di organisasi itu dengan ragam peran yang berbeda. Saya mengalami banyak
kejadian, menjalani beraneka ragam proses yang kadang memusingkan kadang
membahagiakan.
Mulai tahun 2005, saya belajar menulis dengan cara mencatat hal-hal yang
terjadi di sekitar saya. Salah satu ihwal yang mulai saya tuliskan adalah mengenai
pers mahasiswa. Pengalaman berorganisasi di LPM VISI FISIP UNS bisa
dikatakan sangat membekas pada saya sehingga tak terasa cukup banyak hal
berkait organisasi itu, atau aktivitas pers mahasiswa secara umum, yang kemudian
saya tuliskan.
Tulisan-tulisan itulah yang kemudian saya susun menjadi kumpulan ini
dengan niat sederhana: sekadar sebagai dokumentasi tulisan yang berserakan.
Secara keseluruhan, kumpulan ini berisi sejumlah tulisan saya tentang jurnalisme,
pers mahasiswa, dan LPM VISI FISIP UNS. Tulisan-tulisan ini dibuat dalam
rentang 2005-2008 dan dipublikasikan di banyak tempat. Orang-orang yang bukan
anggota LPM VISI FISIP UNS mungkin akan kesusahan membaca bagian ketiga
kumpulan ini yang secara khusus membahas organisasi itu. Oleh karenanya,
bagian itu bisa saja dilewatkan begitu saja.
Secara khusus, tulisan-tulisan ini saya persembahkan untuk semua kawan
saya di LPM VISI FISIP UNS. Selamat menjalani proses!

Sukoharjo, Agustus 2009


Haris Firdaus

2
Daftar Isi

Halaman Judul-------------1
Tentang Kumpulan Ini----------2
Daftar Isi------------------------------3

Bagian I. Jurnalisme--------------------4
a. Jurnalisme, Percakapan, dan Penggambaran Peta---------5
b. Sumpah Prajurit Asa Bafagih-----------10
c. Harmoko dan “Anak-anak”--------------------12
d. Pil Pahit Jurnalisme Indonesia--------------14
e. Jurnalisme Warga: Beberapa Serakan Pikir---------16
f. Mencari Sosialisme Fabian yang “Hilang”---------21

Bagian II. Pers Mahasiswa--------------------25


a. “Bulan Madu” Sudah Berakhir?-------------26
b. Pers Mahasiswa dan Keberpihakan-------------29
c. Pers Mahasiswa, Bisa Apa?----------------------32
d. Fungsi Kontrol Persma dan Kegiatan Non Penerbitan----34
e. Salah Makna Soal Penerbitan dan Non Penerbitan--------37
f. Mencari Posisi, Meraih Idealisme---------------------39
g. Pers Gerakan Berorientasi Internal----------------42
h. KEJ, Pers Mahasiswa, dan Dilema-------------45

Bagian III. Lembaga Pers Mahasiswa VISI------------------------49


a. Memoar Pengusiran---------------------------50
b. Memoar Pengusiran (2)---------------------------52
c. Mencoba Menafsir “Nilai-nilai Ke-VISI-an”----------55
d. Kaderisasi dan Soal yang Belum Selesai--------------58
e. Tentang Pedoman Sistem Kaderisasi---------------62
f. Tentang Hierarki Hukum dan Kekuasaan----------------65
g. Logika Progresif--------------------------68

Biodata-----------------------------------72

3
Jurnalisme

4
Jurnalisme, Percakapan, dan Penggambaran Peta
/1/
Di Kopenhagen, Denmark, ada suatu masa ketika jurnalisme tidak dimulai
dari sebuah sikap ingin tahu—seperti pernah dimaklumkan Goenawan Mohamad.
Di kota itu, sekitar tahun 1840-an, jurnalisme dimulai dengan sebuah kebencian
dan berakhir dengan berita skandal yang mencemooh.
Syahdan, di tahun-tahun itu, terdapat sebuah majalah mingguan bernama
Corsair yang dengan menggebu terus-menerus memuat berita skandal. Hampir
semua tokoh di Kopenhagen telah jadi sasaran cemooh dari majalah tersebut.
Anehnya, berkala itu segera saja berkembang pesat. Selama lima tahun awal
penerbitannya, Corsair yang dipimpin Meyer Goldschmidt itu menjadi majalah
yang paling luas penyebarannya di seluruh pelosok Denmark.
Soren Aabye Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis paling terkemuka
dari Denmark, semasa hidupnya pernah punya pengalaman buruk dengan Corsair.
Kierkegaard yang awalnya mendapat pujian dari majalah itu, pada satu waktu
mengatakan bahwa dirinya lebih suka mendapat cemooh dari mingguan itu.
Mendengar keinginan Kierkegaard, Corsair pun mengabulkannya.
Kierkegaard kemudian jadi salah satu tokoh Kopenhagen yang selalu
dicemooh. Selama delapan bulan berturut-turut Corsair terus-menerus menyerang
Kierkegarard dengan tulisan maupun karikatur mereka. Secara dramatis, berkala
lain pun kemudian ikut terpancing untuk turut serta dalam aksi penyerangan
tersebut.
Pada titik paling ekstrem, Kierkegaard merasa bahwa ia tak mungkin lagi
memerbaiki opini umum tentang dirinya. Ia beranggapan tak bakal bisa tampil di
hadapan umum kecuali dalam citra sebagai korban cemoohan Corsair. Meski
begitu, Kierkegaard diam dan hanya sekali saja menulis bantahan.
Tapi di luar sikapnya secara pribadi, ia kemudian mengembangkan sebuah
pemikiran yang menganggap pers dan media—dan oleh karenanya barangkali
jurnalisme—adalah sebuah “demoralisasi”. Pers, melalui jurnalisme, baginya
adalah sebuah mesin pembentuk pendapat umum yang meniadakan pendapat
individu sebagai pribadi yang berdaulat.
Kierkegaard memang seorang pemikir yang beranggapan bahwa individu
seharusnya menjadi pribadi yang bebas dan independen. Pada titik tertentu, filsuf
itu memang menolak bersatunya individu ke dalam sebuah kelompok bila
persatuan itu terjadi hanya lantaran individu tersebut gagal tampil dengan
kesejatiannya dan dengan tanggung jawabnya sendiri.

/2/
Bagaimana sebenarnya jurnalisme diawali? Sekitar tiga ribu tahun yang
lalu, jurnalistik barangkali dimulai ketika Amenhotep III—seorang Firaun di
Mesir—mengirimkan ratusan pesan kepada para perwira yang ia perintah di
provinsi-provinsi kekuasaannya untuk mengabarkan peristiwa apa saja yang
terjadi di ibu kota.
Seribu tahun kemudian, di Roma, Julius Caesar “menerbitkan” Acta
Diurna yang berisi tindakan-tindakan senat, peraturan-peraturan pemerintah, juga

5
berita kelahiran dan kematian. Acta Diurna—yang secara harfiah diartikan
sebagai “tindakan-tindakan harian” atau “catatan-catatan harian”—biasanya
ditempelkan di tempat-tempat umum dan dipercaya sebagai cikal-bakal media
massa di dunia.
Di abad 17, cikal-bakal jurnalisme modern baru benar-benar lahir.
Jurnalisme lahir dari sebuah tempat yang di jaman ini tak memiliki relasi intens
dengan jurnalisme: kafe, pub, atau kedai minuman. Di Inggris dan Amerika
Serikat, ketiga tempat itu dulu adalah pusat interaksi sosial antara para pendatang
dengan penduduk kota setempat. Interaksi sosial yang terutama berwujud
perbicangan itulah awal mula jurnalisme.
Para pemilik bar bertindak sebagai “wartawan” dengan memoderatori
perbincangan dan juga mencatat di sebuah buku ketika ada pendatang jauh yang
membawa kabar-kabar penting.
Pada awal mulanya, berita adalah sebuah percakapan di kafe. Surat kabar
pertama juga muncul dari kafe-kafe macam itu pada 1609 ketika percetakan-
percetakan mulai mencetak berita perkapalan, gosip, dan argumen politik yang
sumber utamanya adalah catatan-catatan milik para pemilik bar dan kafe.
Lalu evolusi mulai timbul dan barangkali terlalu panjang untuk bicara
tentang bagaimana jurnalisme bisa sampai ke dalam bentuknya yang sekarang.
Yang barangkali mendesak untuk ditanyakan—terutama dalam sebuah forum
yang diberi label “diklat jurnalistik”—adalah apa itu jurnalisme dan atau
jurnalistik.
Tapi, benarkah sebuah definisi begitu penting untuk dikemukakan? Saya
tak terlampau yakin meski juga tak sepenuhnya menolak.
Definisi jurnalistik atau jurnalisme bisa dengan gampang ditemukan dalam
berbagai buku teks yang tipis-tipis itu. Secara mudah, jurnalisme, menurut Curtis
D. MacDougall, adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan
melaporkan perstiwa. Definisi macam ini terus terang saja memang tak terlampau
memuaskan. Cuma, sebagai rambu-rambu, definisi tadi tetap saja berguna paling
tidak agar kita yang awam tak kehilangan pegangan.
Yang paling penting sebenarnya adalah memahami apa tujuan dari
jurnalisme. Dalam pokok soal ini, mau tak mau kita mesti menoleh pada Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel. Dua wartawan yang mengguncang abad 21 dengan
“sembilan elemen jurnalisme”-nya itu, sepakat untuk menyebut bahwa tujuan
utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar
mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri.
Di sinilah keduanya bersimpang jalan dengan Kierkegaard. Kalau
Kierkegaard—oleh karena pengalamannya berhadapan dengan pers dan
pemikirannya yang eksistensialis—beranggapan bahwa pers akan menghilangkan
kemerdekaan indvidu dalam mengambil sikap, Kovach dan Rosenstiel
beranggapan pers bisa dan memang seharusnya mendorong individu jadi merdeka.
Tampak bahwa mereka memiliki tujuan yang sama: bagaimana agar
seorang individu bisa merdeka. Cuma, tujuan itu harus direalisasikan dengan jalan
lain. Kierkegaard percaya jurnalisme hanya akan menghambat pencapaian
eksistensi manusia yang merdeka, Kovach dan Rosenstiel percaya jurnalisme bisa
mendukung arahan itu.

6
/3/
Sembilan elemen jurnalisme “ditemukan” Kovach dan Rosenstiel setelah
mereka memraktekkan jurnalisme dalam maknanya yang paling awal: percakapan.
Percakapan dengan 3.000 orang dan melibatkan kesaksian lebih dari 300
wartawan itulah yang kemudian memunculkan sembilan elemen jurnalisme.
Seperti perkataan mereka, buku The Elements of Jounalism: What
Newspeople Should Know and The Public Expect terutama bukan sebuah argumen
tapi lebih mirip deskripsi dari budaya jurnalisme yang muncul setelah keduanya
menyimak selama tiga tahun apa saja yang disampaikan anggota masyarakat dan
wartawan.
Maka, yang penting untuk digarisbawahi adalah sembilan elemen
jurnalisme bukanlah sebuah proposisi hasil pemikiran Kovach dan Rosenstiel
semata. Sembilan elemen itu adalah sebuah hasil percakapan, pendeknya, sebuah
hasil dari jurnalisme pula.
Sembilan elemen jurnalisme terdiri dari: (1) kewajiban pertama jurnalisme
adalah pada kebenaran; (2) loyalitas pertama jurnalisme kepada warga; (3) intisari
jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi; (4) praktisi jurnalisme harus
independen terhadap sumber berita; (5) jurnalisme harus berlaku sebagai
pemantau kekuasaan; (6) jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik
maupun dukungan warga; (7) jurnalisme harus membuat hal penting menarik dan
relevan; (8) jurnalisme harus menjaga berita komprehensif dan proporsional; (9)
para praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti hati nurani mereka.
Jujur saja, untuk menjabarkan seluruh elemen jurnalisme itu barangkali
butuh waktu panjang dan terus terang saya tak yakin mampu melakukan itu
dengan baik. Sebuah penjelasan memikat dari Andreas Harsono, salah satu murid
Kovach, tentang sembilan elemen itu barangkali bisa dirujuk kalau anda
membutuhkan rujukan singkat. Kalau mau berlama-lama, baca saja buku Kovach
dan Rosenstiel.
Dalam esai ini, saya hanya akan bicara tentang tiga elemen jurnalisme
yang sering “dilupakan” para aktivis pers mahasiswa. Pertama, intisari jurnalisme
adalah disiplin dalam verifikasi. Disiplin dalam verifikasi adalah sebuah pembeda
utama dan paling tegas antara jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi, atau
seni.
Kalau hiburan berfokus pada hal yang menggembirakan hati, propaganda
mengarang atau menyeleksi fakta, dan fiksi mengarang skenario untuk sampai
pada kesan tertentu, maka jurnalisme sejak awal hendak menceritakan sesuatu
secara setepat-tepatnya. Saya kira, elemen ini sering diabaikan aktivis pers
mahasiswa. Karena kemampuan yang memang masih harus dikembangkan atau
ketidaktahuan, verifikasi dalam berita pers mahasiswa saya kira masih lemah.
Pada titik ini, elemen ini harus digarisbawahi.
Kedua, jurnalisme harus membuat hal penting menjadi menarik dan
relevan. Ini soal bagaimana kita memilih isu dan bagaimana menyajikannya.
Banyak pihak yang beranggapan bahwa menarik dan relevan hampir selalu ada
dalam kutub yang berlawanan. Kovach dan Rosenstiel menolaknya, saya pun
begitu.

7
Tapi, dalam pers mahasiswa, soal sebenarnya bukan itu. Kebanyakan pers
mahasiswa, setidaknya di UNS, tetap berusaha menyajikan sesuatu yang relevan.
Sayangnya, tak banyak dari mereka yang mampu mengemas hal relevan itu
dengan menarik. Berita-berita pers mahasiswa, kadang masih jatuh pada lubang-
lubang dasar yang menyebabkan nilai berita mereka turun derajatnya menjadi
opini atau sekadar propaganda buruk.
Dalam pendapat saya, sebuah berita yang baik harus memiliki beda yang
tegas dengan sebuah ceramah, atau sebuah prasangka. Sebuah berita yang menarik
adalah tulisan yang secara faktual tak bermasalah, disajikan secara sistematis
sehingga mudah dibaca, dan dalam taraf tertentu, sebuah berita yang baik adalah
sesuatu yang menyentuh dan menggerakkan.
Paling tidak, kemenarikan—sekaligus keberhasilan—sebuah berita bisa
ditentukan dari beberapa hal: (a) apakah berita itu telah cukup komprehensif,
dalam artian meliputi seluruh aspek yang bersinggungan dengan tema yang
diangkat atau belum; (b) apakah berita itu sudah memenuhi syarat dasar sebagai
berita atau belum, maksudnya apakah berita itu sudah cover both sides,
menghindarkan opini dari penulis, dan apakah fakta-fakta yang disajikan sudah
diberi konteks yang secukupnya; (c) apakah berita tersebut sudah disajikan secara
sitematis, mudah dimengerti, dan menarik, atau belum.
Ketiga, jurnalisme harus menjaga berita agar komprehensif dan
proporsional. Kovach dan Rosenstiel mengibaratkan jurnalisme sebagai
“kartografi modern”. Jurnalisme mesti menghasilkan semacam peta bagi warga
untuk mengambil keputusan tentang kehidupan mereka sendiri. Nilai jurnalisme,
oleh karena itu, bergantung pada kelengkapan dan proporsionalitas.
Berita dan jurnalisme adalah sesuatu yang terbatas. Dalam artinya yang
paling hakiki, proposisi tadi berarti bahwa keduanya tak mampu melingkupi
seluruh aspek yang ada di sekitar manusia. Tapi, bagi Kovach dan Rosenstiel,
jurnalisme tetap harus menyajikan sesuatu yang bisa dinikmati oleh semua bagian
dari anggota komunitas yang mereka tuju.
Kedua wartawan itu menganggap bahwa jurnalisme adalah sebuah
“kartografi sosial”: semacam proses penggambaran peta tentang kondisi sosial.
Jadi, peta hasil jurnalisme itu tak boleh bolong-bolong dan hanya melingkupi
anggota komunitas yang atraktif atau yang potensial untuk mendapat iklan.

/4/
Luwi Ishwara pernah membuat tiga kategori tentang wartawan yang baik.
Pertama, reporter yang baik adalah mereka yang tahu tentang sesuatu yang
menarik bagi pembacanya. Dalam buku Seandainya Saya Wartawan Tempo,
Goenawan Mohammad banyak bercerita soal bagaimana menggali fakta yang
menarik, bukan saja fakta-fakta besar yang “hard”, tapi juga fakta kecil yang
kelihatan remeh. Mengumpulkan sesuatu yang menarik—dan tentu saja tetap
relevan bagi pembaca kita—berguna agar peristiwa yang kita ceritakan tidak
menjadi peristiwa yang biasa-biasa saja.
Kedua, wartawan yang baik selalu memiliki rasa ingin tahu. Ketika
mengantar terjemahan buku Kovach dan Rosenstiel, Goenawan Mohammad
mengatakan bahwa sikap ingin tahu merupakan awal dari jurnalisme. Jurnalisme,

8
kata wartawan yang lebih dulu terkenal sebagai penyair itu, tidak bermula dan
berakhir dengan sebuah berita. Sikap ingin tahu justru menjadi awal sekaligus
dasarnya, seperti sebuah batu pertama yang berlanjut dengan fondasi sebuah
lorong.
Bagi Goenawan, setelah fondasi itu rampung, maka jurnalisme—melalui
wartawan tentu saja—harus menempuhnya, dalam keadaan ruwet dan licin, serta
membutuhkan kecerdikan dan ketrampilan tertentu. Tapi, bukan hanya itu:
jurnalisme juga membutuhkan semacam kesediaan dan kemampun dari
praktisinya untuk menjadi polisi lalu-lintas, jaksa, dan hakim bagi dirinya sendiri
yang awas terhadap tiap bentuk pelanggaran. Jadi, terdakwa pertama dalam
jurnalisme bukan orang lain, tapi diri kita sendiri.
Di sinilah pentingnya sebuah sikap rendah hati: semacam kesadaran dari
seorang reporter bahwa dirinya memang hanya seorang “pelapor”, dan bukan
seorang penceramah yang sedang menasehati masyarakat, juga bukan ilmuwan
yang sudah meneliti obyeknya dengan seksama. Seorang reporter adalah seorang
terdakwa bagi dan oleh dirinya sendiri.
Ketiga, seorang wartawan, kata Ishwara, harus memiliki kemampuan
observasi yang baik. Saya kira, banyak di antara kita yang menganggap bahwa
tugas utama reporter hanya sekadar wawancara. Padahal, observasi terhadap
obyek berita tak kalah pentingnya. Dalam genre tulisan seperti feature dan
narasi—sering pula disebut sebagai jurnalisme sastrawi—observasi bahkan
mendapat kedudukan yang penting.
Bukan hanya karena data yang kita butuhkan memang tak bakal semuanya
kita dapat lewat mulut orang lain, tapi juga karena melalui observasi, serpihan-
serpihan kecil dari fakta yang sering luput saat wawancara bisa kita temukan,
kemudian kita bawa ke rumah untuk dirumuskan ulang, lalu digubah dalam
sebuah tulisan yang memikat.
Sebuah observasi penting agar kita mampu membuat sebuah visualisasi
yang memikat dari sebuah kejadian. Dalam straight news, memang jarang ada
visualisasi kecuali untuk kejadian tertentu. Tapi dalam feature dan narasi,
visualisasi sering menjadi kebutuhan mutlak. Tentu saja, observasi bukan hanya
pengamatan dengan mata, tapi juga dengan indera pendengaran, penciuman,
bahkan rasa atau sentuhan pun kadang dibutuhkan.

(Makalah Diklat Jurnalistik Dasar LPM Scienta MIPA UNS


pada Sabtu, 29 Maret 2008)

9
Sumpah Prajurit Asa Bafagih
18 Maret 1953. Barangkali tak banyak insan pers Indonesia yang ingat apa
yang terjadi pada tanggal itu. Bukan sesuatu yang amat besar memang, tapi tetap
harus dikenang.
Hari itu, Harian Pemandangan memuat sebuah berita berjudul “21
Perusahaan Industri di mana Mengetahui Menurut Rentjana Modal sing Baru,
Dapat Diusahakan”. Berita itu menyebut pemerintah Indonesia berniat membuka
keran penanaman modal asing di 21 sektor industri. Di antaranya, menurut
Pemandangan, adalah perusahaan makanan-minuman kaleng-botol, “pharmacie
industri”, serta pabrik mobil dan traktor.
Berita itu kemudian membikin panas Perdana Menteri Wilopo karena
persoalan penanaman modal asing dianggap sebagai “rahasia negara” oleh Tuan
PM. Yang tambah membikin kesal, Pemandangan sebelumnya telah
mengeluarkan berita yang juga dianggap “membocorkan rahasia negara”: sebuah
berita tentang kenaikan gaji pegawai negeri.
Dua kasus itu, sama-sama membuat Pemandangan dilaporkan ke hadapan
hukum. Kalau dalam soal kenaikan gaji pegawai negeri mereka “hanya”
berhadapan dengan Kementriaan Urusan Pegawai, dalam kasus investasi modal
asing mereka langsung berhadapan dengan Wilopo, sang Perdana Menteri
Indonesia saat itu.
Wilopo melaporkan Pemandangan pada 8 April 1953 ke Kejaksaan
Agung. Wilopo juga meminta dilakukan pencarian terhadap sumber berita dalaam
soal investasi modal asing tersebut.
Saya tak tahu, kenapa soal kenaikan gaji pegawai dan investasi modal
asing dianggap sebagai “rahasia negara”. Setahu saya, saat itu bahkan sebenarnya
kriteria “rahasia negara” pun tak jelas. Apalagi, kalau kita melihat realitas
sekarang, berita kenaikan gaji pegawai negeri dan investasi modal asing
sebenarnya berita yang amat biasa. Pemerintah sekarang justru bekeperluan untuk
“membocorkan” berita itu ke pers agar masyarakat luas dan pihak yang terkait
kepentingan tersebut bisa tahu.
Kasus hukum yang menimpa Pemandangan kemudian berlarut-larut.
Berdasar catatan Tempo, Pemimpin Redaksi Pemandangan Asa Bafagih, harus
bolak-balik ke Kejaksaan Agung guna menyelesaikan masalah itu. Ia sempat
diperiksa beberapa kali. Dan, tiap kali pemeriksaan dilakukan, jaksa selalu
mendesak Bafagih untuk memberitahu siapa sumber dari kedua berita tersebut.
Asa memilih diam seribu bahasa. Ia agaknya sedang memraktekkan hak
tolak atau hak ingkar: sebuah hak—berdasar Kode Etik Jurnalistik yang berlaku
sekarang—untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber
demi keamanan narasumber dan keluarganya.
Asa bahkan sempat berkata: “Hak ingkar ini bagi kami, wartawan, sama
seperti sumpah prajurit bagi tentara.” Metafora Bafagih menandakan bahwa
keteguhan memegang hak ingkar adalah sesuatu yang menentukan martabat dan
integritas seorang wartawan.
Penolakan Bafagih—sekaligus bisa dianggap pemakaian hak tolaknya—
menurut Kurniawan Junaedhie merupakan awal diakuinya hak tolak bagi

10
wartawan. Yang menarik adalah setelah statment Bafagih itu terjadi demonstrasi
dari kalangan wartawan Indonesia yang mendukung Bafagih.
Ratusan wartawan PWI Kring Jakarta, PWI Pusat, Persatuan Wartawan
Tionghoa, Reporters Club, serta wartawan-wartawan dari Surabaya, Yogyakarta,
Bandung, Semarang, serta karyawan penerbitan surat kabar, pada 5 Agustus 1953
menggelar protes besar-besaran di muka Kejaksaan Agung.
Protes tersebut sebelumnya telah diikuti dengan dukungan lewat berbagai
tajuk rencana di beberapa media massa lain. PWI juga turut mendukung Bafagih
dengan meminta pemerintah menjelaskan apa itu “rahasia negara”. Dewan
Kehormatan PWI pun dengan tegas menyatakan pada pemerintah bahwa kasus itu
akan merenggangkan hubungan pers dengan pemerintah.
Kasus Bafagih memang berakhir bahagia. Pada 15 Agustus 1953, kasus
tersebut, menurut Jaksa Agung R. Soeprapto, akan “dikesampingkan”. Penuntutan
atasnya tidak akan diteruskan. Bafagih akhirnya bebas, bahkan di kemudian hari
ia sempat menjadi anggota DPRGR mewakili Nadhatul Ulama. Ia juga pernah
menjabat Duta Besar RI untuk Srilanka, serta Aljazair merangkap Tunisia.
Akhir kasus Bafagih menarik. Pers menang dan orang pers yang terlibat
kasus hukum tersebut tak dikucilkan. Bahkan ia sempat menjadi bagian dari
pemerintah: sesuatu yang amat jarang terjadi sekarang.
Tapi ada yang harus dicamkan: perangkat hukum Indonesia tahun 1950-
an, mengambil pendapat Dan Lev, memang masih berfungsi sebagaimana
mestinya, dengan wibawa yang tinggi, serta sistem hukum yang berjalan dengan
baik. Saat itu, kedaulatan hukum terjaga, intervensi pemerintah ditolak, dan kaum
yudikatif berdiri sama tegak dengan kaum eksekutif dan legislatif.
Jadi, “wajar” kalau Bafagih bisa menang. Seandainya, ia hidup di masa
orde baru atau saat ini, barangkali Bafagih tak “seberuntung” itu.
Yang harus dicatat pula, kehidupan pers di Indonesia tahun 1950-an
sebenarnya amat bebas, jauh beda dengan kondisi 10 tahun kemudian di mana
pers mesti mengabdi pada kepentingan politik. Rosihan Anwar, Pemimpin
Redaksi Harian Pedoman, mengatakan bahwa hingga akhir 1950-an pers
Indonesia benar-benar merasakan kebebasan. Sensor tak ada, apalagi
pembredelan.
Jadi, kasus Bafagih saat itu bisa dikatakan “menyimpang” dari kelaziman.
Rosihan menyebut cara Wilopo menangani kasus Bafagih sebagai “gaya warisan
pemerintah kolonial”. Artinya, saat itu pemerintah memang belum pernah
memerkarakan berita yang terbit di sebuah media sebelumnya. Bafagih adalah
yang pertama.

