You are on page 1of 15

Dampak Penyelenggaraan Pemerintah

Yang Tidak Transparan

3.2 Menganalisis Dampak Penyelenggaraan Pemeritah Yang


Tidak Transparan

Indikator : Penyelenggaraan Pemerintah Yang Tidak Transparan


- Penyelenggaraan Pemerintah Yang Tidak
Transparan.
- Dampak Penyelenggaraan Pemerintah Yang Tidak
Transparan.

Kelompok VII :
- Aris Ardianto
- Ilham Rosadi
- Marina Theresia
- Tonny Wicakshana
- Vially

Kelas XI – IPS 2

SMA Negeri 33 Jakarta


Penyelenggaraan Pemerintah Yang Tidak Transparan.

Informasi merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat di dunia saat ini, terlebih jika kita tinggal dalam suatu negara demokrasi yang
mengenal adanya pengakuan terhadap kebebasan dalam memperoleh informasi bagi
rakyatnya. Tertutupnya kebebasan dalam memperoleh informasi dapat berdampak pada
banyak hal seperti rendahnya tingkat pengetahuan dan wawasan warga negara yang pada
akhirnya juga berdampak pada rendahnya kualitas hidup suatu bangsa. Sementara itu dari
segi penyelenggaraan pemerintahan, tidak adanya informasi yang dapat diakses oleh
publik dapat berakibat pada lahirnya pemerintahan yang otoriter dan tidak demokratis.

Pada dasarnya, pemerintahan di negara-negara demokrasi telah menyadari bahwa


terciptanya keterbukaan dalam memperoleh informasi bagi publik dapat memberikan
dampak positif bagi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan hukum di negaranya.
Keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan juga merupakan salah satu
wujud komitmen pemerintah dalam melaksanakan prinsip-prinsip good governance dan
demokratisasi pemerintahan, di mana salah satu butir di antara butir-butir good
governance adalah adanya keterbukaan pemerintah (transparency) kepada masyarakat.

Keterbukaan akses informasi bagi publik di sisi lain juga dapat menjadi salah satu
alat penunjang kontrol masyarakat atas kinerja pemerintah ataupun unit-unit kerjanya.
Dalam konteks bidang keamanan dan pertahanan, setiap negara demokrasi juga membuka
ruang-ruang tersedianya informasi yang dapat diakses masyarakat. Hal ini dimaksudkan
agar hak-hak warga negara tetap terjaga dan tidak terenggut. Di samping itu, adanya
keterbukaan memperoleh informasi juga dapat menjadikan aktor pertahanan menjadi
lebih profesional selalu bertindak dengan berdasarkan hukum.

Sebagai sebuah negara yang demokratis, Indonesia juga tentunya harus tetap
memandang bahwa kebebasan memperoleh informasi bagi publik merupakan suatu hal
yang pada dasarnya harus tetap dijaga. Adapun terkait beberapa hal yang sifatnya
"rahasia" di mana di dalamnya terdapat hal-hal yang sensitif terutama menyangkut
persoalan kedaulatan negara haruslah dapat didefinisikan dengan jelas dan tetap mengacu
pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

Selama masa pemerintahan Orde Baru, keterbukaan untuk memperoleh informasi


sangat dibatasi pemerintah. Bahkan, beberapa media yang sangat kritis dan lugas dalam
menyajikan informasi dengan sangat mudah dibekukan pemerintah. Dengan alasan
kerahasiaan, pemerintah Orde Baru banyak mengotrol berbagai informasi yang akan
keluar dan diterima masyarakat sehingga sangat wajar apabila informasi yang akan
disajikan media harus melewati pengawasan yang ketat. Hal ini tentunya dimaksudkan
agar tidak terjadi gejolak perlawanan di dalam masyarakat.

Tertutupnya pintu untuk memperoleh informasi juga sangat berdampak negatif pada
lemahnya jaminan kepastian hukum dan perlindungan HAM bagi masyarakat,
pemerintahan pun pada akhirnya menjadi pemerintahan yang otoriter sehingga sangat
wajar apabila berbagai kalangan berpendapat bahwa pada masa Orde Baru banyak sekali
terjadi kasus penculikan aktivis yang sangat vokal mengkritisi kebijakan pemerintah.
Dengan mengatasnamakan keamanan dan rahasia negara, pemerintah Orde Baru juga
telah menafsirkan sifat kerahasiaan negara demi kepentingan dan keberlangsungan
kekuasaannya sehingga mengakibatkan banyak pihak yang menjadi khawatir dengan
setiap tindakan dan ucapan mereka karena selalu diintai.

