Professional Documents
Culture Documents
***
sebulan berlalu dari kejadian pesantren itu. Maya berusaha dengan sepenuh hatinya
untuk melupaka Arga. Tapi sayang,Neneng tidak mendukung,di setiap waktu dia malah
asyik berkata, “Iya,kata kak Arga…” semua makin mengingatkannya pada Arga,sosok
lelaki yang baru membuka hatinya kembali. Maya tidak pernah cerita apapun perihal
perasaan itu pada Neneng. Dia ingin menyimpannya sendiri,untuknya,tidak untuk yang
lain.
Pertanyaan Arga malam itu,perihal dirinya yang tidak berhijab,kini terngiang begitu
jelas di pikirannya. Malam ini,Maya tidak henti2nya mondar mandir di kamarnya.
Padahal besok,ujian terakhir menantinya. Tapi pikirannya terus dipenuhi
pertanyaan,mampukah dia menghijabi diri juga hatinya? Makin lama mondar
mandir,Maya makin tidak menemukan jawaban itu. Akhirnya dia memutuskan minta
pendapat Neneng.
Maya mengambil handphonenya dan langsung menekan nomor hp Neneng. Setelah
suara Neneng terdengar,Maya langsung menceritakan semuanya dan kemudian meminta
pendapat. Jelas Neneng terdengar bahagia. Karena memang sebulan ini,setelah Arga
menyuruhnya kembali mengajak Maya pakai hijab,Neneng sangat getol mengajak Maya
pakai hijab. Neneng banyak menceritakan manfaat dan kegunaan menutupi aurot kita.
Kata Neneng,untuk menghindari fitnah.
“Alhamdulillah may!! Kalau aku sih ya ngedukung banget. Tapi semua kembali lagi ke
kamu. Gimana kemantapan kamu,dan yang paling penting niat kamu. Aku nggak mau
kamu buru2 pakai hijab,cuma karena aku,atau karena orang lain mungkin.” Dan ada
nada menggoda di balik kata2 Neneng terakhir.
Maya agak tersinggung. Tapi sudahlah,kini tinggal bagaimana dia membenahi niatnya.
Memang tadi sebelum menelpon Neneng,Maya ingin cepat-cepat pakai hijab karena ia
ingin menjawab pertanyaan Arga,dia sekedar ingin menunjukkan ke Arga,ini lho Maya!!
Aku juga bisa pakai hijab!! Tapi kini,selesai menlpon Neneng,Maya tersadar. Ya,yang
penting itu niat. Maya mulai duduk khudlu’,menata hati,menghilangkan sejenak ego
kemanusiaannya,kesombongan insaninya. Biar semua yang ingin dia lakukan,semua
hanya untukNya,Sang Kholiq.
***
“Mabruuuk!!” senyum Neneng langsung menyambutnya. Menyambut Maya yang
baru,yang lebih anggun dan lebih islamiy. Sosoknya kini sempurna sudah sebagai
seorang muslimah sejati. Langkah awal untuk lebih menghijabi hatinya. Jalan untuk bisa
lebih dekat dengan Rabbnya. Semua menyambutnya dengan senyum hangat. Apalagi
ujian akhir mereka sudah terlewati,tinggal menunggu hasil ujian.
“May,terus abis lulus SMA kamu mau lanjut di mana? Aku denger2 kabar,katanya
kamu ditawarin beasiswa di Australia ya?”
Maya tersenyum tipis,dengan hijabnya,kini ia bisa lebih kalem dan lebih feminine
dalam berbicara,juga perilakunya. “Iya,kemaren pak bambang udah kasih aku dokumen
buat aku isi. Tapi kayaknya aku tolak deh.”
Neneng tersentak kaget, “Kenapa may? Kesempatan nggak datang dua kali lho.”
“Kamu bener,makanya aku milih nolak,karena kesempatan mendapat hidayah itu aku
takut nggak akan datang lagi.”
“Maksud kamu?” Barulah Maya menceritakan semuanya. Pertama tentang
kegalauannya dan keinginannya yang begitu kuat untuk mondok. Hanya satu yang dia
ingin,ingin lebih baik dari sekarang. Lebih menjiwai sosok muslimnya. Dia tidak ingin
cuma sebatas islam KTP. Makanya tadi,dia sudah mengembalikan semua dokumen-
dokumen ke pak Bambang. Dan minggu depan,tanpa nunggu hasil ujian,Maya siap
memulai kehidupan santrinya.
“Doanya aja Neng…”
***
Maya berjalan terburu-buru. Kata mbak-mbak pengurus, dek Naili dari tadi nangis dan
nggak ada yang bisa diemin. Katanya dia terus manggil-manggil nama Maya. Makanya
setelah sekolah diniyah,Maya langsung disuruh cepat ke rumah kiai. Maya membuka
pintu ndalem bawah. Baru kali ini-selama dua bulan dia tinggal di pondok AlMadaniy-
dia masuk ndalem lewat pintu utama.
Maya kaget,sosok lelaki berdiri tepat di depannya,sepertinya dia ingin keluar. Mungkin
ini yang kata mbak-mbak putranya abah yang paling ganteng,gumam Maya dalam hati.
“Kamu Maya?” Maya hanya mengangguk sambil terus tertunduk. “Cepetan ke kamar
Naili,dari tadi dia ngamuk nyari-nyari kamu!!”
Maya mengangguk dan langsung bergegas naik,tapi di tengah-tengah tangga,ada rasa
penasaran menyusup ke hatinya,mendorongnya untuk menoleh ke bawah,berharap
semoga bisa melihat gus Abid,yang tadi terkesan galak.
Maya berhenti sejenak dan memberanikan diri menoleh. Tanpa dia sangka,ternyata gus
Abid juga sedang asyik memandanginya. Jadilah mereka sama-sama malu,wajah putih
Maya langsung memerah. Dia segera menundukkan wajahnya dan melanjutkan jalannya
naik ke kamar dek Naili. Abid lebih salah tingkah lagi,gelagapan ia melengos,sambil
berdehem,lalu keluar.
***
semenjak itu,pikiran Abid terus dipenuhi wajah putih Maya dengan jilbab merah
mudanya. Apalagi ketika wajah putih itu memerah,subhaanallah,,,betapa Allah
menunjukkan kuasaNya dalam menciptakan manusia dengan sebagus-bagusnya bentuk.
Fuuuuuuuuuh…Abid menghela nafas untuk kesekian kalinya. teman yang juga
santrinya,bingung mendapatinya seperti sangat bingung akhir2 ini.
“Gus,aku perhatikan semingguan ini seperti ada seseorang yang mengganggu
pikiranmu. Nggak mau cerita neeh??”
Abid baru tersadar dari lamunannya. “Hah? Nggak juga kok. Siapa?”
temannya tertawa keras. “Bid,udahlah,kalau untuk masalah itu,anggap aku
temanmu,aku juga akan menghilangkan gelar gusmu. Kita sama2 manusia,wajar kalau
bayangan itu menghinggapi kita. Ayo cerita! Siapa tahu aku bisa Bantu.”
Abid merasa benar dengan kata-kata temannya barusan. Langsung dia menceritakan
tentang sosok santri yang begitu full memenuhi pikirannya. Dan dia rasa,kini dia benar-
benar telah jatuh cinta dengannya. Apalagi setelah dia cari-cari informasi tentang cewek
ini,dia tidak menemukan kecuali yang baik tentang dia. Itu semakin mantap
membuatnya ingin meminang perempuan ini.
“Gitu too…emang kalau boleh tahu siapa sih santri putri yang sudah bikin temen plus
gusku ini ketar ketir kayak gini?”
“Afwan bro,aku belum ingin terlalu mempublikasikan secara detail. Nanti kalau sudah
aku lamar dan dia ok,baru aku ceritakan semua tentang dia!”
***
Maya benar-benar capek. Dia habis mengantarkan salah seorang santri ke rumah sakit.
Belum habis rasa capeknya,mbak Nita,kepala kesehatan putri meminta tolong Maya
untuk mengantar titipan obat ke ruang kesehatan putra. Akhirnya dengan badan
lemas,terik matahari yang begitu menyengat,Maya mengangkat dua plastik isi obat-
obatan yang baru tadi dia beli.
Akhirnya sampai juga! Maya langsung mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum.” Jawaban
terdngar di dalam,tidak lama pintu terbuka. Bruuuk!!! Dua plastik lepas dari genggaman
Maya. Pandangannya masih lekat di wajah di hadapannya ini. Wajah yang setia
menemani pikirannya. Begitu juga dengan sosok di hadapannya,dia tidak jadi berkata-
kata. Terpana juga melihat siapa perempuan di hadapannya. Lama…seakan waktu
berhenti berputar.
“Astaghfirullah..” lirihan kecil dari mulut Arga mengakhiri aksi terpanaan mereka
berdua. “Kamu Maya kan?”
Maya salah tingkah langsung mengambil kembali dua plastik yang tadi terjatuh.
Kemudian tersenyum tipis. Lalu Arga menyuruhnya masuk. Maya langsung
mengutarakan maksud kedatangannya ke situ.
“Tadi mbak Nita nyuruh aku nganter ini. Katanya kesehatn putra lagi butuh banyak
obat2an.” Arga langsung sibuk mengecek obat-obatan yang dibawa Maya. Dia
menyuruh Maya untuk menunggu sejenak,karena ia harus mencatat semuany,kemudian
menyalinnya dan meminta Maya untuk memberikannya ke nita.
Di tengah2 sibuk mencatat,Arga masih sempat mengajak Maya ngobrol. Tapi Maya
hanya menjwab seadanya,dia lebih memilih diam. Dia takut perasaan itu terlhat. Tapi
Arga tidak henti-hentinya bertanya. Kapan dia mulai pakai hijab? Kapan dia mulai jadi
santri di sini? Apa yang bikin dia akhirnya mau mondok? Dan banyak lagi. Dan Maya
dengan sabar menjawabi semua pertanyaan.
Pencatatan selesai. Arga langsung menyerahkan dokumen untuk nita. “Syukron udah
sabar nunggu.” Lagi-lagi Maya hanya tersenyum lembut kemudian pamit keluar. Dan
senyum itu,,,masih tertinggal di hati Arga. Mengembalikan bayangan senyumnya yang
dulu.
***
“May,dipanggil ke ndalem.” Maya yang lagi asyik muthola’ah,langsung menaruh
kitabnya dan membenarkan jilbabnya. ‘Tumben dek Naili jam segini manggil aku?’
Maya memasuki ndalem dari pintu belakang. Baru hendak menaiki tangga,ummi
memanggilnya. “Maya,ke sini nak!”
“Iya ummi,ada apa? Katanya dek Naili manggil saya ya mi’?
“Bukan Naili yang panggil kamu,tapi umi.” Maya agak kaget. Tumben ummi ada perlu
sama dirinya.
Setelah Maya duduk,ummi menceritakan sedikit tentang sosok Abid ke Maya. Maya
agak bingung,ada apa ini,kok dipanggil hanya untuk cerita gus Abid dari kecil. Ada
sedkit kecurigaan menyusup ke hati Maya. Sampai pada akhir cerita,ummi meminta
sesuatu yang tidak enak bagi Maya untk menolak. “Kamu mau nak,kalau umi jodohin
sama Abid?”
Kecurigaan Maya terjawab. Umi melanjutkan, “Baru kali ini Abid minta dilamarin
seorang perempuan. Padahal umi dan abah sudah dari dulu ngasih dia pilihan permpuan-
perempuan,tapi dia selalu bilang nggak sreg. Makanya ketika sekarang dia minta
kamu,umi langsung mengiyakan. Karena umi tahu kamu juga anak baik. Gimana?”
Maya terdiam. Tidak mungkin juga dia langsung bilang iya,apalgi bilang tidak. Dan umi
juga menangkap arti dari diamnya Maya. Umi juga tidak memaksa Maya menerima.
Umi menyarankan Maya musyawarah dengan keluarganya dan tidak lupa
istikhoroh,karena ini bukan untuk main-main.
***
Akad pernikahan sudah berlalu. Maya masih belum bisa menghilangkan sisa-sisa
tangisnya. Kini rasa bercampur di hatinya. Sedih,sakit,juga senang,tapi hanya sedikit.
Dia mengingat tadi ketika di masjid,setelah ijab qobul,semua asaatidz menghampiri
Abid,mengucapkan selamat. Dan lelaki yang pernah dia cintai-pun sampai saat ini-orang
yang paling lama berbincang dengan Abid. Sebenarnya Maya tidak berani
menatapnya,tapi beberapa kali Maya meliriknya,Maya selalu mendapati kedua mata
Arga sedang menatapnya dengan tatapan pilu. Dari situ Maya tahu,Arga juga merasakan
seperti yang dia rasakan!!!
Tapi kenapa baru sekarang dia mendapati rasa itu? Kenapa malah di saat-saat seperti ini
dia menyadari bahwa di hati mereka,ada cinta yang begitu kuat? Kenapa setelah dia
sudh menjadi milik Abid,dia baru tahu Arga menyimpan rasa untuknya,sehingga
menumbuhkan kembali rasa di hatinya? Allahummaghfirlii…
***
tiga bulan sudah Maya menjalani kehidupan barunya,menjadi istri seorang gus Abid.
Gus idola para santri putri. Ada sedikit bangga juga bisa bersanding dengannya. Apalagi
Abid yang sangat baiiik kepada permpuan. Dia begitu menjunjung hak-hak
perempuan,tapi tanpa membuatnya lupa akan hakikatnya. Maya berhasil menghapus
rasa yang sempat menyakitkannya ketika awal2 masa pernikahannya. Dia hampir
menceritakan semua pada suaminya,dan memintanya untuk mengerti sehingga mau
melepasnya dan merelakannya. Tapi alhamdulillah,berkat kesabaran Abid,semua
berhasil dia lewati. Sampai saat itu…
“Yang,aku tuh bingung sama Arga. Sampai sekarang kok dia masih betah ngejomblo
gitu ya?”
Maya tidak berani komentar apa-apa. Dia takut salah ngomong.
“Eh yang,gimana kalau kta jodohin aja sama Fitri? Dia kan sebentar lagi selsai
mondoknya? Gimana menurut kamu?”
Maya serasa tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Memang,dia sekarang
sudah berhasil melupakan Arga,tapi kalau nanti harus jadi saudara seipar,tinggal satu
lingkungan,pasti rasa itu akan muncul lagi,malah mungkin akan semakin menjadi-jadi.
Tidak rela melihatnya dengan orang lain. ‘astaghfirullah…aku ini sudah jadi istri orang.’
Baru tersadar dari naza’ pikirannya,Maya sudah mendapati kamarnya kosong.
Sepertinya Abid langsung mau matur ke abah uminya untuk menawarkan
Arga,sahabatnya.
***
semua berjalan begitu cepat. Abah umi yang langsung setuju dengan usulan Abid
menjodohkan Fitri dengan Arga. Abid yang kemudian menawarkan Arga tentang
usulannya. Dan Arga yang dengan lugas menjawab, “Sam’an wa tha’atan.”
Dan kini,Maya sibuk menyiapkan pakaian suaminya. Kebetulan Abid ada acara di
beberapa tempat di jawa tngah. Sekalian dia ingin ke pesantren Fitri,memboyongkannya
sekaligus mengabari perihal perjodohannya dengan Arga.
“Emang mas yakin Fitri bisa suka dnegan Arga?”
“Aku belum cerita ke kamu ya yang? Dulu itu Fitri sempet naksir lho sama Arga.
Lagian cewek mana sih yang nggak akan terpincut sama Arga,dokter gagah nan ganteng
gitu,ya kan?” kata2 itu langsung menembak dalam hati Maya. ‘ya…sampai akupun
masih tertahan olehnya…’
semua barang sudah siap. Koper dimasukkan ke mobil. Maya tidak bisa ikut mengantar
ke bandara. Badannya lemas. Mungkin terkuras pikirannya menyiapkan lahir bathin
menerima Arga da Fitri.
“Yang,I love u.” Maya hanya tersenyum tipis. Setelah mencium kening istrinya,dengan
senyum yang paling manis,Abid meninggalkan rumah.
***
Maya tidak bisa tidur. Bayangannya entah pergi ke mana?? Hatinya masih dipenuhi
ketakutan. Bagaimana ini?? Dia merasa Argalah penyebab kegalauan ini. Maya mondar
mandir,tidak tahu apa yang mau dia lakukan. Akhirnya ia memilih menulis surat untuk
Arga. Mengungkapkan semua,,,tentang perasaannya,juga tentang kerelaannya kini…
melepaskan dia bersama Fitri.
Surat sudah jadi. Baru selesai melipat,pintu diketok. Spontan Maya menyelipkan surat
di tumpukan buku di atas meja. Maya membuka pintu. Didapatinya umi sudah berbalut
jilbab. ‘ada apa ini,malam2 begini umi ke sini?’
“May,yang sabar ya may. Abid…suamimu…”
Maya setia menemani umi yang masih menangis dari tadi. Mereka menunggu jenazah
Abid datang. Katanya sekarang sudah di perjalanan dari bandara ke rumah. Mungkin
sebentar lagi sampai.
Abid meninggal tabrak lari di depan pesantren tempat Fitri mondok. Setelah
memboyongkan Fitri dan megabarinya tentang perjodohan itu,ketika Abid hendak
mnyebrang,sepeda motor kencang menabraknya. Seketika dia meninggal. Tapi
sebelumnya,dua nama yang digumami Abid,’Maya…Arga…’
***
***
***
bismillahirrahmanirrahiim
kak Arga,yang mudah2an selalu dalam lindungan dan limpahan rahmatNya..amien
sebelumnya aku minta maaf atas kelancangan surat ini. aku juga sadar siapa aku,dan
tidak sepantasnya untukku sekarang menulis surat untuk kak Arga,juga untuk lelaki
manapun. Tapi,hati ini yang mendorong tangan untuk menulis,memaksa otak untuk
berpikir merangkai kata2 untuk sang pujaan hati.
Kak Arga,surat ini,saksi bahwa dulu dan sampai sekarang ternyata aku mencintai kak
Arga,dengan sepenuh hati,sejak pertama kak Arga membopongku. Sampai saat
ini,wangi tubuh kak Arga seakan masih melekat di hidungku. Sampai saat ini,bayangan
kak Arga msih terus menemaniku. Tapi aku sadar,kini aku sudah menjadi milik orang
lain,tidak sepantasnya aku masih menyimpan rasa itu. Insya ALLAH,aku akan berusaha
membuangnya,dan wallahi,aku rela melepas. Aku rela melihat kak Arga dengan
perempuan lain…seperti relanya kak Arga ketika melihat aku di samping mas Abid.
Aku,yang berusaha berhenti mencintaimu
***
Maya terus membuka halaman demi halaman semua buku di atas meja. Tapi nihil,surat
itu belum juga ketemu. Sebenarnya dari kemarin Maya sudah mau membakar surat
itu,tapi Fitri seakan terus ingin di sampingnya. Setiap waktu Fitri selalu main di
kamarnya. Sehingga membuat Maya lupa akan hal yang satu itu.
‘jangan sampai ada orang yang baca surat itu!! Di mana yaa?’ Maya menggumam
sambil terus sibuk mencari.
Kreeek…pintu dibuka. Maya tersentak kaget. Dia langsung pura-pura sibuk beres-beres.
***
pesantren AlMadaniy kembali tersenyum. Bahagia kembali menghampiri. Semua seakan
ikut merasakan aura cinta dua insan yang begitu besar. Cinta yang tersimpan,kini bisa
bersatu dalam ikatan suci nan halal. Semua ikut menjadi saksi,pun ruh Abid,yang sudah
tenang di alam sana,ikut merasakan kebahagiaan perempuan yang dicintainya.
“Ankahtuka wazawwajtuka Mezz Maya binti Abdullah bimahrin madzkuurin,haalan.”
“Qabiltu nikahaha wa tazwiijaha bimahrin madzkurin haalan…”
the end
CERPEN : Untuk Sahabat
| Print Cerpen
Posting cerpen by: fairy
Total cerpen di baca: 11925
Total kata dlm cerpen: 814
Tanggal cerpen diinput: Sun, 10 May 2009 Jam cerpen diinput: 11:26 AM
6 Komentar cerpen
Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit
mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu
senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah
kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku
memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama
pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah
hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku
mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini
belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan
dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi
paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku
mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku
kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman
yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di
perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris
bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun.
Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa
kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu
dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku
selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada
seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya.
Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah
juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga
sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan.
Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku.
Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk
sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok
nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa,
Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau
nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita
tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi
sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya
dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu
masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi
jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue.
Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu.
Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu.
“Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,”
Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu
menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,”
kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga
tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu
bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita
sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu
menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak
pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu
mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba
memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu
nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin
gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi
berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku merasakan kehampaan sejenak.
Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah
sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’
pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya.
Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang
kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku
tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan
yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu
kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat
baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan
merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan
kita. Maka jangan pula tinggalkannya.
“Anak kurang ajar! tak tahu diri! Perempuan macam apa kamu ini heh!?
Memalukan!” teriakan-teriakan itu datang dari kamar kakakku Farah, yang letaknya
tak jauh dari kamarku. Aku yang saat itu sedang tertidur , terbangun karena kaget.
“ Ya Allah , ada apa ini?” tanyaku dalam hati.
“ Siapa bapak anak haram yang sedang kamu kandung itu heh? siapa?” itu suara
Bapak, Bapak yang penuh amarah.
“ Ya Allah, ternyata kak Farah…” aku tak sanggup lagi meneruskan ucapan lirihku,
yang aku lakukan hanya menangis, menangis, dan menangis.
“Ya Allah, cobaan apa yang sedang kau timpakan pada kami?”
*** *** ***
1 minggu yang lalu
Ku hampiri kak Farah yang terbaring lemah dikasurnya.
“ Kenapa Kak? Sakit ya?” tanyaku cemas.
“ Iya, sepertinya maag Kakak kambuh, perut kakak mual, kepala pusing! Jawab kak
Farah, lemah sekali suaranya waktu itu.
“ Ke dokter ya Kak?” tanyaku cemas.
“ Nggak usah Fa, Kakak udah agak mendingan kok!” jawabnya lirih.
“ Mama sama papa tahu Kak?”
“Nggak, jangan kasih tahu mereka yach? Kak nggak mau mereka cemas, lagian
besok mereka sudah pulang kan?jawab Kak Fara. Ya, waktu itu Mama sama Papa
memang sedang pergi ke luar kota, biasa bisnis! Hal yang selalu dinomorsatukan
papa dan mama dibandingkan kami. Meskipun ya, kami telah dewasa tapi
sebenarnya kami masih membutuhkan mereka, perhatian, dan bimbingan mereka.
“ Fa…!” sapa kak Farah membuyarkan lamunanku.
“ Ya?” jawabku.
“ Apakah Allah akan memaafkan hambanya yang telah berbuat dosa besar?” sesaat
aku terpana, merasa heran mendengar pertanyaan kak Fara beribu prasangka
bersarang di benakku, tapi segera kutepis prasangka-prasangka itu.
“ Tentu saja Kak, Allah itu kan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha
Pengampun! Asalkan kita memang benar-benar mau bertobat dan memperbaiki
kesalahan kita, Allah pasti memaafkan. Kenapa sih Kak, nanyanya kok gitu?”
tanyaku.
Tanpa menjawab pertanyaanku, kak Fara bertanya lagi.
“ Fa, bagaimana menurutmu tentang seseorang yang hamil di luar nikah?”
“ Astagfirullah, apakah…? hentikan pikiran-pikiran burukmu Farhah! Dosa
bersyu`udzhon terhadap orang lain!” bisik sisi lain hatiku, mengingatkan!
“ Ya jelas sekali itu dosa Kak, berzina itu kan dosa besar, bukankah allah
menghendaki adanya pernikahan untuk menghindari hal itu? Makanya dalam agama
Islam itu nggak ada yang namanya pacaran!” sekilas aku mencoba menangkap
ekspresi wajahnya yang menatap hampa langit-langit kamar.Seperti ada beban berat
di wajah ayu itu. Ah Kakak ada apa denganmu? Jangan membuatku takut.
“ Lalu…, bagaimana dengan anak yang dikandungannya, apakah ia anak haram?
Apakah ia akan ikut menanggung dosa ibunya?” tanyanya lagi tanpa menatapku,
tatapannya tetap lurus, hampa!”
“ Tidak Kak! Seorang bayi yang lahir dari rahim seorang pelacur sekalipun! Ia tetap
lahir dalam keadaan suci, tanpa dosa. Dia tidak akan ikut menanggung dosa ibunya,
dosa ibunya adalah untuk ibunya. Hanya saja…,mungkin karena caranya yang
haram, sehingga terkadang si bayi itu seperti terbelenggu dalam kata-kata itu.” Aku
jawab saja pertanyaan kak Fara semampuku dan setahuku.
Aduh, kak Fara kok nanyain hal ginian sih! Aku kan kurang faham tentang hal-hal
seperti itu.
“ Tapi masyarakat luar biasanya,…” belum selesai ucapan kak Fara, aku langsung
memotongnya.