(Dipublikasikan di Blog “Rumah Mimpi”


[http://rumahmimpi.blogspot.com])

11
Harmoko dan “Anak-anak”
Di Indonesia, kata Harmoko suatu kali, tidak pernah terjadi pembredelan
pers. Yang terjadi, menurutnya, adalah “pelaksanaan peraturan”.
Ia juga mengatakan bahwa pelarangan terbit beberapa pers di Indonesia
harus dilihat dalam kerangka “pembinaan”. Pembatalan SIUPP, kata dia,
dilakukan ketika lembaga pers yang bersangkutan sudah melakukan kesalahan
fatal.
Barangkali, Menteri Penerangan dalam Kabinet Pembangunan IV dan V
itu ingin mengatakan soal “kebablasan”-nya beberapa lembaga pers kita. Ia pernah
mengatakan bahwa ada insan-insan media kita yang masih beranggapan sistem
pers di Indonesia adalah sistem liberal. Padahal, menurutnya, sistem pers kita
adalah “Sistem Pers Pancasila”.
Harmoko pernah mengibaratkan pers yang dilarang terbit sebagai anak-
anak yang dikeluarkan dari sekolah karena tidak menuruti peraturan yang ada.
Saya tersenyum kecut membaca pernyataan itu.
Sebab, tentu saja, kata-kata Harmoko adalah “kata-kata bersayap”. Ia tak
serta merta bisa dianggap sebagai sebuah usaha manusia menggambarkan
fenomena atau pemikiran yang dirasakannya. Kata-kata, dalam kasus Harmoko
tadi, adalah sebuah alat membentuk realitas.
Bagaimanapun, ukuran “kebablasan” dalam menilai sebuah pemberitaan di
masa orde baru adalah ukuran yang sepenuhnya berdasar nafsu pemerintah. Dan,
mirip dengan metafora Harmoko sendiri, pers saat itu memang hanya ditempatkan
sebagai “anak-anak”: sebuah sosok yang mesti dibimbing, dikasih petuah,
diingatkan dengan galak kalau salah, atau disingkirkan kalau sudah berani
melawan.
Pemerintah—sekali lagi memakai metafora Harmoko—adalah si pemilik
sekolah yang punya kewajiban membimbing “anak-anak” itu agar berkelakuan
baik, agar bisa menjadi pribadi yang sesuai dengan “harapan umum”.
Semua itu memang terlihat indah, setidaknya dulu ketika orde baru masih
tegak. Tapi begitulah politik kata-kata.
Di jaman orde baru, politik kata-kata bukan hal baru. Dalam persoalan
pembredelan pers, Harmoko memang mesti berkelit karena sesuangguhnya ia juga
ada dalam posisi yang “sulit”: Harmoko pada dasarnya juga seorang wartawan. Ia
mendirikan surat kabar Pos Kota pada 1970 dan sempat menjadi Ketua Persatuan
Wartawan Indonesia.
Sejak kecil, bahkan Harmoko hanya punya satu cita-cita: mendirikan surat
kabar. Berdasar pengakuannya sendiri, keinginan itu mulai muncul sejak ia duduk
di bangku kelas dua Sekolah Rakyat. Ketika itu, Harmoko sering membacakan
berita-berita dari surat kabar yang dibawa para Tentara Pelajar untuk para
pengungsi perang yang sebagian besar buta huruf.
“Waktu itu saya hanya bercita-cita membuat koran. Mungkin karena
melihat orang-orang yang mendengar berita yang saya baca semuanya manthuk-
manthuk (mengangguk-angguk). Saya lantas berpikir, wah barang ini fungsinya
besar sekali. Hebat benar, dari selembar kertas saja orang jadi tahu,” begitu kira-
kira pengakuan Harmoko.

12
Karenanya, tak heran kalau dalam sebuah wawancara ia pernah
mengatakan bahwa “darah daging saya wartawan”. Itu pula yang konon
membuatnya bercita-cita akan kembali menekuni kerja sebagai wartawan setelah
lepas dari posisi menteri. Tapi, sebagai wartawan, Harmoko sesungguhnya punya
kekurangan.
Ia, misalnya, menganggap bahwa penonjolan kriminalitas di Pos Kota
yang dipimpinnya bukan merupakan masalah. Menurutnya, yang penting bukan
penonjolan sebuah informasi, tapi keseluruhan dari informasi yang ada.
Artinya, meski Pos Kota memang menonjolkan kriminalitas, tapi secara
keseluruhan kriminalitas tak menjadi dominan dalam seluruh isi surat kabar itu.
Makanya, bagi Harmoko, penonjolan itu tak masalah. Toh masyarakat masih bisa
menikmati perihal lainnya di Pos Kota.
Pernyataan ini dikeluarkan tahun 1989. Saya tak tahu apakah saat itu ilmu
komunikasi di Indonesia masih sangat terbelakang atau tidak. Cuma, pernyataan
Harmoko itu, dilihat dari ilmu analisis media saat ini, tentu saja amat
menggelikan.
Dalam sebuah surat kabar—dan juga media massa lainnya—yang
terpenting justru bukan keseluruhan informasi yang ada, melainkan informasi apa
yang hendak ditonjolkan. Sebab, pembaca surat kabar tak akan mungkin—atau
minimal sangat jarang—membaca keseluruhan isi di sebuah surat kabar. Ia,
kemungkinan besar, hanya akan membaca beberapa berita saja.
Pilihannya untuk membaca sebuah berita dan meninggalkan yang lain,
bisa dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain oleh ketertarikannya pada hal-hal
tertentu. Tapi, selain itu, faktor yang determinan dalam pemilihan berita untuk
dibaca oleh seseorang adalah penonjolan sebuah berita oleh media yang
bersangkutan.
Artinya, berita-berita yang ditonjolkan oleh sebuah surat kabar—dengan
cara ditaruh sebagai headline, misalnya—kemungkinan besar akan selalu dibaca
oleh pembaca. Pada titik inilah, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa seorang
pembaca akan lebih terpengaruh oleh berita-berita yang ditonjolkan ketimbang
keseluruhan berita yang ada dalam surat kabar.
Dalam konteks Pos Kota, yang terpenting justru berita-berita kriminal
yang ditonjolkan, bukan keseluruhan berita yang ada. Di sini, Harmoko
menampakkan kecenderungan untuk kurang teliti dalam melakukan sebuah
analisis. Atau, ia memang sengaja mengeluarkan “analisis dangkal” guna
menutupi kelemahan koran yang dipimpinnya.
Di sini pula terlihat paradoks Harmoko sebagai seorang yang mengaku
“berdarah daging” wartawan. Di satu sisi, ia berusaha membela penerbitan yang ia
dirikan, tapi di sisi lain ia juga tak segan membatalkan SIUPP milik media
lainnya. Ia memang mengaku sedih ketika sebuah lembaga pers dilarang terbit.
Tapi, sedih saja tidak cukup, Bung!

(Dipublikasikan di Blog “Rumah Mimpi”


[http://rumahmimpi.blogspot.com])

13
Pil Pahit Jurnalisme Indonesia
pada Bill Kovach

Bung Kovach, di Indonesia, sembilan elemen jurnalisme yang kau


kenalkan barangkali hanya akan jadi mimpi sekaligus bumbu pahit penambah
ironi. Bagaimana tidak, Bung! Di Indonesia, berdasar sebuah survei yang
dilakukan Dewan Pers tahun 2007 lalu, sekitar 80 persen wartawannya ternyata
belum pernah membaca Kode Etik Jurnalistik secara penuh! Bung, anda boleh
tertawa pahit, atau malah ngakak. Tapi, inilah ironi yang dihadapi Indonesia,
Bung.
Bung, saya baru dapat kabar dari seorang kawan—masih mahasiswa—
yang sedang magang jadi wartawan di sebuah harian lokal di Denpasar, Bali, sana.
Dan kabar kawan saya itu bukannya kabar tentang bagaimana profesionalnya
kerja sebuah harian lokal di Denpasar, tapi justru tentang ironi yang saya ceritakan
di awal.
Bayangkan, Bung, di harian lokal Denpasar yang terbit Senin-Jumat itu
(kita pasti heran kenapa harian itu memilih waktu terbit yang membikin ngakak
kayak gitu) semua wartawannya boleh menerima amplop berisi uang alias suap!
Yang membuat ironi ini jadi tambah pahit adalah bahwa pembolehan menerima
amplop itu ternyata berdasar sebuah “perintah” langsung dari Pemimpin Umum
harian itu. Anda boleh geleng-geleng kepala sampai pusing, Bung Kovach.
Tapi begitulah. Amplop, yang oleh banyak organisasi profesi wartawan di
Indonesia begitu dikecam, begitu dijauhi, ternyata dibolehkan untuk diterima di
harian itu berdasar sebuah perintah “resmi”. Sejauh yang saya tahu, di harian
berskala nasional pun memang kadang ada wartawan yang terima amplop. Dan,
kadang redakturnya pun tahu kalau anak buahnya menerima amplop tapi tak
memberi teguran apa-apa. Tapi, minimal, di harian itu amplop tak jadi benda yang
boleh diterima secara terang-terangan dan bahkan tak perlu disabdakan oleh
Pemimpin Umum-nya bawah amplop itu halal!
Kalau penerimaan amplop itu sudah jadi bagian dari kebijakan resmi
media, tentu ini yang berbahaya karena itu berarti media yang bersangkutan siap
mengorbankan apa saja demi kepentingan finansial mereka. Dan, khlayak
pembaca tentu saja tidak perlu percaya atau bahkan tak perlu membaca berita-
berita di harian kayak gitu. Saya kira, tinggal menunggu waktu—atau malah
sudah terjadi?—di mana harian itu akan mulai membiniskan beritanya. Satu berita
bisa dihargai sekian juta, sesuai pesanan dan tawaran.
Cuma, yang perlu dicatat juga adalah bahwa itu semua terjadi karena
keuangan perusahaan yang minim, tentu saja. Pandangan realistis bahwa
wartawan bukan makhluk yang biasanya digaji banyak membuat orang-orang
jurnalisme Indonesia mesti menelan pil pahit ironi itu: di satu sisi, menerima
amplop tentu saja melanggar etika dan mengorbankan independensi pers, tapi di
sisi lain tak menerima amplop berarti kebutuhan keluarga tak tercukupi, anak tak
bisa minum susu, dan sebagainya.
Publik Indonesia yang mudah lupa ini barangkali tak lagi mengingat
seorang bernama Jarar Siahaan Jarar adalah seorang wartawan lokal di luar Jawa
yang menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah organisasi

14
profesi wartawan yang paling getol melawan amplop. Selama bertahun-tahun
bekerja, Jarar memang taat pada kode etik AJI: ia tak menerima amplop saat
bertugas. Cuma, harian yang memperkerjakannya ternyata tak memberi gaji yang
cukup. Di tengah kepungan dilema yang menimpanya, ia putuskan keluar dari
wartawan dan otomatis dari anggota AJI. Konon, ia memilih mendirikan blog buat
menyalurkan minat jurnalistiknya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
Jarar membuka warung oli dan pulsa di depan rumahnya.
Mendengar kisah Jarar, Bung Kovach, barangkali anda akan tersadar
betapa ironi jurnalisme di negeri kami memang amat pahit. Betapa kepentingan
untuk menegakkan profesionalisme kaum jurnalis masih harus menunggu entah
berapa lama lagi. Apalagi, untuk membuat para wartawan dan pengelola media
mau mempraktekkan sembilan elemen jurnalisme yang anda perkenalkan, Bung.
Entah, masih berapa tahun kami mesti menunggu untuk menyaksikan sembilan
elemen itu bisa dipraktekkan secara penuh di sini.
Bung, di harian lokal Denpasar tempat kawan saya magang itu, berita-
berita disiarkan kadang tanpa melalui proses editing yang memadai. Ini tentu saja
ironi tambahan: bagaimana di sebuah kota “surga dunia” itu ternyata khalayak
disuguhi berita yang standar jurnalistiknya masih jauh panggang dari api. Di
harian itu pula, kata kawan saya, bahasa-bahasa bombasme masih mendominasi.
Bahasa kriminal yang melebih-lebihkan dan membuat kita kadang bergidik
merinding saking kasarnya bahasa itu, masih dipraktekkan dan barangkali
dijunjung tinggi.
Amerika Serikat memang jauh dari sini, Bung. Dan idealisme yang anda
bangun di sana—yang saya yakin juga belum 100% tercapai—ternyata juga masih
jauh pencapainnya di sini. Indonesia, memang belum punya umur panjang dalam
sejarah persnya. Jadi, agaknya profesionalisme juga masih harus menunggu. Saya
akan bersabar, Bung. Tidak tahu yang lain bagaimana.

(Dipublikasikan di Blog “Rumah Mimpi”


[http://rumahmimpi.blogspot.com])

15
Jurnalisme Warga: Beberapa Serakan Pikir
/1/
Sampai saat ini, saya belum bisa menemukan definisi ilmiah dari
jurnalisme warga. Definisi paling pas yang ilmiah tentang jurnalisme warga yang
saya tahu, seperti dikemukakan Sandri Indra Astuti, adalah nihil alias belum ada.1
Mochammad Nanang Kurniawan, yang saya kutip dalam TOR untuk semnas kita,
adalah acuan utama saya dalam memahamai wilayah yang disebut sebagai
“jurnalisme warga”.2
Namun, sebagai semacam pegangan, jurnalisme warga—dalam tulisan ini
saja—tetap perlu diberi pengertian, meski amat terbatas. Jurnalisme warga ala
saya adalah sebuah praksis jurnalisme di mana warga masyarakat biasa menjadi
produsen, distributor, sekaligus konsumen dari informasi. Tentu saja,
sebagaimana dalam jurnalisme biasa, tiga proses berantai tadi selalu berada dalam
kategori yang sifatnya “massa”, bukan “kelompok” ataupun “interpersonal”.
Ada banyak hal yang mengiringi lahirnya jurnalisme warga. Perdebatan
tentang etika dan standar kerja jurnalistik media massa dalam praktek jurnalisme
warga adalah perdebatan yang melelahkan. Selain itu, latar belakang, sejarah, dan
banyak hal lain yang patut dicatat dalam soal jurnalisme warga.
Cuma, tulisan ini tidak akan mempersoalkan semua itu, semata-mata
karena keterbatasan saya. Tulisan ini hendak mempersoalkan jurnalisme warga
(citizen journalism) dalam konteks Indonesia dengan amat terbatas. Pokok paling
penting dari tulisan ini adalah pengaitan jurnalisme warga sebagai sebuah ide
yang “diserap” dari Amerika Serikat dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.

/2/
“Gagasan-gagasan besar Eropa masuk ke Hindia Belanda sebagai ide
tanpa landasan materialnya, sementara barang-barang teknologi Eropa masuk
sebagai materi tanpa sejarah idenya,” kata Ronny Agustinus dalam sebuah
esainya.3 Saya membaca esai itu beberapa minggu yang lalu dan teringat kembali
akan esai itu ketika akan menyusun tulisan ini.
Ketika mulai mengamati fenomena jurnalisme warga—sebagai bagian dari
persiapan menuju seminar nasional LPM VISI—saya sebenarnya tak menemukan
“kejanggalan” apa-apa dengan ide jurnalisme warga dan penerapannya di
Indonesia sehingga tak perlu merasa perlu “memberi catatan”. Saya membaca

1
Saya membaca wawancara antara sebuah media bernama “Kampus” dengan Santi Indra Astuti,
seorang dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, tentang jurnalisme warga.
Wawancara itu saya dapat dari internet. Maaf, tidak bisa menunjukkan link ke file wawancara itu.
2
Mochammad Nanang Kurniawan, seorang wartawan yang menyelesaikan S2 di Filipina dengan
tesis tentang Jurnalisme Warga dengan subyek penelitian Radio Elshinta. Dalam tesis berjudul
Indoneisans Turn to Elshinta Radio Station to Become Citizen Journalists, Nanang mengutip
pendapat salah satu pakar jurnalisme warga yang mengatakan bahwa bentuk jurnalisme warga ada
11 macam. Dalam konteks tulisan ini, saya akan lebih banyak mengacu pada jurnalisme warga di
internet, terutama blog, karena melalui media itu jurnalisme warga menemukan bentuknya yang
paling ideal. Sumber: http://jakartaku.wordpress.com/tag/jurnalisme/
3
Esai Ronny Agustinus berjudul “Video: Not All Correct” dimuat dalam Jurnal Karbon. Sumber:
http://journalkarbon.org.

16
artikel-artikel yang saya unduh via google dari banyak “pendukung” gagasan itu.
Wimar Witoelar, blogger plus komentator politik yang dulu pernah jadi jubir Gus
Dur waktu menjabat Presiden RI, adalah salah satu tokoh yang banyak dirujuk
ketika bicara blog dan jurnalisme warga, selain, tentu saja, “Sang Bapak Blog
Indonesia”: Yang Mulia Enda Nasution.
Wimar, sebagai blogger, tentu saja bersikap positif terhadap kehadiran
jurnalisme warga di Indonesia. Ia katakan, bahwa melalui jurnalisme warga
kegiatan pemberitaan kini bisa beralih dari ke tangan orang biasa. Dunia
pemberitaan yang baru akan terbentuk sehingga memungkinkan pertukaran
pandangan yang lebih spontan dan lebih luas dari media konvensional.4
Dalam citizen journalism, masyarakat menjadi obyek sekaligus subyek
berita melalui blog yang diterbitkan langsung. Dapat dikatakan bahwa citizen
journalism ini lahir dari peradaban dan perkembangan teknologi. Sekarang, berita
konvensional (cetak maupun radio-televisi) sudah mulai didampingi oleh Internet,
bahkan sekarang tiap orang bisa menjadi penulis. Hal ini bukan merupakan bentuk
persaingan media, tapi justru merupakan perluasan media. Bukan hanya pemodal
besar yang bisa berkomunikasi dengan publik, tapi siapa saja yang bisa ke
warnet.5
Gagasan inilah yang kemudian membuat beberapa pakar media massa
mendengungkan “kematian” media konvensional, terutama koran. Ketika akan
tiba suatu masa di mana warga biasa saja bisa melakukan produksi dan distribusi
informasi—di samping tentu saja konsumsi—apakah masih dibutuhkan sebuah
lembaga khusus untuk melakukan tugas produksi dan distribusi informasi itu?
Gagasan “kematian”—atau paling tidak terancamnya bisnis media massa
cetak—telah banyak mempengaruhi kontestasi bisnis media massa kita. Tak
tanggung-tanggung, Kompas, sebagai koran paling mapan di Indonesia saat ini
pun ternyata turut gelisah menghadapi ramalan Philip Mayer—yang bilang bahwa
eksistensi koran akan habis tahun 2040. Kegelisahan itu kemudian berakibat pada
usaha-usaha perbaikan oleh para punggawa Kompas yang kemudian
menghasilkan konsep“re-desain” Kompas yang diluncurkan pada 28 Juni 2005,
tepat ultah Kompas ke-40.6
Bambang Haryanto—calon pembicara semnas kita—adalah salah satu
tokoh yang juga getol menyuarakan soal jurnalisme warga. Sebagai Ketua
Epsitoholik Indonesia—kumpulan orang-orang yang kecanduan menulis surat
pembaca—Bambang memang banyak menulis soal surat pembaca, jurnalisme
warga, dan blog. Sama seperti Wimar, Bambang adalah pendukung mutlak
jurnalisme warga. Bagi dia, jurnalisme warga adalah sebuah model jurnalisme
baru yang memungkinkan terjadinya demokratisasi dalam ranah informasi.
Tapi, selama ini gagasan berkembangnya jurnalisme warga hampir selalu
merujuk pada teoritikus asing dari barat sono. Atau, kalaupun merujuk pada fakta-

4
Keterangan tentang Wimar dan jurnalisme warga ini berasal dari sumber kedua, yaitu tulisan
Bambang Haryanto berjudul “Wimar Witoelar’s World, Citizen Journalism dan Epistoholik
Indonesia”. Sumber: http://esaiei.blogspot.com.
5
Paragraf ini sepenuhnya saya kutip dari tulisan Bambang di atas.
6
Keterangan tentang “re-desain” Kompas bisa ditemukan dalam St Sularto (Ed), Kompas. Menulis
dari Dalam, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2007, terutama dalam Bab III, hal 237-261.

17
fakta sebagai pembuktian dari pesatnya gagasan itu, fakta yang dipilih adalah
fakta dari Amerika Serikat atau paling banter, ya, fakta perkembangan jurnalisme
warga di Korea Selatan.7 Itulah catatan pertama saya terkait soal jurnalisme
warga. Catatan lain yang perlu ditambahkan: posisi Wimar, atau misalnya saja,
Bambang Haryanto, adalah posisi sebagai “pendorong”, bukan pengamat yang
detail. Sebagai “pendorong”, keduanya biasanya akan memilih teori dan memilah
fakta tertentu yang mendukung perkembangan jurnalisme warga.8

/3/
Di salah satu blog favorit saya (http://rumputeki.multiply.com), beberapa
hari lalu saya menemukan sebuah ulasan tentang media massa dan konser maut di
Bandung yang mengakibatkan jatuhnya korban tewas sebanyak 10 orang.
Ternyata, soal konser maut di Bandung itu juga menjadi bahan gosip para blogger
Indonesia terutama setelah munculnya dua tulisan dari dua blogger yang hadir
langsung dalam konser band underground nan keras itu. Dua tulisan itu dianggap
sebagai penyeimbang berita-berita yang muncul di media massa konvensional.9
Saya klik link yang ada di blog favorit saya itu, dan kemudian tulisan
tentang konser maut oleh dua blogger berbeda itu saya copy-paste. Di rumah, saya
baca tulisan itu, dan saya benarkan pendapat yang mengatakan bahwa tulisan itu
adalah “penyeimbang berita-berita yang muncul di media massa konvensional”.
Sebab, dalam salah satu tulisan yang berjudul “Cerita Pendek Tragedi Berdarah
Konser Musik Beside”, saya menemukan fakta lain yang tak diungkap media
massa konvensional: ternyata ada unsur kesalahan polisi yang amat fatal—bukan
sekedar kesalahan dalam prosedur pemberian ijin seperti diberitakan televisi—
yang ikut membuat banyaknya jumlah korban dalam konser itu.
Dalam ulasan di http://rumputeki.multiply.com, Mas Mumu—sang
pengelola blog— atas dasar kenyataan bahwa blog, dalam kasus konser Beside,
bisa juga menjadi sumber informasi yang bahkan lebih “akurat” ketimbang media
massa konvensional, membuat sebuah kesimpulan yang barangkali sedikit
gegabah: “Mungkin sudah saatnya kita mengucapkan selamat tinggal pada media
massa konvensional”. Melalui kesimpulan itu, barangkali, Mas Mumu akan
kembali meneriakkan bahwa “sudah saatnya orang menjadikan blog sebagai
sumber informasi pengganti media konvensional!”
Saya tidak mengamini kesimpulan Mas Mumu. Bagi saya, alasan bahwa
tulisan di blog tersebut juga dirujuk sebagai sumber informasi bukan berarti secara
otomatis eksistensi media konvensional akan hilang. Bahkan ketika blog sudah

7
Korsel adalah prototype negara dari mana para “pendorong” jurnalisme warga selalu berkiblat.
Ini wajar karena di Korsel jurnalisme warga memang sudah dalam posisi ideal. Situs jurnalisme
warga di sana, Oh My News, adalah “media” terkemuka di sana sekaligus sudah go international
dengan 42 ribu kontributor yang menyumbang 200 artikel per hari. Berita bahasa Inggrisnya
digrap oleh 900 pewarta warga dari 85 negara.
8
Meski Wimar sendiri pernah mengatakan bahwa, “munculnya citizen journalism bukan kehendak
saya, saya hanya melaporkannya.” Tapi, dalam posisi sebagai “juru bicara blog”, Wimar memang
dianggap—paling tidak oleh Bambang—sebagai pembawa pembawa kabar tentang kaitan blog
dan jurnalisme warga pada masyarakat banyak.
9
Saya tidak memiliki link yang merujuk pada sumber lengkap dua tulisan itu. Tapi link ke dua
tulisan itu bisa ditemukan dalam http://rumputeki.multiply.com.

18
makin menggejala dan digemari, belum tentu media massa biasa akan serta merta
punah.
Rupert Murdoch memang pernah berkata bahwa, “Saya percaya banyak
redaktur dan reporter kini tidak memedulikan pembaca. Tidak heran bila
pembaca, khususnya orang muda, meninggalkan surat kabar.”10 Murdoch
barangkali benar, dilihat dalam konteks Amerika Serikat karena saat ia
mengucapkan kalimatnya itu ia sedang berada di depan American Society of
Newspaper Editor.
Di Indonesia, konteks kalimat itu hanya benar separo: memang banyak
redaktur dan reporter Indonesia yang juga tidak memedulikan pembaca, tapi
benarkah orang muda Indonesia sudah meninggalkan koran? Benarkah orang
muda negara kita sekarang berganti “kitab suci” ke jurnalisme warga?
Saya jadi teringat Ronny Agustinus yang kutipan dari esainya saya catut
untuk tulisan ini di awal: “Gagasan-gagasan besar Eropa masuk ke Hindia
Belanda sebagai ide tanpa landasan materialnya, sementara barang-barang
teknologi Eropa masuk sebagai materi tanpa sejarah idenya.” Kutipan itu penting
dalam konteks ini karena ia menggambarkan bahwa “ide-ide yang berasal dari
dunia Barat sono” ketika masuk ke Indonesia terkadang menjadi “berbeda sama
sekali” karena “ketiadaan landasan material”.
Ronny Agustinus, dalam esainya memang membahas seni video dari
perspektif seni, teknologi, dan sosial, dan bukan fenomena jurnalisme warga.
Cuma, ada semacam “kesejajaran” antara pembahasan Ronny dengan pembahasan
jurnalisme warga. Bagi saya, ide tentang jurnalisme warga, sebagai sebuah ide
besar dari Barat, sampai saat ini belum menemukan sebuah pupuk yang bisa
membuatnya subur tumbuh di negara kita.
Landasan material untuk itu memang telah ada: internet dan blog sudah
bisa diakses kapan saja. Cuma, landasan material itu masih belum terdistribusikan
secara luas di seluruh masyarakat. Internet, meski terus mengalami perluasan
jangkauan, masih tetap belum diakses mayoritas masyarakat kita. Koneksi internet
di Indonesia memang masih sangat rendah (hanya sekitar 8%) bila dibandingkan
dengan negara tetangga Singapura (66,3%), Malaysia (38,9%), serta negara
tempat lahirnya Oh My News (Korea Selatan – 66,1%).11
Berdasarkan penelitian GlobeScan (2006) untuk BBC, Reuters, dan The
Media Center, di Indonesia televisi masih menduduki peringkat pertama media
sebagai sumber berita (56%), peringkat kedua adalah koran (21%), sementara
radio dan internet sebenarnya berada pada posisi seimbang (9%).12
Selain itu, kalau kita bicara blog—dalam fungsi yang ada sekarang—maka
kita juga sekaligus bicara tentang “budaya menulis”. Dan, agaknya kita mesti
mengakui: budaya tulis kita masih amat lemah, bahkan jauh lebih lemah daripada

10
Lihat Ninok Leksono, Surat Kabar di Era Baru Media dan Jurnalistik, dalam St Sularto (Ed),
Kompas. Menulis dari Dalam, op cit, hal 273. Murdoch, jangan-jangan, memang seorang
pengusaha yang gemar “meramal”. Ia juga pernah bilang bahwa tahun 2006, konon, adalah awal
kematian koran. Seberapa jauh “ramalan” Murdoch terbukti?
11
Dikutip dari Retty N Hakim, Jurnalisme Warga di Internet, Suara Publik di Dunia Global,
sumber: http://wikimu.com
12
Ibid.