Sifat rahasia negara yang ditafsirkan dan diimplementasikan oleh pemerintahan


Orde Baru untuk menghalang-halangi kebebasan memperoleh informasi, pada dasarnya
juga menyeret aktor pertahanan dan keamanan pada posisi yang tidak profesional
sehingga ketika kita berbicara mengenai rahasia negara dan kebebasan memperoleh
informasi, pada saat ini, tidak akan terlepas pula dari proses reformasi di bidang
pertahanan dan keamanan.

Jatuhnya tampuk kekuasaan Orde Baru telah membuka harapan bagi kehidupan
bernegara yang lebih demokratis, dan keterbukaan pemerintah terhadap masyarakat
menjadi salah satu tuntutan dalam agenda perjuangan reformasi. Keterbukaan pemerintah
kepada masyarakat merupakan suatu hal yang memang sudah selayaknya dilakukan sejak
dahulu sebab Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi, sebuah negara
demokrasi yang lahir dari kedaulatan rakyat sehingga kedaulatan sepenuhnya berada di
tangan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah wajib bersikap transparan kepada rakyatnya.

Negara Indonesia yang ingin mensejahterakan seluruh rakyat perlu


mengimplementasikan formulasi pembentukan negara dalam kosepnya yang terkenal
Kontrak Sosial (Du Contract social ou principes du droit politique) yang dibuat pada
tahun 1762 oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Rousseau melihat hubungan
individu dengan negara haruslah didasari pada sebuah kesepakatan untuk bernegara
sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan bersama. Kesepakatan yang penting harus
dipenuhi adalah tentang hak dan kewajiban.

Dalam uraiannya, Rousseau menekankan pentingnya istilah volente generale


(kehendak umum) yang merupakan cikal bakal lahirmya masyarakat sipil. Sebuah negara
haruslah didasarkan pada kesepakatan umum yang jika dilanggar akan mengakibatkan
ketidakadilan. Konsep ketidakadilan, dengan sendirinya membubarkan kesepakatan
umum dan juga kontrak sosial.

Konstitusi (UUD) pada hekakatnya merupakan kontrak sosial dalam kehidupan


bernegara. Pasal 28 F pada prinsipnya memberikan hak pada setiap orang untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hak tersebut selain diatur dalam pasal
tersebut, juga jauh sebelumnya sudah ditetapkan PBB melalui resolusi 59 ayat 1 Tahun
1946 dan Internasional Cevenant on Civil and Political Rights 1966 Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia PBB pasal 19 yang menegaskan bahwa hak atas informasi merupakan
hak asasi dan hak konstitusional sehingga wajib dilindungi oleh negara.

Dunia sekarang sudah memasuki Era Informasi, dimana informasi adalah


kekuasaan ("from brown to brain"). Telah terjadi suatu Powershift, kata Alvin Toffler. Era
informasi ini sejalan dengan demokratisasi, pengurangan dominasi pemerintah, pemajuan
civil liberties, civil society, hak asasi manusia, pemberdayaan publik dan ihwal lain yang
serupa. Sejak Reformasi 1988 Indonesia mulai menuju kesitu.

Hak atas informasi tersebut meliputi : (1). Hak publik untuk memantau atau
mengamati perilaku pejabat publik dalam menjalankan fungsi publiknya (right to
observe); (2). Hak publik untuk mendapatkan/mengakses informasi (public access to
information); (3). Hak publik untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan
(right to participate); (4). Kebebasan berekspresi yang salah satunya diwujudkan
kebebasan pers (free and responsible pers); (5). Hak publik untuk mengajukan keberatan
apabila hak-hak di atas diabaikan (right to appeal) baik melalui administrasi maupun
adjudikasi (menggunakan sarana pengadilan semu, arbitrasi maupun pengadilan.

Selain itu keterbukaan informasi memberi peluang rakyat untuk berpartisipasi


dalam berbagai kebijakan publik. Rakyat yang well - informed akan menjadi kekuatan
dan actor dalam proses penentuan dan pengawasan kebijakan publik. Hak itu didasarkan
pada pemikiran dan Pengalaman empirik bahwa : (1) Publik yang lebih banyak mendapat
informasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses demokrasi; (2) Parlemen, pers dan
publik harus dapat dengan wajar mengikuti dan meneliti tindakan- tindakan pemerintah;
kerahasiaan adalah hambatan terbesar pada pertanggung jawaban pemerintah; (3)
Pegawai pemerintahan mengambil keputusan-keputusan penting yang berdampak pada
kepentingan publik; dan agar bertanggung jawab pemerintah harus menyediakan
informasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakan; (4) Arus informasi yang lebih
baik menghasilkan pemerintahan yang efektif dan membantu pengembangan yang lebih
fleksibel; (5) Kerjasama antara publik dan pemerintah akan semakin erat karena
informasi yang semakin banyak tersedia.

