You are on page 1of 21

PROBLEMATIKA NASIONALISME AKIBAT DARI GLOBALISME

Oleh: SUTANTO, SKM, M.AP


Matrikulasi
Pasca Sarjana Kajian Strategis Ketahanan Nasional
Lemhannas RI-Universitas Gadjah Mada

A. Pendahuluan

1. Latar belakang

Kemerosotan nasionalisme memiliki banyak bentuk dan


semuanya berbahaya. Bahaya terbesar dari sebuah ”negara-bangsa”
yang tengah ditimpa kebangkrutan nasionalismenya ialah jika kesetiaan
tertinggi pemerintah tidak lagi kepada negara dan bangsanya, melainkan
lebih kepada mendahulukan kepentingan diri dan kelompoknya.

Dengan begitu prinsip-prinsip nasionaslime dilanggar, kekayaan


negara digerogoti, sementara hak dan kebutuhan dasar rakyat dibiarkan
terbengkalai. Saat ini banyak yang percaya bahwa rasa nasionalisme
bangsa benar-benar sedang sakit. Bahkan, ”negara-bangsa” itu sendiri
tengah mengalami sekarat dan seolah tidak diperlukan lagi.1 Dari tahun ke
tahun kesadaran nasionalisme merosot tajam, hanya ada dalam upacara,
pidato-pidato, dan semakin merosot ke dalam retorika ’prosaik’ tanpa
solusi masalah masa kini.2
1
Lihat misalnya Kenichi Ohmae, The End of The Nation State. The Rise of Regional Economies (New
York, London and Tokyo: The Free Press, 1995).
2
Lihat misalnya, hasil survey ‘jajak pendapat’ Kompas (18 Agustus 2007), berjudul ”Nasionalisme di
atas Papan Global”, menunjukkan kecederungan ini. Sejumlah indikator (a.l. “kebanggaan menjadi orang
Indonesia”, “rasa memiliki”) dan lain-lain, digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran ”nasionalisme”
dan hasilnya amat merisaukan karena merosot tajam dibadingkan dengan survey serupa (2002) sampai
80,8% dalam hubungannya dengan kepemimpinan bangsa dan makin lemahnya nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari (72,9%). Meskipun gambaran ini bukan kesimpulan definitif, melainkan
indikatif, kondisinya memang sudah mencemaskan.

1
Pada saat satu abad ”Hari Kebangkitan Nasional” (Harkitnas),
diperingati secara besar-besaran tahun lalu di Stadion Bung Karno. Tak
hanya lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi juga cukup unik,
dan agaknya baru pertama kali terjadi. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menginstruksikan agar peringatan 100 Tahun Harkitnas
diperingati sepanjang tahun 2008. Ada juga kegiatan inti lainnya. Di tiap-
tiap provinsi diinstruksikan mengumpulkan ”tanah” dan ”air” dalam jumlah
tertentu, kemudian dibawa oleh masing-masing delegasi daerah ke
Jakarta. Semuanya, mulai dari pengambilan ”tanah” dan ”air” di daerah,
demikian penyambutan di Jakarta penuh dengan upacara. Begitulah tiap
bulan sepanjang tahun, kalender Indonesia ditandai tanggal ”merah”.
Sebagian besar berkenaan dengan hari bersejarah. Umumnya diperingati
dengan serangkaian upacara. Para pegawai negeri melakukan apel
bendera, sambil mengulang-ulang kegiatan lainnya: lagu kebangsaan,
pembacaan teks Pancasila, berdoa, dan berziarah ke makam pahlawan.
Pada moment itu, peringatan bersejarah merupakan gudang mengenang
’kebesaran’ masa lampau dan pidato resmi yang diedarkan secara
nasional mengulang-ulang kisah sejarah, dengan retorika yang makin
merosot ke dalam kata-kata tanpa solusi masalah masa kini.