19
budaya baca kita yang memang sangat lemah. Kesimpulan demikianlah yang juga
diambil Mochammad Nanang Kurniawan ketika ia ingin meneliti jurnalisme
warga melalui blognya. Karena budaya tulis masih lemah, maka jurnalisme warga
berbasis tulisan tentu juga akan lemah.
Pada titik ini, kita bisa memahami pilihan Nanang untuk meneliti
“jurnalisme warga berbasis oral” yang ada di Radio Elshinta. Pembandingan itu
sekaligus menguatkan kesimpulan lama yang pahit: kita adalah “masyarakat lisan”
ketimbang “masyarakat literer”.

/4/
Pembicaraan jurnalisme warga, sebagai sebuah ide yang lahir di Amerika
Serikat, sebaiknya tidak meninggalkan kondisi sosial masyarakat sana. Demikian
pula, agaknya kita mesti juga membahas kondisi sosial dan tingkat literasi
masyarakat Korea Selatan karena di sanalah justru jurnalisme warga berkembang
dengan amat pesat dengan Oh Yeon-ho dan situs jurnalisme warganya yang
didirikannya sejak Februari 2000: Oh My News. Situs ini kini sudah go
international dan bahkan Oh Yeon-ho kembali berulah dengan mendirikan
sekolah jurnalisme warga!13
Di Indonesia, ada Penyangkul, Halamansatu, dan Wikimu, situs-situs
jurnalisme warga yang menggunakan sistem pengelolaan yang agak beda satu
sama lain. Kalau tidak salah, Penyangkul telah berani menerbitkan sebuah buku
tentang jurnalisme warga. Langkah ini, saya kira, adalah sebuah terobosan guna
meningkatkan apresiasi kaum intelektual Indonesia atas jurnalisme warga.
Tapi, apresiasi masyarakat biasa yang masih jarang mengakses internet
terhadap jurnalisme warga, belum bisa diharapkan datang dalam waktu dekat.
Jurnalisme warga, akan tetap jadi sebuah ide yang butuh “pem-bumi-an” lebih
lanjut oleh penggagas-penggagasnya.

(Makalah Diskusi Internal LPM VISI tentang


Jurnalisme Warga pada Februari 2008)

13
Perkembangan jurnalisme warga di AS dan Korea Selatan, sangat mungkin dipengaruhi adanya
momentum yang melambungkan genre ini. Di AS, momentum itu adalah munculnya “erosi
kepercayaan” terhadap media saat Pemilu 1988. Di Korsel, jurnalisme warga juga berkembang
pesat di sekitar waktu Pemilihan Presiden. Momentum inilah yang kemudian diperkuat oleh
adanya “landasan material” yang ada. Di Indonesia, momentum itu belum ada, “landasan materail”
juga belum kuat.

20
Mencari Sosialisme Fabian yang “Hilang”
/1/
Kaum jurnalis Indonesia harus mengenang—dan barangkali berterima
kasih—pada dua hal yang tak ada kaitannya dengan jurnalisme: Sendratari
Ramayana dan Restoran Mbok Berek. Sebab, keduanya adalah “saksi” dari
sebuah peritiwa penting yang cukup berpengaruh pada dunia jurnalisme
Indonesia: berdirinya Harian Kompas, sebuah surat kabar terbesar di Indonesia
saat ini.
Ya, Kompas memang dimulai dari sebuah pertemuan antara Petrus
Kanisius Ojong dan Jakob Oetama di sebuah pementasan Sendratari Ramayana di
Candi Prambanan. Setelah pertemuan itu, mereka berdua—yang sudah saling
kenal meski bekerja pada dua penerbitan yang beda—makan di Restoran Mbok
Berek.
Pada prosesi makan itulah tercetus sebuah ide dari PK Ojong untuk
menerbitkan sebuah “media pendobrak”. Saat itu, sekitar awal tahun 60-an,
pemerintahan Soekarno memang melarang masuknya media massa dari negeri-
negeri barat sehingga, dalam pikiran PK Ojong, masyarakat menjadi “terisolasi”
dari informasi penting dunia.
Ojong mengatakan bahwa media yang akan diterbitkan itu mesti memuat
informasi yang mampu membuka mata dan telinga masyarakat. Secara teknis,
direncanakan menerbitkan sebuah media dengan artikel-artikel yang ditulis
bergaya “human story”, meniru Majalah Readers Digest.
Obrolan sambil makan nasi berlauk ayam itulah yang kemudian menjadi
cikal bakal lahirnya Majalah Intisari pada Agustus 1963. Edisi pertama yang terbit
pada hari ke-22 bulan itu sudah menampilkan banyak penulis luar yang bisa
dibilang “canggih” pada masa itu. Beberapa penulis luar itu antara lain: Nugroho
Notosusanto, Soe Hok Djin (Arief Budiman), Soe Hok Gie, Ajip Rosidi, dan
Rijono Pratikno.
Intisari yang sampai sekarang masih bertahan adalah cikal bakal
pertemanan abadi antara Ojong dan Jakob. Keduanya kemudian diminta oleh
Frans Seda, Menteri Perkebunan RI pada tahun 1965, untuk membuat sebuah
surat kabar independen. Ide Frans Seda sebenarnya berawal dari sebuah
percakapan telepon dengan Jenderal Ahmad Yani.
Secara khusus, dalam pembicaraan itu, Yani—yang menjabat Menteri TNI
AD saat itu—meminta Seda membuat sebuah surat kabar guna membendung
pengaruh koran-koran milik PKI. Seda kemudian menghubungi Igantius J
Kasimo, seorang pengurus Partai Katolik. Keduanya kemudian bertemu Ojong
dan Jakob.
Lalu lahirlah Kompas yang awalnya ingin dinamai sebagai “Bentara
Rakayat” tapi kemudian diganti atas usul Bung Karno pada Seda. Kompas lahir
pertama tanggal 28 Juni 1965 dengan edisi pertamanya sejumlah empat halaman.
Dengan motto “Amanat Hati Nurani Rakyat”, surat kabar ini kemudian
berkembang jadi harian terbesar di Indonesia yang meluaskan bisnisnya pada
penerbitan buku dan usaha lainnya dengan membentuk Kelompok Kompas
Gramedia.

21
/2/
Riwayat Kompas bisa ditemui dalam buku berjudul “Kompas. Menulis
dari Dalam” yang terbit pada November 2007. Buku yang awalnya dicetak
terbatas pada April 2007 ini kemudian dicetak dan diperjualbelikan untuk umum.
Berisi tulisan-tulisan dari para wartawan Kompas, buku ini bisa jadi menghimpun
kisah Kompas yang paling lengkap sampai saat ini.
Saya membeli buku itu di Toko Buku Toga Mas, Yogyakarta. Beberapa
hari kemudian, saya baca buku itu dalam waktu yang tak terlampau lama. Dilihat
dari materi tulisan, buku ini sebenarnya ingin menerang-jelaskan banyak hal
tentang Kompas. Cuma, agaknya hal itu kurang bisa tercapai.
Banyak hal yang diulang di beberapa tulisan. Jumlah kontributor yang
cukup banyak membuat struktur tulisan bisa tak seragam. Ini sebenarnya masih
bisa ditolerir. Cuma, ada hal lain yang lebih krusial: beberapa tulisan di buku itu
kurang bisa menggambarkan dengan utuh materi yang harusnya digambarkan oleh
tulisan tersebut.
Bagi saya, Bab II yang berjudul “Kompas dan Pergulatan Inteletualnya”
adalah bab yang paling “lemah”. Soalnya, bab itu adalah bab “inti” yang punya
tujuan besar: menerangkan bagaimana Kompas bergulat dengan proses
intelektualnya, tapi tak berhasil. Bagi saya, bab ini tak mampu memberi gambaran
yang utuh tentang bagaimana “pergulatan intelektual Kompas”.
Tulisan Julious Pour berjudul “Kearifan mengintip Ke Belakang dan
Keberanian Menatap Ke Depan” yang diletakkan pada bagian paling awal dari
Bab II mungkin dimaksudkan sebagai “amunisi utama” bab ini. Sayangnya,
tulisan ini tak banyak menyentuh “sisi intelektual” Kompas.
Alih-alih memberi gambaran yang utuh, tulisan ini malah cenderung
“mengulang” sejarah Kompas dan bagaimana hubungan Ojong dan Jakob yang
telah dijelaskan dengan cukup gamblang pada Bab I. Bahkan—ini yang cukup
banyak saya sayangkan—“ideologi” Kompas, yaitu humanisme transedental
hanya disinggung tak lebih dari dua halaman pada tulisan Julious Pour itu.
Padahal, pergulatan intelektual sebuah institusi tentunya digerakkan oleh
sebuah “ideologi” yang dianut secara kolektif. Pada kasus Kompas, humanisme
transedental itulah yang menggerakkan proses intelektual tersebut.
Kees De Jong bahkan pernah membuat disertasi tentang Kompas dan
peranannya di tengah keragaman agama di Indonesia. Dalam disertasi yang ia
pertahankan di Universitas Katolik Nijmegen, Belanda itu, De Jong menulis
bahwa humanisme transedental adalah pilar sekaligus falsafah hidup Kompas.
Dari sini saja, bisa kita lihat betapa penelusuran humanisme transedental itu
sangat penting dalam melihat pergulatan intelektual Kompas.
Tulisan-tulisan lanjutan di Bab II, tak menyentuh “pergulatan intelektual
Kompas” secara utuh tapi hanya menyentuh bagian per bagian: Ninuk Mardiana
Pambudy dan Maria Hartiningsih menulis tentang lahirnya Rubrik “Swara”, Efix
Mulaydi menulis tentang langkah-langkah “budaya” yang dilakukan Kompas,
sedang Hardanto Subagyo menulis tentang unit teknologi informasi milik
Kompas.

22
Meski mengandung kekurangan, buku itu tetap menghadirkan sebuah
kisah yang menarik, mudah dibaca, juga lepas dari sikap arogansi. Kehadirannya
menjadi penting tatkala Kompas makin berkembang menjadi bisnis raksasa
sekaligus menjadi institusi budaya yang makin berpengaruh dalam perkembangan
masyarakat Indonesia.
Dilengkapi data kuantitatif dan tanggal-tanggal penting yang berkaitan
dengan Kompas, buku ini memudahkan orang membaca perkembangan sebuah
harian besar di Indonesia dari masa awal yang penuh keprihatinan sampai
sekarang mengalami kejayaan.
Secara khusus, masuknya tulisan tentang langkah-langkah Kompas
menghadapi era media digital yang menyebabkan banyak ilmuwan meramalkan
“kematian media cetak”, juga amat menarik untuk disimak. Saya kira,
kemampuan dan keberanian Kompas dalam merespon perubahan-perubahan yang
terjadi adalah satu faktor pendorong perkembangan pesat harian itu.

/3/

Selain humanisme transedental yang banyak diperkenalkan oleh Jakob


Oetama, ada satu “paham” lain yang (seharusnya) berpengaruh di Kompas, paling
tidak pada saat awal harian itu berdiri. “Paham” itu adalah apa yang disebut
sebagai “sosialisme Fabian”.
Nama “paham” itu barangkali agak asing bagi generasi sekarang seperti
saya yang menerima pelajaran ilmu politik di universitas dengan sangat “simpel”.
Sosialisme Fabian merupakan nama sebuah pendirian yang dianut sebuah
kelompok intelektual di Inggris pada akhir abad 19. Nama kelompok itu: Fabian
Society. Berdiri pada tahun 1884, Fabian Society adalah kelompok yang
kemudian menginspirasi kehadiran Partai Buruh di Inggris.
Saya belum menemukan sebuah penjelasan ilmiah yang panjang lebar
tentang apa itu sosialisme Fabian. Tulisan Frans M Parera di Jurnal Prisma No.
4/1985 yang berjudul “Menegakkan Keadilan Sosial: Pengalaman dan Visi PK
Ojong” adalah referensi pertama yang saya baca tentang kaitan Ojong dan
sosialisme Fabian.
Sayang, tulisan itu tak banyak memberi referensi tentang sosialisme
Fabian. Kaitan paham itu dengan Kompas yang didirikan dan dipimpin Ojong pun
tak saya temukan.
Dalam Buku “Kompas. Menulis dari Dalam”, hanya satu tulisan yang
menyebut sosialisme Fabian. Tulisan yang diletakkan paling awal itu juga ditulis
Frans M Parera dengan judul “Kompas Sebagai Lembaga Bisnis”.
Dalam tulisannya, Frans M Parera mengacu pada tulisan Frans Seda
berjudul “Sepanjang Jalan Kenangan”. Tak ada keterangan di mana tulisan Seda
terbit. Referensi waktu yang diberi Parera hanyalah bahwa tulisan Seda muncul
pada usia Kompas yang ke-25.
Dalam “Kompas Sebagai Lembaga Bisnis”, Parera—mengutip Seda—
mengatakan adanya “Fabian Society Made In Indonesia”. Kelompok ini adalah
sebuah kelompok yang memiliki mimpi kolektif tentang Indonesia Baru yang
mirip dengan mimpi Inggris Baru yang dipunyai Fabian Society.

23
Apa yang dimaksud “Fabian Society Made In Indonesia” adalah sebuah
kelompok cendekiawan Indonesia yang memiliki mimpi kolektif sosialisme
demokrat dengan perjuangan rakyat yang berbeda dengan perjuangan ala
komunis. Dalam pandangan kelompok ini, semiskin-miskinnya seorang fakir
jelata, ia masih memiliki harta yang layak dipertahankan: hati nurani.
Hati nurani adalah wujud dari semangat hidup tidak pantang menyerah
terhadap berbagai tekanan hidup, kata Parera. Dan hati nurani pula yang mesti
diacu kala memperjuangkan keadilan sosial.
Barangkali, inilah beda sosialisme Fabian—yang bagi saya terlihat mirip
dengan sosialisme demokrat—dengan komunisme: kalau komunis konon katanya
menghalalkan segala cara demi revolusi, sosialisme Fabian masih berjuang
mencapai keadilan sosial sebagai cita-citanya dengan panduan hati nurani.
Tulisan “Kompas Sebagai Lembaga Bisnis” memang menyebut bahwa
“sosialisme Fabian masih dipelihara di perusahaan KKG”. Cuma, Parera tak
menyebut bagaimana operasionalisasi paham itu dalam perusahaan sebesar KKG
sampai saat ini.
Barangkali, inilah yang “hilang” dari sejarah Kompas. Kalau benar PK
Ojong adalah seorang penganut sosialisme Fabian, seharusnya paham itu
berimbas pada Kompas. Apalagi, sampai tahun 1980 Ojong adalah pemimpin
tertinggi harian itu yang banyak memberi kerangka falsafah pada organisasi.
Tapi, jejak sosialisme Fabian di Kompas dan KKG hampir “tak terlacak”
lagi. Barangkali bukan karena paham itu sudah tak ada lagi di Kompas, tapi lebih
karena tak ada orang—bahkan orang dalam Kompas sendiri—yang berusaha
membuktikan paham itu masih ada atau tidak di Kompas.
Bahkan dalam Buku “Kompas. Menulis dari Dalam”—yang mungkin
merupakan biografi “terlengkap” Kompas—penyebutan sosialisme Fabian hanya
muncul dalam satu tulisan. Di bundel biografi Kompas keluaran resmi harian
itu—yang saya dapat dari seorang kawan yang melakukan penelitian tentang
Kompas—juga tak disebut-sebut soal sosialisme Fabian-nya PK Ojong.
Agaknya, memang diperlukan sebuah upaya mencari sosialisme Fabian
yang hilang itu.

(Dipublikasikan di Blog “Rumah Mimpi”


[http://rumahmimpi.blogspot.com])

24
Pers Mahasiswa

25
“Bulan Madu” Sudah Berakhir?
Melalui tulisan ini saya ingin sejenak melihat dan memikirkan kembali
posisi atau hubungan Persma dengan organisasi pergerakan mahasiswa. Adapun
yang saya maksud dengan organisasi pergerakan mahasiswa adalah: pertama,
organisasi internal kampus yang menduduki fungsi-fungsi dalam pemerintahan
mahasiswa. Contoh dari organisasi semacam ini adalah Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) dan Dewan Mahasiswa (DEMA). Organisasi tipe ini bisa saja
berlainan nama namun yang terpenting adalah fungsi dan kedudukannya sama
dengan BEM dan DEMA. Kedua, organisasi yang lazim disebut dengan
organisasi eksternal kampus seperti KAMMI, HMI, IMM, PMII, GMNI, LMND,
dan lain sebagainya.
Sebagaimana umum diketahui bahwa persma dan organisasi pergerakan
mahasiswa sempat mengalami fase “bulan madu” saat orde baru masih berkuasa.
Adanya common enemy alias musuh bersama yaitu pemerintahan Soeharto,
mampu membuat sinergi antara berbagai macam organisasi pergerakan
mahasiswa dan juga dengan persma. Dalam fase itu, aktivis persma dan
pergerakan mahasiswa bahu-membahu melawan keotoriteran rezim orde baru.
Kalau kawan-kawan pergerakan mahasiswa yang menyusun dan melaksanakan
demonstrasi, maka aktivis-aktivis persma waktu itu menerbitkan media-media
yang memuat aksi-aksi yang dilakukan, tuntutan yang diminta, serta kebobrokan
dalam tubuh pemerintah. Kerja sama yang baik itulah yang sedikit banyak
berperan dalam melahirkan proses reformasi yang ditandai dengan mundurnya
Soeharto tahun 1998 silam.
Karena kemalasan berpikir atau kurangnya kejelian melihat kondisi real,
seringkali masa “bulan madu” antara persma dengan organisasi pergerakan
mahasiswa terus saja disebut-sebut. Padahal fase “bulan madu” itu mungkin saja
telah lama berakhir. Kini, agaknya telah terjadi sebuah fase baru dalam hubungan
antara persma dengan organisasi pergerakan mahasiswa. Akan tetapi, saya tidak
ingin terburu-buru mengambil kesimpulan. Pertama kali akan saya kemukakan
alasan kenapa saya menganggap fase “bulan madu” sudah berakhir dan kini ada
fase baru dalam hubungan antara persma dengan organisasi pergerakan
mahasiswa.
Alasan saya untuk mengatakan fase “bulan madu” sudah berakhir adalah
pengalaman dan refleksi saya atas pengalaman itu selama saya aktif dalam
kegiatan persma di Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo. Meski baru sekitar
dua tahun aktif, namun agaknya saya telah melihat fenomena yang menuju ke arah
itu. Dalam tulisan ini saya hanya akan menyajikan seputar kejadian dan
kecenderungan yang berkaitan dengan hubungan antara persma dengan organisasi
pergerakan mahasiswa di UNS. Hal ini karena keterbatasan-keterbatasan yang
ada. Keinginan saya adalah ketika saya telah bercerita pengalaman di UNS, maka
kawan-kawan dari berbagai kampus juga menceritakan pengalaman masing-
masing dengan topik yang sama: seputar hubungan persma dengan organisasi
pergerakan mahasiswa.
Baiklah, saya akan mulai bercerita. Ketika saya memasuki kampus UNS
tahun 2004 dan mulai aktif di dunia keorganisasian, ada satu kecenderungan yang

26
saya lihat berkaitan dengan “tingkah” para aktivis organisasi pergerakan
mahasiswa. Heroisme Gerakan Mahasiswa begitu disuarakan dengan amat
antusias selama masa penyambutan mahasiswa baru. Para “anak bawang” itu
diprovokasi untuk mengikuti organisasi pergerakan mahasiswa yang ada baik di
internal kampus maupun di luar kampus. Saya pun sempat terlibat dalam
organisasi semacam itu. Agaknya “aroma” perjuangan Gerakan Mahasiswa masih
ingin terus disuarakan dengan suara-suara yang terkadang berlebihan. Berlebihan
karena ternyata dunia pergerakan mahasiswa ternyata tak seindah yang
digambarkan.
Menjelang akhir tahun 2004, ada kejadian menghebohkan di BEM UNS
(tempat saya pernah magang sebagai pengurus). Saat itu adalah saat-saat akhir
kepengurusan. Pada waktu itu pula ada beberapa pengurus BEM UNS yang
mengundurkan diri secara “berjama’ah”. Pengunduran diri ini konon karena BEM
UNS tidak lagi mampu menjadi organisasi yang menjalankan idealismenya.
Banyak indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh BEM UNS dari garis
perjuangannya, demikian kata beberapa pengurus yang mengundurkan diri. Saya
mengenal betul salah seorang pengurus yang mengundurkan diri. Dan perkenalan
secara pribadi itu membuat saya yakin ia tidak berbohong soal itu. Ia marah dan
akhirnya keluar.
Pada tahun 2005, hal yang sama terjadi. Sekitar 9 pengurus BEM UNS
yang berasal dari Partai Mahasiswa tertentu (yang sebenarnya juga organisasi
pergerakan mahasiswa tertentu pula) mengundurkan diri dengan alasan yang
hampir sama. Bahkan salah seorang pengurus yang mengundurkan diri
mengatakan bahwa BEM UNS terlibat dalam aksi dukung-mendukung salah satu
calon walikota Solo. Meski bisa saja salah, tapi kejadian ini mengindikasikan ada
sesuatu yang “salah” dalam tubuh organisasi macam BEM. Apalagi jika saya
melihat peta perpolitikan kampus UNS yang sesungguhnya. Adalah satu hal yang
tidak dipungkiri bahwa BEM dan DEMA adalah organisasi-organisasi yang
diincar oleh organisasi pergerakan mahasiswa dari berbagai ideologi untuk
“dikuasasi”. Ketika Pemira (Pemilu Raya) UNS tahun 2004 diadakan, ada
beberapa partai Mahasiswa yang ikut. Dari seluruh partai yang ada itu, semuanya
merupakan “jelmaan” dari organisasi pergerakan mahasiswa seperti KAMMI,
HMI, PMII, dan lain sebagainya.
Pada hemat saya, sebenarnya “penguasaan” BEM dan DEMA oleh para
aktivis organisasi pergerakan mahasiswa adalah sah, asalkan dilakukan dengan
cara yang terhormat. Dan tentu saja, dengan tujuan yang jelas. Selama ini,
kecenderungan yang ada adalah “penguasaan” itu demi sekedar gengsi lembaga
atau buat memperbanyak kader mereka. Dan di sinilah letak kondisi yang kurang
ideal itu. Ketika tujuan “penguasaan” lembaga-lembaga macam BEM dan DEMA
adalah demi gengsi dan perbanyakan kader, maka orang-orang yang terlibat dalam
BEM dan DEMA pun akan lebih sibuk untuk menjaga gengsi dan mencari kader
ketimbang bekerja sesuai kedudukannya. Yang juga perlu diingat adalah jangan
sampai membuat BEM dan DEMA condong ke arah organisasi pergerakan
mahasiswa tertentu baik dalam ideologi terlebih dalam hal kepentingan.
Dari deskripsi singkat ini, dapat disimpulkan bahwa di UNS telah terjadi
semacam “persaingan” yang terkadang tidak sehat antar berbagai elemen

27
organisasi pergerakan mahasiswa untuk menguasai kampus UNS. Tujuannya,
seperti yang telah disebut adalah untuk memperbanyak kader dan mungkin juga
gengsi. Menghadapi kondisi macam ini, mau tidak mau organisasi-organisasi pers
mahasiswa di UNS harus menjaga jarak dengan organisasi-organisasi pergerakan
mahasiswa itu. Penjagaan jarak itu perlu supaya persma di UNS tidak ikut terlibat
dalam persaingan itu atau supaya persma juga tidak dijadikan lahan perebutan
oleh mereka. Selain itu, kondisi-kondisi yang tidak sehat di kalangan organisasi
pergeraklan mahasiswa di UNS juga harus mendapat perhatian (dalam artian
menjadi sasaran kritik) dari persma. Sepanjang yang saya ketahui, hal ini telah
mulai dilakukan.
Berikut ini adalah buktinya. Pertama, sekitar tahun 2003, LPM (Lembaga
Pers Mahasiswa) VISI FISIP UNS melalui buletinnya mengkritik kinerja BEM
FISIP UNS yang buruk. Saat itu terjadi protes dari beberapa kalangan mengenai
kinerja buruk BEM FISIP sehingga LPM VISI merespon dengan mengangkat isu
itu. Kedua, tahun 2004, LPM Motivasi FKIP UNS mengeluarkan pemberitaan
berkaitan dengan pengunduran diri beberapa pengurus BEM UNS. Dalam waktu
yang beriringan, LPJ (Laporan pertanggung Jawaban) Presiden BEM UNS juga
menjadi bahan pemberitaan karena LPJ itu sarat dengan berbagai kontroversi.
Bahkan dalam satu buletinnya LPM Motivasi memuat tulisan salah satu pengurus
BEM UNS yang mengundurkan diri. Dalam tulisan itu, dunia pergerakana
mahasiswa disebut sebagai “lingkungan donat busuk”. Ketiga, dalam tahun 2004,
LPM VISI memuat ketidakberesan dalam mekanisme LPJ Presiden BEM dan
DEMA. Meski yang menjadi sorotan adalah BEM dan DEMA FISIP, namun
karena persamaan mekanisme, sebenarnya sasaran kritik dari pemberitaan itu
adalah juga BEM dan DEMA se-UNS. Keempat, tahun 2005, LPM Motivasi
kembali memuat berita soal pengunduran diri 9 pengurus BEM UNS. Dalam
buletinnya itu juga dimuat wawancara dengan salah seorang yang mengundurkan
diri yang mengatakan BEM UNS condong pada salah satu organisasi pergerakan
mahasiswa dan bahkan ikut mendukung salah seorang calon walikota Solo.
Kelima, tahun 2005, LPM VISI mengangkat isu fungsi dari Partai Mahasiswa bagi
mahasiswa lain secara umum. Pengangkatan isu ini didasari oleh ketidakjelasan
fungsi Partai Mahasiwa yang cenderung hanya menjadi “Partai Pemira” saja.
Barangkali masih ada pemberitaan dari LPM lain di UNS yang
menjadikan ketidakberesan dalam organisasi pergerakan mahasiswa sebagai
sasaran kritik. Akan tetapi karena keterbatasan saya, hanya lima hal itu yang dapat
saya hadirkan dalam tulisan ini. Dari lima hal itu bisa dilihat betapa fase “bulan
madu” telah berakhir. Kini, persma dan organisasi pergerakan mahasiswa di UNS
telah memasuki fase baru dalam hubungan mereka. Sebuah fase di mana sasaran
kritik persma di UNS kini tidak lagi para pengelola kampus saja, akan tetapi juga
para “teman” dan “mantan pacar” mereka dulu: organisasi pergerakan mahasiswa.
Saya tidak berani menyebut kecenderungan semacam ini sebagai sebuah gejala
umum yang juga sama di tiap universitas dan kota. Untuk sampai pada
kesimpulan yang mencakup seluruh persma yang ada di Indonesia, kita masih
harus melakukan pengkajian lebih jauh.

