Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Berkaitan dengan dilematis tersebut, muncul adanya tinjauan teori tentang rahasia
bank, yaitu teori mutlak dan relatif. Teori rahasia bank yang bersifat mutlak,
mempunyai pengertian bahwa bank berkewajiban menyimpan rahasia nasabah
yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apapun, biasa
atau dalam keadaan luar biasa. Sedangkan teori yang kedua yaitu teori relatif,
menyatakan bahwa rahasia bank tetap diikuti, tetapi dalam hal-hal khusus, yakni
dalam hal yang termasuk luar biasa prinsip kerahasiaan bank tersebut dapat
diterobos. Misalnya, untuk kepentingan perpajakan atau kepentingan pekara
pidana. Indonesia dalam hal ini menganut teori yang kedua dimana pemberian
data dan informasi yang menyangkut kerahasiaan bank kepada pihak bank
dimungkinkan untuk keadaan tertentu yang telah diatur dalam perundang-
undangan yang berlaku. 2
1
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1996), halaman. 110.
2
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003), halaman 89.
3
Ibid, halaman 97.
Kewajiban bank untuk merahasiakan urusan nasabah diatur sebagai kewajiban
yang tersirat (implied duty), yang artinya itu bukan merupakan kewajiban yang
secara tegas dicantumkan di dalam kontrak antara bank dengan nasabah, tetapi
tersirat sebagai perjanjian kewajiban untuk merahasiakan urusan-urusan nasabah
itu merupakan kewajiban perdata. Kewajiban ini tidak terbatas kepada informasi
mengenai keadaan rekening nasabah tetapi mengenani semua informasi yang
berasal dari rekening tersebut.4
Pembagian nasabah bank secara umum terbagi dalam tiga kelompok yaitu
deposan, debitur, non-deposan-non-debitur. Ketiga kelompok tadi termasuk ke
dalam kategori konsumen pengguna jasa bank, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1
angka 2 yang menyebutkan:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
konsumen memberikan batasan mengenai perlindungan konsumen sebagai
berikut:
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Ketentuan ini diharapkan menjadi benteng untuk meniadakan tindakan keseweng-
wenangan yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan
perlindungan konsumen. Adanya jaminan untuk mendapatkan perlindungan
hukum yang diberikan kepada nasabah oleh undang-undang itu sendiri
menimbulkan pergerakan konsumen (consumers movement) untuk
memperjuangkan apa yang menjadi haknya.
Masalah yang berkaitan dengan perlindungan konsumen mendapat sorotan yang
luas dalam masyarakat sejalan dengan berkembangnya industri dan jasa. Dimana
pergerakan konsumen tumbuh dan memperoleh posisi yang semakin kuat di
dalam masyarakat. Pergerakan konsumen itu sendiri sebenarnya membawa akses
positif tersendiri yaitu memunculkan peraturan hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen yang pada kenyataannya baik pengertian maupun
permasalahan yang dibicarakan didalamnya berbeda, namun pada kenyataannya
4
Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Taubngan dan
Deposito (Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia Dewasa Ini),
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), halaman 46.
5
Ibid, halaman 87.
batasan antara hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen tersebut
seringkali dianggap sama.
Az. Nasution membedakan definisi tentang hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen sebagai berikut: Hukum Konsumen yaitu keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di
dalam pergaulan hidup. Hukum Perlindungan Konsumen yaitu keseluruhan asas-
asas dan kaidah-kaidah yang mengatur atau melindungi konsumen dalam
hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.6
6
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), (Jakarta: Diadit Media,
1998), halaman 64.
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin memfokuskan pada perlindungan hukum
bagi konsumen jasa simpanan yang dalam hal ini adalah nasabah bank, berkaitan
dengan adanya prinsip kerahasiaan bank di PT. Bank Tabungan Pensiunan
Nasional Cabang Purwokerto. Mengingat PT. Bank Tabungan Pensiunan Nasional
Cabang Purwokerto merupakan salah satu pihak dalam dunia usaha yang
mempunyai kewajiban untuk menjalankan usahanya sesuai dengan prinsip di
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara benar dan bertanggung
jawab.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan tersebut di atas dapat ditarik suatu
permasalahan sebagai berikut :
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen jasa simpanan ditinjau
dari prinsip kerahasiaan bank di PT. Bank Tabungan Pensiunan Nasional Cabang
Purwokerto?
C. Tujuan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini tujuan yang hendak dicapai adalah untuk
mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen jasa simpanan dalam
kaitannya dengan prinsip kerahasiaan bank di PT. Bank Tabungan Pensiunan
Nasional Cabang Purwokerto.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan Teoretis
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis, kalangan akademisi dan
masyarakat mengenai bentuk perlindungan hukum konsumen bank berkaitan
dengan adanya prinsip kerahasiaan bank.
Kegunaan Praktis
Memberikan gambaran kepada masyarakat selaku konsumen dalam hak dan
perlindungan hukum terhadap pelayanan jasa simpanan di PT. Bank Tabungan
Pensiunan Nasional Cabang Purwokerto.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
Ibid.
8
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), (Jakarta: Diadit Media,
1998), halaman 64.
Pengertian tersebut merupakan pengertian hukum perlindungan konsumen sebagai
bagian khusus dari hukum konsumen.
c. Pengertian dan pengaturan konsumen
Perlindungan konsumen merupakan masalah yang berkaitan dengan kepentingan
manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk
dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan
hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan
saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan pemerintah.9
Di Amerika Serikat, konsumen mempunyai arti yang lebih luas yaitu sebagai
korban pemakai produk yang cacat, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli
tetapi pemakai, bahkan bukan pemakai. Sedang di Eropa pengertian konsumen
adalah pribadi yang menderita kerugian akibat pemakaian produk yang cacat
untuk keperluan pribadinya.
Para ahli hukum pada umumnya sepakat arti konsumen adalah pemakai terakhir
barang dan atau yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha. Istilah
konsumen consument tidak dikenal dalam KUH Perdata dan KUHD, hal ini
mudah dipahami karena pada saat KUH Perdata dan KUHD diberlakukan di
Indonesia belum dikenal istilah konsumen.
9
Husni Syawali dan Neni Sri Imayani, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar
Maju, 2000), halaman 7.
10
Op Cit, halaman 3.
11
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2004),
halaman 3.
Pengertian konsumen menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 dirumuskan sebagai berikut:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Dari kalimat terakhir yaitu “tidak diperdagangkan“ menunjukkan bahwa
konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir dimana tujuan penggunaan
barang dan atau jasa bukan untuk dijual kembali tetapi untuk kepentingan pribadi,
keluarga, atau rumah tangga dari si pemakai tersebut (tujuan non komersil).12
Peraturan perundang-undangaan negara lain juga memberikan perbandingan
mengenai istilah konsumen, antara lain:
UU Perlindungan Konsumen negara India, menentukan bahwa konsumen adalah
setiap orang pembeli barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara
pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka mendapatkan barang untuk dijual
kembali dan lain-lain keperluan komersil;
Peraturan perundang-undangan Australia menyebutkan bahwa konsumen adalah
setiap orang yang mendapatkan barang dengan harga yang ditetapkan (setinggi-
tingginya seharga $15.00), maka kegunaan barangtersebut adalah untuk keperluan
pribadi, domestik atau rumah tangga (normally used for personel, family or
household perpose);
Undang-undang Jaminan Produk Amerika Serikat dalam pasal 1 dan pasal 3
menjelaskan bahwa konsumen adalah setiap pembeli produk, yang tidak untuk
dijual kembali, dan pada umumnya digunakan untuk keperluan pribadi, keluarga
atau rumah tangga (personal, family or household);
NBW Belanda (BW Baru Belanda) yang termuat dalam bagian ketentuan-
ketentuan tentang syarat-syarat umum perjanjian (algemene voor warden),
konsumen diartikan sebagai orang alamiah (yang dalam mengadakan perjanjian)
tidak bertindak selaku orang yang menjalankan suatu profesi atau perusahaan.13
12
Suyadi, Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen, (Fakultas Hukum Unsoed, 2001),
halaman 2.
13
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), (Jakarta: Diadit Media,
1998), halaman 72.