Ada apa dengan nasionalisme Indonesia? Apakah kita perlu


merumuskan suatu nasionalisme dalam konteks kekinian? Adakah
kemerosotan nasionalisme ke-Indonesiaan dewasa ini berkaitan erat
dengan kuatnya kekuatan tarik menarik antara globalisasi internasional di
satu pihak dan primordialisasi lokal di lain pihak? Apakah
etnonasionalisme betul-betul merupakan ancaman terhadap nasionalisme
ke-Indonesiaan di masa depan? Apakah isu-isu kedaulatan, kemandirian,
otonomi, dan kepribadian dalam konteks globalisme dewasa ini,
menyiratkan adanya kekuatan baru (”neo-imperialisme”/”neokolonialisme”)
yang tengah mengancam kemerdekaan nation-state NKRI dewasa ini?
Apakah globalisasi yang terjadi berdampak terhadap menurunnya rasa

2
nasionalisme atau bahkan sebaliknya? Dikarenakan globalisasi dianngap
sebagai ancaman global dalam pembangunan misalnya ancaman sosial
ekonomi, konflik antar negara, konflik internal, Senjata nuklir biologi, kimia
radiologi, terorisme dan kejahatan lintas negara (TOC). Banyak sekali
muncul pertanyaan yang timbul jika kita bicara tentang hal ini.

2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diambil


rumusan masalah yakni apa problematika nasionalisme jika dihadapkan
dengan globalisme yang melanda dunia

B. Pembahasan

1. Pengertian nasionalisme

Nasionalisme menurut wikipedia adalah satu paham yang


menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam
bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas
bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap
negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political
legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya",
debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber
dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.

Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola


pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup
bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu,
naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka

3
untuk mempertahankan negerinya, tempat hidup dalam menggantungkan
diri.

Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada kegiatan


perpolitikan dan ketentaraan. Adapun bentuk-bentuk dari nasionalisme
adalah sebagai berikut:

a. Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil)


adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh
kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak
rakyat"; "perwakilan politik".
b. Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme dimana
negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau
etnis sebuah masyarakat.
c. Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme organik,
nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis
dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semula
jadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat
romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung
kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme
romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep
nasionalisme romantik.
d. Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana
negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama
dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan
sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang
menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya.
Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu
serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat
negara Tiongkok. Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan
adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya

4
Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri
mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka
tetapi menolak RRC karena pemerintahan RRT berpaham
komunisme.
e. Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme
kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme
etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih
keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan
suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip
masyarakat demokrasi.
f. Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana
negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama.

Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah


dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di
Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan
agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang
diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu.
Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama
hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kelompok
tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia
dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan
nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan
teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham
yang bersangkut paut dengan Irlandia sebagai sebuah negara
merdeka terutamanya budaya Irlandia. Justru itu, nasionalisme
kerap dikaitkan dengan kebebasan.

2. Pengertian globalisme

5
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah
universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali
sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi
mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses
sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa
seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain,
mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi
dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya
masyarakat.

Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek


yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang
memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang
ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling
mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan
ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak
mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar
terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-
bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan
orang yg pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.

Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin


berkembangnya fenomena globalisasi di dunia:

a. Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antar negara


menunjukkan keterkaitan antar manusia di seluruh dunia
b. Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan
barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit dan
internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi
demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa
semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal
dari budaya yang berbeda.

6
c. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda
menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan
perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan
multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade
Organization (WTO).
d. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media
massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan
olah raga internasional). Saat ini, kita dapat mengkonsumsi
dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-
hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam
bidang fashion, literatur, dan makanan.
e. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang
lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-
lain.

Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah


membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru
bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan
dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam
sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan
selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan
ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu,
Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi
sosial.

Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan


globalisasi, terdapat tiga posisi teroritis yang dapat dilihat, yaitu:

a. Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah


kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap
bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan.
Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal
akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang

7
homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki
pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses
tersebut.
b. Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik
perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa
globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran
dan bertanggung jawab.
c. Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah
sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya
adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat)
yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang
homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar
dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk
kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
d. Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah
terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah
sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-
besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi
sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa
yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap
lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
e. Para transformasionalis berada di antara para globalis dan
tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah
sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka
juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal
keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa
globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat
hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah
kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung".
Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama
ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat
dikendalikan.