“ Allah Maha mengetehaui, walau masyarakat mencap bayi itu anak haram, tetapi
dia tetap bayi mungil yang tak berdosa, dia hanya korban kesalahan orang tuanya”.
“ Ada apa sih Kak? Kok nanyain yang kayak gitu sih, jadinya aja Fa kayak yang sok
tau banget?” tanyaku.
“ Nggak Fa, kak Fara Cuma pengen nanya aja kok! Sebenarnya kamu beruntung
sekali dititipkan sama nenek, Fa!”
“ Lho!?” tanyaku heran.
“ Ya, disana kamu lebih diperhatikan, nenek pasti menggemblengmu dengan nila-
nilai agama yang kuat, buktinya kamu sudah mau berjilbab sekarang, satu hal yang
mama dan kak Fara belum lakukan. Sedang kakak…” ucapannya terputus, sesaat
terlihat kakak menarik nafasnya berat, kulihat mata yang lelah dan sarat akan beban
itu mulai berkaca-kaca.
“ Kakak di sini seperti sendirian, mama dan papa jarang sekali ada di rumah, mereka
seperti tidak menyadari masih ada kakak di sini yang membutuhkan mereka,
perhatian dan bimbingan mereka.” Kakak melanjutkan ucapannya diantara isak
tangisnya.
Aku tertunduk mendengar pernyataan kakak, benarkah aku lebih beruntung
dibandingkan kak Fara? Padahal sebenarnya aku justru merasa terbuang,
tersisihkan! Sejak kecil aku diasuh nenek karena mama merasa kelahiranku akan
menyebabkan kariernya terganggu,bahkan mama sempat akan menggugurkanku
waktu itu tetapi nenek melarangnya dan berjanji untuk mengurusku.Aku juga yakin
waktu itu, kak Fara pasti lebih sering diurus oleh mbok Iyah dibandingkan mama.
Dan papa? Papa malahan mendukung karier mama waktu itu,
bukannyamengingatkan mama akan kewajibannya yang lebih penting.
Aku jadi teringat kata-kata nenek yang bijak dan penuh kasih sayang
menyadarkanku apabila aku mulai bersyu`udzhon pada mama dan papa.
“ Mungkin mata dan hati kedua orangtuamu masih dibutakan oleh hal-hal yang
bersifat duniawi, bersabarlah dan jangan pernah lelah untuk berdoa agar hidayah
Allah datang membukakan mata dan hati orang tuamu Fa!” bijak sekali kata-kata
nenek waktu itu.
Ah, nenek yang baik bahkan Allahpun menyayangimu sehingga Dia memanggilmu
untuk kembali padanya dan aku kembali pada mamaku, beberapa bulan yang lalu.
Plak!! Ya, Allah aku tersentak dari lamunanku, kakak! Aku berlari menuju kamar
kakaku, kulihat kakak duduk bersimpuh di lantai dengan berurai airmata, dari sudut
bibirnya mengucur darah. Sedangkan aku hanya bisa mematung di sisi pintu tanpa
bisa berbuat apa-apa dan sepertinya mereka tidak menyadari kehadiranku.
“ Gugurkan kandungan itu, Fara! Jangan bikin Mama dan Papa malu!” bentak papa.
“ Jangan Mah, Pah! Fara mohon, Fara mengaku salah, Fara menyesal! Tapi, jangan
menyuruh Fara menggugurkan kandungan ini ,…Fara mohon, jangan biarkan Fara
terjerumus dalam dosa yang lebih besar!”pinta kakakku memelas, wajahnya pucat
sekali.
“ Tahu apa kamu tentang dosa? Anak durhaka!” plak!! kali ini mama yang
melayangkan tamparannya.
“ Cukup Ma, Pa! Jangan bersikap tidak adil! Walau bagaimanapun anak yang
dikandung kak Fara adalah darah daging mama dan papa juga, berbelas kasihanlah
kak Fara telah menyesali perbuatannya! Ucapku sambil menangis.
“ Fa, kamu…” mama sepertinya kaget melihatku, tapi kemudian melanjutkan
ucapannya ke kak Fara “ Baiklah, m mungkin ini juga kesalahan kami karena kurang
memperhatikanmu, tapi ingat! Kalau anak itu lahir, masukkan ia ke panti asuhan,
atau bagaimanapun caranya papa sama mama nggak mau tahu!”ucapan mama
sudah mulai melunak tapi sikap keras kepala dan angkuhnya belum hilang.
“ Ya! Sama seperti yang mama dan papa lakukan ke Fa!” kata-kata itu terlontar
begitu saja.
“ Apa maksudmu Fa?” tanya mama kaget mendengar ucapanku.
Ups! ya allah, kenapa kata-kata itu terlontar begitu saja? Terlanjur, lebih baik
kuteruskan saja ucapanku mudah-mudahan papa dan mama mau mengerti.
“ Ya! menitipkan Fa ke nenek, bukankah itu secara tidak langsung menunjukkan
kalau Mama tidak pernah menginginkan Fa, Mama menganggap kelahiran Fa akan
menghambat karier Mama, dan Papa? Papa malahan mendukung Mama. Dimana
Papa dan Mama saat Fa butuh mama, butuh Papa!? Apa yang harus Fa jawab saat
teman-teman Fa menanyakan kenapa Fa tidak tinggal dengan orangtua Fa? Aku tak
bisa menahan diriku lagi, tangiskupun meledak.
Kakak menghampiri dan memelukku, kami berdua salin bertangisan. Mama dan papa
terdiam membisu, entah apa yang ada dalam benak mereka saat itu. Ketika emosi
dan tangisku mulai mereda, aku melanjutkan ucapanku.
“ Maafin Fa sudah mengucapkan kata-kata yang kasar, Fa yakin sebenarnya Papa
dan Mama sayang sama Fa, buktinya Papa dan Mama tidak menitipkan Fa ke panti
asuhan tetapi menitipkan Fa ke nenek, orang yang begitu baik dan bijak, yang
mengajari Fa tentang banyak hal. Mama dan Papa juga selalu mengirimi uang untuk
kebutuhan Fa, menengok Fa , walaupun itu hanya lebaran waktu lebaran saja..Tapi,
bukan itu yang Fa inginkan, yang Fa inginkan waktu itu Mama, Papa dan kak Farah!”
ucapku, kutatap dua orang yang kukasihi itu. Mereka tetap diam, lalu papa
meninggalkan kami tanpa sepatah katapun diikuti mama.
Tinggallah aku dan ka Fara di kamar itu, kuhapus airmata kak Fara, ku obati luka di
bibirnya.
“ Jangan takut kak, Fa akan selalu sayang sama Kakak ! ucapku.
Kak Fara tersenyum menatapku “ terima kasih Fa, maafkan Kakak!” ucapnya lirih,
dipeluknya aku dengan penuh kasih. Ya Allah, berilah kami kekuatan untuk
menghadapi cobaan ini.
*** *** ***
6 bulan telah berlalu, kandungan kak Fara sekarang sudah memasuki bulannya. Kak
Fara sendiri terlihat lebih dewasa sekarang, dia tampak begitu tegar menghadapi
gunjingan orang-orang tentangnya, apalagi setelah mas Andra orang yang
menghamilinya lepas dari tanggung jawab dengan alas an ingin menyelesaikan
kuliahnya ke luar negeri.Huh! pengecut sekali dia, dia menyampaikan keputusannya
tersebut hanya melalui sepucuk surat tanpa alamat, mas Andra menghilang tanpa
kabar berita. Papa dan mama pasrah , mereka tidak berusaha mencari tahu alamat
mas Andra melalui kedua orangtuanya karena kak Fara melarangnya. Kak Fara sudah
pasrah, “biarlah ketulusan dan kesadaran yang akan membawa mas Andra kembali
pulang”. Jawabnya, ketika mama dan papa menanyakan alasannya.
Banyak makna yang lahir dari peristiwa ini, sepertinya Allah memberikan hidayah-
Nya kepada mama dan papa melalui peristiwa ini.Ah, tiba-tiba saja aku jadi teringat
kata-kata nenek tentang hidayah Allah. Inikah jawaban Allah atas doa-doaku?
“Hidayah itu datang Nek, meski melalui airmata dan amarah”.
Sekarang mama dan papa sudah mulai bisa menerima kenyataan, mereka tampak
tabah sekaliu dengan gunjingan-gunjingan orang-orang di sekitar mereka. Mamapun
dengan ikhlas memutuskan unutuk menghentikan kariernya manajer pada sebuah
perusahaan swasta dan lebih memilih tinggal di rumah merawat kak Fara dan
kandungannya yang sudah besar. Tak jarang kulihat mama dan papa menangis
setelah shalat berjamaah. Tak jarang pula aku melihat kak Fara dengan
kandungannya yang besar menangis diatas sajadah diantara shalat malamnya.
Terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dari kamar kak Fara, sebenarnya kak Fara
pintar sekali mengajinya, mbok Yah selalu mengajarinya sejak kecil. Tapi tunggu dulu
sepertinya itu… ya! Itu surat Maryam, jangan-jangan… aku tersenyum, pasti seorang
bidadari yang akan lahir di rumah ini. Karena semasa kehamilannya, kak Fara sering
sekali melantunkan surat itu, mungkin saja itu suatu pertand. Ah, entahlah karena
hanya Engkau yang Maha Mengetahiu segalanya.
Tok!tok!tok! aku mengetuk pintu kamar kak Fara.
“ Masuk!” suara dari dalam menyahut ketukanku.
“ Assalamu’alaikum?” sapaku sembari melongokkan kepalaku dari balik pintu.
“ Wa’alaikumsalam!” jawab kak Fara, kak Fara terlihat cantik sekali dalam balutan
mukenanya itu. Akupun masuk dan duduk di sampingnya.
“ Sudah selesai, kak?” tanyaku.
“ Sudah!” jawabnya.
“Fa…!”
“Ya kak!” jawabku.
“Benarkah apabila seseorang meninggal ketika ia melahirkan , itu syahid?” aku
ternganga mendengar pertanyaannya.
“Fa!” sapa kak Fara lagi, mengagetkanku yang masih keheranan mendengar
pertanyaanya.
“Eh…iya, kak?”tanyaku.
“Kok, kayak yang heran gitu sih? Pertanyaan kakaknya jawab dong!” seru kak Fara
sembari tersenyum.
“Eh, maaf kak! Habis kakak nanyanya gitu sih!” sahutku, tapi kemudian akupun
melanjutkan ucapanku untuk menjawab pertanyaan kak Fara, “ya, itu memang
benar sekali kak!”
“Meskipun orang itu tidak bersuami? tanyanya lagi. Aku semakin keheranan
mendengar pertanyaan seperti itu, tapi segera saja ku jawab pertanyaan itu.
“Percayalah kak, Allah itu Maha Mengetahui, lautan ampunan bagi orang-orang yang
benar-benar mau bertobat”jawabku.
Kakak tersenyum mendengar jawabanku, Ia menghampiri, memeluk dan mencium
keningku.
Seminggu kemudian, kak Fara melahirkan bayi perempuan yang cantik.Namun
karena perdarahan yang hebat, kak Fara meninggal setelah dirawat di rumah sakit
selama beberapa hari. Sebelum meninggal kak Fara sempat mengucapkan beberapa
patah kata.
“Zahrah Nurjanah namanya, semoga ia menjadi bunga dan cahaya surga bagi rumah
kita. Fara titip Zahrah Mah, Pah dan Fa, jadilah umi bagi Zahrah! Maafkan Fara ya
Mah, Pah, Fa…” setelah mengucapkan dua kalimat syahadat kak Fara
menghembuskan nafasnya yang terakhir diiringi isak tangisku, Mama, dan Papa.
Selamat jalan kak Fara, semoga Allah SWT menerima kakak di sisi-Nya.
November 2000
For my beloved Parents,sisters and my nephew. Ilove you what ever you are
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS
UPI. Mulai menulis cerpen semenjak di bangku SLTP. Kini penulis bermukim di Hima
Satrasia Gd. Pentagon Lt. III Jl. Setiabudhi No. 229 Bandung
SYUKUR
"Kemana saja tadi Mas?", pertanyaan yang tak pernah bosan dan sering kutanyakan
kepada suamiku setiap hari. "Biasalah", begitu jawabannya yang tak kalah seringnya.
Memang suamiku tergolong orang yang tertutup. Sebenarnya aku tahu jadwal kerja di
universitasnya yang hanya sampai jam lima sore. Suamiku adalah dosen teknik kimia di
universitas swasta dan sudah menginjak tiga tahun, semenjak berhasil memperoleh gelar
masternya di negeri jepang. Tapi bisa dikatakan aku hanya sedikit mengetahui kegiatan
lain mas Arman selain menjadi dosen di universitas swasta.
"Dik, ayo kita tidur", ajak mas Arman. "Ehh.. Iya mas, jawabku gelagapan. Segera
kubereskan meja makan dan membawa piring kotor ke dapur. Tak terasa waktu sudah
menunjukkan jam dua belas malam, padahal rasanya kami baru saja bersantap malam dan
sedikit berbincang-bincang. Ternyata waktu tidak mau diajak kompromi untuk sedikit
memperlambat lajunya. Memang mas Arman sudah telat pulangnya, oleh karena itu
waktunya semakin terasa sempit untuk berduaan ngobrol bersama.
"Oh iya Dik, besok Insya Allah Mas akan keluar kota sampai hari Minggu", kata mas
Arman sambil berusaha menarik selimutnya.
"Yaaa.... tapi besok Sabtu kan kita mau jalan-jalan....", ku berusaha mengingatkan mas
Arman.
"Maaf Dik.. urusan ini lebih penting dan mendadak pemberitahuannya, Mas ngga bisa
menolak". "Insya Allah diganti minggu depan yah", suamiku berusaha menghiburku. Tapi
aku tahu, minggu depan waktu mas Arman belum tentu kosong .
"Urusan apa Mas?", tanyaku.
"Biasalah..", jawaban mas Arman seperti biasa.
Dan aku pun tak bisa menanyakan lebih jauh, bila sudah keluar kata "Biasa"nya mas
Arman. Akhirnya pikiranku pun menerawang jauh dan bertanya-tanya. Kapan Mas
Arman punya waktu luang untuk anak dan istrinya. Aku berusaha berkelit bahwa anak-
anak membutuhkan waktu dari mas Arman. Tetapi sebenarnya diriku juga membutuhkan
waktu darinya. Sudah lima tahun pernikahan kami. Tetapi rasanya aku tidak merasakan
cukup banyak waktu bersamanya. "Ya Allah sabarkan lah hambaMu ini yang penuh
dengan hawa nafsu ini, dan bersihkanlah hati ini dari kecintaan dunia... Waktu
kebersamaan kami, ku ikhlaskan kepadaMu, dengan hanya mengharapkan RidhoMu...
Amin Ya Rabbal Alamin", kututup mataku sambil berdoa.
*****
"Bu.., Ayah mana?..", tanya Fathimah putri sulungku sembari masuk ke kamar tidurku..
"Ooo.. Ayah ada urusan penting hari ini sehingga harus pergi sampai hari minggu. Tadi
pagi sebelum Fathimah bangun, Ayah sudah harus pergi. Ini ada titipan kecupan dari
Ayah!, cuuppp!!??"
"Yaaa.... kok Fathimah tidak dibangunkan Bu???, kan Fathimah pingin ketemu Ayah..
Hari ini berarti kita tidak jadi pergi dongg Bu?", Fathimah terus merengek.
"Iya.. maaf yah Fathimah... Anak sholeh harus sabar.. Insya Allah nanti akan diganti di
lain waktu ya....", jawabku untuk menenangkannya.
"Ayo Fathimah mandi dulu yah..., biar badan Fathimah jadi bersih dan wangi. Kebersihan
adalah sebagian dari apa Fathimah?", tanyaku untuk mengingatkannya.
"Iman.....", jawab Fathimah hampir berteriak.
"Alhamdulillah.. benar sekali jawabanmu..... Fathimah memang anak pintar!!!", ku puji
jawabannya. Lalu ku siapkan keperluan mandinya dan mengantarnya ke kamar mandi.
Dan dalam waktu singkat, anakku sudah keluar dari kamar mandi.
"Sudah selesai mandinya Fathimah?" Ayukkk sini pakai bajunya, malu kan terlihat
auratnya", segera kuhantar ke kamar tidurnya dan membantu mengeringkan badannya.
"Alhamdulillah cantiknya anak Ayah dan Ibu... wangi lagi", kucium keningnya dan
Fathimah pun tak sabar keluar main di halaman rumah.
*****
"Duhhh panasnya hari ini", gumamku sambil mengusap keringatku. Padahal kipas angin
sudah kunyalakan sedari tadi. Ternyata kurang cukup mengurangi keterikan matahari
siang hari ini. Kusiapkan mesin jahit yang tersimpan di lemari. Hari ini aku akan
menjahit baju Yusuf, baru saja selesai kubuat pola bajunya. Menjahit sangat membantuku
mengisi waktu luang bila semua pekerjaan telah beres dan anak-anak sudah tertidur.
Biasanya sambil menjahit kusambi dengan merenungi harapan ku terhadap pernikahanku
yang telah berjalan lima tahun. Bisa dikatakan sudah tidak seharum lima tahu yang lalu.
Dan waktu-waktu mas Arman tidak selonggar seperti di tahun-tahun pertama pernikahan
kami. Apa yang paling kutakutkan adalah bila pernikahanku menjadi hambar. Dalam
menghadapi rutinitas yang hampir-hampir saja mematikan komunikasi diantara kami,
tentu dapat menimbulkan kebosanan. Dan ini yang paling menakutkan ku. Aku terus
berusaha memperbaiki pelayanan terhadap suamiku. Ku cari variasi-variasi yang
menyegarkan. Entah itu menu masakan ku, tata letak rumahku, penampilanku,
penampilan anak-anak. Tapi satu hal yang paling sulit kami lakukan adalah jalan bersama
keluarga. Waktu luang mas Arman tidak mengijinkan. Kalaupun ada sedikit waktu luang,
digunakan mas Arman untuk istirahat di rumah. Rutinitas yang terus monoton, suatu saat
dapat menimbulkan kebosananku, rasanya ingin sekali kami dapat berkumpul bersama
dalam suasana yang lain dan menyegarkan. Akibatnya terkadang terselip pikiran yang
bukan-bukan. Telepon kemaren hari mengingatkan ku, ku berusaha menepis supaya
jangan sampai merancuniku kembali. Mana mungkin mas Arman berbuat yang tidak-
tidak di belakang ku. Tapi memang tidak dapat kupungkiri, ada sedikit keresahanku
terhadap kejadian kemaren hari. Lumrah bila aku merasa gelisah. Fithrah ku sebagai
wanita, tentu tidak begitu saja mudah melupakan suara wanita yang menanyakan
keberadaan suamiku.Adzan di masjid berkumandang menyadarkan ku. Astaghfirullah...
pikiran ku melantur kemana-mana, tidak terasa sudah masuk waktu sholat ashar dan
sebentar lagi anak-anak segera bangun dari tidur siangnya, berarti aku harus segera
menyelesaikan pekerjaanku.
*****
"Dik, ayoo siapkan anak-anak, kita pergi ke puncak!", ucap suamiku setelah
menyelesaikan bacaan Qur'annya
"Benar Mas?", tanyaku tidak percaya.
"Iya benar, Dik, mumpung masih jam enam, biar ngga kena macet, kita berangkat pagi-
pagi!".
"Memang Mas tidak ada acara hari ini?", tanyaku heran.
"Ngga ada, Alhamdulillah.. agak longgar waktu Mas untuk pekan ini".
Rasanya aku bersyukur atas nikmat yang sudah kudambakan akhir-akhir ini. Kami dapat
rihlah bersama keluarga untuk menyegarkan rutinitas yang mulai membosankan. Dan
tanpa bertanya lagi, segera aku pergi ke dapur untuk menyiapkan bekal untuk perjalanan
nanti. Alhamdulillah..... terima kasih ya Allah....
*****
"Wahhh enak sekali nasi timbel ini ya Bu", ucap suamiku di sela-sela kesibukannya
melahap hidangan di restoran sekitar daerah cipanas. Memang dingin-dingin begini
menambah kenikmatan nasi timbel yang kami makan hangat-hangat dengan sambal
terasi, lalapan, ikan gurame goreng, ikan asin, sayur asam dan empal daging.
Alhamdulillah nikmat sekali rasanya. Fathimah pun tak kalah lahapnya dan Yusuf dengan
sigapnya membuka mulut setiap suapan yang aku berikan. Mungkin mereka kelaparan
setelah seharian berlari-lari di taman cibodas bermain bola bersama mas Arman. Kami
pun larut dalam acara makan bersama dengan tawa dan canda. Alhamdulillah ya Allah....
Ups, jarum jam sudah bergerak sepuluh menit sejak saya berdiri di
halte dekat rumah ini, tapi ke mana angkot biru itu! Halte sudah
sepi.Tinggal saya dan Barbie. Kami memang menunggu angkot yang
sama. Barbie, yang baru dua hari jadi pelanggan halte, kelihatan
tenang-tenang saja. Tuhan mendengar doa saya ! Angkot biru itu
menepi. Rupanya sebelum tangan saya melambai, Barbie
melakukannya lebih dulu.
***************
Lelah, saya baru dari Tanah Abang. Saya jadi akrab dengan tempat itu,
semenjak hunting jilbab sebulan yang lalu. Di plaza dekat rumah paling
cuma ada satu toko muslim yang menjual kerudung. Sudah biasa,
pameran-pameran jilbab baru semarak kalau dekat lebaran. Kalau
bulan-bulan seperti ini paling gampang ya, ke Tanah Abang. Meski
pulang dari sana badan pegal semua dan rasanya ingin nyemplung ke
bak mandi. Byuuuur!
Insya Allah, Senin depan saya hijrah ... kenapa mesti Senin ? Itu sama
saja dengan menanyakan kenapa saya suka makan sup kimlo. Sama
susahnya untuk dijawab. Sebenarnya keinginan suci itu sudah lama
terpendam. Tapi baru terwujud sekarang saat saya tingkat dua.
Rasanya tidak sahar menunggu hari kehijrahan. Saya memang sengaja
buat surprise, yang tahu soal itu cuma mami seorang. Jadi semenjak
sebulan ini saya berusaha nyicil jilbab sedikit demi sedikit. Saya juga
rajin bertanya pada teman yang jilbaber bagaimana cara memakai
jilbab, bla-bla-bla... Di rumah memang belum ada yang berjilbab, habis
kakak saya cowok semua. Mami ? Lebih suka dengan kerudung
Benazir-nya.
2. Jangan suka melirik cowok. Ooww. Berat, apalagi kalau cakep dan
beralis tebal. Tapi saya coba.
***************
Begitulah, dan Senin yang dinanti-nanti itu pun tiba. Saya bangun lebih
awal dari weker. Pagi ini saya kuliah dengan perasaan beda. Swear,
ada rasa lain. Entah apa, mungkin rasa damai yang sangat. Halte
lumayan ramai. Ada Barbie. Kali ini dia memakai celana... Uff, saya
tidak bisa bebas memperhatikannya. Barbie yang biasanya menatap
jalan tanpa peduli dengan sekitarnya kini sedang memandang ke arah
saya.
Saya? Tumben! What's wrong? Biasa dong, jangan GR. Pulang kuliah
saya mendapat trik nomor sekian. Kalau sudah berjilbab jangan suka
seradak-seruduk biar rok tidak kelibet. Maklum hari pertama, semua
belum biasa. Muiai dari Barbie yang terus memperhatikan saya sampai
teman-teman kampus yang memberi selamat tulus atau cuma bisik-
bisik.
Saya agak bingung, dulu saat Rita teman kampus saya hijrah, tidak
ada kejadian seperti tadi. Karena saya anak gunung? Atau karena saya
tidak pernah muncul di rohis tapi tiba-tiba berjilbab? Atau.... Ah, biar
saja, saya malas mengira-ngira. Terima kasih Allah, hidayah itu jadi
milik Renita. Dan mudah-mudahan akan tetap menjadi milik saya.
Sampai kapan pun, kalau Engkau menghendaki.
***************
"Gue kangen Renita yang dulu. Apa mesti begitu sih, Ren! Apa jilbab
itu mesti membuat suasana ini jadi kaku? Apa mesti membuat kamu
menjauh dari PA? Apa nggak bisa semua berjalan seperti dulu?! Toh
kita juga tau batasan-batasannya ...," protes Kevin siang tadi. Well,
saya bingung sekali, Tuhan. Hhhhh.... saya tahu semua ini akan terjadi.
Mbak Ida pernah bilang ada saatnya kita harus berkorban untuk
sesuatu yang lebih. Ya, dia telah melakukannya. Dia mengorbankan
profesinya sebagai balerina. Lalu apa ini berarti, saya harus
mengorbankan semua itu juga ? Rasanya saya sudah tahu
jawabannya.
