You are on page 1of 171

Kumpulan Artikel Seputar Puasa Ramadhan

Daftar Isi

Menjelang Bulan Ramadhan


Hilal
Doa Menyongsong Bulan Ramadhan
Ramadhan yang Kurindukan
Penentuan Awal Bulan Hijriyah
Meneropong Ilmu Hisab
Penetapan Awal Ramadhan dan 1 Syawal
Nasehat Untuk Organisasi Muhammadiyyah
Fatwa Ulama Islam tentang Penentuan Awal Romadhon & Ied
Shaum Ramadhan dan Hari Raya Bersama Penguasa, Syi'ar Kebersamaan
Umat Islam
Hukum Ringkas Puasa Ramadhan
Adab-Adab Berpuasa
Kajian Sekitar Ramadhan
Perhiasan Mukmin di Bulan Suci
Niat Puasa
Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan
Memperbaiki beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan
Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan
Jima' Saat Puasa Ramadhan
Puasa Tidak Sekedar Menahan Makan dan Minum
Shalat Tarawih
Jumlah Rokaat Shalat Tarawih
Shalat Tarwih di Belakang Imam yang Melebihi 11 Rakaat
Sahur dan Berbuka
Sahur Dan Buka Bersama Rasulullah
Hukum Tidur Sepanjang Siang Hari Di Bulan Ramadhan
Kewajiban Orang Yang Tidak Puasa Karena Telah Renta Dan Karena Sakit
Hukum Mengqadha Puasa
Anacaman Bagi Orang Yang Membatalkan Puasa Ramadhan Dengan Sengaja
Sahur dan Berbuka Puasa Menurut Sunnah Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam
Hukum Seorang Pemuda yang Melakukan Onani di Bulan Ramadhan
Berlebih-lebihan dalam Makan dan Tidur di Bulan Ramadhan
Hukum Seseorang Masuk Islam setelah Ramadhan Berlalu Beberapa Hari
Hukum Donor Darah dalam Bulan Ramadhan
Menjelang Bulan Ramadhan
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid

1. Menghitung hari bulan Sya’ban

Ummat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan


memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari
dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal
bulan Ramadhan.
Jika terhalang awan, hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga
puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit, bumi dan menjadikan bulan
sabit tempat-tempat, agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu
bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi


wassalam bersabda (yang artinya) :
“Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Jika
kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (31)

Dari Abdullah bin Umar Radiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu


'alaihi wassalam bersabda :
“Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan,
hitunglah bulan Sya’ban.” (32)

Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wassalam bersabda :
“Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari kecuali kalian melihat
hilal sebelum hari ketiga puluh.” (33)

2. Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak (34) , Berarti (ia) telah durhaka
kepada Abul Qasim Shalallahu 'alaihi wassalam

Oleh karena itu, seyogyanya seorang muslim tidak mendahului bulan puasa
dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-
hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari
Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wassalam pernah bersabda :
“Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua
hari sebelumnya kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa, maka
berpuasalah.” (35)

Ketahuilah wahai saudaraku, di dalam Islam barangsiapa berpuasa pada hari


yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qashim Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam. Shillah bin Zufar meriwayatkan dari Ammar :
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka
kepada Abul Qasim Shalallahu 'alaihi wassalam.” (36)

3. Jika seorang muslim telah melihat hilal hendaknya kaum muslimin berpuasa
atau berbuka

Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam :
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya,
berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka
sempurnakanlah (bilangan bulan Sya’ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua
saksi berpuasalah kalian dan berbukalah.” (37)

Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu
kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu
persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan
untuk memulai puasa)., dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar
Radiyallahu 'anhu, ia berkata :
“Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku
melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun menyuruh manusia
berpuasa.” (38)

(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terbitan Pustaka Al-
Haura, Jojakarta )

(31) HR Bukhari (4/106) dan Muslim (1081).


(32) HR Al Bukhari (4/102) dan Muslim (1080)
(33) (HR At Thahawi dalam Musykilul Atsar (no 501), Ahmad (4;/377), At
Thabrani dalam al Kabir (17/171). Dalam sanadnya ada Musalid bin Said, beliau
dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid (3/146),
akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al Irwaul Ghalil (901)
karya syaikhuna Al Albany hafidhohullah).
(34) yaitu hari yang diragukan , apakah telah memasuki bulan Ramadhan atau
belum, ed.
(35) HR Muslim (573 – mukhtashar dengan muallaqnya).
(36) (HR Bukhari (4/119), dimaushulkan oleh Abu Daud (3334), Tirmidzi (686),
Ibnu Majah (3334), An Nasa’I (2199) dari jalan Amr bin Qais al Mala’l dari Abu
Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni
as Sabi’I mudallis dan dia telah ‘an’anah dalam hadits ini, dia juga tercampur
hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai
syawahid (pendukung) dibawakan oleh al Hadits Ibnu Hajar al Atsqalani dalam
Ta’liqu Ta’liq (3/141-142) sehingga beliau menghasankan hadits ini.
(37) (HR An Nasa’I (4/133), Ahmad (4/321), Ad Daruquthni (2/167) dari jalan
Husain bin Al Harits al Jadali dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khattab dari para
shahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan sanadnya hasan. Lafadz di
atas adalah para riwayat An Nasa’I, Ahmad menambahkan : “Dua orang
muslim.”
(38) (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim (1/423),
Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin
Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar,
sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul
Habir (2/187).
'HILAL'
Penulis: Abu Muawiah

Penentuan Awal Waktu Berpuasa

Puasa ramadhan dimulai dengan masuknya bulan ramadhan. Karenanya untuk


menentukan awal waktu berpuasa maka kita harus mengetahui kapan masuknya
bulan ramadhan.

Para ulama bersepakat bahwa bulan dalam Islam hanya 29 atau 30 hari, dan
mereka juga bersepakat bahwa dalam penentuan bulan-bulan hijriah hanya
digunakan salah satu dari dua cara: Rukyat (melihat) hilal bulan berikutnya atau
menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat.
Sehingga bulan ramadhan bisa kita tentukan dengan: Rukyat hilal ramadhan
atau menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari jika hilal ramadhan tidak
terlihat. Demikian pula penentuan idul fithr: Dengan rukyat hilal syawal atau
menggenapkan ramadhan menjadi 30 hari jika hilal syawal tidak terlihat.

Apa itu hilal?

Dia adalah bulan sabit kecil yang muncul setelah matahari terbenam di akhir
tanggal 29 tiap bulannya. Munculnya sesaat setelah itu menghilang kembali.

Sehingga dalam penentuan masuknya ramadhan, maka pada tanggal 29


sya’ban menjelang magrib, kita pergi ke tempat-tempat yang memungkinkan hilal
terlihat dari situ . Ketika matahari terbenam maka dilihat: Jika hilalnya terlihat,
artinya besok sudah 1 ramadhan, jika tidak terlihat -baik karena tertutupi awan
atau karena hujan- maka berarti bulan ramadhan tahun itu jumlahnya 30 hari dan
secara otomatis lusa sudah masuk 1 syawal, karena telah dijelaskan bahwa
bulan dalam Islam maksimal 30 hari. Demikian pula yang kita lakukan dalam
penentuan bulan syawal atau hari idul fithr.

Semua ini berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa Nabi -Shallallahu alaihi
wasallam- bersabda:

‫ََُِْوا َرَأ ْ ُ
ُ ْ ُ َوِإذَا َُ ُْ ْا َرَأ ْ ُ
ُ ْ ُ ِإذَا‬, ْ‫َ"ُ َ! ْ ِ ُروْا ََُْْ ُ  َِن‬#

“Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah dan jika kalian
melihatnya (hilal syawal) maka berbukalah. Jika hilal terhalangi dari kalian maka
hitunglah dia.” HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080)

Dalam riwayat Muslim:

ْ‫ َِن‬$
َ ِ
ْ‫َ"ُ َ! ْ ِ ُروْا ََُْْ ُأ‬# ِْ%&
َ َ%'
َ
“Kalau awan menghalangi kalian melihatnya maka hitunglah dia menjadi 30.”

Dalam riwayat Al-Bukhari:

ُ ْ()#‫ٌ ا‬+َ,ْ-َ. ‫ن‬


َ ْ‫ َوِ)ْ ُو‬, &
َ َ ‫َُ ُْ ْا‬. / َ0 ُ ْ‫َ َو‬.. ْ‫ِ  َة ََآْ
ُِ ْا ََُْْ ُ  َ ِن‬,ْ#‫' ا‬
َ ِْ%&
َ َ%

“Bulan itu 29 malam, karenanya janganlah kalian berpuasa sampai kalian


melihatnya. Jika dia terhalangi dari kalian maka sempurnakanlah jumlahnya
menjadi 30.” (HR. Al-Bukhari no. 1907)

Dari Aisyah beliau berkata, “Adalah Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- berjaga-
jaga pada (akhir) sya’ban tidak sebagaimana beliau berjaga-jaga pada bulan
lainnya. Kemudian beliau mulai berpuasa karena melihat hilal, dan jika awan
menghalangi beliau dari melihatnya maka beliau menghitung (menggenapkan
sya’ban) 30 hari kemudian baru berpuasa.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang
shahih)

Faidah:

Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Adapun menggunakan alat yang bernama


dirbil -yaitu teropong pembesar dalam melihat hilal- maka itu tidak mengapa,
hanya saja bukan merupakan kewajiban, karena lahiriah hadits menunjukkan
hanya bersandar pada pandangan normal (tanpa bantuan alat, pent.), bukan
dengan selainnya.” Fatawa Ramadhan (1/62)

[Subulus Salam Syarh Bulughul Maram: 1/161-162 dan Ithaf Al-Anam hal. 11]

Jika Ada Sebuah Negeri Yang Melihat Hilal (Ramadhan/Syawal), Apakah Wajib
Atas Negeri Lainnya Untuk Mengikutinya (Berpuasa/Berbuka)?

Tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari bahwa setiap negeri
mempunyai hilal tersendiri, karena hal itu adalah kenyataan dan juga
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Kuraib yang akan datang. Hanya saja
yang mereka perselisihkan adalah, jika sudah ada sebuah negeri yang lebih
dahulu melihat hilal lantas dia mereka mengabarkannya ke negeri-negeri lain,
apakah semua negeri tersebut harus mengikutinya ataukah mereka menunggu
hilal di negeri mereka masing-masing?

Ada beberapa pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini, di


antaranya:

1. Wajib atas seluruh negeri lainnya untuk mengikutinya. Ini adalah pendapat Al-
Hanafiah, Al-Malikiah, Asy-Syafi’i dan sebagian Asy-Syafi’iyah, dan yang
masyhur dalam mazhab Imam Ahmad, juga merupakan mazhab Al-Laits bin
Sa’ad. Ini yang dikuatkan oleh banyak ulama di antaranya: Ibnu Taimiah
sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa, Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan,
Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baz.

Mereka berdalil dengan ayat 185 dari surah Al-Baqarah, “Maka barangsiapa di
antara kalian yang melihatnya (hilal ramadhan) maka hendaknya dia berpuasa.”
Dan juga hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Berpuasalah kalian karena
melihatnya (hilal ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal
syawal).” (HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081) Dan juga hadits Ibnu
Umar yang telah berlalu.

Mereka mengatakan bahwa perintah dalam hadits ini ditujukan kepada seluruh
kaum muslimin tanpa ada pengkhususan pada daerah tertentu. Sama seperti
ketika diperintah shalat maka perintahnya berlaku umum untuk seluruh kaum
muslimin di berbagai negeri, tidak terkhusus pada kaum muslimin di tempat
tertentu. Lihat ucapan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (4/194)

Mereka juga mengatakan bahwa pendapat ini lebih menyatukan kaum muslimin
dan menampakkan syiar Islam di berbagai negeri tatkala secara serentak
mereka semua berpuasa, dan itu memberikan pengaruh tersendiri kepada
musuh-musuh Islam.

2. Yang wajib mengikutinya hanyalah negeri yang semathla’ (tempat terbitnya


matahari) dengan negeri yang melihatnya. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’iyah,
sebagian Al-Malikiah dan Al-Hanafiah, dan salah satu pendapat Ahmad. Ini
adalah pilihan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid dan Ibnu Taimiah dalam Al-
Ikhtiyarat, serta yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dan Asy-Syaikh Ibnu Al-
Utsaimin.

Mereka juga berdalil dengan dalil yang sama dengan pendapat pertama, hanya
saja mereka mengatakan perintah pada dalil-dalil tersebut ditujukan kepada
negeri-negeri yang semathla’ dengannya.

3. Setiap negeri tidak wajib mengikutinya, tapi mereka menunggu hilal di negeri
mereka masing-masing. Ibnu Al-Mundzir menukil pendapat ini dari Ikrimah, Al-
Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdillah bin Umar, dan Ishaq bin Rahawaih.

Mereka berdalilkan dengan kisah Abu Kuraib yang diutus oleh Ibnu Abbas yang
berada di Madinah untuk menuju Syam. Dia diutus pada bulan sya’ban kemudian
kembali ke Madinah di akhir bulan ramadhan. Lalu Ibnu Abbas bertanya
kepadanya, “Kapan kalian melihat hilal (ramadhan)?” dia menjawab, “Kami
melihatnya pada malam jumat,” Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami
melihatnya pada malam sabtu. Maka kami akan tetap berpuasa sampai 30 hari
atau kami melihatnya (hilal syawal).” Maka Kuraib berkata, “Kenapa kamu tidak
mencukupkan dengan (baca: mengikuti) rukyat dan puasanya Muawiah (Amirul
Mukminin yang ketika itu berdiam di Syam)?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak,
demikianlah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- perintahkan kepada
kami.” (HR. Muslim no. 1078)
4. Setiap negeri mengikuti pemimpinnya, kalau dia berpuasa maka mereka juga
ikut berpuasa, dan kalau tidak maka mereka tidak boleh berpuasa. Demikian
pula halnya dalam idul fithr. Kalau umat Islam mempunyai khalifah lantas dia
menetapkan berpuasa maka wajib atas seluruh kaum muslimin untuk
mengikutinya.

Mereka berdalil dengan hadits:

‫ ْ ُم‬#‫س َُ ْ ُم َ ْ َم ا‬


ُ !5#‫ِْ ُ ا‬6ْ#‫ِْ ُ َ ْ َم وَا‬6ُ ‫س‬
ُ !5#‫ا‬

“Waktu berpuasa adalah hari ketika semua orang berpuasa dan hari berbuka
adalah hari ketika semua orang berbuka.” (HR. At-Tirmizi no. 697 dari Abu
Hurairah)

Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/311), “Yang


diamalkan oleh manusia pada umumnya di zaman ini adalah pendapat ini, yaitu
jika pemerintah sudah menetapkan maka wajib atas seluruh rakyat yang berada
di bawah wilayahnya untuk mengikutinya dalam hal berpuasa dan berbuka
(lebaran).”

Tarjih:

Pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang pertama.

Adapun pendapat yang kedua maka kita katakan bahwa perbedaan mathla’
adalah perkara yang tidak bisa ditetapkan dengan batasan dan ukuran tertentu.
Apa yang menjadi batasan dalam menggolongkan sebuah negeri ikut ke mathla’
ini dan yang lainnya tidak?! Karenanya Syaikh Al-Albani berkata dalam Tamamul
Minnah, “Mathla-mathla’ adalah perkara nisbi, dia tidak mempunyai batasan
nyata yang dengannya manusia bisa mengetahuinya dengan jelas.”

Adapun dalil pendapat ketiga maka itu hanyalah ijtihad dari Ibnu Abbas -
radhiallahu anhuma- semata dan beliau tidak membawakan dalil dari Nabi.
Adapun ucapannya, “Tidak, demikianlah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi
wasallam- perintahkan kepada kami,” maka yang dimaksudkan dengannya
adalah hadits Ibnu Umar dan Abu Hurairah tentang perintah berpuasa dan
berbuka karena melihat hilal. Demikian yang diterangkan oleh Ibnu Taimiah, Ibnu
Daqiqil Id, Asy-Syaukani, dan selainnya.

Adapun pendapat yang keempat, maka dalil mereka itu berlaku bagi orang yang
berpuasa dengan rukyat negerinya, kemudian di tengah ramadhan datang kabar
bahwa hilal di negeri lain terlihat sehari atau dua hari sebelum negerinya. Maka
dalam keadaan seperti itu hendaknya dia melanjutkan puasanya bersama
penduduk negerinya hingga 30 hari atau mereka melihat hilal. Jawaban semisal
ini disebutkan oleh Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam
Catatan:

Walaupun pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, akan tetapi yang
berpendapat dengannya hendaknya tidak menampakkan penyelisihannya
terhadap pemerintah, guna menjaga persatuan kaum muslimin, sebagaimana
yang akan ditengkan setelah ini.

[Asy-Syarhul Mumti’: 6/308-312, Ithaful Anam hal. 13-16 dan Shahih Fiqhus
Sunnah: 2/95-96]

Orang Yang Melihat Hilal Sendirian, Apa Yang Wajib Dia Lakukan?

Misalnya dia melapor ke pemerintah bahwa dia melihat hilal akan tetapi
pemerintah tidak menerima persaksiannya. Kalau yang dia lihat adalah hilal
ramadhan maka ada dua pendapat di kalangan ulama:

1. Wajib atasnya berpuasa walaupun dia sendirian. Ini adalah mazhab Abu
Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama. Ini pendapat yang
dikuatkan oleh Imam Ash-Shan’ani dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Mereka
berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang memerintahkan berpuasa bagi
orang yang melihat hilal, sementara orang ini telah melihatnya.

2. Dia harus ikut kepada orang-orang di negerinya. Ini adalah pendapat Asy-
Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin dan salah satu riwayat dari Ahmad. Ini yang
dikuatkan oleh Ibnu Taimiah, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Al-Albani. Mereka
berdalil dengan hadits Abu Hurairah riwayat At-Tirmizi di atas.

Yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama. Adapun dalil pendapat kedua
dijawab bahwa hadits itu berlaku bagi orang yang tidak mengetahui adanya hilal
yang berbeda dengan hilal negerinya atau dia belum yakin akan munculnya hilal,
sebagaimana telah diterangkan di atas.

Adapun kalau yang dia lihat adalah hilal syawal, maka juga ada dua pendapat di
kalangan ulama:

1. Dia tetap berbuka akan tetapi tidak terang-terangan untuk menjaga persatuan
dan jangan sampai disangka dia tidak mau taat kepada pemerintah. Ini adalah
mazhab Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Ahmad, dan yang dikuatkan oleh
Imam Ibnu Hazm. Adapun masalah shalat, maka hendaknya dia shalat bersama
pemerintah di negerinya. Mereka berdalilkan dengan keumuman perintah
berbuka ketika melihat hilal syawal.

2. Dia tidak boleh berbuka dan harus tetap berpuasa bersama penduduk
negerinya. Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat At-Tirmizi di
atas.
Yang kuat adalah pendapat pertama. Jawaban atas dalil pendapat kedua telah
disebutkan di atas.

[Ithaful Anam hal. 21-22 dan Shahih Fiqhus Sunnah: 2/92-93]

Jika Dia Mendapat Kabar Dari Orang Lain Bahwa Hilal Sudah Nampak.

Sekelompok ulama Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyatakan bahwa dia


tetap wajib untuk berpuasa walaupun pemerintah tidak menerima persaksian
orang itu, selama orang yang mengabarinya adalah jujur, walaupun dia sendirian.

Adapun pada hilal syawal, maka dipersyaratkan saksi atau yang mengabarinya
harus minimal dua orang. Ini adalah pendapat Malik, Al-Laits, Al-Auzai, Ats-
Tsauri, salah satu dari dua pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Al-Mubarak
dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.

[Ithaful Anam hal. 19-21 dan Shahih Fiqhus Sunnah: 2/91-92]

Orang Yang Terlambat Mendapatkan Kabar Tentang Adanya Hilal

Jika hilalnya ramadhan, yang kuat dalam masaah ini adalah pendapat yang
menyatakan hendaknya dia langsung berpuasa walaupun dia telah makan
sebelumnya, dan itu sudah syah baginya, tidak perlu diqadha`. Ini adalah
pendapat Umar bin Abdil Aziz, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiah dan yang dikuatkan
oleh Asy-Syaukani dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah.

Mereka berdalilkan kisah ketika diwajibkannya puasa asyura yang ketika itu Nabi
-Shallallahu alaihi wasallam- umumkan di pagi hari dimana beliau bersabda,
“Barangsiapa yang berpuasa maka hendaknya dia melanjutkan puasanya, dan
barangsiapa yang telah berbuka (makan sebelumnya) maka hendaknya dia
menyempurnakan berpuasa pada sisa harinya.” (HR. Muslim dari Salamah bin
Al-Akwa’)

Jika hilalnya syawal, maka Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/161) menukil
ijma’ ulama akan wajibnya mereka berbuka ketika itu juga dan langsung
mengerjakan shalat id jika kabarnya diterima sebelum tergelincirnya matahari.
Adapun jika kabarnya diterima setelah matahari tergelincir maka yang kuat
adalah bahwa shalat id dikerjakan keesokan paginya karena para ulama
bersepakat bahwa shalat id tidak boleh dikerjakan setelah tergelincirnya
matahari. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri dan yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil
rahimahullah.

[Ithaful Anam hal. 24-27]

Sumber :http://al-atsariyyah.com/?p=835
DOA MENYONGSONG BULAN ROMADHAN
Penulis: Al-'Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah

Soal:
“Adakah doa-doa khusus dari Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang
dibaca) ketika masuk bulan Ramadhan yang penuh berkah ? Doa apakah yang
wajib di baca oleh seorang muslim pada malam pertama bulan ramadhan ?
Berilah kami jawaban, semoga Allah memberkati anda”.

Jawab :
Saya tidak mengetahui adanya doa khusus yang dibaca ketika masuk bulan
ramadhan. Yang ada hanyalah doa umum untuk seluruh bulan. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam jika kita melihat hilal (bulan sabit tanggal satu), baik hilal
ramadhan ataupun bulan-bulan yang lain, beliau berdoa : “Ya Allah, terbitkanlah
(dan tampakkanlah) hilal kepada kami (diiringi) dengan keberkahan dan
keimanan serta keselamatan dan keislaman, (jadikanlah dia) sebagai hilal
kebaikan dan petunjuk, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Alloh.”
(HR. At-Tarmidzi (9/142), imam Ahmad (1/162), Ad-Darimi (2/7) dan lain-lain,
dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Wabilush
Shayyib, hal. 220).

“Allah Maha Besar, Ya Allah, terbitkanlah (dan tampakkanlah) hilal itu kepada
kami (diiringi) dengan keamanan dan keimanan serta keselamatan dan
keislaman. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah”.
Doa ini dibaca ketika melihat hilal di bulan Ramadhan atau bulan-bulan lainnya.
Adapun kekhususan membaca doa-doa tertentu ketika masuk bulan ramadhan,
saya tidak mengetahui adanya yang seperti itu. Akan tetapi kalau seorang
muslim berdoa kepada Allah agar membantunya menjalankan puasa di bulan itu
dan menerima puasanya, maka tidaklah mengapa. Hanya saja, dia tidak boleh
menentukan (doa-doa tertentu sebagai) doa-doa khusus (untuk bulan
Ramadhan).
Wallahu a’lam.

Maroji’ :
Al-Muntaqo min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (4 / 92).

Sumber : BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 20 / Sya’ban /


1425 H

Ramadhan yang Kurindukan


Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Romadhon sudah diambang pintu. Semua lapisan masyarakat muslim


menyambut datangnya bulan penuh berkah ini dengan segala kegembiraan, dan
suka cita. Wajah-wajah mereka ceria karena kerinduan yang mendalam ingin
bertemu dengan "Bulan Romadhon" ; ingin mengisi hari-hari berkah ini dengan
amal sholeh, baik itu berupa sholat tarawih, membaca Al-Qur’an, bershodaqoh,
berdzikir, membantu kaum muslimin, memberi makan para fakir-miskin,
menyiapkan buka puasa, dan sebagainya.

Para pembaca yang budiman, agar Romadhon semakin indah dan bernilai di
sanubari kita, alangkah baiknya jika kita mengetahui dan mengkaji bersama
diantara fadhilah dan keutamaan bulan suci nan berkah ‘Romadhon’. Keutamaan
dan fadhilah Romadhon telah dibeberkan oleh Allah dan Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam- dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagai berikut:

Bulan Al-Qur’an
Satu perkara yang sulit dilupakan oleh kaum muslimin bahwa Al-Qur’an turun di
bulan Romadhon, tepatnya malam Lailatul Qodar. Allah menurunkan Al-Qur’an di
bulan suci ini karena keutamaan yang tinggi baginya, dan hikmah. Allah -Ta’ala-
berfirman,

ُ ْ(َ7 ‫ن‬
َ !َ8َ‫ َر‬#‫ِيا‬: ‫ل‬
َ <ِ ْ=‫ن ِ"ِ ُأ‬
ُ >َُْ?ْ#‫س هًُى ا‬
ِ !5ِ# ‫ت‬
ٍ !َ5EَF‫' َو‬
َ ِ ‫ْ(َُى‬#‫ن ا‬
ِ !َ ُْ6ْ#‫وَا‬

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Romadhon, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan
penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang haq dengan
yang batil)". (QS. : Al-Baqoroh: 185 )

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata, "Allah -Ta’ala- memuji


Bulan Puasa (Romadhon) diantara bulan-bulan lainnya dengan memilih
Romadhon diantara bulan-bulan itu untuk diturunkan Al-Qur’an yang agung (di
dalamnya); sebagaimana halnya Dia mengkhususkan Romadhon dengan hal itu,
maka sungguh ada sebuah hadits datang (menyebutkan) bahwa Romadhon
adalah bulan yang diturunkan di dalamnya Kitab-Kitab Allah kepada para nabi ".
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/292)]

Sebagai penguat bagi ucapan Ibnu Katsir -rahimahullah- , Nabi -Shollallahu


‘alaihi wasallam- bersabda ,

ْGَ#<ِ ْ=‫ ُأ‬H


ُ ُIُJ َ ِْ‫َْاه‬F‫ل ِإ‬
َ ‫ٍ َأ و‬+ََْ# ْ'ِ ‫ن‬َ !َ8َ‫ َر‬G ِ َ#<ِ ْ=‫  ْ َر َوُأ‬#‫ اةُا‬G
ٍ ِ-ِ# '
َ َْ8َ ْ'ِ ‫ن‬ َ !َ8َ‫ل َر‬ َ <ِ ْ=‫ َوُأ‬Kُ ِْLْ=ِ ْ#‫ث ا‬
َ !ََNِ# ‫َ)ْ َ َة‬
ً+ََْ# ْGََO ْ'ِ ‫ن‬
َ !َ8َ‫ل َر‬ َ <ِ ْ=‫ُ ْ ُر َوُأ‬F< #‫ن ا‬
ِ !َ
َNِ# ‫ْ َ)ْ َ َة‬GََO ْ'ِ ‫ن‬ َ !َ8َ‫ل َر‬ َ <ِ ْ=‫ن َوُأ‬
ُ >ُْ?ْ#‫ ا‬Pٍ َFْ‫َِر‬# '
َ ْ ِ ْ)ِ‫ْ َو‬GََO ْ'ِ ‫ن‬ َ !َ8َ‫َر‬

"Shuhuf Ibrahim diturunkan di malam pertama Romadhon; Taurat diturunkan


pada 7 Ramadhan; Injil diturunkan pada 14 Ramadhan; Zabur diturunkan pada
tanggal 19 Ramadhan; Al-Qur’an diturunkan pada 25 Ramadhan". [HR. Ahmad
dalam Al-Musnad (4/107), Abdul Ghoniy Al-Maqdisiy dalam Fadho’il Romadhon
(53/1), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (2/167/1). Di-hasan-kan oleh Al-
Albaniy dalam Shohih As-Siroh (hal.90)]

Faedah : Hadits ini merupakan bantahan -dari segi sejarah- atas orang yang
meyakini bahwa Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Romadhon !!! Adapun
bid’ahnya Nuzulul Qur’an, maka akan datang pembahasannya, Insya Allah!

Bulan Pengampunan Dosa


Setiap mukmin amat mengharapkan ampunan dosa dari Allah, karena ia tahu
bahwa hisab di hari akhir amat dahsyat. Dengan kehadiran Romadhon,
kesempatan besar untuk bertaubat, dan mendapatkan ampunan sangat lebar.
Amat celakalah seorang yang memasuki Romadhon, tapi ia enggan bertaubat
dan beramal sholeh yang akan menjadi sebab dosanya diampuni.

Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

‫ن‬
 ‫ل َأ‬
َ ْ ُQ‫ َر‬R ِ ‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ َو‬/َ?َ.ْ‫َ َ ار‬Sْ5ِ
ْ#‫ل ا‬
َ !َ?َ '
َ ِْ> '
َ ِْ> '
َ ِْ> K
َ ِْ?َ ُ"َ# !َ ‫ل‬
َ ْ ُQ‫ َر‬R
ِ ‫ َ! ا‬G
َ ْ5ُ‫ آ‬Pُ َ5َْ. ‫َا‬:َ‫ل ه‬
َ !َ?َ
‫ل‬
َ !َ ْ$ِ# Kُ ِْT‫َْا‬SِU ِ"ََْ ‫َ! ُم‬-#‫ َرِ َ ا‬H ُ ْ=‫ْ ٍ َأ‬Sَ K
َ َO‫ن "ََِْ َد‬
ُ !َ8َ‫َْ ََْ َر‬6ْWُ ُ"َ# G ُ ُْ?َ '
َ ِْ>

"Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- naik ke atas mimbar seraya bersabda,


"Amiin…amiin…amiin". Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, engkau tidak pernah
melakukan seperti ini". Belaiu menjawab, "Jibril -alaihis salam- berkata kepadaku,
"Semoga kecelakaan bagi seorang hamba yang didatangi oleh bulan Romadhon,
namun tidak diberi ampunan", maka saya pun berkata, "Amiin". [HR. Ibnu
Khuzaimah dalam Shohih-nya (3/192), Ahmad dalam Al-Musnad (2/246 & 254),
dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan (4/204). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam
Shohih Al-Adab Al-Mufrod (646)]

Jadi, seorang yang mau diampuni dosanya, harus menutupi dosanya dengan
amal sholeh di bulan suci ini, seperti membaca Al-Qur’an, mendengarkan
ceramah, puasa, dan sholat tarawih; bukan berhura-hura, dan menghabiskan
waktu dalam perkara sia-sia, apalagi haram, seperti bermain kartu di bulan
Romadhon, ludo, ular tangga, berdusta, berbicara tabu, berzina, dan lainnya.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

ْ'َ‫َ! َم َو‬J ‫ن‬


َ !َ8َ‫ً! ِإ ْ
َ!=ً! َر‬F!َ-ِ ْ0‫ِ َ وَا‬6ُ ُ"َ# !َ ‫َ?َ  َم‬. ْ'ِ ِ"ِSْ=‫َذ‬

"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Romadhon karena beriman dan


mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu" . [HR.
Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1802), dan Muslim dalam Shohih-nya (175)

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy-rahimahullah- berkata, "Jika bulan Romadhon


telah sempurna, maka sungguh puasa, dan sholat malam telah lengkap bagi
orang beriman. Maka terjadilah baginya pengampunan dosanya yang lampau
dengan sempurnanya dua sebab tersebut, yaitu puasa, dan sholat malamnya".
[Lihat Latho’if Al-Ma’arif (hal.232)]

Bulan Pengabulan Do’a & Pembebasan dari Siksa Neraka


Seseorang terkadang susah menemukan kondisi yang mustajab sehingga
doanya dikabulkan oleh Allah. Namun Allah sebagai Pemberi Nikmat bagi para
hamba-Nya yang beriman telah menyiapkan waktu mustajab untuk berdo’a.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

‫ن‬
 ‫ِ"ِ ِإ‬# ْ$ِ K
E ُ‫ٍ َ ْ ٍم آ‬+ََْ#‫' ُ َ?َ! َء َو‬
َ ِ 5#‫ْ !رِا‬$ِ ِ ْ(َ7 ‫ن‬
َ !َ8َ‫ن َر‬
 ‫ َوِإ‬K
E ُِ# ٍ ِْ-ُ ‫ِ(َ! َُْ ْ َدْ َ ًة‬F ‫ب‬
ُ !َLَ ْ-َُ ُ"َ#

"Sesungguhnya Allah pada setiap hari dan malam di bulan Romadhon memiliki
hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka; sesungguhnya setiap muslim
memiliki do’a yang ia berdo’a dengannya,lantaran itu do’anya dikabulkan". [HR.
Al-Bazzar dalam Al-Musnad (3142), dan Ahmad dalam Al-Musnad (2/254).
Syaikh Ali bin Hasan Al-Atsariy men-shohih-kan hadits ini dalam Shifah Ash-
Shoum (hal.24)]

Wahai Pembaca Budiman, manfaatkanlah kesempatan ini dalam memperbanyak


do’a, mengadu, dan bermunajat kepada Allah Robbul Alamin di sepanjang bulan
Romadhon. Semoga setitik air mata penyesalan, dan takut akan menyelamatkan
dirimu dari siksa neraka sebagaimana yang dijanjikan oleh Nabimu -Shollallahu
‘alaihi wasallam- dalam hadits ini.

Setan-setan dan Jin Durhaka Dikerangkeng; Pintu Surga Dibuka, dan Pintu
Neraka Ditutup
Saking mulia dan sucinya bulan Romadhon, Allah mengikat para setan, dan jin
yang durhaka; pintu-pintu surga dibuka, dan neraka ditutup.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

‫ن ِإذَا‬ َ !َ‫ل آ‬
ُ ‫ٍ َأ و‬+ََْ# ْ'ِ ِ ْ(َ7 ‫ن‬
َ !َ8َ‫ َتْ َر‬E6ُJ ' ُ ِْZ!َ)#‫' َوَ َ َد ُة ا‬
E ِLْ#‫ْ ا‬Gَ?Eُ‫ب َو‬ُ ‫ْ َا‬F‫! ِر َأ‬5#‫ْ َ[ْ ََْ ا‬6ُ !َ(ْ5ِ ٌ‫َ!ب‬F ْGَIE ُ‫َو‬
‫ب‬
ُ ‫ْ َا‬F‫ِ َأ‬+5َLْ#‫َْ\ْ ََْ ا‬Wُ !َ(ْ5ِ ٌ‫َ!ب‬F ْ‫َ! ِدي‬5ُ ‫َ! ٍد َو‬5ُ !َ $َ ِ!َF ِ َْ]ْ#‫ْ ا‬KِSْ ‫ َو َ! َأ‬$
َ ِ!َF E )#‫ِ"ِ َأ ِْْ ا‬#‫' ُ َ?َ! ُء َو‬ َ ِ ‫! ِر‬5#‫^ ا‬
َ ِ#‫ َو َذ‬K
 ُ‫آ‬
ٍ+ََْ#

"Jika malam pertama Romadhon datang, maka setan-setan, dan jin-jin durhaka
dibelenggu; pintu-pintu neraka ditutup. Maka tak ada satu pintu(nya) pun yang
terbuka; pintu-pintu surga dibuka. Maka tak ada suatu pintu pun yang ditutup;
Seorang pemanggil memanggil,"Wahai pencari kebaikan, menghadaplah; wahai
pencari kejelekan, berhentilah". Allah memiliki hamba-hamba yang
dimerdekakan dari neraka. Demikian itu pada setiap malam". [HR. At-Tirmidziy
dalam Sunan-nya (682), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1642). Hadits ini di-
shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1960) ]
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr Al-Andalusiy-rahimahullah- berkata dalam At-Tamhid
(7/310), "Makna hadits ini menurut saya –Cuma Allah yang lebih tahu-: Allah
melindungi di dalamnya kaum muslimin, atau dominannya dari maksiat-maksiat.
Jadi, setan tidak akan bebas datang kepada mereka sebagaimana mereka
bebas datang di sepanjang tahun".

Ingat !! Namun kalian jangan menyangka bahwa setan ketika itu tak akan
menggoda dirimu. Ketahuilah, ia akan tetap menggodamu, walaupun tidak
segencar di bulan lain. Isilah hari-harimu dengan ketaatan, jangan mendekati
jalan-jalan kemaksiatan sehingga engkau akan selamat darinya. Didiklah dirimu
di bulan ini menjadi hamba yang taat, bukan hamba yang durhaka. Jika tidak,
maka engkau akan menjadi bahan bakar Jahannam. Na’udzu billah minannar.

Di dalam Romadhon Terdapat Lailatul Qodar


Diantara keistimewaan umat Islam dibandingkan umat-umat terdahulu, "sedikit
amal, banyak pahala". Dahulu mereka melaksanakan sholat dan puasa dengan
aturan yang berat, tapi pahala sedikit. Adapun umat Islam, diberikan fasilitas
waktu, dan tempat untuk melipatgandakan amalan ringan, seperti dalam surat
ini:

Allah -Ta’ala- berfirman,

!=‫َ! ُ ِإ‬5ْ#<َ ْ=‫ َأ‬$ِ ِ+ََْ# ‫ْ?َْ ِر‬#‫ك َوَ! ا‬


َ ‫ُ َ! َأدْرَا‬+ََْ# ‫ْ?َْ ِر‬#‫ُ ا‬+ََْ# ‫ْ?َْ ِر‬#‫ٌَْ ا‬O ْ'ِ H
ِ ْ#‫َ(ْ ٍ َأ‬7 َ.‫ل‬
ُ < َ5 ُ+َِT!ََ
ْ#‫ح ا‬
ُ ‫و‬a#‫ن ِ(َ! وَا‬
ِ ْ‫ِِذ‬F ِْ(EF‫َر‬
ْ'ِ K E ُ‫ََ!مٌ َأْ ٍ آ‬Q $ َ ِ‫ ه‬/ َ0 Pِ ََْ ِ ْLَ6ْ#‫ا‬

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan


(Lailatul Qodar). Dan tahukan kamu apa malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan
itu lebih baik dibandingkan seribu bulan. Pada malam itu, para malaikat, dan
Jibril turun dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu
penuh kesejahteraan sampai terbit fajar". (QS. Al-Qodr: 1-5)

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

ِ"ِ# ِ"ِْ ٌ+ََْ# ٌَْO ْ'ِ H


ِ ْ#‫َ(ْ ٍ َأ‬7 ْ'َ ‫ُ ِ َم‬0 !َ‫َْ َه‬O َْ?َ ‫ُ ِ َم‬0

"Allah memiliki di bulan Romadhon suatu malam yang lebih baik dibandingkan
1000 bulan. Barang siapa yang dihalangi (dari kebaikannya), maka ia akan
dihalangi (dari kebaikan)". [HR. An-Nasa’iy dalam Al-Mujtaba (2106), dan Ahmad
dalam Al-Musnad (7148). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih
At-Targhib (999)]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

ْ'َ ‫َ َ! َم‬+ََْ# ‫ْ?َْ ِر‬#‫ً! !=ً!ِإ ْ


َ ا‬F!َ-ِ ْ0‫ِ َ وَا‬6ُ ُ"َ# !َ ‫َ?َ  َم‬. ْ'ِ ِ"ِSْ=‫َذ‬
"Barang siapa yang b angun (sholat malam) karena beriman dan mengharapkan
pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu" . [HR. Al-Bukhoriy
dalam Shohih-nya (1802), dan Muslim dalam Shohih-nya (175)]

Umrah Romadhon Menyamai Haji bersama Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-


Keutamaan umrah seperti ini banyak dilalaikan dan tidak diketahui oleh
mayoritas kaum muslimin. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

‫ن‬
 َِ ‫ْ ُ
ْ َ ًة‬$ِ ‫ن‬
َ !َ8َ‫ْ َر‬$ِ8ْ?َ. ً+Lَ0 ْ$ِ,َ

"Sesungguhnya umroh di bulan Romadhon menyamai haji bersamaku". [HR. Al-


Bukhoriy dalam Shohih-nya (1764), Muslim dalam Shohih-nya (1256) Abu
Dawud dalam As-Sunan (1988) At-Tirmidziy dalam As-Sunan (939), Ibnu Majah
dalam As-Sunan (2991). Lihat Shohih Al-Jami’ (7547) karya Al-Albaniy]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy-rahimahullah- berkata,"Ibnul Arabiy berkata,


"Hadits tentang umrah ini adalah hadits shohih. Itu merupakan keutamaan dan
nikmat dari Allah. Umrah dapat mencapai derajat haji karena bersatunya
Romadhon dengan umrah". Ibnul Jauziy berkata, "Dalam hadits ini terdapat
keterangan bahwa pahala amal bertambah karena kelebihan mulianya waktu
sebagaimana ia bertambah dengan kehadiran hati (khusyu’), dan kesucian niat".
[Lihat Fathul Bari (3/604)]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 32 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu


Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel.
Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust.
Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul
Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa.
Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu
Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary
(085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/?p=173

Penentuan Awal Bulan Hijriyah


Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara yang dibenarkan syariat


untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yah inderawi, yaitu melihat hilal
dengan menggunakan mata.

Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu
dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya
hilal? Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Apakah masing-masing
daerah berpegang dengan mathla’-nya (waktu munculnya) sendiri ataukah jika
terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti?

Di sini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam


pertanyaan di atas dan pendapat ketiga bahwa yang wajib mengikuti ru’yah
tersebut adalah daerah yang satu mathla’ dengannya.
Dari ketiga pendapat itu, nampaknya yang paling kuat adalah yang mengatakan
bahwa jika hilal di satu daerah terlihat maka seluruh dunia harus mengikutinya.

Perbedaan mathla’ adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dipungkiri.
Namun yang menjadi masalah, apakah perbedaan tersebut berpengaruh dalam
hukum atau tidak? Dan menurut madzhab yang kuat perbedaan tersebut tidak
dianggap.

Asy-Syaikh ‘Abdul ’Aziz bin ‘Abdullah bin Baz menjelaskan masalah ini ketika
ditanya apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda?
Beliau menjawab, yang benar adalah bersandar pada ru’yah dan tidak
menganggap adanya perbedaan mathla’ karena Nabi n memerintahkan untuk
bersandar dengan ru’yah dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi n tidak
mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu.
(Tuhfatul Ikhwan, hal. 163)

Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi shallallahu alaihi
wasallam bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia
berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-
nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103)

Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana seorang
jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang
dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas,
maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang
lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang
berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada
jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang seperti ini bukan
termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105)
Karena perbedaan mathla’ diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu daerah
berarti daerah-daerah lain wajib mengikuti, jika mereka mendapatkan berita
tersebut dari sumber yang bisa dipercaya.
Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa ini adalah madzhab
jumhur ulama. Beliau berkata:
“Dan banyak ulama ahli tahqiq (peneliti) telah memilih madzhab jumhur ini, di
antara mereka adalah Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana dalam Majmu’
Fatawa juz 25, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, dan Shiddiq Hasan Khan
dalam Ar-Raudhatun Nadiyyah dan selain mereka. Itulah yang benar, tiada yang
benar selainnya dan ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu (yang menjelaskan bahwa ketika penduduk Madinah
diberitahu bahwa penduduk Syam melihat hilal lebih dulu dari mereka, Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhu tetap memakai ru’yah penduduk Madinah sampai
puasa 30 hari atau sampai melihat hilal-red) karena beberapa alasan yang telah
disebut oleh Asy-Syaukani rahimahullah.

Dan mungkin alasan yang paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu datang dalam perkara orang yang berpuasa sesuai dengan
ru’yah yang ada di daerahnya, kemudian di tengah-tengah bulan Ramadhan
sampai kepada mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain telah melihat
hilal sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini ia terus melakukan puasa bersama
orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal sendiri.
Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah (problem) dalam
hadits itu. Sedangkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

‫ُ ُْ ا‬J ِ"ِ َ ْ‫ِ ُأ‬# ‫ِ ُأْ َ ِ"ِ َوَأُِْوا‬#

“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya.”


[Muttafaqun ‘alaihi, lihat takhrijnya dalam Al-Irwa, no. 902-red]
dan yang lainnya, berlaku sesuai dengan keumumannya, mencakup semua yang
mendapat berita tentang adanya hilal dari negeri atau daerah mana saja tanpa
ada pembatas jarak sama sekali, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah t
dalam Majmu’ Fatawa (25/107).

Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di jaman kita
ini. Hanya saja memang dibutuhkan ‘kepedulian’ dari negara-negara Islam
sehingga dapat mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah .
Dan selama belum bersatunya negeri-negeri Islam, maka saya berpendapat
bahwa masyarakat di setiap negara harus puasa bersama negara (pemerintah)
dan tidak memisahkan diri sehingga sebagian orang berpuasa bersama
pemerintah dan sebagian lain bersama yang lainnya, baik mendahului puasa
atau lebih akhir karena yang demikian bisa mempertajam perselisihan dalam
masyarakat sebagaimana terjadi pada sebagian negara-negara Arab sejak
beberapa tahun lalu. Wallahul musta’an.” (Tamamul Minnah, hal. 398)
Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas
masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya, walaupun
berdasarkan ru’yah?
Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa
ketentuan itu (memulai dan mengakhiri puasa) adalah wewenang pemerintah
atau pihak yang diserahi masalah ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Al-Hasan
Al-Bashri dalam masalah pemerintah: “Mereka mengurusi lima urusan kita,
shalat Jum’at, shalat jamaah, ‘Ied, perbatasan dan hukum had. Demi Allah,
agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka walaupun mereka itu dzalim
dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih
banyak dari apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 7-8)

Hal yang serupa dinyatakan juga oleh As-Sindi dan Al-Albani sebagaimana akan
nampak dalam penjelasan yang akan datang. Jadi ini bukan tugas atau urusan
individu atau kelompok tapi ini adalah urusan pemerintah. Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah menyebutkan sebuah hadits dalam Silsilah As-Shahihah (1/440):

‫ ْ ُم‬#‫ن َ ْ َم ا‬
َ ْ ُْ َُ. ُ ِْ6ْ#‫ن َ ْ َم وَا‬
َ ْ‫ِْ ُو‬6ُ. /َIْbc
َ ْ‫ن َ ْ َم َوا‬
َ ْ aIَ8ُ.

“Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya kalian dan
‘Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dari Abu
Hurairah , dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-
Shohihah, no. 224)

Beliau melanjutkan menerangkan hadits itu, katanya: ”At-Tirmidzi berkata setelah


menyebutkan hadits itu: ‘Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini, mengatakan
bahwa maknanya adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah dan
kebanyakan manusia’.”
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata dalam Subulus Salam (2/72): “Di dalamnya
terdapat dalil agar menganggap ketetapan ‘Ied itu bersamaan dengan manusia
dan bahwa yang menyendiri dalam mengetahui hari ‘Ied dengan melihat hilal
maka ia wajib menyesuaikan diri dengan manusia. Dan wajib baginya
(mengikuti) hukum mereka dalam hal shalat, berbuka, dan menyembelih (‘Iedul
Adha).”

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan hal yang semakna dengannya dalam


kitabnya Tahdzibus Sunan (3/214), katanya: “Dikatakan bahwa di dalam hadits
itu ada bantahan atas orang yang mengatakan sesungguhnya orang yang
mengetahui terbitnya bulan dengan hisab boleh puasa sendirian di luar mereka
yang belum tahu. Dikatakan pula, sesungguhnya satu orang saksi jika melihat
hilal dan hakim belum menerima persaksiannya, maka hari tersebut tidak
menjadi hari puasa baginya sebagaimana tidak menjadi hari puasa bagi manusia
(yang lain).”

Abul Hasan As-Sindi mengatakan dalam Hasyiyah (catatan kaki)-nya terhadap


Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat
At-Tirmidzi: “Nampaknya perkara-perkara ini tidak ada celah bagi individu-
individu untuk masuk di dalamnya. Tidak bisa mereka menyendiri dalam masalah
tersebut, bahkan perkara itu diserahkan kepada pemerintah dan jama’ah
masyarakat. Dan wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah dan
jama’ah masyarakat. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal lalu
imam/pemerintah menolak persaksiannya maka mestinya ia tidak menetapkan
untuk dirinya sesuatu apapun dari perkara ini dan wajib baginya untuk mengikuti
jama’ah masyarakat.”

Saya (Al-Albani) katakan: “Makna inilah yang langsung dipahami dalam hadits,
dan itu didukung oleh perbuatan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berhujjah
dengannya kepada Masruq ketika ia tidak mau puasa Arafah karena khawatir
ternyata itu hari nahr (10 Dzulhijjah, yakni hari raya). Maka ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha terangkan bahwa pendapatnya itu tidak bisa dianggap dan wajib baginya
mengikuti kebanyakan manusia, lalu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

ُ ْI5#‫َ ُ َ ْ َم ا‬Iْ5َ ‫س‬


ُ !5#‫ِْ ُ ا‬6ْ#‫ِْ ُ َ ْ َم وَا‬6ُ ‫س‬
ُ !5#‫ا‬

“Hari nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan ‘Iedul Fithri adalah ketika
orang-orang berbuka.” (Al-Mushannaf Abdurrazaq, 4/157)
Saya katakan (Al-Albani): “Inilah yang cocok bagi syariat yang toleran, yang di
antara tujuannya adalah menyatukan manusia dan barisan mereka serta
menjauhkan mereka dari dari pendapat-pendapat pribadi yang menceraiberaikan
kesatuan mereka. Syariat tidak menganggap pendapat pribadi –walaupun itu
benar dari sisi pandangnya- dalam ibadah yang sifatnya berjamaah seperti
puasa, ‘Ied, dan shalat berjamaah.

Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat shalat di belakang yang lain
padahal di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita,
kemaluan, dan keluarnya darah membatalkan wudhu, dan di antara mereka juga
ada yang tidak berpendapat demikian.
Di antara mereka ada yang melakukan shalat 4 rakaat dalam safar dan di
antaranya juga ada yang 2 rakaat. Namun demikian perbedaan ini dan yang lain
tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama dalam melakukan shalat di
belakang satu imam dan menganggap shalat itu sah.
Hal itu karena mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek
daripada perbedaan dalam sebagian pendapat. Maka hendaknya mereka
memperhatikan hadits ini dan riwayat yang disebutkan. Yaitu mereka yang
mengaku-aku mengetahui ilmu falak, yang memulai puasa sendiri dan berbuka
sendiri, mendahului atau membelakangi mayoritas muslimin dengan bersandar
pada pendapat dan ilmunya tanpa peduli manakala keluar dari jamaah.
Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang kami sebut dari ilmu ini.
Barangkali mereka akan mendapatkan obat dari kebodohan dan kesombongan
yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadi satu shaf bersama kaum
muslimin karena sesungguhnya tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala bersama
jamaah.” (Silsilah Ash-Shahihah, 1/443-445, lihat pula anjuran beliau yang telah
disebut dalam Tamamul Minnah hal. 398)

Syaikul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah ditanya:


Seseorang melihat hilal sendirian dan benar-benar melihatnya, apakah dia boleh
berbuka dan berpuasa sendirian atau bersama kebanyakan manusia?
Beliau menjawab:
Alhamdulillah, jika dia melihat hilal maka berpuasa atau berbuka sendirian,
apakah ia berkewajiban untuk berpuasa dengan ru’yah-nya dan berbuka dengan
ru’yah sendiri, atau tidak puasa serta berbuka kecuali bersama manusia. Maka
dalam hal ini ada tiga pendapat dan tiga riwayat dari Al-Imam Ahmad:

1. Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi, dan ini adalah
madzhab Asy-Syafi’i.
2. (Mulai) berpuasa sendiri dan tidak berbuka kecuali kecuali bersama manusia.
Dan itu yang masyhur dari pendapat Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah.
3. Berpuasa bersama manusia dan berbuka juga bersama manusia.
Yang ketiga adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu alaihi wasallam:

‫ ْ ُم‬#‫ن َ ْ َم ا‬
َ ْ ُْ َُ. ُ ِْ6ْ#‫ِْ ُ َ ْ َم وَا‬6ُ.‫ن‬
َ ْ‫ و‬/َIْbc
َ ْ‫ن َ ْ َم َوا‬
َ ْ aIَ8ُ.

“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika
kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah tatkala kalian menyembelih.”
Riwayat At-Tirmidzi dan beliau katakan hasan gharib, diriwayatkan pula oleh Abu
Dawud dan Ibnu Majah, dan ia menyebutkan buka dan ‘Iedul Adha saja. (Hadits
ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albanidalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 224)

At-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Hurairah rahimahullah bahwa Rasulullah


Shallallahu alaihi wasallambersabda:
“Puasa adalah pada hari kalian berpuasa, berbuka adalah hari ketika kalian
berbuka, dan ‘Iedul Adha adalah hari ketika kalian menyembelih.” (At-Tirmidzi
mengatakan bahwa (hadits ini) hasan gharib)

Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini dengan
perkataan: “Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka
dilakukan bersama jamaah manusia dan kebanyakan manusia.”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah :
“Berbukanya kalian adalah hari tatkala kalian berbuka dan Adha kalian adalah
hari kalian menyembelih. Semua tanah Arafah adalah tempat wuquf, semua
tanah Mina adalah tempat menyembelih, dan semua gang-gang Makkah adalah
tempat menyembelih, dan semua tanah jam’ (Muzdalifah) adalah tempat wuquf.”
(Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi
Dawud no. 2324)

Asal permasalahan ini yaitu bahwa Allah k mengaitkan hukum-hukum syar’i


dengan nama hilal (bulan sabit) dan syahr (bulan) seperti hukum puasa, berbuka,
dan menyembelih. Allah Ta'ala berfirman:

^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِ‫ه‬c
َ ْ‫ْ ا‬Kُ $
َ ِ‫ ه‬G
ُ ِْ ‫س َ َا‬
ِ !5ِ# d
E َIْ#‫وَا‬

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah itu untuk


manusia dan untuk (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Allah Ta'ala terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

e
َ ِ ُ‫َ! ُم ََُْ ُ آ‬E#‫ آَ
َ! ا‬e َ ِ ُ‫ آ‬/ََ ' َ ْ :ِ #‫ُِْْ ِ'ْ ا‬Sَ َُْ,َ# ‫ن‬
َ ْ ُ? َ.. !ً! ‫ت َأ‬
ٍ ‫ْ ُوْدَا‬,َ ْ'َ
َ ‫ن‬َ !َ‫ْ آ‬5ُِْ !ً8ْ ِ َ ْ‫ َأو‬/ََ ٍ َ6َQ
ٌ‫ِ َة‬,َ ْ'ِ ‫َ َ َأ ! ٍم‬O‫ ُأ‬/ََ‫' َو‬
َ ْ :ِ #‫ٌ ُِْ?ُ ْ=َ"ُ ا‬+َ ِْ ‫َ! ُم‬,َZ 'َ ِْْ-ِ ْ'َ
َ ‫ع‬ َ  ََ. ‫ًَْا‬O َ ُ(َ ٌَْO ُ"َ# ْ‫َُ ُْ ا َوَأن‬. ٌَْO َُْ# ْ‫ِإن‬
ُْ ْ5ُ‫ن آ‬َ ْ ُ
َْ,َ.

“Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang


sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka
barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka
itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.” (Al-Baqarah: 183-185)

Allah Ta'ala wajibkan puasa bulan Ramadhan dan ini disepakati kaum muslimin.
Yang diperselisihkan manusia adalah apakah hilal itu sebutan untuk sesuatu
yang muncul di langit walaupun manusia tidak mengetahuinya yang dengan itu
berarti telah masuk bulan (baru), ataukah hilal itu merupakan sebutan untuk
sesuatu yang manusia mengeraskan suara padanya (maksudnya
mengumumkannya sehingga diketahui oleh banyak orang), dan makna syahr
adalah yang tersohor/ terkenal di antara manusia. Dalam masalah ini ada dua
pendapat:

Orang yang berpendapat dengan pendapat pertama mengatakan bahwa


barangsiapa yang melihat hilal sendirian, berarti dia telah masuk waktu puasa
dan bulan Ramadhan telah masuk bagi dirinya. Malam itu termasuk malam
Ramadhan walaupun yang lainnya belum mengetahui. Orang yang tidak
melihatnya dan kemudian mengetahui bahwa ternyata hilal sudah muncul, berarti
ia harus meng-qadha puasa. Begitu pula -menurut qiyas- pada bulan berbuka
(Syawwal) dan pada bulan menyembelih (‘Iedul Adha). Namun pada bulan
penyembelihan, saya (Ibnu Taimiyah) tidak mengetahui ada yang mengatakan
bahwa barangsiapa yang melihat hilal (lebih dahulu) berarti melakukan wuquf
sendirian tanpa jamaah haji yang lain, lalu hari setelahnya menyembelih,
melempar jumrah ‘aqabah, dan ber-tahallul tanpa jamaah haji yang lain.
Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah berbuka. Kebanyakan ulama
menyamakannya dengan (masalah) menyembelih dan mengatakan tidak boleh
berbuka kecuali bersama kaum muslimin yang lain, sebagian ulama ada yang
mengatakan bahwa memulai berbuka sama dengan memulai puasa. Bertolak
belakangnya pendapat-pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar adalah
berbuka itu seperti masalah menyembelih pada bulan Dzulhijjah (maksudnya
tidak boleh menyendiri).

Atas dasar itu, maka syarat hilal dan syahr adalah terkenalnya di antara manusia
dan pengumuman manusia tentangnya. Sehingga walaupun yang melihatnya 10
orang tapi tidak dikenal di antara manusia di daerah itu, karena persaksian
mereka ditolak atau karena mereka tidak mempersaksikan, maka hukum mereka
seperti hukum seluruh muslimin (yang lain). Sehingga mereka tidak wuquf, tidak
menyembelih qurban, dan tidak shalat ‘Ied kecuali bersama muslimin. Demikian
juga tidak berpuasa kecuali bersama muslimin, dan ini makna ucapan Nabi
Shallallahu alaihi wasallam:

ُُْْ ُJ ‫ن َ ْ َم‬
َ ْ ُْ َُ. ُْ‫ن َ ْ َم َوِْ ُآ‬
َ ْ‫ِْ ُو‬6ُ. ُْ‫َ!آ‬Iْb‫ن َ ْ َم َوَأ‬
َ ْ aIَ8ُ.

“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika
kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian
menyembelih.”
Oleh karena itu Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan dalam riwayatnya:
“Berpuasa bersama imam dan jamaah muslimin dalam keadaan udara cerah
maupun mendung.” Beliau juga mengatakan: “Tangan Allah bersama Al-
Jamaah”.
Atas dasar ini muncullah perbedaan hukum awal bulan. Apakah itu berarti (awal)
bulan bagi penduduk negeri seluruhnya atau bukan. Allah k menerangkan yang
demikian itu dalam firman-Nya:

ْ'َ
َ َ ِ(َ7 ُ ُْ5ِ َ ْ()#‫ََُْ
ْ"ُ ا‬

“Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan hendaknya ia berpuasa padanya.”


(Al-Baqarah: 185)

Allah Ta'ala hanyalah memerintahkan untuk berpuasa bagi yang menyaksikan


bulan (waktu/syahr), dan menyaksikan itu tidak bisa dilakukan kecuali pada
bulan yang telah terkenal (sebagaimana keterangan makna syahr yang telah
lalu) di antara manusia sehingga bisa tergambarkan bagaimana menyaksikannya
atau bagaimana tidak menyaksikannya.

Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam:


“Jika kalian melihatnya maka puasalah padanya dan jika kalian melihatnya maka
berbukalah padanya dan puasalah dari rembulan kepada rembulan.”

Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah manusia.
Akan tetapi barangsiapa yang berada pada suatu tempat yang tidak ada orang
selain dirinya, jika dia melihat hilal maka hendaknya ia berpuasa, karena di sana
tidak ada orang selainnya. Atas dasar ini, seandainya ia tidak berpuasa lalu ia
mengetahui dengan jelas bahwa hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di
pertengahan siang, maka ia tidak wajib meng-qadha-nya. Ini adalah salah satu
dari dua riwayat dari Al-Imam Ahmad.

(Alasannya) karena awal bulan baru dianggap masuk pada mereka sejak
tersebar (bila belum tersebar maka artinya belum masuk -red). Dan saat itu wajib
menahan diri (dari segala yang membatalkan puasa) seperti pada kejadian
‘Asyura yang diperintahkan puasa di tengah hari dan tidak diperintah untuk
meng-qadha-nya menurut madzhab yang shahih. Dan hadits mengenai qadha
dalam hal ini adalah hadits yang lemah. Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 25/114-
118)

Bagaimana jika penguasa menolak persaksian sekelompok orang dalam melihat


hilal tanpa alasan yang syar’i, karena alasan politis atau yang lain. Apakah kita
mengikutinya atau mengikuti ru’yah hilal walaupun tidak diakui pemerintah?
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab dalam Majmu’ Fatawa (15/202-208):
Ketika beliau ditanya tentang penduduk suatu kota yang melihat hilal Dzulhijjah
akan tetapi tidak dianggap oleh penguasa negeri itu, apakah boleh mereka
melakukan puasa yang nampaknya tanggal 9 padahal hakekatnya adalah
tanggal 10?

Beliau menjawab: Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah) yang
nampak dan yang diketahui jamaah manusia walaupun pada hakekatnya tanggal
10 (yakni ‘Iedul Adha) meski seandainya ru’yah itu benar-benar ada. Karena
dalam kitab-kitab Sunan dari shahabat Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu alaihi
wasallam bahwasanya beliau berkata:

ُُْْ ُJ ‫ن َ ْ َم‬
َ ْ ُْ َُ. ُْ‫ْ َ ْ َم َوِْ ُآ‬6ُ.‫ن‬
َ ْ‫َ!آُْ ِ ُو‬Iْb‫ن َ ْ َم َوَأ‬
َ ْ aIَ8ُ.

“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika
kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian
menyembelih.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dan
beliau menshahihkannya)
Dari ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam
bersabda:
“Berbuka adalah ketika manusia berbuka dan Iedul Adha adalah ketika manusia
menyembelih.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau katakan ini yang diamalkan menurut
para imam kaum muslimin seluruhnya)

Seandainya manusia melakukan wuquf di Arafah pada tanggl 10 karena salah


(menentukan waktu) maka wuquf itu cukup (sah), dengan kesepakatan para
ulama, dan hari itu dianggap hari Arafah bagi mereka. Bila mereka wuquf pada
hari kedelapan karena salah menentukan bulan, maka dalam masalah sahnya
wuquf ini ada perbedaan. Yang nampak, wuqufnya juga sah dan ini adalah salah
satu dari dua pendapat dalam madzhab Malik dan Ahmad serta yang lainnya.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:


=‫ُ ِإ‬+ََ َ ‫َْ ْ ُم‬#‫ِي ا‬:#‫ْ ُِ"ُ ا‬,َ ‫س‬
ُ !5#‫ا‬

“Sesungguhnya hari Arafah adalah hari yang diketahui manusia.”


Asal permasalahan ini adalah bahwasanya AllahTa'ala menggantungkan hukum
dengan hilal dan syahr (bulan, sebutan waktu). Allah Ta'ala berfirman:

^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِ‫ه‬c
َ ْ‫ْ ا‬Kُ $
َ ِ‫ ه‬G
ُ ِْ ‫س َ َا‬
ِ !5ِ# d
E َIْ#‫وَا‬

“Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-
tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-
pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (Al-Baqarah:
189)

Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara
padanya. Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau
tidak mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr
diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur di antara manusia
maka berarti bulan belum masuk.
Banyak manusia keliru dalam masalah ini karena sangkaan mereka bahwa jika
telah muncul hilal di langit maka malam itu adalah awal bulan, sama saja apakah
ini nampak dan masyhur di kalangan manusia dan mereka mengumumkannya
ataupun tidak. Padahal tidak seperti itu. Bahkan terlihatnya hilal oleh manusia
serta diumumkannya adalah perkara yang harus.

Oleh karena itu Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:


“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika
kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian
menyembelih.”
Maksudnya, yaitu hari yang kalian tahu bahwa itu waktu puasa, berbuka dan
‘Iedul Adha. Berarti jika tidak kalian ketahui, maka tidak berakibat adanya hukum.
Dan berpuasa pada hari yang diragukan apakah itu tanggal 9 atau 10 Dzulhijjah
itu diperbolehkan tanpa ada pertentangan di antara ulama. Karena pada asalnya
tanggal 10 itu belum ada sebagaimana jika mereka ragu pada tanggal 30
Ramadhan, apakah telah terbit hilal ataukah belum?
(Dalam keadaan semacam ini) mereka (tetap) berpuasa pada hari yang mereka
ragukan padanya, dengan kesepakatan para imam. Dan hari syak (yang
diragukan) yang diriwayatkan bahwa dibenci puasa padanya adalah awal
Ramadhan karena pada asalnya adalah Sya’ban1.

Yang membuat rancu dalam masalah ini adalah dua perkara:


Pertama, seandainya seseorang melihat hilal Syawwal sendirian atau dia
dikabari oleh sekelompok manusia yang ia ketahui kejujuran mereka, apakah dia
berbuka atau tidak?
Kedua, kalau dia melihat hilal Dzulhijjah atau dikabari sekelompok orang yang ia
ketahui kejujurannya apakah ini berarti hari Arafah -buatnya- serta hari nahr
adalah tanggal 9 dan 10 sesuai dengan ru’yah ini -yang tidak diketahui manusia
(secara umum)- atau hari Arafah dan nahr adalah tanggal 9 dan 10 yang
diketahui manusia (secara umum)?
Adapun masalah pertama, orang yang sendirian melihat hilal maka tidak boleh
berbuka dengan terang-terangan sesuai dengan kesepakatan ulama. Kecuali jika
ia punya udzur yang membolehkan berbuka seperti sakit atau safar. Kemudian,
apakah ia (yang melihat hilal) boleh berbuka dengan sembunyi-sembunyi? Ada
dua pendapat di antara ulama, yang paling benar adalah yang tidak berbuka
(walaupun) sembunyi-sembunyi. Dan ini adalah yang masyhur dari madzhab Al-
Imam Malik dan Ahmad.

Ada riwayat lain pada madzhab mereka berdua untuk berbuka secara sembunyi-
sembunyi seperti yang masyhur dari madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i.
Telah diriwayatkan bahwa dua orang pada jaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu
melihat hilal Syawwal. Salah satunya berbuka dan yang lain tidak. Tatkala berita
yang demikian sampai kepada ‘Umar, ia berkata kepada yang berbuka: “Kalau
bukan karena temanmu, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan.”2
Hal itu disebabkan bahwa yang namanya berbuka adalah hari yang manusia
berbuka padanya yaitu hari ‘Ied (hari raya) sedang hari yang orang tersebut -
yang melihat hilal sendiri- berpuasa padanya bukanlah merupakan hari raya
yang Nabi n melarang manusia untuk berpuasa padanya, karena sesungguhnya
beliau n melarang puasa pada hari ‘Iedul Fithri dan hari nahr (qurban) (dengan
sabdanya): ”Adapun salah satunya adalah hari berbukanya kalian dari puasa.
Yang lain adalah hari makannya kalian dari hasil sembelihan kalian.” Maka yang
beliau larang untuk berpuasa padanya adalah hari yang kaum muslimin tidak
berpuasa padanya.

Dan hari yang mereka melakukan penyembelihan padanya, dan ini akan jelas
dengan masalah yang kedua. (Ini juga pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baz t, lihat
Fatawa Ramadhan, 1/65 dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 398)
Masalah kedua, seandainya seseorang melihat hilal Dzulhijjah maka dia tidak
boleh melakukan wuquf sebelum hari yang nampak buat manusia yang lain
adalah tanggal 8 Dzulhijjah walaupun berdasarkan ru’yah adalah tanggal 9
Dzulhijjah. Hal ini karena kesendirian seseorang dalam hal wuquf dan
menyembelih mengandung penyelisihan terhadap manusia. Ini seperti yang ada
pada saat seseorang menampakkan buka puasanya (sendirian).

Boleh jadi seseorang akan mengatakan bahwa imam yang menetapkan masalah
hilal dengan menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian orang-
orang yang adil, mungkin karena meremehkannya dalam masalah menyelidiki
keadilan para saksi, atau ia menolak lantaran ada permusuhan antara dia dan
para saksi, atau selainnya dari sebab-sebab yang tidak syar’i, atau karena imam
berpijak pada pendapat ahli bintang yang mengaku bahwa dia melihatnya.
Maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang telah tetap hukumnya,
keadaannya tidak berbeda antara yang diikuti dalam hal penglihatan hilal, baik
dia itu mujtahid yang benar dalam ijtihadnya ataupun salah ataupun
menyepelekan.

Yang penting bahwa jika hilal tidak nampak dan tidak terkenal di mana manusia
mencari-carinya (maka awal bulan belum tetap) -padahal telah terdapat dalam
kitab Ash-Shahih bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam
masalah para imam:

‫ن‬
َ ْ aَُ َُْ# ْ‫ُ ا َِن‬F!َJ‫َ(ُْ ََُْ َأ‬#‫َُْوا َوِإنْ َو‬O‫َوََْ(ِْ ََُْ َأ‬

“Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka (pahala shalat) itu untuk
kalian dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk kalian pahalanya
dan kesalahannya ditanggung mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu )
Maka kesalahan dan penyepeleannya ditanggung imam, tidak ditanggung
muslimin yang mereka tidak melakukan peremehan dan tidak salah.
Wallahu a'lam.

1 Ibnul Mundzir menukilkan ijma' bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban jika hilal
belum dilihat padahal udara cerah tidak wajib dengan kesepakatan (ijma') umat.
Dan telah shahih dari mayoritas para shahabat dan tabi’in membenci puasa di
hari itu. Ibnu Hajar mengatakan: demikian beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan
dan tidak merinci antara ahli hisab atau yang lainnya, maka barang siapa yang
membedakan antara mereka, dia telah dihujat oleh ijma'. (Fathul Bari, 4/123)
2 Riwayat Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (4/165, no. 7338) melalui jalan Abu
Qilabah Al-Jarmi dari ‘Umar bin Al-Khaththab z dan Abu Qilabah tidak pernah
bertemu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berarti sanad ini terputus. Akan tetapi Ibnu
Taimiyyah t tidak bertumpu pada riwayat ini. Riwayat ini hanya sebagai
pendukung.

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=293

Meneropong Ilmu Hisab


Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.

Mendekati bulan Ramadhan tentu kita ingat bagaimana perasaan kita yang
demikian gembira karena memasuki bulan yang penuh limpahan pahala yang
Allah k siapkan untuk orang-orang bertakwa. Namun di antara rasa gembira itu,
terselip kegelisahan ketika melihat kaum muslimin berbeda-beda dalam
menentukan awal bulan Ramadhan.

Hilang kebersamaan mereka dalam menyambut bulan mulia itu. Sungguh hati ini
sangat sedih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala segera mengembalikan
persatuan kaum muslimin kepada ajaran yang benar dan kebersamaan yang
indah.
Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum
muslimin segera menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan
kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan
hijriyyah di negeri ini baik oleh individu ataupun organisasi.

Perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat lazim, bahkan seolah


menjadi ganjil jika kita tidak memakainya dan hanya mencukupkan dengan cara
yang sederhana yaitu ru’yah (melihat hilal).
Demikianlah tashawwur (anggapan) yang terbentuk dalam benak sekian banyak
kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan
pendapat dalam menentukan awal bulan, termasuk sesama mereka yang
memakai hisab, terlebih dengan ilmu yang lain. Perlu diingat bahwa agama ini
telah sempurna dalam segala ajarannya sebagaimana Allah Subhanahu wa
Ta'ala nyatakan:

‫َْ ْ َم‬#‫ ا‬G


ُ َْ
ْ‫َُْ َأآ‬# َُْ5ْ ‫ ِد‬G
ُ ْ
َ
ْ.‫ ََُْْ َوَأ‬$ِ َ
ْ,ِ= G
ُ ِْb‫َُ ُ َو َر‬# ‫& َم‬
َ ْQg
ِ ْ‫ً! ا‬5ْ ‫ِد‬

“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan
nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha buat kalian Islam sebagai agama kalian.”
(Al-Maidah: 3)

Agama ini tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, lebih-lebih pada


perkara ritual (ibadah) yang selalu berulang di masa Nabi Shallallahu alaihi
wasallam seperti shalat, puasa, dan haji. Ajaran Islam dalam hal itu telah jelas,
termasuk pula dalam menentukan awal bulan hijriyyah. Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit) adalah alat untuk menentukan
awal bulan Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِ‫ه‬c
َ ْ‫ْ ا‬Kُ $
َ ِ‫ ه‬G
ُ ِْ ‫س َ َا‬
ِ !5ِ# d
E َIْ#‫وَا‬

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi


manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
Demikian pula Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
‫َ"ُ َ! ْ ِرُوا ََُْْ ُ  َِنْ َ َُِْوا َرَأ ْ ُ
ُ ْ ُ َوِإذَا َُ ُْ ُ َرَأ ْ
ُ ْ ُ ِإذَا‬#

“Jika kalian melihatnya maka puasalah kalian dan jika kalian melihatnya maka
berbukalah kalian, tapi jika kalian tertutupi awan maka tentukanlah (menjadi 30).”
(Shahih, HR. Al-Bukhari no.1900 dan Muslim no. 2501)

Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti, dan membawa
banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wasallam. Nabi mengatakan demikian ketika ilmu hisab dan
falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab.

Namun Nabi Shallallahu alaihi wasallam tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau
menerima sepenuhnya ketentuan Allah Shallallahu alaihi wasallam bahwa untuk
menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal). Yang sangat
disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi ini tersisihkan dan diganti
kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan
oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai ulama. Oleh karenanya kita akan
melihat sejauh mana pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemberlakuan
ilmu hisab.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan masalah


ini: “Saya melihat manusia di bulan puasa dan bulan lainnya, mereka ada yang
mendengarkan orang tak berilmu dari kalangan ahli hisab bahwa hilal dilihat atau
tidak dilihat. Sampai-sampai, di antara hakim ada yang menolak persaksian
beberapa orang yang adil karena mengikuti ahli hisab yang bodoh dan berdusta
bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat.

Di antara mereka ada juga yang tidak menerima ucapan ahli hisab bintang baik
lahir maupun batin. Akan tetapi dalam hatinya punya syubhat yang banyak
karena mempercayainya. Sesungguhnya kami mengetahui dengan pengetahuan
yang sangat dimaklumi dari ajaran Islam bahwa dalam ru’yah (melihat) hilal
untuk puasa, haji, ‘iddah (masa menunggunya wanita yang dicerai atau ditinggal
mati suaminya) atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal,
tidak boleh menggunakan berita dari ahli hisab tentang terlihat atau tidaknya hilal.

Banyak nash-nash dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam dalam masalah ini, dan
kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) atas yang demikian. Tidak diketahui
ada khilaf (perselisihan pendapat) di masa lalu dalam masalah ini dan tidak pula
di masa sekarang. Kecuali sebagian ahli fiqih belakangan setelah tiga kurun
pertama yang menyangka bahwa jika hilal terhalangi awan boleh bagi seorang
ahli hisab untuk mengamalkan hisab pada dirinya sendiri sehingga jika hisabnya
menunjukkan mungkinnya ru’yah hilal maka ia puasa, jika tidak maka tidak
berpuasa.

Pendapat ini walaupun terkait dengan “jika tertutup awan” dan khusus bagi ahli
hisabnya saja, tapi tetap merupakan pendapat yang syadz (ganjil), karena telah
didahului oleh ijma’ yang menyelisihinya. Maka, tidak ada seorang muslimpun
yang berpendapat bolehnya mengikuti hisab di saat cerah atau menggantungkan
hukum yang bersifat umum secara keseluruhan padanya. Allah Subhanahu Wa
Ta'ala berfirman:

^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِ‫ه‬c
َ ْ‫ْ ا‬Kُ $
َ ِ‫ ه‬G
ُ ِْ ‫س َ َا‬
ِ !5ِ# d
E َIْ#‫وَا‬

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah bahwa itu adalah waktu-waktu


bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa hilal merupakan waktu untuk


manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan mereka. Dikhususkan
penyebutan ibadah haji karena untuk membedakannya dengan ibadah yang lain.
Selain itu, haji disaksikan oleh malaikat dan selainnya. Juga karena haji
dilakukan di penghujung bulan dalam satu tahun.

Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia terkait
dengan hukum-hukum yang ditetapkan syariat. Juga hukum-hukum yang
ditetapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh manusia. Sehingga apa
saja yang waktunya tetap baik dengan syariat atau syarat maka hilal-lah patokan
waktunya. Masuk di dalamnya puasa, haji, waktu ila’, ‘iddah, puasa kaffarah,
puasa nadzar dan lain-lain.

Apa yang datang dari syariat merupakan perkara yang paling sempurna, paling
baik, paling jelas, paling benar, dan paling jauh dari kegoncangan. Hilal adalah
sesuatu yang disaksikan dan dilihat dengan mata. Dan di antara maklumat yang
paling absah (meyakinkan) adalah sesuatu yang dilihat dengan mata. Oleh
karenanya mereka sebut hilal karena kata itu (dari sisi bahasa) menunjukkan
makna terang dan jelas. Dikatakan bahwa asal makna hilal adalah mengangkat
suara. Dulu tatkala mereka melihat hilal mereka mengangkat suaranya, sehingga
disebut hilal.

Artinya, waktu-waktu tersebut ditentukan dengan perkara yang jelas, terang,


manusia sama-sama (bisa melihat)-nya. Tidak ada yang seperti hilal dalam
masalah ini. Hilal ditetapkan dengan sesuatu yang thobi’i (alami), nampak,
bersifat umum, dan dapat dilihat dengan mata sehingga tidak seorangpun sesat
dari agamanya.

Dengan memperhatikannya, tidak akan tersibukkan oleh masalah-masalah lain,


dan tidak akan menjerumuskan pada perkara yang tidak bermanfaat. Juga tidak
akan menjadi celah talbis (pengkaburan) dalam agama Allah Subhanahu wa
Ta'ala sebagaimana dilakukan ulama agama lain terhadap agama mereka.
Dasar dilarangnya hisab dari naqli (syariat) dan ‘aqli (akal) sebagai berikut:

Pertama, dari ‘Abdullah Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam
bahwasanya beliau bersabda:

!=‫ٌ ِإ‬+‫ٌ ُأ‬+E‫ ُأ‬h


َ e
ُ ُ َْ= hَ‫ َو‬e
ُ ِ-ْIَ= ُ ْ()#‫َا ا‬:ََ‫َا ه‬:ََ‫َا َوه‬:ََ‫ْ(َ! َم َوَ?َ َ َوه‬Fg‫ ا‬$ِ ِ+َNِ#!N#‫)(ْ ُ ا‬#‫َا وَا‬:ََ‫َا ه‬:ََ‫َا َوه‬:ََ‫ َوه‬$ِ5ْ,َ
‫َ
َ! َم‬. 'َ ِْ%&
َ N#‫ا‬

“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung
bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada
ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna
30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)

Hadits ini merupakan berita sekaligus mengandung larangan ilmu hisab. Tidak
adanya kemampuan beliau n dalam menulis karena beliau terhalang dari
jalannya (mempelajarinya), padahal beliau mendapatkan manfaat yang
sempurna dari tujuan kemampuan menulis itu. Ini merupakan keutamaan dan
mukjizat besar karena Allah Subhanahu wa Ta'ala mengajarkan ilmu kepada
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tanpa perantara sebuah kitab. Hal ini
merupakan mukjizat bagi beliau Shallallahu alaihi wasallam.

Di sisi lain, seluruh para pembesar shahabat seperti empat khalifah dan yang
lainnya, mayoritas mampu menulis karena butuhnya mereka terhadap hal itu.
Namun mereka tidak diberi wahyu sebagaimana yang diberikan kepada Nabi
Shallallahu alaihi wasallam. Sehingga jadilah ke-ummi-an yang khusus bagi
beliau sebagai sifat kesempurnaannya. Yaitu dari sisi ketidakbutuhannya kepada
tulis menulis dan berhitung, karena ada yang lebih sempurna dan utama darinya.

Tapi, ke-ummi-an ini merupakan sifat negatif pada diri selain Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam bila dilihat dari sisi kehilangan keutamaan yang tidak
bisa didapatkan kecuali dengan menulis. Maka, penulisan hari-hari pada bulan
dan meng-hisab-nya termasuk dalam perkara ini (yakni, umat ini telah memiliki
cara yang lebih baik daripada hisab yaitu ru’yah sehingga bila kita tidak memakai
ilmu hisab, hal itu merupakan kesempurnaan karena kita memiliki yang lebih baik
darinya. Sebaliknya, jika memakai hisab dan meninggalkan ru’yah justru
merupakan kekurangan karena kita meninggalkan yang lebih baik dan memakai
yang lebih jelek, red).

Nabi Shallallahu alaihi wasallam menerangkan: “Kami adalah umat yang ummi,
tidak menulis tulisan ini dan tidak menghisab dengan hisab ini.” Ucapan beliau
tersebut menafikan (mengingkari) hisab dan penulisan yang berkaitan dengan
hari-hari pada suatu bulan yang dijadikan dasar waktu hilal bersembunyi dan
kapan hilal muncul.

Penafian dalam hadits ini meski dengan teks yang mutlak bersifat menafikan hal
yang lebih umum, namun jika dilihat dalam konteks kalimat itu ada yang
menerangkan maksudnya, maka akan diketahui apakah maksud penafian itu
umum ataukah khusus. Sehingga tatkala kata “Kami tidak menulis dan tidak
menghitung” disejajarkan dengan sabda beliau “bulan itu 30 hari” dan “bulan itu
29 hari,” berarti beliau menerangkan bahwa dalam perkara hilal kita tidak
membutuhkan hisab atau penulisan1 di mana bulan itu kadang seperti ini dan
kadang seperti itu. Pembeda antara keduanya hanya ru’yah, tidak ada pembeda
lain berupa (hasil) penulisan atau hisab.

Para ahli hisab pun tidak mampu untuk memposisikan ru’yah dengan tepat
secara terus menerus -hanya mendekati saja-, sehingga terkadang benar dan
terkadang salah. Jadi jelas bahwa ke-ummi-an dalam hal ini merupakan sifat
pujian dan kesempurnaan. Hal itu jelas dari beberapa sisi:

- Dibandingkan hisab, ru’yah hilal lebih mencukupi, lebih terang dan jelas.
- Menggunakan hisab memungkinkan timbulnya kesalahan.
- Hisab dan penulisan justru mengandung banyak kerumitan yang tiada
manfaatnya karena menjauhkan dari manfaat yang diperoleh. Di mana pada
hakekatnya, hisab itu bukan dimaksudkan untuk hisab itu sendiri melainkan
untuk hal yang lain.

Jika hisab dan penulisan ditiadakan karena kita tidak membutuhkan hal itu,
karena ada yang lebih baik, dan karena kelemahan yang ada pada penulisan
dan hisab, maka hisab dan penulisan merupakan kekurangan dan aib, bahkan
kejelekan dan dosa. Barangsiapa yang masuk ke dalam hisab berarti ia telah
keluar dari umat yang ummi dari sisi kesempurnaan dan keutamaannya, yaitu
selamat dari kerusakan dan ia masuk dalam sisi negatif yang menghantarkan
kepada kerusakan dan kegoncangan. Sehingga kesempurnaan dan keutamaan
yang didapat dengan ru’yah hilal tanpa hisab itu akan hilang karena
menyibukkan diri dengan hisab, meski terkadang benar.

Kedua, Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

h
َ ‫َُ ُْ ا‬. / َ0 ُ ْ‫َ َو‬. h
َ ‫ُِْوا َو‬6ُ. / َ0 ُ ْ‫َ َو‬.

“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihatnya dan jangan kalian berbuka
sampai kalian melihatnya.” (seperti terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar ) (Shahih,
HR. Muslim no. 2505)

Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang untuk berpuasa sebelum melihat hilal
dan melarang berbuka sebelum melihatnya, dan ru’yah di sini artinya penglihatan
dengan indera mata. Maksudnya bukan tidak seorangpun boleh berpuasa
sehingga melihatnya sendiri, namun janganlah seseorang berpuasa sehingga ia
melihatnya atau orang lain melihatnya.

Berbeda dengan orang yang menerapkan ilmu hisab dan yang lainnya, yang
Nabi Shallallahu alaihi wasallam tegaskan ketiadaannya dari umat ini dan
larangannya. Oleh karena ini para ulama menganggap mereka itu telah
memasukkan sesuatu yang bukan dari Islam ke dalam Islam sehingga para
ulama menghadapi mereka dengan pengingkaran yang dipakai dalam
menghadapi ahli bid’ah.

Dilarangnya Hisab dari Sisi Akal


Peneliti dari ahli hisab semuanya bersepakat tentang mustahilnya menentukan
ru’yah secara tepat dengan ilmu hisab untuk kemudian dihukumi bahwa hilal
pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya
menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya
orang-orang yang mementingkan bidang ini dari orang-orang Romawi, India,
Persia dan Arab juga yang lainnya seperti Batlimus -yang dia adalah pemuka
mereka-, juga yang datang setelahnya baik sebelum Islam atau setelahnya, tidak
berbicara dalam masalah ini dengan satu hurufpun. (Akan tetapi yang berbicara
dalam masalah ini adalah mereka yang datang belakangan seperti Wisyyar Ad-
Dailami dan semacamnya ketika melihat bahwa syariat mengaitkan hukumnya
dengan hilal, mereka melihat hisab sebagai jalan yang bisa tepat dalam hal
menentukan waktu ru’yah.
Padahal hisab bukan jalan yang lurus dan seimbang, bahkan memiliki banyak
kesalahan dan hal itu telah terbukti. Mereka banyak berselisih apakah hilal bisa
dilihat ataukah tidak. Hal itu disebabkan mereka menggunakan hisab untuk
mengukur sesuatu yang tidak bisa diketahui dengan hisab sehingga mereka
melenceng dari jalan yang benar).” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Sisi yang jelas dari tidak mungkinnya keakuratan hisab dalam menentukan
ru’yah, bahwa sesuatu yang paling mungkin bisa ditentukan oleh ahli hisab –jika
hisabnya benar- hanyalah waktu istisrar (tersembunyinya hilal) ketika bulatan
matahari dan bulan berkumpul pada jam sekian misalnya, dan ketika matahari
tenggelam bulan telah berpisah dari matahari dengan jarak sekitar 10 derajat
misalnya, atau kurang atau lebih.

Derajat yang dimaksud adalah satu bagian dari 360 bagian dalam falak dan
mereka membaginya menjadi 12 bagian yang mereka namai Ad-Dakhil. Setiap
gugusan ada 12 derajat. Inilah maksimalnya pengetahuan mereka, yaitu
menentukan jarak antara matahari dan bulan pada waktu dan tempat tertentu.
Inilah yang mungkin bisa dihitung tepat dengan hisab. Adapun bisa dilihat atau
tidaknya hilal, maka ini adalah persoalan inderawi dan alami, bukan perkara
yang dihisab dengan matematika.

Dalam hal ini, tidak berlaku satu aturan yang tidak bertambah dan tidak
berkurang dalam peniadaan atau penetapannya. Bahkan jika jarak (antara bulan
dan matahari) misalnya 20 derajat, maka hilal bisa dilihat selama tidak ada
penghalang dan jika hanya satu derajat maka tidak dapat dilihat. Adapun jika
sekitar 10 derajat maka akan berbeda tergantung perbedaan sebab-sebab ru’yah
sebagai berikut:

- Berbeda karena ketajaman penglihatan.


- Berbeda karena jumlah orang yang mengamati hilal. Jika banyak akan lebih
mungkin terlihat oleh sebagian mereka, karena tajamnya penglihatan atau
pengalaman salah seorang dari mereka dalam mengfokuskan pandangan ke
tempat terbitnya hilal.
- Berbeda karena perbedaan tempat dan ketinggian, antara tempat yang tinggi
dan tempat yang rendah, dan ada penghalang atau tidak.
- Berbeda karena perbedaan waktu melihatnya.
- Berbeda karena tingkat kebersihan udara.

Jika ru’yah merupakan sebuah hukum yang terkumpul dari sebab-sebab ini,
yang tidak sedikitpun masuk dalam perhitungan ahli hisab, maka bagaimana
mungkin seorang ahli hisab memberi kabar dengan kabar yang menyeluruh
bahwa hilal tidak mungkin dilihat oleh seorangpun karena dia pandang jaraknya
cuma tujuh atau delapan atau sembilan derajat. Atau bagaimana mungkin dia
kabarkan dengan berita yang pasti bahwa hilal dilihat jika sembilan derajat atau
sepuluh misalnya. (Majmu’ Fatawa, 25/126-189 dengan ringkas)

Beliau (Ibnu Taimiyyah) simpulkan: “Dan orang yang berpijak pada hisab dalam
(menentukan) hilal, sebagaimana ia sesat dalam syariat, iapun telah berbuat
bid’ah dalam agama, dia telah salah dalam hal akal dan ilmu hisab.” (Majmu’
Fatawa, 25/207)

Inilah penjelasan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah yang cukup terang, menjelaskan
kepada kita sejauh mana ketepatan dan hukum ilmu hisab atau falak sebagai
penentu awal bulan Islam.

Ini pula yang difatwakan oleh panitia tetap untuk pembahasan ilmiah dan fatwa
Saudi Arabia, ketika sampai kepada mereka sebuah pertanyaan:
Apakah boleh seorang muslim menentukan awal dan akhir puasa dengan hisab
ilmu falak atau harus dengan ru’yah hilal?
Jawab:
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani kita dalam mengetahui awal bulan
Qamariyyah dengan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali
kelompok yang sedikit dari manusia yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak.
Dengan ketentuan ini, terdapat nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah untuk
menjadikan ru’yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasanya
muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal.
Demikian pula keadaannya dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan Arafah. Allah
Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ْ'َ
َ َ ِ(َ7 ُْْ5ِ َ ْ()#‫ََُْ
ْ"ُ ا‬

“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.”


(Al-Baqarah: 185)

^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِ‫ه‬c
َ ْ‫ْ ا‬Kُ $
َ ِ‫ ه‬G
ُ ِْ ‫س َ َا‬
ِ !5ِ# d
E َIْ#‫وَا‬

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah: 'Itu adalah waktu-


waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.'” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

‫ِ  َة ََآْ
ُِ ا ََُْْ ُ  َِنْ َ َُِْوا َرَأ ْ ُ
ُ ْ ُ َوِإذَا َُ ُْ ُ َرَأ ْ
ُ ْ ُ ِإذَا‬,ْ#‫' ا‬
َ ِْ%&
َ َ%

“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya maka
berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah
menjadi tigapuluh.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar )
Nabi Shallallahu alaihi wasallam menjadikan tetapnya puasa dengan melihat hilal
bulan Ramadhan dan berbuka dengan tidak mengaitkannya itu dengan
hisab melihat hilal Syawwal. Dan Nabi n bintang-bintang dan perjalanannya.
Yang demikian diamalkan sejak jaman Nabi Shallallahu alaihi wasallam, para Al-
Khulafa’ Ar-Rasyidin, empat imam dan tiga kurun waktu yang Nabi Shallallahu
alaihi wasallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.

Merujuk kepada ilmu bintang dan meninggalkan ru’yah dalam menetapkan


bulan-bulan Qamariyyah untuk menentukan awal ibadah, merupakan bid’ah yang
tiada kebaikan padanya dan tidak ada landasannya dalam syariat. (Fatawa
Ramadhan, 1/61, ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh
‘Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Adapun hisab, maka tidak boleh beramal
dengannya dan berpijak padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Asy-Syaikh Ibnu Baz t ditanya: Sebagian kaum muslimin di sebagian negeri
sengaja berpuasa tanpa bersandar pada ru’yah hilal dan merasa cukup dengan
kalender. Apa hukumnya?

Jawab: Sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wasallam telah memerintahkan


kaum muslimin untuk “Berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat
hilal, maka jika mereka tertutup oleh awan hendaknya menyempurnakan jumlah
menjadi 30.” (Muttafaqun ‘alaihi) dan Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

!=‫ٌ ِإ‬+‫ٌ ُأ‬+E‫ ُأ‬h


َ eُ ُ َْ= hَ‫ َو‬e
ُ ِ-ْIَ= ُ ْ()#‫َا ا‬:ََ‫َا ه‬:ََ‫َا َوه‬:ََ‫ْ(َ! َم َوَ?َ َ َوه‬Fg‫ ا‬$ِ ِ+َNِ#!N#‫!ل ا‬jjj ‫)(ْ ُ و‬#‫َا وَا‬:ََ‫َا ه‬:ََ‫َا َوه‬:ََ‫َوه‬
‫َ! َر‬7‫ِ"ِ َوَأ‬,ِF!َJc َ !َ(Eُ‫آ‬

"Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu
adalah demikian demikian dan demikian dan beliau menggenggam ibu jarinya
pada ketiga kalinya dan mengatakan bulan itu adalah begini, begini dan begini
dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya seluruhnya.”

Beliau Shallallahu alaihi wasallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari
dan bisa 30 hari, dan terdapat sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu
Hurairah bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

‫ُ ُْ ا‬J ِ"ِ َ ْ‫ِ ُأ‬# ‫ِ ُأْ َوَأُِْوا‬#ِ"ِ َ ْ‫ن ِ ِ َة َ َآْ
ُِ ا ََُْْ ُ  َ ِن‬
َ !َSْ,َ7 '
َ ِ%&
َ َ% !ًْ َ
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka
jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”
Dan Nabi Shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:

h
َ ‫َُ ُْ ا‬. / َ0 ‫ََوا‬. ‫ل‬
َ&
َ ِ(ْ#‫ُْ
ُِ ا ا‬.‫ِ  َة َو‬,ْ#‫ ا‬h
َ ‫ُِْوا َو‬6ُ. / َ0 ‫ََوا‬. ‫ل‬
َ&
َ ِ(ْ#‫ُْ
ُِ ا ا‬.‫ِ  َة َو‬,ْ#‫ا‬

“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau sempurnakan jumlah dan
jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.”
(Shahih, HR. Muslim no. 2495)

Dan hadits-hadits tentang ini banyak jumlahnya, yang kesemuanya menunjukkan


wajibnya beramal dengan ru’yah atau menyempurnakan jumlah ketika tidak ada
ru’yah, sebagaimana juga menunjukkan tidak bolehnya bersandar kepada hisab
dalam masalah itu. Ibnu Taimiyyah telah menyebutkan ijma’ para ulama bahwa
dalam menentukan hilal tidak boleh bersandar kepada hisab. Dan itulah yang
benar, tiada keraguan padanya. Allahlah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam,
hal. 5-6)

Syubhat
Sebagian orang memahami sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam:

ُ ْ()#‫ٌ ا‬Pْ-ِ. ‫ن‬


َ ْ‫ً َوِ)ْ ًو‬+ََْ# h
َ ُ ُْ َُ. / َ0 ُ ْ‫َ َو‬. h
َ ‫ُِْوا َو‬6ُ. / َ0 ُ ْ‫َ َو‬. h
 ‫َ  َأنْ ِإ‬Wُ ََُْ ْ‫َ"ُ َ! ْ ِرُوا ََُْْ ُ  َِن‬#

“Bulan adalah 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat
hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya kecuali jika kalian
tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.” (Shahih, HR. Muslim
no. 2501)

Mereka mengatakan kalimat 'tentukanlah' maksudnya adalah menentukan


dengan hisab tempat-tempat bulan.
Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu ‘Umar ini sangat rusak karena Ibnu ‘Umar
sendiri yang meriwayatkan hadits: “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis
dan tidak menghitung” (dengan makna seperti yang telah dijelaskan -red).
Bagaimana mungkin kemudian hadits beliau dipahami mewajibkan
mengamalkan ilmu hisab? (Majmu’ Fatawa, 25/182)
Makna yang benar adalah tentukanlah jumlah bulan maka sempurnakanlah
jumlah Sya’ban menjadi 30. (Al-Mishbahul Munir, hal. 492)

Akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata
‫َ"ُ َ! ْ ِرُوا‬#
(maka tentukanlah) yang terdapat dalam riwayat Muslim dari ‘Ubaidillah bin
‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam dengan
lafadz:

‫' َ! ْ ِرُوا‬


َ ِْ%&
َ َ%
“Maka tentukanlah menjadi 30.”

Dalam riwayat Asy-Syafi’i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar
dengan lafadz:

‫ َة ََآْ
ُِ ا‬Eَ ِ,ْ#‫ِ ا‬%&
َ َ%'
َ ْ

“Sempurnakanlah jumlah menjadi 30.”


Juga dalam riwayat Al-Bukhari dari Al-Qa’nabi dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar
dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz yang sama. Yang lebih jelas lagi dalam riwayat Al-
Bukhari dari Abu Hurairah:

‫ْ ِ  َة ََآْ
ُِ ا‬,َ7‫ن‬
َ !َS '
َ ِْ%&
َ َ%

“Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (lihat Nuzhatun-nadzhar


bersama An-Nukat, hal. 100-102. Fathul Bari, 4/121)
Maksud dari kata (maka tentukanlah) begitu gamblang, yaitu menyempurnakan
jumlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana penjelasan di atas.
Bukan maknanya memperkirakan dengan ilmu hisab atau falak.
?Wallahu a’lam.

1 Ibnu Hajar berkata: "Yang dimaksud adalah menghisab bintang-bintang dan


perjalanannya..... Bahkan yang nampak dari konteks tersebut menafikan
pengaitan hukum dengan ilmu hisab sama sekali. Menjelaskan yang demikian
sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam jika kalian tertutupi awan
sempurnakanlah menjadi 30. Beliau tidak mengatakan bertanyalah kepada ahli-
ahli hisab... Seandainya perkara ini dikaitkan dengan ilmu hisab maka akan
menyempitkan masalah ini. Karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali
sedikit." (Fathul Bari 4/127)

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=294

Penetapan Awal Ramadhan dan 1 Syawal


Penulis: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc
‫ن‬
 ‫َ
ْ َ ِإ‬Iْ#‫ِ"ِ ا‬# ُ ُ َ
ْIَ= ُ"ُ5ِْ,َ ْ-َ=‫ِ ُ ُ َو‬6ْWَ ْ-َ=‫ُ ْ ُذ َو‬,َ=‫ َو‬Rِ !ِF ْ'ِ ‫ُ ُوْ ِر‬7 !َ5ِ-ُ6ْ=‫ت َوِ'ْ َأ‬ ِ !َkِّ َQ !َ5ِ#!َ
ْ‫ َ(ْ ِ ِ َ'ْ َأ‬R
ُ ‫&ا‬ َ َ K
 ِ8ُ ُ"َ#
ْ'َ‫ْ َو‬Kِْ8ُ & َ َ ‫ي‬ َ ‫َ"ُ هَ! ِد‬# ُ َ(ْ7‫ َأنْ َأ‬h َ َ"َ#‫ ِإ‬h ‫ ِإ‬Rُ ‫ْ َ ُ ا‬0‫ َو‬h َ ^ َ ْ ِ َ7 ُ"َ# ُ َ(ْ7‫ن َوَأ‬
 ‫َ
ًا َأ‬Iُ ُ ُ ْSَ ُ"ُ#ْ ُQ‫ َو َر‬.
!َ(a ‫' َ!َأ‬َ ِ:#‫ُ ا ا‬5َ‫?ُ ا ءَا‬.‫"َ ا‬#‫\ ا‬  َ0 ِ"ِ.!َ?ُ. !َ#‫' َو‬  ُ. ُ
َ. !#‫ن َوَأ=ْ ُْ ِإ‬َ ُ
ِْ-ُ
!َ(a ‫س َ!َأ‬ُ !5#‫?ُ ا ا‬.‫ُ ُ ا‬F‫ِي َر‬:#‫ََ?َُْ ا‬O ْ'ِ َ=m ٍ ْ6 ‫ِ َ ٍة‬0‫\ وَا‬ َ ََO‫ْ(َ! َو‬5ِ !َ(َUْ‫ َزو‬o  َF‫ْ(ُ
َ! َو‬5ِ !ً#!َU‫ًِا ِر‬Nَ‫َ! ًء آ‬-ِ=‫?ُ ا َو‬.‫"َ وَا‬#‫ِي ا‬:#‫ا‬
‫ن‬
َ ُ#‫َ! َء‬-َ. ِ"ِF ‫َ! َم‬0ْ‫َْر‬#‫ن وَا‬  ‫"َ ِإ‬#‫ن ا‬َ !َ‫ً! ََُْْ آ‬Sِ ‫َر‬
!َ(a ‫' َ!َأ‬َ ِ:#‫ُ ا ا‬5َ‫?ُ ا ءَا‬.‫ ا‬R َ ‫ُ ا ا‬# ُ ‫ً! َو‬#ْ َ ِ َQ‫ ًا‬. ْ[ُِْ َُْ# َُْ#!َ
ْ‫ِْ َأ‬6ْWَ ‫َُْ َو‬# َُْF ُ=‫ َوَ'ْ ُذ‬Pِ ُِ َ"#‫َ"ُ ا‬# ُQ‫َ! َز َ?َْ َو َر‬
‫ِ
ً! َ ْزًا‬pَ
!‫ْ ُ َأ‬,َF: ‫ن‬ َِ ‫ق‬َ َ ْJ‫ َأ‬o ِ ْ ِ َIْ#‫ب ا‬ُ !َ ِ‫ آ‬R ِ ‫َْ َ ا‬O‫ي َو‬ ِ َْ(ْ#‫ي ا‬ُ َْ‫َ
 ٍ ه‬Iُ /jjjjjJ R‫" ا‬jjjjjj jjjjjQ‫َ  و‬7‫ َو‬c ُ ْ‫ُ(َ! ُ ْ ِرا‬.!َ%َ ْIُ
‫ن‬
 َِ K  ُ‫ٍ آ‬+َ%َ ْIُ ٌ+َِْF K  ُ‫ٍ َوآ‬+َِْF ٌ+َ#& َ َb K  ُ‫ٍ َوآ‬+َ#&َ َb $ِ ‫! ِر‬5#‫ا‬.
!َ(a ‫ َأ‬،َ‫ِْ
ُ ْن‬-ُ
ْ#‫ُِْْ ا‬Jْ‫ْ ُأو‬$ِ-ْ6َ=‫ِ َ?ْ َى َو‬F < َ K  َU‫َْ ُ َِ=(َ! َو‬O ‫َِ ْ ِم زَا ٍد‬# ‫َ! ِد‬,َ
ْ#‫ا‬.

Ma’asyiralmuslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala atas keagungan dan
kesempurnaan-Nya. Kita senantiasa memuji-Nya baik dalam keadaan suka
maupun duka. Karena kita semua adalah makhluk yang lemah dan Dialah satu-
satunya yang Maha Kuasa. Tidak ada daya dan upaya yang bisa kita lakukan
kecuali dengan sebab pertolongan-Nya. Maka, kewajiban kita adalah senantiasa
memuji-Nya dan bertakwa kepada-Nya serta mensyukuri berbagai nikmat yang
telah Allah Subhanahu wa Ta'ala karuniakan kepada kita.

Hadirin rahimakumullah,
Di antara nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sangat besar yang telah
dikaruniakan kepada kita adalah nikmat kemudahan yang telah Allah Subhanahu
wa Ta'ala tetapkan pada aturan-aturan-Nya. Hal ini sebagaimana tersebut di
dalam firman-Nya:
!َ ُ ُِ R ُ ‫ا‬K َ َ,ْLَِ# ََُْْ ْ'ِ ‫ج‬
ٍ َ َ0
“Tidaklah Allah hendak menyulitkan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Begitu pula sebagaimana disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di
dalam sabdanya:
‫ن‬
 ‫' ِإ‬
َ ْ ِّ #‫ٌْ ا‬-ُ ْ'َ#‫ٌَ ِّد ْ'َال ُ)َ! د َو‬0‫ َأ‬h
 ‫َ"ُ ِإ‬Sََ
“Sesungguhnya agama Islam adalah mudah. Dan tidaklah seorangpun yang
memberat-beratkan diri dalam agama ini kecuali dia sendiri yang akan
terkalahkan olehnya.” (HR. Al-Bukhari)

Hadirin rahimakumullah,
Di antara bentuk kemudahan yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan di
dalam syariat-Nya adalah telah ditentukannya waktu untuk memulai dan
mengakhiri ibadah dengan tanda-tanda yang jelas serta bisa diketahui oleh
keumuman orang. Termasuk dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan cara
menetapkan awal Ramadhan dan satu Syawal. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
‫ُ ُْ ا‬J ِ"ِ َ ْ‫ِ ُؤ‬# ‫ِ ُؤْ َ ِ"ِ َوَأِْ ُوْا‬# ْ‫ِ  َة َ َآْ
ُِ ْا ََُْْ ُ  َِن‬,ْ#‫' ا‬
َ ِْ%&
َ َ%
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan beridul fitrilah kalian karena melihat
hilal, namun apabila kalian terhalang dari melihatnya maka sempurnakanlah
bulan menjadi tigapuluh hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadits ini, kita mengetahui betapa mudahnya syariat yang telah Allah
Subhanahu wa Ta'ala tetapkan untuk menetapkan awal dan akhir bulan
Ramadhan. Sehingga aturannya bisa dilakukan oleh keumuman kaum muslimin.
Yaitu ditetapkan dengan cara melihat hilal atau kalau tidak terlihat maka
menggunakan cara yang kedua yaitu dengan menyempurnakan bulan Sya’ban
menjadi tigapuluh hari. Oleh karenanya, wajib bagi kaum muslimin untuk
menjalankan syariat ini dan tidak boleh bagi siapapun dari kaum muslimin untuk
membuat aturan yang baru dalam menetapkan awal Ramadhan atau satu
Syawal. Barangsiapa menggunakan cara selain dengan dua cara tersebut, maka
dia telah mengada-adakan syariat yang baru di dalam agama Islam.

Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,


Namun sungguh sangat disayangkan, ternyata ada di antara kaum muslimin
yang membuat cara baru yaitu dengan menggunakan hisab untuk menetapkan
awal Ramadhan dan satu Syawal. Bahkan mereka menganggap bahwa cara
yang baru tersebut lebih baik dan sesuai dengan kemajuan yang berkembang di
zaman ini. Anggapan tersebut menunjukkan bahwa mereka kurang memahami
sifat dari agama ini. Yaitu bahwa syariat yang Allah Subhanahu wa Ta'ala
turunkan kepada Rasul-Nya yang mulia, nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah syariat yang berlaku untuk selamanya sampai hari kiamat dan
sempurna serta berlaku untuk seluruh makhluk-Nya dari kalangan manusia dan
jin. Sehingga kewajiban kita tidak lain adalah menerima dan menjalankan syariat
ini sebagaimana dimaukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Al-Imam
Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri rahimahullahu sebagaimana
disebutkan oleh Al-Imam Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya mengatakan:
'
َ ِ R
ِ ‫ َ < ا‬K
 َU‫ُ َو‬+َ#!َQِّ #‫ ا‬/ََ‫ل َو‬
ِ ْ ُQ‫ َر‬R
ِ ‫غا‬
ُ&
َ َSْ#‫َ! ا‬5ََْ‫ْْ ُ َو‬- #‫ا‬
“Dari Allah Subhanahu wa Ta'ala datangnya syariat, kewajiban Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah menyampaikannya, dan kewajiban kita
adalah menerimanya.”

Hadirin rahimakumullah,
Kita tidak memungkiri, bahwa ilmu hisab merupakan ilmu yang memiliki manfaat.
Akan tetapi menjadikan ilmu hisab sebagai alat untuk menetapkan awal dan
akhir bulan Ramadhan merupakan kesalahan besar dan telah mendudukkan
ilmu tersebut tidak pada tempatnya. Karena berpuasa bulan Ramadhan
merupakan ibadah yang telah ditetapkan waktunya dan cara menetapkan
waktunya. Bahkan caranya sebagaimana telah dijelaskan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah cara yang sangat mudah dan sesuai dengan kemudahan yang
telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan terhadap agama ini. Adapun ilmu
hisab di samping tidak ditetapkan oleh syariat Islam sebagai cara untuk
menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan, juga tidak sesuai dengan
kemudahan yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan atas syariat-Nya.
Karena ilmu ini hanya diketahui oleh segelintir orang, itupun dalam keadaan
mereka berbeda-beda metode dalam menggunakan ilmu tersebut.
Hadirin yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Sebagian mereka ada yang beranggapan bahwa ilmu hisab lebih teliti untuk
mengetahui munculnya hilal. Terlebih pada zaman teknologi sekarang ini,
menurut pandangan mereka ilmu hisab telah mengalami perkembangan yang
telah sampai pada puncaknya. Bahkan sebagian mereka menganggap bahwa
orang yang tetap menggunakan ru`yatul hilal dan tidak mau menggunakan ilmu
hisab untuk menetapkan awal Ramadhan dan satu Syawal diibaratkan seperti
orang yang memilih naik onta daripada kendaraan roda empat di masa ini. Tentu
saja ini adalah anggapan yang sangat salah. Bahkan bisa menyeret kepada
pelecehan terhadap sunnah.

Jamaah jum’at rahimakumullah,


Perlu diketahui, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengetahui apa yang
akan terjadi dari perkembangan ilmu hisab ini. Namun Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah menetapkan bahwa bukan dengan ilmu ini awal bulan Ramadhan
dan Syawal ditetapkan. Begitu pula perlu diketahui bahwa masalahnya bukan
sekadar teliti atau tidak teliti, akan tetapi sebagaimana yang disebutkan dalam
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, masalahnya adalah terlihat hilal atau
tidak terlihat. Kalau hilal terlihat maka ditetapkan awal bulan Ramadhan
dengannya dan apabila tidak terlihat maka bulan Sya’ban disempurnakan
menjadi tiga puluh hari. Demikianlah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sehingga seorang muslim tentunya tidak ingin mengganti sebaik-baik petunjuk
dengan metode lainnya, sehebat apapun pandangan akal manusia terhadap
metode tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫ن‬
َ ُ#ِ ْSَ ْ-َ.‫ِي َأ‬:#‫ هُ َ ا‬/َ=ْ‫ِي َأد‬:#!ِF َ ُ‫ٌَْ ه‬O
“Apakah kalian mau mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih
baik?” (Al-Baqarah: 61)
Oleh karena itu, seandainya terjadi ketidaktepatan dalam memulai bulan
Ramadhan, namun kaum muslimin telah berusaha menetapkannya sesuai
dengan petunjuk Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan melihat hilal
(ru’yatulhilal), maka mereka tidak berdosa, meskipun wajib baginya untuk
mengganti hari puasa yang ditinggalkannya di luar bulan Ramadhan. Adapun
orang-orang yang menetapkan awal bulan Ramadhan dengan hisab, meskipun
mungkin mereka tepat dalam memulai Ramadhan, namun mereka adalah orang-
orang yang terjatuh pada kesalahan karena mereka menetapkannya dengan
cara baru yang tidak disyariatkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
mengatakan:
“Orang yang bersandar dengan ilmu hisab untuk menetapkan hilal (awal
Ramadhan) di samping dia adalah orang yang tersesat dalam (memahami)
syariat, (yaitu sebagai) seorang yang mengada-adakan syariat baru dalam
agama, dia juga orang yang salah secara akal.” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Hadirin rahimakumullah,
Sebagian mereka juga menyebutkan beberapa alasan lain untuk membenarkan
keyakinannya yang bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tersebut. Namun semua alasan yang digunakan untuk membenarkan
penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan ilmu hisab tidak dibangun di
atas ilmu dan bimbingan para ulama. Sebagian mereka menggunakan ayat yang
dipaksakan maknanya untuk menunjukkan apa yang mereka yakini. Padahal
tidak ada dari kalangan para sahabat dan para ulama setelahnya yang
memahami ayat tersebut seperti pemahaman mereka. Maka, di atas mimbar ini
kami mengajak kepada hadirin untuk jujur dan bersungguh-sungguh dalam
mengikuti agama ini. Tidak mendahulukan akal dan anggapan baik pendapat
siapapun apabila bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
$َ ِ5َ,َ6َ= R
ُ ‫ي َوِإ !آُْ ا‬ ِ َْ(ِF "ِF!َ ِ‫ل آ‬
ُ ْ ُ ‫ن َ! َأ‬
َ ْ ُ,َ
ْ-َ. ُ ِ6ْWَ ْQ‫ َوَأ‬R
َ ‫ْ ا‬$ِ# َُْ#‫ِ ِ َو‬T!َ-ِ#‫' َو‬
َ ِْ
ِْ-ُ
ْ#‫ ِ'ْ ا‬K
ِّ ُ‫ آ‬،ٍeْ=‫ِ ُوْ ُ َذ‬6ْWَ ْQ!َ ُ"=‫ِإ‬
َ ُ‫ُ ْ ُر ه‬6َW#ْ‫ِْ ُ ا‬0 #‫ا‬.