8
Adapun reaksi masyarakat di dunia ada yang pro namun
ada juga yang kontradiksi. Pendukung globalisasi (sering juga disebut
dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa globalisasi dapat
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat
dunia.

Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang


dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara
dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan
satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan
dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi
pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya.
Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera
digital (mampu mencetak lebih efesien dan bermutu tinggi) sementara
Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan
teori ini, Jepang dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan
mengalihkan faktor-faktor produksinya untuk memaksimalkan produksi
kamera digital, lalu menutupi kekurangan penawaran kain dengan
membelinya dari Indonesia, begitu juga sebaliknya.

Salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah


adanya larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu
negara. Di satu sisi, kebijakan ini dapat melindungi produksi dalam
negeri, namun di sisi lain, hal ini akan meningkatkan biaya produksi
barang impor sehingga sulit menembus pasar negara yang dituju. Para
pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut,
mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas
sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan
meningkat. Karena permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat
dan begitu seterusnya.

Beberapa kelompok pro-globalisme juga mengkritik Bank Dunia


dan IMF, mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya

9
mengontrol dan mengalirkan dana kepada suatu negara, bukan kepada
suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai hasilnya, banyak pinjaman yang
mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang kemudian
menyelewengkan dan tidak menggunakan dana tersebut sebagaimana
mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam lilitan hutang negara, dan
sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun. Karena tingkat
kemakmuran menurun, akibatnya masyarakat negara itu terpaksa
mengurangi tingkat konsumsinya; termasuk konsumsi barang impor,
sehingga laju globalisasi akan terhambat dan -- menurut mereka --
mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia.

Sedangkan gerakan Antiglobalisasi adalah suatu istilah yang


umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan
kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-
lembaga yang mengatur perdagangan antar negara seperti Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO).

"Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan


sosial, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum
yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun
juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan terhadap
ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka
mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia
ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.

Namun, orang-orang yang dicap "antiglobalisasi" sering menolak


istilah itu, dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan
Keadilan Global, Gerakan dari Semua Gerakan atau sejumlah istilah
lainnya. Jadi globalisasi dapat menyentuh di seluruh aspek
kehidupan masyarakat bail ekonomi, budaya, politk, ilmu dan
tehnologi dan masih banyak lagi.

10
3. Nasionalisme diantara terpaan globalisme

Globalisasi itu bukanlah gejala unik yang hanya terjadi sekarang.


Ia sudah terbentuk lewat ”sistem dunia”, bahkan sejak 5000 tahun lalu,
ketika interaksi antara berbagai belahan dunia sudah dimungkin.3 Hanya
saja memasuki milenium ke-3, globalisasi semakin kencang dan meluas,
sehingga dapat dilihat beberapa perubaan mendasarnya. Jika globalisasi
di masa lalu, khususnya yang masuk lewat jaringan kolonialisme dan
imperialisme lebih berorientasi pada persekutuan politik dan dominasi
ekonomi kapitalis negara, globalisasi abad ke-21, merupakan hadir dalam
bentuk kerja-sama-kerja sama regional yang interdependent lewat apa
yang oleh Ohmae (1995) disebut ”the Four I’s” ― industri, investasi,
teknologi informasi dan individual consummers.

Terobosan ”Empati” lambat laun mengaburkan batas-batas


antarnegara, ketika lalu lalang ide-ide dan praktek berkembang lewat
media ”maya”. Akibatnya konsep ”negara modern” ciptaan abad lalu
menjadi usang dan digantikan oleh ”masyarakat sejagad”, yang menjadi
acuan baru dalam hubungan di dunia internasional.

Dalam hubungan ini, pertanyaannya ialah bagaimanakah nasib


nasionalisme akibat gencarnya serangan globalisasi abad ini? Sejalan
dengan kajian-kajian yang mutakhir tentang nasionalisme, antara lain,
seperti yang dikerjakan oleh Ernest Gelner (1992), Ben Anderson (1992),
Eric Hobsbaum (1992), Godedesn (1990), Ohmae cenderung memandang
nasionalisme semacam ”artefak kebun bunga di rumah kaca” (artifact of
hothouse flower). Bagi Hobsbaum nasionalisme adalah temuan akal-
akalan dari imajinasi politik kaum borjuis. Dalam analisis selanjutnya diat
menyatakan bahwa nasionalisme hadir lebih duluan dari pada bangsa.
Bukan bangsa yang membuat negara, melainkan sebaliknya,

3
Lihat kritik Andre Gunder Frank terhadap “sistem dunia” Wallerstein, “A Theorerical Introduction to
5000 Yerasr of World System History”, dalam Review, Vol. XIII, No. 2 (Spring 1990), 155-250.

