You are on page 1of 10

Majelis Syura, Alternatif ”Demokrasi-Islam”,

Dan Ketaatan Kader PKS


Desember 18, 2007 in artikel
Muhammad Syihabuddin

A. Pendahuluan

Salah satu persoalan yang menarik untuk ditela’ah dari PKS adalah Majelis Syura (MS).
Hal ini karena MS adalah jantung partai: lembaga tertinggi dan lembaga sentral, dalam policy
decition di tubuh PKS. Sebagai lembaga yang paling otoritatif dalam pengambilan kebijakan
partai dakwah ini maka tidak ada lembaga atau kader partai di bawahnya yang tidak tunduk
dan taat atas segala keputusan yang ditetapkan MS.
Sejauh ini belum ada sebentuk konflik atau ketidakpuasan berkepanjangan mengemuka dari
dalam PKS akibat kebijakan MS. Sebagai ilustrasi, tidak ada geliat perlawanan dari personal
kader atau suatu DPD PKS, yang berhasil ditangkap media, terhadap MS PKS karena telah
memilih Tifatul Sembiring sebagai presiden partai ini, di saat hampir seluruh partai politik
dirundung pertikaian internal sebagai buntut adu kepentingan saat pemilihan ketua umum.
Tulisan ini akan mengelaborasi secara mendalam MS dalam struktur PKS, sebagai partai
Islam Modern. Lebih jauh, tulisan ini akan melihat perajutan nalar syura dengan nalar
demokrasi “sekuler” sehingga melahirkan suatu demokrasi ala PKS yang justru mampu
menumbuhkan loyalitas dan militansi para aktivis dan kader PKS.
B. Konsep Syura, Islam dan Demokrasi Menurut PKS
Konsepsi Syura dalam wacana politik Islam selalu saja menarik untuk dibincangkan,
terutama sekali jika hal itu ditarik ke suatu persandingan konsep Syura dengan demokrasi.
Secara etimologis, Syura berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi.
Majelis Syura berarti juga majelis permusyawaratan atau badan legislatif. Istilah Syura
berasal dari kata kerja syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau
mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja
syawara adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara (berunding, saling bertukar pendapat),
syawir (meminta pendapat, musyawarah), dan mutasyir (meminta pendapat orang lain).
Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta
dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.[i]
Dalam Islam, syura diletakkan sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah-masalah
sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan suatu sarana dan cara memberi
kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi
dalam membuat keputusan yang sifatnya mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum
maupun kebijakan politik. Setiap orang yang ikut bermusyawarah akan berusaha menyatakan
pendapat yang baik, sehingga diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan persoalan yang
dihadapi. Namun demikian ihwal pelaksanaan Syura, tidak ada nash Al-Qur’an yang
memberikan paparan detail tentangnya. Nabi Muhammad SAW—yang telah melembagakan
dan membudayakan syura karena ia gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya—tidak
mempunyai pola dan bentuk tertentu. Karena itu, bentuk pelaksanaannya disesuaikan dengan
kondisi dan zaman umat Islam.[ii]
Musyawarah secara metodologis diartikan pula sebagai forum di mana setiap persoalan yang
menyangkut kepentingan umum atau rakyat dicari solusinya dan dipertimbangkan berdasarkan
alasan-alasan yang rasional. Sementara itu, hasil musyawarah bisa saja berupa kesepakatan bersama
(konsensus atau ijma’), dan bisa juga didasarkan pada suara mayoritas, sebagaimana pernah
dilakukan Nabi dalam musyawarah menghadapi musuh Quraisy Makkah. Dalam musyawarah
tersebut, Nabi mengambil suara terbanyak dengan keputusan menghadapi musuh di luar kota
Madinah yaitu bukit Uhud.[iii]
Konseptualisasi syura dalam perkembangannya memberikan kontribusi bagi
pengkayaan metodologi dalam proses pengambilan keputusan secara mufakat dalam politik
Islam. Namun, konsep syura juga memiliki kontribusi besar bagi dialog antara politik Islam
dengan demokrasi. Dari sini muncul kesan, musyawarah atau juga syura adalah bagian dari
konsep penting yang dilahirkan dari peradaban Islam, dan karenanya masyarakat Islam tidak
perlu mempertimbangkan ”produk” dari luar Islam, apalagi memakainya. Produk ”Barat”
yang selalu disejajarkan dengan syura dalam Islam adalah demokrasi.
Demokrasi—secara epistemologis dan, bahkan, sebab ia lahir di luar teritori negara Arab
semata—seringkali diklaim sebagai produk ”kafir” dan karenanya harus ditolak, sepenuhnya
ataupun sebagain kecilnya. Wacana inilah yang dalam masyarakat muslim selalu menggelitik,
terutama kalangan muslim fundamentalis. Benarkah Islam sesuai (compatible) dengan
demokrasi ”sekuler”, dalam sistem politik modern? Jika tidak sesuai sepenuhnya, sejauh
mana batasan dalam demokrasi yang sesuai dengan Islam?
