Professional Documents
Culture Documents
Daftar Isi
Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wassalam bersabda :
“Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari kecuali kalian melihat
hilal sebelum hari ketiga puluh.” (33)
2. Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak (34) , Berarti (ia) telah durhaka
kepada Abul Qasim Shalallahu 'alaihi wassalam
Oleh karena itu, seyogyanya seorang muslim tidak mendahului bulan puasa
dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-
hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari
Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wassalam pernah bersabda :
“Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua
hari sebelumnya kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa, maka
berpuasalah.” (35)
3. Jika seorang muslim telah melihat hilal hendaknya kaum muslimin berpuasa
atau berbuka
Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam :
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya,
berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka
sempurnakanlah (bilangan bulan Sya’ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua
saksi berpuasalah kalian dan berbukalah.” (37)
Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu
kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu
persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan
untuk memulai puasa)., dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar
Radiyallahu 'anhu, ia berkata :
“Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku
melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun menyuruh manusia
berpuasa.” (38)
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terbitan Pustaka Al-
Haura, Jojakarta )
Para ulama bersepakat bahwa bulan dalam Islam hanya 29 atau 30 hari, dan
mereka juga bersepakat bahwa dalam penentuan bulan-bulan hijriah hanya
digunakan salah satu dari dua cara: Rukyat (melihat) hilal bulan berikutnya atau
menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat.
Sehingga bulan ramadhan bisa kita tentukan dengan: Rukyat hilal ramadhan
atau menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari jika hilal ramadhan tidak
terlihat. Demikian pula penentuan idul fithr: Dengan rukyat hilal syawal atau
menggenapkan ramadhan menjadi 30 hari jika hilal syawal tidak terlihat.
Dia adalah bulan sabit kecil yang muncul setelah matahari terbenam di akhir
tanggal 29 tiap bulannya. Munculnya sesaat setelah itu menghilang kembali.
Semua ini berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa Nabi -Shallallahu alaihi
wasallam- bersabda:
ََُِْوا َرَأُْ
ُ ْ ُ َوِإذَا َُ ُْ ْا َرَأُْ
ُ ْ ُ ِإذَا, َْ"ُ َ! ْ ِ ُروْا ََُْْ ُ َِن#
“Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah dan jika kalian
melihatnya (hilal syawal) maka berbukalah. Jika hilal terhalangi dari kalian maka
hitunglah dia.” HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080)
ْ َِن$
َ ِ
َْ"ُ َ! ْ ِ ُروْا ََُْْ ُأ# ِْ%&
َ َ%'
َ
“Kalau awan menghalangi kalian melihatnya maka hitunglah dia menjadi 30.”
Dari Aisyah beliau berkata, “Adalah Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- berjaga-
jaga pada (akhir) sya’ban tidak sebagaimana beliau berjaga-jaga pada bulan
lainnya. Kemudian beliau mulai berpuasa karena melihat hilal, dan jika awan
menghalangi beliau dari melihatnya maka beliau menghitung (menggenapkan
sya’ban) 30 hari kemudian baru berpuasa.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang
shahih)
Faidah:
[Subulus Salam Syarh Bulughul Maram: 1/161-162 dan Ithaf Al-Anam hal. 11]
Jika Ada Sebuah Negeri Yang Melihat Hilal (Ramadhan/Syawal), Apakah Wajib
Atas Negeri Lainnya Untuk Mengikutinya (Berpuasa/Berbuka)?
Tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari bahwa setiap negeri
mempunyai hilal tersendiri, karena hal itu adalah kenyataan dan juga
sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Kuraib yang akan datang. Hanya saja
yang mereka perselisihkan adalah, jika sudah ada sebuah negeri yang lebih
dahulu melihat hilal lantas dia mereka mengabarkannya ke negeri-negeri lain,
apakah semua negeri tersebut harus mengikutinya ataukah mereka menunggu
hilal di negeri mereka masing-masing?
1. Wajib atas seluruh negeri lainnya untuk mengikutinya. Ini adalah pendapat Al-
Hanafiah, Al-Malikiah, Asy-Syafi’i dan sebagian Asy-Syafi’iyah, dan yang
masyhur dalam mazhab Imam Ahmad, juga merupakan mazhab Al-Laits bin
Sa’ad. Ini yang dikuatkan oleh banyak ulama di antaranya: Ibnu Taimiah
sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa, Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan,
Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baz.
Mereka berdalil dengan ayat 185 dari surah Al-Baqarah, “Maka barangsiapa di
antara kalian yang melihatnya (hilal ramadhan) maka hendaknya dia berpuasa.”
Dan juga hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Berpuasalah kalian karena
melihatnya (hilal ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal
syawal).” (HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081) Dan juga hadits Ibnu
Umar yang telah berlalu.
Mereka mengatakan bahwa perintah dalam hadits ini ditujukan kepada seluruh
kaum muslimin tanpa ada pengkhususan pada daerah tertentu. Sama seperti
ketika diperintah shalat maka perintahnya berlaku umum untuk seluruh kaum
muslimin di berbagai negeri, tidak terkhusus pada kaum muslimin di tempat
tertentu. Lihat ucapan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (4/194)
Mereka juga mengatakan bahwa pendapat ini lebih menyatukan kaum muslimin
dan menampakkan syiar Islam di berbagai negeri tatkala secara serentak
mereka semua berpuasa, dan itu memberikan pengaruh tersendiri kepada
musuh-musuh Islam.
Mereka juga berdalil dengan dalil yang sama dengan pendapat pertama, hanya
saja mereka mengatakan perintah pada dalil-dalil tersebut ditujukan kepada
negeri-negeri yang semathla’ dengannya.
3. Setiap negeri tidak wajib mengikutinya, tapi mereka menunggu hilal di negeri
mereka masing-masing. Ibnu Al-Mundzir menukil pendapat ini dari Ikrimah, Al-
Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdillah bin Umar, dan Ishaq bin Rahawaih.
Mereka berdalilkan dengan kisah Abu Kuraib yang diutus oleh Ibnu Abbas yang
berada di Madinah untuk menuju Syam. Dia diutus pada bulan sya’ban kemudian
kembali ke Madinah di akhir bulan ramadhan. Lalu Ibnu Abbas bertanya
kepadanya, “Kapan kalian melihat hilal (ramadhan)?” dia menjawab, “Kami
melihatnya pada malam jumat,” Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami
melihatnya pada malam sabtu. Maka kami akan tetap berpuasa sampai 30 hari
atau kami melihatnya (hilal syawal).” Maka Kuraib berkata, “Kenapa kamu tidak
mencukupkan dengan (baca: mengikuti) rukyat dan puasanya Muawiah (Amirul
Mukminin yang ketika itu berdiam di Syam)?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak,
demikianlah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- perintahkan kepada
kami.” (HR. Muslim no. 1078)
4. Setiap negeri mengikuti pemimpinnya, kalau dia berpuasa maka mereka juga
ikut berpuasa, dan kalau tidak maka mereka tidak boleh berpuasa. Demikian
pula halnya dalam idul fithr. Kalau umat Islam mempunyai khalifah lantas dia
menetapkan berpuasa maka wajib atas seluruh kaum muslimin untuk
mengikutinya.
“Waktu berpuasa adalah hari ketika semua orang berpuasa dan hari berbuka
adalah hari ketika semua orang berbuka.” (HR. At-Tirmizi no. 697 dari Abu
Hurairah)
Tarjih:
Adapun pendapat yang kedua maka kita katakan bahwa perbedaan mathla’
adalah perkara yang tidak bisa ditetapkan dengan batasan dan ukuran tertentu.
Apa yang menjadi batasan dalam menggolongkan sebuah negeri ikut ke mathla’
ini dan yang lainnya tidak?! Karenanya Syaikh Al-Albani berkata dalam Tamamul
Minnah, “Mathla-mathla’ adalah perkara nisbi, dia tidak mempunyai batasan
nyata yang dengannya manusia bisa mengetahuinya dengan jelas.”
Adapun dalil pendapat ketiga maka itu hanyalah ijtihad dari Ibnu Abbas -
radhiallahu anhuma- semata dan beliau tidak membawakan dalil dari Nabi.
Adapun ucapannya, “Tidak, demikianlah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi
wasallam- perintahkan kepada kami,” maka yang dimaksudkan dengannya
adalah hadits Ibnu Umar dan Abu Hurairah tentang perintah berpuasa dan
berbuka karena melihat hilal. Demikian yang diterangkan oleh Ibnu Taimiah, Ibnu
Daqiqil Id, Asy-Syaukani, dan selainnya.
Adapun pendapat yang keempat, maka dalil mereka itu berlaku bagi orang yang
berpuasa dengan rukyat negerinya, kemudian di tengah ramadhan datang kabar
bahwa hilal di negeri lain terlihat sehari atau dua hari sebelum negerinya. Maka
dalam keadaan seperti itu hendaknya dia melanjutkan puasanya bersama
penduduk negerinya hingga 30 hari atau mereka melihat hilal. Jawaban semisal
ini disebutkan oleh Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam
Catatan:
Walaupun pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, akan tetapi yang
berpendapat dengannya hendaknya tidak menampakkan penyelisihannya
terhadap pemerintah, guna menjaga persatuan kaum muslimin, sebagaimana
yang akan ditengkan setelah ini.
[Asy-Syarhul Mumti’: 6/308-312, Ithaful Anam hal. 13-16 dan Shahih Fiqhus
Sunnah: 2/95-96]
Orang Yang Melihat Hilal Sendirian, Apa Yang Wajib Dia Lakukan?
Misalnya dia melapor ke pemerintah bahwa dia melihat hilal akan tetapi
pemerintah tidak menerima persaksiannya. Kalau yang dia lihat adalah hilal
ramadhan maka ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Wajib atasnya berpuasa walaupun dia sendirian. Ini adalah mazhab Abu
Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama. Ini pendapat yang
dikuatkan oleh Imam Ash-Shan’ani dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Mereka
berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang memerintahkan berpuasa bagi
orang yang melihat hilal, sementara orang ini telah melihatnya.
2. Dia harus ikut kepada orang-orang di negerinya. Ini adalah pendapat Asy-
Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin dan salah satu riwayat dari Ahmad. Ini yang
dikuatkan oleh Ibnu Taimiah, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Al-Albani. Mereka
berdalil dengan hadits Abu Hurairah riwayat At-Tirmizi di atas.
Yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama. Adapun dalil pendapat kedua
dijawab bahwa hadits itu berlaku bagi orang yang tidak mengetahui adanya hilal
yang berbeda dengan hilal negerinya atau dia belum yakin akan munculnya hilal,
sebagaimana telah diterangkan di atas.
Adapun kalau yang dia lihat adalah hilal syawal, maka juga ada dua pendapat di
kalangan ulama:
1. Dia tetap berbuka akan tetapi tidak terang-terangan untuk menjaga persatuan
dan jangan sampai disangka dia tidak mau taat kepada pemerintah. Ini adalah
mazhab Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Ahmad, dan yang dikuatkan oleh
Imam Ibnu Hazm. Adapun masalah shalat, maka hendaknya dia shalat bersama
pemerintah di negerinya. Mereka berdalilkan dengan keumuman perintah
berbuka ketika melihat hilal syawal.
2. Dia tidak boleh berbuka dan harus tetap berpuasa bersama penduduk
negerinya. Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat At-Tirmizi di
atas.
Yang kuat adalah pendapat pertama. Jawaban atas dalil pendapat kedua telah
disebutkan di atas.
Jika Dia Mendapat Kabar Dari Orang Lain Bahwa Hilal Sudah Nampak.
Adapun pada hilal syawal, maka dipersyaratkan saksi atau yang mengabarinya
harus minimal dua orang. Ini adalah pendapat Malik, Al-Laits, Al-Auzai, Ats-
Tsauri, salah satu dari dua pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Al-Mubarak
dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Jika hilalnya ramadhan, yang kuat dalam masaah ini adalah pendapat yang
menyatakan hendaknya dia langsung berpuasa walaupun dia telah makan
sebelumnya, dan itu sudah syah baginya, tidak perlu diqadha`. Ini adalah
pendapat Umar bin Abdil Aziz, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiah dan yang dikuatkan
oleh Asy-Syaukani dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah.
Mereka berdalilkan kisah ketika diwajibkannya puasa asyura yang ketika itu Nabi
-Shallallahu alaihi wasallam- umumkan di pagi hari dimana beliau bersabda,
“Barangsiapa yang berpuasa maka hendaknya dia melanjutkan puasanya, dan
barangsiapa yang telah berbuka (makan sebelumnya) maka hendaknya dia
menyempurnakan berpuasa pada sisa harinya.” (HR. Muslim dari Salamah bin
Al-Akwa’)
Jika hilalnya syawal, maka Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/161) menukil
ijma’ ulama akan wajibnya mereka berbuka ketika itu juga dan langsung
mengerjakan shalat id jika kabarnya diterima sebelum tergelincirnya matahari.
Adapun jika kabarnya diterima setelah matahari tergelincir maka yang kuat
adalah bahwa shalat id dikerjakan keesokan paginya karena para ulama
bersepakat bahwa shalat id tidak boleh dikerjakan setelah tergelincirnya
matahari. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri dan yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil
rahimahullah.
Sumber :http://al-atsariyyah.com/?p=835
DOA MENYONGSONG BULAN ROMADHAN
Penulis: Al-'Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah
Soal:
“Adakah doa-doa khusus dari Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang
dibaca) ketika masuk bulan Ramadhan yang penuh berkah ? Doa apakah yang
wajib di baca oleh seorang muslim pada malam pertama bulan ramadhan ?
Berilah kami jawaban, semoga Allah memberkati anda”.
Jawab :
Saya tidak mengetahui adanya doa khusus yang dibaca ketika masuk bulan
ramadhan. Yang ada hanyalah doa umum untuk seluruh bulan. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam jika kita melihat hilal (bulan sabit tanggal satu), baik hilal
ramadhan ataupun bulan-bulan yang lain, beliau berdoa : “Ya Allah, terbitkanlah
(dan tampakkanlah) hilal kepada kami (diiringi) dengan keberkahan dan
keimanan serta keselamatan dan keislaman, (jadikanlah dia) sebagai hilal
kebaikan dan petunjuk, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Alloh.”
(HR. At-Tarmidzi (9/142), imam Ahmad (1/162), Ad-Darimi (2/7) dan lain-lain,
dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Wabilush
Shayyib, hal. 220).
“Allah Maha Besar, Ya Allah, terbitkanlah (dan tampakkanlah) hilal itu kepada
kami (diiringi) dengan keamanan dan keimanan serta keselamatan dan
keislaman. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah”.
Doa ini dibaca ketika melihat hilal di bulan Ramadhan atau bulan-bulan lainnya.
Adapun kekhususan membaca doa-doa tertentu ketika masuk bulan ramadhan,
saya tidak mengetahui adanya yang seperti itu. Akan tetapi kalau seorang
muslim berdoa kepada Allah agar membantunya menjalankan puasa di bulan itu
dan menerima puasanya, maka tidaklah mengapa. Hanya saja, dia tidak boleh
menentukan (doa-doa tertentu sebagai) doa-doa khusus (untuk bulan
Ramadhan).
Wallahu a’lam.
Maroji’ :
Al-Muntaqo min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (4 / 92).
Para pembaca yang budiman, agar Romadhon semakin indah dan bernilai di
sanubari kita, alangkah baiknya jika kita mengetahui dan mengkaji bersama
diantara fadhilah dan keutamaan bulan suci nan berkah ‘Romadhon’. Keutamaan
dan fadhilah Romadhon telah dibeberkan oleh Allah dan Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam- dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagai berikut:
Bulan Al-Qur’an
Satu perkara yang sulit dilupakan oleh kaum muslimin bahwa Al-Qur’an turun di
bulan Romadhon, tepatnya malam Lailatul Qodar. Allah menurunkan Al-Qur’an di
bulan suci ini karena keutamaan yang tinggi baginya, dan hikmah. Allah -Ta’ala-
berfirman,
ُ ْ(َ7 ن
َ !َ8َ َر#ِيا: ل
َ <ِ ْ=ن ِ"ِ ُأ
ُ >َُْ?ْ#س هًُى ا
ِ !5ِ# ت
ٍ !َ5EَF' َو
َ ِ ْ(َُى#ن ا
ِ !َ ُْ6ْ#وَا
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Romadhon, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan
penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang haq dengan
yang batil)". (QS. : Al-Baqoroh: 185 )
Faedah : Hadits ini merupakan bantahan -dari segi sejarah- atas orang yang
meyakini bahwa Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Romadhon !!! Adapun
bid’ahnya Nuzulul Qur’an, maka akan datang pembahasannya, Insya Allah!
ن
ل َأ
َ ْ ُQ َرR ِ ا/َJ R ُ َ َ ََْ"ِ اQ َو/َ?َ.َْ َ ارSْ5ِ
ْ#ل ا
َ !َ?َ '
َ ِْ> '
َ ِْ> '
َ ِْ> K
َ ِْ?َ ُ"َ# !َ ل
َ ْ ُQ َرR
ِ َ! اG
َ ْ5ُ آPُ َ5َْ. َا:َل ه
َ !َ?َ
ل
َ !َ ْ$ِ# Kُ ِْTَْاSِU ِ"ََْ َ! ُم-# َرِ َ اH ُ ْ=ْ ٍ َأSَ K
َ َOن "ََِْ َد
ُ !َ8ََْ ََْ َر6ْWُ ُ"َ# G ُ ُْ?َ '
َ ِْ>
Jadi, seorang yang mau diampuni dosanya, harus menutupi dosanya dengan
amal sholeh di bulan suci ini, seperti membaca Al-Qur’an, mendengarkan
ceramah, puasa, dan sholat tarawih; bukan berhura-hura, dan menghabiskan
waktu dalam perkara sia-sia, apalagi haram, seperti bermain kartu di bulan
Romadhon, ludo, ular tangga, berdusta, berbicara tabu, berzina, dan lainnya.
ن
ِ"ِ ِإ# ْ$ِ K
E ٍُ َ ْ ٍم آ+ََْ#' َُ?َ! َء َو
َ ِ 5#ْ !رِا$ِ ِ ْ(َ7 ن
َ !َ8َن َر
َوِإK
E ُِ# ٍ ِْ-ُ ِ(َ! َُْ ْ َدْ َ ًةF ب
ُ !َLَْ-َُ ُ"َ#
"Sesungguhnya Allah pada setiap hari dan malam di bulan Romadhon memiliki
hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka; sesungguhnya setiap muslim
memiliki do’a yang ia berdo’a dengannya,lantaran itu do’anya dikabulkan". [HR.
Al-Bazzar dalam Al-Musnad (3142), dan Ahmad dalam Al-Musnad (2/254).
Syaikh Ali bin Hasan Al-Atsariy men-shohih-kan hadits ini dalam Shifah Ash-
Shoum (hal.24)]
Setan-setan dan Jin Durhaka Dikerangkeng; Pintu Surga Dibuka, dan Pintu
Neraka Ditutup
Saking mulia dan sucinya bulan Romadhon, Allah mengikat para setan, dan jin
yang durhaka; pintu-pintu surga dibuka, dan neraka ditutup.
ن ِإذَا َ !َل آ
ُ ٍ َأ و+ََْ# ْ'ِ ِ ْ(َ7 ن
َ !َ8َ َتْ َرE6ُJ ' ُ ِْZ!َ)#' َوَ َ َد ُة ا
E ِLْ#ْ اGَ?Eُب َوُ ْ َاF! ِر َأ5#َْ[ْ ََْ ا6ُ !َ(ْ5ِ ٌَ!بF ْGَIEَُو
ب
ُ ْ َاFِ َأ+5َLْ#َْ\ْ ََْ اWُ !َ(ْ5ِ ٌَ!بF َْ! ِدي5َُ! ٍد َو5ُ !َ $َ ِ!َF ِ َْ]ْ#ْ اKِSْ َوَ! َأ$
َ ِ!َF E )#ِ"ِ َأ ِْْ ا#' َُ?َ! ُء َو َ ِ ! ِر5#^ ا
َ ِ# َو َذK
ُآ
ٍ+ََْ#
"Jika malam pertama Romadhon datang, maka setan-setan, dan jin-jin durhaka
dibelenggu; pintu-pintu neraka ditutup. Maka tak ada satu pintu(nya) pun yang
terbuka; pintu-pintu surga dibuka. Maka tak ada suatu pintu pun yang ditutup;
Seorang pemanggil memanggil,"Wahai pencari kebaikan, menghadaplah; wahai
pencari kejelekan, berhentilah". Allah memiliki hamba-hamba yang
dimerdekakan dari neraka. Demikian itu pada setiap malam". [HR. At-Tirmidziy
dalam Sunan-nya (682), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1642). Hadits ini di-
shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1960) ]
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr Al-Andalusiy-rahimahullah- berkata dalam At-Tamhid
(7/310), "Makna hadits ini menurut saya –Cuma Allah yang lebih tahu-: Allah
melindungi di dalamnya kaum muslimin, atau dominannya dari maksiat-maksiat.
Jadi, setan tidak akan bebas datang kepada mereka sebagaimana mereka
bebas datang di sepanjang tahun".
Ingat !! Namun kalian jangan menyangka bahwa setan ketika itu tak akan
menggoda dirimu. Ketahuilah, ia akan tetap menggodamu, walaupun tidak
segencar di bulan lain. Isilah hari-harimu dengan ketaatan, jangan mendekati
jalan-jalan kemaksiatan sehingga engkau akan selamat darinya. Didiklah dirimu
di bulan ini menjadi hamba yang taat, bukan hamba yang durhaka. Jika tidak,
maka engkau akan menjadi bahan bakar Jahannam. Na’udzu billah minannar.
"Allah memiliki di bulan Romadhon suatu malam yang lebih baik dibandingkan
1000 bulan. Barang siapa yang dihalangi (dari kebaikannya), maka ia akan
dihalangi (dari kebaikan)". [HR. An-Nasa’iy dalam Al-Mujtaba (2106), dan Ahmad
dalam Al-Musnad (7148). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih
At-Targhib (999)]
ن
َِ ْ ُ
ْ َ ًة$ِ ن
َ !َ8َْ َر$ِ8ْ?َ. ً+Lَ0 ْ$ِ,َ
http://almakassari.com/?p=173
Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu
dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya
hilal? Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Apakah masing-masing
daerah berpegang dengan mathla’-nya (waktu munculnya) sendiri ataukah jika
terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti?
Perbedaan mathla’ adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dipungkiri.
Namun yang menjadi masalah, apakah perbedaan tersebut berpengaruh dalam
hukum atau tidak? Dan menurut madzhab yang kuat perbedaan tersebut tidak
dianggap.
Asy-Syaikh ‘Abdul ’Aziz bin ‘Abdullah bin Baz menjelaskan masalah ini ketika
ditanya apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda?
Beliau menjawab, yang benar adalah bersandar pada ru’yah dan tidak
menganggap adanya perbedaan mathla’ karena Nabi n memerintahkan untuk
bersandar dengan ru’yah dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi n tidak
mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu.
(Tuhfatul Ikhwan, hal. 163)
Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi shallallahu alaihi
wasallam bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia
berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-
nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103)
Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana seorang
jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang
dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas,
maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang
lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang
berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada
jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang seperti ini bukan
termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105)
Karena perbedaan mathla’ diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu daerah
berarti daerah-daerah lain wajib mengikuti, jika mereka mendapatkan berita
tersebut dari sumber yang bisa dipercaya.
Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa ini adalah madzhab
jumhur ulama. Beliau berkata:
“Dan banyak ulama ahli tahqiq (peneliti) telah memilih madzhab jumhur ini, di
antara mereka adalah Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana dalam Majmu’
Fatawa juz 25, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, dan Shiddiq Hasan Khan
dalam Ar-Raudhatun Nadiyyah dan selain mereka. Itulah yang benar, tiada yang
benar selainnya dan ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu (yang menjelaskan bahwa ketika penduduk Madinah
diberitahu bahwa penduduk Syam melihat hilal lebih dulu dari mereka, Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhu tetap memakai ru’yah penduduk Madinah sampai
puasa 30 hari atau sampai melihat hilal-red) karena beberapa alasan yang telah
disebut oleh Asy-Syaukani rahimahullah.
Dan mungkin alasan yang paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu datang dalam perkara orang yang berpuasa sesuai dengan
ru’yah yang ada di daerahnya, kemudian di tengah-tengah bulan Ramadhan
sampai kepada mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain telah melihat
hilal sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini ia terus melakukan puasa bersama
orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal sendiri.
Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah (problem) dalam
hadits itu. Sedangkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di jaman kita
ini. Hanya saja memang dibutuhkan ‘kepedulian’ dari negara-negara Islam
sehingga dapat mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah .
Dan selama belum bersatunya negeri-negeri Islam, maka saya berpendapat
bahwa masyarakat di setiap negara harus puasa bersama negara (pemerintah)
dan tidak memisahkan diri sehingga sebagian orang berpuasa bersama
pemerintah dan sebagian lain bersama yang lainnya, baik mendahului puasa
atau lebih akhir karena yang demikian bisa mempertajam perselisihan dalam
masyarakat sebagaimana terjadi pada sebagian negara-negara Arab sejak
beberapa tahun lalu. Wallahul musta’an.” (Tamamul Minnah, hal. 398)
Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas
masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya, walaupun
berdasarkan ru’yah?
Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa
ketentuan itu (memulai dan mengakhiri puasa) adalah wewenang pemerintah
atau pihak yang diserahi masalah ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Al-Hasan
Al-Bashri dalam masalah pemerintah: “Mereka mengurusi lima urusan kita,
shalat Jum’at, shalat jamaah, ‘Ied, perbatasan dan hukum had. Demi Allah,
agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka walaupun mereka itu dzalim
dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih
banyak dari apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 7-8)
Hal yang serupa dinyatakan juga oleh As-Sindi dan Al-Albani sebagaimana akan
nampak dalam penjelasan yang akan datang. Jadi ini bukan tugas atau urusan
individu atau kelompok tapi ini adalah urusan pemerintah. Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah menyebutkan sebuah hadits dalam Silsilah As-Shahihah (1/440):
ْ ُم#ن َ ْ َم ا
َ ْ ُْ َُ. ُ ِْ6ْ#ن َ ْ َم وَا
َ ِْْ ُو6ُ. /َIْbc
َ ْن َ ْ َم َوا
َ ْ aIَ8ُ.
“Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya kalian dan
‘Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dari Abu
Hurairah , dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-
Shohihah, no. 224)
Saya (Al-Albani) katakan: “Makna inilah yang langsung dipahami dalam hadits,
dan itu didukung oleh perbuatan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berhujjah
dengannya kepada Masruq ketika ia tidak mau puasa Arafah karena khawatir
ternyata itu hari nahr (10 Dzulhijjah, yakni hari raya). Maka ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha terangkan bahwa pendapatnya itu tidak bisa dianggap dan wajib baginya
mengikuti kebanyakan manusia, lalu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Hari nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan ‘Iedul Fithri adalah ketika
orang-orang berbuka.” (Al-Mushannaf Abdurrazaq, 4/157)
Saya katakan (Al-Albani): “Inilah yang cocok bagi syariat yang toleran, yang di
antara tujuannya adalah menyatukan manusia dan barisan mereka serta
menjauhkan mereka dari dari pendapat-pendapat pribadi yang menceraiberaikan
kesatuan mereka. Syariat tidak menganggap pendapat pribadi –walaupun itu
benar dari sisi pandangnya- dalam ibadah yang sifatnya berjamaah seperti
puasa, ‘Ied, dan shalat berjamaah.
Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat shalat di belakang yang lain
padahal di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita,
kemaluan, dan keluarnya darah membatalkan wudhu, dan di antara mereka juga
ada yang tidak berpendapat demikian.
Di antara mereka ada yang melakukan shalat 4 rakaat dalam safar dan di
antaranya juga ada yang 2 rakaat. Namun demikian perbedaan ini dan yang lain
tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama dalam melakukan shalat di
belakang satu imam dan menganggap shalat itu sah.
Hal itu karena mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek
daripada perbedaan dalam sebagian pendapat. Maka hendaknya mereka
memperhatikan hadits ini dan riwayat yang disebutkan. Yaitu mereka yang
mengaku-aku mengetahui ilmu falak, yang memulai puasa sendiri dan berbuka
sendiri, mendahului atau membelakangi mayoritas muslimin dengan bersandar
pada pendapat dan ilmunya tanpa peduli manakala keluar dari jamaah.
Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang kami sebut dari ilmu ini.
Barangkali mereka akan mendapatkan obat dari kebodohan dan kesombongan
yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadi satu shaf bersama kaum
muslimin karena sesungguhnya tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala bersama
jamaah.” (Silsilah Ash-Shahihah, 1/443-445, lihat pula anjuran beliau yang telah
disebut dalam Tamamul Minnah hal. 398)
1. Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi, dan ini adalah
madzhab Asy-Syafi’i.
2. (Mulai) berpuasa sendiri dan tidak berbuka kecuali kecuali bersama manusia.
Dan itu yang masyhur dari pendapat Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah.