(Dipublikasikan di milis Persma Indonesia)

28
Pers Mahasiswa dan Keberpihakan
Dan menjadi sebuah pilihan pula jika kemudian pers mahasiswa mencoba untuk
tidak sekedar memotret realitas, memposisikan keberpihakan secara tegas dalam
upaya pendidikan di massa mahasiswa.

Kalimat di atas saya ambil dari tulisan Desmiwati, Pemimpin Umum LPM
Solidaritas FISIP Unsoed tahun 2004, yang berjudul Berjuang Bersama Pers
Mahasiswa dan dimuat dalam Jurnal Solid edisi 1/XV/2004. Dalam tulisan
singkat itu, Desmiwati antara lain hendak mengatakan bahwa pers mahasiswa
(persma) hendaknya tidak ragu-ragu untuk menyatakan keberpihakannya.
Meskipun persma termasuk organisasi pers, ia tidak boleh “berlindung di balik
profesionalisme dan netralitas media”. Jadi, bagi Desmiwati, keberpihakan persma
dalam sajian jurnalistik yang dikeluarkannya adalah sesuatu yang “halal” dan
bahkan wajib. Bahkan secara terang-terangan Desmiwati menyebut juranlisme
persma sebagai “jurnalisme keberpihakan”.
Konsep keberpihakan dalam organisasi pers umum seringkali dianggap
“tabu”. Media-media profesional selalu saja mengklaim diri sebagai media yang
netral dan tidak memihak dalam mengeluarkan pemberitaan. Padahal, dapat
dibuktikan bahwa ada beberapa media profesional yang sama sekali tidak netral
dalam meliput dan menyajikan suatu peristiwa menjadi berita. Namun
ketidaknetralan ini tetap saja tidak diakui dan ditutupi.
Berbeda dengan di dunia pers umum, dalam pers mahasiswa keberpihakan
sepertinya telah menjadi sesuatu yang wajar dan diterima. Seperti dikatakan
Desmiwati, persma seharusnya memang merumuskan keberpihakannya secara
tegas dalam pemberitaan-pemberitaan yang dikeluarkannya. Bukan sekedar
memotret realitas, tapi juga menakar dan menimbang baik buruk realitas tersebut.
Hal ini karena persma dikelola oleh para mahasiswa yang dianggap sebagai
intelektual dan memiliki idealisme serta hasrat melakukan perubahan. Dan
bukankah perubahan tidak bisa dilakukan tanpa merumuskan keberpihakan?
Berkaitan dengan masalah keberpihakan dalam pemberitaan yang
dikeluarkan oleh persma, ada beberapa persoalan yang harus dicermati. Persoalan
pertama, apakah persma harus selalu menampakkan keberpihakan dalam berita-
berita yang dikeluarkannya. Bagi saya, jawabannya tidak. Persma tidak harus
selalu berpihak dalam tiap persoalan yang ia angkat menjadi berita. Kadangkala
persma juga harus bersikap netral. Ketika permasalahan yang diangkat menjadi
berita adalah permasalahan yang sifatnya “abu-abu”, maka persma harus netral.
“Abu-abu” berarti tidak jelas mana pihak yang salah dan mana pihak yang benar
atau kategori benar dan salah tidak tepat digunakan dalam konteks persoalan itu.
Sebagai contoh, dalam kasus perebutan kursi Presiden BEM yang melibatkan
beberapa calon, maka persma harus mengeluarkan pemberitaan yang netral atau
tidak memihak salah satu calon. Sebab masing-masing calon punya
kepentingannya sendiri dan tidak tepat menggunakan kategori “benar-salah”
dalam kasus ini.
Akan tetapi, dalam kasus yang sifatnya “hitam putih” maka persma harus
menampakkan keberpihakannya. Dalam kondisi yang semacam ini, pihak yang

29
“benar” dan pihak yang “salah” dapat diklasifikasikan dengan berbagai alat dan
pertimbangan. Misalnya saja dalam kasus kenaikan biaya SPP yang diputuskan
secara sepihak, maka persma boleh saja mengambil sikap dengan menolak
kenaikan itu dengan berbagai pertimbangan.
Persoalan kedua, kepada siapa persma harus berpihak? Apakah kepada
mahasiswa karena persma memang miliknya mahasiswa? Tentu saja,
keberpihakan yang buta terhadap kepentingan mahasiswa haruslah dihindari.
Keberpihakan persma harus ditujukan kepada pihak-pihak yang berada dalam
posisi kebenaran. Jadi, misalnya ada sebuah kasus yang melibatkan kepentingan
mahasiswa dan kepentingan birokrat kampus, maka hendaknya dilakukan dulu
analisa terhadap persoalan itu apakah mahasiswa yang benar atau sebaliknya,
birokratlah yang benar. Bila memang mahasiswalah yang salah, maka persma
harus tidak segan untuk berpihak kepada birokrat kampus. Demikian sebaliknya.
Kejujuran dan hati nurani, bagi saya, adalah alat yang paling ampuh buat
menentukan pihak mana yang harus kita bela kepentingannya.
Persoalan ketiga, bagaimana keberpihakan itu diwujudkan? Menurut saya,
keberpihakan yang diusung oleh persma tidak boleh diwujudkan dengan cara yang
“membabi buta”. Keberpihakan itu haruslah diwujudkan secara elegan dan tetap
dalam koridor-koridor aturan jurnalistik yang “baik”. Sebab persma berbeda
dengan organisasi kemahasiswaan lainnya yang bebas beropini apa saja. Persma,
sebagai organisasi pers, terikat dengan prinsip-prinsip tertentu dalam
mengeluarkan pemberitaan. Karena itu, keberpihakan persma terhadap satu
kepentigan tertentu merupakan keberpihakan yang diwujudkan dengan cara yang
tidak sama dengan organisasi mahasiswa lainnya. Keberpihakan persma adalah
“keberpihakan ala pers”. Dalam persoalan ini, ada beberapa hal yang harus
diingat.
Pertama, keberpihakan persma dalam pemberitaan hendaknya dilakukan
secara tidak langsung yaitu melalui pernyataan narasumber. Misalnya, apabila
seorang aktivis persma yang sedang menulis berita tentang kenaikan harga BBM
ingin menolak kenaikan itu, maka ia tidak boleh menulis secara langsung
penolakan itu. Yang harus dilakukannya adalah mencari narasumber yang
sependapat dengannya kemudian mengutip pernyataan narasumber itu.
Kedua, keberpihakan dalam pemberitaan tidak berarti pihak-pihak yang
kontra dengan kepentingan yang kita bela tidak kita beri tempat sama sekali dalam
pemberitaan. Pihak-pihak yang berlawanan dengan kepentingan yang kita bela
haruslah tetap diberi porsi yang wajar dalam pemberitaan. Namun sebisa mungkin
kita mesti menunjukkan kekurangan dari pendapat dari pihak yang kontra itu.
Caranya dengan mengkonfrontasikan pendapat narasumber lain yang sependapat
dengan kita yang bisa mematahkan argumentasi dari pihak yang kontra dengan
kepentingan yang kita bela. Misalnya dalam kasus kenaikan harga BBM, pendapat
dari pejabat pemerintah yang pro terhadap kenaikan itu harus tetap kita muat.
Namun setelah pendapat pejabat itu kita kutip, kita harus mengutip pernyataan
narasumber lain yang kontra terhadap kenaikan itu dan mampu mematahkan
pendapat dan alasan yang dikemukakan si pejabat.
Selain dengan cara mengkonfrontasikan, keberpihakan bisa dibangun
dengan memberi penekanan pada pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan

30
kepentingan yang kita bela. Penekanan itu bisa dilakukan dengan menempatkan
pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan kepentingan yang kita bela pada
tempat yang akan menarik perhatian pembaca. Misalnya dalam judul, lead, atau
akhir berita. Dengan strategi penempatan itu, perhatian pembaca akan lebih
terfokus pada pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan kepentingan yang kita
perjuangkan sehingga kesan yang muncul yang di benak pembaca akan sama
dengan yang kita harapkan.
Ketiga, keberpihakan harus disertai dengan penjelasan yang logis.
Penjelasan tersebut diusahakan sebisa mungkin berupa pendapat dari narasumber,
fakta-fakta yang terjadi, atau kalau terpaksa bisa dari si penulis berita sendiri.
Penjelasan ini sangat penting agar pembaca memahami alasan keberpihakan yang
kita bangun dan mengamininya.
Bagi persma, keberpihakan adalah sesuatu yang perlu dan bahkan
terkadang “wajib”. Namun yang perlu diingat adalah jangan sampai keberpihakan
itu membuat kualitas dari pemberitaan persma merosot mutunya. Jangan sampai
berita-berita yang disajikan oleh media-media terbitan persma beralih menjadi
semacam “opini” yang secara membabi buta berpihak terhadap satu kepentingan
tertentu tanpa mengindahkan kaedah-kaedah jurnalistik. Keberpihakan terhadap
sebuah kepentingan yang benar memang suatu hal yang mulia. Namun bila
keberpihakan itu dibangun tanpa mengindahkan prinsip-prinsip jurnalistik yang
baik, maka keberpihakan itu justru menjadi cacat karena tidak sesuai dengan
karakteristik persma sebagai organisasi pers. Bukankah tujuan yang mulia harus
dicapai dengan sarana yang mulia pula? Maka kalau Desmiwati menyatakan
jurnalisme persma adalah “jurnalisme keberpihakan”, saya ingin mengatakan
kalau jurnalisme persma yang baik adalah “jurnalisme keberpihakan yang
elegan”.

(Dimuat di Majalah Novum Fakultas Hukum UNS


No.18/XIX/Desember/2006)

31
Pers Mahasiswa, Bisa Apa?
(Untuk Abdul Rahman)

Bisa apa pers mahasiswa? Ya, bisa apa pers mahasiswa yang hanya
mampu menerbitkan buletin dalam jangka waktu bulanan atau tiga bulanan dan
majalah dalam jangka waktu tahunan? Bisa apa pers mahasiswa yang hanya
mempu mengedarkan terbitannya itu dalam ruang lingkup yang terbatas dan oleh
karenanya medianya itu menjadi segmented? Ya, dengan kemampuan
menerbitkan media yang ringkih itu dan kemampuan mendistribusikan media
yang sempit itu, apa kontribusi pers mahasiswa bagi Indonesia? Bagi bangsa ini?
Bagi masyarakat luas?
Jangan-jangan tak ada. Kalau begitu, buat apa pers mahasiswa
dipertahankan. Jadi, bubarkan saja pers mahasiswa di seluruh Indonesia! Begitu?
Selesai? Habis perkara!
Barangkali hal ini yang diinginkan oleh Abdul Rahman ketika ia menulis
komentar singkat dalam mailing list ini beberapa saat lalu. Antara lain Abdul
menyebut kontribusi real pers mahasiswa yang selama ini tidak kelihatan karena
pers mahasiswa hanya mampu menerbitkan media dalam jangka waktu yang
cukup lama dan distribusi yang sempit. Sebuah nada pesimisme yang, bagi saya,
agak kebablasan. Memang Abdul masih menyisakan adanya fungsi bagi pers
mahasiswa: buat pengembangan kemampuan jurnalistik dan mengasah idealisme.
Tapi, apa sisa fungsi ini tidak terlampau kecil?
Tahun 2004, Andreas Sigit Harsanto, Pemred LPM Solidaritas FISIP
Unsoed saat itu, pernah memaklumatkan penolakan terhadap tesis bahwa pers
mahasiswa adalah “sekedar” laboratorium jurnalistik yang berfungsi mengasah
dan melatih kemampuan jurnalistik anggota-anggotanya. Dan bagi Andreas, pers
mahasiswa harus mampu berbuat lebih dari itu. Paling tidak, menjadi organisasi
yang mampu berperan dalam mempengaruhi dinamika masyarakat.
Berbuat sesuatu yang lebih dari sekedar “laboratorium jurnalistik” itulah
yang agaknya diinginkan dan dikhayalkan oleh sebagian besar aktivis pers
mahasiswa. Sebab, buat apa susah-susah belajar jurnalistik kalau kemampuan itu
hanya ngendon dalam otak kita dan tidak ada faedahnya sama sekali bagi pihak di
luar kita. “Berbuat sesuatu yang lebih” rumusannya bisa berbeda-beda antara
organisasi pers mahasiswa yang satu dengan yang lain. Ada yang ingin menjadi
“anjing penjaga” bagi jalannya kebijakan di kampus, ada yang ingin menjadi
organisasi yang mampu menghadirkan bacaan alternatif bagi dunia pemikiran,
atau ada yang tetap setia pada idealisme “purba”: menjadi pihak yang mengkritisi
pemerintah.
Apapun rumusan “berbuat sesuatu yang lebih” itu, maka kita mesti
melihatnya sebagai sebuah idealisme, arahan, dan mungkin angan-angan. Dan
konsekuensinya, kita tak bisa melihat dalam waktu yang sekejap idealisme itu
bakal terwujud. Yang bisa kita harapkan dapat disaksikan dalam waktu dekat
adalah sebuah usaha yang terus-menerus untuk mewujudakan idealisme itu.
Dengan bekal semangat yang kadang naif. Dengan keberanian yang kadang
ngawur.

32
Maka, bagi “orang luar”, sangat mungkin idealisme yang diusung itu bakal
tetap dilihat sebagai angan-angan kosong sang pungguk yang memimpikan
memeluk bulan. Keinginan secara cepat menyaksikan tercapainya idealisme itu
pada hakekatnya adalah sebuah ketidaksabaran yang wagu. Seperti orang-orang
yang berharap bahwa reformasi akan segera menghadirkan perbaikan. Tapi
nyatanya, beberapa tahun reformasi perbaikan itu tetap saja dianggap tak ada.
Bukan karena perbaikan itu tak pernah ada, tapi harapan akan perbaikan yang
sempurna itulah yang menutupi mata bahwa sebenarnya perbaikan telah ada
betapapun kecilnya.
Ya, betapapun tidak teraturnya terbitan pers mahasiswa, pastilah sudah ada
sumbangan yang ia berikan pada pihak di luar dirinya. Betapapun terbatasnya
distribusi media pers mahasiswa, pastilah sedikit-sedikit telah ada kontribusinya.
Sulitnya, bagi orang yang perfeksionis dan memandang segalanya dari sudut
pandang ideal, maka kontribusi itu akan dengan segera dilupakan. Bukan karena
kontribusi itu tak pernah ada. Tapi harapan bahwa pers mahasiswa akan
memberikan kontribusi yang sempurna dalam jangka waktu yang cepat itulah
yang membuat orang beranggapan pers mahasiswa tidak bisa berbuat apa-apa.
Kemampuan penerbitan pers mahasiswa yang tersendat-sendat dan
pendistribusian yang tidak maksimal ditambah dengan berbagai persoalan internal
lain, bukan berarti lalu pers mahasiswa tidak bisa apa-apa. Paling tidak, ada usaha
buat melakukan “apa-apa” itu dan memberi kontribusi dalam rangka
mewujudakan rumusan “berbuat sesuatu yang lebih” itu.

(Dipublikasikan di milis Persma Indonesia)

33
Fungsi Kontrol Persma dan Kegiatan Non Penerbitan
Ketika saya berbicara tentang ”memperkuat fungsi kontrol pers
mahasiswa”, tentu saja saya beranggapan bahwa fungsi utama pers mahasiswa
adalah fungsi kontrolnya. Dalam konteks organisasi pers mahasiswa yang saya
aktif di dalamnya sekarang, fungsi kontrol yang ingin dicapai adalah fungsi
kontrol internal. Artinya, pihak-pihak yang ingin dikontrol oleh organisasi pers
mahasiswa saya adalah pihak-pihak internal kampus di mana organisasi pers
mahasiswa saya eksis.
Pilihan seperti ini telah banyak diperdebatkan. Wajar jika kemudian ada
yang tidak sepakat dengan ”penyempitan” peran semacam ini. Atau silakan saja
kalau ada yang beranggapan bahwa fungsi pers mahasiswa bisa diubah-ubah
setiap waktu: kadang bisa mengontrol, kadang bisa menghibur, kadang bisa
sekedar memberi informasi saja. Silakan saja para aktivis pers mahasiswa
manapun mengemukakan fungsi-fungsi atau peran apa yang dimainkan oleh
organisasi pers mahasiswanya.
Bagi saya, posisi atau peran yang dimainkan oleh pers mahasiswa memang
tidak harus tunggal. Artinya, masing-masing organisasi atau lembaga pers
mahasiswa bisa saja memilih salah satu posisi yang sekiranya pas atau malah
tidak memilih sebuah posisi secara jelas. Yang harus dikemukakan sebenarnya
adalah alasan kenapa sebuah posisi dipilih atau tidak dipilih. Berbagai
pertimbangan baik internal organisasi atau eksternal harus dikemukakan minimal
kepada anggota-anggotanya sendiri. Hal ini penting supaya para pegiat sebuah
lembaga pers mahasiswa memiliki pemahaman yang sama ke mana organisasinya
mau dibawa.
Tradisi “menyatakan diri” ini telah dimulai dengan sangat baik oleh
Balairung. Di tiap akhir halaman jurnal mereka, selalu terbit sebuah tulisan yang
merupakan refleksi atas perjalanan Balairung dan sedang di mana posisi mereka.
Berbagai alasan menyertai pilihan mereka. Bagi saya, ini sebuah tradisi yang
bagus. Tradisi refleksi dan berkaca, kemudian menuliskannya adalah sebuah
tradisi yang harus dikembangkan oleh organisasi manapun yang ingin arah
organisasinya jelas serta anggota-anggotanya memahami arah yang telah
disepakati itu.
Baiklah, itu seklilas soal pilihan posisi pers mahasiswa beserta fungsi-
fungsi yang menyertainya. Dalam tulisan ini, saya tak akan mengemukakan alasan
kenapa lembaga pers mahasiswa saya memilih fungsi kontrol internal. Alasan
tentang itu sudah pernah saya tulis dalam tulisan berjudul Pers Gerakan
Berorientasi Internal dan sudah pernah saya kirim ke milis ini. Dalam tulisan ini
saya akan berfokus pada upaya peningkatan atau penguatan fungsi kontrol pers
mahasiswa (khususnya lembaga pers mahasiswa saya).
Kata kunci utama dalam penguatan fungsi kontrol pers mahasiswa, bagi
saya, adalah kegiatan non penerbitan.Selama ini saya melihat (terutama di kampus
saya) banyak pers mahasiswa yang terlalu “bangga” akan hasil terbitan mereka
dan lupa untuk mengevaluasi diri apakah tujuan penerbitan produk mereka
tercapai atau tidak. Apakah fungsi kontrol (bila itu yang dipilih) yang dijalankan
terbitan mereka sudah tercapai atau tidak, seringkali tidak ada alat ukur yang jelas.

34
Maka kebanyakan aktivis pers mahasiswa sekedar berbangga bila sudah berhasil
mengeluarkan terbitan tanpa ingat lagi bahwa penerbitan sebuah produk adalah
“sarana” dan bukan “tujuan”. Penerbitan produk jurnalistik dilakukan demi
“sesuatu yang lain”.
Dalam konteks organisasi saya, penerbitan produk dilakukan salah satunya
untuk melakukan kontrol sosial terhadap kondisi internal kampus. Tapi tak jarang
kegiatan penerbitan dianggap selesai setelah berakhirnya masa sirkulasi dan
evaluasi. Jarang sekali ada refleksi apakah fungsi kontrol yang ingin dijalankan
sudah tercapai atau belum.
Kalau saya melakukan analisis (yang sifatnya mentah) atas proses
penerbitan yang dijalankan oleh lembaga pers mahasiswa di kampus saya, hampir
bisa dipastikan fungsi kontrol (yang memang dipilih oleh kebanyakan pers
mahasiswa di kampus saya) yang diinginkan melalui terbitan mereka belum
tercapai. Bagaimanapun juga, terbitan pers mahasiswa masih saja bisa disebut
ringkih: keluar dalam tempo yang tidak tetap, kualitas tulisan dan lay out harus
terus ditingkatkan, sirkulasi terbatas, dan jumlahnya sedikit. Kalaupun terbitan
mereka bisa melakukan fungsi kontrol, tentu realitasnya tak sama dengan harapan.
Masih ada kesenjangan yang jauh antara harapan dengan fakta di lapangan.
Bagi saya, terlalu berkutat pada terbitan dan hanya mengandalkan terbitan
sebagai satu-satunya alat kontrol yang dimiliki pers mahasiswa, adalah sebuah
kekhilafan. Sudah saatnya pola pikir seperti ini dirombak. Keinsyafan untuk
mengakui betapa ringkihnya terbitan pers mahasiswa harus dimiliki sembari terus
berusaha memperbaiki kelemahan itu. Tapi, selain perbaikan terbitan (yang sudah
merupakan kewajiban dan tidak perlu diperdebatkan), pers mahasiwa harus
melakukan usaha agar fungsi kontrolnya dapat terasa.
Dan menurut saya, sarana untuk melakukan fungsi kontrol ternyata bisa
ditemukan dalam kegiatan non penerbitan. Bagi saya, kegiatan diskusi yang
biasanya merupakan ”kegiatan ilmiah” bisa dirubah sebagai kegiatan dengan
tujuan untuk melakukan kontrol sosial. Kegiatan lain adalah kegiatan jajak
pendapat yang juga bisa dibilang efektif bila dipadukan dengan diskusi dan
penerbitan. Kegiatan ini bisa diperkuat dengan pembukaan jaringan kepada
organisasi-organisasi lain yang berkepentingan dengan isu yang sedang kita
kontrol. Lobying informal ternyata tak bisa dilupakan sebagai salah satu sarana
kontrol sosial.
LPM VISI FISIP UNS, organisasi pers mahasiswa tempat saya aktif
sampai sekarang, telah mulai memraktekkan pemikiran itu. Memadukan kegiatan
non penerbitan dan penerbitan sebagai sarana kontrol terhadap kondisi kampus.
Meski baru mencoba beberapa bulan, optimisme saya bahwa fungsi kontrol
melalui kegiatan non penerbitan akan cukup efektif mulai tumbuh.
Optimisme ini tumbuh ketika LPM VISI bekerja sama dengan sebuah
organisasi lain di kampus FISIP UNS menyambut agenda Pemilu Raya
Mahasiswa FISIP dengan kegiatan diskusi dan jajak pendapat. Timing yang tepat
serta jarangnya ada kegiatan diskusi yang mengambil tema tentang politik kampus
membuat diskusi yang kami selenggarakan cukup ”meriah”. Setidaknya, para
aktivis kampus yang hadir memberi apresiasi dan isu apatisme mahasiswa
terhadap politik kampus (yang kami suarakan melalui diskusi dan jajak pendapat

35
tersebut) menggema di kalangan pegiat mahasiswa di FISIP UNS. Cara pandang
dan pemikiran baru tentang kemajuan politik kampus pun bermunculan dalam
diskusi itu. Debat antara berbagai komponen organisasi mahasiswa terjadi dengan
seru namun tetap dalam suasana kekeluargaan.
Barangkali pemaparan ini akan dianggap sebagai ”narsis”. Silakan saja,
tak masalah. Barangkali juga akan timbul pertanyaan: apakah kegiatan non
penerbitan yang telah dilaksanakan LPM VISI FISIP UNS di atas benar-benar
lebih efektif dalam melakukan kontrol? Harus diakui, kegiatan non penerbitan
yang kami lakukan sebagai alat kontrol mungkin saja belum 100% efektif. Tapi
bagi saya, kegiatan itu membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang selama
ini belum kami lihat. Dan bagi kami, kemungkinan itu adalah kemungkinan yang
sangat menjanjikan.
Saya sepakat bahwa ciri khas utama pers mahasiswa adalah terbitannya.
Tapi, dalam melaksanakan fungsi kontrol sosialnya, pers mahasiswa tak bisa
hanya mengandalkan terbitannya. Ia harus melakukan berbagai cara dan mencari
berbagai kemungkinan untuk bisa melaksanakan fungsinya dengan baik.
Bukankah demikian?

