You are on page 1of 334

80 Gagasan Kunci

Yang Mengubah Dunia

FILSAFAT

“Sang Pembuat Jam, Penjudi,


atau Apa?”
--Ide-ide tentang Tuhan

Dosa Asal
Bagi Tuhan, sang Pencipta alam, bukan para wakil, yang telah
menciptakan manusia dengan tegak; tapi manusia, dengan menjadi
dirinya sendiri akan menjadi tidak suci, dan menjadi terhukum, melahirkan
anak yang tidak suci dan terhukum. Karena kita semua telah berada
dalam satu manusia itu, sejak kita semua adalah satu manusia itu yang
telah terjerumus ke dalam dosa oleh seorang perempuan yang telah
diciptakan darinya sebelum dosa. Untuk memastikan, bentuk-bentuk
khusus dalam mana kita sebagai individu-individu hidup, belum diciptakan
dan terbagi; tapi telah ada sifat seminal di sana dari mana kita
dikembang-biakkan; dan semenjak ini telah direndahkan kualitasnya oleh
dosa, terikat oleh rantai kematian, dan dalam keadaan terhukum, manusia
tidak dapat terlahir dalam keadaan yang lain.

St. Agustinus, The City of God (410) Book XIII

Kita mulai dengan sesuatu yang sederhana, pikir anda. Adam, Eva, buah-

buahan, ular, dosa: apa lagi yang sederhana?

Sebenarnya, banyak. Dalam kisah Bibel tentang kedurhakaan

pertama manusia---memakan Pohon Pengetahuan---tidak pernah sekali

pun terdapat istilah bahasa Ibrani untuk “dosa” muncul. (Istilah ini akan

menunggu Cain.) Tidak juga ungkapan (atau doktrin) “dosa asal”

dintunjukkan di mana saja dalam Perjanjian Lama atau Baru.

Mereka tersembunyi, pastinya. “Tentang setiap pohon dari taman

[Eden] engkau boleh bebas memakannya,” firman Tuhan kepada Adam

(Genesis 2). “Tapi, terkait pohon pengetahuan tentang kebaikan dan

keburukan, engkau tidak boleh memakannya: karena di hari engkau

makan pohon ini, engkau pasti akan mati.” Ketika Adam dan Eva tidak

mati pada hari itu, Tuhan, harusnya, memaksudkan ini seperti yang

dinyatakan dalam teks bahasa Ibrani: “kamu akan dikutuk hingga


kematian menjemput.” Oleh karena itu, demikian pula, dengan kita

semua.

Tapi, sekalipun bahwa semacam transgresi telah terjadi, bahwa ia

adalah sebuah “dosa”, dan bahwa kehidupan fana kita berhutang

kepadanya, kita masih tidak memiliki “dosa asal” yang sebenarnya. Bagi

yang meyakini doktrin ini yang menyatakan bahwa tindakan Adam dan

Eva telah meninggalkan sebuah cetakan yang terus membekas pada

setiap jiwa manusia. Kita tidak sekadar akan mati, kita terlahir dalam

dosa---telah tercemar sebelum kita mempunyai sebuah peluang.

St. Paulus menyatakan sesuatu sepanjang baris-baris ini dalam

Kisah Para Rasul-nya kepada penduduk Roma: “Atas dasar apa, ketika satu

manusia pendosa memasuki dunia ini, dan mati dalam dosa; dan

sehingga kematian dialami secara turun-temurun oleh semua manusia,

karena semuanya telah berdosa” (Penduduk Roma 5). Anda dapat

membaca penggalan ayat ini dengan banyak cara---sebagaimana yang

ditempuh oleh orang-orang Kristen---karena kata kematian dan hubungan-

hubungan sebab-akibat, keduanya bersifat ambigu. Apakah Paulus benar-

benar memaksudkan dosa itu sebagai bersifat warisan, atau apakah dia

hanya berbicara tentang kematian spiritual yang kita undang melalui

perbuatan dosa?

Pandangan dasar ini, meskipun tertulis dalam Genesis dan

Penduduk Roman, dapat ditelusuri jejaknya secara lebih langsung pada

tulisan-tulisan dari teolog klasik Gereja yang terbesar, St. Agustinus dari

Hippo (354-430). Penjelasan Agustinus tentang dosa asal, dalam bukunya:

“City of God, tidak berbagi keraguan dengan Paulus. Pertama, Agustinus


membedakan kematian tubuh dari kematian jiwa, yang pertama bersifat

tak terhindarkan dan yang kedua bersifat kondisional (bersyarat). Kita

adalah fana secara fisik, tapi jika kita “terbebaskan oleh rahmat Tuhan”

jiwa-jiwa kita mungkin dapat diselamatkan dari neraka.

Kedua, dia mendesak bahwa kematian fisik dan keadaan berdosa

adalah warisan turun-temurun dari transgresi Adam. “Karena sifat

orangtua itu menurun kepada anak.” (“For as man the parent is, such is

man the offspring.”). berdasarkan pada kehendak bebasnya sendiri, Adam

terjerumus ke dalam perbuatan dosa, dan ini dia wariskan kepada semua

anak-anaknya. (ngomong-ngomong, ini telah menjadi jelas dalam Genesis

bahwa seluruh umat manusia diturunkan dari Adam).

Dalam memformulasikan pandangan-pandangannya tentang dosa,

Agustinus sedang berupaya untuk meletakkan kembali penutup pada

kepompong ulat yang sangat besar. Salah satu dari isu-isu teologis yang

sangat membingungkan, dari dulu hingga sekarang ini, adalah masalah

kejahatan. Jika Tuhan itu Maha Baik, Maha Mengetahui, dan Maha Kuasa,

lalu bagaimana mungkin terdapat kejahatan di dunia ini? Bagaimana

mungkin kebaikan sempurna menjadi sumber dari keburukan, atau

bahkan mengizinkannya? Masalah ini tidak muncul dalam agama-agama

politeistik, ketika tak satupun dari dewa itu yang maha baik atau maha

kuasa; dan ketika dewa-dewa itu saling berselisih, hanya keburukan yang

akan timbul.

Sebuah jawaban atas teka-teki ini telah diberikan oleh rekan semasa

Agustinus, seorang pendeta bernama Pelagius. Kejahatan, kata Pelagius,

hanyalah akibat langsung dari tindakan-tindakan manusia, yang


mempunyai kebebasan untuk memilih. Jika anda memilih untuk

mendurhakai hukum-hukum Tuhan, Tuhan akan menimpakan keburukan

kepadamu. Jika banyak warga masyarakat yang melakukan perbuatan

buruk, maka bencana yang meluas akan mengikuti. Teori Pelagius, kecuali

dalam penekanannya tentang kehendak bebas, dalam kenyataannya,

konsisten dengan apa yang kita temukan dalam Perjanjian Lama: angin

dari dosa manusia dan angin puyuh sebagai hukuman dari Tuhan.

Yang menjadi masalah dengan teori ini, dari sudut pandang kaum

ortodoksi, adalah bahwa ia memberi sifat fana pada kuasa untuk

mengacaukan kebaikan penciptaan. Manusia, berbeda dengan Tuhan,

berada dalam kursi sang pengemudi. Orang-orang boleh memilih untuk

melakukan perbuatan baik atau buruk, tapi kemudian, Tuhan memaksa

untuk menghukum mereka. Dengan perilakunya, manusia dapat

memutuskan apakah jiwanya ingin diselamatkan atau dihukum.

Bagaimana kemudian dengan ke-Maha Tahu-an dan ke-Maha Kuasa-an

Tuhan?

Disinilah poin dimana pendapat Agustinus diterima (yang bersama

dengan Gereja, mencap Pelagius sebagai bidah). Manusia tidak dapat

“memilih” untuk berbuat dosa, karena dosa itu bukan sebuah tindakan

melainkan suatu keadaan makhluk, yang kita warisi pada saat kelahiran.

Kejahatan dan keburukan terkandung dalam sifat kita yang melekat

begitu mendalam sehingga tidak ada perbuatan kebaikan atau

serangkaian kebaikan dapat mencuci dan membersihkannya. Karena dosa

asal inilah, manusia dihukum dengan kematian fisik dan penderitaan

abadi. Satu-satunya cara dari kedua faktor ini adalah rahmat Tuhan, yang
mungkin Dia anugerahkan atau tidak Dia anugerahkan sesuai kehendak-

Nya, dan hanya Dia, yang mengetahui kelayakannya. Jadi, kehendak

bebas, setidaknya, ketika ia mengarah pada dosa dan penyelamatan,

adalah sebuah ilusi yang jahat.

Seolah-olah ini tidak cukup memberi tekanan, ia masih

menambahkan penjelasan bahwa ketika Tuhan itu Maha Tahu, maka Dia

telah tahu jauh sebelum anda dilahirkan apakah Dia akan menyelamatkan

anda atau tidak. Ide Agustinus ini merupakan basis filsafat bagi teologi

Calvinistik, yang menganut pendapat bahwa manusia itu terbagi menjadi

dua kelompok, “yang terpilih” (ditakdirkan selamat) dan “yang tidak

terpilih” (ditakdirkan masuk neraka).

Tentu saja, ini membawa kita kembali untuk menyesuaikan dan

mencocokkan pandangan. Bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha

Pemurah mentakdirkan mayoritas umat manusia ke dalam neraka? Atau,

untuk mengembalikan masalah ke akarnya, mengapa Tuhan menciptakan

Adam dan Eva untuk mampu berbuat dosa pada penciptaan yang paling

awal? Sungguh argumen-argumen ini tidak akan ada akhirnya, yang telah

berperan besar dalam terjadinya skisma (perpecahan) dalam tubuh

Protestan pada abad lima belas dan enam belas.

Argumen-argumen sekitar kehendak bebas dan takdir ini adalah

tidak terbatas pada wilayah teologi saja. Beberapa penganut

materialisme---yang meyakini bahwa pikiran itu bukan apa-apa kecuali

materi belaka---berargumen yang membela determinisme sebagai basis

keilmuannya. Ketika otak manusia disebut sebagai sebuah obyek fisik,

teori ini melanjutkan, ia harus mematuhi hukum-hukum fisika, demikian


pula dengan pemikiran danperilaku, sejalan dengan segala sesuatu yang

alam semesta ini. Mengikuti sebuah jalan yang telah ditentukan.

Setidaknya, teori ini telah menjelaskan tentang keadaan dari alam

semesta sekarang ini, segala sesuatunya dapat diprediksi, termasuk apa

yang akan anda makan setiap hari dalam sisa hidup anda. Tentu saja, jika

ini benar, maka apakah anda meyakini atau tidak juga telah ditakdirkan,

yang membuat perdebatan tentang masalah ini menjadi agak kurang

berarti.

Sang Penggerak Utama

Maka, posisi kita sekarang adalah ini: kita telah berargumen bahwa selalu
terdapat gerakan dan selalu akan ada gerakan sepanjang waktu, dan kita
telah menjelaskan apa prinsip pertama dari gerakan abadi ini: kita telah
menjelaskan selanjutnya mana gerakan yang primer dan mana satu-
satunya gerakan yang dapat menjadi abadi: dan kita telah
mendeklarasikan bahwa gerakan pertama [atau “Penggerak Utama”]
adalah tidak berubah.

Aristoteles, Physics, Book VIII, Chapter 9.

Anda mungkin telah akrab dengan ide dasar dibalik “Penggerak

Utama”-nya Aristoteles. Segala sesuatu yang terjadi, disebabkan oleh

sesuatu yang lain. Marilah kita contohkan suatu hujan lebat yang

menimbulkan banjir di dalam ruang bawah tanah anda. Apa yang

menyebabkan turunnya hujan? Tingkat kelembaban yang tinggi. Tapi, apa

yang menyebabkan tingkat kelembaban yang cukup tinggi ini?

Demikianlah, pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan. Tiap-tiap

sesuatu yang menyebabkan sesuatu yang lain adalah karena ia sendiri

disebabkan oleh sesuatu yang lain, dan kita dapat menelusuri jejak dari
mata rantai penyebab-penyebab ini sejauh yang kita inginkan. Tapi, cepat

atau lambat, kita akan sampai pada penyebab pertama yang

menyebabkan sesuatu tapi ia sendiri tidak disebabkan oleh sesuatu yang

lain. Ini adalah sang Penggerak Utama.

Apa yang mendorong proses berpikir Aristoteles adalah ajaran

filsafat Parmenides, yang dengan bantuan dari muridnya yang paradoks,

Zeno, telah membuktikan bahwa gerakan itu adalah mustahil. Parmenides

mengungkapkan hal berikut ini: jika sesuatu eksis, ia memang eksis, dan

ia bukan sesuatu yang tidak dikandungnya. Tapi, jika sesuatu ini ingin

bergerak, ia harus melangkah dari titik mana ia ada menuju titik dimana

ia tidak ada. Tapi kemudian, ia tidak lagi menjadi dirinya secara apa

adanya. Akibatnya, gerak, atau jenis perubahan apapun, adalah mustahil,

dan dengan demikian, apa yang kita pahami sebagai gerak dan

perubahan adalah ilusi.

Bukan sebuah argumen yang sangat mendesak untuk diperhatikan,

tapi, ia menimbulkan beberapa masalah pada masa itu. Aristoteles

berharap dapat menjadikan argumen Parmenides sebagai dasar pijakan

bagi filsafatnya, dan dia mulai dengan menunjukkan bahwa logikanya

bersifat melingkar. Untuk mengatakan bahwa apa yang eksis adalah

persis seperti ia eksis hanyalah sekadar sebuah tautologi, dan ia

mengabaikan fakta bahwa terdapat banyak jenis wujud yang berbeda,

yang mungkin sekali dapat dibagi ke dalam kualitas-kualitas dan kategori-

kategori sehingga dapat dikombinasikan dan dipisahkan. Aristoteles setuju

bahwa pada beberapa level, yang eksis itu bersifat stabil dan tidak

berubah, karena dalam kenyataan, jika kita membicarakan perubahan


atau gerak, kita harus setuju bahwa ia adalah sesuatu yang berubah atau

bergerak. Tapi, tingkat realitas ini---yang dia sebut sebagai “materi”

(matter)---mungkin sekali mengandung sejumlah kualitas, bentuk-bentuk

dan posisi-posisi, dimana Aristoteles secara kolektif menamakannya

“bentuk-bentuk.” (Forms).

Materi dan bentuk adalah dua komponen realitas yang esensial,

menurut Aristoteles; materi tetap menjadi apa adanya ia, bahkan ketika ia

mengadopsi bentuk-bentuk baru. (Sebuah pohon mungkin mengambil

bentuk seperti papan, yang dapat dibentuk menjadi kursi, yang mungkin

dicat merah, dan lain-lain). Tapi, ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan

tentang bagaimana dan mengapa sesuatu itu bergerak dan berubah.

Pertanyaan-pertanyaan bagaimana dan mengapa ini disebut oleh

Aristoteles sebagai “sebab-sebab,” yang dia maksudkan sebagai “sarana-

sarana untuk mengetahui bagaimana sesuatu itu menjadi.” Dia

membedakan empat jenis penyebab ini---material, formal, efisien, dan

final, tapi, saya tidak ingin membahas secara mendalam disini. Sudah

cukup untuk mengatakan bahwa jenis penyebab yang penting bagi

tujuan-tujuan Aristoteles adalah penyebab efisien, suatu tindakan yang

mengawali perubahan apapun. penyebab efisien dari sebuah kursi,

misalnya, adalah tukang kayu yang mengubah materi menjadi bentuk.

Udara dan api cenderung untuk naik, sedangkan air dan bumi cenderung

untuk turun, hanya karena mereka melakukan yang demikian ini; ia

terbangun menjadi material. Demikian pula, langit-langit (heavens)

bergerak dalam sebuah lingkaran karena mereka terbuat dari sebuah

unsur yang dia sebut “aether,” (eter) yang secara alamiah bergeraka
secara melingkar. Tapi, pada akhirnya, dia mulai meragukan teori ini,

sebagian karena gerak melingkarnya itu sendiri, dan sebagian karena ini

sangat tidak mempertimbangkan fenomena alam.

Inilah dimana ide tentang penyebab efisien ini menjadi penting.

Tidak cukup untuk mengatakan bahwa sesuatu itu “secara alami”

bergerak ke atas, ke bawah, atau berkeliling, karena itu menghindari soal

tentang siapa atau apa yang membuat mereka bergerak dengan cara

seperti itu untuk memulainya. Pertanyaan yang sama muncul tentang

gerak-gerak dari makhluk-makhluk hidup. Katakanlah, saya

menggerakkan diri saya untuk memperoleh bir dari dalam kulkas. Apa

yang membuat saya untuk melakukan ini? Saya sedang haus: itulah

penyebab efisiennya. Tapi, apa yang menyebabkan saya haus? Kita dapat

mengikuti semacam sebuah garis yang mempertanyakan dari penyebab

ke penyebab dan ke penyebab berikutnya, tapi, untuk menghindari risiko

mempertanyakan secara terus-menerus, kita harus menganggap bahwa

pada poin yang sama, kita akan sampai pada sebuah penyebab yang

dirinya sendiri tidak disebabkan oleh apapun juga.

Aristoteles mengklaim bahwa setiap perubahan atau gerak, pada

akhirnya, kembali pada “penyebab yang tidak disebabkan” dan

“penggerak yang tidak tergerakkan” yang tunggal dan sama, yang dia

sebut sebagai sang “Penggerak Utama.” Selanjutnya, dia menegaskan

bahwa semua hal yang bergerak dan berubah agar dapat mendekati

beberapa tujuan atau “penyebab final” (final cause). Bagi segala sesuatu,

tujuan ini adalah sempurna: segala sesuatu berupaya keras untuk menjadi

apa yang seharusnya ia dapat menjadi. Penyebab final ini, kesempurnaan


ini, adalah satu dan sama dengan sang Penggerak Utama, yang

kesempurnaannya terekspresikan oleh sebuah fakta bahwa ia tidak

berubah dan tidak juga bergerak.

Dari sudut pandang ilmiah, Aristoteles memahami sang Penggerak

Utama ini sebagai akhir dari mata rantai penyebab, sebuah prinsip yang

bersifat non-materi dan tak berubah yang merancang berbagai hal yang

lain dalam gerak, secara langsung maupun tidak secara langsung. (dalam

kenyataan, satu-satunya hal dimana sang Penggerak Utama ini

menggerakkan secara langsung adalah langit-langit paling luar

[outermost heavens]). Sebagai seorang filosuf, Aristoteles juga

mempunya pandangan metafisik tentang sang Penggerak Utama ini:

dengan menjadi sempurna, ini seharusnya sama dengan “pemikiran”

(filsafat).

Akhirnya, Aristoteles membawa dan mengarahkan sang Penggerak

Utama ke dalam wilayah teologi. Sebagai sumber kehidupan, sang

Penggerak Utama itu sendiri haruslah hidup; sebagaimana halnya dengan

pemikiran, ia harus berpikir secara terus-menerus. Jika ia memikirkan

tentang pergeseran dan hal-hal yang tidak sempurna di dunia ini, maka

pemikiran-pemikirannya, mengikuti obyek-obyeknya, akan juga menjadi

berubah dan tidak sempurna. Tapi, sebagai sang Penggerak Utama itu

sendiri, ini adalah mustahil. Oleh karena itu, sang penggerak Utama

adalah pemikiran yang berpikir tentang dirinya sendiri, kesempurnaan

yang memikirkan kesempurnaannya sendiri. Siapa lagi yang dapat

melakukan ini kecuali Tuhan?


Poin yang bagus, demikian yang dipikirkan oleh teolog abad tiga

belas, St. Thomas Aquinas, yang menggunakan argumen yang sama

untuk membuktikan eksistensi dari suatu “penggerak yang tak

tergerakkan, yaitu Tuhan. Tapi, Aquinas, seperti Aristoteles, bersandar

pada sejumlah asumsi yang tidak dapat dibuktikan---misalnya, bahwa

semua gerak dan penyebab, secara logika, harusnya kembali pada sebuah

entitas primer yang bersifat tunggal. Ini akan terasa logis untuk

berargumen bahwa penyebab-penyebab bergerak secara melingkar, atau

bahwa penyebab-penyebab itu telah ditentukan secara murni oleh hukum-

hukum fisika, atau bahwa dibalik setiap peristiwa terdapat penyebab-

penyebab ganda dimana mereka itu sendiri mempunyai banyak

penyebab, dan demikian seterusnya, dengan menghasilkan penyebab-

penyebab “orisinal yang tak terbatas, daripada hanya satu penyebab saja.

Anda bahkan dapat berargumen---sebagaimana yang dikemukakan oleh

beberapa pihak---bahwa kausalitas itu adalah sebuah fiksi, suatu kreasi

dari pikiran manusia. Tapi kemudian, tak seorang pun yang pernah

mempunyai banyak keberuntungan dengan membuktikan eksistensi

Tuhan pada pijakan-pijakan dasar yang logis, sebagaimana akan kita

lanjutkan pembahasannya pada bab ini.

Silet Occam

Plularitas itu tidak diperlukan tanpa ada kebutuhan yang mendesak.

William of Ockham, Quodlibeta, Book v (ca. 1324)


William of Ockham (“Occam” adalah ejaan bahasa Latin), seorang teolog

Inggris pada awal abad empat belas, sangat tidak dikenal di era sekarang

ini. Thomas Aquinas dan Duns Scotus adalah para Super Star sebagai

bandingannya, namun, adalah Occam yang pemikirannya menunjukkan

apa yang akan terjadi di masa depan dan membayangkan era modern

sekarang.

Satu hal yang diingat oleh beberapa pihak adalah sebutan “silat

cukur”, yang melekat pada nama Occam, karena penegakan logika yang

dia terapkan untuk memangkas absurditas dari argumen-argumen yang

dikemukakan. Prinsip dasar Occam adalah bahwa semakin sederhana

sebuah penjelasan itu, maka semakin lebih baik ia. Jika tidak perlu

menghadirkan kompleksitas-kompleksitas atau pernyatan-pernyataan

yang masih bersifat hipotesa ke dalam suatu argumen, jangan lakukan itu;

bukan hanya akan berakibat pada kurang elegan dan kurang meyakinkan,

ia juga akan menjadi kurang akurat.

Seperti yang akan kita lihat, salah satu pernyataan hipotetis yang

dibuang oleh silet Occam adalah pernyataan tentang eksistensi Tuhan.

Bukan berarti ia tidak meyakini bahwa Tuhan itu eksis, tentu saja; dia

hanya berpikir bahwa anda tidak dapat membuktikan-Nya, karena untuk

melakukan yang demikian ini, anda harus menempuh argumen-argumen

yang kompleks (dan tidak masuk akal). Para teolog menginginkan sebuah

bukti ilmiah tentang Tuhan; tapi apa yang telah dikatakan Occam, dan

mayoritas setiap orang yang pada akhirnya menerima, adalah bahwa ilmu

pengetahuan dan teologi mempunyai obyek-obyek pembahasan yang

berbeda dan menuntut metode-metode yang berbeda.


Sebenarnya, Occam bukanlah orang pertama yang menggunakan

silet pe mangkas argumen ini; dan banyak tersebar dalam karya-karyanya

dimana kita menemukan pernyataan favoritnya: “Entitas-entitas tidak

dilipatgandakan tanpa ada kebutuhan yang mendesak.” Tapi, dia

menggunakannya dengan sikap balas dendam, seringkali dalam bentuk

reaksi terhadap motode-metode teologi dan filsafat yang mengemuka dan

berpengaruh kuat. Pendahulunya, Aquinas, dan para sarjana “Skolastik”

lain---sebuah nama yang mereka peroleh dengan lebih merujuk pada teks

ketimbang pada pengalaman---sangat sangat ingin untuk menjadikan

teologi bersifat ilmiah. Mereka berharap untuk dapat memecahkan

kontradiksi-kontradiksi yang tampak antara ilmu pengetahuan kuno

dengan ajaran-ajaran kitab suci, dan menawarkan penjelasan-penjelasan

rasional atau bukti-bukti dari konsep-konsep teologis (misalnya, eksistensi

Tuhan).

Satu tahap dalam proses ini adalah untuk menangani konsep-

konsep universal seperti “kebaikan” atau “keagungan” (dan bahkan

semacam hal-hal duniawi yang meluas seperti “pohon” atau “anjing”)

sebagai nyata, sebagai entitas-entitas yang independen. Jika kita

menyebut ini adalah “pohon” elm dan itu adalah “pohon” oak, maka harus

ada sesuatu yang nyata, yang eksis dimana keduanya saling berbagi

kegunaan dan pengalaman yang sama (“kepohonan” [treeness]).

Demikian pula, jika Sokrates dan Parmenides adalah baik, ini karena

terdapat sesuatu semacam kebaikan yang dimiliki oleh keduanya. Doktrin

semacam ini---yang bersifat lebih Platonis daripada Aristotelian---dikenal

sebagai “realisme.”
Occam memikirkan realisme sebagai sesuatu yang sangat tidak

masuk akal, sebuah pengkaburan tentang kategori-kategori yang diangkat

ke dalam wilayah ilmu pengetahuan. Ini adalah suatu kesalahan, pikirnya,

untuk memperlakukan nama-nama sebagai realitas-realitas daripada

sebagai deskripsi-deskripsi. (Ide ini bahwa nama-nama hanyalah sekadar

nama-nama belaka disebut dengan “nominalisme). Jika kita menyebut

kedua “pohon” ini elm dan oak, ini karena kita telah memutuskan apa

yang membuat pohon itu sebagai pohon, bukan karena “kepohonan” eksis

secara terpisah dalam realitas. Jika semua pohon, tiba-tiba saja, lenyap,

maka tidak akan ada “kepohonan” yang tersisa untuk dibicarakan, kecuali

sebagai sebuah memori atau sebagai abstraksi murni.

Occam menggunakan silet cukur ini untuk mengakhiri realisme

universal, dengan menegaskan bahwa penjelasan-penjelasan yang valid

harus didasarkan pada fakta-fakta yang sederhana dan dapat diobservasi,

yang dilengkapi dengan logika murni. Dengan menerima syarat-syarat ini

berarti bahwa kita tidak akan mampu untuk membuktikan eksistensi

Tuhan atau kebaikan-Nya secara ilmiah, atau doktrin-doktrin keimanan

apapun. Kesimpulan semacam ini tidak mengganggu dia sama sekali; dia

memikirkan teologi sebagai satu hal (sebuah materi pewahyuan) dan ilmu

pengetahuan adalah hal lain yang berbeda (sebuah materi tentang

penemuan). Ide ini hanya sesaat mengemuka, ketika Galileo telah

menjelaskan kepada anda, tapi pada akhirnya, ilmu pengetahuan dan

agama menempun cara mereka masing-masing yang berbeda. Inilah

seluruh kandungan dari modernisme itu.


Bukti Ontologis
“Bukti ontologis” masih merupakan upaya lain untuk menunjukkan secara

pasti bahwa Tuhan itu Eksis. Dikemukakan pertama kali oleh St. Anselmus

of Canterburry (1033-1109), seorang Italia, pernyataanya berbunyi seperti

ini: selama kita dapat membayangkan kesempurnaan absolut, maka ia

harus eksis. Jika ia eksis, maka inilah Tuhan.

Tidak yakin? Marilah kita lihat pembuktian ini lebih dekat lagi,

pembubuhan istilah “ontologis” oleh Immanuel Kant setelah istilah

penggunaan istilah Yunani ontos (being=ada). Anselmus mulai dengan

eksperimen berikut ini: bayangkan sebuah wujud yang lebih sempurna

dari apapun yang lain. Jika anda memahami kalimat ini, anda harusnya

mempunyai beberapa konsep tentang wujud yang sejenis ini; jika tidak,

berarti kalimat ini tidak dapat dipahami. (Sebagaimana halnya dengan

kalimat “Membayangkan sebuah kuda besar yang bertanduk [unicorn]”

hanya akan masuk akal jika anda mempunyai beberapa konsep tentang

“seekor kuda besar yang bertanduk).

Lalu, apakah wujud ini yang anda bayangkan (sebutlah ia “B”)

hanya sekadar sebuah fantasi? Anselmus tidak berpikir demikian. Karena

jika B tidak eksis, maka anda dapat membayangkan sebuah wujud yang

lebih sempurna lagi, dengan memberi nama sebuah wujud yang seperti B

lain yang juga eksis. Karena dapat dipahami bahwa sebuah kebaikan yang

nyata adalah lebih sempurna daripada sebuah kebaikan yang

dibayangkan. Jadi, asumsi bahwa B adalah sebuah fantasi mestinya

adalah palsu, karena jika ia benar, maka kita dapat membayangkan


sebuah wujud yang lebih sempurna, yang bertentangan dengan hipotesa

ini.

Jadi, B eksis, dan Anselmus mendefinisikannya sebagai Tuhan.

Dengan kata lain, Tuhan persisnya adalah wujud itu yang kita bayangkan

sebagai yang paling sempurna. Jika kita hanya sekadar mencari wujud

paling sempurna yang sedang eksis, kita tidak akan sampai pada

kesimpulan Anselmus ini, karena kita tidak akan dapat membuktikan

bahwa apa yang kita temukan adalah Tuhan. Kunci untuk dapat

memahami bukti Anselmus ini terletak pada konsep tentang wujud ini

sebagai suatu jenis kesempurnaan dalam dirinya, tidak dalam

pengalaman apapun sebelum ini tentang eksistensinya.

Tapi, itulah persisnya yang bermasalah dengan bukti ontologis

Anselmus. Dengan membangun eksistensi ke dalam definisi tentang

“wujud paling sempurna yang dapat dibayangkan”, maka untuk

mengatakan bahwa sebuah wujud semacam itu eksis hanyalah sekadar

menyatakan kembali definisinya. Jika tidak, maka dengan menentangnya,

tidak harus menentang fakta atau kebenaran, sebagaimana yang

disyaratkan oleh bukti ini. Eksistensi dan kesempurnaan, persisnya,

merujuk pada hal yang sama. Bukti Anselmus ini, dengan demikian,

menggunakan pernyataan Immanuel Kant, hanyalah sekadar “sebuah

tautologi yang menyedihkan.”

Kant bukan yang pertama kali menyadari bahwa penunjukan bukti

dari Anselmus ini mengandung masalah-masalah. Dalam kenyataan, salah

satu rekan semasa Anselmus, Gaunilo of Marmoutier, menjelaskan bahwa

bukti ontologis ini dapat digunakan untuk membuktikan eksistensi dari


hampir segala hal. Contoh khusus yang dikemukakan Gaunilo adalah

tentang sebuah pulau yang sempurna, yang lebih baik dari pulau lain

yang pernah dikenal, sebuah tempat yang sangat menyenangkan yang

dapat dibayangkan. Ketika kita dapat membayangkan hal yang semacam

ini, kita harus mempunyai sebuah konsep tentangnya; dan jika ia tidak

eksis, maka kita dapat membayangkan yang lebih sempurna lagi yaitu

pulau (yang eksis), oleh karena itu, ia harus eksis.

Ketika Anselmus merespon kritik Gaunilo, Gaunilo gagal untuk

memahami intisarinya. Karena konsep tentang sebuah pulau ini tidak

melibatkan konsep tentang eksistensi, sebagaimana halnya konsep

tentang sebuah lingkaran sempurna tidak bergantung pada eksistensi dari

jenis lingkaran apapun. Namun, konsep tentang sebuah wujud, pastinya,

melibatkan konsep tentang eksistensi. Kita dapat dengan mudah

membayangkan bahwa sebuah pulau yang sempurna atau sebuah

lingkaran yang sempurna tidak eksis; tapi kita tidak dapat

membayangkan bahwa wujud paling sempurna yang dibayangkan sebagai

tidak eksis, karena konsep yang sama ini membuatnya menjadi tidak

mungkin. Apa yang mungkin tidak eksis berdasarkan definisi yang lebih

sempit dari apa yang tidak dapat tidak eksis. Logika ini berhasil

melambungkan Descartes, Spinoza, dan Leibniz, ke dalam kelompok

filosuf yang menempati posisi tertinggi, tentang validitas dari bukti

ontologis Anselmus.

Lebih dari tujuh abad sebelum Kant akhirnya menuntaskan bukti

ontologis ini. Dalam karyanya Critique of Pure Reason (1781), dia

menunjukkan bahwa Anselmus telah mencampur-adukkan kategori-


kategorinya, dengan memperlakukan suatu unit gramatika (sang predikat

“to be”) sebagai sebuah kuantitas ontologis. Untuk mengatakan bahwa

sebuah sesuatu “ada” atau “eksis” adalah, menurut Kant, tidak

menambahkan sesuatu kepadanya. Tapi, lebih untuk menyatakan bahwa

sesuatu dalam realitas itu sesuai dengan sebuah konsep yang kita miliki.

Untuk mengatakan bahwa “kursi ini eksis” adalah tidak untuk

menambahkan sesuatu pada kursi ini, tapi hanya untuk membuat sebuah

vonis tentangnya---bahwa pengalaman kita menunjukkannya sebagai

nyata. Kita mungkin hanya mengatakan bahwa sesuatu itu “ada” atau

“eksis” jika kita dapat mengalaminya; kebenaran dari pernyataan

semacam ini bergantung pada kesesuaian antara kata atau konsep

dengan sebuah sesuatu dalam realitas.

Singkatnya, jika Tuhan tidak eksis, dia tidak dapat menjadi “lebih

baik” atau dibuat lebih sempurna dengan menambahkan eksistensi

kepadanya, ketika tidak ada “Dia” untuk menambahkan sesuatu kepada

yang lain. Jika predikat “eksis” lenyap, maka demikian pula dengan

subyek “Tuhan” (atau “wujud paling sempurna yang dibayangkan”, atau

“kursi”, atau subyek apa saja yang telah kita kemukakan). Demikian pula,

untuk mengatakan “Tuhan tidak eksis” tidak “mengurangi” apapun dari

Tuhan, ketika kita hanya mengemukakan bahwa tidak ada wujud

semacam “Tuhan” untuk mengambil sesuatu dari yang lain---dalam hal ini,

“Tuhan” adalah subyek gramatikal, bukan subyek yang aktual.

Dengan kata lain, tidak ada kontradiksi logis dalam pernyataan

bahwa “wujud paling sempurna yang dibayangkan itu tidak eksis”: kita

sedang menyatakan, atau mencoba untuk menyatakan, bahwa wujud


semacam ini tidak mempunyai realitas obyektif, lebih tepatnya, daripada

mempertentangkan ide tentang wujud semacam ini dalam dirinya sendiri.

dan jika pernyataan negatif (“X tidak eksis”) secara logika tidak

bertentangan, maka pernyataan positif (“X eksis”) secara logika adalah

tidak perlu. Satu-satunya tes yang benar mengenai apakah sesuatu itu

eksis adalah pengalaman.

Dan itulah akhir dari “bukti” ontologis Anselmus, meskipun terdapat

banyak upaya untuk menyelamatkan beberapa dari argumen semacam ini

dari keruntuhan. Tak satupun yang terbukti sukses, sejauh semua dari

argumen-argumen ini melibatkan beberapa kekaburan kategori-kategori,

tapi anda harus respek terhadap orang-orang itu atas upaya-upaya

mereka.

Perjudian Pascal

Marilah kita mempertimbangkan poin ini dan berkata: “Tuhan eksis atau
Dia tidak eksis.” Tapi, alternatif mana yang akan kita pilih? Akal tidak
dapat menentukan apa-apa: terdapat suatu chaos yang tak terhingga
yang membelah kita. Sebuah koin telah diputar pada titik yang ekstrim
dari jarak yang tak terukur, yang akan menunjukkan gambar kepala atau
gambar ekor. Apa taruhan anda?

Blaise Pascal, Pensees (posthumous edition,


1844)

Tuhan mungkin tidak “bermain dadu” [lihat hal. 105], tapi, kita semua

memainkan dadu dengan Tuhan. Itulah kesimpulan dari pakar matematika

Perancis abad tujuh belas, Blaise Pascal, ketika dia merasa sangat tertarik
untuk mengangkat pertanyaan yang membingungkan tentang eksistensi

Tuhan.

Pascal, tidak seperti Anselmus, mengakui (dengan rasa enggan)

bahwa adalah tidak mungkin untuk “membuktikan” bahwa Tuhan itu

eksis---dalam kenyataan, klaimnya, akal manusia tidak mampu

membuktikan apapun secara pasti. Pertanyaan penting ini, baginya,

adalah apakah seseorang harus meyakini eksistensi Tuhan, dan jawaban

dia adalah bahwa anda akan menjadi bodoh jika tidak meyakini-Nya.

Pemaparan bukti oleh Pascal melibatkan penggunaan ilmu matematika

yang menawarkan berbagai kemungkinan (mathematics of probability),

dimana dia telah membantu untuk menemukannya. (Ia berharap dapat

menarik perhatian sahabat-sahabat aristokratiknya yang merupakan

penggemar berat judi).

Dalam pandangan Pascal, keyakinan anda atau ketidakyakinan anda

kepada Tuhan adalah sama dengan perjudian. Jika Tuhan eksis dan Kitab

Suci itu benar, keyakinan akan membuat anda meraih kebahagiaan tak

terhingga setelah kematian. Jika Tuhan tidak eksis, semua yang anda sia-

siakan dengan meyakini Dia adalah kesenangan-kesenangan terbatas dari

sebuah kehidupan yang fana. Bahkan jika anda berpikir yang aneh-aneh

tentang eksistensi Tuhan yang mendekati titik nol---Pascal menawarkan

ide untuk dipertimbangkan bahwa mereka ini mendekati 50 persennya---

satu-satunya hal rasional yang dapat dilakukan adalah memainkan

permainan ini. (Dalam istilah matematika, persentase apapun yang

terbatas tentang yang tak terbatas adalah tetap tak terbatas). Oleh

karena itu, akal mendiktekan bahwa anda harus meyakini Tuhan.


Tentu saja, anda masih menentang alasan ini, tapi itu hanya akan

terjadi dengan membiarkan nafsu-nafsu anda untuk mengalahkan diri

anda. Menurut Pascal, hasrat-hasrat dapat dijinakkan dengan berperilaku

seolah-olah anda meyakini Tuhan dan dengan berpartisipasi dalam ritual-

ritual kesalehan Kristiani. Begitu anda telah terbiasa dengannya, anda

akan menemukan bahwa dalam meninggalkan kebiasaan-kebiasaan anda

yang tidak bermoral, anda bahkan akan merasa lebih bahagia daripada

sebelumnya---dan ini, dalam pandangan Pascal, adalah pembayaran

sebenarnya dari perjudian ini.

Argumen Pascal cukup sistematis, tapi ketika dirinya sendiri

mungkin telah mengetahui, dengan menggandakan dan membagi

ketakterbatasan adalah sebuah urusan yang sangat sulit. Logika pascal

akan menimbulkan upaya untuk mengejar premis apapun tentang

kebahagiaan yang tak terbatas, agama atau jika tidak demikian, maka ini

adalah hal rasional yang dilakukan jika terdapat peluang non-zero untuk

sukses. (Katakanlah terdapat satu persen peluang Fountain of Youth1;

anda harus menanggalkan semuanya sekarang dan mulai mencarinya).

Agar perjudian Pascal dapat berfungsi, anda harus memberikan apa

saja yang diminta oleh Pascal untuk dapat membuktikan---bahwa jika

Tuhan eksis, maka Dia adalah tak terbatas, Maha Tahu, Maha Kuasa, dan

Penulis sebenarnya dari Bibel. Tapi, tentu saja, terdapat jumlah tak

terhingga tentang kemungkinan-kemungkinan---misalnya, bahwa Tuhan

eksis tapi tidak begitu peduli tentang perilaku masing-masing individu

(atau lebih merugikan argumen Pascal yaitu) Tuhan eksis tapi tidak dalam

wujud yang tak terbatas.


1
Fountain of Youth = Mata air yang dapat dianggap dapat membuat orang menjadi awet muda. (penerjemah).
Bagaimanapun juga, adalah lebih sulit untuk bertindak berdasarkan

keyakinan-keyakinan yang tidak anda anut yang ingin diakui oleh Pascal.

(dan menduga bahwa Tuhan akan tahu apakah anda tulus atau hanya

sekadar berjudi). Sejauh menyangkut sifat manusia, kesenangan-

kesenangan yang telah pasti akan lebih dipilih ketimbang kesenangan-

kesenangan yang belum pasti, tak peduli betapa menjanjikan ia. Pada

puncak gairah, kemungkinan-kemungkinan tak terbatas tampaknya terlalu

kecil untuk dapat dijadikan sebagai ukuran.

Tuhan Telah Mati


Apakah kamu telah mendengar tentang orang gila itu yang menyalakan
lentera pada jam-jam pagi yang cerah, berlari menuju pasar, dan terus-
menerus berteriak : “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!” ketika
banyak dari mereka yang tidak meyakini Tuhan itu kemudian berdiri
mengerumuninya, banyak yang tertawa atas tingkahlakunya ini....

“Dimana Tuhan,” teriaknya. “Aku akan memberitahumu. Kita telah


membunuh-Nya---engkau dan aku. Kita semua adalah para pembunuh....
Tuhan telah mati. Tuhan akan terus mati. Dan kita telah membunuhnya....”

Friedrich Nietzsche, The Gay Science (1882), bagian 125

Shakespeare tidak mengatakan: “Menjadi atau tidak menjadi.” Dia telah

menulisnya, tapi Hamlet-lah yang mengatakannya. Tidak juga Friedrich

Nietzsche mengatakan “Tuhan telah mati”; orang gila itulah yang

melakukannya. Sementara itu, adalah benar bahwa Nietzsche sendiri

telah menjadi gila pada 45, masih terdapat perbedaan antara kehidupan

dengan sastra, bahkan ketika yang disebut terakhir ini dinamakan filsafat.
Lalu, apa yang dimaksud dengan orang gila itu? Bukan bahwa

terdapat “orang-orang kafir” di dunia ini, karena itu selalu benar; tidak

juga bahwa Tuhan tidak eksis. Karena jika “Tuhan telah mati”, maka dia

harus pernah hidup; tapi ini adalah paradoks, karena jika Tuhan itu pernah

hidup, maka, Dia, Yang Abadi, tidak dapat mati.

Jadi, orang gila itu tidak berbicara tentang orang-orang yang ingkar

terhadap Tuhan, yang selalu dan selalu akan terus terjadi, tapi lebih

tepatnya, Tuhan apa yang telah dihadirkan dan dimaksudkan oleh

kebudayaannya. Tuhan ini adalah suatu keyakinan yang digunakan

bersama-sama terhadap Tuhan, dan ini adalah sejenis keyakinan yang

kadaluwarsa. Dimana Tuhan telah berdiri---pada pusat pengetahuan dan

pemaknaan ---sekarang, terdapat kehampaan. Ilmu pengetahuan dan

filsafat, sama-sama memperlakukan Tuhan sebagai sesuatu yang tidak

relevan, dan sekali lagi, manusia telah menjadi acuan dari segala sesuatu.

Kita orang Barat, yang lebih cenderung pada dunia materi dan

menjauh dari hal-hal supernatural, “telah membunuh” Tuhan para leluhur

kita. Orang-orang kafir ini dalam cerita Nietzsche berpikir bahwa mencari

Tuhan itu hanya lelucon belaka; hanya orang gila yang menyadari situasi

yang sangat gawat dari kematian Tuhan. Bukan bahwa dia menyesalinya;

dalam kenyataan, dia menyebutnya sebagai suatu “perbuatan yang

agung”, bahkan suatu perbuatan yang tampaknya terlalu agung bagi

kita, para pembunuh, untuk menanggungnya. “Haruskah kita sendiri yang

menjadi tuhan-tuhan hanya karena merasa layak?”

Inilah pertanyaan yang diajukan oleh parabel Nietzsche, untuk

kembali ke poin pertama kita, yang adalah sebuah fiksi dan bukan sebuah
pernyataan filsafat. Nietzsche, sebenarnya, sangat membenci spekulasi-

spekulasi metafisik tentang yang dapat dipahami, sifat, dan eksistensi

(atau tidak ada eksistensi) tentang abstraksi-abstraksi supernatural

seperti “Tuhan.” Dia tidak dapat memberi teriakan keras untuk Tuhan, tapi

dia telah mempunyai banyak hal untuk dikatakan, terutama tentang

agama Kristen. Baginya, agama, dengan memfokuskan diri pada

kehidupan abadi, sebenarnya adalah sejenis kematian: ia menjauhkan kita

dari kehidupan dan kebenaran, yang keduanya berada di dalam dunia ini

dan bukan di pulau supernatural yang tidak akan pernah terjangkau.

Selanjutnya, sebuah agama semacam agama Kristen, meskipun ini

adalah ajaran-ajaran Yesus, mengabadikan sikap tidak adanya toleransi

dan konformitas (perilaku yang sesuai dengan tradisi masyarakat),

dimana Nietzsche mendapatinya sebagai sesuatu yang sangat

menjijikkan. Apa saja yang sudah menjadi tua, telah menjadi kebiasaan,

yang bersifat normatif, atau dogmatik, pikirnya, adalah bertentangan

dengan kehidupan dan bertentangan dengan martabat; ia akan

menghadirkan apa yang dia sebut sebagai “mentalitas budak”. Dalam

pengertian inilah, maka, laki-laki atau perempuan yang melangsungkan

kehidupan, dia harus “membunuh” Tuhan---harus melenyapkan dogma,

konformitas, takhayul, dan rasa takut. Inilah langkah pertama yang harus

ditempuh untuk menjadi, bukan tuhan, tapi “manusia super” [lihat hal.

56].
Ide-ide dari Masa Lampau
Filsafat Yunani

“Segala sesuatu Berubah tapi Mengubah Dirinya

sendiri”

Segala sesuatu mengalir dan tak ada yang menetap; segala sesuatu
memberi jalan dan tak ada satupun yang pasti.... anda tidak dapat
melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama, karena air-air yang lain
dan air-air yang lain lagi, akan terus mengalir.... ia selalu dalam proses
perubahan dimana segala sesuatu menemukan tempat istirahatnya....

Heraklitus, fragmen-fragmen

Warga Yunani mengenali filosuf Heraklitus ini sebagai “Yang Sulit

Dimengerti”, dan mereka mempunyai beberapa alasan tentang hal ini.

Heraklitus (akhir abad ke enam SM) mungkin adalah pemikir pra-Sokrates

yang paling mendua. Seorang yang berubah-ubah mood dengan

pandangan yang suram tentang kehidupan, dia, pada intinya, berargumen

bahwa segala sesuatu, baik dan buruk, harus berlalu.

Seperti Thales dari Miletus (penemu Filsafat Yunani), Heraklitus

berpikir bahwa segala sesuatu tercipta dari substansi yang tunggal dan

permanen, yang harusnya adalah salah satu dari keempat “unsur”---

tanah, udara, api, air. Thales telah memilih air; Heraklitus memilih api.
“Halilintar mengendalikan segalanya” adalah prinsip dasarnya yang

misterius.

Dunia ini, pikirnya, adalah seperti nyala api dari sebuah lilin: selalu

sama dalam penampakannya, tapi selalu berubah dalam substansinya.

Ironisnya, contoh yang lebih terkenal yang dia ajukan tentang bentuk atau

substansi paradoks ini adalah yang berkaitan dengan air: “Anda tidak

dapat melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama.” Meskipun sebuah

sungai itu selalu tampak sebagai sungai yang “sama”, air-airnya terus

mengalir tanpa henti. Pada momen anda melangkah ke dalam air, ia telah

lewat.

Demikian pula dengan seluruh isi dunia ini berada dalam suatu

aliran yang mengalir secara terus-menerus; perubahan bersifat konstan

(berlangsung secara terus-menerus) dan tak terhindarkan. Terhadap inti

pandangan Heraklitus bahwa segalanya berubah, maka semua hal yang

lain akan menambah kesimpulan logisnya, “tapi mengubah dirinya

sendiri”. Apa yang tidak dia maksudkan adalah bahwa semua ini adalah

chaos; dibalik proses mengalir dan pertentangan ini, dia melihat sebuah

prinsip yang membimbing, sebuah kekuatan yang mengorganisir, yang

dia sebut dengan logos, sebuah istilah Yunani yang berarti “akal” atau

“logika”.

Adalah logos yang tidak berbentuk ini, yang secara inheren berada

di alam semesta ini, yang membentuk konflik dan perubahan menjadi

keindahan dan kesenangan. “pertentangan membawa harmoni” adalah

salah satu paradoks Heraklitus. “Berdasarkan pada pertentangan ini,

muncul harmoni yang paling indah”. Kebaikan tidak eksis secara terpisah
dengan kejahatan, kesehatan dengan penyakit, kepuasan dengan rasa

lapar, atau keadaan istirahat dengan rasa lelah: mereka adalah dua sisi

dari koin metafisik yang sama, masing-masing menghasilkan yang lainnya

ketika perubahan terus memutar-mutar koin ini.

Ide-ide Heraklitus muncul kembali ke permukaan setelah lama tak

terdengar, meskipun terdapat sedikit perubahan, dalam ajaran filsafat

Empedokles (abad lima SM), yang telah mengilhami penyair Latin, Horace,

empat abad kemudian, untuk menemukan sebuah ungkapan baru

concordia discors---“pertentangan yang harmonis”. Gagasan-gagasan

transisi materi dan kekal yang ideal dari Plato [lihat Goa Plato, hal. 23]

juga berhutang pada Heraklitus, sebagaimana (lebih bersifat tidak

langsung) halnya para pendeta-pendeta gereja yang bijak, yang salah

satu larik hymne-nya berbunyi: “Bagi segalanya terdapat sebuah musim”,

adalah satu dari sekian banyak sentuhan-sentuhan Yunani Heraklitus.

“Manusia Adalah Acuan dari Segala

Sesuatu”
SOCRATES: Dapatkah aku gagal mengetahui apa yang aku pahami?

THEAETETUS: Kamu tidak dapat.

SOCRATES: jadi, kamu cukup benar dalam menegaskan bahwa


pengetahuan itu hanya persepsi; dan makna ini menjadi sama, apakah
dengan Homer dan Heraklitus, dan semua kelompok itu, kamu
mengatakan bahwa semua adalah gerak dan aliran, atau dengan
pernyataan manusia arif yang agung, Protagoras, bahwa manusia adalah
acuan dari segala sesuatu; atau dengan Theaetetus, bahwa, yang
menyampaikan premis-premis ini, persepsi adalah pengetahuan.
Plato, Theaetetus

Jika anda sangat akrab dengan teknik-teknik berfilsafat Sokrates, anda

akan telah menduga bahwa dia sedang mengangkat Theaetetus untuk

kemudian menjatuhkannya. Ide ini bahwa “manusia adalah acuan dari

segala sesuatu” membuat upaya Sokrates gagal total; tapi, daripada

mengatakannya secara langsung dan terbuka, dia secara halus

mengendalikan rekan dialognya yang masih muda dengan menerapkan

“metode Sokrates” sehingga Theaetetus akan dapat memahami mengapa

ide ini tidak benar. Pada akhirnya, keduanya tidak menyimpulkan bahwa

ide ini sebagai benar, tapi setidaknya, keduanya bersepakat bahwa

pendapat Protagoras adalah salah.

Protagoras (abad lima SM) adalah pendiri sebuah kelompok yang

disebut Sophis, yang meyakini bahwa kearifan dapat diajarkan (dengan

imbalan uang)---sebuah ide yang radikal pada masa itu. prinsip yang

mendasari filsafat Protagoras adalah bahwa “manusia adalah acuan dari

segala sesuatu”; dengan kata lain, banyak hal yang eksis disebabkan oleh

bagaimana cara kita memahami mereka. Obyek duniawi sebagai

persediaan bagi manusia, dan tak ada satupun di luar manusia yang

dapat menentukan keberadaan atau kebenarannya. Ini lebih bersifat ide

yang abstrak, yang merupakan hukuman bagi gagasan Sokrates tentang

ideal-ideal, secara mengejutkan telah menjadi ungkapan populer yang

menarik perhatian luas. Tapi, ungkapan itu sekarang ini kita artikan

sebagai “kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat kita-lah yang

menentukan apa yang berarti di dunia ini.”


Paradoks Zeno

Anda mungkin telah mendengar sebuah versi tentang paradoks Zeno---

atau lebih tepatnya, satu dari paradoks-paradoks Zeno; sang filosuf

Yunani (abad lima SM) ini penuh dengan paradoks-paradoks. Bahkan

Zeno, seorang filosuf pengganggu (banyak melancarkan kritik-kritik yang

membuat kesal orang lain), membuat paradoks sebagai filsafatnya.

Meskipun hanya satu yang disebut dengan “Paradoks Zeno”, dan ia

muncul dalam beragam bentuk. Sekarang ini, yang paling umum adalah

ini: anggaplah bahwa anda sedang melakukan perjalanan dari titik A ke

titik B. Untuk mencapai B, anda harus melakukan perjalanan separuh

jarak terlebih dahulu. Begitu anda telah tiba di pertengahan, anda harus

menempuh lagi jarak yang tersisa. Tapi, begitu anda telah sampai di

pertengahan dari jarak yang masih tersisa ini, anda masih harus

menempuh separuh jarak lagi.

Dalam kenyataan, serangkaian peristiwa ini terus berlanjut secara

ad infinitum. Ketika ini membutuhkan beberapa waktu, tak peduli betapa

sedikit waktu yang dibutuhkan, untuk menempuh jarak yang tersisa, dan

ketika jarak yang tersisa ini selalu dapat dibagi separuh, ini kemudian

akan membuat anda membutuhkan jumlah waktu yang tak terbatas guna

menempuh perjalanan dari A ke B. Singkatnya, adalah mustahil untuk

mencapai titik B.
Sebuah versi yang lebih berwarna dari paradoks ini melibatkan

pertandingan balapan antara pahlawan bangsa Yunani Achilles dengan

seekor kura-kura yang lamban. Marilah kita katakan bahwa Achilles

kesempatan kepada kura-kura untuk memulai start terlebih dahulu; anda

dapat membuktikan, dengan menggunakan logika Zeno, bahwa dia

(Achilles) tidak mungkin dapat memenangkan lomba balap ini. Anggaplah

bahwa Achilles mulai berlari pada pukul 13.00. Aar dapat menyusul kura-

kura, dia harus sampai terlebih dahulu ke tempat dimana kura-kura akan

sampai di tempat itu pada pukul 13.00, tapi itu mungkin membutuhkan

waktu 10 menit. Dalam waktu sepuluh menit itu, kura-kura telah

menempuh sedikit lebih jauh, demikian pula dengan Achilles, untuk dapat

menyusul, harus mencapai titik dimana kura-kura akan sampai pada pukul

13.10. ini akan membutuhkan beberapa waktu, katakanlah lima menit.

Tapi, dalam waktu lima menit itu, kura-kura telah berjalan lebih jauh

dengan susah payah menuju garis finish, dan sekarang Achilles harus

membalap ke titik dimana kura-kura akan sampai pada pukul 13:15. Dan

seterusnya. Oleh karena itu, kura-kura akan selalu berada di depan

Achilles, tak peduli betapa cepat Achilles berlari.

Zeno, tentu saja mengetahui dalam realitas, karena ini telah

dipahami secara luas, Achilles atau orang lain yang sehat, akan dapat

dengan mudah mengalahkan kura-kura dalam arena balapan. Dia hanya

tidak yakin bahwa pemahaman umum tentang realitas ini bersifat koheren

(secara logika saling berkaitan), seperti yang telah dia coba tunjukkan

bahwa pemahaman umum (common sense) dan hukum-hukum gerak

keduanya tidak dapat menjadi benar sekaligus. (Kesalahan Zeno: dia tidak
menyadari bahwa sedang membagi ketakterhinggaan dengan

ketakterhinggaan, tapi anda benar-benar tidak perlu mengetahui

perinciannya). Apa yang sebenarnya ingin dibuktikan oleh Zeno adalah

doktrin dari mentor-nya, Parmenides, yang gagasan-gagasannya tentang

ada dan tidak-ada lebih bersifat abstrak---menurut Parmenides, bahkan,

realitas itu tidak nyata.

Para filosuf Yunani di era Parmenides, tidak dapat membuat lobang-

lobang yang efektif dalam argumen-argumennya; filosuf pertama yang

berhasil melakukan ini adalah Plato, yang menyerang doktrin-doktrin

Parmenides dalam suatu serangkaian dialog (Parmenides, Theaetetus, dan

Sophist). Tapi, Plato tidak sepenuhnya keluar sebagai pemenang, ketika

Aristoteles masih menganggap perlu untuk memikirkannya guna

menantang dan membuktikan kesalahan-kesalahan dari argumen-

argumen Parmenides dan Zeno, yang telah dia lakukan dalam wacananya

yang menguji tentang penyebab-penyebab gerak. Namun, tesis akhir

Aristoteles, mengandung masalah-masalahnya sendiri [lihat Sang

Penggerak Utama, hal. ...].

Gua Plato (Idealisme)


“Dan sekarang,” [Sokrates] berkata, “biar aku tunjukkan dalam sebuah
gambar tentang seberapa jauh sifat dasar kita dapat tercerahkan atau
tidak tercerahkan: Perhatikan! Umat manusia hidup di dalam tempat
perlindungan di bawah permukaan tanah, yang mempunyai sebuah mulut
yang terbuka menuju cahaya dan mencapai tempat perlindungan
tersembunyi itu sepenuhnya; disini, mereka telah berada sejak masa
kanak-kanak mereka, dan kaki serta leher mereka terbelenggu rantai
sehingga mereka tidak dapat bergerak, dan hanya dapat melihat [obyek]
yang ada di depan mereka saja, karena dicegah oleh rantai-rantai itu dari
menoleh ke sekitarnya. Di atas dan di belakang mereka terdapat api yang
menyala dari kejauhan, dan antara api dengan para tawanan ini terdapat
sebuah jalan yang mendaki; dan engkau akan melihat, jika engkau
melihat, sebuah bangunan dinding yang rendah di sepanjang jalan itu,
seperti layar dimana para pemain yang memainkan boneka-boneka [yang
dikendalikan oleh tali-temali] berada di depan mereka, tempat dimana
mereka menampilkan boneka-boneka ini....[mereka seperti diri kita] dan
mereka hanya melihat bayang-bayang mereka sendiri, atau bayang-
bayang satu sama lain, dimana nyala api memantul ke dinding goa yang
ada di seberang.”

Plato, Republic, Book 7

Plato (hidup sekitar tahun 428-348 SM) tidak berpikir bahwa suasana

seperti digambarkan di atas adalah yang terbaik dari seluruh dunia yang

mungkin. Ini adalah sejenis penjara, tulisnya, dimana kita terperangkap

dalam kegelapan dan bayang-bayang. Tapi, dibalik penjara ini, terdapat

secercah dunia yang cerah dan penuh harapan tentang kebenaran yang

dia sebut sebagai dunia ide atau ideal-ideal. Oleh karena itulah, kita

menyebut doktrinnya sebagai “idealisme”.

