You are on page 1of 10

MENGENAL THORIQOH MU'TABARAH

Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti


jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian
ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan,
sehingga sebagian sufi menyatakan, Aturuk biadadi anfasil
mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya
mahluk, aneka ragam dan bermacam macam. Kendati demikian
orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati,
karena dinyatakan pula, Faminha Mardudah waminha maqbulah,
yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada
yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima.
Yang dalam istilah ahli Thoriqoh lazim dikenal dengan ungkapan,
Mu'tabaroh. Wa ghoiru Mu'tabaroh.

KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu dari Nabi


yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi,
semua Thoriqoh yang Mu'tabaroh itu, sanad(silsilah)-nya muttashil
(bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu Thoriqoh
sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut
Thoriqoh tidak (ghoiru) Mu'tabaroh. Barometer lain untuk
menentukan ke-mu'tabaroh-an suatu Thoriqoh adalah
pelaksanaan syari'at. Dalam semua Thoriqoh Mu'tabaroh syariat
dilaksanakan secara benar dan ketat.

Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah :


Thoriqoh Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M).
Thoriqoh Syathariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan
Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082)
dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini
diteruskan oleh Syekh 'Abd al-Rauf al-Sinkili ke Nusantara,
kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke
Minangkabau. Thoriqoh Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din,
berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama silsilah
yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, silsilah yang dibuat oleh
Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, silsilah
yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat;
silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang
berjudul Syifa' al-Qulub. Thoriqoh ini berkembang di Minangkabau
dan sekitarnya. Untuk mendukung ke1embagaan Thoriqoh, kaum
Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial
keagamaan Jama'ah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang
dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di
propinsi-tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya
kelembagaan Thoriqoh Syathariyah dapat ditemukan wujudnya
pada kegiatan ziarah bersama ke makam Syekh Burhan al-Din
Ulakan.
Thoriqoh Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau
pada tahun 1850. Thoriqoh Naqsyabandiyah sudah masuk ke
Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah
Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Limapuluh kota.
Thoriqoh Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh
pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang
Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia
melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India.
Naqsyabandiyah merupakan salah satu Thoriqoh sufi yang paling
luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim
serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula
di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai
menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu
seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan
munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh
Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua, w.
1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan
Thoriqoh tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah,
dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Thoriqoh
Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat,
keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap
musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati
(Sirri). Penyebaran Thoriqoh Naqsyabandiyah Khalidiyah ditunjang
oleh ulama ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan
Medinah, mereka mendapat bai'ah dari Syekh Jabal Qubays di
Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh
Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh
Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w.
1936), dan Syekh Muhammad Sai'd Bonjol. Mereka adalah ulama
besar dan berpengaruh pada zamannya serta mempunyai anak
murid mencapai ratusan ribu, yang kemudian turut menyebarkan
Thoriqoh ini ke daerah asal masing masing Di Jawa Tengah
Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah disebarkan oleh KH. Abdul
Hadi Girikusumo Mranggen yang kemudian menyebar ke
Popongan Klaten, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdullah Salam
Kajen Margoyoso Pati, KH. Hafidh Rembang. Dari dari tangan
mereka yang penuh berkah, pengikut Thoriqoh ini berkembang
menjadi ratusan ribu. Ajaran dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah
pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu:
syari'at, thariqat, hakikat dan ma'rifat. Ajaran Thoriqoh
Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan
yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan
nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak ke
permukaan dan memiliki tata aturan adalah khalwat atau suluk.
Khalwat ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat
yang terpencil, guna melakukan zikir dibawah bimbingan seorang
Syekh atau khalifahnya, selama waktu 10 hari atau 20 hari dan
sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara khalwat ditentukan oleh
syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah
melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan
suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa,
kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya
sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh
syekh atau khalifah..
Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad ibn 'Aly (al-Husainy al-Badawy).
Diantara nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau
ialah Syihabuddin, al-Aqthab, Abu al-Fityah, Syaikh al-'Arab dan
al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah
diberikan nama gelar (laqab) yang banyak, sampai dua puluh
sembilan nama. Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir,
Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy
adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu 'alaihi wa
sallam, melalui Sayidina al-Husain. Sholawat Badawiyah sughro
dan Kubro, adalah sholawat yang amat dikenal masarakat
Indonesia, dinisbatkan kepada waliyullah Sayid Ahmad Badawi ini,
akan tetapi Tarekat badawiyah sendiri tidak berkembang secara
luas di indonesia khususnya di Jawa

