You are on page 1of 19

Tugas Ujian

LEPRA

Oleh :

Andhika Arie P
Wisnu Bimo S
Dwi Suseno

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF


FK UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2009

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 1


LEPRA

PENDAHULUAN
Lepra merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Lepra
berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Lepra
merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan
ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita lepra tidak hanya menderita akibat
penyakitnya saja tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu,
penulis akan membahas penyakit lepra lebih mendalam dalam makalah ini. 1
Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intrasellular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1
Penderita lepra tersebar di seluruh dunia. Jumlah yangtercatat 888.340 orang
pada tahun 1997. Sebenarnya kapan penyakit lepra ini mulai bertumbuh tidak dapat
diketahui dengan pasti, tetapi ada yang berpendapat penyakit ini berasal dari Asia
Tengah kemudian menyebar ke Mesir, Eropa, Afrika dan Amerika. Di Indonesia tercatat
33.739 orang penderita lepra. Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak
penderitanya setelah India dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk.2

DEFINISI
Lepra adalah penyakit menular kronik yang berkembang lambat, disebabkan
oleh Mycobacterium leprae dan ditandai dengan pembentukan lesi granulomatosa atau
neurotropik pada kulit, selaput lendir, saraf, tulang, dan organ-organ dalam.
Manifestasinya berupa gejala-gejala klinis dengan spektrum luas, yang terdiri dari dua
tipe utama, dengan jenis lepromatous pada ujung spektrum dan tuberkuloid di ujung
yang lain: diantara dua tipe ini terdapat tipe borderline, dengan dua sub tipe, borderline
tuberkuloid dan borderlinelepromatous. Disebut juga Hansen’s disease. 3
Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intrasellular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1
Armaur Hansen,orang Norwegia menemukan basil penyebab lepra,
Mycobacterium leprae pada tahun 1873. 4

The spectrum of leprosy : tuberculoid to lepromatous. 5

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 3


Tuberculoid vs Lepromatous leprosy. 5

PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal
pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua
adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator
APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan
mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya
TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan
fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan
berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan
difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu
CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran
oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan
secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan
terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan
dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang
makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan
membentuk granuloma.
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari
eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B
untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada
Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th1.
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang
dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC
yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan
antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel
denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc
akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan
adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC
matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena
adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh
DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 5


diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2
polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy.

GEJALA KLINIS
Manisfestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas
pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik
saja7. Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta dengan
atau tanpa pemerikasaan bakteriologis dan memerlukan suatu pengobatan8.
Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada7:
1. multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae
2. respons imun penderita terhadap kuman M. leprae
3. komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,
saraf, dan membran mukosa9. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi
menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen
multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy).Kusta multibasiler, dengan
tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit
yang menyerupai kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan;
bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi
dengan kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat
menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid.Kusta tuberkuloid ditandai
dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang tidak berasa
(anestetik).Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris,
dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan
penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun
pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat.
Secara umum, lepra mempengaruhi kulit, saraf perifer, dan mata. Kemungkinan
juga mempengaruhi gejala sistemik. Gejala-gejala spesifik berubah-ubah menyesuaikan
beratnya penyakit.
Gejala-gejala prodromal pada umumnya begitu diabaikan sehingga penyakit ini
tidak diketahui sampai timbulnya erupsi kutaneus. Bagaimanapun juga, 90% dari pasien
sudah memiliki riwayat kebas, beberapa tahun sebelum lesi pada kulit muncul.
Sensasi yang pertama hilang adalah sensasi suhu. Pasien tidak dapat
merasakan perbedaan besar antara suhu panas dengan suhu dingin. Sensasi
berikutnya yang menghilang adalah sentuhan ringan, kemudian nyeri, dan pada
akhirnya tekanan yang dalam. Kehilangan-kehilangan ini terutama didapatkan pada
tangan dan kaki, oleh karena itu, keluhan utamanya dapat berupa terbakar atau borok
pada ekstremitas yang mati rasa.
Bagian tubuh lain yang mungkin terpengaruh adalah area dingin, dimana dapat
termasuk saraf perifer superficial, ruang mata anterior, testis, dagu, malar eminen,
cuping telinga, dan lutut. Dari stage ini, sebagian besar lesi berubah menjadi tipe-tipe
tuberkuloid, borderline, atau lepromatosa.
Penilaian untuk tanda-tanda phisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus,
neuropathi, dan mata.
Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit. Makula
hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang
pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin
menjadi hipoesthetik. Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline.
Berkenaan dengan neuropathi, menilai untuk area yang hypoesthesia ( sentuhan
ringan, pinprick, suhu dan anhidrosis), terutama cabang saraf perifer dan saraf
kutaneus. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf tibia posterior. Saraf lainnya
yang pada umumnya mengalami kerusakan adalah ulna, median, poplitea lateral, dan
saraf facial. Disamping kehilangan sensoris, pasien dapat juga mengalami kelemahan
dan kehilangan gerak10.
Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra
1. neuropathy sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi
neuropathy motorik murni dapat juga muncul.
2. mononeuropathy dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna
dan peroneal yang lebih sering terlibat
3. neuropathy perifer simetris dapat juga timbul
Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk berikut:
1. anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 7


