You are on page 1of 149

Print Cerpen

Posting cerpen by: Que3n sheBa


Total cerpen di baca: 898
Total kata dlm cerpen: 4141
Tanggal cerpen diinput: Mon, 17 Aug 2009 Jam cerpen diinput: 10:16 PM
0 Komentar cerpen

TABIR TAKDIR CINTA


Maya keluar dari kelas. Tapi tas yang digambloknya terasa berat. Dia menoleh,Neneng
sudah nyengir d belakangnya,jilbabnya berantakan.
“Ada apa neng?”
“Hehe,,,jadi nggak may mau nemenin aku ke pesantren? Katanya kemaren mau ikut.
Gmn?’’
Maya berpikir sejenak,kemudian tersnyum. Berlalulah mereka dari gerbang sekolah
dengan Toyota yaris biru milik Maya. Di perjalanan,Neneng banyak bercerita dengan
kehidupan pondok. Dia juga tidak tahu banyak,hanya sekedar sering denger cerita dari
temannya yang mondok di situ. Maya hanya sedikit memerhatikan cerita
Neneng,maklum,dia sibuk menerobos kumpulan kendaraan yang tak terhitung
jumlahnya.
“ALMA’HAD ALISLAMIY ALMADANIY”
“Ini tempatnya neng?” Neneng mengangguk. Maya memarkirkan mobilnya di halaman
seberang gerbang pesantren.
Ketika hampir sampai pesntren,Maya berhenti sejenak. Pusing itu datang lagi. Dari tadi
pagi dia sudah merasakan badannya agak lemas.
“May,kamu nggak mau ikut masuk?” Tanya Neneng ketika sadar Maya jauh tertinggal
di belakangnya. Melihat Maya diam,Neneng menghampirinya. “Ya ALLAH may,kamu
pucat begini!!”
Maya tersadar,”Ah,nggak papa kok.”
“Beneran?”
Maya mengangguk. “Eh,enaknya aku masuk nggak? Aku kan nggak pake jilbab kayak
kamu gini. Mana masih pake seragam sekolah lagi,emang boleh masuk gitu?”
Neneng tertawa kecil, “Emang mall,siswa berseragam nggak boleh masuk?!! Nggak
papa kok,yuk!”
Akhirnya Maya mengikuti Neneng menuju gerbang pesantren. Neneng terlihat ngobrol
sebentar dengan penjaganya,mungkin minta dipanggilkan temannya. Mereka disuruh
masuk dan menunggu di ruang tamu. Tapi belum sampai di ruang tamu,Maya tidak
sanggup lagi berjalan. Dia sudah tidak tahan menahan sakit dan lemas di badannya. Dia
pun ambruk.
Neneng menoleh tersentak. Dia bingung mendapati temannya jatuh pingsan. Kebetulan
di sekitar situ masih sepi,tidak ada orang yang lewat. “Aduh,gimana ini??” Neneng
kebingungan. Dia menoleh kesana kemari,tapi nihil,sepi. Tidak lama,seorang lelaki
berkopiah hitam keluar dari satu ruangan. Langsung Neneng meminta bantuan pada
cowok itu.
“Mas,mas.” Cowok itu menoleh dan langsung buru2 menghampiri mereka. Neneng
menjelaskan awal mula keadaan. Langsung lelaki itu menggendong Maya,membawanya
ke ruang kesehatan.
Neneng dan lelaki itu masih menunggu di samping Maya. Sudah setengah jam,tapi
Maya belum sadarkan diri. Dan mereka sengaja tidak membangunkan Maya,karena
menurut Arga-lelaki yang menggendong Maya,yang tidak lain adalah ustad di pondok
tersebut-Maya pingsan karena kecapekan. Tapi entah capek jasmani atau rohani. Yang
pasti,Maya butuh istirahat.
“sampai kapan kak,kita nunggu dia bangun? Bener nih nggak usah dibangunin?”
Neneng melas menatap sahabatnya yang begitu pucat berbaring.
“Kita tunggu lima belas menit lagi,kalau dia belum sadarkan diri juga…” belum selesai
bicara,mereka melihat jari tangan Maya bergerak. Kelopak matanya juga menandakan
kalau dia mau melek.
“Alhamdulillah dia sadar. Sebentar,saya ambilkan air dulu.”
Maya membuka matanya dengan sempurna. Dia juga sudah bisa melihat sekelilingnya
lengkap. Neneng dengan jilbab abu2nya tepat di sampingnya. Selain Neneng,semua
terasa asing untuk Maya.
“Aku di mana neng?” Neneng menceritakan kejadian ketika Maya jatuh pingsan dan
bagaimana dia bisa terbaring di sini. Selesai cerita,Arga datang membawa segelas air
putih. Maya sekilas menatapnya,tek! Maya merasakannya,sesuatu di hatinya ketika
memandang Arga barusan.
“Mbak,saya sudah menghubungi bagian kesehatan putri. Insya ALLAH mereka akan
memindahkan temen mbak ini k ruang kesehatan putri.” Arga menyerahkan gelas itu ke
Neneng,memintanya supaya membantu Maya minum air.
“Mbak,namanya siapa?”
“Maya.” Suaranya masih terdengar lemah.
“oh,mbak Maya sebentar lagi..”
“Nggak,saya mau pulang!”
“Tapi May,mustahil. Siapa yang mau nganter kita? Kamu nggak mungkin nyetir dalam
keadaan kayak gini!”
Maya masih kukuh mau pulang. sebenarnya dia sadar badannya masih sangat
lemas,kepalanya juga masih sakit. Tapi dia benar2 nggak mau ada di sini,karena wajah
Arga terlalu indah untuk dinikmati. Maya takut jatuh cinta dengan cowok itu.
Akhirnya Maya ngotot berdiri,melipat selimut yang tadi dipakainya. “Lihat,aku sudah
sehat kan?!” lalu menggandeng Neneng yang masih bingung melihat Maya yang tiba2
bangkit dari kasur. “Terima kasih atas bantuannya.” Dengan jutek Maya pamit dengan
Arga. Dan Arga,dengan lembutnya malah tersenyum dan mengikuti mereka,mengantar
mereka sampai gerbang pesantren,memastikan kalau Maya akan baik-baik saja.
Maya berjalan kesal,tapi di hatinya dia merasa tak mau beranjak dari tempat itu. Dia
teringat mimpinya ketika ia pingsan tadi. Di mimpi itu,dia digendong oleh seorang
lelaki,begitu wangi,lembut,tapi wajahnya tertutupi. Dan wangi itu masih membekas.
Maya membuka gerbang sedikit,tapi tangannya kembali gemetaran,pusingnya kembali
bertambah,kakinya lemas,dia jatuh lagi!! Tapi kali ini tidak pingsan,dia masih sadar,tapi
dia tidak sanggup berdiri.
Arga yang melihat itu,langsung berlari menghampiri mereka. “Kalau memang mbak
Maya bener2 mau pulang,biar saya antarkan,kebetulan saya bisa nyetir kok.”
Sebenarnya Maya sudah mau menolak,tapi Neneng dengan semangat mengiyakan.
Dan di sinilah mereka sekarang,di dalam mobil,terjebak kemacetan malam kota. Maya
duduk lemas bersandar di pundak Neneng. Matanya dia pejamkan,sebenarnya dia juga
ingin memisahkan ruh dari jasadnya,tujuannya hanya satu,supaya dia bisa tidak melihat
dan mendengar suara Arga. Tapi tidak bisa,matanya memang terpejam,tapi dia msih
benar2 ada di dalam mobil itu,mendengar percakapan antara Arga dan Neneng yang
mulai ngarol ngidul.
Arga,lulusan S1 FK UI,lulusan terbaik. Tapi setelah lulus,dia malah ingin mengabdikan
semuanya ke kiainya. Jadilah ia ustad juga pakar kesehatan di pondok almadaniy.
Padahal,banyak sudah rumah sakit yang meliriknya dan menawarkannya beasiswa
spesialis dan langsung bisa kerja di rumah sakit tersebut dengan gaji yang tidak sedikit.
Tapi Arga menolak semua,bismillah,dia ingin memperbaiki agamanya. Sampai situ,Arga
bercerita tentang dirinya.
Dan Neneng mulai cerita tentang kehidupannya di sekolah,juga teman2nya dan tidak
lupa rohis kebanggaannya.
“Tapi,kok Maya nggak kamu ajak pake hijab juga? Bukannya apa,sayang saja,Maya itu
masya ALLAH,jadi sayang kalau malah jadi santapan laki-laki nakal.” Sampai situ aku
terkejut! Siapa dia? Soknya perhatian sampai bilang begitu. Kenal juga baru. Tapi
kenapa dia,dari kata-nya barusan sebegitu inginnya Maya pake hijab sperti Neneng?
Maya semakin lemas. Hatinya makin dipenuhi bunga2 cinta.

***
sebulan berlalu dari kejadian pesantren itu. Maya berusaha dengan sepenuh hatinya
untuk melupaka Arga. Tapi sayang,Neneng tidak mendukung,di setiap waktu dia malah
asyik berkata, “Iya,kata kak Arga…” semua makin mengingatkannya pada Arga,sosok
lelaki yang baru membuka hatinya kembali. Maya tidak pernah cerita apapun perihal
perasaan itu pada Neneng. Dia ingin menyimpannya sendiri,untuknya,tidak untuk yang
lain.
Pertanyaan Arga malam itu,perihal dirinya yang tidak berhijab,kini terngiang begitu
jelas di pikirannya. Malam ini,Maya tidak henti2nya mondar mandir di kamarnya.
Padahal besok,ujian terakhir menantinya. Tapi pikirannya terus dipenuhi
pertanyaan,mampukah dia menghijabi diri juga hatinya? Makin lama mondar
mandir,Maya makin tidak menemukan jawaban itu. Akhirnya dia memutuskan minta
pendapat Neneng.
Maya mengambil handphonenya dan langsung menekan nomor hp Neneng. Setelah
suara Neneng terdengar,Maya langsung menceritakan semuanya dan kemudian meminta
pendapat. Jelas Neneng terdengar bahagia. Karena memang sebulan ini,setelah Arga
menyuruhnya kembali mengajak Maya pakai hijab,Neneng sangat getol mengajak Maya
pakai hijab. Neneng banyak menceritakan manfaat dan kegunaan menutupi aurot kita.
Kata Neneng,untuk menghindari fitnah.
“Alhamdulillah may!! Kalau aku sih ya ngedukung banget. Tapi semua kembali lagi ke
kamu. Gimana kemantapan kamu,dan yang paling penting niat kamu. Aku nggak mau
kamu buru2 pakai hijab,cuma karena aku,atau karena orang lain mungkin.” Dan ada
nada menggoda di balik kata2 Neneng terakhir.
Maya agak tersinggung. Tapi sudahlah,kini tinggal bagaimana dia membenahi niatnya.
Memang tadi sebelum menelpon Neneng,Maya ingin cepat-cepat pakai hijab karena ia
ingin menjawab pertanyaan Arga,dia sekedar ingin menunjukkan ke Arga,ini lho Maya!!
Aku juga bisa pakai hijab!! Tapi kini,selesai menlpon Neneng,Maya tersadar. Ya,yang
penting itu niat. Maya mulai duduk khudlu’,menata hati,menghilangkan sejenak ego
kemanusiaannya,kesombongan insaninya. Biar semua yang ingin dia lakukan,semua
hanya untukNya,Sang Kholiq.
***
“Mabruuuk!!” senyum Neneng langsung menyambutnya. Menyambut Maya yang
baru,yang lebih anggun dan lebih islamiy. Sosoknya kini sempurna sudah sebagai
seorang muslimah sejati. Langkah awal untuk lebih menghijabi hatinya. Jalan untuk bisa
lebih dekat dengan Rabbnya. Semua menyambutnya dengan senyum hangat. Apalagi
ujian akhir mereka sudah terlewati,tinggal menunggu hasil ujian.
“May,terus abis lulus SMA kamu mau lanjut di mana? Aku denger2 kabar,katanya
kamu ditawarin beasiswa di Australia ya?”
Maya tersenyum tipis,dengan hijabnya,kini ia bisa lebih kalem dan lebih feminine
dalam berbicara,juga perilakunya. “Iya,kemaren pak bambang udah kasih aku dokumen
buat aku isi. Tapi kayaknya aku tolak deh.”
Neneng tersentak kaget, “Kenapa may? Kesempatan nggak datang dua kali lho.”
“Kamu bener,makanya aku milih nolak,karena kesempatan mendapat hidayah itu aku
takut nggak akan datang lagi.”
“Maksud kamu?” Barulah Maya menceritakan semuanya. Pertama tentang
kegalauannya dan keinginannya yang begitu kuat untuk mondok. Hanya satu yang dia
ingin,ingin lebih baik dari sekarang. Lebih menjiwai sosok muslimnya. Dia tidak ingin
cuma sebatas islam KTP. Makanya tadi,dia sudah mengembalikan semua dokumen-
dokumen ke pak Bambang. Dan minggu depan,tanpa nunggu hasil ujian,Maya siap
memulai kehidupan santrinya.
“Doanya aja Neng…”
***
Maya berjalan terburu-buru. Kata mbak-mbak pengurus, dek Naili dari tadi nangis dan
nggak ada yang bisa diemin. Katanya dia terus manggil-manggil nama Maya. Makanya
setelah sekolah diniyah,Maya langsung disuruh cepat ke rumah kiai. Maya membuka
pintu ndalem bawah. Baru kali ini-selama dua bulan dia tinggal di pondok AlMadaniy-
dia masuk ndalem lewat pintu utama.
Maya kaget,sosok lelaki berdiri tepat di depannya,sepertinya dia ingin keluar. Mungkin
ini yang kata mbak-mbak putranya abah yang paling ganteng,gumam Maya dalam hati.
“Kamu Maya?” Maya hanya mengangguk sambil terus tertunduk. “Cepetan ke kamar
Naili,dari tadi dia ngamuk nyari-nyari kamu!!”
Maya mengangguk dan langsung bergegas naik,tapi di tengah-tengah tangga,ada rasa
penasaran menyusup ke hatinya,mendorongnya untuk menoleh ke bawah,berharap
semoga bisa melihat gus Abid,yang tadi terkesan galak.
Maya berhenti sejenak dan memberanikan diri menoleh. Tanpa dia sangka,ternyata gus
Abid juga sedang asyik memandanginya. Jadilah mereka sama-sama malu,wajah putih
Maya langsung memerah. Dia segera menundukkan wajahnya dan melanjutkan jalannya
naik ke kamar dek Naili. Abid lebih salah tingkah lagi,gelagapan ia melengos,sambil
berdehem,lalu keluar.

***
semenjak itu,pikiran Abid terus dipenuhi wajah putih Maya dengan jilbab merah
mudanya. Apalagi ketika wajah putih itu memerah,subhaanallah,,,betapa Allah
menunjukkan kuasaNya dalam menciptakan manusia dengan sebagus-bagusnya bentuk.
Fuuuuuuuuuh…Abid menghela nafas untuk kesekian kalinya. teman yang juga
santrinya,bingung mendapatinya seperti sangat bingung akhir2 ini.
“Gus,aku perhatikan semingguan ini seperti ada seseorang yang mengganggu
pikiranmu. Nggak mau cerita neeh??”
Abid baru tersadar dari lamunannya. “Hah? Nggak juga kok. Siapa?”
temannya tertawa keras. “Bid,udahlah,kalau untuk masalah itu,anggap aku
temanmu,aku juga akan menghilangkan gelar gusmu. Kita sama2 manusia,wajar kalau
bayangan itu menghinggapi kita. Ayo cerita! Siapa tahu aku bisa Bantu.”
Abid merasa benar dengan kata-kata temannya barusan. Langsung dia menceritakan
tentang sosok santri yang begitu full memenuhi pikirannya. Dan dia rasa,kini dia benar-
benar telah jatuh cinta dengannya. Apalagi setelah dia cari-cari informasi tentang cewek
ini,dia tidak menemukan kecuali yang baik tentang dia. Itu semakin mantap
membuatnya ingin meminang perempuan ini.
“Gitu too…emang kalau boleh tahu siapa sih santri putri yang sudah bikin temen plus
gusku ini ketar ketir kayak gini?”
“Afwan bro,aku belum ingin terlalu mempublikasikan secara detail. Nanti kalau sudah
aku lamar dan dia ok,baru aku ceritakan semua tentang dia!”

***
Maya benar-benar capek. Dia habis mengantarkan salah seorang santri ke rumah sakit.
Belum habis rasa capeknya,mbak Nita,kepala kesehatan putri meminta tolong Maya
untuk mengantar titipan obat ke ruang kesehatan putra. Akhirnya dengan badan
lemas,terik matahari yang begitu menyengat,Maya mengangkat dua plastik isi obat-
obatan yang baru tadi dia beli.
Akhirnya sampai juga! Maya langsung mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum.” Jawaban
terdngar di dalam,tidak lama pintu terbuka. Bruuuk!!! Dua plastik lepas dari genggaman
Maya. Pandangannya masih lekat di wajah di hadapannya ini. Wajah yang setia
menemani pikirannya. Begitu juga dengan sosok di hadapannya,dia tidak jadi berkata-
kata. Terpana juga melihat siapa perempuan di hadapannya. Lama…seakan waktu
berhenti berputar.
“Astaghfirullah..” lirihan kecil dari mulut Arga mengakhiri aksi terpanaan mereka
berdua. “Kamu Maya kan?”
Maya salah tingkah langsung mengambil kembali dua plastik yang tadi terjatuh.
Kemudian tersenyum tipis. Lalu Arga menyuruhnya masuk. Maya langsung
mengutarakan maksud kedatangannya ke situ.
“Tadi mbak Nita nyuruh aku nganter ini. Katanya kesehatn putra lagi butuh banyak
obat2an.” Arga langsung sibuk mengecek obat-obatan yang dibawa Maya. Dia
menyuruh Maya untuk menunggu sejenak,karena ia harus mencatat semuany,kemudian
menyalinnya dan meminta Maya untuk memberikannya ke nita.
Di tengah2 sibuk mencatat,Arga masih sempat mengajak Maya ngobrol. Tapi Maya
hanya menjwab seadanya,dia lebih memilih diam. Dia takut perasaan itu terlhat. Tapi
Arga tidak henti-hentinya bertanya. Kapan dia mulai pakai hijab? Kapan dia mulai jadi
santri di sini? Apa yang bikin dia akhirnya mau mondok? Dan banyak lagi. Dan Maya
dengan sabar menjawabi semua pertanyaan.
Pencatatan selesai. Arga langsung menyerahkan dokumen untuk nita. “Syukron udah
sabar nunggu.” Lagi-lagi Maya hanya tersenyum lembut kemudian pamit keluar. Dan
senyum itu,,,masih tertinggal di hati Arga. Mengembalikan bayangan senyumnya yang
dulu.

***
“May,dipanggil ke ndalem.” Maya yang lagi asyik muthola’ah,langsung menaruh
kitabnya dan membenarkan jilbabnya. ‘Tumben dek Naili jam segini manggil aku?’
Maya memasuki ndalem dari pintu belakang. Baru hendak menaiki tangga,ummi
memanggilnya. “Maya,ke sini nak!”
“Iya ummi,ada apa? Katanya dek Naili manggil saya ya mi’?
“Bukan Naili yang panggil kamu,tapi umi.” Maya agak kaget. Tumben ummi ada perlu
sama dirinya.
Setelah Maya duduk,ummi menceritakan sedikit tentang sosok Abid ke Maya. Maya
agak bingung,ada apa ini,kok dipanggil hanya untuk cerita gus Abid dari kecil. Ada
sedkit kecurigaan menyusup ke hati Maya. Sampai pada akhir cerita,ummi meminta
sesuatu yang tidak enak bagi Maya untk menolak. “Kamu mau nak,kalau umi jodohin
sama Abid?”
Kecurigaan Maya terjawab. Umi melanjutkan, “Baru kali ini Abid minta dilamarin
seorang perempuan. Padahal umi dan abah sudah dari dulu ngasih dia pilihan permpuan-
perempuan,tapi dia selalu bilang nggak sreg. Makanya ketika sekarang dia minta
kamu,umi langsung mengiyakan. Karena umi tahu kamu juga anak baik. Gimana?”
Maya terdiam. Tidak mungkin juga dia langsung bilang iya,apalgi bilang tidak. Dan umi
juga menangkap arti dari diamnya Maya. Umi juga tidak memaksa Maya menerima.
Umi menyarankan Maya musyawarah dengan keluarganya dan tidak lupa
istikhoroh,karena ini bukan untuk main-main.

***
Akad pernikahan sudah berlalu. Maya masih belum bisa menghilangkan sisa-sisa
tangisnya. Kini rasa bercampur di hatinya. Sedih,sakit,juga senang,tapi hanya sedikit.
Dia mengingat tadi ketika di masjid,setelah ijab qobul,semua asaatidz menghampiri
Abid,mengucapkan selamat. Dan lelaki yang pernah dia cintai-pun sampai saat ini-orang
yang paling lama berbincang dengan Abid. Sebenarnya Maya tidak berani
menatapnya,tapi beberapa kali Maya meliriknya,Maya selalu mendapati kedua mata
Arga sedang menatapnya dengan tatapan pilu. Dari situ Maya tahu,Arga juga merasakan
seperti yang dia rasakan!!!
Tapi kenapa baru sekarang dia mendapati rasa itu? Kenapa malah di saat-saat seperti ini
dia menyadari bahwa di hati mereka,ada cinta yang begitu kuat? Kenapa setelah dia
sudh menjadi milik Abid,dia baru tahu Arga menyimpan rasa untuknya,sehingga
menumbuhkan kembali rasa di hatinya? Allahummaghfirlii…

***
tiga bulan sudah Maya menjalani kehidupan barunya,menjadi istri seorang gus Abid.
Gus idola para santri putri. Ada sedikit bangga juga bisa bersanding dengannya. Apalagi
Abid yang sangat baiiik kepada permpuan. Dia begitu menjunjung hak-hak
perempuan,tapi tanpa membuatnya lupa akan hakikatnya. Maya berhasil menghapus
rasa yang sempat menyakitkannya ketika awal2 masa pernikahannya. Dia hampir
menceritakan semua pada suaminya,dan memintanya untuk mengerti sehingga mau
melepasnya dan merelakannya. Tapi alhamdulillah,berkat kesabaran Abid,semua
berhasil dia lewati. Sampai saat itu…
“Yang,aku tuh bingung sama Arga. Sampai sekarang kok dia masih betah ngejomblo
gitu ya?”
Maya tidak berani komentar apa-apa. Dia takut salah ngomong.
“Eh yang,gimana kalau kta jodohin aja sama Fitri? Dia kan sebentar lagi selsai
mondoknya? Gimana menurut kamu?”
Maya serasa tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Memang,dia sekarang
sudah berhasil melupakan Arga,tapi kalau nanti harus jadi saudara seipar,tinggal satu
lingkungan,pasti rasa itu akan muncul lagi,malah mungkin akan semakin menjadi-jadi.
Tidak rela melihatnya dengan orang lain. ‘astaghfirullah…aku ini sudah jadi istri orang.’
Baru tersadar dari naza’ pikirannya,Maya sudah mendapati kamarnya kosong.
Sepertinya Abid langsung mau matur ke abah uminya untuk menawarkan
Arga,sahabatnya.
***
semua berjalan begitu cepat. Abah umi yang langsung setuju dengan usulan Abid
menjodohkan Fitri dengan Arga. Abid yang kemudian menawarkan Arga tentang
usulannya. Dan Arga yang dengan lugas menjawab, “Sam’an wa tha’atan.”
Dan kini,Maya sibuk menyiapkan pakaian suaminya. Kebetulan Abid ada acara di
beberapa tempat di jawa tngah. Sekalian dia ingin ke pesantren Fitri,memboyongkannya
sekaligus mengabari perihal perjodohannya dengan Arga.
“Emang mas yakin Fitri bisa suka dnegan Arga?”
“Aku belum cerita ke kamu ya yang? Dulu itu Fitri sempet naksir lho sama Arga.
Lagian cewek mana sih yang nggak akan terpincut sama Arga,dokter gagah nan ganteng
gitu,ya kan?” kata2 itu langsung menembak dalam hati Maya. ‘ya…sampai akupun
masih tertahan olehnya…’
semua barang sudah siap. Koper dimasukkan ke mobil. Maya tidak bisa ikut mengantar
ke bandara. Badannya lemas. Mungkin terkuras pikirannya menyiapkan lahir bathin
menerima Arga da Fitri.
“Yang,I love u.” Maya hanya tersenyum tipis. Setelah mencium kening istrinya,dengan
senyum yang paling manis,Abid meninggalkan rumah.
***
Maya tidak bisa tidur. Bayangannya entah pergi ke mana?? Hatinya masih dipenuhi
ketakutan. Bagaimana ini?? Dia merasa Argalah penyebab kegalauan ini. Maya mondar
mandir,tidak tahu apa yang mau dia lakukan. Akhirnya ia memilih menulis surat untuk
Arga. Mengungkapkan semua,,,tentang perasaannya,juga tentang kerelaannya kini…
melepaskan dia bersama Fitri.
Surat sudah jadi. Baru selesai melipat,pintu diketok. Spontan Maya menyelipkan surat
di tumpukan buku di atas meja. Maya membuka pintu. Didapatinya umi sudah berbalut
jilbab. ‘ada apa ini,malam2 begini umi ke sini?’
“May,yang sabar ya may. Abid…suamimu…”
Maya setia menemani umi yang masih menangis dari tadi. Mereka menunggu jenazah
Abid datang. Katanya sekarang sudah di perjalanan dari bandara ke rumah. Mungkin
sebentar lagi sampai.
Abid meninggal tabrak lari di depan pesantren tempat Fitri mondok. Setelah
memboyongkan Fitri dan megabarinya tentang perjodohan itu,ketika Abid hendak
mnyebrang,sepeda motor kencang menabraknya. Seketika dia meninggal. Tapi
sebelumnya,dua nama yang digumami Abid,’Maya…Arga…’
***

dua bulan setelah itu…


Semua sudah kembali beraktifitas. Hanya ndalem yang masih sedikit diselimuti duka.
Maya masih agak shock kehilangan suaminya. Walaupun dia belum bisa mencintainya
dengan sepenuh hati,tapi baginya,Abid sosok yang memukau. Smpurna sebagai seorang
suami. Begitu juga dengan Fitri,ia merasa sangat kehilangan kakak tercintanya. Apalagi
sebentar lagi dia akan menikah dengan sahabat almarhum kakaknya itu.
“Mbak,aku mau tidur di sini bentar nggak apa-apa kan?” siang itu tiba2 Fitri datang ke
kamar Maya.
“Masuk aja fit. Tapi mbak mau ke bawah dulu yah,mau Bantu umi masak.” Fitri
masuk,memandang sekeliling kamar itu. Kamar yang pernah ditempati almarhum kak
Abid. Fitri msih mendapati aroma khas kak Abid. Diapun tidak jadi tidur,malah sibuk
memerhatikan sudut ruangan. Dia duduk di meja baca kak abid. Membuka kitab2 dan
buku di atasnya. Dan terjatuhlah selembar kertas…

***

“Fitri di kamarmu nak?” Tanya umi setelah selesai memasak.


“Iya mi’,katanya dia mau tidur sebentar. Oya mi,terus jadinya akad nikah Fitri di sini
atau di mana?”
“Arga sih mintanya di sini,terus abah yang akadin. Tapi kalau nunggu abah punya
waktu ya mungkin sekitar minggu depan.”
Maya mengangguk. Sebenarnya dia belum begitu bisa menerima. Tapi ya
sudahlah,,mungkin ini memang sudah jalannya.

***

bismillahirrahmanirrahiim
kak Arga,yang mudah2an selalu dalam lindungan dan limpahan rahmatNya..amien

sebelumnya aku minta maaf atas kelancangan surat ini. aku juga sadar siapa aku,dan
tidak sepantasnya untukku sekarang menulis surat untuk kak Arga,juga untuk lelaki
manapun. Tapi,hati ini yang mendorong tangan untuk menulis,memaksa otak untuk
berpikir merangkai kata2 untuk sang pujaan hati.
Kak Arga,surat ini,saksi bahwa dulu dan sampai sekarang ternyata aku mencintai kak
Arga,dengan sepenuh hati,sejak pertama kak Arga membopongku. Sampai saat
ini,wangi tubuh kak Arga seakan masih melekat di hidungku. Sampai saat ini,bayangan
kak Arga msih terus menemaniku. Tapi aku sadar,kini aku sudah menjadi milik orang
lain,tidak sepantasnya aku masih menyimpan rasa itu. Insya ALLAH,aku akan berusaha
membuangnya,dan wallahi,aku rela melepas. Aku rela melihat kak Arga dengan
perempuan lain…seperti relanya kak Arga ketika melihat aku di samping mas Abid.
Aku,yang berusaha berhenti mencintaimu
***
Maya terus membuka halaman demi halaman semua buku di atas meja. Tapi nihil,surat
itu belum juga ketemu. Sebenarnya dari kemarin Maya sudah mau membakar surat
itu,tapi Fitri seakan terus ingin di sampingnya. Setiap waktu Fitri selalu main di
kamarnya. Sehingga membuat Maya lupa akan hal yang satu itu.
‘jangan sampai ada orang yang baca surat itu!! Di mana yaa?’ Maya menggumam
sambil terus sibuk mencari.
Kreeek…pintu dibuka. Maya tersentak kaget. Dia langsung pura-pura sibuk beres-beres.

“Eh,kamu fit. Ada apa?”


“Cuma mau kasih kabar kak,lusa jam8 pagi akadnya.” Fitri tidak masuk. Hanya berdiri
di pintu.
Maya langsung menghampiri mengucpkan selamat. Dia memeluk Fitri,kemudian
menangis. Fitri membalas pelukannya,semakin erat memeluk. Mereka sama-sama
menangis. “Kak,lusa,dandan yang cantik ya!!” Maya mengangguk kecil.
***
Maya menatap sekali lagi dandanannya di depan kaca. Sudah cukup. Dia tidak mau
terlihat terlalu mewah atau heboh dandan. Tiba-tiba Fitri dan umi masuk. Maya kaget
melihat Fitri yang dandanannya sangat sangat biasa.
“Lho fit,sebentar lagi kan acaranya? kok?”
“Nak,umi mau bicara. Duduk dulu yuk!” umi dan Maya duduk di kasur. Fitri ikut
duduk di bawah kaki uminya.
Umi menyerahkan secarik kertas pada Maya. Maya kaget menerimanya. Surat itu…
“Fitri sudah baca semua mbak. Fitri terharu. Makanya Fitri langsung memutuskan
untuk matur dan cerita semua ke abah umi. Fitri mau,mbak Maya sama kak Arga…”
Maya hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan Fitri. Maya menatap
umi,mencari jawaban dari beliau.
“Umi dan abah juga sudah terserah Maya. Apalagi kata Fitri,dua nama terakhir yang
disebut Abid itu,nama kamu sama Arga. Gimana nak?”
Maya menangis terharu. Dia langsung jatuh di pangkuan ummi. Umi menghelai lembut
rambutnya. Semoga ini yang terakhir…

***
pesantren AlMadaniy kembali tersenyum. Bahagia kembali menghampiri. Semua seakan
ikut merasakan aura cinta dua insan yang begitu besar. Cinta yang tersimpan,kini bisa
bersatu dalam ikatan suci nan halal. Semua ikut menjadi saksi,pun ruh Abid,yang sudah
tenang di alam sana,ikut merasakan kebahagiaan perempuan yang dicintainya.
“Ankahtuka wazawwajtuka Mezz Maya binti Abdullah bimahrin madzkuurin,haalan.”
“Qabiltu nikahaha wa tazwiijaha bimahrin madzkurin haalan…”

the end
CERPEN : Untuk Sahabat
| Print Cerpen
Posting cerpen by: fairy
Total cerpen di baca: 11925
Total kata dlm cerpen: 814
Tanggal cerpen diinput: Sun, 10 May 2009 Jam cerpen diinput: 11:26 AM
6 Komentar cerpen
Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit
mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu
senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah
kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku
memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama
pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah
hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku
mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini
belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan
dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi
paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku
mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku
kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman
yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di
perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris
bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun.
Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa
kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu
dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku
selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada
seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya.
Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah
juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga
sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan.
Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku.
Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk
sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok
nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa,
Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau
nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita
tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi
sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya
dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu
masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi
jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue.
Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu.
Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu.
“Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,”
Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu
menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,”
kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga
tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu
bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita
sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu
menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak
pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu
mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba
memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu
nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin
gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi
berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku merasakan kehampaan sejenak.
Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah
sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’
pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya.
Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang
kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku
tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan
yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu
kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat
baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan
merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan
kita. Maka jangan pula tinggalkannya.

CERPEN : Menunggu Pelangi


| Print Cerpen
Posting cerpen by: Ivana
Total cerpen di baca: 17522
Total kata dlm cerpen: 3249
Tanggal cerpen diinput: Fri, 12 Jun 2009 Jam cerpen diinput: 3:34 PM
24 Komentar cerpen
“Pelangi!! Ayo kesini! Hujannya lumayan deras nihh! Nanti sakit loh!”
teriakku sekencang – kencangnya ke arah Pelangi yang dari tadi mengincar air hujan
yang berjatuhan. “ Bentar donk! Lagi seru main sama air nih! Lagian kalo disitu nanti
kita ga bisa lihat pelangi tau!” balas pelangi dari kejauhan. Aku segera mendatanginya. “
Mana Ngi pelanginya?” tanyaku penasaran dengan kata–katanya barusan. Di situ aku
pertama kali melihat pelangi yang indaaahh sekali bersama dengan sahabat setiaku,
Pelangi. Oh iya. Kenalkan namaku Tito. Aku sudah duduk di bangku
kuliah. Semester 4. Aku sangat suka dengan dunia balap. Piala dan penghargaan
prestasiku di dunia balap juga ga dikit lho. Cuplikan tadi hanya seberkas cerita kecilku
bersama sahabatku Pelangi. Dan itu adalah kali pertama kita melihat pelangi bersama –
sama dan akhirnya menjadi hobi kita setiap ada hujan. Hari ini, begitu
indah untuk seluruh keluargaku. Ayah baru saja pulang dari Amerika. Kenangan indah
masa kecilku bersama ayahku kembali lagi di benakku. Tami dan Hugo juga terlihat
senang. Terutama si Tami, adikku yang paling kecil sekaligus paling manja dan cerewet
ini seakan tak mau lepas dari pelukan ayahku. Mama juga memasakkan makanan
kesukaan semua anggota keluarga hari ini. Tak lama, rintik – rintik hujan
mulai berdatangan. Makin lama makin deras. Ikan – ikan dibelakang rumah
membiarkan nuansa hening dan damai dari rintik – rintik hujan menambah volume air di
habitat mereka. Tumbuhan – tumbuhan juga membiarkan tetesan air membasahi
permukaan daun mereka. Teringat kembali aku akan si Pelangi. Dia masih satu
kampus denganku. Ku angkat telepon genggamku yang ada di atas sofa yang sedang
kududuki sekarang ini. Aku mencari nomer telepon dari sahabat tercintaku itu. Setelah
kutemukan, kutekan tombol berwarna hijau yang ada di antara beberapa tombol lain.
Mulailah suara halus dan lembut menjawab panggilanku. Aku mulai berbincang dengan
Pelangi dan mengajaknya pergi bersamaku untuk melihat pelangi di angkasa sebelum
hujan reda. “ Hayo kak Tito janjian sama kak Pelangi yaaa......” tiba –
tiba suara si Hugo menyadarkanku dari serunya pembicaraan dengan Pelangi. Segera
kutarik kulit tangannya setelah aku menutup telponku dengan Pelangi. “ Apaan sih
kamu itu! Masih SMP jangan ikut – ikutan! Kakak mau pergi sama kak Pelangi dulu.
Ntar bilangin ke ayah sama mama oke?” aku bertutur kepada adik laki – lakiku yang
rese’ ini. Seraya dia menjawab, “ Pake pajak dong kak!”. Aku tercengang. Si Hugo
nyengar – nyengir ga karuan. Oke deh, aku kasih dia uang jajan. “ Hai!
Udah lama ya? “ sapaku dengan menepuk pundak si Pelangi yang sudah menunggu
beberapa menit. “ Eh? Oh, enggak kok. Baru 10 menit.” Jawabnya dengan lembut. “ Oh.
Sorry ya udah buat nunggu.“ pintaku dengan penuh harap. “ Nggakpapa To. Santai aja
deh.” Jawabnya dengan santai dan tulus. Pelangi langsung menunjuk ke langit yang
sedang menurunkan air saat itu. Kami berdua langsung tersenyum bersamaan. Bangku
taman yang kami duduki terasa hangat dan nyaman. Huft, seperti dulu lagi. Sangat indah
saat ini. Sungguh romantis situasinya. Sempurna sekali dengan
rencanaku yang sudah beberapa tahun kupendam. Aku merentangkan tanganku ke
pundak Pelangi. Pelangi yang terkaget segera memandang wajahku. Dengan lirih aku
menanyakan hal yang sangat sulit untuk ditanyakan dan dijawab. “Ngi. Ehm.., Pelangi.
L, lo, lo mau ga…” aku berusaha bertanya dan mengeluarkan kata – kata. Pelangi
menjawab tanyaku yang belum selesai kuucapkan “Mau apa To? Kalo bantuin lo, gue
mau kok.”. “ Ituh, bukan. Bukan bantuin gue. Tapi lo mau ga… jadi.. jadi.. pa..” aku ga
bisa mengeluarkan kata – kata dengan sempurna. “Huft.. ayo bicara Tito!” aku berbicara
pada diriku sendiri dalam hati. Mobil Avanza berwarna silver
menghampiri kita. “ Eh To. Ga terasa kita udah lama lho disini. Tuh kakak gue udah
jemput. Ngomongnya besok dikampus ya. Oke friend??” seru Pelangi bergegas
menghampiri mobil kakaknya. “ Eh, Ow. Oke deh. Bye..” aku menjawab seruan pelangi
dengan kecewa karena aku ga bisa mengungkapkan rasa yang sudah lama ingin aku
ungkapkan. Apa lagi, dia memanggilku ‘friend’, apa mudah buat aku nembak dia??
Di kampus, aku memulai pelajaran bersama semua teman – temanku yang
menambah ceria hari – hariku. Seperti awalnya, anak – anak GALGOBHIN atau pasnya
genknya si Rico, anak terpintar,terbaik, dan tersopan di penjuru kampus sekaligus
rivalku untuk mendapatkan Pelangi ini menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Pak
Fardi yang adalah sang Master dari Matematika. Istirahat, aku menemui
Pelangi duduk bersama Chika dan Tiwi di kantin. Aku meminta izin pada Chika dan
Tiwi untuk berbicara sedikit dengan Pelangi. Dan aku diizinkan. Aku menarik tangan
Pelangi ke depan pintu kantin. Dag dig dug makin terasa. Makin
keras, keras, dan terasa jantung ini akan pecah. Mengapa? Karena aku berhasil dengan
lancar menembak Pelangi. Sekarang aku tinggal menunggu jawaban. Kutatap matanya,
ia juga menatap mataku. Dan jawaban apa yang kudapat? “Ehm, gimana yah? Oke deh.
Tapi kita harus serius dan ga main-main oke?” Jelas saja kubalas
“PASTI!!!”. Diriku serasa melayang bebas ke udara. Lalu kutemui
bidadari di sana. Aku berdansa dengannya dengan disaksikan oleh keluarga dan sobat-
sobatku disana. Siapa lagi bidadarinya kalau bukan Pelangi? Kita jadi sering banget
jalan berdua. Dan sering juga melihat pelangi bersama-sama. Setelah
gossip jadiannya aku sama Pelangi tersebar, Rico and friends mendatangi aku. Aduh, dia
pasti bakal ngelabrak aku habis – habisan nih. Aku bergegas pergi dari dudukku. Tapi
anak buah Rico menarik tas hitamku. Aku jatuh ke lantai dan merasa ketakutan sekali.
Apalagi Dido dan Rahman yang bergabung di genk itu adalah juara boxing antar
kampus. Keringat dingin bercucur dari dahiku hingga ujung dagu. Perlahan – lahan Rico
menjulurkan tangannya. Aku memejamkan mata dengan kuat dan berusaha melindungi
kepalaku dengan lenganku. Tapi apa? “ Slamet ya. Ternyata lo yang ngedapetin Pelangi
duluan” Itu yang Rico ucapakan. Hah? Bener? Waw. Aku ga nyangka banget ada orang
yang baik sampe kaya gitu. Makin seneng deh. Besoknya, aku
berangkat ke kampus kaya biasa. Naik sepeda motor sama boncengin Pelangi. Pelangi
juga memberiku gantungan kunci benang berwarna – warni mulai dari merah dan
berurut sampai ungu. Ditengahnya terdapat plastik bertuliskan ‘Rainbow’ dan sekarang
kugunakan untuk menghias kunci sepeda motorku. Pulangnya aku
dikabarkan dengan kabar yang sangat tidak menggembirakanku. Ayahku masuk rumah
sakit! Mengapa? Aku juga ga tau. Intinya, mama meneleponku dan memberitahu kalau
ayah masuk rumah sakit. Segera kulajukan dengan cepat Sportbikes menuju rumah
sakit. Aku melihat mama, Tami dan Hugo terduduk lemas di ruang
tunggu. Aku segera menghampiri mama. “ Mama! Gimana ayah?!” bermuka pucat
mama menjawab, “Ayahmu kumat lagi To. Padahal sudah lama penyakit ayah tidak
muncul.” Aku terduduk lesu ke kursi di sebelah adikku Tami. Tami
memandangi wajahku dengan raut wajahnya yang pucat dan berusaha menahan tangis.
Aku mempersilahkan untuk meletakkan kepalanya di dadaku. Kupeluk erat badan
mungilnya. Dengan isak tangis keluargaku benar - benar dipenuhi haru hari
ini, Otakku berjalan lambat ke belakang dan membiarkan kotak di
pojok otakku memutar kembali memori kita sekeluarga. Aku teringat beberapa minggu
lalu saat ayah baru pulang dari Amerika. Keluargaku benar – benar senang dan bahagia.
Hingga kutemui Pelangi dan kutembak dia. Saat ayah memberikan oleh – olehnya pada
kami. Dan saat Hugo menggangguku ketika bertelepon dengan Pelangi. Oh betapa
berbeda sekali dengan hari ini. “Tito!!” panggil mama dan
menyadarkan lamunanku akan memori beberapa minggu lalu. Mama memberi kertas
berisi biaya yang harus dibayar untuk perawatan ayah. “ Segini banyak, Ma?” aku
bertanya heran pada mama. Mama menganggukkan kepalanya pertanda kata – kata “
IYA” Gimana cara mendapatkan uang sebanyak ini? Aduh… Pikiranku
lebih kacau dan makin stress ketika Pelangi berkata ia akan pergi ke Australia. Ya
ampun! Apa ada lagi cobaan yang akan menerkamku setelah ini? Ah! Terpaksa aku
harus merelakan kepergian Pelangi ke Australia. Tapi kali ini lebih haru lagi yang
kurasakan. Hatiku seakan dicabik – cabik. Aku berharap Pelangi bisa mengingatku di
sana. Kuharap Pelangi juga akan menepati dan tidak mengingkari belasan janjinya
padaku. Baiklah, aku masih punya gantungan kunci dari Pelangi. Aku harus memikirkan
caraku mendapatkan uang untuk perawatan ayah. Tapi dimana? Oh
iya! Ada Paman Heru! Paman yang paling berjasa di dunia balapku. Aku pergi ke rumah
Paman Heru saat itu juga. Aku lihat Paman Heru sedang bersantai di depan rumahnya
sambil minum kopi. Aku menyapanya dan mulai berbincang beberapa lama. “Kamu
butuh uang berapa To?” Paman Heru bertanya sambil bersiap mengambil dompet kulit
dari saku celananya. “Segini Paman” aku memberikan kertas yang diberikan mama saat
di rumah sakit. “ Wah. Banyak nih To. Oke paman mau kasih. Tapi Cuma bisa
seperempatnya aja. Sisanya cari sendiri oke?” sahut paman. “Oke deh paman.” Balasku
sedikit kecewa. Paman Heru mengeluarkan hampir seluruh isi dompetnya. Ku raih uang
itu. Aku mengucapkan terimakasih. “ Ehm, paman. Cari sisanya
dimana yah? Maaf ya paman kalo ngrepotin..” “ Aduh dimana ya? Paman Heru udah
jarang banget ketemu event – event balap.” Jawab Paman Heru. “ Bener nih Paman?
Ngga ada sama sekali?” tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan. “ Ada sih satu. Paman
kemarin ketemu satu event. Hadiahnya lumayan gede juga” jawab paman sekali lagi.
“Ya udah aku ikut.” Jawabku tanpa pikir panjang. “Tapi yang ngadain Komunitas Bali.”
Ujar Paman. “Hah? Bali? Balap Liar paman?” tanyaku dengan heran. “Iya. Kamu tau
kan konsekuensinya?” “Emmmm, oke deh gapapa. Pokoknya ayah sembuh.”
Setelah kubicarakan hal ini dengan mama, Tami dan Hugo, tak ada yang
menyetujui kesepakatanku kecuali Hugo. Hanya dia yang menyemangatiku saat itu. “
Udah To. Kalo ada barang yang bisa dijual, biar mama jual daripada kamu ikut balapan
kaya gitu.” Mama melarangku. “ Iya kak. Biar nanti Tami jual gorengan atau apa gitu
buat bayar biayanya ayah. Daripada kakak nanti kenapa – napa.” Tami yang masih di
bangku SD itu juga berusaha melarang. Tapi keputusanku udah bulat. Aku akan tetap
mengikuti balap ini. Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Sudah siap aku
di atas motor balapku ini. Tak lupa ada gantungan kunci dari Pelangi yang menemaniku.
Para cewek – cewek di depanku menarik bendera hitam putih di tangan mereka. Segera
melaju kami semua. Urutan pertama ada rivalku si Joe. Tapi aku berusaha menyalipnya.
Beberapa lap sudah kulewati. Tinggal satu lap lagi. Aku masih di urutan dua. Joe
mengencangkan lagi gasnya. Aku juga tak mau kalah. Aku tancap gasku. Kini jarakku
dengan Joe hanya beberapa cm! Kutancap lagi gasku! Garis finish sudah ada di
depanku. Mataku mulai jeli memainkan trik. Kutancap gas hingga aku berada di depan
Joe. Kuhalangi laju motor Joe dengan zig zag. Tinggal sedikit lagi.. Ya, ya, ya..
YESSS!!! Aku berhasil mencapai urutan pertama di garis finish. Paman Heru
berteriak menyemangatiku dari jauh. Para penonton menyoraki dan memberi tepuk
tangan untukku. Sangat haru sekali. Sangat memuaskan. Tapi, polisi! Polisi! Polisi!
Penonton berlarian kesana kemari. Para pembalap lain melaju kencang tak berarah.
Paman Heru berteriak padaku “Tito!!!! Ayo pergi!!!! Paman ga mau kamu ditangkap
polisi!!!” “Lhoh kenapa paman???!!!!! Aku kan belum dapat hadiahnya!!!!” teriakku
membalas paman Heru. “Tito ini Balap Liar!!!!! Kamu lupa
ya????!!!!!!” Jregg. Oh iya!! Aku baru teringat. Kutancap gasku.
Aku melaju tanpa arah. Tak kusangka segerombolan cewek centil berlari dengan histeris
di depanku. Aku rem motorku dengan sangat mendadak dan dengan kecepatan yang
melebihi normalnya. Keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dari
motorku! Kaki kiriku tertindih body motorku. Sebelum kubebaskan
kaki kiriku, kuraih dulu gantungan kunci dari Pelangi. Sedikit lagi…, yah! Aku berhasil
membebaskan kakiku! Gantungan kunci dari Pelangi juga sudah kukantongi.
Belum aku berdiri dari jatuhku, seorang pembalap dengan motor
besarnya segera melindas kedua kakiku dengan kecepatan tinggi. Sakit sekali! Aku
mengerang kesakitan. Benar – benar sakit. Lebih sakit daripada hatiku yang tercabik
saat Pelangi pergi. Paman Heru datang menghampiriku. Belum sempat aku mendengar
Paman Heru berbicara, pandangankupun gelap. Apa ini? Aku sudah mati? Oh aku sudah
mati ya. Ternyata aku sudah mati. Perlahan – lahan aku membuka
mataku. Rasanya sudah lama sekali aku tidur. Tapi ada mama di depanku. Tami dan
Hugo juga ada. Baunya sama persis ketika aku melihat ayah yang terbaring lemah di
ranjang rumah sakit. Oh? Aku sedang ada di rumah sakit? Aku bangun
dari tidurku. Kulihat anggota badanku. Ada yang hilang!! Kakiku!! Mana?? Dimana
kedua kakiku? Tertanya peristiwa itu membuat aku kehilangan kedua kakiku. Harusnya
aku menuruti nasehat mama dan Tami. Pasti tidak akan seperti ini jadinya. Ah! Tapi nasi
telah menjadi bubur. Apa daya?? “Kak, waktu kakak koma, kak Pelangi
dating kesini lho.” Kata Tami saat aku berbaring di ranjang tidur. “ Oh ya? Terus terus?
Kak Pelangi bilang apa aja?” tanyaku penasaran dan langsung bangkit dari tidurku.
“Enggak bilang apa – apa. Cuma kesini pegang tangan kak Tito terus pulang.” Jelas
Tami. “Cuma gitu? Dia ga nitip apa – apa?” aku heran. “ Emm, enggak kok.” Jawab
Tami ragu. “oh. Ya udah deh”. Siang itu hujan turun. Aku sangat ingat
pada Pelangi. Soalnya dia pernah buat janji tiap ada hujan turun dia akan balik buat liat
pelangi sama – sama. Dengan bantuan dorongan Hugo, aku menelusuri lorong rumah
sakit hingga ke lobby dengan kursi roda. Kutunggu terus hingga Hugo tertidur di atas
sofa. Tapi hingga larut ia tak juga datang. Namun aku sangat menyesal
menunggunya sejak aku melihat surat yang terletak di atas meja. Andai saja waktu Tami
bercerita padaku, aku tau kalau di tangannya ada surat dari Pelangi. Surat itu berisi
: “Buat Tito sahabat gue sekaligus pacar gue yang paling gue sayang. To, gue minta
maaf. Gue ga bisa balik lagi buat liat pelangi sama – sama lagi kaya dulu. Soalnya di
sini gue udah ketemu ama cowok yang gue pikir bisa dampingin hidup gue. Tolong titip
gantungan kuncinya ya. Rawat yang baik oke?” Itupun belum semua. Yang paling
membuat aku menyesal menunggunya semalaman adalah kalimat terakhir dari suratnya.
Yaitu: “Gue ga bisa hidup sama orang cacat kaya lo” Kini kusadari,
pelangi hanya terbentuk dari pembiasan yang tidak nyata. Namun bisa membuat satu
cahaya putih menjadi bermacam – macam warna. Tetapi pelangi hanya sementara dan
bila tak ada air dan cahaya pelangi hanya akan mengingkari janjinya untuk menyinari
dunia. Sama seperti si Pelangi. Pelangi memiliki ciri – ciri yang kuimpikan namun
tidak nyata di hatinya. Ia bisa membuat hidupku berwarna dan ceria. Tapi hiburan itu
hanya sementara untukku dan bila tidak ada diriku yang utuh seperti dulu, ia
mengingkari janjinya dan berpaling.