Plato mengembangkan ide-ide idealistiknya yang sangat layak

untuk diperhatikan dalam bukunya Republic, dimana seperti biasanya,

juru bicaranya adalah mentor-nya yaitu Sokrates. (Sejauhmana

sebenarnya Plato menganut pandangan-pandangan Plato, tidak

diketahui). Socrates membandingkan dunia sehari-hari ini dengan sebuah

“tempat perlindungan tersembunyi di bawah permukaan tanah” atau goa

dimana kita terbelenggu oleh rantai di dalamnya. Di depan kita berdiri

sebuah dinding dan di belakang kita adan api; tidak dapat menolehkan

kepala kita, kita hanya melihat bayang-bayang pada dinding yang


dipantulkan oleh nyala api. Sama sekali tidak mengetahui apapun, kita

secara alami menganggap bayang-bayang ini sebagai “realitas”; rekan-

rekan sesama kita dan semua benda di dalam gua, tidak mempunyai

realitas bagi kita selain dari ini.

Tapi, jika kita dapat membebaskan diri dari belenggu rantai ini, jika

kita hanya dapat menoleh ke arah mulut gua itu, kita pada akhirnya akan

menyadari kesalahan kita. Pada mulanya, cahaya langsung akan sangat

menyakitkan dan membutakan. Tapi, dengan segera, kita akan

beradaptasi dan mulai memahami orang-orang dan benda-benda yang

sebenarnya, yang pernah kita kenali hanya dalam bentuk bayang-bayang.

Meskipun demikian, kita akan melekatkan kebiasaan pada bayang-

bayang, masih meyakini mereka sebagai nyata dan sumber-sumber

mereka hanyalah ilusi-ilusi. Tapi, jika kita berupaya menarik diri keluar dari

gua dan mengarah menuju cahaya, maka, cepat atau lambat, kita akan

sampai pada pandangan yang tepat tentang berbagai hal dan menyesali

kebodohan kita sebelumnya.

Analogi Plato adalah sebuah serangan terhadap kebiasan-kebiasaan

berpikir kita. Kita ini, katanya, terbiasa menerima obyek-obyek yang

konkret di sekitar kita sebagai “nyata”, padahal tidak demikian. Atau,

lebih tepatnya, mereka hanya ketidaksempurnaan dan tiruan-tiruan yang

tidak “nyata” dari “bentuk-bentuk” yang tak berubah dan abadi. Bentuk-

bentuk ini, sebagaimana Plato mendefinisikan mereka, adalah bersifat

permanen, ideal, dan realitas-realitas orisinal darimana

ketidaksempurnaan dan tiruan-tiruan konkret yang bersifat merusak ini

menjadi terhapus. Misalnya, setiap kursi di dalam dunia-obyek kita yang


kita akrabi adalah sekadar imitasi atau “bayang-bayang” dari Kursi Ideal.

Setiap bangku adalah sebuah tiruan dari Bangku Ideal, yang tidak pernah

berubah, yang eksis dalam keabadian, dan di atas mana anda tidak

pernah dapat menumpahkan kopi.

Kursi-kursi dan bangku-bangku ideal ini, menurut Plato, bukanlah

fantasi-fantasi; mereka bahkan lebih “nyata” dibandingkan dengan tiruan-

tiruan duniawi mereka, karena mereka lebih sempurna dan lebih

universal. Namun karena indera-indera kita yang sangat terbatas selalu

saja terperangkap, sehingga kita buta akan dunia ideal-ideal. Pikiran kita

terbelenggu oleh tiruan-tiruan ini, dimana kita menjadi salah paham

terhadap realitas. Kita adalah para tawanan dalam sebuah gua filsafat.

Tapi, semuanya tidak hilang, karena meskipun manusia dimanapun

juga berada dalam keadaan terbelenggu, filsafat dapat membebaskan

kita. Jika kita hanya membiarkannya, ia akan menyeret kita dari gua

kegelapan dan kebodohan menuju cahaya dari wujud sejati. Kita boleh

jadi, untuk sementara waktu, menolak pada apa yang kita lihat kemudian,

dengan melekatkan diri kita pada “realitas” obyek-obyek dan mengingkari

kebenaran dari Ideal-ideal filosofis. Tapi, cepat atau lambat, kita akan

mulai melihat dengan jelas, dan bahkan mendekati ide yang paling

mendasar, yang paling ideal dari ideal –ideal, yaitu Idea tentang Kebaikan

itu sendiri. tentu saja, dengan menjadi seorang filosuf, Plato

mendefinisikan Kebaikan sebagai pengetahuan.

Tiga Hukum Pemikiran


Sekarang ini, adalah mustahil bahwa hal-hal yang bertentangan harus
berada pada saat yang bersamaan true of the samething, mudah
dipahami bahwa hal-hal yang berlawanan juga tidak dapat terjadi pada
waktu yang sama pada sesuatu yang sama, adalah juga kemustahilan
bahwa hal-hal yang berlawanan terkait dengan suatu subyek pada saat
yang sama, kecuali keduanya terhubung dengannya dalalm hubungan-
hubungan yang khusus, atau salah satunya berada dalam hubungan yang
khusus dan yang lain tanpa kualifikasi. Tapi, pada sisi lain, tidak mungkin
ada suatu perantara antara hal-hal yang bertentangan ini, tapi tentang
satu subyek kita harus menegaskan atau mengingkari satu predikat
apapun.

Aristoteles, Metaphysics, Book IV,


Bab 6-7

Selama lebih dari dua milenium, logika Barat dibentuk oleh tiga “hukum-

hukum pemikiran” yang mendasar. Tak ada keraguan sedikitpun pada

permukaannya, aksioma-aksioma ini, praktis, mendefinisikan cara kita

berpikir. Tapi, hukum-hukum pemikiran ini sebenarnya jauh lebih kompleks

dan tidak mudah dipahami sebagaimana tampaknya.

Tiga hukum pemikiran ini, sebagaimana telah dikodifikasikan oleh

Aristoteles adalah sebagai berikut:

1) Sesuatu adalah identik dengan dirinya sendiri. Ekspresi simbolik

yang standar dari hukum ini, yang disebut dengan “hukum

identitas,” adalah “A = A”. Contoh: “Sokrates adalah Sokrates.”

2) Sesuatu tidak dapat sekaligus menjadi dan tidak menjadi---“A dan

bukan-A adalah tidak benar.” Ini disebut dengan “hukum

kontradiksi.” Contoh: “Adalah tidak benar bahwa Sokrates itu

manusia dan bukan manusia sekaligus.”

3) Menggambarkan suatu keadaan atau yang pasti atau kualitas A,

sesuatu harus memiliki kualitas ini atau tidak---“Baik A atau bukan-


A”. Ini disebut “hukum yang dikecualikan bagian tengahnya”, ketika

tidak ada ranah pertengahan antara A dan bukan-A. Contoh:

“Sokrates hidup atau tidak-hidup.”

Adalah cukup sulit untuk berargumen dengan ketiga hukum pemikiran

ini, yang biasanya kita anggap sepenuhnya benar tanpa pemikiran

kritis. Tapi, para filosuf dan pakar-pakar matematika, tidak peduli

dengan apa yang telah menjadi kebiasaan; mereka peduli tentang apa

yang benar. Apakah hukum-hukum ini pasti benar dalam setiap situasi

yang mungkin? Selama waktu satu abad yang lalu hingga sekarang ini,

jawabannya adalah “tidak”.

Keraguan-keraguan mulai muncul begitu para filosuf berpikir

lebih serius lagi tentang makna-makna “is” dan “not” dalam hukum-

hukum Aristoteles. Karena, kata-kata semacam ini, mungkin,

digunakan dalam beragam cara, hukum-hukum ini dengan mudah jatuh

ke dalam kekacauan semantik. Yang paling menarik dari masalah-

masalah jenis ini menimbulkan kebingungan tentang hukum tentang

ranah pertengahan yang dikecualikan (3). Ambillah sebuah contoh

sederhana seperti “Sekuntum mawar berwarna merah atau ia tidak

(berwarna merah).” Seberapa sederhana ia sebenarnya? Barangkali,

anda dan saya tidak setuju pada seberapa merah sekuntum mawar itu

seharusnya menjadi “merah”; barangkali, kita bahkan tidak setuju

dengan apa yang dimaksudkan dengan warna “merah”. Saya pernah

mempunyai sebuah Volkswagen Golf yang saya sebut “merah” dan

orang lain menyebutnya “oranye”. Kita semua setuju bahwa ia sangat


buruk, tapi kita tidak dapat menyetujui pada bagaimana cara

menggambarkan keburukan ini.

Kualitas-kualitas (“predikat-predikat”, untuk menggunakan istilah

yang logis) seringkali bersifat subyektif. Saya mungkin berpikir bahwa

John itu tinggi, tapi, anda mungkin sekali tidak berpikir demikian. Kita

mungkin sama-sama benar; apa itu “benar” (right)? Dapatkah kita

katakan bahwa kedua pernyataan ini sebagai “benar” (true)? Ambillah

contoh yang lain: pernyataan “Kuda-kuda besar yang bertanduk adalah

buas.” Ini tidak benar, karena kuda-kuda itu tidak eksis. Tapi,

pernyataan yang berlawanan “Kuda-kuda besar bertanduk adalah tidak

buas” adalah sama tidak benarnya, berdasarkan alasan yang sama.

Para pakar matematika baru-baru ini telah membuat keberatan-

keberatan serupa terhadap semua hukum-hukum ini, atau setidaknya

terhadap klaim bahwa mereka (ketiga hukum) ini merupakan sebuah

basis yang mencukupi bagi logika. Baik saja mengatakan bahwa 5

adalah 5, atau bahwa 5 tidak dapat menjadi bukan-5, atau bahwa 5

harus menjadi bilangan yang dapat dibagi dengan dua (even) atau

bilangan yang tak dapat dibagi dengan dua (odd). Tapi, begitu kita

memasuki bidang bilangan-bilangan yang tak terbatas, maka

pernyataan-pernyataan ini menjadi tidak mempunyai makna; kita tidak

dapat membuktikan bahwa suatu bilangan yang tak terbatas adalah

bilangan yang dapat dibagi dua atau bilangan yang tak dapat dibagi

dua. (“Angka nol adalah dapat dibagi dua” dan “angka 1 adalah

bilangan prima” adalah proposisi-proposisi yang tak dapat dipecahkan).

Demikian pula, untuk mengambil contoh dari Fisika, kita tidak dapat
mengatakan, “Cahaya adalah sebuah gelombang atau bukan-sebuah

gelombang.” Berdasarkan pada alasan-alasan semacam ini, hukum-

hukum pemikiran ini banyak diwarnai oleh sikap tidak setuju dan

menentang, setidaknya dalam lingkungan-lingkungan ilmiah.

Hukum-hukum pemikiran ini juga mempunyai masalah-masalah

tersendiri di kalangan para filosuf, yang paling penting diantara mereka

adalah G.W.F Hegel. Sejauh pernyataan Hegel dicermati, sesuatu

dapat, dalam beberapa pengertian, menjadi sesuatu yang berlawanan

dengan dirinya sendiri. untuk lebih jelasnya pembahasan tentang

gagasan yang sangat memutar otak ini, lihat DIALEKTIKA, hal. 51.

COGITO ERGO HUH?: Awal Mula


Filsafat Modern

“Aku Berpikir, Maka Aku Ada (Cogito Ergo Sum)

Aku memperhatikan bahwa saat aku sedang mencoba untuk berpikir


bahwa segalanya adalah tidak benar, ia haruslah yang demikian itu, yang
sedang memikirkan ini, adalah sesuatu. Dan mengobservasi kebenaran
ini. Aku berpikir, maka aku ada [cogito ergo sum] adalah sedemikian solid
dan dapat diandalkan (bebas dari keraguan) bahwa kebanyakan dari
pengandaian-pengandaian yang berlebihan dari kelompok yang skeptis,
tidak dapat menyangkalnya, aku berpendapat bahwa aku tidak perlu
merasa segan (demi untuk memenuhi rasa sopan santun dan etika) untuk
menerimanya sebagai prinsip pertama filsafat yang aku cari.

Rene Descartes, Discourse on Method


(1637)
Ini mungkin tidak seperti pencapaian (prestasi) besar jika kita mengingat

dan memahami kembali peristiwanya, tapi ketika Rene Descartes

membuktikan eksistensinya sendiri, ini adalah sesuatu yang luar biasa.

Salah satu dari pembuktian-pembuktian filsafat yang paling

sederhana, paling elegan, dan paling terkenal adalah, “Aku berpikir, maka

aku ada” telah menggoyahkan sendi-sendi skeptisisme dan menjadi

ungkapan yang sangat ngetrend di masa Descartes. Para sahabat dan

kolega-kolega Descartes yaitu para filosuf atau pakar matematika

Perancis (1596-1650) telah menganut pandangan bahwa tak ada satupun

yang pasti, kecuali kemungkinan-kemungkinan, karena pikiran (mind) itu

begitu mudah diperdaya.

Tapi, setelah melakukan gebrakan pertamanya dengan menemukan

sistem koordinat Cartesian, Descartes telah mempunyai ketertarikan

pribadi untuk membuktikan bahwa, setidaknya, beberapa hal (seperti

teori-teori Matematika) adalah sepenuhnya benar. Tanpa ada basis-basis

kepastian, dia meyakini, tidak akan ada pengetahuan yang benar sama

sekali, hanya sekadar probabilitas yang tidak berfungsi.

Descartes menganggapnya sebagai sesuatu yang pasti akan terjadi

bahwa pengetahuan itu, pada akhirnya, harus didasarkan pada satu fakta

yang tak terbantahkan. Untuk menemukannya, dia mulai dengan

menerima argumen-argumen yang mengandung sikap-sikap skeptis yang

telah diakrabi. Marilah kita berasumsi, sejalan dengan teori Descartes,

bahwa indera-indera kita tidak dapat diandalkan dan seringkali

mengarahkan kita pada kesimpulan-kesimpulan yang salah. (Misalnya,

kita melihat matahari “terbit”, padahal ini adalah pergerakan bumi; kita
kadang-kadang menyalah-artikan mimpi-mimpi dan bayangan-bayangan

sebagai kenyataan-kenyataan). Oleh karena itu, ketika hal-hal ini bersifat

tidak pasti dan yang mengandung ilusi-ilusi, kita harus menolak kesan-

kesan (impressions) ini sebagai basis bagi pengetahuan.

Yang tersisa adalah kemampuan untuk berpikir (reason), yang

Descartes dan para “rasionalis” lain yakini sebagai pembimbing yang

dapat diandalkan daripada pengalaman. Tapi, menganggap ini sebagai

benar adalah juga mengandung kesalahan, dan bahwa logika pun dapat

melakukan kesalahan. Barangkali, gagasan-gagasan yang tampak

membuktikan dirinya sendiri (self evident) seperti “2 + 2 = 4” dan

“kebahagiaan adalah baik” sebenarnya adalah salah, dan telah

ditanamkan ke dalam pikiran kita oleh setan jahat yang sangat kuat yang

telah membengkokkan sepenuhnya dalam tipuan. Anggaplah juga bahwa

seluruh dunia ini dan semua yang ada di dalamnya, termasuk pemikiran

yang rasional, adalah sebuah mimpi dalam pikiran setan jahat ini. Kita

tidak punya cara untuk membuktikan bahwa ini adalah benar atau salah;

lalu, apa yang mungkin dapat tersisa sebagai sebuah kebenaran absolut?

Jawaban Descartes adalah: fakta yang sama bahwa dia telah

memikirkannya, seluruhnya, di tempat pertama. Yaitu, tidak peduli

skenario apa tentang realitas yang anda upayakan, anda masih sedang

memikirkan –nya, anda harus eksis. Atau---dalam versi Latin dalam buku

Discourse on Method---cogito ergo sum: “aku berpikir, maka aku ada.”

Kesimpulan Descartes ini, akhirnya, adalah pondasi dari

pengetahuan yang benar---pemikiran itu sendiri, dan apapun pemikiran-

pemikiran yang khusus (seperti “substansi”, “diri”, dan “Tuhan”) adalah


bersifat bawaan dalam pikiran. Tapi, disini, kita harus berhenti untuk

mengajukan beberapa pertanyaan kepada Descartes. Marilah kita

pastikan bahwa cogito ergo sum adalah benar dan mengabaikan

kemungkinan bahwa pemikiran itu sendiri boleh jadi adalah sebuah

bayangan. Meskipun demikian, ia bukanlah sebuah langkah segera untuk

memastikan ide-ide seperti “Tuhan”---kandungan dari pemikiran kita ini,

jika bukan merupakan fakta, masih dapat menjadi sebuah tipuan setan.

Tapi bagi Descartes, kesimpulan-kesimpulan semacam ini adalah

tak-terbayangkan. Dia merasa pasti dia telah eksis, bahwa dia telah

berpikir, dan bahwa impresi-impresi yang jelas dan terpilah-pilah adalah

esensi dari pemikiran: bahwa tanpa mereka, pemikiran tidak terjadi. Dan

ketika Pencipta yang maha kuasa dan maha pemurah---Tuhan---adalah

termasuk dalam impresi-impresi ini, Tuhan harus eksis. Dan, dengan

menjadi maha kuasa dan maha pemurah ini, Tuhan mencegah eksistensi

maha kuasa-Nya, dari tipuan setan jahat. Begitu kita menentukan sang

setan ini, kita menentukan keraguan-keraguan kita tentang kebenaran-

kebenaran matematis yang logis.

Ini masih menyisakan masalah-masalah bagi kita tentang impresi-

impresi yang tak pasti. Descartes telah memikirkan bahwa Tuhan tidak

akan pernah mengizinkan kita untuk menjadi sepenuhnya tertipu,

sehingga kita dapat, setidaknya, mempercayai bahwa dunia ini eksis dan

bahwa substansinya adalah nyata. Pada sisi lain, substansi fisik adalah

sangat berbeda dan terpisah dari pemikiran, yang mengarah pada

“masalah tubuh/pikiran” Descartes yang terkenal


Jika pikiran eksis, ada dimana ia? Jika ia ada di suatu tempat, ia

mempunyai lokasi fisik dan realitas, dan ia seharusnya menjadi sejenis

substansi. Jika ia tidak mempunyai substansi, dengan cara apa ia eksis?

Descartes tidak mampu untuk memecahkan teka-teki ini (dia menyatakan

dengan dasar yang lemah bahwa pikiran itu terletak di pusat otak---pineal

gland). Dalam kenyataan, tak seorangpun yang pernah berupaya

mengajukan sebuah solusi yang benar-benar masuk akal. Terdapat

kecenderungan dalam ilmu pengetahuan sekarang ini yang mengarah

pada mendefinisikan pikiran hanya sebagai sekumpulan reaksi-reaksi

kimiawi syaraf (neurochemical reactions); tapi, saya tidak akan menahan

napas saya untuk menunggu pembuktian ini.

Rasionalisme Descartes, sebuah produk dari abad pertengahan,

menyatakan bahwa kebenaran mensyaratkan adanya kepastian, pada

akhirnya, gugur di hadapan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan

empiris, yang menyatakan bahwa kebenaran-kebenaran itu selalu bersifat

hipotetis, sementara, selalu memberi peluang adanya perkembangan

yang lebih baik, dan terikat dengan proses trial and errorsebagaimana

yang terjadi pada proses berpikir yang logis. Namun demikian, cogito ergo

sum masih tetap suatu ide yang hebat---sebuah prestasi puncak dari

filsafat kuno dan sebuah stimulus bagi logika modern dan metafisika.

Sistem koordinasi Descartes mungkin dapat bertahan lebih lama, tapi, ini

lebih banyak ditentukan oleh aspek cogito ini yang membuat kita

mengingat Descartes.
Garpu Hume
Garpu Hume adalah sebuah alat filsafat untuk memisahkan masalah-

masalah yang sangat menarik dari masalah-masalah yang sekadar tiruan

belaka. Dikemukakan oleh orang Skotlandia, David Hume, (1711-1776),

ide dasarnya adalah bahwa setiap pernyataan atau klaim akan terjatuh

dalam salah satu dari tiga kategori berikut: 1) benar atau salah

berdasarkan definisi, 2) bergantung pada pengalaman, atau 3) hal-hal

yang tidak masuk akal. Inilah ketiga ujung runcing garpu. Sejauh yang

dicermati oleh Hume, hanya pernyataan-pernyataan tipe 2 yang sangat

menarik, sehingga dia disebut sebagai seorang “empirisis” (dari bahasa

latin “pengalaman”).

Namun, sebenarnya, Hume telah mencuri ide dasar ini dari apa

yang disebut dengan “rasionalisme” Gottfried Leibniz (1646-1716), yang

mengikuti jejak Descartes dalam meyakini bahwa proses berpikir logis

adalah sebuah pedoman yang lebih pasti menuju kebenaran dibandingkan

dengan pengalaman. Leibniz mempunyai garpunya sendiri, tapi ia hanya

mempunyai dua ujung tajam: 1) pernyataan-pernyataan positif

[assertions] dan bersifat logis yang tak terhindarkan dan 2) pernyataan-

pernyataan positif “yang mungkin” (kontingen = tidak harus). Contoh-

contoh dari pernyataan-pernyataan positif yang perlu adalah “2 + 2 = 4”

dan “anjing spaniel adalah seekor anjing.” Bahwa kedua pernyataan

positif ini harus berarti bahwa pernyataan-pernyataan yang negatif dari

keduanya adalah tidak benar. Contoh-contoh dari pernyataan-pernyataan


positif yang kontingen adalah “Caesar menyeberangi [sungai] Rubicon”2

dan “Bill Clinton adalah presiden amerika Serikat.” Kedua pernyataan ini

mungkin saja benar, tapi pernyataan-pernyataan sebaliknya yang

bertentangan, tidak harus salah. Kebenaran atau ketidakbenaran dalam

hal ini adalah bersifat tidak logis, tapi bergantung pada peristiwa-

peristiwa sejarah yang mungkin telah berlangsung secara berbeda.

Tapi, Leibniz telah membuat pembedaan ini hanya untuk

menghancurkannya. Apa yang dia yakini adalah bahwa proposisi-proposisi

kontingen adalah suatu keharusan jika anda melihat mereka dengan cara

yang benar. Bill Clinton harus memenangkan pemilu tahun 1992, karena

hasil pemilu ini telah ditetapkan sebelumnya oleh Tuhan. Tidak ada

“realitas alternatif” yang mungkin dimana dia dapat mengalami

kekalahan. Segala sesuatunya adalah sebagaimana yang telah

dimaksudkan, sehingga tidak ada pernyataan-pernyataan positif yang

bersifat kontingen.

Hume, bersama dengan rekan-rekan Inggris penganut empirisme,

mengejek pada kebodohan-kebodohan orang-orang Eropa. Seperti Leibniz,

Hume membedakan proposisi-proposisi yang bersifat harus (yang dia

sebut sebagai “relasi-relasi dari ide-ide”) dari yang bersifat kontingen

(“hal-hal yang berdasarkan pada fakta”), tapi dia mendesak bahwa

mereka sungguh berbeda. Bukan hanya hal-hal yang berdasarkan fakta ini

bersifat tidak harus, tapi proposisi-proposisi yang bersifat harus menjadi

hampir tidak berguna. Sebagaimana yang dipahami oleh Hume,


2
Rubicon adalah nama kuno untuk sungai di Italia Tengah yang mengalir menuju laut Adriatik, yang menjadi
perbatasan antara wilayah Itali dengan wilayah Romawi dibawah Cisalpine Gaul. Pada tahun 49 SM Julius
Caesar beserta pasukannya menyeberangi sungai ini meskipun dilarang oleh Senat. Tindakan Caesar ini
mengawali perang sipil antara pasukan Caesar dengan pasukan Pompey yang agung. Ungkapan “menyeberangi
sungai Rubicon” ini mengandung arti upaya yang sangat berani untuk menempuh bahaya. (Penerjemah)
pernyataan apapun yang harus benar (atau “analitik”, untuk

menggunakan terminologi Kant) hanyalah sebuah tautologi: ia adalah

kosong dan tidak menjelaskan apapun kepada kita. Untuk mengatakan

bahwa “seekor anjing spaniel adalah seekor anjing” hanyalah sekadar

mengulang definisi dari “anjing spaniel”. Untuk mengatakan bahwa 2 + 2

= 4 adalah tidak mengatakan sesuatu yang baru, tapi hanya mengejar

akibat-akibat dari bagaimana kita telah mendefinisikan istilah-istilah ini.

Satu-satunya jenis pernyataan yang penting, bagi Hume, adalah

pernyataan yang berkaitan dengan fakta, yang bersifat tidak harus benar

dan, yang dengan demikian, menjelaskan kepada kita sesuatu yang baru

tentang dunia ini. Untuk mengatakan bahwa “Julius Caesar telah

menyeberangi sungai Rubicon” adalah bersifat informatif (memberi

informasi) karena Julius Caesar boleh jadi tidak menyeberangi sungai

Rubicon. Pengetahuan nyata apapun akan muncul dalam sejenis bentuk,

yang disebut Kant sebagai sebuah pernyataan “sintetis”, dan jenis

pernyataan-pernyataan yang didasarkan pada observasi daripada

berdasarkan proses berpikir logis. Inilah esensi dari empirisme.

Hume menyadari bahwa terdapat jenis pernyataan-pernyataan yang

tidak bersifat tautologis (analitik) dan bukan pula bersifat informatif

(sintetis). Misalnya, “Unicorn [kuda bertanduk] adalah buas” adalah sulit

menjadi sebuah kebenaran yang logis, bahkan, pada sisi lain, ia tidak

menjelaskan apapun tentang dunia ini, karena unicorn ini tidak eksis. Jenis

pernyataan ini, yang disebut Hume sebagai pernyataan “omong kosong”

(nonsense). Sebagaimana dia telah melihatnya, mayoritas buku-buku

tentang teologi atau metafisika penuh dengan sekumpulan pernyataan-


pernyataan omong kosong yang tidak mengandung kebenaran yang

bersifat harus dan tidak juga menerangi fakta-fakta, dan perintahnya

terhadap buku semacam ini adalah “membuangnya ke dalam bara api,

karena ia tidak mengandung apapun kecuali ilusi dan hal-hal yang dapat

diterima akal tapi dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang

salah” (An Enquiry Concerning Human Understanding, 1748).

Menggunakan garpu filsafat sekarang ini tampaknya tidak lagi

menjadi sesuatu yang penting, tapi di masa kemunculan gagasan-

gagasan Hume ini, mempunyai akibat-akibat yang sangat mendasar.

Misalnya, dia telah menunjukkan bahwa pernyataan “Tuhan eksis” adalah

pernyataan yang tidak mengandung kebenaran yang bersifat harus

(ketika pengingkaran terhadapnya bukan merupakan kesalahan yang

bersifat harus) tidak juga bersifat empiris (ketika kita tidak mengalami

Tuhan dengan indera-indera kita). Berdasarkan pada “Garpu Hume”,

pernyataan ini haruslah bersifat omong kosong [nonsense]---yaitu,

melampaui batas-batas ilmu pengetahuan.

Selanjutnya, empirisme Hume mereduksi semua pengalaman yang

dinyatakan oleh pernyataan-pernyataan kontingen---yaitu, pada hal-hal

yang mungkin benar atau mungkin tidak benar dan oleh karena itu tidak

dapat diputuskan atau dipastikan. Diantara hal-hal jenis ini adalah

pengalaman tentang sebab (cause). Kita mungkin melihat tongkat bilyar

menyodok delapan bola bilyar, dan kemudian melihat kedelapan bola

bilyar ini menggelinding menuju kantong, tapi bahwa satu hal ini

“menyebabkan” yang lain hanyalah sebuah ide yang abstrak, cara kita

menjelaskan urut-urutan peristiwa. Kesimpulan-kesimpulannya telah


dibuktikan sebagai sangat bermasalah bagi ilmu pengetahuan (lihat entry

selanjutnya).

Hume telah mencoba untuk menggantikan kepastian-kepastian

matematika dan kepastian-kepastian ilmu pengetahuan yang kosong dan

tidak bermakna dengan sebuah model realitas yang lebih bermakna, yang

didasarkan pada psikologi manusia, probabilitas, dan perilaku yang telah

menjadi kebiasaan. Atas upayanya ini, Hume sekarang disebut sebagai

seorang skeptis, sebutan yang tepat untuknya sejauh ini. Tapi, dia

mungkin juga disebut sebagai seorang psikolog atau pakar statistik. Di era

fisika kuantum kita dan jajak pendapat, ide-ide Hume ini praktis diterima

begitu saja tanpa sikap kritis.

Skandal Induksi
Metode ilmiah yang telah dirintis pada abad ke tujuh belas oleh Francis

Bacon, Rene Descartes, dan filosuf-filosuf lain, pada intinya adalah sebuah

proses induktif. Sebagaimana dipertentangkan dengan deduksi (yang

meng-asal-kan atau menderivasikan kebenaran-kebenaran baru dari

sesuatu yang telah dikukuhkan), induksi berlangsung dari ovservasi-

observasi khusus menuju kesimpulan-kesimpulan umum.

Bacon dan para pengikutnya mendesak bahwa pengetahuan ilmiah

tidak pernah dapat menyandarkan diri pada kebenaran-kebenaran yang

diterima begitu saja tanpa sikap kritis, apakah itu bersifat matematis atau

metafisis, tapi harus membumikan dirinya sendiri dalam observasi dan

eksperimen. Para ilmuwan sejati mengobservasi dunia yang alami ini,


mempelajari pola-polanya, memunculkan hipotesa-hipotesa, dan

kemudian menguji mereka melalui eksperimen. Sebuah hipotesa menjadi

teori jika telah dikukuhkan melalui eksperimen yang berulang-ulang. Tapi,

ia ditolak jika bertentangan (“di falsifikasi”) melalui uji coba.

Filosuf David Hume, meskipun bersikap setuju bahwa pengetahuan

itu hanya dapat diperoleh melalui eksperimen, telah memikirkan metode

ilmiah memiliki masalah-masalah besar. Persis seperti yang dimaksudkan,

Hume mengajukan pertanyaan, untuk “mengetahui” sesuatu melalui

observasi atau eksperimen---yaitu, dengan induksi? Yang anda tahu

hanyalah bahwa kapan saja X muncul, Y juga akan muncul.

Marilah kita katakan X muncul ratusan kali dan dalam setiap kali

pemunculan itu, Y juga muncul. Anda melemparkan sebuah batu ke arah

sebuah jendela, dan ia pecah menjadi beberapa keping. Anda

melemparkan 99 batu ke arah 99 jendela, dan mereka semua hancur

berkeping-keping, juga. Anda mengambil kesimpulan melalui induksi

bahwa melemparkan bebatuan ke arah jendela-jendela itu mengakibatkan

mereka menjadi rusak. Ini adalah teori ilmiah anda. Tapi, apakah ini

kebenaran yang niscaya (bersifat harus)? Jika terdapat keraguan,

ulangilah eksperimen ini. Ulangilah sejuta kali, sesuka anda. Tapi, siapa

yang mengatakan bahwa pada kejadian yang sejuta dan yang pertama,

batu itu akan masih merusak jendela itu?

“Skandal” induksi ini, sebagaimana ini akan diketahui kemudian,

adalah bahwa observasi-observasi itu, secara tak terhindarkan, bersifat

terbatas---anda tidak dapat terus melempar batu-batu itu pada pada

jendela-jendela untuk selamanya. Yang dimaksud adalah bahwa metode


eksperimental itu bersifat “terbatas”: ia mendeduksi kebenaran dari

hanya sebuah keterbatasan dari sejumlah eksperimen atau observasi-

observasi. Tapi, siapa yang mengatakan bahwa, jika dilangsungkan dalam

jangka waktu yang lama, sebuah eksperimen tidak akan menghasilkan

hasil-hasil yang negatif? Dan dengan berdasarkan asumsi bahwa jika

sebuah eksperimen, bahkan, sekali saja ia bertentangan dengan sebuah

hipotesa, maka hipotesa itu tidak dapat menjadi kebenaran yang

niscaya---yaitu, ia tidak dapat diketahui secara pasti.

Ini adalah kelebihan atau kekurangan dari intisari Hume tentang

pengetahuan induktif: ini adalah sebuah gaya bahasa dimana kata-kata

yang saling bertentangan digunakan secara bersamaan. Hal-hal yang kita

pikir kita “tahu” dari pengalaman---bahwa matahari akan terbit dan

bahwa burung-burung terbang dan sebagainya---sebenarnya hanyalah

sesuatu yang kita yakini, karena kita telah terbiasa untuk mengalami

semua itu. kita meyakini bahwa melemparkan bebatuan “menyebabkan”

jendela-jendela hancur berantakan karena kita telah mengobservasi pola

yang normal dan biasa ini; tapi adalah mustahil untuk mengobservasi

yang menyebabkan itu sendiri. penyebab adalah di-inferensi-kan atau di-

induksi-kan dari dua peristiwa yang saling terjadi (batu dilemparkan,

jendela rusak). Namun, melihat dunia dengan cara ini---dalam konteks

penyebab---adalah benar-benar merupakan kebiasaan mental. Tidak ada

cara untuk membuktikan atau mengetahui secara pasti tentang sesuatu

sebagai “penyebab” atau bahwa apapun yang terjadi di dunia ini harus

terjadi lagi.
Namun, Hume melihat dengan perasaan putus asa bahwa tidak ada

penyebab dalam skandal ini. Jika pengetahuan tertentu tentang dunia ini

adalah tidak pasti secara filosofis, itu tidak berarti bahwa kita tidak dapat

mengetahui apapun. Ini hanya berarti bahwa kita mengetahui berbagai

hal secara khusus dan terbatas. Paling tidak, kita dapat mengafirmasikan

kemiripan yang sangat atau probabilitas bahwa matahari akan terbit esok

hari dan bahwa sebuah batu akan menghancurkan sebuah jendela. Dan

dalam kenyataannya, dalam ketiadaan alasan yang bagus untuk

meragukan mereka, kita mungkin menyebut keyakinan-keyakinan seperti

ini sebagai “kepastian-kepastian” dalam makna yang praktis (jika bukan

filosofis). Lebih jauh lagi, Hume meyakini bahwa jika ide-ide kita

mengarahkan kita untuk meyakini hukum-hukum alam, yaitu karena alam

ini sebenarnya adalah sesuai dan sejalan dengan hukum.

Namun demikian, penerus Hume, yang berpikir bahwa pengetahuan

itu harus bersifat pasti untuk benar-benar menjadi pengetahuan, tidak

puas dengan “kepastian yang praktis”. Sebuah solusi yang jelas dan nyata

atas dilema ini yang diajukan oleh Immanuel Kant, yang menolak klaim

Hume bahwa hal-hal yang faktual diketahui hanya melalui pengalaman.

Untuk menggunakan jargonnya, konsep-konsep seperti kausalitas, ruang,

dan waktu adalah gagasan-gagasan

“a priori sintetis”, yang berarti bahwa mereka menggambarkan realitas

tapi yang tidak di-induksi-kan dari pengalaman.

Yang menarik dari solusi Kant adalah bahwa ia membuat hukum-

hukum alam dan kebenaran-kebenaran ilmiah lain menjadi bergantung

pada kategori-kategori mental, lebih tepatnya, bergantung pada


kesadaran manusia. Proses induksi secara ketat tidak pernah terjadi,

ketika hanya penampakan-penampakan, bukan sesuatu di dalam dirinya

sendiri, yang dapat diakses oleh pengetahuan manusia. Benar, bahwa kita

mungkin merasa pasti tentang penampakan-penampakan itu, dan ini

tidak dapat eksis kecuali didukung oleh sebuah realitas yang mendasari;

tapi, Kant tetap menarik sebuah garis lurus di sekitar realitas tertinggi dan

menyatakannya sebagai yang tak dapat diketahui (unknowable).

Masih belum cukup. Ini membutuhkan seluruh halaman buku untuk

memetakan pendekatan-pendekatan jenis-jenis yang beragam ini untuk

memecahkan dan menyelesaikan problem induksi ini, berkisar dari

penganut utilitarianisme sampai pragmatisme hingga ke fenomenologi.

Tapi, seorang filosuf, secara khusus, layak untuk disebut, ketika namanya

menjadi sangat identik dengan kritik metode keilmuan di abad ke dua

puluh: seorang warga Austria, Karl Popper (lahir 1902).

Seperti Kant, Popper berupaya untuk melenyapkan masalah ini

dengan melenyapkan proses induksi secara menyeluruh. Dalam

pandangannya, hipotesa-hipotesa ilmiah tidak muncul dari observasi, tapi

muncul dari sebuah kreasi imajinasi yang bebas (individu atau kelompok).

Kita mengobservasi dan melakukan eksperimen untuk proses uji-coba

daripada menciptakan teori-teori. Dan alasan mendasar dari proses uji-

coba ini (apakah diakui atau tidak) adalah, ironisnya, tidak untuk

membuktikan teori-teori sebagai sesuatu yang pasti, tapi lebih untuk

membuktikan bahwa teori-teori ini mengandung kesalahan. Menguji

sebuah hipotesa akan menjadi tidak bermakna jika kegagalan tidak

dimungkinkan. Dan jika bukti yang bertentangan telah ditemukan, maka


teori ini harus ditolak dan teori lain harus diciptakan. Pada sisi lain, teori-

teori yang lulus eksperimen, tidak terbukti sebagai “benar”; mereka

hanya ditunjukkan untuk memberi kita penggambaran realitas yang

bagus.

Lebih jauh lagi---dan ini adalah poin paling penting dari Popper---

semakin sulit untuk mem-falsifikasi sebuah teori, semakin kurang

bermakna teori ini. Karena mudah dipahami bahwa semakin umum

sebuah pernyataan, maka semakin sulit untuk menemukan pengecualian-

pengecualian. (misalnya: “Angsa hitam eksis di suatu tempat di dunia ini”

adalah sulit untuk difalsifikasi, sementara “Angsa hitam eksis di pulau

Rhode” adalah pernyataan yang lebih mudah). Semakin banyak

kandungan sebuah teori---semakin tepat dan akurat ia dalam upaya untuk

menjelaskan fenomena---semakin bermakna ia, tapi juga mengandung

paradoks bahwa ia lebih mudah untuk ditolak. Tapi, penolakan ini

bukanlah sebuah bencana; ini adalah, sebagaimana telah kami katakan

sebelumnya, esensi dari kegiatan keilmuan. (Jika sebuah klaim tidak

mengandung sedikitpun potensi untuk difalsifikasi, maka ia tidak bersifat

ilmiah, tapi mudah dipahami---atau, kembali pada istilah Hume, ia hanya

menyatakan suatu “relasi ide-ide”). Penolakan mengarah pada

penghalusan teori-teori lama dan penciptaan teori-teori baru, sehingga

gambaran kita tentang dunia ini menjadi lebih terinci, tahan lama dan

lengkap. Jika kita mengetahui berbagai hal secara pasti dan tak

terbantahkan, maka ilmu pengetahuan akan tamat riwayatnya.


Sesuatu-dalam-Dirinya sendiri (Das Ding-
an-Sich)

Dari sini, ia mengikuti secara tak terbantahkan, bahwa konsep-konsep


murni tentang pemahaman tidak pernah mengizinkan sesuatu yang
bersifat transendental, tapi hanya untuk suatu penggunaan empiris, dan
bahwa prinsip-prinsip tentang pemahaman murni ini hanya dapat diacu,
sebagaimana syarat-syarat umum tentang sebuah pengalaman yang
mungkin, pada obyek-obyek indera, tidak pernah pada berbagai hal di
dalam diri mereka sendiri....

Immanuel Kant, Critique of Pure Reason (1781)

Hal penting untuk diketahui tentang “sesuatu-dalam-dirinya sendiri”

adalah bahwa tidak ada satupun yang diketahui. Anda bahkan tidak

mempunyai peluang sedikitpun (untuk dapat mengetahui).

Alasannya, menurut orang Jerman yang jenius, Immanuel Kant

(1724-1804), ini adalah bahwa pikiran kita tidak pernah menjalin kontak

langsung dengan realitas tertinggi. Karena cara kerja indera-indera kita,

dan karena otak kita telah diciptakan secara sesuai dan cocok dengan

konsep-konsep dan saringan-saringan yang beragam, realitas yang kita

ketahui dan “pahami” setidaknya adalah satu atau dua langkah menjauh

dari sesuatu dalam dirinya sendiri.

Ide “sesuatu-dalam-dirinya sendiri” (thing-in-itself, Ding-an-sich)

dari Kant, telah terkubur dalam-dalam dalam karya hebat

(masterpiece)nya, Critique of Pure Reason, sebuah upaya untuk

mengoreksi cacat mendasar dalam filsafat pengetahuan masa itu. Kant

memperoleh inspirasi utamanya dari karya tokoh empirisme, David Hume,


yang menurut Kant, telah membangunkan dia dari “tidur dogmatik”

rasionalisme ortodoks (pandangan ini menyatakan bahwa akal adalah

sumber pengetahuan kita yang utama).

Kant kemudian meyakini, sejalan dengan Hume, bahwa

pengetahuan itu berasal dari pengalaman daripada bersumber dari akal.

Tapi, dia menolak posisi kaum empirisis bahwa pengalaman-pengalaman

ini secara langsung menanamkan kesan yang kuat pada otak, yang adalah

sebuah “batu tulis kosong” pada saat kelahiran. Menurut Hume, tidak ada

konsep---bukan ruang, waktu, substansi, kausalitas, atau kategori mental

lain---yang bersifat a priori (mendahului pengalaman).

Kant tidak membeli argumen ini, sama sekali. Yang paling pertama,

kata Kant, Hume pasti salah terkait konsep-konsep tentang ruang dan

waktu. Karena Hume telah mengklaim bahwa kita mempelajari konsep

“ruang” dengan mengobservasi relasi-relasi diantara obyek-obyek yang

kita ketahui dan pahami. Kita melihat bahwa sesuatu itu ada di urutan

selanjutnya dari sesuatu yang lain, atau berada di atasnya, atau di

bawahnya, dan lain-lain., dan sampai pada pemahaman bahwa relasi-

relasi semacam ini terjadi di dalam ruang. Demikian pula dengan konsep

waktu, yang menurut Hume, dihasilkan dari proses meng-observasi bahwa

peristiwa-peristiwa terjadi secara berurutan (sesuatu yang ini terjadi

setelah sesuatu yang itu dan sebelum adanya sesuatu yang lain, dan lain-

lain). Tapi, Kant telah menghancurkan logika Hume. Bagaimana mungkin

kita dapat mengalami sesuatu yang itu “berurutan” (next to) dengan yang

lain atau bahwa sesuatu itu terjadi “setelah” sesuatu yang lain kecuali kita
sudah mempunyai konsep-konsep seperti “urut” dan “setelah”---yaitu,

konsep-konsep tentang ruang dan waktu?

Hal-hal semacam inilah, yang telah ditanamkan ke dalam pikiran,

simpul Kant, atau kita bahkan tidak dapat memulai untuk sebuah makna

yang dapat dipahami tentang chaos ini yang adalah persepsi. Ruang,

waktu, dan sejumlah “kategori-kategori” lain (seperti kuantitas, kualitas,

relasi, dan sebab) harusnya muncul secara inheren dalam pemikiran;

mereka adalah bentuk-bentuk (forms) yang kita paksakan pada

pengalaman-pengalaman untuk mengorganisir dan memahami mereka.

Dan bahwa setiap orang saling berbagi ide-ide yang sama tentang ruang,

waktu, dan lain-lain., yang berarti bahwa sebagai tambahan untuk

menjadi a priori (bawaan sejak lahir) mereka harus juga menjadi

universal.

Pada sisi lain, mereka tidak dapat dikatakan eksis dengan cara yang

sama dengan obyek-obyek itu eksis, karena intuisi-intuisi dan kategori-

kategori hanyalah konsep-konsep, bukan benda-benda (things). Kita

memaksakan mereka di atas pengalaman, daripada menemukan mereka

di dalam pengalaman. Pengalaman, juga, berbeda dengan realitas, karena

ia terdiri dari kesan-kesan (impressions) atau persepsi-persepsi tentang

benda-benda, bukan tentang benda-benda-di dalam-diri mereka sendiri.

(Ini karena konsep-konsep diterapkan hanya pada pengalaman dimana

kita tidak dapat menggunakan mereka untuk menggambarkan obyek-

obyek transendental---Tuhan, misalnya.) apa yang kita pahami dalam

ruang dan waktu, apa yang kita lihat sebagai wujud yang besar dan luas

dan dengan warna tertentu, apa yang kita deduksikan sebagai sebab-
sebab dari peristiwa ini dan itu, semua ini hanyalah aspek-aspek dari

sesuatu yang dipahami dan dapat dijangkau oleh indera-indera,

permukaan yang mereka tunjukkan kepada kita, disebut oleh Kant sebagai

“fenomena.”

Jika ruang dan waktu eksis hanya dalam pikiran---sebagaimana

ditunjukkan secara tidak langsung oleh Kant---maka, dengan mengalami

dunia ini sebagai yang eksis di dalam ruang dan waktu, kita hanya sedang

mengalami bagaimana dunia ini menampak kepada kita, bukan

bagaimana ia eksis. Tapi, pastinya, terdapat sebuah dunia nyata di luar

sana yang mensuplai kita dengan penampilan-penampilan luar ini: Kant

menyebutnya dunia “noumena” (yang dipertentangkan dengan

“fenomena”). Ini adalah dunia dimana sesuatu itu eksis sebagaimana

adanya ia, bukan apa yang ia tampakkan aspek luarnya saja; ini adalah

dunia dari sesuatu-dalam-dirinya sendiri.

Berdasarkan definisi di atas, kita tidak pernah dapat mengalami

dunia ini, lalu, apakah kita mengetahui bahwa ia benar-benar eksis? Kant

tidak pernah mampu untuk melakukan hal yang lebih baik lagi selain dari

menyatakan bahwa kita harus meyakini benda-benda-dalam-diri mereka

sendiri jika kita ingin meyakini pengetahuan yang benar, dan pada bagian

ini dari teori Kant, dianggap membingungkan oleh para penerusnya.

Setiap filosuf besar setelah Kant, berupaya untuk menjauh darinya,

apakah itu dengan mengklaim bahwa penampilan-penampilan luar adalah

(atau setidaknya dapat menjadi) sama dengan realitas, atau dengan

mengklaim bahwa, sementara kita hidup dalam sebuah dunia fenomena,

filsafat dapat mengarahkan kita menuju noumena yang ada dibaliknya.


Kita akan membahas kemudian, pemikiran dari dua filosuf yang menganut

pandangan yang terakhir ini: G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl.

Imperatif Kategoris
Terdapat... hanya sebuah imperatif kategoris tunggal dan ia adalah yang
berikut ini: Tindakan, hanya yang berdasarkan pada prinsip moral, melalui
mana anda dapat, pada saat yang sama, menginginkan bahwa ia
seharusnya menjadi sebuah hukum universal.

Immanuel Kant, The Metaphysic of Morals (1797), chapter 11

Setelah memecahkan masalah pengetahuan, setidaknya berdasarkan

pada ukuran kepuasannya sendiri, Immanuel Kant memasukkan etika ke

dalam mesin filsafatnya, dan berupaya menampilkan versi modern dari

Kaidah Kencana (Golden Rule)3.

Versi aslinya menyatakan: “Berbuatlah kepada orang lain

sebagaimana kamu menginginkan mereka untuk berbuat kepadamu.”

Kant memodifikasi ungkapan ini menjadi “Berbuatlah kepada orang lain

engkau menginginkan setiap orang untuk berbuat kepada setiap orang.”

Dalam ungkapan yang lebih teknis, tindakan-tindakan anda seharusnya

didasarkan pada prinsip-prinsip yang anda inginkan ini adalah hukum-

hukum universal. Inilah yang membuat hukum ini bersifat “imperatif

kategoris”, untuk menggunakan istilah Kant: bersifat kategoris karena ia

mencakup setiap orang tanpa kecuali dan imperatif karena kewajiban

moralnya.

3
Kaidah Kencana (Golden Rule) adalah prinsip tentang perilaku altruistik yang bersumber dari perjanjian lama
[Sepuluh Perintah Tuhan kepada Nabi Musa]. (Penerjemah).
Apakah ini lebih baik daripada ungkapan aslinya? Karena di dalam

teori, ia menghindari masalah ide-ide tentang perbedaan pendapat di

kalangan masyarakat terkait dengan apa yang mereka suka untuk

berbuat sesuatu kepada orang lain. Kant berharap untuk dapat

menandingi apa yang sekarang ini kita sebut dengan “relativisme moral”,

yaitu gagasan yang menyatakan bahwa apa yang benar atau baik,

bergantung pada situasi atau konteks. Yang lebih salah lagi, pikir Kant,

adalah doktrin utilitarianisme yang menyatakan bahwa tujuan

menghalalkan segala cara. Bagaimana mungkin hasil-hasil (akibat-akibat)

menyediakan sebuah basis moral bagi tindakan, dia bertanya, bahkan

ketika metode paling baik sekalipun dapat mengandung kesalahan? Hasil-

hasil (akibat-akibat) dari apa yang kita lakukan, seringkali bukan apa yang

kita niatkan semula, sehingga ini, secara moral, menyimpang dari untuk

mendasarkan vonis-vonis kita pada hasil-hasil. Vonis-vonis yang dapat kita

andalkan adalah yang berdasarkan pada prinsip-prinsip yang melandasi

tindakan-tindakan kita, aturan-aturan yang kita gunakan dalam

pembuatan keputusan-keputusan.

Dan bagaimana prinsip-prinsip semacam ini diputuskan? Jika kita

ingin bersikap obyektif, kita harus melihat hal-hal yang universal. Tak

satupun dari situasi-situasi yang mengandung nilai-nilai moral; Kant

sedang mencari hukum-hukum yang solid dan konsisten untuk melahirkan

tatanan bahwa “Mencuri itu adalah salah.” Hukum-hukum ini harus

diterapkan secara lintas batas.

Demikianlah, bagaimana imperatif kategoris bekerja: diberikan

sebuah pilihan, anda harus menjadi sadar akan hukum-hukum ini yang
mendasari tindakan anda. Anggaplah seorang asing sedang menghampiri

anda dan menghina ibu anda. Reaksi pertama anda mungkin mencekik

lehernya, tapi berhentilah dan ujilah motif-motif anda. Jika anda

mengatakan kepada diri anda: “Adala h benar untuk mencekik seseorang

yang menyerang saya”---ini akan menjadi “prinsip” untuk melakukan

tindakan itu---anda kemudian harus mempertanyakan apakah hukum

semacam ini adalah rasional dan apakah anda akan mengharapkannya

untuk diterapkan secara lintas batas. Dengan mempertimbangkan bahwa

akibat yang timbul adalah terjadi pembunuhan massal dan chaos, anda

harus menolaknya---ini adalah imperatif sehingga anda melakukan yang

demikian ini.

Penyesuaian rasionalistik Kant atas Kaidah Kencana (Golden Rule)

menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan. Yang pertama, manusia yang

normal, pada puncak peristiwa, jarang sekali dapat berhenti dari

mempertimbangkan implikasi-implikasi dari prinsip-prinsip mereka. Yang

kedua, hukum-hukum ini baik, tapi tidak selalu bersifat praktis---bahkan

jika kita ingin melakukan hal yang benar, kita tidak selalu mampu

mewujudkannya.

Ketiga, adalah tidak selalu mudah untuk mengetahui apa “prinsip”

atau hukum yang biasa dipraktekkan, kecuali dalam situasi-situasi yang

paling sederhana. Banyak hukum-hukum yang berbeda yang mungkin

dapat diterapkan, sebagian hukum-hukum ini bertentangan dengan

hukum-hukum lain. Setiap orang yang sedang berlinang air mata saat

didekati oleh seorang pengemis, akan mengerti apa yang saya

maksudkan.
“Dan Kehidupan Manusia itu,
Sendirian, Miskin, Kotor, Brutal, dan
Kasar”

Oleh karena itu, apapun yang terjadi adalah akibat dari suasana Perang,
dimana setiap manusia adalah Musuh bagi setiap manusia; hal yang sama
sebagai akibat dari suasana perang ini adalah bahwa manusia hidup
tanpa rasa aman, kemudian pada saat yang sama, apa yang menjadi
kekuatan mereka dan skill untuk menemukan sesuatu akan muncul dalam
diri mereka. Dalam kondisi seperti ini, tidak ada tempat bagi Industri;
karena buah dari situasi ini adalah tidak pasti: dan sebagai akibatnya,
tidak ada Kebudayaan di Bumi ini; tidak ada Pelayaran, tidak juga ada
pemanfaatan barang-barang komoditi yang diimpor melalui jalan laut;
tidak ada Bangunan yang luas; tidak ada instrumen-instrumen untuk
menggerakkan, dan memindahkan berbagai hal yang membutuhkan
banyak tenaga; tidak ada Pengetahuan di permukaan Bumi ini; tidak ada
penjelasan tetang Waktu; tidak ada Seni; tidak ada karya Sastra; tidak ada
Masyarakat; dan yang terburuk adalah, rasa takut yang terus-menerus,
dan bahaya kematian yang menghancurkan; Dan kehidupan manusia itu,
sepi-sendiri, miskin, kotor, brutal, dan berlangsung singkat.

Thomas Hobbes, Leviathan (1651), Part I, chapter


13

Anda sering mendengar baris-baris ini dari karya masterpiece Thomas

Hobbes yang dikutip di atas, seolah-olah dia memaksudkan kehidupan

sekarang ini atau kehidupan secara umum. Meskipun Leviathan adalah

jenis sesuatu yang menimbulkan depresi, Hobbes tidaklah sesuram itu.

Yang dia maksudkan adalah bahwa kehidupan itu tanpa adanya civil
society, akan menjadi “terpencil, miskin”, dan lain-lain, bukan bahwa

kehidupan itu seperti yang telah diungkap.

Benar, Renaissans yang terjadi belakangan, bukanlah suatu hal

yang remeh, di Inggris atau dimanapun. Orang-orang mengingat

Shakespeare dan Galileo, tapi melupakan kemajuan-kemajuan itu dalam

ilmu pengetahuan dan ilmu pelayaran (navigation), juga telah membantu

perkembangan skeptisisme dan sikap ragu-ragu. Ilmu pengetahuan

Aristoteles yang menghibur, telah menjadi puing-puing, sebagaimana

halnya kepastian-kepastian dari sebuah Gereja yang dipersatukan (a

Unified Church). Tuhan-lah yang menguasai dunia ini melalui raja-raja dan

ratu-ratu, wilayah kedaulatan mereka dijamin oleh “hak ilahiah”, memberi

jalan kepada Tuhan yang lebih akrab dan lebih pribadi, yang berfirman

kepada sang manusia awam dan juga kepada sang raja.

Pemberontakan-pemberontakan rakyat Inggris yang memenggal kepala

Raja Charles I di pertengahan abad sembilan belas, jelas sekali, tidak

melihat dia sebagai mediator Tuhan. Sementara Hobbes (1588-1679)

telah bersetuju bahwa pemerintahan apapun adalah hasil dari konsensus

sosial, dia dengan keras menentang pemberontakan-pemberontakan yang

didasari oleh tindakan-tindakan dan ajaran filsafat yang anti-Monarki.

Hanya seorang penguasa dengan kekuasaan absolut, dia berargumen,

yang dapat secara efektif menahan dan membatasi manusia-manusia dari

saling berdebat dan saling mengeksploitasi. (Jadi, judul Leviathan,

mengacu pada makhluk raksasa penakluk, yang terdapat dalam Bibel).

Untuk mengukuhkan premis ini, Hobbes membangkitkan suatu skenario

kehidupan tanpa adanya hukum.


Hobbes menggambarkan manusia dalam keadaannya yang alami

seperti berpusat pada diri (ego), lebih mementingkan diri sendiri, dan

merasa tidak aman. Dia tidak mengetahui hukum dan tidak mempunyai

konsep tentang keadilan; dia hanya mengikuti apa yang didiktekan oleh

nafsu-nafsu dan hasrat-hasrat.

Dimana tidak ada pemerintahan atau hukum, maka manusia akan

secara alami jatuh ke dalam perbantahan, persaingan dan kontroversi.

Ketika sumber-sumber daya alam itu terbatas jumlahnya, maka akan

terdapat kompetisi, yang mengarah pada ketakutan, kekecewaan, dan

perbantahan. Manusia juga secara alami mencari reputasi dengan

menjatuhkan dan mengalahkan orang lain. Ketika dalam pandangan yang

lebih luas, orang-orang itu setara dalam kekuatan dan kecerdasan, tak

satupun orang atau kelompok yang dapat memaksakan kekuatan mereka

tanpa ada bahaya yang menghadang. Jadi, konflik ini berlangsung secara

abadi, dan “setiap manusia adalah Musuh bagi setiap manusia.”

Dalam situasi perang ini, tak satupun kebaikan yang dapat muncul.

Sementara setiap orang berkonsentrase pada mempertahankan diri

sendiri dan menaklukkan (orang lain), maka keberadaan buruh-buruh

yang produktif adalah mustahil. Tidak ada waktu senggang untuk

mengejar dan menuntut ilmu pengetahuan, tidak ada motivasi untuk

membangun atau mengeksplorasi, tidak ada tempat bagi seni dan sastra,

tidak ada pijakan yang kuat bagi masyarakat---yang ada hanya “rasa takut

yang berlangsung secara terus-menerus, dan bahaya dari kematian yang

menyakitkan.” Jadi, kehidupan manusia dalam situasi seperti ini, dalam


ungkapan terkenal Hobbes, adalah “sepi-sendiri, miskin, kotor

(menjijikkan), brutal, dan kasar.”

Pandangan semacam ini, yang sangat diwarnai oleh rasa kurang

percaya diri dan putus asa tentang masa tersebut, jelas sekali, tidak

mempunyai acuan kepada Tuhan. Secara khusus, ia tidak mempunyai

acuan pada peran Tuhan dalam pemerintahan, yang dilihat oleh Hobbes

sebagai sebuah produk manusia. Pemerintahan-pemerintahan muncul

ketika manusia, terilhami dan digerakkan oleh akalnya, mencari kebaikan

untuk jangka panjang dengan menghindari keadaan alamiahnya yaitu

rasa putus asa akan adanya konflik dan rasa takut, demi mengharap

tercapainya perdamaian dan rasa aman. Manusia memilih untuk

mengenali sebuah kekuatan yang umum sepanjang tetangga-tetangga

mereka melakukan hal yang sama, karena hanya yang semacam ini

sajalah yang dapat memelihara keteraturan. Kekuatan ini kemudian

mempunyai kewajiban untuk memelihara rasa aman masyarakat luas;

sarananya adalah hukum, dan kendaraannya adalah kekuatan yang tak

terbantahkan. Karena pada tingkatan kekuasaan itu dapat dibagi, konflik

akan muncul.