Informasi dapat digambarkan sebagai oksigen dalam suatu negara demokrasi.


Negara Demokrasi terkait dengan pertanggungjawaban dan tata pemerintahan yang baik.
Rakyat diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan negara, oleh karena
itu pemberian hak kepada rakyat atas informasi merupakan tiang penyangga yang penting
bagi demokrasi.

Kepentingan umum, misi organisasi publik

Untuk menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan indikator-indikator atau
kriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas. Tanpa indikator dan kriteria yang jelas
tidak akan ada arah yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang relatif lebih
efektif diantara : alternatif alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desain-desain
organisasi yang berbeda; dan diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas dan
wewenang yang berbeda (Bryson, 2002). Sekarang permasalahannya adalah kriteria apa
yang digunakan untuk menilai organisasi.

Sebagai sebuah pedoman, dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan


pada tujuan atau alasan dibentuknya suatu organisasi. Misalnya, untuk sebuah organisasi
privat/swasta yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan barang yang
dihasilkan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut mampu
memproduksi barang untuk menghasilkan keuntungan bagi organisasi. Indikator yang
masih bertalian dengan sebelumnya adalah seberapa besar efficiency pemanfaatan input
untuk meraih keuntungan itu dan seberapa besar effectivity process yang dilakukan untuk
meraih keuntungan tersebut.

Sementara itu ada indikator yang sering kali digunakan untuk mengukur kinerja
organisasi privat/publik seperti : work lood/demain, economy, efficiency, effectiveness
dan equity (Sclim dan Wood ward, 1992 dalam Keban, 1995) productivity (Perry, 1990
dalam Dwiyanto, 1995).

Dalam organisasi publik, sulit untuk ditemukan alat ukur kinerja yang sesuai (Fynn,
1986, Jackson dan Palmer, 1992 dalam Bryson, 2002). Bila dikaji dari tujuan dan misi
utama kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi
kepentingan publik, kelihatannya sederhana sekali ukuran kinerja organisasi publik,
namun tidaklah demikian kenyataannya, karena hingga kini belum ditemukan
kesepakatan tentang ukuran kinerja organisasi publik.

Berkaitan dengan kesulitan yang terjadi dalam pengukuran kinerja organisasi publik
ini dikemukakan oleh Dwiyanto (1995: 1), “kesulitan dalam pengukuran kinerja
organisasi pelayanan publik sebagian muncul karena tujuan dan misi organisasi publik
seringkali bukan hanya kabur akan tetapi juga bersifat multidimensional. Organisasi
publik memiliki stakeholders yang jauh lebih banyak dan kompleks ketimbang organisasi
swasta. Stakeholders dari organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang
berbenturan satu dengan yang lainnya, akibatnya ukuran kinerja organisasi publik dimata
para stakeholders juga menjadi berbeda-beda”.
Namun ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja
birokrasi publik (Dwiyanto, 1995) yaitu sebagai berikut:

a. Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio
antara input dengan output.
b. Kualitas Layanan
Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi
publik.
c. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan
program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat.
d. Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai
dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit (Lenvine,
1990).
e. Akuntabilitas
Akuntabilitas publik menunjukan pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat,
asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat,
dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat.

Kumorotomo (1995) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman


dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik, antar lain adalah berikut ini:
a. Efisiensi
Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan
publik mendapatkan laba, memanfaatkan fakltor-faktor produksi serta
pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis.
b. Efektivitas
Apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai?
Hal tersebut erat kaitannya organisasi rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan
organisasi serta fungsi agen pembangunan.
c. Keadilan
Keadilan mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan
oleh organisasi pelayanan publik.
d. Daya Tanggap
Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta, organisasi
pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah
akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebut
secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan demi
memenuhi kriteria daya tanggap ini

Kinerja birokrasi sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi seperti dimensi
akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas maupun responsibilitas. Berbagai
literatur yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki kesamaan substansial
yakni untuk melihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang telah dilakukan oleh
birokrasi pelayanan. Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dari berbagai
indikator yang sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya.