Selama ini saya telah dipusingkan dengan dana lomba panjat dinding
di kampus. Sekarang kenapa mesti dipusingkan lagi dengan masalah
kecil tadi. Saya memang telah menjabat sebagai korum lomba panjat
dinding di kampus. Setelah protes datang dari teman-teman PA, saya
tertantang menunjukkan bahwa jilbab tidak perlu menghalangi langkah
saya. Tapi seiring dengan meningkatnya keaktifan di PA, keinginan-
keinginan dulu seperti hilang begitu saja. Keinginan untuk menjadi
bagian dari Keputrian. Keinginan untuk memperdalam ilmu Allah...
Barbie muncul lagi di halte ini setelah ..... mmm, lama juga dia
menghilang. Hei, kemana saja kamu selama ini! Mata coklatnya
kembali mengamati saya. Dia jadi suka memperhatikan saya. Tapi biar
saja, suka-suka dia.
Saya duduk di bangku halte, menyilangkan kaki yang dibalut celana
jins. Melepaskan pandangan pada jalan-jalan yang masih sepi.
Menikmati udara pagi yang masih jernih. "Saya lebih suka melihat
kamu pake rok."
"Saya pengen lihat kamu pake rok dulu lagi," Barbie pagi ini muncul
lagi dengan komentar senada. "Waktu pertama kali kamu memakai rok
biru bunga-bunga kecil dengan jilbab biru donker itu, saya suka sekali."
Ya! Sejak saya hijrah, Barbie yang biasa saya perhatikan itu sekarang
balik memperhatikan saya. Malah berani berkomentar tanpa basa-basi
berkenalan. Eh, apa salahnya kalau saya yang memulai?
"Iya."
"Telat sedikit nggak pa-pa khan? Nanti saya traktir di cafe pojok itu.
Jangan takut, halal kok!"
Baru kali ini saya menemukan pribadi unik seperti Catlya. Belum kenal
sudah mengomentari penampilan orang, sekarang baru semenit kenal
sudah berani membujuk, nanti kalau sudah lama kenal bisa-bisa.....
Saya penasaran! Jadi kenapa tidak bilang ya? Lagipula kuliah baru
dimulai pukul 11.
Akhirnya saya dan Catlya duduk di cafe mungil dengan kopi dan
sepotong Croissant di meja."Sorry, selama ini mungkin saya
ngebingungin kamu. Saya emang nggak bisa dan nggak biasa basa-
basi. Tapi semua yang saya katakan itu benar-benar keluar dari hati
saya. Sungguh." Ucap Catlya sambil mengangkat dua jarinya yang
penuh cincin perak. Kocak.
Sebelum saya sempat mengeluarkan kata-kata, Catlya buru-buru
meletakkan telunjuk di bibirnya. "Saya nggak bermaksud menggurui
penampilan kamu. Saya cuma ingin mengatakan pendapat saya,
bahwa saya suka penampilan kamu yang dulu. Please, biarkan saya
menyelesaikan pembicaraan."
Hening. Catlya terdiam. Perlahan mata yang tadi penuh bintang itu
tampak redup. "Dulu, saya pernah berjilbab." Potongan keju lumayan
besar tanpa sengaja saya telan.
"Ya, kehidupan dimana dunia begitu ramah pada diri saya. Keindahan
duniawi begitu mudah saya peroleh, semudah membalikkan tangan.
Saya mulai merindukannya."
"Setiap menit kerinduan itu datang, setiap menit pula saya berusaha
mencegahnya. Namun akhirnya hari-hari saya selalu dipenuhi dengan
pikiran itu. Tak bosan-bosannya saya berandai, andai saya tidak
memakai jilbab pasti saya lebih cantik. Ya, semua kecantikan itu telah
tertutup meski dengan sehelai jilbab kecil. Akhirnya jilbab itu saya
lepas ..." Kopi yang saya minum terasa lebih pahit. Batin saya
beristighfar.
"Tapi, sungguh, dibalik semua itu ada perasaan lain yang hilang jauh
terhempas. Di balik gemerlapnya dunia yang begitu ramah pada saya,
ada dunia lain yang menghilang. Tak ada lagi perasaan aman yang
menyertai langkah saya, tak ada lagi perasaan damai yang mengisi
hati saya, tak ada lagi perasaan indah yang menghiasi kalbu saya.
Saya memang mendapatkan kebahagiaan yang saya idamkan, tetapi
sungguh kebahagiaan yang mahabesar yang seharusnya saya peroleh
... terbang jauh."
Catlya menghapus sisa beningnya. "Saya tak ingin itu terjadi padamu,
Renita. Yang saya lakukan persis sama denganmu melalui tahap-tahap,
mulanya dengan mengubah pakaian lalu akhirnya mengubah hidayah
itu. Bukan saya bermaksud menuduh kamu. Tidak sama sekali." Catlya
mengakhiri ceritanya.
Saya sendiri masih sibuk dengan pikiran saya, hingga... "Tapi, ada hal
yang membingungkan saya. Kenapa sekarang kamu tidak berusaha
mendapatkan hidayah itu lagi! Setelah semua ini, ya, kenapa?" tanya
saya mencari jawabannya di mata basah itu. Catlya tersenyum dan
membuang tatapannya.
***************
Sebulan telah berlalu. Catlya tak pernah ada lagi. Entahlah. Catlya
seperti menghilang begitu saja. Ia seakan sosok yang dihadirkan-Nya
kepada saya untuk membuat mawar merah dalam hati ini mekar
kembali.
Pagi ini saya terduduk di halte. Membiarkan dua angkot biru kosong
lewat begitu saja. Membiarkan angin sepoi-sepoi memainkan ujung rok
hitam lembut yang saya kenakan.
Selesai masak bareng Asih sambil menunggu adzan dzuhur aku berniat meneruskan
tulisanku semalam, tapi aku hanya termenung di depan layar monitor tanpa dapat
memusatkan pikiranku. Aku kembali meneruskan lamunanku yang tadi sempat terputus
gara-gara Asih mengejutkanku. Semalam selepas kami sholat Isya' berjamaah, Sarah putri
tunggalku menghampiriku di kamar.
" Ummi,... ummi lagi repot ? ", tanya Sarah.
" Nggak kog sayang, ada apa ? ".
" Malam ini ummi nggak nulis ?, biasanya ba'da isya ummi khan langsung asyik sama
komputer ".
" He.. he.. Sarah,...Sarah....nggak kog, memang sih ummi mau nulis tapi nanti-nanti saja.
Ada apa sholihah... ? ".
" Eng.. eng... ada yang mau Sarah diskusikan sama ummi ".
" Ya,... tentang apa nak ? ".
" Tapi ummi harus janji dulu sama Sarah loh.. ".
" Janji.. ? ada apa memangnya ? ".
" Ya ummi, janji dulu ya mi yah... ? ", Sarah mulai dengan rengekan manjanya
" Iya deh insya Allah.... ".
" Ummi musti janji pertama ummi jangan motong dulu sebelum Sarah selesai, terus yang
kedua ummi jangan bicarakan ini dulu sama siapapun kecuali sama Abi. Sarah nggak
mau kalau mas Fadhil, mas Yazid dan Zakly tahu sebelum waktunya ", kata Sarah seraya
menatapku.
" Hhhmm.... iya insya Allah ".
" Nah,... sekarang ummi dengarkan baik-baik yah...? ", pinta Sarah dengan kerlingan
manjanya.
" Iya.... ini dari tadi juga ummi sudah dengerin kog...", kataku mulai tak sabar.
" Mmhhhh... begini ummi,.... akhir-akhir ini Sarah mulai berpikir kalau...
mmhhh...mmhhh.. kalau Sarah pingin menyempurnakan setengah dari dien Sarah ", kata
Sarah perlahan lantas Sarah tertunduk dan diam.
Aku masih terdiam, rasanya otakku saat itu bekerja dengan sangat lambat untuk
mencerna kata-kata Sarah. Sarah ingin menyempurnakan setengah dari diennya itu
artinya Sarah hendak menikah....Subhanallah... Alhamdulillah... putri tunggalku sudah
berpikir ke arah sana.
Terus terang aku terkejut. Aku kenal betul siapa Sarah, ia sangat hati- hati dalam menjaga
pergaulan dengan lawan jenisnya. Tapi kog tahu-tahu sekarang sudah ada calon.
" Ummi masih janji kalau nggak memotong sebelum Sarah selesai khan,...sekarang Sarah
mau cerita yang lengkap ". Sarah menarik nafas.
" Begini ummi,... ada temen pengajian Sarah di kampus, akhwat itu punya mas. Nah,
masnya itu insyaAllah akhlaq dan diennya baik ".
" Hhmm.... lantas.. ", kataku tak sabar.
" Temen Sarah itu mengusulkan agar Sarah menikah dengan masnya. Nah,.. sekarang
Sarah mau minta tolong ummi dan abi atau mas Fadhil atau mas Yazid untuk menyelidiki
apa memang betul ikhwan itu diennya baik dan insya Allah bisa cocok sama Sarah ".
" Hhhmmm... begitu ? ".
" Sarah belum pernah ketemu sama ikhwan itu, Sarah baru lihat fotonya saja dan Yasmin,
teman Sarah itu cerita kalau ikhwan itu insya Allah shalih. Sarah percaya sama Yasmin,
ummi masih ingat Yasmin khan yang pernah kesini itu lho... ".
" Ummi lupa abis khan banyak akhwat temen Sarah yang main kesini ".
" Ummi,... abi dan ummi khan selalu bilang kalau apapun yang kita kerjakan harus
lillaahita'ala khan ? ", tanya Sarah. Aku hanya mengangguk....
" Ummi,....insya Allah Sarah ingin pernikahan ini juga menjadi ibadah karena Sarah
pingin mencari ridho Allah ummi. Sarah ingin nikah dengan ikhwan itu karena Sarah
ingin menolong ia dan keluarganya mi... Ummi,.. sebenarnya ia sudah menikah, sudah
punya isteri ".
" Heh....", seruku dengan terkejut.
Aku hanya terdiam,... tak tahu harus berkata apa. Terus terang aku sangat ingin suamiku
ada disampingku saat ini. Kenapa Sarah harus membicarakan hal itu di saat suamiku ke
luar kota. Aku bingung tak tahu harus berkata apa....
Setelah sholat dzuhur berdua dengan Asih aku kemudian makan sendirian. Kalau siang
seperti ini rumah selalu sepi, hanya aku berdua dengan Asih saja. Mereka biasanya
makan di kampus masing-masing dan Yazid makan di cafetaria kantornya. Terus terang
aku kesepian, ingin rasanya aku segera mendapatkan cucu-cucu dari mereka. Dan kini
salah seorang dari mereka mengajukan keinginannya untuk menikah, tapi...kenapa Sarah
hendak nikah dengan seseorang yang telah beristri?.... Rasanya sejak semalam aku sulit
berpikir secara jernih, aku terlalu terbawa alam perasaanku. Diantara mereka berempat
aku tidak membeda-bedakan kasih sayangku. Aku selalu berusaha adil terhadap mereka.
Tapi tak dapat kupungkiri kalau Sarah menempati posisi yang lebih istimewa.
Perhatianku lebih tercurah ekstra pada Sarah. Karena Sarah hanya satu-satunya putri
tunggalku. Aku lebih melindungi Sarah dibandingkan dengan putra-putraku yang lain.
Timbul rasa was-was dalam hatiku, bagaimana kalau seandainya suaminya nanti tak
dapat berlaku adil, bagaimana kalau seandainya madu Sarah tidak memperlakukannya
dengan baik karena merasa mendapat saingan dan bagaimana kalau nanti Sarah tidak
bahagia. Semua itu menjadi beban pikiranku. Aku menyayangi Sarah, dan wajar bila
sebagai seorang ibu aku ingin melihat anak-anakku bahagia. Aku menjadi tidak berselera
makan. Tiba-tiba...
Seperti kebiasaan mereka sejak kecil, setiap pulang sekolah waktu makan siang mereka
akan bercerita tentang kejadian mereka di sekolah hari itu. Dan hingga kini meskipun
mereka telah beranjak dewasa kebiasaan itu tetap terbawa. Zakly sedang bercerita tentang
susahnya mencari dosen pembimbingnya untuk skripsi. Tapi aku hanya menanggapi
setengah hati, konsentrasiku tidak terpusat seutuhnya pada apa yang dibicarakannya.
" Kalian sudah pada lapar ya ?, mau makan sekarang atau nunggu abi saja sekalian ? ",
tanyaku.
" Nanti aja mi,... enakan bareng-bareng abi aja.. ".
" Kalau kalian mau maem dulu nggak apa-apa, biar nanti ummi saja yang nemenin abi ".
" Nggak usah mi,... khan sebentar lagi insya Allah abi juga datang ", jawab Fadhil lagi.
Dan benar, tak berapa lama kemudian....
" Assalamu'alaikum,...", suara suamiku dari teras depan.
" Wa'alaikumussalam... ", jawab kami berbarengan.
Kelakuan mereka masih persis anak-anak langsung berebut membuka pintu buat abinya
dan mencium tangan abinya. Kalau melihat mereka seperti itu tak percaya rasanya kalau
mereka sudah pada besar-besar dan sudah waktunya untuk nikah. Ah,...nikah lagi...
kenapa itu yang ada dipikiranku selalu.
Seperti biasa waktu makan malam adalah saat dimana kami dapat makan bersama. Kalau
pagi, anak-anak biasa sarapan lebih dulu sedangkan aku dan suamiku hanya sarapan
berdua, karena suami ke kantor agak siang dibanding mereka pergi. Kalau siang mereka
tak pernah makan di rumah, biasanya aku makan sendiri. Jadi baru makan malamlah
kami dapat berkumpul bersama. Dan seperti biasa mereka saling tak mau kalah kalau
sudah cerita, jadi bisa dibayangkan bagaimana semaraknya suasana.
" Oya,...tadi Zakly bilang apa tentang ummi ", tanya sumiku mendadak.
" Oh,... he.. he.. ini ummi,... ".
" Kenapa Zakly ? ", tanya Yazid.
" Tadi siang khan Zakly makan di rumah , terus pas Zakly ajak ngobrol ummi tuh
kayanya nggak bener-bener ngedengerin deh,... Zakly pikir kenapa gitu.... ".
" Trus.... ", potong Fadhil.
" Waktu Zakly desak-desak ummi bilang nggak apa-apa,.. tapi akhirnya ngaku juga... ".
" Ummi bilang apa... ? ", tanya suamiku.
" Ummi bilang kangen sama abi, pingin abi cepat-cepat pulang, waktu ngomongnya kaya
anak remaja yang umur 17 tahun, sambil malu-malu gimanaaa.. gitu ".
Langsung, tawa mereka memecah...
" Ih,... ummi perasaan biasa aja bilangnya, ngapain juga pakai malu-malu segala, orang
abi sama ummi udah 28 tahun nikah ", sahutku.
" Alah ummi,..Zakly tadi khan liat muka ummi merah-merah gimana gitu ".
" Oooohh.... pantesan tadi pagi Yazid juga perhatikan ummi agak aneh, nggak seperti
biasanya ", sambung Yazid.
" Iya,..ummi tadi pagi agak diam, hhmm baru ketauan ternyata sebabnya kenapa ", kata
Fadhil
Mereka masih tertawa-tawa, kulirik Sarah hanya tersenyum tak ikut menggodaku seperti
yang lain. Tentu Sarah tahu dialah yang menjadi penyebab kenapa seharian ini aku agak
aneh.
" Iya mi,...bener ya apa yang Zakly bilang ", tanya suamiku sambil menatapku dalam-
dalam.
" Hhmm.... ", aku hanya tersenyum, jengah juga rasanya ditatap seperti itu di depan anak-
anak meskipun mereka udah dewasa.
Mendadak tawa mereka memecah lagi....
" Lho,... kenapa sih... ?? ".
" Coba deh ummi ngaca, muka ummi tuh lucu banget tersipu-sipu gimana gitu, kaya
remaja 17 tahunan ", kata Zakly.
" Ummi... ummi...,mau bilang iya aja kog pake malu-malu segala sih... ", kata suamiku.
" Padahal abi khan baru pergi 3 hari yang lalu, ya khan ? ", tanya suamiku ke mereka.
" Tunggu aja bi,.. nanti kalau kita sudah nggak ada, ummi bakal ngaku juga sama abi,... ",
kata Zakly.
" Udah ah,... nggak selesai-selesai maemnya nanti, ingat abi belum sholat lho..", kataku
mengalihkan pembicaraan.
Setelah suamiku sholat, seperti biasa kami berkumpul di ruang tengah. Dan juga seperti
biasa mereka tak pernah habis-habis akan topik bahasan. Mulai dari kerusuhan tentang
adanya isyu pembunuhan dukun santet yang menyebabkan sebagian ulama juga ikut
terbunuh, tentang harga sembako yang masih saja sulit dijangkau, dan juga tentang
keanekaragaman visi dari bermacam-macam partai Islam yang ada. Sampai pada masalah
banyaknya anak-anak yang putus sekolah karena tak ada biaya serta kondisi gizi anak-
anak balita yang memprihatinkan. Dan seperti biasa, mereka ingin agar segera terbentuk
khalifah Islam dimana segala macam bentuk perundang-undangan bersumber pada Al
Qur'an dan sunnah Rasul yang insya Allah apabila semuanya itu dilakukan dapat
menjamin pola kehidupan masyarakat akan menjadi baik.
Dari balik layar monitor kuperhatikan Sarah tidak selincah biasanya dalam berdiskusi
dengan mas-masnya, Sarah hanya sesekali menimpali itu pun dengan nada bicara yang
tanpa semangat, sedangkan aku dari tadi duduk di depan komputer, tapi hanya satu
paragraf yang berhasil kutulis. Karena perhatianku lebih tercurah pada apa yang mereka
bahas dibanding dengan susunan cerita yang sedang kukerjakan. Ingin rasanya aku cepat-
cepat menarik suamiku ke kamar untuk membahas keinginan Sarah. Tapi kulihat mereka
masih asyik, dan sekarang`mereka sedang nonton Dunia Dalam Berita. Biasanya sehabis
acara itu mereka masih duduk di situ untuk membahas berita yang baru saja mereka lihat,
sebelum akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Setelah dunia dalam berita....
" Abi nggak capek,... khan tadi baru pulang, besok harus ke kantor khan ? ", kataku.
" Besok saja diterusin obrolannya,... atau kalian ngobrol berempat saja... ", sambil kutatap
mereka.
" Kasian abi dong.... ", sambungku lagi.
" Hhhmm.... hhmm.... ", Zakly pura-pura batuk, yang aku tahu itu hanya untuk
menggodaku saja.
" Iya deh,...lagian masa abi ngobrol sama kalian aja, abi khan juga pingin ngobrol sama
ummi ", kata suamiku.
Tawa mereka memecah lagi...
" Bukan,... bukan gitu, abi khan baru pulang, dan besok harus kerja ", bantahku.
" Iya..iya...udah yok mi,.. kita bobo...", ajak suamiku.
" Jangan lupa lho, periksa lagi pintu jendela sebelum kalian masuk kamar ", perintahku
pada mereka.
Kulirik jam, sudah pukul 10 kurang seperempat. Tak mungkin rasanya aku bercerita
malam ini. Suamiku tentu lelah, biar besok saja setelah sholat shubuh pikirku. Dan
kulihat suamiku sudah merebah di tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur. Iya,... nggak
mungkin malam ini, besok saja putusku. Tapi aku masih belum dapat memejamkan mata,
ingin rasanya hari segera berganti. Aku tidak biasa memendam sesuatu terhadap suamiku.
Aku ingin segera menumpahkan apa yang menjadi beban pikiranku. Yah,... insya Allah
nanti selepas shubuh...
Setelah qiyamul lail, sambil menunggu shubuh aku bergantian membaca qur'an dengan
suamiku. Seperti biasa suamiku dan anak-anak sholat shubuh di mesjid. Tinggal aku,
Sarah dan Asih sholat berjama'ah di rumah. Pada halaman terakhir aku membaca Al
Matsurat, suamiku pun tiba. Akhirnya setelah kulipat mukena dan kurapikan sajadah aku
berdiri di hadapan suamiku yang sedang duduk di tepi tempat tidur....
Akhirnya kuceritakan semua apa yang menjadi keinginan Sarah. Rasa banggaku terhadap
Sarah yang memiliki niat seperti itu. Persetujuanku terhadap keinginannya, tapi juga
sekaligus rasa khawatirku, rasa cemasku akan putri tunggalku. Betapa aku amat
mengasihinya dan aku tidak ingin ada sesuatu hal buruk yang akan dialaminya kelak. Di
satu pihak apa yang menjadi keinginan Sarah patut untuk aku dukung, karena yang
dilakukan Sarah hanyalah untuk mencari ridhoNya semata, tak boleh aku
menghalanginya dari jalan Allah. Tapi di pihak yang lain aku khawatir bila nanti
suaminya tidak bisa berlaku adil atau rasa cemburu dari madunya akan menyakiti
hatinya. Aku rasa kekhawatiranku adalah hal yang wajar, karena waktu Fatimah mengadu
kepada Rasulullah SAW akan niat Ali ra yang hendak nikah lagi, Rasulullah pun berkata
bahwa apabila menyakiti hati Fatimah, itu sama halnya dengan menyakiti hati beliau,
karena rasa kasih sayang Rasulullah sangat besar terhadap Fatimah. Tapi aku sungguh
tersentuh dengan niat Sarah yang subhanallah sangat mulia. Kutumpahkan semua uneg-
uneg di hatiku pada suamiku.
" De',... mas tahu,...ade' sayang sekali pada Sarah, begitu juga mas ", kata suamiku
perlahan.
" Tapi de',... ade' tahu khan kalau Sarah itu bukan milik kita, Allah cuma menitipkan
Sarah ke kita. Alhamdulillah Allah mau memberikan amanahNya pada kita, bukan cuma
Sarah, tapi juga Fadhil, Yazid dan Zakly ".
" Mas bangga pada anak-anak, begitu juga mas bangga pada ade' yang sudah berperan
buat mentarbiyah mereka. Karena mereka semua nantinya harus kita pertanggung-
jawabkan kepada Allah. Nah,...sekarang misalnya ade' ada di posisi Asma, sudah fisiknya
lemah, sakit-sakitan, kesepian..., padahal dia menginginkan untuk dapat berperan menjadi
pendidik generasi yang dapat menggantikan perjuangan generasi sebelumnya, dia juga
menginginkan akan adanya panggilan 'ummi' dari seorang anak yang lucu. Gimana
coba ? ", tanya suamiku dengan lembut.
" Dari cerita ade' tadi,...Asma sendiri yang usul supaya suaminya nikah lagi, rasanya apa
yang ade' khawatirkan insya Allah nggak akan terjadi deh...Dia sudah rela suaminya
menikah lagi, dia sudah ridho dan insya Allah diapun akan memperlakukan Sarah dengan
baik.. . Ade' juga tau khan kalau Allah pasti memberikan yang terbaik, belum tentu apa
yang menurut kita nggak baik tapi sebenarnya itu justru baik menurut Allah, cuma Allah
yang tahu ade '...., kita tidak tahu apa-apa... ".
Subhanallah....betapa suamiku sangat menghargai aku, dari dulu suamiku tidak pernah
mengambil keputusan sendiri dalam masalah rumah tangga, selalu mengajakku untuk
berunding terlebih dahulu.
" Tapi mas,...ade' masih mau tanya lagi nih.. ", kataku.
" Iya sayang,... kenapa lagi ? ".
" Tadi mas bilang kalau mas tahu bener siapa Farid itu, memang mas sudah kenal
sebelumnya sama Farid ? ".
" Mmmhh....mmmhh....", suamiku tidak menjawab hanya tersenyum saja.
Dan aku tahu apa itu artinya...suamiku tidak akan menjawab pertanyaan semacam itu.
Tapi akupun tahu sebesar apa kasih sayang suamiku terhadap Sarah. Tidak mungkin
rasanya suamiku membuat keputusan besar seperti ini tanpa lebih dahulu menyelidiki
bagaimana keluarga Farid dan Asma.
" Yang penting de',... kita berdo'a aja untuk kebahagiaan mereka ", ujar suamiku.
" Hhhmm... iya deh,... yang penting kita tinggal berdoa saja buat mereka ", kataku.
" Terus mas ada lagi,.. berarti mas tahu dong kemarin pas ade' gelisah soalnya ada yang
mau ade' omongin sama mas, ya khan ?", tanyaku.
" Iya doonngg...., masa mas nggak tahu, khan ade paling nggak bisa menyembunyikan
sesuatu dari mas, meskipun sebenarnya ade' berusaha nutup-nutupin juga... ".
" Berarti mas tau dong sebenarnya ade' pingin ngomong kemaren ? ", tanyaku lebih
gencar.
" Iya dong...tau dong....", kata suamiku sambil tertawa.
" Ih,... mas jahat,... nggak mau dibahas dari kemarin saja... mas tau nggak, ade' tuh
semalam nggak nyenyak bobonya,... pingin cepat-cepat pagi biar cepat cerita sama mas...
", jelasku.
" Iya.... mas juga tahu, mas iseng saja... sekalian melatih kesabaran ade'...", sambung
suamiku masih tertawa.
" Mas jahat ih.... sudah tua masih suka iseng ngerjain isterinya... ", kataku berusaha untuk
tidak ikut tersenyum.