Inilah sebabnya mengapa Hobbes berpikir bahwa monarki adalah

bentuk terbaik sistem pemerintahan: hanya suatu kekuatan yang seperti

Leviathan yang ia sendiri melampaui hukum---dan dengan demikian tidak

dapat dilangkahi oleh otoritas yang lebih tinggi---pastinya dapat dan

mampu memelihara rakyat secara efektif. Tentu saja, sebagaimana diakui

oleh Hobbes, raja-raja akan terjerumus pada situasi perbantahan dan

perseteruan dengan raja-raja lain, tapi Hobbes tidak menganut suatu


pemerintahan dunia yang terpusat. Selama segala sesuatunya stabil dan

terkendali, baik-baik saja dalam pandangannya bahwa raja-raja itu

mencari ketenarannya di luar negeri.

Sangat disayangkan bahwa ide-ide Hobbes telah membuat tak

seorang pun merasa bahagia. Dia juga terlalu bersikap pro kepada para

bangsawan terkait dengan kontrak sosialdan terlalu banyak memberi

keuntungan kepada kaum bangsawan dalam pembuatan kontrak sosial

ini; lebih dari itu, pandangan-pandangannya dinilai oleh berbagai pihak

banyak mengandung unsur-unsur ateistik, meskipun Hobbes mengingkari

hal ini. Faktanya adalah bahwa pemikirannya adalah terlalu rumit dan

aneh bagi setiap orang untuk mencerna keseluruhannya, meskipun ia

akan memberi pengaruh pada filsafat dan ilmu politik terhadap beberapa

generasi. (Spinoza adalah salah satu dari murid Hobbes yang layak

dicatat). Hobbes sendiri sudah merasa terlalu capek melayani perdebatan

di masa tuanya dan dia memuaskan dirinya dengan menerjemahkan

karya Homer.(Iliad dan Odyssey, pent.).

Tabula Rasa
Marilah kita anggap pikiran (mind) itu menjadi, sebagaimana yang kita
katakan, kertas putih, kosong dari semua karakter, tanpa satu ide pun.
Bagaimana ia menjadi sangat berwarna? .... Tentang hal ini, saya
menjawab, dalam satu kata, dari pengalaman.

John Locke, Essay concerning Human Understanding (1690), Book II


Jangan sampai bahasa Latin membuat anda takut, tabula rasa sebenarnya

adalah salah satu dari ide-ide besar yang lebih sederhana. Ini hanya

berarti “piringan kosong”, yang adalah keadaan orisinal dari pikiran

manusia, menurut beberapa filosuf.

Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah pakar Fisika

Inggris, John Locke (1632-1704), yang dalam karyanya Essay concerning

Human Understanding telah mempelajari asal-usul ide-ide dan hubungan

mereka dengan realitas. Dia mengemukakan bahwa semua ide ini berasal

dari pengalaman dan bahwa pengetahuan itu hanyalah relasi-relasi antara

ide-ide. Ini berarti kita tidak dapat mempunyai ide-ide apapun hingga kita

mempunyai pengalaman-pengalaman. Jadi, sebenarnya, pikiran dari anak

yang baru lahir adalah kosong. Locke menyebutnya “kertas putih”; tabula

rasa(secara harfiah berarti “tablet yang dihapus”) mendahului dia dan

menyatakan, bertentangan dengan doktrinnya, bahwa sesuatu itu telah

berada disana sebelum dihapus.

Hasil akhir dari “kertas putih” Locke adalah bahwa bukan hanya kita

dilahirkan dalam keadaan tanpa ide-ide konkret, kita juga tidak

mempunyai konsep-konsep abstrak semacam moralitas, Tuhan, dan

kebebasan. Konsep-konsep semacam ini harus dipelajari, sebagaimana

bahasa, dan mereka ini dipelajari baik melalui pengalaman atau melalui

perenungan dan nalar. Pandangan-pandangan ini membawa Locke untuk

menolak idealisme dan seluruh gagasan dari ide-ide bawaan yang

mewarnai bahasan filsafat sehari-hari.

Meskipun, rasio mempunyai tempatnya sendiri dalam pemahaman

manusia, Locke mengatakan, ia tidak mendominasi pengalaman. Pikiran


adalah bukan di atas materi, karena materi, melalui pengalaman,

menyediakan ide-ide untuk pikiran (mind). Konsep-konsep kita yang paling

sederhana dan paling mendasar (seperti “suara nyaring”, “keras” , dan

“manis”) yang didukung oleh indera, dan semua ide-ide yang lebih

konkret yang dibangun di atas mereka. Ide-ide lain datang kepada kita

melalui refleksi (perenungan), termasuk kesadaran tentang proses

pemikiran kita sendiri; “pemikiran” itu sendiri sebagaimana halnya

dengan “persepsi”, “keyakinan”, “kesadaran”, “keraguan”, dan lain-lain,

semuanya didukung oleh pengalaman reflektif. Ide-ide seperti itu bersifat

sederhana, namun, tidak berarti bahwa mereka adalah ide-ide bawaan.

Doktrin Locke tentang tabula rasa, terutama, bersumber dari logika

sederhana. Misalnya, jika kita semua lahir dengan sebuah ide bawaan

tentang Tuhan, maka kita semua akan mempunyai ide yang sama tentang

Tuhan. Tapi, tentu saja, kita tidak demikian. Demikian pula, jika kita

terlahir dengan sebuah ide tentang kebenaran moral, kita semua akan

bersetuju tentang apa yang benar dan apa yang salah. Tapi, kita tidak

demikian. Akhirnya, kebenaran-kebenaran analitik seperti “Apapun ia, ia

eksis” dan “2 + 2 = 4” adalah bukan ide-ide yang sudah jelas bagi setiap

orang---misalnya, anak-anak dan orang-orang idiot. Locke juga

memikirkan premis tentang rasionalisme---pikiran berada di atas materi---

yang terlalu kompleks untuk digunakan atau untuk menjadi valid. Seperti

Occam, dia memikirkan bahwa yang lebih sederhana itu lebih baik, dan

penjelasan apapun tentang pengetahuan yang tidak memerlukan ide-ide

bawaan adalah lebih sederhana.


Sebenarnya, ketika tabula rasa tampaknya merupakan sebuah ide

yang sedrhana, argumen Locke berakhir dengan agak rumit. Dalam

kenyataan, dia kadang-kadang bertentangan dengan dirinya sendiri dan

yang pada akhirnya memaksa untuk mengakui bahwa “fakultas-fakultas”

(kemampuan-kemampuan tersembunyi) harusnya bersifat bawaan. Di

antara ini adalah lima indera dan kemampuan bernalar, yang

diperhitungkan sebagai “ide-ide” oleh beberapa kelangan. Apapun

kesulitan-kesulitan yang terjadi tentang argumennya, argumen-argumen

ini telah mengendalikan filsafat Inggris untuk terus memelihara karakter

empirismenya. Namun, dia telah gagal untuk meyakinkan para filosuf

Perancis, yang secara keseluruhan, masih tetap menjadi kaum rasionalis.

Hanya merupakan salah satu alasan lain tentang mengapa banyak orang

Inggris merasa khawatir terkait dengan penyatuan Eropa dan dengan

akan dibangunnya terusan-terusan (bawah laut dan permukaan) antar

negara.

Kontrak Sosial
Manusia terlahir bebas, dan dimana saja ia berada, ia dalam belenggu
rantai. Seringkali, orang meyakini dirinya sendiri sebagai penguasa atas
orang-orang lain, padahal dia adalah lebih budak daripada mereka.
Bagaimana perubahan ini terjadi? Saya tidak tahu. Apa yang dapat
membuatnya menjadi sah? Saya yakin bahwa saya dapat menyelesaikan
pertanyaan ini....

Jika orang-orang memperoleh kembali kebebasannya yang


berdasarkan pada kesamaan hak, baik mereka itu di-justifikasi
(dibenarkan dan di legal-kan) dalam memperolehnya kembali, atau tidak
ada justifikasi untuk menjauhkan mereka darinya. Tapi, keteraturan sosial
adalah sebuah hak suci yang menyediakan sebuah pondasi bagi semua
yang lain. Namun hak ini, tidak datang secara alami. Oleh karena ia
didasarkan pada konvensi-konvensi. Pertanyaannya adalah untuk
mengetahui apa saja konvensi-konvensi ini.

Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (1762), Book I,


chapter I

“Manusia terlahir bebas, dan dimana saja ia berada, ia dalam belenggu.”

Demikian awal prediksi Jean-Jacques Rousseau tentang borok-borok sosial

pada masanya. Masyarakat modern disifatkan sebagai mementingkan diri

sendiri, tidak setara (kesenjangan), tirani yang picik, dan ketidakotentikan,

mengkhianati keadaan alami manusia, yang bebas, terbuka, dan bahagia.

(Jelas sekali, Rousseau tidak menerima dan meyakini gambaran Hobbes

tentang manusia alami sebagai tidak bahagia, kasar, dan mementingkan

diri sendiri).

Rousseau (1712-1778) tidak menghendaki penggulingan “sistem”.

Targetnya yang terutama adalah suatu keyakinan, yang ditujukan kepada

semua secara sama terhadap raja, kaum bangsawan, dan terhadap

banyak orang di jalan: bahwa masyarakat mereka dan pemerintahan

mereka harus sesuai dengan harapan mereka sendiri, karena Tuhan atau

alam (atau keduanya) telah menciptakan mereka seperti itu. Au contraire,

demikian argumen Rousseau; Tuhan telah menciptakan kita setara secara

alami, baik secara alami, mampu memerintah diri sendiri, dan sendirian

secara esensial. Jika masyarakat eksis sepenuhnya, ini karena

masyarakat, bukan Tuhan atau alam, telah menciptakannya untuk saling

berbagi rasa aman dan keuntungan yang sama. Dan apa yang telah

diciptakan oleh manusia, manusia juga mungkin untuk merusaknya.


Namun, masyarakat ideal Rousseau ini tidaklah bersifat bebas

sebebas-bebasnya, karena anarki bahkan lebih buruk daripada

penindasan. Yang telah dia kemukakan adalah sebuah “kontrak sosial”

(contrat social). Anugerah yang diberikan adalah bahwa semua manusia

adalah setara secara alami, tapi, masyarakat ideal ini adalah sebuah

rekayasa yang berdasarkan pada konsensus, pada sebuah persetujuan

atau “kontrak” diantara seluruh warganya. Dan jika masyarakat semacam

ini bersifat otentik dan baik, maka ia harus mempertahankan dan

memelihara sebanyak mungkin kebebasan alami individu, untuk

mengatakan, hak-nya untuk menentukan diri sendiri.

Tapi, ini membutuhkan skill dan sikap waspada untuk

mengupayakannya, ketika kontrak-kontrak ini, berdasarkan definisinya,

melibatkan sebuah pertukaran, dalam hal ini adalah tentang hak-hak dan

kebebasan-kebebasan. Gagasan Rousseau ini, dalam kenyataan,

menuntut setiap anggota masyarakat “untuk menyerahkan hak

individunya pada kewajiban kolektif dan menyerahkan seluruh kuasanya

di bawah kontrol tertinggi dari kehendak umum” (“put in common his

person and his whole power under the supreme direction of the general

will”). Hanya dengan cara inilah, suatu masyarakat akan terbentuk, yang

menyediakan kesejahteraan umum daripada menyalurkan hasrat-hasrat

dan kepentingan-kepentingan dari seseorang atau dari kelompok yang

berkuasa.

Tapi, bagaimana kriteria ini sesuai dengan persyaratan lain yang

diajukan Rousseau---bahwa masyarakat itu tidak melanggar kebebasan

alami individu? Jawaban dia adalah bahwa tidak ada konflik sama sekali.
Karena kebebasan sejati adalah moral, dan kebaikan moral itu kandungan

utamanya adalah mengharapkan kebaikan dari setiap orang. Ketika

kepentingan-kepentingan pribadi bertentangan dengan kesejahteraan

umum, yang merupakan sesuatu yang tidak bermoral, sehingjga kita kita

tidak “bebas” secara alami, berdasarkan definisi dia, untuk mengejar

mereka. “Kehendak umum” ini dikukuhkan ketika kita bersikap setuju

pada kontrak sosial yang dia ajukan, yang bermakna sama dengan

kebebasan moral, dimana setiap orang akan mengakui jika mereka telah

mengetahui apa yang benar-benar baik bagi mereka.

Apapun yang anda pikirkan tentang logika Rousseau, ini sungguh

mempunyai implikasi-implikasi yang mendasar---yaitu, bahwa kita

mempunyai hak-hak tertentu yang tidak bisa dialihkan pada orang lain

dimana negara atau masyarakat tidak dapat membatasi dan

melanggarnya. Dalam pelaksanaan kontrak sosial yang ideal, kehendak

yang umum adalah kedaulatan dan pemerintahan dipegang oleh pihak-

pihak yang memperoleh persetujuan dari yang diperintah. Kontrak sosial

memberikan kekuasaan eksekutif secara bersyarat, dan masyarakat bisa

saja memecat mereka kapan saja yang mereka kehendaki. Adalah

merupakan sentimen-sentimen (lebih berdasarkan perasaan daripada

rasio) bahwa Rousseau memperoleh ucapan selamat dan pujian dari

Edmund Burke yang menyebut dia sebagai “Socrates gila” dari Revolusi

Perancis.

Berbicara tentang Socrates, acuan-acuan pertama yang melandasi

kontrak-kontrak sosial ini telah ditemukan, bukan dalam karya tulis

Rousseau, tapi dalam dialog-dialog Plato. Misalnya, dalam Republic,


Glaucon mengacu pada “suatu kesepakatan yang bukan untuk melakukan

dan tidak juga untuk mengalami ketidakadilan”; ini adalah “awal mula

legislasi dan awal dari perjanjian formal yang mengikat diantara manusia-

manusia” (Book II). Namun, pada akhirnya, Plato membuang teori ini dan

teori demokrasi.

Semakin mendekati penerapannya, teori kontrak sosial telah

memperoleh perhatian dan penanganan yang serius pada abad tujuh

belas oleh Hobbes dan John Locke. Hobbes, misalnya, berargumen bahwa

pikiran logis dan rasa takut telah memaksa individu-individu untuk

mencari perdamaian dengan bergabung dalam suatu “persetujuan

formal”, dimana mereka menyerahkan berbagai hakhak individu kepada

suatu otoritas yang terpusat. Sebagai imbalannya, mereka akan dapat

melangsungkan urusan-urusan mereka dengan aman, menyadari bahwa

tindakan kriminal apapun yang ditujukan kepada mereka akan

memperoleh hukuman setimpal. Dalam versi Hobbes, orang-orang tidak

dapat mempertahankan kedaulatannya; dalam kenyataan, ini bersifat

imperatif (perintah) bahwa mereka menyerahkan kedaulatannya kepada,

misalnya, seorang raja, karena jika ini tidak dilakukan, maka pihak yang

lebih kuat dan berkuasa akan berupaya untuk merampas kekuasaan

secara tidak adil terhadap mereka yang lebih lemah. Tapi, jika seorang

raja melakukan berbagai hal yang tidak disukai oleh rakyat, ini sangat

buruk, karena sang raja tidak terikat oleh kontrak, yang hanya berlaku di

kalangan mereka yang telah memberi dia otoritas. Pendekatan

menyeluruh Hobbes terbukti sangat berpengaruh---setelah Machiavelli,

dia adalah tokoh terbesar kedua dalam perkembangan ilmu politik---tapi,


ide-idenya sendiri telah mendapat serangan dari seluruh aspek dan pada

akhirnya tidak memperoleh perhatian dan tanggapan. Yang lebih berhasil

adalah ide-ide dari John Locke, yang dalam karyanya Second Treatise of

Government (1690), mengemukakan argumen bahwa sementara manusia

membutuhkan pemerintahan, pemerintahan itu pada akhirnya adalah

sang pelayan, bukan sang majikan, dari masyarakat. Kumpulan

masyarakat sepenuhnya bebas untuk mendikte dan memodifikasi syarat-

syarat perjanjian dari pemerintahannya, lebih disukai dengan menuliskan

syarat-syarat itu secara tertulis. Inilah persisnya yang telah dilakukan oleh

para Founding Fathers ketika, pada tahun 1781, mereka menyusun dan

meratifikasi kontrak-kontrak sosial yang paling termasyhur dari seluruh

kontrak-kontrak sosial: Konstitusi Amerika Serikat.

Dialektika
Dialektika dapat berarti sejumlah hal; misalnya, pengertian asalnya dalam

bahasa Yunani mengandung arti “wacana”. Tapi, ia utamanya

dimaksudkan sebagai satu hal khusus sejak filosuf Jerman, Georg Wilhelm

Friedrich Hegel (1770-1831), mulai membahas istilah ini.

Dialektika Hegel, untuk mudahnya, dapat disarikan dalam tiga kata:

tesa, anti-tesa, sintesa. (Tiga kata ini bukan berasal dari Hegel, tapi tak

menjadi masalah). Setiap konsep atau urusan-urusan yang telah baku

(“tesa”) pada akhirnya memunculkan sebuah konsep yang bertentangan

(“anti-tesa”), dan ketika konsep anti-tesa ini menjadi baku dan mulai

tumpul, maka konsep yang baru dan lebih baru (“sintesa”) akan muncul.
Jadi, kemajuan manusia, menurut Hegel adalah suatu anugerah.

Istilah dialektika ini juga menjelaskan kontinuitas, karena tesa dan anti-

tesa tidak saling meniadakan satu sama lain; lebih akurat lagi, bahwa

unsur terbaik dari masing-masing konsep, terpelihara dalam sebuah

sintesa baru. Tapi, sintesa ini akan mempunyai celah-celah dan cacatnya

sendiri, yang akan memprovokasi suatu anti-tesa baru, dan demikian

seterusnya. Dalam pandangan Hegel, gerak maju ini mustahil tanpa

adanya konflik.

Untuk menangani apa yang dimaksudkan oleh Hegel, marilah kita

ambil salah satu contoh dari Hegel yang paling dikenal: “hubungan

majikan/budak”. Bayangkan seorang majikan dan seorang budak, atau

tuan dan pelayan, sebagai tesis dan anti-tesis kita. Sang majikan adalah

seorang majikan atau tuan adalah seorang tuan, karena dia memiliki

pelayan-pelayan: dia didefinisikan, dalam hal ini, berdasarkan pada apa

yang bukan menjadi predikat dia (seorang budak atau pelayan).

Tampaknya bahwa dalam setiap cara, sang majikan adalah lebih superior

ketimbang sang budak, dan bahwa sang budak memiliki identitas dan

kesejahteraan yang bergantung kepada majikannya. Tapi, semua ini

adalah tidak seperti yang tampak di permukaan. karena, dalam

kenyataan, sang majikan itu sendiri, bergantung pada sang budak---bukan

hanya untuk jasa pelayanan yang menjadi tugas sang budak, tapi bahkan

untuk mengukuhkan identitasnya (“Saya adalah seorang majikan karena

budak saya menganggap saya sebagai majikannya”).

Jadi, “tesis” majikan, bergantung pada “anti-tesis” budak sebanyak

sang budak bergantung pada majikannya---dalam satu pengertian, sang


majikan adalah budak dari budaknya, dan sang budak adalah majikan dari

majikannya. Jika sang majikan merenungkan situasi ini---sebagaimana

dalam pandangan Hegel yang progresif, dia terikat untuk melakukan ini---

dia harus menyadari sifat netral dan unsur ketidakadilan dari upaya

menaklukkan sang budak tempat ia bergantung. Dan berdasarkan pada

kesadaran ini akan muncul sebuah sintesis yang lebih adil---susunan sosial

yang rasional dan humanis.

Sejarah, filsafat, sains, agama, dan hal-hal keseharian yang lain juga

bekerja dengan cara seperti ini, berkembang menjadi lebih baik dan lebih

baik lagi, sepanjang waktu! Tapi, darimana ini semula bermula? Menurut

Hegel, dengan energi sangat kuat yang abadi, yang dia sebut “Roh”

(Geist). Roh ini, yang selalu mendesak dan merangsek menuju

kesempurnaan, menjadi Rasio itu sendiri. Menyerang balik kepada kaum

skeptis dan mereka yang menolak, dia berupaya keras menyusun

argumen yang panjang dan menjemukan guna membuktikan bahwa Rasio

(=Pikiran= Roh) adalah yang meliputi semua dan selalu berupaya menuju

kesadaran-diri yang menyeluruh, yang merupakan prestasi sempurna

kemanusiaan. Dan sarana melalui mana Roh ini melakukan upaya

kerasnya adalah dialektika, yang merupakan hamparan dari “Ide

transendental” yang akan mencapai kesempurnaannya di Akhir Sejarah.

Anda boleh menduga bahwa dibalik semua kata-kata yang tidak ada

artinya ini, terdapat sebuah ide yang telah sangat familiar: Tuhan. Ini

menjadi dapat dipahami di luar kontroversi tentang dia bahwa dunia

fenomena ini telah diciptakan oleh---faktanya, hanya sebuah ekstensi

[perluasan] dari---Geist. Apa yang telah terjadi di awal, pikirnya, adalah


bahwa Tuhan---yang adalah Pikiran Absolut---pada akhirnya mengarahkan

pemikiran-pemikiran-Nya kepada Diri-Nya Sendiri. tapi, anda harus

mengenyampingkan diri anda dari sesuatu untuk memikirkannya---bahkan

ketika obyek pemikiran ini adalah diri seseorang, orang itu harusnya

masih menjadi sebuah “obyek” dari “subyektivitas”-nya sendiri. namun,

ketika Tuhan itu bersifat Maha Ada, maka tak ada satu-pun yang terpisah

dari Tuhan. Jadi, apa yang Dia pikirkan adalah Ketiadaan (Nothingness).

Ketiadaan ini, tentu saja, adalah anti-tesis dari Ada. Tapi, daripada

membuat diri-Nya tidak berguna, Tuhan menggerakkan Ada dan Ketiadaan

ini, yang adalah proses Menjadi---asal dan mekanisme sentral dari

Sejarah. Dan tujuan dari Sejarah ini adalah untuk membimbing kembali

menuju Pikiran Absolut, menuju Ada tanpa Ketiadaan. Dan itulah sebuah

versi sederhana dari argumen dia.

-Isme-isme, -Ologi-ologi, dan


Perkembangan-perkembangan lain
yang Mengkhawatirkan: Filsafat sejak
Abad Sembilan Belas

Utilitarianisme

“Kebahagiaan terbesar dari jumlah yang terbesar,” tulis orang Inggris,

Jeremy Bentham (1748-1832), “adalah pondasi dari moral-moral dan

legislasi” (pembuatan hukum dan undang-undang). Untuk mengatakan

bahwa tindakan-tindakan itu seharusnya diarahkan untuk menghasilkan


kebahagiaan: “Semua yang baik akan berakhir baik” (All`s well that ends

well) adalah esensi dari utilitarianisme. Atau, dari satu sudut pandang

yang kritis, “Tujuan menghalalkan segala cara.”

Dalam kenyataan, kaum utilitarian seperti Bentham dan John Stuart

Mill telah mempromosikan sejenis relativisme moral. Tindakan-tindakan,

dalam pandangan mereka, tidak dapat divonis secara terpisah dari

kondisi-kondisi dan akibat-akibat. Seorang yang menganut moral absolut

akan mengatakan bahwa tindak pembunuhan itu adalah salah, tak peduli

apapun situasinya. Namun, seorang utilitarian, akan mengakatan bahwa

pembunuhan itu benar jika ia menyediakan kebaikan yang lebih besar.

Anggaplah anda dapat membunuh Hitler; seorang utilitarian akan

menjelaskan kepada anda untuk terus melangkah maju, karena adalah

lebih baik bahwa satu orang mati daripada banyak orang yang terbunuh.

Ketika dia menyamakan kebaikan dengan apa yang dapat membuat

banyak orang menjadi sangat bahagia, utilitarianisme versi Bentham

disebut “universal”. (Tidak semua utilitarian adalah universalis; beberapa

pihak mengatakan bahwa apa yang baik bagi anda, hanya anda yang

dapat memvonis demikian). Satu masalah dengan pendekatan Bentham

adalah bahwa anda tidak dapat selalu memastikan akibat-akibat yang

membahagiakan, dan wacana tindakan terbaik mungkin hanya dapat

dipahami setelah tindakan itu dilakukan. Anda boleh jadi bermaksud untuk

menyenangkan setiap orang dengan memberikan kue coklat, tapi, ketika

setiap orang sedang menjalankan diet makan atau punya penyakit alergi,

maka anda telah membuat mereka menjadi tidak bahagia. Apakah kami

memvonis tindakan anda sebagai “salah” meskipun niat anda adalah


untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak mungkin

orang? Menurut kaum utilitarian, jawabannya adalah “ya”.

Satu kesulitan yang dapat ditimbulkan adalah bahwa tidak setiap

orang bersikap setuju pada apa yang dimaksud dengan “kebaikan”.

Standar Bentham adalah kebahagiaan, tapi terdapat argumen-argumen

persuasif yang bertentangan. Misalnya, banyak orang akan mengatakan

bahwa sikap rendah hati itu adalah baik, meskipun ia dapat menghasilkan

penderitaan. Demikian pula, sikap tidak perhatian (ignorance) adalah

membahagiakan, tapi ia bukanlah ide dari setiap orang tentang apa itu

baik atau yang bermanfaat. Barangkali, adalah lebih baik untuk menjadi

tidak bahagia sekarang jika itu berarti bahwa anda akan menjadi lebih

bahagia di masa depan. Tapi, vonis-vonis seperti itu yang bergantung

pada akibat-akibat jangka panjang, dan orang-orang mungkin berargumen

di sekitar seberapa lama batasan periode waktu tersebut. Apakah baik,

misalnya, untuk melancarkan perang dagang terhadap Jepang sekarang,

dan dengan demikian menghukum para konsumen amerika, jika akibat

jangka panjangnya adalah situasi ekonomi Amerika yang lebih kuat?

Mungkin saja, tapi, dalam waktu jangka panjang yang lebih lama lagi,

keuntungan-keuntungan bisa saja lenyap, sementara antara kedua negara

masih terus berlanjut.

Bentham telah membuat beberapa rencana jangka panjang yang

menarik, menurut versinya sendiri. Dia mewariskan perpustakaannya dan

harta bendanya kepada University College di London, tempat dia

mengajar filsafat. Hal yang tak terduga yang terjadi adalah bahwa jasad

Bentham masih terus hadir dalam pertemuan-pertemuan di Fakultas.


Tengkoraknya telah disangga dengan sangat baik dan sangat terjaga dan

bahkan masih tetap dipertontonkan di balik kaca di College itu, meskipun

bagian kepala Bentham telah diganti dengan bentuk kepala yang terbuat

dari lilin. (Bagian kepala yang asli, yang sudah mulai membusuk,

diletakkan di dalam sebuah kotak terbuat dari logam di bawah kakinya).

Bentham masih terus mengikuti pertemuan-pertemuan, dimana dia, tak

diragukan lagi, adalah seorang peserta yang lebih hidup.

Manusia Super (Ubermensch)


Dan Zarasustra berbicara demikian kepada orang-orang:

“Aku mengajarkan kepadamu tentang manusia super. Manusia


adalah suatu hal yang akan ditaklukkan. Apa yang telah kamu lakukan
untuk menaklukkan dia?

Semua wujud sedemikian jauh telah menciptakan sesuatu yang


melampaui diri mereka sendiri; dan apakah engkau ingin menjadi keadaan
surut dari aliran yang sangat deras ini dan kembali lagi pada binatang-
binatang buas daripada menaklukkan manusia?”

Friedrich Nietzsche, “Prolog Zarathustra”, Thus Spoke


Zarathustra (1883)

Manusia super (Ubermensch) dari Friedrich Nietzsche ini telah melalui

pengalaman yang sangat menakjubkan dari transformasi-transformasi

budaya tinggi hingga budaya rendah---dari stoic, manusia tidak

konvensional hingga Manusia Baja. Serial komik ciptaan Siegel dan

Shuster hanya sedikit saja terkait dari sisi nama, dan bahkan sangat kecil

jika dibandingkan dengannya. Ubermensch secara harfiah berarti

“overman” (“melampaui manusia”), bukan “superman” (manusia super),


meskipun istilah terakhir ini digunakan dalam berbagai terjemahan

bahasa Inggris paling akhir dari karya Nietzsche Thus Spoke Zarathustra,

dan istilah ini telah diangkat oleh George Bernard Shaw untuk buku Man

and Superman.

Karakter yang mengkhotbahkan “Ubermensch” adalah Zarathustra

(yang juga dikenal dengan Zoroaster), seorang nabi Persia dari abad ke

enam SM yang menyediakan topeng puisi/ramalan Nietzsche. Berbeda

dengan apa yang anda mungkin pikirkan, Zarathustra tidak berbicara

tentang otot-otot baja yang sangat intelek atau spesies manusia yang

telah “dikembangkan”. Dalam kenyataan, kita semua (mensch adalah

bersifat netral) berpotensi untuk menjadi Ubermensch. Yang diperlukan

adalah tidak lagi berupa ujian-ujian atau minuman suplemen yang dapat

membuat cerdas, tapi keberanian dan kehendak, karena rintangan-

rintangan terbesar kita adalah rasa takut dan tradisi.

Pada bagian paling dasar dari konsep Nietzsche adalah apa yang dia

rujuk sebagai “kehendak untuk berkuasa”, dimana dia melihat ini sebagai

kekuatan dasar yang memotivasi dari segala yang hidup. “Kuasa” (Power)

disini tidak berarti kekuatan brutal, atau dominasi terhadap pihak lain,

tapi sesuatu yang lebih mirip dengan “ketiadaan rasa takut”

(fearlessness). Ketika kita semua sangat termotivasi oleh kehendak untuk

berkuasa, apapun yang sangat kita kagumi atau ingin kita samai harus

menghadirkan kekuasaan. Seperti (afirmasi-afirmasi Nietzsche) harmoni-

diri, kontrol-diri, dan penyadaran-diri---yang digambarkan dengan,

misalnya, sikap tenang Socrates saat meminum secangkir cairan hemlock

yang sangat beracun.


Secara keseluruhan, kita berada sangat jauh dari ideal Ubermensch

ini. Jauh dari memiliki diri kita sendiri, kita dimotivasi, terutama sekali,

oleh rasa takut, kebiasaan, takhayul, kekecewaan, dan segala sesuatu

yang menciptakan “mentalitas budak”. Sejak lahir, kita dilatih oleh

keluarga, gereja, dan sekolah untuk tunduk pada aturan-aturan dan

hukum-hukum, bertindak secara normal, meyakini takhayul-takhayul, dan

memperbudak diri kita di hadapan para master. Segala sesuatu yang

dicatatkan pada “sifat manusia” adalah benar-benar hanya tradisi. Kita

tumbuh dalam suasana malas dan takut menghadapi tantangan dan

bahaya, mati rasa terhadap gerakan-gerakan aktif dari kesadaran batin

kita.

Sebuah dunia tanpa tradisi-tradisi atau tanpa keberadaan master-

master adalah hal yang menakutkan, tapi merupakan alternatif dari

perbudakan dan keterasingan. Kita boleh jadi menyerah pada masyarakat,

atau kita mungkin menaklukkan rasa takut kita dan menjadi pencipta-

pencipta daripada sekadar ciptaan-ciptaan. Penciptaan adalah membuat

pemaknaan sendiri terhadap kehidupan dunia ini, yang dalam realitas

bersifat chaos dan selalu berubah; untuk menjadi makhluk ciptaan adalah

dengan bersikap tunduk pada pemaknaan-pemaknaan pihak lain. Semua

bahasa, dalam pandangan Nietzsche, sedikit banyaknya telah

mengilhamkan penafsiran, sejenis “kebohongan”. Jika bahasa berbohong,

seseorang dapat memperbaiki---lebih mengandalkan pada dirinya

sendiri---dengan menciptakan kepalsuan-kepalsuannya sendiri. inilah yang

dimaksudkan dengan menjadi “Ubermensch.”


Yang tidak ia maksudkan adalah untuk menjadi budak lain dari

seorang master. Tirani adalah bukan akibat dari penguasaan-diri, tapi

bersumber dari rasa frustrasi: ini merupakan ekspresi dari rasa kecewa

yang mendalam. Ubermensch, lebih mengarah pada, menjalani kehidupan

tanpa kekecewaan, dan selalu siap, jika situasi mengharuskan, untuk

melayani sama baiknya dengan saat memimpin. (Bagi sebagian dari kita,

melayani hanya tampak seperti perbudakan). Dengan mengontrol nafsu-

nafsunya dan mengarahkan kehendaknya, sang Ubermensch ini dapat

menciptakan seni dan filsafat, dengan mengafirmasikan kehidupan dan

keceriaan serta semua hal yang baik.

Ini akan menjadi sebuah peluang yang bagus untuk terlibat dalam

ide-ide besar Nietzsche yang lain, yaitu suatu persaingan antara apa yang

disebut dengan aliran “Apollonian” dan “Dionysian” dalam seni Yunani,

hubungan mereka terhadap rasio, nafsu, dan kehendak, peran mereka

dalam teori sublimasi-nya, dan lain sebagainya. Tapi, itu akan membuat

kita menjauh dari tujuan kita, sehingga sampai disini saja saya tinggalkan

anda untuk mencari informasi pada entry-entry saya tentang topik-topik

tersebut dalam By Jove: Brush Up Your Mythology!(HarperCollins,

1992).

Pengulangan yang Abadi


Bagaimana, jika suatu hari, setan menyelinap ke dalam kesendirian anda
yang paling sepi dan berkata kepada anda: “Kehidupan ini seperti yang
sekarang anda jalani dan masih akan menjalaninya, anda akan harus
menjalani hidup sekali lagi dan tak terhitung banyaknya; dan tidak akan
ada sesuatu yang baru di dalamnya, tapi setiap penderitaan dan setiap
kebahagiaan dan setiap pemikiran dan setiap keluh-kesah dan segala
sesuatu yang remeh atau besar, yang tidak mungkin dapat diukur, dalam
kehidupan anda harus kembali kepada anda---semua dalam rangkaian dan
urut-urutan yang sama....” Tidakkah anda akan menjatuhkan diri anda dan
menggemeretakkan gigi-gigi anda serta mengutuk setan yang telah
berbicara demikian? Atau anda pernah mengalami sebuah momen yang
luar biasa hebat ketika anda akan menjawab dia, “Anda adalah tuhan, dan
tidak pernah aku mendengar yang lebih bersifat tuhan.” ... Betapa baik
itikad anda terhadap diri anda dan terhadap kehidupan untuk sama sekali
tidak menginginkan sesuatu yang lebih bersemangat daripada penegasan
dan stempel abadi yang sangat mendasar ini?

Friedrich Nietzsche, The Gay Science (1882), section


341

Ambillah sesuatu yang remeh, ucapkan kata-kata dalam sebuah kalimat:

“Inilah sebuah kalimat pendek.” (Here is a small sentence). Masukkan

kalimat ini ke dalam komputer untuk diolah dan memerintahkannya untuk

menyusun kembali kata-kata tersebut secara acak---maka hasilnya akan

menjadi seperti: “is sentence here small a”. Sekarang, anggaplah

komputer ini mengulangi proses ini sekali lagi dan sekali lagi. Maka hasil

pemrosesan komputer mungkin akan terlihat seperti ini:

1) here is a small sentence

2) is sentence here small a

3) small here a is sentence

4) a here is sentence small

5) sentence a small here is

.... dan seterusnya dan seterusnya.

Sekarang, marilah kita katakan bahwa komputer di atas terus

mengolah kata-kata secara tak terbatas. Dapat dipahami bahwa pada

poin yang sama, ia akan mulai mengulangi dengan sendirinya, ketika


hanya terdapat 120 perubahan urut-urutan yang mungkin dari lima kata

ini. Selanjutnya, komputer yang diberi keleluasaan untuk mengolah kata

dalam proyek kecil ini, ia harus berupaya untuk mengulangi proses

mengolah perubahan urut-urutan dari kelima kata-kata tersebut dalam

tatanan yang persis sama. Yaitu, urutan 1-5 akan terulang kembali atau

“kembali lagi”, dan dalam kenyataan akan melakukan yang demikian ini

lagi dan lagi, selama kata-kata tersebut tidak berubah dan proses seperti

ini terus berlangsung abadi.

Permainan kta ini adalah sebuah versi memasak-hingga-kering

(boiled-down) dari apa yang diperoleh Nietzsche ketika dia mengupayakan

doktrin tentang “pengulangan yang abadi”, sebuah istilah yang pertama

kali muncul dalam The Gay Science, sebuah koleksi alegoris dan aforisme.

Dia sangat serius tentang ide ini sebagaimana dia memperhatikan hal-hal

yang lain, dengan memikirkannya secara mendalam sebagai hipotes

ilmiah yang paling sempurna. Nietzsche beranggapan bahwa alam

semesta ini tersusun dari sejumlah terbatas dari “power quanta”, apapun

mereka itu, diatur dalam ruang yang terbatas. Namun, waktu bersifat tak

terbatas, dan oleh karena itu, logika dia dapat dipertahankan, “quanta” ini

seharusnya seperti kata-kata dalam kalimat kita di atas, akan terpilah ke

dalam pola-pola yang terus berulang secara abadi.

Nietzsche, dalam hal ini adalah materialis deterministik, berpikiran

bahwa semua materi dan setiap peristiwa dapat diekspresikan dalam

ungkapan hubungan-hubungan fisik, yaitu, termasuk diantara “power

quanta”-nya. Dunia ini sebagaimana yang kita ketahui, hanyalah satu

pengaturan quanta yang khusus dan tersendiri, sebagaimana fakta-fakta


seperti tanggal kelahiran anda dan selera musik anda. Quanta ini terus

mengkombinasikan dan mengkombinasikan kembali untuk membentuk

realitas-realitas baru, yang pada akhirnya akan mencakup disintegrasi dari

dunia ini. Tapi, tidak pernah merasa takut: karena waktu adalah tak

terbatas, quanta ini seharusnya, suatu hari, akan mengatur kembali diri

mereka ke dalam dunia ini sebagaimana kita mengetahuinya. Bahkan,

dengan ketersediaan waktu yang cukup dan bersifat pasti, mereka akan

mengulangi kembali secara persis sama penyusunan-penyusunan kembali

yang telah menghasilkan sejarah manusia. Sejarah itu, singkatnya, akan

terulang kembali, lagi dan lagi dalam rangkaian yang abadi.

Sekarang, bagi banyak orang, pemikiran seperti ini adalah neraka,

sebuah versi yang membuat depresi dari film yang berjudul Groundhog

Day. Tapi, poin sebenarnya dari Nietzsche adalah: dia mengemukakan

pengulangan kembali yang abadi ini untuk menggerakkan kita guna

memikirkan secara mendalam tentang bagaimana kiranya seandainya

kita harus melangsungkan kehidupan-kehidupan kita secara persis sama

sekali lagi dan lagi. Jika anda mendapati gagasan ini sebagai tidak dapat

ditanggung, maka itu menyatakan sesuatu---yaitu, bahwa anda sedang

berada dalam cengkeraman “mentalitas budak.” Tapi, jika anda “sama

sekali tidak menginginkan sesuatu yang lebih bersemangat”, maka,

selamat kepada anda: anda telah menjadi seorang “Ubermensch”. (Untuk

instruksi-instruksi, lihat hal. 56).

Kaum ilmuwan, tentu saja, menerima pandangan Nietzsche yang

samar-samar ini. Menyemburkan perubahan susunan kata-kata dalam

tatanan yang linear adalah satu hal, tapi proses menyusun materi secara
tiga dimensional, ruang yang berurutan adalah hal lain---bahkan jika anda

menerima bahwa ruang itu terbatas dan waktu bersifat tidak terbatas.

Adalah sangat mungkin, misalnya, untuk merancang sejumlah kecil

obyek-obyek dalam gerak sehingga mereka tidak pernah mengulang

posisi mereka yang awal (atau posisi lain apapun), bahkan jika

membiarkan ini hingga hari kiamat dan masa selanjutnya. Dan ini

bukanlah untuk mempertanyakan konsep “power quanta” yang sangat

aneh ini, yang tidak disusun berdasarkan penemuan-penemuan Fisika

modern atau berdasarkan teori relativitas Einstein.

Meskipun pengulangan abadi ini tampaknya seperti cerita fiksi sains

yang buruk bagi anda, ia sebenarnya mempunyai garis silsilah yang

sangat terhormat secara filosofis. Ide ini sudah sangat umum di kalangan

filosuf Yunani kuno; para pengikut Pythagoras, misalnya, meyakini apa

yang disebut dengan “Tahun Agung” setelah mana siklus kosmik akan

terulang dengan sendirinya kurang lebih secara persis sama. (Heraklitus

mengukur Tahun Agung ini dengan 10.800 tahun bumi). Aristoteles

tampaknya menyetujui gagasan dasar ini, yang juga dianut oleh kaum

Stoic. (Versi mereka bahkan sangat dekat dengan gagasan Nietzsche).

Keyakinan Yudeo-Kristiani tentang waktu satu-arah, dengan Penciptaan

pada awal masa dan Kiamat di akhirnya, secara serius telah

melumpuhkan doktrin ini, tapi tidak membunuhnya. Para filosuf Abad

Pertengahan dan Renaissance---bahkan Descartes pun---sangat kuat

meyakini kemungkinan siklus perulangan sejarah, tanpa bermaksud untuk

menolaknya begitu saja. Namun, Nietzsche telah membuat teori ini

menjadi ngetrend kembali, meskipun hanya dalam waktu singkat saja. Jika
perulangan kembali yang abadi ini dianggap baik, saya yakin kita akan

melihatnya sekali lagi.

Pragmatisme
Untuk mencapai kejernihan yang sempurna dalam pemikiran-pemikiran
kita tentang sebuah obyek, maka, kita hanya perlu mempertimbangkan
apa akibat-akibat dari suatu jenis praktis yang dapat dibayangkan dari
obyek yang dilibatkan. ... konsepsi kita tentang akibat-akibat ini,
kemudian, bagi kita adalah keseluruhan dari konsepsi kita tentang obyek
itu, selama konsepsi itu mempunyai signifikansi yang sama sekali positif.
Inilah prinsip dari Peirce, pinsip tentang pragmatisme.
William James, “Philosophical Concepts and Practical Results”
(1898)

Filsafat mempunyai ironi-ironi kecilnya sendiri. charles S. Peirce (1839-

1914), dibuat terkenal oleh saudara Henry, William James, sebagai

penemu pragmatisme, sama sekali bukan sebuah kesuksesan yang

praktis. Dipecat dari Universitas Johns Hopkins dan ditolak secara

akademis karena perbuatan-perbuatan tidak bermoralnya, Profesor Peirce

turun derajatnya menjadi orang yang menggantungkan hidupnya dari

sumbangan dan pemberian orang lain, mati dalam keadaan miskin dan

dilupakan. (Namun, dia dapat tertawa untuk terakhir kali saat berada

dalam lingkungan akademis, dengan menemukan semiotika secara

bersama-sama---lihat hal. 183).

Peirce, meskipun mengalami kegagalan, adalah seorang jenius

dalam beberapa disiplin ilmu sekaligus, yang telah membuat kontribusi-

kontribusi nyata dalam disiplin ilmu matematika, filsafat, ilmu kimia,


psikologi, dan statistik. Meskipun, warisan peninggalannya yang paling

dapat bertahan lama adalah filsafat yang disokong oleh James dan

selanjutnya oleh John Dewey. Bersikap tidak menghargai metafisika---studi

tentang “realitas-realitas” yang tidak dapat dicerap oleh indera atau yang

bersifat abstrak---Peirce mendesak bahwa makna dari sebuah ide hanya

dapat disandarkan pada akibat-akibat praktisnya. Jika sebuah ide tidak

mempunyai akibat (pengaruh), maka ia tidak berarti apa-apa---apakah itu

“meracau” atau “benar-benar absurd”, untuk menggunakan kata-katanya

sendiri.

Hasil akhirnya adalah bahwa konsep-konsep semacam “kebaikan”

dan “kebenaran” tidak mempunyai realitas sebelum atau terpisah dari apa

yang kita lakukan dengan mereka---terpisah dari bagaimana mereka

mempengaruhi perilaku kita. Keyakinan, dalam pandangan yang

pragmatis, adalah sama seperti tindakan atau setidaknya tindakan yang

potensial. Jika ide kita tentang kebaikan mencakup perbuatan membantu

perempuan tua menyeberangi jalan, maka, kebaikan, bagi kita, mencakup

kecenderungan untuk menampilkan tindakan-tindakan. Kebaikan,

akhirnya, adalah jumlah keseluruhan dari pengaruh-pengaruh dari ide ini.

James, dalam berbagai karyanya, mengembangkan gagasan ini bahkan

hingga pada konsep tentang Tuhan. Dia menulis dalam Pragmatism

(1907), misalnya, bahwa “Jika hipotesa tentang Tuhan bekerja secara

memuaskan dalam pengertian yang paling luas dari kata, ini adalah

benar” (penekanan saya).

Di era James, pragmatisme telah mengasumsikan aneka ragam

bentuk-bentuk, tidak semua bentuk itu patuh kepada para pencetus


pragmatisme. Namun, kaum pragmatis masih berbagi premis-premis

dasar yang sangat inti, seperti fleksibilitas dalam metode, tidak

menghargai dogma, dan suatu pandangan yang relatif tentang nilai-nilai.

(“Baik” dan “buruk” didefinisikan berdasarkan pada kebutuhan-

kebutuhan, hasrat-hasrat dan praktek-praktek yang tertentu dari

manusia). Meskipun Peirce sendiri tidak terlalu condong pada relativisme.

Dia meyakini bahwa alam semesta ini diatur oleh hukum-hukum yang

terus berkembang dan berproses, selalu bersifat lebih tertata dan bersifat

agak lebih pasti. Dia meyakini bahwa ilmu pengetahuan, juga, terus

berkembang dan berproses, dan bahwa para pakar ilmu pengetahuan,

secara bertahap dan stabil, sedang mendekati “kebenaran” dari hukum-

hukum universal. Para pragmatis lain akan mengatakan bahwa

“kebenaran” itu sendiri hanyalah sebuah konsep relatif yang didefinisikan

oleh kebutuhan-kebutuhan dan perilaku manusia. “Kebenaran,” tulis

James, “adalah nama dari apapun yang membuktikan dirinya sendiri

sebagai baik yang sejalan dengan keyakinan yang dianut. Kebenaran

adalah sesuatu yang bekerja dan berfungsi.

Salah satu pendukung kuat yang lebih dikenal (atau dikenal karena

reputasi jeleknya) dari pandangan yang terakhir sekarang ini adalah

Stanley Fish, seorang profesor Bahasa Inggris dan Hukum di Duke

University. Fish menyukai untuk membahas relativitas dari konsep-konsep

tertentu yang dianggap benar, sebagaimana dalam bukunya yang paling

akhir (sebagaimana dalam tulisan ini), There`s No Such Thing as Free

Speech, and It’s a Good Thing, Too (1994). Kebebasan berbicara, menurut

Fish, adalah bukan sesuatu yang diberikan begitu saja secara absolut,
apakah itu melalui hak alami atau yang berdasarkan hukum; ia hanyalah

apa yang, secara komunal, kita bersetuju untuk membiarkannya terjadi.

Beberapa hal---seperti “memerangi kata-kata” atau pornografi---akan

selalu dicegah, dan definisi-definisi tentang “kebebasan” dan “berbicara”

itu secara terus-menerus dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan

kebutuhan-kebutuhan komunitas. Fish di masa lalu, sepanjang baris-baris

kalimat yang serupa, juga telah mengkritisi secara rinci teori-teori yang

berhubungan dengan sastra, gagasan-gagasan tentang “kualitas”, dan

doktrin-doktrin resmi.

Fish hanyalah salah salu dari kaum neo-pragmatis, yang paling

berpengaruh, yang pernah menjadi sahabat akrab dari filosuf Richard

Rorty. Rorty, menyadari bahwa pragmatisme, secara logis,

mengimplikasikan bahwa mempelajari filsafat itu tidak bersifat inderawi

(nonsensical), telah menempuh langkah yang mengagumkan dari karir-

karirnya yang terus berubah. (Dia sekarang adalah seorang profesor

Bahasa Inggris). Kontradiksi-kontradiksi semacam ini, ini seharusnya

dicatat, sama sekali bukan pemikiran pragmatis yang unik. Contoh bagus

yang lain adalah tentang Steven Knapp dan Walter Benn Michaels, yang

dipromosikan oleh Fish, yang telah menimbulkan situasi yang

menghebohkan di kalangan departemen-departemen sastra dengan

mempublikasikan sebuah esai teoritis yang berjudul “Against Theory”

(1982). Ide sentral dari artikel yang menakjubkan ini adalah bahwa semua

teori sastra adalah didasarkan pada pembedaan antara apa yang “benar-

benar” dimaksudkan oleh sebuah teks dan apa yang dimaksudkan oleh

penulisnya. Tapi, pembedaan ini adalah tidak nyata, ketika dalam


prakteknya, keduanya adalah satu dan sama: kapan saja kita berbicara

tentang “makna”, kita tidak dapat memaksudkan sesuatu selain dari

“maksud” (intention = maksud, arti, tujuan). Oleh karena itu, untuk

mengutip penulis esai ini, “seluruh keberanian berusaha dari teori kritis

ini,” menjadi “tidak koheren” dan praktis tidak memberi pengaruh,

“adalah sesat dan harus ditinggalkan.” Tapi, tak seorangpun yang

mendengarkan. Artikel ini tidak mempunyai akibat yang praktis. Teori

masih terus berkuasa. Jadi, pragmatisme harus ditinggalkan.

“The World Is All That Is the

Case”

(Dunia Adalah Kumpulan Dari


Keadaan-keadaan yang sebenarnya)

Di antara filosuf yang paling dihormati dan dipuja di abad dua puluh ini

adalah sang aristokrat Wina, Ludwig [Josef Johann] Wittgenstein (1889-

1951), yang telah diklaim sebagai pendiri dari beberapa aliran filsafat.

Tapi, tidak semuanya setuju tentang apa yang telah dia maksudkan, inilah

ironisnya, ketika poin yang paling penting darinya, mungkin, adalah

bahwa filsafat itu harus berkonsentrasi pada bahasa sehari-hari---dan

dianggap benar begitu saja serta tidak rumit.


Wittgenstein, lebih dari siapapun, bertanggung jawab atas

pemfokusan filsafat mutakhir terhadap bahasa, secara khusus terhadap

hubungan antara pernyataan-pernyataan dan realitas-realitas. Dia

mendeklarasikan pandangannya sendiri dalam kalimat pembukaan pada

karya pertamanya, Tractatus Logico-philosophicus (“Treatise in Logical

Philosophy”, 1921): “The word is all that is the case.” Yang artinya, dia

menjelaskan, bahwa dunia ini “adalah totalitas fakta-fakta, bukan

sesuatu.” (things).

Jika anda tidak melakukan pembedaan, inilah dia: “fakta-fakta”

adalah pernyataan-pernyataan yang benar tentang sesuatu (things).

Sebuah kursi adalah sesuatu; pernyataan “Kursi ini merah” adalah (atau

mungkin) sebuah fakta. “Dunia” ini, sebagaimana yang kita ketahui,

hanyalah kumpulan dari fakta-fakta yang diketahui---tentang “apa

keadaan yang sebenarnya”---daripada sesuatu-sesuatu yang terpisah dari

apa yang dapat kita katakan tentang mereka. Ini adalah bahasa yang

mengkonstruk pemahaman kita tentang dunia ini, tentang lingkungan-

lingkungan di sekitar kita dan tentang pengalaman-pengalaman kita. Apa

yang tidak dapat kita katakan, tidak dapat kita ketahui; “Apa yang tidak

dapat kita bicarakan, kita harus melewatkannya dalam keheningan.”

Proposisi-proposisi Wittgenstein, sangat dipengaruhi oleh

sekelompok filosuf muda yang dikenal sebagai “positivis yang logis”---

orang-orang yang meyakini (believers), sejalan dengan Hume, apapun

tanpa ada pembuktian diri, juga tanpa pendemonstrasian secara empirik,

hanyalah omong kosong belaka. (Omong kosong [Nonsense] berdasarkan

pada cahaya pemahaman mereka, mencakup sastra, seni, dan gagasan


metafisika. Tapi, meskipun mereka menerima Wittgenstein, Wittgenstein

tidak menerima mereka. Untuk sementara, dia juga memikirkan filsafat

harus membatasi dirinya sendiri pada “apa yang menjadi keadaan yang

sebenarnya”, (“what is the case”), dia masih terus dihantui oleh

keheningan-keheningan dan realitas-realitas yang tak diketahui. Apa yang

tidak faktual mungkin adalah hal-hal yang remeh, tapi, sejauh yang

dicermati oleh Wittgenstein, hal-hal yang remeh (nonsense) adalah sangat

menarik.

Pandangan Wittgenstein berkembang antara Tractatus dan karya

setelah dia meninggal, Philosophical Investigations (1953), yang

merekonstruksi kuliah-kuliah yang telah dia berikan di Cambridge. Dalam

kenyataan, dia hampir mengabaikan banyak dari pandangan-pandangan

dia sebelumnya, seperti klaim bahwa “batas-batas dari bahasa saya

adalah batas-batas dari dunia saya.” Seperti banyak filosuf bahasa lain,

Wittgenstein muda telah memperlakukan kata-kata sebagai indikator-

indikator atau wakil-wakil dari berbagai hal di dunia ini. Tapi, Wittgenstein

tua berpikir bahwa suatu penekanan (emphasis) pada acuan adalah

terlalu menyederhanakan masalah.

Dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein menawarkan

sebuah pandangan baru: apa yang dimaksudkan oleh kata-kata, tidak

bergantung pada apa yang mereka acu, tapi pada bagaimana mereka

digunakan. Bahasa, kata dia, adalah sejenis game---seperangkat

“potongan-potongan” atau “peralatan” (kata-kata) yang digunakan

berdasarkan pada seperangkat aturan-aturan (konvensi-konvensi

linguistik). Sebagaimana dalam Tractatus, dunia kita dikonstruksi


berdasarkan pada pernyataan-pernyataan atau pernyataan-pernyataan

yang potensial, tapi sekarang ini, penekanannya tidak didasarkan pada

apa yang “dimaksudkan” (ditunjukkan) oleh pernyataan-pernyataan, tapi

lebih pada bagaimana pernyataan-pernyataan itu digunakan berdasarkan

pada aturan-aturan yang berlaku dan konteks yang melingkupi.

Bersumber dari sini-lah bahwa pengetahuan itu tidak bersandar

pada proses penemuan beberapa “realitas” yang sesuai dengan

pembicaraan kita, tapi lebih berupa, mempelajari cara pembicaraan itu

bekerja (berfungsi). Dengan demikian, bahasa sehari-hari adalah subyek

yang layak bagi filsafat. Problem-problem filsafat tradisional, yang

melibatkan konsep-konsep seperti “ada” (being) dan “kebenaran”,

hanyalah sekadar kebingungan-kebingungan yang muncul yang

bersumber dari jargon dan upaya sesat untuk menemukan “realitas” yang

dianggap “mewakili.”

Fenomenologi

Bahwa kita harus menyingkirkan semua kebiasaan-kebiasaan berpikir


sebelumnya, mencoba mengerti dan membongkar rintangan-rintangan
mental dimana kebiasaan-kebiasaan ini telah menghiasi sepanjang
horizon-horizon berpikir kita, dan dalam kebebasan intelektual yang
penuh untuk terus menggenggam problem-problem filsafat yang genuine
(asli) ini, yang masih menunggu formulasi segar yang utuh dimana
horizon-horizon yang telah dibebaskan dari semua sisi, menyingkap
kepada kita---ini adalah tuntutan yang sulit. Ini tetap saja bersifat
mendesak. Apa yang membuat cocok dan sesuai dari sifat esensial
fenomenologi... dan hubungannya dengan semua ilmu pengetahuan yang
lain... luar biasa sulitnya, adalah bahwa sebagai tambahan bagi semua
penyelesaian-penyelesaian yang lain, diperlukan sebuah cara baru dalam
melihat sesuatu, yang kontras pada setiap poin-nya dengan situasi alami
pengalaman dan pikiran.
Edmund Husserl, Ideas (1913), Introduction

Banyak ajaran filsafat yang sangat sulit untuk dipahami, tapi tulisan-

tulisan dari Edmund Husserl (1859-1938) ini sangat layak memenangkan

beberapa penghargaan sekaligus. Penuh dengan jargon dan obsesif,

fenomenologi Husserl, bagaimanapun, telah mewariskan pengaruh yang

meluas pada filsafat abad dua puluh. Bahkan, karya-karya filsafat yang

sangat sulit dicerna dari Heidegger, Sartre, dan Derrida, tidak mungkin

dapat dipahami tanpa jasa Husserl.

Istilah-istilah phenomenon dan phenomenology, berasal dari bahasa

Yunani yang berarti “penampakan”, bukanlah hal baru bagi Husserl. Sudah

menjadi umum dalam tradisi filsafat Jerman, phenomenon mengacu pada

sesuatu atau peristiwa sebagaimana ia menampak pada kesadaran

manusia (yang dipertentangkan dengan apa yang bersifat esensial, yang

terpisah dari persepsi). Phenomenology, dengan demikian, adalah studi

tentang manifestasi-manifestasi (tampak jelas pada penglihatan atau

pemahaman; suatu indikasi dari eksistensi atau kehadiran sesuatu,

pent.). Husserl meyakini bahwa sejauh pengetahuan kita tentang dunia

ini terus berlanjut, semua yang kita punyai adalah fenomena sehingga

kita harus berupaya untuk membuat yang terbaik tentangnya.

Untuk melakukan ini, kita harus mulai dengan mengosongkan dan

melucuti persepsi-persepsi kita hingga ke bentuk-bentuk mereka yang

paling sederhana, dengan menanggalkan dan menggugurkan lapisan-

lapisan kebiasaan dan anggapan kita. Kita dapat melatih diri kita untuk

melihat, katakanlah, sebuah kursi tanpa ada pemikiran apapun tentang


tujuannya (untuk duduk), tentang sejarahnya (siapa yang membuatnya

dan dimana kita membelinya), atau tentang fungsinya (apakah ia nyaman

atau sesuai dengan permadani lantai), kita harus mencoba untuk hanya

sekadar mengalami kursi ini dengan cara yang paling langsung, sebagai

sebuah obyek murni kesadaran. Ketika melihat kursi dengan cara ini---

memahami hanya feature-feature-nya yang paling esensial---kursi ini

telah menjadi sebuah “fenomena” dalam pemahaman Husserl.