yang menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk
berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris.
2. deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang
diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (ct. claw hand atau drop foot
menyusul kelemahan otot)
3. gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia
dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf
memendek atau diregangkan
4. lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropic sebagai konsekuensi dari hilangnya
sensoris
Gejala yang terlihat pada suatu reaksi
1. reaksi reversal – onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan
munculnya lesi-lesi kulit yang baru
2. reaksi ENL – nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan
mata merah
3. nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer
yang menghasilkan claw hand atau drop foot11.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis
N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian
atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan.
Kerusakan pada mata lebih sering terlihat dengan adanya lesi fasial.
Lagophthalmos (ketidakmampuan menutup mata), ditemukan terakhir pada orang
dengan LL, hasil keterlibatan dari zigomatik dan cabang-cabang temporal dari saraf
fasial (nervus cranialis VII). Keterlibatan dari cabang ophthalmic dari saraf trigeminal
(nervus kranialis V) dapat menyebabkan reflek kornea berkurang, mata kering, dan
kurang berkedip10.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
1. Hitung sel darah lengkap
2. Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests
3. HIV status, terutama nonresponder
4. Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
5. Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Imaging Studies
• Foto thorak
• Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang
Foto polos bisa berguna untuk mendeteksi dan memonitor perubahan tulang
yang disebabkan lepra
Resorpsi, fragmentasi, dan fraktur maligna merupakan tanda-tanda umum
perubahan tulang yang disebabkan oleh lepra.
Foto Radiography dapat mengungkapkan tanda-tanda dari periostitis dan
osteomielitis, biasanya pada regio ephipisis dan metaphisis pada tulang-tulang
kecil di tangan dan kaki, terutama tulang jari11.
• MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan
• Magnetic resonance (MR) neurography pada kondisi khusus
• Ultrasonography dan Doppler ultrasonography

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 9


Gelombang High-frequency linear ultrasound dapat digunakan untuk
menentukan adanya penebalan saraf dan adanya kompresi osseofibrous.
Doppler mempelajari tentang peningkatan aliran darah endoneural dalam
saraf pada reaksi reversal akut, sebagaimana telah terlihat sesudah
pengobatan dengan steroid.