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen
antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,
sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk
sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen
dalam Undang-Undang ini adalah konsumen akhir.
Menurut pengertian pelaku usaha diatas, ada dua jenis pelaku usaha yaitu
perseorangan dan badan usaha. Pelaku usaha perseorangan dalam praktek muncul
dalam bentuk pengusaha kecil. Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini
adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi,
importir, pedagang, distributor dan lain-lain.
Penjelasan resmi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan pelaku usaha adalah:
Setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha memproduksi,
menawarkan, menyampaikan dengan cara apapun barang pada konsumen.
Dari rumusan tersebut dapat terlihat bahwa unsur jasa tidak termasuk dalam
produk yang ditawarkan oleh pengusaha. Pelaku usaha dapat terdiri dari produsen,
pedagang (penjual barang) atau penjual jasa yang dalam kegiatannya baik
langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan konsumen, misalnya:
Produsen merupakan pencipta atau pembuat barang yang menjadi sumber
terwujudnya barang, yang aman dan tidak merugikan konsumen dan sebaliknya;
Pedagang merupakan penyampai barang kepada konsumen yang dalam
kegiatannya dapat merugikan konsumen dan sebaliknya;
Pengguna jasa, misalnya jasa promosi periklanan yang akan mempengaruhi
konsumen untuk membeli, pengusaha jasa angkutan untuk mengantar barang dan
sebagainya.
Batasan itu serupa dan garis besar maknanya sesuai dengan Undang-undang
Perlindungan Konsumen. Menurut Az. Nasution, kelompok penyedia barang atau
penyelenggara jasa pada umumnya terlihat berlaku sebagai:
Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa (investor);
Penghasil atau pembuat barang atau jasa (produsen);
Penyalur barang atau jasa (distributor).
Dari berbagai definisi mengenai pelaku usaha diatas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian pelaku usaha lebih luas dibandingkan dengan produsen yang
merupakan lawan dari konsumen, karena pengertian pelaku usaha termasuk
diantaranya adalah produsen.
2. Sumber-sumber hukum perlindungan konsumen
Pasal 64 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menentukan bahwa segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus
dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
Ketentuan diatas secara eksplisit menerangkan bahwa Undang-undang
Perlindungan Konsumen digunakan sebagai hukum umum (general law) dalam
mengatasi masalah perlindungan komsumen, karena Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bukan merupakan awal dan akhir
dari peraturan yang mengatur perlindungan terhadap konsumen. Pengguna hukum
umum, yang penerbitnnya tidak khusus ditujukan untuk perlindungan konsumen
mempunyai segi-segi positif disamping segi-segi negatifnya.
Segi positifnya adalah:
Dapat ditanggulangi hubungan-hubungan hukum dan masalah-masalah yang
berkaitan dengan konsumen pelaku usaha;
Berarti kedudukan konsumen dan pelaku usaha adalah sama di depan hukum.
B. Perlindungan Konsumen
1. Pihak-pihak dalam perlindungan konsumen
Secara umum dapat dikatakan bahwa ada banyak pihak yang terlihat dalam
perlindungan konsumen, antara lain yaitu pihak konsumen, pelaku usaha,
organisasi yang bergerak di bidang perlindungan konsumen, dan organisasi pelaku
19
Ibid, halaman 36.
20
Az. Nasution, Op. cit, halaman 39.
usaha. Akan tetapi dalam prakteknya di masyarakat, secara umum dalam
perlindungan konsumen hanya ada 3 pihak atau pelaku utama dalam perlindungan
konsumen, yaitu:
Konsumen
Konsumen yang dimaksud adalah setiap orang yang menggunakan barang
dan/atau jasa dan bahan alamiah dari segala lapisan masyarakat sejak janin sampai
meninggal dunia.
Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah pihak yang mentransformasikan masuknya baha baku, bahan
penolong dan lain-lain melalui proses yang menggunakan teknologi tertentu
menjadi keluaran berupa barang jadi, untuk memenuhi atau memuaskan
kebutuhan masyarakat konsumen.
Pemerintah
Pemerintah disini adalah pihak yang mempunyai wewenang untuk membuat
peraturan, melaksanakan dan menegakkan pelaksanaan peraturan yang dibuat
tersebut untuk ditaati oleh masyarakat.
Pelaksanaan perlindungan konsumen juga melibatkan beberapa pihak, antara lain:
Departemen atau instansi yang berwenang
Yang dimaksud dengan departemen atau instansi yang berwenang disini adalah
Departemen atau instansi yang terkait dengan produk (Departemen Teknis) yang
menangani produk yang bersangkutan, nisalnya dalam hal pemberian izin,
penentuan standar mutu, dan sebagainya. Departemen terkait dengan bidang
perbankan antara lain Departemen Keuangan dan Bank Indonesia yang
berwenang dalam penentuan kebijakan moneter dan perbankan.
Organisasi pelaku usaha atau pengusaha
Pelaku usaha dalam keanggotaan sebuah organisasi pengusaha wajib mentaati
ketentuan yang dikeluarkan oleh organisasi pengusaha. Dalan dunia perbankan,
bank milik Pemerintah dan Swasta tunduk pada Bank Indonesia sebagai lembaga
pengawas dan pembina bank-bank.
Organisasi konsumen
Kebebasan yang dimiliki konsumen untuk membentuk suatu organisasi yang
memperhatikan konsumen, mewakili konsumen jika ada permasalahan dengan
pelaku usaha. Hal ini diwujudkan dengan dibentuknya Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) sejak tahun 1973.
YLKI sebagai sebuah lembaga konsumen dan merupakan lembaga swadaya
masyarakat didirikan dengan tujuan untuk menegakkan perlindungan bagi
konsumen, mempunyai kegiatan-kegiatan antara lain:
Penyebaran informasi-informasi mengenai masalah-masalah yang berkaitan
dengan perlindungan konsumen melalui mass media, radio, televisi;
Mengadakan upaya advokasi konsumen melalui pelayanan gugatan;
Memperkuat basis gerakan perlindungan konsumen dalam bentuk kerjasama
kemitraan dengan LSM lein atau penggalangan kekuatan dengan organisasi
konsumen di daerah;
Melakukan pengujian terhadap produk barang yang disinyalir mengandung bahan
yang dapat membahayakan keselamatan konsumen;
Menggalang dan mengajak solidaritas masyarakat agar mampu melakukan
perlindungan diri, keluarga maupun kelompoknya;
Menampung, membantu menyelesaikan kasus-kasus pengaduan terhadap
pelayanan jasa atau penjualan barang oleh pelaku usaha.21
Di Indonesia pada tingkat arus bawah, memang ada YLKI dan beberapa lembaga
daerah yang menangani permasalahan perlindungan konsumen, akan tetapi
sampai sekarang belum ada pejabat setingkat menteri yang secara khusus
menangani masalah perlindungan konsumen, kalaupun ada baru setingkat pejabat
pelaksana.
Upaya yang telah dilakukan YLKI sudah banyak dalam memberdayakan
konsumen di Indonesia. Namun upaya tersebut belum dapat memuaskan semua
pihak, mengingat kompleksitas masalah perlindungan konsumen.
2. Hak dan kewajiban konsumen
Hubungan antara konsumen dan para pelaku usaha akan menimbulkan hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak, kawajiban salah satu pihak merupakan hak
bagi pihak lainnya, begitu pula sebaliknya. Hak konsumen merupakan kewajiban
bagi pelaku usaha, dan kewajiban konsumen merupakan hak bagi pelaku usaha.
Untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus dimulai dengan
pemahaman terhadap hak-hak pokok konsumen yang dapat dijadikan sebagai
landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-haknya. Adapun perlindungan yang
harus diberikan kepada konsumen dari sudut hukum adalah perlindungan atas hak
konsumen. Hak-hak konsumen dibagi menjadi dua kelompok, yaitu perlindungan
hukum sebelum dan setelah lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
Hak konsumen sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
Dalam perlindungan konsumen diperlukan adanya keseimbangan antara
konsumen dan pelaku usaha, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban
masing-masing. Hak konsumen sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen diatur dalam berbagai macam peraturan
perundang-undangan. Dimana hak konsumen tersirat secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan tersebut. Peraturan perundang-undangan yang
dimaksud antara lain adalah dalam Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-undang
Hukum Perdata). Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat ketentuan
yang memuat hak konsumen dan bertendensi melindungi konsumen, seperti yang
termuat dalam beberapa pasal Buku III, Bab V, Bagian II mulai dari Pasal 1365,
dan seterusnya.