Pada dasarnya pemahaman PKS terhadap demokrasi juga didasarkan pada nilai yang
sama dengan beberapa kelompok fundamentalis lain, seperti Hizbut Tahrir (HT) dan Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI). Dua kelompok terakhir berada dalam posisi ”kritis”, bahkan
menolak, sistem demokrasi untuk diterapkan dalam dunia Islam. Islam memiliki sistem
sendiri yang berbeda dengan sistem demokrasi ”kufur-Barat”.
Abu Ridho, salah satu ideolog PKS, berujar bahwa sistem pemerintahan Islam tidaklah
sama dengan sistem pemerintahan lainnya. Sistem Islam itu unik dan hanya bersandar pada
aturan-aturan Ilahiah. Nilai-nilai ilahiah intinya adalah pengesaan (tauhid) Allah dengan
setulus-tulusnya dan semurni-murninya. Tauhid yang sama sekali bersih dari noda-noda
syirik harus menjadi asas tata kehidupan suatu bangsa atau masyarakat. Sistem itu tidak bisa
diidentikkan dengan teokrasi sebagaimana dipahami kalangan Kristen dalam sejarah bangsa-
bangsa mereka melalui pemerintahan elit-elit agama (teokrasi), karena dalam Islam tidak
dikenal sebutan “tokoh agama”.
Sistem ini juga menampik terwujudmya pemerintahan otokrasi, sebab dalam Islam
penguasa bukanlah otoritas tunggal. Hal sama juga, pemerintahan Islam bukan pemerintahan
rakyat karena ia bukan demokrasi dalam arti sempit. Oleh karena itu, anggapan bahwa sistem
pemerintahan Islam sama dengan sistem tertentu dari sistem-sistem lain yang dikenal itu,
menurut Abu Ridho[iv] sesungguhnya telah mencemarkan dan menjauhkan dari realitas
makna sebenarnya dengan makna sesungguhnya. Kepemimpinan Islam tegak di atas dua
pilar; Syariat Islam dan Umat Islam, yang masing-masing keduanya bersifat unik.
Hanya saja, berbeda dengan HTI dan MMI, PKS masih tetap menerima dan memakai
mekanisme demokrasi untuk saluran politik formal dalam perebutan kekuasaan, meski
dengan batas-batas tertentu. Mendasarkan pada pernyataan Hasan Al-Banna, Anis Matta
menyatakan, meskipun demokrasi bukan sistem politik Islam, namun demokrasi merupakan
sistem politik modern yang paling dekat dengan Islam. Demokrasi adalah pintu masuk bagi
upaya pemberdayaan umat, kemudian melibatkannya dalam pengelolaan negara, dan
akhirnya memberinya mandat untuk memimpin dirinya sendiri[v]. Penegasan Hasan Al-
Banna dan Abu Ridho itu menunjukkan bahwa penerimaan terhadap demokrasi ini bersifat
minimalis dan tidak ajeg. Mereka melakukan pemilahan mendasar pada sisi mana menerima
atau membuang demokrasi. Penegakan sistem demokrasi bukanlah tujuan politik PKS. PKS
memiliki konsepsi politik tersendiri yang akan diperjuangkan lewat saluran demokrasi: Islam.
Satu alasan lain penerimaan demokrasi oleh PKS dinarasikan secara apik oleh Anis
Matta bahwa titik temu politik PKS dengan nilai demokrasi, terutama pada aspek partisipasi.
Konsep partisipasi yang ditawarkan sistem demokrasi memiliki relevansi dengan politik
Islam, karena menjadikan posisi tawar masyarakat terhadap negara semakin kuat, berbasis
pada kebebasan dan hak asasi manusia, sedang keunggulan akal kolektif berbasis pada upaya
untuk merubah keragaman menjadi kekuatan, kreatifitas, dan produktifitas. Oleh karena itu,
demokrasi memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan masyarakat.[vi] Dengan
penerimaan “relatif” pada demokrasi, terutama pada level partisipasi, maka tidak menjadi
hambatan syar’i bagi PKS masuk ke dalam gelanggang demokrasi untuk turut menjalani
kontestasi politik dengan partai lainnya.
Bagi PKS, dengan mengikuti garis politik Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM), demokrasi
itu tidak diharamkan asal tidak bertentangan dengan syari’ah. Kekuasaan itu ditangan umat,
tapi kedaulatan ada di tangan Allah sebagai sumber dan tata nilai serta prinsip keberislaman.
Berbeda dengan diktum demokrasi sekuler, ”kedaulatan ada di tangan rakyat dan suara
rakyat adalah suara Tuhan”, Islam lebih memilih ”kedaulatan ada di Tangan Tuhan, dan
Suara Tuhan harus menjadi suara rakyat. Sejauh pemahaman demokrasi semacam itu, maka
PKS tidak mengharamkannya[vii].
