You are on page 1of 3

Pertumbuhan Penduduk: Ancaman Terbesar Masalah

Lingkungan

We must alert and organise the world’s people to pressure world


leaders to take specific steps to solve the two root causes of our
environmental crises – exploding population growth and wasteful
consumption of irreplaceable resources. Overconsumption and
overpopulation underlie every environmental problem we face today.”

Jacques-Yves Cousteau

Populasi manusia adalah ancaman terbesar dari masalah lingkungan


hidup di Indonesia dan bahkan dunia. Setiap orang memerlukan energi,
lahan dan sumber daya yang besar untuk bertahan hidup. Kalau
populasi bisa bertahan pada taraf yang ideal, maka keseimbangan
antara lingkungan dan regenerasi populasi dapat tercapai. Tetapi
kenyataannya adalah populasi bertumbuh lebih cepat dari kemampuan
bumi dan lingkungan kita untuk memperbaiki sumber daya yang ada
sehingga pada akhirnya kemampuan bumi akan terlampaui dan
berimbas pada kualitas hidup manusia yang rendah.

Antara 1960 dan 1999, populasi bumi berlipat ganda dari 3 milyar
menjadi 6 milyar orang. Pada tahun 2000 populasi sudah menjadi 6.1
milyar. PBB memprediksi bahwa populasi dunia pada tahun 2050 akan
mencapai antara 7.9 milyar sampai 10.9 milyar, tergantung ada apa
yang kita lakukan sekarang. Dapatkah anda bayangkan berapa banyak
bahan pangan, lahan untuk pertanian, lahan untuk perumahan, dan
barang konsumsi lainnya yang dibutuhkan oleh penduduk yang begitu
banyak?

Dengan tingginya laju pertumbuhan populasi, maka jumlah kebutuhan


makanan pun meningkat padahal lahan yang ada sangat terbatas.
Untuk memenuhi kebutuhan makanan, maka hutan pun mulai dibabat
habis untuk menambah jumlah lahan pertanian yang ujungnya juga
makanan untuk manusia. Konversi hutan menjadi tanah pertanian bisa
menyebabkan erosi. Selain itu bahan kimia yang dipakai sebagai
pupuk juga menurunkan tingkat kesuburan tanah. Dengan adanya
pembabatan hutan dan erosi, maka kemampuan tanah untuk
menyerap air pun berkurang sehingga menambah resiko dan tingkat
bahaya banjir.

Perkembangan urbanisasi di Indonesia perlu dicermati karena dengan


adanya urbanisasi ini, kecepatan pertumbuhan perkotaan dan
pedesaan menjadi semakin tinggi. Pada tahun 1990, persentase
penduduk perkotaan baru mencapai 31 persen dari seluruh penduduk
Indonesia. Pada tahun 2000 angka tersebut berubah menjadi 42
persen. Diperkirakan pada tahun 2025 keadaan akan terbalik dimana
57 persen penduduk adalah perkotaan, dan 43 persen sisanya adalah
rakyat yang tinggal di pedesaan. Dengan adanya sentralisasi
pertumbuhan dan penduduk, maka polusi pun semakin terkonsentrasi
di kota-kota besar sehingga udara pun semakin kotor dan tidak layak.

Kota-kota besar terutama Jakarta adalah sasaran dari pencari kerja dari
pedesaan dimana dengan adanya modernisasi teknologi, rakyat
pedesaan selalu dibombardir dengan kehidupan serba wah yang ada di
kota besar sehingga semakin mendorong mereka meninggalkan
kampungnya. Secara statistik, pada tahun 1961 Jakarta berpenduduk
2,9 juta jiwa dan melonjak menjadi 4,55 juta jiwa 10 tahun kemudian.
Pada tahun 1980 bertambah menjadi 6,50 juta jiwa dan melonjak lagi
menjadi 8,22 juta jiwa pada tahun 1990. Yang menarik, dalam 10 tahun
antara 1990-2000 lalu, penduduk Jakarta hanya bertambah 125.373
jiwa sehingga menjadi 8,38 juta jiwa. Data tahun 2007 menyebutkan
Jakarta memiliki jumlah penduduk 8,6 juta jiwa, tetapi diperkirakan
rata-rata penduduk yang pergi ke Jakarta di siang hari adalah 6 hingga
7 juta orang atau hampir mendekati jumlah total penduduk Jakarta. Hal
ini juga disebabkan karena lahan perumahan yang semakin sempit dan
mahal di Jakarta sehingga banyak orang, walaupun bekerja di Jakarta,
tinggal di daerah Jabotabek yang mengharuskan mereka menjadi
komuter.

Pada akhirnya, pertumbuhan populasi yang tinggi akan mengakibatkan


lingkaran setan yang tidak pernah habis. Populasi tinggi yang tidak
dibarengi dengan lahan pangan dan energi yang cukup akan
mengakibatkan ketidakseimbangan antara supply dan demand yang
bisa menyebabkan harga menjadi mahal sehingga seperti yang sedang
terjadi sekarang, inflasi semakin tinggi, harga bahan makanan semakin
tinggi sehingga kemiskinan pun semakin banyak. Semakin
menurunnya konsumsi masyarakat akan menyebabkan perusahaan
merugi dan mem-PHK karyawannya sebagai langkah efisiensi,
sehingga semakin banyak lagi kemiskinan.

Jadi, kita mudah saja bilang, kapan negara kita bisa swasembada? Apa
bisa kalau masih mau punya banyak anak? Bagaimana dengan masa
depan anak cucu kita kalau lahan sudah tidak tersedia, tanah rusak
akibat bahan kimia, air tanah tercemar dan bahkan habis sehingga
tidak bisa disedot lagi? Bagaimana kita mau menghemat makanan dan
air kalau populasi terus berkembang gila-gilaan?

Populasi seperti hal yang besar dan politis yang diomongkan banyak
orang. Tetapi hal ini juga merupakan hal yang dapat dilakukan oleh
setiap orang. Seperti yang telah kita lakukan dahulu dan berhasil, kita
bisa Ikut program Keluarga Berencana (KB) atau paling tidak memiliki
rencana KB sebagai komposisi keluarga yang ideal. Kalau tidak mau
pusing soal KB, paling tidak pakai kondom dan jika anda malu untuk
beli kondom di tempat publik maka sekarang sudah bisa beli lewat
internet melalui kondomku.com sehingga tidak perlu malu lagi untuk
membeli di toko.

Krisis pangan sudah dimulai di seluruh dunia. Harga semakin melejit


dan pada akhirnya bukan karena kita tidak mampu membeli makanan,
tetapi apakah makanan itu bisa tersedia. Kalau bukan kita yang
bertindak dari sekarang, masa depan anak dan cucu kita bisa benar-
benar hancur sehingga kita yang berpesta pora pada saat ini baru
akan merasakan akibatnya nanti.

Sumber:
Bapeda Jabar
BKKBN

You might also like