CERPEN : Dilarang Jatuh Cinta


| Print Cerpen
Posting cerpen by: Admin
Total cerpen di baca: 15316
Total kata dlm cerpen: 1183
Tanggal cerpen diinput: Fri, 21 Nov 2008 Jam cerpen diinput: 12:38 AM
23 Komentar cerpen
Cerpen Maroeli Simbolon, Dimuat di Republika 12/19/2004Wah! Semua mata
terbelalak -- berpusat kepada laki-laki yang berdiri persis di atas atap gedung berlantai
33, siap untuk bunuh diri. Sejumlah polisi sibuk mengamankan lokasi yang dipenuhi
orang-orang yang ingin menyaksikan peristiwa tragis itu secara langsung, dengan
berbagai ekspresi yang tak kalah seru. Ada yang bergidik, ada yang terbelalak histeris,
ada juga yang terkagum-kagum. Situasi heboh itu melumpuhkan lalulintas. Beberapa
polisi sibuk berdebat dan stres -- mencari solusi bagaimana mencegah orang sableng itu
agar tidak mewujudkan kegilaannya. Ada juga polisi yang langsung menghubungi pihak
rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulans. Mengapa ada yang ingin bunuh
diri?Silakan tanya kepada para penduduk di sebuah negeri yang sedang dilanda cinta,
atau kepada seorang laki-laki muda yang tampan, yang kini berdiri gagah dan tenang di
bibir gedung pencakar langit, dan siap terjun bebas. Padahal, embun masih terjun ke
bawah ketika polisi yang memanjat baru mencapai setengah gedung. Orang-orang pun
berteriak histeris. Dan, lihatlah, seperti tubuh yang bunuh diri pertama, wanita itu juga
melayang-layang ke bawah. Dari tubuhnya, satu per satu tumbuh bunga-bunga yang
mekar. Dan, begitu tiba di tanah, tubuhnya telah menjelma sebatang pohon bunga
beraneka rupa. Di pucuk bunga terselip kertas yang bertulis, ''Kubuktikan cinta dengan
kepasrahan!'' Belum habis keterkejutan orang-orang, kembali terdengar teriakan
seseorang, ''Lihat! Di atas gedung bertingkar 52 sana juga ada yang hendak bunuh
diri!''Semua terperangah, berteriak ngeri. ''Kegilaan apa lagi ini?!''''Lihat! Di gedung 67
tingkat itu juga!''''Lihat! Di gedung warna kelabu ungu bertingkat 73 itu juga!''''Lihat! Di
atas menara pahlawan itu juga!'' Semua menggigil seputih kapas di ujung ilalang.
Bahkan angin pun beringsut ketakutan. Sebab, hari itu lebih sepuluh orang melakukan
bunuh diri dengan cara yang sama (melompat dari atas gedung bertingkat) dan motif
yang sama atau hampir sama. Mungkinkah cinta yang menciptakan semua tragedi yang
mencemaskan ini? Peristiwa itu mencengangkan semua orang, sekaligus menimbulkan
rasa takut dan khawatir yang hebat. Dan peristiwa ini menjadi topik utama di mana-
mana, dari kedai kopi, kafe hingga hotel berbintang, terutama menjadi headline koran-
koran terkemuka. Berbagai kalangan pengamat memberi komentar dan tanggapan, dari
psikolog hingga pengamat sepakbola. Ternyata, hari demi hari, peristiwa bunuh diri itu
tiada henti, terus-menerus terjadi. Sehingga, semakin panjang daftar orang yang mati
bunuh diri dengan melompat dari atas gedung. Bahkan menjadi ancaman, melebihi
wabah penyakit menular. Bunuh diri itu sudah melanda semua orang, dari jompo hingga
anak-anak, dengan teknik yang semakin aneh. Sableng bin edan! Ada yang berpakaian
Pangeran, Ratu, Pendekar, Batman, Superman. Ada yang bersalto, jumpalitan di udara,
berselancar. Ada pula yang terjun sambil baca puisi. Penduduk negeri itu semakin
dicekam rasa takut dan waswas yang luar biasa. Semua mengkhawatirkan sanak
keluarganya dan dirinya akan ikut bunuh diri suatu waktu. Sebab, penyakit bunuh diri
itu dengan cepat menyebar dan menjangkiti siapa saja. ''Bila tidak segera dihentikan,
anak-anak kita, saudara kita, bahkan kita sendiri akan terpengaruh, dan melakukan
tindakan bunuh diri itu.''''Ya. Ini harus kita hentikan!''''Bagaimana caranya? Adakah cara
jitu yang kamu pikirkan?'' ''Ah. Ayo, kalangan intelektual, berpikir dan bertindaklah
segera. Jangan cuma ngoceh ke sana ke mari!'' teriak orang-orang, kehilangan
arah.Penduduk semakin panik, saling bertanya satu sama lain. Tetapi, semua
menggeleng. Semua angkat bahu. Semua jadi buntu jadi batu. Apa lagi yang dapat
dilakukan? Maka, tanpa dikomando, semua tekun berdoa dan samadi agar wabah
penyakit bunuh diri itu segera berakhir. Sayangnya, ketika doa-doa meluncur di udara,
burung-burung gagak berebutan menyerbu dan mencabik-cabiknya sehingga tidak
pernah sampai di meja kerja Tuhan. Jika pun ada yang sampai, cuma berupa sisa atau
percah. Tentu Tuhan tidak sudi mendengarnya. Apalagi Tuhan semakin sibuk menata
surga -- sambil mendengarkan musik klasik -- karena kiamat sudah dekat. Disengat
kepasrahan yang mencekam itu, tiba-tiba Maharaja menemukan gagasan, ''Kita bikin
pengumuman!'' teriaknya pasti.Seketika semua melongong. ''Pengumuman? Untuk
apa?''''Di setiap tempat, kita buat pengumuman: Dilarang Jatuh Cinta!''Semua kurang
menanggapi. ''Apakah mungkin efektif untuk mengatasi maut yang mengancam di
depan mata kita?'' Maharaja angkat bahu. ''Coba dulu, baru tahu hasilnya,'' jawab
Maharaja. ''Masalah utamanya sudah jelas, akibat cinta. Setiap orang yang terjerat cinta,
entah mengapa jadi ingin bunuh diri. Satu-satunya cara, ya, kita larang orang-orang
jatuh cinta. Siapa pun tak boleh jatuh cinta agar hidup terjamin.'' ''Wah, mana mungkin.
Jatuh cinta itu manusiawi. Beradab dan berbudaya. Berasal dari hati. Kata hati. Muncul
begitu saja -- tanpa diundang. Apalagi, cinta kan pemberian Tuhan,'' protes orang-orang,
tak dapat menerima pendapat Maharaja yang dinilai ngawur. ''Terserah. Jika ingin
selamat, menjauhlah dari cinta. Kalian jangan pernah jatuh cinta. Mengerti?! Tetapi jika
sudah bosan hidup, ya, silakan jatuh cinta!'' tegas Maharaja. ''Sekarang, mari kita pasang
pengumuman itu sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya!'' Meski dijerat tali
ketidakmengertian yang luar biasa, pengumuman akhirnya dibuat juga. Dipancangkan
dan ditempelkan di mana-mana, termasuk di bandara. Maharaja bahkan melakukan
siaran langsung di seluruh televisi: ''Saudara-saudari sekalian yang saya benci. Sebab,
mulai sekarang, saya tak ingin mencintai, agar berumur panjang. Saya harus benar-benar
dipenuhi kebencian. Seperti kita saksikan bersama-sama, cinta telah menyebabkan
banyak orang bunuh diri. Cinta telah membutakan mata. Cinta telah merenggut nyawa
sanak keluarga kita. Cinta mengancam kita. Maka, dengan ini, kepada semua yang
mendengarkan pengumuman ini, saya tegaskan: dilarang jatuh cinta! Kita harus
melawan cinta. Kita tegas-tegas menolak cinta. Cinta tidak memberi apa-apa yang
berharga bagi kita, cuma kematian. Mengerikan, bukan? Mulai sekarang, kita
proklamirkan semboyan baru kita: hidup sehat tanpa cinta. Hiduplah dengan saling
membenci, bercuriga, menghasut, dan sebagainya. Jangan pernah mencintai!'' Aneh.
Penduduk bertepuk sorak menyambut pengumuman itu. Bahkan, untuk selanjutnya,
banyak yang memuji kebijaksanaan Maharaja sebagai sikap brilian. Mereka merasa
telah menemukan solusi jitu memberantas wabah penyakit bunuh diri itu. Hidup tanpa
cinta, tidak terlalu buruk demi hari depan yang lebih baik. Dengan saling membenci,
esok yang lebih cerah dan terjamin siapa tahu segera tercapai. Hari masih terlalu subuh.
Ayam dan burung-burung masih ngorok. Tetapi keributan orang-orang dan kesibukan
polisi telah merobek cadar ketenangan. Apalagi wartawan-wartawan sibuk meliput dan
melaporkan -- blizt dan lampu kamera televisi berpantulan. Apa yang sedang terjadi.
Wah. Sungguh mengejutkan dan mencengangkan! Betapa tidak, di depan gedung istana
Maharaja berlantai 113 yang mencuat menusuk langit kelam, Maharaja dengan masih
memakai piyama sedang berdiri di atasnya bersiap-siap bunuh diri. Orang-orang
menahan napas dan terbelalak ngeri menyaksikan tragedi ini. Sementara, istrinya,
Maharani menyorot api kebencian, ''Biarkan ia menikmati kesempurnaan
cintanya!'' Maharaja mengembangkan tangan. ''Ah. Ternyata cinta itu indah. Kita tak
dapat hidup tanpa cinta. Cinta itu anugerah. Berdosalah orang-orang yang tak memiliki
cinta!'' teriak Maharaja, lalu melompat ke bawah. Tubuhnya melayang dan ditumbuhi
bunga-bunga mekar. Tiba-tiba menyusul sesosok tubuh wanita muda yang sintal,
melompat sembari bersenandung lagu cinta. Tubuhnya juga melayang, seperti menari --
dan ditumbuhi bunga-bunga mekar. Begitu tiba di tanah, bunga-bunga itu pelahan
merambat dan menyatu, lalu membesar dan menjadi belukar yang menjalari dinding-
dinding istana dan rumah tangga-rumah tangga. Semua melotot heran. ''Mengapa
Maharaja bisa segila itu?''''Selingkuh. Ia selingkuh dengan sekretarisnya!'' cibir
Maharani sambil meludah ke tengah belukar itu. Akibat ludah itu, tiba-tiba belukar itu
bergerak-gerak liar sepenuh nafsu kelabu, membelit kedua kaki Maharani, dan
menariknya, ''Cintakah?!'' Jakarta, 2003/2004

CERPEN : Surat dalam Hujan


| Print Cerpen
Posting cerpen by: antokrahmat
Total cerpen di baca: 9902
Total kata dlm cerpen: 1257
Tanggal cerpen diinput: Fri, 21 Nov 2008 Jam cerpen diinput: 12:46 AM
14 Komentar cerpen
Cerpen Rohyati Sofyan Dimuat di Suara Karya 11/16/2008HUJAN. Selalu demikian di
bulan Nopember ini. Hujan benar-benar mewarnai hari. Sore. Ya, pukul empat lebih,
hujan seperti pantulan manik-manik kaca menderas seketika dengan anggunnya. Aku
menyesal, sumur di luar pasti akan keruh lagi airnya, mestinya diberi atap nanti. Hujan.
Aku duduk di sini, dekat jendela kaca memerhatikan curahan air yang mengguyur
serentak dari udara. Seperti apakah bunyinya? Di atas atap, di dedaunan, di tanah becek,
bahkan di kolam ikan yang berderet nun di luar? Aku tak tahu. Sunyi. Kecuali gelegar
petir yang menghantam bumi. Ya, hanya itu yang kurasakan. Aku ingat kamu. Aku suka
hujan, aku suka suasananya yang begitu kontemplatif. Kurasakan ekstase tertentu jika
hujan. Memberiku inspirasi untuk menulis puisi. Bahkan juga menulis surat untukmu
dalam suasana hujan kupikir cukup romantis, meski isinya terkadang bernada humor
yang ironis. Aku rindu suratmu. Yang selalu hangat dan menggembirakan, simpel dan
terkadang menggetarkan. Namun mungkin kamu sudah kecewa dengan kenyataan yang
kuungkapkan dalam suratku yang barusan kukirimkan. Mungkin kamu kebingungan dan
terpaksa bertanya pada orang yang kebetulan pernah bertemu denganku, entah Mas
Herwan FR atau Agus Kresna, meski ada yang merasa tak berhak untuk mengatakan
apa-apa karena aku sudah memintanya agar jangan dulu mengabarkan kehadiranku pada
orang-orang untuk suatu alasan. Dan rentetan kemungkinan lainnya mengendap dalam
benakku. Namun aku harap kamu benar-benar cukup dewasa untuk menerima realita
dalam hidup yang penuh ketakterdugaan. Aku kesepian. Apa yang kulakukan. Duduk di
kursi sembari mengangkat kaki, dan di rumah hanya ada aku sendiri. Aku
membayangkan kamu. Sosok yang tak pernah kutemui. Hanya foto yang kamu kirimkan
melengkapi imajinasi: seorang lelaki gondrong yang menarik, dan merasa dirinya secara
psikologis sudah dewasa dalam usia 23 tahun. Heran, di luar belasan burung entah apa
namanya berseliweran dalam guyuran hujan begini, apa yang mereka cari? Barangkali
kamu lebih tahu ekologi dan mau berteori? Aku kedinginan. Aliran listrik padam.
Barangkali segelas teh manis panas bisa menghangatkan tubuhku. Apakah di Bandung
saat ini sedang hujan juga, dan kamu tengah bagaimana? Mengisap A Mild ditemani
secangkir kopi panas? Menulis puisi, cerpen, esai, surat, atau tugas mata kuliah? Di
kampus, di rumah, atau di suatu tempat entah? Membaca diktat, buku tertentu, karya
sastra, atau komik? Di depan monitor komputer, mengobrol, atau nonton TV?
Mendengarkan The Doors atau Ebiet G. Ade? Tidur atau makan? Salat Asar atau
menggigil kehujanan? Atau mengguyur badan di kamar mandi? Atau tak melakukan
apa-apa sama sekali? Cuma Tuhan yang tahu. Relasi yang aneh, katamu, karena lewat
surat. Lalu kamu menyuruhku belajar internet biar bisa bikin e-mail dan tak perlu ke
perpustakaan konvensional. Dan kamu janji akan mengajariku jika nanti
bertemu. Bertemu. Aku juga ingin bertemu kamu. Namun untuk apa? Adakah makna
dari pertemuan itu? Kubayangkan kamu sebagai Indra, temanku, yang membagi dunia
lewat tangannya. Namun apa kamu bisa bahasa isyarat sederhana cara abjad? Kamu
kecewa karena aku tuli? Apakah dalam surat pertamaku aku harus memberitahu siapa
diriku secara mendetail? Aku telah mengambil risiko. Begitu pun kamu. Risiko untuk
merelasi diri dan berinteraksi dengan orang asing. Sebuah silaturahmi yang kumulai,
haruskah berakhir sia-sia? Aku berusaha menerima diriku sebagaimana adanya dan
menjadi orang biasa, meski aku tahu orang-orang di sekitarku kecewa. Keluarga, teman-
teman, sahabat dekat, sampai siapa saja yang memang merasa harus kecewa. Bertahun-
tahun, ada belasan tahun mungkin, sejak usiaku 16 tahun sampai 25 tahun, kujalani hari
dengan sunyi, sebuah dunia tanpa bunyi-bunyi. Bisakah kamu bayangkan? Ah, aku tak
akan bisa mendengar permainan harmonikamu, lalu membandingkannya dengan
permainan harmonika abangku. Atau denting gitarmu dengan Eric Clapton. Atau
bagaimana suatu melodi tercipta dari puisi. Aku juga tak akan tahu warna suaramu saat
memusikalisasikan puisi, berdeklamasi, menyanyi, tadarus, berperan dalam lakon teater,
atau bicara biasa saja. Kamu masih ingat, dalam salah satu suratmu, kamu menulis:
Setting: Kamar, 141000 - 21.20 WIB, Dewa 19 - Terbaik-terbaik. Gurun yang baik.
Barangkali sekaranglah saatnya! Lalu kamu membiarkan selembar halaman kertas itu
kosong. Aku mengerti artinya, kamu ingin aku memutar lagu tersebut, dan membiarkan
Terbaik-terbaik bicara. Sesuatu yang tengah menggambarkan suasana hatimu saat itu?
Sayang, aku tak bisa melakukannya. Kata teman-teman, lagu itu tentang cinta dan
persahabatan. Kurasa aku harus bertanya pada Rie, Indra, atau Nana; apa ada yang
punya teksnya? Ironis, bukan? Tampaknya kamu senang menulis dengan diiringi musik.
Aku iri padamu. Karena aku ingin tahu juga seperti apa indahnya musik klasik itu, entah
Mozart yang kata Indra melankolis; atau Chopin di masa silam, gumam Cecep Syamsul
Hari dalam puisi Meja Kayu yang kembali muram-surealis, menulis lagu pedih tentang
hujan2; atau tahu di mana letak jeniusnya Beethoven yang mencipta komposisi meski
tuli; dan bisa mengerti mengapa ayahku sangat menyukai musik klasik selain
country. Aku rindu bunyi gamelan, dan ingin kembali belajar menari. Entah jaipong
Jugala, tari klasik Jawa, atau mungkin sendratari seperti yang sering kusaksikan di
TVRI waktu kecil dulu. Aku ingin berperan sebagai Drupadi atau Srikandi, perpaduan
antara kelembutan dan keperkasaan. Kamu lebih suka karakter Bima? Aku suka karakter
Yudistira, ia satu-satunya yang (hampir) berhasil mencapai puncak Mahameru
sementara saudara-saudaranya satu per satu berguguran. Kamu tahu artinya, kan? Aku
lupa penggalan kisah ini dari komik wayang R.A. Kosasih atau majalah Ananda -- yang
pernah kita baca waktu kanak-kanak dulu, meski mungkin dalam dimensi yang
berbeda. Sudahlah, setidaknya aku bisa tahu minatmu, dan kamu tahu minatku. Aku tak
tahu banyak tentang musik, padahal kamu pasti asyik sendiri dengan The Corrs, Dewa,
Kubik, Jim Morrison, bahkan juga Jimi Hendrix. Mengapa sih dalam cerpenmu yang
barusan dimuat koran, kamu menulis soal Jimi Hendrix dan Jim Morrison? Itu
mengingatkanku pada Abuy teman SMU-ku yang sangat mengidolakan mereka dan
senang cerita soal itu padaku, seolah merekalah yang bisa meluapkan kegelisahan
terpendamnya yang liar menuju muara kebebasan. Lucu, adakah orang tuli yang begitu
besar rasa ingin tahunya tentang sesuatu yang tak mungkin bisa dirasakan. Katakan aku
aneh. Aku memang orang aneh. Namun aku juga berharap bisa tahu lebih banyak
tentang Iqbal, Rumi, Camus, Dylan, Gibran, Cummings, Malna, sampai Rendra. Ya, itu
jika kita bertemu. Mungkinkah itu? Tempias hujan tidak deras lagi, namun kesedihan itu
masih menghantam ruang terdalam. Aku butuh kawan. Kamukah orangnya? Tidak,
kamu mungkin sudah berharap agar aku jadi seseorang yang ke lima setelah kamu
kecewa dengan sekian perempuan yang masuk dalam hidupmu, meski itu terlalu dini
karena kita baru tiga kali saling menyurati. Semudah itukah hatimu terpaut, atau kamu
cuma ingin mengujiku? Tidak. Aku tak berharap apa-apa darimu. Aku hanya ingin jadi
kawanmu. Kawan biasa. Bukan pacar. Meski aku juga ingin punya pacar, sebagaimana
perempuan kebanyakan. Seseorang yang membuatku jatuh cinta sungguhan. Seseorang
yang mencintaiku apa adanya. Seseorang di mana bisa berbagi dunia. Naifkah? Hujan.
Aku kembali memandang ke luar jendela kaca. Di sana gunung begitu dekat dengan
latar pepohonan seperti hamparan permadani hijau kebiruan, dan kabut yang mengental;
terasa beku dalam pelukan kegaiban-Nya. Ya Tuhan, barusan kulihat kilatan petir
membelah langit desa di sebelah utara. Subhanallah, indah sekali bentuknya; kilatan
warna perak yang abstrak dengan latar kelabu. Aku membayangkan bagaimana
seandainya jika petir tiba-tiba menghajarku. Sudahlah, mungkin lebih baik aku
membayangkan diriku sebagai Walter Spies atau Alain Compost; akan kuabadikan
keindahan panorama hujan. Tidak. Aku bukan mereka. Aku cuma punya kata-kata.
Bukan kuas atau kamera. Namun kata-kata yang berhamburan dari mulutku pasti tak
akan kamu mengerti sepenuhnya jika kita berbicara. Kamu akan membutuhkan waktu
untuk mengenali warna suaraku yang kacau intonasinya, seperti teman-teman dekatku.
Mungkin cukup lama. Apakah kita akan bertemu dan bicara seolah kawan lama dengan
akrabnya? Atau kaku lalu merasa sia-sia? Aku bukan May Ziadah, Elizabeth Whitcomb,
Mabel Hubbard-Graham Bell, Marlee Matlin, atau Jane Mawar. Atau perpaduan
perempuan mana yang pernah kau kenal.Hujan
BUNGA SURGA KAK FARAH
Cerpen Maharani Venayaksa

“Anak kurang ajar! tak tahu diri! Perempuan macam apa kamu ini heh!?
Memalukan!” teriakan-teriakan itu datang dari kamar kakakku Farah, yang letaknya
tak jauh dari kamarku. Aku yang saat itu sedang tertidur , terbangun karena kaget.
“ Ya Allah , ada apa ini?” tanyaku dalam hati.
“ Siapa bapak anak haram yang sedang kamu kandung itu heh? siapa?” itu suara
Bapak, Bapak yang penuh amarah.
“ Ya Allah, ternyata kak Farah…” aku tak sanggup lagi meneruskan ucapan lirihku,
yang aku lakukan hanya menangis, menangis, dan menangis.
“Ya Allah, cobaan apa yang sedang kau timpakan pada kami?”
*** *** ***
1 minggu yang lalu
Ku hampiri kak Farah yang terbaring lemah dikasurnya.
“ Kenapa Kak? Sakit ya?” tanyaku cemas.
“ Iya, sepertinya maag Kakak kambuh, perut kakak mual, kepala pusing! Jawab kak
Farah, lemah sekali suaranya waktu itu.
“ Ke dokter ya Kak?” tanyaku cemas.
“ Nggak usah Fa, Kakak udah agak mendingan kok!” jawabnya lirih.
“ Mama sama papa tahu Kak?”
“Nggak, jangan kasih tahu mereka yach? Kak nggak mau mereka cemas, lagian
besok mereka sudah pulang kan?jawab Kak Fara. Ya, waktu itu Mama sama Papa
memang sedang pergi ke luar kota, biasa bisnis! Hal yang selalu dinomorsatukan
papa dan mama dibandingkan kami. Meskipun ya, kami telah dewasa tapi
sebenarnya kami masih membutuhkan mereka, perhatian, dan bimbingan mereka.
“ Fa…!” sapa kak Farah membuyarkan lamunanku.
“ Ya?” jawabku.
“ Apakah Allah akan memaafkan hambanya yang telah berbuat dosa besar?” sesaat
aku terpana, merasa heran mendengar pertanyaan kak Fara beribu prasangka
bersarang di benakku, tapi segera kutepis prasangka-prasangka itu.
“ Tentu saja Kak, Allah itu kan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha
Pengampun! Asalkan kita memang benar-benar mau bertobat dan memperbaiki
kesalahan kita, Allah pasti memaafkan. Kenapa sih Kak, nanyanya kok gitu?”
tanyaku.
Tanpa menjawab pertanyaanku, kak Fara bertanya lagi.
“ Fa, bagaimana menurutmu tentang seseorang yang hamil di luar nikah?”
“ Astagfirullah, apakah…? hentikan pikiran-pikiran burukmu Farhah! Dosa
bersyu`udzhon terhadap orang lain!” bisik sisi lain hatiku, mengingatkan!
“ Ya jelas sekali itu dosa Kak, berzina itu kan dosa besar, bukankah allah
menghendaki adanya pernikahan untuk menghindari hal itu? Makanya dalam agama
Islam itu nggak ada yang namanya pacaran!” sekilas aku mencoba menangkap
ekspresi wajahnya yang menatap hampa langit-langit kamar.Seperti ada beban berat
di wajah ayu itu. Ah Kakak ada apa denganmu? Jangan membuatku takut.
“ Lalu…, bagaimana dengan anak yang dikandungannya, apakah ia anak haram?
Apakah ia akan ikut menanggung dosa ibunya?” tanyanya lagi tanpa menatapku,
tatapannya tetap lurus, hampa!”
“ Tidak Kak! Seorang bayi yang lahir dari rahim seorang pelacur sekalipun! Ia tetap
lahir dalam keadaan suci, tanpa dosa. Dia tidak akan ikut menanggung dosa ibunya,
dosa ibunya adalah untuk ibunya. Hanya saja…,mungkin karena caranya yang
haram, sehingga terkadang si bayi itu seperti terbelenggu dalam kata-kata itu.” Aku
jawab saja pertanyaan kak Fara semampuku dan setahuku.
Aduh, kak Fara kok nanyain hal ginian sih! Aku kan kurang faham tentang hal-hal
seperti itu.
“ Tapi masyarakat luar biasanya,…” belum selesai ucapan kak Fara, aku langsung
memotongnya.
“ Allah Maha mengetehaui, walau masyarakat mencap bayi itu anak haram, tetapi
dia tetap bayi mungil yang tak berdosa, dia hanya korban kesalahan orang tuanya”.
“ Ada apa sih Kak? Kok nanyain yang kayak gitu sih, jadinya aja Fa kayak yang sok
tau banget?” tanyaku.
“ Nggak Fa, kak Fara Cuma pengen nanya aja kok! Sebenarnya kamu beruntung
sekali dititipkan sama nenek, Fa!”
“ Lho!?” tanyaku heran.
“ Ya, disana kamu lebih diperhatikan, nenek pasti menggemblengmu dengan nila-
nilai agama yang kuat, buktinya kamu sudah mau berjilbab sekarang, satu hal yang
mama dan kak Fara belum lakukan. Sedang kakak…” ucapannya terputus, sesaat
terlihat kakak menarik nafasnya berat, kulihat mata yang lelah dan sarat akan beban
itu mulai berkaca-kaca.
“ Kakak di sini seperti sendirian, mama dan papa jarang sekali ada di rumah, mereka
seperti tidak menyadari masih ada kakak di sini yang membutuhkan mereka,
perhatian dan bimbingan mereka.” Kakak melanjutkan ucapannya diantara isak
tangisnya.
Aku tertunduk mendengar pernyataan kakak, benarkah aku lebih beruntung
dibandingkan kak Fara? Padahal sebenarnya aku justru merasa terbuang,
tersisihkan! Sejak kecil aku diasuh nenek karena mama merasa kelahiranku akan
menyebabkan kariernya terganggu,bahkan mama sempat akan menggugurkanku
waktu itu tetapi nenek melarangnya dan berjanji untuk mengurusku.Aku juga yakin
waktu itu, kak Fara pasti lebih sering diurus oleh mbok Iyah dibandingkan mama.
Dan papa? Papa malahan mendukung karier mama waktu itu,
bukannyamengingatkan mama akan kewajibannya yang lebih penting.
Aku jadi teringat kata-kata nenek yang bijak dan penuh kasih sayang
menyadarkanku apabila aku mulai bersyu`udzhon pada mama dan papa.
“ Mungkin mata dan hati kedua orangtuamu masih dibutakan oleh hal-hal yang
bersifat duniawi, bersabarlah dan jangan pernah lelah untuk berdoa agar hidayah
Allah datang membukakan mata dan hati orang tuamu Fa!” bijak sekali kata-kata
nenek waktu itu.
Ah, nenek yang baik bahkan Allahpun menyayangimu sehingga Dia memanggilmu
untuk kembali padanya dan aku kembali pada mamaku, beberapa bulan yang lalu.
Plak!! Ya, Allah aku tersentak dari lamunanku, kakak! Aku berlari menuju kamar
kakaku, kulihat kakak duduk bersimpuh di lantai dengan berurai airmata, dari sudut
bibirnya mengucur darah. Sedangkan aku hanya bisa mematung di sisi pintu tanpa
bisa berbuat apa-apa dan sepertinya mereka tidak menyadari kehadiranku.
“ Gugurkan kandungan itu, Fara! Jangan bikin Mama dan Papa malu!” bentak papa.
“ Jangan Mah, Pah! Fara mohon, Fara mengaku salah, Fara menyesal! Tapi, jangan
menyuruh Fara menggugurkan kandungan ini ,…Fara mohon, jangan biarkan Fara
terjerumus dalam dosa yang lebih besar!”pinta kakakku memelas, wajahnya pucat
sekali.
“ Tahu apa kamu tentang dosa? Anak durhaka!” plak!! kali ini mama yang
melayangkan tamparannya.
“ Cukup Ma, Pa! Jangan bersikap tidak adil! Walau bagaimanapun anak yang
dikandung kak Fara adalah darah daging mama dan papa juga, berbelas kasihanlah
kak Fara telah menyesali perbuatannya! Ucapku sambil menangis.
“ Fa, kamu…” mama sepertinya kaget melihatku, tapi kemudian melanjutkan
ucapannya ke kak Fara “ Baiklah, m mungkin ini juga kesalahan kami karena kurang
memperhatikanmu, tapi ingat! Kalau anak itu lahir, masukkan ia ke panti asuhan,
atau bagaimanapun caranya papa sama mama nggak mau tahu!”ucapan mama
sudah mulai melunak tapi sikap keras kepala dan angkuhnya belum hilang.
“ Ya! Sama seperti yang mama dan papa lakukan ke Fa!” kata-kata itu terlontar
begitu saja.
“ Apa maksudmu Fa?” tanya mama kaget mendengar ucapanku.
Ups! ya allah, kenapa kata-kata itu terlontar begitu saja? Terlanjur, lebih baik
kuteruskan saja ucapanku mudah-mudahan papa dan mama mau mengerti.
“ Ya! menitipkan Fa ke nenek, bukankah itu secara tidak langsung menunjukkan
kalau Mama tidak pernah menginginkan Fa, Mama menganggap kelahiran Fa akan
menghambat karier Mama, dan Papa? Papa malahan mendukung Mama. Dimana
Papa dan Mama saat Fa butuh mama, butuh Papa!? Apa yang harus Fa jawab saat
teman-teman Fa menanyakan kenapa Fa tidak tinggal dengan orangtua Fa? Aku tak
bisa menahan diriku lagi, tangiskupun meledak.
Kakak menghampiri dan memelukku, kami berdua salin bertangisan. Mama dan papa
terdiam membisu, entah apa yang ada dalam benak mereka saat itu. Ketika emosi
dan tangisku mulai mereda, aku melanjutkan ucapanku.
“ Maafin Fa sudah mengucapkan kata-kata yang kasar, Fa yakin sebenarnya Papa
dan Mama sayang sama Fa, buktinya Papa dan Mama tidak menitipkan Fa ke panti
asuhan tetapi menitipkan Fa ke nenek, orang yang begitu baik dan bijak, yang
mengajari Fa tentang banyak hal. Mama dan Papa juga selalu mengirimi uang untuk
kebutuhan Fa, menengok Fa , walaupun itu hanya lebaran waktu lebaran saja..Tapi,
bukan itu yang Fa inginkan, yang Fa inginkan waktu itu Mama, Papa dan kak Farah!”
ucapku, kutatap dua orang yang kukasihi itu. Mereka tetap diam, lalu papa
meninggalkan kami tanpa sepatah katapun diikuti mama.
Tinggallah aku dan ka Fara di kamar itu, kuhapus airmata kak Fara, ku obati luka di
bibirnya.
“ Jangan takut kak, Fa akan selalu sayang sama Kakak ! ucapku.
Kak Fara tersenyum menatapku “ terima kasih Fa, maafkan Kakak!” ucapnya lirih,
dipeluknya aku dengan penuh kasih. Ya Allah, berilah kami kekuatan untuk
menghadapi cobaan ini.
*** *** ***
6 bulan telah berlalu, kandungan kak Fara sekarang sudah memasuki bulannya. Kak
Fara sendiri terlihat lebih dewasa sekarang, dia tampak begitu tegar menghadapi
gunjingan orang-orang tentangnya, apalagi setelah mas Andra orang yang
menghamilinya lepas dari tanggung jawab dengan alas an ingin menyelesaikan
kuliahnya ke luar negeri.Huh! pengecut sekali dia, dia menyampaikan keputusannya
tersebut hanya melalui sepucuk surat tanpa alamat, mas Andra menghilang tanpa
kabar berita. Papa dan mama pasrah , mereka tidak berusaha mencari tahu alamat
mas Andra melalui kedua orangtuanya karena kak Fara melarangnya. Kak Fara sudah
pasrah, “biarlah ketulusan dan kesadaran yang akan membawa mas Andra kembali
pulang”. Jawabnya, ketika mama dan papa menanyakan alasannya.
Banyak makna yang lahir dari peristiwa ini, sepertinya Allah memberikan hidayah-
Nya kepada mama dan papa melalui peristiwa ini.Ah, tiba-tiba saja aku jadi teringat
kata-kata nenek tentang hidayah Allah. Inikah jawaban Allah atas doa-doaku?
“Hidayah itu datang Nek, meski melalui airmata dan amarah”.
Sekarang mama dan papa sudah mulai bisa menerima kenyataan, mereka tampak
tabah sekaliu dengan gunjingan-gunjingan orang-orang di sekitar mereka. Mamapun
dengan ikhlas memutuskan unutuk menghentikan kariernya manajer pada sebuah
perusahaan swasta dan lebih memilih tinggal di rumah merawat kak Fara dan
kandungannya yang sudah besar. Tak jarang kulihat mama dan papa menangis
setelah shalat berjamaah. Tak jarang pula aku melihat kak Fara dengan
kandungannya yang besar menangis diatas sajadah diantara shalat malamnya.
Terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dari kamar kak Fara, sebenarnya kak Fara
pintar sekali mengajinya, mbok Yah selalu mengajarinya sejak kecil. Tapi tunggu dulu
sepertinya itu… ya! Itu surat Maryam, jangan-jangan… aku tersenyum, pasti seorang
bidadari yang akan lahir di rumah ini. Karena semasa kehamilannya, kak Fara sering
sekali melantunkan surat itu, mungkin saja itu suatu pertand. Ah, entahlah karena
hanya Engkau yang Maha Mengetahiu segalanya.
Tok!tok!tok! aku mengetuk pintu kamar kak Fara.
“ Masuk!” suara dari dalam menyahut ketukanku.
“ Assalamu’alaikum?” sapaku sembari melongokkan kepalaku dari balik pintu.
“ Wa’alaikumsalam!” jawab kak Fara, kak Fara terlihat cantik sekali dalam balutan
mukenanya itu. Akupun masuk dan duduk di sampingnya.
“ Sudah selesai, kak?” tanyaku.
“ Sudah!” jawabnya.
“Fa…!”
“Ya kak!” jawabku.
“Benarkah apabila seseorang meninggal ketika ia melahirkan , itu syahid?” aku
ternganga mendengar pertanyaannya.
“Fa!” sapa kak Fara lagi, mengagetkanku yang masih keheranan mendengar
pertanyaanya.
“Eh…iya, kak?”tanyaku.
“Kok, kayak yang heran gitu sih? Pertanyaan kakaknya jawab dong!” seru kak Fara
sembari tersenyum.
“Eh, maaf kak! Habis kakak nanyanya gitu sih!” sahutku, tapi kemudian akupun
melanjutkan ucapanku untuk menjawab pertanyaan kak Fara, “ya, itu memang
benar sekali kak!”
“Meskipun orang itu tidak bersuami? tanyanya lagi. Aku semakin keheranan
mendengar pertanyaan seperti itu, tapi segera saja ku jawab pertanyaan itu.
“Percayalah kak, Allah itu Maha Mengetahui, lautan ampunan bagi orang-orang yang
benar-benar mau bertobat”jawabku.
Kakak tersenyum mendengar jawabanku, Ia menghampiri, memeluk dan mencium
keningku.
Seminggu kemudian, kak Fara melahirkan bayi perempuan yang cantik.Namun
karena perdarahan yang hebat, kak Fara meninggal setelah dirawat di rumah sakit
selama beberapa hari. Sebelum meninggal kak Fara sempat mengucapkan beberapa
patah kata.
“Zahrah Nurjanah namanya, semoga ia menjadi bunga dan cahaya surga bagi rumah
kita. Fara titip Zahrah Mah, Pah dan Fa, jadilah umi bagi Zahrah! Maafkan Fara ya
Mah, Pah, Fa…” setelah mengucapkan dua kalimat syahadat kak Fara
menghembuskan nafasnya yang terakhir diiringi isak tangisku, Mama, dan Papa.
Selamat jalan kak Fara, semoga Allah SWT menerima kakak di sisi-Nya.

*** *** ***


5 tahun kemudian…
“ Ummi…!”
Aku menoleh, sesosok tubuh munggil berdiri di belakangku.
“Ya, sayang?”sahutku
“Zahra lapar!” rengeknya manja.
Aku tersenyum, kuhampiri ia, kupeluk erat tubuh mungil itu, kutatap wajahnya yang
bersih. Ia mirip sekali denganmu, kak!.
Ketika Zahrah berumur dua tahun, mas Andra datang. Ia begitu menyesali
perbuatannya apalagi setelah mengetahui kakak talah meninggal, ia terlihat begitu
menyesal.Lalu dia meminta izin untuk merawat Zahrah tetapi mama dan papa tidak
mengizinkannya. Apalagi saat itu Zahra kecil terlanjur menganggap akulah uminya,
ia tidak akan mau dijauhkan dariku.
Entahlah, mungkin inilah yang disebut kebesaran Allah, 1 minggu setelah
kedatangannya yang pertama, ia datang lagi dengan kedua orangtuannya. Dan dia,
dia melamarku kak! Ya Allah, aku kaget sekali waktu itu, waktu itu umurku baru 20
tahun! Masih semester lima!Namun setelah berunding dan shalat istikharah akhirnya
aku menerima lamaran itu, tanpa harus menghentikan kuliahku. Meskipun
sebenarnya, masih ada ganjalan dibenakku apabila mengingat apa yang telah
diperbuat mas Andra terhadap kakak, tapi mungkin inilah jalan yang diberikan Allah
untuk kebaikan Zahrah dan masa depannya, inilah cara Allah untuk mendekatkan
Zahrah dengan ayah kandungnya. Mudah-mudahan ini adalah pertanda bahwa Allah
telah benar-benar menerima permohonan kakak, mengampuni kakak.
Sekarang sudah 3 tahun aku berumah tangga dengan mas Andra, dan baru saja
menyelesaikan kuliahku. Alhamdulillah, meskipun tidak cum laude, karena hampir
seluruh waktuku adalah untuk si kecil dan kehidupan rumah tanggaku.
Mas Andra juga sudah banyak berubah, sekarang ia tampak lebih dewasa, bahkan
dia telah banyak membimbingku dalam berbagai hal. Mungkin ia telah banyak
belajar dari pengalamannya, dia benar-benar melakukan peranannya sebagai ayah
dan suami yang bertanggung jawab.
InsyaAllah, kami berdua akan merawat dan menjaga Zahrah dengan baik, kak!
Kututup diaryku, ku tatap dua orang kesayanganku yang sedang tertidur pulas di
sampingku.Subhanallah, Maha Besar Allah semoga ini adalah untuk selamanya. Aku
beranjak dari tempatku untuk mengambil air wudhu, untuk menutup sebagian
malamku dengan shalat.

November 2000
For my beloved Parents,sisters and my nephew. Ilove you what ever you are

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS
UPI. Mulai menulis cerpen semenjak di bangku SLTP. Kini penulis bermukim di Hima
Satrasia Gd. Pentagon Lt. III Jl. Setiabudhi No. 229 Bandung

SYUKUR

"Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuuh...", terdengar ucapan salam suamiku


dari beranda depan.
"Wa alaikum salam warohmatullahi wabarokatuuh", ku jawab salamnya dengan penuh
lega.
Segera kusambut suamiku dengan senyum manis sembari membantu membawakan tas
birunya yang lumayan berat. Sedari dua jam yang lalu, sudah kutunggu-tunggu
kepulangannya. Padahal ini sudah seperti kebiasaan suamiku yang selalu pulang
terlambat.
"Sudah makan Mas?", sergahku sambil tergopoh-gopong membawakan tas birunya.
"Belum..", jawabnya singkat, terlihat kesan lelah di wajahnya yang putih bersinar.
Rasanya tidak bosan-bosannya kupandang wajah suamiku yang telah menikahiku lima
tahun yang lalu.
"Lah kok bisa belum makan?, tidak beli makanan di jalan?", tanyaku penuh khawatir.
"Lebih enak masakan istri tersayang dong", begitu jawabnya seraya mencubit hidungku
yang tidak terlalu mancung.
"Aduhh Masku satu ini, masak ngga makan seharian?, kutimpali sambil menahan nafas
karena pencetan di hidungku.
"Makan roti sedikit beli di warung, tapi belum makan berat, jadinya sekarang lapar
sekali".
"Ganti baju dulu dan kita langsung makan yuk Mas", pintaku.
Makanan di meja makan sudah siap sedari tadi untuk disantap. Tidak ada banyak macam
makanan dan tidak mahal pula, hanya bakwan jagung dan sayur botok kesukaan suamiku.
Sengaja kusiapkan makanan kesukaanya, rasanya sudah lama tidak memasak makanan
seperti itu.
"Sejak jam berapa anak-anak tidur?", tanyanya sambil membetulkan sarungnya didepan
kamar tidur.
"Fathimah jam sembilan, sedang yusuf dari jam delapan". Mas Arman memang tidak
pernah lupa menanyakan jadwal tidur buah hati kami.
"Mmm", gumamnya sambil menuju ke kamar anak-anak untuk melihat buah hati kami
yang tertidur lelap. Yusuf puteraku yan kedua baru berumur 20 bulan, mirip sekali
wajahnya dengan suamiku. Sedang Fathimah puteri pertamaku sudah berumur 4.5 tahun,
hanya hidungnya saja yang mirip denganku, sama tidak mancungnya, dan selebihnya
mirip suamiku semuanya. "Ngga salah dong ia selalu menanyakan prototipenya.. he.he..",
tawaku didalam hati.

"Kemana saja tadi Mas?", pertanyaan yang tak pernah bosan dan sering kutanyakan
kepada suamiku setiap hari. "Biasalah", begitu jawabannya yang tak kalah seringnya.
Memang suamiku tergolong orang yang tertutup. Sebenarnya aku tahu jadwal kerja di
universitasnya yang hanya sampai jam lima sore. Suamiku adalah dosen teknik kimia di
universitas swasta dan sudah menginjak tiga tahun, semenjak berhasil memperoleh gelar
masternya di negeri jepang. Tapi bisa dikatakan aku hanya sedikit mengetahui kegiatan
lain mas Arman selain menjadi dosen di universitas swasta.