3. Berpuasa bersama manusia dan berbuka juga bersama manusia.
Yang ketiga adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu alaihi wasallam:
ْ ُم#ن َ ْ َم ا
َ ْ ُْ َُ. ُ ِْ6ْ#ِْ ُ َ ْ َم وَا6ُ.ن
َ ْ و/َIْbc
َ ْن َ ْ َم َوا
َ ْ aIَ8ُ.
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika
kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah tatkala kalian menyembelih.”
Riwayat At-Tirmidzi dan beliau katakan hasan gharib, diriwayatkan pula oleh Abu
Dawud dan Ibnu Majah, dan ia menyebutkan buka dan ‘Iedul Adha saja. (Hadits
ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albanidalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 224)
Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini dengan
perkataan: “Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka
dilakukan bersama jamaah manusia dan kebanyakan manusia.”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah :
“Berbukanya kalian adalah hari tatkala kalian berbuka dan Adha kalian adalah
hari kalian menyembelih. Semua tanah Arafah adalah tempat wuquf, semua
tanah Mina adalah tempat menyembelih, dan semua gang-gang Makkah adalah
tempat menyembelih, dan semua tanah jam’ (Muzdalifah) adalah tempat wuquf.”
(Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi
Dawud no. 2324)
^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِهc
َ ْْ اKُ $
َ ِ هG
ُ ِْ س َ َا
ِ !5ِ# d
E َIْ#وَا
Allah Ta'ala terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
e
َ َُِ! ُم ََُْ ُ آE# آَ
َ! اe َ ُِ آ/ََ ' َ ْ:ِ #ُِْْ ِ'ْ اSَ َُْ,َ# ن
َ ْ ُ?َ.. !ً!ت َأ
ٍ ْ ُوْدَا,َ ْ'َ
َ نَ !َْ آ5ُِْ !ً8ِْ َ ْ َأو/ََ ٍ َ6َQ
ٌِ َة,َ ْ'ِ َ َ َأ! ٍمO ُأ/ََ' َو
َ ْ:ِ #ٌ ُِْ?ُ ْ=َ"ُ ا+َِْ َ! ُم,َZ 'َ ِْْ-ِ ْ'َ
َ ع َ ََ. ًَْاO َ ُ(َ ٌَْO ُ"َ# َُْ ُْ ا َوَأن. ٌَْO َُْ# ِْإن
ُْْ5ُن آَ ْ ُ
َْ,َ.
Allah Ta'ala wajibkan puasa bulan Ramadhan dan ini disepakati kaum muslimin.
Yang diperselisihkan manusia adalah apakah hilal itu sebutan untuk sesuatu
yang muncul di langit walaupun manusia tidak mengetahuinya yang dengan itu
berarti telah masuk bulan (baru), ataukah hilal itu merupakan sebutan untuk
sesuatu yang manusia mengeraskan suara padanya (maksudnya
mengumumkannya sehingga diketahui oleh banyak orang), dan makna syahr
adalah yang tersohor/ terkenal di antara manusia. Dalam masalah ini ada dua
pendapat:
Atas dasar itu, maka syarat hilal dan syahr adalah terkenalnya di antara manusia
dan pengumuman manusia tentangnya. Sehingga walaupun yang melihatnya 10
orang tapi tidak dikenal di antara manusia di daerah itu, karena persaksian
mereka ditolak atau karena mereka tidak mempersaksikan, maka hukum mereka
seperti hukum seluruh muslimin (yang lain). Sehingga mereka tidak wuquf, tidak
menyembelih qurban, dan tidak shalat ‘Ied kecuali bersama muslimin. Demikian
juga tidak berpuasa kecuali bersama muslimin, dan ini makna ucapan Nabi
Shallallahu alaihi wasallam:
ُُْْ ُJ ن َ ْ َم
َ ْ ُْ َُ. ُْن َ ْ َم َوِْ ُآ
َ ِْْ ُو6ُ. َُْ!آIْbن َ ْ َم َوَأ
َ ْ aIَ8ُ.
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika
kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian
menyembelih.”
Oleh karena itu Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan dalam riwayatnya:
“Berpuasa bersama imam dan jamaah muslimin dalam keadaan udara cerah
maupun mendung.” Beliau juga mengatakan: “Tangan Allah bersama Al-
Jamaah”.
Atas dasar ini muncullah perbedaan hukum awal bulan. Apakah itu berarti (awal)
bulan bagi penduduk negeri seluruhnya atau bukan. Allah k menerangkan yang
demikian itu dalam firman-Nya:
ْ'َ
َ َ ِ(َ7 ُ ُْ5ِ َ ْ()#ََُْ
ْ"ُ ا
Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah manusia.
Akan tetapi barangsiapa yang berada pada suatu tempat yang tidak ada orang
selain dirinya, jika dia melihat hilal maka hendaknya ia berpuasa, karena di sana
tidak ada orang selainnya. Atas dasar ini, seandainya ia tidak berpuasa lalu ia
mengetahui dengan jelas bahwa hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di
pertengahan siang, maka ia tidak wajib meng-qadha-nya. Ini adalah salah satu
dari dua riwayat dari Al-Imam Ahmad.
(Alasannya) karena awal bulan baru dianggap masuk pada mereka sejak
tersebar (bila belum tersebar maka artinya belum masuk -red). Dan saat itu wajib
menahan diri (dari segala yang membatalkan puasa) seperti pada kejadian
‘Asyura yang diperintahkan puasa di tengah hari dan tidak diperintah untuk
meng-qadha-nya menurut madzhab yang shahih. Dan hadits mengenai qadha
dalam hal ini adalah hadits yang lemah. Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 25/114-
118)
Beliau menjawab: Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah) yang
nampak dan yang diketahui jamaah manusia walaupun pada hakekatnya tanggal
10 (yakni ‘Iedul Adha) meski seandainya ru’yah itu benar-benar ada. Karena
dalam kitab-kitab Sunan dari shahabat Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu alaihi
wasallam bahwasanya beliau berkata:
ُُْْ ُJ ن َ ْ َم
َ ْ ُْ َُ. ُْْ َ ْ َم َوِْ ُآ6ُ.ن
َ َْ!آُْ ِ ُوIْbن َ ْ َم َوَأ
َ ْ aIَ8ُ.
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika
kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian
menyembelih.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dan
beliau menshahihkannya)
Dari ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam
bersabda:
“Berbuka adalah ketika manusia berbuka dan Iedul Adha adalah ketika manusia
menyembelih.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau katakan ini yang diamalkan menurut
para imam kaum muslimin seluruhnya)
!َ
=ُ ِإ+ََ َ َْ ْ ُم#ِي ا:#ْ ُِ"ُ ا,َ س
ُ !5#ا
^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِهc
َ ْْ اKُ $
َ ِ هG
ُ ِْ س َ َا
ِ !5ِ# d
E َIْ#وَا
“Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-
tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-
pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (Al-Baqarah:
189)
Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara
padanya. Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau
tidak mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr
diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur di antara manusia
maka berarti bulan belum masuk.
Banyak manusia keliru dalam masalah ini karena sangkaan mereka bahwa jika
telah muncul hilal di langit maka malam itu adalah awal bulan, sama saja apakah
ini nampak dan masyhur di kalangan manusia dan mereka mengumumkannya
ataupun tidak. Padahal tidak seperti itu. Bahkan terlihatnya hilal oleh manusia
serta diumumkannya adalah perkara yang harus.
Ada riwayat lain pada madzhab mereka berdua untuk berbuka secara sembunyi-
sembunyi seperti yang masyhur dari madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i.
Telah diriwayatkan bahwa dua orang pada jaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu
melihat hilal Syawwal. Salah satunya berbuka dan yang lain tidak. Tatkala berita
yang demikian sampai kepada ‘Umar, ia berkata kepada yang berbuka: “Kalau
bukan karena temanmu, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan.”2
Hal itu disebabkan bahwa yang namanya berbuka adalah hari yang manusia
berbuka padanya yaitu hari ‘Ied (hari raya) sedang hari yang orang tersebut -
yang melihat hilal sendiri- berpuasa padanya bukanlah merupakan hari raya
yang Nabi n melarang manusia untuk berpuasa padanya, karena sesungguhnya
beliau n melarang puasa pada hari ‘Iedul Fithri dan hari nahr (qurban) (dengan
sabdanya): ”Adapun salah satunya adalah hari berbukanya kalian dari puasa.
Yang lain adalah hari makannya kalian dari hasil sembelihan kalian.” Maka yang
beliau larang untuk berpuasa padanya adalah hari yang kaum muslimin tidak
berpuasa padanya.
Dan hari yang mereka melakukan penyembelihan padanya, dan ini akan jelas
dengan masalah yang kedua. (Ini juga pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baz t, lihat
Fatawa Ramadhan, 1/65 dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 398)
Masalah kedua, seandainya seseorang melihat hilal Dzulhijjah maka dia tidak
boleh melakukan wuquf sebelum hari yang nampak buat manusia yang lain
adalah tanggal 8 Dzulhijjah walaupun berdasarkan ru’yah adalah tanggal 9
Dzulhijjah. Hal ini karena kesendirian seseorang dalam hal wuquf dan
menyembelih mengandung penyelisihan terhadap manusia. Ini seperti yang ada
pada saat seseorang menampakkan buka puasanya (sendirian).
Boleh jadi seseorang akan mengatakan bahwa imam yang menetapkan masalah
hilal dengan menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian orang-
orang yang adil, mungkin karena meremehkannya dalam masalah menyelidiki
keadilan para saksi, atau ia menolak lantaran ada permusuhan antara dia dan
para saksi, atau selainnya dari sebab-sebab yang tidak syar’i, atau karena imam
berpijak pada pendapat ahli bintang yang mengaku bahwa dia melihatnya.
Maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang telah tetap hukumnya,
keadaannya tidak berbeda antara yang diikuti dalam hal penglihatan hilal, baik
dia itu mujtahid yang benar dalam ijtihadnya ataupun salah ataupun
menyepelekan.
Yang penting bahwa jika hilal tidak nampak dan tidak terkenal di mana manusia
mencari-carinya (maka awal bulan belum tetap) -padahal telah terdapat dalam
kitab Ash-Shahih bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam
masalah para imam:
ن
َ ْ aَُ َُْ# ُْ ا َِنF!َJَ(ُْ ََُْ َأ#َُْوا َوِإنْ َوOَوََْ(ِْ ََُْ َأ
“Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka (pahala shalat) itu untuk
kalian dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk kalian pahalanya
dan kesalahannya ditanggung mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu )
Maka kesalahan dan penyepeleannya ditanggung imam, tidak ditanggung
muslimin yang mereka tidak melakukan peremehan dan tidak salah.
Wallahu a'lam.
1 Ibnul Mundzir menukilkan ijma' bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban jika hilal
belum dilihat padahal udara cerah tidak wajib dengan kesepakatan (ijma') umat.
Dan telah shahih dari mayoritas para shahabat dan tabi’in membenci puasa di
hari itu. Ibnu Hajar mengatakan: demikian beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan
dan tidak merinci antara ahli hisab atau yang lainnya, maka barang siapa yang
membedakan antara mereka, dia telah dihujat oleh ijma'. (Fathul Bari, 4/123)
2 Riwayat Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (4/165, no. 7338) melalui jalan Abu
Qilabah Al-Jarmi dari ‘Umar bin Al-Khaththab z dan Abu Qilabah tidak pernah
bertemu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berarti sanad ini terputus. Akan tetapi Ibnu
Taimiyyah t tidak bertumpu pada riwayat ini. Riwayat ini hanya sebagai
pendukung.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=293
Mendekati bulan Ramadhan tentu kita ingat bagaimana perasaan kita yang
demikian gembira karena memasuki bulan yang penuh limpahan pahala yang
Allah k siapkan untuk orang-orang bertakwa. Namun di antara rasa gembira itu,
terselip kegelisahan ketika melihat kaum muslimin berbeda-beda dalam
menentukan awal bulan Ramadhan.
Hilang kebersamaan mereka dalam menyambut bulan mulia itu. Sungguh hati ini
sangat sedih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala segera mengembalikan
persatuan kaum muslimin kepada ajaran yang benar dan kebersamaan yang
indah.
Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum
muslimin segera menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan
kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan
hijriyyah di negeri ini baik oleh individu ataupun organisasi.
“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan
nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha buat kalian Islam sebagai agama kalian.”
(Al-Maidah: 3)
^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِهc
َ ْْ اKُ $
َ ِ هG
ُ ِْ س َ َا
ِ !5ِ# d
E َIْ#وَا
“Jika kalian melihatnya maka puasalah kalian dan jika kalian melihatnya maka
berbukalah kalian, tapi jika kalian tertutupi awan maka tentukanlah (menjadi 30).”
(Shahih, HR. Al-Bukhari no.1900 dan Muslim no. 2501)
Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti, dan membawa
banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wasallam. Nabi mengatakan demikian ketika ilmu hisab dan
falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab.
Namun Nabi Shallallahu alaihi wasallam tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau
menerima sepenuhnya ketentuan Allah Shallallahu alaihi wasallam bahwa untuk
menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal). Yang sangat
disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi ini tersisihkan dan diganti
kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan
oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai ulama. Oleh karenanya kita akan
melihat sejauh mana pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemberlakuan
ilmu hisab.
Di antara mereka ada juga yang tidak menerima ucapan ahli hisab bintang baik
lahir maupun batin. Akan tetapi dalam hatinya punya syubhat yang banyak
karena mempercayainya. Sesungguhnya kami mengetahui dengan pengetahuan
yang sangat dimaklumi dari ajaran Islam bahwa dalam ru’yah (melihat) hilal
untuk puasa, haji, ‘iddah (masa menunggunya wanita yang dicerai atau ditinggal
mati suaminya) atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal,
tidak boleh menggunakan berita dari ahli hisab tentang terlihat atau tidaknya hilal.
Banyak nash-nash dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam dalam masalah ini, dan
kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) atas yang demikian. Tidak diketahui
ada khilaf (perselisihan pendapat) di masa lalu dalam masalah ini dan tidak pula
di masa sekarang. Kecuali sebagian ahli fiqih belakangan setelah tiga kurun
pertama yang menyangka bahwa jika hilal terhalangi awan boleh bagi seorang
ahli hisab untuk mengamalkan hisab pada dirinya sendiri sehingga jika hisabnya
menunjukkan mungkinnya ru’yah hilal maka ia puasa, jika tidak maka tidak
berpuasa.
Pendapat ini walaupun terkait dengan “jika tertutup awan” dan khusus bagi ahli
hisabnya saja, tapi tetap merupakan pendapat yang syadz (ganjil), karena telah
didahului oleh ijma’ yang menyelisihinya. Maka, tidak ada seorang muslimpun
yang berpendapat bolehnya mengikuti hisab di saat cerah atau menggantungkan
hukum yang bersifat umum secara keseluruhan padanya. Allah Subhanahu Wa
Ta'ala berfirman:
^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِهc
َ ْْ اKُ $
َ ِ هG
ُ ِْ س َ َا
ِ !5ِ# d
E َIْ#وَا
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia terkait
dengan hukum-hukum yang ditetapkan syariat. Juga hukum-hukum yang
ditetapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh manusia. Sehingga apa
saja yang waktunya tetap baik dengan syariat atau syarat maka hilal-lah patokan
waktunya. Masuk di dalamnya puasa, haji, waktu ila’, ‘iddah, puasa kaffarah,
puasa nadzar dan lain-lain.
Apa yang datang dari syariat merupakan perkara yang paling sempurna, paling
baik, paling jelas, paling benar, dan paling jauh dari kegoncangan. Hilal adalah
sesuatu yang disaksikan dan dilihat dengan mata. Dan di antara maklumat yang
paling absah (meyakinkan) adalah sesuatu yang dilihat dengan mata. Oleh
karenanya mereka sebut hilal karena kata itu (dari sisi bahasa) menunjukkan
makna terang dan jelas. Dikatakan bahwa asal makna hilal adalah mengangkat
suara. Dulu tatkala mereka melihat hilal mereka mengangkat suaranya, sehingga
disebut hilal.
Pertama, dari ‘Abdullah Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam
bahwasanya beliau bersabda:
“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung
bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada
ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna
30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)
Hadits ini merupakan berita sekaligus mengandung larangan ilmu hisab. Tidak
adanya kemampuan beliau n dalam menulis karena beliau terhalang dari
jalannya (mempelajarinya), padahal beliau mendapatkan manfaat yang
sempurna dari tujuan kemampuan menulis itu. Ini merupakan keutamaan dan
mukjizat besar karena Allah Subhanahu wa Ta'ala mengajarkan ilmu kepada
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tanpa perantara sebuah kitab. Hal ini
merupakan mukjizat bagi beliau Shallallahu alaihi wasallam.
Di sisi lain, seluruh para pembesar shahabat seperti empat khalifah dan yang
lainnya, mayoritas mampu menulis karena butuhnya mereka terhadap hal itu.
Namun mereka tidak diberi wahyu sebagaimana yang diberikan kepada Nabi
Shallallahu alaihi wasallam. Sehingga jadilah ke-ummi-an yang khusus bagi
beliau sebagai sifat kesempurnaannya. Yaitu dari sisi ketidakbutuhannya kepada
tulis menulis dan berhitung, karena ada yang lebih sempurna dan utama darinya.
Tapi, ke-ummi-an ini merupakan sifat negatif pada diri selain Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam bila dilihat dari sisi kehilangan keutamaan yang tidak
bisa didapatkan kecuali dengan menulis. Maka, penulisan hari-hari pada bulan
dan meng-hisab-nya termasuk dalam perkara ini (yakni, umat ini telah memiliki
cara yang lebih baik daripada hisab yaitu ru’yah sehingga bila kita tidak memakai
ilmu hisab, hal itu merupakan kesempurnaan karena kita memiliki yang lebih baik
darinya. Sebaliknya, jika memakai hisab dan meninggalkan ru’yah justru
merupakan kekurangan karena kita meninggalkan yang lebih baik dan memakai
yang lebih jelek, red).
Nabi Shallallahu alaihi wasallam menerangkan: “Kami adalah umat yang ummi,
tidak menulis tulisan ini dan tidak menghisab dengan hisab ini.” Ucapan beliau
tersebut menafikan (mengingkari) hisab dan penulisan yang berkaitan dengan
hari-hari pada suatu bulan yang dijadikan dasar waktu hilal bersembunyi dan
kapan hilal muncul.
Penafian dalam hadits ini meski dengan teks yang mutlak bersifat menafikan hal
yang lebih umum, namun jika dilihat dalam konteks kalimat itu ada yang
menerangkan maksudnya, maka akan diketahui apakah maksud penafian itu
umum ataukah khusus. Sehingga tatkala kata “Kami tidak menulis dan tidak
menghitung” disejajarkan dengan sabda beliau “bulan itu 30 hari” dan “bulan itu
29 hari,” berarti beliau menerangkan bahwa dalam perkara hilal kita tidak
membutuhkan hisab atau penulisan1 di mana bulan itu kadang seperti ini dan
kadang seperti itu. Pembeda antara keduanya hanya ru’yah, tidak ada pembeda
lain berupa (hasil) penulisan atau hisab.
Para ahli hisab pun tidak mampu untuk memposisikan ru’yah dengan tepat
secara terus menerus -hanya mendekati saja-, sehingga terkadang benar dan
terkadang salah. Jadi jelas bahwa ke-ummi-an dalam hal ini merupakan sifat
pujian dan kesempurnaan. Hal itu jelas dari beberapa sisi:
- Dibandingkan hisab, ru’yah hilal lebih mencukupi, lebih terang dan jelas.
- Menggunakan hisab memungkinkan timbulnya kesalahan.
- Hisab dan penulisan justru mengandung banyak kerumitan yang tiada
manfaatnya karena menjauhkan dari manfaat yang diperoleh. Di mana pada
hakekatnya, hisab itu bukan dimaksudkan untuk hisab itu sendiri melainkan
untuk hal yang lain.
Jika hisab dan penulisan ditiadakan karena kita tidak membutuhkan hal itu,
karena ada yang lebih baik, dan karena kelemahan yang ada pada penulisan
dan hisab, maka hisab dan penulisan merupakan kekurangan dan aib, bahkan
kejelekan dan dosa. Barangsiapa yang masuk ke dalam hisab berarti ia telah
keluar dari umat yang ummi dari sisi kesempurnaan dan keutamaannya, yaitu
selamat dari kerusakan dan ia masuk dalam sisi negatif yang menghantarkan
kepada kerusakan dan kegoncangan. Sehingga kesempurnaan dan keutamaan
yang didapat dengan ru’yah hilal tanpa hisab itu akan hilang karena
menyibukkan diri dengan hisab, meski terkadang benar.
h
َ َُ ُْ ا. /َ0 ُ َْ َو. h
َ ُِْوا َو6ُ. /َ0 ُ َْ َو.
“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihatnya dan jangan kalian berbuka
sampai kalian melihatnya.” (seperti terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar ) (Shahih,
HR. Muslim no. 2505)
Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang untuk berpuasa sebelum melihat hilal
dan melarang berbuka sebelum melihatnya, dan ru’yah di sini artinya penglihatan
dengan indera mata. Maksudnya bukan tidak seorangpun boleh berpuasa
sehingga melihatnya sendiri, namun janganlah seseorang berpuasa sehingga ia
melihatnya atau orang lain melihatnya.
Berbeda dengan orang yang menerapkan ilmu hisab dan yang lainnya, yang
Nabi Shallallahu alaihi wasallam tegaskan ketiadaannya dari umat ini dan
larangannya. Oleh karena ini para ulama menganggap mereka itu telah
memasukkan sesuatu yang bukan dari Islam ke dalam Islam sehingga para
ulama menghadapi mereka dengan pengingkaran yang dipakai dalam
menghadapi ahli bid’ah.
Sisi yang jelas dari tidak mungkinnya keakuratan hisab dalam menentukan
ru’yah, bahwa sesuatu yang paling mungkin bisa ditentukan oleh ahli hisab –jika
hisabnya benar- hanyalah waktu istisrar (tersembunyinya hilal) ketika bulatan
matahari dan bulan berkumpul pada jam sekian misalnya, dan ketika matahari
tenggelam bulan telah berpisah dari matahari dengan jarak sekitar 10 derajat
misalnya, atau kurang atau lebih.
Derajat yang dimaksud adalah satu bagian dari 360 bagian dalam falak dan
mereka membaginya menjadi 12 bagian yang mereka namai Ad-Dakhil. Setiap
gugusan ada 12 derajat. Inilah maksimalnya pengetahuan mereka, yaitu
menentukan jarak antara matahari dan bulan pada waktu dan tempat tertentu.
Inilah yang mungkin bisa dihitung tepat dengan hisab. Adapun bisa dilihat atau
tidaknya hilal, maka ini adalah persoalan inderawi dan alami, bukan perkara
yang dihisab dengan matematika.
Dalam hal ini, tidak berlaku satu aturan yang tidak bertambah dan tidak
berkurang dalam peniadaan atau penetapannya. Bahkan jika jarak (antara bulan
dan matahari) misalnya 20 derajat, maka hilal bisa dilihat selama tidak ada
penghalang dan jika hanya satu derajat maka tidak dapat dilihat. Adapun jika
sekitar 10 derajat maka akan berbeda tergantung perbedaan sebab-sebab ru’yah
sebagai berikut:
Jika ru’yah merupakan sebuah hukum yang terkumpul dari sebab-sebab ini,
yang tidak sedikitpun masuk dalam perhitungan ahli hisab, maka bagaimana
mungkin seorang ahli hisab memberi kabar dengan kabar yang menyeluruh
bahwa hilal tidak mungkin dilihat oleh seorangpun karena dia pandang jaraknya
cuma tujuh atau delapan atau sembilan derajat. Atau bagaimana mungkin dia
kabarkan dengan berita yang pasti bahwa hilal dilihat jika sembilan derajat atau
sepuluh misalnya. (Majmu’ Fatawa, 25/126-189 dengan ringkas)
Beliau (Ibnu Taimiyyah) simpulkan: “Dan orang yang berpijak pada hisab dalam
(menentukan) hilal, sebagaimana ia sesat dalam syariat, iapun telah berbuat
bid’ah dalam agama, dia telah salah dalam hal akal dan ilmu hisab.” (Majmu’
Fatawa, 25/207)
Inilah penjelasan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah yang cukup terang, menjelaskan
kepada kita sejauh mana ketepatan dan hukum ilmu hisab atau falak sebagai
penentu awal bulan Islam.
Ini pula yang difatwakan oleh panitia tetap untuk pembahasan ilmiah dan fatwa
Saudi Arabia, ketika sampai kepada mereka sebuah pertanyaan:
Apakah boleh seorang muslim menentukan awal dan akhir puasa dengan hisab
ilmu falak atau harus dengan ru’yah hilal?
Jawab:
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani kita dalam mengetahui awal bulan
Qamariyyah dengan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali
kelompok yang sedikit dari manusia yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak.
Dengan ketentuan ini, terdapat nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah untuk
menjadikan ru’yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasanya
muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal.
Demikian pula keadaannya dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan Arafah. Allah
Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
ْ'َ
َ َ ِ(َ7 ُْْ5ِ َ ْ()#ََُْ
ْ"ُ ا
^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِهc
َ ْْ اKُ $
َ ِ هG
ُ ِْ س َ َا
ِ !5ِ# d
E َIْ#وَا
ِ َة ََآْ
ُِ ا ََُْْ ُ َِنْ َ َُِْوا َرَأُْ
ُ ْ ُ َوِإذَا َُ ُْ ُ َرَأْ
ُ ْ ُ ِإذَا,ْ#' ا
َ ِْ%&
َ َ%
“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya maka
berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah
menjadi tigapuluh.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar )
Nabi Shallallahu alaihi wasallam menjadikan tetapnya puasa dengan melihat hilal
bulan Ramadhan dan berbuka dengan tidak mengaitkannya itu dengan
hisab melihat hilal Syawwal. Dan Nabi n bintang-bintang dan perjalanannya.
Yang demikian diamalkan sejak jaman Nabi Shallallahu alaihi wasallam, para Al-
Khulafa’ Ar-Rasyidin, empat imam dan tiga kurun waktu yang Nabi Shallallahu
alaihi wasallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Adapun hisab, maka tidak boleh beramal
dengannya dan berpijak padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Asy-Syaikh Ibnu Baz t ditanya: Sebagian kaum muslimin di sebagian negeri
sengaja berpuasa tanpa bersandar pada ru’yah hilal dan merasa cukup dengan
kalender. Apa hukumnya?
"Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu
adalah demikian demikian dan demikian dan beliau menggenggam ibu jarinya
pada ketiga kalinya dan mengatakan bulan itu adalah begini, begini dan begini
dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya seluruhnya.”
Beliau Shallallahu alaihi wasallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari
dan bisa 30 hari, dan terdapat sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu
Hurairah bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ُ ُْ اJ ِ"َِِْ ُأ# ِ ُأْ َوَأُِْوا#ِ"َِ ْن ِ ِ َة َ َآْ
ُِ ا ََُْْ ُ َ ِن
َ !َSْ,َ7 '
َ ِ%&
َ َ% !ًْ َ
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka
jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”
Dan Nabi Shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
h
َ َُ ُْ ا. /َ0 ََوا. ل
َ&
َ ِ(ْ#ُْ
ُِ ا ا.ِ َة َو,ْ# اh
َ ُِْوا َو6ُ. /َ0 ََوا. ل
َ&
َ ِ(ْ#ُْ
ُِ ا ا.ِ َة َو,ْ#ا
“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau sempurnakan jumlah dan
jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.”
(Shahih, HR. Muslim no. 2495)
Syubhat
Sebagian orang memahami sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam:
“Bulan adalah 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat
hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya kecuali jika kalian
tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.” (Shahih, HR. Muslim
no. 2501)
Akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata
َ"ُ َ! ْ ِرُوا#
(maka tentukanlah) yang terdapat dalam riwayat Muslim dari ‘Ubaidillah bin
‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam dengan
lafadz:
Dalam riwayat Asy-Syafi’i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar
dengan lafadz:
َة ََآْ
ُِ اEَ ِ,ْ#ِ ا%&
َ َ%'
َ ْ
ْ ِ َة ََآْ
ُِ ا,َ7ن
َ !َS '
َ ِْ%&
َ َ%
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=294
Ma’asyiralmuslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala atas keagungan dan
kesempurnaan-Nya. Kita senantiasa memuji-Nya baik dalam keadaan suka
maupun duka. Karena kita semua adalah makhluk yang lemah dan Dialah satu-
satunya yang Maha Kuasa. Tidak ada daya dan upaya yang bisa kita lakukan
kecuali dengan sebab pertolongan-Nya. Maka, kewajiban kita adalah senantiasa
memuji-Nya dan bertakwa kepada-Nya serta mensyukuri berbagai nikmat yang
telah Allah Subhanahu wa Ta'ala karuniakan kepada kita.