Husserl menyebut jenis persepsi ini sebagai “bracketing” (memberi

tanda kurung besar), atau, dalam istilah Yunani, epoche, yang dia

definisikan sebagai “keyakinan yang ditunda dan ditangguhkan (untuk

sementara waktu) dalam eksistensi obyek-obyek.” Kasarnya, dia

memaksudkan bahwa dalam mencari feature-feature esensial dari

sesuatu, kita harus menangguhkan kemelekatan apapun pada eksistensi

aktualnya. Kita kemudian menampilkan sesuatu yang disebut “variasi

imajinasi bebas”. Ambil contoh sebuah kursi; bayangkan bagaimana ia

mungkin menjadi berbeda---secara mental memotong kaki-kakinya,

memutar dan membalik sandaran belakangnya, menambah sebuah

modem fax. Apakah ia masih sebuah kursi? Kapan saja kita merasa bahwa

kita, tidak secara intuitif, mengenali variasi yang dihasilkan ini sebagai

sebuah “kursi”, kita tahu bahwa kita telah mengubah sesuatu yang

esensial. Jenis “penundaan” (bracketing) ini, adalah sarana untuk

memperoleh esensi dari sesuatu yang terpisah dari bagaimana ia eksis

disini dan sekarang ini.”Kembali pada sesuatu itu sendiri” adalah moto

Husserl, dan yang dia maksudkan adalah “kembali pada intuisi-intuisi kita
yang utama tentang sesuatu dalam bentuknya yang esensial (sebagai

fenomena)”.

Tapi, fenomenologi tidak berhenti disini, karena kita telah sampai

pada fenomena yang paling dasar. Tak peduli betapa bagus yang kita

peroleh pada proses menunda kursi, kita bahkan masih belum memahami

struktur dari pengalaman sadar yang sederhana. Untuk menguji

kesadaran, kita perlu, hingga kadar tertentu, melampaui atau berada di

atasnya dan mencapai apa yang disebut Husserl sebagai “subyektivitas

transendental”. (Orang-orang biasanya menyebut ini sebagai “kesadaran-

diri”, tapi saat kita memikirkan itu sebagai sbersifat subyektif, maka

“subyektivitas transendental” dari Husserl diasumsikan untuk memberi

kita suatu pandangan yang “obyektif” tentang kesadaran).

Saya akan meninggalkan penjelasan teknis Husserl tentang

bagaimana persisnya kita meloloskan diri dari subyektivitas. Cukuplah

disini untuk mengatakan bahwa jika kita menguji kesadaran, hal pertama

yang kita perhatikan adalah bahwa ia bersifat “intensional.” Dalam

pengertian Husserl, “intensional” berarti seperti sesuatu yang

“diarahkan”; kita tidak pernah hanya sadar saja, tapi selalu dalam

keadaan sadar terhadap sesuatu. (“Sesuatu” ini dapat menjadi sebuah

obyek seperti kursi, atau suatu perasaan seperti rasa lapar, atau sebuah

ide, dan ia tidak harus “nyata”). Selanjutnya, ketika kesadaran adalah

sesuatu yang bersifat terarah (mengarah pada sesuatu), ia tidak pernah

kosong atau pasif, tapi selalu aktif. Kesadaran menjangkau dan

menangkap sesuatu secara tiba-tiba, dan cara dari sesuatu itu menampak

pada kita, bergantung pada karakter (esensi)nya sendiri dan pada


karakter dari “menangkap secara tiba-tiba.” Kita mempunyai tangan

untuk menciptakan obyek-obyek dari dunia kita---misalnya, dengan

memberi mereka makna.

Poin terakhir dari semua ini adalah agar dapat menggambarkan,

sepenuh dan setepat mungkin, cara-cara yang paling mendasar dimana

kita memahami dan memberi makna pada dunia dimana kita hidup.

Sebuah tujuan mulia, pastinya, tapi yang bersifat kontroversial. Bahkan

beberapa fenomenologis merasa terganggu dengan gagasan tentang

“ego transendental”, terutama di tahun-tahun selanjutnya, Husserl mulai

membuat klaim-klaim yang aneh tentangnya. (Misalnya, dia

berpandangan bahwa ego transendental sebagai suatu entitas yang

terpisah dari kesadaran seseorang dan hingga kadar tertentu bersifat

abadi). Apakah benar-benar terdapat poin dimana kita dapat mencermati

dan menggambarkan kegiatan-kegiatan normal dari pikiran? Bagaimana

mungkin kesadaran dapat mentransendensikan dirinya sendiri? Saya tidak

memberikan solusi-solusi, tapi sebuah teka-teki untuk anda.

Eksistensialisme
Eksistensialisme? Mengapa, Jean-Paul Sartre, tentu saja. Kecuali bahwa

ide ini lebih lama satu abad ketimbang Sartre, Sartre adalah pendukung

ide ini yang paling terkenal.

Eksistensialisme---sebuah studi tentang pengalaman subyektif---

sebenarnya diawali oleh filosuf Denmark Soren Kierkegaard (1813-1855).

Kierkegaard menuduh filsafat kontemporer sebagai membuang-buang


banyak waktu percuma tentang “esensi-esensi”, yang dijadikan asumsi

yang mendasari realitas-realitas dan hukum-hukum universal dari dunia

ini. Bukan hanya semua ini bersifat tidak pasti dan menimbulkan

keraguan, dengan memfokuskan diri pada mereka berarti telah

membelokkan perhatian dari problem-problem yang riil, seperti

bagaimana kita sebagai individu-individu dapat membuat keputusan-

keputusan.

Yang paling pertama sekali, Kierkegaard menolak keyakinan

idealistik bahwa baik dan buruk itu mempunyai beberapa realitas obyektif

atau esensial. Mereka lebih merupakan “kebenaran-kebenaran yang

subyektif”---meskipun mereka tidak dapat dibuktikan atau diperluas

kepada yang lain---yang merupakan basis satu-satunya dari tindakan-

tindakan individu. Misalnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa

membunuh itu adalah “buruk” dalam beberapa cara yang obyektif atau

yang logis; sungguh, terdapat situasi-situasi, ketika perbuatan ini

dianggap “baik” (dalam mempertahankan diri, katakanlah demikian, atau

dalam peperangan). Sangat sering bahwa tidak ada cara untuk

menentukan secara logis terhadap wacana tindakan yang benar. Anda

tidak dapat mengkalkulasikan bagaimana merespon ketidakadilan, atau

untuk meyakini Tuhan; tapi, kita juga tidak dapat menghindar dari

keputusan-keputusan atau keyakinan-keyakinan.

Tentu saja, terdapat beberapa kebenaran yang obyektif: dua

ditambah dua sama dengan empat, dan Napoleon telah ditaklukkan di

Waterloo. Tapi, apa kemudian? Sejauh yang dicermati Kierkegaard,

kebenaran-kebenaran semacam ini---yang mungkin saja menarik---tidak


mempunyai kaitan dengan eksistensi sehari-hari seseorang atau dengan

keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan penting dari seseorang.

Hakikat diri kita, dia meyakini, adalah apa yang kita lakukan. Jika kita

benar-benar menjadi (to be), kita harus bertindak, dan kita mendasarkan

tindakan-tindakan kita pada nilai-nilai kita---yang murni bersifat subyektif

dan kebenaran-kebenaran individual, keimanan, semua itu tidak dapat

dibuktikan tapi sangat riil.

Bukan alam dan bukan pula masyarakat yang dapat menawarkan

kepada kita kepastian tentang baik dan buruk, benar dan salah. Makna

dan nilai paling mendasar dari tindakan-tindakan kita selalu bersifat tidak

pasti. Maknanya bagi manusia adalah untuk bertindak di hadapan

ketidakpastian ini. Laki-laki dan perempuan, menurut pandangan seorang

eksistensialis, bertindak secara tidak otentik jika mereka berperilaku

hanya sebagaimana yang diperintahkan oleh masyarakat, atau hanya

menerima pendiktean dari pihak gereja atau institusi lain. Untuk

melakukan yang demikian ini adalah sikap melarikan diri dari tanggung

jawab.

Masalah yang terdapat dalam pandangan eksistensial ini, yang

sangat memaksa sejauh pandangan ini diterapkan, adalah penekanannya

pada eksistensi individual dan pilihan tidak dapat berbuat apa-apa dalam

menghadapi dilema-dilema sosial yang tersebar luas. Untuk pembahasan

lebih lanjut tentang masalah ini dan bagaimana pihak lain memberikan

responnya, simaklah entry berikut.


“Saya Dihukum untuk Menjadi

Bebas”
Sungguh, berdasarkan pada fakta tunggal, bahwa saya sadar tentang
sebab-sebab yang mengilhami tindakan saya, sebab-sebab ini sudah
merupakan obyek-obyek transenden bagi kesadaran saya; mereka berada
di luar. Sia-sia saja saya berupaya untuk menangkap mereka; saya
terlepas dari mereka karena eksistensi saya. Saya dihukum untuk eksis
selamanya untuk melampaui esensi saya, melampaui sebab-sebab dan
motif-motif dari tindakan saya. Saya dihukum untuk menjadi bebas. Ini
berarti bahwa tidak ada batas-batas bagi kebebasan saya, yang dapat
ditemukan kecuali kebebasan itu sendiri atau, jika anda lebih suka, bahwa
kita tidak bebas untuk berhenti menjadi bebas.

Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (1943), Part


Four

Ketika seseorang mengingatkan anda “Ini adalah negara bebas,” anda

mengetahui apa yang dia maksudkan. Anda, pada dasarnya, bebas untuk

melakukan apa yang anda inginkan (ini disebut dengan kebebasan

“positif), dan, pada dasarnya, bebas dari siksaan pandangan-pandangan

anda (kebebasan “negatif). Kebebasan positif melibatkan pilihan-pilihan;

kebebasan negatif melibatkan akibat-akibat.

Kedua kebebasan kembar ini cukup menakjubkan dan kita

beruntung mempunyai keduanya. Tapi, kata penting disini adalah

beruntung. Jika dalam sebuah peristiwa, yang bersifat mustahil, bahwa

seorang diktator akan memaksakan kehendak pribadinya suatu hari,

sehingga kebebasan-kebebasan kita yang sangat berharga itu hilang


dalam sekejap. Apa yang masih tersisa kemudian? Apakah ada jenis

kebebasan yang esensial yang tidak akan pernah dapat dirampas dari

kita?

Menurut Jean-Paul Sartre, seorang filosuf eksistensialis terkemuka

abad ini, jawabannya adalah “ya”. Tapi, jawaban “ya” ini adalah berkah

yang tercampur. Sartre mengatakan bahwa untuk menjadi manusia

adalah dengan menjadi bebas sepenuhnya, untuk selalu mempunyai

kuasa untuk memilih. Tapi satu-satunya hal yang tidak dapat kita pilih

adalah untuk menghentikan proses memilih ini, atau, untuk mengutip

paradoks Sartre, “Saya dihukum untuk menjadi bebas.” Memilih untuk

tidak bertindak masih tetap sebuah pilihan. Inilah dilema eksistensial.

Filsafat kebebasan Sartre bersumber dari studinya tentang

fenomenologi, (yaitu) filsafat tentang kesadaran murni. Sebagaimana

Sartre memahaminya, apa yang membedakan kesadaran adalah bahwa ia

sekaligus tentang dunia ini dan bukan tentang dunia ini. Ketika kita

merefleksi pada bagaimana kita berpikir, ketika kita menjadi sadar-diri,

kita memperlakukan pemikiran kita seolah-olah ia adalah sebuah obyek di

dunia ini. Untuk mengatakan “Saya bingung dengan penjelasan itu”

adalah untuk mentransendensikan proses berpikir kita sendiri dan

bercermin (reflect) padanya. Tapi, dunia yang kita kenal hanyalah

kumpulan dari semua obyek yang bersifat “transenden”: hal-hal yang kita

pahami dan pikirkan.

Pada saat yang bersamaan, kesadaran adalah bukan bagian dari

dunia ini. Ketika kita bermimpi, kita terputus dari indera-indera luar. Ketika

kita membayangkan---katakanlah, ketika kita berfantasi memenangkan


lotre---kita memunculkan yang sekarang ini (dunia sebagaimana ia

adanya) dan memproyeksikan sebuah masa depan yang lebih baik (dunia

tidak sebagaimana adanya ia). Masa depan ini, karena ia tidak aktual,

adalah tidak eksis: ia adalah ketiadaan (nothingness).

Menurut Sartre, semua tindakan muncul dari ketiadaan. Jika anda

selalu menyesuaikan diri secara langsung pada masa sekarang ini, tidak

mampu untuk melepaskan diri darinya, anda bukan hanya tidak bisa

membayangkan, (tapi) anda (juga) tidak bisa bertindak. Masa sekarang ini

adalah ia secara apa adanya, dan kecuali anda mempertimbangkan pada

bagaimana sesuatu itu dapat menjadi berbeda, (maka ) tidak ada motif

untuk melakukan apapun. Sartre membawa tesis ini selangkah lebih jauh:

semua tindakan-tindakan kita, diarahkan pada sebuah tujuan yang tidak

eksis disini-dan sekarang ini (in the here-and-now). Tindakan-tindakan

kita, kemudian, menjadi tidak didasarkan pada apapun, juga tidak pernah

bersifat esensial (necessary). Tujuan-tujuan adalah sesuatu yang kita

kreasikan secara bebas untuk diri kita, dan sejalan dengan mereka, kita

mengkreasikan nilai-nilai kita sendiri. (Disini Sartre mengadaptasi dari

Kierkegaard).

Istilah “nausea” yang terkenal dari Sartre, muncul dari kebebasan

memilih yang absolut, kesadaran bahwa anda mampu untuk melakukan

tindakan apapun yang mungkin. Misalnya, pada momen apa saja, anda

mungkin memilih untuk membunuh diri anda sendiri; dan pemikiran ini---

yang membukakan jurang dalam yang menganga lebar di dalam diri---

menghasilkan rasa cemas (angst) dan nausea. (anda dapat [could]

melakukannya, dan anda merasa takut sehingga anda mungkin [might]


melakukannya). Untuk menjadi “terhukum untuk menjadi bebas” adalah

untuk bertanggung jawab dalam menciptakan setiap situasi dari “dunia”

kita sendiri---untuk memilih tujuan-tujuan kita sendiri, metode-metode

pengelolaan masalah, respon-respon kita atas rasa cemas dalam memilih.

Barangkali, anda akan memilih untuk membunuh dirimu sendiri; jika tidak,

maka anda setidaknya memilih untuk terus memilih.

Mayoritas orang menolak untuk menghadapi fakta-fakta ini, namun,

karena mereka tidak dapat mengemban ide bahwa mereka bertanggung

jawab atas dunia mereka. Sebagaimana telah banyak dikemukakan oleh

para kritikus di era kita, bahwa kita lebih cenderung untuk melihat diri kita

sebagai korban daripada sebagai manusia dewasa yang bertanggung

jawab. Kita menyalahkan pilihan-pilihan inferior kita atau kerja keras kita

yang telah gagal sebagai akibat dari masa kecil kita yang tidak bahagia,

sebagai akibat dari penindasan oleh budaya, akibat pembagian kelas

(sosial), akibat prasangka, atau akibat dari suasana masyarakat pada

umumnya. Sartre tidak akan mengingkari bahwa masa kecil yang tidak

bahagia dan prasangka-prasangka budaya eksis dan ini adalah buruk.

Tapi, dia memberi label sebagai “keyakinan yang buruk” pada sikap

menolak untuk memiliki pilihan-pilihan bebas kita sendiri dalam

menginterpretasi sesuatu dan merespon pada fakta-fakta kehidupan.

Sartre sangat bagus dalam mengekspos keyakinan yang buruk, tapi

kurang bagus pada membuka jalan menuju keotentikan; eksistensialisme

lebih bagus dalam deskripsi ketimbang dalam membuat dirinya sebagai

pegangan dan pedoman. Sartre sendiri, pada akhirnya, menyadari

keterbatasan-keterbatasan dari eksistensialisme dan untuk selanjutnya


lebih concern pada situasi-situasi yang menindas. Pada akhir tahun 1950-

an, dia menjadi sangat tertarik dengan Marxisme, bukan sebagai sebuah

sistem politik, tapi lebih sebagai sebuah filsafat dari tindakan kolektif.

Tentu saja, ideal kaum Marxis tentang penciptaan-dunia yang terkoordinir,

tidak berjalan dengan mulus.

SAINS DAN MATEMATIKA


Apa Saja yang Naik Harus Turun:
Teori-teori Dasar

Teorema4 Pythagorean
Thales memikirkan dunia ini sebagai terbuat dari air; Heraklitus telah

mengatakan bahwa bahan intinya adalah api. Pythagoras (abad enam SM)

memikirkan semuanya adalah angka, dan menganggap sama semua jalan

menuju kebenaran. “Segala sesuatu adalah angka-angka” adalah

motonya. Filsafat Pythagoras, yang mencakup keyakinan-keyakinan

tentang reinkarnasi dan akibat-akibat buruk dari penyingkapan misteri-

misteri, pada masanya adalah sangat tidak umum dan samar-samar, tapi,

dia telah meracik dan meramu bukti geometri pertama yang dahsyat,

yang merupakan formula yang masih dikenal sebagai “Pythagorean

teorema.”

4
Teorema = Proposisi yang masih dan akan dibuktikan kebenarannya. Penerjemah.
Teorema ini akan terasa familiar bagi anda jika anda pernah belajar

geometri. Geometri mencermati bahwa yang paling menarik dari semua

segitiga adalah segitiga yang benar (yang mengandung sudut 90 derajat).

Menurut Pythagoras, semua segitiga siku-siku mempunyai sifat yang

sama---yaitu, bahwa sisi segitiga yang paling panjang, ketika diukur,

adalah sama besar dengan kedua sisinya yang lain. Dalam gambar ini,

panjang dari sisi yang paling panjang (disebut dengan “sisi miring”)

adalah c. Menurut teorema Pythagorean adalah a [kuadrat] + b [kuadrat]

= c [kuadrat].

Sebenarnya, meskipun kesaksian kuno bersepakat untuk

menelusuri jejak dari bukti tentang teorema ini kepada Pythagoras

(Seorang warga Yunani dari pulau Samos), teorema itu sendiri telah

merambah Timur Tengah kira-kira selama satu milenium sebelum

kelahirannya. Dan meskipun dia telah membuktikan kebenarannya, tapi

pembuktiannya ini tidak diketemukan; jejak rekam yang paling pertama

tentang teorema ini ditemukan dalam karya Euclid yang terkenal

Elements (kira-kira 300 SM), yang pada era sekarang ini membentuk

basis bagi dasar-dasar geometri. Versi Euclid, secara singkat,

mensyaratkan peng-konstruksi-an ruang-ruang (squares) pada masing-

masing sisi dari sebuah segitiga dan menunjukkan bahwa area-area dari

dua sisi yang lebih pendek adalah sama dengan area yang paling luas.

Disamping menjadi yang paling awal dari jenisnya, pembuktian

Pythagoras ini sangat penting karena alasan-alasan lain. Pertama, ia

memberi kontribusi yang sangat besar atas penderitaan yang dialami oleh
anak-anak sekolah dimana saja mereka berada. Kedua, ia pada akhirnya

mengarah para penemuan tentang angka-angka “irrasional”---yaitu,

angka-angka yang tidak dapat diekspresikan sebagai sebuah pecahan

(sebagai rasio dari dua angka yang menyeluruh). Sebuah contoh dari satu

angka yang irrasional adalah akar kwadrat dari angka 2, yang merupakan

sisi miring (dari sebuah segitiga) ketika sisi-sisinya yang lain dari sebuah

segitiga siku-siku adalah satu unit panjang.

Ironisnya, konsekuensi dari teorema ini tidak sesuai dengan

program Pythagorean, ketika Pythagoras meyakini bahwa semua angka

adalah rasional, atau, untuk menggunakan istilahnya sendiri,

“commensurable” (dapat diukur dengan standar umum). (Menurut

legenda, para anggota dari aliran Pythagorean ini membawa orang yang

men-deduksi-kan angka-angka yang tidak dapat diukur dengan standar

umum ini dan melemparkannya ke laut Mediterrania). Ketika Aritmatika

Yunani berurusan hanya dengan angka-angka yang rasional, geometri,

dengan demikian, dilihat sebagai lebih dahsyat dan lebih baik

kemampuannya dalam memetakan dunia ini. Itulah sebabnya mengapa

para pakar matematika Yunani akan mengkonsentrasikan diri mereka

pada, dan membuat kemajuan-kemajuan penting dalam bidang geometri

serta pada saat yang sama hanya membuat sangat sedikit kemajuan di

bidang aritmatika.

“Eureka!” (Prinsip Archimedes)


menurut kisahnya, Archimedes, saat dia sedang mandi, memikirkan
sebuah cara untuk menghitung butir-butir emas pada mahkota Raja
Heiron dengan mengobservasi pada seberapa banyak air yang mengalir
keluar dari bak mandi. Dia meloncat seperti seorang yang mengalami
kesurupan, sambil berteriak heureka! (“Aku telah menemukannya”).
Setelah mengulang-ulang ini beberapa kali, dia kembali melanjutkan
akitivitas mandi-nya.

Plutarch, “The Impossibility of Pleasure according to Epicurus”

Pakar matematika Sicilia, Archimedes, (kira-kira 287-212 SM) adalah

profesor klasik yang linglung (absent-minded), seorang pemikir brilian

dan seringkali lupa pada dunia nyata ini, terutama setelah membuat salah

satu dari penemuan-penemuan hebatnya. Berdasarkan pada penjelasan

dari Plutarch, ketika Archimedes menemukan prinsip-prinsip tentang

hidrostatik5 (ilmu tentang bagaimana tubuh-tubuh solid [padat]

berperilaku dalam zat cair), dia beberapa kali berteriak dan kemudian

berlari telanjang bulat melalaui jalanan di Syracuse (pesisir tenggara dari

pulau Sicilia, pent.) tanpa menjelaskan apa yang dia teriakkan ini.

Perhatian pada persoalan sepele ini bermula ketika sahabat dari

Raja Heiron II dari Syracuse ini merasa curiga bahwa mahkota baru yang

telah dia pesan bukanlah terbuat dari emas yang solid, tapi emas yang

telah dicampur dengan perak (atau dari logam yang lebih rendah lagi).

Mencoba bereksperimen secara singkat untuk melebur bahan ini,

Archimedes menyadari bahwa tidak ada cara cepat untuk menentukan

komposisi dari mahkota raja ini. Tapi, suatu hari, saat dia berendam di

dalam bak mandinya, yang airnya memenuhi tepian bak mandi,


5
Hidrostatiks = Cabang ilmu Fisika yang mempelajari hukum-hukum air atau tentang air yang mendapat
tekanan. (Penerjemah).
Archimedes tiba-tiba mendapat ide cemerlang. “Aku telah

menemukannya! Aku telah menemukannya!” dia berteriak---heureka!

(atau eureka!) dalam bahasa Yunani.

Jika Archimedes tidak menemukan ungkapan baru ini--- istilah ini

(eureka) hanyalah sebuah predikat dari bahasa Yunani yang biasa-biasa

saja---dia telah membuat istilah ini menjadi terkenal. Dan dia telah

menemukan sebuah prinsip yang diberi nama sesuai dengan namanya

sendiri, yaitu bahwa seseorang dapat menentukan berat jenis dari sebuah

obyek “O” dengan membandingkan beratnya dengan air yang tumpah dari

dalam bak mandi. (Berat dari air ini, yang mempunyai volume yang sama

dengan O, disebut “daya apung” O; rasio dari berat O hingga pada

tumpahnya air, disebut dengan “gravitasi khusus” dari O).

Dengan mengkombinasikan penemuan ini dengan fakta bahwa

massa sama dengan volume dikalikan dengan berat jenis, inilah cara

untuk memecahkan teka-teki Heiron: ambillah sebongkah emas murni

yang beratnya persis sama dengan berat mahkota yang dipermasalahkan

ini. Jatuhkan bongkahan emas ini ke dalam sebuah bak air dan ukurlah

(beratnya atau volumenya) kandungan air yang tumpah. (Ini akan

menjadi kandungan air yang tumpah jika bak air itu penuh, atau

kandungan air yang naik di dalam bak itu jika tidak diisi penuh). Ulangi

proses ini dengan mahkota itu. jika bongkahan emas dan mahkota

menumpahkan jumlah air yang sama banyaknya, maka keduanya

mempunyai volume yang sama, dan berarti mahkota itu terbuat dari

bahan emas murni, karena tidak ada logam lain yang berat jenisnya sama
persis dengan emas. Namun, jika mahkota itu menumpahkan lebih

banyak air, maka ia harusnya terbuat dari emas yang telah dicampur

dengan logam yang berat jenisnya lebih ringan---volumenya akan

menjadi lebih besar daripada bongkahan emas itu.

Sebagaimana telah diketahui hasilnya, Heiron telah tertipu:

mahkota itu volumenya lebih besar daripada volume bongkahan emas itu.

sejak saat itu, sang pembuat mahkota tidak kedengaran lagi rimbanya,

tapi Archimedes masih terus melakukan berbagai upaya untuk

mempunyai beberapa ide yang lebih hebat lagi. Misalnya, dia

memperkirakan nilai dari r (simbol?), mencari tahu bagaimana

menghitung area dari sebuah lingkaran ini, telah memberikan pondasi-

pondasi dasar tentang kalkulus, dan menghasilkan teori tentang alat

pengungkit. Terutama merasa sangat senang dengan penemuan

terakhirnya ini, Archimedes menyombongkan diri: “Beri aku sebuah

tempat untuk berpijak, dan aku akan menggerakkan bumi ini.”

Dia tidak pernah mengupayakan niatnya ini, dan tidak juga dia

berhasil melengkapi kalkulasinya tentang berapa banyak butir-butir pasir

yang dibutuhkan agar dapat memenuhi alam semesta ini. Telah

dilaporkan bahwa dia meninggal saat menggambar sebuah diagram

geometris di permukaan tanah, ketika pasukan Romawi menaklukkan

Syracuse. Berdasarkan pada pendapat Plutarch, saking asyiknya

Archimedes tenggelam dalam spekulasi sehingga dia tidak mendengar

perintah dari seorang tentara Romawi untuk berdiri dari jongkoknya;


tentara itu kemudian timbul amarahnya dan menusukkan pedangnya ke

tubuh Archimedes.

Revolusi A la Copernicus

Ini hanya sebuah mitos bahwa Columbus, dengan menyeberangi

samudera Atlantik, telah membuktikan kepada sebuah dunia yang

terguncang bahwa bumi ini adalah bulat. Bahkan, beberapa lapisan

masyarakat yang terpelajar sejak masa-masa kuno, mereka adalah para

penyandang “tuna rungu”; yang lebih mengganggu adalah pertanyaan

tentang apakah dunia yang bulat ini bergerak.

Para pakar astronomi sejak dari Plato yang berlanjut hingga abad

ke-enam belas cenderung berpikir bahwa bumi ini dalam keadaan duduk

diam sementara langit mengitarinya, tapi, ini tidak berarti bahwa tidak

ada teori-teori alternatif tentang hal itu. Pada abad ke-empat SM,

misalnya, seorang pakar astronomi Yunani, Aristarchus dari Samos

mengajukan hipotesa-hipotesa yang bersifat “helio sentris”: bahwa

planet-planet, termasuk Bumi, berputar mengelilingi matahari.

Kendalanya adalah bahwa yang mendukung dan menganut paham

heliosentrisme ini tidak mempunyai bukti yang meyakinkan. Dan

dukungan semacam ini sangat sedikit jumlahnya, terutama setelah abad

ke-dua Masehi, ketika pakar astronomi Mesir-Yunani [Aleksandria, pent.]

Ptolemeus, telah menemukan seperangkat ekuasi-ekuasi geometris untuk

mendukung ide “geosentris” bahwa bumi ini adalah sebuah pusat yang fix
(kukuh, stabil) dari alam semesta ini. Model Ptolemeus ini dan formula-

formulanya memberikan semacam basis ilmiah pada apa yang hendak

diyakini oleh masyarakat, yang disebabkan oleh tradisi, agama, dan

psikologi. Kita tidak mengalami gerak apapun dari bumi ini, dan langit

tampak mengelilingi dunia ini; ini adalah pemikiran yang sangat

mengkhawatirkan bahwa indra-indra kita dapat dengan mudah tertipu,

dan tatanan dari berbagai hal yang tampak dapat menjadi palsu.

Selanjutnya, para penganut agama Kristiani mendapati paham

geosentrisme sebagai sesuai dengan keyakinan mereka bahwa bumi ini,

dan terutama manusia, adalah ciptaan Tuhan yang paling penting dan

paling sentral.

Akhirnya, bobot dari ilmu pengetahuan di masa kuno ada pada sisi

Ptolemeus. Aristoteles, kata kunci terakhir dalam dunia ilmu pengetahuan

untuk selama dua milenium terakhir, menyatakan bahwa langit itu

tercipta seluruhnya dari bahan-bahan yang berbeda-beda yang

merupakan unsur-unsur dari bumi. Bahan ini, disebut dengan aether

(eter) atau quintessentia(unsur dari sesuatu yang paling esensial dan

paling penting), bersifat sempurna dan tanpa cacat, dan selanjutnya

secara alami bergerak secara melingkar. Obyek-obyek alami disini, di atas

bumi ini, secara berbeda, tersusun dari elemen-elemen tanah, udara, api,

dan air, yang cenderung untuk naik atau turun. Elemen-elemen tanah dan

air bergerak turun, dan Bumi ini telah tercipta dari seluruh tanah dan air

yang telah bergerak turun ke tempatnya yang sesuai dan layak dan,

dengan cara ini, berpuas diri untuk duduk diam.


Geosentrisme, secara singkat, tampaknya bukanlah sebuah

hipotesa ilmiah, tapi merupakan bagian dari sebuah pandangan dunia

yang bersifat kompleks, membuat nyaman dan tradisional. Tapi, ini adalah

sebuah pandangan yang pada akhirnya bertemu dengan padanannya di

era Renaisans, yang dimulai dengan karya seorang pakar astronomi yang

sangat cemerlang, Mikolaj Kopernik (1473-1543), yang lebih dikenal

dengan nama latinnya Nicholas Copernicus. Didaftarkan sebagai

mahasiswa di universitas Italia yang terbaik oleh pamannya yang kaya,

Copernicus lebih merupakan manusia kutu-buku daripada seorang

pengamat perbintangan. Ironisnya, dia terutama sangat nge-fans dan

setia kepada Ptolemeus, tapi tidaklah begitu setia sehingga dia dapat

mengabaikan banyak kegagalan dari geometri Ptolemeus untuk

menjelaskan perilaku aktual dari benda-benda angkasa.

Seorang manusia Renaisans sejati, Copernicus tidak sepenuhnya

seorang pakar sains eksperimental. Sebagaimana telah dinyatakan dalam

De revolutionibus orbium coelestium (On the Revolutions of the

Heavenly Spheres, 1543), teori heliosentris-nya---teori pertama yang

memperoleh perhatian mendalam di era modern---masih lebih banyak

termotivasi oleh metafisika daripada termotivasi oleh data-data solid yang

dapat diandalkan. Dia ingin sekali menemukan sebuah model alam

semesta yang memungkinkan prediksi-prediksi yang lebih akurat daripada

hipotesa Ptolemeus, tapi dia juga mengupayakan penjelasan-penjelasan

spiritual, seperti bahwa matahari, sebagai pemberi cahaya, adalah lebih

dekat pada kesempurnaan dan lebih dekat kepada Tuhan daripada sang
bumi. (Argumen ini terulang kembali dalam karya dari penerus

Copernicus yang hebat, seorang berkebangsaan Jerman, Johannes Kepler,

1571-1630). Dan (ide-ide) Aristoteles terselip dalam teorinya; dia

beranggapan bahwa orbit-orbit planet adalah bersifat melingkar (bundar)

sepenuhnya, padahal mereka tidak demikian. Jadi, model Copernicus

tidak menghasilkan yang lebih baik daripada sistem Ptolemeus.

Namun demikian, revolusi astronomi telah dimulai. Para penganut

geosentris seperti astronom Denmark, Tycho Brahe (1546-1601) kembali

mundur dengan cara memperhalus model Ptolemeus, sementara para

penganut heliosentris seperti asisten Brahe, Kepler, berupaya untuk

menyederhanakan dan menyesuaikan sistem Copernikan. Taruhannya

sangat besar, karena jika Copernicus benar dan bumi ini hanyalah salah

satu planet diantara planet-planet lain, maka teori aether dari Aristoteles,

dan semua ilmu pengetahuan Aristotelian yang berbasiskan pandangan

ini, adalah salah. Dan jika Copernicus benar, maka alam semesta ini jauh

lebih besar daripada yang telah dibayangkan sebelumnya, karena

berbagai kalkulasi sebelumnya didasarkan pada lingkaran Bumi,

sementara kalkulasi-kalkulasi yang baru akan didasarkan pada orbit

Bumi. Manusia dan dunianya, sebagaimana telah diketahui, bahkan lebih

tidak berarti apa-apa dalam skema besar ini daripada yang telah

dipikirkan oleh para pakar ilmu pengetahuan dan teolog abad

pertengahan.

Ketika tiba saatnya untuk menjelaskan fenomena yang

diobservasi---atau, dalam idiom zaman sekarang, “memelihara dan


menyelamatkan hal-hal yang nampak” (saving the appearances)---bukan

Copernicus, bukan pula Kepler yang dapat melakukan sesuatu yang lebih

baik selain dari menawarkan teori-teori sebaik teori Brahe. Dalam istilah

matematika murni, ini adalah sebuah undian (toss-up). Bahwa langit itu

tercipta dari bahan yang sama dengan Bumi, dan dengan demikian

dioperasikan berdasarkan pada hukum-hukum alam yang sama,

menunggu pembuktian dalam karya seorang ahli fisika Inggris yang

hebat, Isaac Newton. Telah diketahui bahwa Kepler telah menemukan

beberapa hukum tentang gerak benda-benda langit yang sesuai

sepenuhnya dengan hukum baru Newton tentang gravitasi [lihat Hukum-

hukum Newton, hal...]. meskipun ini tidak membuktikan secara pasti

tentang astronomi heliosentris atau mekanika Newtonian, ini adalah

sebuah argumen yang kuat bagi keduanya, dan sebuah sudut telah

dibelokkan secara tak terbantahkan. Benda-benda langit telah dibawa

turun ke bumi.

“Pengetahuan Itu Sendiri Adalah Power”


aforisme pendek ini terungkap dalam Meditationes Sacrae (1597), sebuah

karya yang sulit dipahami yang ditulis oleh Francis Bacon (1561-1626),

seorang lawyer, politisi, penulis esai, dan penemu bersama (co-inventor)

tentang metode ilmiah. Pada permukaan, ujaran di atas mudah

dimengerti, terutama di era informasi sekarang ini. Tapi, kita dengan

cepat salah mengerti tentang apa yang Bacon maksudkan tentang


“power”, yang bukan “keuntungan personal atau politis”, tapi, “kontrol

alam.”

Bacon sedang berkampanye menentang ilmu pengetahuan yang

steril dan filsafat di zamannya. Perdebatan ilmiah, yang dikaitkan dengan

metafisika Aristotelian dan ekses-ekses negatif dari perdebatan tentang

hal-hal yang remeh dan argumentasi-argumentasi yang cerdik meskipun

tidak benar, telah menghasilkan sedikit ruang untuk perdebatan

selanjutnya. Sementara itu, seni-seni mekanis, yang oleh para teoritisi

dianggap sebagai murahan, telah menjadi semakin menguat dan semakin

mengemuka; bubuk mesiu, mesin cetak Gutenberg, dan kompas pelaut

semua ini tidak sepadan dengan kemajuan di wilayah-wilayah yang lebih

adiluhung.

Dengan mempertimbangkan berbagai situasi ini, Bacon

menyimpulkan bahwa pengetahuan itu dapat menjadi bermanfaat hanya

jika teknologi dan filsafat dipersatukan. Sebagai ganti dari

memperdebatkan poin-poin remeh tentang materi dan bentuk, para pakar

ilmu pengetahuan harus secara langsung mengobservasi alam ini,

menarik kesimpulan-kesimpulan, dan memanfaatkan alat-alat praktis

untuk menguji mereka. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan harus

didasarkan pada induksi dan eksperimen, bukan pada metafisika dan

spekulasi.

Bacon, hampir pasti, bukan orang pertama yang menganjurkan

metode eksperimental atau “ilmiah”. Dan meskipun dia banyak berbicara

tentang hal ini, dia sangat sedikit menampilkan hasil eksperimen-


eksperimennya sendiri yang signifikan. Meskipun demikian, rekan-

rekannya dibuat terkesan, dan mayoritas pikiran-pikiran ilmiah dari bad

tujuh belas, termasuk Newton, telah mengutip karyanya sebagai sebuah

inspirasi langsung. Selanjutnya, sifat kolaborasi (kerja ilmiah bersama)

dari penelitian ilmiah sejak tahun 1600-an hingga sekarang, sangat

berhutang pada desakannya yang diulang-ulang bahwa komunitas-

komunitas, lebih dari sekadar orang-orang jenius yang terisolasi, adalah

bertanggung jawab atas kemajuan keilmuan dan, dengan demikian,

“berkuasa” atas alam ini.

Pada sisi lain, melampaui kekurangan dan cacat-cacat praktisnya

sendiri, teori-teori Bacon meninggalkan sesuatu yang dihasratkan. Dia

mengeluarkan bayi dari bak air ilmu pengetahuan spekulatif, dengan

meremehkan peran hipotesa, yang dia pandang sebagai tidak mempunyai

pijakan pondasi dan, dengan demikian, ia bersifat steril. Semua

pengetahuan yang benar, tegasnya, dihasilkan dari observasi dan

eksperimen, dan jenis apapun dari asumsi terdahulu tampaknya hanya

mendistorsi persepsi dan interpretasi. Tapi, tanpa hipotesa, tidak akan

ada eksperimen-eksperimen yang dapat dikontrol, yang merupakan

esensi dari metode ilmiah modern. Bacon berpikir bahwa dunia ini pada

esensinya adalah bersifat chaotic, dan oleh karena itu, adalah sebuah

kesalahan untuk mendekati alam ini dengan mengasumsikan hukum-

hukum yang teratur. Tapi, ilmu pengetahuan terutama sekali telah

mengalami peningkatan dan kemajuan dengan mengasumsikan bahwa


dunia ini didasarkan pada hukum-hukum tertentu, bahwa terdapat pola-

pola yang teratur dan sederhana yang mendasari alam ini.

Jadi, Bacon memperoleh sesuatu yang benar dan sesuatu yang

salah, dan secara keseluruhan dia jauh lebih baik pada saat dia

mengkritisi teori-teori lama daripada menjelaskan teori yang baru.

Sebagai akibatnya, reputasinya mengalami pasang surut. Opini mutakhir

yang berkembang saling bercampur-baur; sebagian merayakan karyanya

yang mempelopori filsafat yang ilmiah, sementara sebagian yang lain

menyalahkan doktrinnya tentang “pengetahuan adalah power” karena

membelokkan ilmu pengetahuan menuju eksploitasi alam. Power (Kuasa),

dalam pandangan para kritikus ini, telah menjadi tujuan itu sendiri, yang

menghasilkan materialisme dan alienasi (keterasingan). Bacon sendiri

berpikir bahwa nilai-nilai sosial dan moralitas akan selalu mengarahkan

dan membatasi kemajuan-kemajuan teknologi. Dalam konteks inilah

bahwa dia dinilai sangat salah.

Hukum-hukum Newton

HUKUM I : Setiap orang terus berada dalam keadaan istirahat, atau

dalam keadaan gerak yang selalu sama searah dengan garis yang benar

[maksudnya: lurus], kecuali ia dipaksa untuk mengubah keadaan itu oleh

sebuah kekuatan yang mempengaruhinya.


HUKUM II: perubahan dalam gerak adalah proporsional bagi motif

kekuatan yang mempengaruhi; dan ia diciptakan dalam arah garis yang

benar dimana kekuatan itu dipengaruhi.

HUKUM III: Terhadap setiap tindakan, selalu terdapat sebuah reaksi

sepadan yang bertentangan; atau, tindakan-tindakan bersama dari dua

tubuh adalah selalu setara, dan diarahkan pada bagian-bagian yang

bertentangan.

Sir Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686)

Fisikawan Inggris, Sir Isaac Newton (1642-1727) sering disebut sebagai

ilmuwan terbesar sepanjang sejarah; tak diragukan lagi, ia pantas

menyandang sebutan itu. Adalah dia yang pada akhirnya membebaskan

ilmu fisika dari metafisika dengan mengemukakan konsep-konsep yang

sistematis tentang hukum-hukum universal tentang kekuatan dan gerak

yang mempengaruhi langit dan bumi. Tapi, orang-orang lain telah

membuka jalan ini; sebagaimana dikatakan sendiri oleh Newton: “Jika

saya melihat lebih jauh dari yang lain, ini adalah karena berdiri di atas

pundak para raksasa.” (Dia juga bukan orang pertama yang mengatakan

tentang ini).

Salah satu pendahulu Newton adalah Galileo, fisikawan

eksperimental besar yang pertama dalam sejarah dan orang yang paling

bertanggung jawab atas tumbangnya Aristoteles sebagai penguasa ilmu

pengetahuan. Galileo telah menunjukkan, misalnya, bahwa teori

Aristoteles tentang gerak adalah salah, dan menunjukkan bahwa teori

tandingannya ini bertentangan dengan yang apa yang telah diyakini


secara meluas, bahwa obyek-obyek tidak jatuh pada kecepatan yang

konstan, tidak juga bahwa benda-benda yang lebih berat jatuh lebih cepat

daripada benda-benda yang lebih ringan, setidaknya dalam sebuah ruang

hampa udara.

Bahwa Galileo mencapai kesimpulan-kesimpulan ini dengan

menjatuhkan obyek-obyek dari Menara Pisa, sayangnya, adalah sebuah

mitos, tapi dia telah menampilkan eksperimen-eksperimen cerdas dengan

permukaan datar yang dimiringkan dan sejenis itu. hasilnya adalah

teorinya tentang akselerasi yang tidak berubah-ubah: benda-benda yang

jatuh, semuanya memiliki kecepatan rata-rata yang sama persis. Galileo

juga menemukan sifat kelembaman (inertia): benda-benda cenderung

untuk tetap dalam keadaan diam atau dalam gerak yang konstan kecuali

diganggu oleh beberapa kekuatan luar. Dari kedua hukum ini, dia mampu

menunjukkan bahwa dibawah kondisi-kondisi ideal, proyektil-proyektil

mengikuti jalur setengah melingkar (parabolic).

Satu generasi kemudian, Rene Descartes---yang sangat dikenal

dengan ungkapannya, “Aku berpikir, maka aku ada”---mengikuti “hukum

konservasi” pertama Fisika. Hukum ini yang menyatakan bahwa beberapa

quantitas tetap sama meskipun terdapat suatu peristiwa fisika atau

perubahan situasi. Descartes terutama sangat tertarik dengan benturan-

benturan dari benda-benda yang sedang bergerak---misalnya, dua bola

bilyar---dan dia mengemukakan bahwa momentum mereka yang

dikombinasikan (berat dikali kecepatan) tetap bersifat konstan. Yaitu, jika

anda menambahkan sedikit waktu lagi terhadap dua bola bilyar ini setelah
terjadi benturan, maka ini akan menjadi sama saja antara saat mereka

dikombinasikan dengan saat sebelum terjadi benturan. Momentum itu

“dikonservasikan”.

Penemuan-penemuan oleh Galileo dan Descartes ini sangat penting

artinya, bahkan bersifat revolusioner, tapi, ini akan membuat Newton

untuk menggabungkan mereka ke dalam suatu sistem yang

disambungkan satu sama lain. Penggabungan konsep kunci dari hukum

Galileo tentang akselerasi dan karya Descartes tentang benturan benda-

benda adalah gravitasi, dimana penemuan gravitasi ini adalah prestasi

Newton yang paling dikenal. (Tapi, anda dapat memasukkan legenda

buah apel yang jatuh dari sebuah pohon di atas kepala Newton ke dalam

kumpulan mitos-mitos sebagaimana halnya mitos Menara Pisa).

Newton, persisnya, tidak memulai dengan gravitasi, tapi dengan ide

baru yang lain, yaitu tentang massa (m). Descartes telah berbicara

tentang momentum sebagai produk dari berat dan kecepatan, tapi

Newton menyadari bahwa berat itu adalah sebuah quantitas yang tidak

jelas dan beragam---beberapa benda bobotnya berkurang di dalam air,

misalnya, darimana saat berada di udara. Dia lebih menyukai sesuatu

yang dapat distabilkan dan tak berubah yang bersifat lebih pasti,

“kuantitas dari materi” dalam sebuah obyek---yang selalu sama dimana-

mana, di dalam air maupun di udara, dalam ruang atau di atas

permukaan tanah---dan ini dia sebut sebagai “massa”. Dengan mengganti

aspek berat dari Descartes dengan massa, dan dengan memperlakukan

kecepatan sebagai sebuah kuantitas vector (seperti kecepatan dalam


sebuah arah tertentu), Newton sampai pada suatu definisi baru tentang

momentum (massa dikali kecepatan dalam suatu arah yang positif atau

negatif). Ketika kecepatan diarahkan, bahkan perubahan dalam arah

melibatkan suatu perubahan dalam momentum.

Newton kemudian mendefinisikan “kekuatan” kuantitas---sebuah

konsep lama namun tidak jelas---sebagai yang menimbulkan perubahan

dalam momentum dari sebuah obyek. Menjadikan hukum kelembaman

dari Galileo sebagai hukum gerak pertamanya, Newton kemudian mem-

postulat-kan hukum yang kedua: bahwa kekuatan (F) adalah proporsional

secara langsung bagi perubahan dalam momentum yang dia induksikan.

Dengan kata lain, dua kali kekuatan yang akan menimbulkan dua kali

perubahan dalam momentum suatu obyek.

Dengan penemuan definisi baru Newton tentang momentum, yang

menggantikankuantitas berat yang beragam dengan kuantitas massa

yang dibakukan (fixed), hukum keduanya semakin memperkuat

pernyataan bahwa kekuatan itu proporsional bagi perubahan dalam

kecepatan. (Jika massa dibakukan, kekuatan ekstra hanya akan

mempengaruhi kecepatan). Ketika perubahan dalam kecepatan itu sama

dengan akselerasi (a), maka, F adalah proporsional bagi a. Meskipun

obyek-obyek yang berbeda akan mensyaratkan kekuatan-kekuatan yang

berbeda untuk menandingi kelembaman mereka: semakin massif sebuah

obyek, semakin dibutuhkan kekuatan untuk mengubah momentumnya;

jadi, F juga proporsional bagi m. Dengan demikian, kita sampai pada


formula terkenal yang tercakup dalam hukum kedua Newton: F=ma

(kekuatan sama dengan massa dikali akselerasi).

Konsekuensi paling penting dari hukum kedua ini adalah bahwa ia

mengizinkan ide tentang suatu kekuatan yang terus-menerus. Sebelum

Newton, para ilmuwan telah mempunyai sebuah konsep tentang

kekuatan, tapi hanya sebagai sesuatu yang dapat dikomunikasikan secara

spontan dan seketika, sebagaimana dalam contoh tentang bola-bola

bilyar yang berbenturan. Kekuatan Newton mencakup skala situasi yang

jauh lebih luas. Seseorang yang sedang mendorong sebuah gerobak di

jalanan, misalnya, akan mengerahkan kekuatan yang terus-menerus agar

gerobak ini dapat terus bergerak (yaitu, untuk menandingi friksi). Hukum

kedua ini juga membuka jalan bagi ide tentang kekuatan potensial, yaitu,

energi laten dalam sebuah benda yang berada dalam keadaan

menggantung (suspension): bola-bola (perayaan) Tahun Baru tergantung

di atas Times Square di New York, misalnya, mempunyai kekuatan

potensial---suatu tingkat perubahan masa depan yang dilibatkan

(diaktifkan di tengah malam).

Potongan terakhir teka-teki adalah hukum ketiga Newton, yang juga

merupakan lompatan Newton yang paling berani. Dengan meninggalkan

hukum Descartes bahwa momentum harus dikonservasikan, Newton

menunjukkan bahwa kapan saja suatu gerak obyek itu diganggu (kapan

saja momentumnya berubah), gerak dari obyek lain harus juga diganggu

sehingga momentumnya akan dikonservasikan. Dalam kenyataan,


gangguan kedua ini harus disamakan secara persis dengan yang pertama,

tapi dengan arah yang bertentangan.

Lihatlah ia dengan cara ini: jika kita meningkatkan momentum dari

sebuah bola bilyar dengan empat unit (apa jenis unitnya, tidak penting

disini), hukum Descartes mendesak bahwa sesuatu itu harus

mengendurkan (lose) empat unit momentum (atau, dengan ungkapan

lain, ia harus memiliki empat unit momentum yang negatif---apakah itu

dengan mengurangi kecepatan atau dengan bergerak ke arah yang

berlawanan). Ini adalah “reaksi yang sama dan yang berlawanan” yang

terkenal dari syarat-syarat hukum ketiga Newton. Aksi berarti perubahan

dalam gerak, dan dengan demikian mengubah momentum; dan apa yang

dikatakan oleh hukum ketiga ini adalah bahwa untuk mengubah gerak

dari satu obyek, gerak dari obyek lain harus juga dipengaruhi---obyek lain

harus disela (ia harus menanggung suatu perubahan yang sama dan

berlawanan).

Disinilah dimana sesuatu itu benar-benar menjadi sangat menarik.

Membangun berdasarkan pada hukum akselerasi yang sama dari Galileo,

Newton men-deduksi-kan eksistensi dari gravitasi. Ketika suatu obyek

berakselerasi dalam proses jatuhnya ke permukaan bumi, momentumnya

bertambah. Berdasarkan pada hukum kelembaman (inersia) dan hukum

kedua dan ketiga Newton, beberapa kekuatan (force) harus bertanggung

jawab atas akselerasi ini, dan ia harus bersifat konstan jika akselerasinya

konstan. (F=ma; massa dari suatu obyek tetap sama, sehingga jika

akselerasi adalah konstan, maka kekuatan juga harus konstan). Kekuatan


ini, persisnya, adalah gravitasi, dan Newton telah memformulasikan

hukum bahwa kekuatan gravitasi atas obyek apapun adalah konstan dan

proporsional secara langsung bagi massa dari sebuah obyek. (Ketika

akselerasi akibat dari gravitasi ini adalah sama saja bagi semua obyek, F

harus menambahkan proporsi yang tepat pada m). Kekuatan gravitasi

atas sebuah obyek yang ada adalah setara dengan beratnya. (Secara

teknisberat sama dengan massa dikali gravitasi; dan, dalam hal dimana

anda merasa sangat tertarik untuk mengetahui, kekuatan gravitasi itu

hampir 9,8 meter per square second).

Bahkan yang lebih menarik lagi adalah implikasi-implikasi dari

hukum ketiga Newton. Ketika suatu obyek jatuh ke permukaan tanah

akibat gravitasi, perubahannya dalam momentum harus diimbangi

dengan suatu perubahan yang setara dalam beberapa momentum obyek

yang lain. Marilah kita contohkan tentang buah apel yang jatuh ke bumi.

Satu-satunya obyek lain yang terlibat, yang momentumnya mungkin

terpengaruh adalah bumi itu sendiri. untuk mengatakan bahwa kekuatan

bumi atas buah apel itu harus disetarakan dengan kekuatan apel terhadap

bumi; ini hanya karena, bumi itu jauh lebih masif daripada buah apel

sehingga kita tidak menyadari perubahan apapun dalam momentum

bumi.

Tapi, dalam dunia hukum fisika yang abstrak, yang obyeknya

merupakan sebuah materi yang bersifat biasa. Ketika buah apel itu jatuh

ke permukaan tanah, kita mengatakan bahwa gravitasi bumi telah

membuatnya begitu dan mengabaikan apa yang terjadi pada bumi yang
sedang berproses, karena kita tidak menyadari reaksi yang sama atau

yang berlawanan. Dari fakta ini, Newton menyadari bahwa gravitasi

haruslah proporsional bagi massa dari kedua obyek yang terlibat---buah

apel dan Bumi.

Akibat-akibat praktis dari penyingkapan dramatis ini, yang

terabaikan disini di permukaan bumi ini, menciptakan perbedaan yang

sangat besar ketika kita sedang berbicara tentang benda-benda angkasa,

seperti bumi dan bulan atau matahari dan bumi. Bahkan, hukum gravitasi

Newton, dalam bentuk yang lebih dikembangkan, akhirnya membuktikan

bahwa sistem tata surya adalah sungguh sebuah sistem tata surya---

yaitu, bahwa bumi ini mengitari matahari daripada sebaliknya. Dengan

meminjam data dan hukum-hukum yang dipostulasikan oleh astronom

Johannes Kepler, Newton mengaitkan perilaku dari planet-planet dengan

ekuasi-ekuasi gravitasi, dengan menunjukkan pada yang lain bahwa

gerak-gerak planet yang dicermati adalah dapat dijelaskan hanya jika

setiap planet, yang dibimbing oleh gravitasi matahari, mengobservasi

orbit berbentuk elips yang tipis di sekitar matahari.

Dengan membuktikan fakta yang mudah dipahami ini hanya salah

satu dari prestasi-prestasi Newton yang sangat menakjubkan, yang telah

menciptakan teori-teorinya---sejalan dengan asumsi-asumsi mereka---

memperoleh status sebagai kebenaran-kebenaran fisika yang absolut.

Tapi, beberapa tahun kemudian, satu aspek dari teori-teorinya akan

terbukti sangat mengganggu bagi banyak pihak---ia bahkan juga

mengganggu Newton sendiri. Ini adalah fakta bahwa gravitasi tampaknya


bertindak di kejauhan dan dengan kekuatan yang sama. Hingga era

Newton, masih beredar asumsi bahwa kekuatan-kekuatan harus

dikomunikasikan melalui kontak langsung---sebagaimana ketika dua bola

yang berbenturan. Tapi, jika gravitasi bertindak di kejauhan, bahkan

dalam sebuah ruang hampa udara, ini harusnya tidak ada kaitan dengan

materi apapun diantara obyek-obyek yang terlibat. Ini hanya tampak

tidak disadari, dan dalam kenyataan, ia memang benar-benar demikian.

Baru beberapa generasi kemudian, diperoleh penjelasan yang lebih

baik, yaitu teori medan (theory of fields), yang sayangnya tidak dapat kita

bahas disini. Teori medan, pada gilirannya, membuat penemuan-

penemuan Einstein menjadi mungkin [lihat RELATIVITAS], dan sejak itu

pula alam semesta Newtonian menjadi hancur berantakan. Hukum-hukum

Newton masih berlaku ketika ia sampai pada situasi interaksi-interaksi

fisikawi, termasuk dengan berbagai hal yang mendapat perhatian yang

sangat luas. Tapi, alam semesta mekanistik Newton sekarang, diketahui

memiliki peluang dan ketidakpastian pada bagian intinya, sementara

gambarannya tentang gravitasi telah digantikan oleh ruang-waktu yang

dibengkokkan (curved). Yang sangat disesalkan dalam satu cara, karena

dunia Newton ini jauh lebih dapat dipahami daripada dunia Einstein dan

dunia Heisenberg.

Pergeseran-pergeseran Paradigma
Kaum ilmuwan lebih suka berpikir bahwa mereka memberi kontribusi

pada kemajuan yang teratur. Setiap penemuan baru mengoreksi unsur-

unsur yang tidak esensial, membuat pengetahuan menjadi lebih

sempurna dan kebenaran menjadi semakin jelas. Mereka melihat ke

belakang pada sejarah ilmu pengetahuan dan mencerna suatu

perkembangan secara berkesinambungan, yang ditandai dengan

penemuan-penemuan hebat.

Tapi, gambaran ini adalah sebuah ilusi, menurut pakar sejarah ilmu

Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions

(1962). Ilmu pengetahuan bukanlah sebuah transisi yang lancar dari

kesalahan menuju kebenaran, tapi adalah serangkaian krisis-krisis atau

revolusi-revolusi, yang diekspresikan sebagai “pergeseran-pergeseran

paradigma.”

Yang dimaksud dengan “paradigma” oleh Kuhn adalah seperangkat

asumsi-asumsi, metode-metode, dan model masalah-masalah yang

mendefinisikan untuk suatu komunitas ilmiah apa yang menjadi

pertanyaan-pertanyaan penting sekarang dan bagaimana cara yang

ditempuh untuk memperoleh jawabannya. (Optik Newtonian dan

psikoanalisa Freudian adalah dua contoh yang bagus). Studi-studi Kuhn

telah menyingkap dua hal: bahwa paradigma-paradigma itu melekat kuat

dan bahwa seseorang menumbangkan yang lain dengan pukulan yang

cepat daripada dengan tiupan yang pelan. Kemajuan keilmuan

menyerupai pertumbuhan yang tidak sistematis daripada serangkaian

konversi---Eureka! (Aku telah menemukan [nya]).


Nilai dari sebuah paradigma adalah bahwa ia fokus pada riset.

Tanpa ini, para investigator (mereka yang menguji data secara sistematis)

yang berbeda akan mengakumulasi tumpukan data-data yang hampir

acak, dan setiap orang akan menjadi terlalu sibuk berupaya untuk

membuat berbagai hal yang kacau-balau menjadi sesuatu yang masuk

akal dan melawan teori-teori yang saling bersaing untuk membuat

kemajuan-kemajuan yang kokoh dan mantap. Yang menjadi masalah

dengan paradigma-paradigma adalah bahwa mereka cenderung untuk

menjalin “hubungan perkawinan kerabat yang terlalu dekat [inbred]” dan

kaku. Kemajuan-kemajuan yang baru menjadi semakin bersifat esoteris

dan tidak dapat diakses kecuali oleh para profesional. Kaum ilmuwan

yang mempunyai sesuatu untuk ditawarkan, tapi menolak paradigma

[yang telah baku, pent.], seringkali dikucilkan dan dianggap sebagai

“orang-orang aneh”. Bentangan jalan luas riset yang memberi manfaat-

manfaat secara potensial, menjadi terhalang karena mereka tidak

bersumber dari premis-premis yang telah diterima. Setiap paradigma,

meskipun dapat mensuplai wawasan-wawasan, ia juga menjadi sesuatu

yang membutakan: ia mengatur kita untuk melihat beberapa hal dan

sekaligus juga menghindarkan kita dari hal-hal lain.

Namun demikian, paradigma-paradigma harus bergeser ketika

model-model lama, secara konklusif, ditentang oleh bukti baru, adapun

contohnya adalah ketika penemuan Galileo bahwa planet Yupiter

mempunyai bulan-bulan, membantu meruntuhkan sistem astronomi

Ptolemeus. (Tentu saja, banyak pihak, termasuk Gereja, memegang erat-


erat, secara putus asa, pada paradigma lama). Poin sentral Kuhn adalah

bahwa paradigma bergeser, secara tiba-tiba dan bersifat mengacaukan,

menentang gambaran ideal ilmu pengetahuan sebagai proses kemajuan

secara bertahap dan stabil menuju Kebenaran. Sepanjang sebuah

paradigma itu masih menganggap baik---selama suatu komunitas ilmiah

itu menerima paradigma ini dan selama ia sesuai dengan karakter

mereka---riset dan penemuan akan menjadi bersifat bertahap dan

kumulatif. Tapi, berbagai hal baru (observasi-observasi yang tak dapat

diramalkan dan anomali-anomali) ini belum siap dan belum dapat

diasimilasikan oleh paradigma-paradigma ini, setidaknya untuk jangka

waktu yang tidak lama. Revolusi-revolusi ilmiah---pergeseran-pergeseran

paradigma---bersifat tak terhindarkan, dan perlu, selama teori-teori yang

berkuasa dan dominan bersifat tidak lengkap dan utuh atau buta.

