You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat senantiasa berubah seiring dinamika sosial, ekonomi,
budaya dan politik, realitas semacam inilah yang harus diperhatikan dan
diantisipasi secara cepat dan tepat.
Dalam konteks pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat
nampaknya perubahan tersebut harus selalu mempertimbangkan potensi dan
tradisi lokal masyarakat karenanya, penguatan masyarakat melalui
pemberdayaan adalah salah satu diantara ikhtiar yang kiranya dilakukan.
Dalam perkembangannya di masyarakat umum, Tari Topeng Cirebon
kemudian memperoleh dan memiliki bentuk serta penyajiannya yang spesifik,
yang selanjutnya dikenal dengan istilah Topeng Babakan atau dinaan. Adapun
kekhususan dari perkembangan Tari Topeng di masyarakat umum tersebut
adalah berupa penampilan 5 atau 9 Topeng dari tokoh –tokoh cerita panji.
Sebagai hasil kebudayaan, Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang
mengandung pesan – pesan terselubung, karena unsur – unsur yang
terkandung didalamnya mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan
sangat menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai
pendidikan. Variasinya dapat meliputi aspek kehidupan manusia seperti
kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta
menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga menginjak
dewasa.
Dalam hubungan itu, tidaklah mengherankan bahwa Tari Topeng
Cirebon dapat dijadikan media komunikasi untuk dimanfaatkan secara positif.
Pada masa Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam, Sultan Cirebon;
Syekh Syarif Hidayatulah yang juga seorang anggota Dewan Wali Sanga yang
bergelar Sunan Gunung Jati, bekerja sama dengan Sunan Kalijaga
memfungsikan Tari Topeng dan 6 (enam) jenis kesenian lainnya sebagai
bagian dari upaya penyebaran agama Islam dan sebagai tontonan dilingkungan
Keraton. Adapun Keenam kesenian tersebut adalah Wayang Kulit, Gamelan

1
Renteng, Brai, Angklung, Reog dan Berokan.
Jauh sebelum Tari Topeng masuk ke Cirebon, Tari Topeng tumbuh dan
berkembang sejak abad 10 –11 M. Pada masa pemerintahan Raja Jenggala di
Jawa Timur yaitu Prabu Panji Dewa. Melalui seniman jalanan ( pengamen )
Seni Tari Topeng masuk ke Cirebon dan kemudian mengalami perpaduan
dengan kesenian rakyat setempat.
Dewasa ini, kecenderungan menggunakan metode kualitatif di
kalangan keilmuan sosial makin berkembang pesat, di Indonesia penggunaan
pendekatan kualitatif dalam menganalisis gejala kemasyarakatan relatif belum
begitu lama, barang kali mulai tumbuh subur sekitar pertengahan tahun 70-an.

B. Rumusan Masalah
A. Definisi Tari Topeng Cirebon
B. Sejarah Perkembangan Tari Topeng Cirebon
C. Filosofi Tari Topeng Cirebon
D. Tari Topeng Cirebon Gambaran Hidup Manusia
E. Maestro Tari Topeng Cirebon
F. Tari Topeng Cirebon Bertahan dari Kepunahan

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi Tari Topeng


Menurut pendapat salah seorang seniman dari ujung gebang-Susukan-
Cirebon, Marsita, kata topeng berasal dari kata” Taweng” yang berarti tertutup
atau menutupi. Sedangkan menurut pendapat umum, istilah kata Topeng
mengandung pengertian sebagai penutup muka / kedok.
Berdasarkan asal katanya tersebut, maka tari Topeng pada dasarnya
merupakan seni tari tradisional masyarakat Cirebon yang secara spesifik
menonjolkan penggunaan penutup muka berupa topeng atau kedok oleh para
penari pada waktu pementasannya.
Seperti yang telah diutarakan diatas, bahwa unsur-unsur yang terdapat
dalam seni tari topeng Cirebon mempunyai arti simbolik dan penuh pesan-
pesan terselubung, baik dari jumlah kedok, warna kedok, jumlah gamelan
pengiring dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan upaya para Wali dalam
menyebarkan agama Islam dengan menggunakann kesenian Tari Topeng
setelah media Dakwah kurang mendapat Respon dari masyarakat.
Jumlah Topeng / Kedok seluruhnya ada 9 (sembilan ) buah, yaitu :
Panji, Samba atau Pamindo, Rumyang, Tumenggung atau Patih, Kelana atau
Rahwana, Pentul, Nyo atau Semblep, Jinggananom dan Aki – aki. Dari
kesembilan Topeng / Kedok tersebut yang dijadikan sebagai Kedok pokok
hanya 5 (lima ) buah yaitu : Panji, Samba atau Pamindo, Rumyang,
Tumenggung dan Kelana. Sedangkan empat kedok lainnya hanya digunakan
apabila dibuat ceruta / lakon seperti cerita Jaka Blowo, Panji Blowo, Panji
Gandrung dll.