Hadirin rahimakumullah,
Di antara nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sangat besar yang telah
dikaruniakan kepada kita adalah nikmat kemudahan yang telah Allah Subhanahu
wa Ta'ala tetapkan pada aturan-aturan-Nya. Hal ini sebagaimana tersebut di
dalam firman-Nya:
!َ ُ ُِ R ُ اK َ َ,ْLَِ# ََُْْ ْ'ِ ج
ٍ َ َ0
“Tidaklah Allah hendak menyulitkan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Begitu pula sebagaimana disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di
dalam sabdanya:
ن
' ِإ
َ ِّْ #ٌْ ا-ُ ْ'َ#ٌَ ِّدْ'َال ُ)َ! د َو0 َأh
َ"ُ ِإSََ
“Sesungguhnya agama Islam adalah mudah. Dan tidaklah seorangpun yang
memberat-beratkan diri dalam agama ini kecuali dia sendiri yang akan
terkalahkan olehnya.” (HR. Al-Bukhari)
Hadirin rahimakumullah,
Di antara bentuk kemudahan yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan di
dalam syariat-Nya adalah telah ditentukannya waktu untuk memulai dan
mengakhiri ibadah dengan tanda-tanda yang jelas serta bisa diketahui oleh
keumuman orang. Termasuk dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan cara
menetapkan awal Ramadhan dan satu Syawal. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
ُ ُْ اJ ِ"َِِْ ُؤ# ِ ُؤَِْ"ِ َوَأِْ ُوْا# ِْ َة َ َآْ
ُِ ْا ََُْْ ُ َِن,ْ#' ا
َ ِْ%&
َ َ%
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan beridul fitrilah kalian karena melihat
hilal, namun apabila kalian terhalang dari melihatnya maka sempurnakanlah
bulan menjadi tigapuluh hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadits ini, kita mengetahui betapa mudahnya syariat yang telah Allah
Subhanahu wa Ta'ala tetapkan untuk menetapkan awal dan akhir bulan
Ramadhan. Sehingga aturannya bisa dilakukan oleh keumuman kaum muslimin.
Yaitu ditetapkan dengan cara melihat hilal atau kalau tidak terlihat maka
menggunakan cara yang kedua yaitu dengan menyempurnakan bulan Sya’ban
menjadi tigapuluh hari. Oleh karenanya, wajib bagi kaum muslimin untuk
menjalankan syariat ini dan tidak boleh bagi siapapun dari kaum muslimin untuk
membuat aturan yang baru dalam menetapkan awal Ramadhan atau satu
Syawal. Barangsiapa menggunakan cara selain dengan dua cara tersebut, maka
dia telah mengada-adakan syariat yang baru di dalam agama Islam.
Hadirin rahimakumullah,
Kita tidak memungkiri, bahwa ilmu hisab merupakan ilmu yang memiliki manfaat.
Akan tetapi menjadikan ilmu hisab sebagai alat untuk menetapkan awal dan
akhir bulan Ramadhan merupakan kesalahan besar dan telah mendudukkan
ilmu tersebut tidak pada tempatnya. Karena berpuasa bulan Ramadhan
merupakan ibadah yang telah ditetapkan waktunya dan cara menetapkan
waktunya. Bahkan caranya sebagaimana telah dijelaskan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah cara yang sangat mudah dan sesuai dengan kemudahan yang
telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan terhadap agama ini. Adapun ilmu
hisab di samping tidak ditetapkan oleh syariat Islam sebagai cara untuk
menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan, juga tidak sesuai dengan
kemudahan yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan atas syariat-Nya.
Karena ilmu ini hanya diketahui oleh segelintir orang, itupun dalam keadaan
mereka berbeda-beda metode dalam menggunakan ilmu tersebut.
Hadirin yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Sebagian mereka ada yang beranggapan bahwa ilmu hisab lebih teliti untuk
mengetahui munculnya hilal. Terlebih pada zaman teknologi sekarang ini,
menurut pandangan mereka ilmu hisab telah mengalami perkembangan yang
telah sampai pada puncaknya. Bahkan sebagian mereka menganggap bahwa
orang yang tetap menggunakan ru`yatul hilal dan tidak mau menggunakan ilmu
hisab untuk menetapkan awal Ramadhan dan satu Syawal diibaratkan seperti
orang yang memilih naik onta daripada kendaraan roda empat di masa ini. Tentu
saja ini adalah anggapan yang sangat salah. Bahkan bisa menyeret kepada
pelecehan terhadap sunnah.
Hadirin rahimakumullah,
Sebagian mereka juga menyebutkan beberapa alasan lain untuk membenarkan
keyakinannya yang bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tersebut. Namun semua alasan yang digunakan untuk membenarkan
penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan ilmu hisab tidak dibangun di
atas ilmu dan bimbingan para ulama. Sebagian mereka menggunakan ayat yang
dipaksakan maknanya untuk menunjukkan apa yang mereka yakini. Padahal
tidak ada dari kalangan para sahabat dan para ulama setelahnya yang
memahami ayat tersebut seperti pemahaman mereka. Maka, di atas mimbar ini
kami mengajak kepada hadirin untuk jujur dan bersungguh-sungguh dalam
mengikuti agama ini. Tidak mendahulukan akal dan anggapan baik pendapat
siapapun apabila bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
$َ ِ5َ,َ6َ= R
ُ ي َوِإ!آُْ ا ِ َْ(ِF "ِF!َِل آ
ُ ْ ُ ن َ! َأ
َ ْ ُ,َ
ْ-َ. ُ ِ6ْWَْQ َوَأR
َ ْ ا$ِ# َُْ#ِ ِ َوT!َ-ِ#' َو
َ ِْ
ِْ-ُ
ْ# ِ'ْ اK
ِّ ُ آ،ٍeْ=ِ ُوْ ُ َذ6ْWَْQ!َ ُ"=ِإ
َ ُُ ْ ُر ه6َW#ِْْ ُ ا0 #ا.
Khutbah kedua:
ْ
َI# ُِاR ِ ْ
َ?ْ ُوْ ِر ُ?َ ِّ ُر#ف ا
ُ ِّ َُ! ِم َوcَ ْ ا،ِ(ُ ْرa)#ْ
َ ُ ُ َو وَا0 َأ/ََ K ِ ْ<ِ َU ِ"ِ
َ,ِ= َ ُُ ْ ُر َوه6َWْ# ا،ُ)ُ ْر#ْ(َ ُ ا7 َأنْ َوَأh َ"َ#ِإ
h ِإR ُ ْ َ ُ ا0 َوh َ ^ َ ِْ َ7 ،ُ"َ# ُ"َ# ^ُ ُْ
ْ#َ"ُ َو ا# ُ ْ
َIْ# َوهُ َ اK
َ َ ىK ِّ ُْ ٍء آ$َ7 ،ٍِْ َ ُ َ(ْ7ن َوَأ َ
ًا َأIُ ُ ُ ْSَ ُ"ُ#ْ ُQَ)ِْ ُ َو َرSْ#ا
ُ ْ:ِ 5#ج ا
ُ َِا-ّ # وَا،ُِْ5ُ
ْ# ا/َJ R ُ ََْ"ِ ا/ََِ"ِ َو#> ِ"ِF!َIْJَ َ َوَأQِْْ
ً! َو-َ. ًِْاNَ آ/َ# ِإo ِ ْ,َSْ# ا،ِ)ُ ْرa5#ْ ُ َأ! وَا,َF:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Puasa Ramadhan dan Iedul Fitri adalah ibadah yang sifatnya harus dijalankan
secara bersama-sama, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
ْ ُم#' َ ْ َم ا َ ُْ َُ. ُ ِْ6#ن َ ْ َم وَا َ ِْْ ُو6ُ. /َIْbَ ْ#ن َ ْ َم وَاَ ْ aIَ8ُ.
“Berpuasa adalah hari ketika kalian semua berpuasa dan iedul Fitri adalah hari
ketika kalian semua berbuka (yaitu pada hari iedul Fitri) dan Iedul Adh-ha adalah
hari ketika kalian semua menyembelih hewan kurban.” (HR. At-Tirmidzi dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Oleh karena itu wajib bagi kaum muslimin untuk berusaha mewujudkan suasana
kebersamaan dan menghindari suasana bercerai-berai dalam pelaksanakan
ibadah ini. Walaupun memang benar ada perbedaan pendapat di kalangan para
ulama berkaitan dengan masalah memulai awal Ramadhan. Yaitu apabila ada
suatu negara yang telah melihat hilal apakah berarti seluruh negara yang lainnya
harus mengikuti negara tersebut dalam memulai Ramadhan ataukah tidak.
Namun demikian, para ulama menasihatkan kepada seluruh kaum muslimin
untuk mendahulukan kebersamaan dan tidak sendiri-sendiri dalam pelaksanaan
ibadah ini. Mereka, para ulama menasihatkan agar kaum muslimin bersama-
sama dalam memulai Ramadhan dan mengakhirinya.
Hadirin rahimakumullah,
Untuk menciptakan suasana persatuan dan kebersamaan dalam menjalankan
puasa Ramadhan dan iedul Fitri ini, sebagaimana telah dinasihatkan oleh para
ulama, caranya tidak lain dengan menyerahkan keputusan awal Ramadhan atau
Iedul Fitri kepada pemerintah. Hal ini di antaranya sebagaimana yang disebutkan
para ulama di negara Saudi Arabia yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah,
mereka berfatwa: “… Maka jika terjadi perselisihan di antara mereka (kaum
muslimin), kewajiban mereka adalah mengikuti keputusan penguasa di
negaranya apabila dia seorang muslim, karena keputusan penguasa dengan
menetapkan salah satu dari dua perbedaan akan menghilangkan perselisihan
tersebut….” (Fatawa Al-Lajnah jilid 8 no. 388).
Oleh karena itu kewajiban kaum muslimin terutama yang telah berpengalaman
dalam melihat hilal adalah berusaha untuk bersama-sama melihat hilal kemudian
menyerahkan hasilnya kepada pemerintah. Selanjutnya mereka semua
menunggu hasil keputusan pemerintah dalam menetapkan awal Ramadhan dan
Iedul Fitri. Yang demikian inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Akhirnya mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa memberikan
taufik-Nya kepada kita dan pemerintah kita serta seluruh kaum muslimin untuk
berpegang teguh di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan bimbingan para
ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Mudah-mudahan kita diberi taufik oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala untuk bisa mengisi bulan Ramadhan yang akan datang
sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga lebih
baik dari bulan-bulan Ramadhan sebelumnya yang telah berkali-kali mendatangi
kita.
Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah Al Ahad
Ash-Shamad. Dan saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diikuti
selain Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.
Amma ba’du :
Sesungguhnya agama ini adalah wahyu dari Allah azza wa jalla. Dan didapat
dengan cara talaqqi dan isnad. Bukan dengan otodidak dan kreatifitas.
Barangsiapa menyangkanya demikian, maka dia telah menjauhkan dirinya dari
petunjuk sejauh-jauhnya.
Adalah Nabi shalallahu ‘alihi wasallam telah membacakan Al Qur’an kepada para
Sahabat radhiyallahu ‘anhum, lalu mereka membacanya dihadapan Nabi.
shalallahu ‘alihi wasallam. Dan para Shahabat membacakannya kepada para
Tabi’in, lalu mereka membacanya dihadapan para Shahabat dan seterusnya.
Demikianlah silsilah agama ini. Para Ulama dari dulu hingga sekarang telah
menjalaninya sebagai standar baku untuk mendapatkan ilmu agama.
Hanya para pembaca kitab-kitab hadits dan mereka yang duduk bersimpuh
untuk belajar dan mengambil faidah dari para Ulama yang mengetahui tingginya
kedudukan As-Sunnah dan ilmu periwayatan yang disertai usaha maksimal
untuk mendapatkan validitas dan kemurnian redaksi dan isnadnya.
َ! ُد5ْQg
ِ'ا
َ ِ '
ِ ْE #ا. h
َ ْ َ#َ! ُد َو5ْQg
ِلا
َ !َ?َ# ْ'َ َ! َء7 !َ َ! َء7.
Artinya: isnad adalah bagian dari agama. Dan jika tanpa isnad, niscaya siapapun
bebas berbicara seenaknya (tentang agama ini). Muqaddimah Shahih Muslim
Seiring berkembangnya waktu, kata Mughni, ilmu hisab (perhitungan) dan falak
(perbintangan) semakin maju dan berkembang. Nah, dengan bertambah
akuratnya kedua ilmu itulah penentuan hari awal puasa bisa ditetapkan.
Namun, kata Mughni, sah-sah saja jika menggunakan alat teknologi canggih.
Sebab melihat bulan dengan mata telanjang belum bisa menjamin penentuan
rukyat. “Bisa saja awan menghalangi pandangan mata terhadap bulan,” katanya.
(iwd/mar)
ْ'َ
َIُ َOِ ْ $
E ELَI#ِ َ'ْ ا+َ َأR
ِ ِ ا+ ِ َْ ه#ِْ(َ! َ'ْ اFْ ِ َأSَ $
E ِ5َW#ي ا
E ِ َْ ه# ا$
E ِ=َ َ
#َ
َ'ْ اIُ ِ ِF!َ ي
E ِ ْ5E-#ا,
(َ
ِ َوَ'ْ )حIُ '
ِ F ِ Sَ 'ِ َ
ْ0 #' اِFق
َ !َIْQل ِإ
ُ>z
ِ ْ)#ْ ِ َ' ا,َQ '
ِ F ِ َ
َ0 '
ِF\
ٍ َِْ َْ' \ْE َJ 'َ-َ0 َ!نO $
E ِUْ ُ5َ?#َ' ا
ِ ْSَ \
E َI#' ا
ِFKِ ْ8َ Rِ ا$ E ِ=!َ
ْNُ,#ا,
!َ
ُ&ه
َ ِْ ِ َ'ْ آSَ R ِ 'ا ِ F ِ
َIُ '
ِFK َ ِ!َ
ْQِ ِ ِإc
َ ِْ"ِ َ'ْ اFَ
ِ َأIُ '
ِFK َ ِ!َ
ْQِْ ِ ِإc
َا$ E ِ=!َ,ْ5# ِ َ'ْ اSَ R ِ 'ا ِ F ِ ِ#!َQ
يE ِ َْS# ا$ E Eَ
#َْاهِْ َ َ' اF ِإ$E ِ=َ ْرَا#ن َ'ْ ا ِ !َُْQ $ E ِ0
ُ<َا# ْ ِر َ' اa5#ي ا E <َ! ِدE # َ' اmِ ْ
)#َ
ِ اIُ $ E ِْ #َزآَ ِ! َ' ا
يE =َْ! ِرc َ'ا ِ َ <E ِ,#' اِFت ِ َُا6#' ُ
َ َ َ' ا ِ F ا+jjjjj' أِ َ ' ِ Fي ا E ُ]َ! ِرS#' اِ َ َ! ِمgِ َ!ِ{ِ اI# ا$ِFَ
ٍ َأIُ ِ Sَ $ E ِ5َW#' ا
ِF
ِ Sَ ِ ِ0 َا# ا$
E ِQِ ْ?َ
#ا-"
0 رR ا- e ِ ِ0!َJ َْ! ِم ُ
ْ َ ِة0cَ ا, ُ"=ل َأَ !َ :
Dari Abdullah bin Umar Radhiyalahu ‘anhuma, beliau berkata: Saya mendengar
Rasulullah bersabda :
Tema Hadits:
Yang mewajibkan puasa Ramadhan dan yang mewajibkan berbuka darinya serta
hukumnya saat terjadi kesamaran.
Kosa Kata:
( ) َرَأُْ
ُ ْ ُ ِإذَا: Kata ganti hu kembali kepada hilal. Dan wawu al jama’ah terarah
kepada seluruh kaum muslimin.
( )َُ ُْ ْا: Kalimat ini sebagai jawab syarth wa jaza dari kata idza. Dan yang
serupa dengan kalimat ini adalah sabda Nabi: ()َ َِْ ُوْا َرَأُْ
ُ ْ ُ َوِإذَا
(ْ )ََُْْ ُ َِن: Yaitu jika penglihatan kalian terhalang oleh debu yang pekat atau
mendung.
Makna Umum :
Fikih Hadits :
Artinya: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak bisa menulis dan
berhitung. Satu bulan demikian dan demikian…dst”.
Sabda Nabi (!=ٌ ِإ+ّ ٌ ُأ+ًّ E )ُأmenunjukkan pengingkaran terhadap penyebutan
sebagian orang untuk bersandar kepada perhitungan bintang-bintang dan
kedudukannya serta yang semisal dengannya.
3. Dipahami dari sabda Nabi ( )َُ ُْ ْاyang merupakan jawaban dari syarat
sebelumnya, bahwa rukyat dengan mata telanjanglah yang mewajibkan untuk
berpuasa.
Terdapat hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyalahu ‘anhuma beliau berkata :
Nabi bertanya: “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk
diibadahi selain Allah? Apakah anda bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah?” Dia menjawab: “Ya”.
Nabi bersabda: “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia agar berpuasa besok”.
Terdapat juga hadits bahwa keluarnya bulan harus dipersaksikan oleh dua orang
(3).
5. Terdapat perbedaan dalam memahami sabda Nabi (ُ ُْ ْاJ) dan ( )َأِْ ُوْاyang
menunjukkan bahwa perintah tersebut terarah kepada seluruh umat. Apakah
rukyat satu orang cukup untuk seluruhnya atau masing-masing kaum dengan
rukyat mereka sendiri-sendiri.
Oleh sebab itu para Ulama berbeda pendapat: Apakah rukyat satu orang berlaku
untuk seluruh kaum muslimin atau tidak berlaku kecuali kepada penduduk
negerinya dan negara sekitarnya ?
Diantara para Ulama ada yang berpendapat bahwa rukyat satu orang berlaku
untuk seluruh kaum muslimin. Mereka berdalil bahwa manusia di zaman Nabi
dan Khulafa Ar-Rasyidin tidak mengenal rukyat setiap kaum berlaku bagi mereka
sendiri. Bahkan yang tampak bahwa rukyat satu orang berlaku untuk seluruh
kaum muslimin.
!' َأ
ُ ْIَ= َْ?َ ُ !َ5َْ َرَأ+ََْ# G
ِ ْS-#ا, &
َ َ ل
ُ ُ ْ ُم=َ =َ<َا/َ0 ُ َأوْ =ََاK
َ ِ
ُْ= ِ َة,#' ا
َ ِْ%&
َ َ%.(4)
Artinya: “Sedangkan kami melihatnya pada malam sabtu. Maka kami akan terus
berpuasa sampai kami melihatnya atau menyempurnakan bilangan 30 hari.”
Dengan hadits ini jelaslah bahwa rukyat tidak berlaku kepada mereka seluruhnya.
Kedua: Pada saat itu tidak terdapat sarana komunikasi yang dapat
menyampaikan berita kepada seluruh manusia ketika hilal terlihat.
Oleh sebab itu kami katakan: Sesungguhnya pendapat terkuat bahwa manusia
pada zaman itu berpegang dengan rukyat masing-masing negerinya atau
menyempurnakan bilangan bulan untuk berpuasa dan berbuka.
Dan yang tampak dengan jelas menurut saya pada masalah ini dan pada zaman
ini adalah: Bahwa setiap negeri berbeda rukyatnya berdasarkan perbedaan
tempat keluarnya hilal. Oleh sebab itu, apabila hilal terlihat penduduk timur bumi,
kelazimannya akan berlaku bagi penduduk barat bumi.
Demikian pula jika hilal terlihat di Saudi Arabia misalnya, maka negara-negara
setelahnya wajib berpuasa dan tidak wajib bagi negara-negara sebelumnya.
Praktisnya sebagai contoh, jika hilal terlihat di Saudi Arabia, maka wajib bagi
Sudan, Mesir dan setelahnya dari negara-negara di Afrika dan Eropa yang waktu
tenggelamnya matahari belakangan setelah Saudi Arabia untuk berpuasa. Dan
tidak wajib bagi negara-negara sebelumnya seperti Pakistan, Afghanistan, Irak,
dan semisalnya.
( 2 ) At-Tirmidzi dalam Kitab Ash-Shaum Bab (!َ َ! َءU $ِ ْ ِم#)(َ! َد ِة ا#ِ!اF) no 691, An-
Nasa ’ I dalam Kitab Ash- Shiyam Bab (ُُ ْلSَ ت ِ َ(َ! َد7 K
ِ ُU #ِ ِ ا0 َا# ا/ََ ل
ِ&
َ َِ(ْ ِ ه7 ن
َ !َ8َ ) َرno
2112 dan 2113, Abu Daud dalam Kitab Ash-Shaum Bab (َُ(َ! َدة7 ِ ِ0 َا# ا/ََ ِ+َْTل ُر ِ&َ ِه
ن َر
َ !َ8َ) no 2340, Ibnu Majah dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (!َ َ! َءU $ِ )(َ! َد ِة# ا/ََ ِ+َْTُر
لِ&َ ِ(# )اno 1652 dan Ad-Darimi dalam Kitab Ash-Shaum Bab (ُ)(َ! َدة# ا/ََ G ِ َْل ُرؤ
ِ&
َ ِه
نَ !َ8َ ) َرno 1692. Al Albani mendha ’ ifkan hadits ini.
1. Dari Rib ’ I bin Hirasy dari salah seorang Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam , dia berkata :
(H َ َِْOس ا
ُ !5# ا$ِ ِ ِO> ن ِ'ْ َ ْ ٍم
َ !َ8َ َر, ن َ?َ ِ َم
ِ !َِFْ َ )َ(َِاَ َأَْا5ِ $
E ِS5# ا3 R
ِ !ِF &
َهc
َ (ِ&َل# اmِ ًْ َأ+ِ)َ, َ ََ َ
ل
ُ ْ ُQ َرR ِ ا3س َ !5#ِْ ُؤْا َأنْ ا6a)
روا0 أjjjjFْ ُ َوَأنْ( زاد و داود وأWَ وْا/َ#&هُْ ِإ َُ) jjj ر2339.
2. Dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khaththab, bahwa dia berkhuthbah di hari
yang diragukan :
(َh َأ$E= ِإG ُ ْ-َ#!َU ْJبَأ َ !َI لِ ْ ُQ َرR ا3 ُْ(ُْ#َ! َءQ َو, ُْ(= َوِإ$ِ=ْ ُ% َ0 ن ل َأَ ْ ُQ َرR ا3 ل َ !َ : ْ ُJ ِ ُؤَِْ"ِ ُ ْا#
ِ ُؤَِْ"ِ َوَأِْ ُوْا# ُُ ْا-ْ=َ(َ! وَا#, ْ ْا ََُْْ ُ َِنa
ِ.ََ '
َ ِْ%&
َ َ% !ًْ َ َْ(ِ َ َِن7 نِ َ!هَِا7 !َ
ِْ-ُن
ِ ) َوَأِْ ُوْا َُ ُْ ْا.
“ Ketahuilah bahwa saya telah bermajlis dengan para Shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan bertanya kepada mereka. Sesungguhnya
mereka menyampaikan kepada saya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda :
( 4 ) HR Muslim dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (ََُ!نF ن َأK E ُِ# ٍ ََF ُْ(ََْ ) ُرؤno 1087, An-
Nasa ’ I dalam Kitab Ash- Shiyam Bab (ُ&ف َ ِْO اK
ِ ْق َأهِ !َy ا$ِ ِ+َْؤa # )اno 2111, At-
Tirmidzi dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (!َ َU ! َءK E ُِ# K
ِ ََْ ٍ َأهF ُْ(َُْ ) ُرؤno 693 dan Abu
Daud dalam Kitab Ash-Shiyam Bab ( ِإذَا$
َ ِTل ُرُ& َ ِ(# ا$ِ ٍ ََF K َ ْSَ y' ا َ ِْ َO ٍ+ََِْF) no 2332.
Nah, manakah versi yang benar, dan sikap yang lurus bagi seorang muslim
dalam menghadapi khilaf seperti ini? Menjawab masalah ini, tak ada salahnya –
dan memang seyogyanya- kita kembali kepada petunjuk ulama’ kita, karena
merekalah yang lebih paham agama.
Pada kesempatan ini, kami akan mengangkat fatwa para ulama’ Islam yang
tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’, yang
beranggotakan: Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Ketua), Abdur Razzaq Afifiy (Wakil
Ketua), Abdullah bin Ghudayyan (staf), Abdullah bin Mani’ (Staf), dan Abdullah
bin Qu’ud (Staf). Fatwa berikut ini kami nukilkan dari kitab yang berjudul "Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da’imah", (hal. 94-), kecuali fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy.
ُ ُْ ْاJ ِ"َِِْ ُؤ# ِ ُؤَِْ"ِ َوَأِْ ُوْا# ِْ َة َ َآْ
ُِ ا ََُْْ ُ َِن,ْ#ا
"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena
melihatnya. Jika ada mendung pada kalian, maka sempurnakanlah jumlah
(Sya’ban 30 hari, pen)".Muttafaqun alaihi [HR. Al-Bukhoriy (1810), dan Muslim
(1081)]
Maksudnya disini adalah perintah puasa dan berbuka (berhari raya), jika nyata
adanya ru’yah (melihat hilal) dengan mata telanjang, atau dengan menggunakan
alat yang membantu ru’yah (melihat hilal) berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-,
ْ ُم#ن َ ْ َم ا
َ ْ ُْ َُ. ُ ِْ6ْ#ن َ ْ َم وَا
َ ِْْ ُو6ُ. /َIْbَ ْ#ن َ ْ َم وَا
َ ْ aIَ8ُ.
"(Waktu)Puasa pada hari mereka berpuasa, dan berbuka (berhari raya) pada
hari mereka berbuka (berhari raya), dan berkurban pada hari mereka
berkurban".[HR. Abu Dawud (2324), At-Tirmidziy (697), dan Ibnu Majah (1660).
Lihat Ash-Shohihah (224)]
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat
kepada Nabi klta -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya".
E
ْ'َ
َ َ ِ(َ7 ُ ُْ5ِ َ ْ()#ََُْ
ْ"ُ ا
"Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu"; sabda Nabi–Shollallahu ‘alaihi
wasallam-
"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena
melihatnya".
"Bagi setiap daerah ada ru’yahnya". sungguh telah terjadi perdebatan yang
sengit antara dua kelompok ini.maka berilah fatwa kepada kami tentang hal
tersebut.
Adapun kalimat yang berbunyi, "bagi setiap tempat memiliki ru’yah", ini bukanlah
hadits dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Itu hanyalah merupakan ucapan
kelompok yang menganggap berbedanya matla’ (waktu & tempat munculnya)
hilal dalam memulai puasa Ramadhan dan akhirnya.
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat
kepada Nabi klta–Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya".
P
ْ'َ
َ َ ِ(َ7 ُ ُْ5ِ َ ْ()#ََُْ
ْ"ُ ا
"Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu". [(QS. Al-Baqoroh: 185)]
^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِْ َه#ْ اKُ $
َ ِ هG
ُ ِْ س َ َا
ِ !5ِ# d
E َIْ#وَا
"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal) itu, maka katakanlah,
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia, dan haji".[(QS. Al-
Baqoroh: 189)]
ُ ُْ ْاJ ِ"َِِْ ُؤ# ِ ُؤَِْ"ِ َوَأِْ ُوْا# ِْ َة َ َآْ
ُِ ا ََُْْ ُ َِن,ْ#ََ ا%'
َ ِْ%!
"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena
melihatnya. Jika ada mendung di atas kalian, maka sempurnakanlah jumlah
(Sya’ban) 30 hari”.
Berdasarkan hal itu, orang yang tak melihat hilal di tempatnya, baik ketika
kondisi cuaca cerah, atau pun cuaca mendung, maka wajib baginya untuk
menyempurnakan bilangan hari menjadi 30 hari, jika orang lain di tempat lain tak
melihat hilal. Apabila telah nyata bagi mereka terlihatnya hilal di luar negeri
mereka, maka harus bagi mereka mengikuti sesuatu yang telah diputuskan oleh
pimpinan umum (penguasa tertinggi) yang muslim di negeri mereka tentang
bolehnya puasa, dan berhari raya, karena keputusan penguasa dalam masalah
seperti ini, akan menghilangkan khilaf diantara para ahli fiqih dalam memandang
perbedaan tempat atau tidak". H
Jawab , "Jika mereka berselisih dalam perkara yang ada diantara mereka, maka
mereka (harus) berpegang dengan keputusan penguasa di negara mereka, jika
penguasanya adalah muslim, karena keputusan penguasa ini akan
menghilangkan khilaf, dan mengharuskan ummat untuk mengamalkannnya. Jika
penguasa bukan muslim, maka mereka harus memegang keputusan Mejelis
Islamic Centre di negeri mereka, demi menjaga persatuan dalam puasa mereka
di bulan Romadhon, dan pelaksanaan sholat ied di negeri mereka".
Inilah beberapa fatwa ulama kita yang menjelaskan bahwa seorang muslim
seharusnya berpuasa dan berhari raya ied bersama pemerintah demi
menyatukan langkah. Di lain sisi, ia merupakan jalan Ahlus Sunnah
sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam dalam Al-Aqidah Al-
Wasithiyyah. [AF & MI]
http://almakassari.com/?p=170#more-170
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-harinya
diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan Al-Qur`an, dan
sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak
ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan, dan kepergiannya meninggalkan
kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan
juga sebagai salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama
mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar,
dahaga dan dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya
matahari, serta mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai
macam ibadah lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang
merasakannya. Bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut
merasakan dan memilikinya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala elemen-
elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan keputusan
yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan
itu terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula
atas nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar.
Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (kerap
kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam
sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang
mengidamkan persatuan umat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu karena adanya
perbedaan pendapat di antara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan
keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat hilal)
ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya
perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ (tempat
keluarnya hilal) ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-
sendiri?”
Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu, lepas adanya
realita perbedaan pendapat di atas, utamanya disebabkan makin tenggelamnya
salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu
adalah memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat Islam dalam hal
yang ma’ruf (kebaikan).
Mungkin timbul tanda tanya: “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap
penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”
Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu
kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap
penguasa.
2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf
(kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Sehingga menaati penguasa dalam hal ini
termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika
penentuannya setelah melalui sekian proses, dari pengerahan tim ru‘yatul hilal di
sejumlah titik di negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.
3. Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal
pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar
tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya, ketika umat
Islam berseberangan dengan penguasanya, perpecahan di tubuh mereka pun
sangat mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk
perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah
pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian
berkurban.”
Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
θ Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Umat
Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai macam
permasalahan seperti (penentuan) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta
saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun.
Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap tahunnya. Penyebab
utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang
fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu syariat Islam
dan bimbingan para ulama yang kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Maka,
adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah
(terjadinya) sekian kejelekan? Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan
taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”
Beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam
beragama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
ع
َ َ َ7 َُْ# ' َ ِ '
ِ ْE # َ! ا/Jِ"ِ َوF !ً0ْ ُ= ِي:#َ! وَا5َْ0ْ^ َأو
َ َْ#َ! َوَ! ِإ5ْJِ"ِ َوF َ َِْْاهF ِإ/َQْ ُ َو/َ-ِْ' َأ ِْ
ُ ا َأنْ َو
َ ْE # اh
َ َو
َ ُ ا6ََ. ِ"ِْ
“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu,
Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah agama dan janganlah kalian
berpecah-belah tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)
وَاَِْ
ُ اK
ِ ْSَIِF R
ِ ً! ا,ِْ
َU h
َ َ ُ ا َو6َ.
h
َ َُ ْ=ُ ا َو. '
َ ْ:ِ #!ََ ُ ا آ6َ. ُ ا6ََْOْ ِ ِ'ْ وَا,َF !َ ُ َُ! َءهU ت
ُ !َ5ِّ َSْ#^ َوُأ ا
َ ِkَ#َْ(ُْ و# ٌَاب:َ ٌِْpَ
وَاَِْ
ُ اK
ِ ْSَIِF R
ِ ً! ا,ِْ
َU h
َ َ ُ ا َو6َ.
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di
antara kalian.” (An-Nisa`: 59)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-
orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para
penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan
sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.”(Syarh Shahih
Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau seringkali
mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Di antaranya dalam hadits-
hadits beliau berikut ini:
1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu 'anhu berkata:
!َ ل
َ ْ ُQ َرR
ِ !اh
َ ^
َ ُ#َْ-َ= ْ'َ ِ+َ!َZ '
ِ َ ،/َ?.َِ'ْ ا# َ'ْ َوK
َ َ,َ K
َ َ,َ َو- َ َآ:َ َ )#ا- ل
َ !َ?َ: ?ُ ا. اR
َ ُ ا ا,َ
ْQُ ا وَا,ِْZَوَأ
ن
ُ ْ َُ ْْ ِي,َF ،ٌ+
ِTن َأ
َ َْ(َْ ُوh
َ ،َِ(َُايF hَ ن َو
َ ْ a5َْ-َ ِ5ُ-ِF،ْ$ ََ?ُ ْ ُمQ ِْ(ِْ َو،ٌَ!لUُ(ُْ ِرFْ ُُ ب ُ ْ ُُ 'ِ ِْZ!َ)#ْ ا$ِ نِ !َ
ْNُU mٍ ْ=ِإ.
ل
َ !َ (ُ+َ6ْ:َ ُ0): Gُ ُْ : H َ َْ آPُ َ5ْJل َ! َأَ ْ ُQ َرRِ ِإنْ اG ُ ِْ^َ؟ َأدْ َرآ#ل َذ َ !َ : Pُ َ
ْ-َ. Pُ ُِْ. َو،ِِْ
َ ِ# ْب َوِإن
َ ِ ُb ك َ ُ ْ(َ :َ ِOَوُأ
َ،َ^ُ#! ْPَ
ْQ!َ ْPِZ! َوَأ
“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak
berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di
antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan
manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau
mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk
dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah
(dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
3. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun
membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu
dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi
mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama
mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat
mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah
perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR.
Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah,
pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan
bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana
berikut:
Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhuθ berkata: “Urusan kaum muslimin
tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.”
Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami
bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi Thalib
berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu
wa Ta'ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan
pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13,
hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam
bin Barjas hal. 57)
Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata: “Adapunθ kewajiban menaati mereka
(penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak
menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang
jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap
kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan)
pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368)
Al-Imam Al-Barbahariθ berkata: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah
menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wa
Ta'ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada
dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan
bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Yakni
kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan
juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang
dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari
Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)
Al-Imam Ibnu Baththahθ Al-Ukbari berkata: “Telah sepakat para ulama ahli fiqh,
ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad
(orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini:
bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad,
haji, serta penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik
ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah
hal. 16)
Al-Imam Al-Bukhariθ berkata: “Aku telah bertemu dengan 1.000 orang lebih dari
ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam
dan Mesir….” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat adanya perbedaan di
antara mereka tentang perkara berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian
perkara, di antaranya kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.”
(Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)
θ Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat Al-
Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas, -pen.) terdapat
keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara
yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan
dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat
kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil suatu
kesimpulan bahwasanya:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus
dipelihara.
2. Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di masing-
masing negeri bercerai-berai dalam mengawali dan mengakhiri shaum
Ramadhannya.
3. Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini keputusannya berada di
tangan penguasa umat Islam di masing-masing negeri, bukan di tangan individu.
4. Shaum Ramadhan bersama penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan
salah satu prinsip agama Islam yang dapat memperkokoh persatuan mereka,
baik si penguasa tersebut seorang yang adil ataupun jahat. Karena
kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap
penguasa. Terlebih manakala ketentuannya itu melalui proses ru‘yatul hilal di
sejumlah titik negerinya dan sidang-sidang istimewa.
5. Realita membuktikan, bahwa dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya
bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam) benar-benar tercipta suasana
persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan
dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh umat pun demikian
mencolok. Yang demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban bershaum
Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam).
Wallahu a’lam bish-shawab.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=370
Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari kewajiban puasa yang ditetapkan
syariat yang ditujukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
subhanallahu wata’ala. Hukum puasa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu puasa
wajib dan puasa sunnah. Adapun puasa wajib terbagi menjadi 3: puasa
Ramadhan, puasa kaffarah (puasa tebusan), dan puasa nadzar.
ُ ْ(َ7 ن
َ !َ8َِي َر:#ل ا
َ <ِ ْ=ن ِْ"ِ ُأ
ُ >ُْ?ْ#س هًُى ا
ِ !5ِ# ت
ٍ !َ5EَF' َو
َ ِ ْ(َُى#ن ا
ِ !َ ُْ6ْ#وَا
Pada bulan ini para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga
dibuka.
Pada bulan Ramadhan pula terdapat malam Lailatul Qadar. Allah subhanallahu
wata’ala berfirman:
Penghapus Dosa
Ramadhan adalah bulan untuk menghapus dosa. Hal ini berdasar hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
ت
ُ َ َا# اm
ُ ْ
َ]ْ#ُ ا+َ,ْ
ُLْ# وَا/َ#ِ ِإ+َ,ْ
ُLْ#ن ا
ُ !َ8َ َو َر/َ#ن ِإ
َ !َ8ََاتٌ َرE6َُ !َ
َ# '
ُ(َ5َْF ِإذَاG
ِ َSِ5ُْUِ ُ اT!َSَْ#ا
“Shalat lima waktu, dari Jum’at (yang satu) menuju Jum’at berikutnya, (dari)
Ramadhan hingga Ramadhan (berikutnya) adalah penghapus dosa di antaranya,
apabila ditinggalkan dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)
Rukun Berpuasa
a. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam:
!َ
=ل ِإ
ُ !َ
ْc
َ ْت ا
ِ !E5#!ِF
ْ'َ َْ# Pِ َ
ْLَ َ! َمE# اK
َ ْSَ ِ ْLَ6ْ#& ا
َ َ َِ! َمJ ُ"َ#
“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa
baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)
Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah,
‘Aisyah, dan tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan para shahabat.
Para ulama juga berpendapat bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada
setiap hari puasa karena malam Ramadhan memutuskan amalan puasa
sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan niat yang baru. Wallahu
a’lam.
Berniat ini boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya
maupun akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama1.
b. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit
fajar hingga terbenamnya matahari.
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim hadits dari
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
ِإذَاK
َ َSْ َأK
ُ ْ#َ! ِ'ْ ا5ُ(َك ه
َ (َ! ُر َوَأدْ َر5#َ! ِ'ْ ا5ُ(َ هG
ِ َFَ َ َوm
ُ ْ
)#ِ ُ َأَْ َ َ?َْ اT!#ا
“Jika muncul malam dari arah sini (barat) dan hilangnya siang dari arah sini
(timur) dan matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang
berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Puasa dimulai dengan munculnya fajar. Namun kita harus hati-hati karena
terdapat dua jenis fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai
dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini
muncul masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat
Shubuh karena belum masuk waktu.
Fajar yang kedua adalah fajar shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang
menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah.
Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum
dan yang semisalnya serta diperbolehkan shalat Shubuh.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ُ ْLَ6ْ#ن ا
ِ َْاLَ !ََ ل
ُ وc
َ ْ َِ="ُ اh
َ ْ ِ ُمIُ َ! َم,# اh
َ َوK
a ِIُ & َة
َ # َوَأ! ا$ِ=!N#ْ ِ ُم َِ="ُ اIُ َ! َم,# اK
a ِIُ& َة َو
َ #ا
“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan
shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan
(pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-
Hakim, 1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377)
Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anha dan bukan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam). Di
antara mereka adalah Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu
Dawud dalam Marasil-nya (1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya
(3/58). Juga diriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementara
diriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.
Wallahu a’lam.
1 Cukup dengan hati dan tidak dilafadzkan dan makan sahurnya seseorang
sudah menunjukkan dia punya niat berpuasa, red
———————————————–
Sementara itu tidak ada kewajiban puasa terhadap orang kafir, orang gila, anak
kecil, orang sakit, musafir, wanita haidh dan nifas, orang tua yang lemah serta
wanita hamil dan wanita menyusui.
Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena puasa adalah ibadah di dalam Islam
maka tidak diterima amalan seseorang kecuali bila dia menjadi seorang muslim
dan ini disepakati oleh para ulama.
Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak terkena beban beramal.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Diangkat pena (tidak dicatat) dari 3 golongan: orang gila sampai dia sadarkan
diri, orang yang tidur hingga dia bangun dan anak kecil hingga dia baligh.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Sementara itu, bagi orang-orang lanjut usia yang sudah lemah (jompo), orang
sakit yang tidak diharapkan sembuh, dan orang yang memiliki pekerjaan berat
yang menyebabkan tidak mampu berpuasa dan tidak mendapatkan cara lain
untuk memperoleh rizki kecuali apa yang dia lakukan dari amalan tersebut, maka
bagi mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib membayar
fidyah yaitu memberi makan setiap hari satu orang miskin.
“Diberikan keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasa dan
memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadha
atasnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim dan dishahihkan oleh keduanya)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tatkala sudah tidak sanggup berpuasa maka
beliau memanggil 30 orang miskin lalu (memberikan pada mereka makan)
sampai mereka kenyang. (HR. Ad-Daruquthni 2/207 dan Abu Ya’la dalam
Musnad-nya 7/204 dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal.
60)
Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib atas
mereka menggantinya di hari yang lain adalah musafir, dan orang yang sakit
yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia berpuasa menyebabkan
kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya.
ْ'َ
َ ن
َ !َُْْ آ5ِ !ً8ِْ َ ْ َأو/ََ ٍ َ6َQ ٌِ ة,َ ْ'ِ َ َ َأ! ٍمOُأ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia
berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada
hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap janinnya
atau anaknya bila dia berpuasa, wajib baginya meng-qadha puasanya dan bukan
membayar fidyah menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat para ulama.
Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiyallahu ‘anhu, bersabda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
ن
ِإR
َ َ < اK
َU َوPَ َb' َو
ِ َ َ-ُ
ْ# !ِِاH
َ ِْ= & ِة
َ # ْ َم ا#' وَا
ِ َ َو/َْSُIْ# اPِ ِbُْ
ْ#وَا
“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi orang
musafir dan (demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.” (HR. An-
Nasai, 4/180-181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, Al-Baihaqi, 3/154, dan dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)
Yang tidak wajib berpuasa namun wajib meng-qadha (menggantinya) di hari lain
adalah wanita haidh dan nifas.
Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya untuk
berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa, maka dia telah
melakukan amalan yang bathil dan wajib meng-qadha.
Di antara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
ن
َ !ََ! آ5ُSُِْ ^
َ ِ#َُْ ُ َذ5َ َ! ِء8َ?ِF َ! ِمE# اh
َ َ! ِء =َُْ ُ َو8َ?ِF & ِة
َ #ا
Wallohu a’lam
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=295
Adab-Adab Berpuasa
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdirrahman Al-Bugisi
A. Makan Sahur
Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini
berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
K
ُ َْ !َ '
َ َْF !َ5ِ!َِJ َِ! ِمJ َوK
ِ ْب َأه
ِ !َِْ#ُ ا+َُْ ْ ِر َأآI-#ا
“Perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan
sahur.” (HR. Muslim)
“Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam
dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. Ath-Thabrani, 6/251, dengan sanad
yang hasan dengan penguatnya, lihat Shifat Shaum An-Nabi oleh Ali Al-
Halabi, hal. 44)
ن ِإذَا
َ &لٌ َأ ذ
َ ِF ُ ا َُُ اFَ ْ7 وَا/َ0 ن
َ ذE َ ُ '
ُ ْFم اE َُْ ْ ٍِم ُأ
ِإ َذPَ ِ
َQ ُ َُ ُآ0َا ُء َأE5#=َ! ُء اg
ِ ْ َوا/ََ ِ ِ َ &
َ َ ُ"ْ,َ8َ /َ0 $
َ ِ8ْ?َ ُ"ََU!َ0 ُ"ْ5ِ
ُ Iَ-َ.ن وا
ِ َ $ِ ُ ْ ِرI-#ً ا+ََ َآF
Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma jika ada, dan boleh dengan
yang lain berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
َ ْ,ِ= ُ ْ ِرI-#' ا
ِ ُِْ
ْ#
ْ ُ ا#ا
Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum, maka boleh dia
makan dan minum sampai dia yakin bahwa fajar telah terbit.
“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar ….” (Al-Baqarah: 187)
B. Berbuka Puasa
ن
َ !َب آ
ُ !َIْJَ
ٍ َأIُ /َJ R
ُ َ َ ََْ"ِ اQ َوK
َ َLْس َأ
ِ !5#ََْهُْ ِإًْ!رًا اFُ ْرًا َوَأIُQ
h
َ ل
ُ َ<َا. ْ$ِ ُأ/ََ ْ$ِ5ُQ !َ َ#ْ ِْpَْ5َ. !َِْ ِه6ِF ُ ْ َمLa5#ا
h
َ ل
ُ س َ<َا
ُ !5#ِ]َْ ٍ اF !َ ُ اLَ َ ْE6#ا
“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka
mempercepat buka puasa.” (HR. Al-Bukhari, 2/1856, dan Muslim, 2/1098)
h
َ ل
ُ َا َ<َا:َ' ه
ُ ْE # َ! َ!هًِا اK
َ Lَ س
ُ !5#ِْ َ ا6ْ#ن ا
cَ َْ(ُ ْ َد#َ!رَى ا5#ن وَا
َ ْ ُوEOَ ُ
ٌ&ث
َ َ% ْ'ِ ق
ِ&َ ْOُ ِة َأSa5#ا: K
ُ ِْLْ,َ. َْ! ِرg
ِ ِْْ ُ اOْ#ُ ْ ِر وَاIa-# اPُ ْb' َو َو
ِ ِْ
َْ# ا/ََ ل
ِ !َ
E)# ا$ِ & ِة
َ #ا
ن
َ !َ آ$
a ِS5# ا/َJ R ُ َ َ ََْ"ِ اQِْ ُ َو6ُ K
َ ْSَ ْ َأن$
َ Eَُ /ََ ت
ٍ !َSَZَْ َِنْ ُر# ْ'َُ. َZت ُر
ٍ !َS ت
ٍ َْ َ ِنْ َُ
ََْا# ْ'َُ.
ت
ٍ ُ
ََْا. !َ-َ0 تٍ َ َا-َ0 ْ'ِ َ! ٍء
e
َ َ
َُ َذهp# َو اG
ِ ََْFق ا
ُ ُْ ُو,ْ# اG
َ َSَ%ْ ُ َوUc
َ َْ! َء ِإنْ ا7 R
ُ ا/َ#!َ,َ.
“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala
insya Allah subhanallahu wata’ala.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, An-
Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, 2/255, Ad-Daruquthni, 2/185, Al-Baihaqi,
4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anha dan dihasankan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)
Pembatal Puasa
“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang
hitam dari fajar kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (Al-
Baqarah: 187)
ِإذَا$
َ ِ-َ= K
َ َب ََآ
َ ِ َ7َ َْ"ُ َُِْ َوJ !َ
=ِ َ ُ"َ
َ,ْZ َأR
ُ َ?َ! ُ اQَو
“Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaklah dia sempurnakan
puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan
minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1831 dan Muslim no. 1155)
d. Berbekam
“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.”
(HR. At-Tirmidzi, 3/774, Abu Dawud, 2/2367;2370;2371, An-Nasai, 2/228,
Ibnu Majah no. 1679,dan lainnya)
Hadits ini shahih dan diriwayatkan dari kurang lebih 18 orang shahabat
dan dishahihkan oleh para ulama seperti Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari,
Ibnul Madini dan yang lainnya. Ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad
dan Ishaq bin Rahuyah serta dikuatkan oleh Ibnul Mundzir.
Ada beberapa perkara lain yang juga disebutkan sebagian para ulama
bahwa hal tersebut termasuk pembatal puasa, di antaranya:
a. Muntah dengan sengaja
Pendapat yang rajih dari pendapat para ulama bahwa onani tidaklah
membatalkan puasa, namun termasuk perbuatan dosa yang diharamkan
melakukannya baik ketika berpuasa maupun tidak. Allah subhanallahu
wata’ala berfirman menyebutkan di antara ciri-ciri orang mukmin:
'
َ ْ:ِ #ِ(ِْ هُْ وَاUُْ ُو6ِ# ن َ ْ ُpِ!َ0. h
ِإ/ََ ِْ(ِUْ َ! أوْ َأزْوَاGَََ ُْ(ُ=!َ
ْ' َْ ُ َ ِ=(ُْ َأ
َ ِْْ َُ. '
ِ َ
َ /َWَْFَورَا َء ا
^
َ ِ#^ َذ َ ِkَ#ن هُ ُ َُو
َ َْ! ُدو,ْ#ا
a. Bersiwak
ْ َ# h
َ ْ\ َأن
ُ7 َأ/ََ $ُِ(ُْ ُأ.َْc
َ ك
ِ َاE-#!ِF َ ْ5ِ K
E ُ& ٍة آ
َ َJ
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha
bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mendapati waktu fajar dalam
keadaan junub setelah (bersetubuh dengan) istrinya, kemudian beliau
mandi dan berpuasa. (Muttafaq ‘alaihi)
a. Memperbanyak shadaqah
ن
َ !َل آُ ْ ُQ َرR ِ ا/َJ R
ُ َ َ ََْ"ِ اQْ َ َد َوUس َأ
ِ !5#ن ا
َ !َْ َ َد َوآUن َ! َأ
ُ ْ َُ ْ$ِ ن
َ !َ8َ' َر
َ ِْ0 ُ !َ?َْ ِ ْSِUK
ُ ْ
ُ"ُQن ََُا ِر
َ >ُْ?ْ#ا
ْ'َ َ َ !ً
ِT!َJ ن
َ !ََ"ُ آ# K
ُ ْNِ ِ ِ ْU َأ="ُ َْ َ َأh
َ
ُ ُ?ْ5َ ْ'ِ ِ ْUِ ِ َأT!#ً! اkَْ7
“Barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya
seperti pahala (yang berpuasa) dalam keadaan tidak berkurang sedikitpun
dari pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. Ahmad, 4/114, At-Tirmidzi,
3/807, Ibnu Majah, 1/1746, Ad-Darimi no. 1702, dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih At-Tirmidzi).
Wallahul muwaffiq.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=296
Sedangkan ilmu hisab (ilmu perbintangan) tidak boleh dan tidak bisa dijadikan
sebagai sandaran untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Tidak diragukan lagi ketetapan
tentang dilarangnya bersandar kepada ilmu hisab (perbintangan) dalam As
Sunnah dan pandangan para shahabat. Orang yang bersandar kepadanya, dia
adalah orang yang sesat dan orang yang berbuat bid’ah dalam agama ini juga
telah melakukan kesalahan baik dari segi nalar pikiran (akal) maupun dari segi
ilmu perbintangan itu sendiri. Sesungguhnya ahli ilmu perbintangan telah
mengetahui bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki, karena
adanya pengaruh perbedaan tinggi rendahnya tempat dan lain-lainnya.”
[Taudiihul Ahkaam jilid 3 hal. 132 hadits no. 541]
Seluruh anggota Haiah Kibarul ‘Ulama (Majelis ‘Ulama di Arab Saudi) telah
bersepakat tidak bolehnya bersandar kepada ilmu falaki dalam menentukan awal
bulan. [Taudiihul Ahkaam jilid 3 hal. 132 hadits no. 541]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin memberikan pernyataan yang senada dengan fatwa
di atas, beliau menyatakan: “Shaum tidak menjadi wajib dengan keberadaan
hisab falaki karena syariat Islam mengaitkan hukum Shiyam dengan perkara
yang bisa dicapai oleh indera manusia yaitu ru’yatul hilal.” [Asy-Syarhul Mumti’
jilid 6 hal 314.]
Maka orang yang bersandar kepada hisab falaki adalah orang yang telah
menyelisihi Al Haq dan Syariat Islamiyyah. Hal ini dilihat dari beberapa segi:
4. Pernyataan dari para ahli ilmu perbintangan bahwa ru’yah tidak bisa
ditetapkan dengan hisab falaki karena perbedaan ketinggian tempat perhitungan
dan lain-lainnya.
Hikmah dari hal ini bahwa hitungan bulan Sya’ban ketika terhalangi mendung
atau yang semisalnya adalah sama untuk seluruh kaum muslimin. Sehingga
dengan ketetapan ini hilanglah pertentangan di antara mereka. Di antara
kelompok-kelompok yang berpegang dengan perhitungan hisab falaki adalah
Syiah Rafidhoh dan sebagian kecil ahli fikih yang sependapat dengan mereka.
Al Baaji menerangkan bahwa Ijma’ para Shahabat dan Salafush Sholih
merupakan bantahan atas mereka.
Ibnu Baziizah menyatakan: ‘pendapat itu adalah pendapat yang batil. Sedangkan
syariah telah melarang dari mendalami ilmu bintang sebab ilmu ini hanyalah
persangkaan belaka saja dan tidak ada padanya kepastian bahkan tidak pula
dugaan yang mendekati kebenaran.’
Jika demikian halnya maka mengaitkan hukum shiyam dengan hisab falaki akan
memberatkan (kaum muslimin) karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali
sedikit.” [Fathul Baari Kitabus Shiyam Bab 13 hadits no. 1913].
Jawab :
Para Ulama berselisih pendapat ketika hilal terlihat di suatu negeri, apakah
ru’yah tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia
atau masing-masing negeri memiliki ru’yah sendiri.
Pendapat Pertama, Jumhur ulama di antara mereka Al-Imam Abu Hanifah dan
Al-Imam Ahmad, berpendapat bahwa ru’yah di suatu negeri berlaku untuk
seluruh kaum muslimin di negeri-negeri yang lain.
Pendapat kedua, Al-Imam Asy-Syaafi’i dan sejumlah ulama salaf berpendapat
diperhitungkannya perbedaan mathla’.
Setelah kita mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama dalam
masalah penentuan awal bulan, perlu diketahui pula sebuah nasehat yang
penting dari Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Tamamul Minnah untuk kaum
muslimin di seluruh negara Islam dan seharusnya kaum muslimin
memperhatikannya dan mengamalkannya. Beliau berkata: “…Dan perkara ini
(pengkhabaran hasil ru’yatul hilal dari satu negeri ke negeri yang lainnya-peny)
adalah hal yang mudah untuk dicapai pada masa sekarang ini dan sudah
dimaklumi, namun menuntut perhatian dari negara-negara Islam sehingga bisa
terwujud dikemudian hari –Insya Allah ta’ala- bersatunya negara-negara Islam.
Maka saya berpendapat bahwa setiap kaum muslimin menjalankan shiyam
Ramadhan bersama pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti
pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ada yang menjalankan shaum bersama
permerintah dan yang lain tidak, baik mendahului atau membelakangi karena hal
ini akan memperluas perpecahan sebagaimana telah terjadi di beberapa negara
Arab sejak beberapa tahun yang lalu. R ُ َ!ن وَا,َْ-ُ
ْ#[ ”اTamamul Minnah hal. 298]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan pernyataan yang sama dengan
pernyataan Asy-Syaikh Al-Albani di atas dalam kitab beliau Asy-Syarhul Mumti’
ketika menyebutkan pendapat yang ketiga: “Bahwa setiap warga negara
hendaknya mengikuti pemerintahnya masing-masing jika pemerintahnya
menjalankan ash-shaum maka mereka juga menjalankannya, jika pemerintahnya
berhari raya hendaklah rakyatnya berhari raya pula bersamanya. Seandainya
ada khilaafah (pemerintahan) yang membawahi seluruh kaum muslimin di
seluruh penjuru dunia kemudian ada yang melihat hilal di negerinya, dan khalifah
menetapkannya maka wajib setiap kaum muslimin di seluruh penjuru dunia untuk
bershaum atau berhari raya (sesuai dengan ketetapan khalifah/pemerintahnya –
pen). Hendaklah kaum muslimin mengamalkan yang demikian ini yaitu bila
pemerintah menetapkan ru’yah maka seluruh kaum muslimin yang dibawah
kekuasaannya mengikuti baik dalam bershaum maupun berhari raya. Dan
pendapat ini merupakan pendapat yang kuat jika dipandang dari sisi keutuhan
kemasyarakatan (kaum muslimin) . Kalaupun kita membenarkan pendapat kedua
yang berdasarkan pada perbedaan mathla’ tetap wajib untuk tidak
menampakkan adanya perbedaan dengan mayoritas kaum muslimin.” [Asy-
Syarhul Mumti’ jilid 6 hal. 322.]
Sumber : www.assalafy.org
Perhiasan Mukmin di Bulan Suci
Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah
Perhiasan senantiasa dibutuhkan oleh setiap orang dalam kesehariannya:
perhiasan lahiriah, maupun batin. Tanpa perhiasan, nilai seseorang di mata
orang lain akan menjadi rendah. Di bulan Romadhon, seorang harus menghiasi
dirinya dengan perhiasan akhlaq, yaitu adab-adab ketika di bulan Romadhon.
ُوْاIَ-َ. ن
ِ َ ْ$ِ ُ ْ ِرI-#ً ا+ََ َآF
Satu hal yang perlu dicatat bahwa bersahur sunnahnya diakhirkan sampai
menjelang adzan (sekitar 15 atau 20 menit sebelum adzan shubuh), bukan
dipercepat. Karenanya, kelirulah sebagian orang yang makan setelah sholat isya’,
atau waktu jam 12 malan, atau jam 3 malam.
Perhatikan Zaid bin Tsabit -radhiyallahu anhu- berkata, "Kami sahur bersama
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, lalu beliau bangkit untuk sholat". Anas
bertanya (kepada Zaid), "Berapakah (waktu senggang) antara adzan dan
sahur?". Zaid menjawab,
ل
َ !َ ' َْ َر
َ ِْ-ْ
َO ً+َ>
Atsar ini menunjukkan bolehnya makan sampai terdengar adzan shubuh. Jika
sudah terdengar, maka berhentilah makan. Ini bertentangan dengan kebiasaan
kaum muslimin di Indonesia Raya, mereka enggan maka ketika sudah tiba
saatnya waktu imsak walaupun belum adzan shubuh, karena berpatokan pada
"Jadwal Imsakiyyah" yang disebarkan oleh sebagian orang jahil. Adapun di
zaman Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, waktu imsak (menahan diri dari
makan, minum, dan lainnya) adalah ketika terdengar adzan yang menunjukkan
masuknya waktu sholat fardhu shubuh. Inilah petunjuknya Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- dan para sahabat.