Abul Hasan Ali asy-Sadzili, merupakan tokoh Thoriqoh Sadziliyah


yang tidak meninggalkan karya tulis di bidang tasawuf, begitu juga
muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya ajaran lisan
tasawuf, Doa, dan hizib. Ketika ditanya akan hal itu, ia
menegaskan :"karyaku adalah murid muridku", Asadzili
mempunyai murid yang amat banyak dan kebanyakan mereka
adalah ulama ulama masyhur pada zamannya, dan bahkan
dikenal dan dibaca karya tulisnya hingga hari ini. Ibn Atha'illah as
-Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-
ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga
kasanah Thoriqoh Sadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga
orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang
aturan-aturan Thoriqoh Sadziliah, pokok-pokoknya, prinsip-
prinsipnya, yang menjadi rujukan bagi angkatan-angkatan
setelahnya. Sebagai ajaran, Thoriqoh ini dipengaruhi oleh al-
Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Sadzili kepada
murid-muridnya: "Jika kalian mengajukan suatu permohonanan
kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali".
Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-
Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-
Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, al-
Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif
wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad,
Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn
Atah'illah. Thoriqoh Sadzaliah berkembang pesat di Jawa, tercatat
Ponpes Mangkuyudan Solo, Kyai Umar , Simbah Kyai Dalhar
Watucongol, Simbah Kyai Abdul malik Kedongparo Purwokerto, KH
Muhaiminan Parakan, KH. Abdul Jalil Tulung Agung. KH . Habib
Lutfi Bin Yahya, Pekalongan .Simbah KH.M.Idris, kacangan
Boyolali, adalah pemuka pemuka Sadzaliah yang telah membaiat
dan membina ratusan ribu bahkan jutaan murid Sadziliah.
Thoriqoh Qodiriyah dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelani
(wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu
Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir
di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561
H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan
menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Riwayat hidup dan
keutamaan akhlak (Manaqib) Syech Abdul Qodir Jaelani ini,
dikenal luas oleh masarakat Indonesia khususnya di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, dan dibaca dalam acara-acara tertentu guna
tabarruk dan tawassul kepada Syekh Abdul Qodir. Thoriqoh
Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang
diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir,
India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak
abad ke-13, Thoriqoh ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15
M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad
Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Syekh Abdul Qodir
Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi
gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, Thoriqoh Qodiriyah
sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Thoriqoh Qodiriyah ini dikenal
luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka
murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti
Thoriqoh gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi
Thoriqoh yang lain ke dalam Thoriqohnya. Hal itu seperti tampak
pada ungkapan Syekh Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid
yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri
sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk
seterusnya." Seperti halnya Thoriqoh di Timur Tengah. Sejarah
Thoriqoh Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-
Mukarromah. Thoriqoh Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada
abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren
Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa
Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan
Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syekh Abdul Karim
dari Banten adalah murid kesayangan Syekh Khatib Sambas yang
bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam
penyebaran Thoriqoh Qodiriyah. Murid-murid Syekh Sambas yang
berasal dari Jawa dan Madura, setelah pulang ke Indonesia
menjadi penyebar Thoriqoh Qodiriyah tersebut.
Di Jawa Tengah Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah muncul
dan berkembang antara lain dari Mbah Ibrahim Brumbung
Mranggen diturunkan kepada antara lain KH. Muslih pendiri Ponpes
Futuhiyyah ,Mranggen. Dari Kyai Muslih ini lahir murid-murid
Thoriqoh yang banyak. Dan dari tangan mereka berkembang
menjadi ratusan ribu pengikut. Demikian pula halnya Simbah Kyai
Siradj Solo yang mengembangkan Thoriqoh ini ke berbagai
tempat melalui anak muridnya yang tersebar ke pelosok Jawa
Tengah hingga mencapai puluhan ribu pengikut. Sementara di
Jawa Timur, Thoriqoh ini dikembangkan oleh KH. Musta'in Romli
Rejoso Jombang dan Simbah Kyai Utsman yang kemudian
dilanjutnya putra-putranya diantaranya KH. Asrori yang juga
mempunyai murid ratusan ribu. Di Jawa Barat tepatnya di Ponpes
Suryalaya Tasikmalaya juga turut andil membesarkan Thoriqoh ini
sejak mulai zaman Abah Sepuh hingga Abah Anom dan murid-
muridnya yang tersebar di berbagai penjuru Jawa Barat.
Thoriqoh Alawiyyah berbeda dengan Thoriqoh sufi lain pada
umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang
tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) yang berat,
melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa
wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat
dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing
oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni
Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad.serta beberapa ratib lainnya
seperti Ratib Al Attas dan Alaydrus juga dapat dikatakan, bahwa
Thoriqoh ini merupakan jalan tengah antara Thoriqoh Syadziliyah
(yang menekankan olah hati) dan batiniah) dan Thoriqoh Al-
Ghazaliyah (yang menekankan olah fisik). Thoriqoh ini berasal
dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai
negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk
Indonesia). Thoriqoh ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-
Muhajir-lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-
Muhajir-seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al Imam
Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan
tokoh kunci Thoriqoh ini. Dalam perkembangannya kemudian,
Thoriqoh Alawiyyah dikenal juga dengan Thoriqoh Haddadiyah,
yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah al-Haddad, Attasiyah
yang dinisbatkan kepada Habib Umar bin Abdulrahman Al Attas,
serta Idrusiyah yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah bin Abi
Bakar Alaydrus, selaku generasi penerusnya. Sementara nama
"Alawiyyah" berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al
-Muhajir. Thoriqoh Alawiyyah, secara umum, adalah Thoriqoh
yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai
saadah atau kaum sayyid - keturunan Nabi Muhammad SAW-yang
merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat
Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal Thoriqoh ini
didirikan, pengikut Thoriqoh Alawiyyah kebanyakan dari kaum
sayyid di Hadhramaut, atau Ba Alawi.Thoriqoh ini dikenal pula
sebagai Toriqotul abak wal ajdad, karena mata rantai silisilahnya
turun temurun dari kakek,ayah, ke anak anak mereka, dan
setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain
dari non-Hadhrami. Di Purworejo dan sekitarnya Thoriqoh ini
berkembang pesat, diikuti bukan hanya oleh para saadah
melainkan juga masarakat non saadah , Sayid Dahlan Baabud,
tercatat sebagai pengembang Thoriqoh ini, yang sekarang
dilanjutkan oleh anak cucunya
Umumnya, nama sebuah Thoriqoh diambil dari nama sang pendiri
Thoriqoh bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir
Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi
Thoriqoh Khalwatiyah justru diambil dari kata "khalwat", yang

artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini


dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H),
pendiri Thoriqoh Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-
tempat sepi. Secara "nasabiyah", Thoriqoh Khalwatiyah
merupakan cabang dari Thoriqoh Az-Zahidiyah, cabang dari Al-
Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh
Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi
(539-632 H). Thoriqoh Khalwatiyah berkembang secara luas di
Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin
Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal
Damaskus, Syiria. Ia mengambil Thoriqoh tersebut dari gurunya
yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi.
Karena pesatnya perkembangan Thoriqoh ini di Mesir, tak heran
jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh
para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran
Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik.
Diantara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan
(Pelipur Duka).
Thoriqoh Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin
Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang
tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah
karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme
dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan
syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh
Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan
Tuhan. At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di 'Ain Madi,
bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat
menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman
lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi
guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada
tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa
tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun
1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan
selama lima tahun. Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh
Thoriqoh-Thoriqoh lain. Gugatan keras dari kalangan ulama
Thoriqoh itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Thoriqoh
Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan
diperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala
yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan
membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu,
para pengikut Thoriqoh Tijaniyah diminta untuk melepaskan
afiliasinya dengan para guru Thoriqoh lain, Meski demikian,
Thoriqoh ini terus berkembang, utamanya di Buntet- Cirebon dan
seputar Garut (Jawa Barat), dan Jati barang brebes, Sjekh Ali
Basalamah, dan kemudian dilanjutkan putranya, Sjekh
Muhammad Basalamah, adalah muqaddam Tijaniah di Jatibarang
yang pengajian rutinnya, dihadiri oleh puluhan ribu ummat Islam
pengikut Tijaniah. Demikian pula Madura dan ujung Timur pulau
Jawa, tercatat juga, sebagai pusat peredarannya. Penentangan
terhadap Thoriqoh ini, mereda setelah, Jam'iyyah Ahlith-Thariqah
An-Nahdliyyah menetapkan keputusan, Thoriqoh ini bukanlah
Thoriqoh sesat, karena amalan-amalannya sesuai dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Keputusan itu diambil setelah
para ulama ahli Thoriqoh memeriksa wirid dan wadzifah Thoriqoh ini.
Thoriqah Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Samman
yang bernama asli Muhammad bin Abd al-Karim al-Samman al-
Madani al-Qadiri al-Quraisyi dan lebih dikenal dengan panggilan
Samman. Beliau lahir di Madinah 1132 H/1718 M dan berasal dari
keluarga suku Quraisy. Semula ia belajar Thoriqoh Khalwatiyyah
di Damaskus, lama kelamaan ia mulai membuka pengajian yang
berisi teknik dzikir, wirid dan ajaran teosofi lainnya. Ia menyusun
cara pendekatan diri dengan Allah yang akhirnya disebut sebagai
Thoriqoh Sammaniyah. Sehingga ada yang mengatakan bahwa
Thoriqoh Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah. Di
Indonesia, Thoriqoh ini berkembang di Sumatera, Kalimantan dan
Jawa. Sammaniyah masuk ke Indonesia pada penghujung abad 18
yang banyak mendapatkan pengikut karena popularitas Imam
Samman. Sehingga manaqib Syekh Samman juga sering dibaca
berikut dzikir Ratib Samman yang dibaca dengan gerakan
tertentu. Di Palembang misalnya ada tiga ulama Thoriqoh yang
pernah berguru langsung pada Syekh Samman, ia adalah Syekh
Abd Shamad, Syekh Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin
dan Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad. Di Aceh juga terkenal
apa yang disebut Ratib Samman yang selalu dibaca sebagai dzikir
(team Al Mihrab )

You might also like