Professional Documents
Culture Documents
*****************************************************
MUQODDIMAH
MENERANGKAN DEFINISI
Al-Ushul jamak dari ashlun, ia secara bahasa : Segala sesuatu yang adanya sesuatu itu
bersandar kepadanya.
Dan secara istilah digunakan pada beberapa penggunaan, diantaranya dalil, inilah yang
dimaksudkan disini. Maka ushul fiqih itu adalah : dalil-dalilnya.
Pengertian yang kedua : Ditinjau dari suatu ilmu yang tersendiri, maka ia memiliki
pengertian : Dalil-dalil fiqih yang ijmaliyah/gelobal, dan tata cara mengambil faidah dari
dalil-dalil tersebut dan tentang keadaan al-mustafidz.
Keutamannya : Seluruh dalil yang telah otentik tentang anjuran untuk komitmen di
dalam agama Alloh Ta’ala, maka terhenti atas ushulul fiqh. Telah tetap baginya
keutamaan yang dimiliki oleh ilmu fiqih, karena ia merupakan sarana yang
menghantarkan padanya.
Pencetusnya : Imam Syafi’I -rihimahulloh-, demikian itu dengan menulis kitab (Ar-
Risalah), ia merupakan kitab yang membahas ushul.
3. Bahasa Arab
5. ijtihad ahli ilmu dan istimbath mereka sesuai dengan batasan-batasan syari’at.
Hukumnya : Fardu kifayah, kecuali bagi orang-orang yang hendak berijtihad maka
baginya fardu ‘ain.
Al-adillah jamak dari dalil, ia secara bahasa : Sesuatu yang menunjukkan pada yang
dicari.
Secara istilah : Sesuatu yang diambil faidah darinya hukum-hukum syar’i yang ‘ilmiyah,
dengan cara koth’i atau-pun dzon.
Al-Adillah : Ia adalah Al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, dan qiyas. Ini merupakan dalil-dalil
yang disepakati kebanyakan (jumhur) muslimin. Adapun al-Istihab, madzhab sahabat,
syari’at orang-orang sebelum kita, masholih mursalah, ‘urf (kebiasaan), syadu adzari’ah
maka merupakan suatu yang diperselisihkan; ia menurut orang yang menyatakannya
merupakan dalil-dalil atas hukum Alloh Ta’ala.
Al-adillah seluruhnya kembali kepada kitab Alloh, ia merupakan asal. As-sunnah yang
mengkhabarkan tentang hukum Alloh, yang menerangkan Al-Qur’an. Adapun ijma’ dan
qias keduanya bersandar kepada al-Kitab dan as-Sunnah. Seluruh dalil tidaklah dilirik
andaikan tidak bersandar kepada al-Kitab dan as-Sunnh.
1. Al-Kitab
Diantara Kekhususannya :
Sungguh, Al-Qur’an ini telah mengandung segala sesuatu yang dibutuhkan oleh seluruh
manusia. Ia terdiri dari tiga macam (kandungan) :
1. Hukum-hukum i’tiqodiyah
2. Hukum-hukum akhlaqiyah shulukiyah.
3. Hukum-hukum amaliyah, ia berkaitan dengan perbuatan al-mukalafin. Hukum-
hukum ‘amaliyah ini ada dua :
• Ibadah
• Mu’amalah, dan penamaannya dengan hal tersebut hanyalah penamaan istilah
belaka.
2. As-Sunnah
Adapun perkataannya sholallohu ‘alaihi wassallam; Jika perkataan yang shorih maka ia
marfu’ secara hakikat atau di dalamnya terdapat makna al-qaul, seperti qoul (perkataan)
sahabat : “Rosululloh sholallohu ‘alaihi wassallam telah memerintahkan demikian atau
perkataan : Beliau melarang dari demikian.
Ia merupakan hujjah yang memutuskan (tidak ada celah untuk menolaknya) bagi orang
yang telah mendengarnya. Jika sunnah tersebut dikutifl kepada yang lain maka menurut
pendapat jumhur bisa mutawatir atau ahad.
Mutawatir secara bahasa adalah yang saling susul menyusul; Adapun secara istilah adalah
: Hadits yang dinukil oleh jama’ah yang banyak, yang secara kebiasaan mustahil
terjadinya pemufakatan untuk dusta, dan mereka menyandarkannya pada sesuatu yang
dapat diindra.