" He.. he.... alaah de'.... mau ketawa aja pakai gengsi segala sih.... ", kata suamiku sambil
mengacak-ngacak rambutku. " Hhmmmm.... si mas....", aku sudah kehabisan kata-kata.
Tiba-tiba suara pintu kamar diketuk dengan agak keras, aku sudah hafal siapa lagi kalau
bukan Zakly yang berani mengetuk seperti itu...
" Abi,... Ummi,.... pada mau pamitan nih.... ", teriak Zakly dari luar.
" Hhmm....Zakly ya, ngomong agak pelanan khan bisa ", kataku sambil membuka pintu
kamar.
" He.. he.... abis tadi Sarah udah ngetuk tapi nggak dibukain sih,..ya udah Zakly aja yang
ngetuk lagi, katanya membela diri.
" Lho bi,... kog belum siap ?? nggak ke kantor hari ini ya.. ? ", tanya Fadhil.
" Iya,... nanti agak siangan... ", jawab suamiku.
" Udah pada sarapan ? ", tanyaku.
" Udah dong.... khan kita sarapan sendirian.... ummi sama abi khan masih di dalam kamar
", kata Zakly sambil sedikit memonyongkan bibirnya.
" Khan udah pada gede juga.... ", kataku sambil tertawa.
" Ya udah mi,... berangkat dulu nih.... ", kata Yazid sambil mereka bergantian mencium
tangan kami satu-persatu.
" Sarah,...berangkat ya mi... ", katanya sambil berbisik di telingaku sambil mencium
pipiku.
" Iya nak,... hati-hati ", lantas kupeluk Sarah agak erat. Sarah pun membalas pelukanku
dan sambil mengusap kerudungnya aku seraya berbisik bahwa aku ikhlas menyetujuinya.
Kulihat mata Sarah berkaca-kaca....
" Woow... Sarah pamit ke ummi aja sampai kaya gitu, kaya di film-film telenovela aja ",
goda Zakly.
" Udah ah,... kamu khan nggak tahu ", balas Sarah.
" Lho memangnya ada apa sih mi... ? ", tanya Fadhil.
" Udah,... sekarang berangkat saja kalian, udah siang lho nanti malam saja kita bahas... ",
kata suamiku.
" Lho... emang ada apa... ?? ", tanya Zakly lagi.
" Udah.... berangkat sana.... ingat Zakly kalau naik motor jangan ngebut....terus kalian
kalau jajan jangan sembarangan, sekarang lagi musim macam-macam penyakit ", kataku
mulai lagi dengan segala pesan-pesan.
" Yah,.... ummi balik lagi dah... padahal kemarin udah anteng, udah diem ya mas Yazid ?
", kata Zakly.
" Iya nih ummi... habis abi sudah pulang sih...", timpal Yazid.
" Iya,... balik lagi deh berisiknya ", tambah Zakly.
" Zakly,... kog ngomong gitu sama umminya.. ", kataku.
" Afwan mi,.. becanda mi.... ", kata Zakly sambil memeluk bahuku.
" Hhmmm... udah ah,..pada terlambat lho nanti... ".
" Assalamu'alaikum....", kata mereka berbarengan.
" Wa'alaikumussalam...".
Aku antar mereka sampai depan rumah. Sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi
di teras depan, aku termenung,....alhamdulillah aku bahagia ya Allah atas segala nikmat-
Mu. Lindungilah mereka Ya Allah, tuntunlah selalu langkah-langkah mereka, penuhilah
hati dan cinta mereka hanya dengan iman dan takwa kepada-Mu semata....
24 DZULHIJJAH 1416 H
--by US--
( buat AS,... Jazakallahu khoiron katsiro
untuk dry cleaning-nya tiap hari :-) )
Pada mulanya aku begitu yakin pak Hendra atasanku akan memberiku cuti 3 pekan,
karena aku pikir sudah 2 tahun aku tidak mengambil cuti, dan lagi sudah tujuh kali
berturut aku tidak dapat kebagian cuti lebaran. Tapi nyatanya dengan permintaan maaf,
pak Hendra menolak ajuan cutiku. Posisiku sebagai chief manager di perusahaan ini
mengharuskan aku menangani kontrak kerja yang diadakan sepekan setelah lebaran.
Buyar sudah impian mudik lebaran bersama keluarga.Terbayang bagaimana Fitri sudah
menyiapkan berbagai macam oleh-oleh untuk keluarga kami. Kebetulan keluargaku
dankeluarga Fitri tinggal di kampung yang sama hanya dibatasi oleh sungai yang
membelah. Dan bagaimana senangnya anak-anak kami dapat bertemu dengan mamak dan
datuk nya. Oh tidak, aku tidak boleh mengecewakan mereka.
" Mi...bagimana kalau ummi saja yang pulang bersama anak-anak?', tanyaku.
"lalu abi bagaimana?" tanya Fitri.
'Yaaa.. habis bagaimana lagi, abi tetap tinggal di Jakarta, ummi dan anak-anak saja yang
pulang ke Padang. Azzam, Ahmad dan Afif pasti rindu dengan mamak dan datuk",
timpalku, "sudah tiga tahun mereka tidak pernah jumpa. Sekalian ummi refreshing kan,
bisa ada yang bantuin momong anak-anak", godaku.
Selama ini kulihat Fitri memang begitu pontang-panting mengurus tiga anak kami yang
masih kecil-kecil. Azzam 5 tahun, Ahmad 3 tahun dan Afif 1,5 tahun. Semua pekerjan
rumah diurusnya sendiri mulai dari mengurus anak-anak, mengurus keperluanku,
membereskan rumah, masak, mencuci dan lain lain. Ditambah lagi kegiatan isteriku
untuk mengisi taklim dan pengajian kesana kemari. Harus kuakui bahwa isteriku ini
memang wanita aktif yang tidak bisa diam. Aktifitasnya yang begitu padat tidak membuat
dirinya merasa lelah. Kalau sering berdiam diri tanpa ada kesibukan, setan selalu
mengusik kita, begitu alasannya.
"Bukannya abi yang justru mau istirahat", kata Fitri, " enak kan bi, nggak dengerin
kecerewetan umi, atau tangisan anak-anak" . Hemm....aku tersenyum kecut
mendengarkan perkataan Fitri. Tetapi dalam hatiku membenarkan apa yang baru Fitri
ucapkan. Ya.. waktu istirahat, pikirku nakal. Tidak mendengar suara teguran isteriku,
ketika aku masuk rumah tanpa membuka sepatu. Atau ketika makan tanpa membersihkan
tangan dengan sabun dan air yang bersih. Atau ketika pergi kantor tanpa menyisir rambut
dengan rapi, menggosok sepatu. Atau...beribu teguran yang selalu terdengar di telinga.
Memang kuakui Fitri mempunyai sifat resik dan disiplin dalam segala hal. Dengan
kesibukannya, kulihat rumah kami selalu rapi dan bersih.
Kebersihan adalah sebagian dari Iman katanya sambil menyitir salah satu hadits
Rasulullah. Anak-anak tidak boleh tidur lewat dari pukul 9 malam dan pukul 4.30 harus
sudah bangun. Setelah membaca koran dan buku harus diletakkan kembali ketempatnya.
Pakaian harus tergantung rapi. Azzam dan Ahmad tampaknya sudah bisa mengikuti pola
yang diterapkan umminya. Mereka menjadi anak yang rajin dan disiplin.Aku yang selalu
memakai pakaian asal comot sekarang harus mematuhi 'peraturan' Fitri. Pakaian kantor,
pakaian rumah, pakaian tidur, pakaian kondangan dipilah-pilahnya, suatu hal yang tak
terpikirkan sebelum aku nikah. Pantas saja teman-temanku sering menggoda, menurut
mereka penampilanku setelah nikah berubah 180 derajat, lebih rapi dan terurus katanya.
Aku yang sebelum menikah tampil asal-asalan, hingga kamar kostku pun terlihat
amburadul, kadang agak jengah juga mendengar 'omelan' Fitri. Sifat kami yang satu ini
memang sangat jauh berbeda, seperti langit dan bumi. Ketika aku mengatakan pada Fitri
agar ia dapat mengurangi sedikit kedisiplinannya dan keresikannya, ia mengelak dan
mengatakan bahwa keluarga muslim harus bersih. Bagaimana kita bisa mendakwahi
orang lain agar terbiasa hidup teratur dan bersih sementara diri kita tidak berbuat
demikian tangkisnya. Atau katanya kami harus malu kepada tetangga sebelah yang
beragama Nasrani apabila rumah kotor, penampilan awut-awutan dan hidup tidak teratur.
Sebenarnya betul juga apa yang dikatakannya. Tetapi sekarang aku mau istirahat di
rumahku sendiri, aku ingin merasakan sebentar kehidupan seperti dulu sewaktu kost dan
sebelum menikah. Bebas......
****
Pulang dari mengantar Fitri dan anak-anak ke Cengkareng, 10 hari sebelum Idul Fitri,
rumah tampak begitu lengang sekali. Aku bisa beristirahat dan tenang beriktikaf pikirku.
Adzan maghrib terdengar, bismillah... kuhirup air putih dari kulkas. Tidak ada teh hangat
dan kolak kesukaanku yang biasanya menemani berbuka puasa. Setelah sholat maghrib
kuambil nasi dari rice cooker dan rendang buatan Fitri yang tersimpan di lemari es. Aku
malas sekali untuk menghangatkannya. Biarlah... nasi putih plus rendang dingin menjadi
santapanku kali ini.
Oh ya, aku harus segera pergi ke Masjid Baiturrohman sekarang. Ada janji sholat tarawih
dan pengajian Ramadhan. Piring-piring dan gelas bekas makan kubiarkan saja tergeletak
di meja. Kuambil baju sekenaku dan tancap gas menuju masjid karena tak ada waktu
lagi.
****
Tidak terasa Ramadhan sudah hampir berlalu. Ini adalah malam Idul Fitri, terdengar
suara takbir menggema di masjid-masjid. Ramai sekali. Suara takbir nan merdu. Tiba-tiba
aku tersadar dan merasa hampa. " Ya..Alloh, aku begitu rindu kepada isteri dan anak-
anakku......aku rindu dengan celoteh dari mulut-mulut kecil mereka, tangis mereka, atau
senandung do'a yang sering mereka suarakan, dan juga rindu dengan senyum Fitri, serta
teguran-tegurannya". Butir-butir kristal berjatuhan tak terasa di atas sajadah panjangku.
Tangiskupun tak dapat ku bendung lagi. Ramadhan, bulan yang penuh berkah akan
meninggalkanku dan kerinduanku akan keluargaku membuat aku tak bisa menahan
tangis.
Disuasana ramai seperti sekarang ini hanya kesunyian yang aku rasakan. Aku merasa
Alloh mencabut sementara nikmat yang telah diberikanNya. Yaitu nikmat berkumpul
dengan keluarga. Terasa sekarang ini betapa nikmat itu ternyata merupakan karunia
besaar sekali, yang tidak pernah kusadari selama ini. Nikmat kesenangan berkumpul
dengan keluarga kurasakan setelah nikmat itu tidak ada untuk sementara.
Aku ingat bagaimana wajah Fitri yang mendadak cemberut ketika aku pulang kantor
tanpa melepas sepatu walaupun kulihat dia sedang mengepel lantai. Atau bagaimana
kesalnya ia ketika aku memporak-porandakan lagi lemari buku yang baru saja
dibereskannya hanya karena ingin mencari sebuah buku saja. Kuingat pula kurang lebih 4
bulan yang lalu ia mengatakan dengan sangat hati-hati kepadaku bahwa mengurus
Azzam, Ahmad dan Afif lebih mudah ketimbang mengurusku. Aku yang mendengarnya
hanya tersenyum geli, dan dengan santai kujawab bahwa aku terlalu sibuk dengan
pekerjaan di luar rumah. Perasaan bersalah menumpuk di dada, aku yang seharusnya
membantu meringankan beban Fitri malah membuat pekerjaanya bertambah. Maafkan
aku Fitri, karena telah membuatmu bertambah repot selama ini..... Ramadhan kali ini
telah memberiku banyak pelajaran.
Pagi-pagi aku bersiap untuk menunaikan shalat Idul Fitri, kucari baju yang cocok. Tetapi
tak ada baju yang sesuai di lemari pakaian. Kulihat di ujung kamar ada seonggok pakaian
kotor yang belum sempat kucuci apalagi kuseterika. Terpaksa aku mengambil baju baru
yang masih terbungkus plastik. Andaikan Fitri ada pasti dengan sigap ia menyiapkan
segala keperluanku. Kutolehkan pandangan ke sekitar rumah.....ooou, rumah tampak
kotor sekali. Piring-piring dan gelas kotor menumpuk di dapur, lantai tampak kusam,
jendela berdebu, buku dan koran berserakan di mana-mana. Di halaman bunga bunga
kesayangan Fitri tampak layu dan daun-daun kering berguguran dimana-mana. Tak sejuk
dipandang mata.
Aku bergegas melangkah menuju lapangan untuk menunaikan Shalat Idul Fitri. Di jalan
terlihat banyak anak-anak kecil bergandengan riang dengan kedua orang tua
mereka....senang sekali .Tiba-tiba aku merasa cemburu sekali, itu sebabnya pulang dari
shalat Idul Fitri segera kutelepon mereka dan kukatakan agar sesegera mungkin mereka
kembali ke Jakarta. Rinduku tak tertahan lagi.
****
Hari ini aku bahagia sekali isteri dan anak-anakku telah tiba kembali di Jakarta. Di
perjalanan pulang dari Bandara Soekarno-Hatta, banyak sekali cerita-cerita lucu yang
kudengar. Bagaimana Azzam berceloteh tentang keheranannya melihat kerbau yang
dilepas begitu saja di sawah. Ahmad yang gemar mengejar bebek di halaman. Tak
ketinggalan pula Fitri begitu semangat menceritakan bagaimana mamak senang sekali
pada Afif yang menurutnya amat mirip dengannya. Subhanalloh ...mereka adalah Qurrata
'ayun bagiku. Diam-diam kubaca do'a "Robbana hablanaa min azwazina wa dzuriyatinaa
quratta'ayun waja'alna lilmutaqina imamah". Terima kasih ya Alloh ..... Engkau telah
memberiku anak-anak yang sholeh, sehat dan pintar. Engkau telah memberiku isteri yang
sholehah, baik, dan rajin.
Namun begitu tiba di rumah raut muka Fitri yang cerah terlihat berubah seketika...... Ia
terdiam dan kemudian terpekik......."Masya Allah abi,..... ini rumah apa kapal pecah?"
Dalam hati aku sudah menduga. " Maafkan aku Fitri, insya Allah ini yang terakhir
kali......" bisikku seraya membantunya membereskan semuanya. (wi)
MERENDA KESABARAN
A. Iffah Islamy
1 Mei 1998
Sudah satu minggu aku bekerja di sini, di klinik umum yang terletak
jauh di sudut kota. Hari-hari terasa begitu lamban bergulir, membuat
kepenatan terasa sesak menggunung. Ya, aku memang tak kerasan di
sini, ingin pergi saja dari sini, melamar kerja di tempat lain. Aku
kecewa, kecewa sekali melihat realitas di klinik ini. Katanya klinik
yayasan Islam, mengapa dokternya tak mengenakan jilbab?
Bukankah itu juga merupakan dakwah Islam? Harga obat di sini juga
lebih mahal dibanding klinik lain, bagaimana bisa membantu rakyat
miskin? Apalagi dokter Edo sang wakil direktur, sikapnya kepada rekan
wanita tiada kesan menjaga hijab. Ah, dia yang biasa mengisi kajian
ternyata hanya seperti itu. Okey, aku tak menuntutnya untuk over
menundukkan pandangan, tapi minimal dia bisa jaga jaraklah. Eh, kok
jadi ng-gibah? Tentang gaji? Jangan ditanya, minim deh. Tidak cukup
untuk biaya kos dan makan sebulan. Harus super hemat. Kamu tahu
jam kerjanya, Diar? Dua shift, kalau dinas pagi pukul 07.00-17.00
sedangkan dinas malam pukul 17.00 sampai 07.00. Perawatnya lima
orang, padahal di sini ada rawat inapnya dan pertolongan persalinan.
Kebayang nggak capek, monoton, dan penatnya?
15 Mei 1998
Untuk kesekian kalinya aku menangis usai salat malam di musala klinik
ini. Allah, hanya Engkau tempat mengaduku.
Allah, di sini letih..., di sini berat..., di sini...
Allah, hamba ingin pindah dari sini... tapi hamba malu pada-Mu.
Bukankah Engkau selalu memberi yang terbaik? Bukankah Engkau tak
pernah menzalimi hamba-Mu? Bukankah semua ini demi kebaikan
hamba-Mu? Allah, andaikan Engkau menghendaki hamba di sini,
maka... kuatkanlah hamba, sabarkan hamba, mohon beri hamba
kemudahan dan rasa ringan menjalani semua ini.
20 Juni 1998
Pusing, itulah yang kurasakan saat ini. Kepalaku terasa berat, perutku
mual, badanku terasa lemah sekali. Setelah membuat laporan dinas
malam, terbayang di pelupuk mataku alangkah nikmatnya tidurku
siang ini. Arlojiku menunjukkan pukul 08.00 pagi, saat aku mengambil
air wudu untuk salat Duha. Melepas kepenatan kerja yang kumulai
sejak pukul 17.00 kemarin, bayangkan berapa jam aku harus bekerja
setiap harinya? Apalagi tadi malam hampir tak istirahat. Ada pasien
melahirkan, ada pasien kecelakaan lalu-lintas yang harus dijahit
lukanya, dan pagi ini ada pasien opname baru. Buka puasaku kemarin
air teh saja, makan malamnya sedikit karena buru-buru, semalam
hampir tak tidur. Ini mungkin yang membuat tubuhku lemah ya? Allah,
latihlah hamba merenda hari-hari penuh kesabaran...
Sabar adalah berusaha agar hati kita senantiasa husnudzan pada-Nya,
menerima segala ketentuan-Nya walau kadang terasa pahit,
menyakitkan, dan menimbulkan keresahan yang dalam pada jiwa kita.
Semua itu karena kekerdilan jiwa kita yang belum mampu memetik
hikmahnya.
Seringkali dahan pepohonan lebih banyak bercabang usai ditebang,
dan sekian banyak dahan akan bertunas usai dilukai. Bismillah, segala
kepahitan semoga lebih mendewasakan jiwaku, mematangkan
kepribadianku, hingga aku lebih tenang menghadapi kehidupan ini,
lebih sabar menerima garis-Nya.
5 Juli 1998
Subhanallah...betapa lucunya bayi ini. Gemes rasanya. Luar biasa
perjuangan ibunya untuk melahirkannya. Bayangkan, 4.100 gram lahir
spontan. Putra pertama lagi! Rata-rata berat bayi yang lahir di sini
3.000-3.500 gram. Mendengar tangisnya yang melengking tinggi saat
sang ayah membisikkan adzan di telinga mungil itu, mengalirkan rasa
bahagia tersendiri. Ya Allah, bukankah fenomena alam ini sering
menggambarkan bahwa kebahagiaan selalu melalui proses panjang?
Aku mengingat-Mu dalam tetes bening tertahan, kala memandang
sang ibu mencium pipi gembul itu penuh kasih. Duhai, sudahkah ia
lupa dengan sakit tak terperi yang dirasakan tadi? Dengan rintihannya
yang bisa membuat orang lain pingsan bila tak biasa mendengarnya?
Betapa sebuah keikhlasan dan kesabaran telah meringankan berbagai
macam bentuk ujian berat kehidupan ini. Bagian dari kesabaran adalah
melatih jiwaku untuk mampu memetik hikmah dari kehidupan ini, dari
setiap pasien yang di hadirkan-Nya untukku.
10 November 1998
"Lho, Tya, kamu bekerja di sini?"
Itulah pertanyaan Hani usai menghadap direktur klinik ini, untuk
melamar kerja.
1 Desember 1998
Sabar adalah merasa bahagia apabila kita bisa membuat orang lain
tersenyum, apabila kita bisa membahagiakan orang lain.
Diary, ada kisah manis untumu. Hari ini ada bayi lahir di taksi. Heboh
ya? Saat sedang berbuka puasa seorang teman memanggilku. Ya Allah,
kepalanya sudah menyembul sedikit! Taksi itu penuh darah! Amira
mengambil posisi untuk memegang kepala bayi, Ruli berlari cepat ke
ruang bersalin mengambil peralatan persalinan. Aku dan Amira berzikir
tiada henti daN terus memberi semangat sang ibu untuk terus
mengejan. Aduh! Ibunya kehabisan tenaga pas sampai di leher bayi.
Oksigen siapkan! Allahu Akbar... Allahu Akbar.. ayo, Bu, terus
mengejan, terus..terus...Ibu tidak boleh berhenti. Ya...ya... sambung
terus, yang kuat, Bu. Ya Rabb... lilitan tali pusat! Amira dengan tangkas
memotong tali pusat yang melilit di leher bayi. Bismillah...bismillah
ngejan sedikit lagi, Bu... Alhamdulillah... lahirlah sang bayi suci dengan
tangisnya yang amat melegakan hati.
"Makasih, Nak...makasih...," seorang ibu tua dengan mata berkaca-
kaca dan wajah berbinar memandangi kami. Sopir taksi dan semua
yang mengantar melihat dari kejauhan. Mereka saling bersalaman
penuh rona kebahagiaan. Hatiku? Bahagia sekali, ya Rabb.
4 Februari 1999
Sabar adalah meniti hari-hari dengan memelihara yang selama ini
kurintis. Muslimah yang tenang, matang, dan dewasa. Begitu sulitnya.
Hari ini aku kena marah pasien, Diar. Dia membentak-bentakku penuh
emosi. Why? Anaknya kejang lagi dan aku tak cepat datang saat
dipanggil. Seperti biasanya kalau pagi yang dinas dua perawat, saat itu
Ruli sedang melayani imunisasi. Dan aku? Masih baru melepas mukena
saat pasien memanggilku, padahal "doa harian" usai salat Duha
kubaca dengan ‘kilat’. Tergesa-gesa aku naik lantai dua, tempat pasien
opname. Kulakukan tindakan seperlunya, kutekan lidahnya dengan
alat, kukompres alkohol. Syukurlah, seiring panasnya menurun,
kejangnya berhenti. Ayahnya masih menggerutu padaku. Kucoba
bersikap setenang mungkin, kala menanggapi gerutunya dan
pertanyaan-pertanyaannya. Kuingin menghapus ingatan, betapa ia
baru saja bersikap kasar padaku.
5 Februari 1999
Sabar adalah tiada letih berdoa, meminta kepada-Nya. Yakin, suatu
saat akan dikabulkan-Nya. Tidak hari ini, ya esok hari. Tidak di dunia,
ya di akhirat.
Hari ini aku libur, Diary. Subhanallah, nikmatnya...kubuka jendela
kamarku, angin sejuk terasa mengalir pelan di dadaku. Segar. Diary,
tahukah kamu apa yag kumaksud dengan "doa harian" usai salat
Duha? Doa ini mulai kubaca tujuh tahun yang lalu, saat usiaku masih
20 tahun. Dan hari ini akan kuulangi lagi, terus... Diary, inilah pintaku
pada Dia...
Ya Allah, bimbinglah hamba-Mu ini menjadi wanita yang salehah, yang
memiliki keteguhan akidah, kemantapan iman, kekuatan jiwa,
kehalusan, kelembutan, kesabaran, kematangan, dan kedewasaan.
Ya Allah, bimbinglah hamba untuk mempersiapkan diri menjadi istri
dan ibu yang salehah. Yang mencintai-Mu dan Rasul-Mu di atas segala-
galanya, berbakti kepada suami, sabar, dan telaten mendidik putra-
putri hamba semoga menjadi mujahid dan mujahidah-Mu.
Ya Allah, Engkaulah yang berhak memilihkan pendamping hidup
hamba. Semoga Engkau memilihkan dari pria Muslim yang saleh,
teguh dalam menegakkan dien-Mu, dan pandai mensyukuri nikmat-Mu.
Diary, mataku basah.
20 Maret 1999
Bersabar dan lipat gandakan kesabaranmu. Ya, bagian dari kesabaran
adalah
2 Mei 1999
Sabar adalah berikhtiar maksimal, hasilnya kita serahkan pada Dia.
Satu catatan, ikhtiar itu harus sesuai dengan aturan-Nya, rambu-Nya.
Allah, hari-hari bersama-Mu…
Hari ini aku jadi panitia sembako murah dan tim kesehatan dalam
pengobatan gratis yang diadakan sebuah yayasan. Bahagia bahwa
ternyata aku bisa berbuat sesuatu untuk umat, bisa mengamalkan ilmu
yang kumiliki untuk rakyat lemah yang membutuhkan.
Ya...ya...aku harus berikhtiar untuk mengisi hari-hariku dengan sesuatu
yang bermanfaat, karena ternyata masih banyak yang belum
kuperbuat untuk umat di usiaku yang menjelang tangga ke 28 ini.
11 Juni 1999
Ting tong, ting tong, ting tong....