2. Sejarah Perkembangan Tari Topeng Cirebon


Sebagai hasil kebudayaan, Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang
mengandung pesan–pesan terselubung, karena unsur–unsur yang terkandung
didalamnya mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan sangat
menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai

3
pendidikan. Variasinya dapat meliputi aspek kehidupan manusia seperti
kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta
menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga menginjak
dewasa.
Dalam hubungan itu, tidaklah mengherankan bahwa Tari Topeng
Cirebon dapat dijadikan media komunikasi untuk dimanfaatkan secara positif.
Pada masa Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam, Sultan Cirebon;
Syekh Syarif Hidayatulah yang juga seorang anggota Dewan Wali Sanga yang
bergelar Sunan Gunung Jati, bekerja sama dengan Sunan Kalijaga
memfungsikan Tari Topeng dan 6 (enam) jenis kesenian lainnya sebagai
bagian dari upaya penyebaran agama Islam dan sebagai tontonan dilingkungan
Keraton. Adapun Keenam kesenian tersebut adalah Wayang Kulit, Gamelan
Renteng, Brai, Angklung, Reog dan Berokan.
Jauh sebelum Tari Topeng masuk ke Cirebon, Tari Topeng tumbuh dan
berkembang sejak abad 10 –11 M. Pada masa pemerintahan Raja Jenggala di
Jawa Timur yaitu Prabu Panji Dewa. Melalui seniman jalanan ( pengamen )
Seni Tari Topeng masuk ke Cirebon dan kemudian mengalami perpaduan
dengan kesenian rakyat setempat.

3. Filosofi Tari Topeng Cirebon


Sudah lama tari Topeng Cirebon mengundang tanda tanya akibat daya
pesonanya yang tinggi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Tari
Panji, yang merupakan tarian pertama dalam rangkaian Topeng Cirebon,
adalah sebuah misterium. Sampai sekarang belum ada koreografer Indonesia
yang mampu menciptakan tarian serupa untuk menandinginya. Tarian Panji
seolah-olah “tidak menari”. Justru karena tariannya tidak spektakuler, maka ia
merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki
diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini akan
membosankan.
Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Topeng Cirebon. Bagaimana
penduduk desa mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk desa yang
tersebar di sekitar Cirebon hanyalah pewaris dan bukan penciptanya.

4
Penduduk desa ini adalah juga penerus dari para penari Keraton Cirebon yang
dahulu memeliharanya. Ketika Raja-raja Cirebon diberi status “pegawai” oleh
Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak diperkenankan memerintah secara
otonom lagi, maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton
tidak dimungkinkan lagi. Para abdi dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai
yang amat diperlukan sesuai dengan “gaji” yang diterima Raja dari
Pemerintah Hindia Belanda.
Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton harus mencari
sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di
Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan
seperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat
mengalami transformasi-transformasi. Proses transformasi itu berakhir dengan
keadaannya yang sekarang, yakni berkembangnya berbagai “gaya” Topeng
Cirebon, seperti Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan lain-lain.
Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan
studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus
diperbandingkan satu sama lain sehingga tercapai pola dan strukturnya yang
mendasarinya. Dengan metode demikian, maka akan kita peroleh bentuk yang
mendekati “aslinya”. Namun metode ini tak dapat dilakukan tanpa berbekal
dasar filosofi tariannya.
Dari mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat dipastikan?
Tentu saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan
dipadukan dengan konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya
Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri
yang sekarang. Untuk itu diperlukan penelusuran historis terhadapnya.
Siapakah Empu pencipta tarian ini?
Sampai kiamat pun kita tak akan mengetahuinya, lantaran masyarakat
Indonesia lama tidak akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis
dikenal di Keraton-keraton Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat
pencipta-pencipta kesenian, kecuali dalam beberapa karya sastranya saja.
Di zaman mana?
Kalau pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman mana

5
Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada
dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah
dikenal. Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menari
topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas
(atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari
topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton
perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja,
ibu mertua raja, ibunda raja).
Dengan demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini sudah
populer di zaman Majapahit antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh Masehi.
Mencari dasar filosofi tarian ini harus dikembalikan pada sistem kepercayaan
Hindu-Budha-Jawa zaman Majapahit. Tetapi mengapa sampai di Keraton
Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit (1525), tarian ini rupanya
dihidupkan oleh Sultan-sultan Demak yang mungkin mengagumi tarian ini
atau memang dibutuhkan dalam kerangka konsep kekuasaan yang tetap
spiritual. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana di kaki
Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan
bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa.
Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan
oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden
Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.
Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran pengaruh politik
Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan dan
Islamisasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di
Keraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebabnya berita-berita Belanda
menyebutkan keberadaan tarian in di Istana Banten. Banten dan Cirebon,
sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari penggunaan
bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh Pajang yang
berada di pedalaman, kemudian digantikan oleh Mataram yang juga di
pedalaman.
Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di daerah pesisir
Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali bentuk

6
dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam fungsi ritualnya,
tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa pedalaman.
Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya. Topeng
sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi Panji yang hinduistik.
Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada realitas transenden.
Inilah sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya masih
memelihara kesenian ini.
Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan
sistem kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham
kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah
emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha.
Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan
adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.
Siapakah Sang Hyang Tunggal itu?
Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah ketunggalan
mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka,
keberagaman. Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling
bertentangan tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruh
Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani
pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini. Boleh
dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar
yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal
manusia purba.
Sang Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung semua sifat
ciptaan. Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan,
maka dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi
hadir dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu
dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia
berada secara seimbang dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak dikenal
manusia alias Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan
sejati karena Dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh
itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan,

7
tunggal mutlak. Di Cina purba, Sang Hyang Tunggal ini disebut Tao.
Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang
Tunggal ini memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan kembar saling
bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan
laut. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama.
Tarian Panji ini merupakan masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon.
Tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa
transformasi Sang Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah
menjadi yang aneka dalam pasangan-pasangan.
Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah
itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau
perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah Kosong.
Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya gemuruh.
Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah
paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan
Hyang Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan
menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain
hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu.
Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal
tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang
saling bertentangan, yakni “Pamindo-Rumyang”, dan “Patih-Klana”. Inilah
sebabnya kedok “Pamindo-Rumyang” berwarna cerah, sedangkan “Patih-
Klana” berwarna gelap (merah tua).
Gerak tari “Pamindo-Rumyang” halus keperempuan-perempuanan,
sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang
menggambarkan pihak “dalam” (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana
menggambarkan pihak “luar”. Terang dapat berarti siang, gelap dapat berarti
malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah
Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan saling
bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian setelah Panji
mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu
lebih fasih menjelaskannya.

