Professional Documents
Culture Documents
A. Pendahuluan
1. Latar belakang
1
Pada saat satu abad ”Hari Kebangkitan Nasional” (Harkitnas),
diperingati secara besar-besaran tahun lalu di Stadion Bung Karno. Tak
hanya lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi juga cukup unik,
dan agaknya baru pertama kali terjadi. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menginstruksikan agar peringatan 100 Tahun Harkitnas
diperingati sepanjang tahun 2008. Ada juga kegiatan inti lainnya. Di tiap-
tiap provinsi diinstruksikan mengumpulkan ”tanah” dan ”air” dalam jumlah
tertentu, kemudian dibawa oleh masing-masing delegasi daerah ke
Jakarta. Semuanya, mulai dari pengambilan ”tanah” dan ”air” di daerah,
demikian penyambutan di Jakarta penuh dengan upacara. Begitulah tiap
bulan sepanjang tahun, kalender Indonesia ditandai tanggal ”merah”.
Sebagian besar berkenaan dengan hari bersejarah. Umumnya diperingati
dengan serangkaian upacara. Para pegawai negeri melakukan apel
bendera, sambil mengulang-ulang kegiatan lainnya: lagu kebangsaan,
pembacaan teks Pancasila, berdoa, dan berziarah ke makam pahlawan.
Pada moment itu, peringatan bersejarah merupakan gudang mengenang
’kebesaran’ masa lampau dan pidato resmi yang diedarkan secara
nasional mengulang-ulang kisah sejarah, dengan retorika yang makin
merosot ke dalam kata-kata tanpa solusi masalah masa kini.
2
nasionalisme atau bahkan sebaliknya? Dikarenakan globalisasi dianngap
sebagai ancaman global dalam pembangunan misalnya ancaman sosial
ekonomi, konflik antar negara, konflik internal, Senjata nuklir biologi, kimia
radiologi, terorisme dan kejahatan lintas negara (TOC). Banyak sekali
muncul pertanyaan yang timbul jika kita bicara tentang hal ini.
2. Rumusan masalah
B. Pembahasan
1. Pengertian nasionalisme
3
untuk mempertahankan negerinya, tempat hidup dalam menggantungkan
diri.
4
Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri
mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka
tetapi menolak RRC karena pemerintahan RRT berpaham
komunisme.
e. Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme
kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme
etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih
keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan
suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip
masyarakat demokrasi.
f. Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana
negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama.
2. Pengertian globalisme
5
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah
universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali
sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi
mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses
sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa
seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain,
mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi
dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya
masyarakat.
6
c. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda
menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan
perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan
multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade
Organization (WTO).
d. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media
massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan
olah raga internasional). Saat ini, kita dapat mengkonsumsi
dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-
hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam
bidang fashion, literatur, dan makanan.
e. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang
lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-
lain.
7
homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki
pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses
tersebut.
b. Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik
perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa
globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran
dan bertanggung jawab.
c. Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah
sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya
adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat)
yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang
homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar
dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk
kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).
d. Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah
terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah
sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-
besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi
sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa
yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap
lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
e. Para transformasionalis berada di antara para globalis dan
tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah
sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka
juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal
keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa
globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat
hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah
kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung".
Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama
ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat
dikendalikan.
8
Adapun reaksi masyarakat di dunia ada yang pro namun
ada juga yang kontradiksi. Pendukung globalisasi (sering juga disebut
dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa globalisasi dapat
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat
dunia.
9
mengontrol dan mengalirkan dana kepada suatu negara, bukan kepada
suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai hasilnya, banyak pinjaman yang
mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang kemudian
menyelewengkan dan tidak menggunakan dana tersebut sebagaimana
mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam lilitan hutang negara, dan
sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun. Karena tingkat
kemakmuran menurun, akibatnya masyarakat negara itu terpaksa
mengurangi tingkat konsumsinya; termasuk konsumsi barang impor,
sehingga laju globalisasi akan terhambat dan -- menurut mereka --
mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia.
10
3. Nasionalisme diantara terpaan globalisme
3
Lihat kritik Andre Gunder Frank terhadap “sistem dunia” Wallerstein, “A Theorerical Introduction to
5000 Yerasr of World System History”, dalam Review, Vol. XIII, No. 2 (Spring 1990), 155-250.
11
nasionalisme ― Nations do not make states and nasionalisms but the
other way round.4
4
Eric J. Hobsbaum, Nations and Nationalism since 1780. Programme, Myth, Rality (Cambrdige:
Cambrdige University Press, 1992), hal. 10.
5
Ben Anderson, Imagined Community. Reflections on the Origins and Spread of Nationalism (London:
Verso, 1992), hal. 6-7.
12
Politik identitas jualan negara-negara kapitalis dan seruan mereka
akan ”hukum dan ketertiban” dunia lebih merupakan keluhan penyakit
ketimbang diagnosis atau terapi untuk kemaslahatan ”masyarakat dunia”.6
Klaim mereka sebagai bagian warga komunitas dunia yang hendak
menyeragamkan (homogenisasi) nilai-nilai universal berwajah
”marketisme” di atas entitas bangsa, bahasa, ras, etnik, nasionalitas yang
berbeda-beda, hanyalah ilusi.