Pukul tiga dini hari, kala aku mengambil pena ini. Kesejukan dan
kepasrahan pada-Nya menyelimuti hatiku. Damai. Aku baru saja salat
Hajat, mohon pada-Nya agar Dia mengaruniakan kemudahan padaku
untuk bertemu dengan pendamping perjuanganku di jalan dakwah ini.
Diary, hari-hari terahir ini hatiku labil lagi. Why? Seminggu yang lalu
dalam kondisi sakit Ibu menanyakan padaku, "Tia, Ibu ingin melihatmu
menikah. Ibu sudah tua, Nak, sudah 70 tahun." Duh, perasaanku
seperti
25 Juli 1999
Sabar adalah mensyukuri nikmat-Nya dengan memanfaatkan segala
yang kita miliki untuk menegakkan Dien-Nya, sebelum Dia mengambil
dengan cara yang terbaik menurut-Nya.
Diary, esok usiaku genap 28 tahun. Mbak Afi, pembimbing mengajiku,
mengajakku ikut rombongan medis untuk pengungsi Sambas yang saat
ini kondisinya sangat memprihatinkan. Kesempatan yang tak boleh
kusia-siakan... mungkin dengan cara inilah aku bisa berbuat sesuatu
untuk dien ini. Ya, dengan ilmu keperawatanku ini.
Buat Mbak Rida dan hatiku yang tengah merintis...
Muka
MENEBAR KEDAMAIAN
Baru kali ini selama 5 tahun perkawinannya, Astiti benar-benar tidak mengerti dengan
tindakan Iwan suaminya. Iwan, seorang lelaki yang alim dan sholeh membuat keputusan
untuk mengontrak rumah di daerah yang lingkungannya benar-benar tidak "bersih". Sejak
dipindah tugas oleh kantornya di daerah ini, maka mau tidak mau kami harus mencari
kontrakan lagi di daerah yang dekat dengan kantor suaminya. Untuk bertahan tinggal di
tempat dulu, rasa-rasanya tidak mungkin lagi karena gaji suaminya akan ludes hanya
untuk transport dan lagi jaraknya cukup jauh.
Sebenarnya rumah yang akan mereka tempati nanti sangatlah ideal, dan lagi harga
sewanya yang cukup murah untuk rumah se type ini, sepetak rumah ukuran 100 meter
persegi ditambah pekarangan yang mengelilingi cukup luas. Tempat seperti ini tidak
pernah dijumpainya pada "rumah-rumah" nya terdahulu.Tetapi hanya satu yang membuat
Astiti tidak suka, yaitu lingkungan sekitarnya yang amat sangat tidak mendukung. Di
ujung gang masuk terdapat warung temapt berkumpulnya pemuda-pemuda yang suka
mabuk. Kalaulah sudah malam hari suara "genjrang-genjreng" irama musik sangat
memekakkan telinga ditambah lagi lingkungan tetangga di daerah ini sangat tidak
familiar menurut Astiti. Atau mungkin melihat penampilan Astiti yang lain dari
kebanyakan wanita disini dengan menggunakan kerudung yang selalu menutup auratnya.
Juga satu lagi yang membuat Astiti paling tidak suka adalah di gang sebelah terdapat
sebuah rumah "bordil" sarang maksiyat. Kata orang-orang di sekitar sini rumah bordil
tersebut tanpa ijin Pemda setempat alias beroperasi secara gelap tetapi tergolong besar.
Tetapi Astiti tidak perduli, mau gelap kek terang benderang kek kalau yang namanya
sarang maksiyat tetap saja berdosa, dan sampai saat ini Astiti tidak pernah dan tidak akan
mau melihat atau melewati gang sebelah. Ihh Astiti bergidik... Naudzubillahi min dzalik.
"Ada apa dek..kok melamun terus sih...udah selesai belum membongkar kotaknya ?"
Teguran mas Iwan membuyarkan lamunan Astiti.
"Hhemmm...mana bisa beres sih mas dalam waktu singkat" jawab Astiti dengan ogah-
ogahan.
"Yaaa..mana bisa cepat selesai kalau sama ngelamun begitu...ada yang bisa di bantu
dek..?" tanya Iwan ramah.
"Banyak sih kalau mau bantu..... itu kotak-kotak di ruang tamu sama sekali belum aku
bongkar, kotak yang sudah dibongkarpun belum sempat aku bereskan " Jawab Nastiti
agak meninggi..entah karena letih atau hatinya kurang sreg tinggal di rumah baru ini.
"Ya sudah sini biar mas bantu..pokoknya tanggung beres deh.." Iwan menyahut dengan
sabarnya.
Memang kalau Astiti sudah terlihat bersungut-sungut terus pertanda hatinya diliputi
perasaan kesal dan kalau sudah begitu Iwan tidak akan menanggapi...percuma kalaupun
ditanggapi pun nantinya akan meletuplah pertikaian-pertikaian kecil.
Walaupun sudah sepekan mereka boyongan ke rumah baru tersebut, tetapi Astiti masih
malas membongkar kardus-kardus barang dan segera merapihkannya. Bahkan ada
bebrapa kardus memang sengaja tidak di bongkar olehnya. Karena Astiti berharap
kepindahan di rumah ini tidak akan lama. Dan ia berharap Iwan segera dipindah lagi
tugas kantornya ataupun kalau tidak mereka menemukan rumah kontrakan lagi yang
lebih indah lingkungannya.
Enggan pula Astiti untuk melakukan silaturahim dengan tetangga kanan kirinya. Pikirnya
percuma saja diajak menuju kebajikanpun susah akan berhasil. Alhasil selama ini Astiti
hanya mengurung diri dan anak-anaknya di dalam rumah saja. Pertama yang ia takutkan
adalah banyaknya "virus-virus" yang akan menggerayangi anak-anaknya, apalagi
Abdullah sudah berusia 3 tahun dan Ahmad 1 tahun akan mudah sekali meniru apa yang
dilihat dan didengar Entah apa omongan para tetangga yang beredar Astiti tidak mau
tahu. Bahkan Astiti pun melarang mbok Yem khadimat yang telah menemaninya
semenjak ia anak-anak untuk tidak bergaul terlalu dekat dengan tetangga sekitar.
Semenjak Astiti kecil memang dilahirkan dalam lingkungan yang bersih, dan tidak
pernah terlintas sedikitpun di dalam pikirannya tinggal di daerah seperti ini. Masa kanak-
kanaknya dihabiskan di lingkungan pesantren, karena Ayahnya termasuk pengajar
pesantren. Kemudian ketika menginjakkan kakinya di bangku perguruan tinggi, teman-
temannya banyak sekali orang-orang yang aktif dalam kajian keislaman dan Astitipun
meleburkan diri dalam aktifitas tersebut. Bahkan setelah menikah dengan Iwan tempat
tinggalnya tak jauh dari pusat pendidikan Islam yang besar sehingga lingkungan
sekitarnya banyak sekali para keluarga Islami yang menyekolahkan anak-anaknya di
sekolah tersebut. Jadi selama ini Astiti selalu tinggal di daerah yang bersih dan terisolasi
dari virus yang merusak iman.
Siang itu Astiti pulang dari belanja dan seperti biasanya ia naik mikrolet. Ketika turun
dari mikrolet tiba-tiba terdengar celetukan orang dari dalam.
"Ehh..nggak nyangka pake jilbab turunnya di warung mang Dirun.."
Deg...Asititi terhenyak mendengar celetukan salah seorang penumpang di mikrolet.
Ternyata warung mang Dirun tempat berkumpulnya para pemuda berandalan itu terkenal
akan kejelekannya.
Perasaan Astiti jadi tak menentu.Sesampai dirumah ia menangis menjadi-jadi. Semakin
tak betahlah Astiti tinggal di daerah ini. Kesal juga ia tujukan kepada Iwan suaminya,
mengapa begitu teganya memilihkan tempat tinggal di lingkungan ini untuk keluarganya.
Malam hari sepulang Iwan pulang dari kantor, Astiti menguraikan perasaan yang
menggumpal di dadanya.
"Mas...kok begitu tega memilihkan tempat tinggal di daerah ini buat kita" tanya Astiti
"Emangnya..kenapa to dek..dek..bukannya dimanapun di Bumi Allah itu sama" timpal
Iwan
" Lho bagaimana sih Mas Iwan ini, lha dekat tempat maksiyat kok ya di jadikan alternatif
tempat tinggal...emang nggak ada tempat kontrakan lagi yang lebih baik.."
"Ada sih dek tapi itu di perumahan elite seberang jalan, kalau dek Asti mau tinggal di
sana gaji Mas nggak cukup..maaf ya dek" canda Iwan.
"Mas Iwan sih enak, pergi pagi ke kantor pulang sudah menjelang maghrib, sedangakan
aku... mas yang disini sepanjang hari sudah tidak betah melihat berbagai kemaksiyatan di
depan mata"
Astiti semakin kesal saja dengan Iwan yang masih bisa bercanda padahal ia sudah
gondok sekali.
"Sebenarnya sebelum Mas putuskan untuk memilih tempat tinggal disini, sudah putar
kesana kemari mencari kontrakan. Ada yang di gang samping kiri itu rumahnya kecil
sekali hanya ada satu kamar tetapi kontrakannya 2 kali lipat di sini. mas juga heran dek
mengapa harga kontrakan rumah ini begitu murah..
Menurut pak RT, karena yang menempati rumah sebelum kita ditemukan bunuh diri
dengan gantung di pohon mangga di pekarangan. Hemm apa itu yang membuat dek Asti
takut tinggal disini..."tukas mas Iwan
"Masya Allah mas...biarpun ada seratus demit, jin dan sebangsanya mengganggu kita
..Insya Allah aku nggak takut mas.."
"Bener nih.." selidik mas Iwan.
"Rasulullah kan bersabda apabila hendak mencari tempat tinggal, kita juga harus melihat
tetangga kiri kanan alias kita juga harus memperhatikan lingkungannya.." timpal Astiti.
"Lalu de Asti mau apa...mau pindah, atau mau tinggal di rumah bapak ..." tanya Iwan
dengan sabarnya.
Astiti terdiam seribu bahasa.
"ya..memang idealnya rumah yang akan ditempati memang seperti demikian. Tetapi
kalau kondisinya seperti ini bagaimana dek...Lagian Mas sudah membayar uang
kontrakan selama setahun, sayang khan kalau kita sudah keburu pindah.."Iwan
menjelaskan.
Astiti tetap berdiam saja.
"Sabar dulu ya dek...Insya Alloh ini merupakan ujian bagi kita. Dimanapun juga kita
tinggal yang namanya ujian itu pasti ada dari Alloh. Nah itu artinya kita sebagai orang
beriman karena Alloh mendatangkan ujian buat hambanya..." jelas Iwan, "Tinggal
bagaimana kita bisa melaksanakan ujian ini atau tidak, artinya kita dapat tinggal di daerah
ini tanpa kita teracuni, dan yang terpenting bagaimana kita dapat ber'amar ma'ruf nahi
munkar terhadap tetangga.."
Kalau sudah begini Astiti sudah tidak dapat mengelak lagi argumen Iwan, karena yang
dikatakannya memang ada benarnya. Tinggal bagaimana Astiti menterjemahkan kata
sabar dalam kehidupannya sekarang ini. memang benar-benar harus sabar karena tidak
terdengar suara adzan Duhur , Asar serta isya', sebagai gantinya terdengar nyanyian
musik dangdut. Hanya terdengar adzan Maghribdi surau yang amat sangat kecil dan
jarang dipenuhi jamaah.
Siang ini terjadi sebuah insiden kecil di dapur Astiti. Rupanya mbok Yem terburu-buru
memasukkan minyak di dalam kompor dan minyak berceceran kemana-mana, sehingga
ketika akan dipakai kompor tersebut meledak dan menimbulkan suara keras.
Astiti yang baru saja menyelesaikan shalat duhur di kamar menjadi panik. Ia langsung
menyambar Ahmad dan Abdullah yang sedang tertidur lelap. Mereka berdua merupakan
kekayaan yang paling berharga buatnya di dunia ini. Dan segera memerintahkan mbok
Yem segera pergi. Terlihat tangan mbok Yem sebelah kiri agak melepuh. mungkin sedikit
terkena jilatan api. Keluar rumah Astiti langsung berteriak minta tolong, segeralah
berdatangan para tetangga untuk menolongnya. Sedangkan dari arah warung mak dirun,
para pemuda yang biasanya berkongkouw-kongkouw langsung masuk ke rumah Astiti,
sekitar lima belasan orang pemuda masuk dan segera membantu memdamkan api yang
menjilat dapur Astiti. Tampak semangat sekali mereka. Ada yang mengambil air di
sumur, ada yang menyemprotkan air dari keran, ada yang mengambil pasir untuk
disebarkan ke arah api.
Sedangkan Astiti bersama dua anaknya dan mbok Yem berada di rumah mbak Marni
tetangga sebelahnya. Mbak Marni mengambilkan air putih untuk Astiti, dan mbak Lastri
tetangganya pula membantu meredakan tangis Ahmad yan kaget melihat kejadian di
rumah nya.
"Bu Iwan...sabar ya bu...ini air putih ayo diminum dulu, ayo mbok Yem di minum juga "
suruh mbak Marni.
"Terima kasih ya mbak Marni" ucap Astiti lirih.
Pada saat genting seperti ini Ia hanya pasrah kepada Allah saja.
"Bu..kalau api belum bisa padam nanti bisa tidur di rumah saya saja, kasihan anak-anak"
ajak mbak Marni.
Astiti hanya bisa mengiyakan, di dalam hatinya hanya berdoa agar api tidak menjalar
kemana-mana.
Suasana jalan di rumahnya, siang ini benar-benar ramai sekali. Tetangga-tetangga Astiti
bahu membahu memadamkan api yang ada di rumah Astiti.
Alhamdulillah tidak sampai setengah jam api berhasil di padamkan, berkat kerja keras
para warga dan juga bantuan pemuda-pemuda itu yang berani memadamkan api sehingga
jilatannya hanya sampai dapur saja. Itupun hanya daerah di sekitar kompor saja yang
terkena, barang-barang lain di dapur dapat diselamatkan.
Kejadian siang itu, telah membuka hati Astiti. Ternyata para pemuda yang selama ini
amat dibencinya, telah membantu keluarganya untuk memadamkan api.
Ternyata mbak Marni tetangga sebelah rumah, yang bekerja pada malam hari, dan sempat
membuat Astiti menjadi tak suka telah banyak membantunya.
Ternyata mbak Lastri, mbak Mur, mbak Rini yang sering berdandan menor juga
membantu Astiti dengan suka rela.
Ternyata bu Dedeh, bu Jali, bu Anom yang sering terlihat oleh Astiti ngerumpi di mana-
mana mambantunya pula....
Dari kejadian ini Astiti segera tersadar bahw sebenarnya mereka pada dasarnya adalah
orang-orang yang baik, tetapi mungkin tidak ada yang mengarahkan jadilah masyarakat
seperti ini. Selama ini ternyata ber amar ma'ruf nahi munkar yang Astiti terima hanya
sebatas konsep-konsep belaka dan belum pernah dipratekkan dalan kehidupan sehari-
harinya.
Pertama-tama yang dilakukan Astiti adalah mencoba mendekati anak-anak kecil. Astiti
mengundang sekitar 30an anak -anak seusia 4 tahun sampai 7 tahun dengan alasan
syukuran.Dibuatkan kantng-kantong kecil berisi permen dan biskuit. Permainan anak-
anak yang meriah di pekarangan rumahnya yang cukup luas dibuatnya. Kalau sudah
begini Astiti bersyukur sekali mempunyai pekarangan rumah yang cukup luas.Setelah
capai bermain, anak-anak diajaknya berkumpul untuk dicoba mengetahui hafalan surat
dan sedikit pengetahuan tentang agama. Cukup shock juga Astiti terhadap anak-anak
seusia tersebut ternyata tidak hafal dengan surat Al Fatihah. Tetapi lagu-lagu dangdut
mereka cukup fasih melantunkannya.
Sekarang kalau sore hari, anak-anak banyak yang bermain di pekarangan rumah Astiti.
Sekarang mereka tidak takut terhadap sosok Astiti, yang menurut mereka dahulu terlihat
amat galak. Astiti tersenyum sendiri. Lama-lama anak-anak yang suka bermain di
pekarangan rumah diajak untuk shalat Maghrib berjamaah dengannya, tentu saja hal ini
merupakan sesuati yang baru bagi anak-anak itu. Tetapi mereka menyambut dengan
senang. Kemudian dilanjutkan dengan belajar mengaji.
Semakin lama jumlah anak-anak yang sering menyemarakkan rumah Astiti bertambah.
Kalau dulu hanya sekitar 10 orang, sekarang berjumlah sekitar 25an anak. Kadang Astiti
semakin kewalahan karena banyaknya. Dan ia sekarang dipanggil ibu Haji oleh anak-
anak itu, ia hanya meng amin kan mudah-mudahan terkabul cita-cita mulia ini.
Sambutan positif ternyata juga bergaung pada ibu anak-anak tadi. Ibu-ibu di lingkungan
ini ada yang meminta tolong agar Astiti mengajarkan membaca Alquran. Tentu saja
kesempatan emas ini tidak disia-siakan olehnya. Tersebutlah nama mbak Marni, mbak
Lastri, mbak Mur, bu Dedeh, bu Anom dan ibu- ibu lainnya menyemarakkan rumah Astiti
untuk belajar membaca Alqur'an dan juga di selingi oleh Astiti untuk mengajarkan Islam.
Iwanpun tak ketinggalan pula dalam mencoba beramar ma'ruf nahi munkar. Para pemuda
yang sering berleha-leha di ujung jalan sering pula bertandang ke rumah.Mereka salut
terhadap Iwan, karena Iwan yang berpendidikan tinggi mau bertutur sapa dengan mereka
yang rata-rata pemuda putus sekolah dan pengangguran.
Sekarang pun jarang dijumpai para pemuda-pemuda itu ber mabuk-mabukan. Tetapi
suara musik yang mereka nyanyikan kadang masih terdengar. Tetapi itupun pada hari
Sabtu malam saja. Kini mereka dikoordinir oleh Iwan untuk mengerjakan suatu
ketrampilan tertentu yang dapat menambah penghasilan. Jamaah di surau pun mulai
ramai. Iwan berusaha menghidupkan aktifitas di surau tua itu. Sekarang suara adzan pun
terdengar lima waktu berkumanadang.
Memang untuk merubah sesuatu secara frontal tidak semudah membalikkan tangan,
tetapi butuh pengorbanan yang besar terutama kesabaran.Astiti dan Iwan berusaha untuk
memutihkan daerah mereka yang dahulu hitam. Tentunya banyak juga halangan yang
menimpa mereka. Tetapi mereka tetap optimis karena Allah lah yang menyertai mereka.
Ada lagi harapan dan cita-cita Astiti..yaitu mencoba memutihkan gang sebelah dengan
lokalisasinya.Yaa tentunya cita-cita mulia ini Insya Allah akan ditegakkannya.
Namun memang butuh waktu untuk itu semua.
Allah akan bersama mereka...............
MENGANYAM KESABARAN
Aku dan Aa berselisih dua tahun. Kami menikah ketika aku tahun ketiga,
dan Aa sedang dalam proses menyelesaikan skripsinya. Kami berada di fakultas yang
sama, FMIPA, walau berbeda jurusan. Aku kimia, sedang Aa fisika. Alhamdulillah, Allah
menjawab doa-doa kami, dengan memberikan cinta dan kasih sayangNya pada hati-hati
kami. Walau kami tidak berpacaran seperti yang biasa dilakukan orang-orang pada
umunya, ternyata kami bisa cocok dan saling memahami hingga usia perkawinan kami
menjelang tahun ke enam sekarang, tak ada percecokan
yang sampai mengguncang bahtera yang kami layari. Kalaupun ada
mungkin keinginan kami untuk mempunyai anak...Tidak, itu tak pernah mengguncangkan
bahtera. Bahkan boleh dibilang memperkuat ikatan tali hati kami.
Ketika setelah dua tahun menikah Allah belum juga mempercayakan amanah itu pada
kami, aku sendiri masih tenang-tenang saja. Aku memang tidak mempunyai siklus
bulanan yang teratur sebagaimana wanita normal. Tetapi melihat keturunan dari ibu dan
bapak, keluargaku termasuk"subur". Demikian pula Aa. Sampai akhir nya Aa pergi
belajar ke Jepang ditugaskan lembaga yang selama ini memberi Aa beasiswa, dan aku
menyusulnya satu tahun kemudian untuk menemani Aa setelah skripsi
ku yang sedikit berlarut-larut karena aku harus membagi waktuku sebagai seorang
istri dan mahasiswi, selesai disidangkan.
Atas keinginanku yang disetujui oleh Aa, akhirnya kami berdua berkonsultasi pada dokter
ahli kandungan yangsekarang ini. Kebetulan dan alhamdulillah sekali beliau perempuan..
Dan setelah diteliti, ternyata benar dugaanku. Aa normal, akulah yang sakit. Sehingga
sejak satu setengah tahun lalu aku berobat secara intensif. Walaupun belum tampak
hasilnya hingga kini. Namun atas dorongan semangat Aa, aku bisa terus sabar berusaha
hingga kini. Dan aku tahu, Aa juga menunjangnya dengan doa-doa di sujudnya yang lama
setelah shalat, sebagaimana yang juga aku lakukan.
Kesepian menunggu datangnya amanah itu bukannya tak pernah kami rasa-
kan, khususnya aku. Tanpa aku katakan pada Aa apa yang aku rasakan, Aa seakan
mengerti. Sehingga ketika hari tahun ajaran baru universitas dimulai, Aa menyarankan
agar aku melanjutkan sekolah saja. Di rumah sendiri bukannya
tak ada pekerjaan. Pekerjaan menterjemahkan secara bebas artikel-artikel bahasa Inggris
dan kukirim ke redaksi-redaksi majalah, adalah pekerjaan yang sudah kumulai sejak aku
masuk universitas. Lalu kursus Bahasa Arab gratis dengan beberapa teman, ibu-ibu dari
Mesir seminggu sekali. Dan pelajaran bahasa Jepang secara autodidak yang aku lakukan
melalui TV dan majalah berbahasa Inggris_Jepang. Belum lagi pekerjaan rumah tangga,
yang walaupun sebagian besar serba otomatis tetapi membutuhkan kesabaran untuk
melawan kebosanan itu, juga menunggu. Tetapi waktuku yang banyak sendirian di rumah
kadang-kadang membuat aku tak kuat melawan sepi. Dan Aa mengerti benar
kecenderunganku tersebut.
Dan akhirnya aku memilih masuk fakultas pendidikan, dan mengambil spesialisai
psikologi pendidikan. Karena aku melihat Jepang mapan dalam pendidikan dasarnya.
Sedari dulu aku tergelitik untuk mengetahui "resep"nya. Tanpa pikir dua kali aku
menyambut saran Aa. Dan jadilah setahun yang lalu aku mahasiswi di universitas yang
sama dengan tempat Aa sekarang. Walaupun satu universitas tempat kami berjauhan. Dan
kami memutuskan untuk pindah ke tempat yang sekarang.
Hari-hari hanya berdua saja dengan Aa dari sisi lain kurasakan juga sebagai anugerah
Allah pada kami. Karena belum disibukkan oleh anak, membuat aku lebih punya banyak
waktu memperhatikan Aa, berdiskusi banyak hal dengan Aa, dan lain-lain yang
kurasakan sangat mendekatkan aku dengan Aa. Jalan-jalan pagi atau sore sepanjang
sungai kerap kami lakukan. Dan ketika kami bertemu dengan pasangan suami istri yang
berjalan-jalan bersama buah hati mereka, tanpa sadar mata-mata kami memandang pada
si kecil yang yang memandangiku dengan lucunya. Dan seperti biasa, kalau tidak aku
atau Aa akan berguman:"lucunya.."
"A, nanti anak kita lucu atau nggak, ya..?"
Atau: "De, mudah-mudahan anak kita juga lucunya kayak gitu.."Yang kuaminkan dalam
diam. Dan biasanya kami akan saling memandang dan tersenyum bersama. Walau
bagaimanapun kami merindukan kehadiran amanah itu, ya Allah..
Dan tibalah keajaiban itu, tepat empat bulan setelah itu, hawa dingin sisa- sisa musim
dingin masih tertinggal Bulan Februari akhir, beberapa hari sebelum Ramadhan. Aku
menemui Dokter Abe seperti biasa. Kali ini sambil membawa buku catatan suhuku yang
kuukur setiap hari. Ada debar-debar harap karena kulihat grafik suhu tersebut tidak
menurun. Tapi aku tak mau terlalu berharap. Karena takut kecewa yang berlebihan, jika
bukan berita baik yang kudapat.
Dan dengan perasaan sedikit tak tenang kutunggu hasil pemeriksaan urine. Dan ku
dengar namaku dipanggil."Aya-san!"
Kudapati dokter Abe dengan ekpresi ramah seperti biasa.
"Duduklah,"katanya. Aku duduk dihadapannya sambil harap-harap cemas.
(... Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepada mu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira ke
pada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa mushibah mereka
berucap:
Innalillaahi wainna ilaihi raaji'unn. mereka itulah yang mendapat keberkatan yang
sempurna dan rahmat dari RabbNya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk ...)
Aku terisak di belakang Aa, mendengar teguran Allah yang lembut itu.
Betapaku rasakan Allah langsung menegur sekaligus menghiburku lewat ayat-ayat
tersebut.
Selesai shalat, seperti biasanya Aa shalat rawatib ba'da maghrib ,
lalu berdzikir sebentar. Tak lama kemudian membalikkan badannya ke arahku.
Aku menatap Aa. Kutemui mata yang cekung dan kurang tidur, karena beberapa hari ini
Aa harus menjalani hidup antara rumah, rumah sakit, dan kampus, untuk menungguiku di
rumah sakit. Kucium punggung tangan Aa seperti biasanya.
Aa tersenyum bijak dan mengelus kepalaku dengan tangan kirinya.
"Innallaaha ma'ashshabiriin, De.."katanya serak. Aa bukanlah tipe orang
yang mudah mengekspresikan emosinya lewat titik air mata. Tapi kali ini, kulihat mata
cekung Aa dipenuhi oleh kata-kata. Aku mengangguk pelan. Kurasakan mataku memanas
lagi, dan kurasakan pandanganku kabur karena genangan air mata. Aa tak melepaskan
genggaman tanganku, digenggamnya erat-erat seolah ingin berbagi kekuatan dengan ku.
Ya Allah, jika Engkau masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang
Engkau berkati dan rahmati karena kesabaran kami menanggung cobaan, cobaan yang
tidak seberat yang dialami saudara-saudara seiman kami yang harus hidup dalam
ketakutan, kehilangan harta, bahkan nyawa dalam mempertahankan tanah air Islam, maka
bimbinglah kami terus untuk dapat terus menganyam benang-benang kesabaran kami,
agar menjadi kuat dan kokh sehingga mampu menanggung cobaan
yang lebih berat lagi...
(is95)
Keterangan:
Aa* bahasa sunda artinya sama dengan panggilan Mas(untuk orang Ja
wa), atau Abang (untuk orang Betawi)
Dede* bahasa Sunda, artinya sama dengan adi, jeng (atau apalah
panggilan sayang buat istri)
Miso* semacam tauco Indonesia terbuat dari beras, kedelai, dan garam
Domou arigatou gozaimasu *terimakasih banyak
.....san * cara orang Jepang memanggil lawan bicaranya
Hujan belum berhenti sejak subuh tadi. Matahari tertutup awan kelabu.
Meski sudah jam tujuh pagi, suasana masih seperti subuh saja. Udara
dingin dan kabut tebal membuat semua orang enggan keluar dari
selimutnya. Begitu juga dengan Muli. Sehabis shalat Subuh tadi ia
merapatkan lagi selimutnya. Kebetulan hari ini tidak ada kuliah pagi.
Jadilah mimpinya bersambung lagi. Disebelahnya Eka juga nyenyak
lagi dalam tidurnya. Muli dengan Eka memang sekamar di rumah kost
*****
*****
Muli bosan, kantuknya datang, entah sudah berapa kali dia menguap.
Mata kuliah ini sebenarnya menarik tapi dosen yang membawakannya
membosankan. Coba kalau Bu Nina sedikit lebih semangat dan
mengeraskan suaranya, pasti tidak akan sebosan ini, pikir Muli.
Ditambah lagi memang kuliah ini waktunya setelah makan siang,
jadilah kantuknya semakin datang.
Muli menatap ke luar jendela membuang kejenuhan. Pohon asam yang
tinggi dan besar di halaman, menebarkan keteduhan lewat angin
semilir yang berhembus diantara rimbun dedaunnya. Tiba-tiba dia
ingat kejadian sebelum berangkat kuliah tadi. Tidak sengaja dia
melihat Santi sedang asyik ngobrol berdua di teras rumah. Mungkin itu
cowok yang dibicarakan Cesi tadi, pikir Muli. Mereka memang terlihat
sangat akrab, ibarat Romi dan Juliet, pantas saja isunya sudah heboh
serumah kost. Ketika Muli melintas dekat mereka, Santi melambaikan
tangannya ringan, malah Muli yang rikuh sendiri dan mempercepat
langkahnya.
Muli tak habis pikir, koq bisa-bisanya Santi sedemikian akrab seperti di
film-film saja. Apa mungkin Muli yang ketinggalan zaman hingga malu
sendiri melihatnya. Bukan bermaksud ikut campur urusan orang, batin
Muli tapi sebelum Muli hijrah ke ibukota ini ia memang tinggal di desa
kecil di Bukit Tinggi, jadi wajarlah jika ia agak heran dengan budaya
pergaulan kota besar. Nasiblah yang membuatnya terdampar di sini. Ia
mendapat kursi disalah satu universitas negeri lewat PMDK. Itu
sebabnya ia pindah dan tinggal di rumah kost itu dan berpisah dengan
keluarga tercinta. Ibu bapaknya wanti-wanti berpesan agar baik-baik
menjaga diri di sini, di kota yang asing ini. Masih terbayang dalam
benaknya ibu yang menangis dan memeluknya erat sebelum berpisah
setahun yang lalu. Ya setahun yang lalu, Muli memang masih baru
dibelantara kota ini.
*****
Tidak seperti biasanya Minggu pagi ini dapur rumah kost meriah. Bak
akan ada hajatan besar, semua penghuni kost tumplek di dapur. Ada
yang mengulek bumbu, memotong ayam, atau mengupas buah untuk
rujakan. Iyem tak kalah sibuk pontang-panting ke sana kemari.
Sebenarnya tidak ada acara spesial apa-apa, hanya Minggu pagi ini
ujian Mid-Semester baru saja selesai. Oleh karena itu mereka janjian
masak dan makan siang bersama. Kebetulan ada Medi yang memang
pintar masak dan tahu segala macam resep. Masakan olahannya
ditanggung enak dan lezat. Jadilah Medi yang mengatur bumbu ayam
panggang pagi itu sambil diolah bersama-sama.
Meskipun satu rumah mereka jarang berkumpul seperti ini, ada saja
kesibukan masing-masing yang berbeda. Itu sebabnya Minggu pagi ini
*****
Jam 12 malam. Muli menutup diktat tebalnya. Meski belum mengantuk
tapi badannya pegal. Eka sudah tertidur sambil memegang bukunya.
Sayup-sayup suara Bon Jovi dari kamar Astrid disebelahpun sudah
sejak tadi menghilang. Muli mematikan lampu belajarnya,
menggantinya dengan lampu tidur yang mungil. Dalam keremangan
malam Muli merebahkan tubuhnya. Acara siang tadi masih segar
dalam ingatannya. Senyum bahagia Mbak Nurul begitu melekat dalam
benaknya. Mbak Nurul memang terlihat sangat cantik dalam balutan
gaun pengantinnya. Matanya bersinar bahagia.
Dan Muli? dia merekam semua peristiwa itu dalam benaknya, semua
membekas dalam dihatinya. Muli memang baru belajar dan memulai
semuanya. Runtutan berbagai cerita cinta yang baru-baru ini didengar
dan dilihatnya, seperti pelajaran yang diterimanya. Beberapa
kebingungannya seperti terjawab. Paling tidak Muli jadi mengerti
sedikit tentang hakekat cinta dan pernikahan. Baru sedikit memang.
Aku harus banyak belajar untuk lebih memahami semuanya, tekad
Muli dalam hati sesaat sebelum ia lelap dalam tidurnya. (*)
Muka
Kekuatan Doa
"Jadi ... Yasmin. Liburan ini kamu nggak pulang?"
"Yah, nggak tahu deh Mam. Insya Allah kalo semuanya sudah selesai."
"Memangnya kenapa?"
"Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan, Yasmin. Kun fa yakun,
jadilah maka jadilah ia."
"Tapi Pa ..."
"Tinggalkan semua pekerjaanmu. Toh itu tak seberapa perlu, itu cuma
alasanmu bukan?"
"Yasmin, Yasmin ... nggak bisa Pa. Mereka bukan adik-adik yang Yasmin
banggakan lagi."
"Yas, jangan bikin sedih Papa. Papa tahu, mereka sudah berubah. Tapi
pulanglah. Pulanglah." Papa beranjak pergi. Yasmin berusaha menarik
tangan Papa, tapi tubuhnya perlahan memudar.
"Papa! Papaa!"
***************
Stasiun Tawang. Seperti biasa, kereta api Senja Utama Bisnis Jakarta -
Semarang tiba terlambat satu jam dari jadwal seharusnya. Yasmin tak
peduli, yang dipikirkan hanyalah adik-adiknya. Apakah mereka benar-
benar kangen, atau itu cuma alasan Mama? Hm, pasti si Aldo belum
berhenti merokok. Alex pasti masih susah diajak sholat. Belum lagi
kenyataan, kedua-duanya punya bakat playboy. Hari liburku pasti
dipenuhi dering telepon cewek-cewek mencari mereka. Yang
kelakuannya agak bener cuma Agil, si bontot. Paling Yas cuma harus
ngingetin, kapan dia berhenti nonton teve dan harus belajar.
"Benar-benar tak berguna diriku ini. Aku malu dengan jilbab yang
kupakai.
Aku malu dengan teman-teman Rohis, setiap kali pulang pasti mereka
menyindir : bagaimana adikmu, Yasmin? Aku malu dengan diriku!" jerit
Yasmin dalam hati.
"Wa alaikum salam. Lho, mbak Yasmin tho? Katanya nggak pulang?"
Khodimatnya membuka pintu, lalu mengambil tas bawaan Yasmin.
"Iya, kemarin aku mimpi Papa nyuruh pulang," jawab Yasmin jujur.
"Adik-adik mana mbak, belum pada bangun ya?" tanya Yasmin sambil
mengeringkan muka.
"Oh, mas Alex habis subuhan langsung mandi. Mas Aldo sama mas Agil
belum bangun."
***************
"Mbak, ada surat dari Malaysia. Maaf ya, prangkonya sudah diambil
mas Agil."
Yasmin meletakkan sapu dan menelitinya. Oh, UKM. Pasti dari Zainul
Abidin alias Za, teman Rohisnya dulu, yang sering jadi sasaran jodoh-
jodohan dulu. Gara-garanya banyak banget kesamaan Yas dengan Za.
Sama-sama yatim, punya adik dua yang nakal-nakal, suka utak-atik
matematik. Dulu pernah, mereka berdua mau dikirim ke Olimpiade
Matematika di Singapore. Sayang Yas kena tifus, alhasil Za sendiri yang
berangkat. Meski bukan yang terbaik, namun Za memperoleh beasiswa
ke Universitas Kebangsaan Malaysia. Enak di sana, tinggal belajar,
nggak usah ngurus adik yang nakal. Begitu kata Za sambil tertawa,
ketika Yas mengucap selamat.
"Assalamu 'alaikum, Yasmin ... apa kabar? Maaf kalau surat ini
mengganggu. Za cuma ingin tahu kabarmu. Za di sini baik-baik saja,
cuma ya agak susah karena krismon. Za mesti cari-cari obyekan nih.
Gimana adik-adik kamu, Yas? Masih bandel-bandel, masih ogah-ogahan
diajak sholat?"
Yasmin tersenyum. Sama dong Za, adik Yas juga bandel setengah mati.
"Tapi Yas, Za selalu percaya sama kekuatan doa. Bukankah Allah tak
pernah membiarkan doa hambanya tidak terkabul? Meski begitu,
emang kadangkala Za merasa kecewa dan tak sabar. Hingga kejadian
suatu hari mengusir kekecewaan Za. Mau tahu ceritanya?"
Belum lama ini ibu Za kirim surat, cerita kalo Yusuf mulai rajin sholat.
Bahkan sholat dhuha segala (yang udah lama Za tinggalkan...), seperti
saat kita aktif di rohis SMA dulu. Terus Yunus, mobilnya dipasangin
sendiri sama alat apa gitu, biar dia nggak bisa ngebut-ngebut lagi. Ibu
Za sendiri, mulai berkerudung (meskipun masih ala mbak Tutut)
setelah sering ikut pengajian di Al-Hidayah. Alhamdulillah Yas, semua
cerita Ibu dan juga pengalaman Za sendiri, membuka hati Za untuk
meyakini. Bahwa Dia nggak pernah nggak menjawab doa hamba-Nya.
Hanya masalah waktu, Yas. Maafkan Za bila dianggap menggurui, tapi
ketika Za bertahmid dan bersyukur atas perubahan sikap adik Za, Za
jadi inget kamu. Za cuma ingin berbagi, Za ingin Yas masih tetap yakin
dan optimis akan kekuatan doa. Never give up, sister Yasmin.
Wassalam, your brother in faith. Zainul Abidin."
Yasmin melipat kembali surat itu dan menghela nafas panjang. Inikah
makna mimpinya, ketika Papa menyuruhnya pulang. Agar Yasmin
kembali yakin akan kekuatan doa. Agar Yasmin kembali optimis
merajut lembaran dakwah di kalangan keluarganya. Ah ya. Baru
Yasmin ingat, sudah lama ia belum nyekar.
catatan :
------------------
niki griyanipun = ini rumahnya
inggih Pak, pinten nggih = iya Pak, berapa ongkosnya
nyekar = ziarah kubur
Bersikap Adil
"Puasa lho, ya. Sahur. Shalat Subuh, tarawih. Jangan tidak. Percuma
kamu puasa kalau tidak shalat. Percuma kamu ngaku Islam kalau tidak
puasa. Percuma ..." Sudah itu masuk ke detail-detail yang tak terlalu
penting, "Langsung sikat gigi sehabis sahur. Makruh kalau kamu
sikatan di atas imsak. Usahakan pulang kerja sebelum maghrib. Sikat
gigi lagi sehabis buka. Makruh kalau kamu sikatan sebelum beduk azan
maghrib berbunyi ..."
Tapi ada hal baru yang baru kali ini Ibu bisikkan ke telingaku, tanpa
dapat didengar oleh adik-adikku : "Jangan lupa mandi basah sebelum
subuh kalau kamu 'campur' dengan istrimu ..."
Sebab memang tak ada sesuatu yang ganjil padaku yang mesti
diwaspadai. Istriku yakin itu. Aku dewasa, muslim sejati, serta tahu
persis untuk apa aku shalat, berpuasa, tarawih dan seterusnya. Tak
akan pula aku lari ke warung nasi atau menghisap rokok sembunyi-
sembunyi di sela jam-jam kantor bulan Ramadhan. Tak akan ... dan
istriku yakin itu.
**********
Ramadhan kali ini terasa lebih mendamaikan jiwaku, karena aku dapat
melewati puasa demi puasa tanpa godaan berbagai wujud. Justru sejak
awal puasa, kedatangan Idul Fitri-lah yang terasa menyandera
kegelisahanku. Begitu pasti, hingga membuatku sering giat 'berdoa'
agar Tuhan menunda Idul Fitri hadir pada tanggalnya. Tapi jelas, mana
mungkin ??
Lagi-lagi ini berkaitan erat dengan Ibu, meski tak ada hubungan
dengan kecerewetannya. Ibu tak lagi punya pendamping sejak aku, si
sulung, kuliah di tahun pertama perguruan tinggi. Kami hidup dari
pensiun Ayah yang pasti tak mencukupi, dan memaksaku segera
berhenti kuliah serta mencari kerja. Kerja apa pun. Kerja yang lebih
dari tiga perempat hasilnya kupersembahkan pada Ibu, dan sisanya
kutabung hingga aku bisa terus kuliah.
Tak ada yang mewajibkanku melakukan itu, sekaligus tak ada yang
membuatku harus berhenti menyerahkan tiga perempat (kemudian
setengah, seperempat dan akhirnya seperenam setelah aku berumah
tangga !) gajiku kepada Ibu, meskipun satu adik di bawahku telah
selesai kuliah dan bekerja pula.
Tapi ... kondisiku sekarang berbeda. Aku, sekali lagi, sudah beristri. Dan
yang paling penting, serta ingin betul kusikapi, adalah aku sangat ingin
bersikap adil. Aku punya mertua, orang tua kandung istriku yang suka
atau tidak suka, harus kuakui pula sebagai orang tuaku. Mereka masih
lengkap dalam arti sesungguhnya. Si ibu punya suami, si ayah punya
istri. Keduanya masih gesit mencari duit, tanpa kutahu persis kapan
akan pensiun. Kehidupan perekonomian rumah tangga mereka pun,
kusaksikan sendiri, baik-baik saja. Tak sampai menjadi konglomerat
memang, tapi toh, tak melarat-melarat amat. Rumah satu, mobil dua,
punya TV dengan parabola dan laser disc, kulkas, kamar tidur ber-AC.
Pokoknya okelah.
Aku mengangkat bahu. "Yah ... biar adil saja. Sampai saat ini aku masih
membantu memberi Ibu uang belanja setiap bulannya. Dan kalau bisa,
aku juga ingin bersikap sama pada orang tuamu."
"Nggak usah, Mas. Aku malah nggak yakin kalau Papa dan Mama mau
menerima. Bagi mereka, satu anak perempuannya sudah dinikahi
lelaki baik-baik seperti Mas saja, pasti sudah sangat membahagiakan.
Lagi pula, mereka masih kuat bekerja dan bisa berpenghasilan sendiri.
Malahan selama ini, merekalah yang sering membantu aku dan
saudara-saudaraku kalau kami kesulitan uang."
"Ah ... aku tetap merasa nggak enak," kataku berterus terang.
**********
**********
Aku baru usai mandi sore dan siap duduk di depan pesawat TV sambil
menunggu beduk maghrib, saat istriku datang menghampiri seraya
tersenyum-senyum. "Mas, soal pemberian untuk orang tuaku itu,
pernah Mas bilang tidak mesti berbentuk uang khan ? Pokoknya, kalau
ditotal, jumlahnya 300 ribu rupiah."
"Mas, tadi siang aku silaturahmi ke rumah Bu Tatang, tetangga kita itu.
Dia mengkreditkan mukena seharga 65 ribu, sajadah 45 ribu, sarung
20 ribu, baju Teluk Belango 35 ribu. Jumlahnya 165 ribu rupiah.
Bayarnya bisa dicicil sampai enam kali. Aku sudah tanya ke adik-adik
di rumah. Mereka bilang, Papa belum punya sarung, sajadah dan baju
buat shalat Ied. Sedangkan Mama lagi bingung gara-gara mukenanya
terkena lunturan batik Papa yang baru dibeli di Pekalongan. Mas setuju
nggak, kalau aku ikut mengambil kredit di Bu Tatang, buat diberikan
pada orang tuaku ?"
"Murah khan, Mas ? Ada bonusnya lagi ! Bu Tatang bilang, kalau aku
berhasil menjualkan mukena lima buah pada orang lain, aku bisa
mendapat satu sajadah gratis. Sejak sepekan ini aku berkeliling dari
rumah ke rumah menawarkan mukena itu. Sudah empat orang yang
berminat. Kalau ada satu orang lagi, sajadah yang untuk Mama bisa
kita berikan cuma-cuma. Lumayan, khan ? Jadi Mas nggak perlu
memberikan seluruh uang yang sudah Mas kumpulkan pada orang
tuaku. Ambil seperlunya saja, terus gabungkan dengan harga barang-
barang itu sampai berjumlah 300 ribu rupiah. Sisanya buat kita. Kurasa
cukup untuk membuat ketupat dan kue-kue Lebaran ... serta
membayar zakat fitrah dan shadaqah. Yang terakhir ini jangan sampai
lupa lho, Mas ..."
**********
Rumah warisan almarhum Ayah terasa semarak di Hari Raya Fitri ini.
Tamu berdatangan silih berganti. Tawa berderai dan celoteh penuh
kegembiraan terdengar dari segala sudut. Aku duduk di sofa dengan
hati damai sambil memandang sekeliling. Sengaja kupisahkan diri dari
keramaian karena aku merasa membutuhkan ruang untuk mengamati.
Muka
Mai, Mai..Mai !!
Hmh, surat lagi, surat lagi. Gumamku sambil meneliti satu persatu
surat yang menumpuk. Yah beginilah resikonya, jadi orang terkenal.
Hehe. Padahal baru sekalinya ngirim artikel di Annida, begitu dimuat
langsung ... wess. Ada yang minta ditraktir, ada yang ngajak kenalan.
Padahal yang dimuat juga cuma surat pembaca. Yang sialnya, ada
beberapa pucuk surat isinya semacam ajakan arisan berantai. Uh,
kalau yang itu mah ... langsung masuk keranjang sampah. Eh, entar
dulu, prangkonya diambil dulu kalau emang bagus. Nah, yang ini coba
lihat deh. Satu dari Lampung, dua dari Yogya, satu dari Makasar ...
"Ini ada lagi, dari Singapore." Mbak Anis, pembantu di rumah kost-ku
mengangsurkan sepucuk surat beramplop biru. Singapore ? Wah, keren
juga dong, Annida bisa sampai ke Singapore. Hei, itu juga kalau yang
ngirim berkat kenal dari Annida. Jangan ge-er dulu ya ...
"To : Mr. Anandito Birowo, di bumi Allah." Wah, sejak kapan aku jadi
mister ? Hehe. Terusin.
Inna lillahi wa inna ilahi roji'un. Aku mengucap tarji'. Tapi siapa
Widiana, perasaan aku nggak punya kenalan ...
Hah?? Apaan nih? Gila. Kubaca sekali lagi isi surat itu, tidak berubah.
Wah, apa maksudnya nih ? Aneh. Segera kuamati foto terlampir.
Tampak sekumpulan gadis-gadis di depan tulisan "Changi Skytrain."
Yang mana ya, Widiana? Kubalik foto itu, ahh ini dia ... rupanya yang
bertanda silang. Kuamati gadis yang sedang mengibas-ngibaskan
tangannya, seperti orang kepanasan. Ah, kuingat-ingat ... siapa ya dia.
Nihil. Percuma. Aku nggak kenal gadis ini.
Kubaca lagi surat itu. Kuteliti foto itu. Berkali-kali. Jangan-jangan, orang
iseng nih. Tapi kalau iseng kok, pake salam plus tahmid wa sholawat?
Plus alhaqqu mirobbikum, lagi. Wah, jangan-jangan ini orang salah
alamat, nih. Masa iya sih, orang mau meninggal kok titip foto biar
dikirim ke alamatku? Maksudnya apa, ngajak kenalan? Lah, udah tau
mau meninggal kok ...Terus, dapat alamatku dari mana? Oh mungkin
Tante Nina nih, waktu ke Singapore ngasih alamatku sama kenalan
temannya ... ah, nggak logis. Terus, apa dia dapat alamatku dari
Annida? Hhh ... beribu-ribu pertanyaan menjejali benakku, mencari
jawab yang pasti.
Wah, wah, wah. Ini benar-benar di luar dugaan. Masa iya, aku ? Aku
dicurigai terlibat kasus pembunuhan, seorang perempuan di
Singapore, yang nggak kukenal ? Yang bener boo ! Jelek-jelek begini,
meski nggak aktif lagi di pengajian, jangankan membunuh orang ...
menyembelih kambing kurban aja masih gemetar ! wah, surat ini mesti
dibalas nih. Dalam hati aku takut juga, gimana kalau entar ada detektif
dari Singapore, nanya ini-itu sama keluarga kost? Bisa-bisa aku
dicurigai, terus diusir. Alamat sengsara nih.
Nggak ingin ada salah paham yang lebih salah lagi ... dan nggak ingin
kehilangan kenalan seorang Singaporean (lumayan khan, nambah-
nambahin koleksi prangko ?), kembali kususun surat balasan buat
'sang ahli waris'. Isinya, bahwa aku sudah mencoba mengingat-ingat
siapa Widiana, tapi hasilnya nihil. Bahwa aku benar orang baik-baik,
jadi nggak mungkin deh terlibat urusan pembunuhan. Dan terakhir,
bahwa aku ... ingin mengajak kenalan 'sang ahli waris' lebih lanjut. Itu
juga kalau berkenan. Dan ?!
Pertama, di awal tahun 1998, saat pesawat Silk Air MI 185 jatuh di
Palembang. Salah seorang korbannya adalah ayah tiri Widi, Mr.
Terrason Olivier, yang dalam perjalanan pulang ke Singapore setelah
mengurus kasus Widi di kepolisian Jakarta. Inna lillahi wa inna ilahi
rojiun. Lama sekali setelah itu, suratku tak dibalas oleh Mai. Hingga
akhirnya aku pergi haji bersama Mama, bulan Maret-April 1998.
Kusempatkan mengirim postcard dari Medinah, untuk Mai. Juga
kupanjatkan doa untuk Mai, di Masjid Nabawi, Arafah dan Masjidil
Haram ... agar dia menjadi muslimah yang baik, taat pada Ilahi dan
tabah menghadapi hidup. Tak kusangka kejutan kedua menyambutku,
sepulangnya dari haji.
"Dear Sister Mai. It's better for you to prepare for your death. With love
to die, Anandito."
Muka
Jodoh
Wei Ku telah beranjak dewasa. Sudah saatnya ia mencari gadis yang
baik untuk dijadikan istri. Tapi sampai saat ini, ia belum juga berhasil.