11
nasionalisme ― Nations do not make states and nasionalisms but the
other way round.4

Setelah ”negara-bangsa” terbentuk, nasionalisme cenderung


ditinggalkan. Bagi Anderson, ”negara-bangsa” sebagai komunitas politik
yang dibayangkan inherent di dalam batas-batas geografis dan adanya
kedaulatan yang konkret. Negara-bangsa dibayangkan seperti halnya
dengan semua komunitas politik yang lebih luas, memiliki ikatan ”geo-
politik” yang melampaui batas-batas pedesaan dengan sentimen
primordialisme lokal karena ada bangsa-bangsa lain yang terletak di luar
batas-batas geografis yang jelas antara dirinya dengan the others.

Negara-bangsa dibayangkan berdaulat karena menggantikan


rezim yang sebelumnya (dalam konteks Indonesia negara kolonial) yang
menindas. Ini dibayangkan sebagai ”komunitas’ karena adanya solidaritas
dan persaudaraan (comradeship) horizontal yang mendalam sesama
saudara-saudara sebangsa dam setanah air. Pada titik ini nasionalisme
adalah bentukan pengalaman sejarah.5

Sejauh berkenaan dengan dampak globalisasi terhadap


nasionalisme ”negara bangsa” dewasa ini kita mungkin bisa mendukung
pandangan beberapa ahli, yang mengatakan bahwa pada akhirnya
globalisasi akan terbukti hanyalah sosok kekar yang menipu, kreasi
negara-negara kapitalis yang dipajang di etalase dunia. Sukses mereka
di beberapa belahan dunia dewasa ini hanyalah ”angat-angat tahi ayam”
dan barangkali juga merupakan sebuah ”respon pelarian” terhadap
merosotnya kohesi sosial dan politik dalam peradaban negara-negara
kapitalis modern tahap akhir.

4
Eric J. Hobsbaum, Nations and Nationalism since 1780. Programme, Myth, Rality (Cambrdige:
Cambrdige University Press, 1992), hal. 10.
5
Ben Anderson, Imagined Community. Reflections on the Origins and Spread of Nationalism (London:
Verso, 1992), hal. 6-7.

12
Politik identitas jualan negara-negara kapitalis dan seruan mereka
akan ”hukum dan ketertiban” dunia lebih merupakan keluhan penyakit
ketimbang diagnosis atau terapi untuk kemaslahatan ”masyarakat dunia”.6
Klaim mereka sebagai bagian warga komunitas dunia yang hendak
menyeragamkan (homogenisasi) nilai-nilai universal berwajah
”marketisme” di atas entitas bangsa, bahasa, ras, etnik, nasionalitas yang
berbeda-beda, hanyalah ilusi.

Sebab pada kenyataan acuan mereka sebenarnya lebih ditujukan


kepada seruan atau propaganda keluar, sementara untuk mereka sendiri,
ke dalam, mereka tetap resistensi dengan perbedaan yang datang dari
unsur luar lingkungan mereka sendiri. Di dunia di mana di mana jumlah
mereka tidak lebih selusin di samping 180 negara-negara di dunia, klaim
mereka yang kelihatan masuk akal, tak hanya tidak disukai, tetapi juga
bisa ”self-destructive”.7