(Dipublikasikan di milis Persma Indonesia)

36
“Salah Makna” Soal Penerbitan dan Non Penerbitan

Baiklah, debat tentang penguatan fungsi kontrol persma memang


selayaknya dilanjutkan. Tentu pemikiran-pemikiran yang muncul dalam debat
seperti ini akan sangat berguna bagi perkembangan pers mahasiswa. Selain itu,
perdebatan tentang tema ini bisa menjadi pemicu kembali bagi para pegiat milis
ini untuk kembali memanaskan suasana dengan berbagai pemikiran yang dimiliki.
Terhadap pertanyaan dan pernyataan Budi Purnomo, saya akan coba
tanggapi melalui tulisan ini. Pokok pikiran Budi ada tiga. Pertama, kenapa harus
memilih kegiatan non penerbitan untuk memerkuat fungsi persma? Kedua, soal
kegiatan non penerbitan yang akan lebih baik bila dipadukan dengan kegiatan
penerbitan. Ketiga, upaya memerkuat fungsi kontrol bisa saja dilakukan melalui
jalur penerbitan tapi non persma alias menyuarakan pendapat melalui media
massa umum. Contoh yang diberikan Budi untuk pemikirannya ini adalah dengan
menulis surat pembaca di media massa umum (kalau kita takut tidak punya space
di media massa umum).
Permasalahan pertama, kenapa harus kegiatan non penerbitan?
Jawabannya: karena kegiatan non penerbitan memiliki potensi yang cukup banyak
untuk dikembangkan menjadi salah satu sarana penguat fungsi kontrol pers
mahasiswa. Sebagai ilustrasi, saya akan menceritakan sebuah pengalaman saya
terkait dengan kegiatan non penerbitan dan fungsi kontrol.
Sekitar tahun 2005, saya dan beberapa kawan melakukan liputan
mendalam mengenai dugaan penyimpangan pembangunan sebuah gedung di
kampus saya. Hasil liputan itu kemudian saya tuangkan dalam tulisan dan
diterbitkan oleh media lembaga pers mahasiwa yang saya ikuti. Tapi, setelah
diterbitkan, ternyata suasana tetap “dingin-dingin saja”. Tak ada tanggapan yang
cukup memadai dari kawan-kawan mahasiswa lainnya. Dekanat sebagai biang
keladi masalah itu juga diam saja. Tapi soalnya menjadi lain beberapa waktu
kemudian. Kebetulan saya diundang untuk terlibat dalam menggagas sebuah
forum audiensi dengan dekanat fakultas tempat saya belajar. Forum itu
dimaksudkan sebagai sebuah forum untuk membicarakan berbagai masalah yang
dikeluhkan mahasiswa kepada pihak dekanat. Teringat liputan yang pernah saya
lakukan, saya kemudian membawa permasalahan itu ke dalam forum audiensi.
Berbagai data yang saya punya, termasuk kaset hasil wawancara saya
bawa. Di forum itu, saya kemudian menggugat masalah dugaan penyimpangan
gedung itu, langsung pada Dekan fakultas saya. Meski sempat mengelak, akhirnya
dekan mengaku telah terjadi penyimpangan dalam pembangunan gedung itu.
Pengakuan seperti ini menjadi penting, sebab disaksikan oleh cukup banyak
perwakilan mahasiswa dari berbagai komponen yang ada. Pengakuan itu, telah
menjadi titik terang baru dalam permasalahan itu. Mahasiswa sebagai publik telah
tercerahkan oleh adanya pengakuan itu.
Pengakuan itu tidak akan terjadi kalau saja saya cuma membawa masalah
itu dalam penerbitan produk jurnalistik. Seperti sudah kita semua tahu, penerbitan
pers mahasiswa seringkali banyak terkendala. Makanya, penerbitan pers
mahasiswa (tentu saja tidak semua) sering saya sebuat sebagai “ringkih”. Dalam

37
kondisi inilah, kegiatan non penerbitan bisa memainkan perannya untuk menutup
celah yang ditinggalkan oleh terbitan kita. Dalam kasus saya, kegiatan penerbitan
ternyata bisa dianggap lebih ampuh dibanding kegiatan non penerbitan.
Persoalan kedua, sinergi antara kegiatan non penerbitan dan penerbitan.
Ya, saya setuju bahwa sinergi keduanya adalah yang terbaik. Kalau saya sekarang
membahas masalah kegiatan non penerbitan, bukan berarti saya meninggalkan
kegiatan penerbitan. Juga, tidak berarti pula kegiatan non penerbitan dan
penerbitan tidak bisa seiring sejalan. Keduanya, bagi saya, harus saling
melengkapi. Sebuah jajak pendapat akan lebih baik bila hasilanya dipublikasikan
secara luas melalui penerbitan media. Tapi akan lebih sempurna lagi bila masalah
yang diangkat dalam jajak pendapat itu juga diangkat dalam sebuah dialog publik
atau diskusi. Sebaliknya, tema penerbitan kita akan lebih menggigit jika kita
mencoba mengangkatnya menjadi sebuah diskusi atau bila terbitan itu kita perkuat
datanya melalui jajak pendapat. Jadi, tak ada masalah dalam sinergi antara
keduanya.
Ketiga, masalah pegiat persma yang masuk ke media massa umum untuk
menyuarakan isu, misalnya saja melalui surat pembaca. Budi menyebut “jalur” ini
sebagai “jalur penerbitan” tapi yang “non persma”. Saya tidak sependapat dalam
hal ini. Kalau yang dimaksud Budi adalah para pegiat persma harus menulis
artikel atau surat pembaca di media umum, maka bagi saya itu termasuk “kegiatan
non penerbitan” bukan “penerbitan”.
Sebab yang dimaksud dengan “kegiatan penerbitan” dalam dunia persma
adalah kegiatan di mana para pegiat persma mengumpulkan data, menuliskannya,
kemudian menerbitkannya dalam bentuk media massa milik mereka dan
didistribusikan. Artinya, kegiatan penerbitan adalah “kegiatan menerbitkan sebuah
media tersendiri” bukan terlibat menulis dalam sebuah terbitan. Seorang pegiat
persma yang menulis surat pembaca di media umum tidak bisa dikatakan ia
menempuh atau sedang melaksanakan “kegiatan penerbitan”.
Jadi, usulan Budi—agar pegiat persma mencari space di media umum
dengan menulis surat pembaca—sebenarnya justru menunjukkan kesepakatan
Budi bahwa kegiatan non penerbitan ternyata bisa memberi andil yang tidak
sedikit pada penguatan fungsi kontrol persma. Di sini, “kesalahan” memberi
makna pada kegiatan non penerbitan dan kegiatan penerbitan membuat Budi
mendukung kegiatan non penerbitan tanpa disadarinya. Ini tentu berlawanan
dengan kalimatnya, “Pokoknya para pegiat persma tetap fokus di bidang
penerbitan.”
Kalaupun hal ini mau didebat, maka boleh saja mengatakan bahwa seorang
pegiat persma yang menulis surat pembaca itu memang terlibat dalam kegiatan
penerbitan media massa umum di mana ia mengirim suratnya itu. Tapi, sekali lagi,
tidak bisa dikatakan ia terlibat dalam “kegiatan penerbitan persma tempat ia
bergiat”. Namun saya sepakat bila cara yang disodorkan Budi (menyuarakan isu
melalui media massa non persma) patut dicoba. Siapa tahu kita bisa memafaatkan
kekuatan media massa umum untuk mencapai tujuan kita atau menguatkan fungsi
kontrol kita. Bukan begitu?

(Dipublikasikan di milis Persma Indonesia)

38
Mencari Posisi, Memilih Idealisme
Apakah pers mahasiswa harus back to campus? Ataukah harus tetap ada di
masyarakat? Atau, apa sebenarnya pengertian “back to campus” itu? Menjadi
media yang menyajikan isu-isu kampus doang? Ataukah menjadi media dengan
jurnalisme yang berbau akademis-teoretis seperti layaknya ciri sebuah “kampus”?
Perdebatan soal bagaimana “seharusnya” pers mahasiswa menempatkan
diri, seperti seringkali disebut, muncul ketika rezim orde baru tumbang. Saya tak
akan mengulangi teori “kehilangan lahan” itu. Pendeknya, kebebasan pers yang
memicu “keberanian” media umum untuk mengeluarkan pemberitaan yang
“mengkritik” penguasa telah membuat pers mahasiswa menjadi “tersingkir”. Saya
sendiri kurang menyukai istilah “kehilangan lahan”. Seolah-olah pers mahasiswa
dan pers umum adalah saingan. Seolah-olah mengkritik penguasa adalah “lahan
pemberitaan” yang harus diperebutkan antara pers mahasiswa dan pers umum.
Bagi saya, fungsi kontrol pers terhadap kekuasaan tidaklah perlu
“diperebutkan”. Memang selama ini, setahu saya, tidak ada aktivis pers
mahasiswa yang secara tersurat mengatakan bahwa pers mahasiswa harus berebut
lahan dengan pers umum. Akan tetapi teori “kehilangan lahan” menyiratkan itu.
Fungsi kontrol terhadap pemerintah yang sempat dijalankan oleh pers mahasiswa
(saya tak tahu seberapa efektif), memang kini telah diambil alih oleh pers umum.
Dan kejadian itu, bagi saya, tidak perlu ditangisi dan kita tak perlu merasa
“kehilangan lahan”. Justru kita patut bersyukur, bukankah “lahan” itu akan lebih
tergarap dengan subur oleh pers umum ketimbang bila kita yang menggarapnya?
Ya, yang perlu kita lakukan adalah melakukan refleksi dan mencari
“lahan” lain yang belum atau tidak mungkin digarap oleh pers umum. Dan para
aktivis pers mahasiswa agaknya telah melakukan itu. Pencarian “lahan” itu
memang telah menghasilkan perdebatan yang seru. Back to campus kemudian jadi
istilah yang muncul. Cuma, dalam perdebatan soal “reposisi pers mahasiswa” itu
ada hal yang sering dilupakan. Perdebatan tentang reposisi itu selalu diarahkan
pada pencarian posisi baru yang universal dan bisa berlaku umum. Artinya, posisi
baru yang sedang dicari itu diandaikan dapat cocok dengan semua pers mahasiwa
yang ada di Indonesia.
Tendensi pencarian “posisi baru yang universal” ini terlihat dengan
perdebatan yang terjadi yang selalu berisi kalimat-kalimat seperti: pers mahasiswa
itu harus begini, harus begitu, harus bisa a, harus bisa b, dan lain sebagainya.
Dalam menanggapi perdebatan itu, saya hanya ingin tanya: siapa yang dimaksud
dengaan kata-kata “pers mahasiswa” itu? Apakah itu berarti seluruh pers
mahasiswa di Indonesia?
Wah, kalau itu benar, maka bagi saya, ada yang terlewat dalam perdebatan
itu. Soalnya, saya percaya bahwa perdebatan tentang posisi baru pers mahasiswa
tidaaklah bisa diakukan secara “umum” atau universal. Sebab pencarian posisi
baru bagi pers mahasiswa yang bisa berlaku universal dan di mana saja, berakibat
terpinggirkannya karakteristik dan kondisi masing-masing organisasi pers
mahasiswa yang ada di Indonesia. Padahal faktor internal adalah faktor yang
mutlak harus jadi pertimbangan dalam melakukan refleksi dalam rangka
mereposisi pers mahasiswa. Selama ini memang faktor internal telah jadi

39
pertimbangan, namun faktor yang jadi pertimbangan itu pun di-gebyah uyah.
Artinya, tiap-tiap organisasi pers mahasiswa disamakan kondisi internalnya.
Misalnya saja, klaim tentang penerbitan yang tidak bisa rutin atau distribusi yang
tidak merata. Barangkali, memang itulah kondisi umum pers mahasiswa. Tapi,
bukan berarti semua organisasi pers mahasiswa mengalami hal seperti itu. Ada
beberapa organisasi pers mahasiswa di UNS misalnya, yang bisa melakukan
penerbitan—meski dalam bentuk buletin—secara berkala dan cenderung bisa
dikatakan tepat waktu.
Bagi saya, perdebatan tentang “bagaimana seharusnya pers mahasiswa
sekarang” haruslah dibenturkan dengan realitas konkret yang ada pada masing-
masing organisasi pers mahasiswa. Sekali lagi, realitas konkret yang berangkat
dari pengalaman nyata dan bukan sebuah “teori umum hasi generalisasi”.
Seringkali kita berjumpa dengan debat yang mengatakan bahwa pers mahasiswa
harus menjadi pers pergerakan, pers alternatif, pers akademis, atau malah pers
hiburan kawula muda. Sebenarnya perdebatan itu sah saja dilakukan. Namun
sayang, perdebatan yang dilakukan itu baru sebatas perdebatan tentang kondisi
pers mahasiswa secara umum (seolah-olah semua pers mahasiswa sama). Jadi
kalau kesimpulan debat itu adalah pers mahasiswa sebaiknya menjadi pers
gerakan, maka lalu seluruh pers mahasiswa yang ada di Indonesia diharuskan jadi
pers gerakan. Kalau kesimpulannya harus menjadi pers hiburan, maka pers
mahasiswa pun harus menjadi pers hiburan. Begitu? Untunglah, selama ini tak ada
(atau belum ada) kata sepakat untuk permasalahan itu.
Lalu bagaimana seharusnya reposisi pers mahasiswa mesti dilakukan?
Bagi saya, reposisi itu mesti berupa refleksi kontekstual yang dilakukan oleh
masing-masing aktivis pers mahasiswa terhadap kondisi internal organisasinya
dan juga lingkungan sekitarnya. Tentu saja hasil refleksi seperti ini adalah posisi
atau idealisme yang hanya bisa cocok untuk organisasinya saja, bukan untuk
organisasi pers mahasiswa yang lain Sebab bagi saya, posisi baru yang
diangankan bisa berlaku buat seluruh pers mahasiswa yang ada adalah sebuah
posisi yang tak mungkin. Ya, tak semua pers mahasiswa cocok menjadi pers
gerakan misalnya (ini kalau terminologi pers gerakan disepakati jadi salah satu
pilihan). Juga tak selamanya pers mahasiswa cocok jadi pers akademis. Balairung
yang kini jadi semacam pers akademis (istilah pers akademis ini saya pinjam dari
Deni Andriana) dengan menerbitkan jurnal, mungkin cocok dengan pilihan itu
karena tradisi akademis yang ada dalam organisasi itu cukup kuat. Sedangkan
bagi LPM VISI misalnya, pilihan menjadi pers akademis belum bisa diambil
sepebuhnya karena tradisi yang ada dalam organisasi ini adalah tradisi yang mirip
dengan apa yang oleh Deni Andriana disebut sebagai pers pergerakan.
Ya, sudah saatnya perdebatan tentang bagaimana pers mahasiswa
seharusnya memposisikan diri dikhususkan lagi menjadi refleksi kritis terhadap
kondisi internal lembaganya. Salah satu keuntungan refleksi kritis internal adalah
kesempatan untuk mempraktekkan hasil refleksi itu ke dalam praksis organisasi
menjadi lebih terbuka. Sebab bisa saja kita sudah berbusa-busa berdebat tentang
posisi ideal pers mahasiswa namun ketika debat itu telah mengeluarkan hasil, kita
tak mampu membuat hasil debat itu jadi kenyataan. Soalnya, debat yang
dilakukan itu terlalu umum dan dibumbui berbagai teori tetek bengek yang

40
internasioanl tapi lupa pada kondisi real di kampung halaman organisasinya
(jangan diartikan saya benci teori, lho). Jangan-jangan, misalnya saja, ketika kita
berdebat tentang pers akademis, ternyata kebanyakan anggota pers mahasiswa kita
tak pernah berurusan dengan yang namanya penelitian.
Bukankah, seperti telah disinggung dalam forum ini beberapa waktu lalu,
kelemahan utama para mahasiswa seperti kita adalah bisa omong banyak soal
idealisme tapi tak pernah mampu mewujudkannya?

(Dipublikasikan di milis Persma Indonesia)

41
Pers Gerakan Berorientasi Internal
(Refleksi atas Kondisi Pers Mahasiswa di UNS)

Perdebatan tentang bagaimana pers mahasiswa harus menempatkan diri, di


Univesitas Sebelas Maret (UNS), agaknya telah mendekati “tahap akhir”. Ketika
mencoba mencermati terbitan yang dihasilkan oleh pers mahasiswa di UNS—
terutama dalam bentuk buletin—akan terlihat bahwa pers mahasiswa di UNS
hampir memiliki kesamaan dalam orientasi pemberitaan mereka. Akan segera
terlihat bahwa hampir seluruh pers mahasiswa di UNS berorientasi pada isu-isu
internal di UNS sendiri. Secara lebih spesifik, pers mahasiswa di UNS berusaha
melakukan kontrol terhadap kebijakan “penguasa” yang ada di kampus mereka
(baik rektorat dan dekanat sebagai birokrat pengelola kampus, maupun BEM dan
DEMA sebagai “penguasa” di tingkatan mahasiswa).
Ya, hampir setiap terbitan—sekali lagi, dalam bentuk buletin—ditujukan
untuk melakukan kritik terhadap kebijakan yang diambil rektorat, dekanat,
maupun para mahasiswa yang tergabung dalam BEM dan DEMA. Tiap kali pers
mahasiswa di UNS menghasilkan produk, akan dapat dipastikan bahwa isi produk
itu merupakan kritik atau paling tidak pemberitaan tentang ketidakberesan yang
terjadi di kampus mereka. Ini bisa dilihat antara lain di empat buletin yang
diterbitkan oleh pers mahasiswa di UNS yaitu Buletin AK 47 (LPM Motivasi
FKIP UNS), Buletin Civitas (LPM Kentingan UNS), Buletin Ledak (LPM Novum
FH UNS), dan Buletin Acta Diurna (LPM VISI FISIP UNS).
Isu-isu seperti ketidakberesan dalam pengadaan jaket almamater (Ak 47),
ketidakberesan pengelolaan Asrama Mahasiswa UNS (Civitas), ketidakberesan
dalam kegiatan piknik para dosen dan karyawan Fakultas Hukum (Ledak), dan
kontroversi Surat Edaran Rektor UNS tentang organisasi mahasiswa (Acta
Diurna) adalah contoh isu yang “digemari” oleh para aktivis pers mahasiswa di
UNS. Masih banyak lagi contoh yang lain yang membuktikan bahwa pers
mahasiswa di UNS adalah pers mahasiswa yang selalu mengarahkan
pemberitaannya pada kondisi internal kampusnya yang tidak beres. Agaknya,
telah terjadi semcam “kesepakatan” bahwa pers mahasiswa di UNS akan selalu
memuat pemberitaan yang berurusan tentang kritik internal kampusnya.
Dan “kesepakatan” ini makin terlihat ketika LPM VISI FISIP UNS
menggelar diskusi dengan tema Mencari Posisi Ideal Pers Mahasiswa di
Indonesia pada Oktober 2006 lalu. Saat itu, Dadang Yhanedy (Pemimpin Umum
LPM Motivasi FKIP UNS) dan Hendra (Pemimpin Redaksi LPM Novum FH
UNS) sama-sama sepakat bahwa posisi ideal pers mahasiswa adalah tetap sebagai
“pengontrol kekuasaan”. Permasalahannya, ketika kontrol atas kekuasaan
pemerintah pusat dan (mungkin saja) pemerintah daerah telah dilakukan oleh pers
umum, maka pers mahasiswa harus mengontrol kekuasaan yang lain. Dan
kekuasaan yang harus dikontrol oleh pers mahasiswa itu adalah kekuasaan di
kampus mereka baik kekuasaan para pengelola kampus maupun kekuasaan di
tingkatan pemerintahan mahasiswa (BEM dan DEMA).
Dalam istilah Dadang, pers mahasiswa haruslah menjadi pers gerakan
yang bukan sekedar menginformasikan sesuatu tetapi juga melakukan kontrol
sosial. Karena tuntutan keadaan, maka kontrol sosial yang dijalankan oleh pers

42
mahasiswa adalah kontrol terhadap kondisi internal kampusnya sendiri. Tentu saja
ini tidak berarti bahwa pers mahasiswa otomatis “haram” memberitakan isu-isu di
luar kampusnya. Isu-isu eksternal kampus tetap saja boleh diangkat tetapi secara
prosentase mungkin jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding isu internal.
Menurut saya, ada beberapa alasan kenapa pers mahasiswa di UNS
mengambil pilihan sebagai pers gerakan yang berorientasi pada kondisi internal
kampusnya. Pertama, secara ideal, aktivis pers mahasiswa di UNS masih
menganggap tugas utama pers mahasiswa adalah melakukan kontrol sosial.
Keyakinan ini didasarkan pada sejarah masa lalu pers mahasiswa di Indonesia
yang tumbuh pertama kali untuk mendukung perjuangan kemerdekaan. Sejarah
pers mahasiswa ketika Indonesia telah merdeka juga menunjukkan bahwa pers
mahasiswa adalah pers yang melakukan kontrol sosial terhadap kekuasaan.
Di sekitar tahun 1966-1974, kita mengenal Harian KAMI, Mahasiswa
Indonesia, dan Mimbar Demokrasi sebagai pers yang dikelola mahasiswa yang
sering memuat isu-isu politik yang mengkritik penguasa. Pers mahasiswa saat itu
ikut menumbangkan rezim orde lama dan menegakkan orde baru. Namun setelah
orde baru menunjukkan indikasi menyimpang, pers mahasiswa pun melakukan
kritik terhadap penguasa orde baru. Dampaknya adalah di tahun 1974 ketika
pecah peristiwa Malari, tiga penerbitan mahasiswa yang paling berpengaruh
(Harian KAMI, Mahasiswa Indonesia, dan Mimbar Demokrasi) dibredel oleh
penguasa.
Setelah pembredelan di tahun 1974, muncul tiga penerbitan mahasiswa
yang kemudian jadi berpengaruh yaitu Salemba (Universitas Indonesia), Gelora
Mahasiswa (Universitas Gajah Mada), dan Kampus (Institut Teknologi Bandung).
Sama seperti para pendahulunya, tiga penerbitan yang mulai muncul tahun 1976
ini juga masih berorientasi kritik terhadap penguasa.
Sejarah pers mahasiswa di Indonesia dulu yang menempatkan kontrol
sosial sebagai fungsi utamanya itulah yang agaknya mempengaruhi aktivis pers
mahasiswa di UNS untuk memilih kontrol sosial sebagai fungsi utama mereka.
Namun para aktivis pers mahasiswa di UNS saat ini menyadari sangat tidak
mungkin melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah pusat seperti yang dulu
dilakukan oleh para pendahulu mereka. Sebab kran kebebasan pers telah
mendorong pers umum untuk mengambil alih fungsi kontrol sosial terhadap
kebijakan pemerintahan pusat dan juga (mungkin) pemerintahan daerah. Karena
itulah, pers mahasiswa di UNS berusaha mencari kekuasaan yang belum
mendapat kontrol oleh pers umum. Dan kekuasaan yang relatif belum mendapat
perhatian dari pers umum tentu saja adalah kekuasaan di dalam kampus.
Alasan kedua, adanya ketidakberesan dan penyimpangan yang terjadi di
UNS. Selama ini para aktivis pers mahasiswa meyakini sangat banyak
ketidakberesan yang terjadi dalam struktur birokrasi UNS yang sangat jarang
diperhatikan oleh mahasiswa. Bahkan organ-organ internal yang seharusnya
menyuarakan ketidakberesan itu sepereti BEM dan DEMA juga turut “diam”.
Entah karena ketidaktahuan atau hanya karena kemalasan. Menghadapi kondisi
seperti ini, pers mahasiswa UNS kemudian memutuskan harus menyuarakan
semua ketidakberesan tersebut, tentu saja sesuai kemampuannya. Ketika kontrol
yang dijalankan BEM dan DEMA terhadap birokrasi kampus dirasa tidak efektif,

43
maka pers mahasiswa merasa harus mengambil alih fungsi itu. Bahkan pers
mahasiswa di UNS juga telah mulai melakukan kritik terhadap teman-teman
mereka sendiri sesama mahasiswa yang duduk di jajaran pemerintahan mahasiswa
yang berbuat sesuatu yang kurang ideal.
Ketiga, tradisi pers mahasiswa di UNS yang “mewarisi” pers gerakan.
Selama ini pers mahasiswa di UNS memang lebih dekat dengan aktivitas pers
yang bisa dikategorikan sebagai pers gerakan ketimbang jenis pers yang lain
seperti pers akademis maupun pers hiburan, misalnya. Kondisi ini menyebabkan
para aktivis pers mahasiswa di UNS lebih terbiasa memainkan posisi sebagai pers
gerakan dari pada posisi yang lain. Karena itulah, ketika posisi sebagai pers
gerakan yang berorientasi pada kondisi internal kampus dijalankan, para aktivis
pers mahasiswa di UNS telah sedikit banyak terbiasa dengan posisi itu.

Catatan: sejarah pers mahasiswa di Indonesia dalam tulisan ini saya kutip dari
Buku Didik Supriyanto yang berjudul Perlawanan Pers Mahasiswa, Protes
Sepanjang NKK/BKK (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998).

(Dipublikasikan di milis Persma Indonesia)

44
KEJ, Pers Mahasiswa, dan Dilema
Sebagian kita yang sudah membaca hasil penelitian Wina Armada Sukardi
yang disokong Dewan Pers mungkin akan terperanjat.14 Dalam penelitian yang
mencoba mendapat gambaran tentang pemahaman Kode Etik Jurnalistik (KEJ) di
kalangan wartawan itu, didapat hasil bahwa sebagian besar wartawan Indonesia
belum memiliki pemahaman yang baik mengenai KEJ. Lebih dari itu, ternyata
mayoritas responden dalam penelitian itu menjawab bahwa mereka—yang
notabene merupakan wartawan profesional—belum pernah membaca KEJ. Tak
tanggung-tanggung, jumlah responden yang belum pernah membaca KEJ adalah
78 %, sebuah jumlah yang sangat besar.
Padahal, sebagai sebuah aturan profesi, KEJ penting untuk dipahami agar
wartawan profesional yang bekerja di lapangan tidak melakukan “malpraktek”.
KEJ adalah sebuah panduan tentang bagaimana sepatutnya dan sebaiknya
wartawan bekerja melakukan kegiatan jurnalistiknya.15 Pemahaman yang kurang
terhadap KEJ otomatis membuat kegiatan jurnalistik seorang wartawan dilakukan
menjadi kurang ideal karena dilakukan tanpa berdasar sebuah pedoman baku yang
telah disepakati. Akibatnya, kegiatan jurnalistik wartawan bisa merugikan
masyarakat dan menjadi kontraproduktif dengan tujuan awal jurnalisme.
Selama ini, diskusi soal KEJ hanya dikaitkan dengan kerja jurnalistik yang
dilakukan wartawan profesional. Hal ini sebenarnya wajar mengingat KEJ
memang dibuat untuk memberi pedoman pada orang yang berprofesi sebagai
wartawan. Masalahnya, ada pula kegiatan jurnalistik yang tidak dilakukan oleh
wartawan profesional. Kegiatan jurnalistik pers mahasiswa dan kegiatan
jurnalistik yang dilakukan para pewarta warga dalam Citizen Journalism,
contohnya. Kedua kelompok ini jelas tidak masuk dalam kategori wartawan
profesional. Tapi, kedua kelompok ini jelas melakukan kerja jurnalistik dalam
kurun waktu tertentu. Lalu, haruskah KEJ juga dianut oleh mereka yang bukan
wartawan profesional tapi melakukan kerja jurnalistik?
Tulisan ini mencoba membahas pertanyaan itu, khusus dari sudut pandang
pers mahasiswa. Persoalan jurnalisme warga dan KEJ agaknya lebih kompleks
dan perlu sebuah pembahasan lebih mendalam.

Filosofi Kode Etik


Pada dasarnya, kode etik hanyalah monopoli orang-orang yang bekerja
dengan profesi tertentu saja. Secara filossofis, banyak teori yang mengungkap
kenapa sebuah profesi mesti memiliki kode etik. Menurut Wina Armada Sukardi,
dalam perkembangan masyarakat manapun, pasti terdapat sebuah kelompok yang
berprofesi tertentu dan memiliki tradisi tertentu. Secara tradisonal, ada empat

14
Hasil penelitian Wina bersama Dewan Pers kemudian dibukukan dalam sebuah buku bertajuk
Close Up Seperempat Abad Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pada Oktober 2007 lalu. Selain
soal penelitian itu, buku ini juga memberi gambaran tentang KEJ dan beberapa hal yang terkait
dengannya.
15
Lihat Wina Armada Sukardi, Close Up Seperempat Abad Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik,
Dewan Pers, Jakarta, 2007, hal 4.