"Dik, ayo kita tidur", ajak mas Arman. "Ehh.. Iya mas, jawabku gelagapan. Segera
kubereskan meja makan dan membawa piring kotor ke dapur. Tak terasa waktu sudah
menunjukkan jam dua belas malam, padahal rasanya kami baru saja bersantap malam dan
sedikit berbincang-bincang. Ternyata waktu tidak mau diajak kompromi untuk sedikit
memperlambat lajunya. Memang mas Arman sudah telat pulangnya, oleh karena itu
waktunya semakin terasa sempit untuk berduaan ngobrol bersama.

"Oh iya Dik, besok Insya Allah Mas akan keluar kota sampai hari Minggu", kata mas
Arman sambil berusaha menarik selimutnya.
"Yaaa.... tapi besok Sabtu kan kita mau jalan-jalan....", ku berusaha mengingatkan mas
Arman.
"Maaf Dik.. urusan ini lebih penting dan mendadak pemberitahuannya, Mas ngga bisa
menolak". "Insya Allah diganti minggu depan yah", suamiku berusaha menghiburku. Tapi
aku tahu, minggu depan waktu mas Arman belum tentu kosong .
"Urusan apa Mas?", tanyaku.
"Biasalah..", jawaban mas Arman seperti biasa.
Dan aku pun tak bisa menanyakan lebih jauh, bila sudah keluar kata "Biasa"nya mas
Arman. Akhirnya pikiranku pun menerawang jauh dan bertanya-tanya. Kapan Mas
Arman punya waktu luang untuk anak dan istrinya. Aku berusaha berkelit bahwa anak-
anak membutuhkan waktu dari mas Arman. Tetapi sebenarnya diriku juga membutuhkan
waktu darinya. Sudah lima tahun pernikahan kami. Tetapi rasanya aku tidak merasakan
cukup banyak waktu bersamanya. "Ya Allah sabarkan lah hambaMu ini yang penuh
dengan hawa nafsu ini, dan bersihkanlah hati ini dari kecintaan dunia... Waktu
kebersamaan kami, ku ikhlaskan kepadaMu, dengan hanya mengharapkan RidhoMu...
Amin Ya Rabbal Alamin", kututup mataku sambil berdoa.

*****

"Bu.., Ayah mana?..", tanya Fathimah putri sulungku sembari masuk ke kamar tidurku..
"Ooo.. Ayah ada urusan penting hari ini sehingga harus pergi sampai hari minggu. Tadi
pagi sebelum Fathimah bangun, Ayah sudah harus pergi. Ini ada titipan kecupan dari
Ayah!, cuuppp!!??"
"Yaaa.... kok Fathimah tidak dibangunkan Bu???, kan Fathimah pingin ketemu Ayah..
Hari ini berarti kita tidak jadi pergi dongg Bu?", Fathimah terus merengek.
"Iya.. maaf yah Fathimah... Anak sholeh harus sabar.. Insya Allah nanti akan diganti di
lain waktu ya....", jawabku untuk menenangkannya.
"Ayo Fathimah mandi dulu yah..., biar badan Fathimah jadi bersih dan wangi. Kebersihan
adalah sebagian dari apa Fathimah?", tanyaku untuk mengingatkannya.
"Iman.....", jawab Fathimah hampir berteriak.
"Alhamdulillah.. benar sekali jawabanmu..... Fathimah memang anak pintar!!!", ku puji
jawabannya. Lalu ku siapkan keperluan mandinya dan mengantarnya ke kamar mandi.
Dan dalam waktu singkat, anakku sudah keluar dari kamar mandi.
"Sudah selesai mandinya Fathimah?" Ayukkk sini pakai bajunya, malu kan terlihat
auratnya", segera kuhantar ke kamar tidurnya dan membantu mengeringkan badannya.
"Alhamdulillah cantiknya anak Ayah dan Ibu... wangi lagi", kucium keningnya dan
Fathimah pun tak sabar keluar main di halaman rumah.

Tuuut... Tuuut... Tuuut... terdengar bunyi telepon di ruang tengah.


"Assalamu alaikum, di sini rumah keluarga Arman Suhandi".
"Wa alaikum salam, apakah Bapak Arman berada dirumah?", terdengar suara wanita dari
kejauhan.
"Bapak sedang tidak ada di rumah, ini dari siapa yah?", tanya ku.
"Ini dari anak didiknya di kampus, ini dengan Ibu Arman?", tanyanya.
"Iya benar, ada pesan ?"
"Oh tidak ada Bu, biar nanti saya hubungi kembali, terima kasih Bu, wa salamu alaikum",
teleponnya pun di tutup tanpa sempat ku menjawab salamnya.
Apa keperluan siswinya mas Arman?.. Hari libur begini ada urusan apa?.. Mengapa
tergesa-gesa pula?..Apakah ada hubungannya dengan urusan penting mas Arman hari
ini?... Hhmm..... aku menarik nafas sambil berusaha mengusir pikiran ku yang tidak-
tidak. Aku baru teringat bahwa aku lupa menanyakan namanya. Seandainya ku tahu
namanya, mungkin nanti aku bisa tanyakan ke mas Arman untuk lebih jelasnya. Yah...
nanti akan aku tanyakan kepada mas Arman, jarang-jarang ada wanita yang menelepon
ke rumah menanyakan suamiku, kecuali Ibu mertua ku atau kakak ipar perempuanku.
Ahh... Mirna kamu jangan pikir yang bukan-bukan., kuberusaha mengalihkan pikiranku
dengan bersiap-siap untuk memasak.

*****

"Duhhh panasnya hari ini", gumamku sambil mengusap keringatku. Padahal kipas angin
sudah kunyalakan sedari tadi. Ternyata kurang cukup mengurangi keterikan matahari
siang hari ini. Kusiapkan mesin jahit yang tersimpan di lemari. Hari ini aku akan
menjahit baju Yusuf, baru saja selesai kubuat pola bajunya. Menjahit sangat membantuku
mengisi waktu luang bila semua pekerjaan telah beres dan anak-anak sudah tertidur.
Biasanya sambil menjahit kusambi dengan merenungi harapan ku terhadap pernikahanku
yang telah berjalan lima tahun. Bisa dikatakan sudah tidak seharum lima tahu yang lalu.
Dan waktu-waktu mas Arman tidak selonggar seperti di tahun-tahun pertama pernikahan
kami. Apa yang paling kutakutkan adalah bila pernikahanku menjadi hambar. Dalam
menghadapi rutinitas yang hampir-hampir saja mematikan komunikasi diantara kami,
tentu dapat menimbulkan kebosanan. Dan ini yang paling menakutkan ku. Aku terus
berusaha memperbaiki pelayanan terhadap suamiku. Ku cari variasi-variasi yang
menyegarkan. Entah itu menu masakan ku, tata letak rumahku, penampilanku,
penampilan anak-anak. Tapi satu hal yang paling sulit kami lakukan adalah jalan bersama
keluarga. Waktu luang mas Arman tidak mengijinkan. Kalaupun ada sedikit waktu luang,
digunakan mas Arman untuk istirahat di rumah. Rutinitas yang terus monoton, suatu saat
dapat menimbulkan kebosananku, rasanya ingin sekali kami dapat berkumpul bersama
dalam suasana yang lain dan menyegarkan. Akibatnya terkadang terselip pikiran yang
bukan-bukan. Telepon kemaren hari mengingatkan ku, ku berusaha menepis supaya
jangan sampai merancuniku kembali. Mana mungkin mas Arman berbuat yang tidak-
tidak di belakang ku. Tapi memang tidak dapat kupungkiri, ada sedikit keresahanku
terhadap kejadian kemaren hari. Lumrah bila aku merasa gelisah. Fithrah ku sebagai
wanita, tentu tidak begitu saja mudah melupakan suara wanita yang menanyakan
keberadaan suamiku.Adzan di masjid berkumandang menyadarkan ku. Astaghfirullah...
pikiran ku melantur kemana-mana, tidak terasa sudah masuk waktu sholat ashar dan
sebentar lagi anak-anak segera bangun dari tidur siangnya, berarti aku harus segera
menyelesaikan pekerjaanku.

*****

"Dik, ayoo siapkan anak-anak, kita pergi ke puncak!", ucap suamiku setelah
menyelesaikan bacaan Qur'annya
"Benar Mas?", tanyaku tidak percaya.
"Iya benar, Dik, mumpung masih jam enam, biar ngga kena macet, kita berangkat pagi-
pagi!".
"Memang Mas tidak ada acara hari ini?", tanyaku heran.
"Ngga ada, Alhamdulillah.. agak longgar waktu Mas untuk pekan ini".
Rasanya aku bersyukur atas nikmat yang sudah kudambakan akhir-akhir ini. Kami dapat
rihlah bersama keluarga untuk menyegarkan rutinitas yang mulai membosankan. Dan
tanpa bertanya lagi, segera aku pergi ke dapur untuk menyiapkan bekal untuk perjalanan
nanti. Alhamdulillah..... terima kasih ya Allah....

*****

"Wahhh enak sekali nasi timbel ini ya Bu", ucap suamiku di sela-sela kesibukannya
melahap hidangan di restoran sekitar daerah cipanas. Memang dingin-dingin begini
menambah kenikmatan nasi timbel yang kami makan hangat-hangat dengan sambal
terasi, lalapan, ikan gurame goreng, ikan asin, sayur asam dan empal daging.
Alhamdulillah nikmat sekali rasanya. Fathimah pun tak kalah lahapnya dan Yusuf dengan
sigapnya membuka mulut setiap suapan yang aku berikan. Mungkin mereka kelaparan
setelah seharian berlari-lari di taman cibodas bermain bola bersama mas Arman. Kami
pun larut dalam acara makan bersama dengan tawa dan canda. Alhamdulillah ya Allah....

"Mas.... kok belok ke sini?", tanyaku keheranan.


"Mas ada keperluan, sebentar aja kok", suamiku membelokkan mobil kami ke jalan
sempit. Di kanan kiri masih ditumbuhi rerumputan dan pohon-pohon pisang liar. Sekitar
lima belas menit kemudian, terlihat sebuah perumahan sederhana dengan penduduk yang
sederhana pula. Dan mas Arman menurunkan kaca mobilnya.
"Assalamu alaikum", ucapnya terhadap sekumpulan anak muda yang sedang berkumpul
di depan sebuah bangunan yang terlihat belum selesai pembangunannya.
"Wa alaikum salam Pak Arman", jawab mereka serempak.
"Wahhh ini keluarga Bapak?...", tanya salah seorang pemuda.
"Iya.. saya sengaja membawanya ke sini, ini istri saya dan dua anak saya".
"Assalamu alaikum", teriak Fathimah puteri kami.
"Wa alaikum salam, duhh pintar sekali puteri Bapak?, seperti ayahnya".
"Bagaimana dengan persiapan untuk acara syukuran dan peresmian besok?, sudah
beres?.."
"Alhamdulillah.... sudah selesai Pak Arman".
"Semoga besok dapat segera diresmikan, supaya kalian dapat belajar dengan tenang".
"Iya Pak.... semoga acaranya berjalan dengan lancar..".
Aku menjadi bingung melihat hal ini. "Mas, tolong jelaskan, Ibu benar-benar
bingung!??"
Mas Arman tersenyum, "Ini loh Bu, proyek Ayah selama tiga tahun ini".
"Pimpinan di universitas Ayah, mengamanahi untuk mendirikan sekolah di sekitar sini.
Ayah yang bertanggung jawab atas pendirian sekolah untuk anak yang kurang mampu
dan ternyata hampir semua anak yang putus sekolah tinggal di sekitar sini. Sayang jika
mereka harus putus sekolah, karena dapat dikatakan pola pikir mereka masih bersih,
maka alangkah baiknya jika ditambah dengan pola pikir yang islami. Nahhh, sekolah ini
selain mengajarkan ilmu pengetahuan umum, juga menambahkan wawasan berpikir yang
islami"
"Assalamu alaikum Pak dan Ibu Arman", tiba-tiba pembicaraan kami terputus oleh suara
wanita yang rasanya kukenal.
"Wa alaikum salam", jawab kami berdua.
"Bu, ini Ummu Hafidz, dia mantan siswi di universitas Ayah dan sekarang bersama
keluarganya pindah kesini untuk membantu operasional sekolah ini".
"Panggil saja Rima Bu, maaf karena saya pernah menelepon ke rumah Ibu dengan
tergesa-gesa, kebetulan ada keperluan mendadak dengan Bapak, tapi Alhamdulillah ngga
lama setelah saya telepon , Bapak telah sampai ke sini", ujarnya dengan rasa sungkan.
"OO itu dik Rima, ngga apa-apa kok dik, hanya saja saya sedikit khawatir, takut terjadi
apa-apa", jawabku lega.
"Iya sudah, besok kita kemari lagi untuk menghadiri acara syukuran peresmian sekolah
ini", suamiku mengajak ku pulang.
"Yukk dik Rima, kapan-kapan main ke rumah yah", ucapku mengundangnya.
"Insya Allah Bu, jika ada waktu, kami juga ingin silaturahmi sekeluarga ke rumah Ibu
dan Bapak,"jawabnya.
"Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuuh....", kami pun berpamitan dan
kembali ke mobil untuk segera pulang.
Tanpa terasa hari sudah kian sore, dan selama dalam perjalanan pulang, aku tak henti-
hentinya bersyukur. Ternyata kesibukan mas Arman adalah untuk menolong sesamanya.
Rasanya segala kejenuhanku sungguh tidak beralasan, waktu yang sempit sekali pun
harus kusyukuri, karena Allah telah mengamanahi mas Arman untuk membantu
sesamanya, walaupun akibatnya waktu untuk kami menjadi sedemikian sempit.
Alhamdulillah sungguh rihlah kali ini sangat menyejukkan hati, semua pertanyaan yang
menjadi pikiran ku terjawab sudah.
Ya Allah, ampuni hambaMu ini..... Maafkan Mirna ya Mas... selama ini aku hanya
mengeluh, tanpa mensyukuri apa yang ada, bahkan sempat berpikiran yang tidak-tidak....
Astaghfirullah....
Dan senja pun kian memerah ketika kami memasuki tol jakarta. Rasanya aku siap masuki
babak kehidupan yang baru dengan suasana hati yang baru dan segar. Semoga Allah
memudahkan perjalanan hidup kami di dunia sehingga kami tetap dapat di kumpulkan
bersama di kehidupan akhirat nanti... Amin...
(UA)

Siapapun kamu, Catlya!


Sembilan !! Buat saya angka segitu pas banget untuk penampilan si
Barbie. Oo ya, Barbie yang ini bukan Barbie boneka yang senang
berpakaian mahal, tapi julukan yang saya beri buat seorang gadis :
"The Real Beautiful Girl". Saya, yang kata orang punya selera tinggi,
memang betul mengakui kalau gadis itu cantik. Tulang pipinya seperti
milik Nadya Hutagalung, unik. Bibirnya seperti Laura, penuh. Kulitnya
setransparan Ida Iasha, matanya coklat seperti....

Ups, jarum jam sudah bergerak sepuluh menit sejak saya berdiri di
halte dekat rumah ini, tapi ke mana angkot biru itu! Halte sudah
sepi.Tinggal saya dan Barbie. Kami memang menunggu angkot yang
sama. Barbie, yang baru dua hari jadi pelanggan halte, kelihatan
tenang-tenang saja. Tuhan mendengar doa saya ! Angkot biru itu
menepi. Rupanya sebelum tangan saya melambai, Barbie
melakukannya lebih dulu.

***************

Lelah, saya baru dari Tanah Abang. Saya jadi akrab dengan tempat itu,
semenjak hunting jilbab sebulan yang lalu. Di plaza dekat rumah paling
cuma ada satu toko muslim yang menjual kerudung. Sudah biasa,
pameran-pameran jilbab baru semarak kalau dekat lebaran. Kalau
bulan-bulan seperti ini paling gampang ya, ke Tanah Abang. Meski
pulang dari sana badan pegal semua dan rasanya ingin nyemplung ke
bak mandi. Byuuuur!

Insya Allah, Senin depan saya hijrah ... kenapa mesti Senin ? Itu sama
saja dengan menanyakan kenapa saya suka makan sup kimlo. Sama
susahnya untuk dijawab. Sebenarnya keinginan suci itu sudah lama
terpendam. Tapi baru terwujud sekarang saat saya tingkat dua.
Rasanya tidak sahar menunggu hari kehijrahan. Saya memang sengaja
buat surprise, yang tahu soal itu cuma mami seorang. Jadi semenjak
sebulan ini saya berusaha nyicil jilbab sedikit demi sedikit. Saya juga
rajin bertanya pada teman yang jilbaber bagaimana cara memakai
jilbab, bla-bla-bla... Di rumah memang belum ada yang berjilbab, habis
kakak saya cowok semua. Mami ? Lebih suka dengan kerudung
Benazir-nya.

Pertama saya mencoba jilbab saat ke pengajian mingguan. Wah heboh,


persiapannya lumayan lama sampai nasi goreng spesial Mbak Siti siap.
Kalau sekarang sih saya sudah gape. Bahkan sudah tahu trik-triknya,
misal kalau wudhu jilbab tidak perlu dilepas semua, tinggal dibalik....
Tapi tentu hijrah bukan berarti cuma mengganti pakaian saja. Saya
tahu semua mesti dibarengi dengan menjilbabi hati. Saya memang
perlu belajar banyak. Oya, ini sedikit catatan saya.

1. Ketawa jangan menggelegar lagi. Syukur ada sapu tangan Mr.


Groovy yang kemarin saya beli. Lumayan buat membekap mulut saya
bila kelepasan tertawa.

2. Jangan suka melirik cowok. Ooww. Berat, apalagi kalau cakep dan
beralis tebal. Tapi saya coba.

3. Parfum, jangan sampai tercium ke mana-mana. Padahal Red Jeans,


parfum hadiah dari tante saya yang pramugari itu baunya enak, lho.
Tapi, saya coba juga. Dengan menyebut nama Allah ...

***************

Begitulah, dan Senin yang dinanti-nanti itu pun tiba. Saya bangun lebih
awal dari weker. Pagi ini saya kuliah dengan perasaan beda. Swear,
ada rasa lain. Entah apa, mungkin rasa damai yang sangat. Halte
lumayan ramai. Ada Barbie. Kali ini dia memakai celana... Uff, saya
tidak bisa bebas memperhatikannya. Barbie yang biasanya menatap
jalan tanpa peduli dengan sekitarnya kini sedang memandang ke arah
saya.

Saya? Tumben! What's wrong? Biasa dong, jangan GR. Pulang kuliah
saya mendapat trik nomor sekian. Kalau sudah berjilbab jangan suka
seradak-seruduk biar rok tidak kelibet. Maklum hari pertama, semua
belum biasa. Muiai dari Barbie yang terus memperhatikan saya sampai
teman-teman kampus yang memberi selamat tulus atau cuma bisik-
bisik.

Saya agak bingung, dulu saat Rita teman kampus saya hijrah, tidak
ada kejadian seperti tadi. Karena saya anak gunung? Atau karena saya
tidak pernah muncul di rohis tapi tiba-tiba berjilbab? Atau.... Ah, biar
saja, saya malas mengira-ngira. Terima kasih Allah, hidayah itu jadi
milik Renita. Dan mudah-mudahan akan tetap menjadi milik saya.
Sampai kapan pun, kalau Engkau menghendaki.

***************

Tiga bulan lebih saya berjilbab. Dan kesimpulan teman-teman PA


(Pencinta Alam) adalah saya telah berubah. Tidak bisa apa adanya
seperti dulu. Tidak 'inilah gue' lagi. Jarang datang kalau ada acara.
Jangankan acara naik gunung, main sega di posko juga tidak pernah
lagi. Giliran teman yang main ke rumah, saya dibilang ogah-ogahan.
Jangan harap bisa nonton bareng atau jalan-jalan mencoba makanan
resto Jepang.

"Gue kangen Renita yang dulu. Apa mesti begitu sih, Ren! Apa jilbab
itu mesti membuat suasana ini jadi kaku? Apa mesti membuat kamu
menjauh dari PA? Apa nggak bisa semua berjalan seperti dulu?! Toh
kita juga tau batasan-batasannya ...," protes Kevin siang tadi. Well,
saya bingung sekali, Tuhan. Hhhhh.... saya tahu semua ini akan terjadi.
Mbak Ida pernah bilang ada saatnya kita harus berkorban untuk
sesuatu yang lebih. Ya, dia telah melakukannya. Dia mengorbankan
profesinya sebagai balerina. Lalu apa ini berarti, saya harus
mengorbankan semua itu juga ? Rasanya saya sudah tahu
jawabannya.

Selama ini saya telah dipusingkan dengan dana lomba panjat dinding
di kampus. Sekarang kenapa mesti dipusingkan lagi dengan masalah
kecil tadi. Saya memang telah menjabat sebagai korum lomba panjat
dinding di kampus. Setelah protes datang dari teman-teman PA, saya
tertantang menunjukkan bahwa jilbab tidak perlu menghalangi langkah
saya. Tapi seiring dengan meningkatnya keaktifan di PA, keinginan-
keinginan dulu seperti hilang begitu saja. Keinginan untuk menjadi
bagian dari Keputrian. Keinginan untuk memperdalam ilmu Allah...

Saya yang dulu suka tertawa menggelegar, tetap suka melakukannya.


Sapu tangan Mr. Groovy ? Entah lenyap kemana. Saya yang dulu selalu
berbaur dengan cowok, tetap akrab bergaul. Saya yang dulu suka
ngejins, sekarang kembali ngejins. Bedanya dulu di rambut saya ada
jepit imut, sekarang tidak karena sudah tertutup jilbab. Kalau pantas
dikenakan di jilbab, mungkin masih saya pakai. Ah. Tidak lucu sama
sekali.

Barbie muncul lagi di halte ini setelah ..... mmm, lama juga dia
menghilang. Hei, kemana saja kamu selama ini! Mata coklatnya
kembali mengamati saya. Dia jadi suka memperhatikan saya. Tapi biar
saja, suka-suka dia.
Saya duduk di bangku halte, menyilangkan kaki yang dibalut celana
jins. Melepaskan pandangan pada jalan-jalan yang masih sepi.
Menikmati udara pagi yang masih jernih. "Saya lebih suka melihat
kamu pake rok."

Komentar spontan itu mengusik kenikmatan saya. Dan ternyata si


Barbie yang mengatakannya! "Jilbab salem ini lebih manis dipakai
dengan rok kotak-kotak yang kamu pake saat itu." Dahi saya berkerut.

Kenapa Barbie? Mengapa kamu menjelma menjadi pemerhati yang


sukses seperti saya! Dan apa pula urusanmu dengan rok atau celana
yang saya pakai? Angkot biru datang. Saya sengaja memilih tempat
duduk di pojok.

"Saya pengen lihat kamu pake rok dulu lagi," Barbie pagi ini muncul
lagi dengan komentar senada. "Waktu pertama kali kamu memakai rok
biru bunga-bunga kecil dengan jilbab biru donker itu, saya suka sekali."
Ya! Sejak saya hijrah, Barbie yang biasa saya perhatikan itu sekarang
balik memperhatikan saya. Malah berani berkomentar tanpa basa-basi
berkenalan. Eh, apa salahnya kalau saya yang memulai?

"Saya Renita, kamu siapa?" tanya saya sambil menyodorkan tangan,


memulai perkenalan. Aneh. Padahal kita sudah lama ketemu. "Panggil
saya Catlya!" Sekian basa-basinya. Sekarang langsung saja tanya
kenapa si Barbie, eh Catlya itu suka mengomentari orang.

"He, malah bengong. Kamu mau kuliah?" seru Catlya.

"Iya."

"Telat sedikit nggak pa-pa khan? Nanti saya traktir di cafe pojok itu.
Jangan takut, halal kok!"

Baru kali ini saya menemukan pribadi unik seperti Catlya. Belum kenal
sudah mengomentari penampilan orang, sekarang baru semenit kenal
sudah berani membujuk, nanti kalau sudah lama kenal bisa-bisa.....
Saya penasaran! Jadi kenapa tidak bilang ya? Lagipula kuliah baru
dimulai pukul 11.

Akhirnya saya dan Catlya duduk di cafe mungil dengan kopi dan
sepotong Croissant di meja."Sorry, selama ini mungkin saya
ngebingungin kamu. Saya emang nggak bisa dan nggak biasa basa-
basi. Tapi semua yang saya katakan itu benar-benar keluar dari hati
saya. Sungguh." Ucap Catlya sambil mengangkat dua jarinya yang
penuh cincin perak. Kocak.
Sebelum saya sempat mengeluarkan kata-kata, Catlya buru-buru
meletakkan telunjuk di bibirnya. "Saya nggak bermaksud menggurui
penampilan kamu. Saya cuma ingin mengatakan pendapat saya,
bahwa saya suka penampilan kamu yang dulu. Please, biarkan saya
menyelesaikan pembicaraan."

Hening. Catlya terdiam. Perlahan mata yang tadi penuh bintang itu
tampak redup. "Dulu, saya pernah berjilbab." Potongan keju lumayan
besar tanpa sengaja saya telan.

"Hidayah itu datang begitu saja, membuat teman-teman yang kenal


siapa saya tak habis pikir, lalu.... semua terjadi. Saya nggak tau secara
pasti dimana letak kesalahannya. Padahal saya sempat merasakan
menjadi muslimah sejati. Setiap hari hidup saya penuh dengan
dakwah. Namun entahlah, saya tidak menemukan kebahagiaan itu
seperti yang lainnya. Tiba-tiba saja semua jadi membosankan. Saya
bosan bergamis, bosan dengan nasyid, bosan ke pengajian. Saya
bosan menjadi orang lain! Hingga sisa masa lalu hanyalah jilbab yang
melekat di kepala yang semakin mengecil, celana jins dan kaos asal
tangan panjang, tidak peduli ketat atau tidak. Puncaknya saya mulai
menginginkan kehidupan saya yang dulu...."

"Ya, kehidupan dimana dunia begitu ramah pada diri saya. Keindahan
duniawi begitu mudah saya peroleh, semudah membalikkan tangan.
Saya mulai merindukannya."

"Setiap menit kerinduan itu datang, setiap menit pula saya berusaha
mencegahnya. Namun akhirnya hari-hari saya selalu dipenuhi dengan
pikiran itu. Tak bosan-bosannya saya berandai, andai saya tidak
memakai jilbab pasti saya lebih cantik. Ya, semua kecantikan itu telah
tertutup meski dengan sehelai jilbab kecil. Akhirnya jilbab itu saya
lepas ..." Kopi yang saya minum terasa lebih pahit. Batin saya
beristighfar.

"Reaksi kampus? Jangan tanya kehebohannya. Keputrian puas


memanggil saya, memperingati dari yang lembut hingga yang keras.
Banyak teman yang mencemooh, tapi banyak pula yang memuji
penampilan saya yang baru. Semua memang kembali seperti dulu.
Kemana saya melangkah, semua mata memandang. Semua terjadi
persis seperti apa yang saya mau. Kampus hanya membicarakan satu
nama dengan pujian. Catlya." Bening itu menetes satu dari mata
Catlya.

"Tapi, sungguh, dibalik semua itu ada perasaan lain yang hilang jauh
terhempas. Di balik gemerlapnya dunia yang begitu ramah pada saya,
ada dunia lain yang menghilang. Tak ada lagi perasaan aman yang
menyertai langkah saya, tak ada lagi perasaan damai yang mengisi
hati saya, tak ada lagi perasaan indah yang menghiasi kalbu saya.
Saya memang mendapatkan kebahagiaan yang saya idamkan, tetapi
sungguh kebahagiaan yang mahabesar yang seharusnya saya peroleh
... terbang jauh."

Catlya menghapus sisa beningnya. "Saya tak ingin itu terjadi padamu,
Renita. Yang saya lakukan persis sama denganmu melalui tahap-tahap,
mulanya dengan mengubah pakaian lalu akhirnya mengubah hidayah
itu. Bukan saya bermaksud menuduh kamu. Tidak sama sekali." Catlya
mengakhiri ceritanya.

Saya sendiri masih sibuk dengan pikiran saya, hingga... "Tapi, ada hal
yang membingungkan saya. Kenapa sekarang kamu tidak berusaha
mendapatkan hidayah itu lagi! Setelah semua ini, ya, kenapa?" tanya
saya mencari jawabannya di mata basah itu. Catlya tersenyum dan
membuang tatapannya.

"Banyak orang yang setiap detik menangisi kesalahannya, tetapi


mereka tetap tidak mampu mengubah kesalahannya. Hidayah Allah
memang mahal harganya. Maka bila kamu memperolehnya,
peliharalah. ]angan pernah membiarkannya lepas," Catlya kemudian
melangkah pergi, meninggalkan saya sendiri.

***************

Sebulan telah berlalu. Catlya tak pernah ada lagi. Entahlah. Catlya
seperti menghilang begitu saja. Ia seakan sosok yang dihadirkan-Nya
kepada saya untuk membuat mawar merah dalam hati ini mekar
kembali.

Catlya, siapapun kamu, izinkan saya berkata : hidayah Allah memang


mahal. Tapi bukan berarti kita tidak bisa meraihnya. Mengapa tidak
mulai merajut benang-benang hidayah itu kembali? Insya Allah dengan
tekad yang kuat, tidak hanya satu bahkan jutaan hidayah-Nya akan
tercapai. Dan Catlya sayang, percayalah, bukan hanya dunia tetapi
semesta raya akan membicarakanmu dengan pujian.

Pagi ini saya terduduk di halte. Membiarkan dua angkot biru kosong
lewat begitu saja. Membiarkan angin sepoi-sepoi memainkan ujung rok
hitam lembut yang saya kenakan.

(By : Yunita Meldasari)


Muka

Harga Sebuah Prinsip


"Mata ashita ne.." Sawada melambai dari jendela mobil sportnya.
Aku bergegas masuk setelah mobil Sawada menghilang. Hari ini lelah
sekali, malam pun telah cukup larut, jam sebelas malam. Seharian tadi
Sawada mengajakku putar-putar pusat pertokoan, nonton film dan
makan di kafe favoritnya.
"Konbanwa" sapa ku kepada penjaga keamanan apartemen yang
sedang bertugas malam.
"Konbanwa.. o yasuminasai," balasnya sambil melontarkan senyum
khasnya dan berlalu dari hadapanku.
Nomura-san, penjaga tersebut, sebenarnya sudah terlalu tua untuk
bekerja seperti itu. Mungkin ini dilakukannya untuk mencari kesibukan
saja. Apartemen ini memang agak berbeda, yaitu sejenis asrama untuk
pelajar asing. Aku sendiri diijinkan tinggal di asrama ini sebagai wakil
dari pelajar Jepang, agar dapat bertukar budaya dengan pelajar asing.
Peraturan asrama ini juga cukup ketat, tidak diijinkan membawa teman
menginap. Setiap tamu harus menulis namanya dibuku tamu dan
harus pulang bila jam bertamu telah habis. Untuk masuk ke dalam
apartemen, menggunakan kunci berbentuk kartu dan setiap orang
yang masuk pasti akan melalui ruangan penjaga. Itu sebabnya setiap
pulang, tak pernah lupa aku menyapa Nomura-san, dan senyum khas
nya selalu menyertai balasannya.
Sesampai di pintu lift, seorang gadis seusiaku terlihat tergesa-gesa,
"chotto matte kudasai," terdengar asing logat bahasa Jepangnya. Aku
segera menahan pintu lift agar tidak tertutup. Sosok gadis ini tidak
pernah kulihat sebelumya. Pakaiannya agak aneh, tubuhnya tertutup
kecuali muka dan telapak tangannya.
"Maaf" suaranya terdengar lembut.
"Lantai berapa?" tanyaku seraya menekan tombol tujuanku sendiri.
"Sama dengan anda" senyumnya ketika melihat angka yang aku tekan.
Lift bergerak naik perlahan, kami hanya membisu seraya menanti
lantai lima yang kami tuju.
"Douzo" kupersilahkan ia terlebih dahulu keluar dari lift.
"Domo arigato" senyumnya.
Ternyata ia tinggal di kamar 510, berseberangan dengan kamarku.
Rupanya ia yang menggantikan Ma-san, yang pindah karena sudah
habis masa tinggalnya. Rasa ingin mengenalnya terhapus oleh rasa
lelah yang menyergapku, toh tidak harus malam ini, gumamku dalam
hati.
"O yasuminasai," senyumnya sesampai di pintu kamarnya.
"O yasumi," lambaiku.
Udara pengap menyergap sesaat setelah pintu kamar terkuak. Ketika
jendela kubuka angin malam menyeruap sejuk. Setelah mandi aku
segera tidur. Besok ada jam kuliah pagi, kalau tidak segera tidur, aku
bisa terlambat bangun. Tidak terbayang terlambat pada jam kuliah
Mori-Sensei, dosen killer di kampusku, bisa-bisa aku dipermalukan di
depan kelas. "Jangan sampai deh..." batinku.
********
"Kringgg…." jam wekerku berbunyi nyaring. Aku melompat dari tempat
tidur untuk menghentikan bunyinya. Bisa-bisa aku membangunkan
orang seasrama nih, pikirku. Segera aku membasuh muka, menyikat
gigi, mengganti baju dan memoles make up tipis. Lalu berangkat
dengan skoter hondaku yang masih baru. Sesampainya di ruang kuliah
ternyata waktu masih tersisa 20 menit, ahh.. lega rasanya, aku bisa
menenangkan diri setelah tadi berangkat terburu-buru.
"Ohayo.." sapa Sawada. Ternyata ia sudah sampai terlebih dahulu di
ruang kuliah.
"Ohayo.." balasku. Tiba-tiba ia mendaratkan kedua tangannya
dibahuku seraya berusaha memeluk.
"Aduhh apa-apain sih" protesku. Aku tidak suka dipeluk laki-laki,
meskipun ia berstatus "boyfriend" bagiku. Untukku boyfriend hanya
sekedar untuk mengikuti pergaulan saja. Makanya walaupun wajahku
terbilang lumayan, tapi baru semenjak dibangku kuliah ini aku punya
teman pria.
Aku kenal Sawada, ketika kami sama-sama dalam suatu kelompok
kerja. Aku lihat ia tidak macam-macam, itu sebabnya aku tak
keberatan jadi teman dekatnya. Sampai sekarang pun ia tidak macam-
macam, paling-paling kami hanya sekedar berpegangan tangan,
makan atau jalan-jalan berdua.
"Ahh, begitu saja tidak mau, cuma mau memberi kehangatan," Sawada
terlihat kesal sambil menarik tangannya.
"Sudah hangat kok," kataku tanpa menggubris kekesalannya. Biar saja,
gumamku dalam hati dan segera duduk. Tak lama kemudian bel masuk
kuliah berbunyi dan Mori-Sensei pun memasuki ruang kuliah dengan
wajah kakunya.
******
Mulai Senin ini sehabis kuliah Mori-Sensei, aku mengikuti praktikum
Fisika Dasar II. Hari ini pengumuman pembagian kelompok kerja.
Akupun segera mengambil tempat duduk, tanpa sempat
memperhatikan keadaan sekitar. Beberapa nama terdengar
disebutkan. Setelah namaku,Yamashita Izumi, lalu disebut pula Isumi
Azizah. Nama yang asing ditelingaku. Benar saja, ketika setiap
kelompok kerja berkumpul, terlihat seorang gadis dengan pakaian
aneh, yang semalam aku lihat, mendekati mejaku dan mengambil
tempat duduk tepat di sampingku. Sesaat kemudian kami mulai
berkenalan.
"Yamashita desu," aku mengawali perkenalan dalam kelompok kami.
Begitu selanjutnya kami bergiliran memperkenalkan nama masing-
masing.
"Watashi wa Isumi desu," giliran gadis itu memperkenalkan diri. Aku
penasaran ingin bertanya-tanya, tapi waktunya belum ada dan kami
segera sibuk mengerjakan tugas praktikum. Ketika semua beres ia
tampak terburu-buru, mungkin ada sesuatu yang dikejarnya. Aku
menyimpan rasa ingin tahuku.
Sebenarnya yang membuatku penasaran adalah cara berpakaiannya.
Negara mana yang mempunyai baju nasional seperti itu. Apakah tidak
merasa kepanasan berpakaian seperti itu. Diam-diam aku tertarik
melihatnya, karena ia mempunyai ciri khas tersendiri dengan pakaian
itu, tidak seperti orang asing lainnya.
Aku sendiri sebenarnya sudah capek mengikuti berbagai macam mode
yang terus berganti. Terkadang aku harus mengganti semua koleksi rok
midi ku ketika trend pakaian mini muncul, begitu selalu.
Awalnya aku tak suka mengikuti berbagai macam mode tersebut tapi
mempertahankan prinsip tersebut tidak mudah karena aku berada
dalam lingkup kehidupan kaum muda Jepang yang sangat peduli pada
perkembangan mode dan sangat bebas bergaul. Hidup bersama tanpa
ikatan nikah juga sudah biasa, apalagi cuma berpegangan tangan atau
berpelukan. Aku bergegas pulang.
*******
"Kring..kring..," bel kamarku berbunyi. Segera aku beranjak ke pintu
kamar. Ternyata teman baru dari kamar 510,"selamat malam, masih
ingat saya?" gadis itu tersenyum.
"Tadi siang kita bertemu di ruang praktikum" ujarnya lagi
mengingatkan.
"O..tentu saja saya ingat" jawabku cepat.
"Saya ingin ngobrol-ngobrol, boleh saya masuk?" tanyanya ramah.
"Tentu, tentu…," sambutku riang. Ini merupakan kesempatan yang
sudah kutunggu-tunggu, aku ingin mengenalnya lebih dekat lagi.
"Maaf.. saya baru sempat berkenalan dengan anda, padahal kamar kita
berhadapan" ia membuka pembicaraan. Sebelum akhirnya kami
berbicara panjang lebar.
"Saya dari Indonesia, sudah dua tahun tinggal di Jepang. Setahun
pertama, saya belajar bahasa di Tokyo, tahun berikutnya saya ke sini.
Pindah ke asrama ini baru seminggu yang lalu, sebelumnya saya
tinggal di asrama kampus," jelasnya.
"Pastinya sungguh berat tinggal jauh dari tanah air ya?" tanyaku.
"Begitulah.. perbedaan budaya pun saya rasakan agak berat",
jawabnya lagi.
"Oh iya.. memangnya kenapa dengan budaya Jepang?" aku bertanya
heran.
"Tidak apa-apa, saya hanya merasakan kehidupan disini berbeda dari
tanah air," jawabnya berusaha memperbaiki pernyataannya tadi.
"Misalnya apa?" tanyaku lagi.
"Baiklah.. salah satunya seperti budaya minuman keras, saya tidak
melakukannya, begitu pula sebagian besar penduduk negara kami,"
jawabnya hati-hati.
"Mengapa?" aku kembali keheranan.
"Karena dapat merusak kesehatan dan yang paling utama terlarang
dalam agama yang kami anut," jelasnya.
"Agama? saya tidak tahu banyak tentang itu, yang saya tahu hanya
kuil-kuil untuk berdoa, dan kebanyakan hanya orang-orang tua saja
yang berdoa. Agama apa yang kamu anut?" tanyaku kembali.
"Islam" jawabnya, aku terus menyimak.
"Lalu apakah semua wanita di negaramu berpakaian seperti ini?"
tanyaku.
"Ini namanya hijab, tidak semuanya menggunakannya, hanya orang-
orang yang percaya terhadap perintah agama, dan Islam lah yang
memerintahkan kami berpakaian seperti ini", jawabnya menghapuskan
penasaranku selama ini.
"Hmm.. sepertinya engkau patuh sekali menjalankan agama, apakah
ada manfaatnya? tidak berat menjalankannya?" tanyaku semangat dan
beruntun.
"Sama sekali tidak, saya malah merasakan banyak manfaatnya.
Misalnya dengan memakai pakaian ini saya merasa dilindungi
sekaligus menunjukan bahwa saya seorang muslim. Begitu juga
dengan minuman keras, kami tidak ingin hanya dengan kenikmatan
sesaat, tapi menyebabkan penderitaan di kemudian hari," begitu
penjelasannya.
Hmmm..benar juga, pikirku.
"Tapi pakaian itu membuatmu terlihat seperti pribadi yang tertutup"
ujarku..
"Oh.. tidak, pakaian ini hanya menutup penampilan fisik saya,
fungsinya menutupi bagian tubuh wanita yang hanya boleh dilihat oleh
keluarga terdekat seperti kakak, adik atau suami, juga untuk menjaga
hubungan wanita dengan pria, dalam agama kami tidak ada hubungan
di luar nikah, dilarang berpegangan tangan, berpelukan apalagi hidup
bersama tanpa nikah" jelasnya.
Menarik juga agama yang dianutnya, pikirku diam-diam. Aku jadi ingat
Sawada. Entah kenapa aku juga mulai merasa tak enak dengan
hubungan kami selama ini.
*****
Semenjak pertemuan itu kami menjadi bersahabat. Semakin banyak
aku berinteraksi, semakin terasa dekat dengannya. Baru kali ini aku
merasakan persahabatan yang tulus, tanpa ada maksud-maksud
dibelakangnya. Kami banyak berdiskusi. Apa saja dapat kami jadikan
bahan diskusi dan rasanya sedikit demi sedikit aku juga makin
mengenal agamanya. Diam-diam aku merasakan kedamaian ketika
mempelajari Islam. Rasa yang tidak aku rasakan sebelumnya. Indah
sekali.
Isumi tidak hanya mengobral kata-kata. Ia selalu membuktikan dengan
perbuatannya. Semakin hari aku semakin tertarik dengan pola
hidupnya. Aku ingin seperti Isumi yang terlihat begitu tentram, aku
muak dengan gaya hidup bebas selama ini. Hingga akhirnya setelah
bergulat sekian lama dengan perasaanku sendiri, aku merasa harus
memutuskan sesuatu.
Sore ini aku duduk berhadapan dengan Sawada di kafe tempat biasa
kami bertemu.
"Maaf Sa aku tak bisa lagi terus bersama" tegasku tanpa berani
menatap lama wajahnya. Aku tak mau melihat luka dimatanya yang
mungkin bisa menggoyahkan keteguhanku. Sawada tidak bisa
menutupi kekecewaannya. Dia berdiri setelah sekian lama tak berhasil
membujukku mengembalikan hubungan kami seperti semula.
Akhirnya, "baiklah, tapi kuharap kita tetap berteman" ujarnya
menyerah seraya beranjak meninggalkan kafe. Aku tahu dia sangat
terluka.
Aku menahan nafas. Sawada menghilang dibalik pintu. Aku tidak tahu
apa yang ada dalam hatiku. Yang pasti aku lega sekali, inilah harga
sebuah prinsip. Meski baru ini yang bisa aku lakukan, tapi aku akan
berusaha terus untuk bisa mengikuti Isumi. Ya cahaya Islam terlihat
berpendar. Rasanya cahaya itu tak jauh lagi dan aku ingin segera
meraihnya. (*)
******
Mata ashita ne: Sampai bertemu lagi.
Konbawa: Selamat malam
Oyasuminasai: Selamat tidur
Chotto matte kudasai: Tunggu sebentar
Douzo: Silahkan
Domo arigato: Terima kasih
Watashi wa Isumi desu: Saya Isumi.
SEINDAH MENTARI PAGI

Pagi itu di dapur....


" Bu,.. awas itu ikannya hampir gosong loh... ", seru khadimatku, Asih, membuyarkan
lamunanku.
" Masya Allah...", seruku seraya mematikan kompor.
" Nah loh ibu lagi ngelamun ya... ?", goda Asih lagi.
" Ah, kamu ini... ayo mana belanjaannya ? ", tanyaku.
" Asih, hari ini kita bikin bali ikan, sayurnya kita bikin lodeh saja terus goreng tahu,
tempe dan kerupuk". Asih, khadimatku sudah lama ikut aku dan keluarga. Sejak dia baru
lulus SD sampai sekarang dia sudah lulus SMEA. Kami sekeluarga sudah menganggap
Asih sebagai anggota keluarga sendiri.

Selesai masak bareng Asih sambil menunggu adzan dzuhur aku berniat meneruskan
tulisanku semalam, tapi aku hanya termenung di depan layar monitor tanpa dapat
memusatkan pikiranku. Aku kembali meneruskan lamunanku yang tadi sempat terputus
gara-gara Asih mengejutkanku. Semalam selepas kami sholat Isya' berjamaah, Sarah putri
tunggalku menghampiriku di kamar.
" Ummi,... ummi lagi repot ? ", tanya Sarah.
" Nggak kog sayang, ada apa ? ".
" Malam ini ummi nggak nulis ?, biasanya ba'da isya ummi khan langsung asyik sama
komputer ".
" He.. he.. Sarah,...Sarah....nggak kog, memang sih ummi mau nulis tapi nanti-nanti saja.
Ada apa sholihah... ? ".
" Eng.. eng... ada yang mau Sarah diskusikan sama ummi ".
" Ya,... tentang apa nak ? ".
" Tapi ummi harus janji dulu sama Sarah loh.. ".
" Janji.. ? ada apa memangnya ? ".
" Ya ummi, janji dulu ya mi yah... ? ", Sarah mulai dengan rengekan manjanya
" Iya deh insya Allah.... ".
" Ummi musti janji pertama ummi jangan motong dulu sebelum Sarah selesai, terus yang
kedua ummi jangan bicarakan ini dulu sama siapapun kecuali sama Abi. Sarah nggak
mau kalau mas Fadhil, mas Yazid dan Zakly tahu sebelum waktunya ", kata Sarah seraya
menatapku.
" Hhhmm.... iya insya Allah ".
" Nah,... sekarang ummi dengarkan baik-baik yah...? ", pinta Sarah dengan kerlingan
manjanya.
" Iya.... ini dari tadi juga ummi sudah dengerin kog...", kataku mulai tak sabar.
" Mmhhhh... begini ummi,.... akhir-akhir ini Sarah mulai berpikir kalau...
mmhhh...mmhhh.. kalau Sarah pingin menyempurnakan setengah dari dien Sarah ", kata
Sarah perlahan lantas Sarah tertunduk dan diam.
Aku masih terdiam, rasanya otakku saat itu bekerja dengan sangat lambat untuk
mencerna kata-kata Sarah. Sarah ingin menyempurnakan setengah dari diennya itu
artinya Sarah hendak menikah....Subhanallah... Alhamdulillah... putri tunggalku sudah
berpikir ke arah sana.

" Sarah,...subhanallah nak...", aku tak dapat meneruskan kata-kataku.


" Ummi kaget Sarah,... tapi sekaligus juga bangga ", kataku seraya memeluk Sarah yang
masih tertunduk di hadapanku. " Alhamdulillah nak.... Insya Allah kalau nanti abi sudah
pulang akan ummi diskusikan dengan abi. Nah,...mau ngomong begitu aja kog dari tadi
pakai takut-takut segala sih sayang.. ? ", godaku.
Sarah masih menunduk sambil tersenyum.
" Sekarang masalahnya Sarah mau nikah sama siapa ?", tanyaku. "Atau Sarah pingin abi
dan ummi yang carikan calonnya ? ".
" Mmhh... sebenarnya Sarah sudah punya calon ummi.... ", katanya perlahan.
" Heh... ?? Sarah sudah punya calon... kog abi dan ummi nggak tahu ? ".