Mengutip pendapat Barnet dan Cavanagh (1993: 162), bahwa


ledakan nasionalisme pasca Perang Dingin sebenarnya juga
membuktikan kegagalan eksperimen nasionalisme para pemimpin
nasional yang mengusung interdependensi sistem globalisme di negera
mereka. Termasuk di antaranya Indonesia di masa Orde Baru, yang
pernah mengusung topeng ”kebangkitan nasionalisme II’ (1996).8
Eksperimen nasionaslisme baru semacam itu justru telah menimbulkan
kekecewaan rakyat yang telah memilih mereka.9 Mengapa bisa
demikian? Karena tangan para pemimpin yang telah terikat dengan mesin
kapital global ini di satu pihak menciptakan ’ketergantungan’ dan di lain
6
Hobsbaum, Nations and Nationalism …., hal. 177.
7
Ibid.
8
Pada pertengahan 1990-an, rejim Orde Baru Soeharto lewat tangan Mesesneg Murdiono dan Lemhanas
(1996), pernah melakukan suatu rekayasa ulang tentang kebangkitan nasionalisme kedua, tetapi semua itu
adalah topeng belaka karena gagasan yang dimunculkan ahistoris dan sebuah lamunan asal jadi (idle
imagination) yang tidak jelas agendanya dan juga tidak ada pergerakan yang mewadahinya. Ulasan kritis
mengenai ini terdapat dalam esei Mochtar Pobottinggi, “Topeng Kebangkitan Nasional” dalam bukunya
Suara Waktu (Jakarta: Erlangga), hal. 161ff.
9
Richard Barnet and John Cavanagh, “A Global Economy: Some Implications and Concequences” dalam
B. Mazlish & R. Buultjens (eds.), Conceptualizing Global History. Boulder: Westview Press, 1993), hal.
14-18.

13
pihak tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat mereka. Yang
benar-benar diuntungkan oleh ikatan-ikatan global semacam itu, termasuk
dalam transaksi hutang, hanyalah pejabat pada rezim yang berkuasa
manakala inkam mereka meningkat dari tahun ke tahun. Pernyataan
Presiden Soeharto saat masih berkuasa dalam menanggapi globalisasi,
bahwa ”senang tidak senang, mau tidak mau” proses itu harus dimasuki,
memiliki banyak arti. Dalam satu dan lain hal boleh jadi ditafsirkan
lemahnya kedaulatan negara karena semakin didikte oleh kekuatan luar.
Lebih penting lagi karena eksperimen nasionalisme versi globalisme itu
essentially memoryless, kata Smith.10

Frustrasi rakyat negara-negara yang telah terjerat erat-erat ke


dalam sistem globalisme seperti itu malahan berbalik dengan menguatnya
nasionalisme alternatif dengan pelbagai istilah sejenis: micronasionalism,
militant nationaslism atau apa yang disebut dengan etnonasionalisme.
Inilah yang terjadi di bekas negara Yugoslavia seperti juga di Indonesia
pasca jatuhnya Orde Baru, tatkala meletusnya konflik etnik di berbagai
daerah.11 Etnonasionalisme merupakan guratan ekspektasi yang
dikecewakan karena merasa dianak-tirikan, tetapi kekayaan mereka
dikuras mirip rezim kolonial. Sentimen nasionalisme etnik pada gilirannya
menolak diperintah oleh pusat, the others, dan sebaliknya menghedaki
agar sadel kekuasaan berada di tangan putra daerah sendiri. Pengalaman
ini sudah berlangsung sejak tahun 1950-an dan kembali terulang dalam
rezim Orde Baru.

Sejauh berkenaan dengan gejala etnonasionalisme dewasa ini


kita mungkin tidak perlu terlalu merisaukannya. Pada hemat saya, di
Indonesia khususnya tidak ada yang namanya nasionalisme etnik yang
genuine, kecuali sentimen loyalitas primordial lokal akibat diperlakukan
tidak adil. Pemunculannya hanya sementara, kabur sifatnya, tetapi lama-
10
Dikutip dari Tafik Abdullah, “Nasionalisme Indonesia. Dari Asal Usul ke Prospek Masa Depan”, dalam
Jurnal Sejarah, Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi (LIPI) No. 8 (1998), hal. 19.
11
Cornelis Lay (ed.), Nasionalisme Etnositas. Pertaruhan Sebuah Wacana Kebangsaan (Jakarta: kerja
sama penerbit DIAN/ Intefidei & Kompas, 2001).

14
lama akan menjadi lemah dan bimbang manakala ”cetak-biru” Indonesia
Merdeka” benar-benar dijalankan dengan spirit nasionalisme ke-
Indonesiaan yang telah dirintis sejak satu abad lalu.