45
bidang profesi yang hampir selalu ada dalam masyarakat manapun: kedokteran,
hukum, wartawan, dan rohaniawan.16
Lewat proses tertentu, pengemban profesi itu dituntut memiliki tingkat
moralitas yang tinggi yang bersumber pada pengabdian untuk sesama manusia
serta kepentingan umum serta keahlian teknis dari ilmu di bidangnya. Selain itu,
pengemban profesi juga memiliki sebuah kekuasaan untuk menjalankan keahlian
dan ketrampilannya. Dalam menjalankan profesi, biasanya pengemban profesi
akan menemukan masalah-masalah yang terkait dengan keahlian teknisnya
sekaligus berhubungan dengan masalah moralitas. Persoalan-persoalan yang
muncul itulah yang kemudian membuat pengemban profesi membutuhkan sebuah
pedoman perilaku tentang bagaimana menjalankan profesinya. Pedoman perilaku
itulah yang kemudian disebut sebagai kode etik. Penyusunan kode etik diserahkan
pada para pengemban profesi sendiri sebagai orang yang paling tahu akan
proifesinya.17
Dilihat dari sejarah terbentuknya kode etik tersebut, jelas sudah bahwa
kode etik hanya berlaku bagi para pengemban profesi. Otomatis, KEJ sebenarnya
hanya mengikat para wartawan profesional saja. Para mahasiswa yang bergiat di
pers mahasiswa sebenarnya tidak harus terikat dengan KEJ dan otomatis tidak
bisa dikenai sanksi kalau melanggar KEJ. Status ini beda dengan wartawan
profesional. Wartawan profesional yang diputuskan oleh Dewan Pers telah
melanggar KEJ harus menerima sanksi walaupun hanya berupa sanksi moral dari
masyarakat atau sanksi dari perusahaan pers atau organisasi wartawan yang ia
ikuti.18
Namun, meski begitu, kalau kita percaya bahwa salah satu fungsi dari pers
mahasiswa adalah sebagai “laboratorium jurnalistik” bagi para pegiatnya, maka
tidak ada salahnya KEJ juga menjadi acuan dalam kerja jurnalistik pers
mahasiswa. Bagaimanapun, KEJ adalah sebuah pedoman perilaku yang jika
ditaati akan bermanfaat dalam hal peningkatan kualitas kerja jurnalistik pers
mahasiswa. Pasal-pasal yang ada dalam KEJ adalah sebuah arahan yang bagus
dan jelas bagi kerja jurnalistik pers mahasiswa. Apalagi, kondisi kebebasan pers
yang sekarang cenderung memarginalkan pers mahasiswa harus disikapi dengan
sebuah peningkatan kualitas produk. Kalau kualitas produk pers mahasiswa tidak
bisa meningkat dan memenuhi standar jurnalistik yang mapan, bagaimana
mungkin masyarakat akan tertarik membaca terbitan pers mahasiswa?

“Jurnalisme Keberpihakan” dan Dilema


Tapi penerimaan pers mahasiswa terhadap KEJ juga memunculkan dilema
tersendiri. Dilema itu muncul karena pers mahasiswa memiliki sejarah dan
karakter sendiri yang berbeda dengan pers umum. Awal terbentuknya pers
mahasiswa, bagaimanapun, lebih dekat pada “kubu mahasiswa” daripada “kubu
pers”. Artinya, “semangat ala mahasiswa”—dan bukan “semangat ala pers”—

16
Ibid, hal 2.
17
Ibid, hal 2-3.
18
Akan tetapi wartawan yang melanggar KEJ sebenarnya juga bisa dikatakan melanggar produk
hokum yaitu Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999. Hal ini karena dalam UU Pers pasal 7 ayat 2
disebut bahwa “Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”

46
yang sebenarnya lebih kental mewarnai pergerakan pers mahasiswa. Karena itu,
tidak heran kalau kita membaca sejarah pers mahasiswa akan kita dapati sejarah
perlawanan yang heroik ala anak muda dan bukan semangat untuk memberitakan
secara berimbang dan cover both side ala pers umum.
Ide keberpihakan sangat kuat tertanam dalam perjalanan gerakan pers
mahasiswa. Terbitan-terbitan pers mahasiswa dikenal sangat diwarnai
keberpihakan pada rakyat dan kebencian pada penguasa yang lalim. Karakter para
pengelolanya yang muda dan memiliki idealisme tinggi dipastikan menguatkan
identitas tersebut. Maka, tak heran, sampai hari ini ide keberpihakan merupakan
gagasan yang masih tertancap kuat dalam benak sebagian pengelola pers
mahasiswa yang memahami sejarah dan filosofi awal terbentuknya pers
mahasiswa.
Di Jurnal Solid edisi 1/XV/2004, Desmiwati, Pemimpin Umum LPM
Solidaritas FISIP Universitas Jenderal Sodirman tahun 2004, menulis sebuah
artikel bertajuk Berjuang Bersama Pers Mahasiswa.19 Tulisan itu merupakan
sebuah tulisan yang menggebu-gebu dan dipenuhi dengan semangat perlawanan
khas anak muda. Dalam uraiannya yang singkat, Desmiwati antara lain hendak
mengatakan bahwa pers mahasiswa hendaknya tidak ragu-ragu untuk menyatakan
keberpihakannya. Meskipun persma termasuk organisasi pers, ia tidak boleh
“berlindung di balik profesionalisme dan netralitas media”. Jadi, bagi Desmiwati,
keberpihakan persma dalam sajian jurnalistik yang dikeluarkannya adalah sesuatu
yang “halal” dan bahkan wajib. Bahkan secara terang-terangan Desmiwati
menyebut jurnalisme persma sebagai “jurnalisme keberpihakan”.
Kalau “jurnalisme keberpihakan” ala Desmiwati kita terima, maka apakah
kita telah melanggar KEJ? Sebab, dalam Pasal 1 KEJ disebutkan bahwa
“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Kata “berimbang” dalam pasal itulah yang
barangkali bisa kita lawankan dengan konsep “keberpihakan”-nya Desmiwati.
Pada Pasal 3 KEJ juga diulangi lagi bahwa “Wartawan Indonesia selalu menguji
informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini
yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.”
Dalam prakteknya, pasal 3 itu kadang tidak dilaksanakan oleh pers
mahasiswa karena ada beberapa pers mahasiswa dalam terbitannya biasanya
secara menggebu-gebu menyerang satu pihak tertentu tanpa mempertimbangkan
prinsip keberimbangan yang proporsional, dan kadang terjadi campur aduk fakta
dan opini. Keberpihakan, oleh sebagian pengelola pers mahasiswa, diartikan
sebagai “keberpihakan mutlak” sehingga harus menggunakan segala daya upaya
dan tanpa memikirkan kaedah jurnalistik untuk memihak kubu tertentu sembari
menyerang kubu lain.
Maka, tak heran kalau dalam sebuah berita di buletin salah satu pers
mahasiswa di UNS kita temui kalimat sebagai berikut: “ Hanya saja, muncul

19
Jurnal Solid adalah sebuah jurnal yang diterbitkan oleh LPM Solidaritas FISIP Universitas
Jenderal Sodirman (Unsoed), Purwokerto. Jurnal ini, kalau saya tidak salah, hanya berhasil terbit
sekali. “Matinya” jurnal itu, bagi saya, merupakan sesuatu yang harus disayangkan karena jurnal
itu sebenarnya sebuah eksperimen menarik yang menandakan pegiat pers mahasiswa berusaha
menyiasati keterbatasan ruang yang justru tercipta ketika kebebasan pers makin terbuka.

47
selentingan-selentingan di luar bahwa munculnya calon independen dalam pemira
mahasiswa hanya menjadi satu fenomena yang ada karena mahasiswa kita
membeo perilaku pemerintah yang sedang ngetrend, yaitu memunculkan calon
independen dalam pilkada. Semangat mahasiswa mengalami degradasi yang tajam
karena dianggap hanya membeo keputusan dan tingkah laku pemerintah saja.”20
Kalimat-kalimat itu adalah kalimat dalam berita dan bukan artikel atau
tajuk rencana. Tapi dilihat dari segi jurnalistik, kalimat itu tidak layak disebut
sebagai kalimat yang ada dalam sebuah berita. Alasannya jelas: si “wartawan
mahasiswa” yang menulis berita itu sama sekali tidak mencantumkan narasumber
yang mengeluarkan pernyataan yang menganggap “bahwa munculnya calon
independen dalam pemira mahasiswa hanya menjadi satu fenomena yang ada
karena mahasiswa kita membeo perilaku pemerintah yang sedang ngetrend, yaitu
memunculkan calon independen dalam pilkada.” Narasumber yang tidak ada itu
jelas segera memunculkan dugaan bahwa pendapat itu adalah pendapat pribadi si
“wartawan mahasiswa” atau malah “pendapat resmi” dari lembaga pers
mahasiswa tempat dia bergiat. Artinya, prinsip pemisahan fakta dan opini jelas
tidak dipenuhi.
Dalam kasus ini, lembaga pers mahasiswa itu memilih “jurnalisme
keberpihakan” dengan menyatakan sebuah opini untuk mendukung gagasan yang
didukungnya. Meski lembaga pers mahasiswa yang bersangkutan masih memberi
tempat pada pendapat yang sepakat dengan calon independen dalam pemira,
namun memasukkan opini ke dalam sebuah berita jelas bisa ditengarai sebagai
sebuah pemihakan yang tidak berimbang.
Kasus itu adalah bukti real tentang adanya dilema ketika pers mahasiswa
memilih ingin mengadopsi KEJ dalam kerjanya. Tapi, sebenarnya, saya percaya,
dilema itu bisa diselesaikan. Artinya, tetap ada sebuah titik temu antara prinsip
berimbang dalam KEJ dengan “jurnalisme keberpihakan” ala pers mahasiswa.
Titik temu itu tentunya bisa diharapkan menyelesaikan dilema yang ada.21 Nah,
kalau dilema ini sudah selesai, masalah selanjutnya adalah bagaimana
meningkatkan pemahaman para pegiat pers mahasiswa tentang KEJ dan
aplikasinya. Barangkali, masalah kedua ini akan lebih sulit.

(Makalah pada Diskusi Internal LPM VISI tentang


Kode Etik Jurnalistik)

20
Demi menjaga nama baik pers mahasiswa yang bersangkutan, tidak perlu saya sebut pers
mahasiswa mana yang membuat berita dengan cara yang seperti itu. He2☺
21
Salah satu “tugas” diskusi yang kita lakukan ini adalah mencari titik temu itu. Bagaimana
“jurnalisme keberpihakan” tetap bisa kita adopsi tanpa harus bertentangan dengan KEJ, itulah
yang harusnya bisa kita temukan.

48
Lembaga Pers Mahasiswa
VISI

49
Memoar Pengusiran
Pada Kamis, 21 Februari 2008, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) VISI FISIP
Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo menerima kabar dari Sekretaris Jurusan
Administrasi Negara (AN) FISIP UNS tentang keputusan pemindahan Sekretariat
LPM VISI. Alasannya: ruang Sekretariat LPM VISI itu nantinya akan digunakan
sebagai tambahan Kantor Jurusan AN. Sekretaris Jurusan AN mengatakan
keputusan itu sudah mutlak, dan seminggu lagi LPM VISI harus angkat kaki.
Namun, setelah dicek pada Dekan FISIP UNS, keputusan pemindahan itu belum
secara resmi diturunkan. Tulisan ini adalah narasi tentang kesimpangsiuran
perpindahan itu. Narasi ini tak mewakili sikap resmi LPM VISI FISIP UNS.
***

Kamis siang (21/2), Nur Heni Widyastuti, Pemimpin Umum LPM VISI
FISIP UNS, masuk ke sekretariat LPM VISI dengan wajah tegang. Ia diam saja
ketika saya dan Paramita (Sekretaris Redaksi Terbitan LPM VISI) menanyainya.
Saat itu, Heni baru saja kembali setelah menghadap Sekretaris Jurusan
Administrasi Negara (AN) FISIP UNS Drs. Agung Priyono untuk membicarakan
tentang rencana kepindahan Sekretariat LPM VISI.
Beberapa saat kemudian, Heni mulai bersuara tapi kata-katanya terdengar
putus-putus. Rupanya, ia bicara sambil menangis. Melihat semua itu, saya hanya
diam saja, menunggu ia bercerita secara lebih tenang. Ketika sudah mampu
mengendalikan emosi, Heni bercerita pada saya dan Paramita bahwa Sekretaris
Jurusan AN bersikeras bahwa Sekretariat LPM VISI harus dipindah, tanpa bisa
ditolak. Alasan kepindahannya karena ruang sekretariat itu mau dipakai guna
perluasan Kantor Jurusan AN.
Yang lebih memedihkan hati, alasan Heni untuk berkeberatan dengan
kepindahan itu sama sekali tak digubris Agung. Agung bahkan mengatakan
seminggu lagi kami mesti angkat kaki dari sekretariat kami karena perpindahan itu
sudah mendapat persetujuan resmi dari Dekanat FISIP UNS.
Padahal, seminggu lagi, LPM VISI akan menggelar Seminar Nasional, jadi
tak mungkin mengurusi kepindahan dalam minggu ini. Heni sudah mengatakan
pada Agung bahwa seminggu lagi LPM VISI akan menggelar semnas tapi Agung
tetap tak menggubris. Kalau LPM VISI bersikeras tak mau pindah, kata Agung,
bisa muncul surat peringatan.
Mendengar semua itu, saya yang sebenarnya sedang puasa, tak kuasa
menahan emosi. Saya merasa ada yang tak beres karena Agung, selaku Sekretaris
Jurusan AN, tak berwenang mengurusi soal perpindahan ruang di FISIP UNS.
Yang berwenang dalam pengaturan ruang adalah Dekanat FISIP UNS khususnya
Pembantu Dekan II. Saya pun segera naik ke lantai dua menuju kantor dekanat.
Tapi di sana, sedang ada rapat sehingga saya belum bisa ketemu dengan Dekan
atau jajarannya.
Beberapa jam berselang, saya (sebagai Staf Litbang LPM VISI) dan Rizky
(Staf Sekretariat LPM VISI) akhirnya berhasil menemui Dekan FISIP UNS Drs.
Supriyadi SN SU. Kami mengadu soal rencana perpindahan itu dan bertanya
kenapa semua itu bisa terjadi.

50
Dekan menjawab bahwa Jurusan AN sebenarnya belum mengajukan
permohonan secara resmi terhadap Dekanat untuk “mengambil” Sekretariat LPM
VISI. Pihak Jurusan AN baru mengajukan permohonan secara lisan pada Dekan
untuk memperluas kantor mereka dengan mengambil ruang dapur dan Sekretariat
LPM VISI menjadi bagian dari kantor itu. Sebagai ganti, LPM VISI akan
mendapat sebuah ruangan lain di dekat kamar mandi.
Saya kemukakan pada Dekan bahwa teman-teman LPM VISI merasa
kaget dengan langkah yang diambil Sekretaris Jurusan AN. Dekan pun mengaku
tak tahu bahwa Sekretaris Jurusan AN ternyata sudah menemui pengurus LPM
VISI untuk bicara masalah itu. Dekan mengaku Sekretaris Jurusan AN tak pernah
melapor bahwa ia akan menemui langsung Pengurus LPM VISI untuk melakukan
pembicaraan.
Kini, saya yang ganti kaget. Ternyata, langkah yang diambil Sekretaris
Jurusan AN adalah sebuah langkah “ilegal”! Ya, perpindahan Sekretariat LPM
VISI ternyata belum disetujui secara resmi oleh Dekanat FISIP UNS karena surat
permohonan untuk memperluas Kantor Jurusan AN pun belum diajukan!
Kalau perluasan Kantor Jurusan AN belum diajukan secara resmi dan itu
artinya belum disetujui, atas dasar apa Drs. Agung Priyono menekan Pemimpin
Umum LPM VISI untuk segera angkat kaki seminggu lagi? Atas dasar apa
Sekretaris Jurusan AN mengatakan bahwa kalau LPM VISI bersikeras akan ada
surat peringatan?
Saya terus bertanya-tanya, bahkan sampai saya menulis tulisan ini pun
pertanyaan itu belum terjwab. Sikap pengurus LPM VISI atas pemindahan itu
sendiri belum ditentukan. Namun mayoritas sebenarnya keberatan dengan
perpindahan itu meski konon kabarnya ruang untuk ganti sekretariat itu lebih luas.
Bagaimanapun, teman-teman LPM VISI merasa telah nyaman tinggal di
sekretariat yang sekarang.
Terlepas dari sikap keberatan atau tidak atas perpindahan itu, langkah
Sekretaris Jurusan AN yang menekan Pemimpin Umum LPM VISI adalah
langkah yang sangat disesalkan. Sebagai dosen, juga sebagai birokrat, seharusnya
ia paham bagaimana tata cara perpindahan ruang di sebuah fakultas!
Dekan FISIP UNS juga tak membenarkan sikap Sekretaris Jurusan AN itu
dan Senin (25/2) besok rencananya akan digelar pertemuan tiga pihak: Dekanat,
Jurusan AN, dan LPM VISI. Langkah Dekan FISIP UNS ini juh lebih bijaksana
daripada secara sepihak memerintahkan pindah dan malah secara semena-mena
memberi tenggang waktu maksimal seminggu!
Siang ini, Jumat (22/2), kawan-kawan LPM VISI akan mengambil sikap
soal perpindahan sekretariat yang sudah seperti rumah bagi mereka itu. Semoga
yang terbaiklah yang akhirnya diputuskan Tuhan untuk terjadi.

(Dipublikasikan di Blog “Rumah Mimpi”


[http://rumahmimpi.blogspot.com])

51
Memoar Pengusiran (2)

Pada Selasa 9 April 2008, persoalan pemindahan Sekretariat Lembaga


Pers Mahasiswa VISI FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, kembali
memanas. Hari itu, Nur Heni Widyastuti (Pemimpin Umum LPM VISI), Rini
Setyowati (Sekretaris Umum LPM VISI), dan Setiadi Budi Nugroho (Staf Usaha
LPM VISI) menghadiri pertemuan untuk membahas persoalan itu.
Seperti pernah saya tulis sebelumnya, Sekretariat LPM VISI rencananya
dipindah dengan alasan dipakai perluasan Kantor Jurusan Administrasi Negara
(AN) FISIP UNS. Dalam pertemuan yang dihadiri tiga pihak itu—LPM VISI,
Dekanat FISIP UNS, dan Jurusan AN FISIP UNS—perwakilan LPM VISI
meminta ada surat keputusan resmi tentang pemindahan itu.
Anehnya, Sekretaris Jurusan AN Drs. Agung Priyono menolak mentah-
mentah permintaan yang sebenarnya wajar itu. Yang lebih kontroversial, Agung
marah-marah dan memilih walk out dari pertemuan itu! Berikut kisah
selengkapnya.
***

Saya ada di sekretariat ketika Nur Heni, Rini, dan Setiadi kembali dari
pertemuan dengan pihak dekanat dan Jurusan AN membahas soal rencana
pemindahan Sekretariat LPM VISI. Saya tak berani bertanya kepada mereka
tentang hasil pertemuan itu.
Saya lihat Heni dan Rini berwajah tegang. Setiadi demikian pula.
Ketiganya sempat ngobrol dengan beberapa kawan lain tentang persoalan itu
dengan ekspresi yang sama-sama tegang. Saya berfirasat: ada lagi yang tak beres.
Beberapa waktu kemudian, saya sempatkan bertanya pada Setiadi. Ia
menerangkan tidak dengan urut dan detail Jadi, saya agak sulit mendapat
gambaran utuh tentang jalannya pertemuan itu. Yang saya tahu: Agung Priyono
pergi meninggalkan ruangan saat pertemuan sebenarnya belum selesai. Konon, ia
marah karena mendengar permintaan kawan-kawan saya yang ingin mendapat
surat keputusan resmi dari Dekanat FISIP UNS perihal pemindahan itu.
Sore harinya, setelah diskusi tentang kaderisasi yang berbusa-busa, Heni
menceritakan dengan detail jalannya pertemuan itu. Dalam forum itu, seperti
sudah saya ulangi berkali-kali, pihak LPM VISI meminta surat keputusan resmi
tentang pemindahan itu. Alasannya jelas: pemindahan itu seharusnya menjadi
sebuah keputusan resmi yang sudah sewajarnya pula disahkan dan
didokumentasikan dalam selembar surat keputusan. Permintaan itu, siapapun tahu,
tak memberatkan dan seharusnya diterima dengan wajar-wajar saja.
Tapi permintaan yang biasa dan wajar sekali itu ditanggapi dengan
emosional oleh Agung Priyono yang mewakili Jurusan AN. Katanya, kalau mesti
ada surat seperti itu, pertemuan tiga pihak tak perlu ada. Saya tak tahu bagaimana
detailnya, tapi setelah berdebat, Agung memutuskan keluar forum dan
mengatakan bahwa Jurusan AN tak mau ikut campur lagi perihal persoalan itu. Ia
menyerahkan penyelesaian masalah tersebut pada dekanat dan LPM VISI.

52
Setelah Agung pergi, pertemuan dilanjutkan, tapi tentu saja tak lagi
kondusif. Setelah didesak, Pembantu Dekan II Drs. Marsudi, MS akhirnya
menyetujui dibuatnya surat resmi tersebut. Mengenai beberapa kompensasi yang
diminta LPM VISI, PD II menyatakan akan mengusahakan.
Setelah itu, pertemuan selesai. Saya dan kawan-kawan sekali lagi merasa
ada yang tak beres dengan soal pemindahan itu. Proses yang tidak transparan dan
terkesan ingin menang sendiri nampak dari sikap yang dikeluarkan dekanat dan
Jurusan AN dalam persoalan ini.
Apalagi, banyak desas-desus tak mengenakkan di seputar masalah
pemindahan tersebut. Pendeknya, banyak yang berfirasat bahwa pemindahan itu
tak melulu soal perluasan kantor saja. Ada soal lain yang melatarbelakanginya.
Beberapa hari sebelumnya, ketika PD II secara baik-baik memanggil
perwakilan LPM VISI untuk membicarakan pokok soal itu, harapan sebenarnya
telah timbul. Hampir semua pengurus LPM VISI amat menghargai sikap PD II
yang demikian. Saat itu, kami berharap bahwa proses yang baik-baik itulah yang
akan terjadi dalam masalah ini.
Tapi, harapan saya dan kawan-kawan agaknya akan kandas di tengah
jalan. Sikap emosional pihak Jurusan AN menunjukkan bahwa mereka tak punya
itikad yang baik untuk menyelesaikan soal ini dengan sebaik-baiknya. Saya dan
kawan-kawan kini terus bercuriga bahwa ada sentimen-sentimen tertentu di balik
rencana pemindahan itu.
Kalau anda membaca tulisan saya sebelumnya di blog ini tentang masalah
pemindahan itu (“Memoar Pengusiran”), anda akan tahu betapa sikap tak
bersahabat sudah ditunjukkan pihak Jurusan AN sejak awal.
Masalah pemindahan Sekretariat LPM VISI sudah mencuat sejak Februari
lalu. Pada Kamis (21/2), Agung Priyono memanggil Heni dan mengatakan bahwa
LPM VISI harus segera pindah dari sekretariatnya karena ruangan tersebut akan
dipakai untuk Kantor Jurusan AN. Saat itu Heni mengatakan keberatan atas
pemindahan itu tapi Agung tak menggubrisnya dan tetap meminta LPM VISI
segera pindah. Bahkan, Agung sempat berkata jika LPM VISI tak mau pindah,
akan ada surat peringatan atau paksaan.
Sikap semena-mena Agung saat itu diitanggapi LPM VISI dengan
menyatakan penolakan atas pemindahan itu. Apalagi setelah kami konfirmasi ke
Dekan FISIP UNS ternyata pemindahan tersebut saat itu belum resmi. Proses
pemindahan sekretariat yang tak semestinya itu juga dimuat dalam Buletin Acta
Diurna Edisi Khusus Februari 2008 dalam sebuah berita berjudul “Drama
Relokasi Dapur VISI” (Bisa ditilik di Blog LPM VISI: http://lpm-
visi.blogspot.com).
Kini, masalah yang hampir sama kembali terulang. Pihak Dekanat FISIP
UNS—melalui PD II—dan Pihak Jurusan AN ternyata masih saja bersikap tak
wajar dalam proses pemindahan itu. Penghargaan kedua pihak tersebut terhadap
LPM VISI sebagai lembaga kemahasiswaaan ternyata amat minim. LPM VISI
masih dianggap sebagai anak kucing yang mudah saja ditindas dengan semena-
mena.
Kelak, saya dan kawan-kawan di LPM VISI akan membuktikan bahwa
kami bukan anak kucing yang diam saja ketika ditindas. Kami juga bukan

53
manusia yang menerima apa adanya atas segala perlakuan yang ditimpakan pada
kami. Menghadapi soal ini, saya dan beberapa kawan sepakat—dengan mengutip
Wiji Thukul—hanya ada satu kata: LAWAN!

(Dipublikasikan di Blog “Rumah Mimpi”


[http://rumahmimpi.blogspot.com])

54
Mencoba Menafsir “Nilai-nilai Ke-VISI-an”
/1/
Kebiasaan berorganisasi tanpa “refleksi”, terkadang membuat kita
tenggelam dalam rutinitas harian yang kita ”lupa” maknanya. Intensitas kegiatan
yang sering, jadwal rapat yang padat, atau tugas yang menumpuk pada akhirnya
bisa berakibat kita meninggalkan sisi-sisi ”filosofis” dalam sebuah organisasi.
Jadilah organisasi yang kita jalankan menjadi sebuah organisasi yang benar-benar
”teknis”. Kegiatan, rapat, atau penugasan, menjadi sesuatu yang ”kering”, sesuatu
yang kadang kita sendiri lupa kenapa kita mesti melakukannya.
Barangkali gejala ini juga terjadi di LPM VISI. Seperti telah kita tahu,
LPM VISI memang sebuah organisasi dengan jadwal yang kian hari kian
bertambah banyak. Persoalan-persoalan seringkali muncul terus-menerus, tanpa
jeda, dan menguras habis tenaga kita. Lalu, gejala ”kekeringan” ini kian hari kian
nampak. Apa yang saya sebut sebagai ”kekeringan”, tak lain tak bukan adalah
sebuah fenomena tentang rendahnya tingkat pemahaman anggota LPM VISI
terhadap tujuan organisasinya dan juga terhadap nilai-nilai yang ada dalam
organisasi ini.
Parahnya, kondisi itu disusul oleh sebuah kondisi lain yang juga
mengkhawatirkan: sosialisasi dan internalisasi nilai di LPM VISI yang macet.
Gejala ini nampak dari minimnya pemahaman anggota organisasi itu terhadap
nilai-nilai yang sebenarnya dianut oleh LPM VISI. Bahkan para Dewan Pimpinan
LPM VISI sekarang pun mungkin akan terdiam dan bengong lalu menggeleng
ketika ditanya: ”Nilai-nilai apa sih yang dinut organisasimu?”
Mungkin ketidakpahaman ini karena ada anggapan bahwa nilai-nilai resmi
di LPM VISI—atau sebut saja ”Nilai-nilai Ke-VISI-an”—belum terumuskan
secara jelas. Pembicaraan tentang ”Nilai-nilai Ke-VISI-an” juga sangat jarang
atau malah boleh dikatakan belum pernah dilakukan secara serius. Bahkan dalam
pembahasan Pedoman Sistem Kaderisasi (PSK) pada tahun 2004 lalu,
pembahasan tentang nilai-nilai resmi LPM VISI juga tidak mendalam. Padahal,
sesuai amanat PSK, nilai-nilai tersebut idealnya ”menjadi ruh dalam kaderisasi
yang harus diinternalisasi oleh para kader dan akan terkepresikan dalam gerak dan
aktivitas lembaga”.
Sekarang, setelah tiga tahun PSK dibuat, apakah ”nilai-nilai” itu sudah
berusaha diinternalisasikan secara sadar dan sistematis? Alih-alih melakukan itu,
rumusan secara jelas tentang ”Nilai-nilai Ke-VISI-an” saja masih banyak yang
tidak paham. Artinya, jangankan melakukan internalisasi, sekedar tahu saja
tentang nilai-nilai di LPM VISI saja mungkin tidak.
Padahal kalau saja kita mau menengok sebentar pada PSK, pasti akan kita
temukan rumusan dari ”Nilai-nilai Ke-VISI-an”. Dalam Bagian tentang Asas di
PSK, kita akan menemukan enam nilai dasar yang menjadi penjabaran dari Asas
LPM VISI yaitu Pancasila. Enam nilai dasar itu, seperti dalam PSK, adalah
Ketuhanan, Humanisme, Kebhinekaan, Integralistik, Demokrasi, dan Keadilan
Sosial. Karena pengertian Asas adalah ”nilai-nilai yang dibuat dan disepakati
bersama dan menjadi landasan gerak organisasi”, maka otomatis enam nilai itu

55
merupakan nilai-nilai yang resmi dianut oleh LPM VISI dan seharusnya
diinternalisasi.
Persoalannya, setelah tahu tentang enam nilai dasar itu, kita mungkin akan
segera sadar bahwa nilai-nilai itu adalah nilai-nilai yang “jauh”. Artinya, nilai-
nilai tersebut merupakan nilai-nilai normatif yang enak dicapkan, indah dihafal,
tapi sangat sulit dilihat dan diukur dalam konteks sehari-hari LPM VISI. Maka,
proses internalisasi pun menjadi sesuatu yang membingungkan. Sampai saya
menulis tulisan ini pun, saya masih belum menemukan sebuah formula untuk
mengukur dan melihat apakah enam nilai dasar yang disebut dalam PSK itu sudah
tumbuh atau belum. Saya tentu saja berharap bahwa diskusi yang akan kita
lakukan akan menjawab kebingungan saya!