Terus terang aku terkejut. Aku kenal betul siapa Sarah, ia sangat hati- hati dalam menjaga
pergaulan dengan lawan jenisnya. Tapi kog tahu-tahu sekarang sudah ada calon.
" Ummi masih janji kalau nggak memotong sebelum Sarah selesai khan,...sekarang Sarah
mau cerita yang lengkap ". Sarah menarik nafas.
" Begini ummi,... ada temen pengajian Sarah di kampus, akhwat itu punya mas. Nah,
masnya itu insyaAllah akhlaq dan diennya baik ".
" Hhmm.... lantas.. ", kataku tak sabar.
" Temen Sarah itu mengusulkan agar Sarah menikah dengan masnya. Nah,.. sekarang
Sarah mau minta tolong ummi dan abi atau mas Fadhil atau mas Yazid untuk menyelidiki
apa memang betul ikhwan itu diennya baik dan insya Allah bisa cocok sama Sarah ".
" Hhhmmm... begitu ? ".
" Sarah belum pernah ketemu sama ikhwan itu, Sarah baru lihat fotonya saja dan Yasmin,
teman Sarah itu cerita kalau ikhwan itu insya Allah shalih. Sarah percaya sama Yasmin,
ummi masih ingat Yasmin khan yang pernah kesini itu lho... ".
" Ummi lupa abis khan banyak akhwat temen Sarah yang main kesini ".
" Ummi,... abi dan ummi khan selalu bilang kalau apapun yang kita kerjakan harus
lillaahita'ala khan ? ", tanya Sarah. Aku hanya mengangguk....
" Ummi,....insya Allah Sarah ingin pernikahan ini juga menjadi ibadah karena Sarah
pingin mencari ridho Allah ummi. Sarah ingin nikah dengan ikhwan itu karena Sarah
ingin menolong ia dan keluarganya mi... Ummi,.. sebenarnya ia sudah menikah, sudah
punya isteri ".
" Heh....", seruku dengan terkejut.

Tanpa memperdulikan keterkejutanku Sarah kembali meneruskan kata-katanya.


" Ummi, ikhwan itu sudah nikah hampir 6 tahun, tapi sampai sekarang belum dikasih
amanah oleh Allah, isterinya punya fisik yang lemah, sering sakit-sakitan. Sarah berpikir
ummi,.... Sarah ingin bisa menolong keluarga itu untuk sama-sama berjihad di jalan
Allah. Sarah bisa bantu-bantu pekerjaan rumah tangga dan insya Allah nanti Sarah bisa
melahirkan jundi-jundi yang bisa dididik sama-sama. Ummi ingat ya ummi,... Sarah
insyaAllah mau melakukan ini semua hanya karena Allah, Sarah cuma mau mencari
ridho Allah saja ummi.... Sarah sudah istikharoh berkali-kali dan Sarah makin hari makin
mantap aja ".

Aku hanya terdiam,... tak tahu harus berkata apa. Terus terang aku sangat ingin suamiku
ada disampingku saat ini. Kenapa Sarah harus membicarakan hal itu di saat suamiku ke
luar kota. Aku bingung tak tahu harus berkata apa....

" Ummi,.... ", panggil Sarah perlahan.


" Sarah,...sekarang ummi mau tanya ya nak... ".
" Bagaimana awal mulanya kog tiba-tiba Sarah ingin menikah dengan ikhwan itu ? ".
" Begini ummi,...Yasmin bilang kalau mbak Asma, nama isteri masnya itu, pernah bilang
ke Yasmin bahwa mbak Asma ingin suaminya menikah lagi ".
" Hhmmm.... terus.... ".
" Soalnya mbak Asma tahu benar kalau suaminya sudah ingin punya jundi sementara
mbak Asma sendiri sampai sekarang belum juga dikasih kesempatan oleh Allah untuk
hamil. Kasihan mbak Asma ummi,...sudah fisiknya lemah, kesepian lagi. Sehabis Yasmin
cerita begitu Sarah jadi kepikiran, Sarah ingin membantu keluarga itu ummi.... Sarah
pingin bisa bantu-bantu mbak Asma, nemenin mbak Asma, insyaAllah nanti Sarah juga
bisa melahirkan jundi yang bisa dididik sama-sama. Khan Ummi sendiri yang bilang
kalau untuk menuju kebangkitan Islam memerlukan generasi yang berkualitas, insya
Allah nanti akan lahir generasi-generasi robbani ."

Setelah sholat dzuhur berdua dengan Asih aku kemudian makan sendirian. Kalau siang
seperti ini rumah selalu sepi, hanya aku berdua dengan Asih saja. Mereka biasanya
makan di kampus masing-masing dan Yazid makan di cafetaria kantornya. Terus terang
aku kesepian, ingin rasanya aku segera mendapatkan cucu-cucu dari mereka. Dan kini
salah seorang dari mereka mengajukan keinginannya untuk menikah, tapi...kenapa Sarah
hendak nikah dengan seseorang yang telah beristri?.... Rasanya sejak semalam aku sulit
berpikir secara jernih, aku terlalu terbawa alam perasaanku. Diantara mereka berempat
aku tidak membeda-bedakan kasih sayangku. Aku selalu berusaha adil terhadap mereka.
Tapi tak dapat kupungkiri kalau Sarah menempati posisi yang lebih istimewa.
Perhatianku lebih tercurah ekstra pada Sarah. Karena Sarah hanya satu-satunya putri
tunggalku. Aku lebih melindungi Sarah dibandingkan dengan putra-putraku yang lain.
Timbul rasa was-was dalam hatiku, bagaimana kalau seandainya suaminya nanti tak
dapat berlaku adil, bagaimana kalau seandainya madu Sarah tidak memperlakukannya
dengan baik karena merasa mendapat saingan dan bagaimana kalau nanti Sarah tidak
bahagia. Semua itu menjadi beban pikiranku. Aku menyayangi Sarah, dan wajar bila
sebagai seorang ibu aku ingin melihat anak-anakku bahagia. Aku menjadi tidak berselera
makan. Tiba-tiba...

" Assalamu'alaikum,...", suara Zakly kudengar dari teras depan.


" Wa'alaikumussalam,... loh kog sudah pulang ? ", tanyaku.
" Iya mi, dosennya nggak ada... lagi pula siang ini sudah nggak ada kuliah lagi kog ",
jawab Zakly seraya mencium tanganku.
" Ayo makan sekalian,...ummi baru saja mulai ".
" Sebentar mi, cuci tangan dulu... ".

Seperti kebiasaan mereka sejak kecil, setiap pulang sekolah waktu makan siang mereka
akan bercerita tentang kejadian mereka di sekolah hari itu. Dan hingga kini meskipun
mereka telah beranjak dewasa kebiasaan itu tetap terbawa. Zakly sedang bercerita tentang
susahnya mencari dosen pembimbingnya untuk skripsi. Tapi aku hanya menanggapi
setengah hati, konsentrasiku tidak terpusat seutuhnya pada apa yang dibicarakannya.

" Ummi,.... ummi kenapa sih...? ", tanya Zakly.


" Oohh...nggak,... Zakly bilang apa tadi temen Zakly kenapa ? ".
" Nah khan... ketahuan deh kalo ummi nggak dengerin Zakly ngomong ".
" Nggak,.. kenapa tadi.... ? ".
" Sejak tadi pagi Zakly perhatikan ummi hari ini agak lain deh... ".
" Ah masa sih,... itu khan perasaan Zakly saja.. ".
" Bener kog... tadi pagi di garasi mas Yazid saja tanya sama Zakly, kog ummi pagi ini
agak diam ya... nggak secerewet biasanya ".
" Eh,...ghibah ih,...ngomongin umminya ", sahutku sambil tersenyum.
" Bener kog... ummi nggak sakit khan ?? ".
" Nggak ummi nggak apa-apa kog... ".
" Kalo nggak apa-apa kog ummi jadi agak lain ayo !", desak Zakly masih dengan
ngototnya.
Sifat Zakly ini menurun dari abinya, yang nggak akan berhenti bertanya kalo belum
mendapatkan jawaban yang dapat memuaskan hatinya.
" Ummi...ummi cuma pingin abi cepet pulang, gitu aja.." sahutku perlahan.
" Ha.... ha.... ", meledak tawa Zakly.
" Lho kog ketawa sih ? ",tanyaku.
" Abis ummi lucu, kaya pengantin baru aja deh.... dikit-dikit kangen pingin ketemu abi ".
" Yah wajar dong.... namanya juga suami isteri ".
" Tapi ummi lucu deh... kita khan pura-pura nggak tahu aja, kalau sebenarnya di belakang
kita ummi tuh kolokan banget sama abi... ", goda Zakly lagi.
" Hhhmmm.... kata siapa ? ", tanyaku tak mau kalah.
" Yah ummi...ngaku aja deh,...kalau ummi khan masih manja banget sama abi, ummi kita
khan udah pada gede-gede, sudah ngerti ", kata Zakly masih sambil ketawa.
" Udah ah,... ketawa aja tersedak lho nanti maemnya.. ",sahutku.
" Mmmhh...ummi nggak mau ngakuin tuh..., sabar dong ummi insya Allah besok abi
khan sudah pulang ", goda Zakly lagi.
" Udah,... cepat dihabisin maemnya Zakly... ".
" Iya nyonya besar.... ", kata Zakly sambil tersenyum-senyum menggoda.
" Ummi,...", panggil Zakly lagi.
" Apa lagi sholeh ?? ".
" Mmhh... Zakly nanti ingin kalau punya rumah tangga seperti rumah tangga abi dan
ummi.... ".
" Kenapa memangnya... ? ".
" Sepertinya abi sama ummi tuh seneenng terus, nggak pernah Zakly lihat abi sama ummi
ribut, meskipun sudah tua-tua tapi masih seperti pengantin baru saja ".
" Hhmmm... kalian khan nggak tau saja, pernah juga abi dan ummi berselisih, karena
beda pendapat, itu wajar dalam rumah tangga ".
" Oya... kog Zakly nggak tahu.. ".
" Aduh anakku sholeh.... masa sih kalau abi sama ummi lagi nggak enakan harus lapor
sama kalian, nggak khan ?".
" Iya.. ya.... ".
" Itu rahasia abi dan ummi, kita selesaikan berdua, diskusi, dibahas, saling menghargai
pendapat lawan, cari jalan tengahnya ".
" Terus mi.... ".
" Ya sudah,...berusaha menyelesaikannya secepat mungkin, dan saling mengalah.
InsyaAllah keadaan cepat normal lagi, baikan lagi. Kunci yang penting Zakly,... kalau
nanti Zakly sudah berkeluarga, jangan pernah kalian ribut di depan anak-anak, karena
nggak baik buat perkembangan jiwa mereka. Selesaikan berdua ketika sudah sama-sama
tenang sehabis sholat misalnya ".
" Hhmmm... itu makanya abi sama ummi tetap awet sampai sekarang yah ? ".
" Yah... alhamdulillah nak, abi dan ummi saling cinta meskipun dulu kita nggak pakai
istilah pacaran ".
" Iya mi,... Zakly tahu itu....subhanallah....
"Iya,... Islam sudah bikin aturan yang benar dan baik tinggal tergantung kita mau ikut
atau nggak ", kataku lebih lanjut. Sudah sekarang cepat habisin maemnya... ".
" Jazakillah ya ummi buat materinya siang ini.... ".
" Hhmm... waiyakallahu.. ".

Dan tiba-tiba.... kring... dering suara telfon.


" Hallo,... ", angkat Yazid.
" 'Alaikumussalam,... oh abi nih... Iya bi,... bener nih nggak usah dijemput ?. Iya-
iya....insya Allah.... 'alaikumussalam... ".
" Dari abi, Yazid ?? ", tanyaku.
" Iya,... seminar abi ternyata selesai hari ini, abi sekarang ada di airport sebentar lagi
pulang ".
" Lho,... abi nggak minta dijemput ? ", tanyaku.
" Kata abi, abi mau naik taksi saja biar cepat, kalau nunggu dijemput kelamaan ".
" Insya Allah sebentar lagi abi pulang ". harapku.

Selesai sholat isya'....

" Kalian sudah pada lapar ya ?, mau makan sekarang atau nunggu abi saja sekalian ? ",
tanyaku.
" Nanti aja mi,... enakan bareng-bareng abi aja.. ".
" Kalau kalian mau maem dulu nggak apa-apa, biar nanti ummi saja yang nemenin abi ".
" Nggak usah mi,... khan sebentar lagi insya Allah abi juga datang ", jawab Fadhil lagi.
Dan benar, tak berapa lama kemudian....
" Assalamu'alaikum,...", suara suamiku dari teras depan.
" Wa'alaikumussalam... ", jawab kami berbarengan.
Kelakuan mereka masih persis anak-anak langsung berebut membuka pintu buat abinya
dan mencium tangan abinya. Kalau melihat mereka seperti itu tak percaya rasanya kalau
mereka sudah pada besar-besar dan sudah waktunya untuk nikah. Ah,...nikah lagi...
kenapa itu yang ada dipikiranku selalu.

" Ummi,..ini nih pacar ummi udah datang...", seru Zakly.


" Zakly,...apa-apa an sih ya...", kataku sambil melotot.
" Alah.. ummi, tadi siang bilang kangen, pingin abi cepet pulang, sekarang malah berdiri
disitu aja... ", goda Zakly lagi.
" He.. he.... memang tadi siang ummi kenapa Zakly ", tanya suamiku.
" Tadi siang nih bi.... ".
" Udah Zakly,... abi baru aja dateng,... cuci tangan dulu deh bi,.. terus kita maem ",
potongku langsung.
" Iya bi,.. kita tadi udah laper nungguin ", kata Sarah.

Seperti biasa waktu makan malam adalah saat dimana kami dapat makan bersama. Kalau
pagi, anak-anak biasa sarapan lebih dulu sedangkan aku dan suamiku hanya sarapan
berdua, karena suami ke kantor agak siang dibanding mereka pergi. Kalau siang mereka
tak pernah makan di rumah, biasanya aku makan sendiri. Jadi baru makan malamlah
kami dapat berkumpul bersama. Dan seperti biasa mereka saling tak mau kalah kalau
sudah cerita, jadi bisa dibayangkan bagaimana semaraknya suasana.

" Oya,...tadi Zakly bilang apa tentang ummi ", tanya sumiku mendadak.
" Oh,... he.. he.. ini ummi,... ".
" Kenapa Zakly ? ", tanya Yazid.
" Tadi siang khan Zakly makan di rumah , terus pas Zakly ajak ngobrol ummi tuh
kayanya nggak bener-bener ngedengerin deh,... Zakly pikir kenapa gitu.... ".
" Trus.... ", potong Fadhil.
" Waktu Zakly desak-desak ummi bilang nggak apa-apa,.. tapi akhirnya ngaku juga... ".
" Ummi bilang apa... ? ", tanya suamiku.
" Ummi bilang kangen sama abi, pingin abi cepat-cepat pulang, waktu ngomongnya kaya
anak remaja yang umur 17 tahun, sambil malu-malu gimanaaa.. gitu ".
Langsung, tawa mereka memecah...
" Ih,... ummi perasaan biasa aja bilangnya, ngapain juga pakai malu-malu segala, orang
abi sama ummi udah 28 tahun nikah ", sahutku.
" Alah ummi,..Zakly tadi khan liat muka ummi merah-merah gimana gitu ".
" Oooohh.... pantesan tadi pagi Yazid juga perhatikan ummi agak aneh, nggak seperti
biasanya ", sambung Yazid.
" Iya,..ummi tadi pagi agak diam, hhmm baru ketauan ternyata sebabnya kenapa ", kata
Fadhil

Mereka masih tertawa-tawa, kulirik Sarah hanya tersenyum tak ikut menggodaku seperti
yang lain. Tentu Sarah tahu dialah yang menjadi penyebab kenapa seharian ini aku agak
aneh.
" Iya mi,...bener ya apa yang Zakly bilang ", tanya suamiku sambil menatapku dalam-
dalam.
" Hhmm.... ", aku hanya tersenyum, jengah juga rasanya ditatap seperti itu di depan anak-
anak meskipun mereka udah dewasa.
Mendadak tawa mereka memecah lagi....
" Lho,... kenapa sih... ?? ".
" Coba deh ummi ngaca, muka ummi tuh lucu banget tersipu-sipu gimana gitu, kaya
remaja 17 tahunan ", kata Zakly.
" Ummi... ummi...,mau bilang iya aja kog pake malu-malu segala sih... ", kata suamiku.
" Padahal abi khan baru pergi 3 hari yang lalu, ya khan ? ", tanya suamiku ke mereka.
" Tunggu aja bi,.. nanti kalau kita sudah nggak ada, ummi bakal ngaku juga sama abi,... ",
kata Zakly.
" Udah ah,... nggak selesai-selesai maemnya nanti, ingat abi belum sholat lho..", kataku
mengalihkan pembicaraan.

Setelah suamiku sholat, seperti biasa kami berkumpul di ruang tengah. Dan juga seperti
biasa mereka tak pernah habis-habis akan topik bahasan. Mulai dari kerusuhan tentang
adanya isyu pembunuhan dukun santet yang menyebabkan sebagian ulama juga ikut
terbunuh, tentang harga sembako yang masih saja sulit dijangkau, dan juga tentang
keanekaragaman visi dari bermacam-macam partai Islam yang ada. Sampai pada masalah
banyaknya anak-anak yang putus sekolah karena tak ada biaya serta kondisi gizi anak-
anak balita yang memprihatinkan. Dan seperti biasa, mereka ingin agar segera terbentuk
khalifah Islam dimana segala macam bentuk perundang-undangan bersumber pada Al
Qur'an dan sunnah Rasul yang insya Allah apabila semuanya itu dilakukan dapat
menjamin pola kehidupan masyarakat akan menjadi baik.
Dari balik layar monitor kuperhatikan Sarah tidak selincah biasanya dalam berdiskusi
dengan mas-masnya, Sarah hanya sesekali menimpali itu pun dengan nada bicara yang
tanpa semangat, sedangkan aku dari tadi duduk di depan komputer, tapi hanya satu
paragraf yang berhasil kutulis. Karena perhatianku lebih tercurah pada apa yang mereka
bahas dibanding dengan susunan cerita yang sedang kukerjakan. Ingin rasanya aku cepat-
cepat menarik suamiku ke kamar untuk membahas keinginan Sarah. Tapi kulihat mereka
masih asyik, dan sekarang`mereka sedang nonton Dunia Dalam Berita. Biasanya sehabis
acara itu mereka masih duduk di situ untuk membahas berita yang baru saja mereka lihat,
sebelum akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Setelah dunia dalam berita....
" Abi nggak capek,... khan tadi baru pulang, besok harus ke kantor khan ? ", kataku.
" Besok saja diterusin obrolannya,... atau kalian ngobrol berempat saja... ", sambil kutatap
mereka.
" Kasian abi dong.... ", sambungku lagi.
" Hhhmm.... hhmm.... ", Zakly pura-pura batuk, yang aku tahu itu hanya untuk
menggodaku saja.
" Iya deh,...lagian masa abi ngobrol sama kalian aja, abi khan juga pingin ngobrol sama
ummi ", kata suamiku.
Tawa mereka memecah lagi...
" Bukan,... bukan gitu, abi khan baru pulang, dan besok harus kerja ", bantahku.
" Iya..iya...udah yok mi,.. kita bobo...", ajak suamiku.
" Jangan lupa lho, periksa lagi pintu jendela sebelum kalian masuk kamar ", perintahku
pada mereka.

Kulirik jam, sudah pukul 10 kurang seperempat. Tak mungkin rasanya aku bercerita
malam ini. Suamiku tentu lelah, biar besok saja setelah sholat shubuh pikirku. Dan
kulihat suamiku sudah merebah di tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur. Iya,... nggak
mungkin malam ini, besok saja putusku. Tapi aku masih belum dapat memejamkan mata,
ingin rasanya hari segera berganti. Aku tidak biasa memendam sesuatu terhadap suamiku.
Aku ingin segera menumpahkan apa yang menjadi beban pikiranku. Yah,... insya Allah
nanti selepas shubuh...

Setelah qiyamul lail, sambil menunggu shubuh aku bergantian membaca qur'an dengan
suamiku. Seperti biasa suamiku dan anak-anak sholat shubuh di mesjid. Tinggal aku,
Sarah dan Asih sholat berjama'ah di rumah. Pada halaman terakhir aku membaca Al
Matsurat, suamiku pun tiba. Akhirnya setelah kulipat mukena dan kurapikan sajadah aku
berdiri di hadapan suamiku yang sedang duduk di tepi tempat tidur....

" Mas,... mas masih ngantuk ? mau tidur lagi ? ".


" Nggak kog,... mas nggak ngantuk, kenapa de' ? ".
" Mmhhh... ada yang mau ade' omongin sama mas... ".
" Iya,.. tentang apa de' ? ", tanya suamiku seraya menarikku untuk duduk di hadapannya.
" Mmhh.. ini tentang Sarah mas,... ".
" Iya,.. ada apa memangnya sama Sarah ? ".

Akhirnya kuceritakan semua apa yang menjadi keinginan Sarah. Rasa banggaku terhadap
Sarah yang memiliki niat seperti itu. Persetujuanku terhadap keinginannya, tapi juga
sekaligus rasa khawatirku, rasa cemasku akan putri tunggalku. Betapa aku amat
mengasihinya dan aku tidak ingin ada sesuatu hal buruk yang akan dialaminya kelak. Di
satu pihak apa yang menjadi keinginan Sarah patut untuk aku dukung, karena yang
dilakukan Sarah hanyalah untuk mencari ridhoNya semata, tak boleh aku
menghalanginya dari jalan Allah. Tapi di pihak yang lain aku khawatir bila nanti
suaminya tidak bisa berlaku adil atau rasa cemburu dari madunya akan menyakiti
hatinya. Aku rasa kekhawatiranku adalah hal yang wajar, karena waktu Fatimah mengadu
kepada Rasulullah SAW akan niat Ali ra yang hendak nikah lagi, Rasulullah pun berkata
bahwa apabila menyakiti hati Fatimah, itu sama halnya dengan menyakiti hati beliau,
karena rasa kasih sayang Rasulullah sangat besar terhadap Fatimah. Tapi aku sungguh
tersentuh dengan niat Sarah yang subhanallah sangat mulia. Kutumpahkan semua uneg-
uneg di hatiku pada suamiku.

" De',... mas tahu,...ade' sayang sekali pada Sarah, begitu juga mas ", kata suamiku
perlahan.
" Tapi de',... ade' tahu khan kalau Sarah itu bukan milik kita, Allah cuma menitipkan
Sarah ke kita. Alhamdulillah Allah mau memberikan amanahNya pada kita, bukan cuma
Sarah, tapi juga Fadhil, Yazid dan Zakly ".
" Mas bangga pada anak-anak, begitu juga mas bangga pada ade' yang sudah berperan
buat mentarbiyah mereka. Karena mereka semua nantinya harus kita pertanggung-
jawabkan kepada Allah. Nah,...sekarang misalnya ade' ada di posisi Asma, sudah fisiknya
lemah, sakit-sakitan, kesepian..., padahal dia menginginkan untuk dapat berperan menjadi
pendidik generasi yang dapat menggantikan perjuangan generasi sebelumnya, dia juga
menginginkan akan adanya panggilan 'ummi' dari seorang anak yang lucu. Gimana
coba ? ", tanya suamiku dengan lembut.
" Dari cerita ade' tadi,...Asma sendiri yang usul supaya suaminya nikah lagi, rasanya apa
yang ade' khawatirkan insya Allah nggak akan terjadi deh...Dia sudah rela suaminya
menikah lagi, dia sudah ridho dan insya Allah diapun akan memperlakukan Sarah dengan
baik.. . Ade' juga tau khan kalau Allah pasti memberikan yang terbaik, belum tentu apa
yang menurut kita nggak baik tapi sebenarnya itu justru baik menurut Allah, cuma Allah
yang tahu ade '...., kita tidak tahu apa-apa... ".

Sampai sini air mataku mulai menetes...Astaghfirullah...Ampuni aku ya Allah,... aku


terlalu melibatkan perasaan dan emosiku. Sarah hanyalah milik-Mu, dan Engkau yang
akan menjaganya... " Ade',..ade' inget khan kalau rasa cinta kita terhadap keluarga, harta
dan sebagainya tidak boleh melebihi rasa cinta kita terhadap Allah, Rasul dan jihad di
jalan-Nya ? ",tanya suamiku.
Aku hanya mengangguk....
" Jadi insyaAllah kitapun akan mendapat ridho Allah, dari apa yang dilakukan Sarah
nanti...., karena kita dengan ikhlas menyetujui Sarah menikah hanya karena kita juga
sama-sama mencintai-Nya ".

Kami sama-sama terdiam sesaat. Kutarik nafas panjang...


" Mas,...", panggilku lirih.
" Ya sayang... gimana ? ", tanya suamiku,
" Iya mas...ade' sudah tenang sekarang,...kalau tadi meskipun ade' setuju tapi tetap ada
yang ganjal rasanya ".
" Kalau sekarang.. ? ", tanya suamiku.
" Ade' sekarang sudah ikhlas mas,... hati ade' sudah plong rasanya, ade' sadar ada Allah
yang akan menjaga Sarah, Sarah kan cuma milik Allah ya mas ?? ".
" Nah,... gitu dong... insya Allah Sarah, Asma dan Farid bisa membentuk keluarga
sakinah, yang bisa mencetak generasi rabbani, kita tinggal mendo'akan mereka saja
de'...".
" Tapi mas,... ", kataku tertahan.
" Tapi kenapa lagi ? masih belum sreg juga ?
" Bukan begitu,... cuma mas kog kayanya begitu gampang memutuskan masalah ini,
kayanya mas sudah tau tentang ini sebelumnya ", kataku penuh curiga.
" Mmmhhh... sebenernya sebelum ade' cerita tadi mas udah tau kog de'... ", kata
suamiku.
" Hah.... ?? ", tanyaku heran.
" Mmmhh.. sebelum mas ke Jakarta Farid dateng ke kantor mas, sudah diskusi dengan
mas... ".
" Lho.. ??? ".
" Iya,... Mas juga tahu siapa Farid itu, juga isterinya, tapi waktu itu mas sorenya udah
buru-buru mau berangkat mas pikir nanti saja pulang dari Jakarta cerita ama ade', terus
pas ade' lagi belanja sama Asih mas interlokal dari Jakarta, yang ada di rumah Sarah, mas
tanya sama Sarah. Ternyata Sarah juga sudah tahu dari Yasmin, mungkin Asma sudah
minta Yasmin bilang ke Sarah, begitu de' ", penjelasan suamiku.
" Lho,.. Sarah kog nggak bilang kemaren sama ade' kalo mas sebenarnya sudah ngomong
sama Sarah duluan ?", tanyaku masih kebingungan.
" Iya,... mas bilang sama Sarah, supaya Sarah bilang sama ade' saja, tanya pendapat ade'
gimana gitu... . Khan nggak enak kalau tahu-tahu mas udah langsung ngasih persetujuan
duluan padahal ade' masih belum tahu apa-apa", kata suamiku lagi.

Subhanallah....betapa suamiku sangat menghargai aku, dari dulu suamiku tidak pernah
mengambil keputusan sendiri dalam masalah rumah tangga, selalu mengajakku untuk
berunding terlebih dahulu.
" Tapi mas,...ade' masih mau tanya lagi nih.. ", kataku.
" Iya sayang,... kenapa lagi ? ".
" Tadi mas bilang kalau mas tahu bener siapa Farid itu, memang mas sudah kenal
sebelumnya sama Farid ? ".
" Mmmhh....mmmhh....", suamiku tidak menjawab hanya tersenyum saja.
Dan aku tahu apa itu artinya...suamiku tidak akan menjawab pertanyaan semacam itu.
Tapi akupun tahu sebesar apa kasih sayang suamiku terhadap Sarah. Tidak mungkin
rasanya suamiku membuat keputusan besar seperti ini tanpa lebih dahulu menyelidiki
bagaimana keluarga Farid dan Asma.
" Yang penting de',... kita berdo'a aja untuk kebahagiaan mereka ", ujar suamiku.
" Hhhmm... iya deh,... yang penting kita tinggal berdoa saja buat mereka ", kataku.
" Terus mas ada lagi,.. berarti mas tahu dong kemarin pas ade' gelisah soalnya ada yang
mau ade' omongin sama mas, ya khan ?", tanyaku.
" Iya doonngg...., masa mas nggak tahu, khan ade paling nggak bisa menyembunyikan
sesuatu dari mas, meskipun sebenarnya ade' berusaha nutup-nutupin juga... ".
" Berarti mas tau dong sebenarnya ade' pingin ngomong kemaren ? ", tanyaku lebih
gencar.
" Iya dong...tau dong....", kata suamiku sambil tertawa.
" Ih,... mas jahat,... nggak mau dibahas dari kemarin saja... mas tau nggak, ade' tuh
semalam nggak nyenyak bobonya,... pingin cepat-cepat pagi biar cepat cerita sama mas...
", jelasku.
" Iya.... mas juga tahu, mas iseng saja... sekalian melatih kesabaran ade'...", sambung
suamiku masih tertawa.
" Mas jahat ih.... sudah tua masih suka iseng ngerjain isterinya... ", kataku berusaha untuk
tidak ikut tersenyum.
" He.. he.... alaah de'.... mau ketawa aja pakai gengsi segala sih.... ", kata suamiku sambil
mengacak-ngacak rambutku. " Hhmmmm.... si mas....", aku sudah kehabisan kata-kata.

Tiba-tiba suara pintu kamar diketuk dengan agak keras, aku sudah hafal siapa lagi kalau
bukan Zakly yang berani mengetuk seperti itu...
" Abi,... Ummi,.... pada mau pamitan nih.... ", teriak Zakly dari luar.
" Hhmm....Zakly ya, ngomong agak pelanan khan bisa ", kataku sambil membuka pintu
kamar.
" He.. he.... abis tadi Sarah udah ngetuk tapi nggak dibukain sih,..ya udah Zakly aja yang
ngetuk lagi, katanya membela diri.
" Lho bi,... kog belum siap ?? nggak ke kantor hari ini ya.. ? ", tanya Fadhil.
" Iya,... nanti agak siangan... ", jawab suamiku.
" Udah pada sarapan ? ", tanyaku.
" Udah dong.... khan kita sarapan sendirian.... ummi sama abi khan masih di dalam kamar
", kata Zakly sambil sedikit memonyongkan bibirnya.
" Khan udah pada gede juga.... ", kataku sambil tertawa.
" Ya udah mi,... berangkat dulu nih.... ", kata Yazid sambil mereka bergantian mencium
tangan kami satu-persatu.
" Sarah,...berangkat ya mi... ", katanya sambil berbisik di telingaku sambil mencium
pipiku.
" Iya nak,... hati-hati ", lantas kupeluk Sarah agak erat. Sarah pun membalas pelukanku
dan sambil mengusap kerudungnya aku seraya berbisik bahwa aku ikhlas menyetujuinya.
Kulihat mata Sarah berkaca-kaca....
" Woow... Sarah pamit ke ummi aja sampai kaya gitu, kaya di film-film telenovela aja ",
goda Zakly.
" Udah ah,... kamu khan nggak tahu ", balas Sarah.
" Lho memangnya ada apa sih mi... ? ", tanya Fadhil.
" Udah,... sekarang berangkat saja kalian, udah siang lho nanti malam saja kita bahas... ",
kata suamiku.
" Lho... emang ada apa... ?? ", tanya Zakly lagi.
" Udah.... berangkat sana.... ingat Zakly kalau naik motor jangan ngebut....terus kalian
kalau jajan jangan sembarangan, sekarang lagi musim macam-macam penyakit ", kataku
mulai lagi dengan segala pesan-pesan.
" Yah,.... ummi balik lagi dah... padahal kemarin udah anteng, udah diem ya mas Yazid ?
", kata Zakly.
" Iya nih ummi... habis abi sudah pulang sih...", timpal Yazid.
" Iya,... balik lagi deh berisiknya ", tambah Zakly.
" Zakly,... kog ngomong gitu sama umminya.. ", kataku.
" Afwan mi,.. becanda mi.... ", kata Zakly sambil memeluk bahuku.
" Hhmmm... udah ah,..pada terlambat lho nanti... ".
" Assalamu'alaikum....", kata mereka berbarengan.
" Wa'alaikumussalam...".

Aku antar mereka sampai depan rumah. Sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi
di teras depan, aku termenung,....alhamdulillah aku bahagia ya Allah atas segala nikmat-
Mu. Lindungilah mereka Ya Allah, tuntunlah selalu langkah-langkah mereka, penuhilah
hati dan cinta mereka hanya dengan iman dan takwa kepada-Mu semata....

Rabbanaa hablanaa min azwajinaa wadzurriyaatinaa qurrota


'ayun waj'alnaa lil muttaqiina imaama...
Amiin Ya Rabbal 'aalamiin....

24 DZULHIJJAH 1416 H
--by US--
( buat AS,... Jazakallahu khoiron katsiro
untuk dry cleaning-nya tiap hari :-) )

KETIKA RAMADHAN TIBA

Tidak terasa bulan Ramadhan sudah bergulir sepuluh hari.


"Gimana Bi ....... dapat ijin dari pak Hendra? " tanya Fitri, isteriku penuh harap.
"Nggak boleh Mi... nggak dapat ijin" jawabku.
Kulihat Fitri terdiam, tapi terlihat semburat kekecewaan nampak pada rona wajahnya.
Yah betapa tidak cuti lebaran tahun ini tak kuperoleh dari atasanku. Berarti ini sudah
tahun ketujuh kami sekeluarga tidak dapat berlebaran di kampung bersama sanak
keluarga. Sejak menikah, sampai kami mempunyai 3 anak, aku dan Fitri memang tidak
pernah merasakan berlebaran bersama keluarga.

Pada mulanya aku begitu yakin pak Hendra atasanku akan memberiku cuti 3 pekan,
karena aku pikir sudah 2 tahun aku tidak mengambil cuti, dan lagi sudah tujuh kali
berturut aku tidak dapat kebagian cuti lebaran. Tapi nyatanya dengan permintaan maaf,
pak Hendra menolak ajuan cutiku. Posisiku sebagai chief manager di perusahaan ini
mengharuskan aku menangani kontrak kerja yang diadakan sepekan setelah lebaran.
Buyar sudah impian mudik lebaran bersama keluarga.Terbayang bagaimana Fitri sudah
menyiapkan berbagai macam oleh-oleh untuk keluarga kami. Kebetulan keluargaku
dankeluarga Fitri tinggal di kampung yang sama hanya dibatasi oleh sungai yang
membelah. Dan bagaimana senangnya anak-anak kami dapat bertemu dengan mamak dan
datuk nya. Oh tidak, aku tidak boleh mengecewakan mereka.
" Mi...bagimana kalau ummi saja yang pulang bersama anak-anak?', tanyaku.
"lalu abi bagaimana?" tanya Fitri.
'Yaaa.. habis bagaimana lagi, abi tetap tinggal di Jakarta, ummi dan anak-anak saja yang
pulang ke Padang. Azzam, Ahmad dan Afif pasti rindu dengan mamak dan datuk",
timpalku, "sudah tiga tahun mereka tidak pernah jumpa. Sekalian ummi refreshing kan,
bisa ada yang bantuin momong anak-anak", godaku.

Selama ini kulihat Fitri memang begitu pontang-panting mengurus tiga anak kami yang
masih kecil-kecil. Azzam 5 tahun, Ahmad 3 tahun dan Afif 1,5 tahun. Semua pekerjan
rumah diurusnya sendiri mulai dari mengurus anak-anak, mengurus keperluanku,
membereskan rumah, masak, mencuci dan lain lain. Ditambah lagi kegiatan isteriku
untuk mengisi taklim dan pengajian kesana kemari. Harus kuakui bahwa isteriku ini
memang wanita aktif yang tidak bisa diam. Aktifitasnya yang begitu padat tidak membuat
dirinya merasa lelah. Kalau sering berdiam diri tanpa ada kesibukan, setan selalu
mengusik kita, begitu alasannya.

"Bukannya abi yang justru mau istirahat", kata Fitri, " enak kan bi, nggak dengerin
kecerewetan umi, atau tangisan anak-anak" . Hemm....aku tersenyum kecut
mendengarkan perkataan Fitri. Tetapi dalam hatiku membenarkan apa yang baru Fitri
ucapkan. Ya.. waktu istirahat, pikirku nakal. Tidak mendengar suara teguran isteriku,
ketika aku masuk rumah tanpa membuka sepatu. Atau ketika makan tanpa membersihkan
tangan dengan sabun dan air yang bersih. Atau ketika pergi kantor tanpa menyisir rambut
dengan rapi, menggosok sepatu. Atau...beribu teguran yang selalu terdengar di telinga.
Memang kuakui Fitri mempunyai sifat resik dan disiplin dalam segala hal. Dengan
kesibukannya, kulihat rumah kami selalu rapi dan bersih.

Kebersihan adalah sebagian dari Iman katanya sambil menyitir salah satu hadits
Rasulullah. Anak-anak tidak boleh tidur lewat dari pukul 9 malam dan pukul 4.30 harus
sudah bangun. Setelah membaca koran dan buku harus diletakkan kembali ketempatnya.
Pakaian harus tergantung rapi. Azzam dan Ahmad tampaknya sudah bisa mengikuti pola
yang diterapkan umminya. Mereka menjadi anak yang rajin dan disiplin.Aku yang selalu
memakai pakaian asal comot sekarang harus mematuhi 'peraturan' Fitri. Pakaian kantor,
pakaian rumah, pakaian tidur, pakaian kondangan dipilah-pilahnya, suatu hal yang tak
terpikirkan sebelum aku nikah. Pantas saja teman-temanku sering menggoda, menurut
mereka penampilanku setelah nikah berubah 180 derajat, lebih rapi dan terurus katanya.

Aku yang sebelum menikah tampil asal-asalan, hingga kamar kostku pun terlihat
amburadul, kadang agak jengah juga mendengar 'omelan' Fitri. Sifat kami yang satu ini
memang sangat jauh berbeda, seperti langit dan bumi. Ketika aku mengatakan pada Fitri
agar ia dapat mengurangi sedikit kedisiplinannya dan keresikannya, ia mengelak dan
mengatakan bahwa keluarga muslim harus bersih. Bagaimana kita bisa mendakwahi
orang lain agar terbiasa hidup teratur dan bersih sementara diri kita tidak berbuat
demikian tangkisnya. Atau katanya kami harus malu kepada tetangga sebelah yang
beragama Nasrani apabila rumah kotor, penampilan awut-awutan dan hidup tidak teratur.
Sebenarnya betul juga apa yang dikatakannya. Tetapi sekarang aku mau istirahat di
rumahku sendiri, aku ingin merasakan sebentar kehidupan seperti dulu sewaktu kost dan
sebelum menikah. Bebas......

****

Pulang dari mengantar Fitri dan anak-anak ke Cengkareng, 10 hari sebelum Idul Fitri,
rumah tampak begitu lengang sekali. Aku bisa beristirahat dan tenang beriktikaf pikirku.
Adzan maghrib terdengar, bismillah... kuhirup air putih dari kulkas. Tidak ada teh hangat
dan kolak kesukaanku yang biasanya menemani berbuka puasa. Setelah sholat maghrib
kuambil nasi dari rice cooker dan rendang buatan Fitri yang tersimpan di lemari es. Aku
malas sekali untuk menghangatkannya. Biarlah... nasi putih plus rendang dingin menjadi
santapanku kali ini.
Oh ya, aku harus segera pergi ke Masjid Baiturrohman sekarang. Ada janji sholat tarawih
dan pengajian Ramadhan. Piring-piring dan gelas bekas makan kubiarkan saja tergeletak
di meja. Kuambil baju sekenaku dan tancap gas menuju masjid karena tak ada waktu
lagi.

****

Tidak terasa Ramadhan sudah hampir berlalu. Ini adalah malam Idul Fitri, terdengar
suara takbir menggema di masjid-masjid. Ramai sekali. Suara takbir nan merdu. Tiba-tiba
aku tersadar dan merasa hampa. " Ya..Alloh, aku begitu rindu kepada isteri dan anak-
anakku......aku rindu dengan celoteh dari mulut-mulut kecil mereka, tangis mereka, atau
senandung do'a yang sering mereka suarakan, dan juga rindu dengan senyum Fitri, serta
teguran-tegurannya". Butir-butir kristal berjatuhan tak terasa di atas sajadah panjangku.
Tangiskupun tak dapat ku bendung lagi. Ramadhan, bulan yang penuh berkah akan
meninggalkanku dan kerinduanku akan keluargaku membuat aku tak bisa menahan
tangis.

Disuasana ramai seperti sekarang ini hanya kesunyian yang aku rasakan. Aku merasa
Alloh mencabut sementara nikmat yang telah diberikanNya. Yaitu nikmat berkumpul
dengan keluarga. Terasa sekarang ini betapa nikmat itu ternyata merupakan karunia
besaar sekali, yang tidak pernah kusadari selama ini. Nikmat kesenangan berkumpul
dengan keluarga kurasakan setelah nikmat itu tidak ada untuk sementara.

Aku ingat bagaimana wajah Fitri yang mendadak cemberut ketika aku pulang kantor
tanpa melepas sepatu walaupun kulihat dia sedang mengepel lantai. Atau bagaimana
kesalnya ia ketika aku memporak-porandakan lagi lemari buku yang baru saja
dibereskannya hanya karena ingin mencari sebuah buku saja. Kuingat pula kurang lebih 4
bulan yang lalu ia mengatakan dengan sangat hati-hati kepadaku bahwa mengurus
Azzam, Ahmad dan Afif lebih mudah ketimbang mengurusku. Aku yang mendengarnya
hanya tersenyum geli, dan dengan santai kujawab bahwa aku terlalu sibuk dengan
pekerjaan di luar rumah. Perasaan bersalah menumpuk di dada, aku yang seharusnya
membantu meringankan beban Fitri malah membuat pekerjaanya bertambah. Maafkan
aku Fitri, karena telah membuatmu bertambah repot selama ini..... Ramadhan kali ini
telah memberiku banyak pelajaran.
Pagi-pagi aku bersiap untuk menunaikan shalat Idul Fitri, kucari baju yang cocok. Tetapi
tak ada baju yang sesuai di lemari pakaian. Kulihat di ujung kamar ada seonggok pakaian
kotor yang belum sempat kucuci apalagi kuseterika. Terpaksa aku mengambil baju baru
yang masih terbungkus plastik. Andaikan Fitri ada pasti dengan sigap ia menyiapkan
segala keperluanku. Kutolehkan pandangan ke sekitar rumah.....ooou, rumah tampak
kotor sekali. Piring-piring dan gelas kotor menumpuk di dapur, lantai tampak kusam,
jendela berdebu, buku dan koran berserakan di mana-mana. Di halaman bunga bunga
kesayangan Fitri tampak layu dan daun-daun kering berguguran dimana-mana. Tak sejuk
dipandang mata.

Aku bergegas melangkah menuju lapangan untuk menunaikan Shalat Idul Fitri. Di jalan
terlihat banyak anak-anak kecil bergandengan riang dengan kedua orang tua
mereka....senang sekali .Tiba-tiba aku merasa cemburu sekali, itu sebabnya pulang dari
shalat Idul Fitri segera kutelepon mereka dan kukatakan agar sesegera mungkin mereka
kembali ke Jakarta. Rinduku tak tertahan lagi.

****

Hari ini aku bahagia sekali isteri dan anak-anakku telah tiba kembali di Jakarta. Di
perjalanan pulang dari Bandara Soekarno-Hatta, banyak sekali cerita-cerita lucu yang
kudengar. Bagaimana Azzam berceloteh tentang keheranannya melihat kerbau yang
dilepas begitu saja di sawah. Ahmad yang gemar mengejar bebek di halaman. Tak
ketinggalan pula Fitri begitu semangat menceritakan bagaimana mamak senang sekali
pada Afif yang menurutnya amat mirip dengannya. Subhanalloh ...mereka adalah Qurrata
'ayun bagiku. Diam-diam kubaca do'a "Robbana hablanaa min azwazina wa dzuriyatinaa
quratta'ayun waja'alna lilmutaqina imamah". Terima kasih ya Alloh ..... Engkau telah
memberiku anak-anak yang sholeh, sehat dan pintar. Engkau telah memberiku isteri yang
sholehah, baik, dan rajin.

Namun begitu tiba di rumah raut muka Fitri yang cerah terlihat berubah seketika...... Ia
terdiam dan kemudian terpekik......."Masya Allah abi,..... ini rumah apa kapal pecah?"
Dalam hati aku sudah menduga. " Maafkan aku Fitri, insya Allah ini yang terakhir
kali......" bisikku seraya membantunya membereskan semuanya. (wi)

MERENDA KESABARAN
A. Iffah Islamy

1 Mei 1998
Sudah satu minggu aku bekerja di sini, di klinik umum yang terletak
jauh di sudut kota. Hari-hari terasa begitu lamban bergulir, membuat
kepenatan terasa sesak menggunung. Ya, aku memang tak kerasan di
sini, ingin pergi saja dari sini, melamar kerja di tempat lain. Aku
kecewa, kecewa sekali melihat realitas di klinik ini. Katanya klinik
yayasan Islam, mengapa dokternya tak mengenakan jilbab?
Bukankah itu juga merupakan dakwah Islam? Harga obat di sini juga
lebih mahal dibanding klinik lain, bagaimana bisa membantu rakyat
miskin? Apalagi dokter Edo sang wakil direktur, sikapnya kepada rekan
wanita tiada kesan menjaga hijab. Ah, dia yang biasa mengisi kajian
ternyata hanya seperti itu. Okey, aku tak menuntutnya untuk over
menundukkan pandangan, tapi minimal dia bisa jaga jaraklah. Eh, kok
jadi ng-gibah? Tentang gaji? Jangan ditanya, minim deh. Tidak cukup
untuk biaya kos dan makan sebulan. Harus super hemat. Kamu tahu
jam kerjanya, Diar? Dua shift, kalau dinas pagi pukul 07.00-17.00
sedangkan dinas malam pukul 17.00 sampai 07.00. Perawatnya lima
orang, padahal di sini ada rawat inapnya dan pertolongan persalinan.
Kebayang nggak capek, monoton, dan penatnya?

15 Mei 1998
Untuk kesekian kalinya aku menangis usai salat malam di musala klinik
ini. Allah, hanya Engkau tempat mengaduku.
Allah, di sini letih..., di sini berat..., di sini...
Allah, hamba ingin pindah dari sini... tapi hamba malu pada-Mu.
Bukankah Engkau selalu memberi yang terbaik? Bukankah Engkau tak
pernah menzalimi hamba-Mu? Bukankah semua ini demi kebaikan
hamba-Mu? Allah, andaikan Engkau menghendaki hamba di sini,
maka... kuatkanlah hamba, sabarkan hamba, mohon beri hamba
kemudahan dan rasa ringan menjalani semua ini.

20 Juni 1998
Pusing, itulah yang kurasakan saat ini. Kepalaku terasa berat, perutku
mual, badanku terasa lemah sekali. Setelah membuat laporan dinas
malam, terbayang di pelupuk mataku alangkah nikmatnya tidurku
siang ini. Arlojiku menunjukkan pukul 08.00 pagi, saat aku mengambil
air wudu untuk salat Duha. Melepas kepenatan kerja yang kumulai
sejak pukul 17.00 kemarin, bayangkan berapa jam aku harus bekerja
setiap harinya? Apalagi tadi malam hampir tak istirahat. Ada pasien
melahirkan, ada pasien kecelakaan lalu-lintas yang harus dijahit
lukanya, dan pagi ini ada pasien opname baru. Buka puasaku kemarin
air teh saja, makan malamnya sedikit karena buru-buru, semalam
hampir tak tidur. Ini mungkin yang membuat tubuhku lemah ya? Allah,
latihlah hamba merenda hari-hari penuh kesabaran...
Sabar adalah berusaha agar hati kita senantiasa husnudzan pada-Nya,
menerima segala ketentuan-Nya walau kadang terasa pahit,
menyakitkan, dan menimbulkan keresahan yang dalam pada jiwa kita.
Semua itu karena kekerdilan jiwa kita yang belum mampu memetik
hikmahnya.
Seringkali dahan pepohonan lebih banyak bercabang usai ditebang,
dan sekian banyak dahan akan bertunas usai dilukai. Bismillah, segala
kepahitan semoga lebih mendewasakan jiwaku, mematangkan
kepribadianku, hingga aku lebih tenang menghadapi kehidupan ini,
lebih sabar menerima garis-Nya.