Bahaya paling besar agaknya bukan datang dari kiri atau dari
kanan; dari sentimen etnonasionalisme lokal, atau dari fenomena
globalisme internasional, melainkan justru dari tengah, yaitu dari dalam
tubuh rezim birokratik itu sendiri. Rezim birokratik yang mengidap
narsistik, cenderung meneruskan tradisi buruk birokrasi kolonial dalam arti
orientasinya pada power culture dan bukan pada service cultur. Namun
sebaliknya warisan terbaik birokrasi kolonial, yaitu watak
profesionalfimenya, keteraturan, dan ketelatenanannya (zakelijk) dalam
perencanaan dan mengurus setiap inci persoalan justru tidak diteruskan.12

Bertolak dari pemaparan di atas, berikut ini beberapa catatan


mengenai problematika nasionalime Indonesia kontemporer, yang
mungkin bisa menjadi bahan pemikiran lebih lanjut untuk menyusun
agenda pemikiran ke depan:

a. Nasionalisme bentukan sejarah awal abad ke-20 berkembang


menurut dialektika sejarahnya. Karena itu tidak perlu ada
perumusan ulang terhadap nasionalisme dalam konteks
kekinian karena nasionalisme tanpa memori sejarah akan
kehilangan rohnya. Seperti halnya dengan ideologi nasional
itu sendiri, Pancasila. Kecuali kalau pijakan “negara bangsa”
ke depan bukan lagi Indonesia yang diperjuangkan oleh para
bapak pendiri bangsa ini di masa lalu. Yang lebih dibutuhkan
agaknya adalah kemampuan bangsa untuk menjawab

12
Mestika Zed, “Birokrasi, Birokrat & Kultur Pejabat Indonesia: Upaya Pemahaman tentang Tipologi
Aparatur Negara dan Strategi Pengembangannya ke Depan,” Makalah pada Seminar, ”Peningkatan
Kompetensi Widyasawara dalam Membangun Budaya Kerja Menuju Lembaga Diklat yang Berstandar
Internasional”, Litbang Pemda Sumatera Barat, Padang, Rabu, 29 Oktober 2008.

15
tantangan zaman dengan tetap berpijak pada landasan nilai-
nilai hakiki dari nasionalisme ke-Indonesiaan yang telah
dirumuskan dalam ”cetak-biru” Indoensia Merdeka itu
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu.

b. Masalahnya sekarang ialah bahwa titik kronis nasionalisme


Indonesia dewasa ini justru berasal dari dalam, tatkala
dominannya institusi negara dalam mendefinisikan
nasionalisme berserta isinya. Dalam hubungan ini setidaknya
ada tiga prinsip yang penyebab terjadinya distorsi nilai
nasionalisme akibat intervensi berlebihan dari negara.

1) Prinsip Prinsip kedaulatan (sovereignty) yang menjadi


taruhan motivasi dan sentimen nasionalisme untuk tidak
dijajah dan didikte oleh unsur luar kini diam-diam
dirasakan hasirnya neo-kolonialisme baru tatkala
negara tidak berdaya melindungi rakyat dari ancaman
luar.

2) Prinsip persatuan (integrity) yang menjadikan sebuah


negara-bangsa tetap utuh sebagai sebuah entiti politik
sebagaimana yang diamanahkan oleh nasionalisme,
yakni bahwa kepentingan tertinggi dari tiap individu dan
kelompok adalah pada negara, dimentahkan tatkala
kepentingan-kepentingan individu atau kelompok lebih
menonjol.

3) Identitas (identity) kebangsaan yang disimbolkan


dengan ”Bhineka Tunggal Ika”. Politik identitas kita yang
terbentuk dalam simbol-simbol kekhasan sebuah
bangsa, baik ke dalam maupun keluar, dalam arti
berbeda dengan bangsa lain, seringkali ditafsirkan
secara sempit, sehingga yang muncul adalah
penyeragaman yang dengan sendirinya melanggar
prinsip-prinsip multikultural.