21
Prasetyo Hadi Purwandoko, penegakkan Hukum Perlindungan Konsumen, Makalah
Seminar Perlindungan Konsumen dalam Era Pasar Bebas, (Surakarta: Fakultas Hukum UNS,
1997), halaman 23-24.
Selain itu hak konsumen juga diatur dalam pasal-pasal di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 yaitu dalam Pasal 27 mengenai hak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 28 mengenai hak untuk didengar pendapat
dan keluhannya, Pasal 29 mengenai hak untuk memilih dan Pasal 30 mengenai
hak untuk mendapatkan pendidikan.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) juga mengatur mengenai
perlindungan hak konsumen, misalnya mengenai perlindungan penumpang/barang
muatan pada hukum karitim, dan sebagainya. Demikian pula dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana), misalnya mengenai pemalsuan,
penipuan, pemalsuam merek, dan sebagainya.
Dalam hukum adat pun ada dasar-dasar yang menopang hukum perlindungan
konsumen seperti prinsip-prinsip kekerabatan yang kuat dari masyarakat adat
yang tidak berorientasi pada konflik yang memposisikan setiap warganya untuk
saling menghormati sesamanya. Prisip keseimbangan magis/alam, prinsip
“terang” pada pembuatan transaksi (khususnya dalam bidang pertanahan) yang
mengharuskan hadirnya kepala adat/kepala desa dalam transaksi tanah. Prinsip
fungsi sosial dari suatu hak ulayat.22
23
Hak dan Kewajiban Konsumen Pasal 4 dan 5 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
Kewajiban pelaku usaha diatur lebih lanjut dalam ketentuan pasal 7 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai
berikut:
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk meguji, dan atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau diperdagangkan;
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
C. Bank
1. Pengertian dan pengaturan bank
Pengertian bank pada hakekatnya selalu mengalami perkembangan, hal ini
disamping karena perbedaan situasi dan kondisi dari suatu negara, juga karena
bank merupakan perusahaan yang dinamis. Bank itu sendiri berasal dari bahasa
italy “banca”, yang berarti bence yaitu suatu bangku tempat duduk yang
dipergunkan oleh para penukar di pasar.
Pierson, seorang ahli ekonomi dari Belanda, menyatakan bahwa:
Bank adalah “badan yang menerima kredit”, maksudnya adalah badan yang
menerima simpanan dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito berjangka dan
tabungan. Untuk mengelola simpanan dari masyarakat dan membayar biaya
operasional bank, maka bank menyalurkan dana tersebut dalam bentuk investasi,
untuk keperluan spekulasi dan memberikan kredit secara besa-besaran kepada
bank-bank lain atau pemerintah. Dengan investassi dimaksudkan ikut ambil
bagian dalam kegiatan perusahaan, dengan demikian memperoleh bagian
keuntungan berupa deviden atau tingkat bunga.24
Perpustakaan Inggris kuno menjelaskan arti bank secara singkat sebagai berikut:
“......tugas perbankan terutama menghimpun uang pihak ke 3”.
24
Pratama Rahardja, Uang dan Perbankan, (Jakarta: Economic Student Group, 1988),
halaman 60.
Sedangkan beberapa penulis eropa lainnya menitik beratkan tugas bank sebagai
badan perantara untuk menyalurkan penawaran dan permintaan kredit pada waktu
yang ditentukan.25
Dalam perkembangan dewasa ini, maka istilah bank yang dimaksud adalah suatu
jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup
beranekaragam, seperti pinjaman, memberi pinjaman, mengedarkan mata uang,
mengadakan pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat
penyimpanan untuk benda-benda berharga, membiayai usaha-usaha perusahaan.26
Pengertian bank dalam kamus perbankan diartikan sebagai badan usaha dibidang
keuangan, yang menarik uang dari dan menyalurkannya ke dalam masyarakat,
terutama dengan memberikan kredit dan jasa dalam lalu-lintas pembayaran dan
peredaran uang.
Di Indonesia, pengertian bank diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Pasal 1 angka 2 yang menyebutkan:
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Pada hakekatnya pengertian bank dari berbagai pendapat para ahli hampir sama.
Pada dasarnya bank merupakan tempat penitipan atau penyimpanan uang,
pemberi atau penyalur kredit dan juga perantara di dalam lalu-lintas pembayaran.
Berbicara mengenai pengertian bank maka kita tidak bisa lepas dari pengaturan
bank atau perbankan itu sendiri. Pengaturan perbankan merupakan hal yang
penting di dalam mendukung dunia perbankan dalam melaksanakan usahanya.
Kaidah-kaidah yang timbul dari hukum perbankan tersebut merupakan suatu
batasan dimana bank seharusnya bertindak sesuai dengan rangkaian prosedur
yang ada, sehingga dapat dikatakan bahwa aturan tersebut merupakan upaya agar
segala kegiatan bank dapat berjalan sebagaimana mestinya.
25
OP. Simorangkir, Ekonomi Dasar-dasar dan Mekanisme Pasar, (Jakarta: Aksara Persada
Indonesia, 1987), halaman 17.
26
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2001), halaman 147.
27
Ibid, halaman 14.
Sistem perbankan di Indonesia berawal dari era sebelum lahirnya Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan sampai dengan Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Semenjak diberlakukannya
Undang-undang Perbankan Tahun 1992 maka Undang-undang Nomor 14 Tahun
1967 tentang Pokok-pokok Perbankan dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian
juga halnya dengan Staatblad Nomor 357 Tahun 1929 tentang aturan-aturan
mengenai Badan Kredit Desa dalam Propinsi di Jawa dan Madura di luar wilayah
kotapraja, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1962 tentang Bank
Pembangunan Swasta (LN Tahun 1962 Nomor 56, TLN No. 2489) dinyatakan
tidak berlaku.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
dirubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 yang
sebelumnya diikuti oleh paket 29 Mei 1993 yang khusus menyoroti masalah
tingkat kesehatan bank, setelah diterbitkannya peraturan dalam bentuk paket-
paket kebijakan dan perundang-undangan diatas sistem perbankan di Indonesia
lebih bergairah dan menunjukkan persaingan yang ketat. Pada tahun 1997
pertengahan Juli setelah perekonomian Indonesia mengalami kemajuan dan
pertumbuhan yang gemilang selama tiga puluh tahun kekuasaan orde baru, tetapi
setelah itu pada tahun 1997 terjadi devaluasi sehingga perkembangan perbankan
mengalami suatu kemunduran yang mengakibatkan keluarnya kebijakan-
kebijakan untuk mempersempit ruang gerak bank sehingga menimbulkan
pembekuan operasional bank.
Pada tahun 1998, keadaan perbankan mengalami perkembangan, hal ini
disebabkan proses selektifitas dan penerapan aturan diperketat sehingga kontrol
bank tidak salah sasaran. Pada tahun 2001, dikeluarkan aturan intern bank yang
bukan saja melindungi kinerja bank saja tetapi juga efek dari pengguna jasa yang
dapat membahayakan bank itu sendiri, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan
Bank Indonesia No. 5/21/PBI/2003 Atas Perubahan Kedua Peraturan Bank
Indonesia No. 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
(Know Your Custome Principle) sebagai konsekuensi jaminan di dalam
menerapkan rasa aman dan menambah kepercayaan pada pengguna jasa bank.
2. Macam-macam bank
a. Dilihat dari segi fungsinya
Bank Sentral (Central Bank) adalah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Dasar 1945 dan yang didirikan berdasarkan Undang-undang No.
3 Tahun 1968;
Bank Umum (Commercial Bank) adalah bank yang dalam mengumpulkan
dananya menerima simpanan dalam bentuk giro dan deposito dan dalam usahanya
terutama memberikan kredit dalam jangka pendek;
Bank Tabungan (Saving Bank) adalah bank yang dalam mengumpulkan dananya
menerima simpanan dalam bentuk tabungan dan dalam usahanya terutama
memperbungakan dananya dalam kertas berharga.