Khutbah kedua:
ْ
َI#‫ ُِا‬R ِ ‫ْ
َ?ْ ُوْ ِر ُ?َ ِّ ُر‬#‫ف ا‬
ُ ِّ َُ‫ ! ِم َو‬cَ ْ‫ ا‬،ِ‫(ُ ْر‬a)#‫ْ
َ ُ ُ َو وَا‬0‫ َأ‬/ََ K ِ ْ <ِ َU ِ"ِ
َ,ِ= َ ُ‫ُ ْ ُر َوه‬6َWْ#‫ ا‬،ُ‫)ُ ْر‬#‫ْ(َ ُ ا‬7‫ َأنْ َوَأ‬h  َ"َ#‫ِإ‬
h ‫ ِإ‬R ُ ‫ْ َ ُ ا‬0‫ َو‬h َ ^ َ ْ ِ َ7 ،ُ"َ# ُ"َ# ^ُ ُْ
ْ#‫َ"ُ َو ا‬# ُ ْ
َIْ#‫ َوهُ َ ا‬K
َ َ‫ ى‬K ِّ ُ‫ْ ٍء آ‬$َ7 ،ٍْ ِ َ ُ َ(ْ7‫ن َوَأ‬  ‫َ
ًا َأ‬Iُ ُ ُ ْSَ ُ"ُ#ْ ُQ‫َ)ِْ ُ َو َر‬Sْ#‫ا‬
ُ ْ :ِ 5#‫ج ا‬
ُ ‫َِا‬-ّ #‫ وَا‬،ُِْ5ُ
ْ#‫ ا‬/َJ R ُ ‫ ََْ"ِ ا‬/ََ‫ِ"ِ َو‬#> ِ"ِF!َIْJ‫َ َ َوَأ‬Q‫ِْْ
ً! َو‬-َ. ‫ًِْا‬Nَ‫ آ‬/َ#‫ ِإ‬o ِ ْ,َSْ#‫ ا‬،ِ‫)ُ ْر‬a5#‫ْ ُ َأ! وَا‬,َF:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Puasa Ramadhan dan Iedul Fitri adalah ibadah yang sifatnya harus dijalankan
secara bersama-sama, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
‫ ْ ُم‬#‫' َ ْ َم ا‬ َ ُْ َُ. ُ ِْ6#‫ن َ ْ َم وَا‬ َ ْ‫ِْ ُو‬6ُ. /َIْbَ ْ#‫ن َ ْ َم وَا‬َ ْ aIَ8ُ.
“Berpuasa adalah hari ketika kalian semua berpuasa dan iedul Fitri adalah hari
ketika kalian semua berbuka (yaitu pada hari iedul Fitri) dan Iedul Adh-ha adalah
hari ketika kalian semua menyembelih hewan kurban.” (HR. At-Tirmidzi dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)

Oleh karena itu wajib bagi kaum muslimin untuk berusaha mewujudkan suasana
kebersamaan dan menghindari suasana bercerai-berai dalam pelaksanakan
ibadah ini. Walaupun memang benar ada perbedaan pendapat di kalangan para
ulama berkaitan dengan masalah memulai awal Ramadhan. Yaitu apabila ada
suatu negara yang telah melihat hilal apakah berarti seluruh negara yang lainnya
harus mengikuti negara tersebut dalam memulai Ramadhan ataukah tidak.
Namun demikian, para ulama menasihatkan kepada seluruh kaum muslimin
untuk mendahulukan kebersamaan dan tidak sendiri-sendiri dalam pelaksanaan
ibadah ini. Mereka, para ulama menasihatkan agar kaum muslimin bersama-
sama dalam memulai Ramadhan dan mengakhirinya.

Hadirin rahimakumullah,
Untuk menciptakan suasana persatuan dan kebersamaan dalam menjalankan
puasa Ramadhan dan iedul Fitri ini, sebagaimana telah dinasihatkan oleh para
ulama, caranya tidak lain dengan menyerahkan keputusan awal Ramadhan atau
Iedul Fitri kepada pemerintah. Hal ini di antaranya sebagaimana yang disebutkan
para ulama di negara Saudi Arabia yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah,
mereka berfatwa: “… Maka jika terjadi perselisihan di antara mereka (kaum
muslimin), kewajiban mereka adalah mengikuti keputusan penguasa di
negaranya apabila dia seorang muslim, karena keputusan penguasa dengan
menetapkan salah satu dari dua perbedaan akan menghilangkan perselisihan
tersebut….” (Fatawa Al-Lajnah jilid 8 no. 388).
Oleh karena itu kewajiban kaum muslimin terutama yang telah berpengalaman
dalam melihat hilal adalah berusaha untuk bersama-sama melihat hilal kemudian
menyerahkan hasilnya kepada pemerintah. Selanjutnya mereka semua
menunggu hasil keputusan pemerintah dalam menetapkan awal Ramadhan dan
Iedul Fitri. Yang demikian inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Akhirnya mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa memberikan
taufik-Nya kepada kita dan pemerintah kita serta seluruh kaum muslimin untuk
berpegang teguh di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan bimbingan para
ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Mudah-mudahan kita diberi taufik oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala untuk bisa mengisi bulan Ramadhan yang akan datang
sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga lebih
baik dari bulan-bulan Ramadhan sebelumnya yang telah berkali-kali mendatangi
kita.

 ُ(#‫ ا‬K ِّ َJ َِّْQ‫ َو‬/ََ ‫ك‬ َ ِ ْSَ ^َ ِ#ْ ُQ‫َ


 ٍ َو َر‬Iُ /ََ‫ِ"ِ َو‬#> ِ"ِF!َIْJ‫' َوَأ‬ َ ِْ,َ
ْU‫ض َأ‬َ ْ‫(ُ  وَار‬#‫' ا‬ ِ َ ‫َ! ِء‬6َُ]‫ْـ‬#‫' ا‬
َ ْ ِ ِ7‫ا‬#‫ْ ا‬$ِF‫َْ ٍ َأ‬F
َ َ
ُ‫ن َو‬ َ !َ
ْNُ‫ َو َو‬$
ٍّ َِ ْ'َ‫ َو‬Pِ ِْ
َU ِ+َF!َI#‫' ا‬ َ ِْ,ِF! #‫ـَ(ُْ وَا‬# ‫ن‬
ٍ !َ-ْ0ِِF /َ #ِ‫' َ ْ َم إ‬
ِ ْ ِّ #‫ا‬.
 ُ(#‫& َم َأِ < ا‬ َ ْQgِ ْ‫' ا‬َ ِْ
ِْ-ُ
‫ْـ‬#‫ل وَا‬ ‫ك َوَأ ِذ‬
َ ِْ)
ّ #‫' ا‬
َ ِْ‫ْـ
ُ)ْ ِآ‬#‫وَا‬.  ُ(#‫ِْ[ْ ا‬J‫ل َأ‬ َ ‫ْ َا‬0‫' َأ‬َ 
ِْ-ُ
‫ْـ‬#‫ ا‬$jjjjj K
ِّ ُ‫ن آ‬ٍ !َ. F‫َ! َر‬5 !َ5ِ.> $ِ
!َْ=a #‫ً ا‬+َ5َ-َ0 $ِ‫ِ َ ِة َو‬Oyْ‫ً ا‬+َ5َ-َ0 !َ5ِ ‫ب َو‬ َ ‫َا‬:َ ‫! ِر‬5#‫ا‬. ُ ْ
َI‫ْـ‬#‫ِ"ِ وَا‬# ‫ب‬ِّ ‫' َر‬َ ِْ
َ#!َ,#‫ا‬
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=733

NASEHAT UNTUK ORGANISASI MUHAMMADIYYAH


Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Yahya
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepada umat Islam
assunnah dan isnad. Dan yang telah meninggikan derajat ulama hadits di setiap
zaman dan tempat. Dan yang telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kita
dengan sambungan riwayat. Dan yang telah membaguskan dan membuat indah
wajah-wajah para muhaddits dan para periwayat. Yaitu orang-orang yang
berjalan dan mengajak manusia untuk menempuh jalan yang penuh petunjuk lagi
selamat.Kami memohon perlindungan dan ampunan kepada Allah dari kejelekan
perbuatan jiwa dan dosa-dosa yang berkarat. Barangsiapa yang diberi petunjuk-
Nya, niscaya tidak ada yang bisa membuatnya sesat.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan keharibaan Muhammad bin Abdillah


shalallahu ‘alaihi wasallam yang diutus untuk menghapus seluruh syariat.
Kemudian mengemban syariat Islam yang mulia dan terhormat. Dan yang
dijadikan sebagai penutup para Nabi sampai hari kiamat. Dan semoga shalawat
dan salam dilimpahkan pula kepada keluarga, para Sahabat dan pengikutnya
sampai datangnya yaumut-tanad.

Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah Al Ahad
Ash-Shamad. Dan saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diikuti
selain Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.

Amma ba’du :

Sesungguhnya agama ini adalah wahyu dari Allah azza wa jalla. Dan didapat
dengan cara talaqqi dan isnad. Bukan dengan otodidak dan kreatifitas.
Barangsiapa menyangkanya demikian, maka dia telah menjauhkan dirinya dari
petunjuk sejauh-jauhnya.

Adalah Nabi shalallahu ‘alihi wasallam telah membacakan Al Qur’an kepada para
Sahabat radhiyallahu ‘anhum, lalu mereka membacanya dihadapan Nabi.
shalallahu ‘alihi wasallam. Dan para Shahabat membacakannya kepada para
Tabi’in, lalu mereka membacanya dihadapan para Shahabat dan seterusnya.
Demikianlah silsilah agama ini. Para Ulama dari dulu hingga sekarang telah
menjalaninya sebagai standar baku untuk mendapatkan ilmu agama.

Demikian pula ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi shalallahu ‘alihi


wasallam adalah bagian dari wahyu dan ilham. Orang-orang yang adil, shalih
dan terpercaya sebelum kita telah menukilnya dan menyampaikannya kepada
kita tanpa bias sedikitpun, baik pengurangan atau penambahan maupun
kerancuan atau kesamaran. Bahkan dengan sangat jelas dan gamblang.

Hanya para pembaca kitab-kitab hadits dan mereka yang duduk bersimpuh
untuk belajar dan mengambil faidah dari para Ulama yang mengetahui tingginya
kedudukan As-Sunnah dan ilmu periwayatan yang disertai usaha maksimal
untuk mendapatkan validitas dan kemurnian redaksi dan isnadnya.

Al Imam Abdullah bin Mubarak berkata :

‫َ! ُد‬5ْQg
ِ‫'ا‬
َ ِ '
ِ ْ E #‫ا‬. h
َ ْ َ#‫َ! ُد َو‬5ْQg
ِ‫لا‬
َ !َ?َ# ْ'َ ‫َ! َء‬7 !َ ‫َ! َء‬7.

Artinya: isnad adalah bagian dari agama. Dan jika tanpa isnad, niscaya siapapun
bebas berbicara seenaknya (tentang agama ini). Muqaddimah Shahih Muslim

Pembaca yang budiman, terdapat berita sebagai berikut

Muhammadiyah: Teropong Digital Bisa Atasi Awan

Imam Wahyudiyanta - detikcom

Surabaya - Penggunaan teropong canggih untuk melihat hilal dinilai Ketua


Dewan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Prof Syafiq Mughni sah-
sah saja. Namun, Rukyat tidak bisa hanya ditentukan dengan melihat hilal baik
menggunakan mata telanjang maupun teropong digital.

Penentuan hilal dengan mata telanjang dilakukan karena belum berkembangnya


ilmu pengetahuan. “Itu dulu waktu jaman Nabi Muhammad melihat dengan mata
telanjang,” ujar Mughni saat dihubungi detiksurabaya.com, Kamis (6/9/2007)

Seiring berkembangnya waktu, kata Mughni, ilmu hisab (perhitungan) dan falak
(perbintangan) semakin maju dan berkembang. Nah, dengan bertambah
akuratnya kedua ilmu itulah penentuan hari awal puasa bisa ditetapkan.

Namun, kata Mughni, sah-sah saja jika menggunakan alat teknologi canggih.
Sebab melihat bulan dengan mata telanjang belum bisa menjamin penentuan
rukyat. “Bisa saja awan menghalangi pandangan mata terhadap bulan,” katanya.
(iwd/mar)

Pembaca yang budiman, mari kita bandingkan pernyataan ini dengan


keterangan dan penjelasan berikut :

Saya berkata dengan mengharap taufiq dari Allah :

ْ$ِ5َ% َ0 !َ5ُ]َْ7 ِ#‫ َا‬#‫ ا‬z


ُ ْ)#‫ث ا‬
ُ E َIُ
#‫َ!ِ{ُ ا‬I#‫َ
 ُ ا‬,ُ
#‫َ?ِْ"ُ ا‬6#‫ْ
َ ُ ا‬0‫' َأ‬
ُ F /َْIَ '
ِ F 
َIُ ِْSَ7 $
a ِ
ْL5#‫ِْ >ل ا‬Sَ7 ‫ي‬
a ِ َ%c
َ‫–ا‬
"jjjjp60 R‫ ا‬-

ْ'َ 
َIُ َOِ ْ $
E ELَI#‫ِ َ'ْ ا‬+َ‫ َأ‬R
ِ ‫ِ ا‬+ ِ َْ‫ ه‬#‫ِْ(َ! َ'ْ ا‬F‫ْ ِ َأ‬Sَ $
E ِ5َW#‫ي ا‬
E ِ َْ‫ ه‬#‫ ا‬$
E ِ=َ َ
#‫َ
 َ'ْ ا‬Iُ ِ ِF!َ ‫ي‬
E ِ ْ5E-#‫ا‬,

(‫َ
 ِ َوَ'ْ )ح‬Iُ '
ِ F ِ Sَ 'ِ َ
ْ0 #‫' ا‬ِF‫ق‬
َ !َIْQ‫ل ِإ‬
ُ>z
ِ ْ)#‫ْ ِ َ' ا‬,َQ '
ِ F ِ َ
َ0 '
ِF\
ٍ ِْ َ َْ' \ْ E َJ 'َ-َ0 ‫َ!ن‬O $
E ِUْ ُ5َ?#‫َ' ا‬
ِ ْSَ \
E َI#‫' ا‬
ِFKِ ْ8َ Rِ ‫ا‬$ E ِ=!َ
ْNُ,#‫ا‬,

ُ‫&ه‬
َ ِ‫ْ ِ َ'ْ آ‬Sَ R ِ ‫'ا‬ ِ F ِ 
َIُ '
ِFK َ ِ!َ
ْQ‫ِ ِ ِإ‬c
َ ‫ِْ"ِ َ'ْ ا‬F‫َ
 ِ َأ‬Iُ '
ِFK َ ِ!َ
ْQ‫ِْ ِ ِإ‬c
َ‫ا‬$ E ِ=!َ,ْ5#‫ ِ َ'ْ ا‬Sَ R ِ ‫'ا‬ ِ F ِ ِ#!َQ
‫ي‬E ِ َْS#‫ ا‬$ E Eَ
#‫َْاهِْ َ َ' ا‬F‫ ِإ‬$E ِ=‫َ ْرَا‬#‫ن َ'ْ ا‬ ِ !َُْQ $ E ِ0‫
ُ<َا‬#‫ ْ ِر َ' ا‬a5#‫ي ا‬ E ‫< َ! ِد‬E #‫ َ' ا‬mِ ْ
)#‫َ
 ِ ا‬Iُ $ E ِْ #‫َزآَ ِ ! َ' ا‬
‫ي‬E ‫=َْ! ِر‬c َ‫'ا‬ ِ َ <E ِ,#‫' ا‬ِF‫ت‬ ِ ‫َُا‬6#‫' ُ
َ َ َ' ا‬ ِ F‫ ا‬+jjjjj‫' أ‬ِ َ ' ِ F‫ي ا‬ E ‫ُ]َ! ِر‬S#‫' ا‬ِ َ ‫َ! ِم‬gِ ‫َ!ِ{ِ ا‬I#‫ ا‬$ِF‫َ
 ٍ َأ‬Iُ ِ Sَ $ E ِ5َW#‫' ا‬
ِF
ِ Sَ ِ ِ0‫ َا‬#‫ ا‬$
E ِQِ ْ?َ
#‫ا‬-"
0‫ ر‬R‫ ا‬- e ِ ِ0!َJ ‫َْ! ِم ُ
ْ َ ِة‬0cَ ‫ا‬, ُ"=‫ل َأ‬َ !َ :

ْ'َ ِ ْSَ R ِ ‫'ا‬ ِ F َ َ


ُ $ َ ِb‫ َر‬R ُ ‫ْ(ُ
َ! ا‬5َ ‫ل‬
َ !َ : G
ُ ْ,ِ
َQ ‫ل‬
َ ْ ُQ‫ َر‬R
ِ ‫لا‬
ُ ْ ُ?َ : ((‫َ َِْ ُوْا َرَأ ْ ُ
ُ ْ ُ َوِإذَا َُ ُْ ْا
ُ ْ ُ َرَأ ْ ُ ِإذَا‬
ْ‫َ"ُ َ! ْـ ُ ُروْا ََُْْ ُ  َِن‬#)).

Telah menyampaikan kepada saya Syaikhuna As-Syaikh Al Muhaddits Al Hafizh


Al Faqih Mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan, Ahmad bin Yahya bin
Muhammad Syabir An-Najmi Alu Syabir Al Atsari Hafizhahullah dengan sanad
yang bersambung sampai kepada Al Imam Al Hafizh Abu Muhammad Abdul
Ghani bin Abdul Wahid Al Maqdisi rahimahullah, beliau berkata dalam kitabnya
Umdatul Ahkam :

Dari Abdullah bin Umar Radhiyalahu ‘anhuma, beliau berkata: Saya mendengar
Rasulullah bersabda :

“Apabila kalian melihatnya, maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya,


maka berbukalah. Jika penglihatan kalian terhalang, maka sempurnakanlah 30
hari.”

Syaikhuna Ahmad An-Najmi hafizhahullah berkata :

Tema Hadits:

Yang mewajibkan puasa Ramadhan dan yang mewajibkan berbuka darinya serta
hukumnya saat terjadi kesamaran.

Kosa Kata:

(‫ ) َرَأ ْ ُ
ُ ْ ُ ِإذَا‬: Kata ganti hu kembali kepada hilal. Dan wawu al jama’ah terarah
kepada seluruh kaum muslimin.

(‫ )َُ ُْ ْا‬: Kalimat ini sebagai jawab syarth wa jaza dari kata idza. Dan yang
serupa dengan kalimat ini adalah sabda Nabi: (‫)َ َِْ ُوْا َرَأ ْ ُ
ُ ْ ُ َوِإذَا‬

(ْ‫ )ََُْْ ُ  َِن‬: Yaitu jika penglihatan kalian terhalang oleh debu yang pekat atau
mendung.

(‫َ"ُ َ! ْـ ُ ُروْا‬#) : Yaitu sempurnakanlah 30 hari.

Makna Umum :

Nabi memerintahkan umatnya untuk berpuasa dan berbuka berdasarkan ru’yatul


hilal. Perintah ini terarah kepada seluruh kaum muslimin. Apabila salah seorang
muslim melihatnya, maka seluruh kaum muslimin wajib berpuasa. Dan apabila
dua orang atau lebih melihatnya saat keluarnya bulan Ramadhan dan masuknya
bulan Syawal, maka seluruh kaum muslimin wajib berbuka dan berhari raya Idul
Fitri, sebagaimana petunjuk yang terdapat pada dalil-dalil yang ada.

Fikih Hadits :

1. Dipahami darinya tentang penentuan hukumnya dengan rukyat. Dan maksud


dari rukyat adalah penglihatan mata telanjang setiap individu umat ini. Oleh
sebab itu terdapat hadits dari Nabi bahwa beliau bersabda :

((!=‫ٌ ِإ‬+‫ٌ ُأ‬+E‫ ُأ‬h


َ e
ُ ُ َْ= h
َ ‫ َو‬e
ُ ُ-ْIَ=, ُ ْ()#‫َا ا‬:ََ‫َا ه‬:ََ‫… َوه‬zjjj#‫( ))أ‬1).

Artinya: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak bisa menulis dan
berhitung. Satu bulan demikian dan demikian…dst”.

Sabda Nabi (!=‫ٌ ِإ‬+ّ ‫ٌ ُأ‬+ًّ E‫ )ُأ‬menunjukkan pengingkaran terhadap penyebutan
sebagian orang untuk bersandar kepada perhitungan bintang-bintang dan
kedudukannya serta yang semisal dengannya.

2. Dipahami dari sabda Nabi (‫ ) َرَأ ْ ُ


ُ ْ ُ ِإذَا‬bahwa standarnya adalah penglihatan
mata telanjang. Bukan bersandar pada penggunaan teropong bintang dan
teropong digital serta teknologi canggih apapun. Perintah ini terarah kepada
seluruh umat. Apa yang dikenal pada zaman tersebut sebagai cara untuk melihat
hilal, maka itulah standar hukum syar’inya.

3. Dipahami dari sabda Nabi (‫ )َُ ُْ ْا‬yang merupakan jawaban dari syarat
sebelumnya, bahwa rukyat dengan mata telanjanglah yang mewajibkan untuk
berpuasa.

Para Ulama’ berbeda pendapat tentang persaksian yang mewajibkan puasa.

Terdapat hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyalahu ‘anhuma beliau berkata :

‫َ! َء‬U $ | ِF‫ َأَْا‬/َ#‫ ِإ‬$


E ِS5#‫ل ا‬
َ !َ?َ $E=‫ ِإ‬G
ُ ْ ‫ل َرَأ‬
َ&َ ِ(#‫ا‬. ‫ل‬
َ !َ : ُ َ(ْ)َ.‫ َأنْ َأ‬h
َ َ"َ#‫ ِإ‬h
 ‫ ِإ‬R‫َ)ْ(َ ُ ؟ ا‬.‫ن َأ‬
 ‫َ
ًا َأ‬Iُ ‫ل‬
ُ ْ ُQ‫ َر‬R
ِ ‫ل؟ا‬
َ !َ :
َ,َ=ْ. ‫ل‬
َ !َ : !َ ‫ل‬ُ&َ ِF, ْ‫ذن‬E ‫ َأ‬$ِ ‫س‬ ِ !5#‫ًَا َُ ُْ ْا َأنْ ا‬. (2)

Artinya: Seorang Arab Badui datang kepada Nabi, kemudian berkata:


“Sesungguhnya saya telah melihat hilal.”

Nabi bertanya: “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk
diibadahi selain Allah? Apakah anda bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah?” Dia menjawab: “Ya”.

Nabi bersabda: “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia agar berpuasa besok”.
Terdapat juga hadits bahwa keluarnya bulan harus dipersaksikan oleh dua orang
(3).

Sedangkan standar saksi untuk masuknya bulan Ramadhan atau masuknya


bulan Syawal adalah cukuplah dia sebagai seorang muslim.

4. Sabda Nabi, (‫ )ََِْ ُوْا َرَأ ْ ُ


ُ ْ ُ َوِإذَا‬yaitu apabila kalian melihat bulan Syawal, maka
berbukalah. Dipahami darinya bahwa rukyat atau menyempurnakan bilangan
bulan 30 hari adalah standar untuk berbuka.

5. Terdapat perbedaan dalam memahami sabda Nabi (‫ُ ُْ ْا‬J) dan (‫ )َأِْ ُوْا‬yang
menunjukkan bahwa perintah tersebut terarah kepada seluruh umat. Apakah
rukyat satu orang cukup untuk seluruhnya atau masing-masing kaum dengan
rukyat mereka sendiri-sendiri.

Oleh sebab itu para Ulama berbeda pendapat: Apakah rukyat satu orang berlaku
untuk seluruh kaum muslimin atau tidak berlaku kecuali kepada penduduk
negerinya dan negara sekitarnya ?

Diantara para Ulama ada yang berpendapat bahwa rukyat satu orang berlaku
untuk seluruh kaum muslimin. Mereka berdalil bahwa manusia di zaman Nabi
dan Khulafa Ar-Rasyidin tidak mengenal rukyat setiap kaum berlaku bagi mereka
sendiri. Bahkan yang tampak bahwa rukyat satu orang berlaku untuk seluruh
kaum muslimin.

Saya berkata: Terdapat catatan pada pendapat ini.

Pertama: Bahwa tidak adanya penukilan tidak menunjukkan tidak terjadinya


suatu kejadian. Manusia pada zaman tersebut berkomunikasi dengan alat
komunikasi yang kuno. Sarana komunikasi seperti ini menjadikan penduduk
setiap negeri terputus hubungan dengan negeri lainnya. Maka masing-masing
negeri dengan rukyatnya untuk berpuasa dan berbuka.

Diantara buktinya adalah kisah Kuraib ketika tampak bulan kepadanya di


Damaskus. Kemudian ketika sampai di Madinah pada akhir bulan, dia
mengabarkan bahwa manusia melihat hilal pada malam jum’at. Maka Ibnu
Abbas menjawab :

!‫' َأ‬
ُ ْIَ= َْ?َ ُ !َ5ْ ‫َ َرَأ‬+ََْ# G
ِ ْS-#‫ا‬, &
َ َ ‫ل‬
ُ ‫ ُ ْ ُم=َ =َ<َا‬/ َ0 ُ ‫ َأوْ =ََا‬K
َ ِ
ُْ= ‫ِ  َة‬,#‫' ا‬
َ ِْ%&
َ َ%.(4)

Artinya: “Sedangkan kami melihatnya pada malam sabtu. Maka kami akan terus
berpuasa sampai kami melihatnya atau menyempurnakan bilangan 30 hari.”

Dengan hadits ini jelaslah bahwa rukyat tidak berlaku kepada mereka seluruhnya.
Kedua: Pada saat itu tidak terdapat sarana komunikasi yang dapat
menyampaikan berita kepada seluruh manusia ketika hilal terlihat.

Oleh sebab itu kami katakan: Sesungguhnya pendapat terkuat bahwa manusia
pada zaman itu berpegang dengan rukyat masing-masing negerinya atau
menyempurnakan bilangan bulan untuk berpuasa dan berbuka.

Dan yang tampak dengan jelas menurut saya pada masalah ini dan pada zaman
ini adalah: Bahwa setiap negeri berbeda rukyatnya berdasarkan perbedaan
tempat keluarnya hilal. Oleh sebab itu, apabila hilal terlihat penduduk timur bumi,
kelazimannya akan berlaku bagi penduduk barat bumi.

Contohnya: Jika hilal terlihat di Pakistan, maka negara-negara setelahnya yang


waktu tenggelam mataharinya belakangan, diwajibkan berpegang dengan rukyat
tersebut. Sebab jika matahari telah mendahului bulan di Pakistan, maka pasti
lebih jauh matahari mendahului bulan pada negara-negara setelahnya.

Demikian pula jika hilal terlihat di Saudi Arabia misalnya, maka negara-negara
setelahnya wajib berpuasa dan tidak wajib bagi negara-negara sebelumnya.

Praktisnya sebagai contoh, jika hilal terlihat di Saudi Arabia, maka wajib bagi
Sudan, Mesir dan setelahnya dari negara-negara di Afrika dan Eropa yang waktu
tenggelamnya matahari belakangan setelah Saudi Arabia untuk berpuasa. Dan
tidak wajib bagi negara-negara sebelumnya seperti Pakistan, Afghanistan, Irak,
dan semisalnya.

Sebab telah dimaklumi bahwa semakin ke barat, maka waktu tenggelamnya


matahari pada negara bagian barat bumi semakin terbelakang daripada negara
bagian timur. Ini adalah perkara jelas yang tidak diperdebatkan dan nyata
keberadaannya. Demikianlah kesimpulan pada masalah ini. Wabillahit-taufiq.
Selesai

Demikianlah, saya memohon kepada Allah untuk memberikan tambahan ilmu


yang bermanfaat, amal yang shalih dan ikhlash dalam berkata dan berbuat. Dan
semoga penjelasan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.

Al Faqir ila ‘afwi Rabbihi

Abu Abdillah Muhammad Yahya()

17 Ramadhan 1428 H/30 September 2007 M

Desa Nijamiyah-Kab. Shamithah-Prop. Jazan

Kerajaan Saudi Arabia


( 1 ) Al Bukhari dalam Kitab Ash-Shaum Bab Qaul An-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam (َh e ُ ُ َْ= hَ ‫ َو‬e ُ ُ-ْIَ=) no 1913, Muslim dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (ُ‫ُ ْب‬U‫َ ْ ِم ُو‬J
‫ن‬
َ !َ8َ‫ِ َر‬+َْTُ ِ# &َ ِ(#‫ِْ ِ لِا‬6#‫ِ وَا‬+َْTُ ِ# ‫ل‬
ِ&
َ ِ(#‫ )ا‬no 1080, An-Nasa ’ I dalam Kitab Ash-Shiyam
Bab ($ِ َ‫)(ْ آ‬#‫ )ا‬no 2140 dan Abu Daudِ‫ ا‬dalam Kitab Ash-Shiyam no 2319 Bab
(ُْ()#‫ن ا‬
ُ ْ َُ !ً,ْ-ِ. ' َ ْ ِ ْ)ِ‫) َو‬.

( 2 ) At-Tirmidzi dalam Kitab Ash-Shaum Bab (!َ ‫َ! َء‬U $ِ ‫ ْ ِم‬#‫)(َ! َد ِة ا‬#‫ِ!ا‬F) no 691, An-
Nasa ’ I dalam Kitab Ash- Shiyam Bab (ُ‫ُ ْل‬Sَ ‫ت‬ ِ ‫َ(َ! َد‬7 K
ِ ُU #‫ِ ِ ا‬0‫ َا‬#‫ ا‬/ََ ‫ل‬
ِ&
َ ِ‫َ(ْ ِ ه‬7 ‫ن‬
َ !َ8َ‫ ) َر‬no
2112 dan 2113, Abu Daud dalam Kitab Ash-Shaum Bab (ُ‫َ(َ! َدة‬7 ِ ِ0‫ َا‬#‫ ا‬/ََ ِ+َْT‫ل ُر‬ ِ&َ ِ‫ه‬
‫ن َر‬
َ !َ8َ) no 2340, Ibnu Majah dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (!َ ‫َ! َء‬U $ِ ‫)(َ! َد ِة‬#‫ ا‬/ََ ِ+َْT‫ُر‬
‫ل‬ِ&َ ِ(#‫ )ا‬no 1652 dan Ad-Darimi dalam Kitab Ash-Shaum Bab (ُ‫)(َ! َدة‬#‫ ا‬/ََ G ِ َ ْ‫ل ُرؤ‬
ِ&
َ ِ‫ه‬
‫ن‬َ !َ8َ‫ ) َر‬no 1692. Al Albani mendha ’ ifkan hadits ini.

( 3 ) Terdapat beberapa hadits dalam masalah ini. Diantaranya adalah :

1. Dari Rib ’ I bin Hirasy dari salah seorang Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam , dia berkata :
(H َ َِ ْO‫س ا‬
ُ !5#‫ ا‬$ِ ِ ِO> ‫ن ِ'ْ َ ْ ٍم‬
َ !َ8َ‫ َر‬, ‫ن َ?َ ِ َم‬
ِ !َِF‫ْ َ )َ(َِاَ َأَْا‬5ِ $
E ِS5#‫ ا‬3 R
ِ !ِF &
 َ‫ه‬c
َ ‫(ِ&َل‬#‫ ا‬mِ ْ‫ً َأ‬+ِ)َ, َ ََ َ
‫ل‬
ُ ْ ُQ‫ َر‬R ِ ‫ا‬3‫س‬ َ !5#‫ِْ ُؤْا َأنْ ا‬6a ) ‫
 روا‬0‫ أ‬jjjjF‫ْ ُ َوَأنْ( زاد و داود وأ‬Wَ ‫ وْا‬/َ#‫&هُْ ِإ‬  َُ) jjj ‫ ر‬2339.

“ Manusia berbeda pendapat tentang hari terakhir bulan Ramadhan. Kemudian


dua orang Arab Badui maju dan bersaksi dengan bersumpah atas nama Allah
dihadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa keduanya telah melihat hilal
kemarin petang. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan
manusia untuk berbuka ” . HR Ahmad dan Abu Daud. Abu Daud menambahkan :
“ Dan untuk berangkat ke tanah lapang pada pagi hari ” . No 2339.

2. Dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khaththab, bahwa dia berkhuthbah di hari
yang diragukan :
(َh‫ َأ‬$E=‫ ِإ‬G ُ ْ-َ#!َU ْJ‫بَأ‬ َ !َI ‫ل‬ِ ْ ُQ‫ َر‬R‫ ا‬3 ُْ(ُ ْ#‫َ! َء‬Q‫ َو‬, ُْ(=‫ َوِإ‬$ِ=ْ ُ% َ0 ‫ن‬  ‫ل َأ‬َ ْ ُQ‫ َر‬R‫ ا‬3 ‫ل‬ َ !َ : ْ ُJ ‫ِ ُؤْ َ ِ"ِ ُ ْا‬#
‫ِ ُؤْ َ ِ"ِ َوَأِْ ُوْا‬# ‫ُُ ْا‬-ْ=‫َ(َ! وَا‬#, ْ‫ ْا ََُْْ ُ  َِن‬a
ِ.ََ '
َ ِْ%&
َ َ% !ًْ َ ْ‫َ(ِ َ َِن‬7 ‫ن‬ِ ‫َ!هَِا‬7 !َ
ِْ-ُ‫ن‬
ِ ‫) َوَأِْ ُوْا َُ ُْ ْا‬.
“ Ketahuilah bahwa saya telah bermajlis dengan para Shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan bertanya kepada mereka. Sesungguhnya
mereka menyampaikan kepada saya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda :

“ Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya


dan berkurbanlah kalian karena melihatnya. Jika penglihatan kalian terhalang,
maka sempurnakanlah 30 hari. Jika dua orang muslim bersaksi, maka berpuasa
dan berbukalah ” . HR Ahmad dalam Musnad Al Kufiyin dan An-Nasa ’ I dalam
Ash-Shiyam Bab (ُ‫ُ ْل‬Sَ ‫َ(َ! َد ِة‬7 K
ِ ُU #‫ِ ِ ا‬0‫ َا‬#‫ ا‬/ََ ‫ل‬
ِ&
َ ِ‫َ(ْ ِ ه‬7 ‫ن‬
َ !َ8َ‫ ) َر‬no 1997. Dan tidak
tersebut didalamnya : (ِ‫ِْ
َ!ن‬-ُ).
3. Dari Amir Makkah Al Harits bin Hathib, dia berkata :
(َِ(َ !َ5َْ#‫ل ِإ‬
ُ ْ ُQ‫ َر‬3 ْ‫^ َأن‬
َ ُ-ْ5َ= ِ+َ ْ‫ؤ‬a ِ# ْ‫َْ َِن‬# ُ َ َ= َ ِ(َ7‫َ!هَِا َو‬7 ‫ل‬
ٍ َْ '
َ َْ-َ= !َ
ِ(ِ.‫ِ)َ(َ! َد‬F)
“ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengamanatkan kepada kami untuk
berkurban karena melihat hilal. Jika kami tidak melihatnya sementara ada dua
orang yang adil bersaksi melihatnya, maka kami berkurban karena persaksian
keduanya ” . HR Abu Daud dalam Ash-Shiyam no 2338 dan Ad-Daraquthni, dan
dia berkata : “ Isnadnya bersambung ” . Al Albani Rahimahullah menshahihkan
ketiga hadits diatas.

( 4 ) HR Muslim dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (ُ‫ََ!ن‬F ‫ن‬  ‫ َأ‬K E ُِ# ٍ ََF ُْ(َ َ ْ‫ ) ُرؤ‬no 1087, An-
Nasa ’ I dalam Kitab Ash- Shiyam Bab (ُ‫&ف‬ َ ِ ْO‫ ا‬K
ِ ْ‫ق َأه‬ِ !َy‫ ا‬$ِ ِ+َ ْ‫ؤ‬a #‫ )ا‬no 2111, At-
Tirmidzi dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (!َ َU‫ ! َء‬K E ُِ# K
ِ ْ‫ََ ٍ َأه‬F ُْ(ُ َ ْ‫ ) ُرؤ‬no 693 dan Abu
Daud dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (‫ ِإذَا‬$
َ ِT‫ل ُر‬ُ& َ ِ(#‫ ا‬$ِ ٍ ََF K َ ْSَ y‫' ا‬ َ ْ ِ َO ٍ+ََِْF) no 2332.

( 5 ) Pada tanggal 8 Ramadhan 1428 H, saya berkunjung ke rumah mantan guru


besar fakultas As-Sunnah Universitas Islam Madinah, yang mulia Prof. Dr.
Syaikh Rabi ’ bin Hadi Al Madkhali -Hafizhahullah- di Makkah Al Mukarramah.
Beliau berkata kepada saya : “ Jika engkau ganti namamu -Muhammad Cahyo-
dengan Muhammad Yahya, maka itu lebih baik. Sebab Yahya adalah nama
Nabi ” . Dan hal ini disepakati oleh Syaikhuna Ahmad An-Najmi -Hafizhahullah-.
Sumber : http://groups.yahoo.com/group/Salafi-Indonesia/

Fatwa Ulama Islam tentang Penentuan Awal Romadhon & Ied


Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah
Sudah menjadi polemik berkepanjangan di negeri kita, adanya khilaf sepanjang
tahun tentang penentuan hilal (awal) bulan Romadhon. Karenanya, kita akan
menyaksikan keanehan ketika kaum muslimin terkotak, dan terpecah dalam
urusan ibadah mereka. Ada yang berpuasa –misalnya- tanggal 12 September
karena mengikuti negeri lain; ada yang puasa tanggal 13 karena mengikuti
pemerintah; ada yang berpuasa tanggal 14, karena mengikuti negeri yang lain
lagi, sehingga terkadang muncul beberapa versi. Semua ini timbul karena
jahilnya kaum muslimin tentang agamanya, dan kurangnya mereka bertanya
kepada ahli ilmu.

Nah, manakah versi yang benar, dan sikap yang lurus bagi seorang muslim
dalam menghadapi khilaf seperti ini? Menjawab masalah ini, tak ada salahnya –
dan memang seyogyanya- kita kembali kepada petunjuk ulama’ kita, karena
merekalah yang lebih paham agama.

Pada kesempatan ini, kami akan mengangkat fatwa para ulama’ Islam yang
tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’, yang
beranggotakan: Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Ketua), Abdur Razzaq Afifiy (Wakil
Ketua), Abdullah bin Ghudayyan (staf), Abdullah bin Mani’ (Staf), dan Abdullah
bin Qu’ud (Staf). Fatwa berikut ini kami nukilkan dari kitab yang berjudul "Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da’imah", (hal. 94-), kecuali fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy.

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 10973)


Soal , " Ada sekelompok orang yang multazim, dan berjenggot di negeri kami;
mereka menyelisihi kami dalam sebagian perkara, contohnya puasa Romadhon.
Mereka tak puasa, kecuali jika telah melihat hilal (bulan sabit kecil yang muncul
di awal bulan) dengan mata kepala. Pada sebagian waktu, kami puasa satu atau
dua hari sebelum mereka di bulan Romadhon. Mereka juga berbuka satu atau
dua hari setelah (masuknya) hari raya…"

Al-Lajnah Ad-Da’imah men jawab , "Wajib mereka berpuasa bersama kaum


manusia, dan sholat ied bersama kaum muslimin di negeri mereka berdasarkan
sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,

‫ُ ُْ ْا‬J ِ"ِ َ ْ‫ِ ُؤ‬# ‫ِ ُؤْ َ ِ"ِ َوَأِْ ُوْا‬# ْ‫ِ  َة َ َآْ
ُِ ا ََُْْ ُ  َِن‬,ْ#‫ا‬

"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena
melihatnya. Jika ada mendung pada kalian, maka sempurnakanlah jumlah
(Sya’ban 30 hari, pen)".Muttafaqun alaihi [HR. Al-Bukhoriy (1810), dan Muslim
(1081)]

Maksudnya disini adalah perintah puasa dan berbuka (berhari raya), jika nyata
adanya ru’yah (melihat hilal) dengan mata telanjang, atau dengan menggunakan
alat yang membantu ru’yah (melihat hilal) berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-,

‫ ْ ُم‬#‫ن َ ْ َم ا‬
َ ْ ُْ َُ. ُ ِْ6ْ#‫ن َ ْ َم وَا‬
َ ْ‫ِْ ُو‬6ُ. /َIْbَ ْ#‫ن َ ْ َم وَا‬
َ ْ aIَ8ُ.

"(Waktu)Puasa pada hari mereka berpuasa, dan berbuka (berhari raya) pada
hari mereka berbuka (berhari raya), dan berkurban pada hari mereka
berkurban".[HR. Abu Dawud (2324), At-Tirmidziy (697), dan Ibnu Majah (1660).
Lihat Ash-Shohihah (224)]

Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat
kepada Nabi klta -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya".
E

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 313)


Soal , "Kami mendengar dari siaran radio berita permulaan masuknya puasa di
Kerajaan Saudi Arabia, di waktu kami tidak melihat adanya hilal di Negeri Sahil
Al-Aaj, Guinea, Mali, dan Senegal; walaupun telah ada perhatian untuk melihat
hilal. Oleh sebab itu, terjadi perselisihan diantara kami. Maka diantara kami ada
yang berpuasa, karena bersandar kepada berita yang ia dengar dari siaran radio,
namun jumlah mereka sedikit.diantara kami; Ada yang menunggu sampai la
melihat hilal di negerinya, karena mengamalkan firman Allah-Subhanahu wa
Ta’la-,

ْ'َ
َ َ ِ(َ7 ُ ُْ5ِ َ ْ()#‫ََُْ
ْ"ُ ا‬

"Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu"; sabda Nabi–Shollallahu ‘alaihi
wasallam-

‫ُ ُْ ْا‬J ِ"ِ َ ْ‫ِ ُؤ‬# ‫ِ ُؤْ َ ِ"ِ َوَأِْ ُوْا‬#

"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena
melihatnya".

dan sabda Nabi–Shollallahu ‘alaihi wasallam-,

"Bagi setiap daerah ada ru’yahnya". sungguh telah terjadi perdebatan yang
sengit antara dua kelompok ini.maka berilah fatwa kepada kami tentang hal
tersebut.

Al-Lajnah Ad-Da’imah men jawab , "Tatkala orang-orang dahulu dari kalangan


para ahli fiqhi berselisih di dalam masalah ini; setiap orang diantara mereka
memiliki dalil, maka -jika telah nyata terlihatnya hilal, baik melalui radio, atau
yang lainnya di selain tempatmu-, wajib bagi kalian untuk mengembalikan
masalah puasa atau tidak kepada penguasa umum (tertinggi) di negara kalian.
jika ia (pemerintah) telah memutuskan berpuasa atau tidak, maka wajib atas
kalian untuk mentaatinya, karena sesungguhnya keputusan penguasa akan
menghilangkan adanya perselisihan didalam masalah seperti ini. Atas dasar ini,
pendapat untuk berpuasa atau tidak akan bersatu, karena mengikuti keputusan
kepala negara kalian; masalah akhirnya bisa terselesaikan.

Adapun kalimat yang berbunyi, "bagi setiap tempat memiliki ru’yah", ini bukanlah
hadits dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Itu hanyalah merupakan ucapan
kelompok yang menganggap berbedanya matla’ (waktu & tempat munculnya)
hilal dalam memulai puasa Ramadhan dan akhirnya.

Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat
kepada Nabi klta–Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya".
P

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 313)


Soal : Diantara perkara yang tak mungkin untuk melihat hilal dengan mata
telanjang sebelum umurnya mencapai 30 jam. Setelah itu, tidak mungkin
melihatnya, karena kondisi cuaca. Dengan memandang kondisi seperti ini,
apakah mungkin bagi penduduk Inggris untuk menggunakan ilmu falak bagi
negeri ini dalam menghitung waktu yang memungkinkan untuk melihat bulan
baru (hilal), dan waktu masuknya bulan Romadhon, ataukah wajib bagi kami
melihat bulan baru (hilal) sebelum kami memulai puasa Ramadhan yang penuh
berkah?

Jawab , "Boleh menggunakan alat-alat pengintai (teropong) untuk melihat hilal;


namun tidak boleh bersandar kepadailmu-ilmu falaq untuk menetapkan awal
bulan ramadhan yang suci dan idul fitri, karena sesungguhnya Allah -Subhanahu
wa Ta’la- tidak men-syari’at-kan bagi kita hal tersebut, baik dalam Kitab-Nya,
maupun sunnah Nabi-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Hanyalah disyariatkan
bagi kita untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan akhirnya dengan melihat
hilal bulan ramadhan pada awal puasa; Demikian pula melihat hilal Syawwal
untuk berbuka dan bersatu dalam melaksanakan sholat idul fitri. Allah–
Subhanahu wa Ta’la- telah menjadikan bulan sabit (hilal) itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. Maka tidak boleh bagi seorang
muslim untuk menenntukan waktu ibadah dengan cara apapun, selain dengan
melihat hilal dari ibadah-ibadah, seperti puasa Ramadhan, hari ‘ied, ibadah haji,
puasa untuk kaffarah (tebusan) membunuh, puasa kaffarah zhihar, dan lain
sebagainya.

Allah -Ta’ala-’ berfirman,

ْ'َ
َ َ ِ(َ7 ُ ُْ5ِ َ ْ()#‫ََُْ
ْ"ُ ا‬

"Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu". [(QS. Al-Baqoroh: 185)]

^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِ‫ْ َه‬#‫ْ ا‬Kُ $
َ ِ‫ ه‬G
ُ ِْ ‫س َ َا‬
ِ !5ِ# d
E َIْ#‫وَا‬

"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal) itu, maka katakanlah,
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia, dan haji".[(QS. Al-
Baqoroh: 189)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

‫ُ ُْ ْا‬J ِ"ِ َ ْ‫ِ ُؤ‬# ‫ِ ُؤْ َ ِ"ِ َوَأِْ ُوْا‬# ْ‫ِ  َة َ َآْ
ُِ ا ََُْْ ُ  َِن‬,ْ#‫ََ ا‬%'
َ ِْ%!

"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena
melihatnya. Jika ada mendung di atas kalian, maka sempurnakanlah jumlah
(Sya’ban) 30 hari”.

Berdasarkan hal itu, orang yang tak melihat hilal di tempatnya, baik ketika
kondisi cuaca cerah, atau pun cuaca mendung, maka wajib baginya untuk
menyempurnakan bilangan hari menjadi 30 hari, jika orang lain di tempat lain tak
melihat hilal. Apabila telah nyata bagi mereka terlihatnya hilal di luar negeri
mereka, maka harus bagi mereka mengikuti sesuatu yang telah diputuskan oleh
pimpinan umum (penguasa tertinggi) yang muslim di negeri mereka tentang
bolehnya puasa, dan berhari raya, karena keputusan penguasa dalam masalah
seperti ini, akan menghilangkan khilaf diantara para ahli fiqih dalam memandang
perbedaan tempat atau tidak". H

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 388)


Soal , "Bagaimana pandangan Islam tentang perbedaan hari raya kaum
muslimin: Iedul Fithri, dan Iedul Adhha. Di samping itu, telah diketahui bahwa hal
itu bisa mengantarkan kepada pelaksanaan puasa pada hari yang haram puasa
padanya, yaitu hari ied; mengantarkan kepada pelaksanaan buka puasa (hari
raya) pada hari yang masih wajib berpuasa di dalamnya? Kami mengharapkan
jawaban yang memuaskan dalam masalah penting ini agar menjadi hujjah di sisi
Allah".

Jawab , "Jika mereka berselisih dalam perkara yang ada diantara mereka, maka
mereka (harus) berpegang dengan keputusan penguasa di negara mereka, jika
penguasanya adalah muslim, karena keputusan penguasa ini akan
menghilangkan khilaf, dan mengharuskan ummat untuk mengamalkannnya. Jika
penguasa bukan muslim, maka mereka harus memegang keputusan Mejelis
Islamic Centre di negeri mereka, demi menjaga persatuan dalam puasa mereka
di bulan Romadhon, dan pelaksanaan sholat ied di negeri mereka".

Fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy -rahimahullah-


Syaikh Nashir Al-Albaniy-rahimahullah- berkata dalam Tamam Al-Minnah (hal.
398-399), "Sampai nanti negeri-negeri Islam bisa bersatu di atas hal itu (puasa &
hari raya, ed), maka sesungguhnya sekarang aku memandang wajib bagi rakyat
di setiap negara untuk berpuasa bersama negara (pemerintah)nya; tidak
berpuasa sendiri-sendiri. Akhirnya, sebagian rakyat berpuasa bersama negara
(pemerintah)nya, dan sebagian lagi puasa bersama negara lain"; negara
(pemerintah) lebih dahulu berpuasa ataukah terlambat, karena di dalam hal ini
terdapat sesuatu yang bisa memperluas perselisihan di sebuah rakyat
sebagaimana yang terjadi di sebagian negeri-negeri Arab sejak beberapa tahun
yang silam, Wallahul Musta’an". B

Inilah beberapa fatwa ulama kita yang menjelaskan bahwa seorang muslim
seharusnya berpuasa dan berhari raya ied bersama pemerintah demi
menyatukan langkah. Di lain sisi, ia merupakan jalan Ahlus Sunnah
sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam dalam Al-Aqidah Al-
Wasithiyyah. [AF & MI]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 30 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu


Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel.
Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust.
Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul
Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa.
Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu
Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary
(085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/?p=170#more-170

Shaum Ramadhan dan Hari Raya Bersama Penguasa, Syi'ar Kebersamaan


Umat Islam
Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
Taat kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip
agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini
banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah sebanyak-
banyaknya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk dari
ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu di antaranya adalah
munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat menentukan awal
Ramadhan atau Hari Raya.

Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-harinya
diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan Al-Qur`an, dan
sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak
ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan, dan kepergiannya meninggalkan
kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan
juga sebagai salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama
mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar,
dahaga dan dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya
matahari, serta mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai
macam ibadah lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang
merasakannya. Bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut
merasakan dan memilikinya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala elemen-
elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan keputusan
yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan
itu terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula
atas nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar.
Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (kerap
kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam
sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang
mengidamkan persatuan umat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu karena adanya
perbedaan pendapat di antara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan
keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat hilal)
ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya
perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ (tempat
keluarnya hilal) ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-
sendiri?”
Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu, lepas adanya
realita perbedaan pendapat di atas, utamanya disebabkan makin tenggelamnya
salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu
adalah memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat Islam dalam hal
yang ma’ruf (kebaikan).
Mungkin timbul tanda tanya: “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap
penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”
Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu
kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap
penguasa.
2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf
(kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Sehingga menaati penguasa dalam hal ini
termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika
penentuannya setelah melalui sekian proses, dari pengerahan tim ru‘yatul hilal di
sejumlah titik di negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.
3. Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal
pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar
tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya, ketika umat
Islam berseberangan dengan penguasanya, perpecahan di tubuh mereka pun
sangat mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk
perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ْ'َ $ِ5َ!َZ‫ع َ?َْ َأ‬


َ !َZ‫ َأ‬،َR‫ َوَ'ْ ا‬$ِ=!ََ َْ?َ ،َR!‫ع َوَ'ْ ََى‬
َ !َZ‫ َ?َْ َأِِْي َأ‬،$ِ5َ!َZ‫ َوَ'ْ َأ‬/ََ ‫َ?َْ َأِِْي‬
$ِ=!ََ

“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku


berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti
telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah
menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat
keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara
yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan
dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat
kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Mungkin ada yang bertanya, “Adakah untaian fatwa dari para ulama seputar
permasalahan ini?” Maka jawabnya ada, sebagaimana berikut ini:

Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Penguasa


θ Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum
bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah
ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala
bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz
25, hal. 117)
Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagianθ ahlul ilmi menafsirkan hadits ini1
dengan ucapan (mereka): ‘Sesungguhnya shaum dan berbukanya itu
(dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul
Ahwadzi juz 2, hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
θ Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah
bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum
Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha, -pen.) keputusannya
bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya
sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada
penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib
untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada
seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun penguasa menolak
persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan
wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.”
(Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
θ Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani2 berkata: “Dan
selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu mathla’
(dalam menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, -pen.), aku berpendapat
bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan
bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai
dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan sebagian lainnya
shaum bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya atau pun
belakangan. Karena yang demikian itu dapat mempertajam perselisihan di
tengah masyarakat muslim sendiri. Sebagaimana yang terjadi di sebagian
negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. Wallahul Musta’an.” (Tamamul
Minnah hal. 398)
Beliauθ juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran,
yang di antara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan
barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang
memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski
menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan
seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa
sebagian shahabat radhiallahu 'anhum shalat bermakmum di belakang shahabat
lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh
wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk
pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?!
Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna (4 rakaat) dalam safar dan
di antara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 rakaat). Namun perbedaan
itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang
seorang imam (walaupun berbeda pendapat dengannya, -pen.) dan tetap
berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya pengetahuan
mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar
berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa
daripada pendapat pribadinya pada momen berkumpulnya manusia seperti di
Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya
perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman
bin ‘Affan radhiallahu 'anhu shalat di Mina 4 rakaat (Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’ -
pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu mengingkarinya
seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari haji, -pen.) bersama Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman
2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan
di antara kalian (sebagian shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat, -pen.), dan
harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat.
Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas
shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!”
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih.
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari
shahabat Abu Dzar radhiallahu 'anhu.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan
renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.) berpecah-belah dalam urusan
shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid,
khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih beda madzhab.
Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik
mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih
mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan mayoritas kaum
muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami
sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan
kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu
dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena
tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala bersama Al-Jama’ah.” (Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah jilid 2, hal. 444-445)
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Bazθ rahimahullahu pernah ditanya: “Jika
awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam
semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan,
bagaimanakah hukumnya? Apakah kami bershaum bersama kerajaan Saudi
Arabia ataukah bershaum dan berbuka bersama penduduk negeri kami,
manakala ada pengumuman? Demikian pula halnya dengan masuknya Iedul
Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri kami
dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas
engkau dengan kebaikan.”
Beliau menjawab: “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama
(pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam:

‫ ْ ُم‬#‫ َ ْ َم ا‬،َ‫َُ ُْ ْن‬. ُ ِْ6ْ#‫ َ ْ َم وَا‬،َ‫ِْ ُوْن‬6ُ. /َIْbc


َ ْ‫ن َ ْ َم َوا‬
َ ْ aIَ8ُ.