16
c. Tugas mencerdaskan kehidupan bangsa, dari inlader
bermental anak jajahan yang rendah diri, ”bangsa kuli dan kuli
bangsa-bangsa, menjadi bangsa yang mandiri, dan memiliki
kesadaran komunitas, sejauh ini, tampaknya masih jauh
panggang dari api. Kebijakan pendidikan kita selama ini
bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan
mencerdaskan intelek individu-individu dengan skill yang
tinggi, tetapi minus filosofi pendidikan yang meletakkan nilai-
nilai kesadaran diri, kemerdekaan, dan kreativitas untuk
kebajikan semua. Itulah energi nasionalisme yang makin
hilang tatkala universitas-universitas kita yang makin komersil
hanya ditujukan untuk mencetak calon-calon buruh tingkat
tinggi dengan selera borjuis yang kurang peduli akan nasib
bangsanya. Pendidikan adalah ibu peradaban dan ini haruslah
menjadi pusat perhatian utama jika peradaban manusia
Indonesia masa depan adalah peradaban yang mencerdaskan
kehidupan bangsa dan bukan peradaban imitatif dan
konsumtif.

d. Adalah pemenuhan serta jaminan negara akan kebutuhan hak-


hak dasar dan/atau hak-hak asasi warga-negara. Hanya
dengan pemenuhan dan jaminan demikian yang bisa
meyakinkan rakyat apakah mereka sebagai anak bangsa ini
sudah merdeka atau masih terjajah. Inilah pula sesungguhnya
terjemahan aktual Pembukaan UUD 1945, yang di dalamnya
iklusif pandangan hidup Pancasila dan akan tetap menjadi
rujukan yang valid dan progresif untuk dibawa memasuki abad
ke-21.

e. Baik globalisasi maupun etnosentrisme lokal bukanlah


ancaman utama terhadap kebangkrutan nasionalisme,
meskipun dapat menyediakan amunisi bagi self-destructive
terhadap negara-negara bekas jajahan seperti Indonesia.

17
Globalisasi kini nyaris diperlakukan sebagai mantra kemajuan
sehingga ada pernyataan bahwa kita mau tidak mau harus
menerimanya. Globalisasi sebagai pengganti mantra
”modernisasi” di masa lalu justru hanyalah sebuah ilusi yang
akan membuatnya menjadi kotak Pandora bagi bangsa yang
lemah daya saingnya. Fakta bahwa Indonesia termasuk
ranking bawah dalam daya saingnya di Asia, apalagi di dunia
tidak bisa dinafikan.13 Namun, kecenderungan ini masih
bertahan pada rezim-rezim yang lebih kemudian. Pada
gilirannya akan juga akan menjadi ”boomerang” terhadap
melemahkan kedaulatan (sovereignty) yang menjadi prinsip
sebuah negara-bangsa untuk tidak dijajah dan didikte oleh
bangsa lain. Kini ketika nasionalisme dilucuti dari berbagai
jurusan, dan dalam pelbagai macam bentuk, makin banyak
orang Indonesia tidak peduli, kehilangan rasa bangga dan rasa
memiliki bersama terhadap tanah-airnya.

Pada akhirnya memang dalam membangun bangsa, yang paling


penting bukanlah sains dan teknologi, tetapi sebuah jiwa yang merdeka
dan penuh martabat sejalan dengan sentimen nasionalisme yang telah
dibina oleh the founding fathers di masa lalu. Teknologi tentu tidak bisa
langsung merekayasa jiwa manusia, tetapi ia bisa membantu jiwa yang
merdeka itu. Tanpa jiwa yang merdeka, teknologi hanya menelurkan
banyak hal yang menggelikan, dan sekaligus menyedihkan, cerminan
pikiran dan sukma pemakainya.

Kegamangan dan konservatisme kolonial, seperti halnya


kegamangan dan konservatisme politik—kultural sebagian besar mereka
yang telah merasakan kemerdekaan, membuat kemungkinan-
13
Fakta-fakta mengenai ini telah dikemukakan dalam makalah saya, Mestika Zed, ”Membangun
Optimisme Baru dalam Membangkitkan Daya Saing Bangsa Dari Segi Sosial Ekonomi”, Makalah
disiapkan untuk diskusi berkala dalam rangka memperingati ”Satu Abad Kebangkitan Nasional”,
diselenggarakan oleh Jurusan Manajemen FE UNP, Padang, Rabu, 28 Mei 2008.