Tes Yang Lain


a. Tes Imunologi
• Lepromin test
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra
tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun
penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak
basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/
2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi
Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan
kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat
ini seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis11.
Reaksi Mitsuda bernilai :
0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
1 + 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
2 + 2 Papul berdiameter 7 – 10 mm
3 + 3 Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi
• Respon imun seluler melawann M leprae juga dapat dipelajari dengan
lymphocyte transformation test dan lymphocyte migration inhibition test (LMIT).
Tes berdasar pada deteksi antibody M lepra atau antigen.
• Tes serologi
 Pemeriksaan serologi, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah
MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML
dipstick.
 Pemeriksaan serologi utama terdiri dari fluorescent antibody absorption
test (FLA-ABS), radioimmunoassay (RIA), ELISA, passive
hemagglutination assay (PHA), serum antibody competition test (SACT),
dan particle agglutination assay (PAA).
 Tes serologi yang penting adalah FLA-ABS test dan PGL-1 ELISA, dimana
sudah disederhanakan lebih lanjut sebagai dot ELISA dan dipstick ELISA.
• Estimasi dari komponen spesifik M leprae pada jaringan
 Antigen spesifik M leprae, nucleic acids, dan lipid spesifik M leprae
diperiksa menggunakan thin-layer chromatography, high-pressure liquid
chromatography, gas-liquid chromatography, dan mass spectrometry.
 Lipid seperti mycolic acid dan phenolic glycolipid merupakan karakteristik
dari mycobacteria, termasuk M leprae.
 Test untuk mendeteksi epitope pada antigen M leprae dilakukan dengan
memakai antibody monoclonal atau ELISA sudah di temukan, tapi
frekuensi munculnya reaksi positif palsu, terutama pada negara tropis,
menurunkan nilai prediksi positif dari aktivitas penyakit ini.
b. DNA Recombinant dan polymerase chain reaction (PCR)
• Gene probes sudah dikembangkan untuk menunjukkan M leprae –specific
sequences pada berbagai macam spesimen: kerokan kulit dan atau mukosa
hidung, biopsi, bagian dari jaringan, dan darah.
c. Penyelidikan tentang abnormalitas konduksi saraf termasuk sebagai berikut:
• konduksi yang melambat secara segmental terlihat pada tempat-tempat
terperangkap (ct segmen siku dari saraf ulnaris), latensi distal memanjang,
berkurangnya (sensorik atau motorik) velositas konduksi saraf
• berkurangnya amplitude dari evoked motor responses (ct, compound muscle
action potentials [CMAPs]) atau hilangnya amplitodo rendah dari potensial
sensoris. Pola dari abnormalitas dapat mengarah pada mononeuropathy,
mononeuropathy multiplex, atau entrapment neuropathy.
• Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris,
peroneal, median, dan saraf-saraf tibial12.

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 11


DIAGNOSIS-KRITERIA
Diagnosa dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis dan
symptom. Hal ini mudah diamati dan diperoleh oleh petugas kesehatan sesudah latihan
dalam periode yang singkat. Dalam prakteknya, seringnya orang yang memiliki
beberapa keluhan datang sendiri ke pusat kesehatan. Hanya pada beberapa contoh
kasus yang jarang memerlukan laboratorium dan pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk
menyatakan diagnose lepra.
Dalam daerah atau negara endemis, seorang individu harus dicurigai mengidap
lepra jika dia menunjukkan satu dari tanda-tanda kardinal berikut:
• lesi kulit pada tipe karakteristik lepra dengan penurunan atau kehilangan sensasi
(anestesi), penebalan saraf perifer
• ditemukan M. Lepra biasanya pada kulit.
Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau multiple yang biasanya dengan pigmentasi
lebih sedikit dibandingkan kulit normal yang mengelilingi. Kadang lesi tampak
kemerahan atau berwarna tembaga. Beberapa variasi lesi kulit mungkin terlihat, tapi
umumnya berupa makula (datar), papula (menonjol), atau nodul. Kehilangan sensasi
merupakan tipikal dari lepra. Lesi pada kulit mungkin menunjukkan kehilangan sensasi
pada pinprick atau sentuhan halus. Saraf yang menebal, terutama cabang saraf perifer
merupakan ciri-ciri lepra. Saraf yang menebal biasanya disertai oleh tanda-tanda lain
sebagai hasil dari kerusakan saraf. Ini dapat mengakibatkan berkurangnya sensasi
pada kulit dan kelemahan otot-otot yang dipersarafi oleh saraf yang terserang. Pada
ketidakhadiran tanda-tanda tadi, hanya penebalan saraf, tanpa berkurangnya sensori
dan atau kelemahan otot menjadi tanda yang kurang reliable bagi lepra. Smear pada
kulit dengan hasil positif: pada proporsi kecil dari kasus-kasus, bentuk batang, basil
lepra tercat merah, dimana merupakan diagnostic dari penyakit, dapat terlihat pada
sediaan yang diambil dari kulit yang terinfeksi saat diperiksa dibawah mikroskop
sesudah mengalami pengecatan yang tepat.
Seseorang yang menunjukkan kelainan kulit atau dengan symptom yang
mengarah kepada kerusakan saraf, dimana pada dirinya tanda kardinal tidak
didapatkan atau diragukan sebaiknya disebut ‘’suspek kasus’’ dalam ketidak hadiran
dari diagnosis alternative lain yang dengan segera dapat diterima. Individu dengan hal
tersebut sebaiknya diberitahu tentang fakta-fakta dasar dari lepra dan disarankan untuk
kembali ke pusat kesehatan jika gejala tetap ada selama lebih dari enam bulan atau jika
ditemukan gejala makin memburuk. Suspek kasus dapat dikirim ke klinik rujukan
dengan fasilitas yang lebih baik untuk diagnose13.
Ada 3 tanda kardinal, yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk
menetapkan diagnosis dari penyakit kusta yakni7:
1.Lesi kulit yang anestesi,
2.Penebalan saraf perifer, dan
3.Ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif.
Lepra dapat diklasifikasikan berdasarkan pada manifestasi klinis dan hasil kerok
kulit (skin smear). Dalam klasifikasi yang berdasar pada kerokan kulit, pasien yang
menunjukkan kerokan negative pada segala tempat dikelompokkan sebagai
paucibasiler lepra (PB), sedang pasien yang menunjukkan hasil positif dikelompokkan
dalam multibasiler lepra (MB).
Meskipun demikian, pada prakteknya, sebagian besar program-program
menggunakan kriteria klinik untuk mengklasifikasikan dan memutuskan bentuk
pengobatan yang tepat bagi pasien secara individual, terutama sekali dalam
pandangan terhadap pelayanan skin smear yang tidak availabel atau dependable.
Klasifikasi berdasarkan pada system klinis yang bertujuan pada pengobatan terdiri dari
penggunaan jumlah dari lesi pada kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk
mengkelompokkan pasien lepra kedalam multibasiler lepra(MB) dan pausibasiler
lepra(PB)14.
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi
menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 tipe yaitu
Tipe tuberculoid- tuberculoid (TT), Tipe borderline tuberculoid (BT), Tipe borderline-
borderline (BB), Tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe lepromatous- lepromatous
(LL) berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,histopatologis, dan imunologis15.
Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan 16.
Untuk program pengobatan, WHO membaginya atas kelompok Pausibasiler (PB) dan
kelompok multibasiler (MB)17. Saat mengkelompokkan lepra, sangat penting untuk
menjamin bahwa pasien dengan multibasiler tidak diobati menggunakan sediaan yang