/2/
Seperti telah disebut dalam TOR, penggalian ”Nilai-nilai Ke-VISI-an” bisa
dilakukan pada berbagai peraturan hukum yang ada, seperti AD/ART, GBHPK,
Mekanisme Kerja, dan PSK. “Penggalian” pada PSK telah saya lakukan dan enam
nilai dasar telah coba saya munculkan. Pembacaan saya terhadap AD/ART
memunculkan tiga nilai dasar lain: intelektualitas, kepedulian sosial, dan berpihak
pada kebenaran.
Dalam Pasal 6 Anggaran Dasar LPM VISI disebut bahwa tujuan LPM
VISI adalah “peningkatan intelektualitas dan kepedulian mahasiswa dalam
memperjuangkan nilai-nilai kebenaran demi mewujudkan masyarakat adil dan
makmur.” Dari pasal itulah saya berani menyimpulkan bahwa intelektualitas,
kepedulian sosial, dan berpihak pada kebenaran adalah tiga nilai dasar lain yang
masuk dalam kategori “Nilai-nilai Ke-VISI-an”.
Intelektualitas dilihat dari cara pikir seorang anggota LPM VISI saat
melihat suatu fenomena atau menghadapi masalah. Cara pandang yang logis,
sistematis, dan menyeluruh, adalah ciri cara pandang seorang intelektual. Kalau
dalam melihat sebuah fenomena atau menyelesaikan masalah seorang anggota
LPM VISI sudah berpikir secara sistematis, logis, dan menyeluruh, maka berarti
nilai intelektualitas sudah terinternalisasi.
Selain itu, intelektualitas juga bisa dilihat dari keluasan pengetahuan
seseorang. Dan keluasan pengetahuan ini selalu berbanding lurus dengan rasa
keingintahuan dan kegemaran membaca dan diskusi. Kalau kegiatan membaca
dan diskusi adalah kegiatan yang sudah jadi bagian dari gaya hidup anggota LPM
VISI, maka artinya nilai intelektualitas sudah jadi bagian yang inheren dalam diri
mereka.
Kepedulian sosial bisa dilihat dari kepedulian seseorang terhadap kondisi
sosial di sekitarnya. Dalam konteks LPM VISI, maka kepedulian sosial seorang
anggota dilihat dari kepedulian dan perhatian yang ia berikan pada kondisi
lingkungannya, dari yang terdekat (Kampus FISIP UNS), sampai yang terjauh
(Indonesia atau bahkan kondisi dunia internasional). Tentu saja tidak bisa kita
mengharapkan setiap anggota LPM VISI akan memberikan perhatian pada seluruh
isu yang ada di sekitarnya. Tapi minimal, ketertarikan dan kepeduliannya akan
beberapa isu penting yang terjadi di sekitarnya akan menjadi salah satu alat ukur
sampai sejauh mana ia menginternalisasi nilai kepedulian sosial.

56
Sedangkan tentang nilai berpihak pada kebenaran, sebenarnya nilai ini
adalah nilai yang jamak terdapat dalam manusia yang “wajar”. Maka, nilai ini pun
seharusnya menjadi salah satu nilai yang dipegang baik secara individual sebagai
anggota LPM VISI maupun secara organisatoris. Nilai ini penting dan bisa
diaplikasikan pula pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh LPM VISI. Saya
tak ingin membawa perdebatan tentang definisi kebenaran dan ukurannya dalam
tulisan ini. Bagi saya, hati nurani yang jernih serta akal dan argumen yang sehat
akan bisa menuntun kita pada “kebenaran”.

/3/
Meski tak disebut dalam TOR, penggalian “Nilai-nilai Ke-VISI-an” tak
hanya bisa dilakukan dengan pembacaan tekstual atas berbagai produk hukum
yang ada di LPM VISI. Penggalian dan perumusan nilai itu juga bisa dilakukan
dengan jalan merefleksikan pengalaman yang kita dapat di LPM VISI.
Dan, refleksi pribadi saya atas pengalaman berorganisasi di LPM VISI
membuat saya mengambil kesimpulan bahwa salah satu nilai yang juga bisa
dimasukkan sebagai bagian dari “Nilai-nilai Ke-VISI-an” adalah nilai
kekeluargaan. Barangkali tentang nilai ini, kita sudah hafal dan kerap kali
mendengar bahwa LPM VISI tak hanya hendak menjadi sebuah organisasi tapi
juga berhasrat menjadi sebuah keluarga. Artinya, selama proses berorganisasi di
LPM VISI, para anggota hendaknya saling mendekat satu sama lain sehingga bisa
terjadi keintiman seperti layaknya keintiman sebuah keluarga.
Nilai kekeluargaan menjadi penting karena nafas organisasi ini sebagian
besar ditentukan oleh hubungan yang harmonis antar anggotanya. Bila terjadi
salah paham atau perselisihan antara satu anggota dengan anggota lain, hal itu
diyakini akan mengganggu gerak organisasi. Maka, persoalan seperti itu harus
dihindarkan, dan kalaupun ada, mesti diselesaikan.

/4/
Saya tahu, proses yang kita lakukan dalam mengenal dan
menginternalisasi “Nilai-nilai Ke-VISI-an” mungkin masih panjang dan berliku.
Tulisan ini, dan juga diskusi yang akan kita lakukan, juga cuma semacan
“hidangan pembuka”. Proses lain masih menunggu. Cuma, pertanyaannya:
“Maukah kita?”

(Makalah Diskusi Internal LPM VISI tentang


Nilai-nilai Ke-VISI-an pada Juni 2007)

57
Kaderisasi dan Soal yang Belum Selesai
/1/
25-27 Februari 2005 di Wisma Subud, Tawangmangu, Karanganyar,
sebuah “penemuan” sedang terjadi. Selama tiga hari itu, beberapa pengurus dan
anggota LPM VISI sedang mengikuti sebuah forum yang diberi nama “Ngudo
Roso Kaderisasi LPM VISI FISIP UNS”. Forum itulah yang menghasilkan
Rekomendasi Sistem Kaderisasi LPM VISI yang beberapa bulan berselang
disahkan oleh Musyawarah Besar LPM VISI menjadi Pedoman Sistem Kaderisasi
(PSK).
Forum ngudo roso itu adalah sebuah eksperimen untuk mengkaji kembali
beberapa hal mendasar di tubuh LPM VISI terutama terkait dengan persoalan
kaderisasi. Dalam eksperimen itulah lahir sebuah “penemuan” penting, yaitu
perumusan kembali Tujuan LPM VISI. Keberanian merumuskan tujuan organisasi
saat itu, bagi saya, adalah sebuah keputusan yang mungkin saja “terlampau
berani” karena perumusan ulang itu bisa jadi merupakan perumusan ulang hakekat
dari sebuah organisasi!
Dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Sedikit Tentang Ke-VISI-an”
(Disampaikan pada Diskusi Internal LPM VISI pada 21 Januari 2008), Abdul
Rahman, salah satu penggagas “Ngudo Roso Kaderisasi LPM VISI”, mengatakan
bahwa ada empat alasan kenapa Tujuan LPM VISI harus diganti.
Pertama, pegiat LPM VISI saat itu tidak mengetahui landasan munculnya
tujuan sehingga kurang bisa memahami maksud dari tujuan itu. Kedua,
interpretasi atas tujuan pada saat itu menyimpulkan bahwa tujuan tersebut belum
memiliki arah yang jelas. Ketiga, ada pemikiran untuk menata kembali sistem
yang ada di LPM VISI. Keempat, mempertegas orientasi LPM VISI sebagai pers
gerakan.
Keempat alasan itulah yang kemudian membuat para pegiat LPM VISI
sepakat mengganti Tujuan LPM VISI yang lama—yaitu menciptakan iklim
kampus yang akademis dan sebagai alat memperjuangkan kebenaran—diganti
menjadi tujuan baru, yaitu: peningkatan intelektualitas dan kepedulian mahasiswa
dalam memerjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan demi mewujudkan
masyarakat adil dan makmur.
Tujuan baru tersebut—yang dirasa lebih pas dan lebih bisa dipahami—
kemudian dijadikan patokan awal menyusun Rekomendasi Sistem Kaderisasi.
Dilihat dari namanya, rekomendasi yang kemudian menjadi PSK tanpa perubahan
sama sekali itu, memiliki tujuan yang besar: menjadi pedoman bagi para pegiat
LPM VISI dalam melaksanakan sistem kaderisasi.
Musyawarah Besar LPM VISI tahun 2007 merekomendasikan untuk
mengkaji kembali PSK secara mendalam. Rekomendasi itu jelas membuat
Pengurus LPM VISI tahun 2007/2008 memiliki “kewajiban” untuk memikirkan
kembali PSK dan kaderisasi yang dijalankan selama ini. Mubes tahun 2007 tak
memberikan “ancar-ancar” yang rigid tentang bagaimana pengkajian kembali itu
mesti dilakukan. Maka, pengurus LPM VISI jelas mesti mencari jalan sendiri ke
mana sebenarnya pembahasan tersebut akan diarahkan.

58
Tulisan ini adalah sebuah awalan untuk mencari arah ke mana pembahasan
dan kajian PSK akan dijalankan. Tulisan ini bukan hendak melakukan penjelasan
atas PSK. Hal yang demikian sudah pernah dilakukan Abdul Rahman dalam
tulisannya yang saya sebut di atas.
Tulisan ini juga bukan semata-mata sebuah refleksi atas aplikasi PSK di
dalam proses organisasi LPM VISI. Refleksi seperti itu pernah dibuat Nur Heni
Widyastuti dalam tulisannya yang bertajuk “Sebuah Refleksi Sistem Kaderisasi
LPM VISI Saat Ini” (Juga disampaikan pada Diskusi Internal LPM VISI, 21
Januari 2008). Meski belum bisa dikatakan paripurna, dua tulisan tadi bisa dirujuk
guna pengertian yang lebih baik tentang PSK dan proses keorganisasian LPM
VISI.
Tulisan ini akan diarahkan untuk mencari akar pemikiran tentang
kaderisasi yang “dianut” PSK. Pencarian yang demikian, bagi saya, adalah
pencarian yang akan memberi pengertian kepada kita tentang bagaimana
sebenarnya PSK memahami dan mendefinisikan kaderisasi.

/2/
Definisi kaderisasi dalam PSK adalah sebuah definisi yang “gigantis” atau
“sangat besar”. Ya, kaderisasi dalam PSK dimaknai sebagai “proses atau usaha
yang dilakukan oleh kader-kader organisasi pada kurun waktu tertentu demi
menjaga eksistensi organisasi untuk mencapai tujuan organisasi”.
Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kaderisasi “hanya”
mengacu pada sebuah proses mengkader (memilih, menyiapkan, dan menjadikan
orang untuk memegang pekerjaan-pekerjaan penting dalam organisasi).
Membandingkan dua definisi di atas, jelas bahwa lingkup definisi
kaderisasi dalam PSK lebih luas dibanding definisi KBBI. Saya bahkan berani
mengatakan bahwa kaderisasi yang dicerminkan oleh PSK meliputi “seluruh
proses organisasi”!
Saya memang pernah mendengar semacam “keyakinan” bahwa “seluruh
proses dalam organisasi adalah kaderisasi”. Keyakinan macam inilah yang juga
dicerminkan oleh PSK dan memang secara khusus diyakini oleh para perumus
PSK.
Ketika saya ngobrol dengan Abdul Rahman, saya mendapat afirmasi atas
pendirian tersebut: para perumus PSK dulu memang meyakini bahwa “seluruh
proses dalam organisasi adalah kaderisasi”, atau dengan kata lain, kaderisasi
dalam perspektif mereka itu meliputi seluruh proses dalam organisasi.
Kalau kita merujuk pada Bagian Sistematika Kaderisasi dalam PSK,
pendirian bahwa “seluruh proses dalam organisasi adalah kaderisasi” juga bisa
kita lihat. Dalam bagian tersebut, tertera bahwa “proses kepengurusan” masuk
menjadi bagian dari “sistematika kaderisasi”. Artinya, seluruh proses dalam
sebuah kepengurusan organisasi merupakan bagian dari kaderisasi.
Hal ini makin menguatkan keyakinan saya bahwa PSK dan juga para
perumusnya dulu meyakini bahwa proses kaderisasi adalah proses yang “besar”
karena ia meliputi seluruh proses dalam organisasi. Saya menyebut kaderisasi
yang demikian dengan istilah “kaderisasi sebagai proses besar”.

59
Dasar pemikiran tentang “kaderisasi sebagai proses besar” ini membuat
tujuan dibuatnya PSK juga menjadi sebuah tujuan yang amat besar. Karena
“seluruh proses dalam organisasi adalah kaderisasi”, maka PSK pun dibuat untuk
memberi pedoman pada “seluruh proses dalam organisasi” tersebut!
Tujuan tersebut jelas merupakan tujuan yang ambisius dan amat ideal. Hal
itu pula yang menurut saya menyebabkan PSK yang saat ini ada tak mampu
mencapai tujuannya—untuk memberi pedoman pada “seluruh proses dalam
organisasi”—karena PSK yang saat ini memang masih amat minimalis terutama
bagian Sistematika Kaderisasi-nya.

/3/
Dasar pemikiran tentang kaderisasi yang ada dalam PSK—dan otomatis
diyakini oleh para perumusnya dulu—bukan satu-satunya dasar pikiran tentang
kaderisasi. Selain “kaderisasi sebagai proses besar”, ada pula keyakinan tentang
kaderisasi yang menyebut “kaderisasi sebagai proses kecil”. Definisi KBBI
tentang kaderisasi, misalnya, adalah pencerminan dari keyakinan macam itu.
Dalam beberapa organisasi yang memiliki “Departemen Kaderisasi”,
keyakinan macam ini juga dipegang. Ketika sebuah organisasi “menyerahkan”
urusan kaderisasi “hanya” pada satu departemen saja, itu berarti mereka meyakini
bahwa proses kaderisasi adalah sebuah proses yang “kecil”: ia adalah proses yang
memang dilaksanakan demi pengembangan diri kader dan bukan untuk tujuan
lainnya.
Proses kaderisasi yang demikian ini tentu saja akan menjadi lebih sempit
daripada yang didefinisikan oleh PSK. “Kaderisasi sebagai proses kecil” ini tak
akan meliputi seluruh “usaha yang dilakukan oleh kader-kader organisasi pada
kurun waktu tertentu demi menjaga eksistensi organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi” seperti yang dikatakan PSK.
“Kaderisasi sebagai proses kecil” ini tak akan mencakup proses lain yang
tujuan utama dan pertama-tamanya bukan untuk menyiapkan orang-orang untuk
menduduki posisi tertentu dan bukan untuk mengembangkan diri kader.

/4/
Kenapa dasar pikiran tentang kaderisasi tersebut menjadi penting? Bagi
saya, penjernihan kesadaran atas dasar pikiran tentang kaderisasi apa yang dianut
PSK merupakan titik pijak terpenting sekaligus paling awal untuk melakukan
pembahasan tentang PSK. Bagi saya, kita mesti memilih dulu dasar pikiran mana
yang akan kita anut: “kaderisasi sebagai proses besar” atau “kaderisasi sebagai
proses kecil”.
Meski PSK yang sekarang dan para perumusnya dulu jelas-jelas menganut
keyakinan “kaderisasi sebagai proses besar”, kita tetap mesti membahas ulang
keyakinan tersebut sembari membandingkan dengan keyakinan yang lain. Selain
untuk mencari keyakinan yang mana yang paling benar, juga untuk merefleksi
kira-kira keyakinan mana yang sesuai dengan LPM VISI.
“Kaderisasi sebagai proses besar” dalam tataran ide kelihatannya memang
unggul. Pendirian tersebut mengandaikan bahwa seluruh proses dalam organisasi
bisa saling berkait dan dapat dikontrol. Merumuskan pedoman sistem kaderisasi

60
dengan keyakinan macam itu berarti membuat sebuah pedoman yang menyeluruh
dan detail tentang seluruh proses dalam organisasi dilihat dari sudut pandang
kaderisasi.
Itu artinya, seluruh proses yang ada dalam organisasi LPM VISI mesti
didetailkan, dibuat rencana ideal dilihat dari sudut pandang kaderisasi, dan
kemudian dibuat mekanisme kontrol yang tepat. Saya tak tahu adakah pedoman
yang demikian detail bisa benar-benar terwujud. Sebelum memulai usaha ke arah
itu, saya kira, kita tak akan mengetahui apakah yang demikian itu mustahil atau
tidak.
Sebaliknya, “kaderisasi sebagai proses kecil” juga mengandung resiko jika
keyakinan itu yang kita anut. Pemahaman itu berpotensi menyempitkan kaderisasi
sebagai sekadar ritual training dan lain sebagainya. Pendeknya, ruh kaderisasi
terancam akan jadi amat sempit.
Lalu, mana yang mesti dipilih? Saya kira, kita mesti menjawabnya sama-
sama.
Yang jelas, setelah pilihan itu kita ambil dan patok telah ditetapkan, kita
bisa beranjak pada soal lainnya: tentang format dan isi PSK yang ideal dan juga
soal lain terkait PSK, seperti soal kedudukan pedoman itu dalam keseluruhan tata
hukum LPM VISI, dan lain sebagainya.

(Dipublikasikan di Milis LPM VISI)

61
Tentang Pedoman Sistem Kaderisasi
Di awal kepengurusan, ketika akhirnya saya dipercaya sebagai
penanggung jawab “Kajian PSK”, saya tahu bahwa itu bukan sebuah tugas
mudah. Ada beban historis yang panjang, harapan-harapan yang melambung
tentang perbaikan kaderisasi, sekaligus kebingungan hendak menenpuh jalan
mana. Lama saya tak mampu menemukan sebuah jalan yang bisa saya tempuh
untuk memulai obrolan tentang Kajian PSK. Saya terus saja mengalami
kebingungan, bahkan ketika pada Januari 2008 diskusi tentang PSK digelar di
visi. Sama sekali belum ada pencerahan pascadiskusi itu. Saya masih saja
mengalami “kerabunan” mau ke mana. Beberapa kawan, saya kira juga
mengalami hal yang sama.
Dua bulan menjelang kajian PSK pun, seingat saya, saya masih belum
menemukan sebuah pencerahan utk memulai proses itu. Sekitar Maret/April 2008,
mulailah saya memaksakan diri untuk berbicara secara intensif ttg PSK dengan
beberapa kawan, mencari masukan dari sidang milis visi, dan mencoba secara
serius berpikir tentang arah kajian PSK itu nantinya. Dalam beberapa kesempatan,
saya selalu gagal dan gagal. Saya ingat bahwa saya hanya mampu berkata pada
Fillia (Kabid Litbang) bahwa Kajian PSK itu nanti akan terdiri dari dua sesi besar:
sesi pemahaman dan sesi pengkritisan. Kalau sesi pemahaman, mngkn tak
masalah tapi sesi pengkritisan?
Pertanyaan itu “tiba-tiba” saja mendapat jawaban di sebuah sore. Saat itu,
Fillia kembali mengajak ngobrol saya tentang PSK. Saya cermati beberapa
pertanyaannya dan tiba-tiba saja terbersit tentang sebuah frasa: “paradigma
kaderisasi”. Frasa itulah yang akhirnya saya utak-atik, saya debatkan dengan Fillia
(pertama2), dan akhirnya saya simpulkan: itulah jalan masuknya! Pada akhirnya,
dengan yakin saya berkata pada Fillia bahwa jalan masuk mengkritisi PSK adalah
dengan menguliti paradigma kaderisasi yang dianut PSK. Paradigma kaderisasi di
sini mengacu pada apakah kaderisasi dalam PSK itu dipandang sebagai proses
besar atau sebagai proses kecil.
Kaderisasi sebagai proses besar adalah memandang bahwa segala proses
organisasi itu pasti merupakan kaderisasi. Kaderisasi sebagai proses kecil
memandang bahwa hanya proses-proses dlm organisasi yg tujuan utamanya
melakukan kaderisasi sajalah yang merupakan bagian dari kaderisasi. Pengulitan
saya menghasilkan kesimpulan bahwa PSK VISI ternyata memandang proses
kaderisasi sebagai proses besar. Setelah semua itu, akhirnya saya berkesimpulan
bahwa, bagi saya, perdebatan tentang apakah PSK akan memandang kaderisasi
sebagai proses kecil atau proses besar itulah yang merupakan titik masuk Kajian
PSK.
Pemikiran saya itu saya sampaikan dalam Diskusi Internal visi bulan April
(kalo tidak salah). Diskusi yang sengaja diadakan sebagai awalan bagi Kajian
PSK itu, sayang sekali, cuma dihadiri segelintir orang. Tapi, poin tentang “jalan
masuk” ke Kajian PSK itu, saya kira tersampaikan. Sebelum diskusi itu, saya
sempat ngobrol dengan Abdul—konseptor PSK tahun 2005. Saya berdebat
dengan dia soal paradigma kaderisasi besar dan kecil. Saya condong ke paradigma
kecil, dia condong ke paradigma besar. Pascadiskusi, tim konseptor PSK

62
bergerak. Saya, Fillia, Heni, dan Annisa melakukan pertemuan beberapa kali
hingga akhirnya masa kajian PSK tiba padahal konsep PSK yang dibuat belum
matang.
Kajian PSK sendiri berjalan dengan sedikit manusia. Kajian yang
dilaksanakan 9-11 Mei itu ternyata menjadi awal di mana proses pengkajian PSK
berlama-lama. Tiga hari ternyata tak cukup. Kajian PSK hanya berhasil memilih
Paradigma Kaderisasi Mikro sebagai anutan PSK dan hanya mampu melakukan
pengkritisan sampai bagian Orientasi Kaderisasi. Kajian dilanjutkan sampai
beberapa kali di Bulan Mei. Selama proses itu, kajian berlangsung tak bergairah
sehingga banyak menghabiskan waktu.
Perdebatan paling besar saat melanjutkan pembahasan PSK adalah ketika
menentukan siapakah penanggung jawab kaderisasi. Menurut AD ART saat ini, pj
secara tak langsung adalah Litbang. Tapi sistematika kaderisasi yang baru ternyata
memuat banyak sekali proses: ada rekruitmen, diklat jurnalistik, kajian dan
diskusi, diklat kwu, dan diklat kepemimpinan. Masing2 proses itu juga masih
dibagi2 lagi sehingga menjadi cukup banyak jika diturunkan dalam proker.
Padahal, proker Litbang tahun ini sudah ada 14. Apabila seluruh kegiatan
kaderisasi harus diserahkan pada litbang, maka akan terjadi penumpukan tugas.
Litbang akan jadi overload prokernya dan pemimpin litbang akan kesulitan dalam
melakukan koordinasi. Lalu muncul opsi agar diklat kwu diserahkan ke Bidang
Usaha dan diklat kepemimpinan diserahkan ke Sekreatriat. Tapi opsi ini akan
menyulitkan koordinasi dan kontroling kaderisasi selain bahwa opsi tersebut
kurang bisa diterima secara rasional berdasar logika pembagian kerja visi saat ini.
Maka, lalu muncul opsi ketiga: membentuk bidang baru! Opsi ini
tampaknya terlihat paling ideal karena secara rasional ia bisa diterima (tentu
setelah melakukan perubahan AD/ART pada Mubes besok) sekaligus ia
menguntungkan dalam dua hal: pertama, kaderisasi akan menjadi fokus karena ia
ditangani satu bidang yang memang khusus utk itu; kedua, litbang bisa
konsentrasi pada tugas lain seperti riset, dokumentasi, jajak pendapat, dll. Selama
ini, fungsi litbang sbg pendukung penerbitan visi belum maksimal karena bidang
ini juga dibebani fungsi kaderisasi. Kalau melihat pers umum, maka litbang
memang hanya konsen pada back up keredaksian, bukan pada soal SDM. Jadi,
secara rasional, sistem ini lebih ideal.
Tapi sesuatu yang ideal dalam rasio belum tentu produktif ketika
diterapkan. Bisa saja ia menjadi kontraproduktif ketika manusia-manusia yang
hendak menjalankan “ideal” itu tak siap. Saya takut hal itu yang terjadi.
Pembentukan bidang baru adalah sebuah proses besar: ia akan merubah tata
struktur visi yang mapan secara radikal. Ia akan menguras pemikiran kawan-
kawan dlm pembentukan konsepnya dan di tahun-tahun awal, kita harus
bereksperimen dengan bidang itu. Pola kerja belum ada sehingga kita lah yang
akan menentukan bagaimana pola kerja itu sendiri. Saya pesimis waktu itu:
mampukah visi sekarang menanggungkan beban sebesar itu? Tapi mau apa lagi.
Kawan-kawan telah memutuskan: Bidang Kaderisasi akhirnya disepakati untuk
dibentuk.
Perasaan saya campur aduk ketika keputusan menyerahkan kaderisasi pada
Bidang Kaderisasi diambil. Selama proses pengambilan keputusan itu, saya

63
berusaha untuk lebih banyak diam dan ingin sekali bahwa yang mengambil
keputusan adalah mereka yang masih akan menjadi pengurus karena merekalah
yang akan menanggungkan akibat langsung dari keputusan itu.
Sampai saat ini, ketika mengenangkan pengambilan keputusan itu,
perasaan saya masih campur aduk. Di satu sisi, saya terkejut karena dua hal.
Pertama, dalam benak saya, Kajian PSK tak akan mengakibatkan perubahan yang
se-radikal itu. Saya seperti masih tak percaya bahwa keputusan itu diambil dalam
sebuah forum yang sebelumnya saya bayangkan akan “lurus-lurus” saja. Kedua,
saya “terharu sekaligus heran” ketika akhirnya kawan-kawan memilih opsi itu.
Bagi saya, memilih opsi itu adalah memilih risiko utk bersusah-payah bertahun-
tahun ke depan. Tahun depan, kesusah-payahan itu jelas akan amat terasa. Tata
kerja, pola koordinasi, dan pemikiran konseptual ttg Bidang kaderisasi tentu mesti
dibuat. Dan saya sepenuhnya yakin: itu bukan hal yang mudah.
Di sisi lain, saya takut pilihan itu akan jadi bumerang. Ketakutan itu hadir
menghantui saya karena kondisi LPM VISI di akhir kepengurusan ini justru tak
stabil: konsentrasi pengurus kacau, kerja jadi asal-asalan, dan banyak pengurus
yang masih punya hak jadi pengurus berniat meninggalkan LPM VISI tahun
depan. Kalau kondisi di akhir kepengurusan ini tak segera dibalikkan, saya takut
bahwa pilihan membentuk Bid. Kaderisasi benar2 jadi sesuatu yg kontraproduktif.
Dalam kondisi itu, saya menyadari bahwa pilihan LPM VISI tak banyak.
Para pengurus saat ini mesti merubah keadaan, mulai lagi berkonsentrasi, mulai
lagi berkonsolidasi membentuk solidaritas, dan siap bersama2 berbagi beban.
Tanpa itu, pilihan membentuk Bidang Kaderisasi hanya akan jadi sesuatu yang
ditangisi.