Pelayanan publik pada masyarakat

Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok
dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan
keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan
reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses prosedur birokrasi publik dan
sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan
pembangunan nasional. Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak
hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengkaitkan perubahan pada tingkat
struktur dan sikap serta tingkah laku (the ethics being). Hal ini, berarti menyangkut
permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).
Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara
yang disebut pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini, pemerintah pada
hakekatnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu, birokrasi
tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta
menciptakan kondisi setiap anggota masyarakat untuk dapat mengembangkan
kemampuan dan kreativitasnya. Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan
semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, maka telah terjadi pula
perkembangan penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai dengan adanya pergeseran
paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari rule government menjadi paradigma good
governance. Karena itu, tugas utama dalam rangka penguatan eksistensi pemerintahan
termasuk pemerintah daerah adalah menciptakan pemerintahan yang secara politik
acceptable, secara hukum efektif, dan secara administratif dapat efisien. Misi aparat
birokrasi adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, dengan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga bisa memberikan kesejahteraan
dan rasa keadilan pada masyarakat banyak.
Pelayanan yang mengacu terkait dengan prinsip-prinsip good governance,
sebagaimana tuntutan reformasi yaitu untuk mewujudkan clean government dalam
penyelenggaraan negara yang didukung prinsip-prinsip dasar kepastian hukum,
akuntabilitas, transparansi, keadilan, profesionalisme, dan demokratis seperti yang
dikumandangkan oleh World Bank, UNDP, United Nation, dan beberapa lembaga
internasional lainnya. Akan tetapi, dari beberapa sumber menunjukkan masih ada aparat
birokrasi yang mengabaikan pekerjaan melayani, yang sebenarnya menjadi tanggung
jawabnya. Hal itu, terlihat dari birokrasi sedang berada dan bekerja pada lingkungan yang
hierarkis, birokratis, monopolis, dan terikat oleh political authority (Utomo, 2002).
Keadaan ini yang membuat birokrasi menjadi membudaya yang rigid/kaku, ada di
lingkungan yang hanya sebatas following the instruction atau mengikuti instruksi. Juga
dikarenakan ada di dalam tightening control atau mengencangkan kendali, maka birokrasi
menjadi tidak memiliki inisiatif dan kreativitas. Hal ini menjadi isu umum budaya
birokrasi yang menginginkan balas jasa (Thoha, 2003). Budaya dan mental birokrat
tersebut kontradiktif dengan pelayanan yang terkait untuk mewujudkan prinsip-prinsip
good and clean government, dan kurang menempatkan masyarakat sebagai orang yang
dilayani, dan justru sebaliknya. Selanjutnya birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas
dan fungsi, karena tidak saja terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan
berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan (public service,
development and empowering). Akibatnya menjadikan birokrasi sebagai lembaga yang
tambun sehingga mengurangi kelincahannya.

Reformasi Birokrasi.
Bureaucratism berdasarkan laporan World Competition Report Indonesia
menduduki ranking 31 dari 48 negara. Dalam laporan tersebut Indonesia
termasuk tinggi tingkat korupsinya. Selanjutnya, ada juga mengenai pelayanan
aparatur birorkasi untuk negara berkembang, di dalamnya termasuk Indonesia. Faktor
buruknya pelayanan aparat birokrasi disebabkan oleh: 1) Gaji rendah (56%), 2) Sikap
mental aparat pemerintah (46%), 3) Kondisi ekonomi buruk pada umumnya (32%), 4)
Administrasi lemah dan kurangnya pengawasan (48%), dan 5) lain-lain (13%).
Persentase lebih dari 100% disebabkan ada respons ganda dari responden (Smith).
Dengan demikian, maka diperlukan adanya reformasi birokrasi di Indonesia. Kata
reformasi sampai saat ini masih menjadi idola atau primadona yang
didambakan perwujudannya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dalam rangka
development, yang diarahkan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan clean
government. Kita semua tidak menutup mata, bahwa situasi telah berubah, dunia
sudah mengglobal, sistem dan nilai pun berubah dan juga berkembang. Era
globalisasi menyentak kita melakukan penyesuaian dan pemikiran yang strategis.
Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau
modernization. Arah yang akan dicapai reformasi adalah, efficiency, effectiveness,
dan responsiveness concern in their administrative system. Khan (1981) memberi
pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem
birorkasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau
kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai
suatu proses untuk mengubah proses prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah
laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional.
Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada
proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan
sikap serta tingkah laku (the ethics being). Hal ini, berarti menyangkut permasalahan
yang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan). Oleh akrena
itu, 1) perlu pemikiran pembenahan dan pengembalian fungsi dan misi birokrasi
kepada konsep, makna, prinsip yang sebenarnya. 2) Birokrasi sebagai komponen
pemerintah harus dikembalikan lagi untuk hanya terfokus kepada fungsi, tugas
prinsip pelayanan publik (public service). Dengan demikian, birokrasi akan menjadi
lebih lincah dan jelas kinerja atau performance-nya. Tidak saja kinerja organisasi atau
lembaganya tetapi juga memudahkan untuk membuat performance indicators dari
masing-masing aparat atau birokrat. 3) Untuk itu, perlu adanya kebijakan presiden
melalui political will melakukan reformasi di bidang birokrasi, dengan melepaskan
birokrasi dari fungsi dan tugas dan misi sesungguhnya tidak termasuk dalam
kewenangannya. 4) tetapi juga untuk melepaskan birokrasi sebagai alat politik
(netralitas), serta membebaskan birokrasi untuk bersinergi dan berinteraksi dengan
customer's oriented yang pada hakikatnya adalah kepentingan pelayanan untuk
masyarakat.

