You are on page 1of 11

Komunikasi Non Verbal dalam Masyarakat High and Low Context

Komunkasi nonverbal adalah penyampaian makna melelui bahasa tubuh meliputi


ekspresi wajah, gestures, posture, kontak mata, dan suara, juga penggunaan ruang fisik
seperti jara interpersonal, waktu, artefak yang digunakan (Dayakisni & Yuniardi, 2008).
Lalu apa hubungan antara komunikasi non verbal dengan masyarakat High or Low
Context?
Secara sederhana, masyarakat konteks budaya tinggi atau yang biasa disebut dengan
high context culture dapat diartikan sebagai masyarakat yang cenderung menganut budaya
kolektif yang cenderung menyampaikan pesan secara berbelit-belit dengan banyak
menggunakan simbol, kiasan, dan kata-kata halus yang dirumuskan sebagai high-context1.
Golongan masyarakat ini biasanya menggunakan cara berkomunikasi yang tidak langsung to
the point, dalam menyampaikan suatu hal, biasanya diawali dengan kata-kata pembuka yang
cenderung mengarah ke basa-basi dalam rangka menjaga perasaan lawan bicara. Pemilihan
kata–kata (diksi) pada saat berbicara pun dilakukan secara hati-hati. Tidak asal-asalan,
sehingga kalimat yang dihasilkan enak didengar dan tidak menyinggung perasaan lawan
bicara. Namun kehati-hatian ini tidaklah lantas membuat masyarakat konteks budaya tinggi
berbicara terlalu banyak. Biasanya mereka akan berbicara seperlunya. Masyarakat ini juga
sangat menjunjung tinggi aturan yang telah ada. Dalam konteks ini aturan tersebut pastinya
ada hubungan dengan budaya. Seperti apabila makan bersama dalam satu ruang makan, maka
tidak boleh berbicara sendiri. Lalu aturan mengenai kewajiban untuk menghormati orang
yang lebih tua. Aturan-aturan seperti inilah yang menjadi ciri khas masyarakat konteks
budaya tinggi. Dalam hal “membaca lingkungan”, mereka juga termasuk ahlinya. Membaca
lingkungan disini berarti kemampuan mengetahui keadaan dengan cara membaca bahasa non-
verbal lawan bicara. Jika mimik muka lawan bicara telah berubah yang jika pada awalnya
mereka tersenyum namun lama-kelamaan senyuman tersebut menghilang dan digantikan oleh
raut muka yang cemberut, maka itulah saatnya untuk menghentikan pembicaraan atau
merubah topik pembicaraan. Kita juga akan sering menjumpai makna ambiguitas dalam
pembahasan masyarakat konteks budaya tinggi.

Berbeda dengan masyarakatkonteks budaya tinggi, masyarakat konteks budaya rendah, atau
yang biasa disebut dengan low context culture diartikan sebagai masyarakat yang
mengartikan dan menyampaikan pesan tanpa banyak basa-basi. Mereka menyampaikan lewat
arti sesungguhnya tanpa kiasan atau cara yang berbelit-belit agar bisa dimengerti. Pola

1
Materi Kuliah Teori Komunikasi – Uncertainty Reduction oleh Drs. Turnomo Rahardjo
komunikasi seperti ini cenderung digunakan oleh masyarakat yang bersifat individualistis.
Dalam sebuah pembicaraan, mereka biasanya cenderung blak-blakan, langsung pada inti apa
yang ingin diucapkan, tanpa menyaring kata-kata yang akan dikeluarkan. Sehingga
kemungkinan lawan bicaranya tersinggung itu lebih besar. Namun, kebanyakan dari mereka
berkomunikasi dengan sesamanya. Sehingga kemungkinan terrsinggung akan lebih kecil. Hal
ini karena lawan bicaranya (sesama masyarakat budaya rendah) juga terbiasa mengatakan hal
yang sama, lugas, langsung, dan to the point. Pilihan kata (diksi) yang tepat juga tidak begitu
diperhatikan, dalam berkomunikasi, yang terpenting maksud pembicara dapat tersampaikan
tanpa harus repot-repot memilih susunan kalimat yang baik. Berkebalikan dari masyarakat
konteks budaya tinggi, masyarakat budaya rendah cenderung tidak suka mengindahkan
aturan. Dalam sistem masyarakat ini, kita akan jarang menemukan aturan-aturan yang
mengikat. Mungkin ada beberapa, namun tidaklah banyak. Biasanya mereka lebih mengacu
pada aspek rasionalitas dalam menghadapi sebuah persoalan. Kita pun akan jarang
menemukan makna ambiguitas di dalam masyarakat ini. Masyarakat konteks budaya rendah
cenderung tidak begitu bisa untuk “membaca lingkungan”. Ini berarti, pada saat berbicara
mereka tidak dapat membaca situasi/keadaan. Hal ini disebabkan mereka tidak begitu ahli
dalam membaca bahasa non-verbal lawan bicaranya.