8
Topeng Panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni
terciptanya alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng
Panjing atau topeng Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial umat
manusia, bagaimana “penciptaan” terjadi. Tidak mengherankan kalau di
zaman dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran Sang
Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, Raja adalah
Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-Raja.
Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam
semesta serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan
ketunggalan mutlak tanpa pembedaan, berubah menjadi keanekaan relatif
yang sangat berbeda-beda sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang Hyang
Tunggal itu sendiri, dan tarian-tarian lainnya yang empat adalah perwujudan
dari emanasi diriNya menjadi pasangan-pasangan sifat yang saling
bertentangan.
Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral. Tarian ini sama
sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab lama
disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam ruang terbatas yang disaksikan
saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan topeng ini diperlukan laku
puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para
dalang topeng di daerah Cirebon.
Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian. Dan sajian itu
bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian adalah
lambang-lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam sajian
sering dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan,
didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur merah
lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu yang
kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang
perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air kopi
lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia
Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.

9
4. Tari Topeng Cirebon Gambaran Hidup Manusia
Perayaan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, setiap tanggal
17 Agustus, kadang memacu perorangan, instansi pemerintah atau pihak
swasta, dan sebagainya, dengan menampilkan berbagai atraksi atau pameran,
untuk ikut memeriahkannya. Maka tidak aneh pula, agar partisipasi perayaan
dianggap meriah dan memikat, ditampilkan sesuatu yang dianggap ganjil.
Sesuatu yang dianggap baru dan benar-benar menarik perhatian.
Itu dilakukan pula oleh Kepala Desa Selangit, Kecamatan Klangenan,
Kabupaten Cirebon. Untuk memeriahkan dirgahayu Republik ini, di desanya
ditampilkan kesenian khas dari daerah itu, yakni Tari Topeng. Tidak tanggung-
tanggung, salah satu penarinya pun seorang wanita bule. Agar diketahui dan
dipuji penduduk desa lain, kepala desa memerintahkan anak buahnya
menyiarkan ke desa-desa sekitar, menggunakan pengeras suara.
Ketika pertunjukkan berlangsung, penduduk Desa Selangit dan desa-
desa sekitarnya, terheran-heran melihat seorang wanita asing di daerah
mereka. Lebih membuat heran lagi, wanita asal Amerika Serikat itu, mahir
menarikan tari topeng babak demi babak.
Peristiwa yang terjadi 1972 itu, menunjukkan betapa tarian salah satu
kekayaan budaya Indonesia ini, sebenarnya telah menggugah rasa ingin tahu
bangsa-bangsa lain. Sejak tahun itu, ke Desa Selangit sering berdatangan
calon penari atau penari betulan dari luar negeri, terutama Amerika Serikat.
Mereka datang baik sekadar menambah pengetahuan, atau berguru dan
berlatih langsung di desa itu. Selesai mempelajarinya, pengetahuan luar dalam
tarian tersebut, dibawa jauh ke negara asal. Entah untuk dikembangkan
ataupun lebih diperdalam lagi. Atau mungkin juga diciptakan kreasi baru,
dengan segala improvisasi baru pula.
Penduduk Selangit, kini tidak lagi heran, jika kampung mereka
didatangi pria atau wanita kulit putih. Karena telah berkali-kali desa yang
terletak di pedalaman Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, didatangi
"wong welanda-wong welanda" itu. Desa Selangit memang salah satu pusat
kesenian tradisional tersebut. Hingga tidak aneh, apabila menarik para
pemerhati Tari Topeng.

10
Desa ini memang dianggap sebagai tempat cikal bakal, pembawa
tarian tunggal tersebut ke daerah Cirebon. Diperkirakan, sejak jaman para wali
mengembangkan ajaran agama Islam dulu. Keturunannya masih ada di
Selangit, dan hingga kini tetap menekuni warisan budaya leluhur ini.
Keturunan yang masih setia membawakan dan menekuni tari topeng
adalah sanak keluarga almarhum Ardja, yang tetap tinggal di desa itu. Tiga
orang anak kandungnya, sampai kini masih tetap setia menggeluti, yakni
Sudjaya, Sudjana, dan Keni. Bahkan keahlian menari topeng, telah diwarisi
sebagian dari anak-anak mereka.
Keahlian membawakan tari topeng, telah membuat salah seorang
diantara tiga kakak beradik teresbut, yakni Sudjana Ardja (55), mengunjungi
Manca negara. Sebagai salah seorang duta budaya Indonesia ke negara Paman
Sam, terakhir kali Sudjana berangkat 23 Februari 1991 lalu. Dia
memperlihatkan keahlian yang dimiliki, di 11 kota yang dikunjungi, bersama
adiknya Keni dan rombongan penabuh gamelannya.
Ketika ditemui Kompas bulan puasa lalu, Sudjana Ardja sedang
termenung di kursi ruang tamu rumahnya. Alunan gamelan, terdengar dari
tape recorder di atas lemari kayu di bagian sudut ruang tamu rumahnya,yang
berukuran sekitar tiga kali empat meter. "Saya baru saja mengajarkan salah
satu babak tari topeng, kepada salah satu anak saya yang masih duduk di kelas
enam SD," ujar ayah 7 anak, 6 cucu, dari 4 istri tersebut.
Melatih anak sendiri agar mengerti dan menguasai tari topeng, rupanya
dianggap salah satu jalan yang dilakukan Pak Djana demikian panggilan
akrabnya supaya kesenian khas itu tidak hilang dan terus dilestarikan. Karena
seperti penuturan dirinya, "Tari Topeng Cirebon, merupakan salah satu dari
sekian banyak jenis tari yang mempunyai kekhasan tersendiri. Tari Topeng
Cirebon terdiri dari lima babak, yang berkaitan satu sama lain, dan
melambangkan berbagai karakter manusia."
Menurut Djana, lima babak dalam tarian ini terdiri atas, Tari
Panji, Samba, Rumyang, Patih/Tumenggung, dan Kelana. Jenis-jenis tarian ini
secara filsafati menggambarkan kehidupan manusia. Tari Panji melambangkan
penggambaran manusia yang dianggap suci, dan seorang pemimpin yang adil,