Bank Pembangunan (Development Bank) adalah bank yang dalam
mengumpulkan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk deposito dan
atau mengeluarkan kertas berharga jangka menengah dan panjang, serta dalam
usahanya terutama memberikan kredit jangka menengah dan panjang dibidang
pembangunan.
Bank Desa (Rural Bank) adalah bank yang menerima simpanan dalam bentuk
uang dan natura (padi, jagung dan sebagainya) dan dalam usahanya memberikan
kredit jangka pendek dalam bentuk uang maupun dalam bentuk natura kepada
sektor pertanian dan pedesaan.
b. Dilihat dari segi kepemilikannya
Bank-bank milik negara, terdiri dari:
Bank Sentral atau Bank Indonesia yang didirikan dengan Undang-undang Nomor
13 Tahun 1968.
Bank-bank umum milik negara yang terdiri dari: Bank Negara Indonesia 46 (BNI)
46 yang didirikan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1968; Bank Mandiri
yang merupakan bank hasil penggabungan dari empat bank BUMN, yaitu Bank
Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Eksport-Import (Bank
Exim) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dimana Bank Mandiri
sebagai bank penerima merger sekaligus sebagai bank hasil merger; Bank Rakyat
Indonesia (BRI) yang didirikan dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1968.
Bank Tabungan Negara yang didirikan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun
1998.
Bank Milik Pemerintah Daerah, didirikan berdasarkan Undang-undang No. 13
Tahun 1962, dimana terdapat pada setiap propinsi;
Bank-bank milik Swasta;
Bank-bank milik swasta nasional yaitu bank-bank yaang seluruh sahamnya
dimiliki warga negara Indonesia dan atau badan-badan hukum yang peserta dan
pimpinannya terdiri atas warga negara Indonesia.
Bank-bank milik swasta asing yaitu bank-bank yang seluruh sahamnya dimiliki
oleh warga negara asing dan atau badan-badan hukum yang peserta dan
pimpinannya terdiri atas warga negara asing tetapi berkedudukan di Indonesia.
Bank Koperasi adalah bank yang modalnya berasal dari perkumpulan-
perkumpulan koperasi, dapat berbentuk Bank Umum Koperasi, Bank Tabungan
Koperasi, Bank Pembangunan Koperasi.
c. Dilihat dari segi penciptaan uang giral
Bank Primer adalah bank yang dapat menciptakan uang giral, yang tergolong:
Bank Sirkulasi (Bank Sentral) yang dapat menciptakan kredit dalam bentuk uang
kertas dan uang giral.
Bank umum yang menciptakan uang giral.
Bank Sekunder adalah bank yang bertugas sebagai perantara dalam menyalurkan
kredit, yang tergolong: bank tabungan dan bank-bank lainnya (bank pembangunan
dan bank hipotik) yang tidak menciptakan uang giral.28
28
Thomas Suyatno, dkk, Kelembagaan Perbankan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1993), halaman 15.
Bank menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 5:
Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensonal
dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lau-lintas pembayaran;
Bank Perkreditan Rakyat yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran.
Bank dilihat dari segi atau cara menentukan harga baik harga jual maupun harga
beli:
Bank berdasarkan prinsip konvensional, yaitu bank yang dalam mencari
keuntungan dan menentukan harga kepada para nasabahnya, bank yang
berdasarkan prinsip konvensional menggunakan metode yaitu menetapkan bungan
sebagai harga, baik untuk produk simpanan seperti giro, tabungan maupun
deposito. Demikian pula harga untuk produk pinjamannya (kredit) juga ditentukan
berdasarkan tingkat suku bunga tertentu.
Bank berdasarkan prinsip syariah, yaitu bank yang menerapkan aturan syariah
atau perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk
menyimpan dana atau pembiayaaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya.
Dalam menentukan harga atau mencari keuntungan bagi bank yang berdasarkan
prinsip syariah adalah dengan pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharobah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharokah),
prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah),
pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau
dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak lain (ijarah wa iqtina). Bank berdasarkan prinsip ini mengharamkan
penggunaan harga produknya dengan bunga tertentu, karena bagi bank yang
berdasarkan prinsip syariah bunga adalah riba.
Bank Umum dalam kegiatan usahanya dapat menawarkan dan melakukan seluruh
jasa perbankan tersebut (full banking service), tetapi dapat juga hanya melakukan
sebagian saja. Masing-masing bank dapat memilih jasa (usaha) yang ingin
dikembangkan, dengan syarat tetap harus memenuhi peraturan yang berlaku
sesuai dengan jenis kegiatan pemberian jasa yang dipilihnya.
Untuk Bank Perkreditan Rakyat, usaha yang boleh dilakukan berdasarkan
ketentuan Pasal 13 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan antara lain
meliputi:
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito
berjangka, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
Memberikan kredit;
Menyediakan pembiayaan dan penempatan dan berdasarkan prinsip syariah sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
Menempatkan dananya dalam bentuk sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito
berjangka, tabungan, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain.
D. Rahasia Bank
1. Pengertian Rahasia Bank
Hubungan antara bank dan nasabahnya dalam kaitannya dengan hukum
perlindungan konsumen tidaklah seperti hubungan kontraktual biasa. Dalam
hubungan tersebut terdapat kewajiban bagi bank untuk tidak membuka rahasia
nasabahnya kepada pihak lain mana pun kecuali jika ditentukan lain oleh
30
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2000), halaman 290.
perundangan-undangan yang berlaku. Dengan demikian, istilah rahasia bank
mengacu dalam hubungan antara bank dan nasabahnya dalam hubungan antara
bank dan nasabahnya.31
Azas rahasia dalam soal-soal keuangan sudah dikenal sejak lama, pada zaman
pertengahan azas rahasia bank telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata di kerajaan Jerman dan kota-kota di Itali bagian utara. Dengan
berkembangnya perdagangan dan ambruknya feodalisme serta adanya perjuangan
hak-hak individu, kepercayaan kepada kebijaksanaan bank untuk merahasiakan
keterangan mengenai soal-soal keuangan dan pribadi nasabah-nasabahnya
menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi bagi perlindungan hak milik
pribadi dan bagi kelangsungan praktek perdagangan.
Di Indonesia sendiri ketentuan mengenai kerahasiaan bank sudah diatur sejak
lama, yaitu pertama kali dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-pokok Perbankan. Pengertian mengenai rahasia bank itu sendiri diatur
dalam Pasal 36 yang menyatakan:
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-
lain dari nasabah menurut kelaziman dunia perbankan perlu dirahasiakan.
Pengertian mengenai rahasia bank dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967
ini sangat luas, karena menyangkut data-data penyimpanan dana maupun
penerimaan kredit dari seorang nasabah, termasuk di dalamnya menyangkut
kegiatan dalam sistem pembayaran.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur mengenai
rahasia bank dalam Pasal 1 angka 16 yang menyatakan:
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-
hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib
dirahasiakan.
Pengertian rahasia bank dalam undang-undang ini juga masih sangat luas.
Sepintas pengertian mengenai rahasia bank dalam undang-undang ini hampir
sama dengan pengertian rahasia bank pada Undang-undang Nomor 14 Tahun
1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Akan tetapi terdapat sedikit perbedaan
yaitu pada kata “perlu dirahasiakan” dan “wajib dirahasiakan”.
Pengertian rahasia bank menurut UU Perbankan 1992 ini terlalu luas dan sering
dimanfaatkan oleh debitor-debitor bank yang kreditnya macet, serta menimbulkan
kontroversi, oleh karena itu pengertian tersebut diubah oleh Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan Pasal 1 angka 28, yang menyebutkan:
Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Dari pengertian tersebut diatas, dapat ditarik unsur-unsur dari rahasia bank
tersebut, yaitu sebagai berikut:
31
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2001), halaman 87.
Rahasia bank tersebut berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya;
Hal tersebut “wajib” dirahasiakan oleh bank, kecuali termasuk ke dalam kategori
perkecualian berdasarkan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
Pihak yang dilarang membuka rahasia bank adalah pihak bank itu sendiri dan/atau
pihak terafiliasi. Yang dimaksud dengan pihak terafiliasi menurut Pasal 1 Angka
22 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah:
Anggota dewan komisaris, pengawas, direksi, atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan bank;
Anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat, atau karyawan
bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku;
Pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain, akuntan publik, penilai,
konsultan hukum dan konsultan lainnya;
Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi
pengelolaan bank, antara lain, pemegang saham dan keluarganya, keluarga
komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.