5 Juli 1998
Subhanallah...betapa lucunya bayi ini. Gemes rasanya. Luar biasa
perjuangan ibunya untuk melahirkannya. Bayangkan, 4.100 gram lahir
spontan. Putra pertama lagi! Rata-rata berat bayi yang lahir di sini
3.000-3.500 gram. Mendengar tangisnya yang melengking tinggi saat
sang ayah membisikkan adzan di telinga mungil itu, mengalirkan rasa
bahagia tersendiri. Ya Allah, bukankah fenomena alam ini sering
menggambarkan bahwa kebahagiaan selalu melalui proses panjang?
Aku mengingat-Mu dalam tetes bening tertahan, kala memandang
sang ibu mencium pipi gembul itu penuh kasih. Duhai, sudahkah ia
lupa dengan sakit tak terperi yang dirasakan tadi? Dengan rintihannya
yang bisa membuat orang lain pingsan bila tak biasa mendengarnya?
Betapa sebuah keikhlasan dan kesabaran telah meringankan berbagai
macam bentuk ujian berat kehidupan ini. Bagian dari kesabaran adalah
melatih jiwaku untuk mampu memetik hikmah dari kehidupan ini, dari
setiap pasien yang di hadirkan-Nya untukku.

10 November 1998
"Lho, Tya, kamu bekerja di sini?"
Itulah pertanyaan Hani usai menghadap direktur klinik ini, untuk
melamar kerja.

Sayang permohonannya ditolak. Sebuah klinik dengan 24 jam praktik


dan 5 orang perawat, telah dirasa cukup oleh direktur. Pertemuan itu
kugunakan untuk bernostalgia selama aku bersamanya di AKPER dulu.
Ya Allah, bukankah aku lebih bahagia darinya? Sabar adalah pandai
mensyukuri nikmat-Nya dalam tiap episode kehidupan ini. Juga nikmat-
Nya kerja di klinik ini. Oh... Allah, betapa nikmat ini mahal sekali.
Terbayang Hani ke sana-ke mari dengan ijazah di tangan. Allah tahu
yang terbaik untuk kita, Han. Doaku untukmu.

1 Desember 1998
Sabar adalah merasa bahagia apabila kita bisa membuat orang lain
tersenyum, apabila kita bisa membahagiakan orang lain.
Diary, ada kisah manis untumu. Hari ini ada bayi lahir di taksi. Heboh
ya? Saat sedang berbuka puasa seorang teman memanggilku. Ya Allah,
kepalanya sudah menyembul sedikit! Taksi itu penuh darah! Amira
mengambil posisi untuk memegang kepala bayi, Ruli berlari cepat ke
ruang bersalin mengambil peralatan persalinan. Aku dan Amira berzikir
tiada henti daN terus memberi semangat sang ibu untuk terus
mengejan. Aduh! Ibunya kehabisan tenaga pas sampai di leher bayi.
Oksigen siapkan! Allahu Akbar... Allahu Akbar.. ayo, Bu, terus
mengejan, terus..terus...Ibu tidak boleh berhenti. Ya...ya... sambung
terus, yang kuat, Bu. Ya Rabb... lilitan tali pusat! Amira dengan tangkas
memotong tali pusat yang melilit di leher bayi. Bismillah...bismillah
ngejan sedikit lagi, Bu... Alhamdulillah... lahirlah sang bayi suci dengan
tangisnya yang amat melegakan hati.
"Makasih, Nak...makasih...," seorang ibu tua dengan mata berkaca-
kaca dan wajah berbinar memandangi kami. Sopir taksi dan semua
yang mengantar melihat dari kejauhan. Mereka saling bersalaman
penuh rona kebahagiaan. Hatiku? Bahagia sekali, ya Rabb.

4 Februari 1999
Sabar adalah meniti hari-hari dengan memelihara yang selama ini
kurintis. Muslimah yang tenang, matang, dan dewasa. Begitu sulitnya.

Hari ini aku kena marah pasien, Diar. Dia membentak-bentakku penuh
emosi. Why? Anaknya kejang lagi dan aku tak cepat datang saat
dipanggil. Seperti biasanya kalau pagi yang dinas dua perawat, saat itu
Ruli sedang melayani imunisasi. Dan aku? Masih baru melepas mukena
saat pasien memanggilku, padahal "doa harian" usai salat Duha
kubaca dengan ‘kilat’. Tergesa-gesa aku naik lantai dua, tempat pasien
opname. Kulakukan tindakan seperlunya, kutekan lidahnya dengan
alat, kukompres alkohol. Syukurlah, seiring panasnya menurun,
kejangnya berhenti. Ayahnya masih menggerutu padaku. Kucoba
bersikap setenang mungkin, kala menanggapi gerutunya dan
pertanyaan-pertanyaannya. Kuingin menghapus ingatan, betapa ia
baru saja bersikap kasar padaku.

5 Februari 1999
Sabar adalah tiada letih berdoa, meminta kepada-Nya. Yakin, suatu
saat akan dikabulkan-Nya. Tidak hari ini, ya esok hari. Tidak di dunia,
ya di akhirat.
Hari ini aku libur, Diary. Subhanallah, nikmatnya...kubuka jendela
kamarku, angin sejuk terasa mengalir pelan di dadaku. Segar. Diary,
tahukah kamu apa yag kumaksud dengan "doa harian" usai salat
Duha? Doa ini mulai kubaca tujuh tahun yang lalu, saat usiaku masih
20 tahun. Dan hari ini akan kuulangi lagi, terus... Diary, inilah pintaku
pada Dia...
Ya Allah, bimbinglah hamba-Mu ini menjadi wanita yang salehah, yang
memiliki keteguhan akidah, kemantapan iman, kekuatan jiwa,
kehalusan, kelembutan, kesabaran, kematangan, dan kedewasaan.
Ya Allah, bimbinglah hamba untuk mempersiapkan diri menjadi istri
dan ibu yang salehah. Yang mencintai-Mu dan Rasul-Mu di atas segala-
galanya, berbakti kepada suami, sabar, dan telaten mendidik putra-
putri hamba semoga menjadi mujahid dan mujahidah-Mu.
Ya Allah, Engkaulah yang berhak memilihkan pendamping hidup
hamba. Semoga Engkau memilihkan dari pria Muslim yang saleh,
teguh dalam menegakkan dien-Mu, dan pandai mensyukuri nikmat-Mu.
Diary, mataku basah.

20 Maret 1999
Bersabar dan lipat gandakan kesabaranmu. Ya, bagian dari kesabaran
adalah

menguatkan kesabaran yang kita miliki.


Allah, dua hari yang lalu Dik Titin bilang bahwa dia dikhitbah seorang
lelaki saleh. Dik Titin menggodaku, Mbak Tia kapan nih undangannya?
Kok tenang-tenang saja, nggak pingin ya?
Lia, Rina, dan Novi teman kajianku semasa SMA, semua sudah nikah.
Lia anaknya tiga, sama dengan Rina. Novi sudah punya jundi kecil satu
sekarang ikut suaminya tugas belajar di Yaman.
Dan saat ini? Adik binaanku—Dik Titin—meminta izin padaku. Nggak
pingin? Aku bahkan sudah rindu untuk memeluk kepala mungil di
dadaku, juga mendengar celoteh riangnya yang khas. Memainkan jari
jemari yang imut dan menggemaskan. Hmm...

2 Mei 1999
Sabar adalah berikhtiar maksimal, hasilnya kita serahkan pada Dia.
Satu catatan, ikhtiar itu harus sesuai dengan aturan-Nya, rambu-Nya.
Allah, hari-hari bersama-Mu…
Hari ini aku jadi panitia sembako murah dan tim kesehatan dalam
pengobatan gratis yang diadakan sebuah yayasan. Bahagia bahwa
ternyata aku bisa berbuat sesuatu untuk umat, bisa mengamalkan ilmu
yang kumiliki untuk rakyat lemah yang membutuhkan.
Ya...ya...aku harus berikhtiar untuk mengisi hari-hariku dengan sesuatu
yang bermanfaat, karena ternyata masih banyak yang belum
kuperbuat untuk umat di usiaku yang menjelang tangga ke 28 ini.

11 Juni 1999
Ting tong, ting tong, ting tong....
Pukul tiga dini hari, kala aku mengambil pena ini. Kesejukan dan
kepasrahan pada-Nya menyelimuti hatiku. Damai. Aku baru saja salat
Hajat, mohon pada-Nya agar Dia mengaruniakan kemudahan padaku
untuk bertemu dengan pendamping perjuanganku di jalan dakwah ini.
Diary, hari-hari terahir ini hatiku labil lagi. Why? Seminggu yang lalu
dalam kondisi sakit Ibu menanyakan padaku, "Tia, Ibu ingin melihatmu
menikah. Ibu sudah tua, Nak, sudah 70 tahun." Duh, perasaanku
seperti

diaduk-aduk. Ah, harus bagaimana aku mengkondisikan hatiku,


menstabilkan diriku?
Sabar adalah...menyadari bahwa tiap episode adalah wujud
pertolongan-Nya. Ingat, Tia, wujud pertolongan-Nya dan terkabulnya
doa kita tidak selalu sama persis dengan apa yang kita inginkan, tidak
selalu sama persis dengan apa yang kita harapkan. Allah punya cara
sendiri untuk mengatur hidup kita, disegerakan-Nya apa yang baik
untuk kita, ditunda-Nya apa-apa yang tak baik untuk kita saat ini. Ya,
pertolongan Allah mungkin berwujud lain agar kita tak terperangkap
dalam kesengsaraan. Tergantung bagaimana kita bisa sabar,
bersyukur, dan ridho dengan keputusan-Nya.
Ya Rabb, bimbing hamba merenda kesabaran dan bahagiakanlah
ibunda dengan cara yang terbaik menurut-Mu. Amiin.

25 Juli 1999
Sabar adalah mensyukuri nikmat-Nya dengan memanfaatkan segala
yang kita miliki untuk menegakkan Dien-Nya, sebelum Dia mengambil
dengan cara yang terbaik menurut-Nya.
Diary, esok usiaku genap 28 tahun. Mbak Afi, pembimbing mengajiku,
mengajakku ikut rombongan medis untuk pengungsi Sambas yang saat
ini kondisinya sangat memprihatinkan. Kesempatan yang tak boleh
kusia-siakan... mungkin dengan cara inilah aku bisa berbuat sesuatu
untuk dien ini. Ya, dengan ilmu keperawatanku ini.
Buat Mbak Rida dan hatiku yang tengah merintis...

Muka
MENEBAR KEDAMAIAN

Baru kali ini selama 5 tahun perkawinannya, Astiti benar-benar tidak mengerti dengan
tindakan Iwan suaminya. Iwan, seorang lelaki yang alim dan sholeh membuat keputusan
untuk mengontrak rumah di daerah yang lingkungannya benar-benar tidak "bersih". Sejak
dipindah tugas oleh kantornya di daerah ini, maka mau tidak mau kami harus mencari
kontrakan lagi di daerah yang dekat dengan kantor suaminya. Untuk bertahan tinggal di
tempat dulu, rasa-rasanya tidak mungkin lagi karena gaji suaminya akan ludes hanya
untuk transport dan lagi jaraknya cukup jauh.
Sebenarnya rumah yang akan mereka tempati nanti sangatlah ideal, dan lagi harga
sewanya yang cukup murah untuk rumah se type ini, sepetak rumah ukuran 100 meter
persegi ditambah pekarangan yang mengelilingi cukup luas. Tempat seperti ini tidak
pernah dijumpainya pada "rumah-rumah" nya terdahulu.Tetapi hanya satu yang membuat
Astiti tidak suka, yaitu lingkungan sekitarnya yang amat sangat tidak mendukung. Di
ujung gang masuk terdapat warung temapt berkumpulnya pemuda-pemuda yang suka
mabuk. Kalaulah sudah malam hari suara "genjrang-genjreng" irama musik sangat
memekakkan telinga ditambah lagi lingkungan tetangga di daerah ini sangat tidak
familiar menurut Astiti. Atau mungkin melihat penampilan Astiti yang lain dari
kebanyakan wanita disini dengan menggunakan kerudung yang selalu menutup auratnya.
Juga satu lagi yang membuat Astiti paling tidak suka adalah di gang sebelah terdapat
sebuah rumah "bordil" sarang maksiyat. Kata orang-orang di sekitar sini rumah bordil
tersebut tanpa ijin Pemda setempat alias beroperasi secara gelap tetapi tergolong besar.
Tetapi Astiti tidak perduli, mau gelap kek terang benderang kek kalau yang namanya
sarang maksiyat tetap saja berdosa, dan sampai saat ini Astiti tidak pernah dan tidak akan
mau melihat atau melewati gang sebelah. Ihh Astiti bergidik... Naudzubillahi min dzalik.

"Ada apa dek..kok melamun terus sih...udah selesai belum membongkar kotaknya ?"
Teguran mas Iwan membuyarkan lamunan Astiti.
"Hhemmm...mana bisa beres sih mas dalam waktu singkat" jawab Astiti dengan ogah-
ogahan.
"Yaaa..mana bisa cepat selesai kalau sama ngelamun begitu...ada yang bisa di bantu
dek..?" tanya Iwan ramah.
"Banyak sih kalau mau bantu..... itu kotak-kotak di ruang tamu sama sekali belum aku
bongkar, kotak yang sudah dibongkarpun belum sempat aku bereskan " Jawab Nastiti
agak meninggi..entah karena letih atau hatinya kurang sreg tinggal di rumah baru ini.
"Ya sudah sini biar mas bantu..pokoknya tanggung beres deh.." Iwan menyahut dengan
sabarnya.
Memang kalau Astiti sudah terlihat bersungut-sungut terus pertanda hatinya diliputi
perasaan kesal dan kalau sudah begitu Iwan tidak akan menanggapi...percuma kalaupun
ditanggapi pun nantinya akan meletuplah pertikaian-pertikaian kecil.

Walaupun sudah sepekan mereka boyongan ke rumah baru tersebut, tetapi Astiti masih
malas membongkar kardus-kardus barang dan segera merapihkannya. Bahkan ada
bebrapa kardus memang sengaja tidak di bongkar olehnya. Karena Astiti berharap
kepindahan di rumah ini tidak akan lama. Dan ia berharap Iwan segera dipindah lagi
tugas kantornya ataupun kalau tidak mereka menemukan rumah kontrakan lagi yang
lebih indah lingkungannya.

Enggan pula Astiti untuk melakukan silaturahim dengan tetangga kanan kirinya. Pikirnya
percuma saja diajak menuju kebajikanpun susah akan berhasil. Alhasil selama ini Astiti
hanya mengurung diri dan anak-anaknya di dalam rumah saja. Pertama yang ia takutkan
adalah banyaknya "virus-virus" yang akan menggerayangi anak-anaknya, apalagi
Abdullah sudah berusia 3 tahun dan Ahmad 1 tahun akan mudah sekali meniru apa yang
dilihat dan didengar Entah apa omongan para tetangga yang beredar Astiti tidak mau
tahu. Bahkan Astiti pun melarang mbok Yem khadimat yang telah menemaninya
semenjak ia anak-anak untuk tidak bergaul terlalu dekat dengan tetangga sekitar.

Semenjak Astiti kecil memang dilahirkan dalam lingkungan yang bersih, dan tidak
pernah terlintas sedikitpun di dalam pikirannya tinggal di daerah seperti ini. Masa kanak-
kanaknya dihabiskan di lingkungan pesantren, karena Ayahnya termasuk pengajar
pesantren. Kemudian ketika menginjakkan kakinya di bangku perguruan tinggi, teman-
temannya banyak sekali orang-orang yang aktif dalam kajian keislaman dan Astitipun
meleburkan diri dalam aktifitas tersebut. Bahkan setelah menikah dengan Iwan tempat
tinggalnya tak jauh dari pusat pendidikan Islam yang besar sehingga lingkungan
sekitarnya banyak sekali para keluarga Islami yang menyekolahkan anak-anaknya di
sekolah tersebut. Jadi selama ini Astiti selalu tinggal di daerah yang bersih dan terisolasi
dari virus yang merusak iman.

Siang itu Astiti pulang dari belanja dan seperti biasanya ia naik mikrolet. Ketika turun
dari mikrolet tiba-tiba terdengar celetukan orang dari dalam.
"Ehh..nggak nyangka pake jilbab turunnya di warung mang Dirun.."
Deg...Asititi terhenyak mendengar celetukan salah seorang penumpang di mikrolet.
Ternyata warung mang Dirun tempat berkumpulnya para pemuda berandalan itu terkenal
akan kejelekannya.
Perasaan Astiti jadi tak menentu.Sesampai dirumah ia menangis menjadi-jadi. Semakin
tak betahlah Astiti tinggal di daerah ini. Kesal juga ia tujukan kepada Iwan suaminya,
mengapa begitu teganya memilihkan tempat tinggal di lingkungan ini untuk keluarganya.
Malam hari sepulang Iwan pulang dari kantor, Astiti menguraikan perasaan yang
menggumpal di dadanya.
"Mas...kok begitu tega memilihkan tempat tinggal di daerah ini buat kita" tanya Astiti
"Emangnya..kenapa to dek..dek..bukannya dimanapun di Bumi Allah itu sama" timpal
Iwan
" Lho bagaimana sih Mas Iwan ini, lha dekat tempat maksiyat kok ya di jadikan alternatif
tempat tinggal...emang nggak ada tempat kontrakan lagi yang lebih baik.."
"Ada sih dek tapi itu di perumahan elite seberang jalan, kalau dek Asti mau tinggal di
sana gaji Mas nggak cukup..maaf ya dek" canda Iwan.
"Mas Iwan sih enak, pergi pagi ke kantor pulang sudah menjelang maghrib, sedangakan
aku... mas yang disini sepanjang hari sudah tidak betah melihat berbagai kemaksiyatan di
depan mata"
Astiti semakin kesal saja dengan Iwan yang masih bisa bercanda padahal ia sudah
gondok sekali.
"Sebenarnya sebelum Mas putuskan untuk memilih tempat tinggal disini, sudah putar
kesana kemari mencari kontrakan. Ada yang di gang samping kiri itu rumahnya kecil
sekali hanya ada satu kamar tetapi kontrakannya 2 kali lipat di sini. mas juga heran dek
mengapa harga kontrakan rumah ini begitu murah..
Menurut pak RT, karena yang menempati rumah sebelum kita ditemukan bunuh diri
dengan gantung di pohon mangga di pekarangan. Hemm apa itu yang membuat dek Asti
takut tinggal disini..."tukas mas Iwan
"Masya Allah mas...biarpun ada seratus demit, jin dan sebangsanya mengganggu kita
..Insya Allah aku nggak takut mas.."
"Bener nih.." selidik mas Iwan.
"Rasulullah kan bersabda apabila hendak mencari tempat tinggal, kita juga harus melihat
tetangga kiri kanan alias kita juga harus memperhatikan lingkungannya.." timpal Astiti.
"Lalu de Asti mau apa...mau pindah, atau mau tinggal di rumah bapak ..." tanya Iwan
dengan sabarnya.
Astiti terdiam seribu bahasa.
"ya..memang idealnya rumah yang akan ditempati memang seperti demikian. Tetapi
kalau kondisinya seperti ini bagaimana dek...Lagian Mas sudah membayar uang
kontrakan selama setahun, sayang khan kalau kita sudah keburu pindah.."Iwan
menjelaskan.
Astiti tetap berdiam saja.
"Sabar dulu ya dek...Insya Alloh ini merupakan ujian bagi kita. Dimanapun juga kita
tinggal yang namanya ujian itu pasti ada dari Alloh. Nah itu artinya kita sebagai orang
beriman karena Alloh mendatangkan ujian buat hambanya..." jelas Iwan, "Tinggal
bagaimana kita bisa melaksanakan ujian ini atau tidak, artinya kita dapat tinggal di daerah
ini tanpa kita teracuni, dan yang terpenting bagaimana kita dapat ber'amar ma'ruf nahi
munkar terhadap tetangga.."

Kalau sudah begini Astiti sudah tidak dapat mengelak lagi argumen Iwan, karena yang
dikatakannya memang ada benarnya. Tinggal bagaimana Astiti menterjemahkan kata
sabar dalam kehidupannya sekarang ini. memang benar-benar harus sabar karena tidak
terdengar suara adzan Duhur , Asar serta isya', sebagai gantinya terdengar nyanyian
musik dangdut. Hanya terdengar adzan Maghribdi surau yang amat sangat kecil dan
jarang dipenuhi jamaah.

Siang ini terjadi sebuah insiden kecil di dapur Astiti. Rupanya mbok Yem terburu-buru
memasukkan minyak di dalam kompor dan minyak berceceran kemana-mana, sehingga
ketika akan dipakai kompor tersebut meledak dan menimbulkan suara keras.
Astiti yang baru saja menyelesaikan shalat duhur di kamar menjadi panik. Ia langsung
menyambar Ahmad dan Abdullah yang sedang tertidur lelap. Mereka berdua merupakan
kekayaan yang paling berharga buatnya di dunia ini. Dan segera memerintahkan mbok
Yem segera pergi. Terlihat tangan mbok Yem sebelah kiri agak melepuh. mungkin sedikit
terkena jilatan api. Keluar rumah Astiti langsung berteriak minta tolong, segeralah
berdatangan para tetangga untuk menolongnya. Sedangkan dari arah warung mak dirun,
para pemuda yang biasanya berkongkouw-kongkouw langsung masuk ke rumah Astiti,
sekitar lima belasan orang pemuda masuk dan segera membantu memdamkan api yang
menjilat dapur Astiti. Tampak semangat sekali mereka. Ada yang mengambil air di
sumur, ada yang menyemprotkan air dari keran, ada yang mengambil pasir untuk
disebarkan ke arah api.

Sedangkan Astiti bersama dua anaknya dan mbok Yem berada di rumah mbak Marni
tetangga sebelahnya. Mbak Marni mengambilkan air putih untuk Astiti, dan mbak Lastri
tetangganya pula membantu meredakan tangis Ahmad yan kaget melihat kejadian di
rumah nya.
"Bu Iwan...sabar ya bu...ini air putih ayo diminum dulu, ayo mbok Yem di minum juga "
suruh mbak Marni.
"Terima kasih ya mbak Marni" ucap Astiti lirih.
Pada saat genting seperti ini Ia hanya pasrah kepada Allah saja.
"Bu..kalau api belum bisa padam nanti bisa tidur di rumah saya saja, kasihan anak-anak"
ajak mbak Marni.
Astiti hanya bisa mengiyakan, di dalam hatinya hanya berdoa agar api tidak menjalar
kemana-mana.

Suasana jalan di rumahnya, siang ini benar-benar ramai sekali. Tetangga-tetangga Astiti
bahu membahu memadamkan api yang ada di rumah Astiti.
Alhamdulillah tidak sampai setengah jam api berhasil di padamkan, berkat kerja keras
para warga dan juga bantuan pemuda-pemuda itu yang berani memadamkan api sehingga
jilatannya hanya sampai dapur saja. Itupun hanya daerah di sekitar kompor saja yang
terkena, barang-barang lain di dapur dapat diselamatkan.

Kejadian siang itu, telah membuka hati Astiti. Ternyata para pemuda yang selama ini
amat dibencinya, telah membantu keluarganya untuk memadamkan api.
Ternyata mbak Marni tetangga sebelah rumah, yang bekerja pada malam hari, dan sempat
membuat Astiti menjadi tak suka telah banyak membantunya.
Ternyata mbak Lastri, mbak Mur, mbak Rini yang sering berdandan menor juga
membantu Astiti dengan suka rela.
Ternyata bu Dedeh, bu Jali, bu Anom yang sering terlihat oleh Astiti ngerumpi di mana-
mana mambantunya pula....

Dari kejadian ini Astiti segera tersadar bahw sebenarnya mereka pada dasarnya adalah
orang-orang yang baik, tetapi mungkin tidak ada yang mengarahkan jadilah masyarakat
seperti ini. Selama ini ternyata ber amar ma'ruf nahi munkar yang Astiti terima hanya
sebatas konsep-konsep belaka dan belum pernah dipratekkan dalan kehidupan sehari-
harinya.

Kemudian segera Astiti mendiskusikan dengan Iwan suaminya bagaimana cara-cara


berdakwah di lingkungan seperti ini. Tentu saja Iwan senang sekali mendengar penuturan
dan semangat Astiti. Akhirnya mereka berdua membagi tugas, stiti mencoba mendekati
para ibu dan anak-anak sedangakan Iwan mencoba mendekati para pemudanya. Di sela-
sela kesibukan yang menumpuk, mereka berdua mencoba mengimplementasikan konsep
dakwah yang pernah dipelajari.

Pertama-tama yang dilakukan Astiti adalah mencoba mendekati anak-anak kecil. Astiti
mengundang sekitar 30an anak -anak seusia 4 tahun sampai 7 tahun dengan alasan
syukuran.Dibuatkan kantng-kantong kecil berisi permen dan biskuit. Permainan anak-
anak yang meriah di pekarangan rumahnya yang cukup luas dibuatnya. Kalau sudah
begini Astiti bersyukur sekali mempunyai pekarangan rumah yang cukup luas.Setelah
capai bermain, anak-anak diajaknya berkumpul untuk dicoba mengetahui hafalan surat
dan sedikit pengetahuan tentang agama. Cukup shock juga Astiti terhadap anak-anak
seusia tersebut ternyata tidak hafal dengan surat Al Fatihah. Tetapi lagu-lagu dangdut
mereka cukup fasih melantunkannya.

Sekarang kalau sore hari, anak-anak banyak yang bermain di pekarangan rumah Astiti.
Sekarang mereka tidak takut terhadap sosok Astiti, yang menurut mereka dahulu terlihat
amat galak. Astiti tersenyum sendiri. Lama-lama anak-anak yang suka bermain di
pekarangan rumah diajak untuk shalat Maghrib berjamaah dengannya, tentu saja hal ini
merupakan sesuati yang baru bagi anak-anak itu. Tetapi mereka menyambut dengan
senang. Kemudian dilanjutkan dengan belajar mengaji.
Semakin lama jumlah anak-anak yang sering menyemarakkan rumah Astiti bertambah.
Kalau dulu hanya sekitar 10 orang, sekarang berjumlah sekitar 25an anak. Kadang Astiti
semakin kewalahan karena banyaknya. Dan ia sekarang dipanggil ibu Haji oleh anak-
anak itu, ia hanya meng amin kan mudah-mudahan terkabul cita-cita mulia ini.

Sambutan positif ternyata juga bergaung pada ibu anak-anak tadi. Ibu-ibu di lingkungan
ini ada yang meminta tolong agar Astiti mengajarkan membaca Alquran. Tentu saja
kesempatan emas ini tidak disia-siakan olehnya. Tersebutlah nama mbak Marni, mbak
Lastri, mbak Mur, bu Dedeh, bu Anom dan ibu- ibu lainnya menyemarakkan rumah Astiti
untuk belajar membaca Alqur'an dan juga di selingi oleh Astiti untuk mengajarkan Islam.

Iwanpun tak ketinggalan pula dalam mencoba beramar ma'ruf nahi munkar. Para pemuda
yang sering berleha-leha di ujung jalan sering pula bertandang ke rumah.Mereka salut
terhadap Iwan, karena Iwan yang berpendidikan tinggi mau bertutur sapa dengan mereka
yang rata-rata pemuda putus sekolah dan pengangguran.

Sekarang pun jarang dijumpai para pemuda-pemuda itu ber mabuk-mabukan. Tetapi
suara musik yang mereka nyanyikan kadang masih terdengar. Tetapi itupun pada hari
Sabtu malam saja. Kini mereka dikoordinir oleh Iwan untuk mengerjakan suatu
ketrampilan tertentu yang dapat menambah penghasilan. Jamaah di surau pun mulai
ramai. Iwan berusaha menghidupkan aktifitas di surau tua itu. Sekarang suara adzan pun
terdengar lima waktu berkumanadang.

Memang untuk merubah sesuatu secara frontal tidak semudah membalikkan tangan,
tetapi butuh pengorbanan yang besar terutama kesabaran.Astiti dan Iwan berusaha untuk
memutihkan daerah mereka yang dahulu hitam. Tentunya banyak juga halangan yang
menimpa mereka. Tetapi mereka tetap optimis karena Allah lah yang menyertai mereka.

Ada lagi harapan dan cita-cita Astiti..yaitu mencoba memutihkan gang sebelah dengan
lokalisasinya.Yaa tentunya cita-cita mulia ini Insya Allah akan ditegakkannya.
Namun memang butuh waktu untuk itu semua.
Allah akan bersama mereka...............

MENGANYAM KESABARAN

"Kriiinnnggg!" Jam wekker di samping kepalaku berbunyi nyaring. Reflek


kugerakkan tanganku memencet tombolnya. Hmmm, jam 4.45.
Kulihat Aa sudah tidak ada di sampingku, aku bergerak menyalakan heater
dan bergerak menuju ruang sebelah. Di sana kulihat Aa tertidur dengan pulasnya.
Dengan jaket tebal dan sarungnya. Posisinya melingkar membuat tubuh Aa yang
jangkung tampak mengecil. Aku tersenyum. Rupanya Aa shalat malam tanpa
membangunkan aku.
Terlihat terjemahan Al quran yg masih terbuka di samping kepala Aa.
Kututp perlahan terjemahan itu. Kuberjongkok di samping tubuh Aa, tersenyum
memandangi wajah Aa yang terlihat damai sekali.
"A..Aa..!" Kuguncang-guncang bahu Aa pelan. Aa menggeliat sebentar. Tapi seakan tidak
peduli malah membalikkan posisi tubuhnya membelakangiku. Kuulang hal yang sama.
Aa belum mau bangun juga. Kalau sudah begini, cuma ada satu cara yang ampuh.
Usapan air! Aku bergegas menuju dapur dan memutar kran lalu mencuci tanganku.
Siraman air dingin membuat sel-sel sarafku bereaksi seketika.
Rasa kantuk yang masih tersisa lenyap dibuatnya.
Kuusapkan tanganku yang dingin pada wajah Aa. Suamiku terbangun seketika dan
menatapku dengan wajah bangun tidurnya yang lucu.
"Assalamu'alaikum! Sudah mau jam 5..."kataku memandang Aa sambil menahan tawa.
Aa bangkit dari tidurnya,"Hmm..gumamnya masih ogah-ogahan.
"Dede wudhu dulu..awas jangan ketiduran lagi!"ancamku sambil beranjak ke kamar
mandi.
Subuh itu seperti biasa kami selesai shalat berjamaah kami lewati dengan tilawah Al
Quran dan doa Matsurat. Dan seperti biasanya tilawah Aa lebih panjang dari pada lama
tilawahku.
Aku beranjak menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi dan mencuci pakaian. Ketika
aku memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci, ku dengar suara Aa: "De..!Sudah nggak
papa perutnya..?Katanya mulas habis dari Rumah sakit kemarin.."
"Nggak, udah nggak papa, kok."sahutku. Kemarin memang hari di mana aku harus pergi
ke ahli kandungan untuk memeriksakan diri secara rutin tiap bulan.
Sebelum memasukkan obat itu ke dalam tubuhku, dokter wanita yang ramah itu
mengingatkanku, bahwa pengobatan seperti ini memang menyakitkan. Jadi aku bisa
menolaknya kalau tidak tahan. Tapi kupikir-pikir toh sama saja sakit sekarang
atau nanti. Maka kubilang pada dokter tersebut.
"iie. Daijoubu desu. Yatte kudasai, onegaishimasu.(tidak apa-apa. Tolong laksanakan
saja...)" Dokter Abe tertawa.
"Gaman site, ne...(bersabar ya, kalau sakit..)"
Dan benar saja. Perutku terasa diperas-peras, kepalaku gelap. Aku hampir
terjatuh ketika bangkit dari tempat tidur.
"Sebentar akan saya telfonkan taksi untuk mengantar anda pulang ke rumah!"
Kata dokter Abe bergegas keluar.
Aku berterimakasih padanya sambil menahan rasa mual yang tidak dapat kuceritakan
rasanya.
Sampai di rumah aku tak kuat bangun lagi. Sehabis Ashar aku tak sempat
lagi membuat makan malam buat Aa. Ketika Aa pulang, dan mendapatkanku sedang tidur
Aa sendiri yang memasak makan malam. Alhamdulillah, Aa memang mengerti
keadaanku, walaupun sebenarnya tidak mengetahui kejadian yang sesungguhnya.
Tapi beliau tidak marah karena tidak ditemuinya makan malam di meja makan, malah
beliau berinisiatif sendiri untuk memasaknya. Ya Allah terimakasih karena telah Kau
berikan seorang suami seperti Aa, kataku bersyuku dalam hati.
"Hei! Kok, bengong !" Aa mencolek bahuku. Aku terkejut, agak malu ter-
tangkap basah dalam keadaan bengong.
"Masak apa, De..? Mi goreng sajalah ya. Kan mi goreng buatan Aa jaminan mutu.." Aa
bergerak menuju wastafel dapur dan mulai membuka-buka kulkas. Aku mengangguk
saja. Mi goreng adalah masakan kebisaan Aa. Dan harus diakui kadang-kadang rasanya
jauh lebih enak dari buatanku.
Pagi itu kami sarapan pagi dengan mi goreng dan sup miso ala Aa. Sedap
karena Aa menambah rasanya dengan keikhlasan... Dan seperti biasa kami berpisah di
dekat stasiun. Aku ke kiri menuju kampusku yang telah berdiri di sana,sedang Aa ke
kanan, ke arah stasiun karena Aa harus ke kampus dengan kereta listrik.
"Nggak papa, De..? Kuat kuliah..?"tanya Aa lagi sebelum berpisah.
"Insya Allah nggak papa...Lagian cuma sebentar hari ini, seminar saja.
Kan giliran Dede yang harus presentasi.."jawabku berusaha menghilangkan kekhawatiran
Aa.
"Yah, sudah kalau nggak papa. Hati-hati, ya..Assalamu'alaikum!"
Aku mencium tangan Aa dan membalas salamnya. Kutunggu sampai tubuh jangkung Aa
hilang di pintu stasiun.

Aku dan Aa berselisih dua tahun. Kami menikah ketika aku tahun ketiga,
dan Aa sedang dalam proses menyelesaikan skripsinya. Kami berada di fakultas yang
sama, FMIPA, walau berbeda jurusan. Aku kimia, sedang Aa fisika. Alhamdulillah, Allah
menjawab doa-doa kami, dengan memberikan cinta dan kasih sayangNya pada hati-hati
kami. Walau kami tidak berpacaran seperti yang biasa dilakukan orang-orang pada
umunya, ternyata kami bisa cocok dan saling memahami hingga usia perkawinan kami
menjelang tahun ke enam sekarang, tak ada percecokan
yang sampai mengguncang bahtera yang kami layari. Kalaupun ada
mungkin keinginan kami untuk mempunyai anak...Tidak, itu tak pernah mengguncangkan
bahtera. Bahkan boleh dibilang memperkuat ikatan tali hati kami.
Ketika setelah dua tahun menikah Allah belum juga mempercayakan amanah itu pada
kami, aku sendiri masih tenang-tenang saja. Aku memang tidak mempunyai siklus
bulanan yang teratur sebagaimana wanita normal. Tetapi melihat keturunan dari ibu dan
bapak, keluargaku termasuk"subur". Demikian pula Aa. Sampai akhir nya Aa pergi
belajar ke Jepang ditugaskan lembaga yang selama ini memberi Aa beasiswa, dan aku
menyusulnya satu tahun kemudian untuk menemani Aa setelah skripsi
ku yang sedikit berlarut-larut karena aku harus membagi waktuku sebagai seorang
istri dan mahasiswi, selesai disidangkan.
Atas keinginanku yang disetujui oleh Aa, akhirnya kami berdua berkonsultasi pada dokter
ahli kandungan yangsekarang ini. Kebetulan dan alhamdulillah sekali beliau perempuan..
Dan setelah diteliti, ternyata benar dugaanku. Aa normal, akulah yang sakit. Sehingga
sejak satu setengah tahun lalu aku berobat secara intensif. Walaupun belum tampak
hasilnya hingga kini. Namun atas dorongan semangat Aa, aku bisa terus sabar berusaha
hingga kini. Dan aku tahu, Aa juga menunjangnya dengan doa-doa di sujudnya yang lama
setelah shalat, sebagaimana yang juga aku lakukan.

Kesepian menunggu datangnya amanah itu bukannya tak pernah kami rasa-
kan, khususnya aku. Tanpa aku katakan pada Aa apa yang aku rasakan, Aa seakan
mengerti. Sehingga ketika hari tahun ajaran baru universitas dimulai, Aa menyarankan
agar aku melanjutkan sekolah saja. Di rumah sendiri bukannya
tak ada pekerjaan. Pekerjaan menterjemahkan secara bebas artikel-artikel bahasa Inggris
dan kukirim ke redaksi-redaksi majalah, adalah pekerjaan yang sudah kumulai sejak aku
masuk universitas. Lalu kursus Bahasa Arab gratis dengan beberapa teman, ibu-ibu dari
Mesir seminggu sekali. Dan pelajaran bahasa Jepang secara autodidak yang aku lakukan
melalui TV dan majalah berbahasa Inggris_Jepang. Belum lagi pekerjaan rumah tangga,
yang walaupun sebagian besar serba otomatis tetapi membutuhkan kesabaran untuk
melawan kebosanan itu, juga menunggu. Tetapi waktuku yang banyak sendirian di rumah
kadang-kadang membuat aku tak kuat melawan sepi. Dan Aa mengerti benar
kecenderunganku tersebut.
Dan akhirnya aku memilih masuk fakultas pendidikan, dan mengambil spesialisai
psikologi pendidikan. Karena aku melihat Jepang mapan dalam pendidikan dasarnya.
Sedari dulu aku tergelitik untuk mengetahui "resep"nya. Tanpa pikir dua kali aku
menyambut saran Aa. Dan jadilah setahun yang lalu aku mahasiswi di universitas yang
sama dengan tempat Aa sekarang. Walaupun satu universitas tempat kami berjauhan. Dan
kami memutuskan untuk pindah ke tempat yang sekarang.
Hari-hari hanya berdua saja dengan Aa dari sisi lain kurasakan juga sebagai anugerah
Allah pada kami. Karena belum disibukkan oleh anak, membuat aku lebih punya banyak
waktu memperhatikan Aa, berdiskusi banyak hal dengan Aa, dan lain-lain yang
kurasakan sangat mendekatkan aku dengan Aa. Jalan-jalan pagi atau sore sepanjang
sungai kerap kami lakukan. Dan ketika kami bertemu dengan pasangan suami istri yang
berjalan-jalan bersama buah hati mereka, tanpa sadar mata-mata kami memandang pada
si kecil yang yang memandangiku dengan lucunya. Dan seperti biasa, kalau tidak aku
atau Aa akan berguman:"lucunya.."
"A, nanti anak kita lucu atau nggak, ya..?"
Atau: "De, mudah-mudahan anak kita juga lucunya kayak gitu.."Yang kuaminkan dalam
diam. Dan biasanya kami akan saling memandang dan tersenyum bersama. Walau
bagaimanapun kami merindukan kehadiran amanah itu, ya Allah..
Dan tibalah keajaiban itu, tepat empat bulan setelah itu, hawa dingin sisa- sisa musim
dingin masih tertinggal Bulan Februari akhir, beberapa hari sebelum Ramadhan. Aku
menemui Dokter Abe seperti biasa. Kali ini sambil membawa buku catatan suhuku yang
kuukur setiap hari. Ada debar-debar harap karena kulihat grafik suhu tersebut tidak
menurun. Tapi aku tak mau terlalu berharap. Karena takut kecewa yang berlebihan, jika
bukan berita baik yang kudapat.
Dan dengan perasaan sedikit tak tenang kutunggu hasil pemeriksaan urine. Dan ku
dengar namaku dipanggil."Aya-san!"
Kudapati dokter Abe dengan ekpresi ramah seperti biasa.
"Duduklah,"katanya. Aku duduk dihadapannya sambil harap-harap cemas.

Dan.."Omedetou gozaimasu..(selamat..)"aku mendengar kata-kata itu dengan kelegaan


yang luar biasa, tetapi juga diiringi dengan tangis haruku yang naik ke kerong-
kongan."Positif.."kata dokter Abe melanjutkan.
Alhamdulillah, Alhamdulillahrabbil'alamin..Subhanallah...Ya Allah, Maha
Besar Engkau yang telah mengabulkan permintaan dan usaha hamba-hambaNya. Aku
bertasbih dan bertahmid dalam hati, air mata bahagia yang kurasakan hangat keluar tanpa
mampu kutahan lagi. Dokter Abe memandangku dengan senyumnya, dan aku tahu
dimatanya yang tersembunyi oleh kacamata itu ku dapati juga kaca-kaca.
"Domou arigatou gozaimasu.."kataku berterimakasih padaNya.
Dia menggeleng. "Bukan saya yang membuatnya demikian, tetapi Kamisama(Tuhan) lah
yang memberikannya. Bukan begitu Aya-san?" Aku mengangguk. Alhamdulillah, Segala
puji bagi Engkau...
Sesampainya di rumah, aku seperti mempunyai tambahan energi baru. Aku
masuk soto ayam kesukaan Aa, kali ini tanpa pelit dengan daun sereh dan daun jeruk, biar
sedikit istimewa. Juga acar, sambel kecap, serta perkedel jagung. Ketika dering telpon
berbunyi, aku segera berlari mengangkatnya. Pasti itu Aa. Benar saja...Sehabis menjawab
salam Aa, tanpa memberi kesempatan Aa berbicara aku berkata:"A, cepet pulang!..."

Dan hari-hari selanjutnya kurasakan lebih bergairah lagi. Walau janin


di perutku baru dua bulan, tapi aku yakin dia sudah merasakan apa yang aku rasakan.
Buku-buku tentang pendidikan janin dalam rahim, cara merawat bayi,sampai majalah
tentang permasalahan bayi, yang dulu sempat kuletakkan jauh-jauh dari penglijatanku
kupindahkan dekat rak buku-buku kuliahku. Uang tabungan yang kusisihkan dari uang
belanja kubelikan walkman. Juga tak lupa aku rajin menggaris-garis buku pedoman
pendidikan anak dalam Islam dan kuingat-ingat bagian yang pentingnya. Kini hari-hari
ku tak pernah kulewatkan tanpa
walkman yang memutar ayat-ayat Al-quran. Juga hari-hari di rumah aku lewatkan dengan
"mengobrol" dengan janinku. Sampai Aa iri, karena aku bisa merasakan kehadiransi kecil
lewat tubuhku, sedang Aa tidak. Alhamdulillah, aku tidak banyak mengidam dan
merasakan mual. Padahal aku khawatir juga, karena sampai sekarang aku masih kuliah
seperti biasa. Hanya saja waktu membacaku kuhabiskan sebagian besar di rumah, bukan
di perpustakaan seperti biasanya. Karena di rumah aku lebih punya waktu dan lebih bebas
"bicara" dengan si kecil.
Kali itu pemeriksaan kandunganku yang keenam. Menurut hitungan dia sudah empat
bulan usianya. Hari itu kuajak Aa juga. Karena kata Dokter Abe kandungan ku mungkin
sudah bisa dideteksi oleh USG, maka beliau mengundang Aa juga untuk ikut
menyaksikannya. Akan tetapi, takdir Allah menentukan lain...
"Aya -san, terakhir memeriksakan kandungan tiga minggu yang lalu, ya..?"
Dokter Abe bertanya memastikan setelah selesai memeriksaku.
"Iya, sensei.."Aku mulai merasakan hal yang tidak enak menjalari hatiku.
"Heemm, bisa tolong panggil suami anda..?"
Dan aku berusaha tabah ketika mendengar penjelasan itu...
Janinku tidak berkembang...Penyebabnya sendiri belum diketahui secara persis. Karena
pada pemeriksaan terakhir dia masih "hidup". Aku harus mengeluarkannya agar tidak
meracuni rahimku...Aa menggegam tanganku erat. Kurasakan tubuhku bergetar menahan
tangis... Ya Allah..kutunggu kedatangannya selama 5 tahun lebih..Mengapa dia Kau
panggil tanpa sempat kulihat wajah lucunya? Kenapa Kau panggil dia tanpa sempat aku
rasakan lembut kulitnya, indah bening matanya, dan tangisan
rewelnya. Aa menggegam tanganku lebih erat lagisambil berucap pelan,
"Istighfar, Dede..Istighfar.."Ya, seakan mengerti apa yang bergalau di hatiku.
Aku beristighfar dalam hati mencoba menghilangkan rasa penyesalanku
atas taqdir Allah. Tidak, aku tidak boleh menyalahkan Allah atas cobaanNya, seru sebuah
bagian hatiku. Tetapi kenapa Dia panggil anakku yang sudah begitu lama kunantikan,
tanpa memberiku kesempatan untuk jangankan membelainya, bahkan merasakannya
untuk lebih lama berdiam dalam perutku?
Seru bagian hatiku yang lain. Ya Allah, ampuni aku. Ya Allah, ampuni
aku...Akhirnya bagian hatiku yang bersih menyapu bagian hatiku yang kotor. Dan
kutemukan diriku dalam keadaan tenang kembali. Ku dengar Aa
berucap pelan "Innalillaahi wa inna ilaihi Raaji'uun.." Dan dengan tenang
menandatangani formulir operasi buatku.
Empat hari aku di rumah sakit. Aku tak merasakan perubahan yang berarti
pada tubuhku. Tapi tidak demikian pada tubuhku. Aku merasakan kesendirian ketika
kusadari "anakku" tak ada lagi dalam diriku. Aa sendiri tak banyak berbicara tentang
masalah itu. Aa tampak berusaha bersikap biasa. Namun aku tahu Aa menanggung
kesedihan yang sama seperti yang kurasakan.
Maghrib itu kami berjamaah seperti biasa. Yang tidak biasa hanyalah
itu pertama kali kami shalat berjamaahan sejak kami, aku dan Aa, mengungsi
di rumah sakit.
Pada rakaat yang kedua Aa membaca surat Al Baqoroh dari ayat 153.
Dan suara Aa bergetar ketika mencapai:
....
Walanabluwannakum bisyayi im minal khaufi wal juu'i wanaqshim minal amwaali
wal anfusi watstsamaraat. Wabasyiri shabiriin

Alladziina idzaa ashabathum mushibah,


qoluu inna lillaahi wa inna ilaihi raji'uun..

Ulaika alaihim shalawaatum mir rabbihim warahmah.


Wa ulaaika humul muhtadun...
...

(... Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepada mu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira ke
pada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa mushibah mereka
berucap:
Innalillaahi wainna ilaihi raaji'unn. mereka itulah yang mendapat keberkatan yang
sempurna dan rahmat dari RabbNya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk ...)
Aku terisak di belakang Aa, mendengar teguran Allah yang lembut itu.
Betapaku rasakan Allah langsung menegur sekaligus menghiburku lewat ayat-ayat
tersebut.
Selesai shalat, seperti biasanya Aa shalat rawatib ba'da maghrib ,
lalu berdzikir sebentar. Tak lama kemudian membalikkan badannya ke arahku.
Aku menatap Aa. Kutemui mata yang cekung dan kurang tidur, karena beberapa hari ini
Aa harus menjalani hidup antara rumah, rumah sakit, dan kampus, untuk menungguiku di
rumah sakit. Kucium punggung tangan Aa seperti biasanya.
Aa tersenyum bijak dan mengelus kepalaku dengan tangan kirinya.
"Innallaaha ma'ashshabiriin, De.."katanya serak. Aa bukanlah tipe orang
yang mudah mengekspresikan emosinya lewat titik air mata. Tapi kali ini, kulihat mata
cekung Aa dipenuhi oleh kata-kata. Aku mengangguk pelan. Kurasakan mataku memanas
lagi, dan kurasakan pandanganku kabur karena genangan air mata. Aa tak melepaskan
genggaman tanganku, digenggamnya erat-erat seolah ingin berbagi kekuatan dengan ku.
Ya Allah, jika Engkau masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang
Engkau berkati dan rahmati karena kesabaran kami menanggung cobaan, cobaan yang
tidak seberat yang dialami saudara-saudara seiman kami yang harus hidup dalam
ketakutan, kehilangan harta, bahkan nyawa dalam mempertahankan tanah air Islam, maka
bimbinglah kami terus untuk dapat terus menganyam benang-benang kesabaran kami,
agar menjadi kuat dan kokh sehingga mampu menanggung cobaan
yang lebih berat lagi...
(is95)
Keterangan:
Aa* bahasa sunda artinya sama dengan panggilan Mas(untuk orang Ja
wa), atau Abang (untuk orang Betawi)
Dede* bahasa Sunda, artinya sama dengan adi, jeng (atau apalah
panggilan sayang buat istri)
Miso* semacam tauco Indonesia terbuat dari beras, kedelai, dan garam
Domou arigatou gozaimasu *terimakasih banyak
.....san * cara orang Jepang memanggil lawan bicaranya

CERITA CINTA MULI

Hujan belum berhenti sejak subuh tadi. Matahari tertutup awan kelabu.
Meski sudah jam tujuh pagi, suasana masih seperti subuh saja. Udara
dingin dan kabut tebal membuat semua orang enggan keluar dari
selimutnya. Begitu juga dengan Muli. Sehabis shalat Subuh tadi ia
merapatkan lagi selimutnya. Kebetulan hari ini tidak ada kuliah pagi.
Jadilah mimpinya bersambung lagi. Disebelahnya Eka juga nyenyak
lagi dalam tidurnya. Muli dengan Eka memang sekamar di rumah kost

itu. Tiba-tiba....tok-tok-tok...terdengar ketukan pintu perlahan, nyaris


tak terdengar. Muli mengerjap sedikit kesal, siapa sih pagi-pagi begini
mengusik kelelapannya, gerutunya dalam hati. Dilihatnya Eka tidak
bergeming dalam selimutnya.

Muli menyeret langkah dengan segan dan mata sedikit terpejam.


"Mbak Muli..... saya mau bicara dengan mbak," Iyem berdiri dibalik
pintu dan berbicara perlahan agak ketakutan. Tangannya masih
memegang kain pel basah. Rupanya ia baru selesai membersihkan
rumah kost besar berlantai dua itu, yang memang menjadi tugas
rutinnya setiap pagi. Melihat sorot matanya yang penuh kesedihan,
Muli jadi kasihan juga.
"Ayo masuk," ajak Muli, Yem memang sering main ke kamarnya.
Iyem lansung menggelosor di karpet lantai, kepalanya tertunduk
dalam. Berkali-kali dia mengusap matanya yang basah. Kelihatannya
dia bingung hendak bicara apa.
"Ada apa Yem?" tanya Muli memulai pembicaraan.
"Saya...saya... bingung mbak, kemarin surat dari Mas Tarjo datang,"
tutur Yem perlahan.
"Tarjo...siapa dia Yem?" tanya Muli penasaran.
"Dia...dia...pacar saya mbak"....
Hah! Muli terhenyak, matanya terbelalak, kantuknya seperti terbang
entah kemana. Yem yang baru berusia 16 tahun ini bicara pacar, apa
tidak salah dengar, Muli membetulkan duduknya. Sesaat dilihatnya Eka
menahan senyum dibalik selimutnya. Hmmm..rupanya dia ikut
mendengarkan juga tapi seolah-olah tetap lelap dalam tidurnya.
"Saya sedih sekali mbak, saya sangat mencintai dia, tapi katanya
jangan mengingat dia lagi, dia akan dinikahkan orangtuanya," Yem
semakin menunduk dan terisak. Muli takjub mendengar Iyem bicara
cinta, dan sungguh dia bingung mau bilang apa.
"Ah, Yem, kamu masih muda, jangan putus asa seperti itu, masih
banyak harapan, pasti masih banyak orang yang lebih baik dari Tarjo.
Ayo jangan terus bersedih..." hibur Muli sekedarnya.

*****

Siangnya sepulang kuliah, Muli segera menghambur ke ruang makan.


Jam dua siang ada kuliah lagi, Muli hanya pulang sebentar untuk shalat
dan makan siang. Ada Cesi sedang makan sendirian sambil nonton TV.
"Hai Mul...makan yuk" ajak Cesi sambil tetap menatap layar kaca. Muli
menyendok sayur bayam ke mangkuknya.
"Eh ada info baru lho!" tiba-tiba Cesi seperti teringat sesuatu dan
segera lompat mendekatinya dengan sigap.
"Santi punya cowok baru, setiap hari jemput ke sini, pergi kuliah
berdua. Itu lho Mul anak kost sebelah" ujar Cesi semangat tapi
setengah berbisik.
Muli terhenyak, baru pagi tadi Iyem mengadukan soal pacarnya yang
hilang, sekarang Cesi bicara soal itu lagi. Hmmm.... virus apa sih yang
sedang mewabah di rumah kost ini, batinnya.
"biar aja ah...kalau nggak benar gosip namanya, siapa tahu cuma
teman biasa" Muli meneguk minumnya kepedasan. Ampun.... mungkin
tadi Yem melamun sambil membuat sambal, sampai pedas sekali
seperti ini, pikirnya dalam hati.
"Ah kamu Mul, orang jelas-jelas koq mereka lagi kasmaran, jatuh cinta
beneran, ukh...ukh!" tiba-tiba Cesi tersedak, air matanya keluar.
"Makanya jangan ngomongin orang, kena batunya deh..." tawa Muli
berderai. Cesi cemberut kesal.

*****

Muli bosan, kantuknya datang, entah sudah berapa kali dia menguap.
Mata kuliah ini sebenarnya menarik tapi dosen yang membawakannya
membosankan. Coba kalau Bu Nina sedikit lebih semangat dan
mengeraskan suaranya, pasti tidak akan sebosan ini, pikir Muli.
Ditambah lagi memang kuliah ini waktunya setelah makan siang,
jadilah kantuknya semakin datang.
Muli menatap ke luar jendela membuang kejenuhan. Pohon asam yang
tinggi dan besar di halaman, menebarkan keteduhan lewat angin
semilir yang berhembus diantara rimbun dedaunnya. Tiba-tiba dia
ingat kejadian sebelum berangkat kuliah tadi. Tidak sengaja dia
melihat Santi sedang asyik ngobrol berdua di teras rumah. Mungkin itu
cowok yang dibicarakan Cesi tadi, pikir Muli. Mereka memang terlihat
sangat akrab, ibarat Romi dan Juliet, pantas saja isunya sudah heboh
serumah kost. Ketika Muli melintas dekat mereka, Santi melambaikan
tangannya ringan, malah Muli yang rikuh sendiri dan mempercepat
langkahnya.

Muli tak habis pikir, koq bisa-bisanya Santi sedemikian akrab seperti di
film-film saja. Apa mungkin Muli yang ketinggalan zaman hingga malu
sendiri melihatnya. Bukan bermaksud ikut campur urusan orang, batin
Muli tapi sebelum Muli hijrah ke ibukota ini ia memang tinggal di desa
kecil di Bukit Tinggi, jadi wajarlah jika ia agak heran dengan budaya
pergaulan kota besar. Nasiblah yang membuatnya terdampar di sini. Ia
mendapat kursi disalah satu universitas negeri lewat PMDK. Itu
sebabnya ia pindah dan tinggal di rumah kost itu dan berpisah dengan
keluarga tercinta. Ibu bapaknya wanti-wanti berpesan agar baik-baik
menjaga diri di sini, di kota yang asing ini. Masih terbayang dalam
benaknya ibu yang menangis dan memeluknya erat sebelum berpisah
setahun yang lalu. Ya setahun yang lalu, Muli memang masih baru
dibelantara kota ini.

Buk! tepukan dibahu mengagetkannya. Jantung Muli serasa lepas. Eka


nyengir disampingnya "Jangan ngelamun gitu dong, bingung
ketinggalan Iyem yang sudah punya gandengan ya..." tawa Eka
berderai. Muli gemas. Eka memang teman sekelasnya juga. Tapi dia
jadi sadar, Bu Nina memang sudah meninggalkan kelas, rupanya
sudah berakhir kuliah yang membosankan ini. Bergegas dikejarnya Eka
yang sudah keluar duluan.

*****

Tidak seperti biasanya Minggu pagi ini dapur rumah kost meriah. Bak
akan ada hajatan besar, semua penghuni kost tumplek di dapur. Ada
yang mengulek bumbu, memotong ayam, atau mengupas buah untuk
rujakan. Iyem tak kalah sibuk pontang-panting ke sana kemari.
Sebenarnya tidak ada acara spesial apa-apa, hanya Minggu pagi ini
ujian Mid-Semester baru saja selesai. Oleh karena itu mereka janjian
masak dan makan siang bersama. Kebetulan ada Medi yang memang
pintar masak dan tahu segala macam resep. Masakan olahannya
ditanggung enak dan lezat. Jadilah Medi yang mengatur bumbu ayam
panggang pagi itu sambil diolah bersama-sama.
Meskipun satu rumah mereka jarang berkumpul seperti ini, ada saja
kesibukan masing-masing yang berbeda. Itu sebabnya Minggu pagi ini

terasa begitu berkesan buat semuanya. Tepat tengah hari, rampunglah


acara masak bersama. Harum ayam panggang memenuhi ruangan dan
menggugah selera. Mereka makan bersama dengan gembira. Usai
makan dan tandas semua hidangan, disela-sela mereka menikmati
buah-buah rujakan, tiba-tiba Nurul menyela percakapan.
"Karena hari ini semua sedang berkumpul, maka saya ingin
mengumumkan sesuatu sekaligus mengundang," Nurul terdiam sesaat,
ia terlihat agak bingung untuk meneruskan kalimatnya, "insya Allah
kalau tidak ada halangan dua pekan lagi saya akan menikah."
Hah! semua terperanjat kaget. Kalau ada petir siang itu pasti tidak
sehebat kalimat Nurul. Semua tahu mahasiswi berjilbab itu tak punya
teman dekat, apalagi pacar. Itu sebabnya mengagetkan. Kalaupun ada
teman pria yang datang pasti tak lebih hanya untuk mengembalikan
catatan kuliah Nurul yang memang selalu lengkap dan rapi, atau untuk
urusan kegiatan mushola fakultasnya. Itupun pasti Iyem diajak
menemani ke depan. Cesi yang selalu tahu duluan segala macam
berita apalagi gosip, paling kaget diantara semuanya. Saking
kagetnya, potongan mangga muda terlepas dari tangannya. Dia
menggaru-garuk kepala, bisa-bisanya kecolongan berita, pikirnya.
"Dengan siapa Mbak?" Eka bertanya setelah kekagetannya mereda.
" Hmm...seorang pria yang tinggal di Bandung" Nurul menjawab
perlahan, ada semu merah jambu dipipinya.
"Jadi kapan Mbak Nurul mulai pacaran dengannya?" tanya Cesi dengan
semangat.
"Kami tidak pacaran Ces...dia melamar saya karena sudah siap
menikah" jelas Nurul. Ia baru menyelesaikan sidang skripsinya
kemarin. Tapi tidak ada yang menduga ia akan menikah secepat itu.
"Lalu apakah mbak bisa mencintainya tanpa proses pacaran dulu?"
Santi tak ketinggalan ikut bertanya.
"Cinta dan sayang itu ada didalam hati Santi, sementara Allah lah yang
membolak-balikkan hati. Maka ketika saya memutuskan menerima
lamarannya setelah berkenalan dan shalat, maka saya yakin Allah
akan menganugerahi kami cinta itu" Nurul menjawab dengan sabar.
"Apa...apa..dia itu tunangan Mbak Nurul?" Iyem tidak ketinggalan ikut
bertanya dengan sedikit ragu-ragu.
"Tidak Yem, dia bukan apa-apa saya selama ini. Allahlah yang
menjodohkan kami pada akhirnya. Pacar atau tunangan sekalipun tidak
menjamin akan menjadi jodoh kita. Menikah adalah ibadah, dan saya
tidak ingin merusak ibadah tersebut dengan awal yang kurang baik."
Sesaat ruangan menjadi hening. Santi tampak agak rikuh. Hanya Muli
yang tidak bertanya.

*****
Jam 12 malam. Muli menutup diktat tebalnya. Meski belum mengantuk
tapi badannya pegal. Eka sudah tertidur sambil memegang bukunya.
Sayup-sayup suara Bon Jovi dari kamar Astrid disebelahpun sudah
sejak tadi menghilang. Muli mematikan lampu belajarnya,
menggantinya dengan lampu tidur yang mungil. Dalam keremangan
malam Muli merebahkan tubuhnya. Acara siang tadi masih segar
dalam ingatannya. Senyum bahagia Mbak Nurul begitu melekat dalam
benaknya. Mbak Nurul memang terlihat sangat cantik dalam balutan
gaun pengantinnya. Matanya bersinar bahagia.

Siang tadi ramai-ramai mereka memang menghadiri pernikahan Nurul,


tidak ketinggalan pula Iyem turut serta. Pernikahan yang tak terlalu
mewah namun khidmat dan meriah. Pernikahan itu juga membawa
hikmah di rumah kost, Iyem kembali ceria tidak sedih lagi dan Santi
jarang terlihat berduaan di teras lagi.

Dan Muli? dia merekam semua peristiwa itu dalam benaknya, semua
membekas dalam dihatinya. Muli memang baru belajar dan memulai
semuanya. Runtutan berbagai cerita cinta yang baru-baru ini didengar
dan dilihatnya, seperti pelajaran yang diterimanya. Beberapa
kebingungannya seperti terjawab. Paling tidak Muli jadi mengerti
sedikit tentang hakekat cinta dan pernikahan. Baru sedikit memang.
Aku harus banyak belajar untuk lebih memahami semuanya, tekad
Muli dalam hati sesaat sebelum ia lelap dalam tidurnya. (*)

Muka

Kekuatan Doa
"Jadi ... Yasmin. Liburan ini kamu nggak pulang?"

"Nggak, Mam. Bener nih, Yas banyaak banget kerjaan. Ngurus


penerimaan mahasiswa baru, Ospek Senat, terus rencananya Yasmin
mau ambil semester pendek buat perbaikan, terus ... "

"Ya sudah, ya sudah. Kalo gitu, kapan pulangnya?"

"Yah, nggak tahu deh Mam. Insya Allah kalo semuanya sudah selesai."

"Iya lah, adik-adik kamu pada kangen lho. Assalamu 'alaikum."

Yasmin menjawab salam, lalu menutup gagang telepon. Astaghfirullah,


desisnya pelan. Bukan maksudku untuk mengecewakan Mama, tapi
aku bener-bener nggak bisa. Yasmin melirik jam. Ah, masih pagi benar.
Nggak ada salahnya kalau aku tidur lagi, toh hari ini nggak ada
kerjaan. Yasmin kembali naik ke tempat tidur dan menutup mata.

Pikirannya melayang. Wa bil waalidaini ihsaana, berbaktilah pada


kedua orang tuamu. Aku tahu, pikir Yasmin. Ini tentang adikmu, kan?
Suara-suara hatinya saling menggugat. Ah, andai Papa masih ada.
Pasti semuanya beres. Pasti semua menurut.

"Memangnya kenapa?"

Yasmin membuka mata. Astaga, benarkah itu ...

"Kamu pengecut, Yasmin."

Yasmin mengusap matanya. Papa? Nggak mungkin, nggak mungkin!

"Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan, Yasmin. Kun fa yakun,
jadilah maka jadilah ia."

Papa melangkah maju. Yasmin beringsut.

"Pulang, Yas. Bimbing adikmu. Tolong mamamu."

"Tapi Pa ..."

"Tinggalkan semua pekerjaanmu. Toh itu tak seberapa perlu, itu cuma
alasanmu bukan?"

Papa mengelus rambut Yasmin. Lembut. Yasmin terisak. Papa


menggenggam erat tangan Yasmin.

"Yasmin, Yasmin ... nggak bisa Pa. Mereka bukan adik-adik yang Yasmin
banggakan lagi."

"Yas, jangan bikin sedih Papa. Papa tahu, mereka sudah berubah. Tapi
pulanglah. Pulanglah." Papa beranjak pergi. Yasmin berusaha menarik
tangan Papa, tapi tubuhnya perlahan memudar.

"Papa! Papaa!"

Yasmin membuka mata. Oh, hanya mimpi. Tapi hangat genggaman


tangan Papa masih terasa di kedua tangannya. Yasmin tahu, inilah
keputusan yang harus diambilnya. Pulang.

***************
Stasiun Tawang. Seperti biasa, kereta api Senja Utama Bisnis Jakarta -
Semarang tiba terlambat satu jam dari jadwal seharusnya. Yasmin tak
peduli, yang dipikirkan hanyalah adik-adiknya. Apakah mereka benar-
benar kangen, atau itu cuma alasan Mama? Hm, pasti si Aldo belum
berhenti merokok. Alex pasti masih susah diajak sholat. Belum lagi
kenyataan, kedua-duanya punya bakat playboy. Hari liburku pasti
dipenuhi dering telepon cewek-cewek mencari mereka. Yang
kelakuannya agak bener cuma Agil, si bontot. Paling Yas cuma harus
ngingetin, kapan dia berhenti nonton teve dan harus belajar.

Yasmin mencegat sebuah taksi. Setelah memberikan alamat


rumahnya, ia naik dan kembali memejamkan mata.

"Benar-benar tak berguna diriku ini. Aku malu dengan jilbab yang
kupakai.
Aku malu dengan teman-teman Rohis, setiap kali pulang pasti mereka
menyindir : bagaimana adikmu, Yasmin? Aku malu dengan diriku!" jerit
Yasmin dalam hati.

Tapi bagaimana lagi. Aku sudah berusaha membimbing mereka. Aku


sudah memberi contoh sebagai seorang kakak. Tiap hari aku berdoa
agar mereka diberi hidayah.
Apa yang kurang, keluh Yasmin.

"Mbak, niki griyanipun?" tanya sopir taksi itu.

"Oh, inggih Pak. Pinten nggih?"

Lelaki itu melihat argo, lalu menyebut sejumlah angka. Yasmin


membayar dan melangkah keluar. Diliriknya arloji, pukul lima dua
puluh. Harus segera sholat subuh, kalau nggak ingin didahului
matahari terbit.

"Assalamu 'alaikum!" Yasmin mengetuk pintu berkali-kali.

Hm, pasti mereka masih molor. Kapan sadarnya?

"Wa alaikum salam. Lho, mbak Yasmin tho? Katanya nggak pulang?"
Khodimatnya membuka pintu, lalu mengambil tas bawaan Yasmin.

"Iya, kemarin aku mimpi Papa nyuruh pulang," jawab Yasmin jujur.

Ia melepas jilbab, lalu melangkah ke pancuran dan berwudhu.

"Adik-adik mana mbak, belum pada bangun ya?" tanya Yasmin sambil
mengeringkan muka.
"Oh, mas Alex habis subuhan langsung mandi. Mas Aldo sama mas Agil
belum bangun."

Yasmin menggelar sajadah, lalu memusatkan diri dalam sholatnya.


Selesai sholat, terbayang di kepalanya, liburan semester lalu. Pagi
bangun setengah lima, bersih-bersih. Sholat sunah fajar, terus sholat
subuh. Habis itu mesti membangunkan ketiga adiknya satu persatu.
Yang satu bangun, eh bukannya bangkit malah merem lagi.
Kadangkala Yasmin merasa geli. Sudah besar masih manja. Sudah
baligh begitu, apa iya aku masih bertanggungjawab kalau mereka
malas ibadah, tanyanya.

"Aleeex ! Cepetan mandinya ! Aldooo ! Agiiil ! Banguun, udah siaaang !


" teriak Yasmin sambil melipat mukena. Nah lho, mulai lagi khan
kerjaan rutinnya. Emang enak jadi anak sulung!

***************

Pukul sepuluh pagi. Kedua adik Yasmin sudah berangkat sekolah.


Yasmin tengah membereskan kamarnya yang kini ditempati Aldo,
berantakan dan bau rokok, ketika khodimatnya menyerahkan sepucuk
surat.

"Mbak, ada surat dari Malaysia. Maaf ya, prangkonya sudah diambil
mas Agil."

Yasmin meletakkan sapu dan menelitinya. Oh, UKM. Pasti dari Zainul
Abidin alias Za, teman Rohisnya dulu, yang sering jadi sasaran jodoh-
jodohan dulu. Gara-garanya banyak banget kesamaan Yas dengan Za.
Sama-sama yatim, punya adik dua yang nakal-nakal, suka utak-atik
matematik. Dulu pernah, mereka berdua mau dikirim ke Olimpiade
Matematika di Singapore. Sayang Yas kena tifus, alhasil Za sendiri yang
berangkat. Meski bukan yang terbaik, namun Za memperoleh beasiswa
ke Universitas Kebangsaan Malaysia. Enak di sana, tinggal belajar,
nggak usah ngurus adik yang nakal. Begitu kata Za sambil tertawa,
ketika Yas mengucap selamat.

Yasmin merobek amplop coklat itu dan membacanya perlahan.

"Assalamu 'alaikum, Yasmin ... apa kabar? Maaf kalau surat ini
mengganggu. Za cuma ingin tahu kabarmu. Za di sini baik-baik saja,
cuma ya agak susah karena krismon. Za mesti cari-cari obyekan nih.
Gimana adik-adik kamu, Yas? Masih bandel-bandel, masih ogah-ogahan
diajak sholat?"

"Nah lho, mulai lagi si Za," geram Yasmin.


"Yas, adik-adik Za sebenarnya nggak jauh beda dengan adik-adik
kamu. Seringkali Za memergoki mereka melakukan kebiasaan yang
kurang baik. Malah kata Ibu, dik Yusuf kemarin ngaku kalo dia nyoba-
nyoba merokok ganja. Alasannya, cuma pengin tahu kayak apa sih
rasanya. So pasti asmanya jadi kumat, hehe emang enak. Belum lagi
dik Yunus, yang sering nabrak kalo naik mobil. Kebayang nggak,
berapa yang mesti keluar untuk mulusin tu mobil?"

Yasmin tersenyum. Sama dong Za, adik Yas juga bandel setengah mati.

"Tapi Yas, Za selalu percaya sama kekuatan doa. Bukankah Allah tak
pernah membiarkan doa hambanya tidak terkabul? Meski begitu,
emang kadangkala Za merasa kecewa dan tak sabar. Hingga kejadian
suatu hari mengusir kekecewaan Za. Mau tahu ceritanya?"

Tak sadar Yasmin mengangguk.

"Lab komputer di kampus Za butuh dua asisten. Za bersama lima


teman, mendaftarkan diri. Sudah ikut tes masuk segala, tinggal
nunggu interview. Lamaa banget Za nungguin interview, kok nggak
muncul-muncul. Eh sial bagi Za, interview itu diadakan mendadak, saat
Za mesti ngobyek di MacDonald. Rasanya kecewa banget, Za
kehilangan kesempatan itu. Maka suatu malam Za sholat hajat, minta
agar Dia memberikan kesempatan interview susulan. Hehe, nggak
logis ya pikiran Za, masa ada interview susulan? Kayak ujian her aja."

Yasmin membalik kertas surat Za.

"Walau begitu Za udah ikhlaskan, biarlah kalo emang Za nggak kepilih


jadi asisten komputer. Za coba cari lowongan lagi di kampus. Soalnya,
gaji asisten di sana lumayan lho, Yas. Tapi sepekan kemudian, teman-
teman Za telepon. Ternyata masih ada kesempatan interview buat Za!
Wah, surprise banget. Za serasa melayang-layang. Alhamdulillah, ucap
Za. Mulai saat itu, Za percaya kembali akan kekuatan doa.

Belum lama ini ibu Za kirim surat, cerita kalo Yusuf mulai rajin sholat.
Bahkan sholat dhuha segala (yang udah lama Za tinggalkan...), seperti
saat kita aktif di rohis SMA dulu. Terus Yunus, mobilnya dipasangin
sendiri sama alat apa gitu, biar dia nggak bisa ngebut-ngebut lagi. Ibu
Za sendiri, mulai berkerudung (meskipun masih ala mbak Tutut)
setelah sering ikut pengajian di Al-Hidayah. Alhamdulillah Yas, semua
cerita Ibu dan juga pengalaman Za sendiri, membuka hati Za untuk
meyakini. Bahwa Dia nggak pernah nggak menjawab doa hamba-Nya.
Hanya masalah waktu, Yas. Maafkan Za bila dianggap menggurui, tapi
ketika Za bertahmid dan bersyukur atas perubahan sikap adik Za, Za
jadi inget kamu. Za cuma ingin berbagi, Za ingin Yas masih tetap yakin
dan optimis akan kekuatan doa. Never give up, sister Yasmin.
Wassalam, your brother in faith. Zainul Abidin."

Yasmin melipat kembali surat itu dan menghela nafas panjang. Inikah
makna mimpinya, ketika Papa menyuruhnya pulang. Agar Yasmin
kembali yakin akan kekuatan doa. Agar Yasmin kembali optimis
merajut lembaran dakwah di kalangan keluarganya. Ah ya. Baru
Yasmin ingat, sudah lama ia belum nyekar.

(By : Anandito Birowo)

catatan :
------------------
niki griyanipun = ini rumahnya
inggih Pak, pinten nggih = iya Pak, berapa ongkosnya
nyekar = ziarah kubur

Bersikap Adil

Ramadhan kali ini terasa lebih meringankanku. Setidaknya karena Ibu


tak bisa lagi, atau tak berhak tepatnya, mencereweti perilaku puasaku
seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku sekarang sudah beristri, itu
sebabnya. Pasti, pikir Ibu, istrikulah yang paling berhak pada diriku. Toh
ketika kami bersilaturahmi ke rumah Ibu sepulang tarawih malam
pertama, Ibu masih juga secara spontan memperlihatkan sisa-sisa
'kekuasaannya'.

"Puasa lho, ya. Sahur. Shalat Subuh, tarawih. Jangan tidak. Percuma
kamu puasa kalau tidak shalat. Percuma kamu ngaku Islam kalau tidak
puasa. Percuma ..." Sudah itu masuk ke detail-detail yang tak terlalu
penting, "Langsung sikat gigi sehabis sahur. Makruh kalau kamu
sikatan di atas imsak. Usahakan pulang kerja sebelum maghrib. Sikat
gigi lagi sehabis buka. Makruh kalau kamu sikatan sebelum beduk azan
maghrib berbunyi ..."

Tapi ada hal baru yang baru kali ini Ibu bisikkan ke telingaku, tanpa
dapat didengar oleh adik-adikku : "Jangan lupa mandi basah sebelum
subuh kalau kamu 'campur' dengan istrimu ..."

Aku geleng-geleng kepala. Ibu, Ibu. 30 tahun aku hidup dengannya,


dan ia masih juga menganggapku sebagai anak kecil yang setiap
gerak-gerikku wajib diwaspadai. Bahkan setelah aku menikah, dan di
depan istriku pula yang tengah bersiap memberikan cucu pertama
padanya, aku masih dilindunginya sedemikian rupa !
Pulang ke rumah kontrakan malam itu, aku bisa lebih bernafas lega.
Kalau mau, bisa saja kucecerkan pesan-pesan Ibu tadi di sepanjang
jalan. Istriku pasti tak akan peduli dan tak bakal memungutinya. Ia
sangat mengenalku, dan hal itu pula yang membuatku menikahinya, ia
juga merasa tak cukup memiliki keberanian untuk mencerewetiku
seperti Ibu, meski Ibu bolak-balik memaksa agar ia mewaspadaiku.

Sebab memang tak ada sesuatu yang ganjil padaku yang mesti
diwaspadai. Istriku yakin itu. Aku dewasa, muslim sejati, serta tahu
persis untuk apa aku shalat, berpuasa, tarawih dan seterusnya. Tak
akan pula aku lari ke warung nasi atau menghisap rokok sembunyi-
sembunyi di sela jam-jam kantor bulan Ramadhan. Tak akan ... dan
istriku yakin itu.

**********

Ramadhan kali ini terasa lebih mendamaikan jiwaku, karena aku dapat
melewati puasa demi puasa tanpa godaan berbagai wujud. Justru sejak
awal puasa, kedatangan Idul Fitri-lah yang terasa menyandera
kegelisahanku. Begitu pasti, hingga membuatku sering giat 'berdoa'
agar Tuhan menunda Idul Fitri hadir pada tanggalnya. Tapi jelas, mana
mungkin ??

Lagi-lagi ini berkaitan erat dengan Ibu, meski tak ada hubungan
dengan kecerewetannya. Ibu tak lagi punya pendamping sejak aku, si
sulung, kuliah di tahun pertama perguruan tinggi. Kami hidup dari
pensiun Ayah yang pasti tak mencukupi, dan memaksaku segera
berhenti kuliah serta mencari kerja. Kerja apa pun. Kerja yang lebih
dari tiga perempat hasilnya kupersembahkan pada Ibu, dan sisanya
kutabung hingga aku bisa terus kuliah.

Tak ada yang mewajibkanku melakukan itu, sekaligus tak ada yang
membuatku harus berhenti menyerahkan tiga perempat (kemudian
setengah, seperempat dan akhirnya seperenam setelah aku berumah
tangga !) gajiku kepada Ibu, meskipun satu adik di bawahku telah
selesai kuliah dan bekerja pula.

Saat masih berta'aruf dengan (calon) istriku, hal itu sempat


kuceritakan padanya. Istriku tak keberatan, karena kebetulan ia sayang
pada ibuku dan tahu betul seperti apa kondisi keuangannya. Yang tak
kuceritakan dengan gamblang padanya adalah biasanya aku juga
menyerahkan tiga perempat THR-ku pada Ibu di saat Lebaran datang.

Ibu (seperti orang-orang tua lain yang merasa terpandang dan


dituakan di lingkungannya) selalu amat sibuk dan ingin tampil
sempurna ketika Hari Raya tiba. Dinding rumah harus dicat putih dari
utara ke selatan, atap-atap bocor wajib diperbaiki, sarung jok kursi
diganti, kain gorden jendela dijahit ulang, kue-kue terhidang lengkap,
ketupat dan segala jenis lauk pelengkapnya, baju baru tersedia
minimal dua stel (satu untuk Lebaran hari pertama dan satu lagi untuk
Lebaran kedua) ...

Pokoknya, Lebaran bagi Ibu adalah ekstra penghamburan uang.


Walaupun di saat krismon seperti ini. Bagi Ibu (lewat kalimat "khan
cuma setahun sekali") semuanya menjadi sah. Bagiku sendiri, tadinya
sah-sah pula. Kapan lagi aku bisa membahagiakan Ibu dan mensyukuri
nikmat Allah di hari sesuci ini ?

Tapi ... kondisiku sekarang berbeda. Aku, sekali lagi, sudah beristri. Dan
yang paling penting, serta ingin betul kusikapi, adalah aku sangat ingin
bersikap adil. Aku punya mertua, orang tua kandung istriku yang suka
atau tidak suka, harus kuakui pula sebagai orang tuaku. Mereka masih
lengkap dalam arti sesungguhnya. Si ibu punya suami, si ayah punya
istri. Keduanya masih gesit mencari duit, tanpa kutahu persis kapan
akan pensiun. Kehidupan perekonomian rumah tangga mereka pun,
kusaksikan sendiri, baik-baik saja. Tak sampai menjadi konglomerat
memang, tapi toh, tak melarat-melarat amat. Rumah satu, mobil dua,
punya TV dengan parabola dan laser disc, kulkas, kamar tidur ber-AC.
Pokoknya okelah.

Waktu kukatakan pada istriku, apakah kami juga berkewajiban


membagi sisa gajiku per bulannya kepada mereka seperti yang
kulakukan pada Ibu, istriku malah mengerutkan dahi.

"Buat apa ?" tanyanya setelah terdiam mengamati wajahku yang


galau.

Aku mengangkat bahu. "Yah ... biar adil saja. Sampai saat ini aku masih
membantu memberi Ibu uang belanja setiap bulannya. Dan kalau bisa,
aku juga ingin bersikap sama pada orang tuamu."

"Kalau bisa, khan ?"

"Ya iya, kalau bisa ..."

"Nah, sekarang Mas bisa apa tidak ?"

Aku terdiam. Mencoret-coret kertas, menghitung-hitung gajiku. Sekian


untuk Ibu, sekian untuk mertua. Lalu sisanya sekian, untuk aku dan
istriku. Bisa beli apa kami dengan sekian, apalagi di zaman serba
mahal seperti ini ? Ah, pusing aku.
Istriku meraih kertas itu, melihatnya sekilas dan kemudian
meremasnya sambil tersenyum. Aku mendongak. Dia menggeleng-
gelengkan kepala, dan pasti dengan segera dapat menemukan rona
nelangsa di wajahku.

"Nggak usah, Mas. Aku malah nggak yakin kalau Papa dan Mama mau
menerima. Bagi mereka, satu anak perempuannya sudah dinikahi
lelaki baik-baik seperti Mas saja, pasti sudah sangat membahagiakan.
Lagi pula, mereka masih kuat bekerja dan bisa berpenghasilan sendiri.
Malahan selama ini, merekalah yang sering membantu aku dan
saudara-saudaraku kalau kami kesulitan uang."

Uff ! Aku mendelik.

"Hmm ... maksudku sebelum aku menikah dengan Mas," ralatnya


terburu-buru, tetap dengan senyuman. "Beda dengan ibumu, Mas. Dia
sudah tua, sendiri, dan hidup dari pensiun yang harus dibagi-bagi
dengan kedua adikmu yang masih sekolah. Wajar, malah wajib, kalau
kita membantu setiap bulannya."

"Ah ... aku tetap merasa nggak enak," kataku berterus terang.

"Mas ...," istriku menggenggam tanganku, hangat. "Nggak usah


memaksa diri kalau memang kita belum mampu. Untuk sementara
niatkan saja dengan sungguh-sungguh, bahwa kita ingin membantu
mereka dan ingin bersikap adil memperlakukan orang tua kita. Kalau
tidak mampu sekarang, suatu saat nanti kita pasti akan bisa
mewujudkannya. Bukankah niat berbuat baik, juga dinilai sama
pahalanya oleh Allah ?"

**********

Tadinya ingin kusembunyikan niat itu dari istriku. Kandungannya sudah


menginjak bulan ketujuh. Tak ingin aku membebaninya dengan
persoalan-persoalan yang sesungguhnya cuma lahir dari kehendakku
sendiri. Namun ketika ia bosan terheran-heran melihatku selalu pulang
larut malam setelah berjam-jam melembur di kantor dan mengobyek
sana-sini sepanjang Ramadhan (sementara uang penambah THR yang
ingin kukumpulkan belum kunjung mencukupi), aku jadi tak tega juga
untuk tidak berterus terang.

Dan keningnya, seperti sudah kuduga, segera mengerut. "Kenapa sih,


Mas memaksa diri betul ?"

Jawabanku klise, namun kupastikan cukup ampuh. "Aku cuma ingin


bersikap adil."
"Aku setuju. Tapi ada hal lain yang Mas lupakan. Dengan catatan :
kalau-kita-mampu. Aku pernah bilang itu juga, khan ?"

"Memang. Tapi kalau menunggu sampai kita benar-benar mampu, aku


yang tidak yakin kapan akan bisa mewujudkannya."

"Bisa, pasti bisa ! Kalau kita terus berusaha, pasti bisa."

"Nah itulah, yang sekarang sedang kulakukan, berusaha. Toh seperti


ibuku bilang, Lebaran cuma setahun sekali. Kapan lagi aku bisa
membahagiakan dan menunjukkan bakti pada mertua, kalau bukan
sekarang ?"

**********

Aku baru usai mandi sore dan siap duduk di depan pesawat TV sambil
menunggu beduk maghrib, saat istriku datang menghampiri seraya
tersenyum-senyum. "Mas, soal pemberian untuk orang tuaku itu,
pernah Mas bilang tidak mesti berbentuk uang khan ? Pokoknya, kalau
ditotal, jumlahnya 300 ribu rupiah."

Aku memandangnya tak mengerti. Hal itu memang pernah kuucapkan.


Untuk ibuku pun sudah kuberikan beberapa meter kain gorden seharga
70 ribu rupiah, cat tembok 45 ribu, baju baru dua stel seharga 85 ribu
dan sisanya kue-kue serta uang, yang diterima Ibu dengan suka cita.
Lalu, apa maksud istriku ?

"Mas, tadi siang aku silaturahmi ke rumah Bu Tatang, tetangga kita itu.
Dia mengkreditkan mukena seharga 65 ribu, sajadah 45 ribu, sarung
20 ribu, baju Teluk Belango 35 ribu. Jumlahnya 165 ribu rupiah.
Bayarnya bisa dicicil sampai enam kali. Aku sudah tanya ke adik-adik
di rumah. Mereka bilang, Papa belum punya sarung, sajadah dan baju
buat shalat Ied. Sedangkan Mama lagi bingung gara-gara mukenanya
terkena lunturan batik Papa yang baru dibeli di Pekalongan. Mas setuju
nggak, kalau aku ikut mengambil kredit di Bu Tatang, buat diberikan
pada orang tuaku ?"

Aku terdiam, takjub. Istriku, istriku ...

"Murah khan, Mas ? Ada bonusnya lagi ! Bu Tatang bilang, kalau aku
berhasil menjualkan mukena lima buah pada orang lain, aku bisa
mendapat satu sajadah gratis. Sejak sepekan ini aku berkeliling dari
rumah ke rumah menawarkan mukena itu. Sudah empat orang yang
berminat. Kalau ada satu orang lagi, sajadah yang untuk Mama bisa
kita berikan cuma-cuma. Lumayan, khan ? Jadi Mas nggak perlu
memberikan seluruh uang yang sudah Mas kumpulkan pada orang
tuaku. Ambil seperlunya saja, terus gabungkan dengan harga barang-
barang itu sampai berjumlah 300 ribu rupiah. Sisanya buat kita. Kurasa
cukup untuk membuat ketupat dan kue-kue Lebaran ... serta
membayar zakat fitrah dan shadaqah. Yang terakhir ini jangan sampai
lupa lho, Mas ..."

**********

Rumah warisan almarhum Ayah terasa semarak di Hari Raya Fitri ini.
Tamu berdatangan silih berganti. Tawa berderai dan celoteh penuh
kegembiraan terdengar dari segala sudut. Aku duduk di sofa dengan
hati damai sambil memandang sekeliling. Sengaja kupisahkan diri dari
keramaian karena aku merasa membutuhkan ruang untuk mengamati.

Istriku bergerak mondar-mandir membantu Ibu menyiapkan ini-itu.


Perutnya yang membuncit menyadarkanku tentang keberadaanku,
untuk apa hadir di sini. Ibu tampak akrab berbincang dengan mertua
perempuanku, sambil duduk di atas sofa yang telah berganti
sarungnya, dan bersandar pada dinding putih yang tampak berkilau.
Gaun Lebaran hari pertamanya terasa kontras dengan warna kulitnya
yang memucat.

Di sebelahnya, mertua perempuanku duduk santai membelakangi


gorden yang sudah berganti warna sambil mengepit mukena dan
sajadah baru yang baru saja dipakai shalat Ied. Sementara di
hadapannya, mertua lelakiku asyik bercerita dengan seorang famili
sambil tertawa terbahak-bahak. Kemeja Teluk Belango dan kain
sarungnya yang rapi, membuatnya tampak begitu awet muda. Aku
menghela nafas dengan nikmat, sambil mensyukuri dalam-dalam
karunia Allah Yang Mahaagung ini ...

(by : Djoenaedy Siswo Pratikno)

Muka

Mai, Mai..Mai !!
Hmh, surat lagi, surat lagi. Gumamku sambil meneliti satu persatu
surat yang menumpuk. Yah beginilah resikonya, jadi orang terkenal.
Hehe. Padahal baru sekalinya ngirim artikel di Annida, begitu dimuat
langsung ... wess. Ada yang minta ditraktir, ada yang ngajak kenalan.
Padahal yang dimuat juga cuma surat pembaca. Yang sialnya, ada
beberapa pucuk surat isinya semacam ajakan arisan berantai. Uh,
kalau yang itu mah ... langsung masuk keranjang sampah. Eh, entar
dulu, prangkonya diambil dulu kalau emang bagus. Nah, yang ini coba
lihat deh. Satu dari Lampung, dua dari Yogya, satu dari Makasar ...

"Ini ada lagi, dari Singapore." Mbak Anis, pembantu di rumah kost-ku
mengangsurkan sepucuk surat beramplop biru. Singapore ? Wah, keren
juga dong, Annida bisa sampai ke Singapore. Hei, itu juga kalau yang
ngirim berkat kenal dari Annida. Jangan ge-er dulu ya ...

"Oh ya, makasih ya Mbak." Penasaran, setengah berlari kunaiki tangga


dan segera masuk kamar. Cepat-cepat kurobek amplop biru itu. Uiih,
ada fotonya. Ah foto mah belakangan, baca dulu deh isi suratnya ...

"To : Mr. Anandito Birowo, di bumi Allah." Wah, sejak kapan aku jadi
mister ? Hehe. Terusin.

"Assalamu 'alaikum wr. wb. Ba'da tahmid wa sholawat ila Rosulillah.


Salam sejahtera, semoga Allah senantiasa melindungi Anda
sekeluarga. Sebelumnya saya mohon maaf apabila kehadiran sepucuk
surat ini mengejutkan ketentraman Anda sekeluarga. Seorang gadis
bernama Widiana, telah berpulang ke rahmatullah tanggal 24 Mei
1997 lalu, dia adalah sanak saudara saya yang tersayang, meninggal
di Singapore karena sakit."

Inna lillahi wa inna ilahi roji'un. Aku mengucap tarji'. Tapi siapa
Widiana, perasaan aku nggak punya kenalan ...

"Sebelum meninggal dia mewasiatkan sesuatu kepada saya, agar


menyerahkan sebuah foto (terlampir), kepada seseorang yang
alamatnya telah diberikan kepada saya saat itu, tanpa sempat
mengatakan sepatah pesan apapun untuk orang yang dimaksudkan
(Anda). Semoga Allah menerima arwahnya di sisi & tempat yang layak,
Amin. Dengan demikian telah pun tersampaikan amanatnya kepada
Anda. Mohon maaf atas segala kata-kata yang tidak berkenan.
Alhaqqu mirobbikum, akhir kata wassalam. Hormat kami yang berduka
cita, an : Mai. Spore, 3 Juni 1997."

Hah?? Apaan nih? Gila. Kubaca sekali lagi isi surat itu, tidak berubah.
Wah, apa maksudnya nih ? Aneh. Segera kuamati foto terlampir.
Tampak sekumpulan gadis-gadis di depan tulisan "Changi Skytrain."
Yang mana ya, Widiana? Kubalik foto itu, ahh ini dia ... rupanya yang
bertanda silang. Kuamati gadis yang sedang mengibas-ngibaskan
tangannya, seperti orang kepanasan. Ah, kuingat-ingat ... siapa ya dia.
Nihil. Percuma. Aku nggak kenal gadis ini.
Kubaca lagi surat itu. Kuteliti foto itu. Berkali-kali. Jangan-jangan, orang
iseng nih. Tapi kalau iseng kok, pake salam plus tahmid wa sholawat?
Plus alhaqqu mirobbikum, lagi. Wah, jangan-jangan ini orang salah
alamat, nih. Masa iya sih, orang mau meninggal kok titip foto biar
dikirim ke alamatku? Maksudnya apa, ngajak kenalan? Lah, udah tau
mau meninggal kok ...Terus, dapat alamatku dari mana? Oh mungkin
Tante Nina nih, waktu ke Singapore ngasih alamatku sama kenalan
temannya ... ah, nggak logis. Terus, apa dia dapat alamatku dari
Annida? Hhh ... beribu-ribu pertanyaan menjejali benakku, mencari
jawab yang pasti.

Malamnya entah kenapa, aku jadi panik, krang-kring ke sana kemari.


Tanya Tante Nina, pernah nggak ngasih alamatku sama seseorang
waktu di Singapore. Ternyata nggak, malah dia bingung ada apa. Ah ya
udah. Kutanya ketiga tanteku yang lain, hasilnya sama. Terakhir ku-
inlok Mama, beliau malah ketawa. Waduh. Kata Mama, mungkin
Widiana itu teman lamaku. Waktu SMA, SMP, SD atau malah ... waktu
TK ? Ha. Nggak mungkin. Kalau emang iya, pasti dia ngirim surat ke
alamat rumahku dong. Aku khan nge-kost baru enam bulan, yang tahu
alamat kost juga terbatas, nggak semua orang. Akhirnya aku
berkesimpulan, pertama : orang ini pasti sebenarnya ingin ngajak
kenalan, sama seperti yang lain, cuma caranya dia aja yang lain, pake
buat-buat misteri segala. Kesimpulan kedua, kalau orang ini serius,
pasti dia salah alamat. Akhirnya kususun surat balasan, besoknya
segera kupostkan. Kilat.

Empat bulan berlalu tanpa kabar. Ketika kutemukan sepucuk ampop


putih terselip, dengan prangko Singapore. Langsung kubuka dan
kubaca. Penasaran, apa ya jawabnya ? Seperti biasa, surat itu
didahului dengan salam plus. Isinya, wah ... kurasa bakal lebih
mengejutkan dari yang pertama.

"... Selanjutnya, saya ingin mencoba menjelaskan beberapa hal


sehubungan dengan 'kesalahan kirim' tersebut. Saya tidak mempunyai
maksud apa-apa jua, atas telah mengirim surat tersebut. Ini benar-
benar tindakan yang terencana dari saya, selaku ahli waris untuk
menyampaikan amanah almarhumah. Mengenai surat balasan yang
Anda kirim, dimana menyatakan Anda betul-betul tidak mengenal
almarhumah, adalah di luar jangkauan pengetahuan saya ...
Kemudian, berhubung kematian Widiana adalah disebabkan kasus
pembunuhan (setidaknya sedang diselidiki), maka saya tidak
dibenarkan untuk memberikan penjelasan lebih banyak tentangnya.
Pihak yang berwajib sedang melakukan pengusutan terhadap kasus
ini. Saya, sedikitpun tidak berprasangka buruk pada sesiapa saja,
termasuk Anda. Apalagi setelah tahu Anda seorang penulis di
beberapa media Islami ..."
Ha, penulis di beberapa media Islami ? Well, sedikit ngibul nggak pa-pa
khan. Yah, nggak salah juga sih, penulis ... penulis surat pembaca,
penulis komentar ... hehe. Eeh, what ?? Kasus pembunuhan ? Makin
menarik aja nih misteri. Kulanjutkan membaca surat itu.