11
arif bijaksana dan menjalankan perbuatan baik (amar maruf nahi munkar). Tari
Samba menggambarkan gemerlapnya keduniawian seperti harta kekayaan.
Tari Rumyang, melambangkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tari
Patih merupakan gambaran dari sikap kedisiplinan prajurit dan kepahlawanan
yang gagah berani. Tari Kelana, menggambarkan watak manusia serakah,
angkara murka, namun juga seorang pemimpin dengan memiliki keduniawian
sangat tangguh.
Waktu yang diperlukan untuk keseluruhan tarian ini, sekitar lima jam.
Dan agar tarian lebih hidup serta penarinya dapat menyatu, diperlukan
bermacam sesajian. Namun kadangkala, pementasan seluruh babak yang
komplit dengan semua lakon tarian, terbentur masalah waktu. Hal itu
dirasakannya, ketika dia menjadi duta kesenian di Amerika Serikat tempo hari.
Karena sempitnya waktu, lima babak tarian itu dibawakannya dalam
waktu yang dipadatkan, sekitar satu jam. Kesulitan lain membawakan tarian
ini, murni lima babak dengan komplit, dialami saat bersama kelompoknya
mengisi pementasan di tempat-tempat hajatan orang yang menggunakan
kelompoknya. Atau pada saat mengisi acara-acara resmi, baik di keraton-
keraton di Cirebon ataupun di instansi-instansi pemerintah.
Hanya sekadar untuk menarik perhatian, dan agar "tetap laku", Tarian
babak-demi babak ini, diselingi dagelan dengan bodoran Pertunjukan ini pun
dilakukan kelompok-kelompok kesenian yang sama lainnya. Alasannya sama,
agar "tetap laku" dan ditonton. Ada semacam "rasa gundah" dan "rasa
menggugat", dalam diri laki-laki berusia cukup lanjut ini. Perasaan yang
timbul tentang kelestarian kesenian tradisional khas Cirebon tersebut. Banyak
faktor memang, namun yang paling dirasakannya adalah perhatian dari yang
berkompeten, yang dirasakan masih kurang.
Salah satu di antaranya, ketiadaan sanggar seni yang cukup
representatif dalam upaya pembinaan. Khusus di tempat asalnya, selama ini
hany menggunakan sanggar darurat di teras rumahnya. Tidak terlalu luas,
hanya sekitar dua kali tiga meter, dengan penutup krei bambu di salah satu
sisinya. " Selain itu kami pun membutuhkan seperangkat gamelan. Lho

12
gimana mau lestari kesenian ini, jika penunjangnya tidak memadai, "ujarnya
balik bertanya.
Meski dengan peralatan dan tempat berlatih seadanya, namun karena
dorongan darah seni yang begitu lekat menyatu dalam dirinya, Sudjana Ardja
tetap tekun dan berupaya mendidik tunas-tunas muda penerusnya kelak. Jiwa
seni yang membuatnya tetap bertahan. Dan salah satu upayanya, mendidik
salah seorang anaknya yang berusia 12 tahun itu.
Sudjana sendiri, mulai menekuni kesenian ini sejak dia masih
seusia anaknya tersebut. Dia memulainya dengan ikut rombongan tari topeng
milik orang tuanya bersama salah seorang kakak dan adiknya, Sudjaya dan
Keni, yang keluar masuk kampung, memenuhi permintaan orang-orang yang
sedang punya hajat, baik khitanan atau pernikahan.
Kedua saudaranya itu, sampai saat ini masih pula aktif memenuhi
panggilan tarian topeng. Dunia panggung tradisional tersebut, terus digeluti
Djana sampai sekarang. Tentu dengan pasang surutnya dunia pentas tarian
tradisional itu pula. Dunia yang juga membawa perjalanan laki-laki berambut
ikal, dengan sebagian gigi hitam kena asap rokok ini, berkenalan dengan
sekian banyak wanita. Empat orang di antaranya, dijadikannya istri. "Saya
rasa itu cukup. Istri saya terakhir yang hidup serumah sekarang, akan saya
jadikan pelabuhan terakhir rumah tangga saya," tuturnya.
Tari Topeng sampai saat ini masih hidup dalam dunia seni
masyarakat Cirebon, dalam bentuk kelompok-kelompok kesenian yang
tumbuh di kampung-kampung. Terbanyak tetap di Desa Selangit, yang
dianggap sebagai tempat cikal bakal kesenian itu lahir.
Selebihnya kesenian ini menyebar pula ke Desa Gegesik, Kecamatan
Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, yang dianggap masih punya pertalian erat
leluhur dengan Selangit. Dapat disebut pula kelompok-kelompok kesenian itu
di Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Palimanan dan
Jamblang, Kabupaten Cirebon. Dan ada satu lagi di Losari, Kabupaten
Cirebon. Namun di tempat terakhir ini, tidak dikenal pementasan dalam babak
demi babak, tetapi dalam bentuk cerita. Selain itu menurun Sudjana Ardja,
Tari Topeng masih dilestarikan lewat latihan di beberapa sanggar seni di kota

