Professional Documents
Culture Documents
1. Latar Belakang
Wawasan kebangsaan Indonesia merupakan proses yang berlangsung
lama dan disadari, jadi bukan kebetulan di kalangan penduduk yang
mempunyai latar belakang agama, kebudayaan, bahasa, etnis (suku dan ras)
yang sangat majemuk. Mereka menyadari bahwa kehadiran mereka di
nusantara mempunyai makna yang mengkondisikan respon mereka untuk
bersatu dan membangun diri sebagai satu bangsa. Wawasan kebangsaan
Indonesia, mengandung makna pemilikan prinsip mendasar di dalam
kehidupan berbangsa Indonesia, yaitu meyakini diri terikat sebagai satu
bangsa (Bachtiar, 1987: 'nasion' yang kemudian berkembang menjadi paham
nasionalisme). Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation")
dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok
manusia1.
Banyak ahli berpendapat antara wawasan kebangsaan dan
nasionalisme dalam beberapa konteks merupakan suatu pengertian yang
sama. Wawasan kebangsaan atau nasionalisme adalah ideologi yang
memandang seluruh rakyat yang menginginkan membangun masa depannya
secara bersama sebagai suatu nation atau bangsa. lr Soekarno, umpamanya,
sebagai tokoh pergerakan nasional Indonesia amat gemar mengutip
penjelasan Ernest Renan dan Otto Bauer. Ernest Renan menerangkan bahwa
yang dikatakan nation adalah mereka yang mempunyai hasrat kuat untuk
hidup bersama. Karena, bangsa ialah jiwa atau sesuatu asas kerohanian dari
suatu jumlah masyarakat.
Adapun hal yang menjadi penekanan Renan adalah asumsi, hidup
sebagai suatu bangsa yang dilandasi oleh suatu plebisit atau keputusan rakyat
1
http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme
dan keputusan tersebut didasari oleh adanya keinginan dari segenap
komponennya untuk menyonsong masa depan yang lebih cerah dan
bergairah. Keinginan itu akhirnya menjadi satu-satunya kriterium atau tanda
pengenal dan pegangan yang sah dan harus selalu diperhatikan dalam suatu
kehidupan berbangsa.
Namun demikian, banyak kalangan mulai mempersoalkan mengapa
sekarang ini paham kelompok atau golongan, sikap individualistik dan
wawasan sempit lainnya semakin mengkristal dalam kehidupan masyarakat
bangsa?.Kemudian, apa hubungannya dengan ruang gerak jaringan teroris?.
Dalam pembahasan berikut Penulis mencoba untuk menguraikannya.
2. Pembahasan
Banyak kalangan yang melihat perkembangan politik, sosial, ekonomi
dan budaya di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, kekuatiran
itu menjadi semakin nyata ketika menjelajah pada apa yang dialami oleh
setiap warganegara, yakni memudarnya rasa nasionalisme. Apa yang lebih
menyedihkan lagi adalah bilamana bangsa Indonesia kehilangan wawasan
tentang makna hakekat bangsa dan kebangsaan yang akan mendorong
terjadinya dis-orientasi dan perpecahan. Di samping itu, timbul pertanyaan
mengapa akhir-akhir ini nasionalisme menjadi banyak dipersoalkan. Apabila
kita coba mendalaminya, menangkap berbagai ungkapan masyarakat,
terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang
mungkin ada hal yang menjadi keprihatinan.