faktor high-context culture low-context culture

pola komunikasi banyak menggunakan metafor, pesan yang disampaikan to the point,
pesan-pesan yang implisit, tidak “to tidak “berputar-putar”.
the point”.

sikap diri apabila menerima/meyikapi kesalahan yang menilai kesalahan terjadi karena faktor
terjadi kesalahan terjadi sebagai kesalahan pribadi, eksternal/orang lain.
cenderung untuk meng-internalisasi
banyak hal.

penggunaan menggunakan komunikasi non- cenderung untuk menggunakan


komunikasi non verbal dengan ekstensif. komunikasi verbal daripada non-
verbal verbal.

ekspresi reserved, mendem jero, ilmu padi ekspresif, kalau tidak suka/tidak setuju
(semakin berisi semakin merunduk terhadap sesuatu akan disampaikan,
– rendah hati). tidak dipendam.

orientasi terhadap ada pemisahan yang jelas antara ini terbuka, tidak terikat dalam dengan
kelompok kelompok saya VS itu bukan satu kelompok, bisa berpindah-pindah
kelompok saya. sesuai kebutuhan/konteks.

ikatan kelompok memiliki ikatan kelompok yang cenderung untuk tidak memiliki ikatan
sangat kuat, baik itu keluarga, kelompok yang kuat – lebih individuil.
kelompok masyarakat, dsb.

komitmen komitmen yang tinggi terhadap komitmen yang rendah terhadap


terhadap hubungan jangka panjang - hubungan antar sesama -
hubungan dengan hubungan baik lebih penting tugas/pekerjaan lebih penting daripada
sesama daripada tugas/pekerjaan. hubungan baik.

fleksibilitas waktu bukanlah sebuah titik, waktu adalah sebuah titik yang apabila
terhadap waktu melainkan sebuah garis - proses tidak dimanfaatkan dengan baik, akan
lebih penting daripada hasil akhir. terbuang percuma - hasil akhir lebih
penting daripada proses.

diadaptasi dari: model budaya Prof. Edward T. Hall, seorang antropog dari Columbia
University.

( Sensifitas Budaya-http://www.rumahsakitmandiri.com/artikel/66-mgt-umum/135-
sensitifitas-budaya.html )

Komunikasi Non Verbal dalam Hubungan Asmara antara Orang Indonesia dengan
Amerika

Menurut Antropolog Edward T Hall (1979), bangsa Indonesia masuk dalam kelompok
high context culture dalam berkomunikasi2. Dalam budaya ini, konteks atau pesan nonverbal
diberi makna yang sangat tinggi. Sebaliknya, bangsa Amerika termasuk dalam low context
culture dalam berkomunikasi.
Eye Gaze
Bagi orang Amerika, kontak mata sebagai tanda kejujuran. Orang Amerika yang
berkomunikasi tanpa memandang mata pihak lawan bicara dipandang tidak jujur. Namun
Bagi orang Indonesia, memandang mata lawan bicara masih dianggap tidak sopan.
Sentuhan