(Dipublikasikan di Milis LPM VISI)

64
Tentang Hierarki Hukum dan Kekuasaan
/1/
Hari-hari ini di LPM VISI, siapakah yang masih bicara soal hierarki
hukum dan kekuasaan? Saya kira, hampir tidak ada. Hari-hari ini, di LPM VISI,
kita jauh lebih banyak bicara soal-soal seperti piala eropa, fabregas, atau spanyol.
Kita juga jauh lebih suka bicara tentang si A atau si B yang digosipkan pacaran
dengan si H, atau bicara tentang si W yang disanding-sandingkan dengan si P.
Kalaupun masih ada yang bicara soal hierarki, mereka pasti tak bicara
secara “terbuka”. Mereka yang nekad bicara tentang hierarki, kalaupun ada,
adalah orang-orang yang marjinal: pembicaraan mereka pasti dilakukan dengan
bisik-bisik, di ujung ruangan LPM VISI yang jauh dari orang bergosip, atau di
waktu sore ketika LPM VISI sudah sepi.
Tapi, oh, saya sebenarnya salah ketika memakai frasa “hari-hari ini”. Ya,
sebab, sejak dulu pun sebenarnya, kita tetap jarang bicara soal hierarki. Anda
boleh membantah saya: hierarki kan sudah banyak dibahas di rakor, rapim, dan
forum khusus tertentu yang memakan waktu lama. Tapi saya akan mengatakan
kepada Anda: pembahasan di rakor, rapim, atau forum khusus itu, kalau dijumlah
waktunya, maka jumlahnya masih tetap akan kalah jauh jika kita bandingkan
dengan waktu yang kta habiskan utk ngobrol soal fabregas atau budex.
Ya, coba saja, Anda jumlahkan seluruh waktu kita di rapim, rakor, forum
khusus, maupun dalam obrolan informal, yang kita gunakan utk bicara soal
hierarki, lalu bandingkan dengan berapa banyak waktu yang kita butuhkan utk
meledek seorang kawan kita. Coba saja bandingkan! Saya hampir bisa
memastikan: waktu kita bergosip akan jauh lebih banyak—amat jauh malah!—
dibanding waktu kita utk hierarki.
Seandainya itu benar, dan kita tahu soal itu, mungkin kita akan berpikir
ulang kenapa di suatu pagi, kita bersama-sama, tanpa malu-malu dan basa-basi
atau pekewuh, akhirnya memutuskan penghentian pembicaraan soal hierarki. Ya,
dengan pede dan dengan perasaan sebagai orang yang telah berbuih-buih
membahas hierarki, kita kemudian meng-cut pembahasan hierarki dengan satu
alasan yang kelihatan manusiawi: karena kawan2 (dan kita sendiri) sudah tak
mampu lagi melanjutkan pembahasan itu. Kita menganggap diri sendiri sudah tak
mampu konsentrasi lagi, sudah terlampau banyak beban yang kita pikul, sudah
overdosis tanggung jawab! Duh, saya cuma khawatir: kala kita merasa menjadi
manusia yang demikian, kita sebenarnya menjadi orang narsis yang tak punya
cermin.
Lalu, dengan segenap argumentasi, kita akan membela keputusan
penghentian itu sebagai keputusan yang paling tepat dan manusiawi di tengah
kondisi LPM VISI yang kaco dan tanpa konsentrasi. Ya, ya, kita bicara tentang
proker yang jangan dipaksakan, tentang kerja organisasi yang manusiawi, atau
entah apalagi. Saya hanya takut: saat kita mengeluarkan semua argumentasi itu,
kita sebenarnya sedang berapologi, bukan menjlentrehkan alasan.

65
/2/
Tapi, sudahlah. Di sini, mari kita bicarakan kembali hierarki. Kalau
memang di dunia nyata—di sekre LPM VISI yang awut-awutan itu—sudah tak
kondusif lagi membahas hierarki secara “terbuka”, mari kita oper pembicaraan ini
di milis. Semoga dengan demikian, hierarki menjadi tak tamat riwayatnya—dan
sekadar diserahkan tanggung jawab pembahasannya ke sc mubes.
Mari bicara dari soal pengertian paling dasar. Pertama, apa itu hierarki
hukum. Hierarki hukum mungkin boleh saja diartikan hanya sebagai tata urutan
produk hukum LPM VISI. Tapi pertanyaan yang menyusul: apa sebenarnya
fungsi tata urutan macam itu? Sekadar memberitahu kita mana produk hukum
yang tinggi dan mana yang rendah sehingga kita tahu bahwa produk hukum A,
misalnya, tak boleh bertentangan dengan produk hukum B? Cuma sekadar itu?
Kalau Cuma sekadar itu, masihkah layak pembicaraan dilanjutkan? Bukankah
fungsi hierarki menjadi amat kecil?
Itulah kenapa, di suatu forum pembahasan hierarki, saya katakan bahwa
hierarki hukum harus mampu memiliki fungsi yang jauh lebih dari itu. Bagi saya,
hierarki hukum harusnya memberi pedoman pada kita tentang kaitan antara satu
produk hukum dengan produk hukum lainnya. Artinya, dalam hierarki hukum
nantinya, kita tidak hanya diberitahu bahwa AD itu lebih tinggi daripada ART tapi
juga sekaligus diberi penerangan tentang apa hubungan antara AD dengan ART.
Demikian seterusnya.
Bagi saya, yang penting bukan hanya tata urutan, tapi juga sebuah
“pedoman relasi” yang menerang-jelaskan pada kita hubungan antarproduk
hukum. Bukan hanya mana yang lebih tinggi atau rendah, tapi juga soal kaitan.
Dengan memahami kaitan, sebenarnya kita otomatis menentukan posisi tinggi
rendah, sekaligus kita mencoba memberi penafsiran umum atas produk hukum itu.
Contoh konkretnya: ketika kita mencoba mencari relasi antara AD dengan
ART, kita pasti akan memberi penafsiran tentang apa itu AD dan tentang apa itu
ART. Dari penafsiran ini, akan timbul jawaban soal relasi. Ketika kita tahu bahwa
AD itu adalah “kepala” dan ART adalah “mata”, misalnya, maka kita akan tahu
apa hubungan antara keduanya. Ketika relasi antara AD dan ART telah ketemu,
maka posisi tinggi-rendah otomatis kita pahami.
Tentu saja, sebelumnya kita mesti mendaftar apa saja yang masuk menjadi
“produk hukum LPM VISI” sehingga kita tahu dengan pasti siapa sih anggota
hierarki hukum itu. Setelah semua anggota didata, selanjutnya diberi penafsiran
umum atas masing-masing produk, lalu cari saja kaitan antar produk hukum.
Ketika relasi sudah ketemu, seperti saya katakan, hukum tinggi rendah akan
ketemu.
Logika pembahasan hierarki hukum ini juga akan berlaku bagi
pembahasan hierarki kekuasaan. Yang urgen bukan hanya menduduk-rendahkan
satu forum dengan forum lainnya tapi juga mencoba mencari “titik temu” atau
“kesinambungan” antar forum.
Masalahnya, mencari kaitan jauh lebih sulit ketimbang membuat tata
urutan semata. Kadang secara “kasat mata”, amat sulit mencari kaitan antara satu
produk hukum dengan produk lainnya. Saya kira, itulah kenapa kita mesti
membahas hierarki itu tidak dengan “mata yang kasat” saja. Kita mesti melakukan

66
pembahasan mendalam dan detail, menyusuri lorong-lorong kemungkinan tertentu
yang bisa membukakan jalan keluar buat kita.
Mencari kaitan antara RI dengan AD atau ART misalnya, tidak semudah
mencari kaitan AD dengan ART meski dengan mudah kita bisa mengatakan—
secara instink saja sebenarnya—bahwa RI pasti di bawah AD/ART. Belum lagi
direpotkan soal SK dan PSK. Apa kaitan antara PSK dengan GBHPK misalnya.
Atau apa relasi SK dengan RI. Ini semuan pertanyaan yang tak mudah dijawab.
Terus terang, saya sendiri belum menemu jawab secara mantap.
Untuk menemu jawabnya, kita butuh forum yang kondusif untuk
pembahasan itu. Yang saya sebut kondusif itu, minimal, peserta forum itu tak
menderita kemalasan pikir atau ketiadaan perhatian. Masing2 anggota forum
merasa bertanggung jawab dan tak hanya mendudukkan posisinya sebagai
pengekor saja. Susahnya, mencari forum kondusif dengan batas minimal itu pun,
di LPM VISI saat ini, tampaknya amat sulit.

/3/
Untungnya, seperti diputuskan di rakor terakhir hari ini (3/7), hierarki
tetap dibahas di kepengurusan ini meski yang membahas hanya sc mubes.
Pembahsan inilah yang akan dibawa sebagai usulan di mubes. Saya kira, ini
sesuatu yang seharusnya dilakukan. Saya tahu, sc mubes—yang mayoritas diisi
dewan pimpinan—mungkin hanya punya waktu sedikit utk membahas itu,
mungkin sekira 3 minggu kalau pembahasan dimulai setelah pleno, selain bahwa
sebagian mereka sedang dan akan magang. Tapi, haruskah pembahasan dimulai
setelah pleno? Bukankah “hari-hari ini” pun sc mubes bisa saja dibentuk dan
mulai bekerja?
Yang penting pula, sc mubes harus memenuhi syarat minimal sebuah
forum yang kondusif agar bs menghasilkan (atau sekadar merampungkan
pembahasan hierarki) hierarki yang baik. Apalagi, sc mubes itu juga dibebani
dengan pembahasan tentang bidang kaderisasi dan litbang baru.
Keberhasilan menyelesaikan hierarki dan juga merampungkan amanat
PSK tentang konsep bidang kaderisasi dan litbang baru, akan berdampak positif
terhadap pengurusan depan. Bukan hanya meringankan beban riil tapi juga
memberi dorongan dan rasa percaya diri bagi kawan2 yg akan maju jadi pengurus.
Sebaliknya, kalau pembahasan ini gagal, kepengurusan depan jelas
mendapat beban kerja riil sekaligus beban mental. Saya kira, itu sesuatu yang
buruk.

(Dipublikasikan di Milis LPM VISI)

67
Logika Progresif
/1/
Sebuah organisasi yang baik adalah sebentuk lembaga yang tahu bahwa ia
berjalan bukan atas dasar “tradisi” atau sekadar tanggung jawab. Sebuah
organisasi yang ingin menjadi maju harus tahu: dirinya adalah tautan dari masa
lalu dan hendak berjalan menuju masa depan. Tentu saja, “tautan dari masa lalu”
dan “berjalan menuju masa depan” itu bukan kita maknai sebagai segugus konsep
waktu saja, tapi juga sebagai sebentuk “logika”.
Saya selalu membayangkan, sebuah organisasi yang baik adalah lembaga
yang tahu sejarah awalnya dan kemudian bisa menangkap sejarah itu sebagai
bekal perjalanan ke depan. Organisasi itu tahu sejarah, tapi tidak melestarikan
sejarah. Ia justru bergerak—berdasar sejarah—menuju sebuah penemuan baru,
kepada perjalanan baru, dan—ini yang terpenting—perbaikan-perbaikan. Dalam
bahasa yang lebih mudah, sebuah organisasi yang baik adalah mereka yang tahu
bahwa tahun demi tahun harus diisi dengan perbaikan dan kemajuan.
Maka, dalam organisasi yang demikian, tradisi harus disebut sebagai
sesuatu yang mungkin saja tinggal masa lalu: ia memang boleh dipertimbangkan
untuk kita ambil kalau baik tapi harus dilepaskan sepenuhnya jika ia memang
buruk. Tapi yang lebih penting: dalam organisasi yang baik, orang-orang bekerja
dan berproses tidak melulu atas dasar tradisi. Kita mesti berpikir, membuat konsep
baru, menerjang masa lalu, dan kemudian membuat “kemajuan”.
Saya menyebut organisasi yang demikian sebagai organisasi dengan
“logika progresif”. Apa yang saya sebut sebagai “logika progresif” adalah
semacam alur pikir yang selalu haus dan hendak menuju pada kemajuan serta
terus melakukan perbaikan. Ini sebenarnya agak klise. Tapi orang sering
melupakan: dalam sebuah “logika progresif”, progresivitas harus dilaksanakan
dengan sadar dan melalui perencanaan yang matang. Kita tak bisa lagi menjawab
dengan klise yang parah bahwa “tiap orang pun akan butuh dan secara instingtif
menuju kemajuan”. Tidak. Itu sudah kuno. Dalam sebuah organisasi modern,
kemajuan—bukan tradisi—harus diusahakan secara sadar, dengan perencanaan
yang matang.
Dalam sebuah progresivitas, ada semangat dan harapan untuk terus-
menerus maju dan memperbaiki diri.

/2/
Saya sangat ingin melihat LPM VISI menjadi organisasi dengan “logika
progresif” macam itu. Oleh karena itu, saya seringkali merasa menyesal tiap kali
masalah kuno—semisal ketidakaktifan pengurus atau anggota—muncul di LPM
VISI dan kita masih saja bingung dan menghabiskan tenaga untuk menyelesaikan
masalah itu. Dalam bayangan saya, sebuah organisasi yang telah lebih dari 20
tahun berdiri seharusnya tak lagi mengalami kesulitan buat merampungkan
masalah macam itu.
Saya tahu: LPM VISI adalah organisasi mahasiswa dan masalah umur
lama sama sekali tidak membantu. Sebab, dalam organisasi mahasiswa senantiasa
ada “gerak-putus”, semacam kesinambungan yang tidak ada. Dalam organisasi

68
mahasiswa, seringkali tak ada sistem yang mapan, sehingga umur lama bukan
berarti kemapanan. Dalam organisasi mahasiswa, pendeknya, seringkali tak ada
kesinambungan antar-pengurus dalam rentang waktu yang lama.
Maka saya menyebut organisasi mahasiswa adalah lembaga yang tak tahu
sejarahnya sendiri. Ia seringkali tak tahu menahu bagaimana pengurus sepuluh
tahun lampau dijalankan; bagaimana mereka mengatasi masalah2nya; atau
bagaimana sistem kerjanya. Lalu pengurus yang sekarang harus meraba-raba lagi,
harus membentuk sistem kerja sendiri, harus mencari tahu cara menyelesaikan
soal yang mendera mereka. Bagi saya, ini gambar yang ironis.
Buat apa kita mesti mencari jalan jika sebenarnya para pendahulu kita
sebenarnya telah menemukan jalan itu? Sayangnya, jalan yang ditemukan para
pendahulu kita itu sama sekali tak dipetakan, tak didokumentasikan, sehingga ia
tak sampai pada kita. Lalu, kita merasa tak diwarisi apa2, kita tak berbekal apa2
dari masa lalu. Kebodohan macam ini—yakni tak mendokumentasikan atau
membuat “sejarah organisasi”—seringkali berulang. Dan, tahun ini pun, kita
mungkin tak akan sempat berpikir soal itu. Ini gambar yang makin ironis karena
kebodohan dari tahun ke tahun terus berulang.
Saya harus menegaskan: sebuah organisasi dengan logika progresif adalah
lembaga yang tahu masa lalu sehingga ia bisa mengukur dirinya telah sampai
mana. Juga, capaian-capaian apa yang telah dibikin pendahulunya yang bisa
diambil jadi pelajaran atau harus dibuang. Mereka yang tak tahu masa lalu tak
akan pernah menjadi progresif. Sebab, progresivitas selalu berawal dari satu titik
yang dijadikan pangkal ukur langkah-gerak. Tanpa itu, progresivitas jadi nihil:
yang ada sekadar langkah acak yang ngawur.
Maka, masalah pertama kita, jika kita hendak jadi sesuatu yang progresif
adalah sejarah. Ya, mulai saat ini, serpih sejarah dan masa lalu harus lekas
dikemasi. Selain itu, secara sadar, sejarah dari sekarang harus dibikin dan terus-
menerus dibikin.
Mengais sejarah macam itulah yang saya lakukan ketika saya menelusuri
lagi sejumlah teks untuk mempersiapkan kajian PSK (Pedoman Sistem
Kaderisasi). Sejumlah teks—pengantar Forum Ngudo Roso tahun 2005, makalah
diskusi beberapa kawan dari waktu-waktu yang berbeda, dan juga teks asli PSK—
itulah titik berangkat Kajian PSK tahun ini. Saya selalu memberi penekanan
sejarah pada teks, sebab sejarah lisan tak pernah bisa diandalkan. Oleh karena
itulah, saya selalu meminta kawan2 yang ingin ikut kajian PSK 2008 untuk
kembali membaca teks-teks itu, dan berusaha menemukan “sesuatu” di dalamnya.
Membaca teks2 itu jadi penting untuk tahu bagaimana sebenarnya sejarah PSK,
dan juga tujuan awal teks itu.
Selain itu, sebuah produksi teks juga mesti diusahakan. Saya memutuskan
menulis makalah “Kaderisasi dan Soal yang Belum Selesai” juga atas dasar niatan
bahwa tahun ini sejarah harus ditulis dan dilestraikan dalam teks. Saya merasa
perlu menulis buah pikiran yang melandasi kerja Kajian PSK tahun 2008 karena
sebuah gagasan dalam teks akan terus abadi dan bisa dibaca dari tahun ke tahun.
Dengan dokumentasi teks tentang PSK dari 2005-2008 misalnya, saya bayangkan
anak2 LPM VISI tahun 2015 yang ingin mengkaji kembali PSK tak akan
berangkat dari ruang hampa sejarah. Mereka tak akan kerepotan, tak akan merasa

69
bingung tentang apa yang mesti dilakukan. Kerja produksi teks sekaligus
dokumentasi, saya bayangkan, akan menjadi kerja yang buahnya akan dituai LPM
VISI bertahun-tahun ke depan.
Pikiran macam ini pula yang membuat saya mendukung kerja
dokumentasi hasil diskusi rutin LPM VISI mulai tahun ini. Saya selalu berharap,
lima tahun lagi anak-anak LPM VISI yang akan menggelar diskusi tak akan lagi
kesulitan, tak lagi gelagapan mencari tema, atau memetakan sebuah materi
diskusi. Sebab, di lemari bank data mereka, akan bisa ditemukan setumpuk teks
dari masa lalu yang memberi tahu ke mana mereka mesti berjalan. Saya selalu
membayangkan itu dan membuang bayangan tentang seorang staf litbang dept
kajian dan diskusi yang—tiap kali diskusi rutin hendak tiba—merenung di pojok
sekretariat memikirkan tema atau mencari pembicara. Saya ingin membuang
bayangan itu dan menggantinya dengan sosok staf litbang yang sibuk dengan
tumpukan data di depannya dan dengan semangat mencoba mencari ilham dari
diskusi yang dilakukan pendahulunya lima atau sepuluh tahun lalu.
Karena itulah sejarah jadi penting. Juga produksi dan dokumentasi teks.

/3/
Mereka yang tahu sejarah, bisa bergerak maju—dalam artinya yang hakiki.
Mereka yang buta sejarah, hanya seolah-olah bergerak maju. Sebab maju selalu
dimulai dari sebuah titik pada jarak tertentu. Dan maju membutuhkan ukuran:
sejauh mana kita telah meninggalkan titik awal itu.
Tapi maju juga membutuhkan kesadaran bahwa kita harus “menjadi
progresif”. Tiap sebuah kepengurusan tiba, kita harus sadar: kita tak akan hanya
melakukan sesuatu yang sudah dilakukan oleh pengurus-pengurus tahun
sebelumnya, tapi juga memperbaikinya, membuat konsep baru, atau bahkan
membuat kegiatan baru.
Kesadaran macam ini, belum sepenuhnya berakar pada kesadaran kita,
agaknya. Itulah kenapa, di LPM VISI, dari tahun ke tahun kadang kita mengalami
de javu: seolah-olah proker yang sama terus berulang, tanpa sebuah usaha untuk
memperbaikinya. Itulah yang saya lihat misalnya, pada Bidang X yang masih
mengulangi kesalahan-kesalaham masa lalu, masih hanya menjalankan proker
dengan konsep yang tak berubah semenjak 2 tahun lampau, dan masih saja
mewarisi pola pikir pendahulunya yang ketinggalan zaman dan juga sedikit tak
rasional.
Tiap melihat hal macam ini, saya seolah merasa kita berhenti, terkurung
pada tradisi, dan terjebak pada pola pikir para pendahulu kita. Tradisi butuh
diketahui memang, tapi bukan sekadar buat dilestarikan. Tradisi perlu diketahui
justru untuk ditimbang secara kritis, untuk kemudian dinilai: apakah masih perlu
dipakai atau dibuang atau dibakar saja.
Tradisi Bidang X yang saya sebut di atas sebagai contoh, adalah tradisi
yang perlu dibuang, setidaknya menurut saya. Kenapa? Karena tradisi itu adalah
tradisi yang “buruk”: dalam bayangan saya, ia membuat Bidang X tersebut
sebagai seolah-olah bidang yang hanya mengurusi “hal-hal teknis” saja dan lebih
membutuhkan tenaga daripada pemikiran konseptual yang memadai. Kalau tradisi

70
macam ini yang diwarisi, tentu saja Bidang X akan bertahan dalam kebekuan, ia
akan menjadi bidang yang jumud.
Logika progresif dalam sebuah organisasi harus menyentuh semua lini
organisasi itu. Di LPM VISI, ia seharusnya tak hanya menyentuh Bidang Redaksi
saja—yang tahun ini mencapai kemajuan-kemajuan tertentu—tapi juga, misal,
Litbang dan Usaha, juga Kebendaharaan dan Kesekretariatan. Semuanya harus
digerakkan oleh ruh yang sama: “ruh menjadi maju”.
Memang, adakalanya, dalam waktu tertentu—mungkin selama satu
kepengurusan—kita harus konsentrasi pada bidang tertentu, misalnya. Itulah yang
terjadi selama dua tahun belakangan di mana LPM VISI hampir terus-terusan
konsen pada perbaikan terbitan—supaya kualitasnya lebih bagus dan terbitnya
lebih rutin. Kini, ketika Redaksi sudah sedikit banyak memenuhi harapan itu, kita
harus bergerak ke bidang lain—kalau bisa secara bersamaan.
Litbang, misalnya, yang selama dua tahun juga terus mengalami
perbaikan-perbaikan—meski sifatnya “kecil-kecilan”—juga harus berpikir untuk
mengembangkan diri, terutama misalnya dalam hal riset dan penyediaan data bagi
redaksi. Dua tugas ini yang semenjak dulu tak bisa dijalankan secara maksimal
karena berbagai hal. Mulai tahun depan—apalagi ketika telah ada bidang baru—
maka Litbang mau tak mau harus dituntut untuk bisa mengembangkan diri,
minimal dalam dua tugas di atas.
Kebendaharaan juga begitu. Ia harus mampu menjadi bidang yang berdaya
dan menentukan di LPM VISI, idem dito dengan Kesekretariatan. Usaha demikian
pula. Kalau selama ini Usaha hanya berkutat dengan proker yang itu-itu saja,
tahun depan, ketika telah ada ranah kaderisasi yang menyentuh bidang itu, maka
ia harus berkembang. Ia harus “menjadi progresif”.
Pencarian dana mandiri, misalnya, yang selama ini masih hanya berupa
menjual bunga di wisuda saja—berapa tahun konsep ini diulang-ulang?—harus
mengalami perbaikan perencanaan, kalau bisa temukan sarana-sarana baru untuk
pencarian itu. Juga, dalam hal sirkulasi produk LPM VISI, terus saja terjadi
pengulangan tiap tahun, dan belum ada konsep baru yang bisa membuat
“kebekuan” itu pecah.

/4/
Sebagai pers mahasiswa, LPM VISI saat ini bisa dianggap sudah
menemukan “pola gerakan” yang lumayan pas: yakni menjadi pers gerakan
dengan orientasi lebih banyak ke internal kampus. Yang kita butuhkan sekarang
adalah bagaiamana menjalankan “pola gerakan” itu secara baik. Kita harus terus
memperbaiki diri lagi, memperbaharui konsep-konsep lama, dan terus beranjak.
Bisa dikatakan: kita beruntung hidup dalam organisasi yang sedikit banyak
sudah memiliki “pola gerakan” yang pas. Tugas kita saat ini, sekali lagi, adalah
bagaiamana agar “pola gerakan” itu bisa kita jalankan dengan baik sehingga
manfaat dari gerakan organisasi kita bisa dirasakan secara luas oleh publik yang
kita tuju. Saya kira, kita membutuhkan logika progresif untuk menjalankan “pola
gerakan” yang kita punyai secara baik.

(Dipublikasikan di Milis LPM VISI)

71
Biodata

Haris Firdaus lahir di Solo, 29 Maret 1986. Lulus dari Jurusan Ilmu Komunikasi
FISIP Universitas Sebelas Maret, Solo, pada 2009. Sejak 2004-2008 aktif di
Lembaga Pers Mahasiswa VISI FISIP UNS. Menulis banyak jenis tulisan: puisi,
cerpen, artikel umum, dan esai kebudayaan. Sejumlah tulisannya pernah dimuat di
beberapa media massa dan buku. Bergiat di Kabut Institut, Buletin Sastra Pawon,
dan Kelompok Diskusi Perkotaan Balai Soedjatmoko. Mengelola Blog “Rumah
Mimpi” [http://rumahmimpi.blogspot.com]. Bukunya yang telah terbit berjudul
Misteri-misteri Terbesar Indonesia (2008). Tinggal di Makamhaji, Sukoharjo.
Alamat email: aku290386@yahoo.com.

72

You might also like