Jelas sudah, bahwa PKS tidak menampik kehadiran demokrasi, meskipun juga tidak
menerima secara membabi buta terhadapnya. Konsepsi pemerintahan Islam yang sedikit
banyak “meminjam” demokrasi dalam hal praktek politiknya tetapi tetap menjadikan Tuhan
sebagai sumber inspirasi dan landasan filosofisnya, dalam sejarah pemikiran politik memiliki
sandaran teoritiknya pada satu konsepsi “teo-demokrasi” ala Maududian. Sistem
pemerintahan ini merupakan sistem demokrasi yang bersifat ketuhanan, ketika orang-orang
Islam melaksanakan kedaulatan rakyat itu dibatasi oleh kedaulatan Tuhan. Dalam turunan
praksisnya, Maududi melukiskan eksekutif di bawah sistem pemerintahan diangkat oleh
kehendak umum dari orang-orang Islam yang mempunyai hak untuk memberhentikannya.
Segala persoalan administratif dan suatu hal yang secara eksplisit tidak dirumuskan oleh
syariat akan diputuskan secara konsensual oleh kalangan Islam. Tiap-tiap muslim yang
mampu dan memenuhi syarat untuk memberi pendapat tentang masalah-masalah hukum
Islam, berhak menafsirkan hukum Tuhan ketika penafsiran itu dibutuhkan. Dengan kata lain,
Islam telah menggariskan hukum dan kedaulatan (al-hakimiyah) itu hanya milik Tuhan
semata, meski dalam tataran operasionalnya harus melewati persetujuan seluruh rakyat
muslim yang dicerminkan melalui ahlul hall wal aqd atau Majelis Syura.[viii]
Meski tetap menyisakan kritik, pandangan Maududi—sosok yang mendirikan cabang
dan publikasi Ikhwan di Pakistan— bagi kalangan Islamis moderat seolah merupakan jalan
tengah antara dua kutub yang berseberangan, antara teokrasi dan demokrasi sekuler, dan
karenanya pula ingin mendamaikan perdebatan tak berujung ihwal penerimaan demokrasi
dalam Islam. Islam tidak phobi dengan demokrasi, karena satu-satunya instrumen untuk
meraih kekuasaan secara beradab dan manusiawi dalam sistem politik modern adalah
melalui demokrasi (elektoral). Namun, demokrasi dengan sandaran individualisme dan
sekularitasnya jelas tidak mendapat tempat dalam rumusan politik Islam, sebagaimana juga
diikuti oleh PKS. Sebagai gantinya, ”Majelis Syura” dipilih PKS sebagai mekanisme
”demokrasi-Islam” dalam menjalankan pemerintahan politiknya.
Beberapa prinsip paling penting Syura dalam tradisi al-Ikhwan al-Muslimun yang
diikuti oleh PKS adalah:[ix]
1. Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah dan ummat, dan
merupakan pengkhianatan kepada amanah jika telah tampak baginya kebenaran
namun ia berpaling darinya dan mengikuti pandangan penguasa dan partai, atau
karena pandangan tertentu.
2. Agar semua anggota majelis berakhlaq Islam dalam Syura, tidak dibolehkan berbagai
keputusan dilahirkan dari berbagai manuver, blok, kesepakatan atau perundingan di
luar majelis. Mayoritas suara juga tidak selalu menjadi andalan dalam menghasilkan
keputusan, melankan akhlaq mulia.
3. Sesungguhnya Islam tidak menjadikan mayoritas sebagai keputusan, jika terdapat
hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunah Nabi. Ini bertentangan dengan sistem
demokrasi Barat yang menjadikan suara mayoritas sebagai kebenaran mutlak, hingga
menjadikan keputusannya itu sebagai undang-undang tertinggi, dan undang-undang
lain yang bertentangan dengannya harus diubah.
4. Terkait dengan syarat kepemimpinan dan pertanggungjawaban berlandaskan syari’at
Islam, anggota majelis haruslah orang-orang terhormat dan mendapatkan tempat
sebagai tokoh di tengah masyarakat. Keadilan adalah salah satu syarat yang harus
dimiliki oleh seorang calon atau anggota majelis.
C. Sketsa Majelis Syura PKS
Demokrasi dalam tubuh PKS dilaksanakan melalui MS. Hal ini menegaskan bahwa MS
dalam tubuh PKS bukan semata institusi yang lahir di luar jangkuan ideologi partai. MS
bukan pula sekedar aplikasi praktis dari sebuah kebutuhan kelembagaan partai. MS tak lain
dan tak bukan merupakan manifestasi dari gumpalan ideologi Islam yang tersemat dalam
nalar politik PKS. Oleh karena itu kehadirannya pun akan dioptimalisasikan sebagai
mekanisme pengganti demokrasi dalam menjalankan pemerintahan di tubuh PKS. Berangkat
dari kenyataan tersebut, maka MS setidaknya menjadi model bagi sebuah pemerintahan
tertentu yang ingin dicoba kembangkan PKS. Bahkan tidak menutup kemungkinan sistem
Syura—dengan segala kekhasannya dan sejauh ini baru diterapkan PKS sebagaimana
konsepsi politik Islam yang diyakininya—akan ditawarkan kepada publik sebagai suatu
konsepsi baru model pemerintahan di republik ini.