2
Tantangan Komunikasi di tengah Keragaman Budaya Dunia -
http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:wtfDl3lRK_EJ:faculty.petra.ac.id/ido/courses/
3b_tantangan_komunikasi.pdf+kOMUNIKASI+NON+VERBAL+MASYARAKAT+HIGH+AND+
LOW+CONTEXT+CULTURE&hl=id&gl=id
Hasil studi menunjukkan bahwa bagi orang Amerika sentuhan diintepretasikan
sebagai “kekuatan” atau bias diartikan membantu atau menolong. Orang yang lebih kuat akan
menyentuh orang yang kurang kuat, seperti jabat tangan. Namun bagi orang Indonesia
terutama wanita, sentuhan merupakan hal yang tabu, apalagi belum menikah. Hal tersebut
tidak lepas dari budaya ketimuran yang menganggap sentuhan antara laki-laki dan
perempuan, meskipun dalam hubungan asmara adalah perbuatan yang tidak senonoh.
Paralanguage
Paralanguage sesungguhnya termasuk dalam unsur-unsur linguistik, yaitu bagaimana
atau cara sesuatu pesan diungkapkan dan bukan isi pesan itu sendiri. Bagi orang Amerika
cara berbicara dan mengungkapkan sesuatu cenderung diungkapkan dengan apa adanya atau
bahkan blak-blakkan. Mereka tidak terlalu memperhatikan intonasi, volume ataupun
dialeknya. Sedangkan orang Indonesia justru sebaliknya, cenderung menyampaikan pesan
secara berbelit-belit dengan banyak menggunakan simbol, kiasan, dan kata-kata halus.
Diam
Diam bisa berarti juga sedang melakukan komunikasi. Seseorang dengan diam bisa
saja ia mengkomunikasikan tidak ingin diganggu, atau sedang marah, sebel, benci, dan
sebagainya. Dalam komunikasi di budaya Timur, diam bisa diartikan dengan beragam arti.
Sedangkan orang Amerika menggap diam adalah hal yang berbeda. Bisa berarti setuju atau
sedang berpikir.
Body Movement
Setiap budaya memiliki bahasa tubuhnya sendiri. Orang Amerika menggerakkan
tubuhnya dengan cara bahasa Amerika. Dan orang Indonesia juga memiliki pergerakan tubuh
khas Indonesia. Meskipun hal tersebut juga tidak lepas dari latar belakang etnis, kelas sosial,
gaya pribadi dan lain-lain, ini semua akan mempengaruhi bahasa tubuh kita Beberapa
perbedaan kebudayaan mungkin dengan mudah dapat dikenali namun ada juga yang sukar.
Penciuman (Bau)
Indera penciuman dapat berfungsi sebagai saluran untuk membangkitkan makna.
Orang AS merupakan pencerminan dari kebudayaan yang anti bau3, sedangkan orang
Indonesia menganggap penting bau seseorang sebagai perluasan dari pribadi individu
tersebut.
Warna, waktu, dan bunyi.

3
Di negara-negara yang penduduknya tidak terlalu banyak mengkonsumsi daging, ada
anggapan bahwa orang-orang AS mengeluarkan bau yang tidak enak karena terlalu
banyak makan daging.
Faktor tersebut menjadi hal yang relative bagi setiap pribadi. Hal tersebut tidak lepas
dari psikologi (kesukaan, favorit, kegemaran, atau ketidaksukaan.
Kedekatan Ruang dan Waktu
Orang Amerika Serikat lebih suka ada meja yang membatasi dirinya dengan orang
lain. Orang Amerika Serikat lebih suka membiarkan pintu kamar kerjanya terbuka dan kalau
ditutup berarti ada suatu rahasia atau hal yang serius yang dibicarakan. Orang Indonesia
belajar untuk membuat batas tembok dengan orang lain, yaitu dengan cara bicara dalam nada
rendah atau diam. Kebiasaan ini bagi orang Amerika Serikat dapat dianggap sebagai silent
treatment4.
Contoh