13
pihak tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat mereka. Yang
benar-benar diuntungkan oleh ikatan-ikatan global semacam itu, termasuk
dalam transaksi hutang, hanyalah pejabat pada rezim yang berkuasa
manakala inkam mereka meningkat dari tahun ke tahun. Pernyataan
Presiden Soeharto saat masih berkuasa dalam menanggapi globalisasi,
bahwa ”senang tidak senang, mau tidak mau” proses itu harus dimasuki,
memiliki banyak arti. Dalam satu dan lain hal boleh jadi ditafsirkan
lemahnya kedaulatan negara karena semakin didikte oleh kekuatan luar.
Lebih penting lagi karena eksperimen nasionalisme versi globalisme itu
essentially memoryless, kata Smith.10
14
lama akan menjadi lemah dan bimbang manakala ”cetak-biru” Indonesia
Merdeka” benar-benar dijalankan dengan spirit nasionalisme ke-
Indonesiaan yang telah dirintis sejak satu abad lalu.
Bahaya paling besar agaknya bukan datang dari kiri atau dari
kanan; dari sentimen etnonasionalisme lokal, atau dari fenomena
globalisme internasional, melainkan justru dari tengah, yaitu dari dalam
tubuh rezim birokratik itu sendiri. Rezim birokratik yang mengidap
narsistik, cenderung meneruskan tradisi buruk birokrasi kolonial dalam arti
orientasinya pada power culture dan bukan pada service cultur. Namun
sebaliknya warisan terbaik birokrasi kolonial, yaitu watak
profesionalfimenya, keteraturan, dan ketelatenanannya (zakelijk) dalam
perencanaan dan mengurus setiap inci persoalan justru tidak diteruskan.12
12
Mestika Zed, “Birokrasi, Birokrat & Kultur Pejabat Indonesia: Upaya Pemahaman tentang Tipologi
Aparatur Negara dan Strategi Pengembangannya ke Depan,” Makalah pada Seminar, ”Peningkatan
Kompetensi Widyasawara dalam Membangun Budaya Kerja Menuju Lembaga Diklat yang Berstandar
Internasional”, Litbang Pemda Sumatera Barat, Padang, Rabu, 29 Oktober 2008.
15
tantangan zaman dengan tetap berpijak pada landasan nilai-
nilai hakiki dari nasionalisme ke-Indonesiaan yang telah
dirumuskan dalam ”cetak-biru” Indoensia Merdeka itu
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu.
16
c. Tugas mencerdaskan kehidupan bangsa, dari inlader
bermental anak jajahan yang rendah diri, ”bangsa kuli dan kuli
bangsa-bangsa, menjadi bangsa yang mandiri, dan memiliki
kesadaran komunitas, sejauh ini, tampaknya masih jauh
panggang dari api. Kebijakan pendidikan kita selama ini
bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan
mencerdaskan intelek individu-individu dengan skill yang
tinggi, tetapi minus filosofi pendidikan yang meletakkan nilai-
nilai kesadaran diri, kemerdekaan, dan kreativitas untuk
kebajikan semua. Itulah energi nasionalisme yang makin
hilang tatkala universitas-universitas kita yang makin komersil
hanya ditujukan untuk mencetak calon-calon buruh tingkat
tinggi dengan selera borjuis yang kurang peduli akan nasib
bangsanya. Pendidikan adalah ibu peradaban dan ini haruslah
menjadi pusat perhatian utama jika peradaban manusia
Indonesia masa depan adalah peradaban yang mencerdaskan
kehidupan bangsa dan bukan peradaban imitatif dan
konsumtif.
17
Globalisasi kini nyaris diperlakukan sebagai mantra kemajuan
sehingga ada pernyataan bahwa kita mau tidak mau harus
menerimanya. Globalisasi sebagai pengganti mantra
”modernisasi” di masa lalu justru hanyalah sebuah ilusi yang
akan membuatnya menjadi kotak Pandora bagi bangsa yang
lemah daya saingnya. Fakta bahwa Indonesia termasuk
ranking bawah dalam daya saingnya di Asia, apalagi di dunia
tidak bisa dinafikan.13 Namun, kecenderungan ini masih
bertahan pada rezim-rezim yang lebih kemudian. Pada
gilirannya akan juga akan menjadi ”boomerang” terhadap
melemahkan kedaulatan (sovereignty) yang menjadi prinsip
sebuah negara-bangsa untuk tidak dijajah dan didikte oleh
bangsa lain. Kini ketika nasionalisme dilucuti dari berbagai
jurusan, dan dalam pelbagai macam bentuk, makin banyak
orang Indonesia tidak peduli, kehilangan rasa bangga dan rasa
memiliki bersama terhadap tanah-airnya.
18
kemungkinan teknologis tak bisa sepenuhnya memerdekakan manusia.
Penjajah Belanda dan Jepang barangkali sudah pergi, sudah gulung tikar,
tetapi perangai kekuasaan, ketaknyamanan, kegelisahan dan ilusi
penguasa pribumi membuat wajah Indonesia di zaman Belanda dan
Jepang, kembali muncul di era kemerdekaan.
C. Penutup
1. Kesimpulan
19
c. Peningkatan pembangunan di segala bidang dengan
memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar manusia
dengan melaksanakan asas pemeraatan merupakan agenda
pokok yang harus dipenuhi sesegera mungkin.
2. Saran
20
manusia yakni sandang pangan papan sehingga penanggulangan
kemiskinan akan terwujud.
21