Jadi pemberian kredit dan usaha-usaha perbankan lainnya pada prinsipnya bukan
lagi merupakan rahasia bank sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
Ketentuan rahasia bank berturut-turut diatur dalam:
UU No. 23 Prp. Tahun 1960 Tentang Rahasia Bank;
Pasal 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok
Perbankan;
Pasal 40 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan;
Pasal 40 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.32
32
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama
Grafiti, 2003), halaman 117.
Dari bunyi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pihak-pihak yang
berkewajiban menjaga rahasia bank adalah:
Anggota Dewan Komisaris;
Direksi bank;
Pegawai bank;
Pihak terafiliasi.
Yang dimaksud dengan anggota dewan komisaris adalah:
Bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas;
Bagi Bank berbentuk Hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah;
Bagi Bank berbentuk Hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Sedangkan yang dimaksud dengan direksi bank adalah:
Bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas;
Bagi Bank berbentuk Hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah;
Bagi Bank berbentuk Hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
Bagi Kantor Cabang Bank Asing adalah Pimpinan Kantor Cabang;
Bagi Kantor Perwakilan Bank Asing adalah Pimpinan Kantor Perwakilan.
Menurut Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
dimaksud pihak terafiliasi adalah:
Anggota dewan komisaris, pengawas, direksi, atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan bank;
Anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat, atau karyawan
bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku;
Pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain, akuntan publik, penilai,
konsultan hukum dan konsultan lainnya;
Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi
pengelolaan bank, antara lain, pemegang saham dan keluarganya, keluarga
komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.
Dalam rangka penyelesaian piutang bank yang diserahkan kepada Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN).
Pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 7 (tujuh) tahun serta denda
minimal 4 (empat) miliar rupiah dan maksimal 14 (empat belas) miliar rupiah.
Pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 7 (tujuh) tahun serta denda
minimal 4 (empat) miliar rupiah dan maksimal 14 (empat belas) miliar rupiah
diancam terhadap anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang
dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah Yuridis
Normatif yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi yang legal
positivis. Konsep ini memandang hukum sebagai norma-norma tertulis yang
dibuat atau diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan konsep
melihat hukum sebagai sistem normatif yang otonom, tertutup dan terlepas dari
kehidupan, mengabaikan norma lain selain norma hukum.
Ruang lingkup penelitian hukum normatif menurut Soerjono Soekanto meliputi
(1) Penelitian terhadap asas-asas hukum (2) Penelitian terhadap sistematika
hukum (3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi (4) Perbandingan hukum dan (5)
Sejarah Hukum.
B. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif, yaitu suatu
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau gejala dari obyek
yang akan diteliti tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.
Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya dengan membatasi
permasalahan dan pendekatannya.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian menunjukkan tempat dimana penelitian itu dilakukan,
baik merupakan studi pustaka atau di lapangan atau survei. Lokasi penelitian
terkait erat dengan metode penelitian yang dipilih oleh seorang peneliti.
Perbedaan lokasi penelitian juga secara otomatis menghasilkan proses penelitian
yang berbeda pula.
Penelitian ini dilakukan di PT. Bank Tabungan Pensiunan Nasional
Cabang Purwokerto (PT. BTPN Cabang Purwokerto), Pusat Informasi Ilmiah
Fakultas Hukum Unsoed dan Perpustakaan Bank Indonesia Cabang Purwokerto.
Sumber Data
Data Sekunder
Data sekunder adalah data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan sebagainya
yang terhadap data tersebut, peneliti tidak tergantung dari ruang lingkup dan
tujuan penelitian yang akan dilakukan.
Data Primer
Data primer berupa keterangan dari pihak-pihak atau staf yang bidang kerjanya
terkait dengan masalah yang diteliti dilingkungan Kantor PT. Bank Tabungan
Pensiunan Nasional Cabang Purwokerto (PT. BTPN Cabang Purwokerto) sebagai
pendukung data sekunder.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu dengan
menjabarkan data yang telah diperoleh berdasarkan norma-norma hukum atau
kaidah yang relevan dengan pokok permasalahan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di PT. Bank Tabungan
Pensiunan Nasional Cabang Purwokerto (PT. Bank BTPN Cabang Purwokerto) di
peroleh data sebagai berikut:
Data Sekunder
Ketentuan mengenai perjanjian antara nasabah bank dengan PT. Bank BTPN
Cabang Purwokerto yang isinya mendasarkan kepada peraturan perundang-
undangan yang berlaku diantaranya adalah KUH Perdata khususnya Pasal 1313
mengenai perikatan yang lahir karena perjanjian, Pasal 1320 mengenai syarat sah
lahirnya perjanjian, Pasal 1338 mengenai akibat hukum dari perjanjian yang telah
disepakati yaitu mengikat kedua belah pihak seperti Undang-undang, Pasal 1744
mengenai perjanjian pinjam meminjam, dan Pasal 1792 mengenai pemberian
kuasa.
Surat Keputusan Direksi Nomor 3.1/X/2003 tentang kebijakan penerimaan dan
identifikasi calon nasabah yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
Permintaan informasi mengenai calon nasabah antara lain:
Identitas calon nasabah;
Maksud dan tujuan usaha yang akan dilakukan calon nasabah dengan bank;
Informasi lain yang memungkinkan bank agar dapat mengetahui profil calon
nasabah;
Identitas pihak lain, dalam hal calon nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak
lain.
Permintaan bukti-bukti identitas dan dokumen pendukung informasi dari calon
nasabah.
Penelitian atas kebenaran bukti-bukti identitas dan dokumen pendukung informasi
dari calon nasabah.
Pertemuan dengan calon nasabah dilakukan sekurang-kurangnya pada
saat pembukaan rekening termasuk pembukaan rekening secara elektronis.
Dilakukan wawancara dengan calon nasabah untuk memperoleh
keyakinan atas kebenaran informasi, bukti-bukti identitas dan dokumen
pendukung calon nasabah, apabila perlu.
Menolak untuk membuka rekening dan atau menolak melaksanakan
transaksi dengan calon nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
Tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan sebagaimana diatur dalam pasal 4,
pasal 5 dan pasal 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer Principles),
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/21/PBI/2003;
Diketahui menggunakan identitas atau memberikan informasi yang tidak benar;
Berbentuk shell banks atau dengan bank yang mengizinkan rekeningnya
digunakan oleh shell bank.
Ketentuan mengenai Prosedur Penerimaan Nasabah PT. Bank Tabungan
Pensiunan Nasional, yang meliputi:
Prosedur Penerimaan Nasabah Perorangan yang meliputi:
Pengisian formulir standar yang memuat informasi tentang:
Nama, tempat dan tanggal lahir, alamat serta kewarganegaraan yang dibuktikan
dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), atau paspor
yang dilengkapi dengan informasi mengenai alamat tempat tinggal tetap apabila
berbeda dengan yang tertera dalam dokumen. Khusus untuk warga negara asing
(WNA) selain dengan paspor, dibuktikan dengan Kartu Izin Menetap Sementara
(KIMS/KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP);
Alamat dan nomor telepon tempat bekerja yang dilengkapi dengan keterangan
mengenai kegiatan usaha perusahaan/instansi tempat bekerja;
Keterangan mengenai pekerjaan/jabatan dan penghasilan calon nasabah. Dalam
hal calon nasabah tidak memiliki pekerjaan, maka data yang diperlukan adalah
sumber pendapatan;
Keterangan mengenai sumber dan tujuan penggunaan dana;
Spesimen tanda tangan.
Meminta informasi lain, antara lain berupa major credit card, identitas pemberi
kerja dari calon nasabah, rekening telepon dan rekening listrik apabila diperlukan;
Khusus untuk calon nasabah yang melakukan pembukaan rekening melalui
telepon, surat menyurat atau electronic banking maka petugas bank wajib
melakukan pertemuan dengan calon nasabah sebelum pembukaan rekening
tersebut disetujui;
Persyaratan pada huruf a, b dan c di atas berlaku pula untuk:
Calon nasabah yang melakukan pembukaan joint account;
Calon nasabah selaku perantara atau pemegang kuasa dari pihak lain (beneficial
owner).