Kapanlagi.com - Artis sinetron Tia Ivanka semakin


mantap dengan George Tupelo. Ia memutuskan untuk
menikah dengan pria bule asal Amerika Latin. Apalagi,
George telah bersedia masuk Islam, agama yang dianut
Tia. "Dia bilang mau ikut saya," kata perempuan
bernama asli Artia Dewi Siregar itu di Jakarta.
Dari perspektif Komunikasi Antar Pribadi, hubungan Tia-
George didasarkan pada latarbelakang yang berbeda. Tia dan George menggunakan bahasa
non verbal yang berbeda dalam hubungan mereka. Tia sebagai orang Indonesia mungkin
memiliki cara yang berbeda dalam berhubungan dengan George. Tia harus bisa menjaga
jarak, sikap dan perilaku dalam berhubungan dengan George yang berkebangsaan Amerika.
Mungkin sentuhan, pelukan bahkan ciuman adalah hal yang wajar bagi George sebagai orang
Amerika, namun tidak bagi Tia sebagai orang Indonesia yang notabene menganut adat
ketimuran. (Di sini Saya mengesampingkan factor Tia sebagai artis yang biasanya hal-hal di
atas adalah hal yang wajar).
Hubungan Masyarakat Jawa dengan Masyarakat Luar Jawa
Salah satu negara yang juga terkenal keramahannya adalah Indonesia, khususnya
suku Jawa. Masyarakat Jawa sangat terkenal dengan tutur bahasanya yang lembut dan penuh
sopan santun. (Di sini Saya menyamakan semua masyarakat Jawa dan mengesampingkan
factor wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur). Oleh karena itu menurut
saya masyarakat Jawa termasuk dalam the real high context culture. Sedangkan bagi
masyarakat luar Jawa, pasti memiliki karakteristik yang berbeda. Di sini saya akan
membandingkan dengan orang Batak karena saya menilai karakter orang Jawa sangat kontras
dengan orang Batak. Namun perlu dicatat, perbedaan komunikasi non verbal tidak
menyeluruh begitu saja di antara keduanya. Hal tersebut tidak lepas dari factor adat dan
budaya secara khusus dan termasuk orang Indonesia secara umum.

Eye Gaze

4
Menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan sedang marah
Bagi orang Jawa, kontak mata secara langsung dianggap hal yang tidak sopan.
Terlebih jika hal tersebut dilakukan terhadap orang yang lebih tua. Orang jawa menyebutnya
unggah-ungguh atau tata krama. Bagi orang luar jawa sebenarnya kontak mata secara
langsung bukan hal yang dipermasalahkan. Namun walaupun begitu bukan berarti orang
Batak menganggap kontak mata secara langsung hal yang wajar. Tetap saja kontak mata tetap
ada aturannya karena bagi sebagian orang, kontak mata yang terlalu berlebihan dianggap
menantang bahkan pelecehan.
Sentuhan
Masyarakat jawa adalah masyarakat yang sangat menjunjung adat ketimuran. Salah
satunya adalah sentuhan. Masyarakat jawa akan sangat menjaga diri mereka dengan lawan
jenisnya sebelum mereka menikah. Hal tersebut menyangkut harga diri dan masalah tata
krama yang ada. Hal tersebut sama bagi orang Batak.
Paralanguage
Inilah komunikasi non verbal yang begitu kontras antara orang Jawa dan Batak.
Masyarakat Jawa sangat terkenal dengan tutur bahasanya yang lembut dan penuh sopan
santun. Intonasi dan suaranya pelan. Lebih banyak basa-basi dan berbelit-belit. Sebaliknya,
orang Jawa sangat blak-blakkan. Tidak peduli siapa lawan bicara. Intonasi dan suara sangat
keras dan cenderung kasar bagi orang Jawa.
Diam
Bagi orang Jawa, berbicara sebenarnya hanya diperbolehkan seperlunya saja. Jadi
ketika orang Jawa diam, hal itu adalah hal yang lumrah. Hal tersebut sesuai dengan adat
orang Jawa yang sangat berhati-hati ketika berbicara. Terlebih membicarakan orang lain.
Namun bagi orang batak, diam adalah penolakan.
Body Movement
Setiap budaya memiliki bahasa tubuhnya sendiri. Orang Jawa dan Batak memiliki
khas bahasa tubuhnya masing-masing.
Kedekatan Ruang dan Waktu
Orang Jawa sangat menjaga jarak dengan orang lain. Ada banyak factor mengapa.
Salah satunya adalah adanya tingkatan-tingkatan bagi orang Jawa yaitu anak-anak-dewasa-
orang tua. Sedangkan Orang batak tidak mengenal tingkatan sehingga jarak dan waktu
bukanlah penghalang dalam setiap komunikasi.
Contoh
Si A adalah mahasiswa dari Jawa dan memiliki teman B dari luar Jawa yaitu Batak.
Keduanya akan sangat sulit untuk saling menyesuaikan. Si A akan berbicara dengan nada
yang pelan atau biasa dan dengan intonasi serta tekanan yang biasa pula. Namun si B
berbicara dengan suara yang lantang disertai intonasi tekanan yang keras. Di sini bisa saja Si
A salah paham karena menganggap B suka berbicara dengan keras dan punya tata krama.
Namun tidak bagi si B. B merasa hal itu wajar-wajar saja.
Lainnya, Si A mungkin terbiasa dengan tingkah lakunya sesuai dengan unggah-
ungguh atau tata krama adat Jawa. Selalu menunduk dan tidak melihat wajah lawan bicara,
selalu senyum, dan mengucapkan permisi sambil membungkuk ketika lewat di depan
seseorang . Namun semua hal tersebut mungkin tidak dilakukan oleh B. Berbicara secara
blak-blakkan dan berjalan lalu lalang begitu saja tanpa permisi merupakan hal yang biasa
bagi si B.
Jadi di sinilah perlu adanya sikap saling mengerti dan saling menyesuaikan antara
keduanya dalam komunikasi antar pribadi agar tidak terjadi benturan budaya di antara
keduanya.