Demikianlah landasan teologis yang mengikat MS PKS ini. Sebagai badan tertinggi di
dalam struktur PKS, MS dipandang sebagai bentuk manifestasi dari perintah al-Qur’an dan
Sunnah Nabi untuk menjalankan syura. Anggota-anggota MS memiliki hak yang sama,
karena mereka mewakili seluruh anggota melalui apa yang disebut dengan pemilihan raya
(pemira). Dengan komposisi yang demikian ini, MS PKS dapat dipersamakan dengan
kedudukan parlemen dalam sistem pemerintahan demokratis.
Uraian berikut akan mencoba menelusuri salah satu peran strategis yang dimainkan
oleh MS dalam pemerintahan PKS. Untuk itu pendedahan ini akan diawali dengan melihat
undang-undang partai, dalam hal ini AD, yang menjadi landasan konsensual bagi jalannya
roda pemerintahan PKS. Di sana disebutkan bahwa MS merupakan lembaga tertinggi
partai.[x] Artinya, posisi tertinggi yang melekat pada partai membawa konsekuensi logis bagi
seluruh jajaran kepemimpinan, kepengurusan ataupun kader yang berhimpun di dalam partai
harus tunduk pada semua keputusan yang diambil oleh MS ini, tanpa terkecuali. Sebagai
lembaga yang melekat dalam dirinya sebuah wewenang menetapkan, bukan sekedar memberi
masukan, maka keketatapannya itu bersifat mengikat (mulazamah)[xi].
Sebagaimana pula telah diundangkan dalam AD PKS, MS bertanggung jawab
menyusun tujuan-tujuan Partai, keputusan-keputusan dan rekomendasi Musyawarah
Nasional.[xii] Dalam perancangan agenda strategis dan ideologis partai tersebut, peran MS
tak tergantikan oleh lembaga manapun dalam struktur kepengurusan PKS. Hak dan tanggung
jawab MS yang luas dan besar.
Peran MS itu mengandaikan bahwa MS tidak perlu lagi pelibatan secara fisik wakil-
wakil pengurus daerah untuk turut serta merancang agenda-agenda strategis berskala
nasional yang tentunya juga berimplikasi pada kerja-kerja partai dalam lingkup lokal. Saking
sentralnya lembaga tersebut, Munas, yang dalam tradisi partai lain merupakan ajang tertinggi
partai untuk menyelenggarakan proses demokrasi internal dalam memilih dan menentukan
ketua umum partai sekaligus menyusun kerangka kerja partai untuk periode selanjutnya, bagi
PKS Munas hanya sebagai ajang sosialisasi kebijakan MS.[xiii]
Sebagai contoh, kita lihat tradisi pemilihan ketua umum partai yang bagi kebanyakan
partai politik di Indonesia merupakan sumber konflik berkepanjangan ini. Ditegaskan oleh
Anis Matta, bahwa pemilihan ketua umum bukanlah hal istimewa dalam PKS. Justru yang
paling ramai adalah sosialisasi kebijakan dan rekomendasi yang diambil oleh MS dalam
Munas. Diktum dalam AD PKS mengeaskan bahwa tugas MS juga memilih dan menetapkan
pimpinan lembaga tinggi partai[xiv]. Bagi PKS, memilih pemimpin partai tidak harus melalui
mekanisme internal yang rumit, penuh hiruk-pikuk, lengkap dengan mahalnya biaya, dengan
model penjaringan dan sosialisasi sampai pada level bawah terlebih dahulu serta
dilaksanakan dalam forum musyawarah anggota yang melibatkan semua wakil dari daerah.
Dalam sejarah PKS memilih pimpinan partai cukup diselesaikan oleh MS.
Ihwal MS sendiri, dalam tradisi PKS, pucuk pimpinan MS dipegang oleh sosok yang
kokoh secara ideologis. Ini bisa dilihat dari profile KH. Hilmi Aminuddin, ketua MS PKS
sekarang, yang banyak berjuang—terutama dibelakang layar—untuk menyokong ideologi
partai. Dengan bekal pendidikan yang banyak ditempuh di Timur Tengah, Hilmi sangat kuat
dalam penguasaan literatur keislaman klasik dan memiliki jaringan yang luas, terutama
jaringan IM yang berpusat di Mesir. Hilmi dikenal sebagai salah saatu ideolog IM terkemuka
di Indonesia dan secara kaffah berjuang untuk menumbuhkan ideologi IM di tanah air.
Karena diisi oleh para ideolog partai, maka MS begitu ”kharismatis” di dalam tubuh
PKS. Karena alasan itu segala keputusan MS begitu ditaati di dalam tubuh PKS. Hal lain yang
membuat MS begitu diamini oleh semua kader—dan ini yang unik di dalam tubuh PKS—
adalah karena MS dipilih oleh semua kader, dengan mempertimbangkan jenjang kaderisasi.
Mekanisme pemilihan MS yang melibatkan semua kader partai berbuah manis dengan
lahirnya rasa kepemilikan dan ketaatan bersama.