13
Cirebon. Tidak ketinggalan pula, Tari Topeng diajarkan di ASTI (Akademi
Seni Tari Bandung). Djana pun merupakan salah satu dosen panggil di
akademi itu.
Meski diakuinya, kini hanya sebagai salah seorang penguji, yang
hanya datang sekali waktu bila diperlukan. Seperti halnya ketika dia hanya
diperlukan, sebagai salah seorang yang dianggap mampu memperagakan serta
menunjukkan bahwa Tari Topeng masih ada dan tetap hidup. Menunjukkan
bahwa tarian itu adalah salah satu peninggalan kesenian tradisional di negara
ini, yang perlu dilestarikan.

5. Maestro Tari Topeng Cirebon


Setiap kali ada seseorang yang hingga akhir hayatnya tetap kukuh
memilih dunianya menjadi bagian dari "ritus kehidupan", setiap kali ada
seseorang yang selama hayatnya meletakkan hampir seluruh kreativitasnya
menjadi representasi dari segenap "totalitas kehidupan", setiap kali pula
seseorang itu, tanpa pamrih, dengan tulus mengajarkan serta merelakan
dirinya hanya untuk kesenian dan berdiri sebagai seniman yang dengan karya-
karyanya sebuah bangsa, di antara sekian karya yang lain, ditahbiskan
berbudaya dan memiliki spirit peradaban. Adakah kita bisa meletakkan
kembali penghormatan dengan secercah ketulusan yang sama?
Saya kira, kita --siapa pun kita pada konteks maknanya yang diperluas
dalam posisi sebagai pejabat negara, politisi, pengusaha atau apa pun--
kesulitan untuk menjawab esensi pertanyaan tadi dengan baik. Bahkan ada
berbagai pertanyaan serupa yang sama sekali kita tidak bisa memberi jawaban
tepat. Seperti halnya pertanyaan berikut, apakah peran seniman memang
senantiasa berada di luar hiruk-pikuk kebijakan negara? Apakah karya-karya
seni tidak menjadi bagian signifikan dalam subsistem wacana kebudayaan
suatu pemerintahan?
Seniman, terlebih pada mereka yang memilih genre seni tradisi
lengkap dengan membawa khazanah lokal yang menjadi bagian substantif di
dalamnya, tampak mengalami dilema di sana-sini dalam menghadapi
perubahan zaman. Sejumlah seni tradisi yang merupakan "ikon" dan "akar"

14
dalam konstruk budaya tradisional masyarakat, kita tahu, berada pada posisi
marginal dan feriferal. Dan, ironisnya, justru seni-seni tradisi yang semula
menjadi simbol dalam penyeimbang (equilibrium) seni-seni yang dinilai
sebagai sentral (adiluhung).
Kematian yang Sunyi
Sujana Arja, atau akrab dipanggil Mang Jana, adalah maestro penari
topeng yang Senin (10/4/2006) baru saja wafat dengan usia di atas 70 tahun.
Suatu kematian yang sunyi yang menyisakan jejak panjang silsilah dari salah
satu dinamika, stilistika, maupun estetika tari topeng Cirebon: bagaimana tari
topeng "gaya Slangit" membentuk dirinya dan mempertahankan eksistensinya
sekaligus. Bahkan dengan keteguhan seperti itu, ia tidak peduli apakah
negaranya memberi perhatian terhadap salah satu warisan seni tradisi
bangsanya atau tidak; apakah pemerintah daerahnya memahami atau tidak,
bagaimana seharusnya menyusun grand strategy apa yang diklaim para
birokrat sebagai "pelestarian" seni tradisi.
Sujana dengan kehidupan yang sangat sederhana mampu bertahan
untuk tidak bergeser sedikit pun dari pengabdian hampir seluruh gerak dirinya
pada khazanah seni tradisi tari topeng yang diwariskan keluarga besar maestro
penari topeng Arja. Sejak 1973, Sujana berlatih, mengajarkan lima wanda tari
topeng dan menempati sanggar tari Panji Asmara yang berada di pengujung
utara desa Slangit yang kiri-kanannya masih berupa semak perdu, rumpun
bambu, jalan setapak, dan hamparan sawah. Kecuali menari, ia tidak pernah
memilih profesi selainnya, apalagi sekadar untuk menyelesaikan yang primer
dan sekunder dalam kehidupannya selama ini.
Sujana telah melanjutkan proses regenerasi dan genealogi dari cikal-
bakal tari topeng Cirebon. Bersama dengan beberapa tokoh tari topeng
segenerasinya seperti, Sawitri (gaya Losari), Tarwi (Kreo), Sudji dan Dasih
(gaya Palimanan) mengukuhkan tari topeng Cirebon dengan gaya masing-
masing. Sehingga meninggalnya almarhum Sujana, menandai berakhirnya
generasi kedua tari topeng Cirebon yang kini, mau tidak mau, diteruskan
anak-cucu mereka. Tradisi tari topeng --seperti seni-seni tradisi lain, mungkin
agak mirip dengan perguruan shaolin yang memiliki keniscayaan untuk