Hubungan Pertemanan, Persahabatan, dan Pacaran dalam Pesantren

Inilah model komunikasi antar pribadi yang berbeda dan unik di antara model
komunikasi antar pribadi lainnya, Komunikasi non verbal dalam hubungan pertemanan dan
persahabatan sabtri dalam pesantren sedikit berbeda dengan orang pada umumnya. Betapa
tidak, setiap hubungan baik itu pertemanan dan persahabatan dalam pesantren tidak bisa
dilakukan sembarangan dan harus mengikuti aturan-aturan yang ada terlebih jika hubungan
tersebut adalah lawan jenis, baik karena didasarkan aturan agama juga aturan dari pesantren
itu sendiri. Orang yang hidup dalam pondok pesantren atau santri sebenarnya tidak mengenal
yang namanya pacaran. Hal tersebut dilarang dalam agama Islam karena Islam tidak
mengenal yang namanya pacaran. Islam hanya mengenal ta’aruf 5 dan khitbah6. Sebagai satu
contoh fenomena yang menarik adalah diharamkannya facebook oleh para ulama se-Jawa dan
Bali.

Facebook HARAM?????
Boomingnya layanan situs jejaring sosial, seperti facebook, friendster maupun
chatting untuk menjalin hubungan pertemanan diam-diam diawasi oleh ulama.
Pondok Pesantren se Jawa-Madura yang tergabung dalam Forum Komunikasi
Pondok Pesantren Putri (FMP3) mengharamkan pemanfaatan situs jejaring sosial secara
berlebihan, seperti mencari jodoh maupun pacaran.
Pernyataan ini sesuai dengan hasil pembahasan dalam Forum Bahtsul Masail di
Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtdien Lirboyo, Kelurahan Lirboyo, Kecamatan
Mojoroto, Kota Kediri, yang dilaksanakan sejak beberapa hari yang lalu.
5
Pertemuan antar pihak laki-laki dengan pihak perempuan sebelum memutuskan untuk
menikah
6
Lamaran atau pinangan
( http://staff.blog.ui.ac.id/syam-mb/2009/05/25/facebook-haram)

Jadi, di sini Saya hanya akan menjelaskan komunikasi non verbal hubungan
pertemanan dan persahabatan saja karena hubungan pacaran tidak dikenal dalam pesantren.

Contoh

A dan B adalah santri dan santriwati dari sebuah pesantren. Ketika mereka saling
bertemu dan bicara, mereka tidak saling menatap mata (eye gaze) dan memandang satu sama
lain. Lebih-lebih melihat matanya, melihat wajahnya pun A dan B tidak berani. Mereka hanya
akan melihat satu sama lain sekilas saja. Hal tersebut untuk menjaga pandangan mereka.