Sebuah tulisan berjudul Tradisi Pemilihan Pemimpin di PKS (tanpa tanggal dan
tahun) menjelaskan bahwa sebagai partai kader, PKS mengembangkan mekanisme bahwa
semua orang yang aktif di partai adalah kader. Bahkan pada tingkatan pergantian
kepemimpinan di partai ini juga harus melalui mekanisme kader. PKS menganggap bahwa
hanya dengan membangun kader seperti ini partai akan memiliki stabilitas pendukung tinggi.
Poin keenam nilai dasar dalam tulisan itu menjelaskan bahwa kedudukan MS dalam partai
(adalah) sebagai lembaga tertinggi. Karena itu, anggota MS dipilih melalui mekanisme yang
di dalamnya terdapat prasyarat-prasyarat tertentu sehingga dapat memastikan MS akan diisi
oleh kader-kader berwawasan, profesional, dan representatif sekaligus. Selanjutnya dalam
uraian prosedur pemilihan MS melalui beberapa tahapan, yaitu, tahap pertama, pemilihan
MS dilaksanakan dengan sistem pemira untuk memilih anggota MS yang berdasarkan tiga
jenis representasi; geografis yakni kewilayahan; representasi tarbawiyah atau tingkat
kekaderan; dan terakhir representasi keahlian (profesionalisme) yakni dipilih karena skill
yang dimilikinya. Representasi ketiga dipilih karena tidak semua representasi geografis dan
kekaderan memenuhi kriteria profesionalitas yang ditetapkan.
Pemira itu diselenggarakan oleh suatu komite bernama Lajnah Pemira. Pemira ini tidak
diikuti oleh semua kader PKS, namun hanya kader inti semata. Dalam jenjang kaderisasi PKS,
terdapat 6 tahapan; Kader Pemula, Kader Muda, Kader Madya, Kader Dewasa, Kader Ahli,
dan Kader Purna. Yang dimaksud sebagai kader ini adalah kader yang berada dalam posisi
kader Madya ke atas, yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan bahkan di luar
negeri. Sedangkan yang berhak dipilih sebagai anggota MS adalah mereka yang hanya berada
dalam posisi kader Ahli yang setidaknya berada dalam posisi itu 10 tahun terakhir. Padahal,
seorang kader pemula membutuhkan waktu sekira 10 tahun lamanya untuk bisa meraih
posisi kade Ahli.
Hal menarik ditemukan dalam proses pemilihan anggota MS tersebut. Semua kader inti
memiliki hak untuk memilih nama-nama anggota MS sesuai kehendak hati mereka, secara
bebas, dan tertutup. Namun hak itu juga dibedakan berdasarkan jenjang kaderisasi.
Sebagaimana disebutkan oleh Cakardi Takariawan bahwa perbedaan hak kader berdasar
jenjang kaderisasi dalam pemilihan anggota MS tersebut tercermin dari suara yang
ditunaikan oleh seorang kader. Suara kader Madya akan terhitung 1 suara, kader Dewasa
dianggap 2 suara, dan kader Ahli 3 suara. Perbedaan ini didasarkan pada selain lama waktu
seorang kader berkiprah dalam ikatan dakwah juga, sebagaimana tercantum dalam nilai
dasar pemilihan pemimpin poin ketiga, nilai kader itu ditentukan oleh kontribusinya, dan
bukan oleh jabatan strukturalnya.
Dalam pengisian anggota MS itupun juga melalui dua tahapan, dipilih serta diangkat.
Di dalam AD/ART PKS diterangkan, anggota MS yang dipilih berjumlah 48 orang ditambah 1
orang anggota tetap, yakni mantan ketua MS. Selebihnya diangkat. Pengangkatan anggota MS
lainnya merupakan hak dan wewenang MS terpilih. Dalam AD/ART juga disebutkan,
pengangkatan anggota MS yang diangkat paling banyak sejumlah mereka yang dipilih. Dalam
konteks sekarang, Musyawarah MS I memutuskan mengangkat 41 pakar untuk masuk dalam
Majelis Syuro, sehingga secara keseluruhan Majelis Syuro PKS berjumlah 91 orang.
Tahap kedua adalah pemilihan 6 orang pemimpin partai oleh MS dalam Munas. Mereka
adalah: 1 orang ketua MS (Muroqib ’Am), 3 wakil (Naib Muroqib ’Am)[xv] yang masing-
masing menduduki Ketua DPP, Ketua MPP, Ketua DSP serta 2 orang lagi menjabat sekjen
dan bendahara. 6 orang inilah yang disebut sebagai Musyawaroh Lembaga Tinggi Partai dan
merupakan kepemimpinan tertinggi di dalam PKS. Enam orang ini pulalah penyusun kabinet
DPP (Dewan Pimpinan Pusat), anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP), dan anggota
Dewan Syariah Partai (DSP) yang akan diumumkan dan disosialisasikan pada saat Munas
PKS.