"Sebagai pengetahuan Anda, Widiana adalah bekas mahasiswa di


salah satu Universitas di Indonesia (Jakarta), sebelum meninggalnya.
Dan seandainya Anda tidak keberatan, saya mengajukan beberapa
permohonan, lebih tepatnya sebagai (maaf), bukti bahwa Anda tidak
termasuk dalam daftar nama-nama yang harus kami selidiki dan
menjadi obyek pengusutan perkara : 1. Menyimpan foto tersebut atau
mengirim kembali kepada saya, semata-mata sebagai bukti apabila
suatu saat diperlukan untuk kepentingan penyidikan, 2. Jika tidak
keberatan, masalah ini ditutup sampai di sini ..."

Wah, wah, wah. Ini benar-benar di luar dugaan. Masa iya, aku ? Aku
dicurigai terlibat kasus pembunuhan, seorang perempuan di
Singapore, yang nggak kukenal ? Yang bener boo ! Jelek-jelek begini,
meski nggak aktif lagi di pengajian, jangankan membunuh orang ...
menyembelih kambing kurban aja masih gemetar ! wah, surat ini mesti
dibalas nih. Dalam hati aku takut juga, gimana kalau entar ada detektif
dari Singapore, nanya ini-itu sama keluarga kost? Bisa-bisa aku
dicurigai, terus diusir. Alamat sengsara nih.

Nggak ingin ada salah paham yang lebih salah lagi ... dan nggak ingin
kehilangan kenalan seorang Singaporean (lumayan khan, nambah-
nambahin koleksi prangko ?), kembali kususun surat balasan buat
'sang ahli waris'. Isinya, bahwa aku sudah mencoba mengingat-ingat
siapa Widiana, tapi hasilnya nihil. Bahwa aku benar orang baik-baik,
jadi nggak mungkin deh terlibat urusan pembunuhan. Dan terakhir,
bahwa aku ... ingin mengajak kenalan 'sang ahli waris' lebih lanjut. Itu
juga kalau berkenan. Dan ?!

Dan itulah awal perkenalanku dengan Mai. Ternyata nama lengkapnya


adalah Mailan Dapper Anderson. Seorang WNI keturunan, yang lahir di
Bandung tahun 1975. Non Muslim sejak lahir, dan baru menjadi
muslimah lima tahun yang lalu. Ayah Yahudi, ibu Kristen. Ketika sang
ibu meninggal, sang ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga
Mai tinggal bersama keluarga pamannya yang muslim. Kemudian yah,
Mai masuk Islam.

Demikianlah, akhirnya kami menjadi sahabat pena. Kadang Mai


mengirimiku kaset nasyid, Raihan. Yang mengingatkanku saat di SMA
dulu, ketika masih aktif di Rohis. Sekarang? Ha, kaset-kaset nasyid
tersimpan rapi. Berkat kiriman Mai pula, aku jadi rajin menyetel kaset
nasyid-nasyid itu kembali. Kemudian, tentang Widiana. Ternyata dia
adalah putri paman Mai, yang pindah ke Indonesia untuk kuliah di UI
sekitar tahun 1991. Terbunuh di Jalan Radio Dalam, akhir Mei 1997.
Data terakhir tentang Widi ini membuatku bingung. Di surat terdahulu,
katanya meninggal di Singapore karena sakit. Piye tho ??

Tapi udahlah. Sepanjang itu menguntungkan bagiku, jalan terus. Yang


penting prangko koleksiku bertambah, kaset nasyid juga bertambah,
buletin- buletin Islam kiriman si Mai juga jalan terus. Rasanya senang-
senang saja, segala puji bagi Allah yang mempertemukan kami lewat
surat ... hingga akhirnya saat itu datang. Musibah itu satu persatu,
datang menguji hamba-Nya.

Pertama, di awal tahun 1998, saat pesawat Silk Air MI 185 jatuh di
Palembang. Salah seorang korbannya adalah ayah tiri Widi, Mr.
Terrason Olivier, yang dalam perjalanan pulang ke Singapore setelah
mengurus kasus Widi di kepolisian Jakarta. Inna lillahi wa inna ilahi
rojiun. Lama sekali setelah itu, suratku tak dibalas oleh Mai. Hingga
akhirnya aku pergi haji bersama Mama, bulan Maret-April 1998.
Kusempatkan mengirim postcard dari Medinah, untuk Mai. Juga
kupanjatkan doa untuk Mai, di Masjid Nabawi, Arafah dan Masjidil
Haram ... agar dia menjadi muslimah yang baik, taat pada Ilahi dan
tabah menghadapi hidup. Tak kusangka kejutan kedua menyambutku,
sepulangnya dari haji.

Surat itu singkat saja, isinya :


"Assalamu alaikum wr. wb. Anandito, I really don't know what you
mean. But I am sure, you haven't done something wrong. If you want
me to die, you need not to kill me. Believe me, now I am dying of
cancer. It is the last time I believe in people, even I put on you all of
my trust, as long as our relationship. But now, I have nothing to say. I
return your last letter, read it in your dream. Thank you. Wassalam,
Mailan D. Anderson."

Deg! Apa-apaan nih! Sepucuk amplop coklat jatuh ke pangkuanku.


Hah? Surat buat Mai? Dari Anandito? Wah, isinya sangat mengerikan :

"Dear Sister Mai. It's better for you to prepare for your death. With love
to die, Anandito."

Palsu! Aku difitnah! Ya Allah, ada yang memfitnahku!

Panik, aku mencoba minum segelas air. Kubaringkan diriku di lantai


yang dingin, kucoba berpikir jernih. Siapa kiranya yang
mempermainkan aku, mempermainkan Mai pula? Kanker? Si Mai kena
kanker? Ya jelas dia ngamuk-ngamuk dong, lagi sakit berat kok ada
yang ngirim surat mengharapkan kematiannya. Gila, gila !! Tapi siapa,
siapa ??

Segera kutulis balasan. Kucoba menjelaskan, bukan aku yang


melakukannya. Karena saat itu aku sedang pergi haji, bersama ibuku.
Kukirim foto-foto haji, bersama penjelasanku panjang lebar. Tak lama
kemudian, seorang perempuan tengah malam menelponku. Katanya
sih, auntie-nya Mai. Hanya mengecek kebenaran isi suratku, karena
saat ini si Mai sedang di Amerika bersama neneknya. Berbulan-bulan,
surat dari Mai tak datang. Hingga akhirnya, datang sebuah paket dari
Yogya. Tapi dari Mai! Isinya? Hiasan kaligrafi mini, dari kuningan. Tak
ada pesan, tak ada surat.

Demikian seterusnya. Datang lagi selembar kartu pos, dengan sepatah


dua kata. Kaset? Masih dikirim juga, cuma kali ini bukan kaset asli, tapi
kaset nasyid hasil rekaman. Kualitasnya nggak begitu bagus. Surat?
Kalau ini jangan harap. Tampaknya si Mai mengerti juga, bukan aku
yang mengirim surat teror itu. Tapi efeknya sampai kini, bahkan saat
Idul Fithri pun Mai hanya mengirim selembar postcard dengan kata-
kata : "Kamu tahu, kenapa bintang-bintang di langit tampak indah?"
Udah, itu doang. Aneh khan ?

Yang jelas, si Mai sekarang udah tinggal di Indonesia. Karena surat-


surat dari dia, sekarang beralamat PO Box ... CPA HU, bukan lagi Bukit
Batok St 24... Berarti di sekitar Ciputat Haji Usman. Tapi gimana
kabarmu Mai? Gimana kelanjutan kasus Widiana? Dengan siapa kamu
tinggal? Apa kegiatanmu sekarang? Siapa sebenarnya yang mengirim
surat teror itu? Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sampai kini. Hubunganku dengan Mai pun, nampaknya tak seindah
yang kuharapkan. Mai, Mai ... Mai! Kupersembahkan tulisan ini
untukmu, dimana saja engkau berada.

(by : Anandito Birowo)

Muka

Jodoh
Wei Ku telah beranjak dewasa. Sudah saatnya ia mencari gadis yang
baik untuk dijadikan istri. Tapi sampai saat ini, ia belum juga berhasil.
Bukan suatu hal yang aneh. Ia memang terlalu mempertimbangkan
bibit-bebet-bobot calon istrinya. Maka, saat angin semi mulai bertiup
ke dataran Cina pada tahun 807, Wei Ku melakukan perjalanan ke
Tsing-Ho.
Di tengah perjalanan, Wei Ku memutuskan untuk beristirahat di sebuah
rumah penginapan yang berada di Gerbang Selatan Sung-Cheng.
Kebetulan ia bertemu dengan teman sekolahnya dulu. Maka Wei Ku tak
segan untuk menceritakan maksud perjalanannya itu. Seperti gayung
bersambut, temannya menyarankan Wei untuk mencoba melamar
anak gadis keluarga Pan. Menurut temannya itu, keluarga Pan adalah
keluarga yang status sosial ekonominya sederajat dengan Wei.
Lagipula, gadis itu sangat cantik dan terpelajar. Wei girang bukan
main.

Sebelum berpisah, teman Wei berjanji untuk mempertemukannya


dengan 'Pak Comblang' dari keluarga Pan di Lung-Shing, esok pagi. Pak
Comblang inilah yang akan meneruskan data pribadi Wei kepada gadis
tersebut. Bila keluarga itu berkenan menerimanya, maka Wei akan
segera berkenalan, sebelum lamaran resmi atau khitbah diajukan.

Kegembiraan yang meluap-luap memenuhi rongga dada Wei.


Dibentangkannya sajadah, lalu ia mulai sholat istikhoroh. Baru kali ini
Wei merasa melakukannya dengan sepenuh hati, dengan kepasrahan
yang murni ... Ah. Tak terasa air mata Wei berjatuhan. Diam-diam
menyelinap suatu penyesalan. Mengapa ia baru bisa khusyu' dan
dapat merasakan ikatan yang erat dengan Allah, ketika ada masalah
berat dan serius yang harus ia hadapi ? ...

***************

Waktu subuh belum lama berlalu, namun Wei telah bersiap untuk pergi
menemui Pak Comblang. Makin cepat makin baik, pikirnya. Di bawah
sinar bulan sabit yang kepucatan, Wei bergegas menuju Lung-Shing.
Fajar belum juga merekah ketika Wei sampai di tempat yang dijanjikan.
Sepi sekali. Nyanyian jangkrik perlahan menghilang. Wei benar-benar
sendirian. Di tengah kegamangan hatinya, Wei mencoba mengitari
bangunan itu. Seperti sebuah musholla kecil. Cahaya lilin yang
memantul di sela-sela kaca jendela, membangkitkan rasa ingin
tahunya.

Wei berjingkat ke arah jendela. Ditempelkan matanya ke celah-celah ...

"Hei, masuklah!"

"Jangan mengintip seperti itu!"

Wei tersentak. Rasa malu, kaget dan takut berbaur menjadi satu.

"Ayo, masuklah. Jangan takut!"


Suaranya lebih lembut namun tetap berwibawa. Wei ragu-ragu. Tetapi
rasa ingin tahu sedemikian menyerbunya. Akhirnya ia memberanikan
diri melangkah ke dalam.

"Kemarilah!" ajaknya tanpa melihat muka Wei.

Wei memperhatikan dengan penuh seksama. Laki-laki itu belum terlalu


tua, tapi wajahnya memancarkan kebaikan yang seolah-olah
bersumber dari seluruh aliran darahnya. Bijak, arif, lembut namun
tegas. Tentulah ia pengemban amanah yang luar biasa, pikir Wei.

Laki-laki itu duduk di atas permadani sambil membaca sebuah buku.


Lalu ia berkata perlahan: "Belum saatnya Wei.... Belum saatnya." Wei
menatap wajahnya dengan penuh kebingungan.

Lalu laki-laki itu kembali melanjutkan. Kali ini ditatapnya Wei dengan
ketajaman jiwa. "Kau tahu? Semenjak seseorang ada dalam kandungan
ibunya, Allah Ta'ala telah menetapkan 3 hal untuknya. Kau sudah tahu
bukan! Salah satu di antaranya adalah jodohnya.. pasangan hidupnya."

"Hmmmm..... seperti benang sutera."

"Ya, seperti benang sutera yang diikatkan di antara mereka berdua.


Kepada kaki laki-laki atau bayi perempuan yang lahir dan ditakdirkan
berjodohan satu dengan yang lainnya. Begitu simpul diikatkan, maka
tak ada suatu hal pun yang dapat memisahkan mereka."

"Salah seorang diantara mereka mungkin saja berasal dari keluarga


yang miskin, sedang yang lainnya dari keluarga yang kaya. Atau
mereka terpisah bermil-mil jaraknya, bahkan mungkin ada yang
berasal dari dua keluarga yang saling bermusuhan. Tapi pada akhirnya,
bila saatnya telah tiba, mereka akan menjadi suami istri. Tak ada suatu
hal pun yang dapat mengubah takdir itu." Laki-laki itu terdiam sesaat.
Wei kini sudah sepenuhnya duduk terpekur di hadapannya. Kalimat
demi kalimat disimaknya dengan seksama.

"Jodoh adalah masalah yang paling ajaib dan paling gaib. Suatu
rahasia kehidupan yang tak akan pernah tuntas untuk dimengerti.
Bayangkan. Dua anak yang berbeda, tumbuh di lingkungannya
masing-masing. Sebagian besar mungkin tidak menyadari kehadiran
satu dengan lainnya. Tapi bila saatnya tiba, mereka akan bertemu dan
mengekalkan ikatannya dalam tali pernikahan."

"Kalau ada wanita atau laki-laki lain yang muncul di antara keduanya,
ia akan terjatuh. la tak akan mampu melewati bentangan tali sutera
yang telah diikatkan pada mereka. Ah, kau pasti pernah melihat orang
yang patah hati bukan? Hhh, sebagian orang yang bodoh dan tak kuat
menahan cobaan, memilih mati daripada patah hati. Bukan takdir yang
memilihnya untuk bunuh diri. Itu pilihannya sendiri, ia cuma tak sabar
menanti saat pertemuan itu datang."

"Ketahuilah, Wei. Masalah jodoh adalah rahasia Allah. Kau harus dapat
berdamai dengan takdirmu."

"Bagaimana dengan aku!" sela Wei. "Apakah aku akan berhasil


menikah dengan anak gadis dari keluarga Pan? Apakah ia takdirku?"
tanyanya tak sabaran. Laki-laki itu tersenyum.

"Belum saatnya Wei. Belum saatnya. Suatu saat nanti, kau akan
menikah dengan seorang gadis shalihat, cantik dan pintar. Pun dari
keluarga yang terhormat. Kelak, setelah menikah, kalian akan
mempunyai anak laki-laki. Dan anakmu akan menjadi pedagang yang
terpelajar. Ia dermakan kekayaannya untuk agama Allah. la juga akan
menjadi anak yang senantiasa memelihara kedua orang tuanya.
Meskipun kalian sudah tua renta nanti. Hal ini tak lepai dari peranan
ibunya dalam mendidik anak itu."

"Tapi itu nanti. Bila calon istrimu telah mencapai usia 17 tahun.
Sayangnya, saat ini dia masih berumur 7 tahun."

"Hah!" Wei kebingungan. "Jadi saya harus membujang selama 10


tahun ?!" Wei menatap tak percaya. Ia berharap semua hanya
kemungkinan karena ia salah dengar saja. Wei mencari kesungguhan
di sana. Tapi semua sia- sia. Air muka laki-laki itu tak berubah sedikit
pun. Dan Wei menyadari semua adalah kebenaran.

"Kalau begitu, di mana dia sekarang? Dimana saya dapat menemui


calon istri saya? Tolonglah?!" Wei memohon padanya. "Oh, gadis itu
tinggal dengan wanita penjual sayur. Tak jauh dari sini. Setiap pagi,
wanita itu datang ke pasar dan menjajakan sayurannya di sebelah kios
ikan." Kukuruyukkkkk ... !! Suara nyaring ayam jantan memecah
keheningan. Wei tersentak.

Kukuruyukkkkk...! ! Kokok nyaring ayam jantan membangunkan Wei


dari tidurnya. Ah, rupa-rupanya ia tertidur di atas sajadah.
Alhamdulillah, waktu subuh belum habis. Wei bersegera mengambil
wudhu. Sehabis sholat subuh, Wei kembali teringat mimpinya. Seolah
semua menjadi teka-teki. Wei belum tahu apakah harus
menganggapnya sebagai jawaban atas sholat istikhorohnya atau tidak.
Untuk mcnyingkap tabir mimpi itu, cuma ada satu cara yang bisa
dilakukannya: mencari gadis kecil yang katanya calon istrinya itu!
Lalu Wei pun bergegas ke pasar terdekat. Sepanjang jalan ia berdoa
dan berjanji. Berdoa agar calon istrinya memang benar-benar baik
bibit, bebet dan bobotnya. Sebagaimana telah diisyaratkan dalam
mimpi. Dan berjanji untuk menerima takdirnya dan berusaha menjadi
muslim yang baik. Lebih baik dari kualitasnya sekarang. Fajar telah
lama merekah saat Wei tiba di sana. Orang-orang mulai melakukan
kegiatannya. Pembeli mulai berdatangan. Ramai. Namun belum
seramai satu jam yang akan datang. Maka Wei lebih leluasa untuk
mengamati sekitarnya. Matanya berkeliling mengitari pasar, lalu
tertumbuk pada sosok kecil di samping kios ikan.

Wanita itu tua, kotor, lusuh. Kumal. Rambutnya telah keabu-abuan.


Dengan sebelah mata tertutup lapisan katarak, ia duduk di selembar
alas sambil menggendong bocah kecil di dadanya. "Oh, tidak!!
Bagaimana mungkin?! Ini pasti kekeliruan!" Wei menatap kembali
bocah terlantar yang kurus kering itu. Hatinya hancur. Ah, mimpi
semalam benar-benar hanya bunga tidur.

Wei kembali ke penginapannya dengan hati lesu. Kali ini bukan saja ia
kecewa karena calon istrinya ternyata hanya seorang bocah
gelandangan, tapi juga karena 'Pak Comblang' dari keluarga Pan tidak
datang pada pertemuan yang ia janjikan. Tanpa suatu penjelasan
apapun. Ah, sudah jatuh dari tangga, tertimpa genteng pula!

Saya adalah seorang yang terpelajar. Sudah selayaknya saya


mendapatkan seorang gadis dari keluarga terhormat. Semakin lama
Wei memikirkan hal tersebut, semakin jijik ia membayangkan
kemungkinan menikahi bocah kumal itu. Benar-benar menggelikan.
Wei khawatir hal tersebut benar-benar akan terjadi. Dan ia tidak dapat
tidur semalaman.

Keesokan hatinya. Wei pergi ke pasar bersama dengan pelayan


setianya. Wei menjanjikan imbalan yang sangat besar apabila ia
berhasil membunuh bocah kumal itu. Wei dan pelayannya berdiri di
belakang pembeli. Begitu kesempatan datang, pelayan Wei
menikamkan pisaunya ke arah si anak, lalu mereka kabur. Bocah kecil
itu menangis dan wanita buta yang menggendongnya berteriak-teriak:
"Pembunuh! Pembunuh!" Kegemparan segera menyebar ke seluruh
penjuru pasar.

Sementara itu, Wei dan pelayannya telah lenyap dari tempat kejadian.
"Kau berhasil membunuh dia?" tanya Wei terengah-engah. "Tidak,"
jawab pelayannya. "Begitu saya menghunjamkan pisau ke arahnya,
anak itu berbalik secara tiba-tiba. Saya rasa saya hanya melukai
mukanya. Dekat alisnya."
Wei segera meninggalkan penginapan. Kejadian itu dengan segera
terlupakan oleh masyarakat sekitar. Ia kemudian pergi ke arah Barat
menuju ibukota. Karena kecewa dengan kegagalan pernikahannya, Wei
memutuskan untuk berhenti memikirkan perkawinan. Tiga tahun
kemudian Wei dijodohkan dengan gadis yang mempunyai reputasi baik
yang berasal dari keluarga Tian. Sebuah keluarga yang cukup terkenal
di masyarakat sekitar. Anak gadisnya terpelajar dan sangat cantik.

Semua orang memberi selamat pada Wei. Persiapan pernikahan


tengah dilangsungkan, ketika suatu pagi Wei menerima berita yang
menyakitkan. Calon istrinya melarikan diri dengan laki-laki yang
dicintainya. Mereka berdua telah menikah di kota lain. Selama dua
tahun Wei berhenti memikirkan pernikahan. Saat itu ia berusia dua
puluh delapan tahun. Ia berubah pikiran tentang mencari pasangan
dari masyarakat yang sekelas dengannya; seorang gadis kota
terpelajar.

Maka Wei pergi ke pedesaan, mencari suasana baru. Di desa, Wei


menghabiskan waktu dengan mempelajari buku-buku. Suatu hari ia
membawa bukunya ke sungai di dekat ladang, agar lebih nyaman
membacanya. Tanpa sengaja ia melihat gadis desa yang sedang
memanen kentang. Wei jatuh hati padanya dan bersegera menemui
orang tua gadis itu. Gayung bersambut, gadis itu menerima
lamarannya. Maka Wei bergegas ke kota untuk membeli perhiasan dan
baju sutera serta segala persiapan pernikahan. Selama beberapa hari,
Wei berkeliling mengunjungi saudara-saudaranya untuk mengabarkan
berita gembira itu.

Seminggu kemudian ia kembali ke desa. Tapi yang ditemuinya hanya


kabar buruk tentang sakitnya sang calon. Wei bersedia menunggu
sampai ia sembuh. Sampai setahun hampir berlalu, penyakit calon
istrinya malah semakin parah. Gadis itu kehilangan seluruh rambutnya
dan menjadi buta. Ia menolak menikahi Wei dan berpesan pada orang
tuanya untuk meminta Wei melupakan dia. Ia mohon agar Wei mencari
gadis lain yang layak untuk dijadikan istri.

Tahun demi tahun berlalu, sampai akhirnya Wei mendapatkan calon


yang sempurna. Bukan saja ia cantik dan masih muda, tapi juga
pencinta buku dan seni. Tak ada rintangan, khitbah pun segera
dilangsungkan. Tiga hari sebelum pernikahan, gadis itu terjatuh dari
tangga dan mati. Sepertinya nasib mengolok-olokkan Wei. Wei Ku
menjadi fatalis. Ia tidak lagi peduli pada wanita, ia hanya bekerja dan
bekerja. Sekarang ia bekerja di kantor pemerintahan di Shiang-Chow.
Mengabdikan diri pada tugas dan sama sekali berhenti memikirkan
pernikahan. Tapi ia bekerja dengan sangat baik, sehingga atasannya,
Hakim Tai, terkesan pada dedikasi dan kesungguhannya. Lalu
mengusulkan Wei untuk menikahi keponakannya. Pembicaraan itu
sangat menyakitkan Wei.

"Mengapa Tuan mau menikahkan keponakan Tuan pada saya! Saya


terlalu tua untuk menikah."

Pejabat itu menasehati Wei tentang keburukan membujang. Lagipula


menikah adalah sunnah Rasulullah. Maka Wei menyetujuinya,
meskipun ia sama sekali tidak antusias. Wei benar-benar tidak melihat
istrinya sampai pernikahan benar-benar selesai dilangsungkan. Istrinya
ternyata masih muda, Wei lega melihatnya. Tingkah lakunya sangat
baik dan Wei harus mengakui bahwa ia adalah istri yang sangat baik.
Taat, sholihat dan selalu menyenangkan. Sama sekali tidak ada alasan
untuk tidak menyukainya.

Bila di rumah, istrinya selalu menata rambut dengan cara yang khas,
sehingga menutupi pelipis kanannya. Menurut Wei, dengan tata
rambut seperti itu istrinya kelihatan sangat cantik, tetapi ia agak
heran. Tak kurang dari satu bulan, Wei telah benar-benar jatuh cinta
kepadanya. Suatu saat ia bertanya, "Mengapa dinda tidak mengganti
gaya rambut sekali-kali? Maksudku, mengapa dinda selalu menyisirnya
ke satu arah?"

Istri Wei menyibakkan rambutnya dan berkata, "Lihatlah!" Ia menunjuk


ke luka di pelipis kanannya.

"Bagaimana bisa begitu?"

"Aku mendapatkannya saat berumur tujuh tahun. Ayahku meninggal di


kantornya, sedangkan ibu dan abangku meninggal dunia pada tahun
yang sama. Kemudian aku dirawat oleh ibu susuku. Kami mempunyai
rumah di dekat Gerbang Selatan di Sung-Cheng, dekat kantor ayahku.
Suatu hari, seorang pencuri tanpa alasan apa pun, mencoba
membunuhku. Kami sama sekali tidak mengerti, kami tidak pernah
punya musuh. Ia tidak berhasil, tapi ia meninggalkan luka di kepala
sebelah kananku. Karena itulah aku selalu menutupinya darimu."

"Apakah ibu susumu hampir buta?"

"Ya. Kok tahu?"

"Akulah pencuri itu. Ah, tapi bagaimana mungkin! Semua begitu aneh.
Semua terjadi, seperti ada yang telah mentakdirkan."

Wei kemudian menceritakan semuanya. Bermula dari mimpinya


setelah ia sholat istikhoroh, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Istrinya
juga bercerita, ketika ia berusia sembilan atau sepuluh tahun,
pamannya menemukan ia di Sung-Cheng dan mengambilnya untuk
tinggal bersama keluarganya di Shiang-Chow.

Akhirnya mereka menyadari bahwa pernikahan mereka adalah sebuah


takdir yang telah digariskan Allah Ta'ala. Wei menangis. Ia malu pada
Penciptanya. Malu pada kesombongannya untuk menentang takdir. Ah
... pada saat itulah, Wei menyerahkan segala urusannya kepada Allah.
Tapi kenapa ketika ia mendapatkan petunjuk, ia malah mengingkarinya
?

Saat itu juga, Wei melakukan sholat taubat. Untuk menjadi mukmin
yang baik. Begitulah, kasih sayang di antara mereka kian tumbuh
subur. Setahun kemudian lahirlah anak laki-laki. Istri Wei mendidiknya
dengan sangat baik. Setelah dewasa, ia menjadi seorang yang
terpelajar. Usahanya di bidang perdagangan maju pesat. Ia sangat
penyantun dan terkenal kedermawanannya.

Ketika sang anak menjadi gubernur, Wei Ku telah lanjut usia. Anak dan
istrinya tetap setia memelihara dan mencintainya. Di tempat mereka
pertama kali bertemu, empat belas tahun sebelum pernikahan, anak
Wei membangun tempat peristirahatan untuknya.

(retold by : Lin Yu Tang / Ulan)

Muka

Ketika Gendis Harus Memilih

Hamparan sawah dengan bulir-bulir padi yang hampir menguning di bawah kaki Merapi
merupakan pemandangan yang sangat indah bak gelaran permadani. Ditambah lagi
percikan suara air di selokan bening yang melingkari seluruh pematang bagai alunan nada
merdu. Di kejauhan tampak pula para petani berlomba dengan burung-burung pipit yang
hendak memakan butiran padi yang hampir masak.
Pemandangan mengelokkan disetiap musim panen tiba sepert ini membuat Gendis tak
bosan-bosannya duduk di pinggir pematang. Angin sepoi-sepoi seakan menerbangkan
jilbab yang dikenakan olehnya. Desa Gendis memang indah, di bawah kaki gunung
Merapi yang acap kali menyemburkan laharnya justru membuat tanah di daerah itu
sangat subur. Ibaratnya apapun yang ditanam pasti tumbuh dengan suburnya
"Hai ...Gendis kok nglamun...", tiba-tiba Gendis dikagetkan dengan suara seseorang.

"Oalah ...mbak Sri kapan datangnya..." setengah terpekik


"Sudah dua hari yang lalu"
"Kok ndak kasih kabar dulu "
"Iya kebetulan aku dapat cuti satu minggu dari tempat kerja nDis...ya sudah pulang
kampung saja sudah kangen sama semuanya"
"Mbak Sri, pangling aku.."
Gendis mengamati dengan teliti penampilan Sri, kakak kelasn di SMA yang telah
meninggalkan desanya dan bekerja di Jakarta.
"Kok ndak pakai jilbab lagi toh mbak.."
"Wah panas nDis kalau pakai kerudung segala, lagipula aku nanti dibilang ndeso gitu
lho"
"Ohh gitu tho mbak...eh..enak ndak si kerja di Jakarta itu"
"Ya..ada enaknya ya ada ndak enaknya"
"Di sana kerja apa toh Mbak"
"Kerja di pabrik"
"Jadi apa ?"
Tiba-tiba saja Sri tergelak
"Aduh Gendis...katanya kamu ini pinter, NEM tertinggi se kecamatan kok begini ya
ditanyakan"

"Lho memang kenapa mbak"


Kembali Sri tertawa
"Kamu ini lucu sekali Ndis...lulusan SMA, paling banter ya jadi buruh...apa mau jadi
Boss..ha...ha..ha... Di Jakarta itu wong pinter buanyaak nDis, cari kerja susah sekali"
"Ooh begitu toh mbak"
"Lha kamu piye kan sudah aku tawarin ikut kerja .kebetulan perusahaan sedang cari
pegawai baru "
"Endak tahu yaa...bingung mbak.."
"Lho bukannya kamu sekarang sudah lulus SMA nya toh...sudah ndak sekolah lagi..sudah
ikut aku wae ke Jakarta"
"Iya tapi Ibuku sepertinya kok ndak seberapa seneng mbak..Ibuku masih mengharapkan
aku untuk ngelanjutkan sekolah lagi..soalnya aku juga ikut tes UMPTN..Ibu berharap
sekali aku keterima..
Mata Gendis menerawang jauh. Ibunya sangat menharapkan ia dapat melanjutkan
sekolah lagi. Tapi Gendis sadar bahwa keluarganya bukan tergolong mampu. Kadang
untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah pas-pas-an. Apalagi setelah kematian bapaknya
tujuh tahun yang lalu, otomatis tulang punggung perekonomian keluarga di tangan
ibunya. Ketika meninggal, Bapak Gendis juga tidak mewariskan banyak. Sekarang
ibunya hanya mendapatkan gaji pensiunan bapaknya sebagai bekas guru SD yang tidak
seberapa. Ditambah ibunya harus membanting tulang berjualan telur hasil dari ternak
ayam yang ada di rumah yang juga tidak terlalu banyak
Kalau mengingat itu rasanya Gendis sudah tidak tega membiarkan ibunya harus bekerja
ekstra untuk kebutuhan dirinya dan adik-adiknya. Kebetulan Gendis masih mempunya
dua adik laki-laki Gendis ingin sekali bekerja untuk membantu beban ibu. Apalagi di
jaman sekarang semua kebutuhan harganya melangit.
"Hey nDis melamun lagi...bagaimana toh kamu ini"
"Iya mbak..bagaimana ya..."
"Lho ditanya kok mbales nanya "
"Nantilah mbak jawabannya setelah pengumuman UMPTN"
"Kapan pengumumannya nDis"
"Besok Mbak"
"Besok..wah kalau diterima nanti traktir aku yaa"
Gendis tersenyum
"Nah sekarang aku traktir kamu dulu makan mendoan di warung Yu Tarsih"
"Alhamdulillah...ceritanya bagi-bagi rejeki ya.."
"Endak lah...aku ingin saja ...pergi yook"

**********
"Amin..."guman Gendi lirih mengakhiri doa-doa panjang setelah shalat Maghrib malam
itu.
Tak terasa olehnya tampak ibu yang mengimami shalat sedari tadi mengamati putri
sulungnya.
"Sudah kamu doakan Paknemu di kubur Nduk.."
"Sampun Bu..Gendis selalu doakan Pakne dan Bune semuanya"
"Alhamdulillah...ya memang itu yang diperlukan Paknemu sekarang di kubur sana ndak
ada yang lain...doa dari anak-anaknya....dan jangan lupa selalu doakan ..."
"Inggih Bu..."
Sesaat Gendis mengamati ibunya. Tersadar olehnya bahwa ibu sekarang tampak lebih tua
dari umurnya. Raut wajah ibu sudah dipenuhi oleh kerut-kerut yang telah menyimpan
banyaknya peristiwa, pengalaman dan perjuangan yang mesti dihadapi. Tangan ibu yang
seharusnya putih bersih terlihat legam terbakar matahari karena harus setiap hari
berjualan di emper pasar menawarkan telur.
Urat-urat tangan tampak menonjol menunjukkan betapa kerasnya kehidupan yang
dijalankan ibunya untuk meghidupi keluarganya, untuk anak-anaknya. Tetapi dibalik itu
semua, ibu tidak pernah mengeluh sedikit pun. Ibu selalu tawakal dengan apa yang harus
dihadapinya. Ibu tidak pernah marah dengan guratan nasib yang menimpanya.Tak terasa
air mata Gendis menetes.
"Ada apa toh Nduk kok tiba-tiba nangis "
"Ndak apa-apa koh Bu...Ehmmm..ibu sayah ya...harus setiap hari kerja begitu"
"Endak ..ibu sudah biasa kan seperti ini Nduk...semua ini demi kamu dan adik-adikmu.
Biar kalian semua dapat terpenuhi kebutuhannya..."
"Gendis sedih bu..ndak bisa mbantu malah sering nyusahake ibu....."
"Sudah kamu ndak usah kawatir..kamu semua jadi anak-anak baik ibu senang sekali...itu
kebahagiaan tersendiri buat ibu"
"Inggih Bu"
Gendis melepas mukena dan hendak beranjak menuju dapur
"Ndis tadi siang kemana saja ibu cari-cari..."
"Oh ya bu..tadi Gendis ketemu sama mbak Sri"
"Sri yang mana to Nduk"
"Itu lho Bu..mbak Sri anak Dusun Atas yang sekarang kerja di Jakarta.."
"Ohhh itu ..ya..ya..ibu tahu...yang sering kirim-kiriman surat sama kamu "
"Mbak Sri nawarin Gendis kerja di Jakarta Bu.."
"Jakarta...kerja"
Wajah ibu berubah, ketidak sukaan nampak di raut wajah ibu.
"Iya Bu..."
"Kenapa sih kamu selalu mikir pingin kerja, apa uang saku yang ibu berikan kurang"
"Endak Bu sama sekali ndak ..Gendis hanya mikir ingin mbantu ibu, Gendis ingin
meringankan tugas ibu..itu saja.."
"Sudah ibu bilang berkali-kali nduk..ndak usah dipikir..ibu ingin kamu ngelanjutke
sekolah..pengumuman UMPTN besok toh nDuk..."
Ibu selalu ingat dan menantikan
"Inggih Bu "
"Mudah-mudahan dapat diterima ya Nduk"
"Peluangnya berat Bu.."
"Jangan bilang begitu Nduk kalau Gusti Allah ngresakake ya diterima...Berdoa minta
yang terbaik buat kita semua "
Sesaat kemudian ibu melepas mukena dan memakai kerudung di kepalanya
"Badhe tindak pundi Bu..dalu-dalu begini"
Sri keheranan, tidak biasanya ibu pergi malam-malam hari.
"Ke Warungnya pak Atmo di Sumber Rejo"
"Ada apa"
"Pak Atmo pesan telur ..lumayan banyak lho Nduk.."
"Gendis antar ya Bu"
Gendis segera memakai jilbab.
"Ndak usah..ibu diantar Tono dan Yanto adikmu"
"Lho anaknya ndak ada kan Bu"
"Ibu janjian di Langgar..mereka nunggu di sana"
"OOOhh.."
Yanto dan Tono, kedua adik Sri memang selalu rajin shalat berjamaah di Langgar. Kalau
Maghrib dan Isya` hanya Gendis dan Ibu yang shalat berjamaah di rumah.
"Tolong goreng tempe dan menghangatkan nasi di dandang buat makan malam...oh
ya..tolong ambilkan oblik Nduk "
Walaupun Listrik sudah masuk ke desanya, namun jalan-jalan di desanya serasa tak
tersentuh oleh listrik. Jadilah kalau malam tiba keadaan tetap gelap gulita. Bila warga
desa keluar rumah harus membawa penerangan seperti senter, oblik ataupun obor.
"Ini bu..hati -hati ya..bu..."
"Assalamualakium"
"Waalaikumsalam"
Gendis melepas kepergian ibu. Tampak tubuh ibu yang membawa gendongan di
punggungnya kian lama hilang di telan kegelapan malam.

*****************
Pagi itu Gendis telah bangun dan seperti biasanya membantu ibu di dapur.
"Yanto dan Tono kemana saja Bu kok ndak ada"
"Tadi habis Subuh pamitnya pergi gitu..ndak tahu kemana .. "
Dari kejauhan terlihat Yanto dan Tono berboncengan sepeda menuju rumah. Tampak
Tono terengah-engah sekali mengayuh pedal sepeda sekencang-kencangnya.

"Ibu..Mbak Gendis sini..lihat apa yang aku bawa" teriak Tono


Segera saja Ibu dan Gendis yang ada di dapur menghambur keluar mendengar ribut-ribut
di depan.
"Ini mbak aku tadi beli Koran yang ada pengumuman UMPTN ...mbak..mana nomermu
tak carikan sini"
Segera saja Gendis menyerahkan secarik kertas pendaftaran UMPTN
Yanto, Tono dan Ibu tentu saja, tampak antusias sekali mencari nama Gendis diantara
deretan nama yang berhasil lolos di UMPTN.
"Nah..Ini dia..Ada.Mbak..Ada.." Teriak Tono
"Mana-mana" seru Gendis dan ibu bersamaan.
"Ini dia Gendis Sugiwati diterima di ..sebentar..kodenya..Subhanalloh mbak..di Fakultas
Kedokteran UGM", Yanto mengeja nama kakaknya
"Wuahh..huebbat mbak...selamat yaa..seneng Tono"
"Alhamdulillah NDuk kamu keterima...kamu bisa nggelanjutkan sekolah lagi yaa"
Mata ibu terlihat sedikit berkaca-kaca.
Tapi gendis sendiri tampaknya tidak terlalu senang dengan "kemenangannya" ini. Dia
hanya menenggapi dengann biasa-biasa saja.
Rupanya ibu mengamati yang terjadi di dalam diri Gendis.
"Nduk..kamu ndak seneng ya..."
"Alhamdulillah bu Gendis senang....tapi"
"Tapi apa lagi..."
"Gendis bingung Bu...mau melanjutkan atau tidak..."
Mata Gendis menerawang
"Biaya kuliah mahal Bu...kita ndak sanggup membayarnya..lagipula Gendis ndak tega
kalau terus-menerus membebankan ibu"
Tiba-tiba ibu menghilang menuju kamar, sekejap kemudian keluar lagi sambil membawa
kotak kecil dan menyerahkan pada Gendis.
"Bukalah" kata Ibu
Gendis membuka perlahan-lahan kotak kecil. Dua buah kalung emas dan 2 cincin emas
"Juallah..Nduk buat bayar uang sekolah...kalau ada sisanya simpanlah buat keperluan
sekolah.....Besok minta antar sama paklikmu untuk ngantar jual ke kota"
"Jangan Bu..perhiasan ini nilainya amat berharga sekali bagi ibu"
Gendis tahu sekali perhiasan ini amat berharga nilainya dan harganya mahal sekali
merupakan peninggalan Eyang putrinya dan ada cincin kawin dari almarhum bapa
"Ndak usah terlalu dipikir..ibu memang sudah mempersiapkan buat kamu, lagipula ibu
juga ndak seneng pakai perhiasan, kalau dijual buat kebutuhanmu malah lebih berguna,
disimpan terus nanti mubadzir..."
"Ibu..tanggungan ibu bukan hanya Gendis saja, masih ada Yanto dan Tono..."
Gendis menghentikan pembicaraannya sesaat dan melirik ke arah ke dua adiknya.
"Tono dan Yanto harus sekolah tinggi Bu, mereka laki-laki lebih berhak daripada
Gendis....Gendis rela mengalah ndak sekolah asal Tono dan Yanto yang sekolah..."
Ibu menarik nafas dalam mendengar penuturan putri sulungnya
"Gendis..semua anak-anak Ibu sebisa mungkin harus sekolah...ndak yang laki dan
perempuan. Anggapanmu itu salah kalau wong wadon ndak perlu sekolah tinggi
itu..Ndak ada larangannya kan..."
"iyya Mbak...lagipula kesempatan ada di depan mata jangan disia-siakan" ujar Tono
"Yang mantep gitu lho mbak .. diniatkan ibadah ..nuntut ilmu.... biar ibu seneng dan kita
ndak jadi wong yang dibuat bodho terus" ujar Yanto menimpali pula
"Insya Alloh kalau ada kesempatan Yanto dan Tono juga ingin sekolah tinggi juga...ya
kan Bu.."
"Jarak Jogya sama desa kita kan ndak terlalu jauh, lagipula Mbak Gendis bisa tinggal
sama Bude di sana nanti" kata Tono
Gendis memandang satu persatu wajah adiknya.Walau Tono kelas 1 SMA dan Yanto
kelas 2 SMP tetapi mereka tampak lebih dewasa dari usianya.
"Ibu sendiri juga sedah memikirkan pula buat adik-adikmua Ndis..Jangan terlalu khawatir
dengan rezeki... Gusti Allah itu Maha Sugih ndak akan membiarkan hambanya kelaparan.
Apalagi niatnya ibu ini ikhlas kok...Insya Alloh nanti rejeki juga akan datang"
"Oalah Bu..matur nuwun..."
Gendis menangis dan memeluk ibunya.
Sesaat kemudian ibu berdiri dan tampak bersiap akan pergi.
"Mau kemana lagi Bu..pagi-pagi kan belum waktunya ke pasar "
Ditanya begitu oleh Gendis ibu tersenyum simpul.
"Dengar ya Nduk..sekarang Pak Atmo yang punya toko di Sumber Rejo minta agar ibu
nyetor telur ayam setiap dua hari sekali 10 kilo..katanya telur-telur ayam kita kwalitasnya
bagus...terus tokonya pak Cipto di Sumowono juga minta disetor telur ayam kita"
"kok ndak bilang-bilang Bu.... mau buat kejutan ya..."
"Ya..ndak juga..."
"Jadi ibu sekarang ndak jualan lagi di pasar"
"Di pasar ya tetap jualan..artinya kita punya penghasilan tambahan, nanti siang ibu mau
ke kota mau beli anak-anak ayam lagi..Nduk...biar hasil telurnya tambah banyak"
"Alhamdulillah ya Bu "
"Makanya seperti Ibu bilang tadi Gusti Allah itu Maha Kaya, membagikan
rejekiNya...Sudah sana tolong ibu masukkan telur -telur di keranjang ...Lha Tono dan
Yanto kamu ndak pada mangkat sekolah "
"Masya Allah Bu..sudah jam setengah tujuh" Yanti dan Tono bersamaan.
Keduanya langsung lari dan berebutan masuk ke kamar mandi.
Ibu dan Gendis hanya tertawa geli melihat keduanya.

****owari****
Daftar istilah :
nduk = panggilan untuk anak perempuan di Jawa
piye = bagaimana
pangling = kaget, heran, takjub
mendoan = masakan khas Jawa terbuat dari tempe dan tepung
sampun = sudah
inggih = Iya
sayah = Capek
ngresakake = berkehendak
Badhe tindak pundi Bu..dalu-dalu begini = Mau kemana bu..malam-malam begini
Oblik = lampu minyak kecil
Sugih = kaya

Pagi Bening
Wednesday, September 12, 2007
Penulis:Isbedy Stiawan ZS

MINGGU tersenyum. Pagi yang bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti gigi-
gigi macan yang mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik. Jemuran sekejap
kering. Bau asap menyergap.

Kau termangu di depan layar kotak kecil itu. Ah, apa yang kausaksikan dari dunia-kecil
dan kedil itu? Tangan-tangan memanjang. Merengkuh dua atau tiga benua. Disatukan ke
dalam pelukan. Muntah. Mesiu menebar. O, ada tangis. Luka. Anak-anak menatap
masalalu-masadepan. Kosong. Di pecahan tembok. Mengintip moncong senapan.
Menguping deru tank. Mengangguk-angguk: “satu lagi, seratus lagi. Korban
jatuh…�

Penjagal. Algojo bertangan mulus. Putih. Hidung mancung. Tanpan. Tangannya


menjangkau. Menjabat seluruh dunia. Menabur pundi-pundi uang. Dermawan kau… Ah,
tidak. Kau pemangsa. Nyawa melayang. Melesat bagai meteor. Tubuh-tubuh kemudian
jadi kaku.

Sudah berapa kematian di sini? Aroma ganja menebar. Asap mengepul, kita hirup
bersama-sama. Aku, kau, kalian, mereka, dan kita semua mabuk. Ply ply…Bawa kemari
rencong-rencong itu. Akan kukibarkan sebagai bendera. Akan kutancapkan ke perut-perut
para serdadu.

Ah, tidak. Rencong akan selalu kalah cepat dengan senapan. Mereka—para serdadu
itu—tak berbilang jumlahnya. Sedangkan kami? Berapalah orang, berapalah kampung?
Sekali dibombardir, habislah kami. Tetapi, kenapa kami tak pernah habis-habis?

“Tuhan selalu bersama kami. Melindungi anak-anak kami, perempuan-perempuan


kami, nyawa kami, kampung kami, tanah-kelahiran kami. Ganja-ganja kami, kebun-
kebun kami. Rencong kami selalu bergairah untuk melawan!�

Dusta! Manalah mungkin kalian bisa melawan. Lihatlah para serdadu, tak berbilang
jumlahnya, seia dan setia setiap saat untuk memuntahkan peluru-pelurunya. Cuma belum
waktunya kalian dihabisi. Masih perlu strategi, mengulur-ulur waktu, sampai kalian
terlelap dalam kegembiraan. Setelah itu habislah seluruh kalian, tak bersisa. Juga cinta
kalian pada tanah dan air kelahiran ini.

“Bukankah hidup hanya menunda kematian1? Lebih tak berharga jika menyelesaikan
hidup ini dengan sia-sia, tiada berharga. Maka itu, kami mesti berjuang untuk
mempertahankan tanah kelahiran ini. Betapa pun kami mesti berkalang tanah. Sudah
habis kesabaran kami ketika kalian datang kemari lalu membawa seluruh kekayaan kami.
Yang tinggal di sini untuk kami cuma ampas, taik minyak, ladang-ladang yang
kerontang…�

Adakah itu keadilan? Kami yang telah berabad-abad menjaga, menyuburkan, dan
menyulingnya. Tetapi, hasilnya kalian bawa. Kalian yang bergelimang harta, kami yang
berkalang luka.

Ke mana dan kepada siapa kami mengadu? Sedang angin tak pernah mengirim kabar
nestapa kami. Ke mana dan kepada siapa kami harus melabuhkan duka? Sedang
pelabuhan tak membukakan pintunya? Ke mana dan kepada siapa kami akan menurunkan
sauh? Sedang pantai tiada lagi.

Ya!
Siapa yang pecahkan vas bunga
di pekarangan rumah kita
Padahal angin tidak menggerakkan daun-daunnya2

*
MINGGU tersenyum. Pagi yang bening. Langit menebarkan jubah putih. Seperti gigi-
gigi macan yang mati tertumbak. Angin lelap. Debu melesap. Terik. Jemuran sekejap
kering. Bau asap menyergap.

Kami bayangkan, minggu-minggu di sini akan selalu tersenyum. Tertawa bagi


kebahagiaan kami, bagi kedamaian kami, bagi kemerdekaan kami. Tetapi, yang terjadi,
ketakutan demi ketakutan menerpa kami. Mau seperti selalu mengintip sela kami.
Selangkangan kami tak henti basah. Airmata kami tak habis-habis mengalir.