Bagi beneficial owner perorangan, data yang diperlukan antara lain:
Informasi yang relevan sebagaimana halnya prosedur penerimaan nasabah
perorangan;
Hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa atau kewenangan
bertindak sebagai penguasa;
Pernyataan dari calon nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap
kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner perorangan.
Bagi beneficial owner perusahaan, data yang diperlukan antara lain:
Informasi yang relevan sebagaimana halnya prosedur penerimaan nasabah
perusahaan, kecuali lembaga pemerintah, lembaga internasional dan perwakilan
negara asing;
Hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa atau kewenangan
bertindak sebagai perantara;
Dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan;
Dokumen identitas pemegang saham pengendali perusahaan;
Pernyataan dari calon nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap
kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner perusahaan.
Prosedur Penerimaan Nasabah Perusahaan
Badan Hukum
Perusahaan yang Tergolong Usaha Kecil
Mengisi formulir standar yang mencakup informasi tentang:
Status hukum dari usaha yang dimaksud yang dibuktikan dengan kate pendirian
dan anggaran dasar;
Izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang yang dibuktikan antara
lain dengan SIUP, SITU;
Nama, spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk
bertindak untuk dan atas nama perusahaan. Sedangkan kuasa untuk bertindak atas
nama perusahaan dibuktikan dengan surat kuasa dari Direksi dan atau hasil Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS);
Alamat perusahaan, nomor telepon dan atau nomor faksimili;
Keterangan mengenai sumber dan tujuan penggunaan dana;
Negara asal dalam hal perusahaan dimaksud berbentuk badan hukum asing.
Meminta dokumen lain misalnya laporan keuangan calon nasabah atau keterangan
mengenai pelanggan utamanya, apabila diperlukan;
Meminta informasi kepada calon nasabah mengenai hubungannya dengan bank
lain;
Persyaratan dokumen tersebut diatas berlaku pula untuk calon nasabah selaku
perantara atau pemegang kuasa dari pihak lain (beneficial owner);
Bagi beneficial owner perorangan, data yang diperlukan antara lain:
Informasi yang relevan sebagaimana halnya prosedur penerimaan nasabah
perorangan;
Hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa atau kewenangan
bertindak sebagai perantara;
Pernyataan dari calon nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap
kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner perorngan.
Bagi beneficial owner perusahaan, data yang diperlukan antara lain:
Informasi yang relevan sebagaimana halnya prosedur penerimaan nasabah
perorangan, kecuali lembaga pemerintah, lembaga internasional dan perwakilan
lembaga asing;
Hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa atau kewenangan
bertindak sebagai perantara;
Dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan;
Dokumen identitas pemegang saham pengendali perusahaan;
Pernyataan dari calon nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap
kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner perusahaan.
Perusahaan yang Tidak Tergolong Usaha Kecil
Mengisi formulir standar yang mencakup informasi tentang:
Status hukum dari usaha yang dimaksud yang dibuktikan dengan kate pendirian
dan anggaran dasar;
Izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang yang dibuktikan antara
lain dengan SIUP, SITU;
Nama, spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk
bertindak untuk dan atas nama perusahaan. Sedangkan kuasa untuk bertindak atas
nama perusahaan dibuktikan dengan surat kuasa dari Direksi dan atau hasil Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS);
Alamat perusahaan, nomor telepon dan atau nomor faksimili;
Negara asal dalam hal perusahaan dimaksud berbentuk badan hukum asing.
Persetujuan oleh pejabat bank yang berwenang termasuk pejabat khusus yang
menangani nasabah perusahaan yang dianggap mempunyai bidang usaha resiko
tinggi atau yang dimiliki oleh penyelenggara negara;
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi nasabah yang diwajibkan untuk
memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila pada saat
mengajukan permohonan untuk menjadi nasabah belum memiliki NPWP maka
yang bersangkutan dapat menyampaikan fotokopi permohonan NPWP. Segera
setelah nasabah memperoleh NPWP, maka bank wajib meminta NPWP tersebut
kepada nasabah;
Dalam hal calon nasabah tidak wajib memiliki NPWP, maka calon nasabah wajib
membuat pernyataan bahwa yang bersangkutan merupakan pihak yang tidak
wajib memiliki NPWP;
Laporan keuangan dari perusahaan atau deskripsi kegiatan usaha perusahaan.
Deskripsi kegiatan usaha perusahaan mencakup informasi mengenai bidang
usaha, profil pelanggan, alamat tempat kegiatan usaha dan nomor telepon
perusahaan;
Struktur manajemen perusahaan;
Dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan, misalnya
KTP, Paspor atau SIM;
Nama, spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk
bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha
dengan bank. Kuasa untuk bertindak atas nama perusahaan dibuktikan dengan
surat kuasa dari Direksi dan atau hasil RUPS;
Keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana. Dalam hal ini
calon nasabah dapat meminta mengisi formulir pembukaan rekening atau
transaksi yang antara lain mencantumkan keterangan mengenai sumber dana dan
tujuan penggunaan dana atau membuat surat pernyataan;
Meminta informasi kepada calon nasabah mengenai hubungannya dengan bank
lain;
Persyaratan dokumen tersebut diatas berlaku pula untuk calon nasabah yang
melakukan pembukaan joint account dan calon nasabah selaku perantara atau
pemegang kuasa dari pihak lain (beneficial owner);
Bagi beneficial owner perorangan, data yang diperlukan antara lain:
Informasi yang relevan sebagaimana halnya prosedur penerimaan nasabah
perorangan;
Hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa atau kewenangan
bertindak sebagai perantara;
Pernyataan dari calon nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap
kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner perorangan.
Bagi beneficial owner perusahaan, data yang diperlukan antara lain:
Informasi yang relevan sebagaimana halnya prosedur penerimaan nasabah
perorangan, kecuali lembaga pemerintah, lembaga internasional dan perwakilan
lembaga asing;
Hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa atau kewenangan
bertindak sebagai perantara;
Dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan;
Dokumen identitas pemegang saham pengendali perusahaan;
Pernyataan dari calon nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap
kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner perusahaan.
Lembaga Pemerintah, Lembaga Internasional, Perwakilan Negara Asing.
Pengisian formulir standar yang mencakup informasi tentang:
Nama dan spesimen tanda tangan yang harus dibuktikan dengan identitas berupa
KTP, paspor atau SIM;
Surat penunjukkan bagi pihak-pihak yang berwenang mewakili lembaga dalam
melakukan hubungan usaha dengan bank;
Keterangan mengenai asal negara lembaga dimaksud dan keterangan mengenai
sumber dan tujuan penggunaan dana apabila diperlukan.
Bank
Pengisian formulir standar yang mencakup informasi tentang:
Akte pendirian atau anggaran dasar bank atau dokumen lain yang sejenis;
Izin usaha dari instansi yang berwenang atau dokumen lain yang sejenis;
Nama, spesimen tanda tangan dan kuasa atau surat penunjukan kepada pihak-
pihak yang ditunjuk bertindak untuk dan atas nama bank;
Alamat usaha.
Apabila calon nasabah berupa bank merupakan perantara yang menerima kuasa
dari beneficial owner maka:
Bank dalam negeri:
Verifikasi atau konfirmasi atas beneficial owner cukup dilakukan oleh bank
perantara tersebut.
Pasal 2 Ayat (4): Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
untuk :
Kepentingan perpajakan;
Penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang
dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara;
Kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
Kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara Bank dengan Nasabahnya;
Tukar menukar informasi antar Bank;
Permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara
tertulis;
Permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang telah meninggal
dunia.
Pasal 8: Bank dilarang memberikan keterangan tentang keadaan keuangan
Nasabah Penyimpan selain yang disebutkan dalam perintah atau izin tertulis dari
Bank Indonesia.