Jadi, para sahabat cepat berbuka ketika telah melihat matahari tenggelam
dengan sempurna yang menunjukkan masuknya waktu maghrib, dan
menangguhkan waktu sahur sampai mereka melihat fajar shodiq yang
menunjukkan masuknya waktu sholat shubuh.
ن
َ !َ آ$ a ِS5# ا/َJ R ُ َ َ ََْ"ِ اQْ َ َد َوUس َأ ِ !5#ْ]َْ ِ ا#!ِF ن
َ !َْ َ َد َوآUن َ! َأُ ْ َُ ْ$ِ ن
َ !َ8َ' َر َ ِْ0 ُ !َ?َْ K
ُ ِْ ْSِU !َن َوآَ K ُ ِْ ْSِU
ِ"ََْ َ! ُم-# َْ?َ! ُ اK
ٍُ آ+ََْ# ْ$ِ نَ !َ8َ َر/َ0 z َ َِ-ْ5َ ض
ُ ِ ْ,َ ِ"ََْ $a ِS5# ا/َJ R ُ َ َ ََْ"ِ اQن َو
َ >ُْ?ْ#َ?َِ"ُ َ ِذَا ا# K
ُ ِْ ْSِU
ِ"ََْ & ُم
َ -#ن ا َ !َْ َ َد آUْ]َْ ِ َأ#!ِF 'َ ِ [ ِ ْE #ْ ا#ِا+ََQُْ
"Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling pemurah dalam
kebaikan, apalagi di bulan Romadhon ketika ditemui oleh Jibril. Dulu Jibril
menemui beliau setiap malam di bulan Romadhon sampai selesai. Nabi -
Shollallahu ‘alaihi wasallam- menghadapkan (mengajarkan) Al-Qur’an kepada
Jibril. Jika beliau telah ditemui oleh Jibril –alaihis salam-, maka beliau menjadi
orang yang paling pemurah dalam kebaikan dibandingkan angin yang terutus".
[HR. Al-Bukhoriy (1803)]
!َ# K
ُ َkْ-ُ ْ'َ ْ ٍء$َ7 !#َأَْ! ُ ِإ
ن
َ !َل آ
ُ ْ ُQ َرR
ِ ا/َJ R
ُ َ َ ََْ"ِ اQ ِإذَا َوK
َ َOَ)ْ َ َد,ْ#َْ! ا0 َأK
َ ْ#َ َأهَْ"ُ َوَأْ?َ{َ اUَ َو7ْ َ< َر َوkِ
ْ#ا
ك
ُ َاE-#َ ِ َْ(َ َةٌ ا6ِْ# ٌَ!ةbَْ ب
E ِ#
"Siwak merupakan pembersih mulut, dan membuat Robb (Allah) ridho". [HR. An-
Nasa’iy (5), Ibnu Majah (289), dan Ahmad (7). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-
Albaniy -rahimahullah- dalam Al-Irwa’ (66)]
Abdur Rahman bin Ghonmin Al-Asy’ariy berkata, "Aku pernah bertanya kepada
Mu’adz bin Jabal, "Apakah aku boleh bersiwak sedang aku puasa?" Dia
menjawab, "Ya". Aku berkata, "Waktu mana aku boleh bersiwak?" Dia jawab,
"Waktu mana saja kamu hendak; jika mau pagi (ya, boleh); jika mau siang (ya,
juga boleh)" [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (133). Atsar ini dikuatkan oleh Al-
Hafizh dalam At-Talkhish (2/202)]
Menjauhkan Diri dari Sesuatu yang Menyalahi Hikmah Puasa
Allah -Ta’ala- berfirman,
[ ِإذَا
َ َSْJَ ُآُْ َأ0ِ
ً! َ ًْ! َأT!َJ !ََ ْoَُْ !َ#ْ َوKَ(ْLَ ن
ِ ِ َ ٌَ
َ"ُ اْ ُؤ.!َ7 ََْ"ُ َأو.!َ ْKُ?ََْ ْ$E=ٌِ ِإT!َJ ْ$E=ٌِ ِإT!َJ
"Barang siapa yang tidak mau meninggalkan ucapan dusta dan mengerjakannya,
maka Allah tidak punya hajat (tidak peduli) ketika ia meninggalkan makan, dan
minumnya". [Al-Bukhoriy (1804)]
ب
ِ ٍ ُرT!َJ m
َ َْ# ُ"َ# ْ'ِ ِ"ِ!َِJ !#ع ِإ
ُ ْ ُLْ# ا. ب
ِ ٍ َو ُرT!َ m
َ َْ# ُ"َ# ْ'ِ ِ"ِ!َِ !#(َ ُ ِإ-#ا
!َ# ل
ُ س َ<َا
ُ !5#ِ]َْ ٍ اF !َ ُ ْاLَ َ ِْ6ْ#ا
Ada dua sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang terlupakan ketika
kaum muslimin berbuka, yaitu berbuka sebelum sholat maghrib, dan memakan
ruthob (korma basah lagi segar), atau korma kering, atau air. Jangan sampai
perut kosong sampai usai sholat maghrib. Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-
juga berkata,
ن
َ !َل آ
ُ ْ ُQ َرR
ِ ا/َJ R ُ َ َ ََْ"ِ اQِْ ُ َو6ُ /ََ ت
ٍ !َSَZ ُرK
َ ْSَ ْ َأن$
َ Eَُ َْْ َِن# ْ'َُ. ٌَ!تSَZ ُر/ََ,َ ت
ٍ َ
ََا. َْْ َِن# ْ'َُ.
!َ-َ0 تٍ َ َا-َ0 ْ'ِ َ! ٍء
ْ'َ َ َ !ً
ِT!َJ ن
َ !ََ"ُ آ# K
ُ ْNِ ِ ِ ْUَ! َأ="ُ َْ َ َأ#
ُ ُ?ْ5َ ْ'ِ ِ ْUِ ِ َأT!#ً! اkَْ7
"Barangsiapa yang memberi buka puasa kepada orang yang berpuasa, niscaya
ia akan mendapatkan semisal pahala orang yang puasa itu; Cuma tidak
mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun". [ At-Tirmidziy
(807).Hadits ini shohih sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Albaniy dalam
Shohih Al-Jami’ (11361)]
"Barang siapa yang bangun (sholat malam) karena beriman dan mengharapkan
pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu . Barangsiapa yang
berpuasa di bulan Romadhon karena beriman dan mengharapkan pahala,
niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu" .. [HR. Al-Bukhoriy dalam
Shohih-nya (1802), dan Muslim dalam Shohih-nya (175)]
http://almakassari.com/?p=169#more-169
NIAT PUASA
Penulis: Al-'Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah
Soal :
“Seringkali saya berpuasa tanpa niat sebelumnya pada permulaan puasa.
Apakah niat merupakan syarat puasa yang harus di lakukan setiap hari ?
Ataukah cukup dengan hanya berniat pada awal bulan ?
Jawab :
Puasa dan amal-amal ibadah lainnnya harus dikerjakan dengan niat. Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya amal-amal ibadah itu
bergantung kepada niat. Setiap orang akan mendapatkan ganjaran berdasarkan
atas apa yang dia niatkan. “(HR. Imam Al-Bukhari (1/2) dari hadits Umar bin
Khatthab).
Dalam riwayat lain : “Tidak ada amalan kecuali dengan niat. “ [Lafadz seperti ini
diriwayatkan dari Ali Bin Abi Thalib, seperti yang di sebutkan dalam Al-Firdaus
bin Ma’tsuril Khithob (5/191)].
Puasa bulan Romadhan wajib di lakukan dengan berniat pada malam harinya,
yaitu seseorang harus telah berniat puasa untuk hari itu sebelum terbit fajar.
Bangunnya seseorang pada akhir malam kemudian makan sahur menunjukkan
telah ada niat pada dirinya (untuk berpuasa). Seseorang tidaklah di tuntut
melafadzkan niatnya dengan berucap : “Aku berniat puasa (hari ini)”, karena
yang seperti ini adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan !
Berniat puasa selama bulam Ramadhan haruslah dilakukan setiap hari, karena
(puasa pada) tiap-tiap hari (dibulan itu) adalah ibadah yang berdiri sendiri yang
membutuhkan niat. Jadi, orang yang berpuasa harus berniat dalam hatinya pada
masing-masing hari (dalam bulan itu) sejak malam harinya. Kalau misalnya dia
telah berniat puasa pada malam harinya kemudian dia tertidur pulas hingga baru
terbangun setelah terbitnya fajar, maka puasanya sah, karena dia telah berniat
sebelumnya.
Wallahu a’lam.
Maroji’ :
Al-Muntaqo min Fatawa Asy-Syaikh Sholih Al-Fauzan (5/109).
ن
َ !َل آ
ُ ْ ُQ َرR ِ ا/َJ R ُ َ َ ََْ"ِ اQ{ُ َو6َIََ ْ'ِ ن
َ !َSْ,َ7 !َ h
َ ُ{6َIََ ْ'ِ ِ ِ َْ ُ% ِ َُ ْ ُم+َِْ ُؤ# ،ََ!ن8َََْ"ِ ُ َِنْ َر
َ '
َ ِْ%&
َ َ% !ًْ َ ُ% َ! َمJ
“Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih
baik?” (Al-Baqarah: 61)
ْ'َ
َ َ ِ(َ7 ُ ُْ5ِ َ ْ()#ََُْ
ْ"ُ ا
^
َ َ=ْ ُ#َْ-َ '
ِ َ ِ+ِهc
َ ْْ اKٌ $
َ ِ هG
ُ ِْ س َ َا
ِ !5ِ# d
E َIْ#وَا
َرَأُْ
ُ ْ ُ َوِإذَا َُ ُْ ا َرَأُْ
ُ ْ ُ ِإذَا،ِ َة ََآْ
ُِ ا ََُْْ ُ َ ِنْ ََُِْوا,ْ#' ا
َ ِْ%&
َ َ%
“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Jika kalian melihatnya maka
berbukalah kalian. Namun jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah menjadi
30.”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tetapnya (awal) puasa dengan
melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka (mengakihiri Ramadhan) dengan
melihat hilal Syawwal. Sama sekali Nabi tidak mengaitkannya dengan hisab
bintang-bintang dan orbitnya (termasuk rembulan, -pent.). Yang demikian ini
diamalkan sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Khulafa` Ar-
Rasyidin, empat imam, dan tiga kurun yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Oleh karena itu, menetapkan bulan-bulan Qomariyyah dengan merujuk ilmu
bintang dalam memulai awal dan akhir ibadah tanpa ru`yah adalah bid’ah, yang
tidak mengandung kebaikan serta tidak ada landasannya dalam syariat….”
(Fatwa ini ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh
Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat Fatawa
Ramadhan, 1/61)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tentang hisab, tidak boleh
beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Tanya: Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja berpuasa tanpa
menyandarkan pada ru`yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa
hukumnya?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena
melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah
awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihi-
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu
adalah demikian, demikian, dan demikian.” –beliau menggenggam ibu jarinya
pada ketiga kalinya dan mengatakan–: “Bulan itu begini, begini, dan begini –
serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya–.”
Beliau maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30 (hari). Dan telah
disebutkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika
kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 (hari).”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya):
“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.
Dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan
jumlah.”
Masih banyak hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya menunjukkan wajibnya
beramal dengan ru`yah, atau menggenapkannya jika tidak memungkinkan ru`yah.
Ini sekaligus menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada hisab dalam masalah
tersebut.
Ibnu Taimiyyah1 telah menyebutkan ijma’ para ulama tentang larangan
bersandar pada hisab dalam menentukan hilal-hilal. Dan inilah yang benar, tidak
diragukan lagi. Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufiq. (Fatawa
Shiyam, hal. 5-6)
Pembahasan lebih rinci tentang hisab bisa dilihat kembali dalam Asy-Syariah
edisi khusus Ramadhan tahun 2004.
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Ini merupakan nash yang tegas di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala
membolehkan bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun di malam hari
untuk melakukan sahur. Artinya, Rabb kita membolehkan untuk makan dan
mengakhirkannya hingga ada adzan yang secara syar’i dijadikan pijakan untuk
bersiap-siap karena masuk waktu fajar shadiq (yakni masuknya waktu subuh, -
pent.). Demikian Rabb kita menerangkan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan makna ayat yang jelas ini dengan
hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi mengatakan:
h
َ ُْ= ُWَ ن
ُ ل َأذَا
ٍ&
َ ِF !َ
=َِ ُن
ُ ذE َ K
ٍ َِْF
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan di waktu
malam.”3
Dalam hadits yang lain selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:
h
َ ُْ= ُWَ ن
ُ ل َأذَا
ٍ&
َ ِF !َ
=َِ ن
ُ ذE َ ُ َِ?ُ ْ َم# ُ ِT!5# ُ اIَ-ََُا َوEIَ-ََ
ْ# ُ ا َُُ اFَ ْ7 وَا/َ0 ن
َ ذE َ ُ '
ُ ْFم اE َُْ ْ ٍم ُأ
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan untuk
membangunkan yang tidur dan untuk menunaikan sahur bagi yang sahur. Maka
makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan4….”
(Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 344-345)
Ibnu Hajar (salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) dalam Fathul Bari syarah
Shahih Al-Bukhari (4/199) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan
beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.
Oleh karenanya, wahai kaum muslimin, mari kita bersihkan amalan kita,
selaraskan dengan ajaran Nabi kita, kapan lagi kita memulainya (jika tidak
sekarang)? (Lihat pula Mu’jamul Bida’ hal. 57)
Di sisi lain, adapula yang melakukan sahur di tengah malam. Ini juga tidak sesuai
dengan Sunnah Nabi, sekaligus bertentangan dengan maksud dari sahur itu
sendiri yaitu untuk membantu orang yang berpuasa dalam menunaikannya. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ُواEَF ،َِْ!رg
ِ ْ!ِF ُواEOُ ْ َر َوَأI-#ا
“Segeralah berbuka dan akhirkan sahur.” (Shahih, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-
Shahihah, no. 1773)
Dari Abu ‘Athiyyah ia mengatakan: Aku katakan kepada ‘Aisyah: Ada dua orang
di antara kami, salah satunya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur,
sedangkan yang lain menunda berbuka dan mempercepat sahur. ‘Aisyah
mengatakan: “Siapa yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur?”
Aku menjawab: “Abdullah bin Mas’ud.” ‘Aisyah lalu mengatakan: “Demikianlah
dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya.” (HR. At-Tirmidzi,
Kitabush Shiyam Bab Ma Ja`a fi Ta’jilil Ifthar, 3/82, no. 702. Beliau menyatakan:
“Hadits hasan shahih.”)
At-Tirmidzi mengatakan: Hadits Zaid bin Tsabit (tentang mengakhirkan sahur, -
pent.) derajatnya hasan shahih. Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat
dengannya. Mereka menyunnahkan untuk mengakhirkan sahur.” (Bab Ma Ja`a fi
Ta`khiri Sahur)
Di antara kesalahan yang lain adalah:
Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian/ihtiyath (Mu’jamul
Bida’, hal. 268)θ
Membunyikanθ meriam untuk memberitahukan masuknya waktu shalat, sahur,
atau berbuka. Al-Imam Asy-Syathibi menganggapnya bid’ah. (Al-I’tisham, 2/103;
Mu’jamul Bida’, hal. 268)
Bersedekah atas nama roh dari orang yangθ telah meninggal pada bulan Rajab,
Sya’ban, dan Ramadhan. (Ahkamul Jana`iz, hal. 257, Mu’jamul Bida’, hal. 269)
Dan masih banyak lagi kesalahan lain, yang Insya Allah akan dibahas pada
kesempatan yang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=371
Jawab :
Sering orang menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan
tuntunan syari’at Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang
dilakukannya atau apa yang diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi
nilai puasanya di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Maka kami akan mencoba menjelaskan
beberapa kesalahan yang terjadi di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar
dapat menjadi nasehat dan bekal menyambut bulan Ramadhan.
Pertama : Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu Falaq atau ilmu
Hisab.
Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan
As-Sunnah.
"Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa".
Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum riwayat
Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :
َل َرَأُْ ُ ِإذَا
َ ِِ ُوْا َرَأُُْ ْ ُ" َوِإذَا َُ ُْ ْا ا#َْ$َ
"Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka
berbukalah".
Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan
melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara
yang lainnya. Kemudian perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini
menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal tersebut.
Berkata Al-Bajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan ilmu Falaq dan ilmu
Hisab : "Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah merupakan hujjah (bantahan) atas
mereka". Lihat Subulus Salam 2/242.
Dan berkata Ibnu Bazizah menyikapi pendapat orang yang membolehkan menggunakan ilmu
falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan : "Ini adalah madzhab yang bathil. Syari’at
telah melarang menggunakan ilmu Falaq karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan
dugaan dan sangkaan yang tidak jelas". Lihat : Subulus Salam 2/242.
Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/243 : "Jawaban terhadap mereka ini jelas,
sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan tak dapat
menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga
yakni dua puluh sembilan (hari), dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga
puluh (hari)".
Kedua : Kebiasaan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath
(berjaga-jaga).
Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau
berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
"Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelum
Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa sunnat maka
hendaknyalah ia berpuasa".
Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/239 : "Ini menunjukkan haramnya
berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga)".
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160) : "…karena menentukan puasa haruslah
dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan-...".
Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 (Tuhfathul Ahwadzy) :
"Para ‘ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum
masuknya bulan Ramadhan…".
Berkata Imam An-Nawawy : "Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah
haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah". Lihat : Syarah Shohih Muslim 7/158.
Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka
ihtiyath, adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa seperti puasa senin-kamis, puasa
Daud dan lain-lainnya lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka itu
tidak apa-apa. Wallahu A’lam.
Ketiga : Meninggalkan makan sahur.
Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan dan menyelisihi sunnah Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam dan menyelisihi kesepakatan para ‘ulama tentang disunnahkannya
makan sahur.
Kesepakatan para ‘ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-
lainnya. Lihat : Syarah Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.
Dan dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali diantaranya, hadits Anas bin
Malik riwayat Bukhary-Muslim dimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
ُوْا-َ,َ9 ن
Cِ َ 5ِ ُ ْ ِر-,َ َآَ ً( ا3
"Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah".
Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara
dunia maupan perkara-perkara akhirat. Dan berkah tersebut bermacam-macam diantaranya :
sebagaimana dalam Shohih Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
?ُ َْ %َ
َ َْ3 %َ
ِ%َِB ِم%َِBب َأهْ ِ? َو
ِ %َُِْ ْ ِر َأآََ ُ( ا-,ا
"Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur".
A Menambah kekuatan dan semangat khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih
berpuasa.
A Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdo’a dan meminta rahmat sebab waktu sahur
masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat do’a yang makbul.
http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62
ن ِإذَا
َ !َل آُ ٍ َأ و+ََْ# ْ'ِ ن
َ !َ8ََ(ْ ِ َر7 ت
ِ َ E6ُJ ' ُ ِْZ!َ)# َوَ َ َد ُة ا،E'ِLْ#ْ اGَ?Eُب َوُ ْ َاF! ِر َأ5#َْ[ْ ََْ ا6ُ !َ(ْ5ِ ٌَ!بF. ْGَIَُِو
ب
ُ ْ َاFِ َأ+5َLْ#َْ\ْ ََْ اWُ !َ(ْ5ِ ،ٌَ!بF َ!دِي5َُ! ٍد َو5ُ: !َ $
َ ِ!َF ِ َْ]ْ# ا،ْKِSْ َوَ! َأ$
َ ِ!َF E )# ا،ِْْ ِ"ِ َأ#' َُ?َ! ُء َو َ ِ ،ِ!ر5#َو ا
^
َ ِ# َذK ٍُ آ+ََْ#
“Apabila datang awal malam dari bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin yang
sangat jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tidak ada satu pintupun yang
terbuka, sedangkan pintu-pintu surga dibuka tidak ada satu pintupun yang
ditutup. Dan seorang penyeru menyerukan: ‘Wahai orang yang menginginkan
kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.’
Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, yang demikian itu
terjadi pada setiap malam.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 682 dan Ibnu
Majah dalam Sunan-nya no. 1682, dihasankan Asy-Syaikh Albani rahimahullahu
dalam Al-Misykat no. 1960)
Pada bulan yang penuh barakah ini, kejahatan di muka bumi lebih sedikit, karena
jin-jin yang jahat dibelenggu dan diikat, sehingga mereka tidak bebas untuk
menyebarkan kerusakan di tengah manusia sebagaimana hal ini dapat mereka
lakukan di luar bulan Ramadhan. Di hari-hari itu kaum muslimin tersibukkan
dengan ibadah puasa yang dengannya akan mematahkan syahwat. Juga
mereka tersibukkan dengan membaca Al-Qur`an dan ibadah-ibadah lainnya. (Al-
Mirqah, Asy-Syaikh Mulla ‘Ali Al-Qari pada ta’liq Al-Misykat 1/783, hadits no.
1961)
Ibadah-ibadah ini akan melatih jiwa, membersihkan dan mensucikannya. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan
mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-
Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 1778)
2. Dari ‘Imran bin Murrah Al-Juhani radhiallahu 'anhu, ia berkata: Seseorang
datang menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata:
!َ ل
َ ْ ُQ َر،ِR اG
َ ْت ِإنْ َأ َرَأ
ُ ِْ(َ7 ْ َأنh
َ َ"#ِ إh ِإR ا، ^ َ =ل َوَأ
َ ْ ُQ َر،ِR اG
ُ َْJت َو
ِ َ َا# ا،َmْ
َ]ْ# اG
ُ ْ َوَأ د،َ<آ!ة#ا
G
ُ ْ
ُJ َو،ََ!ن8َل َأ=َ!؟ َ
ِ
'ْ َر َ !َ : '
َ ِ '
َ ِْ?ْE E#(ََا ِء اa)#وَا
“Wahai Rasulullah, apa pendapat anda bila aku bersaksi bahwasanya tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah saja dan aku bersaksi bahwa engkau
adalah Rasulullah, aku mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat dan
puasa di bulan Ramadhan, maka termasuk dalam golongan manakah aku?”
Rasulullah menjawab: “Engkau termasuk golongan shiddiqin dan syuhada.” (HR.
Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya, dan lafadz
yang disebutkan adalah lafadz Ibnu Hibban. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 989)
3. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
“Telah datang pada kalian Ramadhan bulan yang diberkahi. Allah Subhanahu wa
Ta'ala mewajibkan atas kalian untuk puasa di bulan ini. Pada bulan Ramadhan
dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu setan-
setan yang sangat jahat. Pada bulan ini Allah memiliki satu malam yang lebih
baik dari seribu bulan. Siapa yang diharamkan untuk mendapatkan kebaikan
malam itu maka sungguh ia telah diharamkan.” (HR. Ahmad, 2/385, An-Nasa`i
no. 2106, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i.
Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 985, Al-Misykat no. 1962)
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
ُ ْ(َ7 ن
َ !َ8َِي َر:#لُأ=ْ ِ< ا
َ ِ"ِْ ن
ُ >ُْ?ْ#س هًُى ا
ِ !5ِ# ت
ِ !َ5EَF' َو
َ ِ ْ(َُى#ن ا
ِ !َ ُْ6ْ#وَا
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh
perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar dari
kesalahan-kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)
Musibah yang menimpa negeri ini berupa gempa, tsunami, meletusnya gunung
berapi, tanah longsor, semburan lumpur panas, dan sebagainya bukanlah
karena kesialan penguasa/pemerintah sebagaimana tuduhan orang-orang dungu
atau pura-pura dungu. Namun justru karena dosa-dosa yang ada di negeri ini.
Terlepas apakah bencana ini karena rekayasa asing yang ingin menjatuhkan dan
menghancurkan negeri ini sebagaimana analisa sebagian orang, atau murni
musibah tanpa rekayasa, toh semuanya ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala sebagai teguran bagi kita agar kembali kepada-Nya. Bangkit dari lumpur
hitam dosa dan maksiat, untuk kemudian bertaubat dan mohon ampun kepada-
Nya.
Yang sangat disesalkan, di antara penduduk negeri ini banyak yang tidak sadar
dari maksiat mereka dengan musibah yang menimpa. Mereka malah melakukan
praktik-praktik kesyirikan, membuat sesajen penolak bala yang dipersembahkan
kepada roh-roh penguasa laut, penguasa gunung, penguasa darat, dan
sebagainya. Na’udzubillah min dzalik!!!
Sehubungan dengan momentum Ramadhan sebagai bulan untuk menambah
iman dan takwa, serta terkait dengan banyaknya musibah yang menimpa negeri
ini, bagus sekali untuk kita nukilkan nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz
rahimahullahu berkenaan dengan musibah yang menimpa anak Adam,
khususnya gempa bumi1. Mudah-mudahan nasehat ini bisa menjadi renungan
bagi anak negeri ini.
Beliau rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Memiliki
hikmah Maha Mengetahui terhadap apa yang Dia putuskan dan tetapkan,
sebagaimana Dia Maha Memiliki Hikmah lagi Maha Mengetahui dalam apa yang
Dia syariatkan dan perintahkan. Dia menciptakan apa yang diinginkan-Nya
berupa tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia tetapkan hal itu untuk menakut-nakuti
hamba-Nya dan mengingatkan mereka tentang hak-Nya dan memperingatkan
mereka dari kesyirikan, penyelisihan terhadap perintah-Nya dan melakukan
larangan-Nya.”
Selanjutnya beliau menyatakan: “Tidaklah diragukan bahwa gempa yang terjadi
pada hari-hari ini di banyak tempat/negeri merupakan sejumlah tanda-tanda
kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang dengannya Allah Subhanahu wa
Ta'ala hendak menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Seluruh musibah gempa
yang terjadi dan perkara lainnya yang membuat kemudharatan para hamba dan
menyebabkan gangguan bagi mereka, adalah disebabkan kesyirikan dan
maksiat.”
!َ ^
َ َF!َJٍ ِ'ْ َأ+َ5َ-َ0 '
َ ِ
َ R
ِ ^ َوَ! ا
َ َF!َJٍ ِ'ْ َأ+َkEَQ ْ'ِ
َ ^
َ ِ-ْ6َ=
“Tidaklah satu kebaikan menimpamu melainkan itu dari Allah dan tidaklah satu
kejelekan menimpamu melainkan karena ulah dirimu sendiri.” (An-Nisa`: 79)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Yang wajib dilakukan oleh seluruh
muslimin adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, istiqamah di atas
agamanya dan berhati-hati dari seluruh perkara yang dilarang berupa syirik dan
maksiat. Sehingga mereka memperoleh pengampunan, kelapangan,
keselamatan di dunia dan di akhirat dari seluruh kejelekan, dan Allah Subhanahu
wa Ta'ala menolak dari mereka seluruh musibah, lalu menganugerahkan kepada
mereka setiap kebaikan. Sebagaimana Ia berfirman:
ْ َ#ن َو
َأK
َ ْْ?َُى َأه#ُ ا ا5َ> ?َ ا.َ! وَا5ْIََ6َ# ِْ(ََْ ت
ٍ !ََ َآF '
َ ِ
َ! ِء-#ض ا
ِ ْرc
َ َِْ'ْ َوا#ُ ا َوF: َْ=َ!هُْ آ:َOَ َ !َ
ِF ن آَ!=ُ ا
َ ْ ُSِ-َْ
“Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa niscaya Kami bukakan
bagi mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka malah
mendustakan maka Kami pun menyiksa mereka disebabkan apa yang dulunya
mereka upayakan.” (Al-A’raf: 96)
Kemudian Syaikh menukilkan ucapan Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu:
“Di sebagian waktu Allah Subhanahu wa Ta'ala mengizinkan bumi untuk
bernapas panjang. Ketika itu terjadilah gempa/goncangan yang besar, sehingga
menimbulkan ketakutan pada hamba-hamba-Nya, lalu mereka kembali kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mencabut diri dari maksiat, tunduk patuh kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menyesali diri, sebagaimana ucapan sebagian
salaf ketika terjadi gempa bumi: ‘Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian.’
Ketika terjadi gempa di kota Madinah, ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu
berkhutbah dan memberi nasehat kepada penduduk Madinah dan beliau
berkata: ‘Kalau gempa ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal bersama kalian di
Madinah ini.’
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menasehatkan:
“Ketika terjadi gempa bumi dan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa
Ta'ala lainnya, gerhana, angin kencang dan banjir, yang wajib dilakukan adalah
bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tunduk menghinakan diri kepada-
Nya dan memohon maaf/kelapangan-Nya serta memperbanyak mengingat-Nya
dan istighfar pada-Nya. Sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
ketika terjadi gerhana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan
Al-Imam Muslim: “Apabila kalian melihat gerhana maka berlindunglah kalian
dengan zikir/mengingat Allah, berdoa kepada-Nya dan istighfar.”