Bukan suatu hal yang aneh. Ia memang terlalu mempertimbangkan
bibit-bebet-bobot calon istrinya. Maka, saat angin semi mulai bertiup
ke dataran Cina pada tahun 807, Wei Ku melakukan perjalanan ke
Tsing-Ho.
Di tengah perjalanan, Wei Ku memutuskan untuk beristirahat di sebuah
rumah penginapan yang berada di Gerbang Selatan Sung-Cheng.
Kebetulan ia bertemu dengan teman sekolahnya dulu. Maka Wei Ku tak
segan untuk menceritakan maksud perjalanannya itu. Seperti gayung
bersambut, temannya menyarankan Wei untuk mencoba melamar
anak gadis keluarga Pan. Menurut temannya itu, keluarga Pan adalah
keluarga yang status sosial ekonominya sederajat dengan Wei.
Lagipula, gadis itu sangat cantik dan terpelajar. Wei girang bukan
main.
***************
Waktu subuh belum lama berlalu, namun Wei telah bersiap untuk pergi
menemui Pak Comblang. Makin cepat makin baik, pikirnya. Di bawah
sinar bulan sabit yang kepucatan, Wei bergegas menuju Lung-Shing.
Fajar belum juga merekah ketika Wei sampai di tempat yang dijanjikan.
Sepi sekali. Nyanyian jangkrik perlahan menghilang. Wei benar-benar
sendirian. Di tengah kegamangan hatinya, Wei mencoba mengitari
bangunan itu. Seperti sebuah musholla kecil. Cahaya lilin yang
memantul di sela-sela kaca jendela, membangkitkan rasa ingin
tahunya.
"Hei, masuklah!"
Wei tersentak. Rasa malu, kaget dan takut berbaur menjadi satu.
Lalu laki-laki itu kembali melanjutkan. Kali ini ditatapnya Wei dengan
ketajaman jiwa. "Kau tahu? Semenjak seseorang ada dalam kandungan
ibunya, Allah Ta'ala telah menetapkan 3 hal untuknya. Kau sudah tahu
bukan! Salah satu di antaranya adalah jodohnya.. pasangan hidupnya."
"Jodoh adalah masalah yang paling ajaib dan paling gaib. Suatu
rahasia kehidupan yang tak akan pernah tuntas untuk dimengerti.
Bayangkan. Dua anak yang berbeda, tumbuh di lingkungannya
masing-masing. Sebagian besar mungkin tidak menyadari kehadiran
satu dengan lainnya. Tapi bila saatnya tiba, mereka akan bertemu dan
mengekalkan ikatannya dalam tali pernikahan."
"Kalau ada wanita atau laki-laki lain yang muncul di antara keduanya,
ia akan terjatuh. la tak akan mampu melewati bentangan tali sutera
yang telah diikatkan pada mereka. Ah, kau pasti pernah melihat orang
yang patah hati bukan? Hhh, sebagian orang yang bodoh dan tak kuat
menahan cobaan, memilih mati daripada patah hati. Bukan takdir yang
memilihnya untuk bunuh diri. Itu pilihannya sendiri, ia cuma tak sabar
menanti saat pertemuan itu datang."
"Ketahuilah, Wei. Masalah jodoh adalah rahasia Allah. Kau harus dapat
berdamai dengan takdirmu."
"Belum saatnya Wei. Belum saatnya. Suatu saat nanti, kau akan
menikah dengan seorang gadis shalihat, cantik dan pintar. Pun dari
keluarga yang terhormat. Kelak, setelah menikah, kalian akan
mempunyai anak laki-laki. Dan anakmu akan menjadi pedagang yang
terpelajar. Ia dermakan kekayaannya untuk agama Allah. la juga akan
menjadi anak yang senantiasa memelihara kedua orang tuanya.
Meskipun kalian sudah tua renta nanti. Hal ini tak lepai dari peranan
ibunya dalam mendidik anak itu."
"Tapi itu nanti. Bila calon istrimu telah mencapai usia 17 tahun.
Sayangnya, saat ini dia masih berumur 7 tahun."
Wei kembali ke penginapannya dengan hati lesu. Kali ini bukan saja ia
kecewa karena calon istrinya ternyata hanya seorang bocah
gelandangan, tapi juga karena 'Pak Comblang' dari keluarga Pan tidak
datang pada pertemuan yang ia janjikan. Tanpa suatu penjelasan
apapun. Ah, sudah jatuh dari tangga, tertimpa genteng pula!
Sementara itu, Wei dan pelayannya telah lenyap dari tempat kejadian.
"Kau berhasil membunuh dia?" tanya Wei terengah-engah. "Tidak,"
jawab pelayannya. "Begitu saya menghunjamkan pisau ke arahnya,
anak itu berbalik secara tiba-tiba. Saya rasa saya hanya melukai
mukanya. Dekat alisnya."
Wei segera meninggalkan penginapan. Kejadian itu dengan segera
terlupakan oleh masyarakat sekitar. Ia kemudian pergi ke arah Barat
menuju ibukota. Karena kecewa dengan kegagalan pernikahannya, Wei
memutuskan untuk berhenti memikirkan perkawinan. Tiga tahun
kemudian Wei dijodohkan dengan gadis yang mempunyai reputasi baik
yang berasal dari keluarga Tian. Sebuah keluarga yang cukup terkenal
di masyarakat sekitar. Anak gadisnya terpelajar dan sangat cantik.
Bila di rumah, istrinya selalu menata rambut dengan cara yang khas,
sehingga menutupi pelipis kanannya. Menurut Wei, dengan tata
rambut seperti itu istrinya kelihatan sangat cantik, tetapi ia agak
heran. Tak kurang dari satu bulan, Wei telah benar-benar jatuh cinta
kepadanya. Suatu saat ia bertanya, "Mengapa dinda tidak mengganti
gaya rambut sekali-kali? Maksudku, mengapa dinda selalu menyisirnya
ke satu arah?"
"Akulah pencuri itu. Ah, tapi bagaimana mungkin! Semua begitu aneh.
Semua terjadi, seperti ada yang telah mentakdirkan."
Saat itu juga, Wei melakukan sholat taubat. Untuk menjadi mukmin
yang baik. Begitulah, kasih sayang di antara mereka kian tumbuh
subur. Setahun kemudian lahirlah anak laki-laki. Istri Wei mendidiknya
dengan sangat baik. Setelah dewasa, ia menjadi seorang yang
terpelajar. Usahanya di bidang perdagangan maju pesat. Ia sangat
penyantun dan terkenal kedermawanannya.
Ketika sang anak menjadi gubernur, Wei Ku telah lanjut usia. Anak dan
istrinya tetap setia memelihara dan mencintainya. Di tempat mereka
pertama kali bertemu, empat belas tahun sebelum pernikahan, anak
Wei membangun tempat peristirahatan untuknya.
Muka
Hamparan sawah dengan bulir-bulir padi yang hampir menguning di bawah kaki Merapi
merupakan pemandangan yang sangat indah bak gelaran permadani. Ditambah lagi
percikan suara air di selokan bening yang melingkari seluruh pematang bagai alunan nada
merdu. Di kejauhan tampak pula para petani berlomba dengan burung-burung pipit yang
hendak memakan butiran padi yang hampir masak.
Pemandangan mengelokkan disetiap musim panen tiba sepert ini membuat Gendis tak
bosan-bosannya duduk di pinggir pematang. Angin sepoi-sepoi seakan menerbangkan
jilbab yang dikenakan olehnya. Desa Gendis memang indah, di bawah kaki gunung
Merapi yang acap kali menyemburkan laharnya justru membuat tanah di daerah itu
sangat subur. Ibaratnya apapun yang ditanam pasti tumbuh dengan suburnya
"Hai ...Gendis kok nglamun...", tiba-tiba Gendis dikagetkan dengan suara seseorang.
**********
"Amin..."guman Gendi lirih mengakhiri doa-doa panjang setelah shalat Maghrib malam
itu.
Tak terasa olehnya tampak ibu yang mengimami shalat sedari tadi mengamati putri
sulungnya.
"Sudah kamu doakan Paknemu di kubur Nduk.."
"Sampun Bu..Gendis selalu doakan Pakne dan Bune semuanya"
"Alhamdulillah...ya memang itu yang diperlukan Paknemu sekarang di kubur sana ndak
ada yang lain...doa dari anak-anaknya....dan jangan lupa selalu doakan ..."
"Inggih Bu..."
Sesaat Gendis mengamati ibunya. Tersadar olehnya bahwa ibu sekarang tampak lebih tua
dari umurnya. Raut wajah ibu sudah dipenuhi oleh kerut-kerut yang telah menyimpan
banyaknya peristiwa, pengalaman dan perjuangan yang mesti dihadapi. Tangan ibu yang
seharusnya putih bersih terlihat legam terbakar matahari karena harus setiap hari
berjualan di emper pasar menawarkan telur.
Urat-urat tangan tampak menonjol menunjukkan betapa kerasnya kehidupan yang
dijalankan ibunya untuk meghidupi keluarganya, untuk anak-anaknya. Tetapi dibalik itu
semua, ibu tidak pernah mengeluh sedikit pun. Ibu selalu tawakal dengan apa yang harus
dihadapinya. Ibu tidak pernah marah dengan guratan nasib yang menimpanya.Tak terasa
air mata Gendis menetes.
"Ada apa toh Nduk kok tiba-tiba nangis "
"Ndak apa-apa koh Bu...Ehmmm..ibu sayah ya...harus setiap hari kerja begitu"
"Endak ..ibu sudah biasa kan seperti ini Nduk...semua ini demi kamu dan adik-adikmu.
Biar kalian semua dapat terpenuhi kebutuhannya..."
"Gendis sedih bu..ndak bisa mbantu malah sering nyusahake ibu....."
"Sudah kamu ndak usah kawatir..kamu semua jadi anak-anak baik ibu senang sekali...itu
kebahagiaan tersendiri buat ibu"
"Inggih Bu"
Gendis melepas mukena dan hendak beranjak menuju dapur
"Ndis tadi siang kemana saja ibu cari-cari..."
"Oh ya bu..tadi Gendis ketemu sama mbak Sri"
"Sri yang mana to Nduk"
"Itu lho Bu..mbak Sri anak Dusun Atas yang sekarang kerja di Jakarta.."
"Ohhh itu ..ya..ya..ibu tahu...yang sering kirim-kiriman surat sama kamu "
"Mbak Sri nawarin Gendis kerja di Jakarta Bu.."
"Jakarta...kerja"
Wajah ibu berubah, ketidak sukaan nampak di raut wajah ibu.
"Iya Bu..."
"Kenapa sih kamu selalu mikir pingin kerja, apa uang saku yang ibu berikan kurang"
"Endak Bu sama sekali ndak ..Gendis hanya mikir ingin mbantu ibu, Gendis ingin
meringankan tugas ibu..itu saja.."
"Sudah ibu bilang berkali-kali nduk..ndak usah dipikir..ibu ingin kamu ngelanjutke
sekolah..pengumuman UMPTN besok toh nDuk..."
Ibu selalu ingat dan menantikan
"Inggih Bu "
"Mudah-mudahan dapat diterima ya Nduk"
"Peluangnya berat Bu.."
"Jangan bilang begitu Nduk kalau Gusti Allah ngresakake ya diterima...Berdoa minta
yang terbaik buat kita semua "
Sesaat kemudian ibu melepas mukena dan memakai kerudung di kepalanya
"Badhe tindak pundi Bu..dalu-dalu begini"
Sri keheranan, tidak biasanya ibu pergi malam-malam hari.
"Ke Warungnya pak Atmo di Sumber Rejo"
"Ada apa"
"Pak Atmo pesan telur ..lumayan banyak lho Nduk.."
"Gendis antar ya Bu"
Gendis segera memakai jilbab.
"Ndak usah..ibu diantar Tono dan Yanto adikmu"
"Lho anaknya ndak ada kan Bu"
"Ibu janjian di Langgar..mereka nunggu di sana"
"OOOhh.."
Yanto dan Tono, kedua adik Sri memang selalu rajin shalat berjamaah di Langgar. Kalau
Maghrib dan Isya` hanya Gendis dan Ibu yang shalat berjamaah di rumah.
"Tolong goreng tempe dan menghangatkan nasi di dandang buat makan malam...oh
ya..tolong ambilkan oblik Nduk "
Walaupun Listrik sudah masuk ke desanya, namun jalan-jalan di desanya serasa tak
tersentuh oleh listrik. Jadilah kalau malam tiba keadaan tetap gelap gulita. Bila warga
desa keluar rumah harus membawa penerangan seperti senter, oblik ataupun obor.
"Ini bu..hati -hati ya..bu..."
"Assalamualakium"
"Waalaikumsalam"
Gendis melepas kepergian ibu. Tampak tubuh ibu yang membawa gendongan di
punggungnya kian lama hilang di telan kegelapan malam.
*****************
Pagi itu Gendis telah bangun dan seperti biasanya membantu ibu di dapur.
"Yanto dan Tono kemana saja Bu kok ndak ada"
"Tadi habis Subuh pamitnya pergi gitu..ndak tahu kemana .. "
Dari kejauhan terlihat Yanto dan Tono berboncengan sepeda menuju rumah. Tampak
Tono terengah-engah sekali mengayuh pedal sepeda sekencang-kencangnya.
****owari****
Daftar istilah :
nduk = panggilan untuk anak perempuan di Jawa
piye = bagaimana
pangling = kaget, heran, takjub
mendoan = masakan khas Jawa terbuat dari tempe dan tepung
sampun = sudah
inggih = Iya
sayah = Capek
ngresakake = berkehendak
Badhe tindak pundi Bu..dalu-dalu begini = Mau kemana bu..malam-malam begini
Oblik = lampu minyak kecil
Sugih = kaya
Pagi Bening
Wednesday, September 12, 2007
Penulis:Isbedy Stiawan ZS
MINGGU tersenyum. Pagi yang bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti gigi-
gigi macan yang mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik. Jemuran sekejap
kering. Bau asap menyergap.
Kau termangu di depan layar kotak kecil itu. Ah, apa yang kausaksikan dari dunia-kecil
dan kedil itu? Tangan-tangan memanjang. Merengkuh dua atau tiga benua. Disatukan ke
dalam pelukan. Muntah. Mesiu menebar. O, ada tangis. Luka. Anak-anak menatap
masalalu-masadepan. Kosong. Di pecahan tembok. Mengintip moncong senapan.
Menguping deru tank. Mengangguk-angguk: “satu lagi, seratus lagi. Korban
jatuh…�
Sudah berapa kematian di sini? Aroma ganja menebar. Asap mengepul, kita hirup
bersama-sama. Aku, kau, kalian, mereka, dan kita semua mabuk. Ply ply…Bawa kemari
rencong-rencong itu. Akan kukibarkan sebagai bendera. Akan kutancapkan ke perut-perut
para serdadu.
Ah, tidak. Rencong akan selalu kalah cepat dengan senapan. Mereka—para serdadu
itu—tak berbilang jumlahnya. Sedangkan kami? Berapalah orang, berapalah kampung?
Sekali dibombardir, habislah kami. Tetapi, kenapa kami tak pernah habis-habis?
Dusta! Manalah mungkin kalian bisa melawan. Lihatlah para serdadu, tak berbilang
jumlahnya, seia dan setia setiap saat untuk memuntahkan peluru-pelurunya. Cuma belum
waktunya kalian dihabisi. Masih perlu strategi, mengulur-ulur waktu, sampai kalian
terlelap dalam kegembiraan. Setelah itu habislah seluruh kalian, tak bersisa. Juga cinta
kalian pada tanah dan air kelahiran ini.
“Bukankah hidup hanya menunda kematian1? Lebih tak berharga jika menyelesaikan
hidup ini dengan sia-sia, tiada berharga. Maka itu, kami mesti berjuang untuk
mempertahankan tanah kelahiran ini. Betapa pun kami mesti berkalang tanah. Sudah
habis kesabaran kami ketika kalian datang kemari lalu membawa seluruh kekayaan kami.
Yang tinggal di sini untuk kami cuma ampas, taik minyak, ladang-ladang yang
kerontang…�
Adakah itu keadilan? Kami yang telah berabad-abad menjaga, menyuburkan, dan
menyulingnya. Tetapi, hasilnya kalian bawa. Kalian yang bergelimang harta, kami yang
berkalang luka.
Ke mana dan kepada siapa kami mengadu? Sedang angin tak pernah mengirim kabar
nestapa kami. Ke mana dan kepada siapa kami harus melabuhkan duka? Sedang
pelabuhan tak membukakan pintunya? Ke mana dan kepada siapa kami akan menurunkan
sauh? Sedang pantai tiada lagi.
Ya!
Siapa yang pecahkan vas bunga
di pekarangan rumah kita
Padahal angin tidak menggerakkan daun-daunnya2
*
MINGGU tersenyum. Pagi yang bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti gigi-
gigi macan yang mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik. Jemuran sekejap
kering. Bau asap menyergap.
Suara dentuman itu. Suara peringatan itu. Suara ancaman itu. O! Telah membuat kami
semakin ketakutan. Oh, tidak! Kami tak pernah takut, bahkan kepada singa yang buas
sekali pun. Ketakutan kami hanya kepada Tuhan, pada amarah agama kami, jika kami
mengabaikan anjuran jihad-Nya.
Tetapi, mungkinkah itu? Para serdadu itu kini sudah membanjiri kota-kota kami,
kampung-kampung kami, dusun-dusun kami, rumah-rumah penduduk kami. Mereka tak
saja mengancam, menembaki, juga menggagahi perempuan-perempuan kami.
Perlawanan tak seimbang memang. Tetapi, apakah kami rela teraniaya selamanya? Mana
yang lebih berharga menjadi orang terjajah sepanjang masa atau mati dalam arena
perlawanan?
Hidup hanya sekali. Darah akan tetap berwarna merah meski kami kalah. Maka berjihad
menjadi ukuran perlawanan orang-orang teraniaya seperti kami. Apa kami akan selalu
disetir, dikomandoi, diintimidasi oleh satu kekuatan yang zalim?
Teringat kami pada perjuangan sang Muhammad. Ia begitu gigih, tak pernah mati strategi
dan semangat menegakkan perdamaian. Apa kami harus lupa pada ghirah suci seperti itu?
Tak. Tiada akan pernah.
Ini tanah air kami. Ini kampung kelahiran kami. Tiada yang bisa mengusir kami dari
tanah tumpah darah kelahiran kami. Sungai itu telah menampung air tuba kami. Tanah ini
yang telah menanam ari-ari kami. Ranjang ini yang membiarkan basah oleh darah
kelahiran kami. Ibu kami yang bersakit-sakit menjaga kelahiran kami.
Wahai saudara kami. Kita bersaudara. Maka turunkan senjatamu. Kunci pelatuk
senapanmu. Beningkan airmuka amarahmu. Mari kita berpelukan. Tetapi, biarkan kami
menjaga tanah kelahiran kami. Pulanglah saudaraku ke tanah kelahiranmu, ke barak-
barakmu, yakinlah kami bisa mengolah segala yang ada di kampung kami.
“Bukankah kau tahu, bumi ini diciptakan bukan untuk menampung pertumpahan
darah? Kita ada karena kita dipercaya sebagai khalifah bagi perdamaian semesta, rahmat
bagi dunia dan akhirat?� katamu satu malam.
Kami akan bakar pohon-pohon ganja. Kami tanam bom-bom kami di ladang-ladang tak
bertuan. Tak akan ia meledakkan kota-kota yang riuh. Hotel-hotel yang gemuruh. Tiada.
Sebab jangan kaumengira kami yang meledakkan bom di keramaian itu, di candi-candi
itu, di tempat-tempat hiburan itu. Bukan. Kami punya adab yang mesti kami jaga sebagai
kehormatan.
Tetapi, selalu saja dan selalu saja, wajah-wajah kami yang tertera di media-media
pemberitaan. Dalam sketsa-sketsa: rekayasa orang-orang yang membenci kami.
Dusta apa ini yang tengah kalian sebarkan untuk kami? Fitnah apa yang tengah kalian
rancang untuk mengubur karakter kami? Dan, memang, sebagaimana diingatkan Tuhan
kami bahwa “kalian tak akan pernah bosan sampai kami mengikuti milah kalian�.
Demikianlah, kalian coba berbagai cara untuk menghancurkan kami. Kemudian kami
kalah, kami mengikuti kehendak kalian.
Tetapi Cahaya kami tak akan pernah redup. Bulan-bintang akan selalu menebarkan sinar-
Nya setiap malam. Matahari akan selalu terbit dari dalam jiwa kami, dan akan tenggelam
di batin kalian.
Maka, inilah perjuangan kami. Perlawanan kami. Pengorbanan kami. Jihad kami. Betapa
pun di antara kami mesti ada yang syahid sebagai syuhada. Sebab, kami yakin, seribu
kami akan terus berlahiran.
Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan
tanah dan langit ini.
Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan
tanah dan langit ini.
Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan
tanah dan langit ini.
JUMAT tersenyum. Padang yang terbentang. Kami tafakurkan jiwa kami, kami zikirkan
seluruh hidup-mati kami. Dari sini kami harus memulai menegakkan kembali tiang-tiang
keyakinan kami yang nyaris porak oleh dusta dan fitnah kalian.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang
baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis
itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak
melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang
keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik,
kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua
Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat
Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga,
sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul
senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat
Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar
anak Papa yang paling cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada
tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih
seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar
siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai
lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi.
Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain
pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan
terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa'
yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter
kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu
mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena
Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme
berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh
tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang
Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu
juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania.
Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya
cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan
sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya
sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu
lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah
dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan
Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu
tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu,
ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud
Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan
mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak
dan membuat pikiran Nania cerah.
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi
mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania
memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra.
Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania,
bisik Papa dan Mama.
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk
bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit
dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun
Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim
Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan
sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka
akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di
sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang
datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania
tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan
Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului
keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti
setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu
dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-
teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia
tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak
berhenti melafalkan zikir.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di
mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi
Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara
Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada
rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat
kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya
pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai
terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali
untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja
mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu
diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil,
dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan
pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah,
Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil
menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku
kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan
tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir,
kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah
tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah
yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang
meleleh.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu
tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan
menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah
pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang
jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah
pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa
cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik
dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan
Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan
sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula
dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke
manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama,
selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong
kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan
iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang
penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa
tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka
memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja,
bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka..
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang
beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa
dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut
takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah
berubah, untuk Nania.
- Asma Nadia -
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau
menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi
milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania.
Mereka ternyata sama herannya.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang
baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis
itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak
melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang
keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik,
kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua
Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat
Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga,
sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul
senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat
Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar
anak Papa yang paling cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada
tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih
seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar
siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai
lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi.
Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain
pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan
terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa'
yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter
kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu
mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena
Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme
berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh
tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang
Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu
juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania.
Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya
cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan
sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya
sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu
lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah
dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan
Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu
tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu,
ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud
Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan
mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak
dan membuat pikiran Nania cerah.
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi
mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania
memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra.
Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania,
bisik Papa dan Mama.
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk
bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit
dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun
Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim
Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan
sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka
akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di
sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang
datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania
tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan
Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat
suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului
keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti
setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu
dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-
teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia
tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak
berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di
mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi
Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara
Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada
rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat
kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya
pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai
terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali
untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja
mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu
diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil,
dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan
pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah,
Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil
menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku
kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan
tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar
itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir,
kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah
tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah
yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang
meleleh.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu
tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan
menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah
pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang
jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah
pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa
cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik
dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan
Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan
sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula
dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke
manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama,
selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong
kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan
iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang
penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa
tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka
memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja,
bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka..
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang
beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa
dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut
takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah
berubah, untuk Nania.
- Asma Nadia -
Cinta Laki-laki Biasa
Wednesday, September 12, 2007
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau
menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi
milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania.
Mereka ternyata sama herannya.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang
baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis
itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak
melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang
keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik,
kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua
Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat
Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga,
sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul
senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat
Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar
anak Papa yang paling cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada
tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih
seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar
siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai
lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi.
Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain
pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan
terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa'
yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter
kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu
mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena
Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme
berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh
tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang
Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu
juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania.
Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya
cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan
sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya
sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu
lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah
dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan
Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu
tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu,
ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud
Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan
mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak
dan membuat pikiran Nania cerah.
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi
mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania
memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra.
Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania,
bisik Papa dan Mama.