“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah
pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian
berkurban.”
Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
θ Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Umat
Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai macam
permasalahan seperti (penentuan) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta
saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun.
Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap tahunnya. Penyebab
utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang
fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu syariat Islam
dan bimbingan para ulama yang kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Maka,
adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah
(terjadinya) sekian kejelekan? Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan
taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”
Beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam
beragama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

‫ع‬
َ َ َ7 َُْ# ' َ ِ '
ِ ْ E #‫ َ! ا‬/J‫ِ"ِ َو‬F !ً0ْ ُ= ‫ِي‬:#‫َ! وَا‬5َْ0ْ‫^ َأو‬
َ َْ#‫َ! َوَ! ِإ‬5ْJ‫ِ"ِ َو‬F َ ِْ‫َْاه‬F‫ ِإ‬/َQْ ُ‫ َو‬/َ-ِْ‫' َأ ِْ
ُ ا َأنْ َو‬
َ ْ E #‫ ا‬h
َ ‫َو‬
‫َ  ُ ا‬6َ َ. ِ"ِْ

“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu,
Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah agama dan janganlah kalian
berpecah-belah tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)

‫ وَاْ َِ
ُ ا‬K
ِ ْSَIِF R
ِ ‫ً! ا‬,ِْ
َU h
َ ‫َ  ُ ا َو‬6َ.

“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan


janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)

h
َ ‫َُ ْ=ُ ا َو‬. '
َ ْ :ِ #!َ‫َ  ُ ا آ‬6َ. ‫ُ ا‬6ََ ْO‫ْ ِ ِ'ْ وَا‬,َF !َ ُ ُ‫َ! َءه‬U ‫ت‬
ُ !َ5ِّ َSْ#‫^ َوُأ ا‬
َ ِkَ#ْ‫َ(ُْ و‬# ٌ‫َاب‬:َ ٌِْpَ

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih


setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih.”
(Ali ‘Imran: 105)
Sehingga umat Islam wajib untuk menjadi umat yang satu dan tidak berpecah-
belah dalam beragama. Hendaknya waktu shaum dan berbuka mereka satu,
dengan mengikuti keputusan lembaga/departemen yang menangani urusan
umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus lebih
tertinggal dari shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa
Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-Buhutsθ Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta`: “…Dan tidak
mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit) di
tempat tinggalnya pada malam ke-30, untuk mengambil hasil ru`yatul hilal dari
tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat
dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah keputusan penguasa di
negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena (dengan mengikuti) keputusannya
akan sirnalah perbedaan pendapat itu. Dan jika si penguasa bukan seorang
muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan majelis/departemen pusat yang
membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk
menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan shaum Ramadhan dan
shalat Id di negeri mereka. Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina
Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.”
Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin
Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal.
117)
Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar
kewajiban bershaum bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di negerinya.
Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang
mendambakan persatuan umat Islam.
Mungkin masih ada yang mengatakan bahwasanya kewajiban menaati
penguasa dalam perkara semacam ini hanya berlaku untuk seorang penguasa
yang adil. Adapun bila penguasanya dzalim atau seorang koruptor, tidak wajib
taat kepadanya walaupun dalam perkara-perkara kebaikan dan bukan
kemaksiatan, termasuk dalam hal penentuan masuk dan keluarnya bulan
Ramadhan ini.
Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, jika umat dihadapkan pada
polemik atau perbedaan pendapat, prinsip ‘berpegang teguh dan merujuk
kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam’ haruslah
senantiasa dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah Subhanahu wa Ta'ala
dalam kalam-Nya nan suci:

‫ وَاْ َِ
ُ ا‬K
ِ ْSَIِF R
ِ ‫ً! ا‬,ِْ
َU h
َ ‫َ  ُ ا َو‬6َ.

“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan


janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan kepada
kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya,
serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Sebagaimana Dia
(juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-
Sunnah baik secara keyakinan atau pun amalan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)
Para pembaca yang mulia, bila anda telah siap untuk merujuk kepada Al-Qur`an
dan As-Sunnah maka simaklah bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah berikut
ini:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

!َ !َ( ‫ ْ َأ‬:ِ #‫ُ ا 'َا‬5َ‫ُ ا ءَا‬,ِْZ‫ َأ‬R


َ ‫ُ ا ا‬,ِْZ‫ل َوَأ‬
َ ْ ُQ #‫ ا‬$ِ#ْ‫ْ ِ َوُأو‬c
َ ْ‫ُْْ ا‬5ِ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di
antara kalian.” (An-Nisa`: 59)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-
orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para
penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan
sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.”(Syarh Shahih
Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau seringkali
mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Di antaranya dalam hadits-
hadits beliau berikut ini:
1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu 'anhu berkata:

!َ ‫ل‬
َ ْ ُQ‫ َر‬R
ِ ‫ !ا‬h
َ ^
َ ُ#َْ-َ= ْ'َ ِ+َ!َZ '
ِ َ ،/َ?.‫َِ'ْ ا‬#‫ َ'ْ َو‬K
َ َ,َ K
َ َ,َ‫ َو‬- َ َ‫آ‬:َ َ  )#‫ا‬- ‫ل‬
َ !َ?َ: ‫?ُ ا‬.‫ ا‬R
َ ‫ُ ا ا‬,َ
ْQ‫ُ ا وَا‬,ِْZ‫َوَأ‬

“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap


penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap
penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-
kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah,
dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab
As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah
Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
2. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ن‬
ُ ْ َُ ْ‫ْ ِي‬,َF ،ٌ+
ِT‫ن َأ‬
َ ْ‫ َ(ْ َ ُو‬h
َ ،َ‫ِ(َُاي‬F hَ ‫ن َو‬
َ ْ a5َ ْ-َ ِ 5ُ-ِF،ْ$ ‫ََ?ُ ْ ُم‬Q‫ ِْ(ِْ َو‬،ٌ‫َ!ل‬U‫ُ(ُْ ِر‬Fْ ُُ ‫ب‬ ُ ْ ُُ 'ِ ِْZ!َ)#‫ْ ا‬$ِ ‫ن‬ِ !َ
ْNُU mٍ ْ=‫ِإ‬.
‫ل‬
َ !َ (ُ+َ6ْ :َ ُ0): Gُ ُْ : H َ َْ‫ آ‬Pُ َ5ْJ‫ل َ! َأ‬َ ْ ُQ‫ َر‬Rِ ‫ ِإنْ ا‬G ُ ْ‫ِ^َ؟ َأدْ َرآ‬#‫ل َذ‬ َ !َ : Pُ َ
ْ-َ. Pُ ُِْ.‫ َو‬،ِِْ‚
َ ِ# ْ‫ب َوِإن‬
َ ِ ُb ‫ك‬ َ ُ ْ(َƒ :َ ِO‫َوُأ‬
َ،َ^ُ#! ْPَ
ْQ!َ ْPِZ‫! َوَأ‬

“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak
berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di
antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan
manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau
mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk
dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah
(dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
3. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫َِا ُر‬7 ُ ُِ 


ِT‫' َأ‬َ ْ :ِ #‫ُ ْ=َ(ُْ ا‬8ِWْSُ. َُْ=ْ ُ8ِWْSُ ‫ُ ْ=َ(ُْ َو‬5َ,َْ.‫ُ َو‬5َ,َْ ‫ ْ=َُْ َو‬. K
َ ِْ : !َ ‫ل‬
َ ْ ُQ‫ َر‬R
ُ ‫& !ا‬ َ َ‫هُْ َأ‬:ُ ِF!َ5ُ= ‫ِ؟‬Hْ-#!ِF ‫ل‬
َ !َ?َ: ،َh !َ
‫ ُِْ ُ َأ َ!ُ ا‬،َ‫&ة‬
َ #‫ُِْ ِ'ْ َرَأ ْ ُْ َوِإذَا ا‬.h َ ‫ً! ُو‬kَْ7 ُ"َ=ْ ُ‫َْ َه‬. ‫ َ
ََ"ُ َ!آْ َهُ ا‬h َ ‫ْ ِ<ُ ا َو‬5َ. ‫ٍ ِ'ْ ًَا‬+َ!َZ

“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun
membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu
dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi
mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama
mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat
mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah
perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR.
Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah,
pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan
bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana
berikut:
Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhuθ berkata: “Urusan kaum muslimin
tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.”
Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami
bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi Thalib
berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu
wa Ta'ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan
pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13,
hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam
bin Barjas hal. 57)
Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata: “Adapunθ kewajiban menaati mereka
(penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak
menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang
jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap
kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan)
pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368)
Al-Imam Al-Barbahariθ berkata: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah
menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wa
Ta'ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada
dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan
bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Yakni
kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan
juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang
dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari
Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)
Al-Imam Ibnu Baththahθ Al-Ukbari berkata: “Telah sepakat para ulama ahli fiqh,
ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad
(orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini:
bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad,
haji, serta penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik
ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah
hal. 16)
Al-Imam Al-Bukhariθ berkata: “Aku telah bertemu dengan 1.000 orang lebih dari
ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam
dan Mesir….” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat adanya perbedaan di
antara mereka tentang perkara berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian
perkara, di antaranya kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.”
(Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)
θ Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat Al-
Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas, -pen.) terdapat
keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara
yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan
dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat
kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil suatu
kesimpulan bahwasanya:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus
dipelihara.
2. Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di masing-
masing negeri bercerai-berai dalam mengawali dan mengakhiri shaum
Ramadhannya.
3. Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini keputusannya berada di
tangan penguasa umat Islam di masing-masing negeri, bukan di tangan individu.
4. Shaum Ramadhan bersama penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan
salah satu prinsip agama Islam yang dapat memperkokoh persatuan mereka,
baik si penguasa tersebut seorang yang adil ataupun jahat. Karena
kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap
penguasa. Terlebih manakala ketentuannya itu melalui proses ru‘yatul hilal di
sejumlah titik negerinya dan sidang-sidang istimewa.
5. Realita membuktikan, bahwa dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya
bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam) benar-benar tercipta suasana
persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan
dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh umat pun demikian
mencolok. Yang demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban bershaum
Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam).
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:


‫ ْ ُم‬#‫ن َ ْ َم ا‬
َ ْ ُْ َُ., ُ ِْ6ْ#‫ن َ ْ َم وَا‬
َ ْ‫ِْ ُو‬6ُ., /َIْbc
َ ْ‫ن َ ْ َم َوا‬
َ ْ aIَ8ُ.
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada
saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
2 Beliau merupakan salah satu ulama yang berpendapat bahwasanya
pelaksanaan shaum Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini hanya dengan satu
mathla’ saja, sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul Minnah hal.
398. Walaupun demikian, beliau sangat getol mengajak umat Islam (saat ini)
untuk melakukan shaum Ramadhan dan Iedul Fithri bersama penguasanya,
sebagaimana perkataan beliau di atas.

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=370

Hukum Ringkas Puasa Ramadhan


Penulis: Al-Ustadz Abu Abdirrahman Al-Bugisi
Menyambut Ramadhan, banyak acara digelar kaum muslimin. Di antara acara
tersebut ada yang telah menjadi tradisi yang “wajib” dilakukan meski syariat tidak
pernah memerintahkan untuk membuat berbagai acara tertentu menyambut
datangnya bulan mulia tersebut.

Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari kewajiban puasa yang ditetapkan
syariat yang ditujukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
subhanallahu wata’ala. Hukum puasa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu puasa
wajib dan puasa sunnah. Adapun puasa wajib terbagi menjadi 3: puasa
Ramadhan, puasa kaffarah (puasa tebusan), dan puasa nadzar.

Keutamaan Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur’an. Allah subhanallahu


wata’ala berfirman:

ُ ْ(َ7 ‫ن‬
َ !َ8َ‫ِي َر‬:#‫ل ا‬
َ <ِ ْ=‫ن ِْ"ِ ُأ‬
ُ >ُْ?ْ#‫س هًُى ا‬
ِ !5ِ# ‫ت‬
ٍ !َ5EَF‫' َو‬
َ ِ ‫ْ(َُى‬#‫ن ا‬
ِ !َ ُْ6ْ#‫وَا‬

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al


Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185)

Pada bulan ini para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga
dibuka.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

‫َ! َء ِإذَا‬U ‫ن‬


ُ !َ8َ‫ْ َر‬GَIِ ُ ‫ب‬
ُ ‫ْ َا‬F‫ِ َأ‬+5َLْ#‫ْ ا‬Gَ?ُِ‫ب َو‬
ُ ‫ْ َا‬F‫ن َأ‬
ِ ‫َْا‬E5#‫ت ا‬
ِ َ ِ6ُJ‫' َو‬
ُ ِْZ!َ)#‫ا‬

“Bila datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu


neraka dan dibelenggulah para setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Pada bulan Ramadhan pula terdapat malam Lailatul Qadar. Allah subhanallahu
wata’ala berfirman:

!=‫َ! ُ ِإ‬5ْ#<َ ْ=‫ َأ‬$ِ ِ+ََْ# ‫ْ?َْ ِر‬#‫ا‬. !َ‫ك َو‬


َ ‫ُ َ! َأدْرَا‬+ََْ# ‫ْ?َْ ِر‬#‫ا‬. ُ+ََْ# ‫ْ?َْ ِر‬#‫ٌَْ ا‬O ْ'ِ H
ِ ْ#‫َ(ْ ٍ َأ‬7. ‫ل‬
ُ < َ5َ. ُ+َِT&
َ َ
ْ#‫ح ا‬
ُ ْ‫و‬a #‫ن ِْ(َ! وَا‬
ِ ْ‫ِ ِذ‬F
ِْ(EF‫ ِ'ْ َر‬K E ُ‫َأْ ٍ آ‬. ٌ‫&م‬ َ َQ $ َ ِ‫ ه‬/ َ0 Pِ ََْ ِ ْLَ6ْ#‫ا‬

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an pada malam kemuliaan.


Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik
dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril
dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh
kesejahteraan hingga terbit fajar.” (Al-Qadar: 1-5)

Penghapus Dosa
Ramadhan adalah bulan untuk menghapus dosa. Hal ini berdasar hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:

‫ت‬
ُ ‫َ َا‬#‫ ا‬m
ُ ْ
َ]ْ#‫ُ ا‬+َ,ْ
ُLْ#‫ وَا‬/َ#‫ِ ِإ‬+َ,ْ
ُLْ#‫ن ا‬
ُ !َ8َ‫ َو َر‬/َ#‫ن ِإ‬
َ !َ8َ‫َاتٌ َر‬E6َُ !َ
َ# '
 ُ(َ5َْF ‫ ِإذَا‬G
ِ َSِ5ُ ْU‫ِ ُ ا‬T!َSَْ#‫ا‬

“Shalat lima waktu, dari Jum’at (yang satu) menuju Jum’at berikutnya, (dari)
Ramadhan hingga Ramadhan (berikutnya) adalah penghapus dosa di antaranya,
apabila ditinggalkan dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)

ْ'َ ‫َ! َم‬J ‫ن‬


َ !َ8َ‫ً! ِإ ْ
َ!=ً! َر‬F!َ-ِ ْ0‫ِ َ وَا‬6ُ ُ"َ# !َ ‫َ?َ  َم‬. ْ'ِ ِ"ِSْ=‫َذ‬

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap


ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Rukun Berpuasa

a. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam:


=‫ل ِإ‬
ُ !َ
ْc
َ ْ‫ت ا‬
ِ !E5#!ِF

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits


‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu)

Juga hadits Hafshah radhiyallahu ‘anha, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi


wasallam:

ْ'َ َْ# Pِ َ
ْLَ ‫َ! َم‬E#‫ ا‬K
َ ْSَ ِ ْLَ6ْ#‫& ا‬
َ َ ‫َِ! َم‬J ُ"َ#

“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa
baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib


(goncang) walaupun sebagian ulama menghasankannya.

Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah,
‘Aisyah, dan tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan para shahabat.

Persyaratan berniat puasa sebelum fajar dikhususkan pada puasa yang


hukumnya wajib, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah datang
kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pada selain bulan Ramadhan lalu bertanya:
“Apakah kalian mempunyai makan siang? Jika tidak maka saya berpuasa.” (HR.
Muslim)
Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan Abud-Darda, Abu Thalhah, Abu
Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Hudzaifah ibnul Yaman. Ini adalah pendapat jumhur.

Para ulama juga berpendapat bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada
setiap hari puasa karena malam Ramadhan memutuskan amalan puasa
sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan niat yang baru. Wallahu
a’lam.

Berniat ini boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya
maupun akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama1.

b. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit
fajar hingga terbenamnya matahari.

Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim hadits dari
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:

‫ ِإذَا‬K
َ َSْ ‫ َأ‬K
ُ ْ#‫َ! ِ'ْ ا‬5ُ(َ‫ك ه‬
َ ‫(َ! ُر َوَأدْ َر‬5#‫َ! ِ'ْ ا‬5ُ(َ‫ ه‬G
ِ َFَ َ‫ َو‬m
ُ ْ
)#‫ِ ُ َأَْ َ َ?َْ ا‬T!#‫ا‬

“Jika muncul malam dari arah sini (barat) dan hilangnya siang dari arah sini
(timur) dan matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang
berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Puasa dimulai dengan munculnya fajar. Namun kita harus hati-hati karena
terdapat dua jenis fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai
dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini
muncul masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat
Shubuh karena belum masuk waktu.

Fajar yang kedua adalah fajar shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang
menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah.
Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum
dan yang semisalnya serta diperbolehkan shalat Shubuh.

Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ُ ْLَ6ْ#‫ن ا‬
ِ ‫َْا‬Lَ !ََ ‫ل‬
ُ ‫ و‬c
َ ْ‫ َِ="ُ ا‬h
َ ‫ْ ِ ُم‬Iُ ‫َ! َم‬,#‫ ا‬h
َ ‫ َو‬K
a ِIُ ‫& َة‬
َ #‫ َوَأ! ا‬$ِ=!N#‫ْ ِ ُم َِ="ُ ا‬Iُ ‫َ! َم‬,#‫ ا‬K
a ِIُ ‫& َة َو‬
َ #‫ا‬

“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan
shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan
(pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-
Hakim, 1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377)
Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anha dan bukan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam). Di
antara mereka adalah Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu
Dawud dalam Marasil-nya (1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya
(3/58). Juga diriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementara
diriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.

Wallahu a’lam.

1 Cukup dengan hati dan tidak dilafadzkan dan makan sahurnya seseorang
sudah menunjukkan dia punya niat berpuasa, red

———————————————–

Siapa yang Diwajibkan Berpuasa?

Orang yang wajib menjalankan puasa Ramadhan memiliki syarat-syarat tertentu.


Telah sepakat para ulama bahwa puasa diwajibkan atas seorang muslim yang
berakal, baligh, sehat, mukim, dan bila ia seorang wanita maka harus bersih dari
haidh dan nifas.

Sementara itu tidak ada kewajiban puasa terhadap orang kafir, orang gila, anak
kecil, orang sakit, musafir, wanita haidh dan nifas, orang tua yang lemah serta
wanita hamil dan wanita menyusui.

Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena puasa adalah ibadah di dalam Islam
maka tidak diterima amalan seseorang kecuali bila dia menjadi seorang muslim
dan ini disepakati oleh para ulama.

Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak terkena beban beramal.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Pَ ِ‫ْ?ََ ُ ُر‬#‫ٍ َ'ْ ا‬+َ%&


َ َ%: '
ِ َ ‫ن‬
ِ ْ ُ5ْLَ
ْ#‫ ا‬/ َ0 \
َ ِْ6َ '
ِ َ‫ِ ِ َو‬T!5#‫ ا‬/ َ0 َ{َ?َْ ْ-َ '
ِ َ‫ َو‬$ِS#‫ ا‬/ َ0 َ َِ ْIَ

“Diangkat pena (tidak dicatat) dari 3 golongan: orang gila sampai dia sadarkan
diri, orang yang tidur hingga dia bangun dan anak kecil hingga dia baligh.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Meski anak kecil tidak memiliki kewajiban berpuasa sebagaimana dijelaskan


hadits di atas, namun sepantasnya bagi orang tua atau wali yang mengasuh
seorang anak agar menganjurkan puasa kepadanya supaya terbiasa sejak kecil
sesuai kesanggupannya.

Sebuah hadits diriwayatkan Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha:


“Utusan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengumumkan di pagi hari
‘Asyura agar siapa di antara kalian yang berpuasa maka hendaklah dia
menyempurnakannya dan siapa yang telah makan maka jangan lagi dia makan
pada sisa harinya. Dan kami berpuasa setelah itu dan kami mempuasakan
kepada anak-anak kecil kami. Dan kami ke masjid lalu kami buatkan mereka
mainan dari wol, maka jika salah seorang mereka menangis karena (ingin)
makan, kamipun memberikan (mainan tersebut) padanya hingga mendekati buka
puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sementara itu, bagi orang-orang lanjut usia yang sudah lemah (jompo), orang
sakit yang tidak diharapkan sembuh, dan orang yang memiliki pekerjaan berat
yang menyebabkan tidak mampu berpuasa dan tidak mendapatkan cara lain
untuk memperoleh rizki kecuali apa yang dia lakukan dari amalan tersebut, maka
bagi mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib membayar
fidyah yaitu memberi makan setiap hari satu orang miskin.

Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anha:

“Diberikan keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasa dan
memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadha
atasnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim dan dishahihkan oleh keduanya)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tatkala sudah tidak sanggup berpuasa maka
beliau memanggil 30 orang miskin lalu (memberikan pada mereka makan)
sampai mereka kenyang. (HR. Ad-Daruquthni 2/207 dan Abu Ya’la dalam
Musnad-nya 7/204 dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal.
60)

Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib atas
mereka menggantinya di hari yang lain adalah musafir, dan orang yang sakit
yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia berpuasa menyebabkan
kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya.

Allah subhanallahu wata’ala berfirman:

ْ'َ
َ ‫ن‬
َ !َ‫ُْْ آ‬5ِ !ً8ْ ِ َ ْ‫ َأو‬/ََ ٍ َ6َQ ٌ‫ِ ة‬,َ ْ'ِ ‫َ َ َأ ! ٍم‬O‫ُأ‬

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia
berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada
hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)

Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap janinnya
atau anaknya bila dia berpuasa, wajib baginya meng-qadha puasanya dan bukan
membayar fidyah menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat para ulama.

Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiyallahu ‘anhu, bersabda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

‫ن‬
 ‫ ِإ‬R
َ ‫ َ < ا‬K
 َU‫ َو‬Pَ َb‫' َو‬
ِ َ َ-ُ
ْ#‫ !ِِا‬H
َ ِْ= ‫& ِة‬
َ #‫ ْ َم ا‬#‫' وَا‬
ِ َ‫ َو‬/َْSُIْ#‫ ا‬Pِ ِbُْ
ْ#‫وَا‬

“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi orang
musafir dan (demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.” (HR. An-
Nasai, 4/180-181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, Al-Baihaqi, 3/154, dan dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Yang tidak wajib berpuasa namun wajib meng-qadha (menggantinya) di hari lain
adalah wanita haidh dan nifas.

Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya untuk
berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa, maka dia telah
melakukan amalan yang bathil dan wajib meng-qadha.

Di antara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:

‫ن‬
َ !َ‫َ! آ‬5ُSُِْ ^
َ ِ#‫َُْ ُ َذ‬5َ ‫َ! ِء‬8َ?ِF ‫َ! ِم‬E#‫ ا‬h
َ ‫َ! ِء =َُْ ُ َو‬8َ?ِF ‫& ِة‬
َ #‫ا‬

“Adalah kami mengalami haidh lalu kamipun diperintahkan untuk meng-qadha


puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Wallohu a’lam

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=295

Adab-Adab Berpuasa
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdirrahman Al-Bugisi
A. Makan Sahur

Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini
berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

K
ُ َْ !َ '
َ َْF !َ5ِ!َِJ ‫َِ! ِم‬J‫ َو‬K
ِ ْ‫ب َأه‬
ِ !َ ِْ#‫ُ ا‬+َْ‫ُ ْ ِر َأآ‬I-#‫ا‬

“Perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan
sahur.” (HR. Muslim)

Dari Salman radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam


bersabda:

ُ+َ‫َ َآ‬Sْ#‫ْ ا‬$ِ ٍ+َ%&


َ َ%: ِ+َ!َ
َLْ#‫ ِ ْ ِ ا‬N#‫ُ ْ ِر وَا‬I-#‫وَا‬

“Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam
dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. Ath-Thabrani, 6/251, dengan sanad
yang hasan dengan penguatnya, lihat Shifat Shaum An-Nabi oleh Ali Al-
Halabi, hal. 44)

Disukai untuk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadits Anas dari


Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam


kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya: “Berapa
jarak antara adzan1 dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadarnya (seperti
orang membaca) 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)

Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan


istilah imsak, yaitu menahan (tidak makan) beberapa saat sebelum adzan
Shubuh adalah perbuatan bid’ah karena dalam ajaran nabi shallallahu
alaihi wasallam tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar
dikumandangkan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

‫ن ِإذَا‬
َ ‫&لٌ َأ ذ‬
َ ِF ‫ُ ا َُُ ا‬Fَ ْ7‫ وَا‬/ َ0 ‫ن‬
َ ‫ذ‬E „َ ُ '
ُ ْF‫م ا‬E ‫َْ ُ ْ ٍِم ُأ‬

“Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama), maka (tetap) makan


dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.”
(Muttafaqun ‘alaih)

Bahkan bagi orang yang ketika adzan dikumandangkan masih memegang


gelas dan semisalnya untuk minum, diberikan rukhshah (keringanan)
khusus baginya sehingga dia boleh meminumnya.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:

‫ ِإ َذ‬Pَ ِ
َQ ُ ُ‫َ ُآ‬0‫َا ُء َأ‬E5#‫=َ! ُء ا‬g
ِ ْ‫ َوا‬/ََ ِ ِ َ &
َ َ ُ"ْ,َ8َ / َ0 $
َ ِ8ْ?َ ُ"َ َU!َ0 ُ"ْ5ِ

“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan


bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya
hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut).” (HR. Ahmad
dan Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
rahimahullah dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, 2/418-419)

Hukum makan sahur adalah sunnah muakkadah. Berkata Ibnul Mundzir:


“Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukumnya sunnah dan
tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya berdasarkan hadits Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:

ُ Iَ-َ.‫ن وا‬
 ِ َ $ِ ‫ُ ْ ِر‬I-#‫ً ا‬+َ‫َ َآ‬F

“Makan sahurlah, karena sesungguhnya pada makan sahur itu ada


barakahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma jika ada, dan boleh dengan
yang lain berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

َ ْ,ِ= ‫ُ ْ ِر‬I-#‫' ا‬
ِ ِْ„ُ
ْ#‫ 
ْ ُ ا‬#‫ا‬

“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah buah kurma.” (HR. Abu


Dawud, 2/2345, dan Ibnu Hibban, 8/3475, Al-Baihaqi, 4/236, dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum, maka boleh dia
makan dan minum sampai dia yakin bahwa fajar telah terbit.

Firman Allah subhanallahu wata’ala:

‫ُ ا َوآُُ ا‬Fَ ْ7‫ وَا‬/ َ0 '


َ َSَ َ ُ َُ# ْ#‫† ]َْ…ُا‬
ُ َْFc
َ ْ‫' ا‬
َ ِ ِ…َْ]ْ#‫ْ َ ِد ا‬Qc
َ ْ‫' ا‬
َ ِ ِ ْLَ6ْ#‫ا‬

“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar ….” (Al-Baqarah: 187)

Berkata As-Sa’di rahimahullah: “Padanya terdapat (dalil) bahwa jika


(seseorang) makan dan semisalnya dalam keadaan ragu akan terbitnya
fajar maka (yang demikian) tidak mengapa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman
hal. 87)

B. Berbuka Puasa

Orang yang berpuasa dianjurkan untuk mempercepat berbuka jika


memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia
merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun Al-Audi
meriwayatkan:

‫ن‬
َ !َ‫ب آ‬
ُ !َIْJ‫َ
 ٍ َأ‬Iُ /َJ R
ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ َو‬K
َ َLْ‫س َأ‬
ِ !5#‫ََْهُْ ِإًْ!رًا ا‬F‫ُ ْرًا َوَأ‬IُQ

“Para shahabat Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah orang


yang paling cepat berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. Al-
Baihaqi, 4/238, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menshahihkan
sanadnya)

Berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah:

“Cepat-cepat berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari,


bukan karena adzan. Namun di waktu sekarang (banyak) manusia
menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah
terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum
mengumandangkan adzan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’)

Buka puasa dilakukan dalam keadaan ia mengetahui dengan yakin bahwa


matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan
dan semisalnya. Adapun hanya sekedar menduga dengan kegelapan dan
semisalnya, maka bukan dalil atas terbenamnya matahari. Wallahu a’lam.

Mempercepat buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah


shallallahu alaihi wasallam. Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

h
َ ‫ل‬
ُ ‫َ<َا‬. ْ$ِ ‫ ُأ‬/ََ ْ$ِ 5ُQ !َ َ#ْ ِْpَ ْ5َ. !َ‫ِْ ِه‬6ِF ‫ُ ْ َم‬La5#‫ا‬

“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak


menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. Al-Hakim,
1/599, Ibnu Hibban, 8/3510, dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat
Shaum An-Nabi hal. 63)

Mempercepat berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi


pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

h
َ ‫ل‬
ُ ‫س َ<َا‬
ُ !5#‫ِ]َْ ٍ ا‬F !َ ‫ُ ا‬Lَ َ ْE6#‫ا‬
“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka
mempercepat buka puasa.” (HR. Al-Bukhari, 2/1856, dan Muslim, 2/1098)

Mempercepat berbuka puasa adalah perbuatan menyelisihi Yahudi dan


Nashara. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda:

h
َ ‫ل‬
ُ ‫َا َ<َا‬:َ‫' ه‬
ُ ْ E #‫ َ! ƒَ!هًِا ا‬K
َ Lَ ‫س‬
ُ !5#‫ِْ َ ا‬6ْ#‫ن ا‬
cَ ‫َْ(ُ ْ َد‬#‫َ!رَى ا‬5#‫ن وَا‬
َ ْ‫ ُو‬EO„َ ُ

“Senantiasa agama ini nampak jelas selama manusia mempercepat buka


puasa karena Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud,
2/2353, Ibnu Majah, 1/1698, An-Nasai dalam Al-Kubra, 2/253, dan Ibnu
Hibban, 8/3503, dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Selain itu, mempercepat buka puasa termasuk akhlak kenabian.


Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

ٌ‫&ث‬
َ َ% ْ'ِ ‫ق‬
ِ&َ ْO‫ُ  ِة َأ‬Sa5#‫ا‬: K
ُ ِْLْ,َ. ‫َْ! ِر‬g
ِ ْ‫ِْ ُ ا‬Oْ #‫ُ ْ ِر وَا‬Ia-#‫ ا‬Pُ ْb‫' َو َو‬
ِ ِْ
َْ#‫ ا‬/ََ ‫ل‬
ِ !َ
E)#‫ ا‬$ِ ‫& ِة‬
َ #‫ا‬

“Tiga hal dari akhlak kenabian: mempercepat berbuka, mengakhirkan


sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.”
(HR. Ad-Daruquthni, 1/284, dan Al-Baihaqi, 2/29)

Orang harus berbuka puasa lebih dahulu sebelum shalat Maghrib,


berdasarkan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam berbuka puasa sebelum shalat (Maghrib) dan makanan
yang paling dianjurkan untuk berbuka puasa adalah kurma. Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

‫ن‬
َ !َ‫ آ‬$
a ِS5#‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ِْ ُ َو‬6ُ K
َ ْSَ ْ‫ َأن‬$
َ Eَُ /ََ ‫ت‬
ٍ !َSَZ‫َْ َِنْ ُر‬# ْ'َُ. َZ‫ت ُر‬
ٍ !َS ‫ت‬
ٍ ‫َْ َ ِنْ َ ُ
ََْا‬# ْ'َُ.
‫ت‬
ٍ ‫ُ
ََْا‬. !َ-َ0 ‫ت‬ٍ ‫َ َا‬-َ0 ْ'ِ ‫َ! ٍء‬

“Adalah Nabi shallallahu alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma


muda) sebelum shalat (Maghrib), bila tidak ada ruthab maka dengan tamr
(kurma yang matang), bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.”
(HR. Abu Dawud, 2/2356, dan At-Tirmidzi, 3/696, Ad-Daruquthni, 2/185,
dengan sanad yang shahih, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah)

Jangan lupa, berdoa sebelum berbuka puasa dengan doa:

e
َ َ‫
َُ َذه‬p#‫ َو ا‬G
ِ ََ ْF‫ق ا‬
ُ ْ‫ُ ُو‬,ْ#‫ ا‬G
َ َSَ%‫ْ ُ َو‬Uc
َ ْ‫َ! َء ِإنْ ا‬7 R
ُ ‫ ا‬/َ#!َ,َ.

“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala
insya Allah subhanallahu wata’ala.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, An-
Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, 2/255, Ad-Daruquthni, 2/185, Al-Baihaqi,
4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anha dan dihasankan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Orang yang menjalankan ibadah puasa diharuskan menjauhkan


perkataan dusta sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

ْ'َ َْ# ْ‫ل َ َع‬


َ ْ َ ‫<وْ ِر‬a #‫ ا‬K
َ َ
َ,ْ#‫ِ"ِ وَا‬F m
َ ََْ R
ِ ٌ+َU!َ0 ْ$ِ ْ‫ع َأن‬
َ َ َ ُ"َ!َ,َZ ُ"َF‫ََا‬7‫َو‬

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya,


maka tidak ada keinginan Allah pada puasanya” (HR. Bukhari no. 1804)

1 Yang dimaksud adalah iqomah, karena terkadang iqomah disebut adzan,


wallahu a’lam. Yang dimaksud dengan sahur adalah akhir waktu sahur
yaitu ketika masuk waktu shubuh, sebagaimana akan lebih jelas pada
artikel ‘Sahur dan Berbuka’, -red.

Pembatal Puasa

a. Makan dan minum dengan sengaja

Allah subhanallahu wata’ala berfirman:

‫ُ ا َوآُُ ا‬Fَ ْ7‫ وَا‬/ َ0 '


َ َSَ َ ُ َُ# ُ…َْ]ْ#‫† ا‬
ُ َْFc
َ ْ‫' ا‬
َ ِ ِ…َْ]ْ#‫ْ َ ِد ا‬Qc
َ ْ‫' ا‬
َ ِ ِ ْLَ6ْ#‫ُ  ا‬% ‫ ا‬a
ِ.‫َ! َم َأ‬E#‫ ا‬/َ#‫ ِإ‬K
ِ ْ#‫ا‬

“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang
hitam dari fajar kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (Al-
Baqarah: 187)

Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan


hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

‫ ِإذَا‬$
َ ِ-َ= K
َ َ‫ب ََآ‬
َ ِ َ7‫َ َْ"ُ َُْ ِ  َو‬J !َ
=ِ َ ُ"َ
َ,ْZ‫ َأ‬R
ُ ‫َ?َ! ُ ا‬Q‫َو‬

“Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaklah dia sempurnakan
puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan
minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1831 dan Muslim no. 1155)

b. Keluar darah haidh dan nifas

Hal ini sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Adalah kami mengalami (haidh), maka kami diperintahkan untuk meng-


qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim)
Para ulama telah sepakat dalam perkara ini.

c. Melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan

Hal ini berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan kesepakatan para


ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu
membebaskan budak, bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara
terus-menerus, dan bila tidak mampu juga maka memberi makan 60
orang miskin. Tidak ada qadha baginya menurut pendapat yang kuat.
Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Adapun bila seseorang melakukan hubungan suami istri karena lupa


bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para ulama
adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha dan tidak pula kaffarah. Hal
ini sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ْ'َ َ َْ‫ن ِ'ْ َ ًْ! َأ‬


َ !َ8َ‫ًِ! َر‬Q!َ= &
َ َ ‫َ! َء‬8َ ِ"ََْ h
َ ‫! َر َة َو‬6َ‫آ‬

“Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka


tidak ada qadha atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. Al-
Baihaqi, 4/229, Ibnu Khuzaimah, 3/1990, Ad-Daruquthni, 2/178, Ibnu
Hibban, 8/3521, dan Al-Hakim, 1/595, dengan sanad yang shahih)

Kata ifthar mencakup makan, minum dan bersetubuh. Inilah pendapat


jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-
Syaukani rahimahumallah.

d. Berbekam

Ini termasuk perkara yang membatalkan puasa menurut pendapat yang


rajih, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

ْ‫ِ ُ َ ََأ‬U!َIْ#‫ُ ْ ُم ا‬LْIَ


ْ#‫وَا‬

“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.”
(HR. At-Tirmidzi, 3/774, Abu Dawud, 2/2367;2370;2371, An-Nasai, 2/228,
Ibnu Majah no. 1679,dan lainnya)

Hadits ini shahih dan diriwayatkan dari kurang lebih 18 orang shahabat
dan dishahihkan oleh para ulama seperti Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari,
Ibnul Madini dan yang lainnya. Ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad
dan Ishaq bin Rahuyah serta dikuatkan oleh Ibnul Mundzir.

Ada beberapa perkara lain yang juga disebutkan sebagian para ulama
bahwa hal tersebut termasuk pembatal puasa, di antaranya:
a. Muntah dengan sengaja

Namun yang rajih dari pendapat ulama bahwa muntah tidaklah


membatalkan puasa secara mutlak sengaja atau tidak sengaja. Sebab
asal puasa seorang muslim adalah sah, tidaklah sesuatu itu membatalkan
kecuali dengan dalil. Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ْ'َ ُ"َ‫ْ ُء َذ َر‬$َ?ْ#‫& ا‬


َ َ ‫َ! َء‬8َ ِ"ََْ '
ِ َ‫ْ َ?َ! َء َو‬Q‫† ا‬
ِ ْ?ََْ

“Barangsiapa yang dikalahkan oleh muntahnya maka tidak ada sesuatu


atasnya dan barangsiapa yang sengaja muntah maka hendaklah dia
meng-qadha (menggantinya).” (HR. Ahmad, 2/498, At-Tirmidzi, 3/720,
Abu Dawud, no. 2376 dan 2380, Ibnu Majah no. 1676)

Hadits ini dilemahkan oleh para ulama, di antaranya Al-Bukhari dan


Ahmad. Juga dilemahkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah.

Namun jika muntah tersebut keluar lalu dia sengaja memasukkannya


kembali maka hal ini membatalkan puasanya.

b. Menggunakan cairan penngganti makanan seperti infus

Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, dan yang rajih bahwa


suntikan terbagi menjadi dua bagian:

1). Suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti makanan maka hal


ini membatalkan puasanya, sebab nash-nash syari’at bila didapatkan
pada sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama maka
dihukumi sama seperti yang terdapat dalam nash.

2).Suntikan yang tidak berkedudukan sebagai pengganti makanan, maka


hal ini tidaklah membatalkan puasa sebab gambarannya tidak seperti
yang terdapat dalam nash baik lafadz maupun makna, tidak dikatakan
makan dan tidak pula minum dan tidak pula termasuk dalam makna
keduanya. Dan asalnya adalah sahnya puasa seorang muslim sampai
meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar’i. (lihat fatwa Asy-
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Fatawa Islamiyyah: 2/130, fatwa
Asy-Syaikh Bin Baaz rahimahullah dalam Fatawa Ramadhan: 2/485, dan
Fatwa Lajnah Da’imah: 2/486, dan fatwa Syaikhul Islam rahimahullah
dalam Haqiqotus Shiyam: 54-60).

Namun Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menasehatkan bagi orang yang


sakit untuk berbuka dan tidak berpuasa agar tidak terjatuh ke dalam
sesuatu yang menimbulkan syubhat. (Min Fatawa Ash-Shiyaam: 6)
c. Onani

Pendapat yang rajih dari pendapat para ulama bahwa onani tidaklah
membatalkan puasa, namun termasuk perbuatan dosa yang diharamkan
melakukannya baik ketika berpuasa maupun tidak. Allah subhanallahu
wata’ala berfirman menyebutkan di antara ciri-ciri orang mukmin:

'
َ ْ :ِ #‫ِ(ِْ هُْ وَا‬Uْ‫ُ ُو‬6ِ# ‫ن‬ َ ْ ُpِ!َ0. h
 ‫ ِإ‬/ََ ِْ(ِU‫ْ َ! أوْ َأزْوَا‬Gَََ ُْ(ُ=!َ
ْ ‫' َْ ُ َ ِ=(ُْ َأ‬
َ ِْْ َُ. '
ِ َ
َ /َWَ ْF‫َورَا َء ا‬
^
َ ِ#‫^ َذ‬ َ ِkَ#‫ن هُ ُ َُو‬
َ ْ‫َ! ُدو‬,ْ#‫ا‬

“Dan (mereka adalah) orang yang memelihara kemaluannya, kecuali


kepada istri-istrinya atau budak wanita yang mereka miliki. Maka
sesungguhnya (hal itu) tidak tercela. Maka barangsiapa yang mencari
selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-
Mu’minun: 5-7)

Hal-Hal yang Diperbolehkan Bagi Orang yang Berpuasa

a. Bersiwak

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ْ َ# h
َ ْ‫\ َأن‬
 ُ7‫ َأ‬/ََ $ِ ‫ُ(ُْ ُأ‬.َْc
َ ‫ك‬
ِ ‫ َا‬E-#!ِF َ ْ5ِ K
E ُ‫& ٍة آ‬
َ َJ

“Jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka


bersiwak setiap hendak shalat.” (Muttafaq ‘alaih)

b. Masuknya waktu fajar dalam keadaan junub

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha
bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mendapati waktu fajar dalam
keadaan junub setelah (bersetubuh dengan) istrinya, kemudian beliau
mandi dan berpuasa. (Muttafaq ‘alaihi)

c. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak


berlebihan

Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi


wasallam bersabda:

ْ‡ِ#!َF‫ َو‬$ِ ‫ق‬


ِ !َ)ْ5ِ ْQg
ِ ْ‫ ا‬h
 ‫ن َأنْ ِإ‬
َ ْ َُ. !ً
ِT!َJ

“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam ber-istinsyaq (memasukkan


air ke dalam hidung) kecuali bila kalian berpuasa.” (HR. Abu Dawud,
1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh Asy-
Syaikh Al-Albani rahimahullah)

d. Menggauli istri selain bersetubuh

Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencium (istrinya) dan


beliau berpuasa, menggaulinya (bukan jima’) dan beliau berpuasa.”
(Muttafaqun ‘alaihi)

e. Mencicipi makanan dan menciumnya asal tidak memasukkan ke dalam


kerongkongannya

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anha:

“Tidak mengapa seseorang mencicipi cuka atau sesuatu (yang lain)


selama tidak masuk kerongkongannya dalam keadaan dia berpuasa.”
(Diriwayatkan Al-Bukhari secara mu’allaq dan disambung sanadnya oleh
Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi)

f. Mandi di siang hari

Sebagaimana yang terdapat pada kisah junub Nabi shallallahu alaihi


wasallam yang telah lalu.

Perbuatan yang Dianjurkan di bulan Ramadhan

a. Memperbanyak shadaqah

b. Memperbanyak bacaan Al Qur’an, dzikir, doa, dan shalat

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anha meriwayatkan:

‫ن‬
َ !َ‫ل آ‬ُ ْ ُQ‫ َر‬R ِ ‫ ا‬/َJ R
ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ْ َ َد َو‬U‫س َأ‬
ِ !5#‫ن ا‬
َ !َ‫ْ َ َد َوآ‬U‫ن َ! َأ‬
ُ ْ َُ ْ$ِ ‫ن‬
َ !َ8َ‫' َر‬
َ ِْ0 ُ !َ?َْ ِ ْSِUK
ُ ْ
ُ"ُQ‫ن ََُا ِر‬
َ >ُْ?ْ#‫ا‬

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling


dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika
Jibril menemuinya lalu membacakan padanya Al Qur`an.” (HR. Al-
Bukhari)

c. Memberikan makan kepada orang yang berbuka puasa

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ْ'َ َ َ !ً
ِT!َJ ‫ن‬
َ !َ‫َ"ُ آ‬# K
ُ ْNِ ِ ِ ْU‫ َأ="ُ َْ َ َأ‬h
َ ˆ
ُ ُ?ْ5َ ْ'ِ ِ ْU‫ِ ِ َأ‬T!#‫ً! ا‬kَْ7
“Barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya
seperti pahala (yang berpuasa) dalam keadaan tidak berkurang sedikitpun
dari pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. Ahmad, 4/114, At-Tirmidzi,
3/807, Ibnu Majah, 1/1746, Ad-Darimi no. 1702, dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih At-Tirmidzi).

Wallahul muwaffiq.

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=296

KAJIAN SEPUTAR RAMADHAN


Penulis: Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi, Lc
Wajibnya Shaum Ramadhan Berdasarkan Ru’yatul Hilal dan Hukum
Menggunakan Ilmu Hisab Dalam Menentukan Hilal

Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk membiasakan diri menghitung


bulan Sya’ban dalam rangka mempersiapkan masuknya bulan Ramadhan
karena hitungan hari dalam sebulan dari bulan-bulan hijriyyah 29 hari atau 30
hari sesuai dengan hadits-hadits yang shohih, di antaranya : Hadits ‘Aisyah
radliallahu ‘anha, berkata Rasulullah ? :
‫ن‬
َ !َ‫ل آ‬ُ ُQ‫ َر‬R ِ ‫{ُ? ا‬6َIَ َ ْ'ِ ‫ل‬
ِ&َ ِ‫ن ه‬
َ !َSْ,َ7 !َ h
َ ُ{6َIَ َ ْ'ِ ِ ِ َْ  ُ% ‫ِ َُ ُم‬+َ ْ‫ِ ُؤ‬# ‫ن‬
َ !َ8َ‫' َ  ََْ"ِ ُ  َِنْ َر‬
َ ِْ%&
َ َ%
!ًْ َ  ُ% ‫َ! َم‬J.
Artinya:“Bahwasanya Rasulullah ? bersungguh-sungguh menghitung bulan
Sya’ban dalam rangka persiapan Shaum Ramadhan melebihi kesungguhannya
dari selain Sya’ban. Kemudian beliau shaum setelah melihat hilal Ramadhan.
Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung maka beliau menyempurnakan
hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudiaan shaum.” (H.R. Abu Dawud dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud hadits
no. 2325).

Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan ummatnya untuk memulai


shaum Ramadhan dengan berdasarkan ru’yatul hilal, dan bila terhalangi oleh
mendung atau yang semisalnya, maka dengan melengkapkan bilangan Sya’ban
menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu
bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkata :
‫ُ ُ ا‬J ِ"ِ َ ْ‫ِ ُؤ‬# ‫ِ ُؤْ َ ِ"ِ َوَأُِْوا‬# ْ‫ َِن‬$
َ ESُ ََُْْ ‫ن َةِ  ََآْ
ُِ ا‬
َ !َSْ,َ7 '
َ ِ%&
َ َ%
Artinya: “Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan
ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah
bilangannya menjadi 30 hari.” [HR. Al-Bukhari]

Adapun sabda Rasulullah ? dari jalan Ibnu ‘Umar :


h
َ ‫َُ ُ ا‬. / َ0 ‫ََوا‬. ‫ل‬ َ&
َ ِ(ْ#‫ ا‬h َ ‫ُِْوا َو‬6ُ. / َ0 ُ ‫ََو‬. ْ‫ َ ِن‬$
َ ِ
ْ‫َ"ُ َ! ْ ِرُوا ََُْْ ُأ‬# [\jjjjjjjj6  "jjjjjj]
Artinya: “Janganlah kalian bershaum kecuali setelah melihat hilal (Ramadhan)
dan jangan pula berhari raya kecuali setelah melihat hilal (Syawwal). Jika
terhalangi, ‘perkirakanlah’ ” [Muttafaq ‘alaihi],
maka lafadh ( ‫َ"ُ َ! ْ ِرُوا‬# ) yang secara lughowy artinya ‘perkirakanlah’. Hal ini
sebagaimana telah ditafsirkan oleh riwayat sebelumnya dengan lafadh (‫ِ  َة ََآْ
ُِ ا‬,ْ#‫ا‬
'ِْ%&
َ َ%) atau (‫ن ِ  َة َ َآْ
ُِ ا‬ َ !َSْ,َ7 '
َ ِْ%&
َ َ% ) yang artinya: “Maka lengkapilah bilangannya
menjadi 30 hari” atau “lengkapi bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”.
Dan bukanlah makna (‫َ" َ! ْ ِرُوا‬#) adalah (‫?ُ ا‬Eَb ), “persingkat (bulan Sya’ban
menjadi 29 hari saja)” atau penafsiran lainnya. Sebab sebaik-baik tafsir terhadap
suatu hadits adalah hadits yang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar :
(/َ#ْ‫ َ َ! َأو‬E-ُ o
ُ ْ ِ َIْ#‫ ا‬o
ِ ْ ِ َIْ#!F) Artinya: “sebaik-baik penafsiran hadits adalah dengan
hadits yang lain.”

Dan demikianlah pendapat jumhur ‘ulama. Sebagaimana dikatakan oleh Al


Maaziri: “Jumhur ulama mengartikan makna (‫َ" َ! ْ ِرُوا‬#) adalah dengan melengkapi
hitungan menjadi 30 hari berdasarkan hadits yang lainnya. Mereka menyatakan :
‘Dan tidak diartikan dengan perhitungan ahli hisab (astronomi) karena jika
manusia dibebani untuk itu justru mempersulit mereka disebabkan ilmu tersebut
tidak diketahui kecuali oleh orang-orang tertentu. Sedangkan syari’at
mengajarkan kepada manusia sesuai dengan yang dipahami oleh kebanyakan
mereka.”

Sedangkan ilmu hisab (ilmu perbintangan) tidak boleh dan tidak bisa dijadikan
sebagai sandaran untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Tidak diragukan lagi ketetapan
tentang dilarangnya bersandar kepada ilmu hisab (perbintangan) dalam As
Sunnah dan pandangan para shahabat. Orang yang bersandar kepadanya, dia
adalah orang yang sesat dan orang yang berbuat bid’ah dalam agama ini juga
telah melakukan kesalahan baik dari segi nalar pikiran (akal) maupun dari segi
ilmu perbintangan itu sendiri. Sesungguhnya ahli ilmu perbintangan telah
mengetahui bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki, karena
adanya pengaruh perbedaan tinggi rendahnya tempat dan lain-lainnya.”
[Taudiihul Ahkaam jilid 3 hal. 132 hadits no. 541]

Seluruh anggota Haiah Kibarul ‘Ulama (Majelis ‘Ulama di Arab Saudi) telah
bersepakat tidak bolehnya bersandar kepada ilmu falaki dalam menentukan awal
bulan. [Taudiihul Ahkaam jilid 3 hal. 132 hadits no. 541]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin memberikan pernyataan yang senada dengan fatwa
di atas, beliau menyatakan: “Shaum tidak menjadi wajib dengan keberadaan
hisab falaki karena syariat Islam mengaitkan hukum Shiyam dengan perkara
yang bisa dicapai oleh indera manusia yaitu ru’yatul hilal.” [Asy-Syarhul Mumti’
jilid 6 hal 314.]
Maka orang yang bersandar kepada hisab falaki adalah orang yang telah
menyelisihi Al Haq dan Syariat Islamiyyah. Hal ini dilihat dari beberapa segi:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Quran


?ْ'َ
َ َ ِ(َ7 ُ ُْ5ِ َ ْ()#‫ ََُْ
ْ"ُ ا‬...? [‫ة‬jjjjjjjjj?S#‫ ا‬: 185]
Artinya: “Karena itu barang siapa yang menyaksikan syahru (hilal) Ramadhan
maka bershaum lah.” [Al Baqoroh : 185].
Dalam ayat ini Allah mengaitkan shiyam dengan ru’yah dan persaksian hilal.

2. Hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang ru’yah, seperi hadits Abi


Hurairah:
‫ُ ُ ا‬J ِ"ِ َ ْ‫ِ ُؤ‬# ‫ِ ُؤْ َ ِ"ِ َأُِْوا َو‬# ْ‫ َ ِن‬$
َ ESُ ََُْْ ‫َ ِ  َة َ َآْ
ُِ ا‬7‫ن‬
َ !َSْ, '
َ ِْ%&
َ َ%
Artinya: “Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarlan
ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah
30 hari.” [HR Al-Bukhari]
Kemudian jika kesulitan dalam melakukan ru’yah karena awan atau yang
semisalnya maka dengan cara menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30
hari dan tanpa harus menyelisihi Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan
menggunakan hisab falaki.
3. Ijma’ para Shahabat, Tabi’in dan para imam setelah mereka.

4. Pernyataan dari para ahli ilmu perbintangan bahwa ru’yah tidak bisa
ditetapkan dengan hisab falaki karena perbedaan ketinggian tempat perhitungan
dan lain-lainnya.

5. Kenyataan terjadinya perbedaan di kalangan ahli hisab dalam menentukan


hilal. Al Hafidh Ibnu Hajar berkata :
“Maka Pembuat Syariat telah menentukan hukum shiyam dan yang lainnya
dengan ru’yah hal ini dalam rangka untuk menghilangkan kesulitan dalam
menghitung peredaran bintang. Dan hukum ini tetap berlaku dalam shiyam
walaupun bermunculan setelah itu orang-orang yang menguasai ilmu
perbintangan. Bahkan konteks hadits secara gamblang meniadakan kaitan
hukum shiyam dengan hisab falaki. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang telah
lalu:
ْ‫ن ِ  َة ََآْ
ُِ ا ََُْْ ُ  َِن‬
َ !َSْ,َ7 '
َ ِْ%&
َ َ%
Artinya : “Jika hilal terhalangi atas kalian maka lengkapilah bilangan Sya’ban
menjadi 30 hari”.
Dan beliau Shalallhu ‘alahi Wasallam tidak mengatakan:“….bertanyalah kepada
ahli perbintangan “.

Hikmah dari hal ini bahwa hitungan bulan Sya’ban ketika terhalangi mendung
atau yang semisalnya adalah sama untuk seluruh kaum muslimin. Sehingga
dengan ketetapan ini hilanglah pertentangan di antara mereka. Di antara
kelompok-kelompok yang berpegang dengan perhitungan hisab falaki adalah
Syiah Rafidhoh dan sebagian kecil ahli fikih yang sependapat dengan mereka.
Al Baaji menerangkan bahwa Ijma’ para Shahabat dan Salafush Sholih
merupakan bantahan atas mereka.
Ibnu Baziizah menyatakan: ‘pendapat itu adalah pendapat yang batil. Sedangkan
syariah telah melarang dari mendalami ilmu bintang sebab ilmu ini hanyalah
persangkaan belaka saja dan tidak ada padanya kepastian bahkan tidak pula
dugaan yang mendekati kebenaran.’
Jika demikian halnya maka mengaitkan hukum shiyam dengan hisab falaki akan
memberatkan (kaum muslimin) karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali
sedikit.” [Fathul Baari Kitabus Shiyam Bab 13 hadits no. 1913].

Rubrik Tanya Jawab


Soal :
Fenomena yang tak bisa dipungkiri bahwa kita selalu berselisih di saat ingin
menentukan tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal. Bagaimanakah sikap kita
terutama ketika Pemerintah telah memberikan suatu keputusan dalam hal ini
dengan Ru’yatul Hilal ?