Suara dentuman itu. Suara peringatan itu. Suara ancaman itu. O! Telah membuat kami
semakin ketakutan. Oh, tidak! Kami tak pernah takut, bahkan kepada singa yang buas
sekali pun. Ketakutan kami hanya kepada Tuhan, pada amarah agama kami, jika kami
mengabaikan anjuran jihad-Nya.

Aku bayangkan tak lagi kudengar


Derap sepatu juga aum serdadu3

Tetapi, mungkinkah itu? Para serdadu itu kini sudah membanjiri kota-kota kami,
kampung-kampung kami, dusun-dusun kami, rumah-rumah penduduk kami. Mereka tak
saja mengancam, menembaki, juga menggagahi perempuan-perempuan kami.

Alangkah nistanya jika kami membiarkan kebiadaban itu. Alangkah terkutuknya


sepanjang masa jika kami tak melawan. Maka kami angkat senjata pula. Kami acung-
acungkan rencong-rencong kami dan menusukkan ke perut mereka.

Perlawanan tak seimbang memang. Tetapi, apakah kami rela teraniaya selamanya? Mana
yang lebih berharga menjadi orang terjajah sepanjang masa atau mati dalam arena
perlawanan?

Hidup hanya sekali. Darah akan tetap berwarna merah meski kami kalah. Maka berjihad
menjadi ukuran perlawanan orang-orang teraniaya seperti kami. Apa kami akan selalu
disetir, dikomandoi, diintimidasi oleh satu kekuatan yang zalim?

Teringat kami pada perjuangan sang Muhammad. Ia begitu gigih, tak pernah mati strategi
dan semangat menegakkan perdamaian. Apa kami harus lupa pada ghirah suci seperti itu?
Tak. Tiada akan pernah.

Ini tanah air kami. Ini kampung kelahiran kami. Tiada yang bisa mengusir kami dari
tanah tumpah darah kelahiran kami. Sungai itu telah menampung air tuba kami. Tanah ini
yang telah menanam ari-ari kami. Ranjang ini yang membiarkan basah oleh darah
kelahiran kami. Ibu kami yang bersakit-sakit menjaga kelahiran kami.

Wahai saudara kami. Kita bersaudara. Maka turunkan senjatamu. Kunci pelatuk
senapanmu. Beningkan airmuka amarahmu. Mari kita berpelukan. Tetapi, biarkan kami
menjaga tanah kelahiran kami. Pulanglah saudaraku ke tanah kelahiranmu, ke barak-
barakmu, yakinlah kami bisa mengolah segala yang ada di kampung kami.

“Bukankah kau tahu, bumi ini diciptakan bukan untuk menampung pertumpahan
darah? Kita ada karena kita dipercaya sebagai khalifah bagi perdamaian semesta, rahmat
bagi dunia dan akhirat?� katamu satu malam.

Kami akan bakar pohon-pohon ganja. Kami tanam bom-bom kami di ladang-ladang tak
bertuan. Tak akan ia meledakkan kota-kota yang riuh. Hotel-hotel yang gemuruh. Tiada.
Sebab jangan kaumengira kami yang meledakkan bom di keramaian itu, di candi-candi
itu, di tempat-tempat hiburan itu. Bukan. Kami punya adab yang mesti kami jaga sebagai
kehormatan.

Tetapi, selalu saja dan selalu saja, wajah-wajah kami yang tertera di media-media
pemberitaan. Dalam sketsa-sketsa: rekayasa orang-orang yang membenci kami.

Dusta apa ini yang tengah kalian sebarkan untuk kami? Fitnah apa yang tengah kalian
rancang untuk mengubur karakter kami? Dan, memang, sebagaimana diingatkan Tuhan
kami bahwa “kalian tak akan pernah bosan sampai kami mengikuti milah kalian�.
Demikianlah, kalian coba berbagai cara untuk menghancurkan kami. Kemudian kami
kalah, kami mengikuti kehendak kalian.

Tetapi Cahaya kami tak akan pernah redup. Bulan-bintang akan selalu menebarkan sinar-
Nya setiap malam. Matahari akan selalu terbit dari dalam jiwa kami, dan akan tenggelam
di batin kalian.

Maka, inilah perjuangan kami. Perlawanan kami. Pengorbanan kami. Jihad kami. Betapa
pun di antara kami mesti ada yang syahid sebagai syuhada. Sebab, kami yakin, seribu
kami akan terus berlahiran.
Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan
tanah dan langit ini.

Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan
tanah dan langit ini.

Memenuhi isi dunia ini. Merahmati semesta ini. Mensucikan alam ini. Menyelamatkan
tanah dan langit ini.

Seperti Muhammad yang menyatukan Timur-Barat-Selatan-Utara. Dari tanah Arab


hingga ke Eropa dan Amerika: semesta.

JUMAT tersenyum. Padang yang terbentang. Kami tafakurkan jiwa kami, kami zikirkan
seluruh hidup-mati kami. Dari sini kami harus memulai menegakkan kembali tiang-tiang
keyakinan kami yang nyaris porak oleh dusta dan fitnah kalian.

“Selamat berjuang,� katamu bersemangat.

Cerpen islami - Asma Nadia -


Thursday, September 13, 2007
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau
menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi
milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania.
Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang
baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis
itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak
melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang
keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik,
kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua
Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat
Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga,
sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul
senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat
Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita


melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar
anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada
tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih
seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar
siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai
lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi.
Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain
pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan
terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa'
yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter
kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu
mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena
Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme
berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh
tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang
Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu
juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania.
Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya
cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan
sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya
sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!


Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!


Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.


Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu
lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah
dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan
Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu
tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu,
ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud
Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan
mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak
dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi
mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania
memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra.
Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania,
bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.


Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk
bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit
dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun
Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim
Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan
sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka
akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di
sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang
datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania
tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan
Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.


Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan
harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat
suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului
keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti
setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!


Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak
sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap
nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli


tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka
merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu
dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-
teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia
tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak
berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di
mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi
Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara
Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada
rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat
kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya
pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai
terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali
untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja
mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu
diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil,
dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan
pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?


Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening
istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah,
Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil
menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku
kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan
tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?


Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania
sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya,
senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di
sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar
itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir,
kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah
tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah
yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang
meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu
tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan
menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah
pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang
jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah
pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa
cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik
dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan
Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan
sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula
dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke
manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama,
selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong
kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan
iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang
penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa
tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka
memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja,
bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka..
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang
beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa
dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut
takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah
berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau
menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi
milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania.
Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang
baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis
itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak
melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang
keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik,
kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua
Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat
Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga,
sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul
senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat
Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita


melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar
anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada
tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih
seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar
siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai
lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi.
Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain
pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan
terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa'
yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter
kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu
mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena
Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme
berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh
tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang
Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu
juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania.
Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya
cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan
sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya
sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!


Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!


Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.


Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu
lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah
dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan
Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu
tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu,
ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud
Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan
mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak
dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi
mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania
memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra.
Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania,
bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.


Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk
bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit
dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun
Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim
Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan
sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka
akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di
sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang
datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania
tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan
Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.


Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan
harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat
suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului
keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti
setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!


Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak
sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap
nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli


tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka
merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu
dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-
teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia
tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak
berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di
mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi
Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara
Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada
rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat
kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya
pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai
terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali
untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja
mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu
diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil,
dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan
pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?


Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening
istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah,
Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil
menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku
kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan
tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?


Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania
sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya,
senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di
sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar
itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir,
kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah
tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah
yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang
meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu
tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan
menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah
pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang
jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah
pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa
cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik
dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan
Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan
sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula
dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke
manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama,
selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong
kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan
iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!


Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang
penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa
tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka
memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja,
bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka..
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang
beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa
dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut
takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah
berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -
Cinta Laki-laki Biasa
Wednesday, September 12, 2007
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau
menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi
milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania.
Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang
baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis
itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak
melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang
keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik,
kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua
Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat
Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga,
sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul
senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat
Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita


melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar
anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada
tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih
seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar
siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai
lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi.
Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain
pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan
terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa'
yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter
kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu
mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena
Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme
berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh
tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang
Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu
juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania.
Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya
cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan
sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya
sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!


Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!


Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.


Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu
lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah
dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan
Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu
tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu,
ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud
Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan
mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak
dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi
mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania
memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra.
Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania,
bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.


Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk
bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit
dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun
Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim
Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan
sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka
akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di
sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang
datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania
tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan
Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.


Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan
harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat
suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului
keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti
setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!


Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak
sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap
nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli
tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka
merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu
dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-
teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia
tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak
berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di
mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi
Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara
Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada
rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat
kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya
pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai
terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali
untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja
mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu
diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil,
dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan
pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?


Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening
istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah,
Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil
menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku
kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan
tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?


Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania
sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya,
senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di
sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar
itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir,
kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah
tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah
yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang
meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu
tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan
menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah
pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang
jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah
pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa
cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik
dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan
Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan
sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula
dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke
manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama,
selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong
kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan
iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!


Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang
penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa
tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka
memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja,
bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka..
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang
beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa
dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut
takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah
berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau
menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi
milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania.
Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang
baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis
itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak
melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang
keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya
kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik,
kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua
Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat
Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga,
sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul
senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat
Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita


melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar
anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada
tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih
seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar
siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai
lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi.
Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain
pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan
terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa'
yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!


Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter
kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu
mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena
Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme
berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh
tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang
Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu
juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania.
Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya
cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan
sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya
sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!


Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!


Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.


Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu
lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah
dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan
Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu
tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu,
ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud
Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan
mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak
dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi
mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania
memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra.
Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania,
bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.


Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk
bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit
dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun
Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim
Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan
sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka
akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di
sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang
datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania
tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan
Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.


Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan
harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat
suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului
keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti
setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!


Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak
sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap
nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli


tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka
merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu
dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-
teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia
tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak
berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di
mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi
Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara
Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada
rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat
kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya
pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai
terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali
untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja
mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu
diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil,
dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan
pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?


Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening
istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah,
Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil
menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku
kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan
tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?


Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania
sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya,
senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di
sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar
itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir,
kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah
tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah
yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang
meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu
tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan
menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah
pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang
jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah
pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa
cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik
dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan
Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan
sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula
dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke
manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama,
selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong
kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan
iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!


Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang
penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa
tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka
memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja,
bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka..
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang
beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa
dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut
takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah
berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

Seindah Mentari Pagi


Wednesday, September 12, 2007
Pagi itu di dapur....
" Bu,.. awas itu ikannya hampir gosong loh... ", seru khadimatku, Asih, membuyarkan
lamunanku.
" Masya Allah...", seruku seraya mematikan kompor.
" Nah loh ibu lagi ngelamun ya... ?", goda Asih lagi.
" Ah, kamu ini... ayo mana belanjaannya ? ", tanyaku.
" Asih, hari ini kita bikin bali ikan, sayurnya kita bikin lodeh saja terus goreng tahu,
tempe dan kerupuk". Asih, khadimatku sudah lama ikut aku dan keluarga. Sejak dia baru
lulus SD sampai sekarang dia sudah lulus SMEA. Kami sekeluarga sudah menganggap
Asih sebagai anggota keluarga sendiri.

Selesai masak bareng Asih sambil menunggu adzan dzuhur aku berniat meneruskan
tulisanku semalam, tapi aku hanya termenung di depan layar monitor tanpa dapat
memusatkan pikiranku. Aku kembali meneruskan lamunanku yang tadi sempat terputus
gara-gara Asih mengejutkanku. Semalam selepas kami sholat Isya' berjamaah, Sarah putri
tunggalku menghampiriku di kamar.
" Ummi,... ummi lagi repot ? ", tanya Sarah.
" Nggak kog sayang, ada apa ? ".
" Malam ini ummi nggak nulis ?, biasanya ba'da isya ummi khan langsung asyik sama
komputer ".
" He.. he.. Sarah,...Sarah....nggak kog, memang sih ummi mau nulis tapi nanti-nanti saja.
Ada apa sholihah... ? ".
" Eng.. eng... ada yang mau Sarah diskusikan sama ummi ".
" Ya,... tentang apa nak ? ".
" Tapi ummi harus janji dulu sama Sarah loh.. ".
" Janji.. ? ada apa memangnya ? ".
" Ya ummi, janji dulu ya mi yah... ? ", Sarah mulai dengan rengekan manjanya
" Iya deh insya Allah.... ".
" Ummi musti janji pertama ummi jangan motong dulu sebelum Sarah selesai, terus yang
kedua ummi jangan bicarakan ini dulu sama siapapun kecuali sama Abi. Sarah nggak
mau kalau mas Fadhil, mas Yazid dan Zakly tahu sebelum waktunya ", kata Sarah seraya
menatapku.
" Hhhmm.... iya insya Allah ".
" Nah,... sekarang ummi dengarkan baik-baik yah...? ", pinta Sarah dengan kerlingan
manjanya.
" Iya.... ini dari tadi juga ummi sudah dengerin kog...", kataku mulai tak sabar.
" Mmhhhh... begini ummi,.... akhir-akhir ini Sarah mulai berpikir kalau...
mmhhh...mmhhh.. kalau Sarah pingin menyempurnakan setengah dari dien Sarah ", kata
Sarah perlahan lantas Sarah tertunduk dan diam.
Aku masih terdiam, rasanya otakku saat itu bekerja dengan sangat lambat untuk
mencerna kata-kata Sarah. Sarah ingin menyempurnakan setengah dari diennya itu
artinya Sarah hendak menikah....Subhanallah... Alhamdulillah... putri tunggalku sudah
berpikir ke arah sana.

" Sarah,...subhanallah nak...", aku tak dapat meneruskan kata-kataku.


" Ummi kaget Sarah,... tapi sekaligus juga bangga ", kataku seraya memeluk Sarah yang
masih tertunduk di hadapanku. " Alhamdulillah nak.... Insya Allah kalau nanti abi sudah
pulang akan ummi diskusikan dengan abi. Nah,...mau ngomong begitu aja kog dari tadi
pakai takut-takut segala sih sayang.. ? ", godaku.
Sarah masih menunduk sambil tersenyum.
" Sekarang masalahnya Sarah mau nikah sama siapa ?", tanyaku. "Atau Sarah pingin abi
dan ummi yang carikan calonnya ? ".
" Mmhh... sebenarnya Sarah sudah punya calon ummi.... ", katanya perlahan.
" Heh... ?? Sarah sudah punya calon... kog abi dan ummi nggak tahu ? ".

Terus terang aku terkejut. Aku kenal betul siapa Sarah, ia sangat hati- hati dalam menjaga
pergaulan dengan lawan jenisnya. Tapi kog tahu-tahu sekarang sudah ada calon.
" Ummi masih janji kalau nggak memotong sebelum Sarah selesai khan,...sekarang Sarah
mau cerita yang lengkap ". Sarah menarik nafas.
" Begini ummi,... ada temen pengajian Sarah di kampus, akhwat itu punya mas. Nah,
masnya itu insyaAllah akhlaq dan diennya baik ".
" Hhmm.... lantas.. ", kataku tak sabar.
" Temen Sarah itu mengusulkan agar Sarah menikah dengan masnya. Nah,.. sekarang
Sarah mau minta tolong ummi dan abi atau mas Fadhil atau mas Yazid untuk menyelidiki
apa memang betul ikhwan itu diennya baik dan insya Allah bisa cocok sama Sarah ".
" Hhhmmm... begitu ? ".
" Sarah belum pernah ketemu sama ikhwan itu, Sarah baru lihat fotonya saja dan Yasmin,
teman Sarah itu cerita kalau ikhwan itu insya Allah shalih. Sarah percaya sama Yasmin,
ummi masih ingat Yasmin khan yang pernah kesini itu lho... ".
" Ummi lupa abis khan banyak akhwat temen Sarah yang main kesini ".
" Ummi,... abi dan ummi khan selalu bilang kalau apapun yang kita kerjakan harus
lillaahita'ala khan ? ", tanya Sarah. Aku hanya mengangguk....
" Ummi,....insya Allah Sarah ingin pernikahan ini juga menjadi ibadah karena Sarah
pingin mencari ridho Allah ummi. Sarah ingin nikah dengan ikhwan itu karena Sarah
ingin menolong ia dan keluarganya mi... Ummi,.. sebenarnya ia sudah menikah, sudah
punya isteri ".
" Heh....", seruku dengan terkejut.

Tanpa memperdulikan keterkejutanku Sarah kembali meneruskan kata-katanya.


" Ummi, ikhwan itu sudah nikah hampir 6 tahun, tapi sampai sekarang belum dikasih
amanah oleh Allah, isterinya punya fisik yang lemah, sering sakit-sakitan. Sarah berpikir
ummi,.... Sarah ingin bisa menolong keluarga itu untuk sama-sama berjihad di jalan
Allah. Sarah bisa bantu-bantu pekerjaan rumah tangga dan insya Allah nanti Sarah bisa
melahirkan jundi-jundi yang bisa dididik sama-sama. Ummi ingat ya ummi,... Sarah
insyaAllah mau melakukan ini semua hanya karena Allah, Sarah cuma mau mencari
ridho Allah saja ummi.... Sarah sudah istikharoh berkali-kali dan Sarah makin hari makin
mantap aja ".

Aku hanya terdiam,... tak tahu harus berkata apa. Terus terang aku sangat ingin suamiku
ada disampingku saat ini. Kenapa Sarah harus membicarakan hal itu di saat suamiku ke
luar kota. Aku bingung tak tahu harus berkata apa....

" Ummi,.... ", panggil Sarah perlahan.


" Sarah,...sekarang ummi mau tanya ya nak... ".
" Bagaimana awal mulanya kog tiba-tiba Sarah ingin menikah dengan ikhwan itu ? ".
" Begini ummi,...Yasmin bilang kalau mbak Asma, nama isteri masnya itu, pernah bilang
ke Yasmin bahwa mbak Asma ingin suaminya menikah lagi ".
" Hhmmm.... terus.... ".
" Soalnya mbak Asma tahu benar kalau suaminya sudah ingin punya jundi sementara
mbak Asma sendiri sampai sekarang belum juga dikasih kesempatan oleh Allah untuk
hamil. Kasihan mbak Asma ummi,...sudah fisiknya lemah, kesepian lagi. Sehabis Yasmin
cerita begitu Sarah jadi kepikiran, Sarah ingin membantu keluarga itu ummi.... Sarah
pingin bisa bantu-bantu mbak Asma, nemenin mbak Asma, insyaAllah nanti Sarah juga
bisa melahirkan jundi yang bisa dididik sama-sama. Khan Ummi sendiri yang bilang
kalau untuk menuju kebangkitan Islam memerlukan generasi yang berkualitas, insya
Allah nanti akan lahir generasi-generasi robbani ."

Setelah sholat dzuhur berdua dengan Asih aku kemudian makan sendirian. Kalau siang
seperti ini rumah selalu sepi, hanya aku berdua dengan Asih saja. Mereka biasanya
makan di kampus masing-masing dan Yazid makan di cafetaria kantornya. Terus terang
aku kesepian, ingin rasanya aku segera mendapatkan cucu-cucu dari mereka. Dan kini
salah seorang dari mereka mengajukan keinginannya untuk menikah, tapi...kenapa Sarah
hendak nikah dengan seseorang yang telah beristri?.... Rasanya sejak semalam aku sulit
berpikir secara jernih, aku terlalu terbawa alam perasaanku. Diantara mereka berempat
aku tidak membeda-bedakan kasih sayangku. Aku selalu berusaha adil terhadap mereka.
Tapi tak dapat kupungkiri kalau Sarah menempati posisi yang lebih istimewa.
Perhatianku lebih tercurah ekstra pada Sarah. Karena Sarah hanya satu-satunya putri
tunggalku. Aku lebih melindungi Sarah dibandingkan dengan putra-putraku yang lain.
Timbul rasa was-was dalam hatiku, bagaimana kalau seandainya suaminya nanti tak
dapat berlaku adil, bagaimana kalau seandainya madu Sarah tidak memperlakukannya
dengan baik karena merasa mendapat saingan dan bagaimana kalau nanti Sarah tidak
bahagia. Semua itu menjadi beban pikiranku. Aku menyayangi Sarah, dan wajar bila
sebagai seorang ibu aku ingin melihat anak-anakku bahagia. Aku menjadi tidak berselera
makan. Tiba-tiba...

" Assalamu'alaikum,...", suara Zakly kudengar dari teras depan.


" Wa'alaikumussalam,... loh kog sudah pulang ? ", tanyaku.
" Iya mi, dosennya nggak ada... lagi pula siang ini sudah nggak ada kuliah lagi kog ",
jawab Zakly seraya mencium tanganku.
" Ayo makan sekalian,...ummi baru saja mulai ".
" Sebentar mi, cuci tangan dulu... ".

Seperti kebiasaan mereka sejak kecil, setiap pulang sekolah waktu makan siang mereka
akan bercerita tentang kejadian mereka di sekolah hari itu. Dan hingga kini meskipun
mereka telah beranjak dewasa kebiasaan itu tetap terbawa. Zakly sedang bercerita tentang
susahnya mencari dosen pembimbingnya untuk skripsi. Tapi aku hanya menanggapi
setengah hati, konsentrasiku tidak terpusat seutuhnya pada apa yang dibicarakannya.

" Ummi,.... ummi kenapa sih...? ", tanya Zakly.


" Oohh...nggak,... Zakly bilang apa tadi temen Zakly kenapa ? ".
" Nah khan... ketahuan deh kalo ummi nggak dengerin Zakly ngomong ".
" Nggak,.. kenapa tadi.... ? ".
" Sejak tadi pagi Zakly perhatikan ummi hari ini agak lain deh... ".
" Ah masa sih,... itu khan perasaan Zakly saja.. ".
" Bener kog... tadi pagi di garasi mas Yazid saja tanya sama Zakly, kog ummi pagi ini
agak diam ya... nggak secerewet biasanya ".
" Eh,...ghibah ih,...ngomongin umminya ", sahutku sambil tersenyum.
" Bener kog... ummi nggak sakit khan ?? ".
" Nggak ummi nggak apa-apa kog... ".
" Kalo nggak apa-apa kog ummi jadi agak lain ayo !", desak Zakly masih dengan
ngototnya.
Sifat Zakly ini menurun dari abinya, yang nggak akan berhenti bertanya kalo belum
mendapatkan jawaban yang dapat memuaskan hatinya.
" Ummi...ummi cuma pingin abi cepet pulang, gitu aja.." sahutku perlahan.
" Ha.... ha.... ", meledak tawa Zakly.
" Lho kog ketawa sih ? ",tanyaku.
" Abis ummi lucu, kaya pengantin baru aja deh.... dikit-dikit kangen pingin ketemu abi ".
" Yah wajar dong.... namanya juga suami isteri ".
" Tapi ummi lucu deh... kita khan pura-pura nggak tahu aja, kalau sebenarnya di belakang
kita ummi tuh kolokan banget sama abi... ", goda Zakly lagi.
" Hhhmmm.... kata siapa ? ", tanyaku tak mau kalah.
" Yah ummi...ngaku aja deh,...kalau ummi khan masih manja banget sama abi, ummi kita
khan udah pada gede-gede, sudah ngerti ", kata Zakly masih sambil ketawa.
" Udah ah,... ketawa aja tersedak lho nanti maemnya.. ",sahutku.
" Mmmhh...ummi nggak mau ngakuin tuh..., sabar dong ummi insya Allah besok abi
khan sudah pulang ", goda Zakly lagi.
" Udah,... cepat dihabisin maemnya Zakly... ".
" Iya nyonya besar.... ", kata Zakly sambil tersenyum-senyum menggoda.
" Ummi,...", panggil Zakly lagi.
" Apa lagi sholeh ?? ".
" Mmhh... Zakly nanti ingin kalau punya rumah tangga seperti rumah tangga abi dan
ummi.... ".
" Kenapa memangnya... ? ".
" Sepertinya abi sama ummi tuh seneenng terus, nggak pernah Zakly lihat abi sama ummi
ribut, meskipun sudah tua-tua tapi masih seperti pengantin baru saja ".
" Hhmmm... kalian khan nggak tau saja, pernah juga abi dan ummi berselisih, karena
beda pendapat, itu wajar dalam rumah tangga ".
" Oya... kog Zakly nggak tahu.. ".
" Aduh anakku sholeh.... masa sih kalau abi sama ummi lagi nggak enakan harus lapor
sama kalian, nggak khan ?".
" Iya.. ya.... ".
" Itu rahasia abi dan ummi, kita selesaikan berdua, diskusi, dibahas, saling menghargai
pendapat lawan, cari jalan tengahnya ".
" Terus mi.... ".
" Ya sudah,...berusaha menyelesaikannya secepat mungkin, dan saling mengalah.
InsyaAllah keadaan cepat normal lagi, baikan lagi. Kunci yang penting Zakly,... kalau
nanti Zakly sudah berkeluarga, jangan pernah kalian ribut di depan anak-anak, karena
nggak baik buat perkembangan jiwa mereka. Selesaikan berdua ketika sudah sama-sama
tenang sehabis sholat misalnya ".
" Hhmmm... itu makanya abi sama ummi tetap awet sampai sekarang yah ? ".
" Yah... alhamdulillah nak, abi dan ummi saling cinta meskipun dulu kita nggak pakai
istilah pacaran ".
" Iya mi,... Zakly tahu itu....subhanallah....
"Iya,... Islam sudah bikin aturan yang benar dan baik tinggal tergantung kita mau ikut
atau nggak ", kataku lebih lanjut. Sudah sekarang cepat habisin maemnya... ".
" Jazakillah ya ummi buat materinya siang ini.... ".
" Hhmm... waiyakallahu.. ".

Dan tiba-tiba.... kring... dering suara telfon.


" Hallo,... ", angkat Yazid.
" 'Alaikumussalam,... oh abi nih... Iya bi,... bener nih nggak usah dijemput ?. Iya-
iya....insya Allah.... 'alaikumussalam... ".
" Dari abi, Yazid ?? ", tanyaku.
" Iya,... seminar abi ternyata selesai hari ini, abi sekarang ada di airport sebentar lagi
pulang ".
" Lho,... abi nggak minta dijemput ? ", tanyaku.
" Kata abi, abi mau naik taksi saja biar cepat, kalau nunggu dijemput kelamaan ".
" Insya Allah sebentar lagi abi pulang ". harapku.

Selesai sholat isya'....

" Kalian sudah pada lapar ya ?, mau makan sekarang atau nunggu abi saja sekalian ? ",
tanyaku.
" Nanti aja mi,... enakan bareng-bareng abi aja.. ".
" Kalau kalian mau maem dulu nggak apa-apa, biar nanti ummi saja yang nemenin abi ".
" Nggak usah mi,... khan sebentar lagi insya Allah abi juga datang ", jawab Fadhil lagi.
Dan benar, tak berapa lama kemudian....
" Assalamu'alaikum,...", suara suamiku dari teras depan.
" Wa'alaikumussalam... ", jawab kami berbarengan.
Kelakuan mereka masih persis anak-anak langsung berebut membuka pintu buat abinya
dan mencium tangan abinya. Kalau melihat mereka seperti itu tak percaya rasanya kalau
mereka sudah pada besar-besar dan sudah waktunya untuk nikah. Ah,...nikah lagi...
kenapa itu yang ada dipikiranku selalu.

" Ummi,..ini nih pacar ummi udah datang...", seru Zakly.


" Zakly,...apa-apa an sih ya...", kataku sambil melotot.
" Alah.. ummi, tadi siang bilang kangen, pingin abi cepet pulang, sekarang malah berdiri
disitu aja... ", goda Zakly lagi.
" He.. he.... memang tadi siang ummi kenapa Zakly ", tanya suamiku.
" Tadi siang nih bi.... ".
" Udah Zakly,... abi baru aja dateng,... cuci tangan dulu deh bi,.. terus kita maem ",
potongku langsung.
" Iya bi,.. kita tadi udah laper nungguin ", kata Sarah.

Seperti biasa waktu makan malam adalah saat dimana kami dapat makan bersama. Kalau
pagi, anak-anak biasa sarapan lebih dulu sedangkan aku dan suamiku hanya sarapan
berdua, karena suami ke kantor agak siang dibanding mereka pergi. Kalau siang mereka
tak pernah makan di rumah, biasanya aku makan sendiri. Jadi baru makan malamlah
kami dapat berkumpul bersama. Dan seperti biasa mereka saling tak mau kalah kalau
sudah cerita, jadi bisa dibayangkan bagaimana semaraknya suasana.

" Oya,...tadi Zakly bilang apa tentang ummi ", tanya sumiku mendadak.
" Oh,... he.. he.. ini ummi,... ".
" Kenapa Zakly ? ", tanya Yazid.
" Tadi siang khan Zakly makan di rumah , terus pas Zakly ajak ngobrol ummi tuh
kayanya nggak bener-bener ngedengerin deh,... Zakly pikir kenapa gitu.... ".
" Trus.... ", potong Fadhil.
" Waktu Zakly desak-desak ummi bilang nggak apa-apa,.. tapi akhirnya ngaku juga... ".
" Ummi bilang apa... ? ", tanya suamiku.
" Ummi bilang kangen sama abi, pingin abi cepat-cepat pulang, waktu ngomongnya kaya
anak remaja yang umur 17 tahun, sambil malu-malu gimanaaa.. gitu ".
Langsung, tawa mereka memecah...
" Ih,... ummi perasaan biasa aja bilangnya, ngapain juga pakai malu-malu segala, orang
abi sama ummi udah 28 tahun nikah ", sahutku.
" Alah ummi,..Zakly tadi khan liat muka ummi merah-merah gimana gitu ".
" Oooohh.... pantesan tadi pagi Yazid juga perhatikan ummi agak aneh, nggak seperti
biasanya ", sambung Yazid.
" Iya,..ummi tadi pagi agak diam, hhmm baru ketauan ternyata sebabnya kenapa ", kata
Fadhil

Mereka masih tertawa-tawa, kulirik Sarah hanya tersenyum tak ikut menggodaku seperti
yang lain. Tentu Sarah tahu dialah yang menjadi penyebab kenapa seharian ini aku agak
aneh.
" Iya mi,...bener ya apa yang Zakly bilang ", tanya suamiku sambil menatapku dalam-
dalam.
" Hhmm.... ", aku hanya tersenyum, jengah juga rasanya ditatap seperti itu di depan anak-
anak meskipun mereka udah dewasa.
Mendadak tawa mereka memecah lagi....
" Lho,... kenapa sih... ?? ".
" Coba deh ummi ngaca, muka ummi tuh lucu banget tersipu-sipu gimana gitu, kaya
remaja 17 tahunan ", kata Zakly.
" Ummi... ummi...,mau bilang iya aja kog pake malu-malu segala sih... ", kata suamiku.
" Padahal abi khan baru pergi 3 hari yang lalu, ya khan ? ", tanya suamiku ke mereka.
" Tunggu aja bi,.. nanti kalau kita sudah nggak ada, ummi bakal ngaku juga sama abi,... ",
kata Zakly.
" Udah ah,... nggak selesai-selesai maemnya nanti, ingat abi belum sholat lho..", kataku
mengalihkan pembicaraan.

Setelah suamiku sholat, seperti biasa kami berkumpul di ruang tengah. Dan juga seperti
biasa mereka tak pernah habis-habis akan topik bahasan. Mulai dari kerusuhan tentang
adanya isyu pembunuhan dukun santet yang menyebabkan sebagian ulama juga ikut
terbunuh, tentang harga sembako yang masih saja sulit dijangkau, dan juga tentang
keanekaragaman visi dari bermacam-macam partai Islam yang ada. Sampai pada masalah
banyaknya anak-anak yang putus sekolah karena tak ada biaya serta kondisi gizi anak-
anak balita yang memprihatinkan. Dan seperti biasa, mereka ingin agar segera terbentuk
khalifah Islam dimana segala macam bentuk perundang-undangan bersumber pada Al
Qur'an dan sunnah Rasul yang insya Allah apabila semuanya itu dilakukan dapat
menjamin pola kehidupan masyarakat akan menjadi baik.

Dari balik layar monitor kuperhatikan Sarah tidak selincah biasanya dalam berdiskusi
dengan mas-masnya, Sarah hanya sesekali menimpali itu pun dengan nada bicara yang
tanpa semangat, sedangkan aku dari tadi duduk di depan komputer, tapi hanya satu
paragraf yang berhasil kutulis. Karena perhatianku lebih tercurah pada apa yang mereka
bahas dibanding dengan susunan cerita yang sedang kukerjakan. Ingin rasanya aku cepat-
cepat menarik suamiku ke kamar untuk membahas keinginan Sarah. Tapi kulihat mereka
masih asyik, dan sekarang`mereka sedang nonton Dunia Dalam Berita. Biasanya sehabis
acara itu mereka masih duduk di situ untuk membahas berita yang baru saja mereka lihat,
sebelum akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Setelah dunia dalam berita....
" Abi nggak capek,... khan tadi baru pulang, besok harus ke kantor khan ? ", kataku.
" Besok saja diterusin obrolannya,... atau kalian ngobrol berempat saja... ", sambil kutatap
mereka.
" Kasian abi dong.... ", sambungku lagi.
" Hhhmm.... hhmm.... ", Zakly pura-pura batuk, yang aku tahu itu hanya untuk
menggodaku saja.
" Iya deh,...lagian masa abi ngobrol sama kalian aja, abi khan juga pingin ngobrol sama
ummi ", kata suamiku.
Tawa mereka memecah lagi...
" Bukan,... bukan gitu, abi khan baru pulang, dan besok harus kerja ", bantahku.
" Iya..iya...udah yok mi,.. kita bobo...", ajak suamiku.
" Jangan lupa lho, periksa lagi pintu jendela sebelum kalian masuk kamar ", perintahku
pada mereka.

Kulirik jam, sudah pukul 10 kurang seperempat. Tak mungkin rasanya aku bercerita
malam ini. Suamiku tentu lelah, biar besok saja setelah sholat shubuh pikirku. Dan
kulihat suamiku sudah merebah di tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur. Iya,... nggak
mungkin malam ini, besok saja putusku. Tapi aku masih belum dapat memejamkan mata,
ingin rasanya hari segera berganti. Aku tidak biasa memendam sesuatu terhadap suamiku.
Aku ingin segera menumpahkan apa yang menjadi beban pikiranku. Yah,... insya Allah
nanti selepas shubuh...

Setelah qiyamul lail, sambil menunggu shubuh aku bergantian membaca qur'an dengan
suamiku. Seperti biasa suamiku dan anak-anak sholat shubuh di mesjid. Tinggal aku,
Sarah dan Asih sholat berjama'ah di rumah. Pada halaman terakhir aku membaca Al
Matsurat, suamiku pun tiba. Akhirnya setelah kulipat mukena dan kurapikan sajadah aku
berdiri di hadapan suamiku yang sedang duduk di tepi tempat tidur....

" Mas,... mas masih ngantuk ? mau tidur lagi ? ".


" Nggak kog,... mas nggak ngantuk, kenapa de' ? ".
" Mmhhh... ada yang mau ade' omongin sama mas... ".
" Iya,.. tentang apa de' ? ", tanya suamiku seraya menarikku untuk duduk di hadapannya.
" Mmhh.. ini tentang Sarah mas,... ".
" Iya,.. ada apa memangnya sama Sarah ? ".

Akhirnya kuceritakan semua apa yang menjadi keinginan Sarah. Rasa banggaku terhadap
Sarah yang memiliki niat seperti itu. Persetujuanku terhadap keinginannya, tapi juga
sekaligus rasa khawatirku, rasa cemasku akan putri tunggalku. Betapa aku amat
mengasihinya dan aku tidak ingin ada sesuatu hal buruk yang akan dialaminya kelak. Di
satu pihak apa yang menjadi keinginan Sarah patut untuk aku dukung, karena yang
dilakukan Sarah hanyalah untuk mencari ridhoNya semata, tak boleh aku
menghalanginya dari jalan Allah. Tapi di pihak yang lain aku khawatir bila nanti
suaminya tidak bisa berlaku adil atau rasa cemburu dari madunya akan menyakiti
hatinya. Aku rasa kekhawatiranku adalah hal yang wajar, karena waktu Fatimah mengadu
kepada Rasulullah SAW akan niat Ali ra yang hendak nikah lagi, Rasulullah pun berkata
bahwa apabila menyakiti hati Fatimah, itu sama halnya dengan menyakiti hati beliau,
karena rasa kasih sayang Rasulullah sangat besar terhadap Fatimah. Tapi aku sungguh
tersentuh dengan niat Sarah yang subhanallah sangat mulia. Kutumpahkan semua uneg-
uneg di hatiku pada suamiku.

" De',... mas tahu,...ade' sayang sekali pada Sarah, begitu juga mas ", kata suamiku
perlahan.
" Tapi de',... ade' tahu khan kalau Sarah itu bukan milik kita, Allah cuma menitipkan
Sarah ke kita. Alhamdulillah Allah mau memberikan amanahNya pada kita, bukan cuma
Sarah, tapi juga Fadhil, Yazid dan Zakly ".
" Mas bangga pada anak-anak, begitu juga mas bangga pada ade' yang sudah berperan
buat mentarbiyah mereka. Karena mereka semua nantinya harus kita pertanggung-
jawabkan kepada Allah. Nah,...sekarang misalnya ade' ada di posisi Asma, sudah fisiknya
lemah, sakit-sakitan, kesepian..., padahal dia menginginkan untuk dapat berperan menjadi
pendidik generasi yang dapat menggantikan perjuangan generasi sebelumnya, dia juga
menginginkan akan adanya panggilan 'ummi' dari seorang anak yang lucu. Gimana
coba ? ", tanya suamiku dengan lembut.
" Dari cerita ade' tadi,...Asma sendiri yang usul supaya suaminya nikah lagi, rasanya apa
yang ade' khawatirkan insya Allah nggak akan terjadi deh...Dia sudah rela suaminya
menikah lagi, dia sudah ridho dan insya Allah diapun akan memperlakukan Sarah dengan
baik.. . Ade' juga tau khan kalau Allah pasti memberikan yang terbaik, belum tentu apa
yang menurut kita nggak baik tapi sebenarnya itu justru baik menurut Allah, cuma Allah
yang tahu ade '...., kita tidak tahu apa-apa... ".

Sampai sini air mataku mulai menetes...Astaghfirullah...Ampuni aku ya Allah,... aku


terlalu melibatkan perasaan dan emosiku. Sarah hanyalah milik-Mu, dan Engkau yang
akan menjaganya... " Ade',..ade' inget khan kalau rasa cinta kita terhadap keluarga, harta
dan sebagainya tidak boleh melebihi rasa cinta kita terhadap Allah, Rasul dan jihad di
jalan-Nya ? ",tanya suamiku.
Aku hanya mengangguk....
" Jadi insyaAllah kitapun akan mendapat ridho Allah, dari apa yang dilakukan Sarah
nanti...., karena kita dengan ikhlas menyetujui Sarah menikah hanya karena kita juga
sama-sama mencintai-Nya ".

Kami sama-sama terdiam sesaat. Kutarik nafas panjang...


" Mas,...", panggilku lirih.
" Ya sayang... gimana ? ", tanya suamiku,
" Iya mas...ade' sudah tenang sekarang,...kalau tadi meskipun ade' setuju tapi tetap ada
yang ganjal rasanya ".
" Kalau sekarang.. ? ", tanya suamiku.
" Ade' sekarang sudah ikhlas mas,... hati ade' sudah plong rasanya, ade' sadar ada Allah
yang akan menjaga Sarah, Sarah kan cuma milik Allah ya mas ?? ".
" Nah,... gitu dong... insya Allah Sarah, Asma dan Farid bisa membentuk keluarga
sakinah, yang bisa mencetak generasi rabbani, kita tinggal mendo'akan mereka saja
de'...".
" Tapi mas,... ", kataku tertahan.
" Tapi kenapa lagi ? masih belum sreg juga ?
" Bukan begitu,... cuma mas kog kayanya begitu gampang memutuskan masalah ini,
kayanya mas sudah tau tentang ini sebelumnya ", kataku penuh curiga.
" Mmmhhh... sebenernya sebelum ade' cerita tadi mas udah tau kog de'... ", kata suamiku.
" Hah.... ?? ", tanyaku heran.
" Mmmhh.. sebelum mas ke Jakarta Farid dateng ke kantor mas, sudah diskusi dengan
mas... ".
" Lho.. ??? ".
" Iya,... Mas juga tahu siapa Farid itu, juga isterinya, tapi waktu itu mas sorenya udah
buru-buru mau berangkat mas pikir nanti saja pulang dari Jakarta cerita ama ade', terus
pas ade' lagi belanja sama Asih mas interlokal dari Jakarta, yang ada di rumah Sarah, mas
tanya sama Sarah. Ternyata Sarah juga sudah tahu dari Yasmin, mungkin Asma sudah
minta Yasmin bilang ke Sarah, begitu de' ", penjelasan suamiku.
" Lho,.. Sarah kog nggak bilang kemaren sama ade' kalo mas sebenarnya sudah ngomong
sama Sarah duluan ?", tanyaku masih kebingungan.
" Iya,... mas bilang sama Sarah, supaya Sarah bilang sama ade' saja, tanya pendapat ade'
gimana gitu... . Khan nggak enak kalau tahu-tahu mas udah langsung ngasih persetujuan
duluan padahal ade' masih belum tahu apa-apa", kata suamiku lagi.

Subhanallah....betapa suamiku sangat menghargai aku, dari dulu suamiku tidak pernah
mengambil keputusan sendiri dalam masalah rumah tangga, selalu mengajakku untuk
berunding terlebih dahulu.
" Tapi mas,...ade' masih mau tanya lagi nih.. ", kataku.
" Iya sayang,... kenapa lagi ? ".
" Tadi mas bilang kalau mas tahu bener siapa Farid itu, memang mas sudah kenal
sebelumnya sama Farid ? ".
" Mmmhh....mmmhh....", suamiku tidak menjawab hanya tersenyum saja.
Dan aku tahu apa itu artinya...suamiku tidak akan menjawab pertanyaan semacam itu.
Tapi akupun tahu sebesar apa kasih sayang suamiku terhadap Sarah. Tidak mungkin
rasanya suamiku membuat keputusan besar seperti ini tanpa lebih dahulu menyelidiki
bagaimana keluarga Farid dan Asma.
" Yang penting de',... kita berdo'a aja untuk kebahagiaan mereka ", ujar suamiku.
" Hhhmm... iya deh,... yang penting kita tinggal berdoa saja buat mereka ", kataku.
" Terus mas ada lagi,.. berarti mas tahu dong kemarin pas ade' gelisah soalnya ada yang
mau ade' omongin sama mas, ya khan ?", tanyaku.
" Iya doonngg...., masa mas nggak tahu, khan ade paling nggak bisa menyembunyikan
sesuatu dari mas, meskipun sebenarnya ade' berusaha nutup-nutupin juga... ".
" Berarti mas tau dong sebenarnya ade' pingin ngomong kemaren ? ", tanyaku lebih
gencar.
" Iya dong...tau dong....", kata suamiku sambil tertawa.
" Ih,... mas jahat,... nggak mau dibahas dari kemarin saja... mas tau nggak, ade' tuh
semalam nggak nyenyak bobonya,... pingin cepat-cepat pagi biar cepat cerita sama mas...
", jelasku.
" Iya.... mas juga tahu, mas iseng saja... sekalian melatih kesabaran ade'...", sambung
suamiku masih tertawa.
" Mas jahat ih.... sudah tua masih suka iseng ngerjain isterinya... ", kataku berusaha untuk
tidak ikut tersenyum.
" He.. he.... alaah de'.... mau ketawa aja pakai gengsi segala sih.... ", kata suamiku sambil
mengacak-ngacak rambutku. " Hhmmmm.... si mas....", aku sudah kehabisan kata-kata.

Tiba-tiba suara pintu kamar diketuk dengan agak keras, aku sudah hafal siapa lagi kalau
bukan Zakly yang berani mengetuk seperti itu...
" Abi,... Ummi,.... pada mau pamitan nih.... ", teriak Zakly dari luar.
" Hhmm....Zakly ya, ngomong agak pelanan khan bisa ", kataku sambil membuka pintu
kamar.
" He.. he.... abis tadi Sarah udah ngetuk tapi nggak dibukain sih,..ya udah Zakly aja yang
ngetuk lagi, katanya membela diri.
" Lho bi,... kog belum siap ?? nggak ke kantor hari ini ya.. ? ", tanya Fadhil.
" Iya,... nanti agak siangan... ", jawab suamiku.
" Udah pada sarapan ? ", tanyaku.
" Udah dong.... khan kita sarapan sendirian.... ummi sama abi khan masih di dalam kamar
", kata Zakly sambil sedikit memonyongkan bibirnya.
" Khan udah pada gede juga.... ", kataku sambil tertawa.
" Ya udah mi,... berangkat dulu nih.... ", kata Yazid sambil mereka bergantian mencium
tangan kami satu-persatu.
" Sarah,...berangkat ya mi... ", katanya sambil berbisik di telingaku sambil mencium
pipiku.
" Iya nak,... hati-hati ", lantas kupeluk Sarah agak erat. Sarah pun membalas pelukanku
dan sambil mengusap kerudungnya aku seraya berbisik bahwa aku ikhlas menyetujuinya.
Kulihat mata Sarah berkaca-kaca....
" Woow... Sarah pamit ke ummi aja sampai kaya gitu, kaya di film-film telenovela aja ",
goda Zakly.
" Udah ah,... kamu khan nggak tahu ", balas Sarah.
" Lho memangnya ada apa sih mi... ? ", tanya Fadhil.
" Udah,... sekarang berangkat saja kalian, udah siang lho nanti malam saja kita bahas... ",
kata suamiku.
" Lho... emang ada apa... ?? ", tanya Zakly lagi.
" Udah.... berangkat sana.... ingat Zakly kalau naik motor jangan ngebut....terus kalian
kalau jajan jangan sembarangan, sekarang lagi musim macam-macam penyakit ", kataku
mulai lagi dengan segala pesan-pesan.
" Yah,.... ummi balik lagi dah... padahal kemarin udah anteng, udah diem ya mas Yazid ?
", kata Zakly.
" Iya nih ummi... habis abi sudah pulang sih...", timpal Yazid.
" Iya,... balik lagi deh berisiknya ", tambah Zakly.
" Zakly,... kog ngomong gitu sama umminya.. ", kataku.
" Afwan mi,.. becanda mi.... ", kata Zakly sambil memeluk bahuku.
" Hhmmm... udah ah,..pada terlambat lho nanti... ".
" Assalamu'alaikum....", kata mereka berbarengan.
" Wa'alaikumussalam...".

Aku antar mereka sampai depan rumah. Sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi
di teras depan, aku termenung,....alhamdulillah aku bahagia ya Allah atas segala nikmat-
Mu. Lindungilah mereka Ya Allah, tuntunlah selalu langkah-langkah mereka, penuhilah
hati dan cinta mereka hanya dengan iman dan takwa kepada-Mu semata....

Rabbanaa hablanaa min azwajinaa wadzurriyaatinaa qurrota


'ayun waj'alnaa lil muttaqiina imaama...
Amiin Ya Rabbal 'aalamiin....

You might also like