Disenangi pula untuk memberikan kasih sayang kepada fakir miskin dan
bersedekah kepada mereka dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam:
ن
َ ْ ُ
ِ0ا#ََ
ُ(ُ ُ ا0َْ ،ُ'
ْ0 #َ
ُ ْا ا0ْ َ'ْ ِار$ِ ض
ِ ْرc
َ َْ
ُُْ ا0َْ ْ'َ $ِ
َ! ِء-#ا
“Orang-orang yang menyayangi (memiliki sifat rahmah) akan dirahmati oleh Ar-
Rahman. Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya Yang di langit akan
merahmati kalian.”2
ْ'َ h
َ ُ َ0َْ h
َ ُ َ0ُْ
ن
َ ْ ُ5ُِْ
ْ#ت وَاُ !َ5ُِْ
ْ#ُ(ُْ وَا8ْ,َF َِ! ُء#ْ َأو
ٍ ْ,َF ن
َ ْف َُْ ُو
ِ ْْ ُو,َ
ْ#!ِF ن
َ ْ َ(ْ5َ' َو
ِ َ ِ َْ5ُ
ْ#ن ا
َ ْ ُ
ِْ?ُ& َة َو
َ #ن ا
َ ْ ُ.ُْ <آَ! َة َو#ا
ن
َ ْ ُ,ُِْ َوR َ َ"ُ ا#ْ ُQ^ َو َرَ ِkَ#َ
ُ(ُ ُ أُو0ََْQ R
ُ ا
ْ'َ m َ 6َ= ْ'َ ' ٍ ُِْ ً+َFُْب ِ'ْ آِ َ ُ=َْ! آa # اm
َ 6َ= R ُ ْ"ُ ا5َ ً+َFُْب ِ'ْ آ ِ َ ُِ َ ْ ِم آ+َ!َِ?ْ#ا. ْ'َ َ َو-َ /ََ ٍ ِ-ْ, َ -َ R ُا
ِ"ََْ $ِ !َْ=a #ِ َ ِة اOyْ َوا. ْ'َََ َ َوQ !ً
ِْ-ُ ُ َ ََQ R
ُ ا$ِ !َْ=a #ِ َ ِة اOyْ َوا. R
ُ وَا$ِ ن ِ ْ َ ِ ْSَ,ْ#ن َ! ا
َ !َْ ُ آSَ,ْ# ا$ِ ن
ِ ْ َ ِ"ِْOَأ
1 Dinukil secara ringkas dari kitab Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 9/148-152.
2 HR. At-Tirmidzi no. 1924, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-
Shahihah, no. 922
3 HR. Al-Bukhari no. 7376
4 HR. Muslim no. 6793
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=374
Soal 2 : Apa hukum bagi seorang yang menjalankan puasa Romadlon akan tetapi
dia tidur di sepanjang siang ? Seseorang yang tidur dan bangun hanya untuk
menjalankan perkara yang difardlukan kemudian tidur kembali ?
Soal 3 : Seseorang yang bekerja sebagai sopir angkutan luar kota pada bulan
Romadlon, apakah dia dihukumi sebagai seorang yang bersafar (bepergian) ?
Dan bagaimana dengan amalannya?
Jawab : Na'am, dia dihukumi sebagai seorang yang bersafar (bepergian). Berlaku
baginya hukum sholat Qoshor, jama' dan berbuka puasa. Apabila dikatakan:
"Kapan mereka berpuasa dan beramal secara rutin?"
Kami katakan : "Mereka berpuasa pada hari-hari yang mudah untuk
menjalankannya". Adapun sopir dalam kota tidak berlaku atasnya hukum safar
dan wajib untuk menjalankan puasa. (Syaikh Ibnu Utsaimin)
Soal 7 : Apabila seorang yang berpuasa bermimpi mengeluarkan air mani pada
waktu siang di bulan Romadlon apakah membatalkan puasa ? Dan apakah wajib
baginya untuk menyegerakan mandi janabah ?
Soal 9 : Apa hukumnya suntik pada siang bulan Romadlon bagi orang yang
menjalankan puasa ?
Jawab : Berobat dengan suntik bagi orang yang menjalankan puasa ada dua
macam :
1.Suntik yang di dalamnya terdapat zat pengganti kekuatan badan, makan dan
minum maka batal puasanya karena sesungguhnya nash-nash syar'i menjelaskan
apabila didapatkan makna yang demikian (keadaan suntik yang didalamnya
terdapat zat pengganti kekuatan badan, makan dan minum), maka hukum
puasanya batal.
2.Suntik yang di dalamnya tidak terdapat zat pengganti kekuatan badan, makan
dan minum maka sah puasanya karena tidak ada makna yang dimaksud secara
syar'i. Maka sah puasanya sampai didapatkan perkara-perkara yang bisa
menyebabkan rusak/batalnya puasa dengan sebab perbuatannya tersebut secara
syar'i. (Syaikh Ibnu 'Utsaimin).
Soal 10 : Apa hukumnya orang yang membasahi kepala dan badannya dengan
air atau duduk di tempat khusus yang bisa menyegarkan badan pada saat puasa
bulan Romadlon ?
Jawab : Yang demikian boleh dan tidak membatalkan puasa. Sungguh Rosululloh
membasahi kepalanya dengan air karena disebabkan keadaan yang panas atau
haus dalam keadaan beliau berpuasa. Demikian juga shohabat Abdulloh bin
Umar membasahi bajunya dengan air untuk meringankan puasanya karena
disebabkan keadaan yang panas atau haus. Kesegaran yang didapat dalam
keadaan yang demikian tidak berpengaruh atas puasa seseorang. (Syaikh Ibnu
'Utsaimin).
Soal 11 : Apa hukumnya membaca doa qunut dalam sholat witir di malam bulan
Romadlon ? Apakah boleh ditinggalkan?
Jawab : Hukum membaca doa qunut dalam sholat witir di malam bulan
Romadlon adalah sunnah, apabila terkadang ditinggalkan hukumnya adalah
boleh. (Syaikh bin Bazz)
Jawab : Seorang suami yang mencumbu istrinya di siang hari bulan Romadlon
baik dengan tangan, wajah, ciuman dan kemaluannya (selama bukan jima’,ed)
apabila mengeluarkan air mani, maka batal puasanya. Apabila tidak
mengeluarkan air mani maka tidak batal puasanya. Sebagian para ulama
mengatakan: "Hukumnya makruh apabila tidak sampai mengeluarkan air mani,
apabila sampai mengeluarkan mani maka haram".
Soal 13 : Apabila seorang suami memaksa istrinya untuk berjima' pada siang hari
di bulan Romadlon dalam keadaan keduanya menjalankan puasa dan keduanya
tidak mampu untuk memerdekakan budak atau menjalankan puasa denda 2
bulan berturut-turut karena kesibukannya dalam mencari nafkah, apakah cukup
baginya memberi makan pada Si miskin ? Berapa kadar/jumlahnya ?
Jawab : Apabila seorang suami memaksa istrinya untuk berjima' pada siang hari
di bulan Romadlon dalam keadaan keduanya menjalankan puasa maka puasa
seorang istri tersebut sah dan tidak diwajibkan atasnya membayar
kaffaroh/denda.
Sedangkan suaminya, wajib baginya mengqodlo' puasanya dan membayar
kaffaroh/denda apabila terjadi hal yang demikian. Kaffaroh/dendanya yaitu
memerdekakan budak, apabila tidak ada maka wajib menjalankan puasa 2 bulan
berturut-turut, apabila tidak mampu maka memberi makan kepada 60 orang
miskin berdasarkan hadits Abu Hurairah t yang dikeluarkan oleh Bukhari dan
Muslim. (Syaikh Ibnu 'Utsaimin).
Soal 14 : Seorang perempuan dalam keadaan tua dan telah mengalami pikun
(hilang akalnya). Kemudian dia meninggal dan mempunyai hutang dua kali
Romadlon, dalam keadaan dia tidak mengetahui Romadlon dari orang lain
disebabkan karena pikunnya tersebut. Apakah diwajibkan bagi anaknya untuk
membayar fidyah atau berpuasa yang ditujukan kepadanya?
(Di terjemahkan oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Kitab Fatawa As Shiyam
Syaikh bin Baz dan Syaikh Utasimin, Syarhul Mumthi’ Ibnu Utsaimin, Ijabatus Sail
Syaikh Muqbil bin Hadi )
Datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: "Wahai
Rasulullah, aku telah binasa." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya:
"Apa yang membinasakanmu?" Orang itu menjawab: "Aku telah menggauli
(berjima’-pen) istriku di siang Ramadhan." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
kemudian menyatakan: "Mampukah engkau untuk memerdekakan budak?" Ia
menjawab: "Tidak." Kemudian kata beliau: "Mampukah engkau berpuasa selama
dua bulan berturut-turut?" Ia menjawab: "Tidak." Kemudian kata beliau:
"Mampukah engkau memberi makan enampuluh orang miskin?" Ia menjawab:
"Tidak." Kemudian iapun duduk dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memberi satu wadah kurma (sebanyak enampuluh mudd-pen) dan beliau
berkata: "Shadaqahkan ini." Orang itu bertanya: "Kepada yang lebih fakir dari
kami? Sungguh di kota Madinah ini tiada yang lebih membutuhkan kurma ini dari
kami." Mendengar itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga
terlihat gigi taringnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
"Pulanglah dan berikan ini kepada keluargamu."
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Kutubus
Sittah selain An-Nasai (Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah) dari jalan Az-Zuhri Muhamad bin Muslim dari Humaid bin Abdurrahman
dari Abu Hurairah z.
1. Ibrahim bin Sa’d dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Musa bin Ismail (lihat
Fathul Bari, 10/519) dan Ahmad bin Yunus (Al-Fath, 9/423).
2. Sufyan bin ‘Uyainah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ali bin Abdullah (Al-
Fath, 11/604) dan Al-Qa’nabi (Al-Fath, 11/605), sementara Muslim dari jalan
Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu
Numair (7/224), sementara Abu Dawud dari jalan Musaddad dan Muhamad bin
‘Isa (‘Aunul Ma’bud, 7/15), sementara At-Tirmidzi dari jalan Nasr bin ‘Ali dan Abu
‘Ammar Al-Husain bin Huraits dan beliau menyatakan: hasan shahih (Al-‘Aridhah,
3/198). Juga Ibnu Majah dari jalan Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah (2/312).
3. Syu’aib bin Abi Hamzah dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Abul Yaman (Al-Fath,
4/193).
4. Manshur dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan ‘Utsman dari Jarir (Al-Fath, 4/204),
sementara Muslim dari jalan Ishaq bin Ibrahim dari Jarir (7/226).
5. Al-Laits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Qutaibah (Al-Fath, 5/264),
sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya, Qutaibah dan Muhamad bin
Rumh (7/226).
6. Ma’mar dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Mahbub dari Abdul
Wahid (11/604), sementara Muslim dari jalan ‘Abd bin Humaid dari Abdurrazzaq
(7/227), sementara Abu Dawud dari jalan Al-Hasan bin ‘Ali dari Abdurrazzaq
(‘Aunul Ma’bud, 7/16)
7. Al-Auza’i dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Muqatil dari Abdullah
(10/568).
8. Ibnu Juraij dikeluarkan Muslim dari jalan Muhamad bin Rafi’ dari Abdurrazzaq
(7/227).
9. Malik dikeluarkan Abu Dawud dari jalan Al-Qa’nabi (‘Aunul Ma’bud, 7/18).
Hadits ‘Aisyah x semakna dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas
dan dalam Kutubus Sittah selain An-Nasai, diriwayatkan dari jalan Muhammad
bin Ja’far bin Az-Zubair dari ‘Abad bin Abdullah bin Az-Zubair dari ‘Aisyah x.
Dari Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair diriwayatkan dari dua jalan:
1. Abdurrahman bin Harits dikeluarkan oleh Abu Dawud dari jalan Muhamad bin
Auf dari Sa’id bin Abi Maryam dari Abdurrahman bin Abi Zinad dari Abdurrahman
bin Al-Harits.
ق
ٍ َ َ,ِF ِ"ِْ ن
َ َْ!ً! ِ)ْ ُوJ
(Al-‘Aun, 7/20).
1). ‘Amr bin Harits dikeluarkan Al-Bukhari secara mu’allaq dari Al-Laits (Al-Fath,
12/134) dan disebutkan secara maushul oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam
Taghliqut Ta’liq (5/237). Sementara Muslim dari jalan Abu Thahir bin Sarh dari
Ibn Wahb (7/229), dan Abu Dawud dari jalan Sulaiman bin Dawud Al-Mahri dari
Ibn Wahb (Al-‘Aun, 7/20)
2). Yahya bin Sa’id dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Abdullah bin Numair
dari Yazid bin Harun (Al-Fath, 4/190), sementara Muslim dari jalan Muhammad
bin Rumh dari Al-Laits (7/228) dan dari Muhammad bin Mutsanna dari Abdul
Wahhab Ats-Tsaqafi (7/228).
Fiqhul (kandungan) Hadits:
1. Orang yang disebut dalam riwayat di atas adalah Salamah bin Shakhr Al-
Bayadhi, sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, juga oleh
Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid dan Ibnu Mulaqqin dalam Al-I’lam.
Menurut Al-Hafidz, yang dimaksud adalah orang tersebut telah melakukan jima’
di siang hari pada bulan Ramadhan dengan sengaja dan ia tahu keharamannya
sehingga ia wajib membayar kaffarah.
Al-Imam Al-Bukhari dalam bab yang sama juga membawakan riwayat dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan sighah tamridh:
ُ َْآ:ُْ َ'ْ َو$ِFَ"ُ هُ َْ َ َة َأ,َ َر: ْ'َ َ َْن ِ'ْ َ ًْ! َأ
َ !َ8ٍَ َْ ِ ِ'ْ َر+ِ h
َ ض َو
ٍ َ َ َْ# ُ"َ8ْ?َ َِ! ُمJ ِ ْ ه#َ!َ"ُ َوِإنْ اJ.
ِ"ِFل َو
َ !َ 'ُ ْFُ ْ ٍد ا,ْ-َ
"Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan tanpa sebab dan bukan karena
sakit maka ia tidak bisa membayarnya dengan puasa selamanya kalaupun ia
lakukan."
Al-Hafidz berkata: "Riwayat di atas disebutkan secara maushul oleh Abu Dawud,
An-Nasai, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dalam Sunan mereka dan dishahihkan
Ibnu Hazm dari jalan Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah, keduanya dari Habib bin
Abi Tsabit dari ‘Ammarah bin Umair dari Abul Muthawwas dari ayahnya dari Abu
Hurairah z, mirip dengan riwayat di atas. Dalam riwayat Syu’bah dengan lafadz:
"… Tanpa rukhshah yang Allah berikan baginya maka ia tidak akan bisa
membayarnya walaupun ia puasa sepanjang masa."
3. Lafadz
G
ُ ََْه
yang dimaksud adalah "Aku terjatuh pada dosa", karena melakukan hal terlarang
yang diharamkan ketika puasa yaitu jima’. Dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah x
dengan lafadz
G
ُ ْ َ َْ0ا
: "Aku telah terbakar", maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya
kepadanya: "Mengapa?" Jawabnya: "Karena aku menggauli istriku di siang hari
bulan Ramadhan."
4. Hadits ini menunjukkan wajibnya bertanya tentang hukum syariat dari yang
dilakukan orang ketika menyelisihi syariat dan kekhawatiran dari dampak
bahayanya dosa.
6. Pelajaran adab agar seseorang menggunakan kata kiasan dalam hal-hal yang
tidak pantas disampaikan seperti penggunaan kata muwaqa’ah atau ishabah
sebagai isyarat dari jima’.
7. Hadits ini pula menunjukkan wajibnya membayar kaffarah bagi orang yang
berjima’ dengan sengaja, dan ini merupakan madzhab seluruh ulama kecuali
yang menyelisihinya dengan pernyataannya tidak wajib membayar kaffarah
demikian. Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan beberapa ulama lainnya, hal ini
mereka kiaskan dengan shalat karena tidak ada kaffarah bagi yang merusaknya.
Namun kias ini tidak berguna dengan adanya nash, selain juga karena
perbedaan yang jelas dimana tidak ada jalan bagi harta untuk mengganti shalat.
Berbeda dengan puasa, buktinya orang tua yang lemah dan lainnya yang tidak
mampu puasa (menggantinya dengan harta, -red).
Mungkin mereka akan mengatakan, bila kaffarah itu memang wajib maka tidak
akan gugur karena ketidakmampuan. Pernyataan inipun lemah karena justru
gugurnya kewajiban membayar kaffarah menunjukkan bahwa kaffarah itu wajib,
karena kalau tidak demikian (yaitu tidak wajib -red) tidak akan dinyatakan gugur
hukumnya.
8. Jika seseorang melakukan jima’ di siang hari Ramadhan karena lupa, apakah
puasanya batal sekaligus berkewajiban bayar kaffarah? Dalam masalah ini ada
tiga pendapat para ulama dan yang benar adalah dalam madzhab Asy-Syafi’i
bahwa puasanya tidak batal dan tidak wajib pula membayar kaffarah.
10. Hadits ini juga menunjukkan bahwa jima’ antara suami istri hanya terkena
satu kaffarah, dimana tidak disebutkan dalam riwayat di atas kewajiban kaffarah
atas si istri. Demikian pendapat terbenar bagi Al-Imam Asy-Syafi’i juga madzhab
Dawud dan madzhab Dzahiri. Sementara ulama lain membedakan antara istri
yang dipaksa melakukan jima’ -baginya tidak berkewajiban bayar kaffarah-
dengan istri yang melakukan jima’ dengan kesadaran -wajib membayar kaffarah-.
Demikian madzhab Malik, Al-Imam Ahmad dan Hanafiyyah. Adapula di kalangan
ulama yang menyamakan antara istri yang dipaksa maupun tidak tetap
berkewajiban bayar kaffarah, yaitu Al-Imam Al-Auza’i.
11. Madzhab jumhur ulama menyebutkan bahwa puasa kaffarah ini dilakukan
dua bulan dengan syarat berturut-turut.
ْeَِ
ْ"ُ اذْه,ْZََ ^
َ ََْأه
Artinya yang paling benar menurut Ibnul ‘Arabi, Al-Baghawi, Ibnu Abdil Bar dan
Ibnu Daqiqil ‘Ied adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan
shadaqah itu kepada orang tersebut untuk dibagikan kepada keluarganya karena
kefakirannya, sementara kewajiban kaffarah tetap dalam tanggungannya dan
harus ia bayar ketika mampu. Ini adalah madzhab Malik bin Anas.
Jika berjima’ dan tidak memiliki sesuatu kemudian mendapat shadaqah maka
hendaknya ia membayar kaffarah.
13. Hadits di atas juga mengajarkan berlemah lembut pada orang yang belajar
dan memberi pengajaran dengan cara lunak. Juga mengambil simpati orang
dalam agama.
14. Hadits itu juga mengajarkan penyesalan dari perbuatan maksiat dan merasa
takut dari akibat buruknya.
15. Bolehnya duduk di masjid untuk selain shalat tapi untuk kemaslahatan
lainnya seperti belajar dan mengajar.
17. Diterimanya berita dari seseorang berkaitan dengan hal pribadinya yang
tidak diketahui kecuali dari dirinya.
18. Ta’awun dalam ibadah dan membantu seorang muslim dalam hajatnya.
19. Orang yang mudhthar (sangat butuh pada apa yang ia miliki) tidak
berkewajiban untuk memberikan itu atau sebagiannya pada orang mudhthar
lainnya.
Walaupun sebagian ulama menyatakan tidak wajib lagi puasa atasnya karena
telah tertutupi dengan kaffarah. Juga karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam diam dan tidak memerintahkan puasa kepadanya.
Ada pula yang menyatakan bila dia tunaikan kaffarah dengan puasa maka telah
terbayar hutang puasanya. Tetapi bila tidak, maka tetap harus dia bayar karena
jenis amalannya berbeda, demikian pendapat Al-Auza’i.
: "Dan puasalah sehari sebagai gantinya." Dari riwayat Amr bin Syu’aib dari
ayahnya dari kakeknya, juga tersebut pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu dari jalan Abu Uwais, Abdul Jabbar dan Hisyam bin Sa’d, semuanya dari
Az-Zuhri, juga dalam mursal Sa’id bin Musayyib, Nafi bin Jubair, Hasan dan
Muhamad bin Ka’b. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar, dari keseluruhan jalan di atas
diketahui bahwa tambahan perintah untuk bayar puasa memiliki asal (ada
benarnya) (Al-Fath: 4/204)
21. Hadits dan atsar ini menurut Ibnu Hajar sengaja dibawakan oleh Al-Imam Al-
Bukhari untuk menunjukkan bahwa kewajiban membayar kaffarah
diperselisihkan oleh salaf, dan bahwa yang membatalkan puasa dengan jima’
maka wajib membayar kaffarah, sementara hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu beliau mengisyaratkan kelemahannya dengan sighah tamridh (bentuk
pasif). Kalaupun shahih, maka isinya menguatkan pendapat yang tidak
mewajibkan qadha (membayar puasa) bagi yang membatalkan puasanya
dengan makan, tetapi tetap hal itu menjadi tanggungannya sebagai tambahan
balasan baginya. Hal ini karena dengan diqadha berarti terhapus dosa darinya,
namun bukan berarti dengan tidak bisa diqadha berarti gugur pula kewajiban
membayar kaffarah pada sebab yang disebutkan yaitu jima’, dan pembatalan
karena jima’ berbeda jelas dengan pembatalan karena makan.
22. Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan udzur yang
dengannya gugur suatu hukum darinya atau berhak dengannya mengambil
sesuatu, maka keterangannya diterima dan tidak dibebani untuk mendatangkan
bukti, karena orang ini mengaku bahwa dirinya fakir dan mengaku telah merusak
puasanya.
23. Hadits ini ditulis sebagai sebuah karya secara tersendiri tentang penjelasan
dan keterangannya oleh Al-Imam Abdurrahim bin Hussain Al-‘Iraqi, dimana
beliau membahas dan meng-istimbath tentang 1001 masalah dalam satu hadits
ini. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap ahlul bid’ah yang menyatakan
bahwa ulama hadits hanya tersibukkan dengan periwayatan, pembicaraan
tentang sanad, al-jarh wat-ta’dil dan sejenisnya, dan tidak mengerti tentang fiqh
hadits.
ُ ِْ,ْ#ْ َ وَا5ِ R
ِ ا/َ#!َ,َ. & ُة
َ #& ُم وَا
َ -# وَا/ََ ل
ِ ْ ُQ َرR
ِ َ
ْ ُ اIْ# وَاR
ِ ب
E ' َر
َ ِْ
َ#!َ,ْ#ا
Sumber Bacaan:
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1319
K
a ُ آK
ِ َ
َ '
ِ ْF > َد َم اH
ُ َ!َ8ُ ُ+َ5َ-َIْ#ِ(َ! َ)ْ ُ ا#!َNْ َأ/َ#ِ ِإ+َT!ِ
ِ,ْSَQ H
ٍ ْ,ِb. ل
َ !َ R
ُ َ < اK
َU َو: h
ِإ،َ ْم#ْ َِ="ُ ا$ِ# !َ=َوَأ
ْ<ِيU َأ،ِ"ِF ع
ُ َ َ ُ"َ. َ ْ(َ7 ُ"َ!َ,َZ ِ'ْ َو$ِْUَأ
"Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan
berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah ta’ala berkata: ‘Kecuali
puasa, maka Aku yang akan membalas orang yang menjalankannya karena dia
telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsunya dan makannya karena
Aku’." (Shahih, HR. Muslim)
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa. Allah
ta’ala akan melipatgandakan pahalanya bukan sekedar 10 atau 700 kali lipat
namun akan dibalas sesuai dengan keinginan-Nya Ta'ala. Padahal kita tahu
bahwa Allah ta’ala Maha Pemurah, maka Dia tentu akan membalas pahala orang
yang berpuasa dengan berlipat ganda.
Hikmah dari semua ini adalah sebagaimana tersebut dalam hadits, bahwa orang
yang berpuasa telah meninggalkan keinginan hawa nafsu dan makannya karena
Allah Ta'ala. Tidak nampak dalam dzahirnya dia sedang melakukan suatu
amalan ibadah, padahal sesungguhnya dia sedang menjalankan ibadah yang
sangat dicintai Allah ta’ala dengan menahan lapar dan dahaga. Sementara di
sekitarnya ada makanan dan minuman.
Di samping itu dia juga menjaga hawa nafsunya dari hal-hal yang bisa
membatalkan puasa. Semua itu dilakukan karena mengharapkan keridhaan
Allah Ta’ala dengan meyakini bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala gerak-
geriknya.
!َ
= ِإ/ َ ُ ن
َ ِْ ُوF!#ْ َهُْ اUَْ ِ َأWِF ب
ٍ !َ-ِ0
Perlu menjadi catatan penting bahwa puasa bukanlah sekedar menahan diri dari
makan, minum dan hal-hal lainnya yang membatalkan puasa. Orang yang
berpuasa harus pula menjaga lisan dan anggota badan lainnya dari segala yang
diharamkan oleh Allah Ta’ala namun bukan berarti ketika tidak sedang berpuasa
boleh melakukan hal-hal yang diharamkan tersebut.
Maksudnya adalah bahwa perbuatan maksiat itu lebih berat ancamannya bila
dilakukan pada bulan yang mulia ini, dan ketika menjalankan ibadah yang sangat
dicintai Allah Ta'ala. Bisa jadi seseorang yang berpuasa itu tidak mendapatkan
faidah apa-apa dari puasanya kecuali hanya merasakan haus dan lapar.
Na’udzubillahi min dzalik.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpuasa
agar mendapatkan balasan dan keutamaan-keutamaan yang telah Allah ta’ala
janjikan. Diantaranya:
1. Setiap muslim harus membangun ibadah puasanya di atas iman kepada Allah
Ta’ala dalam rangka mengharapkan ridha-Nya, bukan karena ingin dipuji atau
sekedar ikut-ikutan keluarganya atau masyarakatnya yang sedang berpuasa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala
dari Allah Ta'ala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaqun
‘alaih)
3. Bersabar untuk menahan diri dan tidak membalas kejelekan yang ditujukan
kepadanya.
"Puasa adalah tameng, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa
janganlah dia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara.
Jika dia dicela dan disakiti maka katakanlah saya sedang berpuasa." (Shahih,
HR. Muslim)
Dari hadits tersebut bisa diambil pelajaran tentang wajibnya menjaga lisan.
Apabila seseorang bisa menahan diri dari membalas kejelekan maka tentunya
dia akan terjauh dari memulai menghina dan melakukan kejelekan yang lainnya.
Sesungguhnya puasa itu akan melatih dan mendorong seorang muslim untuk
berakhlak mulia serta melatih dirinya menjadi sosok yang terbiasa menjalankan
ketaatan kepada Allah k. Namun mendapatkan hasil yang demikian tidak akan
didapat kecuali dengan menjaga puasanya dari beberapa hal yang tersebut di
atas.
Puasa itu ibarat sebuah baju. Bila orang yang memakai baju itu menjaganya dari
kotoran atau sesuatu yang merusaknya, tentu baju tersebut akan menutupi
auratnya, menjaganya dari terik matahari dan udara yang dingin serta
memperindah penampilannya. Demikian pula puasa, orang yang
mengamalkannya tidak akan mendapatkan buah serta faidahnya kecuali dengan
menjaga diri dari hal-hal yang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan
pahalanya.
(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Saifudin Zuhri, Lc. Judul asli Puasa Tidak Sekedar
Menahan Makan dan Minum. URL Sumber
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=300)
Shalat Tarawih
Penulis: Al-Ustadz Hariyadi, Lc
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari
Dan
ْ'َ ن َ! َم
َ !ًََ! ِإْ
َ!=ً! َرF!َ-ِْ0ِ َ وَا6ُ ُ"َ# !َ َ?َ َم. ْ'ِ ِ"ِSْ=َذ
"Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama
telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah)." (Syarh
Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para
ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim
(5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga
pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90)
dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-
Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan
lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
dalam Syarh Shahih Muslim (6/282).
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat
ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, beliau
berkata: "Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan
dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan)
sendirian…" (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).
Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta
sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-
Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
ن
ل َأَ ْ ُQ َرR ِ ا/َJ R ُ َ َ ََْ"ِ اQت َو َ ٍ ذَا+ََْ# $ِ ِ ِLْ-َ
ْ# ا/ََ ِ"ِ.& َ َِF ،ٌُ =َ!س% /َJ ' َ ِ ِ+َِF!َ?ْ#ُ َ اNََ ،ُ!س5#ُ ا%
ُ,َ
َْU' اا َ ِ ِ+َْ#ِ ا+َNِ#!N#ِ َأ ِو ا+َ,ِFا#َْ(ِْ َ]ْ ُجْ ََْ ا#ل ِإ
ُ ْ ُQ َرR
ِ ا/َJ R ُ َ َ ََْ"ِ اQ َو. !