15
melahirkan sejenis "pendekar" sebagai generasi penerus yang eksploratif,
andal, kukuh, teguh dalam menerima seluruh estafet dari dalam pepakem seni
tradisi tersebut.
Setidaknya, jika generasi tari topeng Slangit pasca-Sujana tidak segera
menata berbagai instrumen dalam perjalanannya ke depan akan menghadapi
tantangan budaya global yang mereduksi pandangan publiknya sedemian rupa.
Dikhawatirkan tari topeng Cirebon yang tumbuh dengan latar serta beragam
gaya yang bertolak dari eksplorasi maupun improvisasi tokohnya akan
kehilangan generasi (lost generation). Sehingga beberapa gaya tari topeng
Cirebon yang pernah tumbuh pada beberapa daerah dengan beragam gaya,
sebut saja Kalianyar, Gegesik, Palimanan, Babakan, Kreo, dan Gujeg, tampak
"ditinggalkan" generasi penerusnya.
Tari topeng "gaya Slangit" --diambil dari muasal nama desa tempat
proses kreatif keluarga besar maestro tari topeng Arja (ayahanda dan
pendahulu Sujana) sebagai Generasi Pertama-- menjadi tonggak penting bagi
sembilan anak-anaknya; Sutija, Suwarti, Suparta, Sujaya, Sujana, Rohmani,
Roisi, Durman, dan Keni, yang semuanya berhasil menjadi penari topeng.
Meski dari ke sembilan anaknya, Sujana yang kelak tampil dan dikenal publik
luas sebagai seorang maestro.
Sujana memulai proses kreatifnya untuk menjadi maestro sejak berusia
10 tahun yang mengikuti bebarang (ngamen) bersama ayahnya. Kemudian
atas prakarsa Pangeran Patih Ardja dari Kesultanan Kanoman, sekitar tahun
1940-an, keduanya tampil dalam berbagai perhelatan ritual tradisi di
lingkungan keraton. Pada usia 17, Sujana dilepaskan secara mandiri untuk
menerima tanggapan (order hajatan) dan melakukan bebarang hingga ke luar
daerah (Indramayu, Majalengka Sumedang, Bandung, Garut, Cianjur, Banten)
sebagai bagian dari proses manunggaling lelaku (menyatukan jiwa-raga
dengan filosofi tari topeng dalam konteks kehidupan) --yang tidak dapat
ditempuh melalui intellectual exercises dari wilayah dan norma-norma
akademis.
Karena itu, kita yang pernah menyaksikan pementasan Sujana, Sawitri,
Sudji, Dasih atau Mimi Rasinah maestro penari topeng dari Pakandangan

16
Indramayu akan tampak kekuatan tarian yang melampaui fase-fase "batas
nalar" dari kelincahan gerak penari yang memasuki usia uzur. Energitas dan
kreativitas menyatu dengan spiritualitas ruh penciptaan. Begitu juga totalitas
dan sinergitas menemukan ruang batin: di mana ekstase menyusun maknanya
yang transenden dan tidak lagi samar-samar tersembunyi.
Hampir para maestro yang membuka ruang batinnya untuk selalu
berada pada kosmos pergulatan kreatif akan memperlihatkan puncak dimensi
penciptaan ruhani yang dahsyat dan menakjubkan. Dan, Mang Jana dalam
sebuah percakapan kecil dengan penulis, menolak persepsi yang semata
mengacu pada asumsi akademis yang menilai pencapaian transenden dapat
dimanipulasi melalui pemahaman sains, tanpa memasuki proses logosentrisme
yang menjadikan seniman berada dalam fase pemahaman empirik-kognitif
(ngangsu kaweruh).
Dalam perspektif inilah, Sujana hendak menegaskan bahwa proses
kreatif yang hanya kukuh sebatas asumsi-asumsi akademis, berakhir dalam
pemahaman formalnya sendiri: tari topeng akan lebih tampak sebagai pola-
pola gerakan ritmis yang penuh citraan (images) gerak tubuh dalam filosofi
makna dan tata aturan bunyi gamelan. Namun kehilangan ruh pencitraannya
sendiri, yang menyebabkan gerakan-gerakan tarian tampak ringan dan
mekanik. Melalui proses panjang manunggaling lelaku dan ngangsu kaweruh,
seorang penari topeng akan menemukan titik pencitraan berbagai dimensi
penciptaan yang bersenyawa dengan totalitas jiwa-raga.
Pribadi yang Tulus
Dalam kurun waktu cukup panjang dan berliku, Sujana Arja, empu tari
topeng Slangit itu, telah menyiratkan dirinya menjadi pribadi yang tulus. Ia
bukan saja berdiri sebagai seorang maestro, melainkan juga guru untuk
banyak muridnya (dalam dan luar negeri) yang sungguh-sungguh telah
mengabdikan serta mengabadikan kehidupannya pada seni tradisi. Meski, ia
tahu, dengan sikap penuh-seluruh, terlebih lagi ia sadari tanpa jaminan hari tua
dari mana pun termasuk pemerintah seorang seniman justru akan terus berada
dalam suasana "mencipta".
Saya masih teringat, ketika tahun 2000 Sujana Arja terpilih sebagai