Nada dan intonasi dalam paralanguageA dan B pun sangat pelan-pelan. Mereka tidak
bicara keras-keras bahkan membentak. Mereka sangat berhati-hati dalam mengungkapkan
atau menyampaikan setiap kalimat.

Jarak dan waktu mereka pun tidak terlalu dekat. Mereka saling menjaga jarak karena
tidak diizinkan untuk saling bersentuhan bahkan untuk sekedar bersalaman sekalipun.
Mereka juga tidak boleh bertemu berduaan saja terlebih dalam waktu yang lama untuk
menjaga dari fitnah. Ketika si B diam maka si A pun diam. Mereka hanya bicara seperlunya
saja.

Mereka tidak tertawa terbahak-bahak sampai gigi mereka terlihat, namun hanya
tersenyum saja. Itulah bentuk-bentuk komunikasi non verbal santri-santri dalam pesantren. Itu
berlaku untuk semua, entah itu teman ataupun sahabat.

( Sample yang saya ambil adalah pondok-pondok pesantren di Kaliwungu yang


dikenal dengan kota santri )

Hubungan Profesional dalam rangka penjajagan dan pengembangan bisnis antara


orang Jawa dengan Cina
Sebelum kita masuk pada hubungan non verbal antara Orang Jawa dan Orang Cina,
tak ada salahnya mengetahui bagaimana proses perkembangan hubungannya masyarakat
Cina dan Jawa. Seperti yang kita tahu, Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang
mempunyai “masalah Cina” yang teramat kompleks. Salah satu masalah tersebut erat
kaitannya dengan identitas kultural mereka sebagai golongan etnis non pribumi, terhadap
identitas kultural mayoritas penduduk golongan etnis pribumi.
Sanjatmiko (1999) menyimpulkan bahwa renggangnya jarak sosial etnis Cina dengan
etnis Jawa disebabkan oleh:
1. Tidak terjadinya perubahan pola kultur etnis Cina ke dalam penduduk pribumi, sehingga
perasan senasip orang-orang Cina terhadap komunitasnya sangat tinggi.
2. Anggapan bahwa kultur etnis keturunan Cina lebih tinggi daripada etnis pribumi dalam hal
ini etnis Jawa. Hal ini sering terjadi karena akibat dari pemerintah kolonial yang
memberikan strata sosial yang lebih tinggi kepada etnis Cina dari pada etnis Jawa.
3. Prasangka negatif bahwa etnis Jawa itu malas, bodoh, tidak dapat memanfaatkan
kesempatan dan sebagainya. Sebaliknya prasangka negatif yang terjadi pada etnis Cina
oleh Jawa bahwa orang Cina ialah etnis yang mau untung sendiri tanpa melihat halal dan
haram.
4. Diskriminasi pribumi terhadap etnis Cina dalam kesempatan menduduki jajaran aparat
desa atau pemerintah. Diskriminasi ini terjadi pada masa orde baru dimana etnis Cina
hanya boleh memegang perekonomian tanpa boleh memegang pemerintahan.
5. Adanya perbedaan agama dan kesenjangan ekonomi antara pribumi dan etnis Cina.
Kesenjangan ini terjadi karena adanya suatu perbedaan akses terhadap sumber daya
ekonomi.
(Keterangan di atas dikutip dari Pengaruh Persaingan Bisnis Dan Kecemburuan Sosial
Jawa dan Cina - http://lutfihistory.blogspot.com/2009/04/pengaruh-persaingan-bisnis-
dan.html)
Jadi, bisa kita lihat bahwa masyarakat Jawa termasuk dalam High Context Culture
sedangkan Cina adalah Low Context Culture sehingga komunikasi nnon verbal di antara
keduanya akan saling berbenturan.
Contoh:
A adalah seorang pengusaha Jawa yang bekerjasama dengan B yang merupakan orang
Cina. Dalam melakukan hubungan kerjasama, B sebagai orang Cina tidak hanya akan melihat
kinerja A dari bagaimana dia menggunakan komunikasi non verbal tetapi juga komunikasi on
verbal. Padahal di satu sisi, A adalah orang Jawa yang lebih menekankan pada komunikasi
non verbal.
Misalnya paralanguage di antara keduanya dalam menyampaikan program-program
kerjasama mereka, B akan lebih cepat dan gesit dalam menyampaikannya ide-idenya
sedangkan A sebagai orang Jawa terkesan lamban dan basa-basi dalam mengungkapkan ide-
idenya.
Mengenai kedekatan ruang misalnya, B sebagai orang Cina akan lebih terbuka dalam
setiap menjalin hubungan dan kerja sama sedangkan A sebagai orang Jawa terkesan tertutup
karena lebih berhati-hati. Bagi B, sebagai orang Cina, dia harus bekerja gigih, cepat dan keras
untuk mendapatkan banyak profit. Jadi waktu bagi B adalah uang. Sedangkan A sebagai
orang Jawa punya pribahasa sendiri, “alon-alon asal kelakon” yang artinya santai saja yang
penting tercapai.
Keduanya memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan-perbedaan inilah yang
membuat keduanya memiliki komunikasi non verbal yang bertolak belakang. Untuk itu untuk
menjaga dan mengembangkan kerjasama di antara keduanya, B sebagai orang Cina harus
lebih memberikan ruang dan waktu bagi orang jawa dalam setiap melakukan bisnis tersebut.
Begitu pula A sebagai orang Jawa harus bisa lebih cepat dan gesit dalam menyampaikan ide-
ide serta kerjanya dalam bekerjasama dengan B.
Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya konteks tinggi dan
budaya konteks rendah mempunyai beberapa perbedaan penting dalam cara penyandian
pesannya. Anggota budaya konteks tinggi lebih terampil membaca perilaku nonverbal dan
"dalam membaca lingkungan", dan mereka menganggap bahwa orang lain juga akan mampu
melakukan hal yang sama. Jadi mereka berbicara lebih sedikit daripada anggota-anggota
budaya konteks rendah. Umumnya komunikasi mereka cenderung tidak langsung dan tidak
ekplisit. Budaya konteks rendah, sebaliknya menekankan komunikasi langsung dan ekplisit,
yakni pesan- pesan verbal sangat penting, dan informasi yang akan dikomunikasikan disandi
dalam pesan verbal.