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 13


diperuntukkan bagi bentukan pausibasiler14.
Pada tuberkuloid leprosy, tipe lesinya adalah adanya makula yang
hipopigmentasi, anestesi, dengan pinggir yang agak tinggi dan bervariasi ukurannya
dari mm sampai lesi besar yang menutupi seluruh tubuh. Warna lesinya adalah eritema
atau ungu pada pinggirnya dan hipopigmentasi di tengah. Distribusi lesinya adalah
dimana saja termasuk wajah. Keterlibatan saraf yaitu dapat terjadinya penebalan saraf
pada pinggir lesi dan sering terjadi pembesaran saraf perifer pada nervus Ulnaris.
Pada lepromatous Leprosy, tipe lesinya adalah makula kecil yang eritematous
atau hipopigmentasi yang akan menjadi papul, plak, nodul, dan penebalan kulit yang
difus. Selain itu, kita juga bisa menjumpai hilangnya rambut pada alis dan bulu mata
(madarosis). Facies lionina (Lion’s face) karena penebalan, nodul, dan plak yang
mengubah wajah yang normal. Warna lesinya adalah warna kulit, eritema, dan
hipopigmentasi. Distribusinya adalah bilateral simetris termasuk cuping telinga, wajah ,
lengan, dan pantat atau nyang paling jarang di badan dan ekstremitas bawah. Pada
membran mukosa tepatnya di lidah dijumpai plak, nodul, atau fisura.
Pada borderline, lesinya terdapat diantara tuberkuloid dan lepromatous dengan
makula, papul, dan plak. Ditemukan adanya anestesi dan penurunan keringat pada lesi.

PENATALAKSANAAN1
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas
deteksi dini dan pengobatan penderita. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat
bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson
merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah
penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adalah
anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi
kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K
ATPase. Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,
warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan
pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk
penderita kusta dgn anemia berat. Vitamin A, untuk penderita kusta dgn kekeringan
kulit dan bersisik (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment.Kegunaan
MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi
ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada
pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal
diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung
RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak < 5 tahun
dan Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas
diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran
saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).