Jawab :
Para Ulama berselisih pendapat ketika hilal terlihat di suatu negeri, apakah
ru’yah tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia
atau masing-masing negeri memiliki ru’yah sendiri.
Pendapat Pertama, Jumhur ulama di antara mereka Al-Imam Abu Hanifah dan
Al-Imam Ahmad, berpendapat bahwa ru’yah di suatu negeri berlaku untuk
seluruh kaum muslimin di negeri-negeri yang lain.
Pendapat kedua, Al-Imam Asy-Syaafi’i dan sejumlah ulama salaf berpendapat
diperhitungkannya perbedaan mathla’.
Setelah kita mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama dalam
masalah penentuan awal bulan, perlu diketahui pula sebuah nasehat yang
penting dari Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Tamamul Minnah untuk kaum
muslimin di seluruh negara Islam dan seharusnya kaum muslimin
memperhatikannya dan mengamalkannya. Beliau berkata: “…Dan perkara ini
(pengkhabaran hasil ru’yatul hilal dari satu negeri ke negeri yang lainnya-peny)
adalah hal yang mudah untuk dicapai pada masa sekarang ini dan sudah
dimaklumi, namun menuntut perhatian dari negara-negara Islam sehingga bisa
terwujud dikemudian hari –Insya Allah ta’ala- bersatunya negara-negara Islam.
Maka saya berpendapat bahwa setiap kaum muslimin menjalankan shiyam
Ramadhan bersama pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti
pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ada yang menjalankan shaum bersama
permerintah dan yang lain tidak, baik mendahului atau membelakangi karena hal
ini akan memperluas perpecahan sebagaimana telah terjadi di beberapa negara
Arab sejak beberapa tahun yang lalu. R ُ ‫َ!ن وَا‬,َ ْ-ُ
ْ#‫[ ”ا‬Tamamul Minnah hal. 298]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan pernyataan yang sama dengan
pernyataan Asy-Syaikh Al-Albani di atas dalam kitab beliau Asy-Syarhul Mumti’
ketika menyebutkan pendapat yang ketiga: “Bahwa setiap warga negara
hendaknya mengikuti pemerintahnya masing-masing jika pemerintahnya
menjalankan ash-shaum maka mereka juga menjalankannya, jika pemerintahnya
berhari raya hendaklah rakyatnya berhari raya pula bersamanya. Seandainya
ada khilaafah (pemerintahan) yang membawahi seluruh kaum muslimin di
seluruh penjuru dunia kemudian ada yang melihat hilal di negerinya, dan khalifah
menetapkannya maka wajib setiap kaum muslimin di seluruh penjuru dunia untuk
bershaum atau berhari raya (sesuai dengan ketetapan khalifah/pemerintahnya –
pen). Hendaklah kaum muslimin mengamalkan yang demikian ini yaitu bila
pemerintah menetapkan ru’yah maka seluruh kaum muslimin yang dibawah
kekuasaannya mengikuti baik dalam bershaum maupun berhari raya. Dan
pendapat ini merupakan pendapat yang kuat jika dipandang dari sisi keutuhan
kemasyarakatan (kaum muslimin) . Kalaupun kita membenarkan pendapat kedua
yang berdasarkan pada perbedaan mathla’ tetap wajib untuk tidak
menampakkan adanya perbedaan dengan mayoritas kaum muslimin.” [Asy-
Syarhul Mumti’ jilid 6 hal. 322.]

Sumber : www.assalafy.org
Perhiasan Mukmin di Bulan Suci
Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah
Perhiasan senantiasa dibutuhkan oleh setiap orang dalam kesehariannya:
perhiasan lahiriah, maupun batin. Tanpa perhiasan, nilai seseorang di mata
orang lain akan menjadi rendah. Di bulan Romadhon, seorang harus menghiasi
dirinya dengan perhiasan akhlaq, yaitu adab-adab ketika di bulan Romadhon.

Menjaga Sahur & Mengakhirkannya


Sahur merupakan berkah (kebaikan) dunia dan akhirat kita. Sahur akan
menambah kekuatan bagi orang yang berpuasa sehingga kesehatannya bisa
terjaga. Selain itu, seorang dengan sahur bisa meraih pahala, karena mengikut
sunnah.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

‫ ُوْا‬Iَ-َ. ‫ن‬
 ِ َ ْ$ِ ‫ُ ْ ِر‬I-#‫ً ا‬+َ‫َ َآ‬F

"Bersahurlah, karena sesungguhnya di dalam sahur terdapat berkah". [HR. Al-


Bukhoriy (1923), dan Muslim (1095)]

Satu hal yang perlu dicatat bahwa bersahur sunnahnya diakhirkan sampai
menjelang adzan (sekitar 15 atau 20 menit sebelum adzan shubuh), bukan
dipercepat. Karenanya, kelirulah sebagian orang yang makan setelah sholat isya’,
atau waktu jam 12 malan, atau jam 3 malam.

Perhatikan Zaid bin Tsabit -radhiyallahu anhu- berkata, "Kami sahur bersama
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, lalu beliau bangkit untuk sholat". Anas
bertanya (kepada Zaid), "Berapakah (waktu senggang) antara adzan dan
sahur?". Zaid menjawab,

‫ل‬
َ !َ ‫' َْ َر‬
َ ِْ-ْ
َO ً+َ >

"Lamanya seperti membaca 50 ayat". [HR. Al-Bukhoriy (1821), dan Muslim


(1097)]

Atsar ini menunjukkan bolehnya makan sampai terdengar adzan shubuh. Jika
sudah terdengar, maka berhentilah makan. Ini bertentangan dengan kebiasaan
kaum muslimin di Indonesia Raya, mereka enggan maka ketika sudah tiba
saatnya waktu imsak walaupun belum adzan shubuh, karena berpatokan pada
"Jadwal Imsakiyyah" yang disebarkan oleh sebagian orang jahil. Adapun di
zaman Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, waktu imsak (menahan diri dari
makan, minum, dan lainnya) adalah ketika terdengar adzan yang menunjukkan
masuknya waktu sholat fardhu shubuh. Inilah petunjuknya Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- dan para sahabat.

Amer bin Maimun Al-Jazariy berkata, "Para sahabat Muhammad -Shollallahu


‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling cepat berbuka, dan paling lambat
bersahur". [HR. Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (7916)]

Jadi, para sahabat cepat berbuka ketika telah melihat matahari tenggelam
dengan sempurna yang menunjukkan masuknya waktu maghrib, dan
menangguhkan waktu sahur sampai mereka melihat fajar shodiq yang
menunjukkan masuknya waktu sholat shubuh.

Memperbanyak Amalan Kebajikan


Seorang muslim dalam kehidupan dunia ini berusaha memperbanyak amal
sholeh, seperti memperbanyak shodaqoh, dzikir, sholat malam, membaca Al-
Qur’an, membantu orang, memberi makan bagi yang berpuasa. Romadhon
merupakan furshoh (kesempatan) memperbanyak amal sholeh sebagaimana
halnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan sahabat.

Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma- berkata,

‫ن‬
َ !َ‫ آ‬$ a ِS5#‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ْ َ َد َو‬U‫س َأ‬ ِ !5#‫ْ]َْ ِ ا‬#!ِF ‫ن‬
َ !َ‫ْ َ َد َوآ‬U‫ن َ! َأ‬ُ ْ َُ ْ$ِ ‫ن‬
َ !َ8َ‫' َر‬ َ ِْ0 ُ !َ?َْ K
ُ ْ ِ ْSِU !َ‫ن َوآ‬َ K ُ ْ ِ ْSِU
ِ"ََْ ‫َ! ُم‬-#‫ َْ?َ! ُ ا‬K
 ُ‫ٍ آ‬+ََْ# ْ$ِ ‫ن‬َ !َ8َ‫ َر‬/ َ0 z َ َِ-ْ5َ ‫ض‬
ُ ِ ْ,َ ِ"ََْ $a ِS5#‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ن َو‬
َ >ُْ?ْ#‫َ?َِ"ُ َ ِذَا ا‬# K
ُ ْ ِ ْSِU
ِ"ََْ ‫& ُم‬
َ -#‫ن ا‬ َ !َ‫ْ َ َد آ‬U‫ْ]َْ ِ َأ‬#!ِF 'َ ِ [ ِ ْ E #‫ْ ا‬#‫ِا‬+ََQُْ

"Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling pemurah dalam
kebaikan, apalagi di bulan Romadhon ketika ditemui oleh Jibril. Dulu Jibril
menemui beliau setiap malam di bulan Romadhon sampai selesai. Nabi -
Shollallahu ‘alaihi wasallam- menghadapkan (mengajarkan) Al-Qur’an kepada
Jibril. Jika beliau telah ditemui oleh Jibril –alaihis salam-, maka beliau menjadi
orang yang paling pemurah dalam kebaikan dibandingkan angin yang terutus".
[HR. Al-Bukhoriy (1803)]

Dalam riwayat Ahmad dalam Al-Musnad (2042), terdapat tambahan,

!َ# K
ُ َkْ-ُ ْ'َ ‫ْ ٍء‬$َ7 !#‫َأَْ! ُ ِإ‬

"Beliau tidak dimintai sesuatu, kecuali beliau berikan".

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata dalam Zaadul Ma’ad (2/32),


"Diantara petunjuk beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- di bulan Romadhon,
memperbanyak ibadah. Dulu Jibril alaihis sholatu was salam- mengajarkan Al-
Qur’an kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- di bulan Romadhon. Jika
beliau ditemui oleh Jibril, maka beliau adalah orang yang paling pemurah dalam
kebaikan dibandingkan angin yang berhembus. Beliau adalah manusia yang
paling pemurah, apalagi di bulan Romadhon; di dalamnya beliau memperbanyal
shodaqoh, berbuat baik, membaca Al-Qur’an, sholat, berdzikir, dan i’tikaf".

Bersungguh-sungguh dalam Melaksanakan Berbagai Bentuk Ibadah


Romadhon adalah waktu "mengencangkan sarung" (bersungguh-sungguh)
dalam beribadah kepada Allah seperti dalam cerminan kehidupan Nabi -
Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat. Mereka isi malamnya dengan
sholat malam dan i’tikaf pada 10 akhir Romadhon di masjid-masjid. A’isyah -
radhiyallahu ‘anhu- berkata,

‫ن‬
َ !َ‫ل آ‬
ُ ْ ُQ‫ َر‬R
ِ ‫ ا‬/َJ R
ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ ِإذَا َو‬K
َ َO‫َ)ْ َ َد‬,ْ#‫َْ! ا‬0‫ َأ‬K
َ ْ#‫َ  َأهَْ"ُ َوَأ ْ?َ{َ ا‬U‫َ  َو‬7‫ْ َ< َر َو‬kِ
ْ#‫ا‬

"Dulu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- jika memasuki malam sepuluh


(terakhir), maka beliau menghidupkan malam (sholat malam), membangunkan
keluarganya,bersungguh-sungguh, dan menyingsingkan sarung (bersungguh-
sungguh)". [HR. Al-Bukhoriy (2024), dan Muslim (1174)]

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah- berkata dalam Zaadul Ma’ad (2/32), "Diantara


petunjuk beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- di bulan Romadhon,
memperbanyak ibadah".

Membersihkan Mulut dengan Kayu Siwak


Islam adalah agama yang menjaga kebersihan. Karenanya, Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- memerintahkan ummatnya bersiwak, baik saat puasa, maupun
tidak. Sebagian ulama’ menganalogikan bolehnya bersikat gigi dengan bersiwak,
sepanjang tidak masuk ke tenggorokan. [Lihat Shiyam Romadhon (hal.21) oleh
Syaikh Muhammad bin Jamil Zinu]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

!َ#ْ َ# ْ‫\ َأن‬


 ُ7‫ْ َأ‬$ِ ُ‫ُ(ُْ ََى‬.ََْ َ# ‫ك‬
ِ ‫ َا‬E-#!ِF َ ْ5ِ K
E ُ‫ََ! ٍة آ‬J

"Andaikan aku tidak (khawatir) memberatkan ummatku, niscaya aku akan


memerintahkan mereka bersiwak setiap kali (hendak) sholat". [Al-Bukhoriy (887),
dan Muslim (252)]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

‫ك‬
ُ ‫ َا‬E-#‫َ ِ َْ(َ َةٌ ا‬6ِْ# ٌ‫َ!ة‬bَْ ‫ب‬
E  ِ#

"Siwak merupakan pembersih mulut, dan membuat Robb (Allah) ridho". [HR. An-
Nasa’iy (5), Ibnu Majah (289), dan Ahmad (7). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-
Albaniy -rahimahullah- dalam Al-Irwa’ (66)]

Abdur Rahman bin Ghonmin Al-Asy’ariy berkata, "Aku pernah bertanya kepada
Mu’adz bin Jabal, "Apakah aku boleh bersiwak sedang aku puasa?" Dia
menjawab, "Ya". Aku berkata, "Waktu mana aku boleh bersiwak?" Dia jawab,
"Waktu mana saja kamu hendak; jika mau pagi (ya, boleh); jika mau siang (ya,
juga boleh)" [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (133). Atsar ini dikuatkan oleh Al-
Hafizh dalam At-Talkhish (2/202)]
Menjauhkan Diri dari Sesuatu yang Menyalahi Hikmah Puasa
Allah -Ta’ala- berfirman,

!َ !َ(a ‫' َأ‬


َ ِ:#‫ُ ا ا‬5َ>َ e
َ ِ ُ‫َ! ُم ََُْ ُ آ‬E#‫ آَ
َ! ا‬e
َ ِ ُ‫ آ‬/ََ '
َ ِ:#‫ُِْْ ِ'ْ ا‬Sَ َُْ,َ# ‫ن‬
َ ُ? َ.

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertaqwa".
(QS. Al-Baqoroh: 183)

Jadi, hikmah disyari’atkannya puasa adalah mencapai derajat taqwa. Seorang


akan mencapainya jika ia menjauhkan dirinya dari dusta, berkata-kata jorok dan
kotor, bertengkar, berkelahi, menghina, menonton aurat wanita (yaitu seluruh
tubuh wanita), baik langsung atau lewat TV, dan gambar, dan lainnya. Orang
yang melakukan hal-hal ini tak mendapatkan, kecuali penat di dunia, dan akhirat.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

‫[ ِإذَا‬
َ َSْJ‫َ ُآُْ َأ‬0‫ِ
ً! َ ًْ! َأ‬T!َJ !ََ ْoَُْ !َ#‫ْ َو‬Kَ(ْLَ ‫ن‬
ِ ِ َ ٌ‫َ
َ"ُ اْ ُؤ‬.!َ7 ْ‫ََ"ُ َأو‬.!َ ْKُ?ََْ ْ$E=‫ٌِ ِإ‬T!َJ ْ$E=‫ٌِ ِإ‬T!َJ

"Jika seorang diantara kalian berpuasa di suatu hari, maka janganlah ia


janganlah ia berkata-kata jorok, dan berbuat jahil. Bila ada seseorang yang
mencela atau melawannya, maka hendaknya ia berkata, "Sesungguhnya aku
sedang puasa, sesungguhnya aku sedang puasa"." [HR.Muslim (1151)]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

ْ'َ َْ# ْ‫ل َ َع‬


َ ْ َ ‫<وْ ِر‬a #‫ ا‬K
َ َ
َ,ْ#‫ِ"ِ وَا‬F m
َ ََْ ِ"ِ# ٌ+َU!َ0 ْ$ِ ْ‫ع َأن‬
َ َ َ َ"َ!َ,َZ ُ"َF‫ََا‬7‫َو‬

"Barang siapa yang tidak mau meninggalkan ucapan dusta dan mengerjakannya,
maka Allah tidak punya hajat (tidak peduli) ketika ia meninggalkan makan, dan
minumnya". [Al-Bukhoriy (1804)]

Ibnu Baththol -rahimahullah- berkata, "Bukan maknanya ia diperintahkan untuk


meninggalkan puasanya. Maknanya hanya memberikan peringatan keras dari
(bahaya) berkata dusta, dan sesuatu yang bersamanya". [Lihat Fath Al-Bari
(4/117)]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

‫ب‬
 ‫ِ ٍ ُر‬T!َJ m
َ َْ# ُ"َ# ْ'ِ ِ"ِ!َِJ !#‫ع ِإ‬
ُ ْ ُLْ#‫ ا‬. ‫ب‬
 ‫ِ ٍ َو ُر‬T!َ m
َ َْ# ُ"َ# ْ'ِ ِ"ِ!َِ !#‫(َ ُ ِإ‬-#‫ا‬

"Terkadang orang yang berpuasa tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya,


selain lapar; terkadang seorang yang bangun (sholat) malam tidak mendapatkan
dari bangunnya, selain begadang". [HR. Ibnu Majah (1690). Di-shohih-kan oleh
Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (2014)]
Menyegerakan Buka Puasa
Ketika seorang telah melihat matahari tenggelam dengan sempurna, maka
hendaknya ia segerakan; jangan ditunda, sekalipun belum terdengar adzan.
Menyegerakan buka puasa merupakan kebaikan, karena ia adalah bentu
penyelisihan ahlul Kitab yang senang mengakhirkannya. Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda,

!َ# ‫ل‬
ُ ‫س َ<َا‬
ُ !5#‫ِ]َْ ٍ ا‬F !َ ‫ُ ْا‬Lَ َ ِْ6ْ#‫ا‬

"Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan buka


puasa". [Al-Bukhoriy (1957), dan Muslim (1098)]

Ada dua sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang terlupakan ketika
kaum muslimin berbuka, yaitu berbuka sebelum sholat maghrib, dan memakan
ruthob (korma basah lagi segar), atau korma kering, atau air. Jangan sampai
perut kosong sampai usai sholat maghrib. Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-
juga berkata,

‫ن‬
َ !َ‫ل آ‬
ُ ْ ُQ‫ َر‬R
ِ ‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ِْ ُ َو‬6ُ /ََ ‫ت‬
ٍ !َSَZ‫ ُر‬K
َ ْSَ ْ‫ َأن‬$
َ Eَُ ْ‫َْ َِن‬# ْ'َُ. ٌ‫َ!ت‬SَZ‫ ُر‬/ََ,َ ‫ت‬
ٍ ‫َ
ََا‬. ْ‫َْ َِن‬# ْ'َُ.
!َ-َ0 ‫ت‬ٍ ‫َ َا‬-َ0 ْ'ِ ‫َ! ٍء‬

"Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berbuka dengan ruthob (korma basah


dan segar), sebelum beliau sholat. Jika tak ruthob, maka dengan tamer (korma
kering). Jika tamer juga tak ada,maka beliau meneguk beberapa teguk air". [Abu
Dawud (2356), dan At-Tirmidziy (696). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy
dalamAsh-Shohihah(2840)]

Memberi Buka Puasa


Diantara amal sholeh yang terpuji, memberi makan, karena mengharapkan
pahala di sisi Allah. Terlebih lagi di bulan Romadhon. Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda,

ْ'َ َ َ !ً
ِT!َJ ‫ن‬
َ !َ‫َ"ُ آ‬# K
ُ ْNِ ِ ِ ْU‫َ! َأ="ُ َْ َ َأ‬# ˆ
ُ ُ?ْ5َ ْ'ِ ِ ْU‫ِ ِ َأ‬T!#‫ً! ا‬kَْ7

"Barangsiapa yang memberi buka puasa kepada orang yang berpuasa, niscaya
ia akan mendapatkan semisal pahala orang yang puasa itu; Cuma tidak
mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun". [ At-Tirmidziy
(807).Hadits ini shohih sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Albaniy dalam
Shohih Al-Jami’ (11361)]

Bersemangat untuk Berpuasa & Sholat Tarawih


Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

ْ'َ ‫َ َ! َم‬+ََْ# ‫ْ?َْ ِر‬#‫ً! ٍإ ْ


َ!=ً! ا‬F!َ-ِ ْ0‫ِ َ وَا‬6ُ ُ"َ# !َ ‫َ?َ  َم‬. ْ'ِ ِ"ِSْ=‫َ! َم َوَ'ْ َذ‬J ‫ن‬
َ !َ8َ‫ً! ِإ ْ
َ!=ً! َر‬F!َ-ِ ْ0‫ِ َ وَا‬6ُ ُ"َ# !َ ‫َ?َ  َم‬. ْ'ِ ِ"ِSْ=‫َذ‬

"Barang siapa yang bangun (sholat malam) karena beriman dan mengharapkan
pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu . Barangsiapa yang
berpuasa di bulan Romadhon karena beriman dan mengharapkan pahala,
niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu" .. [HR. Al-Bukhoriy dalam
Shohih-nya (1802), dan Muslim dalam Shohih-nya (175)]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 29 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu


Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel.
Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust.
Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul
Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa.
Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu
Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary
(085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/?p=169#more-169

NIAT PUASA
Penulis: Al-'Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah
Soal :
“Seringkali saya berpuasa tanpa niat sebelumnya pada permulaan puasa.
Apakah niat merupakan syarat puasa yang harus di lakukan setiap hari ?
Ataukah cukup dengan hanya berniat pada awal bulan ?

Jawab :
Puasa dan amal-amal ibadah lainnnya harus dikerjakan dengan niat. Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya amal-amal ibadah itu
bergantung kepada niat. Setiap orang akan mendapatkan ganjaran berdasarkan
atas apa yang dia niatkan. “(HR. Imam Al-Bukhari (1/2) dari hadits Umar bin
Khatthab).
Dalam riwayat lain : “Tidak ada amalan kecuali dengan niat. “ [Lafadz seperti ini
diriwayatkan dari Ali Bin Abi Thalib, seperti yang di sebutkan dalam Al-Firdaus
bin Ma’tsuril Khithob (5/191)].

Puasa bulan Romadhan wajib di lakukan dengan berniat pada malam harinya,
yaitu seseorang harus telah berniat puasa untuk hari itu sebelum terbit fajar.
Bangunnya seseorang pada akhir malam kemudian makan sahur menunjukkan
telah ada niat pada dirinya (untuk berpuasa). Seseorang tidaklah di tuntut
melafadzkan niatnya dengan berucap : “Aku berniat puasa (hari ini)”, karena
yang seperti ini adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan !

Berniat puasa selama bulam Ramadhan haruslah dilakukan setiap hari, karena
(puasa pada) tiap-tiap hari (dibulan itu) adalah ibadah yang berdiri sendiri yang
membutuhkan niat. Jadi, orang yang berpuasa harus berniat dalam hatinya pada
masing-masing hari (dalam bulan itu) sejak malam harinya. Kalau misalnya dia
telah berniat puasa pada malam harinya kemudian dia tertidur pulas hingga baru
terbangun setelah terbitnya fajar, maka puasanya sah, karena dia telah berniat
sebelumnya.
Wallahu a’lam.

Maroji’ :
Al-Muntaqo min Fatawa Asy-Syaikh Sholih Al-Fauzan (5/109).

Sumber : BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 20 / Sya’ban /


1425 H

Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan


Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
Islam, dalam banyak ayat dan hadits, senantiasa mengumandangkan pentingnya
ilmu sebagai landasan berucap dan beramal. Maka bisa dibayangkan, amal
tanpa ilmu hanya akan berbuah penyimpangan. Kajian berikut berupaya
menguraikan beberapa kesalahan berkait amalan di bulan Ramadhan.
Kesalahan yang dipaparkan di sini memang cukup ‘fatal’. Jika didiamkan terlebih
ditumbuhsuburkan, sangat mungkin akan mencabik-cabik kemurnian Islam,
lebih-lebih jika itu kemudian disirami semangat fanatisme golongan.

Penggunaan Hisab Dalam Menentukan Awal Hijriyyah


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan dalam
menentukan awal bulan Hijriyyah dalam hadits-haditsnya, di antaranya:

ْ'َ ِ ْSَ Rِ ‫'ا‬ِ ْF َ َ


ُ $
َ ِb‫ َر‬R ُ ‫ْ(ُ
َ! ا‬5َ ‫ن‬  ‫ل َأ‬ َ ْ ُQ‫ َر‬Rِ ‫ ا‬/َJ Rُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ن َذآَ َ َو‬
َ !َ8َ‫ل َر‬
َ !َ?َ: h
َ ‫َُ ُْ ا‬. / َ0 ‫َ َوُا‬.
‫ل‬
َ&َ ِ(ْ#‫ ا‬h َ ‫ُِْوا َو‬6ُ. / َ0 ُ ْ‫َ َو‬. ْ‫َ"ُ َ! ْ ُرُوا ََُْْ ُ  َِن‬#

“Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan


Ramadhan, maka beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga
kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa dengan
masuknya syawwal, -pent.) sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh
awan maka hitunglah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan hadits yang semacam ini cukup banyak, baik dalam Shahih Al-Bukhari dan
Muslim maupun yang lain.
Kata-kata ْ‫َ"ُ َ! ْ ُرُوا ََُْْ ُ  َ ِن‬# (Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah)
menurut mayoritas ulama bermadzhab Hanbali, ini dimaksudkan untuk
membedakan antara kondisi cerah dengan berawan. Sehingga didasarkannya
hukum pada penglihatan hilal adalah ketika cuaca cerah, adapun mendung maka
memiliki hukum yang lain.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya: “Lihatlah awal bulan dan
genapkanlah menjadi 30 (hari).”
Adapun yang menguatkan penafsiran semacam ini adalah riwayat lain yang
menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud. Yaitu sabda Nabi yang telah
lalu (maka sempurnakan jumlah menjadi 30) dan riwayat yang semakna. Yang
paling utama untuk menafsirkan hadits adalah dengan hadits juga. Bahkan Ad-
Daruquthni meriwayatkan (hadits) serta menshahihkannya, juga Ibnu Khuzaimah
dalam Shahih-nya dari hadits Aisyah:

‫ن‬
َ !َ‫ل آ‬
ُ ْ ُQ‫ َر‬R ِ ‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫{ُ َو‬6َIَ َ ْ'ِ ‫ن‬
َ !َSْ,َ7 !َ h
َ ُ{6َIَ َ ْ'ِ ِ ِ َْ  ُ% ‫ِ َُ ْ ُم‬+َ ْ‫ِ ُؤ‬# ،َ‫َ!ن‬8َ‫ََْ"ِ ُ  َِنْ َر‬
 َ '
َ ِْ%&
َ َ% !ًْ َ  ُ% ‫َ! َم‬J

“Dahulu Rasulullah sangat menjaga Sya’ban, tidak sebagaimana pada bulan


lainnya. Kemudian beliau puasa karena ru`yah bulan Ramadhan. Jika tertutup
awan, beliau menghitung (menggenapkan) 30 hari untuk selanjutnya berpuasa.”
(Dinukil dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar)
Oleh karenanya, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah Nabi dan
bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.
‫ن‬
َ ْ ُ#ِ ْSَ ْ-َ.‫ِي َأ‬:#‫ هُ َ ا‬/َ=ْ‫ِي َأد‬:#!ِF َ ُ‫ٌَْ ه‬O

“Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih
baik?” (Al-Baqarah: 61)

ْ'َ ْ$ِF‫ هُ َ ْ َ َة َأ‬$


َ ِb‫ َر‬R ُ ‫ْ"ُ ا‬5َ ' ِ َ $E ِS5#‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ل َو‬ َ !َ : ‫ن‬
 ‫' ِإ‬ َ ْ E #‫ٌْ ا‬-ُ ْ'َ#‫' ُ)َ! د َو‬
َ ْ E #‫ٌَ ا‬0‫ َأ‬h
 ‫ ِإ‬،ُ"َSََ
‫دُوا‬E َ-َ ‫ُ ا‬F‫ْ)ُِوا َو َ! ِر‬F‫ُ ا َو َوَأ‬5ِْ,َ ْQ‫َْ َو ِة ا‬Wْ#!ِF ِ+َ0ْ‫ و‬#‫ْ ٍء وَا‬$َ7‫' َو‬ َ ِ ِ+َLْ#a #‫ا‬

“Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia berkata:


‘Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Dan tidak seorangpun memberat-
beratkan dalam agama ini kecuali ia yang akan terkalahkan olehnya. Maka
berusahalah untuk benar, mendekatlah, gembiralah dan gunakanlah pagi dan
petang serta sedikit dari waktu malam’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabul Iman
Bab Ad-Dinu Yusrun)
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah atau Dewan Fatwa
dan Riset Ilmiah Saudi Arabia:
Apakah boleh bagi seorang muslim untuk mendasarkan penentuan awal dan
akhir puasa pada hisab ilmu falak, ataukah harus dengan ru`yah (melihat) hilal?
Jawab: …Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani kita dalam menentukan
awal bulan Qomariyah dengan sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang,
yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Padahal nash-nash Al-Kitab dan As-
Sunnah yang ada telah menjelaskan, yaitu menjadikan ru`yah hilal dan
menyaksikannya sebagai tanda awal puasa kaum muslimin di bulan Ramadhan
dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian juga dalam menetapkan
Iedul Adha dan hari Arafah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ْ'َ
َ َ ِ(َ7 ُ ُْ5ِ َ ْ()#‫ََُْ
ْ"ُ ا‬

“…Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.”


(Al-Baqarah: 185)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِ‫ه‬c
َ ْ‫ْ ا‬Kٌ $
َ ِ‫ ه‬G
ُ ِْ ‫س َ َا‬
ِ !5ِ# d
E َIْ#‫وَا‬

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, itu adalah waktu-waktu untuk


manusia dan untuk haji.” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ َرَأ ْ ُ
ُ ْ ُ َوِإذَا َُ ُْ ا َرَأ ْ ُ
ُ ْ ُ ِإذَا‬،‫ِ  َة ََآْ
ُِ ا ََُْْ ُ  َ ِنْ ََُِْوا‬,ْ#‫' ا‬
َ ِْ%&
َ َ%

“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Jika kalian melihatnya maka
berbukalah kalian. Namun jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah menjadi
30.”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tetapnya (awal) puasa dengan
melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka (mengakihiri Ramadhan) dengan
melihat hilal Syawwal. Sama sekali Nabi tidak mengaitkannya dengan hisab
bintang-bintang dan orbitnya (termasuk rembulan, -pent.). Yang demikian ini
diamalkan sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Khulafa` Ar-
Rasyidin, empat imam, dan tiga kurun yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Oleh karena itu, menetapkan bulan-bulan Qomariyyah dengan merujuk ilmu
bintang dalam memulai awal dan akhir ibadah tanpa ru`yah adalah bid’ah, yang
tidak mengandung kebaikan serta tidak ada landasannya dalam syariat….”
(Fatwa ini ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh
Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat Fatawa
Ramadhan, 1/61)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tentang hisab, tidak boleh
beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Tanya: Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja berpuasa tanpa
menyandarkan pada ru`yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa
hukumnya?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena
melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah
awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihi-
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu
adalah demikian, demikian, dan demikian.” –beliau menggenggam ibu jarinya
pada ketiga kalinya dan mengatakan–: “Bulan itu begini, begini, dan begini –
serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya–.”
Beliau maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30 (hari). Dan telah
disebutkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika
kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 (hari).”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya):
“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.
Dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan
jumlah.”
Masih banyak hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya menunjukkan wajibnya
beramal dengan ru`yah, atau menggenapkannya jika tidak memungkinkan ru`yah.
Ini sekaligus menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada hisab dalam masalah
tersebut.
Ibnu Taimiyyah1 telah menyebutkan ijma’ para ulama tentang larangan
bersandar pada hisab dalam menentukan hilal-hilal. Dan inilah yang benar, tidak
diragukan lagi. Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufiq. (Fatawa
Shiyam, hal. 5-6)
Pembahasan lebih rinci tentang hisab bisa dilihat kembali dalam Asy-Syariah
edisi khusus Ramadhan tahun 2004.

Imsak sebelum Waktunya


Imsak artinya menahan. Yang dimaksud di sini adalah berhenti dari makan dan
minum dan segala pembatal saat sahur. Kapankah sebetulnya disyariatkan
berhenti, ketika adzan tanda masuknya subuh atau sebelumnya, yakni adzan
pertama sebelum masuknya subuh? Karena dalam banyak hadits menunjukkan
bahwa subuh memiliki dua adzan, beberapa saat sebelum masuk dan
setelahnya.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Masalah ini, di mana banyak
orang (meyakini) bahwa makan di malam hari pada saat puasa diharamkan
sejak adzan pertama2 (yakni sebelum masuknya waktu subuh), yang adzan ini
mereka sebut dengan adzan imsak, tidak ada dasarnya dalam Al-Qur`an, As-
Sunnah dan dalam satu madzhabpun dari madzhab para imam yang empat.
Mereka semua justru sepakat bahwa adzan untuk imsak (menahan dari
pembatal puasa) adalah adzan yang kedua yakni adzan yang dengannya masuk
waktu subuh. Dengan adzan inilah diharamkan makan dan minum serta
melakukan segala hal yang membatalkan puasa. Adapun adzan pertama yang
kemudian disebut adzan imsak, pengistilahan semacam ini bertentangan dengan
dalil Al-Qur`an dan Hadits. Adapun Al-Qur`an, maka Rabb kita berfirman –dan
kalian telah dengar ayat tersebut berulang-ulang–…

‫ُ ا َوآُُ ا‬Fَ ْ7‫ وَا‬/ َ0 '


َ َSَ َ ُ َُ# ُ…َْ]ْ#‫† ا‬
ُ َْFc
َ ْ‫' ا‬
َ ِ ِ…َْ]ْ#‫ْ َ ِد ا‬Qc
َ ْ‫' ا‬
َ َ ِ ْLَ6ْ#‫ا‬

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Ini merupakan nash yang tegas di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala
membolehkan bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun di malam hari
untuk melakukan sahur. Artinya, Rabb kita membolehkan untuk makan dan
mengakhirkannya hingga ada adzan yang secara syar’i dijadikan pijakan untuk
bersiap-siap karena masuk waktu fajar shadiq (yakni masuknya waktu subuh, -
pent.). Demikian Rabb kita menerangkan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan makna ayat yang jelas ini dengan
hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi mengatakan:

h
َ ُْ= ُWَ ‫ن‬
ُ ‫ل َأذَا‬
ٍ&
َ ِF !َ
=َِ ُ ‫ن‬
ُ ‫ذ‬E „َ K
ٍ َِْF

“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan di waktu
malam.”3
Dalam hadits yang lain selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:

h
َ ُْ= ُWَ ‫ن‬
ُ ‫ل َأذَا‬
ٍ&
َ ِF !َ
=َِ ‫ن‬
ُ ‫ذ‬E „َ ُ ‫َِ?ُ ْ َم‬# ُ ِT!5#‫ ُ ا‬Iَ-َ َ ‫ُا َو‬EIَ-َ َ
ْ# ‫ُ ا َُُ ا‬Fَ ْ7‫ وَا‬/ َ0 ‫ن‬
َ ‫ذ‬E „َ ُ '
ُ ْF‫م ا‬E ‫َْ ُ ْ ٍم ُأ‬

“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan untuk
membangunkan yang tidur dan untuk menunaikan sahur bagi yang sahur. Maka
makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan4….”
(Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 344-345)
Ibnu Hajar (salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) dalam Fathul Bari syarah
Shahih Al-Bukhari (4/199) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan
beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.
Oleh karenanya, wahai kaum muslimin, mari kita bersihkan amalan kita,
selaraskan dengan ajaran Nabi kita, kapan lagi kita memulainya (jika tidak
sekarang)? (Lihat pula Mu’jamul Bida’ hal. 57)
Di sisi lain, adapula yang melakukan sahur di tengah malam. Ini juga tidak sesuai
dengan Sunnah Nabi, sekaligus bertentangan dengan maksud dari sahur itu
sendiri yaitu untuk membantu orang yang berpuasa dalam menunaikannya. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ُوا‬EَF ،ِ‫َْ!ر‬g
ِ ْ!ِF ‫ُوا‬EO‫ُ ْ َر َوَأ‬I-#‫ا‬

“Segeralah berbuka dan akhirkan sahur.” (Shahih, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-
Shahihah, no. 1773)

ْ'َ $ِF‫َ َأ‬+َِ ‫ل‬َ !َ : Gُ ُْ َ+َ)ِT!َ,ِ#: !َ5ِْ ‫ن‬


ِ&َ ُU‫ب ِ'ْ َر‬ ِ !َIْJ‫ َأ‬$ E ِS5#‫ ا‬/َJ R ُ ‫ ََْ"ِ ا‬،ََQ‫َ ُ َو‬0‫ هُ
َ!َأ‬K
ُ ELَ,ُ ‫َْ! َر‬g
ِ ْ‫ ُ ا‬EO„َ ُ ‫َو‬
،َ‫ُ ْر‬Ia-#‫َ ُ ا‬Oyْ‫ ُ َوا‬EO„َ ُ ‫َْ! َر‬g
ِ ْ‫ ا‬K
ُ ELَ,ُ ‫ُ ْ َر َو‬Ia-#‫ا‬. ْGَ#!َ : !َ
ُ(a ‫ِي َأ‬:#‫ ا‬K ُ ELَ,ُ ‫َْ! َر‬g
ِ ْ‫ ُ ا‬EO„َ ُ ‫ُ ْرَ؟ َو‬Ia-#‫ ا‬G ُ ُْ : ُ ْSَ R
ِ ‫'ا‬ ُ ْF
‫ُ ْ ٍد‬,ْ-َ. ْGَ#!َ : ‫َا‬:ََ‫ن ه‬
َ !َ‫ُ ْ آ‬Q‫ل َر‬ُ R ِ ‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ َو‬Pُ َ5َْ

Dari Abu ‘Athiyyah ia mengatakan: Aku katakan kepada ‘Aisyah: Ada dua orang
di antara kami, salah satunya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur,
sedangkan yang lain menunda berbuka dan mempercepat sahur. ‘Aisyah
mengatakan: “Siapa yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur?”
Aku menjawab: “Abdullah bin Mas’ud.” ‘Aisyah lalu mengatakan: “Demikianlah
dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya.” (HR. At-Tirmidzi,
Kitabush Shiyam Bab Ma Ja`a fi Ta’jilil Ifthar, 3/82, no. 702. Beliau menyatakan:
“Hadits hasan shahih.”)
At-Tirmidzi mengatakan: Hadits Zaid bin Tsabit (tentang mengakhirkan sahur, -
pent.) derajatnya hasan shahih. Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat
dengannya. Mereka menyunnahkan untuk mengakhirkan sahur.” (Bab Ma Ja`a fi
Ta`khiri Sahur)
Di antara kesalahan yang lain adalah:
Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian/ihtiyath (Mu’jamul
Bida’, hal. 268)θ
Membunyikanθ meriam untuk memberitahukan masuknya waktu shalat, sahur,
atau berbuka. Al-Imam Asy-Syathibi menganggapnya bid’ah. (Al-I’tisham, 2/103;
Mu’jamul Bida’, hal. 268)
Bersedekah atas nama roh dari orang yangθ telah meninggal pada bulan Rajab,
Sya’ban, dan Ramadhan. (Ahkamul Jana`iz, hal. 257, Mu’jamul Bida’, hal. 269)
Dan masih banyak lagi kesalahan lain, yang Insya Allah akan dibahas pada
kesempatan yang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Lihat pula Majmu’ Fatawa (25/179)


2 Bila di masyarakat kita tandanya adalah dengan selain adzan, seperti sirine,
petasan, atau yang lain yang tidak ada dasar syar’inya sama sekali.
3 Yakni sebelum masuk waktu subuh.
4 Karena Ibnu Ummi Maktum adzan setelah masuk waktu subuh.

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=371

Memperbaiki beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan


Penulis: Admin Darus Salaf
Sebagai orang yang ingin beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan
mendapatkan pahala serta ridho-Nya, maka tentunya sebagaimana yang kami
ketahui haruslah ibadah tersebut benar, sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan
Sunnah, dan bebas dari adanya kesalahan pada ibadah tersebut. Sehubungan
dengan makin dekatnya bulan Ramadhan dan untuk menjaga agar ibadah pada
bulan tersebut (khususnya ibadah puasa) lepas dari kesalahan, maka kami
mohon penjelasan tentang bentuk-bentuk kesalahan yang ada dan dilakukan
orang di bulan Ramadhan ini. Terima kasih.

Jawab :

Sering orang menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan
tuntunan syari’at Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang
dilakukannya atau apa yang diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi
nilai puasanya di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Maka kami akan mencoba menjelaskan
beberapa kesalahan yang terjadi di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar
dapat menjadi nasehat dan bekal menyambut bulan Ramadhan.

Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain :

Pertama : Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu Falaq atau ilmu
Hisab.

Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan
As-Sunnah.

Allah subhanahu wa ta'ala menegaskan dalam surah Al-Baqarah : 186 :

ََْ َ َِ ُ ُ ْ ِ َ ْ‫ََُْْ ُ ا‬

"Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa".
Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum riwayat
Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :

‫ َل َرَأُْ ُ ِإذَا‬
َ ِ‫ِ ُوْا َرَأُُْ ْ ُ" َوِإذَا َُ ُْ ْا ا‬#َْ$َ

"Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka
berbukalah".

Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan
melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara
yang lainnya. Kemudian perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini
menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal tersebut.

Berkata Al-Bajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan ilmu Falaq dan ilmu
Hisab : "Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah merupakan hujjah (bantahan) atas
mereka". Lihat Subulus Salam 2/242.

Dan berkata Ibnu Bazizah menyikapi pendapat orang yang membolehkan menggunakan ilmu
falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan : "Ini adalah madzhab yang bathil. Syari’at
telah melarang menggunakan ilmu Falaq karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan
dugaan dan sangkaan yang tidak jelas". Lihat : Subulus Salam 2/242.

Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/243 : "Jawaban terhadap mereka ini jelas,
sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

%&‫ َ* ُأ)(ٌ ُأ(ٌ ِإ‬+


ُ ُْ َ& *َ ‫ َو‬+
ُ ِ,ْ-َ& ُ َْْ‫َا ا‬.َ َ‫َا ه‬.َ َ‫َا َوه‬.َ َ‫َ َ َوه‬0َ1‫ َم َو‬%َْ34ِ ‫ ا‬5ِ (ِ َ6ِ%6‫ْ ا‬5ِ ْ7َ %ً7ْ,ِ9 ِْ1‫ َو‬
َ ِْ ُ َْْ‫وَا‬
‫َا‬.َ َ‫َا ه‬.َ َ‫َا َوه‬.َ َ‫ْ َوه‬5ِ ْ7َ ‫ َم‬%ََ9 
َ ِْ:
َ َ:

"Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan tak dapat
menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga
yakni dua puluh sembilan (hari), dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga
puluh (hari)".

Kedua : Kebiasaan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath
(berjaga-jaga).

Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau
berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

*َ ‫َ َ; ْا‬0َ9 ‫ن‬


َ %َ=َ‫َِ ْ ِم َر‬3 ‫ َأوْ َ ْ ٍم‬
ِ َْْ َ * ‫ن َر@ُ?ٌ ِإ‬
َ %َ‫ َُ ْ ُم آ‬%ًْ َB ُ ََُْْ

"Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelum
Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa sunnat maka
hendaknyalah ia berpuasa".

Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/239 : "Ini menunjukkan haramnya
berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga)".

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160) : "…karena menentukan puasa haruslah
dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan-...".

Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 (Tuhfathul Ahwadzy) :
"Para ‘ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum
masuknya bulan Ramadhan…".

Berkata Imam An-Nawawy : "Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah
haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah". Lihat : Syarah Shohih Muslim 7/158.

Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka
ihtiyath, adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa seperti puasa senin-kamis, puasa
Daud dan lain-lainnya lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka itu
tidak apa-apa. Wallahu A’lam.
Ketiga : Meninggalkan makan sahur.

Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan dan menyelisihi sunnah Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam dan menyelisihi kesepakatan para ‘ulama tentang disunnahkannya
makan sahur.

Kesepakatan para ‘ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-
lainnya. Lihat : Syarah Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.

Dan dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali diantaranya, hadits Anas bin
Malik riwayat Bukhary-Muslim dimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

‫ ُوْا‬-َ,َ9 ‫ن‬
 Cِ َ 5ِ ‫ُ ْ ِر‬-,‫َ َآَ ً( ا‬3

"Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah".

Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara
dunia maupan perkara-perkara akhirat. Dan berkah tersebut bermacam-macam diantaranya :

A Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.

A Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab.

sebagaimana dalam Shohih Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

?ُ َْ %َ 
َ َْ3 %َ ِ%َِB ‫ ِم‬%َِB‫ب َأهْ ِ? َو‬
ِ %َِ ْ‫ُ ْ ِر َأآََ ُ( ا‬-,‫ا‬
"Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur".

A Menambah kekuatan dan semangat khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih
berpuasa.

A Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdo’a dan meminta rahmat sebab waktu sahur
masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat do’a yang makbul.

A Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.

Lihat : Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.

http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62

Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan


Penulis: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫َ! َء ِإذَا‬U ‫ن‬


ُ !َ8َ‫ْ َر‬GَIِ ُ ‫ب‬
ُ ‫ْ َا‬F‫ِ َأ‬+5َLْ#‫ْ ا‬Gَ?Eُ‫ب َو‬
ُ ‫ْ َا‬F‫! ِر َأ‬5#‫ت ا‬
ِ َ E6ُJ‫' َو‬
ُ ِْZ!َ)#‫ا‬

“Apabila datang Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup


dan setan-setan dibelenggu.”

Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-


nya kitab Ash-Shaum, bab Hal Yuqalu Ramadhan au Syahru Ramadhan no.
1898, 1899. Dikeluarkan pula dalam kitab Bad‘ul Khalqi, bab Shifatu Iblis wa
Junuduhu no. 3277. Adapun Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya
membawakannya dalam kitab Ash-Shaum, dan diberikan judul babnya oleh Al-
Imam An-Nawawi, Fadhlu Syahri Ramadhan no. 2492.

Pintu Kebaikan Terbuka, Pintu Kejelekan Tertutup


Kedatangan Ramadhan akan disambut dengan penuh kegembiraan oleh insan
beriman yang selalu merindukan kehadirannya dan menghitung-hitung hari
kedatangannya. Banyak keutamaan yang dijanjikan untuk diraih dan didapatkan
di bulan mulia ini, di antaranya seperti tersebut dalam hadits yang menjadi
pembahasan kita dalam rubrik ‘Hadits’ kali ini. Dan keutamaan yang tersebut
dalam hadits di atas didapatkan sejak awal malam Ramadhan yang mubarak
sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berikut ini:

‫ن ِإذَا‬
َ !َ‫ل آ‬ُ ‫ٍ َأ و‬+ََْ# ْ'ِ ‫ن‬
َ !َ8َ‫َ(ْ ِ َر‬7 ‫ت‬
ِ َ E6ُJ ' ُ ِْZ!َ)#‫ َوَ َ َد ُة ا‬،E'ِLْ#‫ْ ا‬Gَ?Eُ‫ب َو‬ُ ‫ْ َا‬F‫! ِر َأ‬5#‫ْ َ[ْ ََْ ا‬6ُ !َ(ْ5ِ ٌ‫َ!ب‬F. ْGَIِ ُ‫َو‬
‫ب‬
ُ ‫ْ َا‬F‫ِ َأ‬+5َLْ#‫َْ\ْ ََْ ا‬Wُ !َ(ْ5ِ ،ٌ‫َ!ب‬F ‫َ!دِي‬5ُ ‫َ! ٍد َو‬5ُ: !َ $
َ ِ!َF ِ َْ]ْ#‫ ا‬،ْKِSْ ‫ َو َ! َأ‬$
َ ِ!َF E )#‫ ا‬،ِْْ ‫ِ"ِ َأ‬#‫' ُ َ?َ! ُء َو‬ َ ِ ،ِ‫!ر‬5#‫َو ا‬
^
َ ِ#‫ َذ‬K ُ‫ٍ آ‬+ََْ#

“Apabila datang awal malam dari bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin yang
sangat jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tidak ada satu pintupun yang
terbuka, sedangkan pintu-pintu surga dibuka tidak ada satu pintupun yang
ditutup. Dan seorang penyeru menyerukan: ‘Wahai orang yang menginginkan
kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.’
Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, yang demikian itu
terjadi pada setiap malam.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 682 dan Ibnu
Majah dalam Sunan-nya no. 1682, dihasankan Asy-Syaikh Albani rahimahullahu
dalam Al-Misykat no. 1960)
Pada bulan yang penuh barakah ini, kejahatan di muka bumi lebih sedikit, karena
jin-jin yang jahat dibelenggu dan diikat, sehingga mereka tidak bebas untuk
menyebarkan kerusakan di tengah manusia sebagaimana hal ini dapat mereka
lakukan di luar bulan Ramadhan. Di hari-hari itu kaum muslimin tersibukkan
dengan ibadah puasa yang dengannya akan mematahkan syahwat. Juga
mereka tersibukkan dengan membaca Al-Qur`an dan ibadah-ibadah lainnya. (Al-
Mirqah, Asy-Syaikh Mulla ‘Ali Al-Qari pada ta’liq Al-Misykat 1/783, hadits no.
1961)
Ibadah-ibadah ini akan melatih jiwa, membersihkan dan mensucikannya. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

!َ !َ(a ‫' َأ‬


َ ْ :ِ #‫ُ ا ا‬5َ> e
َ ِ ُ‫َ! ُم ََُْ ُ آ‬E#‫ آَ
َ! ا‬e
َ ِ ُ‫ آ‬/ََ #‫ ْ'َا‬:ِ ْ'ِ ُِْْSَ َُْ,َ# ‫ن‬
َ ْ ُ? َ.

“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana


diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian
bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Karena amal shalih banyak dilakukan, demikian pula ucapan-ucapan yang baik
berlimpah ruah, ditutuplah pintu-pintu jahannam dan dibuka pintu-pintu surga.
(Shifatu Shaumin Nabiyyi n fi Ramadhan, hal. 18-19)
Makna ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits di atas ‫ت‬ ِ َ E6ُJ
َ)#‫ِْ'ُا‬Z! adalah setan itu dibelenggu. Dan yang dimaksudkan dengan setan di sini
adalah ‫' َ َ َد ُة‬
E ِLْ#‫ ا‬sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah. Kata ٌ‫ َ َ َدة‬adalah bentuk jamak (lebih dari dua) dari kata ‫ْ
َ! ِر ُد‬#‫ ا‬yaitu َ,ْ#‫ا‬$ِ.!
ُ ْ ِ )#‫ ا‬, maknanya yang sangat angkuh, durhaka, bertindak sewenang-wenang lagi
melampaui batas (lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits). Sehingga yang dibelenggu
hanyalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat, adapun setan dari kalangan
manusia tetap berkeliaran.
Kita perlu nyatakan hal ini, kata Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i
rahimahullahu, agar jangan sampai engkau mengatakan: “Kami mendapatkan
beberapa perselisihan dan fitnah di bulan Ramadhan (lalu bagaimana dikatakan
setan-setan itu dibelenggu sementara kejahatan tetap ada? -pent.).” Kita jawab
bahwa yang dibelenggu adalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat.
Sedangkan setan-setan yang kecil dan setan-setan dari kalangan manusia tetap
berkeliaran tidak dibelenggu. Demikian pula jiwa yang memerintahkan kepada
kejelekan, teman-teman duduk yang jelek dan tabiat yang memang senang
dengan fitnah dan pertikaian. Semua ini tetap ada di tengah manusia, tidak
terbelenggu kecuali jin-jin yang sangat jahat. (Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il,
hal. 163)
Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullahu berkata dalam Shahih-nya (3/188): “Bab
penyebutan keterangan bahwa hanyalah yang diinginkan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam sabdanya ‫ت‬ ِ َ E6ُJ‫' َو‬
ُ ِْZ!َ)#‫ ا‬hanyalah jin-jin yang jahat, bukan
semua setan. Karena nama setan terkadang diberikan kepada sebagian mereka
(tidak dimaukan seluruhnya).”
Di bulan yang mubarak ini ada malaikat yang menyeru kepada kebaikan dan
menyeru untuk mengurangi kejelekan sebagaimana dalam lafadz hadits:

‫َ!دِي‬5ُ ‫َ! ٍد َو‬5ُ: !َ $


َ ِ!َF ِ َْ]ْ#‫ ا‬،ْKِSْ ‫ َو َ! َأ‬$
َ ِ!َF E )#‫َأ ِْْ ا‬

“Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang


menginginkan kejelekan tahanlah.”

Hadits-hadits tentang Keutamaan Ramadhan


Selain hadits di atas, banyak lagi hadits lain yang berbicara tentang keutamaan
Ramadhan. Di antaranya akan kita sebutkan berikut ini:
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

ْ'َ ‫َ! َم‬J ‫ن‬


َ !َ8َ‫ً! ِإ ْ
َ!=ً! َر‬F!َ-ِ ْ0‫ِ َ وَا‬6ُ ُ"َ# !َ ‫َ?َ  َم‬. ْ'ِ ِ"ِSْ=‫َذ‬

“Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan
mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-
Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 1778)
2. Dari ‘Imran bin Murrah Al-Juhani radhiallahu 'anhu, ia berkata: Seseorang
datang menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata:

!َ ‫ل‬
َ ْ ُQ‫ َر‬،ِR‫ ا‬G
َ ْ ‫ت ِإنْ َأ َرَأ‬
ُ ِْ(َ7 ْ‫ َأن‬h
َ َ"#ِ‫ إ‬h  ‫ ِإ‬R‫ ا‬، ^ َ =‫ل َوَأ‬
َ ْ ُQ‫ َر‬،ِR‫ ا‬G
ُ َْJ‫ت َو‬
ِ ‫َ َا‬#‫ ا‬،َmْ
َ]ْ#‫ ا‬G
ُ ْ ‫ َوَأ د‬،َ‫<آ!ة‬#‫ا‬
G
ُ ْ
ُJ‫ َو‬،َ‫َ!ن‬8َ‫ل َأ=َ!؟ َ
ِ
'ْ َر‬ َ !َ : '
َ ِ '
َ ِْ?ْ E E#‫(ََا ِء ا‬a)#‫وَا‬

“Wahai Rasulullah, apa pendapat anda bila aku bersaksi bahwasanya tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah saja dan aku bersaksi bahwa engkau
adalah Rasulullah, aku mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat dan
puasa di bulan Ramadhan, maka termasuk dalam golongan manakah aku?”
Rasulullah menjawab: “Engkau termasuk golongan shiddiqin dan syuhada.” (HR.
Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya, dan lafadz
yang disebutkan adalah lafadz Ibnu Hibban. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 989)
3. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

ُْ‫َ!آ‬.‫ن َأ‬ ُ !َ8َ‫َ(ٌْ َر‬7 ،ٌ‫َ! َرك‬Sُ ‫ض‬ َ َ َ R ُ ‫ َ < ا‬K


 َU‫ ََُْْ َو‬،ُ"َ!َِJ [ ُ َ ْ6ُ. ِ"ِْ ‫ب‬
ُ ‫ْ َا‬F‫
َ! ِء َأ‬-#‫\ ا‬
ُ َْWُ.‫ب ِْ"ِ َو‬
ُ ‫ْ َا‬F‫ِْ ِ َأ‬IَLْ#‫ ا‬K
a َWُ.‫َو‬
ِ"ِْ ‫ َ َ َد ُة‬،ِ'ِْZ!َ)#‫ِ"ِ ا‬# ِ"ِْ ٌ+ََْ# ٌَْO ْ'ِ Hِ ْ#‫ َأ‬،ٍْ(َ7 ْ'َ ‫ُ ِ َم‬0 !َ‫َْ ُه‬O َْ?َ ‫ُ ِ َم‬0

“Telah datang pada kalian Ramadhan bulan yang diberkahi. Allah Subhanahu wa
Ta'ala mewajibkan atas kalian untuk puasa di bulan ini. Pada bulan Ramadhan
dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu setan-
setan yang sangat jahat. Pada bulan ini Allah memiliki satu malam yang lebih
baik dari seribu bulan. Siapa yang diharamkan untuk mendapatkan kebaikan
malam itu maka sungguh ia telah diharamkan.” (HR. Ahmad, 2/385, An-Nasa`i
no. 2106, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i.
Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 985, Al-Misykat no. 1962)
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

‫َ َا ُة‬#‫ ا‬m


ُ ْ
َ]ْ#‫َ ا‬+َ,ُ
ُLْ#‫ وَا‬/َ#‫ِ ِإ‬+َ,ُ
ُLْ#‫ن ا‬
ُ !َ8َ‫ َو َر‬/َ#‫ ِإ‬،َ‫َ!ن‬8َ‫َاتٌ َر‬E6َُ !َ ،'ُ(َ5َْF ‫ ِإذَا‬G
ِ َSِ5ُ ْU‫ِ ُ ا‬T!َSَْ#‫ا‬

“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya dan Ramadhan ke Ramadhan


berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, apabila dijauhi dosa-
dosa besar.” (HR. Muslim no. 549)
Cukuplah kiranya keutamaan bagi Ramadhan dengan Allah Subhanahu wa
Ta'ala memilihnya di antara bulan-bulan yang ada untuk Allah Subhanahu wa
Ta'ala turunkan kitab-Nya yang mulia di bulan berkah tersebut, di malam yang
penuh kemuliaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ُ ْ(َ7 ‫ن‬
َ !َ8َ‫ِي َر‬:#‫لُأ=ْ ِ< ا‬
َ ِ"ِْ ‫ن‬
ُ >ُْ?ْ#‫س هًُى ا‬
ِ !5ِ# ‫ت‬
ِ !َ5EَF‫' َو‬
َ ِ ‫ْ(َُى‬#‫ن ا‬
ِ !َ ُْ6ْ#‫وَا‬

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an


sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda antara yang haq dengan yang batil.” (Al-Baqarah: 185)

!=‫َ! ُ ِإ‬5ْ#<َ ْ=‫ْ َأ‬$ِ ِ+ََْ# ‫ْ?َْ ِر‬#‫ا‬

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur`an itu pada malam Qadar


(malam kemuliaan).” (Al-Qadar: 1)

Puasa Semestinya membuahkan Takwa


Hikmah disyariatkannya puasa dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam
firman-Nya:

!َ !َ(a ‫' َأ‬


َ ْ :ِ #‫ُ ا ا‬5َ> e
َ ِ ُ‫َ! ُم ََُْ ُ آ‬E#‫ آَ
َ! ا‬e
َ ِ ُ‫ آ‬/ََ '
َ ْ :ِ #‫ُِْْ ِ'ْ ا‬Sَ َُْ,َ# ‫ن‬
َ ْ ُ? َ.