Apa yang membuat fakta ini menjadi menarik bagi setiap orang,

bukan hanya bagi kaum ilmuwan, adalah bahwa pergeseran sebuah

paradigma ilmiah seringkali membatasi suatu, mungkin menakutkan,

pandangan dunia yang baru. Revolusi Copernican menggeser manusia

dari pusat alam semesta dan memaksa dia untuk melihat proses

penciptaan, dan tempat dia di dalamnya, dalam cahaya yang baru. Kepler,

Newton dan kolega-kolega mereka telah menemukan suatu alam semesta

yang mekanis yang berjalan seperti sebuah jam---dimana Tuhan tidak

pernah memutar kembali. Relativitas Einstein dan ketidakpastian

Heisenberg, meskipun sangat teknis dalam detail-detail mereka, secara

perlahan-lahan telah memasuki kesadaran orang-orang awam, dan dunia


ini tampak lebih tidak dapat diprediksi dan lebih acak dari sebelumnya.

Bagian yang paling menakutkan dari semua ini adalah bahwa paradigma

selanjutnya tidak pernah dapat diramalkan, karena kita selalu melihat

masa depan melalui paradigma yang kita miliki.

Dari Sini Menuju Ketidakpastian:


Fisika Modern

Relativitas

Relativitas, tidak sama dengan E = mc2. formula simbol Albert Einstein ini hanyalah

sebuah bonus dari teorinya yang lebih luas tentang bagaimana berbagai sesuatu itu

menampak dari sudut-sudut pandang yang berbeda. Tentu saja, jika ini sesederhana

itu, anda tidak akan membaca tentang hal itu, disini.

Einstein (1879-1955) sebenarnya memunculkan dua teori relativitas yang

disebut “spesial” dan “umum”. (Teori relativitas yang umum mencakup yang spesial

sebagai sebuah kasus yang khusus). Kesimpulan-kesimpulan dia yang paling

menarik adalah sebagai berikut:

• Waktu dan ruang itu bukan kuantitas-kuantitas baku (fixed) yang absolut.

Keduanya tampak berbeda bagi banyak orang yang bergerak pada kecepatan-

kecepatan yang berbeda, meskipun jika perbedaan dalam kecepatan-

kecepatan ini kecil, perbedaan ini dalam penampakannya adalah sangat kecil

(infinitesimal. Ini adalah esensi dari teori spesial.

• Jika anda tidak dapat menjelaskan perbedaan antara dua kekuatan atau

peristiwa-peristiwa fisik ini, maka tidak ada perbedaan efektif antara


keduanya. Misalnya, menurut teori relativitas yang umum, tidak ada jalan

untuk menjelaskan perbedaan antara sebuah kekuatan yang mengakselerasi

dan sebuah kekuatan gravitasional. Dengan demikian, tidak ada perbedaan

yang nyata antara akselerasi dengan gravitasi.

Demikianlah, kurang lebih, penjelasannya. Tentu saja, teori-teori ini hadir satu paket

dengan matematika, dimana ini membuat para fisikawan merasa senang, tapi, pada

esensinya, kemasyhuran Einstein bersandar pada wawasan dia tentang kualitas

observasi-observasi dan pengukuran-pengukuran yang subyektif. Saya akan

melampaui bagian-bagian tertentu dari formula ini dan mencoba untuk

mengklarifikasi wawasan ini.

Einstein memulai dengan sebuah ide yang jika ditelusuri akan berujung pada

Newton: gerak (motion) adalah relatif. Lebih tepatnya, hukum-hukum fisika terlihat

sama apakah seseorang itu sedang berdiri atau sedang bergerak pada kecepatan yang

konstan. Katakanlah, anda sedang terbang dalam sebuah pesawat yang stabil

mengudara pada ketinggian 30.000 kaki. Anda sebenarnya tidak ingin merasakan

gerak pesawat kecuali ada sesuatu yang mengganggunya. Jika anda anda bangkit

dari tempat duduk anda untuk mencari sebuah copy dari (majalah) People, anda

akan mengupayakan hal yang sama, dan tampak bergerak pada jarak yang sama,

seolah-olah pesawat itu sedang diparkir di hanggar (gate). Dalam kenyataan, jika

anda tidak tahu secara lebih baik, anda mungkin dimaafkan atas pemikiran, saat

anda melihat ke jendela pesawat, bahwa awaan-awan dan permukaan tanah-lah yang

sedang bergerak, bukan pesawat.

Tentu saja, awan-awan dan permukaan bumi itu sedang bergerak---tapi,

dengan kecepatan yang berbeda dengan kecepatan pesawat itu. Ini memunculkan

sebuah pertanyaan yang menarik: seberapa cepat sebenarnya pesawat itu bergerak?
Marilah kita katakan bahwa, dengan ketinggian yang relatif dari permukaan tanah,

kecepatan pesawat itu adalah 500 mil per jam. Tapi, permukaan itu sendiri juga

sedang bergerak, yang didasarkan pada rotasi bumi, dengan kecepatan kira-kira

1.000 mil per jam. Bagi seseorang yang sedang duduk di stasiun ruang angkasa

dalam keadaan tidak bergerak dalam hubungannya dengan matahari, ini akan

terlihat bahwa anda sedang menempuh kecepatan 1500 mil per jam jika pesawat itu

terbang ke arah timur, atau, jika ia terbang ke arah barat, sehingga anda sebenarnya

sedang terbang ke arah belakang pada kecepatan 500 mil per jam (sementara bumi

ini berputar ke belakang dua kali lebih cepat dari kecepatan itu).

Hasil akhir dari semua ini adalah bahwa apa yang terlihat seperti 500 mil per

jam dalam satu kerangka acuan tertentu, akan terlihat seperti 1500 mil perjam atau

hingga 500 mil perjam, atau 0 dari kerangka acuan yang lain. Yaitu, tidak ada suatu

kecepatan yang “absolut”, yang ada hanyalah kecepatan yang relatif. Namun

demikian, relativitas menyatakan bahwa jika anda sedang menempuh perjalanan

pada kecepatan yang konstan, yang dikaitkan dengan beberapa kerangka acuan lain

(kita akan menyebutnya sebagai “sistem” mulai saat ini hingga seterusnya), hukum-

hukum fisika akan terlihat dan bertindak sama bagi anda sebagaimana ia bertindak

dalam kerangka acuan (“sistem”) lain itu. Dengan berasumsi bahwa waktu menjadi

situasi yang tidak nyata dimana pesawat anda sedang terbang pfada kecepatan yang

stabil melalui ruang yang hampa udara, ini akan semudah men-dribble sebuah bola

basket di lorong sebagaimana juga mudah untuk men-dribble-nya di dalam kamar,

meskipun demikian, dari sudut pandang yang didasarkan pada permukaan tanah,

lantai pesawat itu sedang bergerak dengan kecepatan yang lebih rendah,

dibandingkan dengan kecepatan bola itu, pada 500 mil per jam. Ini adalah relativitas

“Newtonian”.
Teori Relativitas Khusus

Apa yang tidak diketahui oleh Newton, dan apa yang membuat gambar ini menjadi

sangat rumit adalah bahwa tidak peduli pada sistem apa yang melingkupi anda, dan

tidak peduli seberapa cepat yang ditempuh jika dikaitkan dengan pihak lain,

kecepatan cahaya itu adalah pasti dan tetap, jika kita menolak gravitasi. Sebuah sinar

cahaya yang melintasi pesawat anda akan tampak menempuh perjalanan dengan

kecepatan yang persis sama dengan kecepatan anda, bagi sang pengamat di stasiun

ruang angkasa, dan bagi siapa saja yang sedang mengamati dengan teropong dua

lensa dari permukaan bumi. Kecepatan ini---kira-kira 186.000 mil per detik---

secara konvensi, ditandai dengan c.

Marilah kita membawa diskusi ini turun ke bumi. Anggaplah anda sedang

melakukan perjalanan dengan sebuah kereta yang menempuh kecepatan 80 mil per

jam. Marilah kita juga, demi kepentingan argumen, bahwa kereta itu tembus

pandang (transparan). Jika anda berjalan menuju ke bagian depan kereta itu,

dimana anda terlihat seperti menempuh 3 mil perjam, bagi sang pengamat,

berdasarkan pada jalur rel yang tampak akan anda tempuh dengan kecepatan 83 mil

perjam yang dikaitkan dengan permukaan tanah. Setidaknya, itulah yang dikatakan

oleh pemahaman awam dan relativitas Newtonian.

Sekarang, bayangkan bahwa sang pengamat ini menyorotkan lampu blitz ke

arah jalur rel ini secara lurus searah dengan kereta yang sedang berjalan. Cahaya

dari lampu blitz ini melewati kereta ini; pada saat yang sama, ia juga bergerak secara

paralel dengan permukaan tanah. Berdasarkan hukum-hukum fisika, jika masinis

kereta ini mengukur kecepatan dari cahaya ini saat ia melewati kereta, dia harusnya

akan mendekati c. Demikian pula, pengamat kita yang ada di permukaan tanah,
dengan mengukur kecepatan cahaya dari perpektif dia, juga, pastinya akan sampai

pada c.

Terdapat masalah serius di sini: bagaimana mungkin sesuatu itu melewati

sebuah kereta yang sedang bergerak dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan

kereta itu sendiri sebagaimana halnya ia dikaitkan dengan permukaan tanah?

Pikirkan contoh kita sebelumnya: jika anda berjalan menuruni lorong pada

kecepatan 3 mph dikaitkan dengan kereta itu, anda harusnya bergerak lebih cepat,

jika dikaitkan dengan permukaan tanah---yaitu, 83 mph (atau demikian pula yang

akan dikatakan oleh Newton). Mengapa kasusnya menjadi berbeda dengan cahaya?

Mengapa ia tidak menampak dari permukaan tanah untuk bergerak melewati kereta

pada c + 80 mph? Atau, jika harus menempuh perjalanan pada c jika dikaitkan

dengan permukaan tanah, mengapa kemudian ia tidak tampak terlihat oleh orang

yang berada di dalam kereta yang bergerak pada c – 80 mph?

Disinilah muncul relativitas itu. Sebagaimana telah diketahui, jika anda

berjalan melewati kereta pada 3 mph, anda tidak akan terlihat oleh orang-orang

yang ada di atas permukaan tanah yang sedang bergerak pada 83 mph, tapi lebih

berupa kecepatan yang sedikit lebih rendah. Dalam kasus ini, 80 + 3 tidak sama

dengan 83. Satu-satunya waktu dimana waktu tambahan akan bekerja adalah jika

anda masih berdiri di atas kereta: dalam kasus ini, anda akan terlihat oleh seseorang

yang berada di permukaan tanah, sedang bergerak pada 80 + 0 mph. Pada arah

berlawanan yang ekstrim, cahaya bergerak melewati kereta pada c akan terlihat oleh

seseorang yang ada di atas permukaan tanah, sedang bergerak pada c, keceptan 80

mph tidak berperan sama sekali. Tapi, bagi gerak apapun pada kecepatan antara 0

dan c, akan terlihat oleh pengamat kita di atas permukaan tanah sebagai sebuah

kontraksi dari ruang dan sebuah waktu yang melambat.


Kesimpulan ini penting jika kita sedang memecahkan masalah yang

ditimbulkan oleh kecepatan cahaya yang absolut. Jika waktu dan ruang itu berbeda

di atas kereta daripada mereka yang ada di atas permukaan tanah, maka, kita dapat

mempunyai kue kita dan memakannya juga. Ketika kecepatan adalah jarak yang

telah ditempuh dibagi dengan waktu yang diperlukan, anda dapat menghitung gerak

anda di atas kereta pada kecepatan 3 mph dan seseorang yang ada di atas

permukaan tanah dapat menghitungnya kurang dari 3 mph hanya jika ukuran mil

anda jam anda berbeda dengan ukuran dia.

Inilah persisnya kesimpulan utama Einstein ketika dia memformulasikan

teori relativitas yang spesial ini dalam sebuah paper di tahun 1905. Dia telah

mengadaptasikan ekuasi-ekuasi untuk kompresi waktu dan ruang yang telah

dikembangkan oleh fisikawan Belanda, Hendrik Lorentz, yang telah mempelajari

elektromagnetisme, dan menerapkannya pada seluruh peristiwa dalam ruang dan

waktu. Atau lebih berupa, dia menerapkannya pada peristiwa-peristiwa yang

dipandang dari dua sistem yang sedang berak dalam gerak yang sama, konstan, dan

linier---sungguh sebuah kasus yang sangat istimewa, dan jarang ditemukan oleh

seseorang dalam pengalaman sehari-hari.

Teori relativitas yang spesial ini tumbuh berdasarkan pada relativitas

Newtonian---ide bahwa hukum-hukum fisika terlihat dan terasa persis sama dalam

dua sistem dalam gerak relatif yang konstan (seperti sebuah kereta yang sedang

bergerak dalam kecepatan yang stabil di atas permukaan tanah). Tapi, Einstein

mengabaikan satu dari hukum-hukum alam yang tampak paling solid: bahwa ruang

dan waktu adalah absolut---bahwa satu mil adalah satu mil adalah satu mil dan satu

detik satu detik satu detik, tak peduli sistem apa yang menaungi anda, apakah dalam

keadaan tidak bergerak atau bergerak pada 186.000 mil per detik.
Dalam kenyataan, apa yang tampa seperti satu mil di atas sebuah kereta yang

sedang bergerak, akan terlihat lebih pendek daripada satu mil dari permukaan

tanah; dan apa yang tampak seperti satu detik di atas kereta, akan terlihat lebih lama

dari satu detik dari sebuah stasiun. Sebuah fakta aneh tentang ini adalah bahwa ia

juga bekerja secara sebaliknya: apa yang terlihat seperti satu mil dari permukaan

tanah, akan terlihat lebih pendek dari saat berada di atas kereta, dan seterusnya. Jika

tidak demikian, anda akan tahu bahwa kereta itu sedang bergerak, dan bukan di atas

permukaan tanah, dimana ini bertentangan dengan teori ini.

Lalu, Einstein tidak mengatakan bahwa obyek-obyek yang bergerak, secara

harfiah, berkontraksi---bahka, katakanlah, sebuah hot dog yang panjangnya satu

kaki adalah lebih pendek daripada hot dog dengan panjang dua belas inci di atas

sebuah kereta yang sedang bergerak. Ini adalah mustahil, karena relativitas itu

berlangsung secara timbal balik: adalah sama bagusnya untuk mengatakan bahwa

permukaan tanah itu sedang bergerak sebagaimana halnya dengan mengatakan

bahwa kereta itu sedang bergerak, sehingga tidak ada tempat untuk berdiri dan

mengatakan: “Disini, sebuah hot dog dengan panjang satu kaki adalah absolut satu

kaki panjangnya.” Einstein sedang berbicara tentang kontraksi yang dapat terlihat,

yang setara dengan ketidaksepakatan antara dua pihak tentang gerak relatif, ukuran-

ukuran siapakah yang benar.

Fakta yang menyedihkan adalah bahwa tak satupun yang benar. Untuk

mengukur sesuatu, ini membutuhkan waktu, dan ia juga membutuhkan pengamatan

terhadap sesuatu itu, yang mensyaratkan cahaya, yang dengan sendirinya

membutuhkan waktu untuk menempuh perjalanan. Dimana anda berada saat anda

melihat sesuatu---saat anda menerima informati tentangnya---menentukan kapan

anda berpikir ia telah terjadi. Poin dari relativitas spesial ini adalah bahwa tak

seorang pun dalam posisi apapun yang dapat pernah berkata: “Peristiwa ini telah
terjadi pada waktu definitif (mempunyai batasan-batasan yang tegas dan tak

terbantahkan, pent.) ini dan di tempat definitif ini.”

Teori Relativitas Umum


Kita telah menggoreng seluruh ikan, tapi Einstein bahkan mempunyai ambisi-ambisi

yang lebih besar lagi. Dalam teori spesial-nya, dia telah menunjukkan bahwa hukum-

hukum fisika memegang sistem-sistem yang berseberangan yang sedang bergerak

dalam gerak yang sama sepanjang kita mengabaikan gagasan-gagasan tentang waktu

yang telah baku dan jarak yang telah baku. Pada tahun 1916, dia membawa

relativitas melangkah lebih jauh lagi, dengan “teori umum”nya, yang

mengembangkan teori spesialnya untuk mencakup semua sistem apapun, bahkan

jika mereka bergerak secara tidak beraturan, secara elips, atau dengan kecepatan

yang berubah-ubah dikaitkan dengan sebuah poin acuan yang dipilih. Dia

melakukan ini dengan membuktikan bahwa tidak ada basis yang riil untuk

membedakan akselerasi dari graviti---mereka merasa dan bertindak secara sama

persis (itulah sebabnya, ketika anda menaiki permainan roller coaster, perubahan-

perubahan dalam kecepatan terasa seperti bertambahnya atau berkurangnya berat).

Banyak argumen-argumen subtil (sangat kecil dan halus sehingga sulit untuk

dideteksi) selanjutnya---dan anda akan memaafkan saya atas pengabaian mereka

disini---Einstein menunjukkan bahwa hukum-hukum fisika dapat dihasilkan dari

sistem apapun, apapun keadaan geraknya, dan itu tidak hanya relatif secara jarak

dan waktu, tapi demikian pula akselerasi dan gravitasi, dan dengan demikian, setiap

kuantitas yang bergantung pada mereka (seperti kekuatan dan momentum). Dan

tidak ada cara untuk menemukan, dan tidak ada basis untuk memilih, satu kerangka
acuan yang akan menghasilkan nilai-nilai yang “benar” tentang ukuran satu mil, satu

detik, atau satu pon.

Diantara banyak akibat revolusioner dari teori relativitas yang umum ini

adalah kesadaran bahwa waktu itu bukan ruang yang independen---sungguh, bahwa

waktu terlihat dan bertindak seperti sebuah dimensi spasial, dan yang dapat

“dibelokkan” oleh medan-medan gravitasi. Dengan demikian, Einstein tidak

membicarakan peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi dalam ruang pada sebuah

poin khusus (dan tidak berkaitan) dalam waktu, tapi lebih berupa peristiwa-

peristiwa dalam suatu “ruang-waktu berkesinambungan” empat-dimensi.

Kesinambungan ini dibelokkan dan dibengkokkan oleh gravitasi; ia menolak hukum-

hukum geometry Euclidean dan Cartesian yang rapi, yang mengasumsikan suatu

homogenitas ruang dan waktu dan suatu alam semesta yang bergerak searah garis

lurus. (Seseorang harus menggunakan apa yang disebut dengan “geometri non-

Euclidean” terkait dengan fenomena ruang-waktu; Einstein sendiri lebih menyukai

geometri yang dikembangkan oleh Gauss).

Bahkan, secara lebih radikal lagi, Einstein mempertanyakan gagasan-gagasan

tentang “ruang” dan “waktu” ini, yang dia lihat sebagai efek-efek psikologis daripada

sebagai “realitas-realitas” alam. Ketika bentuk dari apa yang kita sebut “ruang”

(“ruang-waktu” menurut Einstein) bergantung pada gravitasi, yang mensyaratkan

benda-benda materi, Einstein memutuskan bahwa ruang dan waktu tanpa materi

adalah tak ada artinya. Pernah, ketika diminta untuk menjelaskan makna relativitas,

Einstein menjawab: “Ini telah diyakini sebelumnya bahwa jika semua benda-benda

materi dilenyapkan dari alam semesta ini, waktu dan ruang akan masih tetap ada.

Namun, menurut teori relativitas, waktu dan ruang lenyap bersamaan dengan

lenyapnya benda-benda.”
E = mc2
Dan sekarang tentang E = mc2, dimana mayoritas orang menyamakannya dengan

relativitas. Sekali lagi, ini hanya sebuah akibat alami dari teori relativitas yang

spesial, dimana Einstein sendiri tidak banyak dibuat sibuk dibuatnya.

Detail-detail yang menyeramkan mungkin ditemukan dalam sebuah

APPENDIKS (lihat, hal. ..), tapi yang disajikan disini adalah sebuah versi yang cepat:

teori relativitas yang spesial menyatakan bahwa hukum-hubuk fisika harus terlihat

sama bagi dua pengamat dalam gerak konstan yang sama. Diantara hukum-hukum

ini adalah hukum konservasi Newton tentang momentum [lihat, hal....). tapi, ketika

pengertian momentum adalah massa dikali kecepatan, dan ketika kecepatan akan

terlihat berbeda bagi dua pengamat ini, maka relativitas memaksa kita untuk

mengambil kesimpulan bahwa benda-benda yang bergerak-lebih cepat harus

menampak agar dapat mempunyai lebih banyak massa.

Lalu, jika massa bersifat relatif bagi kecepatan, maka, apa yang terjadi pada

sebuah obyek ketika kita menambahkan energi kepadanya, bergantung pada

seberapa cepat ia bergerak. Energi, dalam bentuk kekuatan, meningkatkan

momentum sebuah obyek; berdasarkan pada hukum mekanika Newton, ini hanya

berarti bahwa kita meningkatkan kecepatannya, ketika massa diasumsikan sebagai

telah baku (fixed). Tapi, Einstein menunjukkan bahwa massa itu tidak pernah

diberikan secara absolut, tapi selalu bersifat relatif dan meningkat dengan

kecepatan. Jadi, dengan menambahkan energi kepada sebuah obyek bagi semua niat

dan tujuan akan meningkatkan massanya.

Dalam kenyataan, jika obyek ini terus bergerak hingga mendekati kecepatan

cahaya, kita hampir tidak dapat mempengaruhi kecepatannya sama sekali, dan

energi ekstra akan mengisi hampir secara utuh untuk meningkatkan massanya. Jadi,
energi, E, harusnya dalam kadar tertentu dapat diubah bentuknya menjadi massa,

m. Ini harusnya benar bagi sebuah obyek yang sedang bergerak pada kecepatan

cahaya sebagaimana yang lainnya, dan kita tidak pernah dapat membuat sebuah

obyek untuk bergerak lebih cepat; karena obyek-obyek ini, energi ekstra adalah sama

dengan massa ekstra. Tapi, menurut relativitas, untuk mengatakan obyek ini sedang

bergerak pada kecepatan cahaya adalah persis sama dengan mengatakan bahwa ia

dalam keadaan tidak bergerak sementara kita bergerak pada kecepatan cahaya.

Dengan kata lain, tidak peduli seberapa cepat sesuatu itu sedang bergerak, massanya

dapat diubah bentuk menjadi energi.

Faktor proporsional berakhir dengan menjadi kecepatan cahaya

dikwadratkan, memberikan formula terkenal Einstein, E = mc2. Artinya adalah

bahwa jika kita tidak menamb ah kecepatan dari sebuah obyek, kita dapat

menambahkan secara persis E/c2 lebih banyak massa kepadanya dengan memompa

energi E. (meskipun, E harus cukup besar untuk membuat suatu perbedaan yang

signifikan). Dan, secara timbal balik, kita harus mampu mengubah bentuk massa

kembali menjadi energi, oleh faktor yang sangat besar c2. Faktor ini begitu besar

yang menghancur-leburkan beberapa atom, memberikan kandungan energi yang

sangat besar, dengan akibat bahwa seluruh kota-kota metropolis dapat dihancurkan

atau dapat menciptakan peralatan kekuatan nuklir. Einstein tidak pernah, secara

tegas, mendesain hasil akhir yang tertentu; dia hanya tertarik dengan ekuasi-ekuasi

yang benar. Teknologi telah mengambil bola dan melarikannya.

Sebuah “Lompatan Quantum”


Sejalan dengan paper-paperEinstein tentang relativitas, teori mekanika kuantum ini

membantu untuk mengakhiri era di mana fisika bersahabat dan harmonis dengan
akal sehat. Ide Newtonian bahwa partikel-partikel terkecil dari materi harus

berperilaku seperti partikel-partikel yang terbesar, dan keyakinan bahwa teori-teori

tentang dunia mikroskopik akan dengan mudah bersesuaian dengan visi kita tentang

dunia secara luas, telah lenyap.

Mekanika kuantum adalah ilmu pengetahuan tentang bagaimana partikel-

partikel sub-atomik melakukan perjalanan, mengorbit, dan melompat. (Yang

penting, terutama sekali, adalah bagaimana aktivitas semacam ini menghasilkan

cahaya). Ide-ide dasar ini, meskipun sangat menakjubkan, muncul dari eksperimen-

eksperimen sederhana, yang dipimpin oleh Max Planck di sekitar pergantian abad

dua puluh, yang melibatkan radiasi cahaya dalam frekuensi-frekuensi (warna-warna)

yang beragam oleh obyek-obyek hitam yang panas (hot black objects).

Planck sampai pada hasil-hasil yang aneh. Sebelum eksperimen-eksperimen

yang dia lakukan, para fisikawan berasumsi bahwa cahaya adalah sebuah bentuk

gelombang dari energi, persis seperti suara. Batere-batere dari eksperimen-

eksperimen telah mendukung asumsi ini, ketika cahaya menghasilkan pola-pola

interferensi (gangguan) yang hanya dapat dihasilkan oleh gelombang-gelombang.

Namun, hasil studi keseluruhan dari Plank hanya dapat dijelaskan jika cahaya

memancar tidak dalam gelombang yang terus-menerus. Tapi dalam ledakan-ledakan

kecil dari “gumpalan-gumpalan” seperti partikel, yang dia sebut sebagai “quanta”

(bentuk tunggalnya adalah “quantum”).

Jika cahaya benar-benar menjadi “quanta”, bagaimana mereka ini dapat

dihasilkan? Ketika cahaya adalah energi yang dikeluarkan oleh materi,

penghantarannya, pada akhirnya, harus ditelusuri pada pelepasan energi pada

tingkat atom. Mekanika ini masih dalam perdebatan, tapi teori sentralnya adalah

tentang Niels Bohr, fisikawan Denmark, yang menerapkan teori quantum Planck

pada model atomik yang dikembangkan pada tahun 1910.


Berdasarkan model ini, setiap atom adalah seperti sebuah miniatur dari tata

surya, dengan nukleus pada posisi matahari dan elektron-elektron pada posisi

planet-planet yang mengitari nukleus. Menurut Bohr, elektron-elektron mengitari

nukleus sepanjang garis-garis orbit khusus dan baku. Jika kita membombardir

sebuah atom dengan energi, kita mungkin “menstimulasi” elektron-elektronnya

untuk melompat dari satu orbit ke orbit lainnya, tapi, mereka tidak pernah dapat

dibuat untuk bertempat tinggal di suatu tempat diantara itu---dalam kenyataan,

mereka bahkan tidak dapat dikatakan “eksis” ditengahnya: mereka lenyap dari satu

orbit dan menampak di orbit lain. Dan begitu kita memindahkan stimulus eksternal,

elektron-elektron ini akan “melompat” kembali ke orbit-orbit asal mereka, dengan

melepaskan energi dalam proses perpindahan itu.

Inilah “lompatan quantum” yang terkenal itu, yang pertama kali digambarkan

oleh Bohr pada tahun 1913: ketika sebuah elektron melompat dari sebuah orbit

terluar menuju orbit yang lebih dalam, energi dilepaskan dalam bentuk sebuah

quantum cahaya (disebut dengan sebuah “photon”). Perubahan tiba-tiba dan tak

terduga dalam energi, dan fakta bahwa elektron-elektron ini melompat secara

spontan dari satu posisi menuju posisi lain (yang tidak berdekatan) tanpa melewati,

secara fisik, tengah-tengahnya, menjelaskan penggunaan umum dari “lompatan

quantum” untuk memaknai “perubahan radikal dan tiba-tiba dari situasi-situasi”.

(Para fisikawan lebih menyukai istilah “quantum jump” ketika menggambarkan teori

ini).

Adapun yang menjadi masalah dengan teori Bohr ini adalah bahwa,

sementara teori ini memperhitungkan keragaman dari fenomena yang dicermati, ia

tidak pernah dapat dibuktikan melalui observasi. Anda tidak dapat meletakkan

sebuah atom di bawah sebuah mikroskop dan mengamati elektron-elektronnya

berlompatan. Dan, dalam kenyataan, sejumlah metode-metode dan teori-teori


saingan telah berkembang sebagai respons atas riset Bohr, yang paling menuntut

perhatian adalah Copenhagen Institute for Theoretical Physics, dimana Erwin

Schrodinger mengemukakan sebuah reinterpretasi (penafsiran ulang) tentang model

atomik. Kisah ini akan dilanjutkan pada sub-judul “Prinsip Ketidakpastian”.

Prinsip Ketidakpastian
Dari ketidakpastian ia muncul, dan menuju ketidakpastian ia akan kembali. Yang

sebenarnya dimaksudkan oleh Werner Heisenberg tentang “prinsip ketidakpastian”

adalah bergantung kepada siapa yang anda tanya. Tanyakan kepada ratusan orang

dan anda akan memperoleh 60 tatapan (membelalak) hampa, 30 angkat bahu (tanda

tak tahu, pent.), dan 10 versi jawaban “ Kita mengubah dunia ini dengan

mengobservasinya,” yang tidak cukup benar. Ironinya adalah bahwa Heisenberg

berharap untuk dapat mereduksi kebingungan yang dihasilkan oleh teori-teori fisika

modern---khususnya mekanika quantum.

Pada dasarnya, yang ingin dikatakan oleh Prinsip Ketidakpastian ini adalah

bahwa tidak ada cara untuk mengukur secara tepat properti-properti (perlengkapan)

paling esensial dari perilaku sub-atomik. Atau lebih tepatnya, semakin pasti dan

akurat anda mengukur satu properti---katakanlah, momentum dari sebuah

elektron---semakin kurang akurat anda dapat mengetahui yang lain---dalam kasus

ini, posisinya. Semakin pasti satu properti, maka semakin tidak pasti properti yang

lainnya.

Heisenberg telah menemukan fakta yang tidak mengenakkan ini dalam upaya

untuk berinteraksi dengan teori-teori cahaya yang sedang bersaing ini. Menurut teori

quantum Niels Bohr, yang lebih disukai oleh Heisenberg, cahaya dilepaskan

energinya (emitted) secara tidak berkesinambungan oleh atom-atom dalam


gumpalan-gumpalan ketika elektron-elektron membuat sebuah “lompatan

quantum.” Menurut fisikawan lain seperti Erwin Schrodinger (tentang cat fame),

teori quantum gagal karena ia tidak dapat menjelaskan cara-cara dimana cahaya

berperilaku seperti sebuah gelombang.

Heisenberg sendiri merasa tidak puas dengan teori Bohr, karena ia

disandarkan pada sebuah gambar tentang atom yang tidak pernah dapat dibuktikan.

Tapi, dia memikirkan gambar saingan dari Schrodinger adalah lebih salah lagi, dan

untuk membuktikannya, dia merancang untuk menguji secara lebih teliti apa yang

dapat kita katakan secara pasti tentang elektron-elektron. Dalam proses, dia

menguji dengan cermat pengukuran-pengukuran umum---posisi, kecepatan,

momentum, energi, dan waktu---yang digunakan oleh para fisikawan dalam

mengemukakan teori-teori mereka. Pada tahun 1927, dia sampai pada sebuah

kesimpulan yang mengejutkan: bahwa teori quantum dan teori gelombang

saingannya, sebagaimana yang kemudian diformulasikan, ternyata dipenuhi dengan

ketidakpastian-ketidakpastian yang tak mungkin dilenyapkan.

Heisenberg mulai berpikir keras tentang proses observasi ilmiah yang sama

ini, yang mungkin secara umum dapat diandalkan ketika berhubungan dengan

obyek-obyek sehari-hari, tapi kemudian menemui kesulitan-kesulitan sangat serius

ketika dia sampai pada penelitian partikel-partikel sub-atomik. Poin pertama dia

adalah ini: anda tidak dapat mengobservasi posisi dari sebuah elektron kecuali

dengan memantulkannya. Dengan kata lain, anda harus memperkenalkan sebuah

bentuk radiasi, yang mempunyai energinya sendiri, dan energi ini akan mengganggu

jalan elektron hingga tingkat yang lebih besar atau lebih kecil.

Dalam kenyataan, semakin tepat dan akurat anda ingin untuk menentukan

posisi elektron, maka semakin anda harus mengganggu kecepatannya (dan dengan

demikian momentumnya), karena anda harus menambahkan energi lebih. Secara


timbal balik, jika ingin untuk mengukur secara tepat dan akurat momentum elektron

ini (yang diekspresikan dalam kecepatannya), anda harus meminimalisir gangguan

dari radiasi. Tapi, dengan melakukan yang demikian ini, anda membuatnya menjadi

tidak mungkin untuk menentukan posisi elektron dengan tepat.

Untuk meringkas pembahasan, radiasi dari energi yang sangat besar ini akan

memberi anda data yang lebih akurat tentang dimana elektron berada, sementara

pada saat yang sama menghancurkan bukti dari kecepatannya yang awal. Radiasi

dari energi rendah ini akan memberi anda data yang lebih akurat tentang seberapa

cepat elektron ini bergerak, sementara pada saat yang sama menyamarkan data

tentang letak keberadaannya. Bahkan yang lebih aneh, tindakan yang sama dalam

mengobservasi posisi sebuah elektron, akan membuatnya “berperilaku” lebih seperti

sebuah partikel, sementara tindakan untuk mengukur energinya akan membuatnya

“berperilaku” lebih seperti sebuah gelombang.

Heisenberg mengupayakan sedikit formula yang menarik untuk

mengekspresikan fakta-fakta yang membuat frustrasi ini, ide sentralnya adalah

bahwa jika anda menggandakan ketidakpastian dari posisi dengan ketidakpastian

momentum, produknya tidak pernah dapat menjadi lebih kecil daripada sejumlah

hal positif tertentu yang disebut “Konstanta Planck”. Yaitu, ketidakpastian tidak

pernah dapat direduksikan ke angka nol, dan semakin bagus anda mengukur satu

kuantitas, maka semakin tidak pasti kuantitas yang lain.

Poinnya bukan bahwa pengetahuan kita tentang partikel-partikel atomik itu

bersifat tidak pasti karena teknik pengukuran kita yang tidak cukup bagus. Poinnya

lebih berupa: tidak ada teknik apapun yang pernah dapat menaklukkan

ketidakpastian fundamental ini atau “kesamaran” dalam perilaku quantum.

Elektron-elektron, dalam kenyataan, mungkin saja berperilaku persis seperti poin-

poin yang sedang bergerak pada kecepatan-kecepatan yang tepat, tapi kita tidak akan
pernah mampu untuk tahu; ini sepertinya mereka tidak dapat dipahami, jadi

proposisi-proposisi (usul dan saran) untuk memberi pengaruh adalah tidak

bermakna dan tidak bermanfaat.

Dalam istilah-istilah praktis, apa yang disarkankan oleh prinsip

ketidakpastian adalah bahwa anda tidak dapat memperlakukan partikel-partikel atau

quanta seolah-olah mereka adalah seperti obyek-obyek yang kita jumpai dalam

kehidupan sehari-hari---obyek-obyek yang dapat kita genggam dengan jari tangan

kita dan berkata: “Disini, obyek ini sekarang, dan disana, kemana ia akan menuju.”

Aspek-aspek esensial dari sebuah partikel (posisi, kecepatan, momentum, energi)

tidak pernah dapat secara persis diobservasi segera---tindakan observasi itu sendiri,

secara tak terhindarkan dan tak dapat diperoleh kembali, mendistorsi sekurang-

kurangnya satu dari kuantitas-kuantitas ini. Hal terbaik yang dapat kita harapkan

adalah untuk membuat pengukuran-pengukuran dan membuat prediksi-prediksi

yang bersifat mungkin atau bersifat statistik.

Gagasan-gagasan yang tampaknya kalah ini membangkitkan amarah dari

beberapa fisikawan hebat, fisikawan yang paling terkenal di kalangan mereka adalah

Albert Einstein. Dia selalu menolak dan menyangkal.

“Tuhan Tidak Bermain Dadu”


“Bagaimanapun juga, aku merasa yakin bahwa Dia tidak bermain dadu.”
Albert Einstein, letter to Max Born, 1926

Bahkan para pemikir yang paling radikal dan inovatif pun, setelah mempelopori

sistem-sistem pemikiran yang baru, tidak pernah sepenuhnya mendobrak sistem


pemikiran yang lama. Sigmund Freud, pada intinya, masih tetap seorang ilmuwan

dengan watak kuat abad 19, dan demikian pula, dalam banyak hal, dengan Albert

Einstein.

Einstein, dengan membantu memformulasikan partikel ganda/model

gelombang dari entitas-entitas sub-atomik, telah memberi kontribusi sebesar para

ilmuwan lain bagi lahirnya mekanika quantum. Tapi, di proses akhir, dia tidak

mampu untuk menerima kesimpulan-kesimpulannya. Ketika dia berkomentar,

dalam sebuah surat kepada koleganya Max Born, bahwa “Dia [Tuhan] tidak

memainkan dadu,” Einstein sedang menolak validitas dari prinsip ketidakpastian

dan semua klaim lain bahwa faktor kebetulan (unsur-unsur yang tak diketahui dan

tak terduga) memainkan peranan yang sangat penting dalam peristiwa-peristiwa

fisika. Dia meyakini bahwa alam semesta ini dipenuhi hukum-hukum semesta dan

penuh tatanan; apapun Tuhan itu, bahkan jika Dia hanya metafor bagi

keterbentangan ruang dan waktu, Dia adalah Newtonian yang baik.

Esensi dari fisika Newtonian adalah fisika deterministik. Dengan memberikan

suatu deskripsi lengkap tentang sebuah situasi atau sistem---obyek-obyeknya,

massa-massanya, energi keseluruhan, dan lain-lain---secara prinsip anda harusnya

mampu untuk memprediksi dengan tepat dan akurat tentang bagaimana situasi itu

akan berubah suatu saat nanti. Misalnya, jika anda mengetahui seberapa cepat

sebuah bola dilemparkan ke arah orang yang memukul bola (dalam permainan

baseball), berapa banyak energi yang dikerahkan oleh si pemukul bola itu saat

mengayunkan tongkat pemukul, pada posisi dan waktu apa dia harus memukul bola

itu, dan bagaimana situasi angin yang sedang berhembus, anda harus mampu

memprediksi dengan tepat dan akurat kapan dia akan memukul bola itu.

Tapi, Werner Heisenberg---di mana Born bersetuju dengannya---telah

melakukan serangan sangat serius atas pandangan dunia Newtonian. Kesimpulan


logis dari mekanika quantum, kata Heisenberg, adalah bahwa sebab dan akibat,

diinterpretasikan secara ketat, adalah gagasan-gagasan yang hampa. Heisenberg

menunjukkan bahwa, setidaknya pada tingkat sub-atomik, anda tidak pernah dapat

mengetahui semua kondisi-kondisi awal dari sebuah situasi---maksimal, anda akan

banyak berurusan dengan kemungkinan-kemungkinan dan statistik-statistik. Oleh

karena itu, perilaku atomik tidak bisa ditentukan secara pasti dan kaku: ia tidak

dapat diprediksikan. Heisenberg melangkah lebih jauh lagi dengan menolak validitas

gagasan klasik tentang kausalitas; dalam paper-nya yang ditulis pada tahun 1927, dia

mempublikasikan prinsip ketidakpastian (the uncertainty principle), dia memberi

stigma sebagai “tidak berguna dan tidak bermakna” pada asumsi yang menyatakan

bahwa “dibalik semesta persepsi yang statistikal, tersembunyi disana sebuah dunia

yang “riil” yang dikuasai oleh hukum kausalitas.” Ketika kita tidak pernah menyadari

atau mengukur kondisi-kondisi sub-atomik, dan ketika kita bahkan tidak dapat

mengetahui jika hukum kausalitas berlaku, gagasan ini menjadi sangat terabaikan.

Ide ini ditentang oleh Einstein, yang tidak mau disalahkan hanya karena dia

telah memformulasikan relativitas. Einstein telah menghancurkan keyakinan bahwa

terdapat poin acuan yang absolut bagi pengukuran-pengukuran fisika; tapi, ketika

terjadi jalinan kontak diantara sistem-sistem yang relativistik, dia menawarkan

fomula-formula yang pasti dan baku yang menghasilkan serangkaian acuan yang

kaku. Alam semesta Einstein mempunyai sebuah bentuk yang definitif (mempunyai

batasan-batasan yang tegas) dan meski bersifat relativistik, ia berkesinambungan

dan dapat diprediksikan. Singkatnya, dia tidak dapat membayangkan sebuah dunia

yang hanya dapat dideskripsikan dalam ekspresi-ekspresi statistik yang samar.

Einstein berjuang sekuat tenaga selama beberapa tahun untuk meyakinkan

kepada para pendukung teori quantum bahwa asumsi-asumsi mereka harusnya

salah, dan bahwa faktor kebetulan yang tak terduga, tidak berperan penting dalam
peristiwa-peristiwa fisika. Kekalahannya yang sangat menyedihkan, sebagian

diilhami oleh fakta bahwa karya-karyanya didasarkan pada alam semesta yang

bersifat kausal dan berkesinambungan---ruang-waktu “kontinuum”---telah ditolak

dan dinyatakan tidak benar oleh interpretasi Heisenberg tentang teori quantum. Dan

dibalik karya itu adalah sebuah pemahaman mendalam tentang tatanan universal

dan kontinuitas.

Kualitas-kualitas ini, daripada suatu sosok ilahiah yang maha kuasa, adalah

apa yang dipahami oleh Einstein sebagai Tuhan. (Mohon dicatat bahwa dia tidak

menulis “Tuhan tidak memainkan dadu dengan alam semesta” tapi “Dia tidak

memainkan dadu.”). “Saya tidak meyakini Tuhan personal,” kata Einstein, “dan saya

tidak pernah mengingkari ini tapi telah mengekspresikannya dengan jelas. Jika

terdapat sesuatu di dalam diri saya yang dapat disebut agama, maka ini adalah

ketakjuban yang tak terbatas terhadap struktur dunia ini sejauh ilmu pengetahuan

kita dapat menyingkapkannya.”

Apa yang tidak dapat dibayangkan oleh Einstein adalah suatu alam semesta

dimana rangkaian bangunan dasarnya seperti elektron-elektron yang mengembara

dengan bebas, tidak dapat dibatasi oleh hukum (lawless), dan terbebas dari

kausalitas. Alam semesta semacam ini tidak mempunyai desain atau koherensi yang

menyeluruh. Apapun yang terjadi, Einstein masih tetap benar, sejalan dengan klaim-

klaim mekanika quantum yang semakin sulit dipahami, yang terus menjadi bahan

perdebatan hingga sekarang ini.

Apakah Logika Anda Bersifat Samar?:


Matematika Baru
Paradoks Russel (Meta Bahasa)

Seseorang datang mendekati anda di jalanan dan mengatakan, “Apapun

yang aku jelaskan kepada anda adalah kebohongan. Apakah dia sedang

menjelaskan kebenaran? Ini adalah sebuah versi dari “paradoks

pembohong dari Kreta,” disebut demikian karena ia mengikuti jejak

kecerdasan Epimenides, dari Kreta, yang mengatakan bahwa “semua

warga Crete adalah pembohong.”

Tak seorangpun yang tahu apa yang mesti dilakukan dengan teka-

teki yang memusingkan ini hingga filosuf Inggris, Bertrand Russel (1872-

1970) menghadapi paradoks serupa dalam ilmu logika. Paradoks versi

Russel ini muncul dalam upayanya tentang penemuan bahwwa

“kebenaran” matematis itu bukanlah apa yang pernah kita pikirkan

sebelumnya.

Beberapa abad sebelumnya, Euclid telah mengajukan lima aksioma

geometri, dan setiap orang menerima semua aksioma itu karena mereka

tampaknya dapat diterapkan dalam realitas. Tapi, di abad sembilan belas,

telah ditunjukkan bahwa geometri-geometri sama valid dan konsistennya,

bisa dibangun dari apa yang tampaknya sebagai asumsi-asumsi “palsu”.

Misalnya, Euclid meyakini pendapat bahwa sebuah garis lurus dan sebuah

titik yang bukan pada garis itu, hanya satu garis lain yang dapat ditarik

melalui titik itu sehingga akanmenjadi paralel dengan garis pertama.

Asumsi seperti ini, secara intuitif, tampaknya benar. Tapi, jika kita
mengajukan postulat yang bertentangan bahwa ada lebih dari satu garis

paralel, yang dapat ditarik dari titik itu, atau, pada sisi lain, bahwa tidak

ada garis paralel yang dapat ditarik, kita masih dapat memperoleh

geometri dengan logika yang tepat. (Geometri-geometri semacam ini

disebut “non-Euclidean”). Premis-premis ini tidak lagi bersifat “benar”

atau “salah” daripada premis Euclid, setidaknya dengan standar

pembuktian yang ketat; sungguh, teori relativitas Einstein membutuhkan

geometri non-Euclidean.

Sebagaimana dengan geometri, demikian pula dengan ilmu

matematika dan semua cabang matematika. Jika validitas matematika

dapat dipastikan, maka, kita harus melihat hal lain selain intuisi,

pemahaman awam (common sense), atau pengalaman praktis. Untuk

menempatkan konsep-konsep matematika yang meragukan di atas dasar

pijakan yang lebih pasti, pikir Russel, yang dibutuhkan oleh seseorang

hanyalah menemukan komponen-komponen sederhana darimana mereka

dikonstruksikan. Komponen-komponen ini bersandar pada logika, yang

prinsip-prinsipnya adalah tentang semua hal yang bersifat pasti. Oleh

karena itu, yang ingin dilakukan Russel adalah menganalisa aritmatika,

secara menyeluruh, menjadi gagasan-gagasan yang dapat diterima

secara logis. (Kebanyakan matematika dapat disumberkan dari aritmatika

murni). Bersama dengan seorang pakar matematika Alfred North

Whitehead, dia mempersembahkan tiga volume Principia Mathematica

(1910-1913) atas upayanya yang sistematis ini.

Yang menjadi batu sandungan pertama adalah tiga istilah aritmatika

yang tak dapat didefinisikan: “Nol [zero]”, “angka [number]”, dan


“suksesor [yang mengikuti setelahnya]” (sebagaimana dalam pernyataan,

“angka 1 adalah kelanjutan dari nol). Setiap proposisi aritmatika lain

begitu mengikuti tiga istilah ini menjadi terdefinisikan. Terhadap tujuan ini,

Russel berpaling pada logika tentang “kelas-kelas” atau set-set6, yang

merupakan mata pisau yang mengemuka dari matematika teoritis. Russel

berpikir bahwa dia dapat mendefinisikan baik “nol” dan “angka” dengan

konsep logis dari sebuah set dari set-set , atau sebuah “kelas dari kelas-

kelas”. Tapi, sebagaimana telah diketahui, konsep ini sama sekali tidak

berjalan; ia mengarah pada kontradiksi-kontradiksi dan paradoks-

paradoks, bahkan mengarah pada logika semacam paradoks pembohong

dari Kreta.

Masalah-masalah dimulai ketika kita mencoba untuk

memperlakukan kelas-kelas dengan cara yang sama dengan obyek-obyek

yang mereka cakup. Dalam banyak kasus, perbedaan ini jelas dan mudah

dipahami. Pikirkan tentang enam pack bir sebagai sebuah set atau “kelas”

dari botol-botol bir; mudah dipahami enam pack bir ini bukanlah satu

botol bir, dan enam pack bir tidaklah dapat mengandung enam pack bir

lainnya. Namun, sebuah kasus tentang bir ini mungkin saja mengandung

empat per enam packs, yang membuatnya sebuah “kelas dari kelas-kelas:

(suatu set dari empat per enam packs, yang diri mereka sendiri adalah

set-set). Pertanyaannya adalah apakah terdapat kurang dari sebuah

perbedaan antara suatu misal dan suatu enam-pack daripada terdapat

antara suatu enam-pack dan satu botol bir. Pada akhirnya, satu misal dan

suatu enam-pack ini adalah kelas-kelas, sehingga mereka mungkin

mempunyai sifat-sifat yang serupa.


6
Set = Sekelompok orang atau benda dari jenis yang sama dan menjadi milik bersama.
Disinilah dimana paradoks itu muncul. Sebuah set dari benda-benda

fisik tidak dapat mengandung dirinya sendiri, ketika suatu set itu bukanlah

sebuah benda fisik. Misalnya, sebuah kotak dari botol-botol, tidak

mengandung dirinya sendiri, ketika sebuah kotak bukanlah sebuah botol.

Hal yang sama bahkan dapat dikatakan tentang set-set tertentu tentang

set-set. Ambil contoh kelas dari kelompok-kelompok etnik di California.

Masing-masing kelompok, dalam dirinya sendiri adalah sebuah set---set

orang-orang Latin, set orang-orang China, set orang-orang Afro-Amerika,

set orang-orang Eropa-Amerika, dan lain-lain. Tapi, set dari kelompok-

kelompok etnik ini dalam dirinya sendiri bukanlah sebuah kelompok etnik,

jadi, ia tidak mengandung dirinya sendiri.

Demikian pula, set dari semua kucing, tidak mengandung dirinya

sendiri, ketika ia bukanlah seekor kucing. Tapi, bagaimana dengan set dari

semua yang bukan kucing? Apakah sesuatu itu adalah seekor kucing atau

bukan, dan suatu set ini bukanlah sebuah kucing: oleh karena itu, set dari

semua non (yang bukan)-kucing ini harus mengandung dirinya sendiri.

disinilah suatu contoh yang bahkan lebih sederhana: set dari semua set-

set. Ketika set dari semua set-set ini adalah sebuah set, demikian pula, ia

juga harus mengandung dirinya sendiri. disinilah dimana sesuatu yang

menghibur bermula.

Ketika suatu set, baik yang mengandugn dirinya sendiri atau bukan,

kita mungkin membagi semua set-set yang mungkin ini ke dalam dua

kelompok atau kelas-kelas: kelas dari set-set yang tidak mengandung diri

mereka (sebutlah ini N, untuk “tidak”) dan kelas dari set-set yang

mengandung diri mereka sendiri (sebutlah ini Y untuk “Ya”). Set dari botol-
botol bir termasuk dalam N, sebagaimana juga set-set dari kucing-kucing

dan set-set tentang kelompok-kelompok etnik di California. Set-set seperti

set dari semua set-set dan set dari non (yang bukan)-kucing, termasuk

dalam Y.

Seseorang mendekati anda di jalanan dan mengatakan: “Set N

mengandung dirinya sendiri.” Apakah anda percaya kepadanya?

Ini adalah paradoks Russel, yang menyalahkan upaya apapun untuk

mendasarkan aritmatika pada logika tentang set-set. Jawabannya adalah,

jika anda berpikir tentangnya, bahwa tidak ada jawaban: kita telah sampai

pada suatu kegagalan logika. Karena jika N mengandung dirinya sendiri,

maka N adalah berdasarkan definisi sebuah set yang tidak mengandung

dirinya sendiri. tapi, jika kita berasumsi bahwa N tidak mengandung

dirinya sendiri, maka ini adalah sebuah set yang tidak mengandung

dirinya sendiri, jadi, ia harus dimasukkan ke N apapun yang terjadi.

Russel menyadari bahwa masalahnya disini adalah memperlakukan

semua set-set yang sangat mirip, karena ini adalah tentang bagaimana

kita mendapati diri kita dibuat ruwet oleh dalam isu tentang set-set yang

dapat mengandung diri mereka sendiri. untuk menghindari malu

semacam ini, dia mengajukan pendapat bahwa set-set seharusnya

dipertimbangkan menurut apa yang dia sebut sebagai “tipe” mereka.

Suatu set tentang obyek-obyek yang jelas adalah tentang tipe paling

rendah (paling mendasar)-----sebutlah ia suatu set “tipe I”. Set-set

semacam ini mungkin mengandung hanya obyek-obyek, bukan set-set

yang lain. Di urutan selanjutnya adalah set-set “tipe 2”, yang mungkin

mengandung obyek-obyek tapi juga set-set tipe I. Set dasar dari set-set
anda (seperti kotak botol-botol kita) adalah suatu set tipe 2; ia tidak

pernah dapat mengandung dirinya sendiri, ketika ia hanya mengandung

set-set dari tipe yang lebih rendah. Lebih tinggi lagi adalah set-set tipe 3,

yang mungkin mengandung obyek-obyek, set-set tipe I, dan juga set-set

tipe 2. Demikian pula, set-set ini tidak pernah dapat mengandung diri

mereka sendiri. Dan seterusnya. Begitu perbedaan-perbedaan semacam

ini telah diberikan, pertanyaan tentang apakah sebuah set mengandung

dirinya sendiri menjati tidak bermakna.

Russel memikirkan bahwa suatu logika yang serupa, dapat

memperjelas paradoks-paradoks tentang bahasa seperti paradoks

pembohong dari warga Creta. Meskipun, dia tidak menggunakan istilah

ini, apa yang pada dasarnya dia ajukan adalah konsep tentang “meta-

bahasa”, bahasa yang membuat suatu pernyataan tentang dirinya sendiri.

kita mungkin menyebut set tipe dasar I hanya suatu “set” yang sederhana

dan jelas, dan menyebut set tipe 2 yang mencakupnya sebagai “meta-

set”. Demikian pula, kita dapat menyebut pernyataan-pernyataan tentang

obyek-obyek atau hubungan-hubungan yang sederhana, seperti “kucing

ada di atas karpet”, hanya sekadar “bahasa yang jelas dan sederhana”

(atau “bahasa obyek”). Pernyataan-pernyataan yang mengacu pada

bahasa yang sederhana, maknanya, atau kebenarannya, namun,

bukanlah bahasa yang sedrhana tetapi “meta-bahasa”. (Dan bahasa

tentang me-bahasa adalah meta-meta-bahasa”). Untuk menghindari

paradoks pembohong dari Creta, yang harus anda kerjakan adalah

memisahkan meta-bahasa dari bahasa dan berhati-hati untuk tidak

memperlakukan kebenaran-kebenaran tentang seseorang sebagai


kebenaran-kebenaran tentang orang lain. Paradoks-paradoks seperti “Apa

saja yang aku katakan adalah suatu kebohongan” harus disingkirkan ke

wilayan tentang hal-hal yang tidak masuk akal, ketika mereka mencoba

untuk menyetarakan bahasa dengan meta-bahasa, dengan mendobrak

hirarki dan melilitkan bahasa kembali pada dirinya sendiri.

Namun, dengan menggenggam bahasa dan meta-bahasa secara

terpisah adalah jauh lebih sulit daripada tampaknya. “Kalimat sebelumnya

mempunyai 13 kata” adalah contoh sederhana dan jelas dari meta-

bahasa, yang juga terjadi sebagai benar adanya. Tapi, cobalah pernyataan

yang lain. “Paragraf ini mempunyai delapan kalimat”. Yang membuat sulit

dengan pernyataan meta-bahasa ini adalah bahwa ia memperhitungkan

dirinya sendiri sebagai satu dari kalimat-kalimat itu---yaitu, ia mengacu

bukan hanya pada bahasa sehari-hari yang biasa, tapi juga mengacu pada

meta-bahasa. Apakah ia, dengan demikian adalah sebuah pernyataan

meta-meta-bahasa? Dan kemudian apakah pertanyaan terakhir itu

sebagai meta-meta-meta-bahasa? Jadi, akankah fakta bahwa paragrap ini

mempunyai delapan kalimat menjadi suatu pernyataan meta-meta-meta-

meta-bahasa?

Tidak menjadi masalah. Russel hanya concern dengan matematika

dan tidak concern pada bahasa sehari-hari. Tapi, bahkan pendekatannya

yang telah ditingkatkan kualitasnya terhadap logika matematika tidak

cukup dikembangkan dengan lebih baik, bahkan setelah dia mengakhiri

teori set dan menggabungkan gagasan-gagasan yang tampaknya lebih

dapat diandalkan dari logika proposisional. Ketika ia telah berakhir, anda

tidak dapat memperoleh upaya pengacuan-diri atau menyebarkan yang


berdasarkan pada sistem ini: selalu ada sebuah paradoks pembohong dari

Creta yang bersembunyi dalam aksioma-aksioma. Paradoks yang

tersembunyi dalam Principia Whitehead dan Russel telah menjadi jelas

delapan belas tahun kemudian ketika seorang pakar matematika Austria

mengembalikan paradoks Russel untuk menentang Russel.

Teorema Tidak Lengkap Godel


Bagi setiap ‫ש‬-konsisten kelas rekursif (yang berulang) K dari formula yang
ada, sesuai dengan tanda-tanda-kelas r (class-signs r) yang rekursif,
yang semacam ini bukanlah v Gen r tidak juga Neg (v Gen r) menjadi
milik Flg (k) (di mana v adalah variabel bebas dari r).

Kurt Godel, “On Formally Undecidable Propositions in


Principia Mathematica and Related Systems I” (1931)

Jika anda jadi bingung setelah membaca kutipan di atas, bergabunglah

dengan klub. Bahkan banyak dari pakar matematika yang tidak dapat

memahami respons dan jawaban Kurt Godel, yang dipublikasikan tahun

1931, atas karya hebat Whitehead dan Russel tentang logika simbolik,

Principia Mathematica.

Sebuah kesimpulan cepat tentang respons Godel adalah sebagai

berikut: sistem pemikiran formal apa saja yang kompleks, seperti logika

standar atau aritmatika, adalah pasti tidak lengkap. Dalam istilah yang

sedikit lebih pasti: diberikan sebuah angka yang terbatas tentang asumsi-

asumsi elementer (“aksioma-aksioma”) dan aturan-aturan untuk


mendeduksi proposisi-proposisi dari mereka, anda akan selalu, jika

aksioma-aksioma itu konsisten, dapat menghasilkan setidaknya satu

pernyataan yang benar yang tidak dapat dibuktikan oleh sistem itu.

Intisari yang lebih luas dari Godel adalah bahwa sistem-sistem

tanda yang formal semacam aritmatika murni tidak pernah dapat

digunakan untuk membuktikan kelengkapan atau konsistensi mereka

sendiri. (Sebuah sistem yang “lengkap” akan menghasilkan semua

pernyataan-pernyataan yang benar; sebuah sistem yang “konsisten” tidak

akan menghasilkan kontradiksi-kontradiksi). Menambahkan (melengkapi)

atau memperluas sistem tidak pernah dapat memperbaiki dan menolong

situasi ini; kita harus melihat di luarnya untuk meyakinkan kembali. Tapi,

kemudian, kita harus menunjukkan bahwa metode-metode luar itu, dalam

dirinya sendiri adalah dapat diandalkan, yang tampaknya bahkan menjadi

lebih sulit.