Rifampisin Ofloxacin MInocyclin


Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg
50-70 kg
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
5-14 tahun

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-
9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu
berhenti minum obat.

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 15


Rifampisin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari di rumah
Diminum di depan petugas
kesehatan
Anak 10-14 tahun 450 mg/bulan 50 mg/hari di rumah
Diminum di depan petugas
kesehatan

MB dengan lesi > 5. Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-
18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara
pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.

Rifampisin Dapson Lamprene


Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari di 300 mg/bulan
Diminum di depan rumah Diminum di depan
petugas kesehatan petugas kesehatan
Dilanjutkan dg 50
mg/hari di rumah
Anak 10-14 tahun 450 mg/bulan 50 mg/hari di rumah 150 mg/bulan
Diminum di depan Diminum di depan
petugas kesehatan petugas kesehatan
Dilanjutkan dg 50
mg/hari di rumah

Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat
maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand ,
drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan
pengobatan. “Prinsip pengobatan reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian
analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis
yang tidak diubah. Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian
analgetik dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3x1
selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat
anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison. 18
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering
off) setelah terjadi respon maksimal. 18

KOMPLIKASI
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan pada organ tangan.
Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun
ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Hilangnya hidung dapat terjadi
pada kasus LL.19

PROGNOSIS
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan mejadi lebih sederhana dan
lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus
kronik, prognosis menjadi kurang baik. 20

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 17


DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007 ;73- 88.
2. Amiruddin, M Dali. Marwali Harahap. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit
Hipokrates. 2000 ; 260-271
3. Dorland, W.A.Newman. Kamus Kedokteran Dorland edisi kedua puluh sembilan.
Jakarta: EGC. 2002 ; 1195
4. Brown, R G, Burns, Tony. Lecture Notes: Dermatology. Jakarta : Erlangga. 2005.
5. Hunter, John dkk. Clinical Dermatology Third Edition. Blackwell Publising
Company. 2002 ; 197 -200

6. Murray, Rose Ann dkk. Mycobacterium leprae inhibits Denditric Cell Activation
and Maturation. Available at : www.jimmunol.org

7. World Health Organization. WHO Expert Committee on Leprosy Six Report.


World Health Organization, Geneva. 1988

8. Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to Immunity. Int J


Lepr. 1966; 34 : 255-273

9. Naafs B, Silva E, Vilani-Moreno F, Marcos E, Nogueira M, Opromolla D. "Factors


influencing the development of leprosy: an overview". Int J Lepr Other Mycobact
Dis. 2001; 69 (1): 26-33

10. Lewis Felisa S, Conologue T, Harrop E. Leprosy: mycobacterial infection. 2008.


Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview

11. Sridharan R, Lorenzo NZ. Neuropathy of leprosy. 2007. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/1171421-overview

12. Sridharan R, Lorenzo NZ. Leprosy: Neurological infection. 2007. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/1165419-overview
13. World Health Organization. Leprosy elimination. World Health Organization,
2009. Available at : http://www.who.int/lep/diagnosis/en/index.html

14. World Health Organization. Leprosy elimination. World Health Organization,


2009. Available at : http://www.who.int/lep/classification/en/index.html

15. McDougall AC. Leprosy : Clinical Aspects. Dalam : Harahap M. (ed), New
Clinical Applications Dermatology, Mycobacterial Skin Diseases. Kluwer
academic Publisher, Dordrecht. 1989 : 119-136

16. Faber, WR. Immunology of Leprosy . Kumpulan makalah ilmiah KONAS VII
PERDOSKI, Suplemen, Bukittinggi, 1992

17. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical Leprosy. In : Hastings RC. (ed), Leprosy.2end
ed. Churchill livingstone , Edinburgh. 1994 : 237-287

18. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aeusculapius
FKUI. 2000; 74-75

19. Fitzpatrick, Thomas B dkk. Leprosy in Color Atlas and Synopsys of Clinical
Dermatology. Singapore: McGraw Hill. 2008 ; 1794

20. Siregar, RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta; EGC. 2005 ;155

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 19

You might also like