Panduan praktis proses pemilihan MS itu sedikit banyak menggambarkan ”demokrasi
internal” di PKS. Melalui gambaran pemilihan pimpinan PKS di atas setidaknya dari awal
sudah dapat diraba bahwa proses ”demokrasi internal” itu berbeda dengan logika demokrasi
keterwakilan secara umum. PKS memiliki tradisi politik tersendiri yang berlainan dengan
sistem politik di dunia sekarang ini. Demokrasi, teokrasi, oligarki, ataupun sistem lain
bukanlah sebuah sistem yang dijunjung tinggi PKS. Karenanya, PKS tidak cukup “ambil
pusing” dengan segala sistem yang ada itu. Bahkan jika takaran teoritik terhadap sistem
mereka cenderung ke arah oligarkis, mungkin juga tidak akan mengurangi komitmen para
kader PKS untuk tetap bersetia mengusung sistem syura sebagaimana mereka yakini dan
praktekkan. Mengulangi petuah Hasan Al-Banna, karena demokrasi adalah sistem politik
yang paling dekat dengan Islam, maka ia bisa dimanfaatkan sebagai proses awal masuk ke
dalam kekuasaan dan pada akhirnya nanti kepemimpinan akan dijalankan sesuai tradisi dan
cara jama’ah sendiri.
D. Majelis Syura: Oligarki Partai dan Loyalitas Kader
Satu hal penting yang patut dikaji dari MS PKS adalah mengenai otoritasnya. Dari segi
kedudukannya dalam struktur partai ini, MS merupakan lembaga legislatif partai yang
menyusun kebijakan-kebijakan politik yang dianggap strategis. Dalam MS, suara grasroot
disampaikan melalui anggota-anggota Majelis. Meski keanggotannya tidak dianggap
mayoritas mewakili kantong-kantong konstituennya, Majelis memiliki otoritas yang kuat
untuk memutuskan kebijakan partai. Karenanya tidak heran, jika Majelis ini memiliki
kewenangan yang luas ketimbang forum pertemuan kader, yaitu munas Partai.
Masih hangat dibenak, proses penentuan pasangan kandidat presiden yang akan diusung oleh
PKS pada tahun 2004 membuat PKS terbelah menjadi dua kubu: pendukung Amien Rais-
Siswono dan Wiranto-S[xvi]holahuddin. Mungkin proses politik ini merupakan salah satu
yang ”terpanas” dalam tubuh PKS, karena menyangkut sosok yang akan diamanahi politik
dakwah dari PKS. Meski ”irit” bicara ke media massa, namun sangat terlihat perseturuan
masing-masing kubu. Namun semua itu sirna, ketika MS PKS menetapkan Amien Rais-
Siswono sebagai kandidat presiden yang akan diusung oleh PKS pada pilpres putaran I.
Semua kader merapat, termasuk barisan Anis Matta yang paling banter mengusung Wiranto
dan Sholahuddin, untuk bersama kembali memperjuangkan kebijakan MS.
Atau misalnya pada sidang MS di Jakarta pada tahun 2005, yang membahas agenda
politik PKS sekaligus mereview kondisi koalisi PKS dalam pemerintahan SBY-JK. Di tengah
harapan sekitar 60 persen kader untuk menarik 3 anggota kabinet SBY JK dan mengambil
posisi oposisi, MS mengambil keputusan yang hampir-hampir melawan arus dari sebagian
besar suara dan keinginan kader di bawah. Meski sosialisasi akan semua keputusan MS
senantiasa dijalani melalui mekanisme internal partai, namun menjadi menarik untuk
diexplore lebih jauh bahwa keputusan tersebut, sama juga dengan pemilihan presiden partai,
menunjukkan MS memiliki ”kemandirian relatif” dari kader di bawahnya. Kebijakan MS itu
tidak menggambarkan suara kader seutuhnya. Keinginan sebagian besar kader di bawah akan
menjadi sebatas keinginan jika MS menetapkan keputusan berbeda dengan keinginan
mereka. Dan apa yang terjadi di dalam tubuh PKS? Pernyataan paling pas untuk melukiskan
sikap kader atas keputusan MS tersebut ditunjukkan oleh Ahmad Sumiyanto, Pjs. Ketua
PKSDIY, dengan berujar” keputusan itu agak mengecewakan, tapi sebagai kader partai saya
harus respek dan menaatinya”[xvii].
Sebagai perwujudan lembaga tertinggi partai, MS memiliki kewenangan besar untuk
menetapkan keputusan-keputusan, dan selanjutnya keputusan itu bersifat mengikat
(mulazamah) kepada seluruh kader tanpa terkecuali. Meminjam bahasa Anis Matta, sebelum
digelar atau saat diselenggarakannya rapat MS memang terbuka kemungkinan untuk
bersilang pendapat mengenai suatu hal, namun jika ketetatan oleh MS sudah diambil, maka
semuanya akan tuntuk dan patuh pada keputusan tersebut.[xviii] Artinya sebagai manusia
biasa, kekecewaan Sumiyanto terhadap keputusan MS itu memiliki sandaran ontologisnya,
meski sekali lagi, kekecewaan itu tidak bisa melampaui tembok normatif hirarki jama’ah dan
aturan main organisasi PKS, yakni taat.