18
kemungkinan teknologis tak bisa sepenuhnya memerdekakan manusia.
Penjajah Belanda dan Jepang barangkali sudah pergi, sudah gulung tikar,
tetapi perangai kekuasaan, ketaknyamanan, kegelisahan dan ilusi
penguasa pribumi membuat wajah Indonesia di zaman Belanda dan
Jepang, kembali muncul di era kemerdekaan.

Kalau masih ada yang bertanya atau menegasikan nasionalisme


tidak diperlukan lagi, karena zaman sudah berbeda, sehingga tidak tahu
merumuskan ”siapa musuh kita?”, itu artinya generasi sekarang gagal
membaca tanda-tanda zaman dan dengan demikian juga merumuskan
persoalan bangsanya.. Dengan demikian, harapan akan masa depan
yang lebih baik hanya ilusi apabila negeri ini dibiarkan jatuh ke dalam
kedunguan (ignorance), atau ke tangan mereka yang mengaku sebagai
pemimpin, tetapi sebenarnya mereka tengah menjerumuskan bangsa di
luar jalur yang telah digariskan oleh bapak bangas di masa lalu.

C. Penutup

1. Kesimpulan

a. Globalisme yang ada membawa dampak positif maupun


negatif terhadap nasionalisme bangsa Indonesia. Dampak
positif adalah terciptanya rasa kebanggaan sebagai bangsa
Indonesia akibat terbukanya kemudahan–kemudahan
informasi tehnologi sehingga kita mampu melihat kebesaran
negara kita. Dampak negatif terjadi apabila kita tidak siap
menyikapi secara positif dengan mempersiapkan sumber daya
manusia dengan penanaman nilai-nilai kebangsaan di segala
sektor bidang kehidupan.
b. Menurunnya rasa nasionalisme di negara kita inti
permasalahan berasal dari menurunnya tingkat kesejahteraan
rasa aman penduduk di seluruh pelosok tanah air.

19
c. Peningkatan pembangunan di segala bidang dengan
memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar manusia
dengan melaksanakan asas pemeraatan merupakan agenda
pokok yang harus dipenuhi sesegera mungkin.

d. Diperlukan peningkatan penerapan dasar-dasar kehidupan


sebagai bangsa Indonesia yang kuat dalam menyikapi
datangnya arus globalisasi, sehingga kita tetap pada jati diri
sebagai bangsa Indonesia yang selalu update dengan
perkembangan jaman namun tidak kehilangan identitas diri.
e. Globalisasi ditandai dengan kemajuan 3T (Telekomunikasi,
Transportasi dan Trasvel/touurism) di dunia yang menjadi tiada
batas akan berpengaruh dalam nilai-nilai kehidungan
berbangsa dan bernegara.

f. Nasionalisme yang sehat dan dewasa makin mendesak


dibangkitkan kembali. Jika ini bisa dibangun kembali,
globalisasi atau primordialisasi lokal segencar apa pun
mengintainya, takkan mungkin bisa menggoyahkan
nasionalisme Indonesia, apalagi hendak menghapuskan hal-
hal sarat makna (the meaningful) di dalamnya.

2. Saran

Secara sederhana dapat disarankan sebagai berikut :


a. Tumbauhkan rasa nasionalisme melalui kearifan lokal, sehingga
kebijakan pengembangan kearifan lokal bukan sebagai wahana
perpecahan namun justru memperkuat rasa persatuan dan
kesatuan ddengan mengoptimalkkan potensi lokal yang ada.
b. Pemenuhan rasa aman dan nyaman dalam berkehidupan
berbangsa dan bernegara

c. Pemerataan hasil pembangunan yang mampu meningkatakan


taraf hidup rakyat terutama dengan pemenuhan kebutuhan dasar

20
manusia yakni sandang pangan papan sehingga penanggulangan
kemiskinan akan terwujud.

d. Mencapai pendidikan dasar untuk semua


e. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan

f. Menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu


dan anak, memerangi penularan HIV, malaria dan penyakit
menular lainnya serta memastikan kelestarian lingkungan hidup

g. Membangun kemitraan global untuk pembangunan

21

You might also like