Menurut Rajiv Prabakhar (2006), saat ini pelayanan publik mendapat tantangan
yang sangat berarti, terutama akibat dari globalisasi. Debat yang muncul dalam
perdebatan itu melingkupi relasi negara dengan pasar, negara dengan warga, dan warga
dengan pasar. Kalau pada masa sebelumnya, negara begitu dominan sebagai pihak yan
berwenang untuk memberikan pelayanan publik maka saat ini para penentangnya
menganggap peran negara sudah tidak sesuai dengan logika dan nilai dari globalisasi.
Adapun tantangan pelayanan publik meliputi 4 isu penting, yaitu :

a. Negara atau Pasar ?

Debat tentang siapa yang harus lebih berperan dalam menyelenggarakan pelayanan
publik terjadi antara pendekatan yang berpusat pada negara (state-centred approach),
dengan pendekatan yang berpusat pada pasar (market-centred approach). Kaum
kanan baru (the New Right) menyatakan bahwa negara tak akan mampu melakukan
pelayanan publik yang optimal di era globalisasi. Hanya kompetisi di dalam pasar
yang akan menentukan pelaksanaan pelayanan publik (Rajiv Prabhakar, 2006).
Sebaliknya, kelompok yang berpihak pada negara menganggap mekanisme pasar
gagal untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada seluruh masyarakat karena
logikanya hanya menguntungkan pemenang dari kompetisi di dalam pasar, sedangkan
pihak yang kalah atau lebih lemah bukanlah persoalan bagi kaum pro-pasar.

b. Keutamaan (virtue) atau Kontrak ?

Dalam tradisi masyarakat liberal, pelayanan publik terikat oleh kontrak antara pihak
penyedia (providers) dengan pengguna (users). Adanya banyak penyedia
memungkinkan mereka harus memberikan yang terbaik, dan kontrak adalah jaminan
buat mengikat para pengguna.

Ada hal yang positif dari kontrak antara penyedia dan pengguna, tetapi menurut
Andrew Dobson, kontrak juga mengandung unsur ancaman dan hukuman apabila
persetujuan itu dilanggar (Rajiv Prabhakar, 2006 : 33). Dalam hal ini, pengguna
biasanya dalam posisi yang lebih lemah. Bagi Dobson, kontrak lebih cocok di bidang
bisnis dan tidak sesuai dengan konsep kewargaan (citizenship). Bagi Dobson,
pelayanan publik harus berdasar pada unsur keutamaan (virtue). Dalam virtue, unsur
kepedulian (care) dan belas kasih (compassion) akan menjamin kualitas dari
pelayanan publik dari pada ancaman atau hukuman.

c. Warga atau Konsumen ?

Bagi kaum pro-pasar dan pro-kontrak, pengguna pelayanan publik harus diperlakukan
sebagai konsumen. Konsumen ini punya hak yang telah diatur dalam sebuah kontrak
dengan pihak produsen. Konsumen juga harus menanggung konsekuensi apabila tidak
mematuhi kontrak yang sudah disepakati. Unsur transaksi sangat kental dalam
pandangan ini. Tingkat kepuasaan, untung-rugi, hukuman-hadiah adalah nilai-nilai
yang mendasari pandangan ini.

Sebaliknya pihak yang pro-negara dan pro-keutamaan melihat pengguna sebagai


warga yang punya hak mendapat pelayanan publik yang terbaik dari penyedia.
Sebagai warga, pelayanan mereka tidak boleh dikurangi atau dihilangkan haknya
karena tidak menguntungkan secara ekonomis.
d. Public good atau Private good

Menurut David A. MacDonald dan Greg Ruiters (Daniel Chaves (ed), 2006), dalam
logika pasar, segala sesuatu dapat dibeli dan dijual di pasar, termasuk kebutuhan
masyarakat. Setiap barang adalah “private good” yang bercirikan rivalry (setiap
barang diperebutkan oleh banyak orang sehingga setiap orang adalah rival bagi
lainnya) dan excludable (akses seseorang bisa ditolak apabila mereka tidak memenuhi
kontrak).

Logika pasar yang menempatkan semua barang sebagai private good ditolak oleh
oleh MacDonald dan Ruiters. Bagi mereka, setiap barang harus tetap dianggap
sebagai public good, karena berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Berbeda
dengan private good, public good bercirikan non-rivalry dan non-excludable.