“Teorema Tidak Lengkap” dari Godel dan pembuktiannya bersifat

sangat abstrak dan sangat rumit, tapi dengan banyak terobosan-

terobosan, saya dapat membahas hal-hal yang esensial. Jika anda pernah

mempelajari geometri, anda setidaknya akan menjadi akrab dengan

aksioma-aksioma---yaitu, asumsi-asumsi dasar yang digunakan untuk

menghasilkan pernyataan-pernyataan yang benar. Euclid telah

membangun geometrinya di atas landasan lima aksioma, meskipun di

abad terakhir atau dekat dengan itu, pembuktian diri mereka

dipertanyakan. Contoh-contoh tentang aksioma-aksioma dalam aritmatika

mencakup “nol [zero] adalah sebuah angka” dan “sebuah angka adalah
setara dengan dirinya sendiri.” sementara kita menganggapnya benar

tanpa sikap kritis, sebagai sesuatu yang tidak bisa dibuktikan.

Hingga tingkat tertentu, para ilmuwan dan para filosuf Aristotelian

telah berupaya untuk memperluas keberhasilan Euclid ke bidang-bidang

pengetahuan lain. Dengan seperangkat aksioma-aksioma dan sebuah

logika deduktif, mereka berharap, seseorang dapat menerima atau

menolak hipotesa-hipotesa dengan kepastian yang absolut dan pada

akhirnya menghasilkan semua kebenaran-kebenaran yang mungkin. Tapi,

dengan kemunculan metode eksperimental, ilmu pengetahuan alam

menghentikan mimpi ini, dengan meninggalkannya menjadi matematika

murni. Dan terdapat beberapa keberhasilan yang layak dicatat: di akhir

abad sembilan belas, Gottlob Frege dan Giuseppe Peano, telah

mengembangkan sistem-sistem notasi yang mempersatukan matematika

dan logika, dan pada tahun 1910-an, Whitehead dan Russel, akhirnya,

tampaknya, merancang aritmatika pada basis aksiomatika baku yang

sama sebagaimana geometri Euclidian.

Namun, keberhasilan mereka hanya berumur pendek. Apa yang

diharapkan oleh Whitehead dan Russel untuk mengukuhkan sebuah

sistem, dengan melibatkan sebuah angka kecil dari aksioma-aksioma dan

aturan-aturan tentang deduksi, keduanya adalah bersifat konsisten dan

lengkap. Sebuah sistem bersifat konsisten. Jika pernyataan-pernyataan

yang saling bertentangan tidak dapat diasalkan (diderivasikan) di

dalamnya. Yaitu, jika anda dapat “membuktikan” (mendeduksikan)

“teorema” (formula) “2 + 2 = 4”, maka anda tidak pernah dapat

membuktikan teorema yang bertentangan, “2 + 2 ≠ 4”.


Aksioma-aksioma awal Whitehead dan Russel, tampaknya bersifat

konsisten, dengan memberikan aturan-aturan tentang deduksi, dan untuk

sekarang ini, kita menerima sifat konsisten ini begitu saja tanpa ada sikap

kritis. Namun, kita dihadapkan dengan pertanyaan tentang apakah sistem

mereka itu lengkap---yaitu, apakah ia dapat menghasilkan semua formula

aritmatika yang benar, dan apakah semua formula-formula aritmatika

yang benar dapat dibuktikan dalam sistem ini. Pertanyaan yang sangat

sulit inilah yang menyibukkan Godel, dan yang coba dijawabnya dalam

paper-nya “On Formally Undecidable Propositions.” (Tentang Proposisi-

proposisi yang Tidak Dapat Diputuskan Secara Formal).

Sekali lagi, apa yang telah dibuktikan oleh Godel adalah bahwa

tidak ada seperangkat aksioma terbatas dan konsisten yang pernah

dapat menjadi lengkap, dan bahwa tidak peduli seberapa banyak aksioma

lagi yang anda tambahkan pada sebuah sistem logika formal untuk

menyusun (make up) beberapa defisiensi, ini akan selalu menjadi

mungkin untuk menemukan sebuah teorema yang benar yang tidak dapat

dibuktikan.

Pembuktian Godel ini adalah sebuah upaya yang sangat brilian.

Dengan menggunakan logika simbolik dari Principia, dia menemukan

sebuah cara menyusun secara berpasangan dari masing-masing simbol,

aksioma, proposisi, atau bukti dengan sebuah angka yang unik, yang

disebut dengan “angka Godel”. Demi pembahasan argumen ini, marilah

kita katakan bahwa angka Godel tentang aksioma “x = x” (“sebuah angka

adalah setara dengan dirinya sendiri”) adalah 156. (Sebenarnya, bahkan

ekuasi-ekuasi yang sederhana itu mempunyai angka-angka Godel yang


sangat banyak). Dengan sebuah aturan deduksi yang sederhana, kita

dapat menderivasikan dari “x = x” teorema “0 = 0”. Marilah kita katakan

bahwa angka Godel dari “0 = 0” adalah 72. Godel menunjukkan bahwa

sebuah pernyataan seperti “ ‘0 = 0’ adalah sebuah teorema yang benar”

dirinya sendiri dapat direduksikan menjadi sebuah formula yang berkaitan

dengan angka-angka Godel---dalam hal ini angka-angka 156 dan 72.

Lalu, sebuah pernyataan semacam ini bukan dengan sendirinya

sebuah formula dalam sistem ---ia adalah sebuah pernyataan tentang

sistem. Pernyataan-pernyataan semacam “meta-aritmatika” akan

mencakup: “ ‘2 + 2 = 5’ adalah salah”, “Jika teorema T adalah benar,

maka sistem ini adalah tidak konsisten”, dan “Teorema S tidak dapat

dibuktikan”. Cara Godel membuat angka-angkanya, setiap pernyataan

meta-aritmatikal semacam ini dicerminkan oleh suatu relasi matematikal

diantara angka-angka Godel---dengan perkataan lain, pernyataan-

pernyataan meta-aritmatikal dapat dimodel atau “diterjemahkan”dalam

aritmatika.

Godel kemudian menarik seekor kelinci keluar dari topinya. Dengan

menggunakan angka-angka Godel, dia mengkonstruksikan sebuah

teorema aritmatika---kita akan menyebutnya G---yang terjemahan meta-

aritmetikalnya adalah “formula G tidak dapat dibuktikan”. Jika G adalah

sebuah teorema yang benar, maka “G tidak dapat dibuktikan” adalah juga

benar, dan oleh karena itu sistem ini adalah tidak lengkap---kita telah

menemukan sebuah teorema yang benar yang tidak dapat dibuktikan

dalam sistem. Tapi, diketahui kemudian bahwa jika G adalah salah, ini

artinya adalah bahwa G tidak dapat dibuktikan (jika sistem ini konsisten),
dan oleh karena itu pernyataan “G tidak dapat dibuktikan” adalah benar.

Ini bertentangan dengan premis bahwa G adalah salah, dan dengan

demikian sistem ini adalah tidak konsisten.

Untuk menyusun dan melengkapi pembuktian ini, Godel merangkai

sebuah formula yang sesuai dengan pernyataan, “Jika aritmatika bersifat

konsisten, maka G dapat dibuktikan.” Formula ini ternyata menjadi sebuah

teorema yang benar dalam sistem. Tapi, yang ingin ditunjukkan oleh

Godel adalah bahwa G dapat dibuktikan hanya jika yang berlawanan

dengannya juga dapat dibuktikan; namun, jika aritmatika bersifat

konsisten, maka kontradiksi-kontradiksi semacam ini tidak pernah muncul.

Oleh karena itu, kita tidak pernah dapat membuktikan bahwa aritmatika

itu bersifat konsisten, setidaknya jika kita mengandalkan pada asumsi-

asumsi yang terkandung dalam aritmatika.

Poin intinya adalah bahwa Godel menggunakan aritmatika untuk

membuktikan bahwa kelengkapan dan konsistensi aritmatika tidak dapat

dibuktikan. Tidak ada angka terbatas dari aksioma-aksioma tambahan

yang akan “membakukan” (fix) situasi. Jika terdapat bukti-bukti, mereka

ini bersifat melampaui logika, metode aksiomatik, dan akhirnya

matematika. Dan metode ektra-matematikal, pada gilirannya, akan harus

mendemonstrasikan sifat konsistensinya, dan sekarang kita sedang

menempuh perjalanan secara melingkar, sangat diragukan bahwa kita

dapat meloloskan diri.

Teorema Tidak Lengkap dari Godel tampaknya akan menjadi

pertanda buruk bagi kecerdasan artifisial, setidaknya sebagaimana yang

kita ketahui sekarang ini. Komputer masih, dan mungkin untuk


selamanya, menjadi mesin-mesin logika yang beroperasi pada data-data

terbatas dan dengan sebuah angka terbatas tentang instruksi-instruksi.

Program-program dalam suatu jutaan perintah (“aksioma-aksioma” dan

“aturan-aturan tentang deduksi”), dan komputer tetap saja tidak akan

pernah bisa sampai pada, atau bahkan membuktikan, semua kebenaran-

kebenran yang pikiran-pikiran manusia dapat menemukan dengan

caranya sendiri yang khas.

Dilema Sang Tahanan—Prisoner’s

Dilemma (Teori Game)

Anda dan seorang kaki tangan penjahat ditangkap dan dibawa ke kantor

polisi dan anda berdua dipenjarakan di ruang terpisah. Jaksa penuntut

umum menjelaskan kepada anda bahwa pihak kepolisian mempunyai

bukti yang cukup untuk menjebloskan anda berdua ke dalam penjara

selama satu tahun, tapi belum cukup untuk dipersalahkan atas tuduhan-

tuduhan yang lebih serius. Tapi, jika anda mengakui dan setuju untuk

bersaksi atas kejahatan partner anda, anda akan terbebas dari tuduhan

bekerja sama (untuk melakukan tindak kriminal), sementara partner anda

akan dijebloskan ke dalam penjara untuk selama tiga tahun. Namun, jika

anda berdua mengakui tindak kriminal yang lebih besar lagi, pihak

kepolisian tidak akan membutuhkan kerja sama anda lagi dan anda

berdua, masing-masing akan mengalami masa dua tahun di balik terali


besi. Anda digiring untuk meyakini bahwa partner anda juga diberi

tawaran yang serupa dengan anda. Apa yang akan anda lakukan?

Ini adalah sebuah versi umum dari “dilema sang tawanan”, sebuah

problem yang sangat terkenal dalam teori game, matematika

pengambilan keputusan. (Ada dilema-dilema lain dalam teori game,

seperti “dilema ayam”, yang akan kita bahas selanjutnya). Barangkali,

anda tidak ditahan dan bertanya-tanya mengapa anda harus peduli.

Sebenarnya, seseorang tidak harus melihat di kejauhan untuk

menemukan dilema sang tawanan yang lain dalam kehidupan sehari-hari.

Seandainya, anda mengalami hal seperti ini, apakah anda akan

menyerobot ke baris paling depan dari sebuah antrian yang panjang? Apa

respons anda atas seruan lewat pengeras suara yang bernada sangat

keberatan atas perilaku anda? Apakah anda menangani konflik-konflik

yang terjadi di kantor dengan cara menolak kerjasama atau dengan sikap

kompromi? Pada masing-masing kasus, anda sedang dihadapkan pada

sebuah problem yang serupa dengan dilema sang tawanan di atas:

apakah anda benar-benar menampilkan yang terbaik dengan berperilaku

yang mementingkan diri sendiri?

Letak dilemanya adalah bahwa sebuah pilihan itu tidak dapat dibuat

di atas ranah-ranah yang murni rasional. Untuk mengetahui sebabnya,

marilah kita kembali ke skenario awal kita. Dilihat dari satu cara, anda

lebih baik memberikan pengakuan, tapi dilihat dari sudut lain, yang

terbaik bagi anda adalah sikap berdiam diri. inilah dia akibat-akibat (hasil-

hasil) yang mungkin yang disusun dalam sebuah matriks:


Partner berdiam diri Partner

mengaku
Anda berdiam diri 1 tahun bagi anda 3 tahun untuk

anda

1 tahun bagi partner 0 tahun bagi partner

Anda mengaku 0 tahun bagi anda 2 tahun untuk anda

3 tahun untuk partner 2 tahun untuk partner

Jelas sekali, sejauh yang anda cermati, hasil-hasil terbaik yang mungkin

adalah bahwa anda memberi pengakuan dan partner anda tidak memberi

pengakuan. (dalam bahasa teori game, untuk bersikap hati-hati, tidak

menjadi masalah bagi anda apa itu yang disebut dengan “menyeberang

ke pihak lain” [defect]). Dan bahkan jika partner anda memberi

pengakuan, anda masih memperoleh keuntungan dengan menyeberang

ke pihak lain, karena, jika anda tetap bersikap diam, anda sedang

menatap masa tiga tahun di dalam penjara, sementara dengan memberi

pengakuan, anda hanya akan mendekam selama dua tahun di dalam

penjara. Dengan kata lain, tidak masalah dengan apa yang dilakukan oleh

partner anda (dan anda tidak punya cara untuk mengetahui

keputusannya) anda lebih baik menyeberang ke pihak lain.

Tapi, jika partner anda secerdas anda, dia akan mengupayakan

kesimpulan yang sama: langkah yang paling rasional adalah memberi

pengakuan. Logika ini, dengan demikian, akan membuat anda berdua

sama-sama mendekam di penjara selama dua tahun. Apakah ini benar-

benar “rasional” bahwa dengan sama-sama bersikap bungkam (“bekerja

sama”), anda berdua hanya akan ditahan selama satu tahun? Secara
keseluruhan, sikap saling bekerja sama dalah yang terbaik, ketika

perhitungan waktu yang dikombinasikan, anda akan dipenjarakan selama

dua tahun ketimbang tiga atau empat tahun hukuman penjara.

Jadi, anda harus bekerja sama, bukankah demikian? Baiklah,

anggaplah partner anda tidak sampai pada kesimpulan ini, atau bahwa

dia sampai pada kesimpulan ini tapi memutuskan untuk mengeksploitasi

sikap setia kawan anda dengan berkhianat menyeberang ke pihak lain.

Dalam kasus ini, anda sedang menatap akibat terburuk yang mungkin:

tiga tahun membuat piringan-piringan berlisensi (licence plates). Apa

yang akan terjadi: apakah anda mempercayai dia atau tidak? Apakah

sikap bekerja sama atau berkhianat menyeberang ke pihak lain adalah

lebih rasional?

Ini dan problem-problem serupa adalah asal mula dari teori game,

kurang lebih, demikianlah penemuan dari pakar matematika John von

Neumann (1903-1957). Seorang jenius dari Hungaria yang tinggal di

Amerika, von Neumann telah membantu mengembangkan bom atom dan

menemukan komputer digital, untuk menyebut prestasi-prestasinya yang

lain. Dia juga sangat menyukai permainan-permainan strategi, terutama

poker dan catur, dan pada tahun 1920-an dan 1930-an, dia

telahmengembangkan sebuah matematika untuk menggambarkan

struktur mereka. Von Neumann melakukan ini secara terpisah untuk

memahami permainan-permainan secara lebih baik, tapi, terutama sekali,

karena dia meyakini teori game ini dapat menyediakan suatu basis ilmiah

untuk studi tentang situasi-situasi yang mirip game dalam dunia yang

lebih luas. Dia telah menemukan istilah “teori game” dalam bukunya The
Theory of Games and Economic Behavior (1944, bersama Oskar

Morgenstern). Perilaku ekonomi adalah sebuah “game” dalam

pemahaman Neumann yang lebih luas: sebuah situasi yang didefinisikan

oleh kepentingan-kepentingan yang saling bersaing dan dimana setiap

orang berupaya untuk memaksimalkan keuntungan-keuntungannya

sendiri.

Sebagaimana diketahui, teori game ini tidak mengandung manfaat

bagi dunia ekonomi tapi bermanfaat di tempat lain. Setelah Perang Dunia

II, von Neumann telah direkrut untuk bekerja di RAND Corporation, dimana

dia menerapkan teori game ini secara lebih menghasilkan pada strategi

Perang Dingin. Pikirkan kembali pada tahun 1950-an dan bayangkan

harus membuat keputusan apakah Amerika Serikat harus membangun

sebuah gudang senjata dari bom-bom Hidrogen. Marilah kita berasumsi

bahwa Uni Soviet, sang “musuh”, sangat mampu untuk melakukan hal

yang sama. Pilihan-pilihan anda yang mungkin ada dua: membangun

gudang senjata atau tidak membangunnya. Terdapat empat hasil yang

mungkin:

1. Bukan AS, bukan juga Soviet yang membangun gudang

senjata---terjadi situasi status quo.

2. AS membangun gudang senjata, tapi Soviet tidak---AS

berada dalam posisi yang potensial untuk menghancurkan

Soviet dan mendominasi dunia.

3. Soviet membangun gudang senjata tapi AS tidak---Soviet

berada dalam posisi yang potensial untuk menghancurkan

AS dan mendominasi dunia.


4. Baik AS dan Soviet, sama-sama membangun gudang

senjata---perlombaan senjata meningkat, masing-masing

pihak tidak ada yang mendominasi, banyak dana yang

dihamburkan, dan seluruh dunia sekarang menghadapi

ancaman perang nuklir yang sangat menghancurkan.

Jika anda mempelajari “game” ini, anda akan memperhatikan bahwa ini

adalah sejenis dilema sang tawanan. Tidak peduli dengan apa yang

dilakukan oleh Soviet, kepentingan anda yang terbaik adalah membangun

gudang-gudang bom. (Jika mereka tidak membangun gudang

persenjataan, anda menjadi penguasa dunia ; jika mereka juga

membangun gudang persenjataan, anda setidaknya terjaga dari serangan

mereka). Tapi, jika Soviet mencapai kesimpulan yang sama dengan anda,

maka anda berdua akan menghamburkan berton-ton uang hanya untuk

untuk menjaga keseimbangan kekuatan dan pada saat yang bersamaan

menghasilkan persediaan (dalam jumlah besar) bom-bom nuklir yang siap

untuk diledakkan. Hasil yang ideal adalah “kerja sama”: masing-masing

pihak saling menahan diri (hasil I). Tapi, apakah anda mempercayai pihak

lain? Pada proses akhir, tidak ada satu pihak pun yang melakukan.

Meskipun von Neumann mendapati bahwa teori game ini sedang

berlangsung di RAND, sebenarnya bukan dia yang telah menemukan

dilema sang tawanan ini, tidak juga dia yang mempelajari implikasi-

implikasinya. Von Neumann berkonsentrasi hampir eksklusif pada apa

yang dia sebut sebagai “zero-sum games”. Dalam game-game yang

sedemikian ini, keuntungan total yang diperoleh telah menjadi bakuy, dan

kemenangan lawan pastinya adalah kekalahan anda. Kebanyakan dari


game-game yang menggunakan papan (board games), misalnya, adalah

bersifat zero-sum: jika lawan anda menang, anda kalah. Permainan Poker,

juga, berisfat zero-sum: sang pemenang akan mengambil semua hadiah.

Salah seorang kolega von Neumann di RAND, John Nash, telah

memperluas dan mengembangkan teori game ini untuk meng-cover

game-game antara dua orang yang bukan bersifat zero-sum. Teorinya

adalah bahwa dalam game-game semacam ini, selalu ada sebuah “poin

keseimbangan” (equilibrium point): berhadapan dengan fakta bahwa

lawan anda tidak akan mengubah strateginya, demikian pula dengan

anda. Ambil game ini sebagai sebuah contoh:

K memilih kepala K memilih ekor

Anda memilih kepala Anda menang $1 Anda kalah $1

K menang $3 K menang $4

Anda memilih ekor Anda menang $2 Anda menang $1

K tidak memenangkan
Apapun K menang $2

Dalam permainan iini, “poin keseimbangan” adalah ekor-ekor/ekor-ekor

(menurun sebelah kanan kotak tangan). Ini karena, tidak menjadi masalah

tentang apa yang dilakukan oleh K, ini selalu merupakan keuntungan

anda untuk memilih ekor, dan hal yang sama terjadi pada K. Dan bahkan

jika K diberi peluang untuk mengubah strateginya, anda masih akan

memilih ekor, dan secara timbal balik.

Apa yang tidak disadari oleh Nash pertama kali, atau menerima di

saat kemudian, adalah bahwa hanya karena sebuah poin keseimbangan


eksis, ini tidak berarti bahwa dalam game-game kehidupan-nyata, orang-

orang akan memilihnya. Ini terutama sekali berlangsung demikian dalam

hal game-games “yang ditampilkan kembali”---game-game antara dua

pemain atau lebih yang terus-menerus diulang-ulang, dengan strategi-

strategi sama yang telah baku dan keuntungan-keuntungan. Marilah kita

lihat kembali pada dilema sang tawanan, yang secara esensi telah

ditemukan oleh dua pakar sains RAND yang lain, Merrill Flood dan Melvin

Dresher, di tahun 1950. (Mereka telah menemukan bentuk [form] game

ini; para tawanan yang sebenarnya saling diperkenalkan, dan dilema sang

tawanan ini diberi nama, di masa kemudian di tahun itu oleh Albert

Tucker). Poin keseimbangan ini adalah bersifat saling melemahkan:

berhadapan dengan situasi dimana partner/lawan anda telah memilih

sebuah strategi dan bahwa strategi ini tidak bisa diubah, anda akan selalu

dalam keadaan lebih baik untuk menyeberang ke pihak lain.

Tapi, anggaplah bahwa anda dan dan seorang lawan anda,

memainkan sebuah game sejenis dilema sang tawanan ini sebanyak

ratusan kali secara berturut-turut. Marilah kita katakan inilah keuntungan-

keuntungannya (payoffs):

K bekerja sama K lemah (defect)

Anda bekerja sama $2 bagi anda $0 bagi anda

$3 bagi K $4 bagi K

Anda lemah $3 bagi anda $1 bagi anda

$1 bagi K $2 bagi K
Tak peduli apa yang dilakukan oleh K, anda akan selalu dalam keadaan

lebih baik jika menyeberang ke pihak lain---anda selalu memenangkan

satu dolar lebih banyak. Hal yang sama juga terjadi pada K: Tak perduli

dengan apa yang anda lakukan, dia memenangkan lebih banyak dolar

dengan menyeberang ke pihak lain. Tapi, sikap saling bekerja sama adalah

lebih baik bagi anda berdua daripada sikap saling mengkhianati dengan

bekerja sama dengan pihak lain; skenario terburuk bagi anda adalah

untuk bekerja sama sementara K menyeberang ke pihak lain.

Jika game ini adalah sebuah penawaran yang bersifat one-shot

(hanya terjadi sekali saja dan tidak akan pernah diulang kembali), anda

dan K tidak dapat mengupayakan strategi secara lebih awal, maka, hal

paling logis untuk dilakukan adalah menyeberang ke pihak lain, ketika

anda tidak mengetahui strategi K dan tidak dapat mengubahnya. Tapi,

beberapa hal adalah sangat berbeda dalam sebuah game yang diulang-

ulang. Marilah kita katakan bahwa K memutuskan untuk bekerja sama,

berharap anda melakukan hal yang sama, dengan memastikan hasil

saling menguntungkan. Anda, pada sisi lain, mengikuti logika satu-game

dan mengambil sikap menyeberang ke pihak lain. Anda akan menang

besar ($3) sementara K memenangkan jumlah total yang paling kecil ($1),

dan begitu pula di waktu selanjutnya, K memutuskan untuk “menghukum”

anda dengan menyeberangi dirinya sendiri. pada esensinya, dengan sikap

menyeberang, K sedang menjauhkan anda dari dua dolar---dua kali

keuntungan ekstra yang anda peroleh dengan upaya menyeberang

pertama kali.
Jadi, sementara sikap menyeberang ini bersifat aman, anda

potensial dapat memenangkan lebih banyak uang jika anda berdua dan K

saling bekerja sama. Tentu saja, jika K bekerja sama sementara anda

bersikap menyeberang pada setiap putaran, anda mengakhiri dengan

perolehan maksimum sebesar $300. tapi, jika K bersikap rasional, dia

akan menyesuaikan diri dengan mengambil sikap menyeberang setiap

kalinya, dengan dirinya memperoleh $100 lebih banyak daripada yang

akan dia peroleh dengan cara bekerja sama setiap kali. Lalu, apa

kemudian strategi terbaiknya?

Teori game, dengan bantuan penggambaran skematik oleh

komputer, telah mempunyai jawabannya: Ini disebut “tit for tat” (pukulan

dibalas dengan pukulan). Anda mulai dengan sikap bekerja sama. Jika K

juga bekerja sama, anda bekerja sama kembali di putaran dua. Anda

melanjutkan seperti ini hingga K menyeberang ke pihak lain (defect),

dimana pada poin ini anda “menghukum”nya dengan melakukan

penyeberangan ke pihak lain di putaran berikutnya. Alasan dari strategi ini

dapat berfungsi adalah bahwa anda sedang menggunakan game ini untuk

mengirim sebuah pesan kepada K: “Saya akan selalu melakukan apapun

yang telah kamu lakukan di putaran terakhir; dan ketika anda tidak

pernah memperoleh keuntungan dari sikap penyeberanganku, maka anda

harus selalu bekerja sama denganku, dengan memastikan saling

memperoleh yang terbaik.” Dengan kata lain, anda sedang mengundang

dia untuk bergabung dengan anda dalam bermain melawan game itu

sendiri daripada melawan satu sama lain.


Dalam kehidupan nyata, tit-for-tat (pukulan dibalas dengan pukulan)

berarti memperlakukan orang lain dengan cara mereka memperlakukan

anda, tapi berperilaku-lah selalu dengan baik pada permulaan. Dengan

menyerobot antrian ke baris paling depan mungkin ini adalah langkah

terbaik untuk anda, tapi ini sangat buruk bagi setiap orang lain, dan jika

mereka merespon dengan cara menciptakan situasi chaos dan adu jotos.

Tentu saja, adalah bodoh bagi anda untuk bekerja sama jika tak ada

seorang pun yang melakukan ini; tapi ketika setiap orang menyadari ini,

dan tak seorangpun yang menyukai situasi chaos, kebanyakan orang akan

melakukan kerja sama ini.

Dilema lain dari teori-game yang kita temui dalam kehidupan nyata

disebut dengan “chicken” (sebuah nama yang ditemukan oleh Bertrand

Russel, percaya atau tidak). Anda dan seorang teman melompat ke atas

pedal sepeda dan bergerak laju menuju tepi sebuah tebing yang curam.

Yang pertama kali menghentikan atau mengubah arah adalah sang

“ayam”. Jika anda berdua berhenti (“bekerja sama”) secara bersamaan,

maka tak seorang pun yang menjadi sang ayam, tapi tak satupun dari

anda berdua yang memenangkan game ini. Hasil terbaik bagi anda adalah

jika teman anda berhenti pertama kali: dengan cara ini anda menang, dan

dia menjadi ayam. Hasil terburuk bagi anda berdua adalah jika tak

satupun dari anda berdua yang berhenti sama sekali---yaitu, jika anda

berdua sama-sama “menyeberang”: anda berdua akan melaju menuju

tebing curam itu. Apa yang akan anda lakukan? (Game ini berbeda dari

game dilema sang tawanan dalam hal bahwa sikap saling menyeberang

adalah yang terburuk bagi kedua belah pihak).


Sebagaimana yang telah anda perhatikan, teori game---yang secara

matematika mempunyai ketepatan logika yang tinggi---masih belum

dapat memecahkan semua konflik manusia. Di tempat pertama, bagi teori

ini untuk dapat berfungsi, harus jelas siapa saja para pemain, dan

keuntungan-keuntungan harus diekspresikan dalam angka-angka (atau

setidaknya kemungkinan-kemungkinan). Ini tidak selalu menjadi kasus

dalam game-game rumit tentang masyarakat atau politik. Yang kedua,

unsur-unsur yang menyusun sikap “kerja sama” atau sikap

“menyeberang” mungkin agak samar---terdapat banyak ranah

pertengahan dalam kehidupan nyata, dan pihak lawan cenderung untuk

tidak setuju dengan ungkapan-ungkapan (terms) ini (apa yang tampaknya

mencukupi bagi satu pihak, mungkin tidak memuaskan pihak lain).

Namun, adalah lebih baik untuk memiliki alat-alat daripada tidak

mempunyai alat-alat, dan teori game adalah alat yang sangat menarik

dengan aplikasi-apkikasi nyata dalam fisika, etika, engineering (Aplikasi

prinsip-prinsip sains pada tujuan-tujuan praktis, seperti desain, mesin,

manufaktur), dan bahkan biologi. Evolusi dari suatu spesies, misalnya,

dapat dimengerti dalam ungkapan-ungkapan teori game, tapi itu adalah

kisah panjang yang lain.

Logika yang Samar


(Fuzzy Logic)
Aksioma-aksioma dan hukum-hukum matematika adalah sangat bagus

dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Kita mengetahui dengan

kepastian yang absolut, misalnya, bahwa 2 + 2 = 4, dan bahwa sudut-

sudut dari sebuah segitiga dapat mencapai hingga 180°---ini pastinya

mengikuti aksioma-aksioma. Matematika juga bermanfaat bila

diaplikasikan pada kuantitas-kuantitas fisika yang telah baku. Einstein

telah menggunakan matematika untuk menunjukkan bahwa tak ada

satupun yang dapat menempuh perjalanan yang lebih cepat daripada

kecepatan cahaya, yang adalah sebuah kuantitas yang telah baku. Para

penjudi seperti Blaise Pascal telah menemukan statistika untuk

mengkalkulasi probabilitas dari hasil-hasil yang sangat jelas ---katakanlah,

bahwa buah dadu akan berupaya menunjuk angka empat. Seorang

peramal cuaca di TV menggunakan angka-angka untuk memprediksi

peluang akan hujan atau tidak, esok hari.

Anda boleh menyebut semua kalkulasi ini sebagai produk dari

“logika keras” (“hard logic”), yang faktor fundamentalnya dari

metodologinya berhutang pada Aristoteles. Namun, akhir-akhir ini, suatu

tim peneliti yang terdiri dari para insinyur dan pakar fisika telah

mengenyampingkan logika keras ini demi untuk menunjukkan apa yang

mereka sebut sebagai “logika yang samar”, yaitu sains tentang kuantitas-

kuantitas yang tidak dapat dipastikan. Ini baik, menurut para pakar logika

samar, untuk mengatakan bahwa terdapat peluang enam puluh persen

hujan, sepanjang anda dapat mendefinisikan apa yang dianggap sebagai

“hujan”. Peramal cuaca di TV itu berasumsi bahwa terdapat dua opsi

disini: akan turun hujan atau tidak.


Tapi, dalam kenyataan, konsep tentang “hujan” itu bersifat samar.

Jika dua tetes air jatuh dari langit, apakah itu “hujan”? Bagaimana dengan

lima puluh tetes? Seribu? Anggaplah kabut itu pekat dan rendah, dan

anda merasakan tetes-tetes air pada wajah anda. Apakah itu hujan?

Darimana, tanya para pakar logika samar, anda menarik garis pemisah?

Kapan tidak hujan menjadi hujan?

Jika ini terdengar seperti [koan] Zen yang membuat anda bingung,

anda tidaklah sendirian. Bahkan, para pendukung proses berpikir samar

seperti USC Profesor Bart Kosko mempublikasikan secara berlebihan

tentang sains baru mereka sebagai suatu sintesa Timur-bertemu-Barat.

Dan sementara logika samar lebih banyak diejek daripada dipuji di

berbagai negara, ini semua adalah kegilaan dari industri Jepang. Anda

mungkin telah mendengar tentang “mesin pintar” (smart machines) yang

baru yang berasal dari jepang: mesin cuci pintar, mesin penjual-soda

pintar, micro waves pintar, kamera video genggam yang pintar. Mesin-

mesin semacam ini telah diprogram untuk berurusan dengan keadaan-

keadaan antara “on” dan “off”, kuantitas-kuantitas yang lebih halus

tingkatannya daripada “tinggi”, “medium”, atau “rendah”, daripada

jawaban-jawaban “ya” dan “tidak”.

Jika “logika samar” mempunyai sebuah asal-usul, ia bersandar pada

upaya logis untuk mengadaptasi paradoks Russel dan ketidakpastian

Heisenberg. Pakar logika yang cemerlang, Jan Lukasiewicz, telah

mengembangkan suatu logika yang “bervalensi tiga atau lebih”

(multivalent) di tahun 1920-an yang memperhalus dua bagian yang

berbeda, yaitu logika ya-tidak dari fisika Newtonian untuk mengizinkan


keadaan-keadaan yang tak dapat dipastikan. Pada tahun 1965, pakar

matematika Berkeley, Lotfi Zadeh telah mengaplikasikan logika baru ini

pada teori tentang perangkat-perangkat (sets) dalam paper-nya “Fuzzy

Sets”, dimana kemudian nama ini dipinjamkan pada logika.

Perangkat-perangkat (sets) yang telah anda pelajari di sekolah

dasar, semuanya telah didefinisikan dengan jelas. Baik itu sesuatu yang

termasuk dalam suatu set atau bukan. Angka 2 ada di dalam set dari

bilangan genap dan tidak termasuk dalam set dari bilangan ganjil, dan

kedua set ini mempunyai suatu “persimpangan yang kosong”---untuk

mengatakan, tidak ada angka yang termasuk dalam bilangan genap

maupun ganjil. (Berdasarkan konvensi, angka 0 juga tidak termasuk

dalam keduanya). Namun, perangkat-perangkat samar (fuzzy sets) dari

Zadeh adalah, benar-benar samar. Beberapa hal mungkin termasuk dan

yang lain tidak termasuk dalam perangkat-perangkat yang demikian ini,

tapi, ada terdapat kelas ketiga dari berbagai hal yang termasuk dalam

suatu tingkat tertentu.

Perangkat dari bilangan genap dan perangkat dari bilangan ganjil

adalah perangkat-perangkat keras (hard sets). Perangkat dari laki-laki dan

perangkat dari perempuan adalah keras---terdapat sedikit kesamaran

tentang orang banci dan manusia yang berorientasi trans-seksual. Tapi,

bagaimana dengan perangkat dari orang-orang yang berukuran tinggi?

Tak seorang pun yang akan menyebut manusia yang tingginya 4’ 2”, tapi,

setiap orang akan menyebut 7’ 6”, demikian pula dengan perempuan.

Tapi, darimana anda menarik garis pemisah ini? Apakah manusia dengan

tinggi 5’ 10” termasuk dalam perangkat dari orang yang tinggi, atau
tidak? Apakah seorang Asia bersetuju dengan orang Eropa, atau orang

Italia dengan orang Swedia? Soal tentang tinggi ini bersifat subyektif dan

berlangsung secara terus-menerus, sehingga tidak mungkin untuk men-

set suatu ketinggian yang baku, yang akan dianggap tinggi dan secara

otomatis menolak seseorang yang berukuran dibawah itu. jika 6’ itu

tinggi, bagaimana dengan 5’ 11.99”? Begitu anda mulai berpikir tentang

pertanyaan-pertanyaan semacam ini, tentang soal-soal tingkat (degree),

proses berpikir anda akan mulai bersifat samar.

Mengambil contoh lain, set dari orang-orang yang bahagia adalah

samar, karena kebanyakan dari kita merasa bahagia berdasarkan kadar

dan tingkatan tertentu---mungkin dengan kadar yang lebih besar,

mungkin juga dengan kadar yang lebih kecil, tapi, hampir tidak pernah

merasa bahagia mutlak atau menderita mutlak. Suatu jajak pendapat

mengajukan pertanyaan-pertanyaan sedemikian ini seperti “apakah anda

bahagia dengan sepak terjang Presiden?” adalah cacat, ketika

kebanyakan orang merasa bahagia atau tidak bahagia hanya sampai pada

kadar tertentu saja. Menambah skala dari 1 sampai 10 hanya membantu

separuhnya, ketika kita masih mempunyai rentang (range) angka-angka

keras (hard numbers) yang diterapkan pada suatu pendapat yang

berlangsung secara terus-menerus. Tidak semua “5s” akan menjadi

setara.

Set-set (Perangkat-perangkat) yang samar adalah kunci bagi mesin-

mesin yang samar. Kebanyakan dari alat-alat itu yang telah menjadi akrab

dengan kita, adalah “bisu”---yaitu, telah diprogram secara kaku. Televisi

anda selalu tersedia tombol “On” atau “Off”; tingkat kecemerlangan


gambar (brightness) di-set hingga 6 dan kontras gambar di –set hingga 3.

Sistem pemanas termostat yang terkontrol (yang akan kita bahas kembali

dalam SIBERNETIKA, hal. ...) adalah mesin bisu yang klasik. Ketika

temperatur pemanas ini jatuh di bawah temperatur yang telah di-set,

maka mesin pemanas ini akan hidup dengan sendirinya secara otomatis

(switches on); ketika temperatur naik melebihi temperatur yang telah di-

set itu, maka mesin pemanas akan mati dengan sendirinya. Mekanisme

dari mesin pemanas ini bersifat binary (kembar, pasangan): pengaturan

panas hanya ada dua opsi, “on” atau “off”, dan ketika ia sedang “on”, ia

selalu berada dalam temperatur panas yang sama.

Mesin-mesin fuzzy (yang samar) ini, pada sisi lain, menggunakan

set-set yang fuzzy juga untuk menghasilkan respons-respons yang lebih

fleksibel. Termostat ini “berpikir” apakah suhunya panas atau dingin, dan

ia akan memberi instruksi untuk mematikan atau menyalakan sebagai

responsnya; instruksi-instruksi yang fuzzy mengizinkannya untuk menjadi

panas atau dingin hingga tingkat tertentu. Jika kita memutuskan bahwa

65° adalah temperatur yang sempurna (yang kita inginkan), maka, kita

dapat memberitahukan kepada pemanas/pendingin udara untuk

memodulasi (mengatur) perilakunya yang bergantung pada seberapa

banyak temperatur aktual yang berbeda dari 65°. Mesin ini tidak akan

pernah hanya berada pada “ON” atau “OFF”---ia akan selalu berada pada

“ON” hingga tingkat variatif yang diinginkan, dengan mengkombinasikan

dan mencocokkan (matching) instruksi-instruksi.

Mesin cuci fuzzy yang terkenal, bekerja berdasarkan prinsip-prinsip

yang sama, dengan menjaga daya penglihatan elektronik pada suatu


rentang yang variatif, dengan mengkalkulasi berat rata-rata, dan

menyesuaikan instruksi-instruksinya sebagai respons. Jenis pakaian apa

yang kita punya disini? Seberapa kotor pakaian ini? Apakah kita berurusan

dengan lemak, kecap, kopi, kotoran, keringat? Seberapa banyak baju yang

dapat dimuat? Semua kuantitas ini berlangsung dalam tingkatan-

tingkatan (degrees), dan mesin cuci pintar ini memeriksa respons-nya

secara interaktif. Dengan cara yang serupa, kamera video genggam pintar

secara akurat menyesuaikan fokus dan aperture (lubang celah lensa

kamera); TV pintar memonitor dan menyesuaikan kecemerlangan gambar

dan kontras gambar yang dapat diatur.

Menurut para pakar logika fuzzy, keseluruhan dunia fakta---seperti

tinggi (tall) atau gambar-gambar TV---adalah fuzzy. David hume membagi

pernyataan-pernyataan (statements) ke dalam “relasi-relasi dari ide-ide”

(relations of ideas) dan “materi-materi tentang fakta” (matters of fact)

[lihat, GARPU HUME, hal. ....]; yang disebut awal pasti benar, sementara

yang disebut terakhir boleh jadi benar atau salah. Berdasarkan cara

berpikir yang fuzzy, tak ada satupun yang empiris itu bersifat benar

mutlak atau salah mutlak, tapi, benar dalam kadar tertentu atau salah

dalam kadar tertentu. Para pakar sains modern mengakui bahwa teori-

teori dan deduksi-deduksi mereka tidak pernah mutlak pasti, hanya

sangat dimungkinkan demikian (highly probable). Respon yang fuzzy atas

ini adalah probabilitas masih bersandar pada asumsi-asumsi yang tidak

valid, seperti bahwa sebuah partikel adalah atau bukan sesuatu dimana

probabilitas memprediksinya akan menjadi demikian. Para pakar sains

tidak mengatakan bahwa sebuah partikel adalah 70 persen ada dan 30


persen tidak ada, hanya karena ada peluang 70 persen dari total 100

persen. Ini bukan fuzzy.

Yang fuzzy itu adalah: dunia ini berwarna abu-abu. Tak ada satupun

yang murni hitam dan tak ada satupun yang murni putih. Ketika kita

menerapkan alasan hitam-dan-putih pada dunia yang berwarna abu-abu,

kita harus memperlakukan sesuatu sebagai benar hingga kadar tertentu

(katakanlah, bahwa sebuah gelas itu penuh hingga kadar tertentu)

sebagai seluruhnya benar (gelas terisi penuh) atau seluruhnya salah

(gelas itu kosong). Masing-masing langkah dalam proses berpikir ini

membutuhkan semacam penyederhanaan dan oleh karena itu menambah

lapis lain dari kenetralan dan kesalahan. Semakin beralasan anda

terhadap sesuatu, semakin jauh anda akan memperoleh dari kasus yang

aktual ini, bukannya semakin dekat.

Apa saja nilai tambah dari semua ini bergantung pada siapa yang

anda tanya. Paling tidak, logika fuzzy menciptakan mesin-mesin yang

lebih baik; pertanyaannya adalah apakah ia benar-benar setara dengan

suatu revolusi matematika. Para pendukung logika fuzzy ini secara enerjik

membunyikan terompet-terompet mereka sendiri, yang dapat

menimbulkan suara gaduh, terutama ketika logika fuzzy masih sangat

menarik bagi geometri dan aljabar standar, dan ketika mesin-mesin fuzzy

masih menggunakan chip-chip komputer yang memproses data digital

sepasang (binary). Atas dasar ini dan alasan-alasan lain, banyak dari

pakar matematika dan insinyur Barat mempertimbangkan fuzzy sekadar

kata-kata gaduh untuk memberi kesan baik kepada orang-orang awam,

hanyalah anggur lama dalam botol baru. Tapi kemudian, “nyanyian”


mereka berubah begitu Jepang, pada akhirnya, mengubur ekonomi

Amerika.

Le dakan Besar (Big Bang) Hingga


Sampah Besar: Entropi , C hao s, d an
Al as an -al as an L ain A lam S eme sta Ini Ak an
Mel angk ah M enuj u Ner aka

Entropi
Saya menawarkan untuk menyebut besaran S [energi yang tak tersedia untuk
kerja] sebagai entropi dari tubuh, dari istilah Yunani [tropê], transformasi....
Energi dari alam semesta ini bersifat konstan---entropi dari alam semesta ini
cenderung menuju (keadaan) yang maksimum.
Rudolph J.E. Clausius, paper of 1865

Alam semesta ini mungkin telah dimulai dengan sebuah dentuman, tapi ia akan

berakhir dengan sebuah rengekan. Itulah poin tentang entropi, setidaknya

sebagaimana yang telah umum dipahami. Dan sungguh, para pendukung awal

dari konsep ini, seperti William Thomson (Lord Kelvin) dan Hermann Ludwig

Ferdinand von Helmholtz, telah memperingatkan bahwa alam semesta ini

sedang mengarah menuju “panas yang mematikan” (heat death), ketika segala

sesuatunya berada dalam temperatur yang sama dan tak ada satupun hal

menarik yang akan pernah terjadi.


Konsep ini dapat ditelusuri jejaknya pada kemajuan-kemajuan yang

terjadi pada abad ke sembilan belas mengenai termodinamika, studi tentang

hubungan-hubungan antara panas (oleh karena itu thermo-) dan kerja atau

gerak (jadi, dinamika). Para perintis dalam disiplin ilmu ini---seorang

Perancis Nicolas Léonard Sadi Carnot, seorang Jerman Julius Robert von

Mayer, dan orang Inggris James Prescott Joule---mempunyai satu tujuan

umum: menciptakan sebuah mesin uap. Carnot, aktif pada tahun 1820-an,

telah menemukan bahwa kapan saja panas hilang, adalah mungkin untuk

bekerja berdasarkan pada proses ini. Joule, dua puluh tahun kemudian,

menemukan bahwa hal yang sebaliknya juga benar: kapan saja ada kerja,

terdapat juga panas ekstra. Joule dan von Mayer telah mendeduksi secara

terpisah tentang apa yang sekarang dikenal sebagai “Hukum Pertama

Thermodinamika”: energi tidak dapat diciptakan, tidak juga dapat

dihancurkan; ia hanya dapat diubah bentuknya---katakanlah, dari energi

potensial untuk bekerja untuk memanaskan dan kembali lagi.

Pada tahun 1850, warga Jerman lain, Rudolf Julius Emanuel Clausius

(nama panjangnya masih ditambah dengan de rigueur), menambahkan hukum

yang kedua: panas tidak pernah dapat melalui, secara spontan, tubuh yang

lebih dingin ke tubuh yang lebih hangat. Hukum ini kelihatannya sangat

sempurna---jika anda meletakkan air dalam sebuah oven, ia tidak akan

berubah menjadi es. Tapi, dari perspektif para pakar sains yang sedang

mencoba untuk bekerja berdasarkan pada panas, ia mempunyai akibat-akibat

yang penting. Transfer panas dari satu tubuh ke tubuh lain adalah tidak

mungkin untuk dibalik: panas yang anda gunakan untuk memasak seekor

burung turkey, tidak pernah dapat diletakkan kembali ke dalam sebuah oven,
setidaknya, tidak oleh burung turkey itu. dari eksperimen-eksperimen Carnot,

Clausius tahu bahwa kerja terjadi ketika energi (dalam bentuk panas) berlalu

dari sebuah keadaan dengan rangsangan (excitement) yang lebih besar hingga

ke suatu keadaan dengan rangsangan yang lebih kecil---yaitu, dari keadaan

yang lebih hangat menuju keadaan yang lebih dingin. Jadi, panas hanya dapat

digunakan untuk bekerja sebelum ia dimanfaatkan---yaitu, dihilangkan ke

dalam tubuh yang lebih dingin darimana ia tidak dapat diperoleh kembali tanpa

menambahkan lebih banyak energi pada sistem.

Bahkan, anda harus menambah lebih banyak energi lagi pada sistem

daripada yang telah ada dalam energi panas untuk memulai. Ini karena,

sebagaimana yang telah diumumkan oleh Lord Kelvin pada tahun 1851, selalu

terjadi pemborosan dalam transfer panas ini. (Friksi adalah satu sebab yang

utama, tapi bukan penyebab satu-satunya, dari pemborosan ini). Begitu

banyak energi yang dibutuhkan untuk pelaksanaan ide tentang sebuah gerak

mesin secara terus-menerus---untuk tetap menjaga agar mesin dapat terus

bekerja, anda harus terus memompakan energi ke dalamnya, karena tidak ada

proses mekanis yang 100 persen efisien. Setiap kali energi dikonversi dari

satu bentuk (katakanlah panas) menjadi yang lain (katakanlah listrik), akan

ada sedikit energi yang terbuang. Prinsip ini pada umumnya dikenal sebagai

“pemborosan [lenyapnya]energi”: meskipun energi ini tidak dapat diciptakan

atau dihancurkan, ia cenderung untuk lenyap, atau berproses dari suatu

bentuk yang lebih berguna menjadi ke suatu bentuk yang kurang berguna.

Untuk memvisualisasikan mengapa terjadi yang sedemikian ini,

bayangkanlah sebuah kamar yang diisolasi, dimana temperatur di salah satu

sudutnya adalah 80° dan pada sudut lainnya sebesar 20°. Mudah dipahami
bahwa panas akan cenderung untuk mengalir dari sudut yang panas ke sudut

lain yang lebih dingin hingga keseluruhan kamar itu berada dalam satu

temperatur (katakanlah 50°). Yang sedang terjadi adalah bahwa molekul-

molekul udara pada sudut yang panas, yang sedang bergerak ke sekitar

dengan sangat cepat, mulai memantul menjadi molekul-molekul yang

bergerak-lebih lambat pada sudut yang lebih dingin, dengan hasil bersih

bahwa molekul-molekul yang penuh energi ini melepas dan mengirim energi

ke pihak yang lambat dan tidak aktif, dan keduanya memantul-mantul pada

tingkat kecepatan yang sedang. Dengan cukup waktu yang tersedia,

kecepatan dari semua molekul ini akan membagi sama banyak, yang berarti

bahwa keseluruhan dari kamar itu akan mempunyai temperatur yang sama.

Jika anda pintar, anda akan menemukan sebuah cara untuk

menggunakan energi saat ia mengalir, melalui panas, satu sudut menuju sudut

yang lain. Tapi, begitu semua molekul sedang bergerak pada kecepatan yang

sama---begitu temperatur telah merata---anda dapat melupakannya. Ini

karena gerak molekul-molekul akan menjadi sepenuhnya acak. Ketika satu

sudut dari kamar itu panas sedangkan sudut lain dingin, terdapat “tatanan”

(order) tertentu pada keadaan peristiwa ini (kebanyakan dari molekul-molekul

yang penuh energi ada disini, kebanyakan dari molekul-molekul yang lambat

dan tidak aktif ada disebelah sana), dan lebih jauh lagi, terdapat sebuah

tatanan tentang bagaimana energi ini ditransfer (ia bergerak dalam satu arah).

Ketika temperaturnya sama secara menyeluruh, tidak ada lagi tatanan apapun

(molekul-molekul yang penuh energi dan molekul-molekul yang lamban dan

tidak aktif, semuanya saling bercampur), dan tidak ada transfer energi yang

diperintahkan ke arah manapun. Dan untuk mengembalikan temperatur kamar


pada keadaannya yang semula---katakanlah dengan memanaskan satu

sudutnya dan mendinginkan sudut yang lain---akan membutuhkan lebih

banyak energi daripada yang dapat anda peroleh kembali darinya, jika anda

melakukan yang demikian ini.

Dengan tersedianya Hukum Pertama Termodinamika, ini semua

menunjuk pada kesimpulan-kesimpulan yang membuat depresi: sejumlah

energi yang berguna di alam ini perlahan tapi pasti melenyap menjadi energi

yang tak berguna. Ini menarik, misalnya, bahwa matahari mentransfer

energinya kepada bumi sehingga tanaman-tanaman dapat bertumbuh dan

mempertahankan kehidupan, tapi cepat atau lambat, matahari ini akan lenyap

secara perlahan-lahan. Dunia ini, tata surya, dan akhirnya, alam semesta ini,

pada akhirnya, semuanya mencapai bahkan temperatur yang sama. Ketika

tidak ada perbedaan dalam temperatur (tidak ada organisasi panas), tidak ada

kerja atau apapun yang membuat energi dapat terjadi.

Entropi adalah istilah Carnot untuk sejumlah energi yang tak berguna

dalam sebuah sistem---sejumlah energi yang “dilenyapkan”, yang mengalami

kekacauan, atau temperatur yang konstan, yang tidak dapat dikonversi untuk

kerja. Dan ketika dia begitu getir menyatakannya sebagai, “Entropi dari alam

semesta ini cenderung menuju keadaan yang maksimum.”

Tapi, jangan berputus asa—panas yang mematikan adalah sebuah jalan

panjang yang harus dilalui, jika sungguh ia mungkin terjadi. Kelvin dan Carnot

berasumsi bahwa alam semesta ini adalah sebuah sistem tertutup, tapi, dalam

kenyataan, banyak dari teori-teori mutakhir yang menggambarkannya sebagai

berekspansi dan mendinginkan. Ini tidak harus merupakan berita gembira


dalam dirinya sendiri, tapi, ia merumitkan gambaran tentang panas-yang

mematikan (heat-death) ini.

Selanjutnya, pakar fisika Austria Ludwig Boltzmann (1844-1906) telah

menunjukkan bahwa Hukum Kedua Termodinamika adalah tidak bersifat kaku,

tidak seperti pemikiran Carnot tentang hukum fisika yang deterministik.

Sebagaimana telah dia nyatakan, keadaan menyeluruh dari suatu gas (seperti

udara bertemperatur 80° di dalam kamar kita), diukur oleh temperatur dan

volume, ia tidak ditentukan secara tunggal oleh pola khusus apapun dari

aktivitas molekuler. Yaitu, molekul-molekul dalam kamar kita yang dapat

bergerak cepat ke sekitar dengan banyak cara yang berbeda-beda dan kita

masih akan memperoleh temperatur yang sama.

Boltzmann menyebut skenario-skenario ini—pola-pola dari molekul-

molekul yang bergerak sangat cepat ---sebagai keadaan mikro (“micro

states”), dan mendefinisikan suatu “keadaan makro” (“macrostate”)

[temperatur dan volume] bahwa semakin bersifat “mungkin” (“probable”),

semakin keadaan-keadaan mikro dapat menghasilkannya (semakin ia

cenderung, pada akhirnya, untuk menampak secara alami). Entropi,

berdasarkan definisi ini, mengukur probabilitas dari suatu keadaan makro, dan

Hukum Kedua Termodinamika, dengan demikian, menegaskan bahwa sistem-

sistem cenderung menuju suatu keadaan probabilitas yang maksimum.

Tentu saja, ini masih menyisakan kepada kita dengan ketidakteraturan

yang meningkat, jika tidak dengan panas yang mematikan, karena keadaan-

keadaan yang tidak teratur ini adalah jauh lebih mungkin (lebih mudah untuk

menghasilkan) daripada keadaan-keadaan yang teratur. Jika anda mengocok

sebungkus kartu dalam waktu yang cukup, maka kartu-kartu itu akan kembali
lagi secara teratur, tapi dengan melakukan yang demikian sebelum hari

kiamat, ini tidak begitu menjanjikan. Demikian pula, adalah sangat sulit untuk

membuat utuh kembali sebuah telor. Tapi, apa yang diizinkan oleh teori

Boltzmann adalah sebuah peningkatan peluang tentang energi yang berguna

tanpa seseorang harus melakukan sesuatu, sama sekali---alam akan

mengurangi secara bertahap entropi dari sebuah sistem.

Apapun yang terjadi, bahkan jika alam semesta ini sebagai suatu

keseluruhan sedang mengarah menuju chaos, ia akan selalu mungkin untuk

mengurangi entropi secara lokal. Setiap kali anda membersihkan sampah di

ruang kantor anda, anda sedang menghasilkan keteraturan (order) dan

mengurangi entropi, dan hal yang sama akan terjadi pula setiap kali suatu

tanaman berbunga. Keteraturan semacam ini mungkin muncul sebagai biaya

yang harus dikeluarkan dari ketidakteraturan yang terjadi dimana saja, dan

tentu saja, energi yang berguna ini dimanfaatkan (dihabiskan) dalam

prosesnya. Tapi, sebagaimana halnya dengan matahari yang tidak akan

membakar apa saja dengan segera, anda boleh bersorak, dan mengambil apa

yang dapat anda peroleh.

Sib erne tika


(Cy be rn et ics )

merupakan tesis dari buku ini bahwa masyarakat hanya dapat dimengerti

melalui sebuah studi tentang pesan-pesan dan fasilitas-fasilitas komunikasi

yang menyertainya; dan bahwa dalam perkembangan di masa depan tentang


pesan-pesan dan fasilitas-fasilitas komunikasi ini, pesan-pesan antara

manusia dan mesin-mesin, antara mesin-mesin dan manusia, dan antara

mesin dan mesin, telah ditakdirkan untuk memainkan suatu peran yang

semakin meningkat.

Norbert Wiener, The Human Use of Human Beings: C ybernetics and

Society (1950)

“Cyber” adalah suatu awalan (prefix) yang sangat nge-trend dewasa ini,

ucapan terima kasih (layak ditujukan kepada) novelis sains-fiksi, William

Gibson, yang telah menemukan istilah “ruang maya” (cyber space) di

pertengahan tahun 1980-an. Ruang maya adalah lebih dari sekadar tetangga

baru dalam ruang yang biasa ini; ia adalah kuasi-realitas (quasi = seperti),

yang dihasilkan oleh komunikasi jarak jauh melalui komputer, dimana

masyarakat dan data saling berinteraksi dalam cara-cara baru yang aneh.

Dengan munculnya istilah cyber- untuk menamakan orang/hubungan-

hubungan melalui komputer ini, anda mungkin sangat kaget menemukan bahwa

akarnya berasal dari istilah Yunani untuk “manusia yang membimbing”

(“steerman”), kybernêtês (juga akar dari kata “governor” = pemerintah). Dan

dalam kenyataan, penggunaan pertama kalinya dapat ditelusuri hingga tahun

1940-an, bukan tahun 1980-an, ketika seorang pakar matematika Amerika di

M.I.T., Norbert Wiener (1894-1964), telah menemukan istilah “cybernetics”

untuk menggambarkan pengetahuan tentang pengontrolan atau

“mengarahkan” (steerting) persenjataan otomatis dan mesin-mesin lain.

Wiener terutama sangat tertarik dengan kemiripan-kemiripan antara

instruksi-instruksi mesin dengan bahasa dan perilaku manusia. Sebagai


langkah pertamanya, dia mulai menggunakan kata “feedback” (umpan balik)

pada mesin-mesin otomatis. (Penemuannya tentang istilah “cybernetics”

sebagiannya diilhami oleh esai penting pertama tentang feedback dari James

Clerk Maxwell “On Governors”). Feedback adalah, secara singkat, apa yang

anda peroleh ketika anda “mengumpan kembali” hasil-hasil dari operasi-

operasi mesin ke dalam mesin. Misalnya, ketika suara yang dihasilkan melalui

sebuah mikrofon dihubungkan kembali melalui mikrofon itu, kita mengalami

keceriaan dari umpan balik audio.

Tapi, dalam banyak kasus lain dimana feedback itu diharapkan, ketika ia

memungkinkan mesin-mesin untuk beradaptasi daripada hanya sekadar

mengandalkan pada instruksi-instruksi baku. Pemanasan sentral, misalnya,

bekerja berdasarkan prinsip feedback ini. Daripada memompa panas secara

kaku melalui rumah anda pada interval-interval preset, pemanas-pemanas

termostat-yang terkontrol dapat merespon perubahan-perubahan temperatur,

dengan menyalakan (turn on) dan mematikan (turn off) sebagaimana yang

dibutuhkan.

Feedback adalah salah satu elemen penting dari argumen Wiener yang

lebih umum bahwa mesin dan manusia menangani pesan-pesan dengan cara-

cara yang mirip. Sistem syarat pusat, misalnya, mungkin dapat dipahami

dengan cara suatu mesin feedback. Otak kita mengirim impuls-impuls, atau

“pesan-pesan”, kepada otot-otot di tangan, yang menjelaskan kepadanya

untuk menempuh cara ini atau itu setelah menerima “feedback” dari syaraf di

tangan. (Otak memberitahu tangan untuk menggenggam sebuah gelas; tangan

memberitahu otak bahwa gelas ini panas; otak memberitahu tangan untuk
melepas gelas itu; dan seterusnya). Proses melingkar secara terus-menerus

ini adalah basis dari refleks-refleks dan proses pembelajaran.