“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana


diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian
bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullahu berkata: “Perkara
takwa yang dikandung puasa di antaranya:
θ Orang yang puasa meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala
haramkan kepadanya berupa makan, minum, jima’ dan semisalnya, sementara
jiwa itu condong kepada perkara yang harus ditinggalkan tersebut. Semua itu
dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
mengharapkan pahala-Nya. Ini termasuk takwa.
Orang yangθ puasa melatih jiwanya untuk merasakan pengawasan Allah
Subhanahu wa Ta'ala (muraqabatullah), maka ia meninggalkan apa yang
diinginkan jiwanya padahal ia mampu melakukannya, karena ia mengetahui
pengawasan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadapnya.
Puasa itu menyempitkanθ jalan setan, karena setan itu berjalan pada anak
Adam seperti peredaran/aliran darah. Dan puasa akan melemahkan jalannya
sehingga mengecilkan perbuatan maksiat.
Orang yang puasa umumnya memperbanyak amalan ketaatan sementara
amalan ketaatan termasuk perangai takwa.θ
θ Orang yang kaya jika merasakan tidak enaknya lapar maka mestinya ia akan
memberikan kelapangan/memberi derma kepada orang-orang fakir yang tidak
berpunya. Ini pun termasuk perangai takwa. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 86)
Dengan demikian sungguh tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa
seharusnya momentum Ramadhan dijadikan langkah awal untuk memperbaiki
iman dan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, untuk kemudian iman dan
takwa itu terus dipupuk dan dirawat di bulan-bulan selanjutnya. Dan jangan
dibiarkan terpisah dari jiwa dan raga hingga datang jemputan dari utusan Ar-
Rahman (malaikat maut). Khususnya kita –penduduk negeri ini– seharusnya
berkaca diri berkaitan dengan segala petaka yang menimpa negeri kita, demikian
pula musibah yang datang terus menerus, lagi susul menyusul. Tidaklah semua
ini menimpa kita kecuali karena dosa-dosa kita dan jauhnya kita dari iman serta
takwa kepada Al-Khaliq.

َ َ(َƒ ‫َ! ُد‬-َ6ْ#‫ ا‬$ِ َSْ#‫ا‬E ِ ْIَSْ#‫ِ


َ! وَا‬F ْGَSَ-َ‫س َأ ِْي آ‬
ِ !5#‫ ْ?َ(ُْ ا‬:ِ ُِ# †
َ ْ,َF ‫ِي‬:#‫َ(ُْ َ
ُِ ا ا‬,َ# ‫ن‬
َ ْ ُ,ِUَْ

“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan


tangan/ulah manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum:
41)

!َ‫َُْ َو‬F!َJ‫ٍ ِ'ْ َأ‬+َSُِْ !َ


ِSَ ْGَSَ-َ‫ُ َأ ْ ِ ُْْ آ‬6ْ,َ ‫ِْ ٍ َ'ْ َو‬Nَ‫آ‬

“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh
perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar dari
kesalahan-kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)
Musibah yang menimpa negeri ini berupa gempa, tsunami, meletusnya gunung
berapi, tanah longsor, semburan lumpur panas, dan sebagainya bukanlah
karena kesialan penguasa/pemerintah sebagaimana tuduhan orang-orang dungu
atau pura-pura dungu. Namun justru karena dosa-dosa yang ada di negeri ini.
Terlepas apakah bencana ini karena rekayasa asing yang ingin menjatuhkan dan
menghancurkan negeri ini sebagaimana analisa sebagian orang, atau murni
musibah tanpa rekayasa, toh semuanya ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala sebagai teguran bagi kita agar kembali kepada-Nya. Bangkit dari lumpur
hitam dosa dan maksiat, untuk kemudian bertaubat dan mohon ampun kepada-
Nya.
Yang sangat disesalkan, di antara penduduk negeri ini banyak yang tidak sadar
dari maksiat mereka dengan musibah yang menimpa. Mereka malah melakukan
praktik-praktik kesyirikan, membuat sesajen penolak bala yang dipersembahkan
kepada roh-roh penguasa laut, penguasa gunung, penguasa darat, dan
sebagainya. Na’udzubillah min dzalik!!!
Sehubungan dengan momentum Ramadhan sebagai bulan untuk menambah
iman dan takwa, serta terkait dengan banyaknya musibah yang menimpa negeri
ini, bagus sekali untuk kita nukilkan nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz
rahimahullahu berkenaan dengan musibah yang menimpa anak Adam,
khususnya gempa bumi1. Mudah-mudahan nasehat ini bisa menjadi renungan
bagi anak negeri ini.
Beliau rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Memiliki
hikmah Maha Mengetahui terhadap apa yang Dia putuskan dan tetapkan,
sebagaimana Dia Maha Memiliki Hikmah lagi Maha Mengetahui dalam apa yang
Dia syariatkan dan perintahkan. Dia menciptakan apa yang diinginkan-Nya
berupa tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia tetapkan hal itu untuk menakut-nakuti
hamba-Nya dan mengingatkan mereka tentang hak-Nya dan memperingatkan
mereka dari kesyirikan, penyelisihan terhadap perintah-Nya dan melakukan
larangan-Nya.”
Selanjutnya beliau menyatakan: “Tidaklah diragukan bahwa gempa yang terjadi
pada hari-hari ini di banyak tempat/negeri merupakan sejumlah tanda-tanda
kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang dengannya Allah Subhanahu wa
Ta'ala hendak menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Seluruh musibah gempa
yang terjadi dan perkara lainnya yang membuat kemudharatan para hamba dan
menyebabkan gangguan bagi mereka, adalah disebabkan kesyirikan dan
maksiat.”

!َ ^
َ َF!َJ‫ٍ ِ'ْ َأ‬+َ5َ-َ0 '
َ ِ
َ R
ِ ‫^ َوَ! ا‬
َ َF!َJ‫ٍ ِ'ْ َأ‬+َkEَQ ْ'ِ
َ ^
َ ِ-ْ6َ=

“Tidaklah satu kebaikan menimpamu melainkan itu dari Allah dan tidaklah satu
kejelekan menimpamu melainkan karena ulah dirimu sendiri.” (An-Nisa`: 79)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Yang wajib dilakukan oleh seluruh
muslimin adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, istiqamah di atas
agamanya dan berhati-hati dari seluruh perkara yang dilarang berupa syirik dan
maksiat. Sehingga mereka memperoleh pengampunan, kelapangan,
keselamatan di dunia dan di akhirat dari seluruh kejelekan, dan Allah Subhanahu
wa Ta'ala menolak dari mereka seluruh musibah, lalu menganugerahkan kepada
mereka setiap kebaikan. Sebagaimana Ia berfirman:

ْ َ#‫ن َو‬
 ‫ َأ‬K
َ ْ‫ْ?َُى َأه‬#‫ُ ا ا‬5َ> ‫?َ ا‬.‫َ! وَا‬5ْIَ َ6َ# ِْ(ََْ ‫ت‬
ٍ !َ‫َ َآ‬F '
َ ِ ‫
َ! ِء‬-#‫ض ا‬
ِ ْ‫ر‬c
َ ْ‫َِ'ْ َوا‬#‫ُ ا َو‬F: َ‫ْ=َ!هُْ آ‬:َOَ َ !َ
ِF ‫ن آَ!=ُ ا‬
َ ْ ُSِ-َْ

“Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa niscaya Kami bukakan
bagi mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka malah
mendustakan maka Kami pun menyiksa mereka disebabkan apa yang dulunya
mereka upayakan.” (Al-A’raf: 96)
Kemudian Syaikh menukilkan ucapan Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu:
“Di sebagian waktu Allah Subhanahu wa Ta'ala mengizinkan bumi untuk
bernapas panjang. Ketika itu terjadilah gempa/goncangan yang besar, sehingga
menimbulkan ketakutan pada hamba-hamba-Nya, lalu mereka kembali kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mencabut diri dari maksiat, tunduk patuh kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menyesali diri, sebagaimana ucapan sebagian
salaf ketika terjadi gempa bumi: ‘Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian.’
Ketika terjadi gempa di kota Madinah, ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu
berkhutbah dan memberi nasehat kepada penduduk Madinah dan beliau
berkata: ‘Kalau gempa ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal bersama kalian di
Madinah ini.’
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menasehatkan:
“Ketika terjadi gempa bumi dan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa
Ta'ala lainnya, gerhana, angin kencang dan banjir, yang wajib dilakukan adalah
bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tunduk menghinakan diri kepada-
Nya dan memohon maaf/kelapangan-Nya serta memperbanyak mengingat-Nya
dan istighfar pada-Nya. Sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
ketika terjadi gerhana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan
Al-Imam Muslim: “Apabila kalian melihat gerhana maka berlindunglah kalian
dengan zikir/mengingat Allah, berdoa kepada-Nya dan istighfar.”
Disenangi pula untuk memberikan kasih sayang kepada fakir miskin dan
bersedekah kepada mereka dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam:

‫ن‬
َ ْ ُ
ِ0‫ا‬#َ‫َ
ُ(ُ ُ ا‬0َْ ،ُ'
ْ0 #‫َ
ُ ْا ا‬0ْ‫ َ'ْ ِار‬$ِ ‫ض‬
ِ ْ‫ر‬c
َ ْ‫َ
ُُْ ا‬0َْ ْ'َ $ِ ‫
َ! ِء‬-#‫ا‬

“Orang-orang yang menyayangi (memiliki sifat rahmah) akan dirahmati oleh Ar-
Rahman. Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya Yang di langit akan
merahmati kalian.”2

ْ'َ h
َ ُ َ0َْ h
َ ُ َ0ُْ

“Siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi/dirahmati.”3


Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bahwa beliau mengirim
surat kepada gubernur-gubernurnya ketika terjadi gempa agar mereka
bersedekah.
Termasuk sebab kelapangan dan keselamatan dari semua kejelekan adalah
agar pemerintah bersegera mengambil tangan rakyatnya dan mengharuskan
mereka untuk berpegang dengan kebenaran dan menjalankan syariat Allah
Subhanahu wa Ta'ala pada mereka serta amar ma’ruf nahi mungkar.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

‫ن‬
َ ْ ُ5ِْ„ُ
ْ#‫ت وَا‬ُ !َ5ِْ„ُ
ْ#‫ُ(ُْ وَا‬8ْ,َF ‫َِ! ُء‬#ْ‫† َأو‬
ٍ ْ,َF ‫ن‬
َ ْ‫ف َُْ ُو‬
ِ ْ‫ْ ُو‬,َ
ْ#!ِF ‫ن‬
َ ْ َ(ْ5َ ‫' َو‬
ِ َ ِ َْ5ُ
ْ#‫ن ا‬
َ ْ ُ
ِْ?ُ ‫& َة َو‬
َ #‫ن ا‬
َ ْ ُ.ْ„ُ ‫ <آَ! َة َو‬#‫ا‬
‫ن‬
َ ْ ُ,ُِْ ‫ َو‬R َ ‫َ"ُ ا‬#ْ ُQ‫^ َو َر‬َ ِkَ#‫َ
ُ(ُ ُ أُو‬0ََْQ R
ُ ‫ا‬

“Kaum mukminin dan mukminat sebagian mereka adalah wali/kekasih bagi


sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang
dari yang mungkar, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mentaati
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati Allah.” (At-Taubah: 71)
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ْ'َ m َ 6َ= ْ'َ ' ٍ ِْ„ُ ً+َFُْ‫ب ِ'ْ آ‬ِ َ ُ‫=َْ! آ‬a #‫ ا‬m
َ 6َ= R ُ ‫ْ"ُ ا‬5َ ً+َFُْ‫ب ِ'ْ آ‬ ِ َ ُ‫ِ َ ْ ِم آ‬+َ!َِ?ْ#‫ا‬. ْ'َ‫ َ َو‬-َ /ََ ٍ ِ-ْ, َ -َ R ُ‫ا‬
ِ"ََْ $ِ !َْ=a #‫ِ َ ِة ا‬Oyْ‫ َوا‬. ْ'َ‫َ َ َ َو‬Q !ً
ِْ-ُ ُ َ َ َQ R
ُ ‫ ا‬$ِ !َْ=a #‫ِ َ ِة ا‬Oyْ‫ َوا‬. R
ُ ‫ وَا‬$ِ ‫ن‬ ِ ْ َ ِ ْSَ,ْ#‫ن َ! ا‬
َ !َ‫ْ ُ آ‬Sَ,ْ#‫ ا‬$ِ ‫ن‬
ِ ْ َ ِ"ِْO‫َأ‬

“Siapa yang melepaskan seorang mukmin dari satu bencana/kesulitan dunia


niscaya Allah akan melepaskannya dari satu bencana di hari kiamat. Siapa yang
memberi kemudahan bagi orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan
memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutup
kejelekan/cacat seorang muslim, Allah pun akan menutup cacatnya di dunia dan
di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu
menolong saudaranya.”4
Demikian nasehat dari Asy-Syaikh Ibnu Baz –semoga Allah Subhanahu wa
Ta'ala merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan melapangkan beliau
di kuburnya, amin–. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati penduduk
negeri ini dan menghilangkan musibah dari mereka serta memberi taufik kepada
mereka agar bertaubat dan kembali kepada agama-Nya yang benar. Semoga
penduduk negeri ini mengambil pelajaran yang berharga di bulan mubarak ini,
bulan Ramadhan nan penuh keberkahan, menambah iman dan takwa mereka
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hingga mereka menjadi , orang-orang yang
dibebaskan dari api neraka. Allahumma amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Dinukil secara ringkas dari kitab Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 9/148-152.
2 HR. At-Tirmidzi no. 1924, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-
Shahihah, no. 922
3 HR. Al-Bukhari no. 7376
4 HR. Muslim no. 6793

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=374

Hukum - Hukum Seputar Puasa Ramadhan


Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Soal 1 : Perkara apa yang seyogyanya dikerjakan dan wajib bagi seorang yang
menjalankan puasa Romadlon ?

Jawab : Seyogyanya bagi seorang yang menjalankan puasa Romadlon untuk


memperbanyak amalan ketaatan dan menjauhi seluruh perkara yang dilarang.
Wajib baginya memelihara perkara-perkara yang diwajibkan dan menjauhkan
dirinya dari perkara yang diharamkan. Menjalankan sholat lima waktu tepat pada
waktunya dengan berjamaah bersama kaum muslimin di masjid. Meninggalkan
kedustaan, ghibah, penipuan dan amal riba serta seluruh perkataan dan
perbuatan yang diharamkan. (Syaikh Ibnu 'Utsaimin).

Soal 2 : Apa hukum bagi seorang yang menjalankan puasa Romadlon akan tetapi
dia tidur di sepanjang siang ? Seseorang yang tidur dan bangun hanya untuk
menjalankan perkara yang difardlukan kemudian tidur kembali ?

Jawab : Ada dua keadaan dalam soal ini :


1.Seseorang yang tidur di sepanjang siang pada bulan Romadlon dalam keadaan
dia berpuasa, yang demikian tidak diragukan lagi bahwa dia telah berbuat
kejahatan pada dirinya sendiri dan berbuat maksiat kepada Alloh dengan
meninggalkan sholat tepat pada waktunya. Apabila dia termasuk ahlul jamaah
(orang yang diwajibkan untuk menjalankan sholat berjamaah dimasjid) maka
dirinya telah meninggalkan jamaah dan itu adalah haram. Wajib baginya
bertaubat kepada Alloh dan menjalankan sholat lima waktu tepat pada waktunya
dengan berjamaah di masjid.
2.Seseorang yang tidur pada bulan Romadlon dan bangun hanya untuk
menjalankan sholat yang difardlukan tepat pada waktunya dengan berjamaah,
yang demikian tidak berdosa akan tetapi dia telah terluput dari amal kebaikan
yang banyak. Seyogyanya orang yang berpuasa menyibukkan dirinya dengan
sholat, dzikir, doa dan membaca Al-Quran sehingga terkumpul dalam puasanya
ibadah-ibadah yang lainnya. Sesungguhnya orang yang berpuasa apabila dia
mengembalikan dirinya untuk mengerjakan dan memelihara amalan ibadah maka
amal-amal ibadah tersebut akan mudah dia jalankan. Sebaliknya apabila dia
mengembalikan dirinya dalam kemalasan, kelemahan dan keadaan yang sulit
maka akan mendapatkan dirinya dalam keadaan sulit dan malas untuk
menjalankan amalan ibadah. Saya nasehatkan agar memelihara amalan ibadah
pada bulan Romadlon, pasti Alloh akan memudahkan amalan kita. (Syaikh Ibnu
'Utsaimin).

Soal 3 : Seseorang yang bekerja sebagai sopir angkutan luar kota pada bulan
Romadlon, apakah dia dihukumi sebagai seorang yang bersafar (bepergian) ?
Dan bagaimana dengan amalannya?

Jawab : Na'am, dia dihukumi sebagai seorang yang bersafar (bepergian). Berlaku
baginya hukum sholat Qoshor, jama' dan berbuka puasa. Apabila dikatakan:
"Kapan mereka berpuasa dan beramal secara rutin?"
Kami katakan : "Mereka berpuasa pada hari-hari yang mudah untuk
menjalankannya". Adapun sopir dalam kota tidak berlaku atasnya hukum safar
dan wajib untuk menjalankan puasa. (Syaikh Ibnu Utsaimin)

Soal 4 : Rosululloh bersabda (yang artinya) : "Sahurlah kalian, karena


sesungguhnya di dalam amalan sahur itu terdapat barokah", apa yang dimaksud
dengan barokah sahur ?

Jawab : Yang dimaksud dengan barokah sahur adalah:


a.Barokah syar'iyyah, yaitu mendapatkan barokah dengan mencontoh dan
mengikuti Rosululloh .
b. Barokah badaniyyah, yaitu mendapatkan barokah kekuatan badan disaat kita
menjalankan puasa pada siang hari. (Syaikh Ibnu Utsaimin)

Soal 5 : Berlebih-lebihan dalam mempersiapkan makanan untuk berbuka puasa,


apakah bisa mengurangi pahala puasa ?

Jawab : Tidak mengurangi pahala puasa seseorang. Perbuatan haram semacam


ini apabila dikerjakan seseorang setelah selesai menjalankan puasa, tidak akan
mengurangi pahala puasanya. Akan tetapi termasuk perbuatan haram yang
dikatakan oleh Alloh dalam Al-Qur'an (yang artinya):
"Makan dan minumlah kalian dan janganlah kalian berlebih-lebihan (melampau
batas). Sesungguhnya Alloh tidak mencintai orang-orang yang berlebih-lebihan"
(Q.S. Al-A'raf: 31). Berlebih-lebihan (melampau batas) adalah perkara yang
dilarang. Apabila kalian mempunyai keutamaan dan kelebihan rizki maka
infaqkanlah, karena yang demikian lebih utama. (Syaikh Ibnu Utsaimin)

Soal 6 : Sebagian pemuda yang mudah-mudahan mereka diberi petunjuk oleh


Alloh, mereka malas menjalankan sholat pada bulan Romadlon dan amalan
lainnya. Akan tetapi mereka memelihara dan menjalankan puasa Romadlon
meskipun mereka menahan lapar dan dahaga. Apa nasehat Syaikh kepada
mereka dan bagaimana hukum puasa yang mereka jalankan ?

Jawab : Aku nasehatkan kepada mereka untuk memikirkan keadaannya dan


memperhatikan bahwa sesungguhnya sholat termasuk rukun Islam yang paling
tinggi kedudukannya setelah syahadatain. Apabila mereka meninggalkan sholat
karena meremehkan dan malas menjalankannya, maka pendapat yang kuat dan
rajih berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah dari perbedaan para
ulama' , mereka dihukumi telah keluar dari agama Islam (kafir) dan telah murtad.
Meninggalkan sholat bukan suatu perkara yang remeh, orang yang telah kafir
dan murtad tidak akan diterima puasa, shodaqoh dan amalan-amalan yang
lainnya.
Dalilnya adalah firman Alloh (yang artinya) : "Dan tidak ada yang menghalangi
mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka
kafir kepada Alloh dan Rosul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sholat,
melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka,
melainkan dengan rasa enggan" (Q.S. At-Taubah : 54). Dalam ayat ini Alloh
menerangkan bahwa nafkah-nafkah mereka yang memberikan manfa'at kepada
sesama tertolak dan tidak diterima karena disebabkan kekafiran mereka.
Mereka yang menjalankan puasa tetapi tidak melaksanakan sholat, maka
puasanya tertolak dan tidak diterima selama kita mengikuti pendapat yang kuat
berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menghukumi mereka
telah kafir dan murtad. Saya nasehatkan kepada mereka agar bertaqwa kepada
Alloh dan memelihara sholat tepat pada waktunya dengan berjama'ah bersama
kaum muslimin.
Saya memberi jaminan kepada mereka dengan kekuatan dari Alloh, apabila
mereka menjalankan yang demikian, pasti mereka akan mendapatkan dirinya
dalam keadaan kuat azamnya untuk beramal dibulan Romadlon dan diluar bulan
Romadlon, demikian juga dalam memelihara sholat tepat pada waktunya dengan
berjama'ah bersama kaum muslimin. Karena sesungguhnya orang yang kembali
kepada Alloh dengan taubat Nashuha (taubat yang benar dengan menjalankan
syarat-syaratnya), dia akan mendapatkan dirinya lebih baik dari keadaan
sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Alloh di dalam Al-Qur'an
tentang keadaan Nabi Adam setelah melanggar perintah Alloh untuk tidak
memakan salah satu tanaman di surga. Alloh berfirman (yang
artinya) :"Kemudian Robbnya memilihnya (mensucikannya untuk kenabian dan
dekat dekat dengan-Nya), maka Dia menerima taubatnya dan memberinya
petunjuk" (Q.S. Thoha : 122). (Syaikh Ibnu Utsaimin)

Soal 7 : Apabila seorang yang berpuasa bermimpi mengeluarkan air mani pada
waktu siang di bulan Romadlon apakah membatalkan puasa ? Dan apakah wajib
baginya untuk menyegerakan mandi janabah ?

Jawab : Tidak membatalkan puasa karena bukan dari kehendak dan


kemauannya, dan wajib baginya untuk mandi janabah. Misalnya, kalau ada
seseorang bermimpi mengeluarkan air mani pada waktu setelah sholat
fajar/subuh dan menunda mandi janabah sampai masuk waktu sholat dhuhur,
maka yang demikian tidak apa-apa. Seorang suami/istri yang berjima' pada
malam bulan Romadlon dan menunda mandi janabahnya sampai masuk waktu
fajar/subuh, yang demikian tidak apa-apa. Karena sesungguhnya Rosululloh
pernah berjima' dengan istrinya pada malam hari dan masih dalam keadaan
junub di waktu subuh, kemudian beliau mandi janabah dan menjalankan puasa.
Demikian juga wanita yang haid dan nifas, apabila keduanya suci/bersih pada
waktu malam (setelah habis waktu sholat isya') maka boleh baginya menunda
mandi janabah sampai waktu shubuh kemudian berpuasa. Tetapi tidak boleh
bagi keduanya menunda mandi janabah atau sholat sampai terbitnya matahari.
Wajib baginya bersegera mandi janabah setelah masuk waktu subuh dan
menjalankan sholat tepat pada waktunya. (Syaikh bin Baaz).

Soal 9 : Apa hukumnya suntik pada siang bulan Romadlon bagi orang yang
menjalankan puasa ?
Jawab : Berobat dengan suntik bagi orang yang menjalankan puasa ada dua
macam :
1.Suntik yang di dalamnya terdapat zat pengganti kekuatan badan, makan dan
minum maka batal puasanya karena sesungguhnya nash-nash syar'i menjelaskan
apabila didapatkan makna yang demikian (keadaan suntik yang didalamnya
terdapat zat pengganti kekuatan badan, makan dan minum), maka hukum
puasanya batal.
2.Suntik yang di dalamnya tidak terdapat zat pengganti kekuatan badan, makan
dan minum maka sah puasanya karena tidak ada makna yang dimaksud secara
syar'i. Maka sah puasanya sampai didapatkan perkara-perkara yang bisa
menyebabkan rusak/batalnya puasa dengan sebab perbuatannya tersebut secara
syar'i. (Syaikh Ibnu 'Utsaimin).

Soal 10 : Apa hukumnya orang yang membasahi kepala dan badannya dengan
air atau duduk di tempat khusus yang bisa menyegarkan badan pada saat puasa
bulan Romadlon ?

Jawab : Yang demikian boleh dan tidak membatalkan puasa. Sungguh Rosululloh
membasahi kepalanya dengan air karena disebabkan keadaan yang panas atau
haus dalam keadaan beliau berpuasa. Demikian juga shohabat Abdulloh bin
Umar membasahi bajunya dengan air untuk meringankan puasanya karena
disebabkan keadaan yang panas atau haus. Kesegaran yang didapat dalam
keadaan yang demikian tidak berpengaruh atas puasa seseorang. (Syaikh Ibnu
'Utsaimin).

Soal 11 : Apa hukumnya membaca doa qunut dalam sholat witir di malam bulan
Romadlon ? Apakah boleh ditinggalkan?

Jawab : Hukum membaca doa qunut dalam sholat witir di malam bulan
Romadlon adalah sunnah, apabila terkadang ditinggalkan hukumnya adalah
boleh. (Syaikh bin Bazz)

Soal 10 : Seorang suami mencumbu istrinya di siang hari bulan Romadlon,


apakah merusakkan puasanya?

Jawab : Seorang suami yang mencumbu istrinya di siang hari bulan Romadlon
baik dengan tangan, wajah, ciuman dan kemaluannya (selama bukan jima’,ed)
apabila mengeluarkan air mani, maka batal puasanya. Apabila tidak
mengeluarkan air mani maka tidak batal puasanya. Sebagian para ulama
mengatakan: "Hukumnya makruh apabila tidak sampai mengeluarkan air mani,
apabila sampai mengeluarkan mani maka haram".

Sebagian para ulama yang lainnya mengatakan: "Hukumnya mubah (boleh)


apabila tidak sampai mengeluarkan air mani, hal ini berdasarkan hadits yang
menyebutkan bahwa Nabi : "Beliau mencumbu (istrinya) dalam keadaan
berpuasa dan beliau mencium (istrinya) dalam keadaan berpuasa". (HR. Bukhori
no.1927, Muslim no.1106 dari 'Aisyah)

Adapun apabila mencumbu istrinya kemudian mengeluarkan air madzi, sebagian


para ulama mengatakan batal puasanya, tetapi tidak ada dalil bagi mereka. Yang
shohih dan benar, apabila seseorang mencumbu istrinya kemudian
mengeluarkan air madzi maka syah dan tidak batal puasanya. Ini adalah
madzhab yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Puasa adalah ibadah
syar'iyyah, tidak boleh seseorang mangatakan batal kecuali harus dengan dalil.
(Syaikh Ibnu 'Utsaimin)

Soal 13 : Apabila seorang suami memaksa istrinya untuk berjima' pada siang hari
di bulan Romadlon dalam keadaan keduanya menjalankan puasa dan keduanya
tidak mampu untuk memerdekakan budak atau menjalankan puasa denda 2
bulan berturut-turut karena kesibukannya dalam mencari nafkah, apakah cukup
baginya memberi makan pada Si miskin ? Berapa kadar/jumlahnya ?

Jawab : Apabila seorang suami memaksa istrinya untuk berjima' pada siang hari
di bulan Romadlon dalam keadaan keduanya menjalankan puasa maka puasa
seorang istri tersebut sah dan tidak diwajibkan atasnya membayar
kaffaroh/denda.
Sedangkan suaminya, wajib baginya mengqodlo' puasanya dan membayar
kaffaroh/denda apabila terjadi hal yang demikian. Kaffaroh/dendanya yaitu
memerdekakan budak, apabila tidak ada maka wajib menjalankan puasa 2 bulan
berturut-turut, apabila tidak mampu maka memberi makan kepada 60 orang
miskin berdasarkan hadits Abu Hurairah t yang dikeluarkan oleh Bukhari dan
Muslim. (Syaikh Ibnu 'Utsaimin).

Soal 14 : Seorang perempuan dalam keadaan tua dan telah mengalami pikun
(hilang akalnya). Kemudian dia meninggal dan mempunyai hutang dua kali
Romadlon, dalam keadaan dia tidak mengetahui Romadlon dari orang lain
disebabkan karena pikunnya tersebut. Apakah diwajibkan bagi anaknya untuk
membayar fidyah atau berpuasa yang ditujukan kepadanya?

Jawab : Dia (perempuan tersebut) termasuk golongan orang-orang yang tidak


berkewajiban untuk menjalankan ibadah apapun. Sebagaimana sabda Rosululloh
(yang artinya): "Diangkat Al-Qolam atau pena (tidak berkewajiban menjalankan
ibadah) dari tiga golongan, yaitu: orang gila sampai dia sadar, anak kecil sampai
dia balig dan orang yang tidur sampai dia bangun". Dari hadits ini maka
perempuan tersebut termasuk golongan orang-orang yang tidak berkewajiban
untuk menjalankan ibadah apapun. (Syaikh Muqbil bin Hadi)

(Di terjemahkan oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Kitab Fatawa As Shiyam
Syaikh bin Baz dan Syaikh Utasimin, Syarhul Mumthi’ Ibnu Utsaimin, Ijabatus Sail
Syaikh Muqbil bin Hadi )

Sumber : Buletin Da'wah Al-Atsary, Semarang. Edisi 17 / 1427 H


Dikirim via email oleh Al-Akh Dadik

Jima' Saat Puasa Ramadhan


Penulis: Al-Ustadz Usamah Mahri, Lc
‫َ! َء‬U ٌKُU‫ َر‬/َ#‫ ِإ‬$ E ِS5#‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ل َو‬َ !َ?َ: G ُ ََْ‫ل َ! ه‬َ ْ ُQ‫ َر‬R ِ ‫ا‬. ‫ل‬َ !َ : !َ‫ل َأهََْ^َ؟ َو‬ َ !َ : Gُ ْ,َ ‫ َو‬/ََ $ِ.‫ْ اْ ََأ‬$ِ
‫ن‬َ !َ8َ‫ َر‬. ‫ل‬ َ !َ : ْKَ‫ِ ُ ه‬Lَ. !َ \ ُ ِ ْ,َ. ‫ً؟‬+َSْ ‫ل َر‬ َ !َ : h َ.‫ل‬ َ !َ : ْKَ(َ Pُ َِْ ْ-َ. ‫َُ ْ َم نَْأ‬. ' ِ ْ َ ْ(َ7 ‫َْ'ِ؟‬,ِF!َ َ َ ‫ل‬َ !َ : hَ.‫ل‬ َ !َ : ْKَ(َ ُ ِLَ.
!َ ُ ِ,ُْ. 'َ ْE ِQ ‫ً!؟‬5ِْْ-ِ ‫ل‬ َ !َ : hَ.‫ل‬ َ !َ :  ُ% mَ ََU /َ.ََ $ a ِS5#‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ق َو‬ ٍ َ َ,ِF ِ"ِْ ٌْ
َ. ‫ل‬
َ !َ?َ: ْ‫ََ ق‬. ‫َا‬:َ(ِF. ‫ل‬َ !َ :
َ?ْ‫!؟ ََأ‬5ِ !َ
َ 'َ َْF !َ(َْ َFh Kُ ْ‫ َأه‬G
ٍ َْF ‫ج‬ُ َ ْ0‫َْ"ِ َأ‬#‫! ِإ‬5ِ ^
َ ِIَ8َ $ a ِS5#‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ َو‬/ َ0 ْ‫َ َت‬F ُ"ُF!َْ=‫ُ  َأ‬% ‫ل‬َ !َ : ْeَ‫اذْه‬
ُ"ْ
ِ,ْZَ َ ^
َ َْ‫َأه‬

Datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: "Wahai
Rasulullah, aku telah binasa." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya:
"Apa yang membinasakanmu?" Orang itu menjawab: "Aku telah menggauli
(berjima’-pen) istriku di siang Ramadhan." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
kemudian menyatakan: "Mampukah engkau untuk memerdekakan budak?" Ia
menjawab: "Tidak." Kemudian kata beliau: "Mampukah engkau berpuasa selama
dua bulan berturut-turut?" Ia menjawab: "Tidak." Kemudian kata beliau:
"Mampukah engkau memberi makan enampuluh orang miskin?" Ia menjawab:
"Tidak." Kemudian iapun duduk dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memberi satu wadah kurma (sebanyak enampuluh mudd-pen) dan beliau
berkata: "Shadaqahkan ini." Orang itu bertanya: "Kepada yang lebih fakir dari
kami? Sungguh di kota Madinah ini tiada yang lebih membutuhkan kurma ini dari
kami." Mendengar itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga
terlihat gigi taringnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
"Pulanglah dan berikan ini kepada keluargamu."

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Kutubus
Sittah selain An-Nasai (Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah) dari jalan Az-Zuhri Muhamad bin Muslim dari Humaid bin Abdurrahman
dari Abu Hurairah z.

Dari Az-Zuhri diriwayatkan dari sembilan jalan:

1. Ibrahim bin Sa’d dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Musa bin Ismail (lihat
Fathul Bari, 10/519) dan Ahmad bin Yunus (Al-Fath, 9/423).

2. Sufyan bin ‘Uyainah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ali bin Abdullah (Al-
Fath, 11/604) dan Al-Qa’nabi (Al-Fath, 11/605), sementara Muslim dari jalan
Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu
Numair (7/224), sementara Abu Dawud dari jalan Musaddad dan Muhamad bin
‘Isa (‘Aunul Ma’bud, 7/15), sementara At-Tirmidzi dari jalan Nasr bin ‘Ali dan Abu
‘Ammar Al-Husain bin Huraits dan beliau menyatakan: hasan shahih (Al-‘Aridhah,
3/198). Juga Ibnu Majah dari jalan Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah (2/312).

3. Syu’aib bin Abi Hamzah dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Abul Yaman (Al-Fath,
4/193).

4. Manshur dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan ‘Utsman dari Jarir (Al-Fath, 4/204),
sementara Muslim dari jalan Ishaq bin Ibrahim dari Jarir (7/226).
5. Al-Laits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Qutaibah (Al-Fath, 5/264),
sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya, Qutaibah dan Muhamad bin
Rumh (7/226).

6. Ma’mar dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Mahbub dari Abdul
Wahid (11/604), sementara Muslim dari jalan ‘Abd bin Humaid dari Abdurrazzaq
(7/227), sementara Abu Dawud dari jalan Al-Hasan bin ‘Ali dari Abdurrazzaq
(‘Aunul Ma’bud, 7/16)

7. Al-Auza’i dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Muqatil dari Abdullah
(10/568).

8. Ibnu Juraij dikeluarkan Muslim dari jalan Muhamad bin Rafi’ dari Abdurrazzaq
(7/227).

9. Malik dikeluarkan Abu Dawud dari jalan Al-Qa’nabi (‘Aunul Ma’bud, 7/18).

Hadits ‘Aisyah Ummul Mukminin x:

Hadits ‘Aisyah x semakna dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas
dan dalam Kutubus Sittah selain An-Nasai, diriwayatkan dari jalan Muhammad
bin Ja’far bin Az-Zubair dari ‘Abad bin Abdullah bin Az-Zubair dari ‘Aisyah x.

Dari Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair diriwayatkan dari dua jalan:

1. Abdurrahman bin Harits dikeluarkan oleh Abu Dawud dari jalan Muhamad bin
Auf dari Sa’id bin Abi Maryam dari Abdurrahman bin Abi Zinad dari Abdurrahman
bin Al-Harits.

‫ق‬
ٍ َ َ,ِF ِ"ِْ ‫ن‬
َ ْ‫َ!ً! ِ)ْ ُو‬J

(Al-‘Aun, 7/20).

2. Abdurrahman bin Qasim dan darinya diriwayatkan dari dua jalan:

1). ‘Amr bin Harits dikeluarkan Al-Bukhari secara mu’allaq dari Al-Laits (Al-Fath,
12/134) dan disebutkan secara maushul oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam
Taghliqut Ta’liq (5/237). Sementara Muslim dari jalan Abu Thahir bin Sarh dari
Ibn Wahb (7/229), dan Abu Dawud dari jalan Sulaiman bin Dawud Al-Mahri dari
Ibn Wahb (Al-‘Aun, 7/20)

2). Yahya bin Sa’id dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Abdullah bin Numair
dari Yazid bin Harun (Al-Fath, 4/190), sementara Muslim dari jalan Muhammad
bin Rumh dari Al-Laits (7/228) dan dari Muhammad bin Mutsanna dari Abdul
Wahhab Ats-Tsaqafi (7/228).
Fiqhul (kandungan) Hadits:

1. Orang yang disebut dalam riwayat di atas adalah Salamah bin Shakhr Al-
Bayadhi, sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, juga oleh
Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid dan Ibnu Mulaqqin dalam Al-I’lam.

2. Hadits ‘Aisyah x di atas dikeluarkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya pada bab:

‫ ِإذَا‬Pَ َ!َU ْ$ِ ‫ن‬


َ !َ8َ‫َر‬

Menurut Al-Hafidz, yang dimaksud adalah orang tersebut telah melakukan jima’
di siang hari pada bulan Ramadhan dengan sengaja dan ia tahu keharamannya
sehingga ia wajib membayar kaffarah.

Al-Imam Al-Bukhari dalam bab yang sama juga membawakan riwayat dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan sighah tamridh:

ُ َ‫ْآ‬:ُ ‫ْ َ'ْ َو‬$ِF‫َ"ُ هُ َ ْ َ َة َأ‬,َ‫ َر‬: ْ'َ َ َْ‫ن ِ'ْ َ ًْ! َأ‬
َ !َ8َ‫ٍ َْ ِ ِ'ْ َر‬+ِ h
َ ‫ض َو‬
ٍ َ َ َْ# ُ"َ8ْ?َ ‫َِ! ُم‬J ِ ْ‫ ه‬#‫َ!َ"ُ َوِإنْ ا‬J.
ِ"ِF‫ل َو‬
َ !َ 'ُ ْF‫ُ ْ ٍد ا‬,ْ-َ

Disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

"Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan tanpa sebab dan bukan karena
sakit maka ia tidak bisa membayarnya dengan puasa selamanya kalaupun ia
lakukan."

Al-Hafidz berkata: "Riwayat di atas disebutkan secara maushul oleh Abu Dawud,
An-Nasai, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dalam Sunan mereka dan dishahihkan
Ibnu Hazm dari jalan Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah, keduanya dari Habib bin
Abi Tsabit dari ‘Ammarah bin Umair dari Abul Muthawwas dari ayahnya dari Abu
Hurairah z, mirip dengan riwayat di atas. Dalam riwayat Syu’bah dengan lafadz:

ْ$ِ ِ َْ ٍ+َْO‫َ(َ! َر‬O‫ َر‬R


ُ ‫ ا‬/َ#!َ,َ. ُ"َ# َْ# †
َ ْ?ُ ُ"ْ5َ ْ‫َ! َم َوِإن‬J َ ْ‫ ه‬#‫آُ"ُ ا‬

"… Tanpa rukhshah yang Allah berikan baginya maka ia tidak akan bisa
membayarnya walaupun ia puasa sepanjang masa."

3. Lafadz

G
ُ ََْ‫ه‬

yang dimaksud adalah "Aku terjatuh pada dosa", karena melakukan hal terlarang
yang diharamkan ketika puasa yaitu jima’. Dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah x
dengan lafadz

G
ُ ْ َ َ ْ0‫ا‬
: "Aku telah terbakar", maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya
kepadanya: "Mengapa?" Jawabnya: "Karena aku menggauli istriku di siang hari
bulan Ramadhan."

4. Hadits ini menunjukkan wajibnya bertanya tentang hukum syariat dari yang
dilakukan orang ketika menyelisihi syariat dan kekhawatiran dari dampak
bahayanya dosa.

5. Juga menunjukkan bolehnya mengungkap maksiat bagi orang yang ingin


membersihkan dirinya dari dosa dan akibat dosa itu.

6. Pelajaran adab agar seseorang menggunakan kata kiasan dalam hal-hal yang
tidak pantas disampaikan seperti penggunaan kata muwaqa’ah atau ishabah
sebagai isyarat dari jima’.

7. Hadits ini pula menunjukkan wajibnya membayar kaffarah bagi orang yang
berjima’ dengan sengaja, dan ini merupakan madzhab seluruh ulama kecuali
yang menyelisihinya dengan pernyataannya tidak wajib membayar kaffarah
demikian. Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan beberapa ulama lainnya, hal ini
mereka kiaskan dengan shalat karena tidak ada kaffarah bagi yang merusaknya.
Namun kias ini tidak berguna dengan adanya nash, selain juga karena
perbedaan yang jelas dimana tidak ada jalan bagi harta untuk mengganti shalat.
Berbeda dengan puasa, buktinya orang tua yang lemah dan lainnya yang tidak
mampu puasa (menggantinya dengan harta, -red).

Mungkin mereka akan mengatakan, bila kaffarah itu memang wajib maka tidak
akan gugur karena ketidakmampuan. Pernyataan inipun lemah karena justru
gugurnya kewajiban membayar kaffarah menunjukkan bahwa kaffarah itu wajib,
karena kalau tidak demikian (yaitu tidak wajib -red) tidak akan dinyatakan gugur
hukumnya.

8. Jika seseorang melakukan jima’ di siang hari Ramadhan karena lupa, apakah
puasanya batal sekaligus berkewajiban bayar kaffarah? Dalam masalah ini ada
tiga pendapat para ulama dan yang benar adalah dalam madzhab Asy-Syafi’i
bahwa puasanya tidak batal dan tidak wajib pula membayar kaffarah.

9. Susunan pembayaran kaffarah dalam hadits yaitu memerdekakan budak,


puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin.
Susunan ini dilakukan secara berurutan dan tidak dengan pilihan secara bebas,
demikian menurut pendapat mayoritas ulama.

10. Hadits ini juga menunjukkan bahwa jima’ antara suami istri hanya terkena
satu kaffarah, dimana tidak disebutkan dalam riwayat di atas kewajiban kaffarah
atas si istri. Demikian pendapat terbenar bagi Al-Imam Asy-Syafi’i juga madzhab
Dawud dan madzhab Dzahiri. Sementara ulama lain membedakan antara istri
yang dipaksa melakukan jima’ -baginya tidak berkewajiban bayar kaffarah-
dengan istri yang melakukan jima’ dengan kesadaran -wajib membayar kaffarah-.
Demikian madzhab Malik, Al-Imam Ahmad dan Hanafiyyah. Adapula di kalangan
ulama yang menyamakan antara istri yang dipaksa maupun tidak tetap
berkewajiban bayar kaffarah, yaitu Al-Imam Al-Auza’i.

11. Madzhab jumhur ulama menyebutkan bahwa puasa kaffarah ini dilakukan
dua bulan dengan syarat berturut-turut.

12. Sabda Rasulullah n:

ْeَ‫ِ
ْ"ُ اذْه‬,ْZََ ^
َ َْ‫َأه‬

"Pergi dan berikan ini pada keluargamu"

Artinya yang paling benar menurut Ibnul ‘Arabi, Al-Baghawi, Ibnu Abdil Bar dan
Ibnu Daqiqil ‘Ied adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan
shadaqah itu kepada orang tersebut untuk dibagikan kepada keluarganya karena
kefakirannya, sementara kewajiban kaffarah tetap dalam tanggungannya dan
harus ia bayar ketika mampu. Ini adalah madzhab Malik bin Anas.

Oleh sebab itu Al-Bukhari memberi judul bab:

‫ ِإذَا‬Pَ َ!َU َْ#‫َ"ُ َُ'ْ َو‬# ٌ‫ْء‬$َ7 ‫ق‬


ُ E َُ َ ِ"ََْ ْE6ََُْ

Jika berjima’ dan tidak memiliki sesuatu kemudian mendapat shadaqah maka
hendaknya ia membayar kaffarah.

Kata Al-Hafidz, ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan seseorang tidaklah


menggugurkan kewajiban membayar kaffarah, namun hal itu tetap menjadi
tanggungannya.(Al-Fath, 4/204)

13. Hadits di atas juga mengajarkan berlemah lembut pada orang yang belajar
dan memberi pengajaran dengan cara lunak. Juga mengambil simpati orang
dalam agama.

14. Hadits itu juga mengajarkan penyesalan dari perbuatan maksiat dan merasa
takut dari akibat buruknya.

15. Bolehnya duduk di masjid untuk selain shalat tapi untuk kemaslahatan
lainnya seperti belajar dan mengajar.

16. Bolehnya tertawa ketika ada sebabnya.

17. Diterimanya berita dari seseorang berkaitan dengan hal pribadinya yang
tidak diketahui kecuali dari dirinya.
18. Ta’awun dalam ibadah dan membantu seorang muslim dalam hajatnya.

19. Orang yang mudhthar (sangat butuh pada apa yang ia miliki) tidak
berkewajiban untuk memberikan itu atau sebagiannya pada orang mudhthar
lainnya.

20. Jumhur ulama berpendapat wajibnya membayar puasa (meng-qodho) bagi


yang merusak puasanya dengan jima’ dengan alasan puasa yang diwajibkan
kepadanya belum ia laksanakan (karena batal disebabkan jima’), maka (puasa
itu masih) menjadi tanggungannya. Sama dengan shalat dan lainnya ketika
belum ia lakukan dengan syarat-syaratnya.

Walaupun sebagian ulama menyatakan tidak wajib lagi puasa atasnya karena
telah tertutupi dengan kaffarah. Juga karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam diam dan tidak memerintahkan puasa kepadanya.

Ada pula yang menyatakan bila dia tunaikan kaffarah dengan puasa maka telah
terbayar hutang puasanya. Tetapi bila tidak, maka tetap harus dia bayar karena
jenis amalannya berbeda, demikian pendapat Al-Auza’i.

Termasuk yang menguatkan pendapat yang mewajibkan membayar puasa


bersama dengan kaffarah adalah lafadz

ُْJ !ًْ َ ُ"َ=!ََ

: "Dan puasalah sehari sebagai gantinya." Dari riwayat Amr bin Syu’aib dari
ayahnya dari kakeknya, juga tersebut pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu dari jalan Abu Uwais, Abdul Jabbar dan Hisyam bin Sa’d, semuanya dari
Az-Zuhri, juga dalam mursal Sa’id bin Musayyib, Nafi bin Jubair, Hasan dan
Muhamad bin Ka’b. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar, dari keseluruhan jalan di atas
diketahui bahwa tambahan perintah untuk bayar puasa memiliki asal (ada
benarnya) (Al-Fath: 4/204)

21. Hadits dan atsar ini menurut Ibnu Hajar sengaja dibawakan oleh Al-Imam Al-
Bukhari untuk menunjukkan bahwa kewajiban membayar kaffarah
diperselisihkan oleh salaf, dan bahwa yang membatalkan puasa dengan jima’
maka wajib membayar kaffarah, sementara hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu beliau mengisyaratkan kelemahannya dengan sighah tamridh (bentuk
pasif). Kalaupun shahih, maka isinya menguatkan pendapat yang tidak
mewajibkan qadha (membayar puasa) bagi yang membatalkan puasanya
dengan makan, tetapi tetap hal itu menjadi tanggungannya sebagai tambahan
balasan baginya. Hal ini karena dengan diqadha berarti terhapus dosa darinya,
namun bukan berarti dengan tidak bisa diqadha berarti gugur pula kewajiban
membayar kaffarah pada sebab yang disebutkan yaitu jima’, dan pembatalan
karena jima’ berbeda jelas dengan pembatalan karena makan.
22. Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan udzur yang
dengannya gugur suatu hukum darinya atau berhak dengannya mengambil
sesuatu, maka keterangannya diterima dan tidak dibebani untuk mendatangkan
bukti, karena orang ini mengaku bahwa dirinya fakir dan mengaku telah merusak
puasanya.

23. Hadits ini ditulis sebagai sebuah karya secara tersendiri tentang penjelasan
dan keterangannya oleh Al-Imam Abdurrahim bin Hussain Al-‘Iraqi, dimana
beliau membahas dan meng-istimbath tentang 1001 masalah dalam satu hadits
ini. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap ahlul bid’ah yang menyatakan
bahwa ulama hadits hanya tersibukkan dengan periwayatan, pembicaraan
tentang sanad, al-jarh wat-ta’dil dan sejenisnya, dan tidak mengerti tentang fiqh
hadits.

ُ ِْ,ْ#‫ْ َ وَا‬5ِ R
ِ ‫ ا‬/َ#!َ,َ. ‫& ُة‬
َ #‫& ُم وَا‬
َ -#‫ وَا‬/ََ ‫ل‬
ِ ْ ُQ‫ َر‬R
ِ ‫َ
ْ ُ ا‬Iْ#‫ وَا‬R
ِ ‫ب‬
E ‫' َر‬
َ ِْ
َ#!َ,ْ#‫ا‬

Sumber Bacaan:

1. Al-I’lam bi Fawa ‘id ‘Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin

2. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfury

3. Sunan Ibnu Majah

4. ‘Aridhotul Ahwadzi, Ibnul ‘Arabi Al-Maliki

5. ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al-Adzimi Abadi

6. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-’Asqalani

7. Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi

http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1319

Puasa Tidak Sekedar Menahan Makan dan Minum


Penulis: Al Ustadz Saifudin Zuhri, Lc
Puasa merupakan ibadah yang sangat dicintai Allah ta'ala. Hal ini sebagaimana
tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

K
a ُ‫ آ‬K
ِ َ
َ '
ِ ْF‫ > َد َم ا‬H
ُ َ!َ8ُ ُ+َ5َ-َIْ#‫ِ(َ! َ)ْ ُ ا‬#!َNْ‫ َأ‬/َ#‫ِ ِإ‬+َT!ِ
ِ,ْSَQ H
ٍ ْ,ِb. ‫ل‬
َ !َ R
ُ ‫ َ < ا‬K
 َU‫ َو‬: h
 ‫ ِإ‬،َ‫ ْم‬#‫ْ َِ="ُ ا‬$ِ# !َ=‫َوَأ‬
‫ْ<ِي‬U‫ َأ‬،ِ"ِF ‫ع‬
ُ َ َ ُ"َ. َ ْ(َ7 ُ"َ!َ,َZ‫ ِ'ْ َو‬$ِْU‫َأ‬

"Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan
berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah ta’ala berkata: ‘Kecuali
puasa, maka Aku yang akan membalas orang yang menjalankannya karena dia
telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsunya dan makannya karena
Aku’." (Shahih, HR. Muslim)

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa. Allah
ta’ala akan melipatgandakan pahalanya bukan sekedar 10 atau 700 kali lipat
namun akan dibalas sesuai dengan keinginan-Nya Ta'ala. Padahal kita tahu
bahwa Allah ta’ala Maha Pemurah, maka Dia tentu akan membalas pahala orang
yang berpuasa dengan berlipat ganda.

Hikmah dari semua ini adalah sebagaimana tersebut dalam hadits, bahwa orang
yang berpuasa telah meninggalkan keinginan hawa nafsu dan makannya karena
Allah Ta'ala. Tidak nampak dalam dzahirnya dia sedang melakukan suatu
amalan ibadah, padahal sesungguhnya dia sedang menjalankan ibadah yang
sangat dicintai Allah ta’ala dengan menahan lapar dan dahaga. Sementara di
sekitarnya ada makanan dan minuman.

Di samping itu dia juga menjaga hawa nafsunya dari hal-hal yang bisa
membatalkan puasa. Semua itu dilakukan karena mengharapkan keridhaan
Allah Ta’ala dengan meyakini bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala gerak-
geriknya.

Di antara hikmahnya juga yaitu karena orang yang berpuasa sedang


mengumpulkan seluruh jenis kesabaran di dalam amalannya. Yaitu sabar dalam
taat kepada Allah Ta'ala, dalam menjauhi larangan, dan di dalam menghadapi
ketentuan taqdir-Nya Ta'ala. Allah Ta’ala berfirman:


=‫ ِإ‬/ َ ُ ‫ن‬
َ ْ‫ِ ُو‬F!#‫ْ َهُْ ا‬U‫َْ ِ َأ‬WِF ‫ب‬
ٍ !َ-ِ0

"Sesungguhnya akan dipenuhi bagi orang-orang yang sabar pahala mereka


berlipat ganda tanpa perhitungan." (Az-Zumar: 10)

Perlu menjadi catatan penting bahwa puasa bukanlah sekedar menahan diri dari
makan, minum dan hal-hal lainnya yang membatalkan puasa. Orang yang
berpuasa harus pula menjaga lisan dan anggota badan lainnya dari segala yang
diharamkan oleh Allah Ta’ala namun bukan berarti ketika tidak sedang berpuasa
boleh melakukan hal-hal yang diharamkan tersebut.
Maksudnya adalah bahwa perbuatan maksiat itu lebih berat ancamannya bila
dilakukan pada bulan yang mulia ini, dan ketika menjalankan ibadah yang sangat
dicintai Allah Ta'ala. Bisa jadi seseorang yang berpuasa itu tidak mendapatkan
faidah apa-apa dari puasanya kecuali hanya merasakan haus dan lapar.
Na’udzubillahi min dzalik.

Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpuasa
agar mendapatkan balasan dan keutamaan-keutamaan yang telah Allah ta’ala
janjikan. Diantaranya:

1. Setiap muslim harus membangun ibadah puasanya di atas iman kepada Allah
Ta’ala dalam rangka mengharapkan ridha-Nya, bukan karena ingin dipuji atau
sekedar ikut-ikutan keluarganya atau masyarakatnya yang sedang berpuasa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ْ'َ ‫َ! َم‬J ‫ن‬


َ !َ8َ‫ً! ِإ ْ
َ!=ً! َر‬F!َ-ِ ْ0‫ِ َ وَا‬6ُ ُ"َ# !َ ‫َ?َ  َم‬. ْ'ِ ِ"ِSْ=‫َذ‬

"Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala
dari Allah Ta'ala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaqun
‘alaih)

2. Menjaga anggota badannya dari hal-hal yang diharamkan Allah k, seperti


menjaga lisannya dari dusta, ghibah, dan lain-lain. Begitu pula menjaga matanya
dari melihat orang lain yang bukan mahramnya baik secara langsung atau tidak
langsung seperti melalui gambar-gambar atau film-film dan sebagainya. Juga
menjaga telinga, tangan, kaki dan anggota badan lainnya dari bermaksiat
kepada Allah Ta'ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ْ'َ َْ# ْ‫ل َ َع‬


َ ْ َ ‫<وْ ِر‬a #‫ ا‬K
َ َ
َ,ْ#‫ِ"ِ وَا‬F m
َ ََْ R
ِ ٌ+َU!َ0 ْ$ِ ْ‫ع َأن‬
َ َ َ ُ"َ!َ,َZ ُ"َF‫ََا‬7‫َو‬

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya,


maka Allah Ta’ala tidak peduli dia meninggalkan makan dan minumnya." (Shahih
HR. Al-Bukhari no. 1804)

Maka semestinya orang yang berpuasa tidak mendatangi pasar, supermarket,


mal, atau tempat-tempat keramaian lainnya kecuali ada kebutuhan yang
mendesak. Karena biasanya tempat-tempat tersebut bisa menyeretnya untuk
mendengarkan dan melihat perkara-perkara yang diharamkan Allah Ta'ala.
Begitu pula menjauhi televisi karena tidak bisa dipungkiri lagi bahwa efek
negatifnya sangat besar baik bagi orang yang berpuasa maupun yang tidak
berpuasa.