Hadits mutawatir ini memberikan faidah ilmu, ia merupakan suatu ketetapan yang pasti
bila (telah) sahih penisbatannya kepada orang yang telah dikutif tentangnya. Dan juga
memberikan faidah beramal dengan sesuatu yang telah ditunjukannya dengan cara
membenarkannya jika hadits tersebut merupakan khobar\berita dan dengan
mempraktekannya jika hadits tersebut merupakan tuntutan (atas suatu perbuatan –pen).
Ahad secara bahasa : Jamak dari (Ahad) yang bermakna wahid (satu\tunggal).
Hadits-hadits ahad merupakan hujjah secara mutlak, baik di dalam masalah aqidah
ataupun masalah ahkam. Karena hadits ahad itu berfaidah memberikan dzon yang rojih
(kuat) bila telah sahih penisbatannya kepada Rosululloh saw . Jika telah terpenuhi
didalam hadits tersebut syarat-syarat (hadits) sahih atau yang dibawah syarat hadits sahih
tersebut, dialah hadits yang hasan. Dan kadang hadits ahad ini memberikan faidah ilmu
yang pasti jika dengannya ada tanda-tanda atau umat telah menerimanya. Hal yang
demikian secara khusus diketahui oleh ahli hadits dan selain mereka mengikuti mereka
(ahli hadits).
Dan suatu perbuatan yang dilakukan beliau sholallohu ‘alaihi wassallam, yang ia
merupakan tuntutan adat\kebiasaan maka tidak ada hukum baginya di dalam dzat
perbuatan tersebut; Dan bukan bagian dari tasyri’, kecuali jika baginya sifat yang
dituntut.
Adapun suatu perbuatan yang tidak nampak sisi taqorubnya maka ada kemungkinan
sebagai adat\kebiasaan atau sebagai ibadah. Paling rendah keadaannya adalah ibahah.
Kebalikan perbuatan-perbuatan adalah at-turuk (meninggalkan), ia ada tiga jenis:
Jenis sunnah ini merupakan ushul yang agung dan kaidah yang mulia, dengannya dijaga
hukum-hukum syar’i, dan dengannya ditutup pintu ibtida’ di dalam agama.
Adapun tqrir sholallohu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengingari suatu perkataan atau
perbuatan; Atau meridlhinya, atau bergembiranya dengannya atau menyatakan baik
terhadapnya. Ia merupakan dalil atas bolehnya (seseuatu tersebut) sesuai dengan
sisi\bentuk yang beliau telah mengikrarkannya. Disyaratkan dari hal itu, hendaknya
beliau mengetahui terjadinya perbuatan atau perkataan tersebut, seperti terjadi di
hadapannya atau terjadi tidak dihadapannya, kemudian sampai kepadanya atau yang
seperti itu. Andaikan beliau tidak tahu maka ia pun hujjah, karena ikror Alloh atasnya.
Kedudukan as-Sunnah ada pada tingkatan kedua setelah al-Qur’an. Adapun di dalam
ihtijaj/berdalil dan kewajiban itiba’/mengikuti maka keduanya sama. As-sunnah seperti
al-Qur’an, kadang-kadang penunjukannya atas suatu hukum itu dengan qot’i atau dengan
dzonni.
3. Ijma
Ia adalah kesepakatan para ahli ijtihad setelah wafatnya sholallohu ‘alaihi wa sallam di
suatu zaman dari zaman-zaman, atas suatu hukum syar’i.
Ia terbagi ditinjau dari dzatnya kepada : (1) qauliyun dan (2) sukutiyun. Al-qauliy : Setiap
masing-masing mujtahid (ahli ijtihad) mengungkapkan pendapatnya di dalam suatu
masalah. Ini jika memang didapatkan maka ia hujjah yang pasti tanpa perselisihan.
Ijma jika ditinjau dari kuat dan lemahnya terbagi pada : qot’iy; Ia adalah sesuatu yang
diketahui terjadinya dari umat dengan dhorury. Maka ini hujjah yang pasti, tidak halal
bagi seseorang untuk menyelisihinya.
Dzhony : Ia adalah sesuatu yang diketahui dengan penelitian dan penela’ahan, ia tidaklah
mungkin kecuali di zaman para sahabat rodhiyallohu ‘anhum. Adapun setelah mereka
maka suatu yang tidak mungkin secara umum, karena banyaknya perselisihan dan
terpencar-pencarnya umat.
Ijma bukanlah dalil yang berdiri sendiri, tatkala tidak ditemukannya suatu masalah yang
telah disepakati kecuali di dalam masalah tersebut ada dalil syar’i. Mengetahuinya –
walaupun– sebagian mujtahid.