Referensi :
Materi Kuliah Teori Komunikasi – Uncertainty Reduction oleh Drs. Turnomo Rahardjo

Beebee, S. Beebee, S., dan Redmond, M. (2002). Interpersonal Communication: Chapter 7


“Nonverbal Communication Skills” (3rd edition). Boston: Allyn and Bacon

KOMUNIKASI NON-VERBAL Oleh : Dr Rochajat Harun Med.


http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&jd=Komunikasi+Non-
Verbal&dn=20081022065832

KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN INDONESIA (Kajian tentang Perilaku


Masyarakat Korea dan Jawa oleh Kim Geung Seob)
http://74.125.153.132/search?q=cache:u24XavUiy2wJ:elisa.ugm.ac.id/files/suray_daryl/rdLz
EJRf/komunikasi%2520antarbudaya.doc+komunikasi+non+verbal+orang+jawa+dan+orang+
luar+jawa&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id

ORANG BATAK, ORANG MINANG, ORANG JAWA


http://moendg07.wordpress.com/2009/02/26/orang-batak-orang-minang-orang-jawa/

MAGNITUDE KOMUNIKASI POLITIK OBAMA


oleh Dr. Ali Masykur Musa http://www.kauje.net/index.php/Kolom-Ketum/MAGNITUDE-
KOMUNIKASI-POLITIK-OBAMA-*.html
SENSITIFITAS BUDAYA
http://www.rumahsakitmandiri.com/artikel/66-mgt-umum/135-sensitifitas-budaya.html

FACEBOOK HARAM????
http://staff.blog.ui.ac.id/syam-mb/2009/05/25/facebook-haram
PENGARUH PERSAINGAN BISNIS DAN KECEMBURUAN SOSIAL JAWA DAN
CINA

http://lutfihistory.blogspot.com/2009/04/pengaruh-persaingan-bisnis-
dan.html

You might also like