Mendasarkan pada satu ayat termasyhur dalam Al-Qur’an, hai orang-orang berimana,
taatilah Allah dan ta’atilah Rosulnya, dan ulil amri di antara kamu (Q.S. An-Nisaa’:49), Abu
Ridho mengungkapkan bahwa ketaatan (tha’ah) kepada pemerintah dijadikan salah satu
prinsip dalam sistem Islam. Dalam kehidupan politik kaum muslimin, ulul amri atau mereka
yang memerintah, merupakan pihak yang mesti ditaati. Oleh sebab itu, bagi PKS, ketaatan
merupakan pilar pemerintahan Islam dan sekaligus menjadi tiang pancang kehidupan politik
dalam masyarakat muslim. Meski demikian, kewajiban taat bersifat tidak mutlak, tergantung
sejauh mana pemerintahan tersebut menerapkan syariah Islam dan menegakkan keadilan
serta tidak memerintahkan maksiat kepada rakyatnya.
Tentu saja ketaatan menyangkut loyalitas, imbuh Abu Ridho. Sebagaimana ketaatan kepada
ulul amri tidak mutlak, maka loyalitas kepadanya juga tidak mutlak (Al-Maidah: 55-56).[xix]
Di antara batasan dan syarat taat, adalah: pertama, pemimpin tersebut harus merealisasikan
syariat Islam. Kedua, pemimpin tersebut tidak menyuruh manusia berbuat maksiat, ketiga,
pemimpin tersebut juga menegakkan keadilan, dan keempat, sesuatu yang diperintahkan
mampu dilaksanakan oleh orang yang akan menanggung perintah tersebut.[xx]
Ketaatan, sebagai salah satu pondasi pemerintahan Islam, dipegang oleh semua kader partai
dakwah ini, tanpa terkecuali, karena ketaatan merupakan hal prinsipil dan sangat dibutuhkan
gerakan dakwah. Setiap gerakan dakwah tidak mungkin sampai pada tujuan kecuali jika
unsur ketaaatan sudah sampai pada derajat kesempurnaannya. Ketaatan yang prima para
kader dakwah tersebut menemukan sandaran dogmatiknya pada ajaran Hasan Al-Banna yang
menjadikan taat sebagai salah satu rukun atau pilar dari rukun baiat yang terdiri dari 10 poin.
Ia berkata: “Sistem dakwah dalam marhalah takwin (fase pembentukan) adalah sufi murni
pada sisi ruhiyah dan militer murni pada sisi amaliyah. Dan syi’ar dari dua sisi tersebut
adalah ‘perintah dan taat’ tanpa bimbang, mundur, ragu, dan berat. Dan dakwah dalam
marhalah-marhalah ini bersifat khusus yang tidak dapat berhubungan kecuali orang-orang
yang sudah menyiapkan segala sesuatunya secara benar untuk menanggung beban jihad yang
panjang jaraknya dan banyak pula rintangannya. Dan langkah awal dari kesiapan ini adalah
sikap kesempurnaan (kamalut tha’ah ).[xxi]
Berangkat dari keyakinan yang telah diinjeksikan dan ditradisikan sejak awal semua
kader menjalani liqo’ dulunya, sangat wajar jika ketaatan itu mengkristal dan termekanisasi
dalam setiap praktek kehidupan setiap kader PKS. Bahkan ketika putusan pemimpin mereka
bertentangan dengan logika kader sekalipun, ketaatan tetap menjadi kewajiban yang harus
dijalankan. Fenomena semacam ini juga diatur dalam ketetapan taat dalam tradisi gerakan
dakwah ini, yakni” Menyambut seruan dengan segera walaupun bertetangan dengan
pendapatnya[xxii]. Oleh karenanya sangat wajar rasanya menyaksikan semua kader partai
senantiasa tunduk pada apapun putusan yang ditetapkan oleh pemimpinnya, meskipun
kebijakan itu bertentangan dengan logika kader. Dengan memeriksa akar teologis ketaatan
itu, maka semua orang tidak akan kaget lagi jika ada ungkapan sebagaimana lontaran
Sumiyanto”, Saya kecewa tapi sebagai kader harus taat”.
Salah satu rujukan ketaatan gerakan dakwah adalah ucapan Maududi: ”dilihat dari arah
agama yang murni, maka ketaatan anggota jama’ah kepada pemimpinnya merupakan bagian
dari ketaatan kepada Allah dan Rosulnya.[xxiii] Dalam kasus penerusan koalisi dengan SBY-
JK, memang tidak diketahui berapa persen warga PKS yang menyatakan kekecewaannya.
Namun itu tidak akan mengubah keputusan yang telah ditetapkan oleh MS tersebut, sampai
evaluasi tahunan terhadap kabinet SBY-JK diselenggarakan lagi.