Data Primer
Berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat PT. Bank Tabungan Pensiunan
Nasional Cabang Purwokerto (PT. Bank BTPN Cabang Purwokerto), diperoleh
data sebagai berikut:
Penyelenggaraan kegiatan perbankan di PT. Bank BTPN Cabang Purwokerto baik
pelayanan jasa maupun kredit tunduk pada peraturan Perbankan, KUH Perdata
dan Peraturan Perundangan yang berlaku, antara lain Peraturan Bank Indonesia
Nomor 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah
atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Costumer Principles), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
Peraturan-peraturan perjanjian kredit dan simpanan di lingkungan PT. Bank
BTPN Cabang Purwokerto dituangkan dalam bentuk formulir yang isinya telah
dibakukan oleh pihak PT. Bank BTPN Cabang Purwokerto, tanpa ada
perundingan terlebih dahulu dengan nasabahnya.
Berkaitan dengan rahasia bank, pihak PT. Bank BTPN Cabang Purwokerto
berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang Perbankan Nomor
10 Tahun 1998 , dimana terhadap rahasia bank pihak PT. Bank BTPN Cabang
Purwokerto hanya menjaga rahasia atas informasi yang dimiliki Nasabah
Penyimpan saja, sedangkan terhadap informasi dari nasabah selain penyimpan
tidak ada kewajiban untuk merahasiakan.
Khusus mengenai prosedur pembukaan rahasia bank mengacu pada ketentuan
yang terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 Tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka
Rahasia Bank dan Memorandum Direktur Kepatuhan PT. Bank BTPN Cabang
Purwokerto Nomor M.149/DIRKP.DIV.KC/X/2005 mengenai Penyampaian
Informasi Ketentuan yang berkaitan dengan penyampaian informasi kepada pihak
ketiga.
B. Pembahasan
Dalam sistem hukum perbankan Indonesia, pihak nasabah seringkali dibiarkan
sendiri terlunta-lunta tanpa suatu perlindungan yang predictable dan reasonable.33
Salah satu masalah yang seringkali dikeluhkan adalah tidak adanya atau
kurangnya perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah sebagai
konsumen jasa perbankan jika berhubungan dengan bank, baik nasabah debitur,
nasabah deposan, maupun nasabah nondebitur-nondeposan.
Menurut AZ. Nasution yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang
yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu
kegunaan tertentu.34
33
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2001), halaman 99.
34
AZ. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), Halaman 69.
Pasal 1 Angka 2 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan konsumen adalah:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Shidarta berpendapat mengenai penjelasan konsumen dalam UUPK:
Kata ”pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate
comsumer), istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan
tersebut, sekaligus menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta
hasil dari transaksi jual beli. Artinya yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu
harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh
barang dan/atau jasa itu, dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara
konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of
contract).35
Berdasarkan data nomor 1.5.2 tentang ketentuan Pasal 1 Angka 3 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian
Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank mengenai yang dimaksud
dengan nasabah, data nomor 1.5.3 tentang rumusan ketentuan Pasal 1 Angka 4
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank mengenai
pengertian nasabah penyimpan yaitu nasabah yang menempatkan dananya dalam
bentuk Simpanan berdasarkan perjanjian Bank dengan nasabah yang
bersangkutan, dan data nomor 1.5.4 mengenai ketentuan Pasal 1 Angka 5
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank mengenai
pengertian nasabah debitur yaitu nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian Bank dengan nasabah yang bersangkutan, apabila
dihubungkan dengan pendapat AZ. Nasution, ketentuan Pasal 1 Angka 2 Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999, dan pendapat Shidarta, maka dapat dideskripsikan
bahwa yang dimaksud dengan konsumen jasa simpanan adalah nasabah yang
menempatkan dananya dalam bentuk Simpanan berdasarkan perjanjian Bank
dengan Nasabah yang bersangkutan dan Nasabah yang memperoleh fasilitas
35
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2004), Halaman 6.
36
Ibid, Halaman 7.
kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan.
Untuk pengertian pelaku usaha, Gunawan dan Ahmad Yani berpendapat bahwa
pengertian pelaku usaha adalah sejalan dengan pengertian konsumen yang
diberikan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 1 Angka 3, dimana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
pelaku usaha adalah:
Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
Menurut pengertian pelaku usaha di atas, ada dua jenis pelaku usaha yaitu
perseorangan dan badan usaha. Pelaku usaha perseorangan dalam praktek muncul
dalam bentuk pengusaha kecil. Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini
adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara, koperasi, importir,
pedagang, distributor dan lain-lain.
Penjelasan resmi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan pelaku usaha adalah:
Setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha memproduksi,
menawarkan, menyampaikan dengan cara apapun barang pada konsumen.
Dari rumusan tersebut dapat terlihat bahwa pelaku usaha dapat terdiri dari
produsen, pedagang (penjual barang) atau penjual jasa yang dalam kegiatannya
baik langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan konsumen, misalnya:
Produsen merupakan pencipta atau pembuat barang yang menjadi sumber
terwujudnya barang, yang aman dan tidak merugikan konsumen dan sebaliknya;
Pedagang merupakan penyampai barang kepada konsumen yang dalam
kegiatannya dapat merugikan konsumen dan sebaliknya;
Pengguna jasa, misalnya jasa promosi periklanan yang akan mempengaruhi
konsumen untuk membeli, pengusaha jasa angkutan untuk mengantar barang dan
sebagainya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat memuat suatu definisi mengenai pelaku usaha,
yaitu:
Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk bahan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan,
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Batasan itu serupa dan garis besar maknanya sesuai dengan Undang-undang
Perlindungan Konsumen. Menurut Az. Nasution, kelompok penyedia barang atau
penyelenggara jasa pada umumnya terlihat berlaku sebagai:
Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa (investor);
Penghasil atau pembuat barang atau jasa (produsen);
Penyalur barang atau jasa (distributor).
Berdasarkan data nomor 1.5.1 tentang ketentuan Pasal 1 Angka 3 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian
Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank mengenai yang dimaksud
dengan bank, apabila dihubungkan dengan pendapat Gunawan Widjaja, Ahmad
Yani, AZ. Nasution, ketentuan Pasal 1 Angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999, dan pengertian pelaku usaha yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, maka dapat dideskripsikan bahwa PT. Bank BTPN Cabang Purwokerto
disini berkedudukan sebagai pelaku usaha yaitu badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak
Hubungan hukum antara bank dan nasabahnya timbul karena ada perjanjian yang
mendasarinya. Suatu perjanjian untuk dapat diakui secara hukum harus memenuhi
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sah suatu perjanjian yaitu:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Perjanjian tersebut harus diadakan dengan kesepakatan, sehingga tidak ada pihak-
pihak yang merasa terpaksa dalam mengadakan perjanjian.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Perjanjian harus diadakan oleh orang-orang yang mempunyai kecakapan untuk
itu, dalam artian orang yang mengadakan perjanjian adalah orang dewasa yang
sehat jiwa dan raganya, bukan orang dibawah umur atau orang yang berada
dibawah pengampuan (curatele).
Suatu hal tertentu
Perjanjian tersebut harus jelas obyeknya, agar para pihak mengikuti dengan
sungguh-sungguh akan hal yang diperjanjikan sehingga keadaan ini dapat
mencegah itikad buruk dari salah satu pihak terhadap pihak yang lain.
Dari sembilan butir hak konsumen yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terlihat bahwa masalah
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling
pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/ atau jasa yang
penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman
atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan
dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/ atau
jasa dalam penggunaannya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang/
dan atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang
benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen
berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil,
kompensasi sampai ganti rugi.37
37
Gunawan Widjaja dan Achmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), Halaman 30.
Ketentuan mengenai rahasia bank sebagaimana yang dirumuskan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan Pasal 1 Angka 28 yang merumuskan rahasia bank adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya.
Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau
Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank Pasal 1 Angka 6 yang menyebutkan bahwa
rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanan nasabah.
Keamanan atas segala informasi yang dimiliki nasabah bank apabila dikaitkan
dengan ketentuan mengenai hak-hak yang dimiliki oleh konsumen seperti yang
tercantum dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah hak nasabah sebagai konsumen atas terjaminnya keamanan
mereka dalam menggunakan jasa bank. Sebagai perwujudan ketaatan bank
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku maka usaha melakukan
penjagaan atas keamanan rahasia nasabah harus benar-benar dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya.