3. Bersabar untuk menahan diri dan tidak membalas kejelekan yang ditujukan
kepadanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah


radiyallahu 'anhu:

‫َ! ُم‬E#‫ٌ ا‬+5ُU ‫ن َِذَا‬


َ !َ‫َ ْ ِم ُم َ ْ آ‬J ُْ‫َ ِآ‬0‫& َأ‬
َ َ ْoَُْ :ٍ ِkَْ َ h
َ ‫ْ َو‬eَ]َْ ْ‫"ُ َ ِن‬F!َQ ٌَ0‫ََ"ُ َأوْ َأ‬.!َ ْKُ?ََْ $E=‫ٌِ اْ ُؤٌ ِإ‬T!َJ

"Puasa adalah tameng, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa
janganlah dia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara.
Jika dia dicela dan disakiti maka katakanlah saya sedang berpuasa." (Shahih,
HR. Muslim)

Dari hadits tersebut bisa diambil pelajaran tentang wajibnya menjaga lisan.
Apabila seseorang bisa menahan diri dari membalas kejelekan maka tentunya
dia akan terjauh dari memulai menghina dan melakukan kejelekan yang lainnya.

Sesungguhnya puasa itu akan melatih dan mendorong seorang muslim untuk
berakhlak mulia serta melatih dirinya menjadi sosok yang terbiasa menjalankan
ketaatan kepada Allah k. Namun mendapatkan hasil yang demikian tidak akan
didapat kecuali dengan menjaga puasanya dari beberapa hal yang tersebut di
atas.

Puasa itu ibarat sebuah baju. Bila orang yang memakai baju itu menjaganya dari
kotoran atau sesuatu yang merusaknya, tentu baju tersebut akan menutupi
auratnya, menjaganya dari terik matahari dan udara yang dingin serta
memperindah penampilannya. Demikian pula puasa, orang yang
mengamalkannya tidak akan mendapatkan buah serta faidahnya kecuali dengan
menjaga diri dari hal-hal yang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan
pahalanya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Ceramah dan tanya jawab Masyayikh Salafiyyin (Asy-Syaikh ‘Abdul


‘Aziz bin Baz t, Asy-Syaikh Muhammad Al-’Utsaimin rahimahullah dan Asy-
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Saifudin Zuhri, Lc. Judul asli Puasa Tidak Sekedar
Menahan Makan dan Minum. URL Sumber
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=300)

Shalat Tarawih
Penulis: Al-Ustadz Hariyadi, Lc
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari

ٌ+َIْ ‫َْ ِو‬.


yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari,
4/294)

Dan

َIْ ‫َْ ِو‬.ٌ+

pada bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat


setelah melaksanakan shalat tiap-tiap 4 rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)

Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan


Ramadhan dinamakan tarawih. (Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari,
4/294). Karena para jamaah yang pertama kali bekumpul untuk shalat tarawih
beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup
dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam).
(Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)

Hukum Shalat Tarawih

Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan


oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi
shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu:

ْ'َ ‫ن َ! َم‬
َ !ََ‫ً! ِإ ْ
َ!=ً! َر‬F!َ-ِ ْ0‫ِ َ وَا‬6ُ ُ"َ# !َ ‫َ?َ  َم‬. ْ'ِ ِ"ِSْ=‫َذ‬

"Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap


balasan dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu." (Muttafaqun
‘alaih)

"Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama
telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah)." (Syarh
Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para
ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim
(5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).

Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan


dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas
kembali tentang hal tersebut: "Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat
diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud
dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat
tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya)." (Fathul Bari, 4/295)
Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-
sendiri di rumah?

Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.

Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga
pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90)
dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-
Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan
lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
dalam Syarh Shahih Muslim (6/282).

Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat
ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, beliau
berkata: "Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan
dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan)
sendirian…" (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).

Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.

Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta
sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-
Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).

Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

Dasar pendapat pertama:

1. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:

‫ن‬
 ‫ل َأ‬َ ْ ُQ‫ َر‬R ِ ‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ت َو‬ َ ‫ٍ ذَا‬+ََْ# $ِ ِ ِLْ-َ
ْ#‫ ا‬/ََ ِ"ِ.& َ َِF ،ٌ‫ُ  =َ!س‬% /َJ ' َ ِ ِ+َِF!َ?ْ#‫ُ َ ا‬Nََ ،ُ‫!س‬5#‫ُ  ا‬%
ُ,َ
َ ْU‫' اا‬ َ ِ ِ+َْ#‫ِ ا‬+َNِ#!N#‫ِ َأ ِو ا‬+َ,ِF‫ا‬#‫َْ(ِْ َ]ْ ُجْ ََْ ا‬#‫ل ِإ‬
ُ ْ ُQ‫ َر‬R
ِ ‫ ا‬/َJ R ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ َو‬. !
ََ [
َ َSْJ‫ل َأ‬ َ !َ : َْ G ُ ْ ‫ِي َرَأ‬:#‫ا‬
،ُْ ْ,َ5َJ َْ#‫ َو‬$ِ5ْ,َ5ْ
َ ' َ ِ ‫ج‬ ِ ْ‫ْ]ُ ُو‬#‫َُْْ ا‬#‫ ِإ‬h ‫ ِإ‬$E=‫ َأ‬G
ُ ِْ)َO ‫ض نَْأ‬ َ َ ْ6ُ. ََُْْ. ^َ ِ#‫ْ َو َذ‬$ِ ‫ن‬ َ !َ8َ‫َر‬

"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat


di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam
berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang
mengikuti shalat Nabi n), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau
malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada
mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang
mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan
diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan."
(Muttafaqun ‘alaih)
• Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Dalam hadits ini terkandung
bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama
adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus
seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula
shalat tarawih menurut jumhur ulama." (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat
pula Al-Majmu’, 3/499;528)

• Tidak adanya pengingkaran Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap para


shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam
bulan Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)

2. Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu


alaihi wasallam bersabda:

‫ن‬
 ‫ ِإ‬K
َ ُU #‫ ِإذَا ا‬/َJ Pَ َ ‫َ! ِم‬g
ِ ْ‫ ا‬/ َ0 ‫ف‬
َ ِ َْ5َ e
َ ِ-ُ0 ُ"َ# ‫ٍ َِ! ُم‬+ََْ#

"Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka


terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh." (HR. Abu Dawud, At-
Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih


Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam Ibnu
Qudamah mengatakan: "Dan hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan
(tarawih)." (Al-Mughni, 2/606)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: "Apabila permasalahan seputar


antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara
berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-
sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung
baginya qiyamul lail yang sempurna." (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)

3. Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan para shahabat


lainnya radiyallahu 'anhum 'ajma'in (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika ‘Umar
bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat manusia shalat di masjid pada
malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan
ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau mengumpulkan
manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu
sebagai imam (lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).

4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa
dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)

5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih bersemangat


bagi keumuman orang-orang yang shalat. (Fathul Bari, 4/297)
Dalil pendapat kedua:

Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit z, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda: "Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya
shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di
rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan." (Muttafaqun ‘alaih)

Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih
yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara
berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)

Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena
hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat
pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua
adalah:

• Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan para shahabat


untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka
(setelah para shahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara
berjamaah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wassallam), karena kekhawatiran
beliau shallallahu alaihi wasallam akan diwajibkannya shalat malam secara
berjamaah (Fathul Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya
beliau akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara
berjamaah) (Al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau shallallahu
alaihi wasallam akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi n.
(Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/595), karena dengan wafatnya beliau
shallallahu alaihi wasallam maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini.

Dengan demikian maka pemegang pendapat pertama telah menjawab terhadap


dalil yang digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.

Waktu Shalat Tarawih

Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam:

‫ن‬
 ‫ ِإ‬R
َ ‫& ًة زَا َدآُْ ا‬
َ َJ $
َ ِ‫ْ ُ َوه‬. ِ ْ#‫ ْهَ! ا‬aََ !َ
ِْ '
َ َْF ‫& ِة‬
َ َJ ‫ِ)َ! ِء‬,ْ#‫ ا‬/َ#‫& ِة ِإ‬
َ َJ ِ ْLَ6ْ#‫ا‬

"Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat
witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar." (HR.
Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: "(Hadits) ini
sanadnya shahih", sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221 no.108)

Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih

Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat


berdasarkan:

1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau


bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:

!َ ‫ن‬
َ !َ‫ْ َ ِ< ْ ُ آ‬$ِ ‫ن‬
َ !َ8َ‫ َر‬h
َ ‫ْ َو‬$ِ ِ ِ َْ /ََ ‫َْى‬0‫ً َ)ْ َ َة ِإ‬+َ,ْ‫ َرآ‬...

"Tidaklah (Rasulullah n) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan


tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat." (HR. Al-Imam Al-
Bukhari)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah


rakaat shalat malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah beliau
saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya.
"Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi shallallahu alaihi
wasallam di malam hari dari lainnya." (Fathul Bari, 4/299)

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: "(Jumlah) rakaat (shalat


tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena
mengikuti Rasulullah n, maka sesungguhnya beliau shallallahu alaihi wasallam
tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau shallallahu alaihi wasallam wafat."
(Qiyamu Ramadhan, hal. 22)

2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:

َ َ‫' ُ
َ ُ َأ‬
ُ ْF ‫ب‬
ِ !َ]ْ#‫ ا‬$
 َF‫' ُأ‬
َ ْF e
ٍ ْ,َ‫َ
ِْ
ً! آ‬.‫ي َو‬
 ‫ا ِر‬#‫س َ?ُ َْ! َأنْ ا‬
ِ !5ِ# ‫َْى‬0ِِF ‫ً َ)ْ َ َة‬+َ,ْ‫َرآ‬

"’Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b
dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat." (HR.
Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata dalam Al-Irwa (2/192)


tentang hadits ini: "(Hadits) ini isnadnya sangat shahih." Asy-Syaikh Muhammad
Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: "Dan (hadits) ini merupakan nash yang jelas
dan perintah dari ‘Umar z, dan (perintah itu) sesuai dengannya radhiyallahu
‘anhu karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam
berpegang teguh dengan As Sunnah, apabila Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami
berkeyakinan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu akan berpegang teguh dengan
jumlah ini (yaitu 11 rakaat)." (Asy-Syarhul Mumti’)

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23


rakaat adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan oleh
pemegang pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits
tersebut:
1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:

‫ن‬
َ !َ‫س آ‬
ُ !5#‫ن ا‬
َ ْ ُْ ُ?َ ْ$ِ ‫ن‬
ِ !َ‫' ُ
َ َ َز‬
ِ ْF ‫ب‬
ِ !َ]ْ#‫ْ ا‬$ِ ‫ن‬
َ !َ8َ‫ث َر‬
ٍ &
َ َNِF '
َ ْ ِ ْ)ِ‫ً َو‬+َ,ْ‫َرآ‬

"Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu 23 rakaat." (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-
Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata: "Yazid bin Ruman tidak menemui


masa ‘Umar radiyallahu 'anhu". (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka
sanadnya munqothi/terputus, red).

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah men-dha’if-kan hadits ini


sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).

2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu
‘Abbas radiyallahu 'anhu :

‫ن‬
 ‫ َأ‬$
 ِS5#‫ ا‬/َJ R
ُ ‫َ َ ََْ"ِ ا‬Q‫ن َو‬
َ !َ‫ آ‬/Eَُ ْ$ِ ‫ن‬
َ !َ8َ‫' َر‬
َ ْ ِ ْ)ِ َ+َ,َ‫ْ َ َرآ‬. ِ ْ#‫وَا‬

"Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan 20


rakaat dan witir." (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440
dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)

Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah berkata: "Tidak ada yang meriwayatkan


hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu
‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja." (Al-Mu’jamul Ausath, 1/244)

Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: "Abu Syaibah Ibrahim bin
‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah
menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau
bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : "Bagaimana shalat Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari
pendapat yang pertama)." Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan
Al-Irwa, 2/191 no. 445)

Sebagai penutup kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada


pelaksanaan shalat tarawih yaitu dengan membaca dzikir-dzikir atau doa-doa
tertentu yang dibaca secara berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam.
Amalan ini adalah amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh nabi shallallahu
'alaihi wassallam).

Wallahu a’lam
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Hariyadi, Lc, judul asli Shalat Tarawih. URL
Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=301)

JUMLAH ROKAAT SHOLAT TARAWIH


Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah Ta’ala
Soal: Apa hukum sholat tarawih dan berapa jumlah rokaatnya?

Jawab: Sholat tarawih adalah sunnah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah


shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim dari
‘Aisyah radhiallahu ‘anha menerangkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam suatu malam sholat di Masjid, orang-orangpun ikut sholat bersama beliau
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Malam berikutnya beliau juga sholat dan orang yang
mengikutinya semakin banyak. Kemudian mereka mengumpul pada malam
ketiga atau keempat tetapi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar
mengimami mereka. Ketika memasuki pagi hari beliau shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda (artinya):”Saya telah melihat apa yang telah kalian kerjakan.
Dan tidak adayang menghalangiku dari keluar untuk mengimami kalian kecuali
karena saya takut hal ini akan diwajibkan bagi kalian” . Peristiwa ini terjadi pada
bulan Ramadlon.

Sedangkan jumlah rokaat sholat tarawih adalah 11 (sebelas) rokaat. Hal ini
berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ketika ditanya tentang sholat
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadlon, maka ia berkata:

! ‫!ن‬jj‫ آ‬jjjjjjj < $jjjjj ‫!ن‬jj8‫ ر‬h‫ و‬$jjjjj jjjj /jjjj ‫ى‬0‫ة إ‬jjj) +jjj,‫!ري؛ روا( رآ‬jjjjjjj]S#‫ ا‬jjjjj-)

“Beliau sholat tidak melebihi dari sebelas rokaat baik dalam bulan Ramadlon
ataupun selainnya” (HR. Bukhori no. 1147; Muslim no. 125).

Jika melakukan sholat tarawih tiga belas rokaat juga tidak mengapa,
berdasarkan perkataan Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata:”Sholat
Rasulullah shlallahu ‘alaihi wa sallam adalah tiga belas rokaat”, yaitu sholat
malam. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shahihnya no. 1137; Muslim
dalam Shahihnya no. 764.

Jumlah sholat tarawih sebelas rokaat jelas jelas bersumber dari Ibn ‘Umar
radhiallahu ‘anhuma sebagaimana terdapat dalam Al-Muwaththo’ dengan sanad
(=jalan) yang paling shahih.

Jika sholat tarawih dilakukan lebih dari itu maka tidak mengapa, hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang
sholat malam, beliau bersabda:”Sholat malam, dua rokaat, dua rokaat”. Dan
beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasinya.

Riwayat dari para salaf tentang jumlah rokaat sholat tarawih bermacam-macam.
Tetapi yang lebih utama adalah mencukupkan dengan yang dikerjakan oleh Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sebelas rokaat.

Dan tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam dan para Khulafa’ Ar-Rosyidin melakukan sholat tarawih sebanyak 23
rokaat. Bahkan jelas riwayat dari Ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sholat malam 11 rokaat. Dimana beliau
memerintahkan ‘Ubai bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami manusia
dengan 11 rokaat.

Inilah riwayat yang tepat, bahwa apa yang beliau kerjakan adalah apa yang juga
dikerjakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan kami tidak mengetahui ada sahabat yang melakukannya melebihi 23 rokaat,
bahkan yang nampak tidaklah demikian.

Telah disebutkan dimuka perkataan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi


shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau tidak menambah lebih dari sebelas rokaat baik
pada bulan Ramadlon ataupun bulan lainnya.

Adapun ijma’ para sahabat radhiallahu ‘anhum maka tidak diragukan lagi
sebagai hujjah (=dalil) karena diantara mereka ada Khulafa’ Ar-Rasyidin yang
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk mengikuti
mereka, karena memang merekalah sebaik-baiknya generasi dari ummat ini.

Ketahuilah bahwa perbedaan pendapat tentang jumlah rokaat sholat tarawih dan
yang lainnya yang memang padanya terbuka pintu ijtihad, maka tidak
seyogyannya menjadi pintu untuk berpecah belah antar ummat, terlebih memang
salaf pun berbeda pendapat tentang masalah ini. Dan hal ini memang tidak
menutup kemungkinan pintu ijtihad. Dan alangkah baiknya perkataan ahli ilm
saat ada orang yang menyelisihi pendapatnya pada masalah yang terbuka pintu
ijtihad padanya:

Sesungguhnya dengan anda menyelisihi pendapatku maka engkau telah


sependapat denganku. Maka setiap kita melihat, wajib mengikuti yang benar
menurut pendapatnya untuk masalah yang dibolehkan berijtihad.

Kita memohon kepada Allah untuk semuanya agar memberi petunjuk kepada
apa yang dicintai dan diridloi-Nya.

Sumber: Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, soal no. 279.

http://abdurrahman.wordpress.com/2007/08/30/jumlah-rokaat-sholat-
tarawih/#more-382

Shalat Tarwih di Belakang Imam yang Melebihi 11 Rakaat


Penulis: Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah
Tanya : Jika ada seorang shalat tarawih di belakang imam yang melebihi 11
rakaat, haruskah ia mengikuti shalatnya imam ataukah ia berpaling dari imam
setelah ia menyempurnakan 11 rakaat di belakangnya ??

Jawab : Sunnahnya dia tetap mengikuti imam walaupun lebih dari 11 rakaat.
Karena jika dia berpaling sebelum selesainya imam dari shalatnya, dia tak
mendapatkan pahala qiyamul lailnya. Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :

' !jjj ‫ م‬P g‫ !م ا‬/ jjjjj0 ‫ف‬jjjjjjjj5 ejjjjjj ‫" آ‬jj# ‫!م‬jjjjjj +jjjjjjjj#

"Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam itu selesai dari shalatnya
maka ditulis untuknya pahala shalat lailnya" (HR. Abu Dawud No. 1375, Tirmidzi
No. 706 dan dishahihkan oleh AsySyaikh Albani)

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan demikian dalam rangka


mendorong kita untuk menjaga agar kita tetap shalat dibelakangnya hingga
imam itu selesai. Dan juga para shahabat, mereka mengikuti imam. Mereka pada
shalat yang di situ imam menambah rakaat dari yang disyariatkan, sebagaimana
ang terjadi bersama Amirul Mukminin Ustsman bin Affan, ketika beliau
menyempurnakan shalat empat rakaat. Dimana pada waktu haji bersama Nabi,
kemudian Abu Bakr, ‘Umar, dan Utsman bin Affan pada awal pemerintahannya
sampai bertahan delapan tahun, mereka shalat dua rakaat. Kemudian setelah itu
mereka tetap mengikuti beliau shalat dibelakangnya shalat empat rakaat. Jika
demikian petunjuk para shahabat, yang mana mereka adalah orang-orang yang
paling bersemangat dalam mengikuti imam, maka bagaimana keadaan sebagian
manusia yang mana mereka ketika melihat imam shalat melebihi rakaat yang
ditentukan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu mereka berpaling di
tengah-tengah shalat, sebagaimana yang kita saksikan di Masjidil Haram mereka
pergi meninggalkan imam dengan alasan bahwa yang disyariatkan adalah 11
rakaat. (af)

Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah,


Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-
Ghuroba’ Solo.

http://almakassari.com/?p=178

Sahur Dan Buka Bersama Rasulullah


Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin As-Sidawy
jjjjjjj-F R‫
' ا‬0jjj#‫ ا‬0jjjjjjj#‫ا‬
‫ إن‬jjj
I#‫ ا‬R jjj
I= "5, jjjjjjjjjjjjjjj-=‫ و‬6W jjjjjjjjjjjjjjj-=‫ ذ و‬jjjj,=‫ و‬R!jjjjjjjjjjF ' ‫ور‬jjj7 !5jjjjjjjjjjjj-6=‫!ت أ‬kjjjjjjjjjQ‫! و‬jjjjj5#!
‫أ‬,
'
jjj( R‫& ا‬jjjjjj K
ّ 8 "jj# ' Kjjjjjjjj8 &jjjjjj ‫" ه!دي‬jj#
(jj7‫ أن وأ‬h "jj#‫ إ‬h‫ إ‬R‫ ا‬0‫ ^ و‬jjjjjjjj7h "jj# (jj7‫
ا أن وأ‬I jjjjS "# jjjjjQ‫ور‬

" !َ(a ‫' َ!َأ‬


َ ِ:#‫ُ اءَا ا‬5َ ‫?ُ ا‬.‫"َ ا‬#‫\ ا‬ َ0 ِ"ِ.!َ?ُ. h
َ ‫' َو‬  ُ. ُ
َ. hّ ‫ن َوَأ=ْ ُْ ِإ‬
َ ُ
ِْ-ُ "
" !َ(a ‫س َ!َأ‬
ُ !5#‫?ُ ا ا‬.‫ُ ُ ا‬F‫ِي َر‬:#‫ََ?َُْ ا‬O ْ'ِ m ٍ ْ6َ= ‫ِ َ ٍة‬0‫\ وَا‬ َ ََO‫ْ(َ! َو‬5ِ !َ(َUْ‫ َزو‬o  َF‫ْ(ُ
َ! َو‬5ِ h ً !َU‫ًِا ِر‬Nَ‫َ! ًء آ‬-ِ=‫?ُ ا َو‬.‫"َ وَا‬#‫ا‬
‫ِي‬:#‫ن ا‬ َ ُ#‫َ! َء‬-َ. ِ"ِF ‫َ! َم‬0ْ‫ر‬c
َ ‫ن وَا‬ ‫"َ ِإ‬#‫ن ا‬
َ !َ‫ً! ََُْْ آ‬Sِ ‫" َر‬
" !َ(a ‫' َ!َأ‬
َ ِ:#‫ُ ا ا‬5َ‫?ُ ا ءَا‬.‫"َ ا‬#‫ُ ا ا‬# ُ ‫ً! َو‬#ْ َ ‫َِ ًا‬Q. ْ[ُِْ َُْ# َُْ#!َ
ْ‫ِْ َأ‬6ْWَ ‫َُْ َو‬# َُْF ُ=‫ َوَ'ْ ُذ‬Pِ ُِ َ"#‫َ"ُ َو َر ا‬# ُQ َْ?َ
‫ِ
ً! َ ْزًا َ! َز‬pَ "
‫ن‬ َِ ‫ق‬
َ َ ْJ‫ َأ‬o ِ ْ ِ َI#‫ب ا‬ ُ !َ ِ‫ آ‬R
ِ ‫َْ َ َو ا‬O ‫(َِي‬#‫
 هَِي ا‬I r , ‫َ  َو‬7 ‫ُ ْ ِر‬c ُ ‫ُ(َ! ا‬.!َ%َ ْIُ ‫ َو‬K ُ‫ِ آ‬+َ%َ ْIُ ٌ+َِْF ‫ َو‬K
 ُ‫ٍ آ‬+َِْF
ٌ+َ#&
َ َb ‫ َو‬K  ُ‫& ٍة آ‬
َ َb $ِ ‫! ِر‬5#‫ ا‬.
!‫ أ‬jjjjjj,F :
Termasuk prinsip Islam yang wajib diyakini dan diamalkan oleh setiap
pemeluknya adalah keharusan kembali kepada ajaran Rosulullah r yang
berlandaskan Kitabullah dan Sunnah-sunnah Beliau r yang shohih dalam
pengamalan agama ini, baik yang berkaitan dengan masalah Aqidah, Ibadah,
Akhlak, Mu’amalah, Dakwah, ataupun yang lainnya dari segala aspek kehidupan.
Allah I menegaskan hal ini dalam banyak firman-Nya I . Antara lain :

‫ُ ا‬,ِS.‫ل َ! ا‬
َ <ِ ْ=‫َُْْ ُأ‬#‫ُْ ِ'ْ ِإ‬EF‫ َر‬h
َ ‫ُ ا َو‬,ِS َ. ْ'ِ ِ"ِ=‫َِ دُو‬#ْ‫& ! َءَأو‬
ً َِ !َ ‫ن‬
َ ‫آُو‬:َ َ.
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah
kalian mengikuti wali selain-Nya. Sedikit sekali yang kalian ambil pelajaran.” (Al
A’roof : 3)
Juga dalam firman-Nya I :

!َ‫َ!آُ ُ َو‬.‫ل ءَا‬


ُ ُQ #‫ُو ُ ا‬:ُ]َ !َ‫ْ"ُ =َ(َ!آُْ َو‬5َ ‫َ!=ْ َ(ُ ا‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” ( Al Hasyr : 7)

Dalam banyak hadits Rosulullah r juga menekankan hal ini di antaranya hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory dan Imam Muslim dari Abu Hurairah t :

!َ ُُ َْ(َ= ُ"ْ5َ ُ ْ ُSِ5َ ْU!َ !َ‫ُُْ َو‬.َْ‫ِ"ِ َأ‬F ‫ُ ْا‬.َْ ُ"ْ5ِ ُْ ْ,ََ ْQ‫َ!ا‬
“Apa yang telah aku larang untuk kalian, maka jauhilah dan apa yang telah aku
perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian.”

Demikian pula dalam perkara agama yang masih ada perbedaan pendapat
dikalangan para ‘Ulama, kaum muslimin diperintahkan untuk kembali kepada
prinsip diatas. Allah I menjelaskan :

ْ‫َ! َزْ ُْ َِن‬5َ. $ِ ‫ْ ٍء‬$َ7 ُ ‫و‬a‫ َ ُد‬/َ#‫"ِ ِإ‬#‫ل ا‬


ِ ُQ #‫ْ ُْ ِإنْ وَا‬5ُ‫ن آ‬
َ ُ5ِْ„ُ. ِ"#!ِF ‫َْ ْ ِم‬#‫ِ ِ وَا‬OŠْ#‫^ ا‬
َ ِ#‫ٌَْ َذ‬O '
ُ َ-ْ0‫& َوَأ‬
ً ِ‫َْو‬.
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’ : 56)

Prinsip ini adalah jaminan keselamatan dari berbagai bentuk kesesatan selama
seorang muslim masih memeganginya, hal ini diberitakan oleh Rosulullah r
dalam sabdanya :
G
ُ ْ‫َ َآ‬. ُِْ '
ِ ْ َ ْ‫َ'ْ َأ‬# ‫ ا‬aِ8َ. ‫ِْي‬,َF ‫ًَا‬F‫ْ ُْ ِإنْ َأ‬-َ
َ. !َ
ِ(ِF ‫ب‬
َ !َ ِ‫"ِ آ‬#‫ ا‬$ِ 5ُQ‫َو‬
“Aku telah meninggalkan bagi kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat
sepeningggalku selama-lamanya selama kalian tetap berpegang teguh dengan
keduanya Kitabullah dan Sunnahku “
( Hadits Hasan. Lihat: “ Ilmu Ushul Bida’ ” hal. 3/3)

Juga dalam haditsnya dari Abu Najih Al ‘Irbadh bin Sariyah t :

ُ"=ِ َ ْ'َ ْ‹ِ,َ ُِْْ5 ‫َََى‬-َ !ً&


َ ِ ْO‫ًِا ا‬Nَ‫ََُْْ آ‬,َ $ِ 5ُ-ِF ِ+5َQ‫َ! ِء َو‬6َُ]ْ#‫' ا‬
َ ِِ7‫ا‬#‫' ا‬
َ E ِ ْ(َ
ْ#‫ ا ا‬a8َ !َ(ََْ :ِ ِU‫ َا‬5#!ِF
“Karena sesungguhnya siapa diantara kalian yang masih hidup. Maka dia akan
melihat peselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian memegang teguh
Sunnahku dan Sunnah khulafaurrosyidin yang diberi petunjuk. Gigit! Sunnahku
dengan gigi geraham kalian… “ (HR. Abu Daud dan Tirmidzy)

Bahkan seorang itu dinyatakan tidak beriman hingga dia memiliki prinsip ini dan
tunduk patuh terhadap ketentuan hukumnya( Rosulullah r ). Allah I
menerangkan :

&
َ َ ^
َ EF‫ َو َر‬h
َ ‫ن‬
َ ُ5ِْ„ُ / َ0 ‫ك‬
َ ُ
EَIُ !َ
ِ َ َLَ7 ُْ(َ5َْF  ُ% h
َ ‫ُِوا‬Lَ $ِ ِْ(ِ-ُ6ْ=‫ً! َأ‬Uَ َ0 !
ِ G
َ َْ8َ ‫
ُ ا‬Eَ-ُ ‫ِْ
ً! َو‬-َ.
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’ : 65)

Dalam ayat lain Allah I mengancam setiap orang yang menentang prinsip ini
setelah dia mendapatkan penjelasan :

ْ'َ‫\ َو‬
ِ ِ !َ)ُ ‫ل‬
َ ُQ #‫ْ ِ ِ'ْ ا‬,َF !َ '
َ َSَ. ُ"َ# ‫ْ(َُى‬#‫ْ ا‬PِS َ ‫ َْ َ َو‬K
ِ ِSَQ '
َ ِ5ِْ„ُ
ْ#‫"ِ ا‬E# َ ُ= !َ َ./# َ ِ"ُِْ=‫ َ َو‬5َ(َU ْ‫َ! َءت‬Q‫ًَِا َو‬
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami palingkan dia
kemana dia berpaling dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’ : 115 )
Maka tidak sepatutnya bagi setiap muslim memiliki pilihan lain setelah ada
ketetapan dari Allah I dan Rosul-Nya r . Allah I berfirman :

!َ‫ن َو‬
َ !َ‫' آ‬
ٍ ِْ„ُ
ِ# h
َ ‫ٍ َو‬+َ5ِْ„ُ ‫ ِإذَا‬/َ8َ ُ"#‫ُ"ُ ا‬# ُQ‫ن َأنْ َأًْا َو َر‬
َ َُ ُ ُ(َ# ‫ْ]َِ َ ُة‬#‫َأْ ِهِْ ِ'ْ ا‬
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mu'min, apabila Allah dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Al Ahzaab :
36)
Sikap yang tepat adalah tunduk dan patuh seraya mengucapkan ( !َ5ْ,ِ
َQ ‫َ! َو‬5ْ,َZ‫) َأ‬
“ Kami mendengar dan ta’at”, inilah sikap kaum mukminin sebagaimana dalam
firman Allah I :


=‫ن ِإ‬
َ !َ‫ل َ آ‬
َ ْ '
َ ِ5ِْ„ُ
ْ#‫ ُدُ ا ِإذَا ا‬/َ#‫"ِ ِإ‬#‫ِ"ِ ا‬# ُQ‫ُْ َ َو َر‬Iَِ# ُْ(َ5َْF ْ‫ُ ا َأن‬# ُ?َ !َ5ْ,ِ
َQ !َ5ْ,َZ‫^ َوَأ‬
َ ِkَ#‫ن هُ ُ َوأُو‬
َ ُIِْ6ُ
ْ#‫ا‬
”Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada
Allah dan Rosul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah
ucapan."Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (An Nuur : 51)

Bila ini telah difahami bersama, maka kewajiban berikutnya adalah menggali ilmu
agama ini dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, hingga kaum
muslim lebih banyak mengenal agamanya dengan pinsip di atas dan tidak larut
dalam kejahilan yang berakibat tejadinya pengingkaran terhadap ajaran Islam.

Diantara ajaran Islam yang belum banyak difahami oleh kaum muslim adalah
waktu sahur dan berbuka puasa, hingga tatkala ada sebagian kaum muslimin
yang mengamalkan tuntunan Islam dalam pekara tersebut, muncul pengingkaran
dahsyat yang seharusnya tidak terjadi -bila kaum muslim kembali kepada prinsip
diatas- hanya dengan alasan : “ TIDAK SEPERTI KEUMUMAN MASYARAKAT ”.

Oleh sebab itulah, saya tuliskan risalah ini, semoga kaum muslimin memahami
permasalahan ini dengan pikiran jernih dan hati yang lapang sehingga
menganggapnya sebagai Masalah Ilmiyah yang harus dikembaikan kepada
prinsip di atas dan tanpa disikapi dengan arogan.
!‫ و‬jjjj ‫ أر‬hّ ‫&ح إ‬jjjjjJg‫ ! ا‬G
ُ , Q‫ و! ا‬/jjjjjjjjjjjjjjj? . h‫ إ‬R!jjjjjjjjjjF "jjjjjj Gjjjjjjjjj‫ آ‬. "jjjjj#‫ وإ‬ejjjjjj=>
R!‫ى‬jjjjjjjjjjJ‫ و‬/jjjj 
I ‫ و‬/jjj "jj#> "SIjjjjjjJ‫ و‬jjjjjQ‫
! و‬jjjjjjjjjjjj-. ‫ا‬jjjjjjjjjN‫آ‬
O>‫! و‬jjj=‫ أن د ا‬jjj
I#‫ ا‬R ‫
' رب‬#!jjjjjjjjj,#‫ا‬

Sidayu, 22 Desember 2004 M

Abu Abdillah Muhammad Afifuddin As-Sidawy

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i
MUQADDIMAH ii
I. WAKTU PUASA 1
II. FAJAR KADZIB DAN FAJAR SHODIQ 1
III. KEUTAMAAN MAKAN SAHUR 2
IV. HUKUM MAKAN SAHUR 3
V. WAKTU SAHUR 3
VI. BATAS AKHIR SAHUR 5
VII. BILA MERAGUKAN TERBITNYA FAJAR 6
VIII.BID’AHNYA IMSAK MASA KINI 6
IX. FAEDAH-FAEDAH MENGAKHIRKAN SAHUR 9
X. WAKTU BERBUKA PUASA 10
XI. ANJURAN MENYEGERAKAN BERBUKA PUASA 12

I. WAKTU PUASA

Kapan dimulai puasa ? Dan kapan berakhir? Hal ini telah diterangkan secara
global oleh Allah I dalam firman-Nya :

‫ُ ا َوآُُ ا‬Fَ ْ7‫ وَا‬/ َ0 '


َ َSَ َ ُ َُ# ُ…َْ]ْ#‫† ا‬
ُ َْFَ ْ#‫' ا‬
َ ِ ِ…َْ]ْ#‫ْ َ ِد ا‬Qَْ#‫' ا‬
َ ِ ِ ْLَ6ْ#‫ُ  ا‬% ‫ ا‬a
ِ.‫َ! َم َأ‬E#‫ ا‬/َ#‫ ِإ‬K
ِ ْ#‫ا‬
“ dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (Al
Baqoroh : 187)

Dalam Shohih Al-Bukhory (1917) dan Muslim (1091/35) dari jalan Abu Hazim
Salamah bin Dinar dari Sahl bin Sa’d t beliau menjelaskan : “ Tatkala ayat ini
turun, bila ada seseorang yang hendak puasa, dia mengikat di kedua kakinya tali
hitam dan tali putih, lalu dia terus saja makan dan minum hingga jelas nampak
baginya pemandangan (dua tali tadi).
Maka Allah I turunkan setelah itu (َ'ِ ِ ْLَ6ْ#‫ ) ا‬merekapun tahu bahwa yang
dimaksud adalah malam dan siang.”
Juga disebutkan dalam Shohih Al-Bukhory (1916) dan Muslim (1090) dari jalan
‘Amir bin Syurohbil As-Sya’by dari Ady bin Hatim t, beliau menguraikan :
“ Tatkala turun ayat ini, saya mengambil ikatan hitam dan ikatan putih lalu saya
letakkan di bawah bantalku, saya lihat di malam hari namun tidak nampak bagiku,
saya pun pergi di pagi hari menuju Rosulullah r , lalu saya ceritakan hal tersebut
kepada Beliau r , maka Beliau r bersabda

"!َ
=‫^ ِإ‬
َ ِ#‫َ َا ُد ذَا‬Q K
ِ ْ#‫ض َو ا‬
ُ !ََF ‫(َ! ِر‬5#‫" ا‬
“ yang dimaksud adalah kegelapan malam dan putihnya( terangnya ) siang”

Al-Imam Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqolany "


0‫ ر‬R‫ ا‬, salah seorang
Imam besar dari Madzhab Syafi’iy, wafat tahun 852 H. Dalam Kitabnya Fathul
Bari Syarh Shohih Al-Bukhory 4/633 cet. Daarul Fikr, Bairut-Libanon tahun
1416H/1996 M. Menjelaskan : “ Makna ayat ini adalah : Hingga nampak jelas
putihnya siang dari hitamnya malam, kejelasan ini dicapai dengan terbitnya fajar
shodiq.”
Silahkan periksa keterangan senada dari Al-Imam Asy-Syaukany Muhammad bin
Ali bin Muhammad. Wafat tahun 1250 H. Seorang Imam besar dari Yaman,
dalam tafsir beliau Fathul Qodir (1/339 cet. Daarul Wafa’-AL-manshurih-Mesir th
1418 H/1997 M).

II. FAJAR KADZIB DAN FAJAR SHODIQ

Ayat dan hadits di atas menjelaskan kepada kita secara gamblang batas akhir
waktu shahur dan dimulainya waktu puasa. Yaitu dengan terbitnya fajar shodiq
sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Imam Asy-
Syaukany.
Dengan terbitnya fajar shodiq, masuknya waktu sholat shubuh, dimulainya waktu
puasa dan berakhirnya waktu sahur.
Lalu bagaimana dan apa fajar kadzib dan fajar shodiq itu? Masalah ini telah
dibahas oleh kakanda tercinta Al-Akh Agus Su’aidi dalam tulisannya “PEDOMAN
WAKTU SHOLAT ABADI SESUAI PETUNJUK NABI r ”. Silakan merujuk ke sana.
Sementara itu, penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas ditopang oleh banyak
hadits dari Rosulullah r . Diantaranya :

Dari ‘Aisyah $jjjb‫ ر‬R‫! ا‬jj(5 dia berkata : Bahwasanya Bilal biasa adzan pada
waktu malam, maka Rosulullah r bersabda :

‫ُ ْا آُُ ْا‬Fَ ْ7‫ وَا‬/َ َ0 ‫ن‬


ُ ‫ذ‬E „َ ُ '
ُ ْF‫م ِإ‬E ‫ن َِ="ُ َْ ُ ٍ ُأ‬
ُ ‫ ُ„ْ َذ‬h
َ /َ َ0 Pَ ََْ ُ ْLَ6#‫ا‬
“ Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum adzan, sebab dia tidak
adzan hingga terbit fajar.” ( HR. Al-Bukhory [1918-1919] dan Muslim [1092/387] )

Hadits ini juga datang dari shohabat Ibnu Umar $jjjb‫ ر‬R‫! ا‬j
(5 pada refrensi yang
sama.

Yang dimaksud dengan tebit fajar di sini adalah fajar shodiq bukan fajar kadzib,
sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Ibnu Mas’ud t . Lihat Shohih
Muslim no: 1093.
Al Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawy "
0‫ ر‬R‫ ا‬, wafat tahun 677 H, seorang
alim besar Madzhab Syafi’iy, dalam kitabnya Syarh Shohih Muslim (7/176 cet.
Daarul Kutub Al-Ilmiyah-Libanon tahun 1415 H/1995 M). Menjelaskan : “Hadits
ini menunjukkan kebolehan makan, minum, jima’(hubungan suami-istri) dan
segala sesuatu, hingga terbit fajar.”
Dari Samuroh bin Jundub t : Bahwa Rosulullah r bersabda :

h
َ ‫ن‬
  ُWَ ُْ‫َ َآ‬0‫ل =َِا ُء َأ‬
ٍ !َِF '
َ ِ ‫ُ ِر‬I-#‫ ا‬h
َ ‫َا َو‬:َ‫ض ه‬
ُ !ََSْ#‫ ا‬/ َ0 َ َِ ْ-َ

“Janganlah menipu kalian untuk sahur adzan Bilal ataupun cahaya putih ini (fajar
kadzib) hingga dia menyebar (fajar shodiq) “ (HR. Muslim no. 1094).
Bila keterangan di atas dapat difahami bersama, maka berikut ini saya bawakan
beberapa permasalahan seputar sahur :

III. KEUTAMAAN MAKAN SAHUR

Makan Sahur memiliki banyak keutamaan diantaranya :


1. Makan Sahur adalah barokah.
Dalam Shohih Al-Bukhory (1923) dan Muslim (1095) dari jalan Abdul Aziz bin
Shuhaib dari Anas bin Malik t , Rosulullah r bersabda :

‫ ُوْا‬Iَ-َ. ‫ن‬
 ِ َ $ِ ‫ُ ْ ِر‬I-#‫ً ا‬+َ‫َ َآ‬F
“ Makan sahurlah kalian, karena Makan Sahur di dalamnya ada barokah”

Para ‘Ulama memperbincangkan makna barokah pada Makan Sahur.


Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan : “Pendapat yang tepat adalah bahwa barokah
pada Makan Sahur dapat dicapai dari banyak sisi yaitu Mengikuti Sunnah,
Menyelisihi Ahli Kitab, Memperkuat Diri dengan sahur untuk ibadah, Menambah
Semangat, Mencegah Akhlak Jelek yang ditimbulkan oleh kelaparan,
Menyebabkan adanya Amalan Shodaqoh kepada orang yang meminta pada
waktu itu atau makan bersamanya, Menyebabkan adanya Amalan Dzikir dan
Do’a di waktu maqbulnya do’a, Mengoreksi Niat Puasa bagi yang lupa sebelum
tidur.” (Fathul Bari, 4/693)

2. Menyelisihi Ahli Kitab


Dalam Shohih Muslim (1096) dari hadits ‘Amr bin Al-‘Ash t bahwa Rosulullah r
bersabda :
K
ُ ََ !َ '
َ َْF !َ5ِ!َِJ ‫َِ! ِم َو‬J K
ِ ْ‫ب َأه‬
ِ !َ ِ#‫ُ ا‬+َْ‫ْ ِ َأآ‬Iَ-#‫ا‬
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah Makan Sahur“

IV. HUKUM MAKAN SAHUR

Telah lewat hadits Anas t di atas yang menunjukkan perintah Makan Sahur,
sementara hukum asal perintah adalah wajib namun telah dinukil kesepakatan
para ‘Ulama tentang Sunnahnya Makan Sahur. Dinukil oleh Ibnu Mundzir
sebagaimana dalam Fathul Bari (4/639) dan Al-Imam An-Nawawy dalam Syarah
Shohih Muslim (7/179).
Yang merubah hukum wajib menjadi Sunnah adalah riwayat yang menjelaskan
bahwa Nabi r penah berpuasa Wishol, lihat Shohih Bukhory (1922).
Makan Sahur dikatakan sah dengan memakan sesuatu apapun walau hanya
meminum seteguk air.
V. WAKTU SAHUR

Ayat Surah Al-Baqoroh yang telah lewat di atas menunjukkan bahwa sahur bisa
dilakukan kapan saja pada waktu malam, yang penting tidak melebihi fajar
shodiq, namun telah datang banyak riwayat yang menganjurkan makan sahur
hingga mendekati fajar shodiq diantaranya adalah:

Dari Sahl bin Sa’ad t dia berkata : “saya makan sahur dengan keluargaku, lalu
saya bersegera untuk mendapat sujud (sholat fajar) bersama Rasulullah r “. (HR
Bukhory no. 1920)
“Yang dimaksud oleh Sahl bin Sa’ad adalah karena sahurnya sangat dekat
dangan tebitnya fajar(shodiq), maka dia bersegera dalam sahur dan hampir tidak
mendapatkan sholat subuh bersama Rasulullah r karena Beliau r memulai sholat
subuh pada waktu gholas (diawal waktu).”
Demikian diterangkan Al Qodhi ‘Iyad Al Maliky sebagaimana yang dinukil oleh Al
Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/67
Dari Zaid bin Tsabit t beliau berkata : “kami pernah sahur bersama Nabi r
kemudian Beliau bangkit untuk sholat” saya (Anas bin Malik ) bertanya : berapa
jarak antara adzan dan waktu sahur? Dia jawab : “seukuran lima puluh ayat” (HR
Bukhory no. 1921)

Hadits-hadits di atas dijadikan dalil oleh para ‘Ulama untuk menunjukkan


Sunnahnya mengakhirkan sahur hingga mendekati terbit fajar.
Berikut ini akan kami bawakan perkataan ‘Ulama dahulu maupun sekarang
tentang hal ini sebagai gambaran jelas bagi kaum muslimin bahwa masalah ini
telah diterangkan dan dipraktekkan oleh mereka :

Ø Al Imam As-Syafi’iy "


0‫ ر‬R‫ا‬
“saya menganjurkan sahur diakhirkan selama tidak mendekati waktu yang
ditakutkan telah terbit fajar, sebab (bila terbit fajar) saya menyukai sahur di stop
pada saat itu…” (Al-Umm, 2/106 cet.1 Daarul Fikr tahun 1422 H/2002 M)
Ø Al Imam Ahmad bin Hambal "
0‫ ر‬R‫ ا‬ta’ala
“menakjubkan diriku mengakhirkan sahur karena hadits yang diriwayatkan oleh
Zaid bin Tsabit …” , lalu beliau membawakan hadits Zaid di atas.
(lihat Asy-Syarhul Kabir 4/220 cet. 1 Daarul Hadits Cairo tahun 1416 H/1996 M
dan Al Mughni karya Ibnu Qudamah 4/251 cet. sama )
Ø Al Imam Ibnu Hazm Al Andalusy "
0‫ ر‬R‫ ا‬wafat Th 456 H
“Termasuk Sunnah menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur…”
(lihat : Al Muhalla 6/240. cet. Daarul Afaq – Al Jadidah, Beirut tanpa tahun)
Ø Al Imam Nawawy "
0‫ ر‬R‫ا‬
“di dalam hadits ini (hadits Zaid) ada anjuran mengakhirkan waktu sahur sampai
waktu fajar. ” (Syarah Shohih Muslim, 7/180)
Bahkan beliau menukilkan kesepakatan Madzhab Syafi’iy dan para ‘Ulama lain
tentang hal ini : “madzhab kami dan yang lainnya dari kalangan para ‘Ulama
telah sepakat bahwa sahur adalah Sunnah dan mengakhirkannya adalah lebih
utama. ” (lihat : Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 6/621 cet : 1 Daarul ihya’ ut turots
al ‘araby Beirut th 1422 H/2001 M)
Ø Al Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisy "
0‫ ر‬R‫ ا‬wafat th 630 H.
“Yang terpilih adalah mengakhirkan sahur dan menyegerakan buka puasa” (Al-
Mughni, 4/251)
Ø Al Imam Ibnu Qudamah "
0‫ ر‬R‫ ا‬wafat th 682 H
“dianjurkan menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur” (As-Syarhul
Kabir, 4/219)
Ø Imam Ibnu Katsir "
0‫ ر‬R‫ ا‬wafat 774 H
“Dianjurkan mengakhirkan sahur hingga waktu terbitnya fajar”(lihat Tafsir Ibnu
Katsir, 1/228 cet.10, Daarul Ma’rifah-Bairut tahun 1418 H/1997 M)
Ø Al-Hafizh Ibnu Hajar "
0‫ ر‬R‫ ا‬wafat tahun 852 H.
“Hadits ini(hadits Zaid) ada penjelasan tentang mengakhirkan sahur, sebab hal
ini tersebut lebih mencapai maksud (puasa)” (Fathul Bari, 4/638)
Ø Al Imam Syaukani "
0‫ ر‬R‫ ا‬wafat th 1255 H
“Di sini ada dalil yang menunjukkan di syari’atkan mengakhirkan sahur dan telah
lewat penjelasan Ibnu Abdil Barr, bahwa hadits yang mengakhirkan sahur adalah
shohih lagi mutawatir. ” (lihat Nailul Author 4/303 cet. 4 Daarul Fikr, tanpa tahun).
Dan beliau berpendapat bahwa hal ini adalah Sunnah, sebagaimana dalam kitab
beliau (Ad-Darory Al-Mudliyah 1/379 Cet. 4, Maktabah Al-Irsyad-Shon’a-Yaman
tahun 1421 H/2001M).
Ø Al Imam Al ‘Allamah Muhammad bin Sholih Al Utsaimin "
0‫ ر‬R‫ ا‬wafat 1421
H/2001 M
“Yang Sunnah adalah mengakhirkan sahur selama tidak khawatir terbit fajar,
karena hal ini adalah perbuatan Nabi r”
(Lihat Majalis Syahri Romadlon hal 124 cet.1, Maktabah Al-Irsyad-Shon’a-Yaman
tahun 1421 H/1996 M”).
Periksa juga penjelasan beliau lebih panjang dalam karya besar beliau (As-
Syarhul Mumti’ 3/80-81 cet. Daarul Atsar, Mesir, tanpa tahun)
Ø Al Imam Al Alamah Muqbil bin Hadi "
0‫ ر‬R‫ ا‬wafat 1421 H/2001 M
“Sahur lebih afdhol di akhirkan sampai menjelang fajar kira-kira 60 ayat ...”
(Ijabatus Sail hal 165 cet. 1 Daarul Hadits-Dammaj tahun 1416 H/1995 M)
Ø Al Imam Syaikh Abdullah Aalu Bassam "
0‫ ر‬R‫( ا‬murid Imam As Sa’dy,
sezaman dengan Syaikh Al Utsaimin)
“Hadits-hadits yang memerintahkan dan menganjurkan sahur, mengakhirkan
waktunya, menyegerakan berbuka adalah mutawatir, sebagaimana yang
dihikayatkan oleh At-Thohawy dan yang lainnya” (Taudlihul Ahkam 3/156 cet.
Daarul Qiblah tanpa tahun).
Dalam karya beliau yang lain Taisirul Allam ( 2/38 cet. 7 Daarul Fikr tahun 1407
H/1987 M). Tatkala menyebutkan hadits Zaid bin Tsabit di atas beliau
menyebutkan faedahnya di antaranya : “Keutamaan mengakhirkan sahur hingga
menjelang fajar”.
Ø Al Imam ibnu Daqiq Al-Ied "
0‫ ر‬R‫ ا‬wafat 702 H
“Dalam hadits ini (hadits Zaid) ada dalil yang menunjukkan anjuran
mengakhirkan sahur dan mendekatkannya pada fajar”. (Ihkamul Ahkam 2/163
cet. 1 Daarul Kutub Al-Ilmiyah-Bairut tahun 1420 M/2000 M).
Ø Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al Hilaly wafaqohumullah (murid ahli hadits
zaman ini Al Imam Nasiruddin Al Albany "
0‫ ر‬R‫) ا‬
“Dianjurkan mengakhirkan sahur hingga menjelang fajar ...” (Sifat Shoum An-
Nabi hal : 46 cet. 5 Maktabah Islamiyah, tahun 1412 H).

Demikian sedikit nukilan dari para ‘Ulama dahulu maupun sekarang, cukuplah
bagi kaum muslimin mengambil hadits Zaid bin Tsabit sebagai pedoman dalam
masalah dengan nukilan Ijma’ dari imam terkenal madzab Syafi’iy, yaitu Imam
An-Nawawy "
0‫ ر‬R‫ ا‬.

VI. BATAS AKHIR SAHUR

Untuk lebih menjelaskan tentang masalah ini, akan saya nukilkan -bi Idznillah-
khilaf para ‘Ulama tentang akhir batas sahur, sebagai gambaran bagi kaum
muslimin bahwa mereka mengakhirkan sahur tanpa mengenal istilah IMSAK
yang ada di zaman sekarang.
Perbedaan pendapat para ‘Ulama dalam masalah batas akhir sahur, adalah
sebagai berikut :
1. Jumhur ‘Ulama berpendapat, bahwa batas akhir sahur adalah terbitnya fajar
shodiq. Dalil mereka adalah ayat dan hadits yang telah disebutkan di atas.
2. Sebagian Salaf membolehkan sahur hingga cahaya putih telah tersebar di
atap-atap rumah dan gang-gang desa.
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakr, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit y .
Juga diriwayatkan dari sebagian tabi’in rohimahumullah jami’an, diantaranya :
Muhammad bin Ali bin Al-Husain, Abu Mijlaz, Ibrohim An-Nakho’iy, Abu Dluha,
Abu Wa’il, dan yang lainnya dari murid-murid Ibnu Mas’ud, Atho’, Al-Hasan Al-
Basry, Al-Hakam bin ‘Uyainah, Mujahid, ‘Urwah bin Zubair, Abu Sya’tsa Jabir bin
Zaid dan ini adalah pendapat Al-A’masy dan Jabir bin Rosyid.
3. Al-Imam Ibnul ‘Aroby Abu Bakr Al-Maliky "
0‫ ر‬R‫ ا‬, berpendapat, tentang
keharusan menahan diri dari larangan-larangan puasa bila telah mendekati fajar
shodiq. Sebagaimana dalam tafsirnya Ahkamul Qur’an, 1/105 cet. 1 Daarul
ihyaut turots al-aroby-Bairut tahun 1421 H/2001 M
Pendapat beliau ini disitir oleh ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, 1/211 cet.
Daarul Ihyaul Kutub Al-Arobiyah tanpa tahun. Dengan shighot tamridl ( $jjj ‫) ل‬
untuk menunjukkan kelemahannya dan beliau memberikan alasan bahwa
pendapat ini hanya berdasarkan kehati-hatian.
4. Ibnu Jarir At-Thobary "
0‫ ر‬R‫ ا‬, menukilkan dari sebagian orang yang
berpendapat bahwa akhir waktu sahur adalah terbitnya matahari.
Pendapat ini disanggah oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/228-229 karena
menyelisihi ayat di atas.