E. Penutup.
Di tubuh PKS, MS bukanlah semata sebuah lembaga yang dibentuk karena secara
organisatoris dibutuhkan oleh partai. Sebagai lembaga yang berperan sebagai wakil dari
semua kader partai, MS merupakan ajang musyawarah internal untuk membahas kebutuhan
kebijakan strategis partai. Di dalamnya terdapat kader-kader inti pilihan yang secara personal
merepresentasikan seluruh kader yang dimiliki partai. Eksistensi MS tidak bisa dilepaskan
dari sandaran teologis dan epistemologisnya ihwal konsepsi demokrasi versi PKS. MS
merupakan cerminan dari sebuah sistem syura yang diyakini PKS sebagai ajang kebebasan
individu dalam penyampaian pendapat untuk mencari titik temu dari suatu masalah yang
dibincangkan, sekaligus sebagai penjagaan terhadap keutuhan jama’ah.
Secara lebih luas partisipasi ini juga memiliki konsekuensi keberdayaan warga untuk
turut serta memberikan kontribusi dalam pengambilan kebijakan, mengontrol jalannya
kekuasaan pemerintahan untuk menghindarkan pemerintahan dari kekuasaan yang bersifat
personal, otoriter. Dari partisipasi warga itu lantas muncul kesepakan adanya sebuah
perwakilan kader yang akan mengurus dan menjalankan amanah kekuasaan dalam bentuk
majelis syura, ahlul hall wal aqd, atau majelis rakyat. Kesepakatan ini disebut baiat. Karena
itu, rakyat memiliki hak untuk memberi syarat-syarat kesepakatan yang mereka lihat sejalan
dengan kemaslahatan umum, karena penguasa adalah wakil rakyat. Rakyat memiliki hak
menetapkan batas-batas perwakilannya dengan waktu tertentu atau menarik perwakilannya
kembali jika wakilnya buruk dalam menunaikan amanahnya.
Sistem Syura menjadi prinsip partai titisan gerakan Tarbiyah ini dalam
menyelenggarakan demokrasi ala Islam di dalam tubuh PKS, dan tentu sebuah tawaran
penyelengaraan pemerintahan dalam sebuah negara[xxiv], termasuk di dalamnya mengenai
pengambilan kebijakan dan pemilihan pemimpin. Melalui pelepasan demokrasi ”sekuler-
Barat” dari sistem Syura dan dengan memegang teguh ajaran Islam maka PKS mencoba
menghindari aneka keburukan yang menyertai demokrasi.
Jika sistem politik Islam, sebagaimana dijabarkan Abu Ridho di atas enggan
disamakan dengan demokrasi dan mereka mengajukan sistem Syura sebagai cerminan
pemerintahan dalam sebuah negara Islam, maka tidak salah jika dalam struktur PKS terdapat
MS untuk menjadi pilar utama menggantikan sistem parlementariat dari demokrasi kini dan
kelak. MS dalam tubuh PKS setidaknya menjadi test case bagaimana sebuah kepemimpinan
Islam bekerja dan melaksanakan amanah rakyat, dalam hal ini para kader PKS.
Sebuah kesimpulan telah ditetapkan oleh PKS tentang respon mereka terhadap
demokrasi, bahwa sesungguhnya demokrasi dibutuhkan pada ruang tertentu, namun
sekaligus ia tidak tidak berguna di level yang lain. Termasuk di antaranya adalah corak rezim
MS di hadapan seluruh pengurus partai dan kader. Karena alasan itu, maka elit dan warga
PKS tidak terlalu menghiraukan apakah MS bersifat demokratis apa tidak. Yang jelas,
”demokrasi” ala PKS harus mampu mempertebal keta’atan kader terhadap para
pemimpinnya.
Referensi:
Al-Wa’iy, Taufiq Yusuf, 2003, Pemikiran Politik Kontemporer Al-Ikhwan Al-Muslimun,
Studi Analisis, Observatif dan Dokumentatif, Era Intermedia
Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera
Ensiklopedi Islam, 2003, Jilid 5, Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve
Haikal, Husein, 1962, Hayat Muhammad, Kairo.
Jawa Pos, Radar Yogyakarta, 28 November 2005.
Matta, Anis, 2003, Menikmati Demokrasi: Strategi Dakwah Meraih Kemenangan, Jakarta:
Pustaka Saksi
Maududi, Abul A’la, 1997, Islamic Law and Constitution, Lahore; Islamic Publication Ltd
Rathomy, Arief Ihsan, 2005, Melacak Akar Pemikiran Gerakan Islam di Indonesia
Mengenai Demokrasi: Perbandingan terhadap Partai Keadilan Indonesia dan
Hizbut Tahrir Indonesia, Skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, tidak
diterbitkan.
Ridho, Abu, 2004 , Negara dan Cita-cita Politik, Jakarta: Al-Syaamil
Santoso, Iman, 2005, Keniscayaan Taat Dalam Harakah Islam, Saksi, no. 17 Tahun VII 25
Mei.
Syihabuddin, Muhammad dan Iba Syatiba, 2006, Kapasitas Kelembagaan Partai Keadilan
Sejahtera, laporan penelitian SR-Ins, tidak diterbitkan

You might also like