Kemiripan kunci antara manusia dan mesin, bagi Wiener, adalah bahwa

keduanya (setidaknya jika mesin-mesin itu pintar, maksudnya, yang dapat

menyalurkan feedback) mampu untuk mengorganisir berbagai hal dan

menghasilkan informasi. Dia menggunakan istilah “informasi” dalam

pengertian yang sangat luas, untuk memaksudkan sesuatu yang seperti

“keteraturan” (order). Hukum Kedua Termodinamika menyatakan bahwa

sistem-sistem cenderung untuk menjadi tidak teratur, statis, dan dapat

diprediksi---mereka bersifat “entropik” [lihat hal...]. jika informasi adalah

keteraturan, maka ia berlawanan dengan entropi; semakin tidak teratur atau

semakin dapat diprediksi suatu pesan, semakin kurang informatif ia. “Klise-

klise,” dia menjelaskan dengan contoh, “bersifat kurang memancar

(mencerahkan) dibandingkan dengan puisi-puisi hebat.”

Yang diperoleh Wiener adalah bahwa terdapat suatu unit pengetahuan

tentang informasi dan kontrol---sibernetika---yang menerapkan secara

setara terhadap komunikasi manusia dan mesin. Tapi, bagi pengetahuan ini

untuk dapat mempunyai aturan-aturan umum, seseorang harus meminimalkan

perbedaan kualitas antara manusia dan mesin. Jeleknya, Wiener mencoba

untuk menyingkirkan konsep-konsep seperti “kehidupan”, “jiwa”, dan

“vitalitas” sebagai semantik murni---“julukan-julukan yang meminta

pertanyaan”, dia menyatakan demikian. Untuk tujuan-tujuan studi tentang

pesan-pesan, pikirnya, yang terbaik adalah menghindari konsep-konsep

semacam ini dan “hanya sekadar mengatakan dalam keterhubungan dengan

mesin-mesin bahwa tidak ada alasan mereka ini tidak menyerupai manusia
dalam menghadirkan kembali kantong-kantong yang mengurangi entropi

dalam suatu kerangka dimana entropi secara keseluruhan cenderung untuk

meningkat.” Bahkan, adalah mungkin bagi mesin-mesin, ketika feedback

berakumulasi, untuk “belajar”---satu contoh bagus adalah pesan dari

komputer pad (bantalan lembut) yang secara bertahap dapat mengenali tulisan

tangan pemiliknya.

Doktrin sibernetika adalah basis bagi studi-studi yang lebih mutakhir

tentang kecerdasan buatan atau “AI” (Artificial Intelligence). AI dapat

dimungkinkan hingga kadar pemikiran manusia dapat ditiru secara formal---

yaitu, sebagai suatu perangkat dari intruksi-instruksi yang jelas untuk

memproses informasi. Jika pikiran dapat sepenuhnya direduksi pada

instruksi-instruksi yang demikian ini, maka tidak ada alasan untuk

mengatakan bahwa sebuah mesin yang diprogram secara penuh itu tidak

mempunyai “pikiran” (mind). Banyak pihak yang mendapati ide ini ditolak,

yang mendesak bahwa pemikiran tidak dapat direduksi pada perilaku

mekanistik. Tapi, tak seorang pun yang sejauh ini dapat membuktikan bahwa

fenomena mental---bahkan beberapa hal seperti cinta dan penderitaan---

adalah sesuatu yang lebih dari impuls-impuls syaraf yang diprogram.

Beberapa pihak melihat sebuah solusi dalam Teorema Godel yang Tidak

Lengkap [hal. ...], tapi, tak seorang pun yang dapat diyakinkan.

Teor i Big Bang


Banyak pakar sains yang sangat skeptis mengenai mitos bibel tentang

penciptaan. Tapi penjelasan mereka yang mendukung tentang dari mana surga

dan bumi itu berasal, di permukaan, juga cukup sulit untuk dipercaya. Bahkan,

ketika pakar sains Fred Hoyle menemukan nama “big bang”, terkait hal ini,

dia pikir bahwa dia sedang melawak.

Teori ini membayangkan sebuah masa sekitar lima belas milyar tahun

yang telah lewat ketika semua materi dan energi di alam semesta ini---

keseluruhan “alam semesta” itu sendiri---telah dikonsentrasikan dalam suatu

poin tunggal dari dimensi nol dan kepadatan tak terhingga. Dalam suatu

momen yang sangat tiba-tiba, di mana konsep-konsep seperti “sebelum” dan

“momen” tidak bermakna apa-apa, inti ini meledak, mengeluarkan semua

isinya dalam sekejap mata menjadi ruang dan waktu sebagaimana kita

mengenalnya sekarang. Selanjutnya, alam semesta ini terus-menerus

mengembang dan mendingin, mengizinkan unsur-unsur dan selanjutnya

obyek-obyek konkret untuk membentuk. Ia terus-menerus mengembang dan

mendingin sejak saat itu.

Logika dibalik teori “big bang” ini adalah sesuatu yang seperti logika

dibalik teori “Penggerak Utama” yang sekarang ini telah diragukan dan ditolak

[lihat hal. ...]. Kisah ini bermula dari Arbert Einstein, yang teori umumnya

tentang relativitas (1916) mendesak bahwa alam semesta ini dalam keadaan

mengembang atau mengerut (berkontraksi). Pada mulanya, Einstein merasa

malu oleh dalil ini, ketika dia, seperti semua para pakar astronomi di masanya,

telah beranggapan bahwa ukuran dan bentuk dari alam semeta ini telah baku
atau stabil. Jadi, Einstein mencoba memberi “kosmetik” agar dapat

mengukuhkan (fix) teorinya, sebuah langkah yang dia sesali kemudian.

Dalam kenyataan, hanya satu tahun setelah Einstein mempublikasikan

teori umum relativitas, seorang pakar astronomi Amerika, Vesto Slipher

mempublikasikan penemuannya yang luar biasa dimana setiap obyek yang

terpisah yang dia cermati, tampak bergerak menjauh dari bumi. Bukti yang

tersimpan dalam apa yang disebut dengan “redshift” dalam sepktrum sinar

yang dipancarkan oleh obyek-obyek itu—warna mereka sebagaimana yang

dicermati disini di permukaan bumi ini tampak lebih merah daripada sinar

yang harus dipancarkan oleh obyek-obyek ini. Redshift ini dapat dijelaskan

melalui analogi suara sirine yang sedang lewat. Setiap orang tahu bahwa

raungan dari sebuah mobil ambulans tampak lebih nyaring dalam nada tertentu

(pitch) saat mobil ambulans sedang mendekat dan bunyi sirine yang lebih

rendah dalam nada tertentu saat ia bergerak menjauh. (Pitch [tinggi

rendahnya nada], ditentukan oleh frekuensi dari suatu gelombang suara---

yaitu, jumlah tempo per detik ia mencapai intensitasnya yang terbesar). Ini

disebut dengan Efek Doppler” [Doppler effect], yang mengikuti dari fakta

bahwa gelombang-gelombang suara itu “merentang” jika sumber suara

bergerak menjauh. Hal yang sama berlaku juga bagi sinar: jika sumber sinar

bergerak menjauh dari orang yang memandang, maka sinar itu akan tampak

menjadi lebih rendah frekuensinya, yaitu berwarna lebih merah, daripada

seandainya sumber cahaya itu diam tak bergerak.

Slipher tidak cukup tahu apa yang harus dilakukan dengan penemuan

ini, tapi ia menjadi jauh lebih dipahami ketika, pada tahun 1929, pakar

astronomi Edwin Hubble mengumumkan suatu korelasi antara jarak (distance)


dari suatu obyek dari bumi dan kecepatan (speed) dimana ia bergerak

menjauh dari kita. Dua kuantitas ini, demikian penemuan Hubble, ada dalam

hubungan yang langsung: jika obyek B dua kali jauhnya dari A, maka obyek B

bergerak menjauh dua kali kecepatan obyek A.

Kesimpulan logis yang dapat ditarik---jika anda memikirkan logika

relativitas—adalah bahwa alam semesta ini terus-menerus mengembang.

Untuk sebuah gambaran sederhana tentang mengapa, bayangkan permukaan

sebuah balon ketika seseorang meniupnya. Baik observasi dan geometri

menunjukkan poin-poin ini pada permukaan balon bergerak menjauh lebih

cepat jika ia berjarak lebih jauh. Dalam kenyataan, jika titik B aslinya satu inci

jaraknya dari titik A, dan titik C berjarak dua inci dari A, maka C akan tampak

“menjauh” dari A dua kali lebih cepat daripada yang dilakukan B.

Hal yang sama juga terjadi dengan alam semesta ini, kecuali ia bukan

sebuah balon tiga-dimensi, tapi lebih berupa ruang-waktu kontinum empat-

dimensi. Penemuan dari Einstein ini telah dikaitkan dengan observasi-

observasi Slipher oleh seorang pendeta Belgia dan guru matematika yang

bernama Georges Lemaître yang mencoba pertama kali untuk menelusuri dan

merunut ke belakang tentang pengembangan kosmik. Sebagaimana halnya

dengan Aristoteles dan para pengikutnya yang menelusuri ke belakang ke

tahun-tahun kemunculan pertama kali dari “sebab yang tak disebabkan”,

Lemaître menelusuri jejak proses mengembangnya alam semesta ke belakang

menuju ke asal-usul penciptaannya.

Dengan tersedianya informasi tentang alam semesta ini yang terus-

menerus mengembang sementara total energi masih tetap sama, semakin jauh

kita merunut ke belakang menembus waktu-waktu, semakin padat alam


semesta ini harusnya. Baik materi dan energi---yang berdasarkan pada teori

Einstein adalah saling berubah-ubah---harusnya terkonsentrasi dalam suatu

ruang yang lebih kecil. Semakin awal keadaan dari alam semesta ini, semakin

padat dan lebih panas ia harusnya, ketika panas mengukur rata-rata energi

yang terkandung dalam suatu ruang yang tersedia. Dengan membawa proses

ini menuju kesimpulan logisnya, kita mendapati semua materi dan energi

terkonsentrasi dalam sebuah titik sangat panas yang tunggal, yang oleh

Lemaître disebut dengan “atom zaman purba” (primeval atom). Dan dia

menyebut saat dimana atom mulai mengembangkan “suara yang sangat

gaduh”---nama yang untuk waktu selanjutnya “diperbaiki” oleh Hoyle.

Ini tentu saja sulit, jika tidak mustahil, untuk membayangkan sebuah

permulaan semacam ini, karena istila-istilah seperti “kepadatan tak terbatas”

dan “titik tunggal” menentang segala sesuatu yang kita alami. Dengan

mencoba untuk membayangkan suatu periode waktu sebelum waktu itu eksis

tampaknya larut ke dalam paradoks-paradoks. Tapi, barangkali ini bersifat

membantu untuk memikirkan kesimpulan Einstein, dalam teori umum

relativitas, bahwa gravitasi hanyalah pembelokan dari kerangka ruang-waktu.

Semakin padat sebuah obyek, semakin ia “melengkungkan” (curve) ruang di

sekitarnya, seperti halnya obyek-obyek yang lebih berat, ketika dijatuhkan di

atas permukaan karet yang ketat, lebih melenturkan permukaan karet ini

daripada permukaan karet yang lebih ringan. Pada tahap yang paling awal,

alam semesta yang terbungkus padat tidak “mengandung” semua ruang

sebanyak ia membungkus ruang di sekitarnya menjadi sebuah titik dari

pelengkungan yang tak terbatas. (Semakin kecil sebuah bola, semakin besar

pelengkungan dari permukaannya).


Tak satupun dari ini yang menjelaskan mengapa terdapat suatu

dentuman besar (big bang); ia hanya menegaskan bahwa ia harus terjadi. Dan

apa yang terjadi beberapa detik setelah setelah dentuman besar adalah murni

spekulasi kosmologis, meskipun bukti-bukti semakin menumpuk setiap

harinya (tidak semua darinya konsisten sepenuhnya dengan teori).

Dikembangkan dari gambar yang diajukan oleh pakar sains Rusia-Amerika,

George Gamow di akhir tahun 1940-an, deskripsi standar dari dentuman akan

berlangsung seperti ini:

Pada saat terjadinya dentuman besar, hanya ada satu jenis materi, yang

disebut dengan “partikel-partikel super”, di alam semesta yang sangat kecil.

Partikel-partikel ini saling berbenturan secara keras untuk selama kira-kira

10ˉ⁴₃detik setelah dentuman---yaitu

.0000000000000000000000000000000000000000000000000000000001 dari

satu detik. Namun, kali ini, alam semesta telah mengembang dan oleh karena

itu mendingin hingga pada titik dimana partikel-partikel lain dapat

menampakkan diri dan menjadi cukup stabil untuk menolak benturan-benturan

partikel yang kurang keras sekarang ini. Partikel-partikel baru ini adalah

elektron-elektron, photon-photon, dan quarks7 yang tidak menggumpal secara

efektif. Di waktu alam semesta ini mengalami perwujudan keduanya (secon

old), dan masih cukup panas---kira-kira 10.000.000.000 derajat Kelvin—

beberapa pihak yang lain berpendapat, lebih besar dari itu, partikel-partikel

yang lebih substansial sedang membentuk dan bertahan: neutrinos, proton-

proton, dan neutron-neutron.

Kira-kira dalam 90 detik berikutnya, proton-proton dan neutron-

neutron mulai membentuk nuclei atom, yang berkembang menjadi unsur-unsur


7
Quarks = partikel terkecil yang membentuk atom.
yang paling awal: deuterium pertama, kemudian helium, kemudian lithium dan

beryllium. Dalam pergerakan mereka ke depan, semua unsur-unsur lain yang

telah diketahui telah dibentuk, tapi ini akan membutuhkan waktu sekitar satu

juta tahun. Namun, apa yang hilang dari gambar ini adalah nasib dari neutrinos

ini (dan apa yang disebut dengan “anti-neutrinos”, yang lahir bersama

mereka) yang dihasilkan pertama kali dalam perwujudan alam semesta yang

kedua ini. Berdasarkan pada teori ini, mereka harusnya masih berada di suatu

tempat di latar belakang dari alam semesta ini, meskipun radiasi mereka akan

menjadi dingin sekarang menuju temperatur yang sangat rendah---kira-kira

2.7° Kelvin. Ini yang disebut dengan “radiasi latar belakang” (background

radiation) yang telah diprediksi oleh teori ini, dalam kenyataannya telah

dideteksi pada tahun 1965 oleh dua peneliti dari Bell Telephone, Arno Penzias

dan Robert Wilson.

Penemuan ini adalah konfirmasi eksperimental yang pertama dari teori

big bang secara umum, dan masih terdapat banyak penemuan lain yang

menegaskan tentang hal ini yang melengkapinya dengan beberapa perincian.

Misalnya, pada tahun 1992, pakar sains Amerika George Smoot dengan cara

mengukur radiasi di Antartika, telah menunjukkan bahwa “gumpalan” atau

bentuk yang tak teratur dari alam semesta ini telah eksis dalam “benih”

selama satu juga setengah tahun dari de4ntuman besar ini. Ini sulit untuk

dimengerti, tapi cukuplah untuk mengatakan bahwa mereka mengizinkan kita

untuk menjelaskan bentuk yang dihasilkan dari alam semesta sekarang ini

dalam istilah tentang gravitasi, dan mereka menunjukkan bahwa teori big bang

ini, jelasnya, berada pada jalan yang benar.


Cha os
Chaos, yang berasal dari bahaya Yunani yang berarti “membuka lebar-lebar

kekosongan”, tidak harus merupakan sesuatu yang buruk. Ketika dalam

ketidakteraturan yang murni, terkandung sedikit sesuatu untuk

direkomendasikan; tapi, apa yang dimaksudkan oleh pakar matematika James

Yorke ketika dia meminjam istilah ini pada tahun 1975 adalah ketidakteraturan

yang di-pola (dirancang untuk mengikuti sebuah pola)---sebuah bentuk yang

mendasari ke-acak-an yang tampak. Dan ini adalah sesuatu yang sangat

bagus.

“Teori Chaos”---studi dari semacam ketidakteraturan yang teratur---

menjadi nge-trend hanya di tahun 1980-an, tapi, ia berasal-usul di dalam

mikroorganisme (terutama yang bersifat pathogen) di tahun 1960, ketika

pakar meteorologi M.I.T. Edward Lorenz mengembangkan model-model

komputer yang beradarkan pada pola-pola cuaca. Sebagaimana telah

diketahui oleh setiap orang, cuaca itu sangat sulit diprediksi dalam jangka

panjang, meskipun demikian, kita dapat mengisolasi banyak dari faktor-faktor

yang menyebabkannya. Lorenz, seperti halnya pakar-pakar lain, telah

memikirkan semua yang diperlukan demi berlangsungnya prediksi yang lebih

baik adalah sebuah model yang lebih komprehensif. Lalu, dia menulis sebuah

program yang berbasis pada dua belas ekuasi-ekuasi sederhana yang secara

kasar mengkonstruk faktor-faktor utama yang mempengaruhi cuaca.

Lorenz telah menemukan sesuatu yang mengejutkan: perubahan-

perubahan kecil atau kesalahan-kesalahan (errors) dalam sepasang dari

variasi-variasi yang menghasilkan efek-efek yang janggal dan liar. Selama


beberapa hari, mereka hampir tidak membuat suatu perbedaan; tapi ber-

ekstrapolasi (menarik kesimpulan [informasi yang belum diketahui] dari

informasi yang telah diketahui) setelah berlangsung sebulan atau lebih,

perubahan-perubahan yang menghasilkan pola-pola yang berbeda

sepenuhnya.

Lorenz menyebut penemuannya ini dengan “Efek Kupu-kupu”

(“Butterfly Effect), yang diambil dari judul sebuah paper yang dia publikasikan

pada tahun 1979: “Predictability: Does the Flap of a Butterfly’s Wings in

Brazil Set Off a Tornado in Texas?”Dengan kata lain, dapatkah faktor-faktor

menit pada akhirnya menghasilkan hasil-hasil yang tak dapat diprediksi,

rentang yang luas (far-flung), dan bencana hebat (katastropik)? Lorenz

memanjakan keinginannya dengan sedikit hiperbol karena dia ingin

mendramatisir inti pandangannya. Praktis, seluruh ilmu fisika sebelum tahun

1970-an, memfokuskan perhatian pada apa yang disebut dengan proses

“linier”8---proses-proses dimana perubahan-perubahan kecil menghasilkan

hasil-hasil kecil yang sama. Bahkan sejumlah besar fenomena---bukan hanya

dalam disiplin ilmu meteorologi dan fisika, tapi juga dalam ilmu biologi,

ekologi, ekonomi, dan lain-lain---tidak mengikuti hukum-hukum linier atau

mengikuti formula-formula yang bersifat linier. Proses-proses “non-linier”

adalah yang ekuasi-ekuasinya melibatkan variabel daripada laju perubahan

yang bersifat stabil, dimana perubahan-perubahan di-ganda-kan daripada

ditambahkan, dan dimana deviasi-deviasi kecil dapat mempunyai efek-efek

yang sangat besar.

Langkah selanjutnya menuju sebuah teori tentang chaos, muncul pada

tahun tujuh puluhan ketika Yorke dan rekannya, seorang pakar biologi Robert
8
Linear = Menyerupai sebuah garis lurus, hanya mempunyai satu dimensi (penerjemah).
May, mulai menguji properti-properti dari apa yang disebut dengan “ekuasi

logistik”, yang menyediakan suatu model sederhana bagi pertumbuhan

populasi, diantara hal-hal lain. (Untuk detail-detail yang sangat kompleks,

lihat EKUASI-EKUASI, hal. ....). Cara ekuasi ini bekerja adalah bahwa hasil-

hasil terus dalam keadaan terhubung kembali guna memperoleh hasil-hasil

yang baru, dimana diri mereka sendiri juga terhubung, dan lain-lain. Yang

membuat ini sangat menarik adalah bahwa bergantung pada bagaimana cara

anda memluntir9 sebuah faktor tertentu, apakah hasil-hasil menjadi semakin

dapat diprediksi atau semakin bertambah chaos.

Tapi, bahkan situasi chaos dari ekuasi logistik mempunyai jenis polanya

sendiri yang khas. Sementara anda tidak pernah dapat memprediksi apa hasil

khusus dari menampilkan ekuasi itu jadinya, anda tahu bahwa ia akan jatuh ke

dalam suatu range khusus yang tertentu. (Jika anda membuat grafik tentang

hasil-hasil ini, anda akan melihat suatu bentuk yang stabil dan mantap atau

munculnya pola). Banyak ekuasi-ekuasi lain yang berperilaku serupa, yang

menghasilkan chaos dengan sebuah bentuk---diantaranya adalah ekuasi-

ekuasi yang memperagakan turbulensi cair atau naik turunnya harga kapas.

Ekuasi-ekuasi semacam ini adalah celah (flipside) dari formula cuaca

Lorenz: ke arah mana harga kapas akan menuju di suatu hari yang tertentu

adalah tidak dapat diprediksi (atau kita semua dapat menjadi kaya dengan

memainkan pasar di masa depan); tapi sejarah dari harga-harga kapas

menunjukkan suatu keteraturan tertentu. Nama yang diberikan pada

keteraturan ini adalah “fractal”10: jika anda mem-plot sebuah diagram tentang

fluktuasi-fluktuasi harga dari menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari, minggu
9
Tweak = Menarik sesuatu disertai gerak memutar.

Fractal = Suatu pola geometris yang diulang-ulang pada skala yang paling kecil guna menghasilkan bentuk-
10

bentuk yang tak teratur, yang tak dapat digambarkan oleh geometri klasik.
ke minggu, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun, bentuk dari diagram-diagram

yang paling kasar pola jaringannya (peta dari tahun-ke-tahun) akan

tergambar dalam diagram-diagram yang mencerminkan pola jaringan yang

lebih halus. Sebuah diagram fractal dapat diperbesar sesuai yang anda

kehendaki, dan ia akan sangat menyerupai, dan kadang-kadang mereproduksi

secara persis, bentuk dari gambaran yang lebih luas.

Perilaku semacma ini tentang kurva harga kapas telah ditemukan pada

awal tahun 1960-an oleh seorang kelahiran Lithuania, yang mengenyam

pendidikan di Perancis dan Amerika serta seorang polymath (orang yang

mempelajari banyak disiplin keilmuan), Benoît Mandelbrot. Saat bekerja untuk

IBM, dia menemukan bahwa fenomena lain telah berbagi kualitas fractal dari

harga-harga kapas---misalnya, distrusi dari “suara berisik” (error) dalam

transmisi elektronik. Secara bertahap, Mandelbrot menemukan contoh-contoh

lain dari perilaku yang sama, dengan mengalihkan contoh ke geografi untuk

paper-nya yang sangat orisinal “How Long Is the Coast of Britain?” Ide dasar

dari paper ini adalah bahwa semua jenis dari obyek-obyek alami, seperti

pantai Inggris, mempunyai suatu tingkat kekasaran (roughness) yang terlihat

sama, tak peduli seberapa dekat anda mendekati mereka. Dilihat dari suatu

titik yang jauh, atau dilihat melalui sebuah mikroskop, suatu pantai akan

terlihat tidak teratur---sehingga, tanpa satu indikator pun yang menandai

seberapa jauh sebuah gambar dari pantai telah diambil, ia akan menjadi sulit,

jika tidak mustahil, untuk menjelaskannya.

Untuk menggambarkan kembali tulisan (rekursif) ini, ketidakteraturan

yang mencerminkan-diri (self-reflecting) atau kekasaran, Mandelbrot

memperluas gagasan tentang dimensi matematika. Kita terbiasa berpikir


dalam istilah-istilah tentang dimensi-dimensi integral---satu garis dari

dimensi I, suatu ranah dari dimensi 2, suatu kubus dari dimensi 3. tapi,

Mandelbrot memperkenalkan konsep tentang dimensi-dimensi fractional---

1.3, 2.7, 12.2---untuk menggambarkan pengulangan kembali atau kekasaran

(tidak rata) yang dia lihat di garis-garis pantai dan kurva-kurva harga.

(Pikirkan tentang suatu dimensi fraksional sebagai suatu ukuran tentang

seberapa banyak yang dikonsumsi oleh suatu dimensi total dari sebuah garis

atau bentuk. Semakin kasar sebuah bentuk, semakin banyak ruang yang ia

konsumsi). Pada tahun 1975, dia menemukan istilah “fractal” untuk

menamakan geometri dimensional-fraksional.

Geometri fraktal dan chaos telah menjadi pijakan dan batu loncatan bagi

penemuan selanjutnya oleh pakar fisika Mitchell Feigenbaum di pertengahan

tahun tujuh puluhan, bahwa banyak sistem yang bersifat non-linier yang

tampaknya tidak saling berhubungan, berperilaku dengan cara-cara yang

sangat serupa. Ini mensugestikan bahwa mungkin terdapat sebuah teori yang

menyatukan, yang menjelaskan perilaku chaotic dari sistem-sistem dan

ekuasi-ekuasi dalam seluruh rentang disiplin-disiplin keilmuan. Dan itulah

yang terjadi ketika para pakar sains benar-benar mulai menaruh perhatian.

Chaos masih belum lama kemunculannya, dan ia masih sedang

diperhalus; aplikasi-aplikasi baru telah diteliti atau ditemukan, paper-paper

terus dipublikasikan, keraguan dan demonstrasi [ilmiah] ditampilkan secara

bergantian dan yang berlangsung sangat cepat. Masih saja, teori chaos

memancarkan cahaya pada sistem-sistem perilaku, sistem-sistem paling

murni dari cairan-cairan yang mengalir, yang cenderung pada perubahan

secara cepat dari kondisi yang stabil menuju apa yang tampak sebagai
perilaku chaotic, cara yang ditempuh oleh air dari keadaan sebelum berubah

hingga menjadi mendidih saat temperaturnya naik sedikit. (Pada temperatur

99.5° c, air baru saja panas; pada temperatur 100.5°, keadaan air sedang

berubah, menjadi gas). Jargon ini dapat mengintimidasi---hal-hal sedemikian

ini yang menjadi “penarik-penarik asing” (strange attractor) adalah sulit

untuk dijelaskan. (Mereka, pada dasarnya, adalah bentuk-bentuk yang

membatasi kurva-kurva yang tidak mengekspresikan diri dengan cara yang

sama, jika itu adalah bantuan). Dan ide-ide semacam ini sebagai “dimensi

fraksional” adalah cenderung untuk terlihat sangat tidak konvensional atau

abstraksi yang tidak ada gunanya---tapi dalam kenyataan, geometri fractal

mempunyai banyak aplikasi-aplikasi praktis. Sebagaimana dijelaskan oleh

James Gleick dalam buku populernya tentang chaos, dengan mengukur

dimensi fractal dari permukaan logam, akan memberitahu anda tentang

kekuatannya. Permukaan bumi ini mempunyai suatu dimensi fractal,

sebagaimana halnya dengan pembuluh-pembuluh darah dalam tubuh anda.

Bahkan, otak manusia dan kesadarannya, sangat mungkin mempunyai bentuk-

bentuk fractal. Geometri fractal telah diadopsi di tempat-tempat seperti

General Electric, Exxon, dan studio-studio Hollywood, bukan kelompok yang

dikenal karena memanjakan teori yang murni.

Apakah Anda Mempunyai Kedua


Mata Ibu Anda?:
Evolusi dan Genetika
Ontogeni merekapitulasikan Filogeni
11 12

Ontogenesis atau perkembangan organik dari individu---sebagai serangkaian dari


perubahan-perubahan dalam bentuk yang setiap individu lewati selama keseluruhan
periode dari eksistensi individualnya--- adalah langsung terkondisi oleh filogenesis
atau perkembangan dari persedian organik (Phylon) kemana ia termasuk....
Ontogenesis adalah rekapitulasi pendek dan sangat cepat dari filogenesis, yang
disebabkan oleh fungsi-fungsi fisiologis dari keturuan (reproduksi) dan adaptasi
(pengasuhan).
Ernst Heinrich Haeckel, General Morphology of Organisms (1866)

Apakah spesies-spesies secara esensi masih tetap sama atau apakah mereka
berubah? Bagaimana suatu organisme bertumbuh dari embrio hingga menjadi orang
dewasa? Dua pertanyaan yang sangat jelas ini tampaknya menemukan jawaban
bersama dalam teori bahwa “ontogeni merekapitulasikan filogeni” (sebuah teori yang
sekarang ini telah ditinggalkan).
Dalam bahasa Inggris yang mudah dimengerti, ide ini menyatakan bahwa
sejarah dari perkembangan sebuah organisme (“ontogeni”-nya) mengulangi
perkembangan evolusioner dari spesies-spesies-nya (“filogeni”). Untuk mengatakan
bahwa jika para nenek moyang evolusioner manusia itu mencakup ikan dan monyet,
maka, pada titik yang berbeda dalam pertumbuhannya, embrio manusia akan
menyerupai ikan dewasa dan menyerupai seekor monyet dewasa. Ide ini telah
dikembangkan pada tahun 1860-an oleh pakar zoologi Jerman, Ernst Haeckel (1834-
1919), yang menyebutnya “hukum bio-genetika”; ringkasan bahasa Inggrisnya:
“ontogeni merekapitulasikan filogeni”, yang dimuat dalam jurnal Quarterly Journal
of Microscopical Science pada tahun 1872. (Haeckel menemukan istilah “ontogeni”
dan “filogeni”, seperti halnya istilah sekarang yang lebih akrab: “ekologi”).
Dibalik teori Haeckel adalah pertanyaan yang sudah sangat lama tentang
bagaimana organisme mengambil bentuk. Sebagaimana dijelaskan oleh Aristoteles,
pakar zoologi yang pertama, embrio-embrio binatang, pada awalnya, tampak tak
berbentuk. Dia cenderung untuk meyakini bahwa pertumbuhan berlangsung dalam
tiga tahap yang jelas, dimana selama tahap-tahap itu, suatu bentuk baru yang
dikesankan dari luar pada embrio ini.

Ontogeni = Asal-usul dan perkembangan dari suatu organisme individual. Juga disebut dengan Ontogenesis
11

(Penerjemah).

Filogeny (Phylogeny) = Perkembangan evolusioner dari suatu spesies binatang atau tumbuhan. Disebut juga
12

dengan phylogenesis (Penerjemah).


Bertentangan dengan teori ini, yang mempengaruhi selama berabad-abad,
teori lain telah dikembangkan pada abad delapan belas. Disebut dengan “pra-
formasionisme” (preformationism), ia menganut pendapat bahwa organisme dari
konsepsi mengandung bentuk dewasa yang lengkap, yang terbentang dalam waktu.
Jadi, embrio manusia sejak dari garis start-nya telah mempunyai sepasang lengan,
kaki, paru-paru, mata, telinga, dan seterusnya, hanya saja masih dalam versi yang
primitif. Tidak ada bentuk yang perlu dibebankan dari luar; segala sesuatunya telah
ada disana, hanya menunggu untuk tumbuh. Ironisnya, proses ini adalah apa yang
dimaksudkan oleh para pakar biologi, pada mulanya, sebagai “evolusi” (secara
harfiah berarti “membuka gulungan”), meskipun demikian, ia bertentangan dengan
apa yang kita maksudkan sekarang ini dengan “evolusi”.
Preformasionisme mengalami keterpurukan saat peralihan abad sembilan
belas, ketika para filosuf, ilmuwan, dan penyair dan semacamnya, mulai memandang
dunia ini bukan sebagai telah dibentuk sebelumnya (preformed) atau yang bersifat
statis, tapi sebagai suatu proses dinamis yang konstan, sebagai perubahan yang
progresif. Pada waktu yang sama, ide-ide “Romantik” yang lain juga dianut,
diantaranya adalah keyakinan tentang kesatuan esensial manusia dengan seluruh
alam ini. Diilhami oleh ide-ide semacam ini, sekelompok pakar biologi Jerman yang
dikenal sebagai para filosuf natural (Naturphilosophen) pertama kali mengajukan
sejenis rekapitulasi biologis.
Sebagaimana mereka telah membayangkannya, manusia adalah makhluk
terhebat dan paling maju di muka bumi ini, tujuan dimana seluruh Alam ini selalu
diperjuangkan dan terhadapnya (manusia) ia disatukan. Dengan pengandaian bahwa
Alam beroperasi, sebagaimana yang mereka asumsikan, berdasarkan pada hukum-
hukum yang selalu sama dan universal, manusia harus menghadirkan kembali tahap
yang paling maju dari suatu perkembangan organik yang dibagi bersama dengan
semua makhluk. Semua organisme yang lebih rendah, demikian kesimpulan dari
Naturphilosophen, hanyalah aproksimasi-aproksimasi (sangat mirip) secara
sebagian (tidak lengkap) dengan manusia, dan manusia adalah tahap akhir dalam
suatu proses kesempurnaan. Jadi, ketika manusia bertumbuh dari sejak embrio
hingga menjadi bayi yang baru lahir, ia harus melalui semua aproksimasi-
aproksimasi yang lebih rendah untuk mencapai tingka yang lebih tinggi, sementara
binatang-binatang yang lebih kecil telah dibakukan dalam suatu keadaan
perkembangan yang tertahan.
Teori ini---yang tidak secara pasti merampas dunia ini dengan serangan tiba-
tiba---masih tidak beranjak terlalu jauh dari teori Haeckel. Karena semua yang telah
dikatakan oleh Naturphilosophen ini adalah bahwa embrio manusia melewati tahap-
tahap yang dilalui oleh organisme-organisme lain di masa sekarang ini. Selanjutnya,
sementara masing-masing dari spesies-spesies yang “lebih tinggi” ini menghadirkan
kembali sejenis langkah evolusioner yang melampaui spesies-spesies yang lebih
rendah, spesies-spesies itu sendiri tidak berubah sepanjang waktu. Versi evolusi yang
lebih akurat dari Haeckel tentang teori ini telah diilhami, tentu saja, oleh karya
Charles Darwin Origin of Species (1859), yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Jerman pada tahun 1860.
Pada permukaan, tak ada satupun yang mustahil tentang tesis ini. Embrio-
embrio manusia mempertahankan keunggulan sifat-sifatnya (features) [seperti
halnya insang-insang] yang adalah relics (tumbuh-tumbuhan atau hewan purba yang
masih tetap hidup) evolusioner dan yang mengalami kepunahan atau yang
digantikan ketika janin berkembang. Jika alam ini bersifat ekonomis dan tidak
mengupayakan hukum-hukum atau proses-proses yang tidak ia perlukan, maka,
akan menjadi masuk akal bahwa proses melewati dari yang sederhana menuju
kompleksitas akan menduplikasi evolusi dari organisme yang sederhana menuju ke
organisme yang lebih kompleks. Haeckel bahkan meyakini bahwa evolusi (filogeni)
secara langsung telah menyebabkan jalan ontogeni.
Tapi, pada pengujian secara lebih jauh, gagasan ini terbukti tidak mencukupi
persyaratan (inadequate). Masalah terbesarnya adalah teori evolusi Haeckel. Dalam
pandangannya, suatu spesies berkembang dengan cara beradaptasi dengan
lingkungannya dan kemudian dengan melewati perubahan-perubahan yang
dihasilkan menuju generasi berikutnya. (Posisi ini dikenal sebagai “Lamarckisme”).
Ketika ditunjukkan kemudian bahwa evolusi bergantung pada (pada esensinya
bersifat acak) mutasi genetika, seringkali pada tahap-tahap perkembangan yang
paling dini, permadani telah digulung dari bawah biogenesis. Karena, jika evolusi
“terjadi” untuk berbicara secara longgar) menuju ke permulaan dari ontogenesis---
yaitu, jika gen-gen bermutasi secara dini di dalam suatu perkembangan embrio---
maka rekapitulasi akan gagal. Karena, teori Haeckel, pada dasarnya, menyatakan
bahwa filogenesis adalah additive (suatu substansi yang ditambahkan dalam jumlah
kecil pada sesuatu yang lain untuk meningkatkan atau memperkuatnya)---yaitu,
anda mengambil serangkaian langkah-langkah evolusioner dan menambahkan
sesuatu yang baru di akhirnya.
Jika menyangkut apa saja, maka, filogeni merekapitulasikan ontogeni. Yaitu,
ketika perkembangan dari suatu organisme menyimpang dari jalur yang normal
yang evolusi dari spesies menjadi mungkin. Dewasa ini, para pakar biologi melihat
dengan lebih bersemangat pada karya dari Karl Ernst von Baer, seorang warga
Jerman yang mengkritik Naturphilosophen (dan juga, secara kebetulan, selanjutnya
mengkritik Darwin). Pada tahun 1820-an, von Baer mencatat bahwa perkembangan
embrionik itu tidak bersifat seragam atau paralel diantara hewan-hewan, tapi lebih
beragam sifatnya. Semua embrio-embrio vertebrata (hewan yang mempunyai tulang
belakang), misalnya, pada dasarnya, terlihat serupa di awalnya, karena mereka
memulai sesuatu dalam keadaan mereka yang paling generik dan tidak berbeda. Dan
jika kita membandingkan perkembangan embrionik dari spesies-spesies yang
berbeda, kita melihat bahwa mereka tidak mengikuti garis-garis yang paralel, tapi
lebih berupa, secara progresif, menyimpang dari yang umum menuju ke yang
khusus, dengan tujuan akhir untuk menghasilkan tingkat perkembangan yang penuh
dari spesies itu. yaitu, masing-masing spesies mengikuti jalannya sendiri, yang
semakin menyempit dan sangat khas dari tahap telur hingga dewasa. Divergensi dari
spesies-spesies lain, bukan repetisi (proses mengulang-ulang) dari mereka, inilah
aturannya.
Atas dasar ini dan karena alasan-alasan lain, rekapitulasi secara resmi ditolak
oleh para pakar biologi (meskipun dalam sketsa yang kasar, ia tampak memiliki
beberapa kebenaran). Namun demikian, teori Haeckel menyebar melalui ilmu-ilmu
pengetahuan dan ilmu-ilmu humaniora dan tidak pernah ditinggalkan seluruhnya.
Carl Jung, yang reputasinya sedang menanjak, menggabungkannya ke dalam
teorinya tentang “alam bawah sadar kolektif” [lihat hal. ...]. Yang juga tidak kurang
otoritatifnya adalah DR. Benjamin Spock yang mempertahankan ide ini dalam buku
kecilnya (sebagai referensi) yang populer tentang pengasuhan anak, dan juga yang
tidak kurang terhormatnya adalah seorang ilmuwan Stephen Jay Gould yang telah
menulis sebuah buku di tahun tujuh puluhan yang mempertahankannya.
Rekapitulasi mungkin sama sulitnya dengan mengguncang ide tentang kemajuan
(progress) itu sendiri.

Evolusi (“Survival of the Fittest”)

Meskipun banyak orang beradu argumen dengan sangat panas tentang validitasnya,
beberapa pertanyaan yang teori evolusi telusuri jejaknya pada karya orang Inggris
Charles Darwin (1809-1882). Tapi, sementara Darwin, sungguh, telah memberinya
suatu basis ilmiah yang tegas, dia hampir saja bukan yang pertama yang mengajukan
gagasan ini.
Satu abad sebelum Darwin, seorang naturalis Perancis Georges Buffon, telah
menulis secara luas tentang kemiripan (terutama dalam penampilan) diantara
beragam spesies burung-burung dan hewan-hewan berkaki empat. Mengobservasi
dengan sangat teliti kemiripan-kemiripan semacam ini dan juga berbagai hal yang
umum terjadi secara alami yang tampaknya peralatan-peralatan (features) anatomis
yang tak berguna (seperti satu jari kaki pada babi), Buffon menyuarakan keraguan-
keraguan bahwa setiap spesies telah dibentuk secara unik oleh Tuhan pada hari
kelima dan keenam penciptaan. Buffon memberi sugesti dalam bahasa yang sangat
hati-hati, setidaknya, jenis terbatas tentang evolusi yang akan dianggap sebagai
varian-varian diantara spesies-spesies yang serupa dan karena anomali-anomali
yang alami sifatnya. Tapi, sugesti Buffon tampaknya terlalu berhati-hati, dan apapun
yang terjadi, zaman masih belum siap untuk mempercayainya.
Satu generasi setelah Buffon, kakek Darwin, Erasmus Darwin, sebenarnya
telah mempublikasikan seubah teori eksplisit tentang evolusi alami, dengan
berspekulasi dalam bukunya Zoonomia (1794-1796) bahwa semua organisme-
organisme yang hidup mempunyai nenek moyang yang sama. Darwin yang lebih tua
telah berada pada jalur yang benar, dan dia telah mampu untuk menarik contoh-
contoh dari pengalaman yang umum (misalnya, tentang reproduksi yang selektif dan
pewarnaan yang protektif), tapi di bagian akhir dari pemikirannya, tidak semuanya
koheren. Sungguh, ia gagal untuk meyakinkan, bahkan, cucunya sendiri.
Lebih masuk ke pokok pembicaraan kita adalah teori-teori dari naturalis
Perancis, Jean Baptiste de Monet, the Chevalier (Ksatria, Bangsawan terendah di
Perancis) de Lamarck (1744-1829). Lamark telah menghadirkan sebuah teori yang
koheren, dalam Philosophie zoologique (1809)---yaitu, bahwa spesies-spesies
cenderung untuk beradaptasi pada tuntutan-tuntutan dari lingkungan mereka. Jadi,
hewan jerapah, misalnya, telah mengembangkan lehernya yang panjang karena
pohon-pohon yang sangat tinggi dalam habitat aslinya; ular-ular kehilangan kaki-
kaki mereka karena mereka tidak membutuhkan mereka untuk pergi ke sekeliling.
Singkatnya, jika suatu organisme yang hidup membutuhkan sesuatu untuk dapat
bertahan (survive), ia akan mengembangkannya; dan jika ia tidak menggunakan
organ-organ dari anatominya, ia akan kehilangan organ-organ itu.
Lamarck berpengaruh sangat besar pada Darwin yang lebih muda, tapi,
pengaruh ini kebanyakan bersifat negatif. Dalam kenyataan, teori Darwin pada
akhirnya diajukan, dalam The Origin of Species (1859), secara diametris menentang
Lamarckism. Dalam skema Lamarck, ketika lingkungan berubah, spesies
berkembang agar tetap dapat bertahan hidup; dalam teori Darwin, spesies
berkembang sebagaimana adanya, dan lingkungan menentukan apakah mereka
dapat bertahan hidup atau tidak. Dia meyakini seleksi alami, yang lebih dikenal
dengan “survival of the fittest”: sifat-sifat yang dikembangkan secara baru akan
dapat bertahan jika sifat-sifat ini membuat spesies lebih “cocok” dengan alam.
Teori-teori Darwin, aslinya, tumbuh berdasarkan pada lima tahun ekspedisi
pemetaan pada tahun 1830-an di atas kapal H.M.S. Beagle. Dengan mengunjungi
ujung-ujung dunia yang jauh, mulai dari Cape Verde Islands hingga Brazil dan New
Zealand, dengan mengkoleksi fosil-fosil dan serangga-serangga, dengan mempelajari
geologi, dan mengangkut catatan-catatan yang sangat berlimpah, Darwin secara
perlahan, membentuk teori tentang seleksi evolusinya. Dengan mencermati variasi-
variasi diantara burung-burung di kepulauan Galapagos, dia menduga bahwa
mereka semua harusnya telah berkembang dari suatu spesies tunggal, dan bahwa
masing-masing dari spesies-spesies baru ini telah sangat beradaptasi dengan satu
jenis diet. Dan sangat terkesan dengan bukti yang mengelilinginya bahwa
permukaan bumi ini secara bertahap telah dan masih membentuk selama berabad-
abad (melalui erosi, proses perjalanan glasial, dan lain-lain), Darwin mengetahui
secara intuitif bahwa banyak spesies di bumi ini mungkin juga telah mencapai
keadaan mereka sekarang ini melalui suatu proses evolusi secara bertahap.
Tapi, proses ini, pikirnya, masih jauh dari tenang. Dipengaruhi oleh ide-ide
yang pesimistik dari Thomas Malthus, yang telah melukis sejarah kemanusiaan
sebagai suatu perjuangan penuh persaingan demi makanan dan sumber daya-
sumber daya (resources) lain, Darwin telah sampai pada ide bahwa evolusi juga
sejenis persaingan. Ketika spesies-spesies baru secara bertahap dan secara alami
berkembang, mereka mendapati diri mereka saling berkompetisi dengan spesies-
spesies yang lebih tua demi makanan, wilayah, dan perlindungan dari binatang-
binatang predator. Karena sumber daya-sumber daya alam ini terbatas, dan spesies-
spesies kehidupan yang baru yang potensinya tak terbatas, alam harus menerapkan
sejenis pembatasan pada keragaman alami. Itulah yang paling cocok bagi tantangan-
tantangan dan pembatasan-pembatasan alam, simpul Darwin, telah dapat bertahan
untuk mereproduksi kembali spesies-spesies mereka.
Tapi, Darwin, seorang manusia dengan sikap berhati-hati dan kurang percaya
diri terkait penerimaan teorinya, menghabiskan beberapa tahun untuk memelihara
burung dara dengan harapan dapat menghasilkan bukti yang tampaknya benar
tentangnya. Sementara itu, seorang warga Inggris muda lain, Alfred Wallace, secara
independen telah sampai pada sebuah teori yang praktis identik dengan teori
Darwin, dan ini mendorong semangat yang disebut terakhir ini untuk akhirnya go
public. Darwin mempresentasikan sebuah paper ringkasan (summary paper) pada
tahun 1858 dan kemudian secara terburu-buru mempublikasikan Origin of Species-
nya satu tahun kemudian; ia kemudian menjadi best-seller dalam waktu singkat.
Kontroversi tentang teori evolusi telah dimulai.
Sebagai tambahan terhadap teori yang sangat layak memperoleh perhatian
ini, Darwin menawarkan bukti empiris. Dia berargumen bahwa organ-organ yang
berhenti proses pertumbuhannya (atrophied), seperti usus buntu pada manusia dan
sayap-sayap penguin, telah mengimplikasikan spesies keturunan yang harusnya
telah menggunakan mereka. Dia juga mencermati bahwa embrio-embrio dari hewan-
hewan vertebrata---mamalia, reptil, dan burung-burung---praktis mustahil untuk
membedakan mereka di tahap-tahap pertumbuhan yang paling dini, dan bahwa
embrio manusia mempunyai ekor yang merupakan sisa dan tidak berguna lagi dan
insang-insang.
Darwin menumpuk argumen-argumen lain yang lebih dari cukup, semua dari
argumen-argumen ini bergantung pada keadaan tapi cukup meyakinkan hasilnya.
Namun bukti yang berlimpah ini dan argumen yang sangat berhati-hati, tidak
menjamin penerimaan yang hangat bagi Darwin. Hanya sedikit yang
menyambutnya, tapi banyak yang menentangnya, terutama ketika ia (teori) tampak
menjijikkan bagi martabat kemanusiaan (tidak untuk menyebutkan keyakinan
agama) bahwa manusia mungkin telah berkembang dari bentuk-bentuk kehidupan
yang lebih rendah (monyet adalah hewan yang seringkali dikutip).
Tapi, waktu, dan selanjutnya penemuan-penemuan arkeologis, akan
menjelaskan keberpihakan pada evolusi. Ia masih tetap sekadar sebuah “teori”---
berdasarkan sifat sejatinya, rahasia-rahasianya telah terkubur bersama waktu dan
operasi-operasinya berjalan sangat lamban, ia tidak pernah dapat “dibuktikan”
seperti halnya prinsip-prinsip mekanistik dapat membuktikan diri. selama
keyakinan tentang kitab suci yang secara harfiah benar ini menentang, evolusi tidak
akan pernah diterima oleh semua pihak; dan, sungguh, masih ada masalah-masalah
dengan teori ini, bahkan pada tingkat ilmiah. Teori ini, seperti halnya teori-teori
Freud, mempunyai masa pasang surut selama bertahun-tahun, tapi, ini sepertinya
bahwa ide hebat ini akan---sebagaimana ia beradaptasi dengan data-data baru---
dapat bertahan dalam pasar kompetitif dari ide-ide ilmiah.

Hukum-hukum Mendel (Genetika)

Teori Darwin tentang seleksi alam benar-benar hebat sejauh ia melangkah, tapi, ia
dengan cepat menemui kendala yang serius. Menurut rekan-rekan Darwin, sifat-sifat
dan karakter diwariskan oleh orangtua kepada anaknya dengan acuan yang sama;
seorang ibu yang cerdas dan ayah yang bodoh, dengan demikian, akan menghasilkan
anak-anak dengan kecerdasan rata-rata. Ini menghadirkan masalah bagi seleksi
alam; karena, bahkan jika individu yang “superior” menampak dalam spesies, maka,
sifat-sifat dari individu superior ini secara bertahap akan dilemahkan melalui
reproduksi. Bahkan, Darwin telah terkendala oleh hal ini, dan sebagai responnya, ia
memodifikasi teorinya, dengan menggabungkan proposisi Lamarckian yang
mendidik, seperti halnya alam, harus membimbing perkembangan individual.
Namun, Darwin, telah mengandaikan bahwa perubahan-perubahan
evolusioner terjadi secara bertahap; hipotesa ini segera terbukti sebagai salah.
William Bateson di Inggris dan Hugo de Vries di Belanda telah menemukan bahwa
spesies tampaknya berkembang secara tiba-tiba, langkah-langkah yang tidak
kontinyu, yang disebut dengan “mutasi-mutasi” oleh de Vries pada tahun 1900.
Di tahun yang sama, de Vries secara kebetulan menemukan beberapa paper
yang telah dipublikasikan satu generasi sebelumnya oleh pendeta Austria, Gregor
Mendel (1822-1884). Meskipun karyanya telah diabaikan di masa hidupnya, Mendel,
bekerja dengan tanaman-tanaman kacang polong yang sederhana, telah berupaya
untuk menyingkap hukum-hukum tentang keturunan yang akan me-revolusionerkan
biologi dan menyediakan pondasi-pondasi bagi genetika.
Selama tujuh tahun, sejak dari tahun 1856 hingga 1863, Mendel meng-hibrida
(menyilang) dan menghibrida dengan cara mengawinkan dengan jenis lain
(interbred) tanaman-tanaman dengan sifat-sifat yang berbeda-beda---tanaman-
tanaman yang tinggi menjulang dengan tanaman-tanaman yang sangat rendah,
kacang polong kuning dengan kacang polong hijau, dan lain-lain. Dia mencermati
dengan penuh rasa takjub bahwa sifat-sifat semacam ini bersifat tidak biasa atau
dilemahkan, tapi tetap berbeda: keturunan hibrida dari tanaman yang menjulang
tinggi dan tanaman-tanaman yang sangat rendah selalu menghasilkan tanaman
yang menjulang tinggi, bukan berukuran sedang. Kacang polong kuning yang
disilangkan dengan kacang polong hijau menghasilkan kacang polong kuning, bukan
kuning yang kehijau-hijauan. Bahkan yang lebih menarik lagi, ketika Mendel meng-
hibrida dengan cara mengawinkan dengan tanaman hibrida yang tinggi menjulang,
generasi selanjutnya masih memiliki karakter-karakter yang berbeda yang
ditemukan dalam tanaman-tanaman yang merupakan “kakek” mereka: kebanyakan
tanaman ini tinggi menjulang, tapi seperempat tanaman tumbuh dengan ketinggian
sangat rendah. Demikian pula, tanaman-tanaman generasi ketiga dari persilangan
kacang polong kuning/hijau yang menghasilkan 75 persen kuning dan 25 persen
hijau.
Mendel segera menderivasikan matematika dibalik fenomena ini. Tanaman-
tanaman, seperti halnya hewan mamalia, mempunyai dua “orangtua”, dan masing-
masing tampaknya memberi kontribusi sifat-sifat (tinggi atau pendek, kuning atau
hijau) bagi generasi-generasi selanjutnya. Jadi, sementara ke-pendek-an tanaman
mungkin lenyap di tanaman generasi kedua, ia akan menampak kembali dalam
beberapa tanaman dari generasi ketiga; dengan demikian, tanaman generasi kedua
(hibrida yang menjulang tinggi) masih harus membawa “instruksi-instruksi” untuk
menghasilkan keturunan yang pendek. Dalam kenyataan, instruksi-instruksi
semacam ini harus muncul secara berpasang-pasangan, satu dari masing-masing
orangtua, dan satu unsur dari pasangan ini mewariskan ke masing-masing
keturunan dari generasi ketiga.
Mendel menyebut ini dengan “hukum segregasi”: sifat-sifat yang diturunkan,
diwariskan oleh masing-masing orangtua secara sama, dan daripada saling
bercampur bersama, mereka masih tetap terpisah. Yaitu, masing-masing sifat ini
dihasilkan oleh sepasang instruksi-instruksi, dengan instruksi-instruksi “dominan
menentukan bagaimana sang keturunan terlihat dan instruksi-instruksi yang
“cenderung untuk melangkah mundur” (recessive) dan sedang tertidur. (Sifat-sifat
yang melangkah mundur hanya tampak ketika kedua faktor ini dalam suatu
pasangan bersifat resesif).
Selanjutnya, menurut “hukum klasifikasi independen” Mendel, orangtua yang
mana yang memberi kontribusi, faktor yang mana yang diperintah hanya oleh
hukum-hukum tentang faktor-faktor kebetulan---faktor-faktor yang dominan adalah
tidak lagi cenderung untuk diwariskan daripada yang resesif. Sifat-sifat yang
diturunkan juga bersifat independen: instruksi-instruksi untuk menjulang tinggi tak
ada kaitannya dengan instruksi-instruksi untuk warna.
Meskipun keturunan ini biasanya jauh lebih kompleks ketimbang kacang-
meng-hibrida kacang polong, Mendel telah menemukan secara kebetulan suatu
prinsip genetik yang fundamental. Begitu penemuan-penemuan Mendel dikawinkan
dengan biologi sel, genetika muncul sebagai suatu disiplin keilmuan. Dengan
peningkatan-peningkatan dalam mikroskop, para pakar biologi mampu
mereproduksi dengan membagi dua, dan bahwa masing-masing menghasilkan sel
yang menurunkan separuh dari masing-masing kromosom dari yang asli. Pada tahun
1870-an, juga telah ditemukan bahwa ketika sperma melakukan pembuahan
(fertilasi) sebuah telur, kromosom-kromosom saling berkombinasi.
Dua observasi ini secara bersama-sama telah menjelaskan mekanisme dasar
tentang keturunan. “Faktor-faktor” Mendel pada akhirnya diberi nama baru “gen-
gen”, dan telah ditemukan bahwa masing-masing pasangan dari kromosom-
kromosom dalam sebuah sel membawa beberapa keping informasi genetika. Secara
keseluruhan, genetika telah dibentuk menuju garis Darwinian yang dimodifikasi:
evolusi kadang-kadang berproses melalui mutasi secara tiba-tiba (tapi kecil dan
bertahap), dengan sifat-sifat baru yang diwariskan secara genetis, tapi, kebanyakan
melalui variasi genetis yang alami (kombinasi kembali gen). Dalam kasus lain, alam
“menyeleksi” perubahan-perubahan yang mendukung untuk kelanjutan hidupnya
dan menolak perubahan-perubahan yang menimbulkan pengaruh sangat buruk
(seperti mutasi-mutasi radikal secara umum).
Pada sisi lain, beberapa pakar biologi (misalnya, kaum materialis di Uni
Soviet awal) mengambil posisi yang lebih Lamarckian: bahwa lingkungan
(mengolah) mempengaruhi perkembangan dan bahwa perubahan-perubahan yang
berkaitan dengan lingkungan adalah diwariskan secara genetis. Eksperimen yang
ketat tidak memperkuat atau mendukung teori Lamarckian. Yang dalam satu cara
adalah terlalu buruk, karena evolusi Darwinian adalah lebih pada spesies yang kasar
(seperti dinosaurus) yang tidak diadaptasikan secara genetis pada lingkungan yang
berubah sangat cepat. Dunia ini pastinya akan menjadi lebih menarik jika, melalui
suatu proses Lamarckian, lebih banyak spesies yang mampu untuk bertahan melalui
zaman-zaman.

HUMAN SCIENCES
Oedipus, kurang Kompleks: Psikologi

Sebuah Respon A la Pavlov

Laporan ini tidak ragu-ragu untuk menyebut nama-nama, sebuah


prosedur yang secara tak terhindarkan, akan mengeluarkan respon
Pavlov dari golongan Kiri untuk mengejeknya sebagai ketakutan
“Golongan Merah dibawah kasur.”

The Daily Telegraph, 8 Feb. 1974


Nama Pavlov mungkin membuat anda ingin berteriak: “Anjing-anjing!” kita

akan menyebut ini sebagai respon Pavlov, tapi itu akan terlalu

menyederhanakan poin inti yang dibuat oleh fisiolog Rusia, Ivan Pavlov

(1849-1936). Yang paling bertanggung jawab atas kesalahan ini adalah

koran Inggris The Daily Telegraph, yang memperkenalkan sebuah

ungkapan baru “Respon a la Pavlov” pada tahun 1974 (ungkapan-

ungkapan seperti “pengkondisian a la Pavlov” dan “Sistem a la Pavlov”

sudah ada terlebih dahulu), menggunakannya sekadar sebagai equivalen

dengan “reaksi yang dapat diprediksikan.”

Pavlov sendiri sebenarnya lebih tertarik pada perilaku yang tak

terduga atau yang bertentangan dengan insting. Ia pertama kali menulis

(dan memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1904) dengan karya yang

kurang menarik tapi sangat penting tentang sekresi dari cairan-cairan

perut. Pavlov menemukan bahwa sementara, organ pankreas berfungsi

kapan saja anda mulai makan hamburger, yang dapat diprediksi, ia juga

dapat dirangsang hanya dengan memikirkan sepotong hamburger, atau

bahkan dengan melihat obyek tiruan. Pavlov mengidentifikasi contoh-

contoh yang menggugah rasa ingin tahu ini sebagai kasus-kasus “sekresi

yang bersifat kejiwaan,” yang memberikan pijakan bagi teori-teorinya

yang lebih terkenal.

Dalam serangkaian eksperimen yang menggemparkan kalangan

aktivis hak-hak binatang saat itu, Pavlov menggunakan beberapa anjing

yang telah dilengkapi dengan alat-alat untuk mengukur sekresi cairan

ludah dalam merespon beragam rangsangan. Cukup dapat diprediksi

(sebagaimana riset Pavlov sebelumnya), penglihatan terhadap sepotong


burger membuat mulut mereka berair. Pavlov kemudian menemukan

bahwa anjing-anjing iut dapat juga dibuat untuk mengeluarkan air liur

dalam merespon rangsangan apa saja yang netral---katakanlah, sebuah

suara atau tendangan---bahwa rangsangan-rangsangan ini menimbulkan

asosiasi pengenalan yang akan terjadi tentang makanan anjing. Dia

menyebut rangsangan netral ini sebagai “terkondisi” dan reaksi anjing

sebagai sebuah “refleks yang terkondisi”---yaitu, sebuah refleks yang

secara artifisial (tiruan dari aslinya) di-induksi-kan melalui latihan atau

kebiasaan. (Istilah ini pertama kali muncul di Inggris pada tahun 1906

dalam jurnal Nature).