ََ [
َ َSْJل َأ َ !َ : َْ G ُ ِْي َرَأ:#ا
،ُْْ,َ5َJ َْ# َو$ِ5ْ,َ5ْ
َ ' َ ِ ج ِ ْْ]ُ ُو#َُْْ ا# ِإh ِإ$E= َأG
ُ ِْ)َO ض نَْأ َ َ ْ6ُ. ََُْْ. ^َ ِ#ْ َو َذ$ِ ن َ !َ8ََر
ن
ِإK
َ ُU # ِإذَا ا/َJ Pَ َ َ! ِمg
ِ ْ ا/َ0 ف
َ ِ َْ5َ e
َ ِ-ُ0 ُ"َ# ٍ َِ! ُم+ََْ#
4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa
dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit z, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda: "Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya
shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di
rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan." (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih
yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara
berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena
hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat
pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua
adalah:
Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam:
ن
ِإR
َ & ًة زَا َدآُْ ا
َ َJ $
َ ِْ ُ َوه. ِ ْ# ْهَ! اaََ !َ
ِْ '
َ َْF & ِة
َ َJ ِ)َ! ِء,ْ# ا/َ#& ِة ِإ
َ َJ ِ ْLَ6ْ#ا
"Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat
witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar." (HR.
Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: "(Hadits) ini
sanadnya shahih", sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221 no.108)
!َ ن
َ !َْ َ ِ<ْ ُ آ$ِ ن
َ !َ8َ َرh
َ ْ َو$ِ ِ ِ َْ /ََ َْى0ً َ)ْ َ َة ِإ+َ,ْ َرآ...
َ َ' ُ
َ ُ َأ
ُ ْF ب
ِ !َ]ْ# ا$
َF' ُأ
َ ْF e
ٍ ْ,ََ
ِْ
ً! آ.ي َو
ا ِر#س َ?ُ َْ! َأنْ ا
ِ !5ِ# َْى0ِِF ً َ)ْ َ َة+َ,َْرآ
"’Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b
dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat." (HR.
Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)
ن
َ !َس آ
ُ !5#ن ا
َ ْ ُْ ُ?َ ْ$ِ ن
ِ !َ' ُ
َ َ َز
ِ ْF ب
ِ !َ]ْ#ْ ا$ِ ن
َ !َ8َث َر
ٍ &
َ َNِF '
َ ِْ ْ)ًِ َو+َ,َْرآ
"Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu 23 rakaat." (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-
Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)
2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu
‘Abbas radiyallahu 'anhu :
ن
َأ$
ِS5# ا/َJ R
ُ َ َ ََْ"ِ اQن َو
َ !َ آ/Eَُ ْ$ِ ن
َ !َ8َ' َر
َ ِْ ْ)ِ َ+َ,َْ َ َرآ. ِ ْ#وَا
Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: "Abu Syaibah Ibrahim bin
‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah
menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau
bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : "Bagaimana shalat Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari
pendapat yang pertama)." Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan
Al-Irwa, 2/191 no. 445)
Wallahu a’lam
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Hariyadi, Lc, judul asli Shalat Tarawih. URL
Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=301)
Sedangkan jumlah rokaat sholat tarawih adalah 11 (sebelas) rokaat. Hal ini
berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ketika ditanya tentang sholat
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadlon, maka ia berkata:
! !نjj آjjjjjjj< $jjjjj !نjj8 رh و$jjjjj jjjj /jjjj ى0ة إjjj) +jjj,!ري؛ روا( رآjjjjjjj]S# اjjjjj-)
“Beliau sholat tidak melebihi dari sebelas rokaat baik dalam bulan Ramadlon
ataupun selainnya” (HR. Bukhori no. 1147; Muslim no. 125).
Jika melakukan sholat tarawih tiga belas rokaat juga tidak mengapa,
berdasarkan perkataan Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata:”Sholat
Rasulullah shlallahu ‘alaihi wa sallam adalah tiga belas rokaat”, yaitu sholat
malam. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shahihnya no. 1137; Muslim
dalam Shahihnya no. 764.
Jumlah sholat tarawih sebelas rokaat jelas jelas bersumber dari Ibn ‘Umar
radhiallahu ‘anhuma sebagaimana terdapat dalam Al-Muwaththo’ dengan sanad
(=jalan) yang paling shahih.
Jika sholat tarawih dilakukan lebih dari itu maka tidak mengapa, hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang
sholat malam, beliau bersabda:”Sholat malam, dua rokaat, dua rokaat”. Dan
beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasinya.
Riwayat dari para salaf tentang jumlah rokaat sholat tarawih bermacam-macam.
Tetapi yang lebih utama adalah mencukupkan dengan yang dikerjakan oleh Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sebelas rokaat.
Dan tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam dan para Khulafa’ Ar-Rosyidin melakukan sholat tarawih sebanyak 23
rokaat. Bahkan jelas riwayat dari Ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sholat malam 11 rokaat. Dimana beliau
memerintahkan ‘Ubai bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami manusia
dengan 11 rokaat.
Inilah riwayat yang tepat, bahwa apa yang beliau kerjakan adalah apa yang juga
dikerjakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan kami tidak mengetahui ada sahabat yang melakukannya melebihi 23 rokaat,
bahkan yang nampak tidaklah demikian.
Adapun ijma’ para sahabat radhiallahu ‘anhum maka tidak diragukan lagi
sebagai hujjah (=dalil) karena diantara mereka ada Khulafa’ Ar-Rasyidin yang
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk mengikuti
mereka, karena memang merekalah sebaik-baiknya generasi dari ummat ini.
Ketahuilah bahwa perbedaan pendapat tentang jumlah rokaat sholat tarawih dan
yang lainnya yang memang padanya terbuka pintu ijtihad, maka tidak
seyogyannya menjadi pintu untuk berpecah belah antar ummat, terlebih memang
salaf pun berbeda pendapat tentang masalah ini. Dan hal ini memang tidak
menutup kemungkinan pintu ijtihad. Dan alangkah baiknya perkataan ahli ilm
saat ada orang yang menyelisihi pendapatnya pada masalah yang terbuka pintu
ijtihad padanya:
Kita memohon kepada Allah untuk semuanya agar memberi petunjuk kepada
apa yang dicintai dan diridloi-Nya.
http://abdurrahman.wordpress.com/2007/08/30/jumlah-rokaat-sholat-
tarawih/#more-382
Jawab : Sunnahnya dia tetap mengikuti imam walaupun lebih dari 11 rakaat.
Karena jika dia berpaling sebelum selesainya imam dari shalatnya, dia tak
mendapatkan pahala qiyamul lailnya. Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
' !jjj مP g !م ا/jjjjj0 فjjjjjjjj5 ejjjjjj" آjj# !مjjjjjj +jjjjjjjj#
"Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam itu selesai dari shalatnya
maka ditulis untuknya pahala shalat lailnya" (HR. Abu Dawud No. 1375, Tirmidzi
No. 706 dan dishahihkan oleh AsySyaikh Albani)
http://almakassari.com/?p=178
ُ ا,ِS.ل َ! ا
َ <ِ ْ=َُْْ ُأ#ُْ ِ'ْ ِإEF َرh
َ ُ ا َو,ِSَ. ْ'ِ ِ"ِ=َِ دُو#ْ& ! َءَأو
ً َِ !َ ن
َ آُو:َ َ.
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah
kalian mengikuti wali selain-Nya. Sedikit sekali yang kalian ambil pelajaran.” (Al
A’roof : 3)
Juga dalam firman-Nya I :
Dalam banyak hadits Rosulullah r juga menekankan hal ini di antaranya hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory dan Imam Muslim dari Abu Hurairah t :
!َ َُُْ(َ= ُ"ْ5َ ُ ْ ُSِ5َْU!َ !َُُْ َو.َِْ"ِ َأF ُ ْا.َْ ُ"ْ5ِ ُْْ,ََْQَ!ا
“Apa yang telah aku larang untuk kalian, maka jauhilah dan apa yang telah aku
perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian.”
Demikian pula dalam perkara agama yang masih ada perbedaan pendapat
dikalangan para ‘Ulama, kaum muslimin diperintahkan untuk kembali kepada
prinsip diatas. Allah I menjelaskan :
Prinsip ini adalah jaminan keselamatan dari berbagai bentuk kesesatan selama
seorang muslim masih memeganginya, hal ini diberitakan oleh Rosulullah r
dalam sabdanya :
G
ُ َْ َآ. ُِْ '
ِ َْ َْ'ْ َأ# اaِ8َ. ِْي,َF ًَاFُْْ ِإنْ َأ-َ
َ. !َ
ِ(ِF ب
َ !َِ"ِ آ# ا$ِ5ُQَو
“Aku telah meninggalkan bagi kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat
sepeningggalku selama-lamanya selama kalian tetap berpegang teguh dengan
keduanya Kitabullah dan Sunnahku “
( Hadits Hasan. Lihat: “ Ilmu Ushul Bida’ ” hal. 3/3)
Bahkan seorang itu dinyatakan tidak beriman hingga dia memiliki prinsip ini dan
tunduk patuh terhadap ketentuan hukumnya( Rosulullah r ). Allah I
menerangkan :
&
َ َ ^
َ EF َو َرh
َ ن
َ ُ5ُِْ /َ0 ك
َ ُ
EَIُ !َ
ِ َ َLَ7 ُْ(َ5َْF ُ% h
َ ُِواLَ $ِ ِْ(ِ-ُ6ْ=ً! َأUَ َ0 !
ِ G
َ َْ8َ
ُ اEَ-ُِْ
ً! َو-َ.
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’ : 65)
Dalam ayat lain Allah I mengancam setiap orang yang menentang prinsip ini
setelah dia mendapatkan penjelasan :
ْ'َ\ َو
ِ ِ !َ)ُ ل
َ ُQ #ْ ِ ِ'ْ ا,َF !َ '
َ َSَ. ُ"َ# ْ(َُى#ْ اPِSَ َْ َ َوK
ِ ِSَQ '
َ ِ5ُِْ
ْ#"ِ اE# َ ُ= !َ َ./# َ ِ"ُِْ= َ َو5َ(َU َْ! َءتQًَِا َو
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami palingkan dia
kemana dia berpaling dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’ : 115 )
Maka tidak sepatutnya bagi setiap muslim memiliki pilihan lain setelah ada
ketetapan dari Allah I dan Rosul-Nya r . Allah I berfirman :
!َن َو
َ !َ' آ
ٍ ُِْ
ِ# h
َ ٍ َو+َ5ُِْ ِإذَا/َ8َ ُ"#ُ"ُ ا# ُQن َأنْ َأًْا َو َر
َ َُ ُ ُ(َ# ْ]َِ َ ُة#َأْ ِهِْ ِ'ْ ا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mu'min, apabila Allah dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Al Ahzaab :
36)
Sikap yang tepat adalah tunduk dan patuh seraya mengucapkan ( !َ5ْ,ِ
َQ َ! َو5ْ,َZ) َأ
“ Kami mendengar dan ta’at”, inilah sikap kaum mukminin sebagaimana dalam
firman Allah I :
!َ
=ن ِإ
َ !َل َ آ
َ ْ '
َ ِ5ُِْ
ْ# ُدُ ا ِإذَا ا/َ#"ِ ِإ#ِ"ِ ا# ُQُْ َ َو َرIَِ# ُْ(َ5َْF ُْ ا َأن# ُ?َ !َ5ْ,ِ
َQ !َ5ْ,َZ^ َوَأ
َ ِkَ#ن هُ ُ َوأُو
َ ُIِْ6ُ
ْ#ا
”Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada
Allah dan Rosul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah
ucapan."Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (An Nuur : 51)
Bila ini telah difahami bersama, maka kewajiban berikutnya adalah menggali ilmu
agama ini dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, hingga kaum
muslim lebih banyak mengenal agamanya dengan pinsip di atas dan tidak larut
dalam kejahilan yang berakibat tejadinya pengingkaran terhadap ajaran Islam.
Diantara ajaran Islam yang belum banyak difahami oleh kaum muslim adalah
waktu sahur dan berbuka puasa, hingga tatkala ada sebagian kaum muslimin
yang mengamalkan tuntunan Islam dalam pekara tersebut, muncul pengingkaran
dahsyat yang seharusnya tidak terjadi -bila kaum muslim kembali kepada prinsip
diatas- hanya dengan alasan : “ TIDAK SEPERTI KEUMUMAN MASYARAKAT ”.
Oleh sebab itulah, saya tuliskan risalah ini, semoga kaum muslimin memahami
permasalahan ini dengan pikiran jernih dan hati yang lapang sehingga
menganggapnya sebagai Masalah Ilmiyah yang harus dikembaikan kepada
prinsip di atas dan tanpa disikapi dengan arogan.
! وjjjj أرhّ &ح إjjjjjJg ! اG
ُ ,Q و! ا/jjjjjjjjjjjjjjj? . h إR!jjjjjjjjjjF "jjjjjj Gjjjjjjjjj آ. "jjjjj# وإejjjjjj=>
R!ىjjjjjjjjjjJ و/jjjj
I و/jjj "jj#> "SIjjjjjjJ وjjjjjQ
! وjjjjjjjjjjjj-. اjjjjjjjjjNآ
O>! وjjj= أن د اjjj
I# اR
' رب#!jjjjjjjjj,#ا
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
MUQADDIMAH ii
I. WAKTU PUASA 1
II. FAJAR KADZIB DAN FAJAR SHODIQ 1
III. KEUTAMAAN MAKAN SAHUR 2
IV. HUKUM MAKAN SAHUR 3
V. WAKTU SAHUR 3
VI. BATAS AKHIR SAHUR 5
VII. BILA MERAGUKAN TERBITNYA FAJAR 6
VIII.BID’AHNYA IMSAK MASA KINI 6
IX. FAEDAH-FAEDAH MENGAKHIRKAN SAHUR 9
X. WAKTU BERBUKA PUASA 10
XI. ANJURAN MENYEGERAKAN BERBUKA PUASA 12
I. WAKTU PUASA
Kapan dimulai puasa ? Dan kapan berakhir? Hal ini telah diterangkan secara
global oleh Allah I dalam firman-Nya :
Dalam Shohih Al-Bukhory (1917) dan Muslim (1091/35) dari jalan Abu Hazim
Salamah bin Dinar dari Sahl bin Sa’d t beliau menjelaskan : “ Tatkala ayat ini
turun, bila ada seseorang yang hendak puasa, dia mengikat di kedua kakinya tali
hitam dan tali putih, lalu dia terus saja makan dan minum hingga jelas nampak
baginya pemandangan (dua tali tadi).
Maka Allah I turunkan setelah itu (َ'ِ ِ ْLَ6ْ# ) اmerekapun tahu bahwa yang
dimaksud adalah malam dan siang.”
Juga disebutkan dalam Shohih Al-Bukhory (1916) dan Muslim (1090) dari jalan
‘Amir bin Syurohbil As-Sya’by dari Ady bin Hatim t, beliau menguraikan :
“ Tatkala turun ayat ini, saya mengambil ikatan hitam dan ikatan putih lalu saya
letakkan di bawah bantalku, saya lihat di malam hari namun tidak nampak bagiku,
saya pun pergi di pagi hari menuju Rosulullah r , lalu saya ceritakan hal tersebut
kepada Beliau r , maka Beliau r bersabda
"!َ
=^ ِإ
َ ِ#َ َا ُد ذَاQ K
ِ ْ#ض َو ا
ُ !ََF (َ! ِر5#" ا
“ yang dimaksud adalah kegelapan malam dan putihnya( terangnya ) siang”
Ayat dan hadits di atas menjelaskan kepada kita secara gamblang batas akhir
waktu shahur dan dimulainya waktu puasa. Yaitu dengan terbitnya fajar shodiq
sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Imam Asy-
Syaukany.
Dengan terbitnya fajar shodiq, masuknya waktu sholat shubuh, dimulainya waktu
puasa dan berakhirnya waktu sahur.
Lalu bagaimana dan apa fajar kadzib dan fajar shodiq itu? Masalah ini telah
dibahas oleh kakanda tercinta Al-Akh Agus Su’aidi dalam tulisannya “PEDOMAN
WAKTU SHOLAT ABADI SESUAI PETUNJUK NABI r ”. Silakan merujuk ke sana.
Sementara itu, penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas ditopang oleh banyak
hadits dari Rosulullah r . Diantaranya :
Dari ‘Aisyah $jjjb رR! اjj(5 dia berkata : Bahwasanya Bilal biasa adzan pada
waktu malam, maka Rosulullah r bersabda :
Hadits ini juga datang dari shohabat Ibnu Umar $jjjb رR! اj
(5 pada refrensi yang
sama.
Yang dimaksud dengan tebit fajar di sini adalah fajar shodiq bukan fajar kadzib,
sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Ibnu Mas’ud t . Lihat Shohih
Muslim no: 1093.
Al Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawy "
0 رR ا, wafat tahun 677 H, seorang
alim besar Madzhab Syafi’iy, dalam kitabnya Syarh Shohih Muslim (7/176 cet.
Daarul Kutub Al-Ilmiyah-Libanon tahun 1415 H/1995 M). Menjelaskan : “Hadits
ini menunjukkan kebolehan makan, minum, jima’(hubungan suami-istri) dan
segala sesuatu, hingga terbit fajar.”
Dari Samuroh bin Jundub t : Bahwa Rosulullah r bersabda :
h
َ ن
ُWَ َُْ َآ0ل =َِا ُء َأ
ٍ !َِF '
َ ِ ُ ِرI-# اh
َ َا َو:َض ه
ُ !ََSْ# ا/َ0 َ َِْ-َ
“Janganlah menipu kalian untuk sahur adzan Bilal ataupun cahaya putih ini (fajar
kadzib) hingga dia menyebar (fajar shodiq) “ (HR. Muslim no. 1094).
Bila keterangan di atas dapat difahami bersama, maka berikut ini saya bawakan
beberapa permasalahan seputar sahur :
ُوْاIَ-َ. ن
ِ َ $ِ ُ ْ ِرI-#ً ا+ََ َآF
“ Makan sahurlah kalian, karena Makan Sahur di dalamnya ada barokah”
Telah lewat hadits Anas t di atas yang menunjukkan perintah Makan Sahur,
sementara hukum asal perintah adalah wajib namun telah dinukil kesepakatan
para ‘Ulama tentang Sunnahnya Makan Sahur. Dinukil oleh Ibnu Mundzir
sebagaimana dalam Fathul Bari (4/639) dan Al-Imam An-Nawawy dalam Syarah
Shohih Muslim (7/179).
Yang merubah hukum wajib menjadi Sunnah adalah riwayat yang menjelaskan
bahwa Nabi r penah berpuasa Wishol, lihat Shohih Bukhory (1922).
Makan Sahur dikatakan sah dengan memakan sesuatu apapun walau hanya
meminum seteguk air.
V. WAKTU SAHUR
Ayat Surah Al-Baqoroh yang telah lewat di atas menunjukkan bahwa sahur bisa
dilakukan kapan saja pada waktu malam, yang penting tidak melebihi fajar
shodiq, namun telah datang banyak riwayat yang menganjurkan makan sahur
hingga mendekati fajar shodiq diantaranya adalah:
Dari Sahl bin Sa’ad t dia berkata : “saya makan sahur dengan keluargaku, lalu
saya bersegera untuk mendapat sujud (sholat fajar) bersama Rasulullah r “. (HR
Bukhory no. 1920)
“Yang dimaksud oleh Sahl bin Sa’ad adalah karena sahurnya sangat dekat
dangan tebitnya fajar(shodiq), maka dia bersegera dalam sahur dan hampir tidak
mendapatkan sholat subuh bersama Rasulullah r karena Beliau r memulai sholat
subuh pada waktu gholas (diawal waktu).”
Demikian diterangkan Al Qodhi ‘Iyad Al Maliky sebagaimana yang dinukil oleh Al
Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/67
Dari Zaid bin Tsabit t beliau berkata : “kami pernah sahur bersama Nabi r
kemudian Beliau bangkit untuk sholat” saya (Anas bin Malik ) bertanya : berapa
jarak antara adzan dan waktu sahur? Dia jawab : “seukuran lima puluh ayat” (HR
Bukhory no. 1921)
Demikian sedikit nukilan dari para ‘Ulama dahulu maupun sekarang, cukuplah
bagi kaum muslimin mengambil hadits Zaid bin Tsabit sebagai pedoman dalam
masalah dengan nukilan Ijma’ dari imam terkenal madzab Syafi’iy, yaitu Imam
An-Nawawy "
0 رR ا.
Untuk lebih menjelaskan tentang masalah ini, akan saya nukilkan -bi Idznillah-
khilaf para ‘Ulama tentang akhir batas sahur, sebagai gambaran bagi kaum
muslimin bahwa mereka mengakhirkan sahur tanpa mengenal istilah IMSAK
yang ada di zaman sekarang.
Perbedaan pendapat para ‘Ulama dalam masalah batas akhir sahur, adalah
sebagai berikut :
1. Jumhur ‘Ulama berpendapat, bahwa batas akhir sahur adalah terbitnya fajar
shodiq. Dalil mereka adalah ayat dan hadits yang telah disebutkan di atas.
2. Sebagian Salaf membolehkan sahur hingga cahaya putih telah tersebar di
atap-atap rumah dan gang-gang desa.
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakr, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit y .
Juga diriwayatkan dari sebagian tabi’in rohimahumullah jami’an, diantaranya :
Muhammad bin Ali bin Al-Husain, Abu Mijlaz, Ibrohim An-Nakho’iy, Abu Dluha,
Abu Wa’il, dan yang lainnya dari murid-murid Ibnu Mas’ud, Atho’, Al-Hasan Al-
Basry, Al-Hakam bin ‘Uyainah, Mujahid, ‘Urwah bin Zubair, Abu Sya’tsa Jabir bin
Zaid dan ini adalah pendapat Al-A’masy dan Jabir bin Rosyid.
3. Al-Imam Ibnul ‘Aroby Abu Bakr Al-Maliky "
0 رR ا, berpendapat, tentang
keharusan menahan diri dari larangan-larangan puasa bila telah mendekati fajar
shodiq. Sebagaimana dalam tafsirnya Ahkamul Qur’an, 1/105 cet. 1 Daarul
ihyaut turots al-aroby-Bairut tahun 1421 H/2001 M
Pendapat beliau ini disitir oleh ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, 1/211 cet.
Daarul Ihyaul Kutub Al-Arobiyah tanpa tahun. Dengan shighot tamridl ( $jjj ) ل
untuk menunjukkan kelemahannya dan beliau memberikan alasan bahwa
pendapat ini hanya berdasarkan kehati-hatian.
4. Ibnu Jarir At-Thobary "
0 رR ا, menukilkan dari sebagian orang yang
berpendapat bahwa akhir waktu sahur adalah terbitnya matahari.
Pendapat ini disanggah oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/228-229 karena
menyelisihi ayat di atas.
Pendapat yang shohih tanpa syak lagi adalah pendapat Jumhur ‘Ulama dahulu
maupun sekarang karena kuatnya argumentasi mereka yang berdasarkan ayat
dan hadits-hadits diatas.
Adapun yang diriwayatkan sebagian sahabat dan tabi’in di atas. Maka yang
dimaksud adalah mereka bersahur hingga merasa yakin fajar telah terbit,
demikianlah dijelaskan oleh Imam An-Nasa’i, Ibnu Katsir, dan para ‘Ulama
lainnya, sehingga pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat pertama.
Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/228.
Adapun pendapat yang selain ini. Maka tidak perlu ditoleh karena tidak berdasar
pada dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Untuk lebih menjelaskan lagi, bahwa sahur lebih afdlol diakhirkan dan batas
waktu akhir adalah terbit fajar, adanya sebagian ‘Ulama yang membolehkan
makan dan minum bila dia masih meragukan terbitnya fajar shodiq.
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Atho’, Al-Auza’y, Imam As-Syafi’iy , dan Imam
Ahmad bin Hambal rohimahumullah . Mereka berpegangan dengan ayat :
/َ0 '
َ َSََ ُ َُ# ُ
َْ]ْ# ا
ُ َْFَْ#' ا
َ ِ ِ
َْ]ْ#ْ َ ِد اQَ ْ#' ا
َ ِ ِ ْLَ6ْ#ا
“hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (Al Baqoroh :
187 )
Bila penjelasan di atas telah dipahami, maka dengan mudah dan ilmiyah kita
dapat menghukumi bid’ahnya IMSAK di zaman sekarang ini, dimana ada
sebagian faham sempalan yang menentukan waktu IMSAK jauh sebelum fajar
shodiq muncul.
Untuk lebih membuktikan lebih akurat lagi tentang hal ini, maka saya jelaskan
hal-hal penting yang merupakan prinsip Islam sebagai berikut :
1. Berpuasa adalah ibadah, bahkan termasuk rukun Islam. Untuk itulah Allah
mewajibkannya dan memberi pahala orang yang melaksanakannya serta
mengancam orang-orang yang meninggalkannya.
Hal ini adalah perkara yang telah di maklumi oleh segenap kaum Muslimin. Allah
I berfirman :
2. Sementara ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah I melainkan bila terpenuhi
dua syarat :
a. Ikhlas
Yaitu mempersembahkan Ibadah tadi hanya untuk Allah I semata dan tidak
boleh untuk yang selain-Nya. Allah I berfirman :
Bila syarat ini hilang, maka orang itu terjatuh pada perbuatan syirik yang
menghapus amalannya, firman Allah I :
ْ'ِkَ# G
َ ْْ َآ7' َأ
ََSْIََ# ^
َ َُ
َ '
َ= ََُ#' َو
َ ِ '
َ ِِQ!َ]ْ#ا
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Az Zumar : 65)
b. Mengikuti dan sesuai dengan Sunnah Rosulullah r baik dalam hal kaifiyah
(tata cara), waktu, tempat, dan yang lainnya. Allah I berfirman :
Bila syarat ini hilang, maka diapun terjatuh pada Perbuatan Bid’ah. Sabda Rosul
r:
ْ'َ K
َ ِ
َ &
ً َ
َ m
َ َْ# ِ"ََْ !َ=ُ ْ روا[ َر د َ(ُ َ َأjjjjj- ' +jjjjj)T!]
“ Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang bukan dari kami maka dia
tertolak”
Dari sinilah, para ‘Ulama menetapkan suatu kaidah yaitu “hukum asal ibadah
adalah haram hingga ada dalil (Al-Kitab dan Sunnah) yang mensyari’atkannya”
Dengan demikian jelaslah, bahwa Imsak adalah bid’ah mungkaroh yang harus
dilenyapkan oleh kaum muslimin dari bumi pertiwi ini, sebab imsak tidak
dilandasi oleh dalil dan banyak menimbulkan kesalahan-kesalahn fatal dalam
agama seseorang.
Berikut ini saya bawakan penjelasan para ‘Ulama tentang masalah ini agar kaum
muslimin merasa mantap dan yakin akan kebid’ahan Imsak.
Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany "
0 رR ا.
“Faidah : Ketahuilah! Bahwa tidak ada pertentangan antara pensifatan Beliau r
terhadap fajar shodiq dengan “Warna Merah” dan pensifatan Allah I terhadapnya
dengan firman-Nya I “Tali Putih” sebab yang dimaksud adalah –wallahu a’lam- :
Cahaya putih bercampur merah atau terkadang bercahaya putih dan terkadang
bercahaya merah, sesuai dengan perbedaan Mathla’.
Hal ini saya lihat sendiri bekali-kali dari rumah saya di Jabal Hamlan sebelah
timur Omman. Sehingga hal ini mempekuat keyakinan saya akan kebenaran
berita yang disampaikan oleh sebagian orang yang sangat berkeinginan
membetulkan ibadah kaum muslimin bahwa adzan fajar disebagian negara-
negara arab diawalkan sebelum fajar shodiq antara 20 –30 Menit yaitu sebelum
fajar kadzib juga!?
Saya seringkali mendengar Iqomat sholat fajar dari sebagian mesjid bersamaan
dengan terbitnya fajar shodiq, mereka adzan setengah jam sebelumnya.
Akibatnya, mereka sholat sunnah fajar sebelum waktunya, mereka terkadang
pada bulan Romadhon menyegerakan pelaksanaan sholat fardu sebelum
waktunya, sebagaimana yang saya dengar di radio DAMASKUS saat saya
sedang makan sahur Romodhon tahun lalu ( 1406 H).
Ini semua berakibat mempersempit waktu orang dengan segera Imsak dari
makan dan mengakibatkan batalnya sholat subuh. Hal-hal diatas disebabkan
mereka berpatokan dengan jadwal waktu falak dan berpaling dari jadwal waktu
syar’i.
Ini adalah peringatan, dan peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin..”
( Silsilah As-Shohihah No: 2031, lihat Nudhumulfaroid karya Abdul latif 1/512-
513 cet. 1 Maktabatul Ma’arif-Riyadl-tahun 1420 H/1999 M)
ٌKْ َ َ '
َ Eَُ
ِْ# * '
َ ِ:#ِ(ِْ َ'ْ هُْ ا.!ََJ ن
َ َُ!هQ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya, ” (Al Maa’uun : 4-5)
( lihat : Al-Mulakhosul Fiqh hal. 229-230 cet. Daarul Haitsam-Cairo, tanpa tahun )
Sebagai penutup pembahasan masalah seputar sahur, berikut ini saya bawakan
faedah mengakhirkan sahur agar kaum muslimin melihat betapa mudah dan
ringan agama Islam ini dan betapa bid’ah Imsak telah memberatkan kaum
muslimin.