Perdebatan di atas bisa kita gunakan untuk menganalisa pelayanan publik di Indonesia.
Penulis mengambil dua contoh untuk menggambarkan dinamika pelayananan publik di
Indonesia. Contoh pertama adalah pelayanan air minum buat warga. Pasal 33 UUD 1945
menganggap air adalah hajat hidup orang banyak, sehingga negara yang punya
wewenang dan tanggung jawab dalam menyelenggarakan pelayanan air minum kepada
semua warga. Pasal ini mencerminkan keberpihakan pada peran negara, warga,
keutamaan dan public good. Ironisnya, UU No. 7 tahun 2004 memandang air sebagai
private good (Syamsul Hadi, dkk, 2007:130).

Contoh kedua adalah pelayanan publik oleh PT Pelni. Secara operasional, PT Pelni selalu
merugi dalam melayani pelayaran di seluruh kawasan Indonesia. Menurut kaum yang
pro-pasar, pelayanan semacam ini harus segera dihilangkan karena tidak ekonomis.
Kenyataannya, PT Pelni sampai sekarang masih tetap melayani pelayaran, dan negara
tidak melakukan privatisasi atas PT Pelni. Kebijakan ini berpihak pada peran negara,
warga, keutamaan, berpihak pada warga dan pelayaran dianggap sebagai public good.

Tetapi kalau kita lihat dalam operasionalnya, sejumlah hak yang harusnya dimiliki oleh
setiap penumpang misalnya soal kasur mulai dihilangkan. Beberapa tahun lalu, kasur
adalah hak setiap penumpang. Tetapi dalam beberapa waktu terakhir ini, setiap
penumpang tidak mendapat kasur lagi. Kalau ingin mendapatkannya, penumpang harus
membayar sejumlah uang. Penjualan kasur ini menunjukkan adanya pergeseran dari
public good menjadi private good.

Menuju Etika Pelayanan publik yang pro-warga

Globalisasi tidak bisa ditolak begitu saja pada saat sekarang. Menutup pintu
terhadap globalisasi juga bukan pilihan. Globalisasi memungkinkan pihak lain yang
berada di luar negara juga bisa memberikan pelayanan publik. Kenyataan ini tidak serta
merta membuat kita menyerahkan begitu saja pelayanan publik kepada mekanisme pasar.

Negara tidak bisa menyerahkan semua tanggung jawab pelayanan publik kepada pihak
lain, misalnya pihak swasta. Kembali ke kasus pelayanan air, kita tahu selama ini telah
ada sejumlah perusahaan swasta menjalankan bisnis pelayanan air. Tetapi ketika negara
(Pemda DKI) melakukan privatisasi terhadap PT PAM, maka yang terjadi adalah Pemda
melepaskan seluruh tanggung jawab pelayanan air kepada mekanisme pasar. Air tidak
lagi menjadi public good tetapi seluruhnya private good. Kebijakan yang berbeda kita
lihat dari pelayaran oleh PT Pelni. Meski merugi, negara tidak memprivatisasinya.

Pertanyaan yang bisa diajukan adalah bagaimana dengan nasib warga ketika negara mulai
menggunakan perhitungan untung-rugi dalam melakukan pelayanan publik?.

Pertanyaan etis itu penting karena menggugat dan melampaui perhitungan ekonomis dari
pandangan yang pro kepada mekanisme pasar. Pertanyaan etis itu mewakili pertanyaan
yang lebih besar tentang bagaimana nasib pelayanan publik di Indonesia saat ini dan di
masa depan.

UUD 1945 (khususnya pasal 33) sesungguhnya mencerminkan suatu pandangan etis yang
berpihak pada kepentingan warga, dan pengakuan yang besar terhadap peran dan
tanggung jawab negara. Para penyusun konstitusi sangat sadar bahwa keutamaan harus
menjadi landasan agar kepentingan banyak orang bisa terpenuhi.

Saat ini, logika dan nilai dari mekanisme pasar telah menggerogoti “yang baik” dari kita.
Kontrak telah menggantikan keutamaan, public good terancam hilang, dan warga berubah
menjadi konsumen. Kenyataan semacam itu akan menempatkan seluruh warga selalu
dalam keadaan yang rentan karena haknya sewaktu-waktu akan dicabut sebab tak
memenuhi kontrak yang ditetapkan oleh mekanisme pasar.

Pelayanan publik yang tengah terancam serbuan logika dan nilai dari mekanisme pasar
sudah saatnya kita cegah dengan mewujudkan dan memperjuangkan etika pelayanan
publik yang berpihak pada kepentingan banyak orang, bukan kepada segelintir orang
yang punya uang berlimpah-limpah, dan bukan kepada pihak yang hanya sekedar
menempatkan perhitungan untung-rugi atau memandang kebutuhan masyarakat hanya
sebagai private good.