4. Qias
Ia adalah menyertakan cabang kepada asal (pokok), karena alasan yang menyatukan
antara keduanya.
Ia merupakan cara ijtihad yang berdiri di atas nas-nas al-Kitab dan as-Sunnah. Tidaklah
berpaling kepada qias (baca : tidaklah menggunakan kias) kecuali jika tidak didapatkan
nas. Tidak ada nilai bagi qias yang ‘menghantam’ nas atau ijma’.
Tata cara qias : Hendaknya syari’ menyebutkan atas suatu hukum di dalam suatu masalah.
Baginya sifat yang disebutkan secara tegas atau (sifat) yang disimpulkan, kemudian sifat
tersebut didapatkan di dalam masalah yang lain yang syari’ tidak menyebutkan
(hukumnya) atas dzat masalah tesebut, akan tetapi masalah tesebut sama dengan yang
telah disebutkan atasnya, maka wajib menyertakan dengan maslah tersebut di dalam
hukumnya; karena syari’ yang Maha Bijaksana tidaklah membedakan antara sesuatu yang
sama di dalam sifat-sifatnya dan tidaklah mengumpulkan antara sesuatu yang berbeda (di
dalam kesamaan hukumnya–pen).
Rukun-rukun qias ada empat :
1. Ashlun : Dinamakan al-maqis ‘alaihi. Ia adalah sesuatu yang telah warid nas
tentang hukumnya.
2. Hukumul ashl. Ia adalah hukum syar’i yang tetap dengannya nas di dalam ashl.
Dan dimaksudkan ta’diyahnya (peletakan hukum asal tersebut) kepada cabang.
3. Al-Far’u. Dinamakan al-maqis, ia adalah maslah yang tidak warid nas tentang
hukumnya.
4. Al-’Illah. Ia adalah makna yang bersekutu antara ashl dan cabang, (yang)
dibangun di atasnya hukum asyar’i. Ia merupakan rukun kias yang paling penting.
1. Madzhab Sahabat
1. Bentuk pertama : Jika masalah tersebut terkenal dan tidak ada yang mengingkari.
Maka ia merupakan hujjah menurut pendapat kebanyakan para ulama. Sebagian
mereka menganggapnya sebagai ijma’ sukuti. Telah terdahulu bahwa (anggapan
seperti ini) lemah.
2. Bentuk kedua : Jika masalah tersebut tidak terkenal dan tidak ada seorang pun
yang menyelisihinya. Keadaan ini diperdebatkan (para ulama), yang nampak –
Allohu ‘Alam – ia diambil tatkala tidak ada dalil dari al-Kitab, as-Sunnah, ijma
atau yang lainnya dari sesuatu yang mu’tabar. Mengambil pendapat yang
merupakan hasil ijtihad sahabat adalah lebih utama daripada mengambil
pendapat\ijtihad orang yang datang setelah mereka. Akan tetapi bukan hujjah
yang lazim seperti nas al-Kitab dan as-Sunnah. Madzhab sahabat rodiyallohu
‘anhum yang paling kuat adalah pendapat khulafa ar-rosidin yang empat,
kemudian orang-orang yang terkenal sebagai ahli fiqih dan fatwa dari sahabat.
3. Bentuk ketiga : Jika pendapat tersebut diselisihi oleh sahabat yang lainnya, maka
ini bukanlah hujjah menurut seluruh fuqoha. Jika didapatkan sandaran
pendapatnya atau pendapat yang lainnya maka amal dengan dalil tidak dengan
perndapat\perkataan sahabat.
Dikecualikan dari itu penafsiran mereka terhadap nas-nas dari al-Kitab dan as-Sunnah, ia
merupakan hujjah dan didahulukan dari penafsiran orang-orang yang sesudah mereka;
karena mereka ahli lisan dan telah menyaksikan turunnya wahyu, maka pemahaman
mereka lebih sempurna, dan lebih mengetahui yang diinginkan oleh pembuat syari’at,
yang tidak dimiliki oleh selain mereka.
2. Al-Istishab
Secara istilah\terminologi : Membiarkan suatu penetapan selama hal tersebut tetap atau
membiarkan penafian sesuatu selama hal tersebut dinafikan.
Isthishab dengan ketiga macamnya tidaklah menetapkan suatu hukum yang baru. Ia
hanya menunjukkan keberlangsungan hukum terdahulu, yang tetap dengan dalil yang
dianggap.