Menurut Oto Hadi 2, beberapa hal yang menjadi keprihatinan kita
bersama diantaranya : Pertama, ada kesan seakan-akan semangat dan rasa
kebangsaan telah menjadi dangkal atau tererosi terutama di kalangan
generasi muda–seringkali disebut bahwa sifat materialistik mengubah
idealisme yang merupakan jiwa kebangsaan. Kedua, ada kekhawatiran
ancaman disintegrasi kebangsaan, dengan melihat gejala yang terjadi di
berbagai negara, terutama yang amat mencekam adalah perpecahan di
Yugoslavia, di bekas Uni Soviet, dan juga di negara-negara lainnya seperti di
Afrika, dimana paham kebangsaan merosot menjadi paham kesukuan atau
2
Otho H. Hadi, MA adalah Staf Direktorat Politik, Komunikasi, dan Informasi Bappenas., dalam ‘Nation
and Character Building Melalui Pemahaman Wawasan Kebangsaan’ dari hasil diskusi reguler Direktorat
Politik, Komunikasi, dan Informasi Bappenas.
1
keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan tentang adanya upaya untuk melarutkan
pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir yang asing untuk bangsa
Indonesia.
Sejalan dengan apa yang dituliskan Oto Hadi, keprihatinan tersebut
terbukti dengan realitas kehidupan akhir-akhir ini. Pertama, semangat
kebangsaan telah menjadi dangkal atau tererosi tidak saja di kalangan
generasi muda, namun sudah merebak hampir pada semua kalangan
termasuk kalangan elit politik. Kedua, kekhawatiran terjadinya ancaman
disintegrasi kebangsaan, sebagai contoh dapat dilihat pada kasus Papua yang
sampai saat ini masih terdapat kelompok sparatisme (OPM) yang ingin
memisahkan diri dari NKRI. Ketiga, keprihatinan tentang adanya upaya untuk
melarutkan pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir yang asing untuk
bangsa Indonesia, ini dapat dilihat dari kuatnya penetrasi asing pada berbagai
aspek kehidupan bangsa Indonesia sebagai dampak pesatnya perkembangan
globalisasi.
Salah satu contoh kasus yang masih hangat dalam benak masyarakat
Indonesia terhadap indikasi menurunnya nasionalisme adalah peristiwa
tentang kurangnya penghargaan terhadap simbol kenegaraan yang terjadi
pada sidang paripurna DPR RI, 14 Agustus 2009. Pada peristiwa tersebut lagu
kebangsaan Indonesia Raya alpa untuk dinyanyikan, padahal forum tersebut
merupakan forum terhormat yang dihadiri oleh para tokoh dan pemimpin
nasional (Presiden, Wapres, anggota DPR dan tamu undangan dari negara
sahabat).
Penghargaan terhadap simbol kenegaraan telah diatur dengan
landasan hukum yang pasti yaitu UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, dengan kejadian
tersebut, UU yang dihasilkan oleh anggota Dewan yang terhormat yang belum
genap berusia 40 hari (sejak 9 Juli 2009) sudah dilupakan / dikhianati oleh
para pembuat UU itu sendiri, sungguh ini merupakan keprihatinan bagi seluruh
bangsa Indonesia. Dalam UU No.24 / 2009 (Pasal 59 ayat 1 huruf d).
disebutkan bahwa Lagu Kebangsaan wajib diperdengarkan dan/atau
dinyanyikan: dalam acara pembukaan sidang paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah. Atas kejadian tersebut tak
2
urung sempat mengundang komentar dari berbagai pihak. Wakil Presiden
Jusuf Kalla menyebutkan insiden itu sebagai kealpaan yang luar biasa.
Wapres menambahkan,peristiwa itu mestinya tidak terjadi kalau di antara
protokol dan Ketua DPR saling mengingatkan.
Dengan kejadian ini, walaupun sifatnya kasuistik, namun sudah dapat
menjadi indikasi bahwa nasionalisme anggota dewan yang notabene sebagai
elit politik, orang berpendidikan, warga negara terpandang, saat ini sudah
sangat memprihatinkan, lalu bagaimana nasionalisme masyarakat umum
lainnya ?.
Kasus lain yang dapat dijadikan sebagai indikator menurunnya
wawasan kebangsaan masyarakat Indonesia, sehingga menyebabkan
jaringan terorisme dapat bergerak leluasa, akan diuraikan sebagai berikut :
7
DAFTAR BACAAN