Dengan pandangan dan sikap etis itu, maka kebijakan negara untuk tetap
mempertahankan sejumlah pelayanan publik (meski rugi seperti PT Pelni) patut
didukung. Bukan semata karena kita tidak peduli dengan perhitungan untung-rugi, tetapi
lebih karena kita ingin bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan yang menjadi
hak setiap warga.
Dampak Penyelenggaraan Pemerintah Yang Tidak
Transparan.

Suatu pemerintahan atau kepemerintahan dikatakan Transparan (terbuka), apabila dalam


penyelenggaraan kepemerintahannya terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai
proses kelembagaan sehingga mudah diakses oleh mereka yang membutuhkan. Berbagai
informasi telah disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat
digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi. Kepemerintahan yang tidak transparan,
cepat atau lambat cendrung akan menuju kepemerintahan yang korup, otoriter, atau
diktatur.

Dalam penyelenggaraan Negara, pemerintah dituntut bersikap terbuka terhadap


kebijakan-kebijakan yang dibuatnya termasuk anggara yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut. Sehingga mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga
evaluasi terhadap kebijakan tersebut pemerintah dituntut bersikap terbuka dalam rangka
”akuntabilitas public”.

Realitasnya kadang kebijakan yang dibuat pemerintah dalam hal pelaksanaannya kurang
bersikap ransparan, sehingga berdampak pada rendahnya kepercayaan masyarakat
terhadap setiap kebijakan yang dibuat pemerintah. Sebagai contoh, setiap kenaikan harga
BBM selalu di ikuti oleh demonstrasi “penolakan” kenaikan tersebut. Pada hal
pemerintah berasumsi kenaikan BBM dapat mensubsidi sector lain untuk rakyat kecil
“miskin”, seperti pemberian fasilitas kesehatan yang memadai, peningkatan sector
pendidikan, dan pengadaan beras miskin (raskin). Akan tetapi karena kebijakan tersebut
pengelolaannya tidka transparan bahkan sering menimbulkan kebocoran (korupsi), rakyat
tidak mempercayai kebijakan serupa dikemudain hari.

Dampak yang paling besasr terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang tidak


transparan adalah korupsi. Istilah “korupsi” dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan
tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam
praktiknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannnya
dengan jabatan tanpa ada catatan admnistratif.

Menurut MTI (Masyarakat Transparansi Internasional), “korupsi merupakan perilaku


pejabat, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.”
Korupsi tumbuh subur terutama pada negara-negara yang menerapkan sistem politik yang
cenderung tertutup, seperti absolut, diktatur, totaliter, dam otoriter. Hal ini sejalan dengan
pandangan Lord Acton, bahwa “the power tends to corrupt…” (kekuasaan cenderung
untuk menyimpang) dan “… absolute power corrupts absolutely” (semakin lama
seseorang berkuasa, penyimpangan yang dilakukannya akan semakin menjadi-jadi).
Di Indonesia, rezim pemerintahan yang paling korup adalah masa Orde Baru.
Berdasarkan laporan Wold Economic Forum dalam “the global competitivennennssn
report 1999”, kondisi Indonesia termasuk yang terburuk diantara 59 negara yang diteliti.
Bahkan pada tahun 2002, menurut laporan “political and risk consultancy (PERC) atau
Lembaga Konsultasi Politik dan Risiko yang berkedudukan di Hongkong, Indonesia”
berhasil mengukir prestasim sebagai negara yang paling korup di Asia.
Tampaknya tdak salah lagi bahwa rezim Orde Baru yang berkuasa kurang lebih selama
32 (tiga puluh dua) tahun telah membawa Indonesia kejurang kehancuran krisis ekonomi
yang berkepanjangan. Ini semua merupakan akumulasi dari pemerintahan yang dikelolah
dengan tidak transparan, sehingga masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah
meracuni semua aspek kehidupan dan mencangkup hampir semua institusi formal
maupun nonformal. Mafia peradilan dan praktik politik uang merupakan contoh dari
segudang bentuk praktik KKN.

1) Sebab-sebab korupsi
Mengenai sebab-sebab terjadinya korupsi, hingga sekarang ini para ahli belum dapat
memberikan kepastian apa dan bagaimana korupsi itu terjadi. Tindakan korupsi bukanlah
peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan ada variabel lain yang ikut berperan.
Penyebabnya dapat karena faktor internal si pelaku itu sendiri, maupun dari situasi
lingkungan yang “memungkinkan” bagi seseorang untuk untuk melakukannya.