Oleh karenanya, ia bukanlah dalil yang berdiri sendiri yang diambil faidah hukum. Tapi
ia merupakan salah satu cara melaksanakan\menjalankan dalil. Tidaklah berpaling
padanya kecuali tatkala tidak adanya dalil khusus di dalam masalah tersebut.
Ia merupakan langkah terakhir dalam sandaran fatwa, jika seorang mujtahid telah
mencurahkan kemampuan di dalam pembahasannya pada dalil-dalil namun tidak
mendapatkannya; maka dia kembali pada isthishab. Adapun isthishab dijadikan sebagi
suatu hukum ijma di dalam menyelesaikan masalah maka bukanlah hujjah menurut
pendapat yang terpilih.
Ketiga : Hukum-hukum yang tidak ada penyebutannya di dalam al-Kitab dan as-Sunnah,
seperti yang diambil dari isroiliyat, maka ia bukanlah syariat bagi kita secara ijma’.
Pada bagian keempat masih membahas dalil-dalil yang diperselisihkan, kita kutifkan dua
pembahasan; Al Masholih Al Mursalah dan Al ‘Urf , semata menyimak.
4. Al Masholih Al Mursalah
Poin ketiga inilah yang dimaksudkan dengan maslahah mursalah. Pendapat yang
menyatakan : Bahwa maslahah mursalah merupakan hujjah dan sebagai sumber dari
sumber-sumber tasri’ di dalam mu’amalah dan politik pengaturan manusia merupakan
pendapat yang cemerlang. Telah menjadi kesepakatan para ahli fiqih untuk mengambil al-
maslahah al-mursalah, karena mereka sepakat : tercapainya maslahat dan
menyempurnakannya, serta tertolaknya kerusakan dan meminimalkannya merupakan
pondasi syari’at. Akan tetapi dengan tiga syarat :
1. Bersesuaian dengan tujuan syari’at. Maslahat tersebut harus merupakan bagian
dari jenis al-masholih yang pembuat syari’at memaksudkan untuk mencapainya;
tidak bertentangan dengan pokok dan tidak menafikan dalil yang ditetapkan
pembuat syari’at.
2. Manfa’at tersebut dimengerti oleh akal di dalam dzatnya. Akal yang selamat bisa
menerimanya, karena ia sesuai dengan sifat-sifat yang sesuai lagi dapat dicerna
akal. Oleh karenanya ia tidak diberlakukan dalam ibadah, karena ibadah dibangun
pada landasan tauqifi.
3. Tujuan diambilnya maslahat tersebut merupakan bentuk penjagaan pada
doruriyat, seperti menjaga agama, jiwa dan harta. Atau untuk menolak keberatan
yang lazim di dalam agama; bisa memperingan atau mempermudah.
5. Al-’Urf
Ia adalah sesuatu yang digarisakan manusia dan mereka menjadikannya sutau kebiasaan,
berupa perkataan dan perbuatan.
Al-’urf semakna dengan adat (kebiasaan), kecuali secara bahasa adat memiliki makna
lebih umum daripada ‘urf. Karena penggunaan adat meliputi kebiasaan perorangan dan
masyarakat, adapun ‘urf dikhususkan untuk suatu kelompok masyarakat.
1. ‘Urf Sahih : Ia adalah ‘urf yang tidak menyelisihi nas, tidak luput darinya
kemaslahatan yang mu’tabar (dianggap) atau tidak mendatangkan kerusakan yang
rojihah.
2. ‘Urf fasidah : Ia adalah ‘urf yang menyelisih nas, atau hilangnya maslahat yang
mu’tabar atau mendatangkan kerusakan yang rojihah.
‘Urf merupakan sesuatu yang mu’tabar (dianggap) di dalam syara, akan tetapi bukanlah
dalil yang menyendiri dari dalil-dalil fiqih. Hanya saja ia merupakan pokok dari pokok-
pokok istinbath yang kembali kepada dalil-dalil syari’ah yang mu’tabar.
Jika syara’ telah menetapkan suatu hukum dan mengaitkan dengan hukum tersebut
sesuatu, (dan) tidak terkutif adanya batasan syara’ dan tidak pula lughoh maka ia
dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku.
Hukum-hukum yang dibangun di atas ‘urf dan adat adalah bisa berubah, demikian itu jika
adat tersebut berubah dengan berubahnya waktu. Ini merupakan makna ungkapan
sebagian ulama :
****