Rahasia bank sebagai jaminan dari pihak bank yang diberikan kepada konsumen
bank atau nasabah diantaranya diwujudkan dalam bentuk pemberian pelayanan
yang memadai dan memuaskan. Hal ini berhubungan dengan kepentingan sosial
ekonomi konsumen.
Az. Nasution mengemukakan bahwa kepentingan sosial ekonomi adalah
menghendaki agar setiap konsumen dapat memperoleh hasil optimal dari
penggunaan sumber-sumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang atau
jasa kebutuhan hidup mereka.38
38
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum., (Jakarta: Diadit Media, 1998), Halaman 79.
Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label;
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
39
Jurnal Ilmu Hukum “Kanun”, Nomor 24 Tahun IX Desember 1999, (Banda Aceh: Fakultas
Hukum Universitas Kuala Darussalam, 1999), Halaman 459.
yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi.
Berdasarkan data nomor 1.4 mengenai ketentuan penyampaian informasi yang
berkaitan dengan penyampaian informasi kepada pihak ketiga yang tertuang
dalam Memorandum Direktur Kepatuhan PT. Bank Tabungan Pensiunan Nasional
Cabang Purwokerto Nomor M.149/DIRKP.DIV.KC/X/2005, data nomor 1.5.5
tentang ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor
2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin
Tertulis Membuka Rahasia Bank mengenai kewajiban bank merahasiakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanan nasabah dan data nomor 1.5.6 tentang ketentuan Pasal 2 Ayat (2)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank mengenai
keterangan mengenai nasabah selain nasabah penyimpan bukan merupakan
keterangan yang wajib dirahasiakan oleh Bank, apabila dikaitkan dengan
ketentuan pasal 3 huruf d tentang salah satu tujuan dari perlindungan konsumen
yaitu menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi, ketentuan Pasal 40 Ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
tentang kewajiban bank merahasiakan keterangan nasabah penyimpan dan
simpanannya dengan pengecualian tertentu, dan pendapat dari Campbell
mengenai acuan dalam memberikan definisi tentang rahasia bank maka dapat
dideskripsikan bahwa perlindungan hukum konsumen jasa simpanan atas rahasia
bank di PT. Bank BTPN Cabang Purwokerto sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi secara tegas hanya diberikan
terhadap informasi dari nasabah penyimpan dan simpanannya, sedang bagi
nasabah debitur sejak perubahan Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992
menjadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, ketentuan mengenai nasabah
debitur bukan lagi merupakan kewajiban bank untuk merahasiakan. Hal ini
didukung dengan data nomor 2.3 mengenai pelaksanaan rahasia bank di PT. Bank
BTPN Cabang Purwokerto yang mengacu pada Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Bank sebagai lembaga keuangan yang dipercaya oleh masyarakat (fiduciary
financial institution) dihadapkan pada dua kewajiban yang bertentangan dan
seringkali tidak dapat dirundingkan. Di satu pihak, bank mempunyai kewajiban
untuk tetap merahasiakan keadaan dan catatan keuangan nasabahnya (duty of
confidentiality). Kewajiban ini timbul, dan erat kaitannya dengan kepercayaan
yang diberikan masyarakat/para nasabah kepada bank selaku lembaga keuangan
pengelola keuangan, atau sumber dana masyarakat. Kewajiban menjaga rahasia
ini sering timbul atas dasar kepercayaan (fiduciary duty). Di lain pihak bank juga
berkewajiban untuk mengungkapkan (disclose) keadaan, dan catatan keuangan
nasabahnya dalam keadaan-keadaan tertentu. Disinilah muncul Conflict of
Interest yang dihadapi bank.40
Walaupun demikian, tetap tidak mengurangi kewajiban bagi pihak bank untuk
melaksanakan kewajiban menjaga rahasia bank sebagai wujud daripada itikad
baik bank dalam menjalankan usahanya, sebagaimana yang telah diatur dalam
Pasal 7 Huruf a Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang menyebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah beritikad
baik dalam menjalankan usahanya.
Kondisi yang dilematis tersebut ternyata dialami pula oleh bank-bank di luar
negeri, seperti di Inggris. Dimana dalam suatu putusan hakim dalam perkara
Tournier National Provincial Bank ditentukan informasi mengenai urusan
nasabahnya hanya dalam 4 (empat) keadaan saja yaitu:
Apabila pengungkapan itu dirahasiakan oleh hukum,
Apabila bank berkewajiban mengungkapkan kepada masyarakat,
Apabila pengungkapan dikehendaki demi kepentingan bank,
Apabila pengungkapan dikehendaki oleh nasabah yang bersangkutan.
Ketentuan hukum perbankan Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang PerubahanUndang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
mengenai pengecualian rahasia bank yaitu:
Pasal 40
Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpana dan
simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, pasal 41
A, pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 44A.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula bagi pihak terafiliasi.
Pasal 41
Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri
Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar
memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat
mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpanan tertentu kepada pejabat bank.
Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menyebutkan nama
pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.
Pasal 41A
Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh
keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah dan debitur.
Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas
permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Ketua
panitia Urusan Piutang Negara.
40
Drs. Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996), halaman. 110.
Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan
jabatan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang
Negara, nama nasabah debitur yang bersangkutan, dan alasan diperlukannya
keterangan.
Pasal 42
Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia
dapat memberikan izin kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk memperoleh
keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.
Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas
permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau
Ketua Mahkamah Agung.
Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan
jabatan Polisi, Jaksa, atau Hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan
diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan
dengan keterangan yang diperlukan.
Pasal 42A
Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal
41A, dan Pasal 42.
Pasal 43
Dalam perkara antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan
dapat menginformasikan kepada Pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah
yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara
tersebut.
Pasal 44
Dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank, direksi bank dapat
memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.
Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia.
Pasal 44A
Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat
secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah
penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh
nasabah penyimpan tersebut.
Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari
nasabah penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai
simpanan nasabah penyimpan tersebut.
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
PT. Bank Tabungan Pensiunan Nasional Cabang Purwokerto telah memberikan
perlindungan hukum terhadap konsumen jasa simpanan atas prinsip kerahasiaan
bank sebagaimana diatur didalam Memorandum Direktur Kepatuhan PT. Bank
Tabungan Pensiunan Nasional Cabang Purwokerto Nomor
M.149/DIRKP.DIV.KC/X/2005 yang mengacu pada Peraturan Bank Indonesia
Nomor 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah
atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Perlindungan hukum tersebut secara
tegas hanya diberikan kepada nasabah penyimpan dan simpanannya, hal ini sesuai
dengan ketentuan pasal Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor
2/19/PBI/2000 mengenai kewajiban bank merahasiakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan
nasabah, Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 yang
menjelaskan bahwa keterangan mengenai nasabah selain nasabah penyimpan
bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank. Perlindungan
hukum konsumen jasa simpanan atas prinsip kerahasiaan bank dibatasi dengan
beberapa pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) Peraturan Bank
Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 mengenai perkecualian atas prinsip kerahasiaan
bank yaitu untuk:
Kepentingan perpajakan;
Penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang
dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara;
Kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
Kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara Bank dengan Nasabahnya;
Tukar menukar informasi antar Bank;
Permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara
tertulis;
Permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang telah meninggal
dunia.
Hal ini mengandung pengertian bahwa rahasia bank tersebut tidak mutlak dan
untuk pelaksanaannya tetap mengacu pada prosedur yang berlaku sehingga bank
tidak bisa berbuat sewenang-wenang terhadap nasabahnya dengan demikian hak-
hak nasabah mendapat perlindungan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Djumhana, Muhamad, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Edisi Revisi 2001), PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta,2004.
Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern (Buku Kesatu), PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001.
Hotman Boko, Sautama Ronny, Hubungan Bank dan Nasabah terhadap Produk
Tabungan dan Deposito (Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan
di Indonesia dewasa ini), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Irmayanto, Juli, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan, Universitas Trisakti, Jakarta,
2002.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Nasution, A.Z, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum
pada Perlindungan Konsumen, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Pratama, Rahardja, Uang dan Perbankan, Economic Student Group, Jakarta, 1988.
Peraturan Perundang-Undangan :
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.