Faedah-faedah mengakhirkan sahur ini saya rangkumkan dari penjelasan para
‘Ulama dahulu maupun sekarang .
Diantaranya adalah :
1. Mencontoh Rosulullah r dan mencocoki Sunnahnya.
Ini adalah faedah terbesar dan terpenting. Kalaulah tidak ada faedah pada
mengakhirkan sahur melainkan ini, niscaya sangat cukup sebagai bukti
keutamaannya.
Sebab, mencocoki Sunnah Rosulullah r dalam satu amalan ibadah adalah salah
satu syarat diterimanya suatu amalan dan hal inilah yang didambakan oleh
setiap muslim yang masih bersih fithronya. Apalagi kalau amalan ini dikerjakan
ditengah-tangah sebuah masyarakat yang terkukung dalam cengkraman bid’ah
Imsak. Maka pahalanya lebih berlipat lagi. Rosulullah r pernah bersabda :
ْ'َ '
َQ $ِ & ِم
َ ْQِ ْ#ً ا+5ُQ ً+َ5َ-َ0 ُ"ََ !َْ ُهUْ ُ َأU َ'ْ َوَأK
َ ِ
َ !َ(ِF $jjj#ِ َ ْ ِم إ+َ!َِ?# اh
َ
َ ُ?ْ5َ ْ'ِ ُِْ ِرهUْءًا ُأ$َ7
“Barang siapa yang menghidupkan kembali dalam islam ini Sunnah yang baik,
maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang
mengamalkannya hingga hari kiamat, tanpa mengurangi dari pahala mereka
sedikitpun.”
ُ% اa
ِ.َ! َم َأE#ل ا
َ ىِإK
ِ ْ#ا
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (Al Baqoroh :
183)
Maka puasa itu dimulai dari terbitnya fajar shodiq hingga masuk waktu malam
sebagaimana konteks lafadz ayat ini, lalu kapan masuknya waktu malam yang
itu adalah waktu berbuka puasa dan dikumandangkannya adzan maghrib ?
Berikut ini saya bawakan hadits-hadits Rosulullah r yang menjelaskan ayat di
atas :
Dalam Shohih Al-Bukhory no. 1954 ( lafadz hadits ini adalah lafadz Imam Al-
Bukhory) dan Muslim no. 1100/51 dari jalan Hisyam bin ‘Urwah t dari Bapaknya
dari Ashim bin Umar bin Al-Khoththob t dari bapaknya berkata : Rosulullah r
bersabda :
ِإذَاK
َ َSْ َأK
ُ ْ#َ! ِ'ْ ا5َُ َ هَ!هFْ(َ! ُر َوَأد5#َ! ِ'ْ ا5ُ هَ!هG
ِ َFَ َ َوm
ُ ْ
)#ِ ُ َأَْ َ َ?َْ اT!#ا
“Bila Malam telah datang dari arah sini (timur) dan Siang telah pergi dari arah sini
(barat) dan telah tenggelam matahari, maka sungguh orang puasa telah
berbuka .”
Dalam Shohih Al-Bukhory no. 1955 dan Muslim no. 1101/52-53 dari jalan Abu
Ishak As-Syaibany "
0ا رR dari Abdullah bin Aufa t beliau berkata : “ Kami
pernah bersama Rosulullah r dalam suatu safar sedangkan Beliau r berpuasa,
tatkala matahari telah hilang Beliau berkata kepada sebagian kaum : “ Wahai
fulan! Bangunlah buatkan untuk kita Al-Jadh (tepung sawik dicampur dengan air
diaduk hingga rata, pent). ” dia berkata : “ Wahai Rosulullah! Seandainya engkau
tunda hingga lebih sore?” kata Beliau : ”Bangunlah buatkan kami Al-Jadh !” dia
berkata : ”wahai Rosulullah! Kalau engkau tunda hingga lebih sore .” , kata
Beliau : “Turunlah buatkan kami Al-Jadh !!” dia berkata :” sesungguhnya ini
masih terang!!”, kata Beliau :” Turunlah! Buatkan kami Al-Jadh!!!” diapun turun
lalu membuatkan mereka Al-Jadh, Rosulullah r pun meminumnya lalu bersabda :
َرَأُْ ُ ِإذَاK
َ ْ# َْ اK
َ َSْ َ! ِ'ْ َأ5ُِ ُ َأَْ َ َ?َْ هَ!هT!#ا
“ Bila kalian telah melihat malam telah datang dari arah sini (timur), maka telah
berbuka orang yang puasa itu.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany "
0 رR اjuga menerangkan : “Dalam hadits ini
juga ada anjuran menyegerakan berbuka puasa, dan tidak ada keharusan
menahan sebagian malam secara mutlak, bahkan kapan saja diyakini
tenggelamnya matahari. Maka telah halal berbuka puasa.” (Fathul Bari 4/711)
Dari penjelasan dua hadits di atas berikut uraian dua Imam dari Madzhab Syafi’iy
di atas, jelaskan bagi kita bahwa berakhirnya waktu puasa adalah semata-mata
tenggelamnya matahari. Hal ini telah dipraktekkan oleh Rosulullah r dan para
shohabatnya sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Abi Aufa t di atas.
Juga secara khusus telah dilakukan oleh seorang shohabat yang mulia Abu Said
Al-Khudry t , sebagaiman yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi
Syaibah dari jalan Abdul Wahid bin Aiman dari bapaknya dia berkata : “Kami
pernah masuk kepada Abu Sa’id lalu dia berbuka puasa semetara kami melihat
bahwa matahari belum tenggelam.”
Atsar ini sanadnya Hasan. Abdul Wahid bin Aiman LA BA’SA BIHI ( tidak
mengapa dalam hadits) ya’ni dihasankan haditsnya, sementara bapaknya, AL-
IMAN AL-HABASY AL-MAKKY dia TSIQOH (terpercaya haditsnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar "
0 رR اmenjelaskan tentang atsar di atas “Sisi pendalilan
dari atsar ini adalah bahwasanya Abu Sa’id tatkala merasa yakin matahari telah
tenggelam, beliau tidak mencari keterangan tambahan lain dan tidak pula
menoleh kepada persetujuan orang-orang yang disekitarnya…” ( Fathul Bari
4/710)
Untuk memperjelas lagi makna ayat di atas. Berikut ini saya bawakan penjelasan
sebagian ahli tafsir tentang ayat di atas, diantaranya :
Al-Imam Al-Qodli Abu Bakar Ibnul Aroby Al-Maliky "
0 رR اdalam Ahkamul
Qur’an, 1/105. Menjelaskan :
“ Masalah ke sepuluh : firman-Nya I : ُ% اa
ِ.َ! َم َأE# ا/َ# ِإK ِ ْ#ا
Robb kita yang Maha Tinggi mensyaratkan kesempurnaan puasa hingga
jelasnya waktu malam, sebagaimana Allah I membolehkan makan hingga
jelasnya waktu siang, namun bila telah jelas waktu malam, maka Sunnahnya
adalah menyegerakan buka puasa.” Lalu beliau membawakan hadits Abdullah
bin Abi Aufa diatas.
Al-Imam Ibnu Katsir As-Syafi’iy "
0 رR اdalam tafsirnya 1/230 menguraikan:
“Firman-Nya I (ُ% اa
ِ.َ! َم َأE# ا/َ# ِإK
ِ ْ# ) اmengharuskan berbuka puasa ketika
tenggelamnya matahari sebagai hukum syar’iy.”
Al-Imam Asy-Syaukany Al-Yamany "
0 رR اdalam Fathul Qodir, 1/339
menjelaskan pula :
“Firman-Nya I (ُ% اa
ِ.َ! َم َأE# ا/َ# ِإK
ِ ْ#) ا, di dalamnya ada ketegasan bahwa puasa
memiliki batas akhir yaitu malam. Maka ketika malam datang dari arah timur dan
siang pergi dari arah barat, orang puasa berbuka puasa dan halal baginya
makan, minum, dan yang lainnya.”
Dua hadits yang saya bawakan di atas menunjukkan praktek Rosulullah r dan
para sahabatnya y dalam hal menyegerakan berbuka puasa
Soal :
“ Apakah hukum orang yang tidur sepanjang siang hari dibulan Ramadhan, ia
tidak bangun kecuali ketika saat berbuka ?”
Jawab :
Orang yang tidur sepanjang siang hari dibulan Ramadhan, puasanya tetap sah
jika memang sebelum terbit fajar dia telah berniat puasa. Akan tetapi, haram
atasnya meninggalkan shalat-shalat (disepanjang siang itu) dan meninggalkan
shalat berjamaah jika dia termasuk golongan yang wajib shalat berjama’ah di
masjid.
(Jika dia melakukan itu), berarti dia telah meninggalkan dua kewajiban (yakni
kewajiban puasa dan shalat), dia sangat berdosa karena meninggalkan
keduanya. Kecuali jika perbuatan seperti itu bukan kebiasaannya, artinya sangat
jarang dia melakukannya, dan dia pun tetap berniat mengerjakan shalat.
Berkaitan dengan itu pula, sungguh sangat di sayangkan bahwa banyak orang
yang membiasakan diri begadang sepanjang malam di bulan Ramadhan, lalu
ketika telah dekat waktu terbit fajar, mereka segera makan sahur kemudian tidur
sepanjang siangnya. (Dengan keadaan seperti itu), mereka meninggalkan
sholat-sholat di waktu siang, padahal sholat lebih di tekankan dan lebih di
wajibkan daripada puasa, bahkan tidak sah puasa orang yang tidak shalat !
Perkara ini sangat berbahaya sekali.
Perbuatan-perbuatan maksiat dosanya lebih besar dan bahanya lebih kuat (jika
dikerjakan) pada bulan Ramadhan. Begitu pula pada saat-saat dan tempat-
tempat yang (pandang) mulia (dalam ajaran agama), lebih kuat daripada
selainnya.
Wallahu a’lam.
Maroji’ :
Al-Muntaqo min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (3/243).
Ada golongan ketiga yang tidak bisa melakukan puasa, baik secara langsung
maupun qadha. Misalnya, orang lanjut usia yang sudah sangat lemah dan orang
sakit yang tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya. Golongan ini diberi
keringanan oleh Allah Azza wa Jalla maka Dia mewajibkan kepadanya suatu
pengganti puasa, yaitu memberi makan orang-orang miskin pada setiap hari
setengah sha' makanan pokok.
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (Qs. Al-
Bagarah: 184)
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhumaa berkata, "yaitu orang lelaki yang sangat tua
dan seorang wanita yang sangat tua pula. Keduanya tidak mampu melakukan
puasa. Maka, keduanya hendaknya memberi makanan pada setiap hari kepada
satu orang miskin." (HR. Al-Bukhari) (1) Footnote
Orang sakit yang tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya hukumnya seperti
orang yang sangat tua. Maka, la harus memberikan makanan setiap hari kepada
seorang miskin.
Sunnah berbuka bagi orang sakit yang jika dengan berpuasa malah
membahayakan dirinya. Juga, sunnah berbuka bagi orang yang safar
(bepergian) yang jarak safarnya membuat dia boleh mengqashar shalat. Firman
Allah Azza wa Jalla, (yang artinya)
"Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada
hari-hari yang lain." (Qs. Al-Baqarah: 185)
Artinya, la tidak berpuasa dan mengqadha-nya pada hari-hari yang lain sejumlah
puasa yang la batalkan. Allah Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika diberi kesempatan untuk memilih antara
dua perkara, beliau memilih yang paling mudah dari keduanya. (2) Disebutkan
dalam kitab Ash-Shahihain,
Sedangkan jika seorang yang dalam bepergian atau sedang sakit tetap
melakukan puasa sekalipun dengan susah payah, maka puasanya tetap sah
dengan dibarengi kemakruhan.
Wanita yang sedang haidh atau nifas diharamkan bagi mereka berpuasa,
puasanya tidak sah.
Wanita yang sedang hamil atau sedang menyusui, keduanya harus mengqadha
puasa yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain. Seraya mengqadha puasa
yang ditinggalkannya karena kekhawatiran terhadap keadaan anaknya, wajib
pula memberi makan kepada orang miskin selama mengqadha hari-hari yang
ditinggalkan.
Wajib berbuka puasa bagi orang yang sangat membutuhkannya karena sedang
menyelamatkan orang lain dari bahaya maut, seperti, orang tenggelam dan lain
sebagainya.
Ibnul Qayyim berkata, "Penyebab dibolehkan berbuka puasa ada empat: safar,
sakit, haidh dan rasa takut terhadap munculnya madharat karena puasa, seperti,
wanita menyusui dan wanita hamil. Demikian pula perkara orang tenggelam." (5)
Setiap muslim harus menentukan niat puasa wajib dari sejak malam. Misalnya,
niat puasa Ramadhan, puasa kafarat, dan puasa nadzar. la harus meneguhkan
niat bahwa dirinya akan melakukan puasa Ramadhan atau qadhanya, atau
puasa kafarat, atau puasa nadzar. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, (yang artinya)
"Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung niatnya, dan bagi setiap
orang itu apa yang ia niatkan. "(6)
Disebutkan dalam hadits dari Aisyah Radhiallahu ‘anha secara marfu', (yang
artinya)
"Barangsiapa yang tidak berniat puasa sejak sebelum fajar, maka tidak ada
(pahala) puasa baginya. "(7)
Barangsiapa berniat puasa pada siang hari, misalnya, orang yang kesiangan dan
belum makan setelah terbit fajar, lalu berniat berpuasa, maka itu tidak cukup
baginya, kecuali dalam puasa sunnah.
Sedangkan dalam "puasa wajib" tidak cukup dengan niat pada siang hari karena
sepanjang hari itu wajib berpuasa. Niat tidak berbarengan dengan ibadah yang
sedang berjalan.
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat di siang hari. Berdasarkan hadits
Aisyah Radhiallahu ‘anha (yang artinya)
"Suatu hari Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam masuk kepadaku seraya bertanya,
Apakah ada sesuatu padamu?' Kami menjawab, 'Tidak.'Maka, beliau berujar,
“Jadi, aku berpuasa." (HR. Jama'ah, kecuali Al Bukhari) (8)
Syarat sahnya puasa sunnah dengan niat di siang hari adalah tidak ada sesuatu
yang menghapuskan puasa sebelum niat, misalnya, makan, minum, atau lainnya.
Jika sebelum niat melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, maka puasanya
tidak sah. Demikian tanpa
adanya khilaf (perbedaan).
Footnote
(1) Al Bukhari (4505) (8/225) Bab “At-Tafsir” 25.
(2) Muttafaqun 'alaih dari hadits Abu Hurairah: Al-Bukhari (3560) (6/692) dan
Muslim (5999) (8/82).
(3) Muttafaqun `alaih dari hadits Jabir bin Abdullah: Al-Bukhari (1946) (4/233)
Bab "Ash Shaum" 36, dan Muslim (2607) (4/233) Bab "Ash-Shiyam" 92 tanpa
kata-kata ' “dari”.
(4) Lihat kitab Zadul Ma'ad (2/29) dengan sedikit perubahan.
(Referensi : Buku : “Ringkasan Fiqih Islam” Panduan Ibadah Sesuai Sunnah Jilid
2 Hal. 97-101 Penerbit: Pustaka Salafiyah Cetakan Pertama : juni 2006/Jumada
Ula 1427 H Penerjemah: Akhmad Yusjawi)
"Maka(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain." (Qs. Al-Bagarah: 184)
Akan tetapi jika bulan Sya'ban tersisa sejumlah puasa yang harus digadha, ia
wajib melakukan qadha dengan cara berurutan. Demikian menurut ijma'. Hal itu
karena sempitnya waktu.
"Suatu ketika aku memiliki hutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa
mengqadha puasa Ramadhan, melainkan pada bulan Sya'ban karena kesibukan
melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam" (Muttafaqun `alaih) (1)
Hadits ini menunjukkan bahwa waktu meng-qadha itu luas hingga bulan Sya'ban
tidak tersisa selain sejumlah puasa yang ditinggalkan Maka, wajib baginya
berpuasa sejumlah hari itu sebelum Ramadhan berikutnya.
Orang yang meninggal dengan kewajiban qadha padanya sebelum tibanya bulan
Ramadhan yang akan datang, maka tidak ada kewajiban atasnya karena la
menundanya dalam waktu yang diperbolehkan.
Jika meninggal setelah Ramadhan yang berikutnya dan menunda qadha karena
adanya udzur, seperti, sakit atau dalam perjalanan hingga disusul dengan
tibanya bulan Ramadhan berikutnya, maka ia tidak menanggung beban apa-apa
juga.
Jika la menundanya tanpa udzur apa pun, maka ia wajib membayar kafarat
dengan cara mengeluarkan atas namanya makanan_untuk orang-orang miskin
sejumlah hari puasa yang la tinggalkan
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, "Dilakukan puasa nadzar atas namanya dan
tidak demikian untuk puasa fardhu yang asli. Ini adalah madzhab Ahmad dan
lainnya, ini nash yang datang dari Ibnu Abbas dan Aisyah. Itu selaras dalil dan
qiyas karena puasa nadzar pada dasarnya menurut syariat adalah bukan puasa
wajib, akan tetapi diwajibkan oleh hamba kepada dirinya. Maka, menjadi
semacam hutang atas dirinya. Oleh karena itu, Nabi menyerupakannya dengan
hutang.
Adapun puasa yang dari awalnya telah difardhukan oleh Allah Azza wa Jalal
maka puasa itu adalah salah satu dari rukun Islam. Maka, bagaimanapun tidak
bisa digantikan oleh orang lain dalam pengamalannya, sebagaimana shalat dan
syahadat. Sesungguhnya yang dimaksudkan dari keduanya itu adalah ketaatan
hamba kepada dirinya sendiri dan kesiapannya untuk memenuhi hak ibadah
yang merupakan tujuan penciptaan makhluk. Yang demikian ini tidak bisa
diwakilkan, dan shalat tidak bisa diwakilkan kepada yang lain."
Sedangkan nadzar puasa atau lainnya, maka baleh dilakukan orang lain tanpa
khilaf (perbedaan) karena berdasarkan hadits-hadits shahih.
(1) Muttafaqun'alaih: Al-Bukhari (1950) (4/240) Bab "Shaum" 40, dan Muslim
(2682) (4:2 Bab "Shiyam." 151.
(2)Muttafaqun 'alaih dari hadits Ibnu Abbas: Al-Bukhari (1953) (4/245); Muslim
(2691) (4/266) dan lafadz-nya ... "Puasalah kamu untuk ibumu."
(Referensi : Buku “Ringkasan Fiqih Islam” Panduan Ibadah Sesuai Sunnah Jilid
2 Hal. 93-96 Penerbit: Pustaka Salafiyah Cetakan Pertama : Juni 2006/Jumada
Ula 1427 H Penerjemah: AL Ustadz Akhmad Yusjawi)
“Ketika aku tidur , datanglah dua orang pria kemudian memegang dhabaya (28),
membawaku kesatu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata, “Naik.”
Aku katakan , “Aku tidak mampu.”
Keduanya berkata, “Kami akan memudahkanmu.”
Akupun naik hingga sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar
suara yang keras. Akupun bertanya, “Suara apakah ini?” Mereka berkata, “Ini
adalah teriakan penghuni neraka.” Kemudian keduanya membawaku, ketika itu
aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki diatas, mulut mereka
rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka.
Aku bertanya, “Siapakah mereka?” Keduanya menjawab, “Mereka adalah orang-
orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka (29)…” (30)
Hadits ini lemah, tidak shahih. Pembahasan hadits ini secara rinci akan dibahas
di akhir kitab ini.
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terbitan Pustaka Al-
Haura, Jojakarta )
Footnote:
(28) Yakni : Dua lenganku.
(29) Sebelum tiba waktu berbuka puasa
(30) Riwayat An-Nasa’I dalam Al_Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf
(4/166)
Dan Ibnu Hibban (no.1800-zawaidnya) dan Al Hakim (1/430) dari jalan Abdur
Rahman bin Yajid bin Jabir, dari Salim bin Amir dari Abu Umamah. Sanadnya
Shahih
1. Hikmahnya
Waktu dan hukum yang diwajibkan atas Ahlul Kitab adalahi tidak boleh makan,
minum, dan jima’ setelah tidur, artinya jika tertidur, maka tidak boleh makan
sampai malam berikutnya. Hal itu ditetapkan juga untuk kaum muslimin,
sebagaimana telah dijelaskan. Maka ketika hukum tersebut dihapuskan,
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya makan sahur
untuk membedakannya dengan puasa Ahlul Kitab.
Dari ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya), "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul
Kitab adalah makan sahur." (HR Muslim 1096).
2. Keutamaannya
a. Sahur Barokah
Dari Salman radhiyallahu ‘anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
(yang artinya), "Barokah ada pada tiga perkara: Jama’ah, Tsarid, dan makan
sahur." (HR Thabrani, Abu Nu’aim).
Dari Abdullah bin Al Harits dari seorang shahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam: Aku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dia
makan sahur, beliau berkata, "Sesungguhnya makan sahur adalah barokah yang
Allah berikan pada kalian maka janganlah kalian tinggalkan." (HR An Nasaa`i
dan Ahmad).
Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang
besar ini dari Rabb yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang mukmin yang
paling afdhal adalah korma.
3. Mengakhirkan Sahur
Anas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu,
"Kami makan sahur bersama Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
beliau shalat, aku tanyakan (kata Anas): Berapa lama jarak antara adzan dan
sahur? Beliau menjawab, "Kira-kira 50 ayat membaca Al Qur’an." (HR Bukhari
Muslim).
4. Hukumnya
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya -dengan perintah
yang sangat ditekankan. Beliau bersabda (yang artinya), "Barangsiapa yang mau
berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu
Ya’la, Al Bazzar). Dan bersabda (yang artinya), "Makan sahurlah kalian karena
dalam sahur ada barokah." (HR Bukhari Muslim).
Perintah nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi:
BERBUKA
2. Menyegerakan berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam,
janganlah dihiraukan rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti
engkau mengikuti sunnah Rosulmu shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyelisihi
Yahudi dan Nashara, karena mereka mengakhirkan berbuka hingga terbitnya
bintang.
Menyegerakan berbuka menghasilkan kebaikan. Dari Sahl bin Sa’ad
radhiyallahu ‘anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya), "Manusia akan terus dalam kebaikan selama menyegerakan buka." (HR
Bukhari dan Muslim).
Menyegerakan buka adalah sunnah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari
Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda(yang artinya), "Umatku akan terus dalam sunnahku selama mereka
tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)." (HR Ibnu Hibban).
Menyegerakan buka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashara. Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya), "Agama ini akan terus jaya selama menyegerakan buka, karena orang
Yahudi dan Nashara mengakhirkannya." (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban).
Berbuka sebelum shalat maghrib. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berbuka sebelum shalat maghrib (HR Ahmad, Abu Dawud), karena
menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para Nabi. Dari Abu Darda`
radhiyallahu ‘anhu, "Tiga perkara yang merupakan akhlak para nabi:
menyegerakan buka, mengakhirkan sahur, meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri dalam shalat." (HR Thabrani).
3. Berbuka dengan apa?
Dengan memberi sesuatu yang manis (kurma) pada perut yang kosong, maka
tubuh akan lebih siap menerima dan mendapatkan manfaatnya, terutama tubuh
yang sehat, akan bertambah kuat dengannya. Dan bahwasanya puasa itu
menghasilkan keringnya tubuh, maka air akan membasahinya, hingga
sempurnalah manfaat makanan.
Dan ketahuilah, bahwa kurma itu memiliki barakah dan kekhususan -demikian
pula air- memiliki efek yang positif terhadap hati dan mensucikannya, tiada yang
mengetahuinya, kecuali orang-orang yang ittiba’ / mengikuti.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, "Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat, jika tidak
ada ruthab, maka beliau berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma, beliau
minum dengan satu tegukan air." (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Ada
tiga orang yang tidak akan tertolak do’a mereka: seorang yang puasa ketika
sedang berbuka, seorang imam yang adil, dan do’a seorang yang terzholimi."
(HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban).
Dan dari Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash berkata, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda (yang artinya), "Sungguh bagi orang yang berpuasa itu memiliki
do’a yang tidak akan tertolak ketika berhias." (HR Ibnu Majah, Al Hakim).
Dan apabila seorang muslim yang sedang berpuasa diundang makan, wajib
baginya untuk memenuhi undangan tersebut. Karena barangsiapa yang tidak
memenuhi undangan, maka sungguh ia telah mendurhakai Abul Qasim
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan disukai bagi yang diundang (makan) untuk mendo’akan kebaikan kepada si
pengundang setelah selesai makan, sebagaimana telah datang dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam do’a yang bermacam-macam, di antaranya:
"Orang-orang yang baik telah makan makananmu dan para malaikat telah
bershalawat kepadamu serta orang-orang yang berpuasa telah berbuka di
rumahmu." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, An Nasa`i, dan yang lainnya).
"Ya Allah, berilah makan orang yang telah memberi makan kepadaku dan berilah
minum orang yang telah memberi minum kepadaku." (HR Muslim dari Al Miqdad).
"Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah terhadap apa
yang telah Engkau rizkikan kepada mereka." (HR Muslim dari Abdullah bin Busr).
Judul Asli:
"Sahur dan Berbuka Puasa Menurut Sunnah Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam"
Jawab : Hukumnya ialah tidak apa-apa baginya. Artinya puasanya tetap sah.
Karena sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa seseorang itu
tidaklah batal puasanya kecuali dari tiga syarat :
Akan tetapi saya katakan bahwa wajib baginya bersabar untuk tidak melakukan
onani karena ia adalah HARAM. Berdasarkan firman Allah :
"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu untuk menikah
maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih
menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia
berpuasa" (HR. Bukhari No. 1905, Muslim 3379)
Jika saja onani itu dibolehkan, niscaya Rasulullah akan membimbing kepada hal
yang demikian, karena hal ini sangat mudah bagi para mukallaf dan seorang itu
mendapatkan kesenangan. Berbeda dengan berpuasa, padanya terdapat
kesusahan. Maka tatkala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengarahkan bagi
orang yang tidak mampu menikah, untuk berpuasa.Ini menunjukkan bahwa
onani itu suatu yang tidak boleh untuk dilakukan oleh seseorang. (af)
http://almakassari.com/?p=180
Seorang yang cerdik (cerdas) adalah orang yang menjalani bulan Ramadhan
untuk hal-hal yang sepantasnya, yaitu dia tidur di awal malam lalu menegakkan
shalat tarawih. Dan shalat tarawih tidak memberatkan. Demikian juga tidak
berlebihan dalam makan dan minum. Selayaknya bagi orang yang memiliki
kemampuan untuk bersemangat dalam memberikan ifthar (buka) kepada orang
yang berpuasa, baik itu di masjid ataupun di temapt lain. Sebab orang yang
memberikan buka puasa kepada orang yang berpuasa, baginya pahala seperti
orang yang berpuasa. Apalagi jika kepada saudara-saudaranya kaum muslimin
yang berpuasa. Maka sepantasnya bagi orang-orang yang Allah berikan
kemudahan/kelebihan harta untuk betul-betul menggunakan kesempatan ini
sehingga dia mendapatkan pahala yang sangat banyak. (af)
http://almakassari.com/?p=174
Jawab : Orang ini tidak dituntut untuk berpuasa di hari-hari yang telah lalu di
bulan Ramadhan tersebut karena dahulu ia seorang yagn kafir. Dan orang kafir
tidak diperintahkan atau dituntut untuk mengganti apa-apa yang luput darinya
dari amalan-amalan shalih. Berdasar firman Allah Ta’ala :
Dan juga dikarenakan dahulu para shahabat yang masuk Islam di zaman Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak memerintahkan meraka untuk
mengganti apa yang luput dari mereka. Seperti puasa, shalat, dan zakat. Akan
tetapi, di kala masuk Islam di siang hari bulan Ramadhan wajibkah baginya
untuk berpuasa selebih waktunya (hingga terbenam matahari), dan mengganti
puasanya tersebut? Atau dia hanya berpuasa di waktu selebihnya tanpa harus
menggantinya? Ataukah tidak wajib baginya berpuasa di waktu selebihnya dan
mengganti puasanya?
http://almakassari.com/?p=177
Jawab : Jika seseorang mengambil sedikit darahnya yang tidak memberikan efek
kepada badannya seperti membuat dia lemah, maka ini tidak membatalkan
puasanya baik diambil sebagai penghalalan, atau donor untuk seorang yang
sakit, atau bersedekah kepada seseorang yang membutuhkan.
Adapun jika darahnya diambil dengan jumlah yang banyak, yang menjadikan
badan lemas, maka dia berbuka dengannya (donor itu telah menjadi sebab
sehingga dia berbuka/tidak berpuasa lagi-red). Dikiaskan seperti berbekam yang
telah datang riwayatnya dari sunnah bahwa berbekam adalah termasuk salah
satu dari pembatal-pembatal puasa.