17
seniman pertama yang menerima Anugerah Seni DKC-Award. Terlihat
sepasang matanya yang mulai tampak renta, berkaca-kaca. Dan yang
menakjubkan, seusai menerima trofi perunggu berwarna kuning keemasan
berlogo kepala paksinagaliman, tiba-tiba sang maestro menari topeng
rumyang secara trance dengan tangan kirinya memegang trofi perunggu
seberat 2,5 kg, berputar-putar seolah hendak menyatakan dirinya ke arah
kerumunan penonton.
Malam itu, kami seperti menyaksikan sebuah momen pertunjukkan
dengan kecanggihan gerakan tubuh memainkan kilasan improvisasi yang
menghadirkan perpaduan dua sisi ekspresi yang menghantarkan unsur-unsur
modernitas dalam teater dan seni tradisi yang patuh pada pepakem.
Sebagaimana tarian rumyang yang melambangkan filosofi kehidupan manusia
dengan paradoks dua karakter yang berseberangan: antara ganjen dan gagah,
antara samba dan tumenggung yang dimainkan secara sempurna.
Setelah pertunjukan tari topeng usai, Sujana, dengan sikap seorang
maestro, berjalan terbungkuk-bungkuk penuh kesantunan melewati
kerumunan penonton yang masih menyisakan riuh kekaguman. Gerak
tubuhnya yang gagah di panggung, seketika berubah menjadi sangat perlahan.
Ia tetap seorang kakek yang rendah-hati. Dari raut wajahnya yang tulus itulah,
kami belajar memahami keteladanan sikap seorang maestro yang teguh dan
kukuh hingga akhir hayatnya.
Beberapa hari kemudian, kami bersilaturahim ke rumahnya mungkin
lebih tepat ke sanggarnya: Sanggar Panji Asmara di desa Slangit Sujana
sedang duduk termenung di kursi kayu dengan latar belakang gamelan yang
mulai kusam, berbagai piagam penghargaan tanpa figura yang sengaja
ditempel begitu saja di dinding, di antara bangunan sanggar yang masih belum
sepenuhnya selesai tertata.
Dari situlah, kami tahu, Sujana terus gelisah dengan masa depan tari
topeng Cirebon, juga seni tradisi lain, kini memasuki lorong panjang seni-
budaya global yang bergemuruh dan mencengangkan. Maestro itu, dengan
suara lirih bergumam, "Kulae nggereges ningali keadaan seniki. Pripun
mengkine nasib seni tradisi kados tari topeng Slangit kuh?" (Saya sangat

18
sedih melihat kondisi sekarang. Bagaimana nanti nasib seni tradisi seperti tari
topeng itu?).
Selamat jalan Mang Jana, selamat jalan maestro. Percayalah, salah
seorang anakmu yang juga murid setiamu, Inu Kertapati bagaimanapun
merupakan salah seorang penari topeng muda Cirebon yang sangat
diperhitungkan-- ia, seperti juga ayahnya, akan kukuh meneruskan silsilah
keluarga besarmu sebagai penari topeng dan meneguhkan dirinya menjadi
Generasi Ketiga keluarga maestro Arja.

6. Tari Topeng Cirebon Bertahan dari Kepunahan


Menurut Sujana, tradisi yang ada pada tari topeng sudah tidak sama
dengan waktu ketika ia menari dulu. Selain banyak orang yang hanya asal bisa
menarikan dan tuntutan masyarakat agar tari topeng diubah atau dimodifikasi,
ternyata ada banyak tata cara dan tradisi yang harus dihilangkan mengikuti
arahan pemerintah. Ada tiga hal yang harus diubah oleh Sujana beserta
kelompok tarinya, yaitu ketentuan tidak boleh ngamen dari rumah ke rumah
atau lazim dikenal dengan istilah bebarang, tidak boleh pakai kaus kaki ketika
menari, dan harus mengganti baju berwarna hitam dengan baju yang lebih
meriah. Menyebarkan agama
Pada awalnya, tari topeng digunakan untuk menyebarkan agama
dengan datang ke rumah seseorang dengan mengharapkan pemilik rumah bisa
membawakan doa syahadat. Namun dalam perkembangannya, pembacaan
syahadat memang tidak dikembangkan lagi, tapi diganti dengan bebarang
ketika musim panen padi tiba. Bila musim panen tiba,Sujana dan kelompok
tarinya datang dari rumah ke rumah untuk mengamen. Ketika itu, mereka
dibayar dengan padi sistem bakdeng, satu bedeng atau sekitar 30 kilogram
padi untuk satu babak.
Selain itu, pemakaian kaus kaki putih juga dilarang. Pasalnya,
pemerintah menganggap kaus kaki putih adalah simbol orang-orang penganut
komunis. Padahal, kaus kaki putih tersebut merupakan simbol kesucian
seseorang, lebih dari sekadar aksesoris. Seorang dalang yang akan menari
harus suci hati dan pikirannya. Dalam hal ini disimbolkan dengan kaus kaki

19
berwarna putih. Sedangkan aturan baru lainnya adalah perihal baju yang harus
dibuat lebih berwarna, tidak polosan dengan warna hitam.
Padahal awalnya, warna polos itu menyimbolkan kesederhanaan bagi
dalangnya agar nantinya para penonton tari tersebut dapat meniru cara hidup
sederhana. "Saya waktu itu sampai sekarang ikut saja. Padahal, saya tahu
kalau diubah, pastinya ada pesan tertentu yang akan hilang. Tapi mau
bagaimana lagi namanya juga orang takut," ujar Sujana Arja.
Akan tetapi, gagasan perubahan yang digulirkan tidak sejalan dengan
nasib tari topeng Cirebon. Akhir-akhir ini, sajian tari topeng Sujana beserta
kelompok tari Panji Dharma mulai ditinggalkan masyarakat. "Terakhir kali
menerima order bayaran Rp 30 juta. Tapi sekarang uangnya sudah habis
karena harus dibagi rata dengan personel lainnya yang jumlahnya sekitar 30
orang. Kalau sudah begitu, saya terpaksa utang tetangga karena sudah tidak
ada yang tersisa dari saya untuk membiayai hidup sehari-hari," katanya. Harus
bersaing Menurut Inu Kertapati-dalang tari topeng lainnya-berbeda dengan
dulu, setiap hari selalu saja ada orang yang memintanya untuk menarikan tari
topeng. Baik khitanan, pernikahan, maupun selamatan rumah, biasanya tari
topeng selalu hadir dan diminati masyarakat.
"Kami sangat sadar kalau sekarang kami harus bersaing dengan
kesenian yang kata orang lebih baru seperti modern dance atau organ tunggal.
Tapi apakah suatu kesalahan bila kami ingin tetap pertahankan tradisi turun-
temurun ini" ujar Inu, anak ketiga dari Sujana Arja. Selain itu, menurut Inu,
kepunahan tari topeng bisa saja lebih cepat terjadi. Pasalnya, selama ini tari
topeng Cirebon hanya ditampilkan pada waktu tertentu. Akibatnya minat dan
pengetahuan masyarakat terhadap tari topeng semakin berkurang.
Tari topeng biasanya hanya muncul saat even kejuaraan dan acara yang
diselenggarakan pihak Keraton di Cirebon. Di luar itu, tari topeng masih sulit
ditemukan. Biaya yang mahal dan adanya kesenian lain yang lebih modern
membuat masyarakat mulai meninggalkan tari topeng Cirebon. Kesenian di
Jawa Barat setidaknya memiliki 35 rumpun seni, yang terdiri dari 391 jenis
kesenian. Dari jumlah itu, 100 jenis kesenian berkembang di masyarakat, 39 di
antaranya sangat berkembang. Kesenian yang sangat terkenal di Jabar adalah