2) Ciri-ciri korupsi
Penyalahgunaan wewenang dengan jalan korupsi, tampaknya tidak hanya didominasi
oleh oknum aparat pemerintahan, akan tetapi institusi lain juga melakukan hal sama
dengan ciri-ciri sebagai berikut :

• Melibatkan lebih dari satu orang


• Pelaku tidak terbatas pada oknum pegawai pemerintahan, tetapi juga pegawai swasta
• Sering digunakan bahasa “sumir” untuk menerima uang sogok, yaitu: uang kopi, uang
rokok, uang semir, uang pelancar, salam tempel, uang pelancar baik dalam bentuk uang
tunai, benda tertentu atau wanita
• Umumnya bersifat rahasia, kecuali jika sudah membudaya
• Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang selalu tidak berupa
uang
• Mengandung unsur penipuan yang biasanya ada pada bahan publik atau masyarakat
umum.

3) Akibat tindak korupsi


Siapapun pelakunya, sekecil apapun perbuatan tindak korupsi akan mendatangkan
kerugian pada pihak lain. Beberapa akibat yang ditimbulkan dari tindakan korupsi yang
pada umumnya tampak di permukaan adalah sebagai berikut :

• Mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap


proses politi melalui politik uang
• Mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya
akuntabilitas publik dan manafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani
kekuasaan dan pemilik modal
• Meniadaklan sistem promosi (riward and punishment), karena lebihy dominan
hubungan patronklien dan nepotisme
• Proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat sehingga mangganggu pembangunan yang berkelanjutan
• Jatuh atau rusaknya tatanan ekonomi karena produk yang dijual tidak kompetitif dan
terjadi penumnpukan beban utang luar negeri
• Semua urusan dapat diatur sehingga tatanan/ aturan dapat dibeli dengan sejumlah uang
sesuai kesepakatan
• Lahirnya kelompok-kelompok pertemanan atau “koncoisme” yang lebih didasarkan
kepada kepentingan pragmatisme uang.

Upaya pencegahan terhadap penyelenggaraan pemerintah yang tidak


transparan

Upaya menghindari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan sehingga


melahirkan “budaya” korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilakukan, anatara lain
melalui jalur-jalur sebagai berikut:

1) Formal pemerintah/ kekuasaan :

(1) pemerintah dan pejabat publik perlu pengawasan melekat (waskat) dari aparat
berwenang, DPR, dan masyarakat luas sehingga yang terbukti bersalah diberikan sanksi
yang tegas tanpa diskriminasi
(2) mengefektifkan peran dan fingsi aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan,
para hakim, serta komisi pemberantas korupsi
(3) pembekalan secara intensif dan sistematis terhadap aparatur pemerintah dan pejabat
publik dalam hal nilai-nilai agama dan sosial budaya
(4) menegakkan supermasi hukum dan perundang-undangan secara konsisten dan
bertanggung jawab serta menjamin dan menghormati hak asasi manusia
(5) mengatur peralihan kekuasaan secara tertib, damai dan demokrastis sesuai dengan
hukum dan perundang-undangan
(6) menata kehidupan politik agar distribusi kekuasaan dalam berbagai tingakat struktur
politik dan hubungan kekuasaan dapat berlangsung dengan seimbang
(7) meningkatkan integritas, profesionalisme, dan tanggung jawab dalam penyenggaraan
negara serta memberdayakan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial secara
konstruktif dan efektif

2) Organisasi non-pemnerintah dan media massa :

(1) keterlibatab lemnbaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO (non-Government


Organization) dalam mengawasi setiap kebijakan publik yang dibuat pemerintahan
seperti ICW, MTI, GOWA dan sebagainya
(2) adanya kontrol sosial untuk perbaikan komunikasi yang berimbang antara pemerintah
dan rakyat melalui berbagai media massa elektronik maupun cetak
3) Pendidikan dan Masyarakat :

(1) memperkenalkan sejak dini melalui pembelajaran di sekolah tentang pentingnya


pemerintah yang transparan melalui mata pelajaran Kewarganegaraan
(2) menjadikan pancasila sebagai dasar negara yang mampu membuka wacana dan dialog
interaktif di dalam masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan yang dihadapi sesui
dengan visi Indonesia masa depan
(3) meningkatkan kekurangan sosial anatara pemeluk agama, suku, dan kelompok-
kelompok masyarakat lainnya melalui dialog dan kerja sama dengan prinsip
kebersamaan, kesetaraan, toleransi, dan saling menghormati
(4) memberdayakan masyarakat melalui perbaikan sistem politik yang demokratis
sehingga dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, menjadi
panutan masyarakat, dan mampu mempersatukan bangsa dan negara

You might also like