Pendapat yang shohih tanpa syak lagi adalah pendapat Jumhur ‘Ulama dahulu
maupun sekarang karena kuatnya argumentasi mereka yang berdasarkan ayat
dan hadits-hadits diatas.
Adapun yang diriwayatkan sebagian sahabat dan tabi’in di atas. Maka yang
dimaksud adalah mereka bersahur hingga merasa yakin fajar telah terbit,
demikianlah dijelaskan oleh Imam An-Nasa’i, Ibnu Katsir, dan para ‘Ulama
lainnya, sehingga pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat pertama.
Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/228.
Adapun pendapat yang selain ini. Maka tidak perlu ditoleh karena tidak berdasar
pada dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

VII. BILA MERAGUKAN TERBITNYA FAJAR

Untuk lebih menjelaskan lagi, bahwa sahur lebih afdlol diakhirkan dan batas
waktu akhir adalah terbit fajar, adanya sebagian ‘Ulama yang membolehkan
makan dan minum bila dia masih meragukan terbitnya fajar shodiq.
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Atho’, Al-Auza’y, Imam As-Syafi’iy , dan Imam
Ahmad bin Hambal rohimahumullah . Mereka berpegangan dengan ayat :

/ َ0 '
َ َSَ َ ُ َُ# ُ…َْ]ْ#‫† ا‬
ُ َْFَْ#‫' ا‬
َ ِ ِ…َْ]ْ#‫ْ َ ِد ا‬Qَ ْ#‫' ا‬
َ ِ ِ ْLَ6ْ#‫ا‬
“hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (Al Baqoroh :
187 )

VIII. BID’AHNYA IMSAK MASA KINI

Bila penjelasan di atas telah dipahami, maka dengan mudah dan ilmiyah kita
dapat menghukumi bid’ahnya IMSAK di zaman sekarang ini, dimana ada
sebagian faham sempalan yang menentukan waktu IMSAK jauh sebelum fajar
shodiq muncul.
Untuk lebih membuktikan lebih akurat lagi tentang hal ini, maka saya jelaskan
hal-hal penting yang merupakan prinsip Islam sebagai berikut :
1. Berpuasa adalah ibadah, bahkan termasuk rukun Islam. Untuk itulah Allah
mewajibkannya dan memberi pahala orang yang melaksanakannya serta
mengancam orang-orang yang meninggalkannya.
Hal ini adalah perkara yang telah di maklumi oleh segenap kaum Muslimin. Allah
I berfirman :

!َ(a ‫' َ!َأ‬


َ ِ:#‫ُ ا ا‬5َ‫ ءَا‬e
َ ِ ُ‫َ! ََُْ ُ آ‬E#‫ آَ
َ! مُا‬e
َ ِ ُ‫ آ‬/ََ '
َ ِ:#‫ُِْْ ِ'ْ ا‬Sَ َُْ,َ# ‫ن‬
َ ُ? َ.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, ” (Al Baqoroh : 183)

2. Sementara ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah I melainkan bila terpenuhi
dua syarat :
a. Ikhlas
Yaitu mempersembahkan Ibadah tadi hanya untuk Allah I semata dan tidak
boleh untuk yang selain-Nya. Allah I berfirman :

!َ‫! ُأُِوا َو‬#‫ُُوا ِإ‬Sْ,َِ# َ"#‫' ا‬


َ ِِْ]ُ َ#ُ" '
َ E#‫َ! َء ا‬6َ5ُ0
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”
(Al Bayyinah : 5)

Bila syarat ini hilang, maka orang itu terjatuh pada perbuatan syirik yang
menghapus amalannya, firman Allah I :

ْ'ِkَ# G
َ ْ‫ْ َآ‬7‫' َأ‬
 ََSْIََ# ^
َ َُ
َ '
 َ= َُ َ#‫' َو‬
َ ِ '
َ ِِQ!َ]ْ#‫ا‬
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Az Zumar : 65)

b. Mengikuti dan sesuai dengan Sunnah Rosulullah r baik dalam hal kaifiyah
(tata cara), waktu, tempat, dan yang lainnya. Allah I berfirman :

!َ‫َ!آُ ُ َو‬.‫ل ءَا‬


ُ ُQ #‫ُو ُ ا‬:ُ]َ !َ‫ْ"ُ =َ(َ!آُْ َو‬5َ ‫َ!=ْ َ(ُ ا‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah “ (Al Hasyr : 7)

Bila syarat ini hilang, maka diapun terjatuh pada Perbuatan Bid’ah. Sabda Rosul
r:

ْ'َ K
َ ِ
َ &
ً َ
َ m
َ َْ# ِ"ََْ !َ=ُ ْ‫ روا[ َر Œد َ(ُ َ َأ‬jjjjj- ' +jjjjj)T!]
“ Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang bukan dari kami maka dia
tertolak”

Dari sinilah, para ‘Ulama menetapkan suatu kaidah yaitu “hukum asal ibadah
adalah haram hingga ada dalil (Al-Kitab dan Sunnah) yang mensyari’atkannya”

Dengan demikian jelaslah, bahwa Imsak adalah bid’ah mungkaroh yang harus
dilenyapkan oleh kaum muslimin dari bumi pertiwi ini, sebab imsak tidak
dilandasi oleh dalil dan banyak menimbulkan kesalahan-kesalahn fatal dalam
agama seseorang.

Berikut ini saya bawakan penjelasan para ‘Ulama tentang masalah ini agar kaum
muslimin merasa mantap dan yakin akan kebid’ahan Imsak.
Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany "
0‫ ر‬R‫ ا‬.
“Faidah : Ketahuilah! Bahwa tidak ada pertentangan antara pensifatan Beliau r
terhadap fajar shodiq dengan “Warna Merah” dan pensifatan Allah I terhadapnya
dengan firman-Nya I “Tali Putih” sebab yang dimaksud adalah –wallahu a’lam- :
Cahaya putih bercampur merah atau terkadang bercahaya putih dan terkadang
bercahaya merah, sesuai dengan perbedaan Mathla’.
Hal ini saya lihat sendiri bekali-kali dari rumah saya di Jabal Hamlan sebelah
timur Omman. Sehingga hal ini mempekuat keyakinan saya akan kebenaran
berita yang disampaikan oleh sebagian orang yang sangat berkeinginan
membetulkan ibadah kaum muslimin bahwa adzan fajar disebagian negara-
negara arab diawalkan sebelum fajar shodiq antara 20 –30 Menit yaitu sebelum
fajar kadzib juga!?
Saya seringkali mendengar Iqomat sholat fajar dari sebagian mesjid bersamaan
dengan terbitnya fajar shodiq, mereka adzan setengah jam sebelumnya.
Akibatnya, mereka sholat sunnah fajar sebelum waktunya, mereka terkadang
pada bulan Romadhon menyegerakan pelaksanaan sholat fardu sebelum
waktunya, sebagaimana yang saya dengar di radio DAMASKUS saat saya
sedang makan sahur Romodhon tahun lalu ( 1406 H).
Ini semua berakibat mempersempit waktu orang dengan segera Imsak dari
makan dan mengakibatkan batalnya sholat subuh. Hal-hal diatas disebabkan
mereka berpatokan dengan jadwal waktu falak dan berpaling dari jadwal waktu
syar’i.

‫ْ َ َوآُُ ا‬7‫ُ اوَا‬F / َ0 '


َ َSَ َ ُ َُ# ُ…َْ]ْ#‫† ا‬
ُ َْFَ ْ#‫' ا‬
َ ِ ِ…َْ]ْ#‫ْ َ ِد ا‬Qَْ#‫' ا‬
َ ِ ِ ْLَ6ْ#‫ا‬
“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar.” (Al Baqoroh : 187)

Ini adalah peringatan, dan peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin..”
( Silsilah As-Shohihah No: 2031, lihat Nudhumulfaroid karya Abdul latif 1/512-
513 cet. 1 Maktabatul Ma’arif-Riyadl-tahun 1420 H/1999 M)

Al-Imam Abdullah Aalu Bassam "


0‫ ر‬R‫ا‬
“ Sesugguhnya waktu imsak adalah terbitnya fajar, sebagimana firman Allah I :

‫ُ ا َوآُُ ا‬Fَ ْ7‫ وَا‬/ َ0 '


َ َSَ َ ُ َُ# ُ…َْ]ْ#‫† ا‬
ُ َْFَ ْ#‫' ا‬
َ ِ ِ…َْ]ْ#‫ْ َ ِد ا‬Qَْ#‫' ا‬
َ ِ ِ ْLَ6ْ#‫ا‬
Dengan demikian kita mengetahui, bahwa dua waktu yang dibuat oleh orang ,
satu waktu Imsak dan yang lain untuk terbit fajar adalah Bid’ah yang tidak
diturunkan dalilnya oleh Allah I . Itu hanyalah was-was syaithon untuk
mengkaburkan agama mereka, padahal menurut Sunnah Muhammad r Imsak itu
pada awal fajar .“
(Taisur Allam, 2/58)

Al-‘Allamah As-Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzohullah, salah


seorang ‘Ulama besar Saudy Arabiyah.
“Sebagaian orang terlalu dini dalam makan sahur, sebab mereka bergadang
malam lalu makan sahur dan tidur beberapa jam sebelum fajar. Orang-orang
seperti ini telah melakukan beberapa kesalahan :
1. Mereka telah mulai puasa sebelum waktu puasa.
2. Mereka meninggalkan sholat fajar secara berjama’ah, merekapun bermaksiat
kepada Allah I dengan meninggalkan kewajiban sholat berjama’ah.
3. Terkadang mereka mengakhirkan sholat fajar dari waktunya, mereka tak
mengerjakannya melainkan setelah terbitnya matahari, ini lebih besar lagi
dosanya. Allah I berfirman :

ٌKْ َ َ '
َ Eَُ
ِْ# * '
َ ِ:#‫ِ(ِْ َ'ْ هُْ ا‬.!ََJ ‫ن‬
َ ُ‫َ!ه‬Q
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya, ” (Al Maa’uun : 4-5)

( lihat : Al-Mulakhosul Fiqh hal. 229-230 cet. Daarul Haitsam-Cairo, tanpa tahun )

Syaikh Saya, Abdurrahman Mar’ie Al-‘adny Al-Yamany.


Beliau tegas menyatakan, bahwa IMSAK adalah Haram dan Bid’ah,
sebagaimana dalam Tanya jawab saya dengan beliau Via Telphon pada hari
Rabu tanggal 28 Desember 2004 M.

Sebagai penutup pembahasan masalah seputar sahur, berikut ini saya bawakan
faedah mengakhirkan sahur agar kaum muslimin melihat betapa mudah dan
ringan agama Islam ini dan betapa bid’ah Imsak telah memberatkan kaum
muslimin.
Faedah-faedah mengakhirkan sahur ini saya rangkumkan dari penjelasan para
‘Ulama dahulu maupun sekarang .

IX. FAEDAH-FAEDAH MENGAKHIRKAN SAHUR

Diantaranya adalah :
1. Mencontoh Rosulullah r dan mencocoki Sunnahnya.
Ini adalah faedah terbesar dan terpenting. Kalaulah tidak ada faedah pada
mengakhirkan sahur melainkan ini, niscaya sangat cukup sebagai bukti
keutamaannya.
Sebab, mencocoki Sunnah Rosulullah r dalam satu amalan ibadah adalah salah
satu syarat diterimanya suatu amalan dan hal inilah yang didambakan oleh
setiap muslim yang masih bersih fithronya. Apalagi kalau amalan ini dikerjakan
ditengah-tangah sebuah masyarakat yang terkukung dalam cengkraman bid’ah
Imsak. Maka pahalanya lebih berlipat lagi. Rosulullah r pernah bersabda :

ْ'َ '
 َQ $ِ ‫& ِم‬
َ ْQِ ْ#‫ً ا‬+5ُQ ً+َ5َ-َ0 ُ"ََ !َ‫ْ ُه‬U‫ْ ُ َأ‬U‫ َ'ْ َوَأ‬K
َ ِ
َ !َ(ِF $jjj#‫ِ َ ْ ِم إ‬+َ!َِ?#‫ ا‬h
َ ˆ
َ ُ?ْ5َ ْ'ِ ِْ‫ُ ِره‬U‫ْءًا ُأ‬$َ7
“Barang siapa yang menghidupkan kembali dalam islam ini Sunnah yang baik,
maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang
mengamalkannya hingga hari kiamat, tanpa mengurangi dari pahala mereka
sedikitpun.”

Mudah-mudahan Allah I menjadikan kami termasuk orang yang mendapatkan


keutamaan dalam hadits ini. Amin.
2. Meringankan kaum muslim dalam bersahur .
Sebab, bila bersahur di tangah malam dan imsak jauh sebelum fajar, niscaya hal
ini akan memberatkan dia atau dia perlu memaksakan diri untuk bangun tengah
malam hanya untuk bersahur.
3. Lebih menguatkan orang yang berpuasa sebab dia sangat membutuhkan
makanan.
Bila dia bersahur tengah malam, niscaya akan cepat melemahkan dia, apalagi
kalau dia punya penyakit tertentu, bisa jadi menyebabkan dia buka puasa di
siang hari.
4. Memudahkan dia sholat fajar secara berjama’ah tepat pada waktu yang
disyar’ikan, dimana hal ini lebih wajib dari pada sahur itu sendiri.
Adapun bila dia sahur jauh sebelum fajar, maka dikhawatirkan dia akan tertidur
dari sholat fajar secara berjama’ah, lebih parah lagi dia sholat fajar setelah
matahari menyingsing. Wallahu a’lam.

X. WAKTU BERBUKA PUASA

Setelah selesai pembahasan masalah seputar sahur yang merupakan awal


waktu dimulainya ibadah puasa yaitu bila fajar shodiq telah terbit, berikut ini saya
bawakan masalah-masalah seputar buka puasa yang merupakan akhir waktu
ibadah puasa dan saya bawakan pembahasan masalah waktu berbuka agar
sejalan dengan pembahasan sebelumnya.
Masalah waktu buka puasa ini telah Allah I jelaskan secara gelobal dalm firman-
Nya I :

 ُ% ‫ ا‬a
ِ.‫َ! َم َأ‬E#‫ل ا‬
َ ‫ ىِإ‬K
ِ ْ#‫ا‬
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (Al Baqoroh :
183)

Maka puasa itu dimulai dari terbitnya fajar shodiq hingga masuk waktu malam
sebagaimana konteks lafadz ayat ini, lalu kapan masuknya waktu malam yang
itu adalah waktu berbuka puasa dan dikumandangkannya adzan maghrib ?
Berikut ini saya bawakan hadits-hadits Rosulullah r yang menjelaskan ayat di
atas :

Dalam Shohih Al-Bukhory no. 1954 ( lafadz hadits ini adalah lafadz Imam Al-
Bukhory) dan Muslim no. 1100/51 dari jalan Hisyam bin ‘Urwah t dari Bapaknya
dari Ashim bin Umar bin Al-Khoththob t dari bapaknya berkata : Rosulullah r
bersabda :
‫ ِإذَا‬K
َ َSْ ‫ َأ‬K
ُ ْ#‫َ! ِ'ْ ا‬5ُ‫َ َ هَ!ه‬Fْ‫(َ! ُر َوَأد‬5#‫َ! ِ'ْ ا‬5ُ‫ هَ!ه‬G
ِ َFَ َ‫ َو‬m
ُ ْ
)#‫ِ ُ َأَْ َ َ?َْ ا‬T!#‫ا‬
“Bila Malam telah datang dari arah sini (timur) dan Siang telah pergi dari arah sini
(barat) dan telah tenggelam matahari, maka sungguh orang puasa telah
berbuka .”

Al-Imam An-Nawawy As-Syafi’iy "


0‫ ر‬R‫ ا‬dalam Syarah Shohih Muslim (7/181 )
menjelaskan :
“Maknanya adalah telah selesai dan sempurna puasanya dan dia sekarang telah
disifati sebagai orang yang buka puasa, sebab dengan tenggelamnya matahari,
hilanglah siang dan datanglah malam, sementara malam itu bukan tempat untuk
puasa.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany As-Syafi’iy "


0‫ ر‬R‫ ا‬menjelaskan lebih lanjut :
“Dalam hadits ini Beliau r menyebutkan tiga perkara, walaupun ketiganya pada
asalnya saling berkaitan namun tekadang secara zhohir tidak demikian, bisa jadi
disangka telah datang waktu malam dari arah timur namun datangnya tidak
secara hakiki disebabkan adanya sesuatu yang menutupi cahaya matahari,
demikian pula perginya waktu siang, dari sinilah Beliau r mengkaitkannya
dengan sabdanya “dan matahari telah tenggelam” sebagai isyarat adanya
persyaratan terwujudnya datang (malam) dan pergi (siang), yang keduanya
diketahui dengan perantara tenggelamnya matahari bukan dengan sebab lainnya.
“ ( Fathul Bari 4/710)

Dalam Shohih Al-Bukhory no. 1955 dan Muslim no. 1101/52-53 dari jalan Abu
Ishak As-Syaibany "
0‫ا ر‬R dari Abdullah bin Aufa t beliau berkata : “ Kami
pernah bersama Rosulullah r dalam suatu safar sedangkan Beliau r berpuasa,
tatkala matahari telah hilang Beliau berkata kepada sebagian kaum : “ Wahai
fulan! Bangunlah buatkan untuk kita Al-Jadh (tepung sawik dicampur dengan air
diaduk hingga rata, pent). ” dia berkata : “ Wahai Rosulullah! Seandainya engkau
tunda hingga lebih sore?” kata Beliau : ”Bangunlah buatkan kami Al-Jadh !” dia
berkata : ”wahai Rosulullah! Kalau engkau tunda hingga lebih sore .” , kata
Beliau : “Turunlah buatkan kami Al-Jadh !!” dia berkata :” sesungguhnya ini
masih terang!!”, kata Beliau :” Turunlah! Buatkan kami Al-Jadh!!!” diapun turun
lalu membuatkan mereka Al-Jadh, Rosulullah r pun meminumnya lalu bersabda :
‫ َرَأ ْ ُ ُ ِإذَا‬K
َ ْ#‫ َْ ا‬K
َ َSْ ‫َ! ِ'ْ َأ‬5ُ‫ِ ُ َأَْ َ َ?َْ هَ!ه‬T!#‫ا‬
“ Bila kalian telah melihat malam telah datang dari arah sini (timur), maka telah
berbuka orang yang puasa itu.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany "
0‫ ر‬R‫ ا‬juga menerangkan : “Dalam hadits ini
juga ada anjuran menyegerakan berbuka puasa, dan tidak ada keharusan
menahan sebagian malam secara mutlak, bahkan kapan saja diyakini
tenggelamnya matahari. Maka telah halal berbuka puasa.” (Fathul Bari 4/711)

Dari penjelasan dua hadits di atas berikut uraian dua Imam dari Madzhab Syafi’iy
di atas, jelaskan bagi kita bahwa berakhirnya waktu puasa adalah semata-mata
tenggelamnya matahari. Hal ini telah dipraktekkan oleh Rosulullah r dan para
shohabatnya sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Abi Aufa t di atas.
Juga secara khusus telah dilakukan oleh seorang shohabat yang mulia Abu Said
Al-Khudry t , sebagaiman yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi
Syaibah dari jalan Abdul Wahid bin Aiman dari bapaknya dia berkata : “Kami
pernah masuk kepada Abu Sa’id lalu dia berbuka puasa semetara kami melihat
bahwa matahari belum tenggelam.”
Atsar ini sanadnya Hasan. Abdul Wahid bin Aiman LA BA’SA BIHI ( tidak
mengapa dalam hadits) ya’ni dihasankan haditsnya, sementara bapaknya, AL-
IMAN AL-HABASY AL-MAKKY dia TSIQOH (terpercaya haditsnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar "
0‫ ر‬R‫ ا‬menjelaskan tentang atsar di atas “Sisi pendalilan
dari atsar ini adalah bahwasanya Abu Sa’id tatkala merasa yakin matahari telah
tenggelam, beliau tidak mencari keterangan tambahan lain dan tidak pula
menoleh kepada persetujuan orang-orang yang disekitarnya…” ( Fathul Bari
4/710)

Untuk memperjelas lagi makna ayat di atas. Berikut ini saya bawakan penjelasan
sebagian ahli tafsir tentang ayat di atas, diantaranya :
Al-Imam Al-Qodli Abu Bakar Ibnul Aroby Al-Maliky "
0‫ ر‬R‫ ا‬dalam Ahkamul
Qur’an, 1/105. Menjelaskan :
“ Masalah ke sepuluh : firman-Nya I :  ُ% ‫ ا‬a
ِ.‫َ! َم َأ‬E#‫ ا‬/َ#‫ ِإ‬K ِ ْ#‫ا‬
Robb kita yang Maha Tinggi mensyaratkan kesempurnaan puasa hingga
jelasnya waktu malam, sebagaimana Allah I membolehkan makan hingga
jelasnya waktu siang, namun bila telah jelas waktu malam, maka Sunnahnya
adalah menyegerakan buka puasa.” Lalu beliau membawakan hadits Abdullah
bin Abi Aufa diatas.
Al-Imam Ibnu Katsir As-Syafi’iy "
0‫ ر‬R‫ ا‬dalam tafsirnya 1/230 menguraikan:
“Firman-Nya I (ُ% ‫ ا‬a
ِ.‫َ! َم َأ‬E#‫ ا‬/َ#‫ ِإ‬K
ِ ْ#‫ ) ا‬mengharuskan berbuka puasa ketika
tenggelamnya matahari sebagai hukum syar’iy.”
Al-Imam Asy-Syaukany Al-Yamany "
0‫ ر‬R‫ ا‬dalam Fathul Qodir, 1/339
menjelaskan pula :
“Firman-Nya I (ُ% ‫ ا‬a
ِ.‫َ! َم َأ‬E#‫ ا‬/َ#‫ ِإ‬K
ِ ْ#‫) ا‬, di dalamnya ada ketegasan bahwa puasa
memiliki batas akhir yaitu malam. Maka ketika malam datang dari arah timur dan
siang pergi dari arah barat, orang puasa berbuka puasa dan halal baginya
makan, minum, dan yang lainnya.”

XI. ANJURAN MENYEGERAKAN BERBUKA PUASA

Dua hadits yang saya bawakan di atas menunjukkan praktek Rosulullah r dan
para sahabatnya y dalam hal menyegerakan berbuka puasa

HUKUM TIDUR SEPANJANG SIANG HARI DI BULAN RAMADHAN


Penulis: Al-'Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah

Soal :
“ Apakah hukum orang yang tidur sepanjang siang hari dibulan Ramadhan, ia
tidak bangun kecuali ketika saat berbuka ?”

Jawab :
Orang yang tidur sepanjang siang hari dibulan Ramadhan, puasanya tetap sah
jika memang sebelum terbit fajar dia telah berniat puasa. Akan tetapi, haram
atasnya meninggalkan shalat-shalat (disepanjang siang itu) dan meninggalkan
shalat berjamaah jika dia termasuk golongan yang wajib shalat berjama’ah di
masjid.

(Jika dia melakukan itu), berarti dia telah meninggalkan dua kewajiban (yakni
kewajiban puasa dan shalat), dia sangat berdosa karena meninggalkan
keduanya. Kecuali jika perbuatan seperti itu bukan kebiasaannya, artinya sangat
jarang dia melakukannya, dan dia pun tetap berniat mengerjakan shalat.

Berkaitan dengan itu pula, sungguh sangat di sayangkan bahwa banyak orang
yang membiasakan diri begadang sepanjang malam di bulan Ramadhan, lalu
ketika telah dekat waktu terbit fajar, mereka segera makan sahur kemudian tidur
sepanjang siangnya. (Dengan keadaan seperti itu), mereka meninggalkan
sholat-sholat di waktu siang, padahal sholat lebih di tekankan dan lebih di
wajibkan daripada puasa, bahkan tidak sah puasa orang yang tidak shalat !
Perkara ini sangat berbahaya sekali.

Begadang (di waktu malam) yang menyebabkan pelakunya tertidur sehingga


tidak mengerjakan sholat (di waktu siang) adalah begadang yang haram.
Kemudian jika begadang itu hanya untuk main-main atau untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang di haramkan, maka perkaranya jadi lebih berbahaya
lagi.

Perbuatan-perbuatan maksiat dosanya lebih besar dan bahanya lebih kuat (jika
dikerjakan) pada bulan Ramadhan. Begitu pula pada saat-saat dan tempat-
tempat yang (pandang) mulia (dalam ajaran agama), lebih kuat daripada
selainnya.
Wallahu a’lam.

Maroji’ :
Al-Muntaqo min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (3/243).

Sumber : BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 20 / Sya’ban /


1425 H

KEWAJIBAN ORANG YANG TIDAK PUASA KARENA TELAH RENTA DAN


KARENA SAKIT
Penulis: Asy Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Aalu Fauzan
Rahimahullah
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mewajibkan puasa atas kaum muslimin
secara langsung bagi mereka yang tidak memiliki udzur dan dengan qadha bagi
mereka yang memiliki udzur, yaitu mereka yang mampu mengerjakannya di hari-
hari yang lain.

Ada golongan ketiga yang tidak bisa melakukan puasa, baik secara langsung
maupun qadha. Misalnya, orang lanjut usia yang sudah sangat lemah dan orang
sakit yang tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya. Golongan ini diberi
keringanan oleh Allah Azza wa Jalla maka Dia mewajibkan kepadanya suatu
pengganti puasa, yaitu memberi makan orang-orang miskin pada setiap hari
setengah sha' makanan pokok.

Allah Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”


(Qs. Al-Baqarah: 286)

Allah Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya)

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (Qs. Al-
Bagarah: 184)

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhumaa berkata, "yaitu orang lelaki yang sangat tua
dan seorang wanita yang sangat tua pula. Keduanya tidak mampu melakukan
puasa. Maka, keduanya hendaknya memberi makanan pada setiap hari kepada
satu orang miskin." (HR. Al-Bukhari) (1) Footnote

Orang sakit yang tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya hukumnya seperti
orang yang sangat tua. Maka, la harus memberikan makanan setiap hari kepada
seorang miskin.

Barangsiapa yang tidak puasa karena udzur temporer (sementara), seperti


bepergian, orang sakit yang bisa diharapkan kesembuhannya, wanita hamil,
wanita menyusui jika mengkhawatirkan keadaan diri atau keadaan anaknya, dan
wanita yang sedang haidh atau sedang nifas, setiap mereka itu mutlak harus
melakukan qadha dan harus berpuasa pada hari-hari lain sejumlah hari-hari
yang la batalkan puasanya. Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang
lain.” (Qs. Al-Baqarah: 185)

Sunnah berbuka bagi orang sakit yang jika dengan berpuasa malah
membahayakan dirinya. Juga, sunnah berbuka bagi orang yang safar
(bepergian) yang jarak safarnya membuat dia boleh mengqashar shalat. Firman
Allah Azza wa Jalla, (yang artinya)

"Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada
hari-hari yang lain." (Qs. Al-Baqarah: 185)

Artinya, la tidak berpuasa dan mengqadha-nya pada hari-hari yang lain sejumlah
puasa yang la batalkan. Allah Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya)

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki


kesukaran bagimu.” (Qs. A1-Baqarah: 185)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika diberi kesempatan untuk memilih antara
dua perkara, beliau memilih yang paling mudah dari keduanya. (2) Disebutkan
dalam kitab Ash-Shahihain,

“Bukan suatu kebajikan berpuasa ketika dalam bepergian.” (3)

Sedangkan jika seorang yang dalam bepergian atau sedang sakit tetap
melakukan puasa sekalipun dengan susah payah, maka puasanya tetap sah
dengan dibarengi kemakruhan.

Wanita yang sedang haidh atau nifas diharamkan bagi mereka berpuasa,
puasanya tidak sah.

Wanita yang sedang hamil atau sedang menyusui, keduanya harus mengqadha
puasa yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain. Seraya mengqadha puasa
yang ditinggalkannya karena kekhawatiran terhadap keadaan anaknya, wajib
pula memberi makan kepada orang miskin selama mengqadha hari-hari yang
ditinggalkan.

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, "Ibnu Abbas dan selainnya memberikan


fatwa berkenaan dengan wanita hamil dan wanita menyusui jika keduanya
mengkhawatirkan anak-anak mereka; keduanya boleh berbuka puasa dan
memberikan makan seorang miskin pada setiap hari. Memberikan makan
sebagai ganti berpuasa." (4), Yakni, secara langsung dengan kewajiban
mengqadha bagi keduanya itu.

Wajib berbuka puasa bagi orang yang sangat membutuhkannya karena sedang
menyelamatkan orang lain dari bahaya maut, seperti, orang tenggelam dan lain
sebagainya.

Ibnul Qayyim berkata, "Penyebab dibolehkan berbuka puasa ada empat: safar,
sakit, haidh dan rasa takut terhadap munculnya madharat karena puasa, seperti,
wanita menyusui dan wanita hamil. Demikian pula perkara orang tenggelam." (5)

Setiap muslim harus menentukan niat puasa wajib dari sejak malam. Misalnya,
niat puasa Ramadhan, puasa kafarat, dan puasa nadzar. la harus meneguhkan
niat bahwa dirinya akan melakukan puasa Ramadhan atau qadhanya, atau
puasa kafarat, atau puasa nadzar. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, (yang artinya)

"Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung niatnya, dan bagi setiap
orang itu apa yang ia niatkan. "(6)

Disebutkan dalam hadits dari Aisyah Radhiallahu ‘anha secara marfu', (yang
artinya)

"Barangsiapa yang tidak berniat puasa sejak sebelum fajar, maka tidak ada
(pahala) puasa baginya. "(7)

Wajib berniat untuk mengerjakan puasa wajib sejak malam hari.

Barangsiapa berniat puasa pada siang hari, misalnya, orang yang kesiangan dan
belum makan setelah terbit fajar, lalu berniat berpuasa, maka itu tidak cukup
baginya, kecuali dalam puasa sunnah.

Sedangkan dalam "puasa wajib" tidak cukup dengan niat pada siang hari karena
sepanjang hari itu wajib berpuasa. Niat tidak berbarengan dengan ibadah yang
sedang berjalan.

Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat di siang hari. Berdasarkan hadits
Aisyah Radhiallahu ‘anha (yang artinya)

"Suatu hari Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam masuk kepadaku seraya bertanya,
Apakah ada sesuatu padamu?' Kami menjawab, 'Tidak.'Maka, beliau berujar,
“Jadi, aku berpuasa." (HR. Jama'ah, kecuali Al Bukhari) (8)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam


sedang tidak berpuasa karena ternyata beliau sedang mencari makanan. Hadits
itu menjadi dalil yang menunjukkan bolehnya mengakhirkan niat puasa sunnah.
Dengan hadits itulah dikhususkan dalil-dalil yang melarang.

Syarat sahnya puasa sunnah dengan niat di siang hari adalah tidak ada sesuatu
yang menghapuskan puasa sebelum niat, misalnya, makan, minum, atau lainnya.
Jika sebelum niat melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, maka puasanya
tidak sah. Demikian tanpa
adanya khilaf (perbedaan).

Footnote
(1) Al Bukhari (4505) (8/225) Bab “At-Tafsir” 25.
(2) Muttafaqun 'alaih dari hadits Abu Hurairah: Al-Bukhari (3560) (6/692) dan
Muslim (5999) (8/82).
(3) Muttafaqun `alaih dari hadits Jabir bin Abdullah: Al-Bukhari (1946) (4/233)
Bab "Ash Shaum" 36, dan Muslim (2607) (4/233) Bab "Ash-Shiyam" 92 tanpa
kata-kata ' “dari”.
(4) Lihat kitab Zadul Ma'ad (2/29) dengan sedikit perubahan.

(5) Lihat kitab Hasyiyatu Ar-Raudhul Marba' (3/379-380).


(6) Telah berlalu di muka takhrijnya.
(7) Diriwayatkan semisal itu darinya dan dari Hafshah dalam satu buah hadits:
An-Nasa'i (2340) (2/512) Bab "Ash-Shiyam." Diriwayatkan dari hadits Hafshah:
Abu Daud (2454) (2/571), At-Tirmidzi (729) (3/108), An-Nasa'i (2330) (2/509),
dan Ibnu Majah (1700) (2/ 325).
(8) Muslim (2708) (4/276), Abu daud (2455) (2/572), At Tirmidzi (732) (3/111),
An-Nasa’I (2324) (2/506), dan Ibnu Majah (1701) (2/325)

(Referensi : Buku : “Ringkasan Fiqih Islam” Panduan Ibadah Sesuai Sunnah Jilid
2 Hal. 97-101 Penerbit: Pustaka Salafiyah Cetakan Pertama : juni 2006/Jumada
Ula 1427 H Penerjemah: Akhmad Yusjawi)

HUKUM MENGQADHA PUASA


Penulis: Asy Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Aalu Fauzan
Barangsiapa yang membatalkan puasa Ramadhan dengan sebab yang
dibolehkan, seperti udzur-udzur syar'i yang membolehkan seseorang untuk
membatalkan puasa, atau yang diharamkan, seperti orang yang membatalkan
puasanya dengan jima', ia wajib melakukan qadha. Berdasarkan firman Allah
Azza wa Jalla: (artinya)

"Maka(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain." (Qs. Al-Bagarah: 184)

Disunnahkan bagi mereka untuk segera membayar qadha'nya agar segera


terbebas dari tanggungan.

Qadha disunnahkan untuk dilakukan dengan cara berturut-turut karena qadha


mengikuti ada' (ibadah tepat pada waktunya) menurut ijma'(kesepakatan para
ulama’). Jika tidak menggadha dengan segera, is wajib betekad untuk itu, dan
boleh baginya mengundurkannya karena waktunya panjang. Setiap kewajiban
yang waktunya panjang, diperbolehkan mengundurkannya dengan tekad
mengerjakannya, diperbolehkan untuk melakukannya secara terpisah-pisah
tanpa berurutan.

Akan tetapi jika bulan Sya'ban tersisa sejumlah puasa yang harus digadha, ia
wajib melakukan qadha dengan cara berurutan. Demikian menurut ijma'. Hal itu
karena sempitnya waktu.

Tidak boleh menundanya hingga Ramadhan berikutnya tanpa adanya udzur.


Berdasarkan ucapan Aisyah Radhiallahu ‘anha

"Suatu ketika aku memiliki hutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa
mengqadha puasa Ramadhan, melainkan pada bulan Sya'ban karena kesibukan
melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam" (Muttafaqun `alaih) (1)

Hadits ini menunjukkan bahwa waktu meng-qadha itu luas hingga bulan Sya'ban
tidak tersisa selain sejumlah puasa yang ditinggalkan Maka, wajib baginya
berpuasa sejumlah hari itu sebelum Ramadhan berikutnya.

Jika mengakhirkan mengqadha puasa hingga tiba Ramadhan yang berikutnya,


maka ia melakukan puasa Ramadhan yang tiba itu dan melakukan qadha hutang
puasanya setelahnya. Kemudian, jika meninggalkannya karena adanya udzur
sehingga la tidak bias meng-qadha di waktu yang ada itu, maka tiada lain wajib
baginya kecuali qadha.

Jika meninggalkannya karena tanpa udzur, maka di samping meng-qadha ia


wajib memberikan makanan setiap hari meng-qadha itu sebanyak setengah sha'
berupa makanan pokok di daerah tempat tinggalnya.

Orang yang meninggal dengan kewajiban qadha padanya sebelum tibanya bulan
Ramadhan yang akan datang, maka tidak ada kewajiban atasnya karena la
menundanya dalam waktu yang diperbolehkan.

Jika meninggal setelah Ramadhan yang berikutnya dan menunda qadha karena
adanya udzur, seperti, sakit atau dalam perjalanan hingga disusul dengan
tibanya bulan Ramadhan berikutnya, maka ia tidak menanggung beban apa-apa
juga.

Jika la menundanya tanpa udzur apa pun, maka ia wajib membayar kafarat
dengan cara mengeluarkan atas namanya makanan_untuk orang-orang miskin
sejumlah hari puasa yang la tinggalkan

Barangsiapa meninggal dan masih menanggung puasa kafarat, seperti, puasa


untuk kafarat dzihar atau puasa wajib sebagai dam haji tamattu', maka harus
memberi makanan atas namanya setiap hari satu orang miskin dan tidak perlu
diqadha puasanya. Pemberian makanan itu diambilkan dari harta
peninggalannya karena puasanya adalah puasa yang sama sekali tidak bisa
diwakilkan kepada orang yang masih hidup. Demikianlah pendapat mayoritas
ahli ilmu.

Barangsiapa yang meninggal dan padanya tanggungan puasa nadzar, maka


disunnahkan kepada walinya untuk melakukan puasa atas namanya.
Berdasarkan hadits di dalam kitab Ash-Shahihain,

"Seorang wanita datang menghadap kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


lalu berkata, 'Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dengan meninggalkan
tanggungan puasa nadzar. Apakah aku harus berpuasa atas namanya?' Beliau
menjawab, ‘Ya benar’. " (2)

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, "Dilakukan puasa nadzar atas namanya dan
tidak demikian untuk puasa fardhu yang asli. Ini adalah madzhab Ahmad dan
lainnya, ini nash yang datang dari Ibnu Abbas dan Aisyah. Itu selaras dalil dan
qiyas karena puasa nadzar pada dasarnya menurut syariat adalah bukan puasa
wajib, akan tetapi diwajibkan oleh hamba kepada dirinya. Maka, menjadi
semacam hutang atas dirinya. Oleh karena itu, Nabi menyerupakannya dengan
hutang.

Adapun puasa yang dari awalnya telah difardhukan oleh Allah Azza wa Jalal
maka puasa itu adalah salah satu dari rukun Islam. Maka, bagaimanapun tidak
bisa digantikan oleh orang lain dalam pengamalannya, sebagaimana shalat dan
syahadat. Sesungguhnya yang dimaksudkan dari keduanya itu adalah ketaatan
hamba kepada dirinya sendiri dan kesiapannya untuk memenuhi hak ibadah
yang merupakan tujuan penciptaan makhluk. Yang demikian ini tidak bisa
diwakilkan, dan shalat tidak bisa diwakilkan kepada yang lain."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, berkata, "Setiap hari ia harus


memberikan makanan pokok kepada satu orang miskin. Pendapat ini diikuti oleh
Ahmad, Ishaq, dan lainnya. Ini merupakan tuntunan hukum sebagaimana
diwajibkan oleh atsar. Nadzar adalah sesuatu yang sangat baku sebagai suatu
beban tanggung jawab, maka harus dikerjakan setelah kematian."

Adapun puasa Ramadhan, Allah Azza wa Jalla tidak mewajibkannya kepada


orang yang tidak mampu melakukannya. Akan tetapi, Dia memerintahkan
kepadanya untuk membayar fidyab saja dengan memberikan makanan pokok
kepada seorang miskin. Sedangkan kewajiban mengqadha adalah atas orang-
orang yang mampu melakukannya, bukan atas orang-orang yang tak mampu.
Maka, tidak perlu seseorang melakukan qadha atas nama orang lain.

Sedangkan nadzar puasa atau lainnya, maka baleh dilakukan orang lain tanpa
khilaf (perbedaan) karena berdasarkan hadits-hadits shahih.

(1) Muttafaqun'alaih: Al-Bukhari (1950) (4/240) Bab "Shaum" 40, dan Muslim
(2682) (4:2 Bab "Shiyam." 151.

(2)Muttafaqun 'alaih dari hadits Ibnu Abbas: Al-Bukhari (1953) (4/245); Muslim
(2691) (4/266) dan lafadz-nya ... "Puasalah kamu untuk ibumu."

(Referensi : Buku “Ringkasan Fiqih Islam” Panduan Ibadah Sesuai Sunnah Jilid
2 Hal. 93-96 Penerbit: Pustaka Salafiyah Cetakan Pertama : Juni 2006/Jumada
Ula 1427 H Penerjemah: AL Ustadz Akhmad Yusjawi)

ANCAMAN BAGI ORANG YANG MEMBATALKAN PUASA RAMADHAN


DENGAN SENGAJA
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
Dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah
mendengar Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda (yang artinya) :

“Ketika aku tidur , datanglah dua orang pria kemudian memegang dhabaya (28),
membawaku kesatu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata, “Naik.”
Aku katakan , “Aku tidak mampu.”
Keduanya berkata, “Kami akan memudahkanmu.”
Akupun naik hingga sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar
suara yang keras. Akupun bertanya, “Suara apakah ini?” Mereka berkata, “Ini
adalah teriakan penghuni neraka.” Kemudian keduanya membawaku, ketika itu
aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki diatas, mulut mereka
rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka.
Aku bertanya, “Siapakah mereka?” Keduanya menjawab, “Mereka adalah orang-
orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka (29)…” (30)

Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam


bersabda (yang artinya) :
“Barangsiapa berbuka satu hari saja pada bulan ramadhan dengan sengaja ,
tidak akan bisa diganti walau dengan puasa sepanjang jaman kalau dia lakukan.”

Hadits ini lemah, tidak shahih. Pembahasan hadits ini secara rinci akan dibahas
di akhir kitab ini.

(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terbitan Pustaka Al-
Haura, Jojakarta )

Footnote:
(28) Yakni : Dua lenganku.
(29) Sebelum tiba waktu berbuka puasa
(30) Riwayat An-Nasa’I dalam Al_Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf
(4/166)
Dan Ibnu Hibban (no.1800-zawaidnya) dan Al Hakim (1/430) dari jalan Abdur
Rahman bin Yajid bin Jabir, dari Salim bin Amir dari Abu Umamah. Sanadnya
Shahih

Sahur dan Berbuka Puasa Menurut Sunnah Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi


Wa Sallam
Penulis: Redaksi Al Wala’ Wal Bara’
SAHUR

1. Hikmahnya

Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkannya kepada


orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, Allah berfirman (yang
artinya): "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa."
(QS Al Baqarah: 183).

Waktu dan hukum yang diwajibkan atas Ahlul Kitab adalahi tidak boleh makan,
minum, dan jima’ setelah tidur, artinya jika tertidur, maka tidak boleh makan
sampai malam berikutnya. Hal itu ditetapkan juga untuk kaum muslimin,
sebagaimana telah dijelaskan. Maka ketika hukum tersebut dihapuskan,
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya makan sahur
untuk membedakannya dengan puasa Ahlul Kitab.

Dari ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya), "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul
Kitab adalah makan sahur." (HR Muslim 1096).

2. Keutamaannya

a. Sahur Barokah
Dari Salman radhiyallahu ‘anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
(yang artinya), "Barokah ada pada tiga perkara: Jama’ah, Tsarid, dan makan
sahur." (HR Thabrani, Abu Nu’aim).

Dari Abdullah bin Al Harits dari seorang shahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam: Aku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dia
makan sahur, beliau berkata, "Sesungguhnya makan sahur adalah barokah yang
Allah berikan pada kalian maka janganlah kalian tinggalkan." (HR An Nasaa`i
dan Ahmad).

Keberadaan sahur sebagai barokah sangatlah jelas, karena dengan makan


sahur berarti mengikuti sunnah, menumbuhkan semangat serta meringankan
beban yang berat bagi yang berpuasa, dalam makan sahur juga menyelisihi
Ahlul Kitab karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya makan pagi yang diberkahi
sebagaimana dalam dua hadits Al Irbadh bin Sariyah dan Abi Darda`
radhiyallahu ‘anhuma, "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur."

b. Allah dan MalaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.


Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda (yang artinya), "Sahur itu makanan yang barokah, janganlah
kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan
malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur."

Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang
besar ini dari Rabb yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang mukmin yang
paling afdhal adalah korma.

Bersabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), "Sebaik-baik


sahurnya seorang mukmin adalah korma." (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban,
Baihaqi).

Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh


untuk sahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena fadhilah
(keutamaan) yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rosulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang artinya), "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk
air."

3. Mengakhirkan Sahur

Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu melakukan sahur, ketika
selesai makan sahur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk sholat
subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira
lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.

Anas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu,
"Kami makan sahur bersama Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
beliau shalat, aku tanyakan (kata Anas): Berapa lama jarak antara adzan dan
sahur? Beliau menjawab, "Kira-kira 50 ayat membaca Al Qur’an." (HR Bukhari
Muslim).

4. Hukumnya
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya -dengan perintah
yang sangat ditekankan. Beliau bersabda (yang artinya), "Barangsiapa yang mau
berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu
Ya’la, Al Bazzar). Dan bersabda (yang artinya), "Makan sahurlah kalian karena
dalam sahur ada barokah." (HR Bukhari Muslim).

Perintah nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi:

Perintah untuk makan sahur.


Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pembeda antara puasa kita
dan puasa ahlul kitab.
Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas. Walaupun demikian, Al Hafizh Ibnu
Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari (4/139) ijma’ atas sunnahnya.
Wallahu a’lam.

BERBUKA

1. Kapan orang yang berpuasa berbuka?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), "Kemudian sempurnakanlah puasa hingga


malam."

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkannya dengan datangnya


malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari.

Syaikh Abdur Razzaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf (7591) dengan


sanad yang dishahihkan oleh Al Hafizh dalam Fathul Bari (4/199) dan Al
Haitsami dalam Majma Zawaid (3/154) dari Amr bin Maimun Al Audi, "Para
shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang
paling bersegera dalam berbuka puasa dan paling lambat dalam sahur."

2. Menyegerakan berbuka

Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam,
janganlah dihiraukan rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti
engkau mengikuti sunnah Rosulmu shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyelisihi
Yahudi dan Nashara, karena mereka mengakhirkan berbuka hingga terbitnya
bintang.
Menyegerakan berbuka menghasilkan kebaikan. Dari Sahl bin Sa’ad
radhiyallahu ‘anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya), "Manusia akan terus dalam kebaikan selama menyegerakan buka." (HR
Bukhari dan Muslim).
Menyegerakan buka adalah sunnah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari
Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda(yang artinya), "Umatku akan terus dalam sunnahku selama mereka
tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)." (HR Ibnu Hibban).
Menyegerakan buka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashara. Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya), "Agama ini akan terus jaya selama menyegerakan buka, karena orang
Yahudi dan Nashara mengakhirkannya." (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban).
Berbuka sebelum shalat maghrib. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berbuka sebelum shalat maghrib (HR Ahmad, Abu Dawud), karena
menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para Nabi. Dari Abu Darda`
radhiyallahu ‘anhu, "Tiga perkara yang merupakan akhlak para nabi:
menyegerakan buka, mengakhirkan sahur, meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri dalam shalat." (HR Thabrani).
3. Berbuka dengan apa?

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berbuka dengan kurma,


kalau tidak ada dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan
semangatnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya
dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang Rasul dari bangsa kamu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan kebahagiaanmu),
terhadap orang-orang mukmin ia amat pengasih lagi penyayang." (QS At
Taubah: 128).

Dengan memberi sesuatu yang manis (kurma) pada perut yang kosong, maka
tubuh akan lebih siap menerima dan mendapatkan manfaatnya, terutama tubuh
yang sehat, akan bertambah kuat dengannya. Dan bahwasanya puasa itu
menghasilkan keringnya tubuh, maka air akan membasahinya, hingga
sempurnalah manfaat makanan.

Dan ketahuilah, bahwa kurma itu memiliki barakah dan kekhususan -demikian
pula air- memiliki efek yang positif terhadap hati dan mensucikannya, tiada yang
mengetahuinya, kecuali orang-orang yang ittiba’ / mengikuti.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, "Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat, jika tidak
ada ruthab, maka beliau berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma, beliau
minum dengan satu tegukan air." (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah).

4. Apa yang Diucapkan ketika Berbuka?

Ketahuilah saudaraku yang berpuasa -semoga Allah memberikan taufik kepada


kami dan Anda untuk selalu mengikuti sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, sungguh engkau memiliki do’a yang mustajab, maka ambillah
kesempatan itu dan berdo’alah kepada Allah sedang engkau merasa yakin akan
dikabulkan -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan do’a dari
hati yang lalai lagi main-main- berdo’alah kepadaNya sesuatu yang engkau
inginkan dengan do’a-do’a yang baik, semoga engkau mendapatkan dua
kebaikan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Ada
tiga orang yang tidak akan tertolak do’a mereka: seorang yang puasa ketika
sedang berbuka, seorang imam yang adil, dan do’a seorang yang terzholimi."
(HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban).

Dan dari Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash berkata, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda (yang artinya), "Sungguh bagi orang yang berpuasa itu memiliki
do’a yang tidak akan tertolak ketika berhias." (HR Ibnu Majah, Al Hakim).

5. Memberi Makan Orang yang Berpuasa

Dan hendaklah engkau bersemangat, wahai saudaraku -semoga Allah memberi


berkah dan taufikNya kepadamu sehingga mampu mengamalkan kebaikan dan
ketaqwaan- (yaitu) bila engkau memberi makan kepada orang puasa, maka
padanya terdapat pahala yang agung serta kebaikan yang melimpah ruah. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Barangsiapa memberi
makan seorang yang berpuasa, ia mendapatkan pahala seperti orang yang
berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya." (HR Ahmad, Tirmidzi, dan
Ibnu Majah).

Dan apabila seorang muslim yang sedang berpuasa diundang makan, wajib
baginya untuk memenuhi undangan tersebut. Karena barangsiapa yang tidak
memenuhi undangan, maka sungguh ia telah mendurhakai Abul Qasim
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan disukai bagi yang diundang (makan) untuk mendo’akan kebaikan kepada si
pengundang setelah selesai makan, sebagaimana telah datang dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam do’a yang bermacam-macam, di antaranya:
"Orang-orang yang baik telah makan makananmu dan para malaikat telah
bershalawat kepadamu serta orang-orang yang berpuasa telah berbuka di
rumahmu." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, An Nasa`i, dan yang lainnya).

"Ya Allah, berilah makan orang yang telah memberi makan kepadaku dan berilah
minum orang yang telah memberi minum kepadaku." (HR Muslim dari Al Miqdad).

"Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah terhadap apa
yang telah Engkau rizkikan kepada mereka." (HR Muslim dari Abdullah bin Busr).

Judul Asli:
"Sahur dan Berbuka Puasa Menurut Sunnah Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam"

Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’


Edisi ke-1 Tahun ke-2 / 14 November 2003 M / 19 Ramadhan 1424 H
http://ghuroba.blogsome.com/

Hukum Seorang Pemuda yang Melakukan Onani di Bulan Ramadhan


Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah
Tanya : Apa hukum seorang pemuda yang melakukan onani di bulan Ramadhan
dalam keadaan dia tidak mengetahui bahwa perbuatan ini merupakan pembatal
puasa dan ketika syahwat bergejolak, sahkah puasanya?

Jawab : Hukumnya ialah tidak apa-apa baginya. Artinya puasanya tetap sah.
Karena sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa seseorang itu
tidaklah batal puasanya kecuali dari tiga syarat :

a. Dia dalam keadaan tahu kalau ini termasuk pembatal puasa


b. Dia ingat dan tidak dalam keadaan lupa
c. Memiliki kemauan (bukan dipaksa-red)

Akan tetapi saya katakan bahwa wajib baginya bersabar untuk tidak melakukan
onani karena ia adalah HARAM. Berdasarkan firman Allah :

"Orang-orang yang beriman ialah orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali


terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Maka
sesungguhnya dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa yang mencari di balik itu
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas" (QS. Al-Mukminun : 5-
7)

Dan juga Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu untuk menikah
maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih
menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia
berpuasa" (HR. Bukhari No. 1905, Muslim 3379)

Jika saja onani itu dibolehkan, niscaya Rasulullah akan membimbing kepada hal
yang demikian, karena hal ini sangat mudah bagi para mukallaf dan seorang itu
mendapatkan kesenangan. Berbeda dengan berpuasa, padanya terdapat
kesusahan. Maka tatkala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengarahkan bagi
orang yang tidak mampu menikah, untuk berpuasa.Ini menunjukkan bahwa
onani itu suatu yang tidak boleh untuk dilakukan oleh seseorang. (af)

Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah,


Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-
Ghuroba’ Solo.

http://almakassari.com/?p=180

Berlebih-lebihan dalam Makan dan Tidur di Bulan Ramadhan


Penulis: Asy Syaikh Utsaimin –rahimahullah
Tanya : Kebanyakan manusia di bulan Ramadhan berlebih-lebihan dalam makan
dan tidur sehingga mereka bermalas-malasan dan lemas. Sebagaimana mereka
begadang di malam hari dan tidur di siang hari. Apa nasehat AsySyaikh untuk
mereka?

Jawab : Saya berpendapat bahwa pada hakekatnya ini menyia-nyiakan waktu


dan harta. Jika manusia tidak memiliki keinginan kecuali memperbanyak jenis
makanan, berlebihan dalam tidur siang hari dan waktu sahur serta melakukan
perkara-perkara yang tidak bermanfaat di malam hari maka tidak diragukan lagi
ini merupakan penyia-nyiaan kesempatan yang sangat berharga. Bisa jadi
kesempatan ini tidak akan didapatkan lagi oleh mereka di masa hidupnya.

Seorang yang cerdik (cerdas) adalah orang yang menjalani bulan Ramadhan
untuk hal-hal yang sepantasnya, yaitu dia tidur di awal malam lalu menegakkan
shalat tarawih. Dan shalat tarawih tidak memberatkan. Demikian juga tidak
berlebihan dalam makan dan minum. Selayaknya bagi orang yang memiliki
kemampuan untuk bersemangat dalam memberikan ifthar (buka) kepada orang
yang berpuasa, baik itu di masjid ataupun di temapt lain. Sebab orang yang
memberikan buka puasa kepada orang yang berpuasa, baginya pahala seperti
orang yang berpuasa. Apalagi jika kepada saudara-saudaranya kaum muslimin
yang berpuasa. Maka sepantasnya bagi orang-orang yang Allah berikan
kemudahan/kelebihan harta untuk betul-betul menggunakan kesempatan ini
sehingga dia mendapatkan pahala yang sangat banyak. (af)

Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah,


Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-
Ghuroba’ Solo.

http://almakassari.com/?p=174

Hukum Seseorang Masuk Islam setelah Ramadhan Berlalu Beberapa Hari


Penulis: Asy Syaikh Utsaimin –rahimahullah
Tanya : Jika seseorang masuk Islam setelah berlalu darinya beberapa hari dari
bulan Ramadhan, apakah dia dituntut untuk mengganti puasa di hari-hari yang
dia lewati sebelum Islam. Artinya bulan Ramadhan yang disitu dia masuk Islam?

Jawab : Orang ini tidak dituntut untuk berpuasa di hari-hari yang telah lalu di
bulan Ramadhan tersebut karena dahulu ia seorang yagn kafir. Dan orang kafir
tidak diperintahkan atau dituntut untuk mengganti apa-apa yang luput darinya
dari amalan-amalan shalih. Berdasar firman Allah Ta’ala :

"Katakanlah kepada orang-orang kafir, jika mereka berhenti (dari kekafirannya),


pasti Allah akan mengampuni mereka atas dosa-dosa mereka yang telah lalu."

Dan juga dikarenakan dahulu para shahabat yang masuk Islam di zaman Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak memerintahkan meraka untuk
mengganti apa yang luput dari mereka. Seperti puasa, shalat, dan zakat. Akan
tetapi, di kala masuk Islam di siang hari bulan Ramadhan wajibkah baginya
untuk berpuasa selebih waktunya (hingga terbenam matahari), dan mengganti
puasanya tersebut? Atau dia hanya berpuasa di waktu selebihnya tanpa harus
menggantinya? Ataukah tidak wajib baginya berpuasa di waktu selebihnya dan
mengganti puasanya?

Dalam permasalahan ini ulama berbeda pendapat. Adapun pendapat yang


paling kuat adalah wajib baginya untuk berpuasa selebih waktunya hingga
matahari terbenam tanpa harus menggantinya. Diwajibkan baginya puasa
karena ia telah menjadi orang yang diwajibkan puasa dan tidak diwajibkan untuk
menggantinya karena sebelum itu bukan termasuk orang-orang yang diwajibkan
puasa (masih kafir-red). Sama halnya seperti anak kecil, jika dia telah baligh di
siang hari maka wajib baginya untuk terus menahan (puasa) dan tak wajib
baginya untuk mengganti menurut pendapat yang kuat dalam masalah ini.

Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah,


Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-
Ghuroba’ Solo.

http://almakassari.com/?p=177

Hukum Donor Darah dalam Bulan Ramadhan


Penulis: Asy Syaikh Utsaimin –rahimahullah
Tanya : Apakah mengambil sedikit darah (donor) dengan tujuan sebagai
penghalalan atau bersedekah kepada seseorang di siang hari bulan Ramadhan
dapat membatalkan puasa atau tidak ?

Jawab : Jika seseorang mengambil sedikit darahnya yang tidak memberikan efek
kepada badannya seperti membuat dia lemah, maka ini tidak membatalkan
puasanya baik diambil sebagai penghalalan, atau donor untuk seorang yang
sakit, atau bersedekah kepada seseorang yang membutuhkan.

Adapun jika darahnya diambil dengan jumlah yang banyak, yang menjadikan
badan lemas, maka dia berbuka dengannya (donor itu telah menjadi sebab
sehingga dia berbuka/tidak berpuasa lagi-red). Dikiaskan seperti berbekam yang
telah datang riwayatnya dari sunnah bahwa berbekam adalah termasuk salah
satu dari pembatal-pembatal puasa.

Dengan demikian, maka tidak boleh bagi seseorang untuk menyedekahkan


darahnya yang sagat banyak dalam keadaan dia sedang berpuasa wajib, seperti
puasa pada bulan Ramadhan. Kecuali jika di sana ada keperluan yang darurat
(mendesak), maka dalam keadaan seperti ini boleh baginya untuk
menyedekahkan darahnya untuk menolak/mencegah darurat tadi. Dengan
demikian dia berbuka dengan makan dan minum. Lalu dia harus mengganti
puasanya yang dia tinggalkan/berbuka. (af)

Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah,


Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-
Ghuroba’ Solo.

You might also like