20
Jaipongan. Kesenian ini berkembang, antara lain di Kota Bandung, Cimahi,
Tasikmalaya, Majalengka dan Bekasi.
Kesenian lain yang menjadi ciri khas Jabar adalah tembang sunda,
tayub, wayang golek, reog, calung, angklung/arumba, dan sintren. Di wilayah
Cirebon terkenal dengan kesenian topeng Cirebon, tarling, gembyung, dan
wayang kulit. Sementara untuk daerah Kuningan dan Indramayu jenis
kesenian seperti sandiwara, sintren, kuda lumping juga berkembang baik.
Sementara di Sukabumi, potensi seni yang ada antara, lain uyeg, cador,
kliningan, kecapi suling, calung, debus, dan ketuk tilu. Adapun kesenian yang
berkembang di Karawang dan Subang, antara lain bajidoran, dombret, dan
kesenian sisingaan. Jumlah seniman di Jabar sebanyak 49.023 orang dan
hingga kini masih aktif.

21
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sebagai hasil kebudayaan, Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang
mengandung pesan–pesan terselubung, karena unsur – unsur yang terkandung
didalamnya mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan sangat
menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai
pendidikan. Variasinya dapat meliputi aspek kehidupan manusia seperti
kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta
menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga menginjak
dewasa.
Semoga kesenian ini tetap ada karena banyak hal yang bisa kita
dapatkan dan pelajari dari tarian ini. kata Sujana Arja, salah seorang maestro
tari topeng Cirebon dalam percakapan dengan Kompas belum lama ini. Hal
itulah yang tetap dicoba oleh tarian topeng Cirebonan sebagai bentuk khas
kesenian asli Cirebon. Hingga saat ini,n kesenian itu jatuh bangun
mempertahankan keasliannya.
Ironisnya, beberapa aliran atau gaya turunan tari topeng Cirebon
hampir punah, bahkan beberapa di antaranya sudah punah. Sebagian seniman
dari aliran tari topeng Cirebon ada yang mencoba mempertahankannya.
Sering kali mereka dianggap kuno. Bahkan, beberapa maestro yang masih
eksis, hidupnya pun jauh dari layaknya seorang maestro seni.

22
MAKNA YANG TERKANDUNG
DALAM TARI TOPENG CIREBON

PROPOSAL

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah : Metode Penelitian
Dosen : Drs. Nasehudin, M.Pd

Disusun oleh :

1. Mahfud Ansor
2. Irwan Gunawan
3. Riyanti
4. Maslikhah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)


CIREBON
2008

23
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, nikmat serta karunia-Nya. Selanjutnya shalawat dan salam
semoga terlimpahcurahkan pada Nabi Muhammad SAW yang telah memberi
contoh tauladan yang baik kepada umat manusia, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah kelompok mata kuliah Metode Penelitian
yang berjudul “Makna-makna yang terkandung dalam Tari Topeng Cirebon”.
Selama pelaksanaan interview penyusun mendapatkan bimbingan serta
dukungan dari berbagai pihak sehingga alhamdulillah proses interview yang telah
dilaksanakan dan disusun dengan baik.
Oleh karena itu, sepatutnya penyusun sampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. Nasehudin, M.Pd selaku Dosen Metode Penelitian
2. Ketua sanggar tari Puser Langit
Akhirnya penyusun pun menyadari bahwa penyusunan proposal ini masih
jauh dengan apa yang diharapkan, oleh karena itu kritik dan saran serta masukan
yang bersifat membangun optimisme penyusun dengan lapang dada akan kami
terima sebagai bahan perbaikan dalam tugas berikutnya.
Akhirnya penyusun berharap tugas ini dapat memberikan manfaat
khususnya bagi penyusun dan sedikit kontribusi bagi masyarakat dan bagi pecinta
budaya Tari Topeng di Cirebon.

Cirebon, 09 Juni 2008


Penyusun,

i
24
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3
A. Definisi Tari Topeng Cirebon ...................................................... 3
B. Sejarah Perkembangan Tari Topeng Cirebon .............................. 3
C. Filosofi Tari Topeng Cirebon ...................................................... 4
D. Tari Topeng Cirebon Gambaran Hidup Manusia ........................ 10
E. Maestro Tari Topeng Cirebon ..................................................... 14
F. Tari Topeng Cirebon Bertahan dari Kepunahan........................... 19
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 22
Kesimpulan ....................................................................................... 22

ii
25

You might also like