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk
bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit
dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun
Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim
Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan
sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka
akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di
sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang
datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania
tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan
Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat
suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului
keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti
setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli
tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka
merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu
dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-
teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia
tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak
berhenti melafalkan zikir.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di
mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi
Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara
Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada
rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat
kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya
pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai
terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali
untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja
mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu
diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil,
dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan
pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah,
Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil
menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku
kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan
tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar
itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir,
kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah
tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah
yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang
meleleh.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu
tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan
menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah
pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang
jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah
pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa
cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik
dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan
Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan
sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula
dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke
manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama,
selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong
kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan
iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang
penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa
tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka
memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja,
bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka..
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang
beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa
dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut
takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah
berubah, untuk Nania.
- Asma Nadia -
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau
menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi
milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania.
Mereka ternyata sama herannya.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang
baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis
itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak
melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang
keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik,
kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua
Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat
Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga,
sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul
senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat
Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar
anak Papa yang paling cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada
tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih
seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar
siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai
lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi.
Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain
pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan
terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa'
yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter
kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu
mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena
Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme
berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh
tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang
Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu
juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania.
Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya
cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan
sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya
sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu
lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah
dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan
Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu
tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu,
ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud
Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan
mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak
dan membuat pikiran Nania cerah.
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi
mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania
memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra.
Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania,
bisik Papa dan Mama.
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk
bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit
dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun
Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim
Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan
sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka
akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di
sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang
datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania
tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan
Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat
suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului
keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti
setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu
dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-
teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia
tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak
berhenti melafalkan zikir.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di
mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi
Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara
Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada
rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat
kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya
pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai
terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali
untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja
mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu
diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil,
dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan
pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah,
Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil
menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku
kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan
tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar
itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir,
kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah
tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah
yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang
meleleh.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu
tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan
menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah
pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang
jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah
pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa
cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik
dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan
Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan
sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula
dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke
manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama,
selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong
kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan
iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang
penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa
tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka
memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja,
bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka..
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang
beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa
dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut
takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah
berubah, untuk Nania.
Selesai masak bareng Asih sambil menunggu adzan dzuhur aku berniat meneruskan
tulisanku semalam, tapi aku hanya termenung di depan layar monitor tanpa dapat
memusatkan pikiranku. Aku kembali meneruskan lamunanku yang tadi sempat terputus
gara-gara Asih mengejutkanku. Semalam selepas kami sholat Isya' berjamaah, Sarah putri
tunggalku menghampiriku di kamar.
" Ummi,... ummi lagi repot ? ", tanya Sarah.
" Nggak kog sayang, ada apa ? ".
" Malam ini ummi nggak nulis ?, biasanya ba'da isya ummi khan langsung asyik sama
komputer ".
" He.. he.. Sarah,...Sarah....nggak kog, memang sih ummi mau nulis tapi nanti-nanti saja.
Ada apa sholihah... ? ".
" Eng.. eng... ada yang mau Sarah diskusikan sama ummi ".
" Ya,... tentang apa nak ? ".
" Tapi ummi harus janji dulu sama Sarah loh.. ".
" Janji.. ? ada apa memangnya ? ".
" Ya ummi, janji dulu ya mi yah... ? ", Sarah mulai dengan rengekan manjanya
" Iya deh insya Allah.... ".
" Ummi musti janji pertama ummi jangan motong dulu sebelum Sarah selesai, terus yang
kedua ummi jangan bicarakan ini dulu sama siapapun kecuali sama Abi. Sarah nggak
mau kalau mas Fadhil, mas Yazid dan Zakly tahu sebelum waktunya ", kata Sarah seraya
menatapku.
" Hhhmm.... iya insya Allah ".
" Nah,... sekarang ummi dengarkan baik-baik yah...? ", pinta Sarah dengan kerlingan
manjanya.
" Iya.... ini dari tadi juga ummi sudah dengerin kog...", kataku mulai tak sabar.
" Mmhhhh... begini ummi,.... akhir-akhir ini Sarah mulai berpikir kalau...
mmhhh...mmhhh.. kalau Sarah pingin menyempurnakan setengah dari dien Sarah ", kata
Sarah perlahan lantas Sarah tertunduk dan diam.
Aku masih terdiam, rasanya otakku saat itu bekerja dengan sangat lambat untuk
mencerna kata-kata Sarah. Sarah ingin menyempurnakan setengah dari diennya itu
artinya Sarah hendak menikah....Subhanallah... Alhamdulillah... putri tunggalku sudah
berpikir ke arah sana.
Terus terang aku terkejut. Aku kenal betul siapa Sarah, ia sangat hati- hati dalam menjaga
pergaulan dengan lawan jenisnya. Tapi kog tahu-tahu sekarang sudah ada calon.
" Ummi masih janji kalau nggak memotong sebelum Sarah selesai khan,...sekarang Sarah
mau cerita yang lengkap ". Sarah menarik nafas.
" Begini ummi,... ada temen pengajian Sarah di kampus, akhwat itu punya mas. Nah,
masnya itu insyaAllah akhlaq dan diennya baik ".
" Hhmm.... lantas.. ", kataku tak sabar.
" Temen Sarah itu mengusulkan agar Sarah menikah dengan masnya. Nah,.. sekarang
Sarah mau minta tolong ummi dan abi atau mas Fadhil atau mas Yazid untuk menyelidiki
apa memang betul ikhwan itu diennya baik dan insya Allah bisa cocok sama Sarah ".
" Hhhmmm... begitu ? ".
" Sarah belum pernah ketemu sama ikhwan itu, Sarah baru lihat fotonya saja dan Yasmin,
teman Sarah itu cerita kalau ikhwan itu insya Allah shalih. Sarah percaya sama Yasmin,
ummi masih ingat Yasmin khan yang pernah kesini itu lho... ".
" Ummi lupa abis khan banyak akhwat temen Sarah yang main kesini ".
" Ummi,... abi dan ummi khan selalu bilang kalau apapun yang kita kerjakan harus
lillaahita'ala khan ? ", tanya Sarah. Aku hanya mengangguk....
" Ummi,....insya Allah Sarah ingin pernikahan ini juga menjadi ibadah karena Sarah
pingin mencari ridho Allah ummi. Sarah ingin nikah dengan ikhwan itu karena Sarah
ingin menolong ia dan keluarganya mi... Ummi,.. sebenarnya ia sudah menikah, sudah
punya isteri ".
" Heh....", seruku dengan terkejut.
Aku hanya terdiam,... tak tahu harus berkata apa. Terus terang aku sangat ingin suamiku
ada disampingku saat ini. Kenapa Sarah harus membicarakan hal itu di saat suamiku ke
luar kota. Aku bingung tak tahu harus berkata apa....
Setelah sholat dzuhur berdua dengan Asih aku kemudian makan sendirian. Kalau siang
seperti ini rumah selalu sepi, hanya aku berdua dengan Asih saja. Mereka biasanya
makan di kampus masing-masing dan Yazid makan di cafetaria kantornya. Terus terang
aku kesepian, ingin rasanya aku segera mendapatkan cucu-cucu dari mereka. Dan kini
salah seorang dari mereka mengajukan keinginannya untuk menikah, tapi...kenapa Sarah
hendak nikah dengan seseorang yang telah beristri?.... Rasanya sejak semalam aku sulit
berpikir secara jernih, aku terlalu terbawa alam perasaanku. Diantara mereka berempat
aku tidak membeda-bedakan kasih sayangku. Aku selalu berusaha adil terhadap mereka.
Tapi tak dapat kupungkiri kalau Sarah menempati posisi yang lebih istimewa.
Perhatianku lebih tercurah ekstra pada Sarah. Karena Sarah hanya satu-satunya putri
tunggalku. Aku lebih melindungi Sarah dibandingkan dengan putra-putraku yang lain.
Timbul rasa was-was dalam hatiku, bagaimana kalau seandainya suaminya nanti tak
dapat berlaku adil, bagaimana kalau seandainya madu Sarah tidak memperlakukannya
dengan baik karena merasa mendapat saingan dan bagaimana kalau nanti Sarah tidak
bahagia. Semua itu menjadi beban pikiranku. Aku menyayangi Sarah, dan wajar bila
sebagai seorang ibu aku ingin melihat anak-anakku bahagia. Aku menjadi tidak berselera
makan. Tiba-tiba...
Seperti kebiasaan mereka sejak kecil, setiap pulang sekolah waktu makan siang mereka
akan bercerita tentang kejadian mereka di sekolah hari itu. Dan hingga kini meskipun
mereka telah beranjak dewasa kebiasaan itu tetap terbawa. Zakly sedang bercerita tentang
susahnya mencari dosen pembimbingnya untuk skripsi. Tapi aku hanya menanggapi
setengah hati, konsentrasiku tidak terpusat seutuhnya pada apa yang dibicarakannya.
" Kalian sudah pada lapar ya ?, mau makan sekarang atau nunggu abi saja sekalian ? ",
tanyaku.
" Nanti aja mi,... enakan bareng-bareng abi aja.. ".
" Kalau kalian mau maem dulu nggak apa-apa, biar nanti ummi saja yang nemenin abi ".
" Nggak usah mi,... khan sebentar lagi insya Allah abi juga datang ", jawab Fadhil lagi.
Dan benar, tak berapa lama kemudian....
" Assalamu'alaikum,...", suara suamiku dari teras depan.
" Wa'alaikumussalam... ", jawab kami berbarengan.
Kelakuan mereka masih persis anak-anak langsung berebut membuka pintu buat abinya
dan mencium tangan abinya. Kalau melihat mereka seperti itu tak percaya rasanya kalau
mereka sudah pada besar-besar dan sudah waktunya untuk nikah. Ah,...nikah lagi...
kenapa itu yang ada dipikiranku selalu.
Seperti biasa waktu makan malam adalah saat dimana kami dapat makan bersama. Kalau
pagi, anak-anak biasa sarapan lebih dulu sedangkan aku dan suamiku hanya sarapan
berdua, karena suami ke kantor agak siang dibanding mereka pergi. Kalau siang mereka
tak pernah makan di rumah, biasanya aku makan sendiri. Jadi baru makan malamlah
kami dapat berkumpul bersama. Dan seperti biasa mereka saling tak mau kalah kalau
sudah cerita, jadi bisa dibayangkan bagaimana semaraknya suasana.
" Oya,...tadi Zakly bilang apa tentang ummi ", tanya sumiku mendadak.
" Oh,... he.. he.. ini ummi,... ".
" Kenapa Zakly ? ", tanya Yazid.
" Tadi siang khan Zakly makan di rumah , terus pas Zakly ajak ngobrol ummi tuh
kayanya nggak bener-bener ngedengerin deh,... Zakly pikir kenapa gitu.... ".
" Trus.... ", potong Fadhil.
" Waktu Zakly desak-desak ummi bilang nggak apa-apa,.. tapi akhirnya ngaku juga... ".
" Ummi bilang apa... ? ", tanya suamiku.
" Ummi bilang kangen sama abi, pingin abi cepat-cepat pulang, waktu ngomongnya kaya
anak remaja yang umur 17 tahun, sambil malu-malu gimanaaa.. gitu ".
Langsung, tawa mereka memecah...
" Ih,... ummi perasaan biasa aja bilangnya, ngapain juga pakai malu-malu segala, orang
abi sama ummi udah 28 tahun nikah ", sahutku.
" Alah ummi,..Zakly tadi khan liat muka ummi merah-merah gimana gitu ".
" Oooohh.... pantesan tadi pagi Yazid juga perhatikan ummi agak aneh, nggak seperti
biasanya ", sambung Yazid.
" Iya,..ummi tadi pagi agak diam, hhmm baru ketauan ternyata sebabnya kenapa ", kata
Fadhil
Mereka masih tertawa-tawa, kulirik Sarah hanya tersenyum tak ikut menggodaku seperti
yang lain. Tentu Sarah tahu dialah yang menjadi penyebab kenapa seharian ini aku agak
aneh.
" Iya mi,...bener ya apa yang Zakly bilang ", tanya suamiku sambil menatapku dalam-
dalam.
" Hhmm.... ", aku hanya tersenyum, jengah juga rasanya ditatap seperti itu di depan anak-
anak meskipun mereka udah dewasa.
Mendadak tawa mereka memecah lagi....
" Lho,... kenapa sih... ?? ".
" Coba deh ummi ngaca, muka ummi tuh lucu banget tersipu-sipu gimana gitu, kaya
remaja 17 tahunan ", kata Zakly.
" Ummi... ummi...,mau bilang iya aja kog pake malu-malu segala sih... ", kata suamiku.
" Padahal abi khan baru pergi 3 hari yang lalu, ya khan ? ", tanya suamiku ke mereka.
" Tunggu aja bi,.. nanti kalau kita sudah nggak ada, ummi bakal ngaku juga sama abi,... ",
kata Zakly.
" Udah ah,... nggak selesai-selesai maemnya nanti, ingat abi belum sholat lho..", kataku
mengalihkan pembicaraan.
Setelah suamiku sholat, seperti biasa kami berkumpul di ruang tengah. Dan juga seperti
biasa mereka tak pernah habis-habis akan topik bahasan. Mulai dari kerusuhan tentang
adanya isyu pembunuhan dukun santet yang menyebabkan sebagian ulama juga ikut
terbunuh, tentang harga sembako yang masih saja sulit dijangkau, dan juga tentang
keanekaragaman visi dari bermacam-macam partai Islam yang ada. Sampai pada masalah
banyaknya anak-anak yang putus sekolah karena tak ada biaya serta kondisi gizi anak-
anak balita yang memprihatinkan. Dan seperti biasa, mereka ingin agar segera terbentuk
khalifah Islam dimana segala macam bentuk perundang-undangan bersumber pada Al
Qur'an dan sunnah Rasul yang insya Allah apabila semuanya itu dilakukan dapat
menjamin pola kehidupan masyarakat akan menjadi baik.
Dari balik layar monitor kuperhatikan Sarah tidak selincah biasanya dalam berdiskusi
dengan mas-masnya, Sarah hanya sesekali menimpali itu pun dengan nada bicara yang
tanpa semangat, sedangkan aku dari tadi duduk di depan komputer, tapi hanya satu
paragraf yang berhasil kutulis. Karena perhatianku lebih tercurah pada apa yang mereka
bahas dibanding dengan susunan cerita yang sedang kukerjakan. Ingin rasanya aku cepat-
cepat menarik suamiku ke kamar untuk membahas keinginan Sarah. Tapi kulihat mereka
masih asyik, dan sekarang`mereka sedang nonton Dunia Dalam Berita. Biasanya sehabis
acara itu mereka masih duduk di situ untuk membahas berita yang baru saja mereka lihat,
sebelum akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Setelah dunia dalam berita....
" Abi nggak capek,... khan tadi baru pulang, besok harus ke kantor khan ? ", kataku.
" Besok saja diterusin obrolannya,... atau kalian ngobrol berempat saja... ", sambil kutatap
mereka.
" Kasian abi dong.... ", sambungku lagi.
" Hhhmm.... hhmm.... ", Zakly pura-pura batuk, yang aku tahu itu hanya untuk
menggodaku saja.
" Iya deh,...lagian masa abi ngobrol sama kalian aja, abi khan juga pingin ngobrol sama
ummi ", kata suamiku.
Tawa mereka memecah lagi...
" Bukan,... bukan gitu, abi khan baru pulang, dan besok harus kerja ", bantahku.
" Iya..iya...udah yok mi,.. kita bobo...", ajak suamiku.
" Jangan lupa lho, periksa lagi pintu jendela sebelum kalian masuk kamar ", perintahku
pada mereka.
Kulirik jam, sudah pukul 10 kurang seperempat. Tak mungkin rasanya aku bercerita
malam ini. Suamiku tentu lelah, biar besok saja setelah sholat shubuh pikirku. Dan
kulihat suamiku sudah merebah di tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur. Iya,... nggak
mungkin malam ini, besok saja putusku. Tapi aku masih belum dapat memejamkan mata,
ingin rasanya hari segera berganti. Aku tidak biasa memendam sesuatu terhadap suamiku.
Aku ingin segera menumpahkan apa yang menjadi beban pikiranku. Yah,... insya Allah
nanti selepas shubuh...
Setelah qiyamul lail, sambil menunggu shubuh aku bergantian membaca qur'an dengan
suamiku. Seperti biasa suamiku dan anak-anak sholat shubuh di mesjid. Tinggal aku,
Sarah dan Asih sholat berjama'ah di rumah. Pada halaman terakhir aku membaca Al
Matsurat, suamiku pun tiba. Akhirnya setelah kulipat mukena dan kurapikan sajadah aku
berdiri di hadapan suamiku yang sedang duduk di tepi tempat tidur....
Akhirnya kuceritakan semua apa yang menjadi keinginan Sarah. Rasa banggaku terhadap
Sarah yang memiliki niat seperti itu. Persetujuanku terhadap keinginannya, tapi juga
sekaligus rasa khawatirku, rasa cemasku akan putri tunggalku. Betapa aku amat
mengasihinya dan aku tidak ingin ada sesuatu hal buruk yang akan dialaminya kelak. Di
satu pihak apa yang menjadi keinginan Sarah patut untuk aku dukung, karena yang
dilakukan Sarah hanyalah untuk mencari ridhoNya semata, tak boleh aku
menghalanginya dari jalan Allah. Tapi di pihak yang lain aku khawatir bila nanti
suaminya tidak bisa berlaku adil atau rasa cemburu dari madunya akan menyakiti
hatinya. Aku rasa kekhawatiranku adalah hal yang wajar, karena waktu Fatimah mengadu
kepada Rasulullah SAW akan niat Ali ra yang hendak nikah lagi, Rasulullah pun berkata
bahwa apabila menyakiti hati Fatimah, itu sama halnya dengan menyakiti hati beliau,
karena rasa kasih sayang Rasulullah sangat besar terhadap Fatimah. Tapi aku sungguh
tersentuh dengan niat Sarah yang subhanallah sangat mulia. Kutumpahkan semua uneg-
uneg di hatiku pada suamiku.
" De',... mas tahu,...ade' sayang sekali pada Sarah, begitu juga mas ", kata suamiku
perlahan.
" Tapi de',... ade' tahu khan kalau Sarah itu bukan milik kita, Allah cuma menitipkan
Sarah ke kita. Alhamdulillah Allah mau memberikan amanahNya pada kita, bukan cuma
Sarah, tapi juga Fadhil, Yazid dan Zakly ".
" Mas bangga pada anak-anak, begitu juga mas bangga pada ade' yang sudah berperan
buat mentarbiyah mereka. Karena mereka semua nantinya harus kita pertanggung-
jawabkan kepada Allah. Nah,...sekarang misalnya ade' ada di posisi Asma, sudah fisiknya
lemah, sakit-sakitan, kesepian..., padahal dia menginginkan untuk dapat berperan menjadi
pendidik generasi yang dapat menggantikan perjuangan generasi sebelumnya, dia juga
menginginkan akan adanya panggilan 'ummi' dari seorang anak yang lucu. Gimana
coba ? ", tanya suamiku dengan lembut.
" Dari cerita ade' tadi,...Asma sendiri yang usul supaya suaminya nikah lagi, rasanya apa
yang ade' khawatirkan insya Allah nggak akan terjadi deh...Dia sudah rela suaminya
menikah lagi, dia sudah ridho dan insya Allah diapun akan memperlakukan Sarah dengan
baik.. . Ade' juga tau khan kalau Allah pasti memberikan yang terbaik, belum tentu apa
yang menurut kita nggak baik tapi sebenarnya itu justru baik menurut Allah, cuma Allah
yang tahu ade '...., kita tidak tahu apa-apa... ".
Subhanallah....betapa suamiku sangat menghargai aku, dari dulu suamiku tidak pernah
mengambil keputusan sendiri dalam masalah rumah tangga, selalu mengajakku untuk
berunding terlebih dahulu.
" Tapi mas,...ade' masih mau tanya lagi nih.. ", kataku.
" Iya sayang,... kenapa lagi ? ".
" Tadi mas bilang kalau mas tahu bener siapa Farid itu, memang mas sudah kenal
sebelumnya sama Farid ? ".
" Mmmhh....mmmhh....", suamiku tidak menjawab hanya tersenyum saja.
Dan aku tahu apa itu artinya...suamiku tidak akan menjawab pertanyaan semacam itu.
Tapi akupun tahu sebesar apa kasih sayang suamiku terhadap Sarah. Tidak mungkin
rasanya suamiku membuat keputusan besar seperti ini tanpa lebih dahulu menyelidiki
bagaimana keluarga Farid dan Asma.
" Yang penting de',... kita berdo'a aja untuk kebahagiaan mereka ", ujar suamiku.
" Hhhmm... iya deh,... yang penting kita tinggal berdoa saja buat mereka ", kataku.
" Terus mas ada lagi,.. berarti mas tahu dong kemarin pas ade' gelisah soalnya ada yang
mau ade' omongin sama mas, ya khan ?", tanyaku.
" Iya doonngg...., masa mas nggak tahu, khan ade paling nggak bisa menyembunyikan
sesuatu dari mas, meskipun sebenarnya ade' berusaha nutup-nutupin juga... ".
" Berarti mas tau dong sebenarnya ade' pingin ngomong kemaren ? ", tanyaku lebih
gencar.
" Iya dong...tau dong....", kata suamiku sambil tertawa.
" Ih,... mas jahat,... nggak mau dibahas dari kemarin saja... mas tau nggak, ade' tuh
semalam nggak nyenyak bobonya,... pingin cepat-cepat pagi biar cepat cerita sama mas...
", jelasku.
" Iya.... mas juga tahu, mas iseng saja... sekalian melatih kesabaran ade'...", sambung
suamiku masih tertawa.
" Mas jahat ih.... sudah tua masih suka iseng ngerjain isterinya... ", kataku berusaha untuk
tidak ikut tersenyum.
" He.. he.... alaah de'.... mau ketawa aja pakai gengsi segala sih.... ", kata suamiku sambil
mengacak-ngacak rambutku. " Hhmmmm.... si mas....", aku sudah kehabisan kata-kata.
Tiba-tiba suara pintu kamar diketuk dengan agak keras, aku sudah hafal siapa lagi kalau
bukan Zakly yang berani mengetuk seperti itu...
" Abi,... Ummi,.... pada mau pamitan nih.... ", teriak Zakly dari luar.
" Hhmm....Zakly ya, ngomong agak pelanan khan bisa ", kataku sambil membuka pintu
kamar.
" He.. he.... abis tadi Sarah udah ngetuk tapi nggak dibukain sih,..ya udah Zakly aja yang
ngetuk lagi, katanya membela diri.
" Lho bi,... kog belum siap ?? nggak ke kantor hari ini ya.. ? ", tanya Fadhil.
" Iya,... nanti agak siangan... ", jawab suamiku.
" Udah pada sarapan ? ", tanyaku.
" Udah dong.... khan kita sarapan sendirian.... ummi sama abi khan masih di dalam kamar
", kata Zakly sambil sedikit memonyongkan bibirnya.
" Khan udah pada gede juga.... ", kataku sambil tertawa.
" Ya udah mi,... berangkat dulu nih.... ", kata Yazid sambil mereka bergantian mencium
tangan kami satu-persatu.
" Sarah,...berangkat ya mi... ", katanya sambil berbisik di telingaku sambil mencium
pipiku.
" Iya nak,... hati-hati ", lantas kupeluk Sarah agak erat. Sarah pun membalas pelukanku
dan sambil mengusap kerudungnya aku seraya berbisik bahwa aku ikhlas menyetujuinya.
Kulihat mata Sarah berkaca-kaca....
" Woow... Sarah pamit ke ummi aja sampai kaya gitu, kaya di film-film telenovela aja ",
goda Zakly.
" Udah ah,... kamu khan nggak tahu ", balas Sarah.
" Lho memangnya ada apa sih mi... ? ", tanya Fadhil.
" Udah,... sekarang berangkat saja kalian, udah siang lho nanti malam saja kita bahas... ",
kata suamiku.
" Lho... emang ada apa... ?? ", tanya Zakly lagi.
" Udah.... berangkat sana.... ingat Zakly kalau naik motor jangan ngebut....terus kalian
kalau jajan jangan sembarangan, sekarang lagi musim macam-macam penyakit ", kataku
mulai lagi dengan segala pesan-pesan.
" Yah,.... ummi balik lagi dah... padahal kemarin udah anteng, udah diem ya mas Yazid ?
", kata Zakly.
" Iya nih ummi... habis abi sudah pulang sih...", timpal Yazid.
" Iya,... balik lagi deh berisiknya ", tambah Zakly.
" Zakly,... kog ngomong gitu sama umminya.. ", kataku.
" Afwan mi,.. becanda mi.... ", kata Zakly sambil memeluk bahuku.
" Hhmmm... udah ah,..pada terlambat lho nanti... ".
" Assalamu'alaikum....", kata mereka berbarengan.
" Wa'alaikumussalam...".
Aku antar mereka sampai depan rumah. Sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi
di teras depan, aku termenung,....alhamdulillah aku bahagia ya Allah atas segala nikmat-
Mu. Lindungilah mereka Ya Allah, tuntunlah selalu langkah-langkah mereka, penuhilah
hati dan cinta mereka hanya dengan iman dan takwa kepada-Mu semata....