Dalam keadaan tidak tahu sampai sejauhmana prestasi yang

dihasilkan sendirian, Pavlov terus memperkirakan hal-hal yang belum

diketahui berdasarkan pada premis-premis dan bukti-bukti yang telah

diketahui, observasi-observasi yang lebih canggih yang masuk dalam

wilayah teori besar psikologi, dengan berupaya menjelaskan hampir

semua perilaku, yang normal dan yang menyimpang, perihal refleks-

refleks yang diperoleh dan interaksi mereka yang beragam. Setelah

meraih popularitas sesaat di dunia Barat, banyak dari para penganut teori

dengan skala yang lebih luas dari Pavlov mengklaim telah mengemukakan

teori ini secara meluas, tapi mereka disambut hangat oleh pemerintahan

Soviet. Meskipun bukan penganut teori Marx, teori-teori Pavlov praktis

sesuai dan cocok dengan pandangan kaum Marxis bahwa perilaku

manusia didasarkan pada kondisi-kondisi materi dan pola-pola kehidupan.

Jika masyarakat dibiasakan untuk mengalami penindasan, mereka dapat

dibentuk secara baru begitu mereka terbebas dari penindasan. Dengan


kata lain, sistem pemerintahan Soviet menjelaskan kondisi para

warganya. Hasil dari teori ini dapat ditemukan di koran harian anda.

Behaviorisme

Anda berjalan menuju gedung bioskop dan tiba-tiba saja sangat

menginginkan popcorn. Anda merasa rileks di dalam ruangan berwarna

biru dan merasa cemat di dalam ruangan berwarna merah. Merasa

terperangkap dalam kesedihan, anda meminta nasehat teman anda dan

mencoba untuk tetap menyunggingkan senyum; secara ajaib, anda

segera merasa lebih baik.

Bagaimana kita menjelaskan hal-hal semacam ini? Apakah terdapat

sebuah cara obyektif untuk membahas perasaan-perasaan ini? Apakah

kita perlu mengacu pada “pikiran” atau “impuls-impuls tak sadar” untuk

menjelaskannya? Atau apakah ini semua menjadi sekelompok reaksi-

reaksi kimiawi di dalam otak?

Behaviorisme, pada umumnya, adalah suatu aliran psikologi yang

secara khusus menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Tidak

seperti para penganut teori-teori Freud, aliran ini tidak menggunakan

konsep-konsep hipotetik (yaitu: yang tidak dapat dicermati) semacam

“Alam bawah sadar” atau “id” dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa

kejiwaan. Dengan menganggap bahwa mereka memiliki pendekatan yang

lebih ilmiah, kaum behavioris membatasi diri mereka pada data-data yang

dapat diobservasi. Dan dalam kasus psikologi manusia, apa yang dapat
diobservasi adalah perilaku---oleh karena itulah istilah behaviorisme

muncul.

Ide-ide behavioristik dapat ditelusuri jejaknya, setidaknya, melalui

tulisan-tulisan Thomas Hobbes, yang berpandangan bahwa organisme

manusia sebagai jenis mesin yang superior. (Dalam pandangan Hobbes,

perasaan-perasaan dan tindakan-tindakan dapat digambarkan sebagai

hasil dari peristiwa-peristiwa fisik atau “gerakan-gerakan” di dalam

tubuh). Tapi, sebagai suatu aliran dan sebagai sebab, behaviorisme,

esensinya adalah kreasi dari psikolog Amerika John B. Watson, yang pada

tahun 1914 wilayah baru Behaviorisme pertama kali lahir.

Watson dengan penuh semangat menolak ide, yang telah dianut

sejak era Descartes, bahwa pikiran dan tubuh beroperasi berdasarkan

pada prinsip-prinsip yang berbeda, dan bahwa cara terbaik (dan satu-

satunya cara terbaik yang sebenarnya) untuk mempelajari pikiran adalah

melalui introspeksi. Ini, klaim Watson, bukanlah sains. Pertama,

introspeksi dengan sendirinya adalah bersifat subyektif: penemuan-

penemuannya tidak dapat dibangun secara obyektif. Kedua, introspoksi

tidak menghasilkan apapun bahkan tidak juga data-data kasar sedikitpun:

penemuan-penemuannya tidak dapat dikuantitaskan. Jika psikologi harus

menjadi ilmiah, kata Watson, maka ia harus melibatkan dirinya dengan

data-data kasar, yang dapat diobservasi dan bersifat obyektif. Dan ia

harus mengesampingkan hal-hal yang samar dan tidak jelas (dan dia

berpikir tentang entitas-entitas yang tidak eksis) seperti “kesadaran” atau

“hasrat.”
Banyak paralel dengan pemikiran Pavlov, yang karya-karyanya

tentang perilaku binatang yang baru saja dia baca, Watson dan para

pengikutnya berpikiran bahwa psikologi ilmiah dihasilkan dari mempelajari

hubungan-hubungan antara rangsangan eksternal dengan respon-respon

individu. Jika kita dapat menunjukkan melalui eksperimen bahwa

beberapa peristiwa (katakanlah, sebuah bel yang sedang berbunyi) secara

teratur menyebabkan sebuah perilaku khusus (katakanlah, kejang syaraf),

kemudian kita membangun sebuah klaim psikologis. Koleksi total dari

asosiasi peristiwa atau perilaku semacam ini mencukup sebagai sebuah

kumpulan data, dan hanya dengan bukti semacam ini kita dapat

melakukan pembenaran dalam membuat inferensi-inferensi psikologis.

Peristiwa-peristiwa diasosiasikan dengan perilaku, kaum behavioris

mengatakan, melalui sebuah proses pembelajaran atau “pengkondisian”.

Jika seekor anjing secara teratur diberi hadiah sekerat tulang setiap kali

dia mematuhi perintah: “Duduk!” maka dia kemudian akan belajar bahwa

mematuhi perintah itu menyenangkan dan perintah: “Duduk!” sejak itu

akan membuatnya untuk duduk, hampir sebagai suatu refleks. (Behavioris

B.F. Skinner menyebut ini sebagai “penguatan kembali secara positiv”).

Demikian pula, jika sebagai anak-anak, kita belajar bahwa pergi menonton

film di gedung bioskop adalah berarti popcorn, kita menjadi terkondisi

untuk meng-asosiasi-kan peristiwa ini (pergi ke gedung bioskop) dengan

perilaku ini (makan popcorn), dan yang disebut pertama akan

memprovokasi sebuah tindakan untuk mencapai yang disebut terakhir.

Ide dasar dari behaviorisme, secara singkat, adalah bawa perilaku

itu bukan hanya sebuah tanda dari beberapa keadaan mental tapi ia
sebenarnya adalah sama dengan suatu keadaan mental. Kita tidak

memperoleh dari mana saja dengan bahan-bahan yang bermacam-

macam semacam absurditas seperti “temperamen” atau “id,” yang hanya

merupakan abstraksi-abstraksi teoritis dari bagaimana orang berperilaku.

Ini sama baiknya, dan bahkan lebih ilmiah, untuk menjadikan fenomena

semacam “perilaku neurotik” ini dengan mempertentangkan respons-

respons refleks pada rangsangan yang lebih luas. Disamping itu,

pandangan kaum behavioris mendukung tujuan akhirnya: keterlibatan

mereka tidak dengan model-model teoritis, tapi dengan membuat orang-

orang bertindak secara lebih baik. Yaitu, jika anda dapat memperbaiki

lingkungan, anda dapat memperbaiki masyarakat.

Watson, tentu saja, harus melakukan beberapa tarian bayangan

untuk menjelaskan berbagai hal ini yang kebanyakan dari kita akan

memandang sebagai jauh lebih bersifat mental daripada fisik. Dalam satu

momen yang absurd, dia menjelaskan pemikiran sebagai sejenis

pembicaraan yang tidak mungkin didengar. (Dia pertama kali mengklaim

bahwa pembicaraan itu hanya perilaku yang terkondisi dan sama sekali

tidak bersifat “mental”). Emosi-emosi, juga, direduksi menjadi tindakan-

tindakan yang terkait dengan emosi.

Yang paling sulit untuk diyakini dari semuanya adalah bahwa kaum

behavioris yang kaku dan ketat harus memotong makna secara

menyeluruh dari gambaran mereka tentang perilaku. Mereka tidak punya

cara untuk menjelaskan dengan bagaimana “rangsangan” yang sama

(katakanlah, suara tembakan senjata) dapat menghasilkan “respons-

respons” yang berbeda dalam konteks-konteks yang berbeda atau pada


waktu-waktu yang berbeda-beda. Melalui penggambaran teori mereka,

maka semua yang diperhitungkan adalah reaksi langsung pada suara

tembakan, tanpa mengacu pada kesadaran. Tapi, suatu tembakan senjata

berarti satu keadaan di sudut jalan dan keadaan lain di permulaan sebuah

lomba, dan tanpa beberapa acuan pada kesadaran tentang perbedaan ini,

seseorang tidak punya cara untuk menjelaskan mengapa dalam satu

kondisi, kita merespon dengan perasaan cemas dan dalam kondisi lain,

kita merespon dengan perasaan senang.

Selanjutnya, ini bahkan tidak jelas hingga tahap mana binatang-

bintang ini, yang jauh lebih rendah dari kualitas seorang manusia, dapat

belajar melalui pengkondisian tentang bagaimana berperilaku dalam

dunia nyata (yang dipertentangkan dengan dunia laboratorium). Namun,

tanpa suatu hipotesa respons/stimulus dasar, behaviorisme tidak

mempunyai pondasi nyata. Serangan terbaru terhadap hipotesa ini telah

menimbulkan kemerosotan dramatis dalam behaviorisme yang kaku. Tapi,

dengan bentuk-bentuk yang telah dimodifikasi, ide ini masih mempunyai

validitas, dan kita harus yakin kepada kaum behavioris yang membangun

dan mengukuhkan psikologi sebagai ilmu pengetahun yang otentik, satu

hal yang tidak dapat dilakukan oleh Freud. Sederhananya, behaviorisme

mungkin berada pada level makro dari peristiwa-peristiwa mental dan

respons-respons emosional, penekanannya pada fisiologi telah sangat

berjasa pada level mikro, dalam studi tentang kimiawi otak dan fungsi

otak. Dan kadang-kadang, tersenyum dapat membantu anda merasa lebih

baik.
Alam Bawah Sadar

Kita telah terbiasa untuk berpikir bahwa setiap ide laten disebut demikian
karena ia lemah dan bahwa ia akan tumbuh menjadi sadar segera setelah
ia menjadi kuat. Kita sekarang telah memperoleh pendapat yang kuat
bahwa terdapat beberapa ide-ide laten yang tidak menembus ke dalam
alam sadar, betapapun kuat mereka (ide-ide laten) ini. Oleh karena itu,
kita menyebut ide-ide laten ini dengan tipe pertama pra-sadar, sementara
kita menyimpan istilah alam bawah sadar untuk tipe selanjutnya yang
akan kita pelajari dalam materi tentang gangguan-gangguan mental dan
emosional (neurosis).

Sigmund Freud: “A Note on the Unconscious in


Psychoanalysis” (1912)

Esensi dari psikoanalisa, yang didirikan oleh Sigmund Freud (1856-1939),

adalah “Alam Bawah Sadar”. (Saya mengikuti penggunaan standar

tentang huruf besar U ketika menamakan fakultas kesadaran). Sebuah

hiruk-pikuk dari banyak sekali ide-ide berbahaya yang bersifat kejiwaan,

Alam Bawah Sadar ini yang menjadi penyebab dari semua masalah-

masalah kita. Ia adalah bagian dari sang diri, diri kita yang lebih baik yang

terlupakan. Ia adalah apa yang tersingkap saat kita membuat suatu

“ketergelinciran Freud”---ia adalah kebenaran yang kita harapkan untuk

tidak menyatakan diri, sebuah kebenaran yang kita bahkan tidak

menyadarinya. Alam bawah sadar ini membimbing mimpi-mimpi kita,

menghadirkan hasrat-hasrat terlarang dan mengganggu kita dengan teror.

Alam bawah sadar ini bukanlah sesuatu yang mengenakkan.

Freud tidak menemukan Alam bawah sadar; ia hanya mengisinya

dengan penyesuaian-penyesuaian dengan masanya. Istilah ini banyak

menjadi bahan perbincangan bebas dalam disiplin psikologi dan filsafat

abad sembilan belas, meskipun beberapa filosuf menolaknya seolah ia


adalah gagasan yang tak masuk akal. Pikiran, mereka berargumen, adalah

sama saja dengan kesadaran; tidak ada yang seperti sebuah “pemikiran

tak sadar” karena jika ia tidak bersifat sadar, maka ia bukan sebuah

pemikiran dan selanjutnya tidak eksis.

Freud, yang telah menggunakan hipnosa, histeria dan mimpi-mimpi,

meminta pengecualian tentang ini. Katakanlah seorang pasien yang

dihipnotis , diberi sebuah perintah, dan kemudian tersadar. Beberapa

waktu kemudian, dia membawa perintah ini, tapi tidak tahu mengapa

demikian. Bagaimana ini menjadi mungkin, tanya Freud, kecuali bahwa

terdapat sugesti hipnotis yang eksis di dalam pikiran, tapi berada di luar

kesadaran?

Ini bukan sesuatu yang sangat baru. Kontribusi nyata Freud adalah

menunjukkan dua jenis pemikiran-pemikiran bawah sadar yang berbeda.

Yang pertama adalah apa yang disebut oleh banyak psikolog sebagai

‘alam bawah sadar” jenis ini---seperti nomor telepon yang setengah

terlupa dan nama-nama dari orang-orang yang anda temui di pesta-

pesta---yang bertempat tinggal tepat di bawah level kesadaran, sedang

menunggu untuk melompat menuju pikiran. Yang kedua---seperti trauma-

trauma dari masa kanak-kanak dan hasrat-hasrat yang tabu--- berada di

lapisan yang lebih dalam dan secara aktif ditentang dan dilawan oleh

pikiran sadar. Freud menyebut jenis pemikiran yang pertama ini sebagai

“pra-sadar” dan menyebut yang kedua sebagai pemikiran “alam bawah

sadar” yang disimpan.

Sebagai orang yang telah dibesarkan dalam tradisi mekanistik dari

perkembangan sains abad sembilan belas, Freud membayangkan pikiran


sebagai sejenis mesin yang penuh dengan energi psikis. Tulisan-tulisan

awalnya terutama bertaburkan istilah-istilah seperti “tekanan”, “energi”,

“dinamik”, dan istilah-istilah lain yang meminjam dari disiplin ilmu Fisika,

yang membuat pikiran terlihat seperti sepotong mesin hidrolik. Dalam

teorinya yang paling awal, “Alam bawah sadar” adalah wilayah mental

yang paling gelap dan paling dalam, yang didiami oleh ide-ide yang

secara giat berupaya keras untuk menjangkau permukaan kesadaran.

Pikiran yang sadar, pada gilirannya, menggunakan energi untuk menahan

atau “menekan” pemikiran-pemikiran tak sadar ini. Pikiran ini

diperlakukan sebagai sebuah obyek yang solid di dalam ruang bersama

dengan “wilayah-wilayah” dan “perbatasan-perbatasan”, sebuah topografi

yang mempunyai kemampuan untuk ilustrasi (Freud menyukai diagram-

diagram). Relasi-relasi dinamis antara dua wilayah utama ini---Alam

bawah sadar dan “Pra-sadar-Sistem sadar”---menghasilkan peristiwa-

peristiwa psikis. (Freud sendiri merasa agak sedikit malu dengan

materialisme yang mewarnai teorinya yang paling awal, tapi ia telah

menjadi penanda atas kelahiran psikoanalisa).

Misalnya, mimpi-mimpi dihasilkan (hampir seperti suatu proses

kimiawi) ketika hasrat-hasrat tak sadar yang mendalam---lebih kuat yang

menunjuk pada masa kanak-kanak---yang bercampur dengan “residu”

pra-sadar dari masa sekarang. Tapi, Alam bawah sadar tidak dapat

sepenuhnya muncul bahkan di dalam mimpi-mimpi, begitu efektifnya

represi pikiran yang sangat protektif. Ketika mereka bercampur dengan

residu-residu pra-sadar, atau ketika mereka berjuang ke dalam fantasi-

fantasi sadar, pemikiran-pemikiran tak sadar harus melewati suatu


transformasi untuk dapat menghindari penyensoran. Freud memutuskan

bahwa terdapat dua moda transformasi: “kondensasi” dan

“penelantaran”.

Kondensasi (pemadatan), yang ekuivalen dengan sejenis logika tak

sadar, mengemas suatu konstelasi dari ide-ide atau hasrat-hasrat yang

direpresi ke dalam satu tema makna yang tersembunyi (sesuai dengan

pembacaan sandi psikoanalitik). Pada sisi lain, penelantaran,

menelantarkan “energi” psikis yang terpaku dan terikat dalam pemikiran-

pemikiran tak sadar di atas ide-ide yang lebih aman dan dapat diterima

sampai kepada rantai asosiasi-asosiasi. Penelantaran, dalam pandangan

Freud, menjelaskan banyak perilaku neurotik---yaitu, perilaku dimana

banyak energi diarahkan menuju apa yang tampaknya sebagai sesuatu

yang relatif tidak penting.

Bagaimanapun juga, Freud menyadari bahwa model topografis

tentang psike ini mempunyai cacat logika yang fatal sifatnya. Jika bagian

yang sadar dari pikiran ini dalam keadaan direpresi, maka tindakan

represinya ini seharusnya menjadi sadar. Tapi, dalam kenyataan, kita tidak

sadar akan tindakan merepresi atau menentang Alam bawah sadar, atau

hal yang sedang kita kondensasikan, telantarkan, dan jika tidak demikian,

kita menyensornya. Singkatnya, terdapat suatu bagian dari kesadaran

yang ia sendiri tidak sadar: bagian yang direpresi. Bagian yang sadar ini

tidak dengan sendirinya direpresi, atau ia akan menjadi bagian dari Alam

bawah sadar. Yaitu, ketika segala yang direpresi bersifat tak sadar, bukan

segala yang yang tidak sadar itu direpresi.


Atas kesimpulan ini, Freud mengetahui dia perlu untuk

mengembangkan suatu peta pikiran yang lebih baik. Hasilnya telah

digambarkan dalam permulaan pembahasan kita tentang EGO, ID, DAN

SUPER-EGO, HAL. 171.

Oedipus Complex
[Ketika seorang anak laki-laki] tidak dapat lagi memelihara dan
mengemban keraguan yang mengklaim pengecualian untuk kedua
orangtuanya sendiri dari perilaku seksual yang buruk dari penduduk lain
di bumi ini, dia mengatakan kepada dirinya sendiri dengan logika yang
sinis bahwa perbedaan antara ibunya dengan seorang pelacur,
bagaimanapun juga, tidaklah begitu besar, karena pada dasarnya,
keduanya melakukan hal yang sama. Apa yang telah dia jelaskan [tentang
seks], dalam kenyataan, telah membangkitkan jejak-jejak memori dari
kesan-kesan dan hasrat-hasrat dari masa kanak-kanaknya yang paling
dini, dan dengan demikian mengaktifkan kembali perasaan-perasaan
tertentu dalam pikirannya. Dalam cahaya dari pengetahuan baru ini, dia
mulai menghasratkan ibunya sendiri dan membenci sang ayah dengan
cara yang berbeda dalam sikapnya yang baru ini; dia berada dalam,
sebagaimana yang kami katakan, pengaruh Oedipus Complex.

Sigmund Freud, “A Special Type of Object Choice Made by


Men” (1910)

Freud pertama kali menulis dalam sebuah surat pada tahun 1897 tentang

“memakukan kuasa Oedipus Rex.” Jadi, upaya memaku ini adalah tragedi

Sophocles yang diadopsi skenarionya oleh Freud untuk menjelaskan

mengapa kita semua begitu neurotik.

Jika seandainya anda telah melupakan kisah ini, maka ia akan

berlangsung seperti ini: Pangeran Oedipus dari Corinthian belajar dari

sebuah ramalan bahwa dia ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan


tidur dengan ibunya. Secara mengejutkan, dia melarikan diri menuju kota

Thebe, tapi sepanjang perjalanan, dia dihadapkan pada berbagai

gangguan dari orang-orang pengembara yang berpapasan dengannya.

Satu gangguan disusul dengan gangguan yang lain dan segera saja

Oedipus membunuh mereka semua.

Sebagaimana dikisahkan, salah satu dari pengembara ini adalah

ayah kandung Oedipus, Raja Laius dari Thebe, yang telah

menyengsarakan dia di masa kanak-kanaknya. Lau, dengan berupaya

untuk menghindari takdirnya, Oedipus justru memenuhi takdirnya,

meskipun dia tidak menyadari hal ini sampai dia dimahkotai sebagai Raja

baru Thebe dan menikahi Ratu Jocasta, yang ternyata kemudian adalah

ibu kandungnya sendiri. ketika semuanya telah menjadi jelas, maka

Oedipus yang merasa sangat malu ini mencongkel kedua matanya.

Kisah yang menyedihkan ini, lanjut Freud dalam suratnya,

“memaksa setiap orang untuk menyadari karena dia merasakan

eksistensinya dalam dirinya.” Apa yang dirasakan oleh Freud, dan yang

bersumber dari setiap laki-laki, adalah hasrat seksual kepada ibunya dan

sebuah kecemburuan yang mematikan terhadap ayahnya. Tidak menjadi

soal bahwa dalam drama itu, Oedipus tidak merasakan kecemburuan itu

dan hanya memperoleh gangguan dalam mencoba untuk menghindari

takdirnya. Freud merebut paradigma ini dan membubuhkan pada

peristiwa mencekam yang tidak membahagiakan ini dengan istilah

“Oedipus complex”, sebuah istilah yang pertama kali muncul dalam

paper-nya pada tahun 1910, “A Special Type of Object Choice Made by


Men.” (Ini selalu disebut Oedipus complex; oedipal adalah satu-satunya

bentuk kata sifat).

Penyalahgunaan Freud tentang legenda Yunani ini melahirkan “Teori

Seksualitas,” teori orisinal dia tentang kekerasan. Dengan mencatat

jumlah yang sangat mencemaskan dari para pasien penderita neurotik

telah melaporkan pengalaman seksual yang tak diinginkan semasa kanak-

kanak mereka, Freud meyakini bahwa gangguan-gangguan seksual dapat

dilacak jejak-jejaknya pada semacam “keterlibatan-keterlibatan seksual.”

Tapi, ketika dia melihat secara lebih cermat pada kisah-kisah para

pasiennya, dia memutuskan bahwa beberapa, jika bukan mayoritas, dari

mereka ini sedang berfantasi daripada proses mengingat kekerasan di

masa kanak-kanak---atau lebih tepat lagi, bahwa mereka mengingat

kembali fantasi-fantasi masa kanak-kanak.

“Penemuan” ini (yang baru-baru ini telah diserang secara meluas)

telah menimbulkan krisis dalam pandangan menyeluruh Freud tentang

perkembangan psikologi. Sebagaimana halnya dengan semua orang,

Freud telah meyakini bahwa anak-anak tidak mempunyai konsep apapun

tentang seksualitas, apalagi mempunyai kecenderungan-kecenderungan

seksual apapun, dan bahwa pembeberan dan penyingkapan seksualitas

manusia dewasa adalah tidak komprehensif dan membahayakan sifatnya.

Tapi jika, sebagaimana dalam pandangan barunya, anak-anak mampu dan

mempunyai fantasi-fantasi seksual. Sehingga mereka tidak benar-benar

“suci” (innocent). bukan hanya mereka mempunyai perasaan-perasaan

seksual, tapi, perasaan-perasaan ini juga sangat kuat dan bersifat

otonom.
Berdasarkan ini, Freud berpikir dia telah mempunyai sebuah

jawaban atas banyak symptom-symptom neurotik yang umum. Beberapa

dari pasien-pasiennya hanya berhasrat pada perempuan yang telah lama

menjalin hubungan perasaan dan kesetiaan. Sedangkan yang lain mencari

pasangan cinta yang sepertinya menipu dan mengkhianati mereka. Jenis

laki-laki seperti ini tampaknya dapat mengundang sikap permusuhan dan

kecemburuan. Kategori lain mendesak untuk melihat obyek-obyek cinta

mereka sebagai unik dan sosok-sosok yang tak tergantikan; namun

fantasi-fantasi lain yang dialami tentang “menyimpan” seorang

perempuan dari terancam kehilangan moralitas. Bagi pikiran Freud, semua

hasrat-hasrat neurotik ini hanya sekadar manifestasi-manifestasi universal

yang ekstrem dan “sikap normal dalam cinta”. Dalam kasus-kasus

abnormal, pasien-pasiennya tampaknya gagal untuk melenyapkan emosi-

emosi dari masa kanak-kanak dimana kebanyakan dari kita berupaya

untuk menaklukkannya.

Emosi-emosi ini adalah rasa cinta terhadap ibunya dan rasa

cemburu terhadap ayahnya. Sang ibu, dalam kenyataannya, adalah “unik

dan tak tergantikan”; sang ayah ayah adalah pesaing seksual yang aktual

dan potensial. Ketika seorang anak laki-laki telah sampai pada tepian

pubertas, dia pertama mendengar dari teman-teman sebayanya tentang

seks, seksualitas diperlakukan sebagai sesuatu yang “kotor.” Dengan

memikirkan kedua orangtuanya dengan cara seperti ini sungguh sangat

menggoncangkan, dan ketika perasaan-perasaan seksual kanak-kanaknya

terhadap ibunya sedang meluap-luap, anak laki-laki ini mengembangkan


fantasi-fantasi tentang “menyelamatkan” dia dari ayahnya dengan

mengambil alih posisi ayahnya.

Apa yang telah dia bangkitkan---dan apa yang biasanya lenyap

ketika anak usia remaja mengalihkan perasaan-perasaan seksual kepada

anak-anak perempuan sebayanya---inilah yang dicari oleh Oedipus

complex-nya Freud. Di masa kanak-kanak, kompleksitas bermula ketika

anak laki-laki menemukan dirinya sendiri terangsang oleh sentuhan kasih

sayang yang lembut dari ibunya, yang membuat perasaan-perasaannya

terhadap ibunya menjadi lebih kuat. Suatu saat, daya rangsangan ini

menjadi terpusat pada satu anggota tubuhnya yang sangat penting:

penisnya.

Secara alamiah, kedua orangtuanya merasa tidak senang ketika

anak laki-lakinya memberi perhatian yang berlebihan pada alat vitalnya

ini dan salah satu atau keduanya mengancam akan “mencabutnya” jika

dia terus mengutak-atiknya. Anak laki-laki ini tidak benar-benar

mempercayai ini, hingga suatu hari dia mengintai anggota tubuh yang

paling pribadi dari anak perempuan---dan dia (anak perempuan ini)

kehilangan penisnya! Penisnya pasti telah dicabut, demikian anak laki-laki

ini mengambil kesimpulan, karena dia (pr) terlalu banyak bersenang-

senang dengannya. Ancaman kastrasi (pengebirian), tiba-tiba saja

menjadi sangat nyata baginya, dan ini menghancurkan sang Oedipus

complex: jika perasaan-perasaan seksual dan kesenangannya terus

berlanjut, penisnya yang sangat berharga itu akan dikutuk melalui

pengebirian. Cinta narsistiknya yang melekat kuat terhadapnya telah

mencegahnya untuk bermain-main dengan alat vitalnya.


Sebagai akibatnya, lanjut Freud, anak laki-laki kecil ini belajar untuk

menyalurkan (“sublimasi”) libido-nya pada perasaan-perasaan yang

kurang mengancam seperti perasaan senang yang lembut (afeksi) kepada

kedua orangtuanya. Cinta terhadap ibunya dan kebencian terhadap

ayahnya karena “merampas” ibunya dari dia menjadi lenyap dengan

mengidentifikasi pada keduanya, yaitu, bagaimana sang anak laki-laki

kecil ini memperoleh “super-ego”nya. Sementara itu, hasrat-hasrat dan

fantasi-fantasi seksualnya yang mengalami represi selama apa yang

disebut oleh Freud sebagai “periode laten,” hingga mereka terbangunkan

saat pubertas.

Anda akan memperhatikan bahwa selama periode waktu ini, kita

telah memfokuskan diri pada anak laki-laki kecil dan penisnya; apa yang

harus dikatakan oleh Freud tentang anak perempuan kecil? Pertama kali,

dia beranggapan bahwa anak perempuan kecil mengalami tahap-tahap

yang sama dengan anak laki-laki, dengan pengecualian bahwa fantasi-

fantasi seksual mereka difokuskan pada sang ayah. (Sebenarnya, Freud

berpikiran bahwa seksualitas masa kanak-kanak mengandung sejumlah

kadar tertentu dari bi-seksual, sebagaimana halnya hasrat terhadap sang

ibu dominan pada anak laki-laki, dan hasrat terhadap sang ayah yang

dominan pada anak perempuan). Tapi, setelah mengambil keputusan

bahwa rasa takut akan pengebirian inilah yang membunuh kompleksitas

pada diri anak laki-laki, sehingga dia harus mengubah teorinya. Anak-

anak perempuan, bagaimanapun juga, tidak dapat merasa takut pada

pengebirian---bukan karena ini tidak mungkin terjadi, tapi, karena mereka

berpikir ini telah terjadi. (Freud juga dengan tepat membuang paksa
anggapan bahwa anak perempuan melihat genital mereka sebagai

“kehilangan sesuatu”, sehingga mereka merasa “iri” pada penis anak laki-

laki, dan bahwa mereka merasa minder selamanya karena tidak

mempunyai penis).

Dalam teori barunya yang bersifat sementara dan samar (tidak

jelas), Freud mengemukakan bahwa anak perempuan mempunyai sifat

kanak-kanak yang jauh lebih sederhana. Alih-alih berharap untuk

memenuhi hasrat seksual mereka terhadap sang ibu sebagai obyek,

mereka hanya berharap untuk mengambil alih posisinya terkait

hubungannya dengan sang ayah. Meskipun, seperti halnya anak laki-laki,

anak perempuan merasakan cinta pertama mereka yang sangat kuat

pada sang ibu, tapi begitu mereka memperhatikan bahwa anak laki-laki

kecil mempunyai sesuatu yang tidak mereka punyai, cinta mereka

berubah menjadi rasa benci. Ayah mereka mengambil alih posisi ibu

mereka dalam menyayangi mereka. Selanjutnya, begitu mereka semakin

menerima fakta bahwa mereka tidak akan pernah memperoleh penis,

anak perempuan mulai menghasratkan penggantinya---yaitu, seorang

bayi. Mereka berharap untuk mengambil alih posisi ibu mereka dan

memberi seorang anak kepada ayah mereka.

Tidak ada ketakutan pada pengebirian berakhir dengan munculnya

fantasi ini. Freud menganggap bahwa Oedipus complex dalam diri anak

perempuan, tertundukkan oleh sarana yang lebih halus, yaitu, “pengaruh-

pengaruh edukatif” dan “Intimidasi eksternal yang mengancam hilangnya

cinta” (“The Passing of the Oedipus Complex”, 1924). Ini, dan fakta bahwa

keterikatan “pra-oedipal” anak perempuan terhadap ibunya diperluas dan


hanya digantikan setelah melibatkan sebuah proses, membuat Freud

menolak pandangan-pandangan dari muridnya, Carl Jung. Jung meyakini

pandangan bahwa “perkembangan yang secara persis mencerminkan

anak laki-laki” dari seorang anak perempuan dan pada tahun 1913, dia

menemukan sebuah istilah baru “Electra complex” untuk menggambarkan

versi perempuan.

Untuk penggunaan istilah baru ini, Jung juga menoleh pada tragedi

Yunani, terutama pada beberapa versi dari kisah Electra. Dalam Libation

Bearers karya Aeschylus, Electra, yang memperoleh bisikan ilham dari

dewa Apollo, bekerja sama dengan saudara laki-lakinya untuk bertindak

terhadap ibu mereka, Clytaemestra, yang bertanggung jawab atas

kematian ayah mereka. Namun, Jung, seperti halnya Freud, tampaknya

lebih banyak bersandar pada Sophocles, dimana Electra sang pahlawan

mengambil peran penting dalam merencanakan aksi balas dendam.

Meskipun tidak sekasar atau sesugestif sebagaimana penggambarannya

tentang Oedipus, kisah Electra versi Sophocles, sebagai seorang

perempuan yang menjalin ikatan perasaan yang sangat mendalam

dengan ayahnya dan mendesak untuk membunuh ibunya, yang

dikemukakan oleh Jung dengan cukup bagus sebagai sebuah analog.

Ego, Id, dan Super-Ego

Pada tahap-tahap awal pengembangan sebuah pandangan komprehensif

tentang psike, Freud mempertimbangkan bahwa pikiran dapat dipahami

sebagai sebuah “sistem” dengan tiga wilayah yang berbeda: Alam Sadar,
Pra-Sadar, dan Alam Bawah Sadar. Tapi, pada awal tahun 1920-an, dia

telah mengubah teori ini dengan sebuah teori baru.

Dimana Freud pernah bicara tentang “Alam Sadar,” dia sekarang

membicarakan “ego,” sebuah istilah (dari bahasa Latin yang berarti

“Saya”) yang lahir di dalam perkembangan disiplin psikologi abad

sembilan belas. Ego mengandung makna lebih dari diri yang sadar,

meskipun ia mencakupnya; dalam teori baru Freud, ego adalah bagian

atau wilayah pikiran yang membentuk permukaan luarnya dan yang

mengembangkan indera persepsi kita dan pengalaman-pengalaman kita

di dunia ini. Adalah sang ego yang mempunyai pemikiran-pemikiran

sadar, tapi adalah juga sang ego yang (tidak diketahui oleh pikiran sadar

kita) terus-menerus mengancam dan memeriksa pemikiran-pemikiran dan

impuls-impuls bawah sadar. Ego adalah diri sosial, diri yang sangat

banyak diekspos dan dipengaruhi oleh “realitas,” dalam bentuk sensasi-

sensasi dan kode-kode sosial.

Dapat dipahami, jika ego berkembang di luar pengalaman, kita tidak

terlahir dengannya. Inti dari psike, yaitu yang selanjutnya dilapisi oleh

ego, Freud menyebutnya sebagai “id,” dari bahasa Latin yang berarti

“nya.” (Dia mengklaim memperoleh istilah ini dari seorang fisikawan

modern, Georg Groddeck, yang dipengaruhi oleh Nietzsche). Id ini adalah

sang kegelapan, tidak sadar, pusat libido dari pengalaman dalam, tempat

impuls-impuls dan nafsu-nafsu, sang kuda liar, untuk menggunakan

metafor Freud, ditunggangi dan diawasi oleh sang ego. Sementara sang

ego dengan sibuk (dan dalam keadaan tidak sadar) merepresi impuls-

impuls yang menentang norma sosial dan tabu dari alam id, namun
demikian, id berupaya untuk mempengaruhi perilaku kita, dengan

menyalurkan energinya ke dalam tindakan-tindakan yang telah disetujui

oleh sang ego, atau kadang-kadang ke dalam tindakan-tindakan yang

tidak dapat sepenuhnya kita pahami dan yang menimbulkan rasa

bersalah.

Barangkali, cara termudah untuk memahami perbedaan dan

dinamika antara ego dengan id adalah dengan memasangkan sifat-sifat

mereka yang kontras. Ego bersifat koheren, id bersifat tidak koheren; ego

rasional sifatnya, sedangkan id, tidak rasional. Dimana sang ego

mengoperasikan apa yang disebut oleh Freud sebagai “prinsip realitas”

(“merespon pada tuntutan dan aturan-aturan dari dunia nyata), id

mengoperasikan “prinsip kesenangan” (berupaya untuk meminimalisir

penderitaan dan gangguan, atau dengan kata lain untuk meminimalkan

energi psikis). Ego berada pada permukaan dari aktivitas mental;

sedangkan id berada pada kedalamannya. Ego adalah sebuah gambaran

mental dari sensasi eksternal dan pengalaman; sedangkan id adalah

sebuah representasi dari insting. Ego menjual konsep-konsep, terutama

sekali yang bersifat verbal (yang bersifat sadar adalah yang dapat

dibicarakan); sedangkan id menujual simbol-simbol, terutama dalam

bentuk visual.

Terkait komplikasi timbal balik antara ego dengan id ini, Freud telah

menambahkan kekuatan ketiga, yaitu, hasil pertumbuhan dan

perkembangan dari ego dan yang dia sebut dengan istilah “ego-ideal”

atau “superego.” Super ego menggambarkan harapan-harapan sang diri

untuk muncul menjadi kenyataan, dan ini adalah tempat bagi berbagai hal
seperti moralitas, kewajiban moral, dan kepercayaan. Berdasarkan kerja

keras Freud, lahir konsep super ego tepat ketika konsep Oedipus complex

mulai meredup. Cara seorang anak laki-laki kecil, misalnya, untuk

melenyapkan hasrat terlarangnya terhadap ibunya dan membenci

ayahnya adalah untuk “menginternalisasikan” “obyek-obyek” ini (ibu dan

ayah). Cinta terhadap sang ibu kemudian dibelokkan menjadi cinta

kepada sang diri, atau lebih berupa cinta terhadap potensi diri untuk

menjadi ideal; dan kebencian terhadap sang ayah dikalahkan oleh

identifikasi yang sangat intens dengannya sebagai bagian yang lebih

tinggi atau lebih superior dari sang diri.

Dengan demikian, ideal-ideal, moral-moral, larangan-larangan dan

hukum-hukum dari kedua orangtua ini dapat diserap oleh pikiran, dan

untuk selamanya setelah mengendalikan sang ego untuk bertanggung

jawab. Super-ego, pada akhirnya, adalah bagian dari sang diri yaitu diri

yang kritis, yang mengukur jarak antara realitas dengan yang ideal, dan

yang menutup saluran energi yang menuju id agar dapat menghubungkan

sang ego menuju tujuan-tujuan yang lebih tinggi. Freud menyebut proses

ini dengan istilah “sublimasi,” dan dengan upaya sublimasi ini, dia

menjadi sumber dari prestasi-prestasi seni dan peradaban manusia,

termasuk semua ide-ide besar.

Prinsip Kesenangan

Dalam teori psikoanalisa, kami tidak ragu untuk berasumsi bahwa wacana
yang dicakup oleh peristiwa-peristiwa mental, secara otomatis diatur oleh
prinsip kesenangan. Kami yakin untuk mengatakan, bahwa wacana dari
peristiwa-peristiwa ini, secara konstan, digerakkan oleh suatu ketegangan
yang tidak menyenangkan, dan bahwa ia mengambil arah yang membuat
hasil akhirnya bertepatan dengan penurunan ketegangan itu---yaitu,
dengan menghindari ketidaksenangan atau memproduksi kesenangan.

Sigmund Freud, Beyond the Pleasure Principle (1920)

Anda boleh memikirkan “prinsip kesenangan” sebagai sebuah impuls

untuk mengenakan topi-topi pesta atau menghabiskan semangkuk kecil

es krim Ben and Jerry. Tapi Freud, yang telah “menemukan”nya, berpikir

bahwa kita mempunyai banyak kesenangan jika kita sepenuhnya tidak

merasakan apapun, terutama untuk tidak menghasratkan sesuatu.

Kesenangan adalah sebuah keadaan dimana tak ada satupun yang pernah

terjadi.

Ini karena pemikiran Freud tentang kesenangan bukan sebagai

suatu perasaan yang positif tapi lebih berupa seperti ketiadaan

“ketidaksenangan,” atau, dalam ungkapan bahasa Jerman yang menarik,

“unlust.” Psike (jiwa) sangat tidak menyukai ketegangan, yang muncul

dalam banyak bentuk (kecemasan, hasrat, rasa bersalah, dan lain-lain),

dan ia secara insting ingin menungganginya. Apa yang benar-benar kita

inginkan, dan apa yang dicari oleh prinsip kesenangan, adalah sebuah

keadaan yang mantap, pasti dan tak terganggu, yang oleh Freud disebut

“homeostasis.” Prinsip kesenangan ini, dengan demikian, secara

psikologis serupa dengan prinsip inersia.

Bahwa kita menyukai ketegangan, tampaknya, mudah untuk

dipahami, tapi, Freud melangkah lebih jauh yang memerlukan proses

mengasah secara terus-menerus atau terus-menerus berharap.


Sebagaimana halnya dengan jenis gangguan apapun, bahkan satu hal

yang kita pikir sebagai sesuatu yang menyenangkan, jauh di bawah sana

ternyata sangat tidak dikehendaki kehadirannya. Kandungan apapun dari

“kegembiraan dan gairah” yang signifikan untuk mendapat perhatian

termasuk rangsangan seksual, sebenarnya adalah ketegangan yang tidak

menyenangkan---kesenangan adalah ketidaksenangan. (lust is unlust).

Bahkan jika kita menikmati peningkatan kesenangan ini, ini hanya karena

kita mengetahui bahwa pelepasannya akan terasa sangat baik. Dan

semakin banyak kesenangan atau “ketegangan” yang kita lepaskan,

semakin baik ia akan dirasakan.

Laki-laki akan mendapati gagasan ini lebih mudah diterima daripada

perempuan, setidaknya, ketika ini terkait dengan kesenangan seksual,

tapi kemudian, Freud tidak dapat memberikan solusi ketika soal ini

dikaitkan dengan psikologi perempuan. (pertanyaan Freud yang terkenal:

“Apa yang diinginkan oleh seorang perempuan?” sekarang ini justru

melawan dia). Apapun yang terjadi, ketika Freud selalu mempertahankan

posisinya tentang prinsip kesenangan ini, penggambaran dia tentangnya

berkembang menjadi lebih rumit seiring berjalannya waktu. Menyadari

bahwa ketika kita mempunyai suatu kecenderungan yang kuat akan

kesenangan (stasis), keputusan-keputusan atau tindakan-tindakan kita

tidak selalu mengarahkan kita kesana, dia menyimpulkan bahwa faktor-

faktor lain harus juga dipertimbangkan.

Salah satu dari faktor ini adalah “prinsip realitas,” yaitu upaya

mengakomodasi realitas dalam kaitannya dengan tindakan melindungi

diri; seringkali, sebuah kesenangan harus ditunda atau dikorbankan jika


kita ingin mengalami kesenangan di masa datang. Misalnya, ketika prinsip

kesenangan mungkin mendesak kita untuk memberikian ide cemerlang

kepada bos kita, prinsip realitas melakukan intervensi dengan menahan

lidah kita---dipecat adalah harga mahal yang harus dibayar, pada ranah

“realitas” demi untuk terbebas dari sedikit ketegangan ini.

Melampaui Prinsip Kesenangan

Meskipun prinsip kesenangan tetap ada, bagi Freud yang selalu berubah

pikiran ini, di antara dorongan-dorongan atau kecenderungan-

kecenderungan yang paling mendasar, saat menulis bukunya “Beyond the

Pleasure Principle, dia telah menyimpulkan bahwa pasti terdapat impuls-

impuls yang lebih mendalam lagi. Salah satu dari impuls ini adalah

“tekanan yang berulang-ulang” : suatu kecenderungan yang misterius

untuk mengulang kembali atau mengalami kembali (dalam kehidupan

atau dalam mimpi-mimpi) bahkan termasuk pengalaman-pengalaman

yang tidak menyenangkan. Satu contohnya adalah kecenderungan yang

aneh dan misterius dari beberapa orang untuk selalu mendapati diri

mereka dalam jalinan hubungan yang bersifat kekerasan.

Freud menjelaskan sejenis perilaku yang aneh dengan beberapa

cara yang berbeda, semuanya bersifat hipotesis. Pertama, dia

menggambarkan tekanan yang berulang-ulang ini sebagai suatu imbal

balik bagi setting tindakan dari aksi kriminal yang gagal. Berbagai hal

yang kita cenderung untuk mengulanginya, ternyata adalah pengalaman-

pengalaman (“traumatik”) yang sangat mengganggu dimana kita, pada


saat itu, tidak mampu untuk membentengi diri kita. Kita ingin terus

mengulanginya kembali dalam suatu upaya untuk belajar dari kesalahan-

kesalahan kita dan merenungkan kembali guna “menguasai” trauma ini.

Cara itu, yang diharapkan oleh jiwa, kita akan menjadi sipa untuk aksi

kriminal selanjutnya.

Hipotesa kedua Freud adalah bahwa pengulangan kembali ini

tampaknya bersifat inheren dalam kehidupan itu sendiri. sebagaimana

telah dia katakan dalam penjelasan sistematis (eksposisi)nya tentang

prinsip kesenangan, kita menyukainya ketika berbagai hal ini tetap sama

dan rasa benci berubah atau terdapat gangguan secara umum. Insting

kita mendorong kita menuju masa lalu, menuju pada keadaan yang baru

saja kita alami dimana kita telah dipaksa oleh kekuatan-kekuatan

eksternal untuk bersikap abai. Insting, dengan demikian, adalah bersifat

konservatif; ia tidak cenderung pada perubahan atau perekembangan tapi

lebih cenderung pada kesamaan dan pengulangan kembali. Terdapat

“suatu tekanan organik untuk mengulang,” sebagaimana dalam cara

burung-burung bermigrasi pada setiap tahunnya dan ikan berenang

melawan arus untuk menghasilkan telur-telur mereka yang boleh jadi

merupakan rumah leluhur bagi spesies mereka.

Freud kemudian membawa hipotesa ini menuju posisi ekstrim yang

baru. Bukan hanya kita berharap untuk menyimpan keadaan damai kita di

masa lalu, kita, pada akhirnya, berharap untuk dapat kembali lagi pada

keadaan yang paling utama—suatu keadaan tidak mampu untuk bergerak

dan bertindak atau keadaan tak berjiwa, yang disebut dengan kematian.

“Dorongan kematian” ini, sebagaimana Freud menyebutnya, berdasarkan


pikirannya sendiri adalah hal yang paling fundamental dari insting-insting.

Bahkan insting akan perlindungan diri, yang dikemukakan Freud, adalah

sebuah percobaan untuk memastikan bahwa kita mati dari sebab-sebab

yang alami, yaitu, mati oleh sebuah proses internal.

Namun, beruntung bagi kita, dorongan kematian ini hanyalah

bagian dari ego. Kita mempunyai insting mendalam yang lain yang

menandinginya, yang disebut dengan dorongan seks. Insting-insting

seksual kita tidak mengarah pada kematian tapi pada memperlama dan

memperpanjang masa hidup dan suatu jenis keabadian. Tapi, dorongan

seksual ini, sebuah insting kehidupan, adalah seperti dorongan kematian

yang konservatif: ia berupaya untuk melindungi kehidupan, tapi hanya

dengan cara kembali pada keadaan yang lebih primitif (masa kanak-

kanak)---yaitu, dengan “membawa kembali keadaan-keadaan yang baru

saja dialami tentang substansi kehidupan.”

Namun, dengan mengizinkan insting-insting kehidupan semacam

ini, Freud dapat melihat bahwa tidak ada insting dalam bentuk kehidupan

apapun yang mengarah pada sesuatu yang baru, berbeda, atau tahap

perkembangan yang “lebih tinggi”. Organisme boleh jadi mengalami

perkembangan, tapi hanya dalam respons pada perubahan-perubahan

atau tekanan-tekanan eksternal. Bukan karena kehendak dari individu

atau kehendak kolektif. Secara maksimal, insting-insting mungkin

bertindak untuk melindungi modifikasi-modifikasi yang mengikat secara

moral (tidak dikehendaki) dalam struktur atau perilaku dari sang individu

atau spesies. Diatas semua ini, Freud tidak melihat “insting yang menuju

pada kesempurnaan dalam diri umat manusia,” yang dia sebut sebagai
suatu “ilusi perbuatan yang baik”---sebuah sentimen yang dia peroleh dari

beberapa rekannya. Freud tidak mengingkari bahwa beberapa orang

berupaya keras tanpa kenal lelah menuju kesempurnaan, tapi, dia

mendasarkan semua ini pada “sublimasi”, yaitu dalam kenyataannya,

represi enerjik dari dorongan-dorongan yang yang bersifat insting atau

tidak sadar.

Insting-insting kehidupan dan kematian memerankan diri mereka

pada level-level kejiwaan yang beragam, dalam suatu tarian yang rumit.

Tapi, pada akhirnya, sebagai insting-insting, mereka berbagi satu tujuan

umum: menyimpan sebuah keadaan yang baru saja dialami tentang

berbagai hal. Tujuan ini mungkin sesuai atau tidak sesuai, dalam beberapa

contoh yang telah diberikan, dengan prinsip kesenangan; tapi dalam

jangka panjang, tampak bahwa prinsip kesenangan, yang berupaya untuk

menolak rangsangan, menghapus ketegangan ini, menyimpan

equilibrium, dan menemukan kedamaian, adalah lebih dekat pada

kematian daripada insting kehidupan. Kedamaian yang sangat kita

harapkan untuk menemukannya adalah kedamaian di alam kubur.

Semoga hari anda menyenangkan.

Alam Bawah Sadar Kolektif

Kita harus membedakan antara alam bawah sadar personal dengan alam
bawah sadar tidak personal atau trans-personal. Kita membicarakan yang
disebut paling akhir ini juga sebagai alam bawah sadar kolektif, karena ia
tidak terhubung atau terpisah dari apapun yang bersifat personal dan ia
sepenuhnya bersifat universal, dan karena kandungan-kandungannya
dapat ditemukan dimana-mana, yang secara alami bukan contoh dengan
kandungan-kandungan personal.
Carl Gustav Jung, “On the Psychology of the Unconscious”
(1943)

Jika anda telah membaca mitos-mitos dari periode-periode waktu dan

budaya-budaya yang berbeda, anda mungkin memperhatikan beberapa

kemiripan yang menakjubkan diantara mereka. Demikian yang diungkap

oleh psikiater Swiss Carl Gustav Jung (1875-1961), yang juga mencermati

sejumlah citra-citra primitif dan mendasar---seperti makhluk-makhluk

setan, Ibu-ibu Bumi, manusia-manusia bijak, dan manusia-manusia liar---

yang muncul secara tak terduga dalam sesi-sesinya bersama dengan para

pasiennya.

Menyebut citra-citra ini sebagai “arketipe-arketipe” (yang bermakna

“kesan-kesan atau pola-pola yang orisinal”), Jung menyimpulkan bahwa

mereka harusnya menjadi bagian dari pikiran bawah sadar yang memberi

kehidupan pada pengalaman personal seorang individu sebelum

kehidupan ini (pra-eksis). Ia menyebut bagian ini sebagai “alam bawah

sadar kolektif”---yang tidak mengacu, seperti yang mungkin anda

pikirkan, pada jenis apapun dari “kelompok pikiran” dimana kita semua

terkait secara bersamaan, tapi lebih berupa potongan dari jiwa (psike)

individu masing-masing yang mewariskan pengalaman-pengalaman

kolektif dan kesan tentang manusia leluhur. (Kita semua mempunyai

materi pelengkap, tapi tidak ada “materi pelengkap kolektif” dimana kita

semua dapat berbagi sekaligus; kita masing-masing mempunyai watak

kolektif kita sendiri yang dapat dilacak, dan telah berkembang).


Teori Jung tentang arketipe-arketipe ini hanya lah satu unsur dari

sebuah teori yang lebih luas yang juga melibatkan “tipe personalitas”

dasar dari seorang individu (berkepribadian ekstrovert atau introvert),

“persona”-nya (sang diri yang dia tunjukkan ke dunia), “bayangan”-nya

(diri yang dia represikan), dan “ketidaksadaran personal”-nya (diri yang

dia lupakan). Tapi, arketipe-arketipe dan ketidaksadaran kolektif ini segera

menjadi, dan masih tetap, unsur-unsur yang paling terkenal dan paling

kontroversial dari teorinya.

Yang paling terkenal, terutama sekali, adalah dua citra arketipal

khusus---bahwa manusia yang sedemikian ini (Jung menyebutnya animus)

dan perempuan yang sedemikian ini (yang dia sebut anima). Telah

menyimpulkan bahwa tiap-tiap ketaksadaran seseorang didominasi oleh

watak-watak ini dan citra-citra yang dipaksa keluar dari diri yang sadar,

Jung secara alamiah telah mengasumsikan bahwa anima ini adalah citra

yang paling kuat dalam alam bawah sadar laki-laki dan animus adalah

citra paling kuat di alam bawah sadar perempuan.

Jadi, kita secara fisik adalah bersifat banci, dan semakin keras kita

berupaya untuk merepresi separuh diri kita yang tersembunyi, maka

semakin ia membebani kita dengan konflik-konflik psikologis. Dalam

pandangan Jung, hanya dengan mengenali dan menerima kandungan-

kandungan dari alam bawah sadar personal dan kolektif kita, kita dapat

menjadi utuh dan sehat secara fisik. Pandangan ini mengarahkan dia

untuk bersandar pada “asosiasi bebas,” yang dia yakini akan menyingkap

para pasien yang mengalami represi, perasaan-perasaan tak sadar dan

citra-citra yang begitu kuat dan yang berpotensi mengancam.


Meskipun komunitas psikiatri, pertama kali bersikap menerima ide-

ide Jung, mereka akhirnya merasa kehilangan aspek ilmiah yang kongkrit

dan ide-ide ini bersifat terlalu “sastra.” Jung, pada gilirannya,

menyalahkan sains yang mengasingkan umat manusia dari alam dan

kekuatan-kekuatan primitifnya dengan “menjelaskan” segala sesuatunya

dalam istilah-istilah rasional. Dengan kata lain, ini adalah kesalahan sains

yang sama sekali tidak menyentuh pengalaman-pengalaman para leluhur.

Baru-baru ini, banyak para psikiater yang kembali menoleh pada

tulisan-tulisan Jung, dan psikologi arketipal sedang menikmati masa

renaissance-nya. (Ironisnya, terdapat banyak persepsi sastra untuk

arketipe-arketipe ini juga). Uji coba klinis mungkin sekali tidak pernah

dapat membuktikan teori Jung ini sebagai benar, tapi seperti yang telah

ditunjukkan oleh pergerakan manusia dan Joseph Campbell, kadang-

kadang, ide-ide tidak harus kedengaran ilmiah untuk memuaskan sang

jiwa.

Relasi-relasi Obyek

Perkembangan anak kecil telah diatur oleh mekanisme-mekanisme


introjeksi dan proyeksi. Dari sejak awalnya, sang ego meng-introjeksi
“kebaikan” dan “keburukan,” dimana payudara sang ibu adalah tipe
dasar---untuk obyek-obyek yang baik ketika seorang anak
memperolehnya, dan untuk obyek-obyek yang buruk ketika ia membuat
anak itu gagal.

Melanie Klein, “A Contribution to the Psychogenesis of Manic-


Depressive States” (1935)
Freud berpikir bahwa dia telah memecahkan banyak masalah, tapi dia

tidak pernah berpretensi untuk mengetahui apa yang sedang berlangsung

dalam pikiran seorang anak kecil. Dia telah menteorikan tentang fase-fase

atau “tahap-tahap” psikhis yang paling awal---oral, anal, genital, dan

macam-macam---tapi mengalami jalan buntu dalam meneliti hal-hal

semacam ini secara langsung. Psikoanalisa Freudian hanya berfungsi

ketika sang pasien sedang berkehendak dan mampu untuk

mengungkapkan masalah-masalahnya.

Namun, diantara para pengikut Freud, seorang analis Inggris

Melanie Klein memikirkan ini sebagai suatu hal yang penting dan perlu

untuk melihat pada pengalaman-pengalaman dari masa kanak-kanak

yang paling dini. Teori yang dihasilkan ini disebut “relasi-relasi obyek,” dan

ini sangat sentral bagi praktek psikoanalisa kontemporer.

Teori ini mengambil namanya dari penggunaan “obyek” oleh Klein

untuk mengacu pada persepsi anak-anak yang terpotong-potong, tidak

utuh, yang sangat bergantung pada perintah-perintah. Bagi anak-anak,

dunia ini tidak terbuat dari berbagai hal dan orang-orang yang koheren,

yang berbeda dari sang diri atau kebutuhan-kebutuhannya dan yang

bersifat datang dan pergi, tapi lebih berupa obyek-obyek transisi yang

menimbulkan kesenangan atau penderitaan. Obyek-obyek yang memberi

kesenangan adalah obyek-obyek yang “baik”; sedangkan obyek-obyek

yang tidak menyenangkan adalah obyek-obyek-obyek yang “buruk.”

“Obyek yang baik” yang paling esensial dalam kehidupan seorang

anak adalah payudara ibunya, yang merupakan sumber terbesar bagi

kesenangannya. Dalam kenyataan, pengalaman yang paling mendesak


dan memaksa adalah proses menyusu---menghisap air susu dari

payudara---yang diikuti dengan ketat oleh pengalaman tidak

menyenangkan dari melewatkan sesuatu secara sia-sia pada ujung

lainnya. Pengalaman-pengalaman biologis ini menyuplai kita dengan

mekanisme-mekanisme psikologis yang paling awal, dimana Klein yang

mengikuti Freud, menyebutnya dengan istilah “introjeksi”

(“mengkonsumsi” obyek-obyek eksternal) dan “projection” (mengirim

atau memindahkan obyek-obyek batin ke dunia ini). Secara alami, anak-

anak berharap untuk “meng-introjeksi” atau mengkonsumsi obyek-obyek

yang baik (yang menyenangkan dan “mem-proyeksi” ataumemindahkan

obyek-obyek yang buruk (yang tidak menyenangkan).

Tapi, tak ada di dalam hidup ini yang sedemikian sederhana,

sehingga tahun-tahun kita sebelum ini dipenuhi dengan kecemasan.

Tanpa mempunyai pemahaman nyata tentang waktu atau koherensi

(menjalin hubungan secara logis), anak-anak tidak mengetahui bahwa

penderitaan (seperti rasa lapar atau rasa panas akibat munculnya bintik-

bintik merah di kulit) adalah bersifat sementara dan akan menghilang.

Demikian pula, yang menimbulkan rasa shock adalah ketika sang ibu

menjauhkan payudaranya padahal kegiatan menyusu ini menimbulkan

kesenangan surgawi. Perubahan sedikit saja dapat menciptakan sebuah

neraka di luar surga atau sebuah surga di luar neraka, dimana ini semua

sangat merepotkan dan membingungkan bagi ego anak yang masih

sangat hijau ini. Sang anak mendapati dirinya hanya mempunyai kontrol

yang sangat terbatas atas obyek-obyek yang baik dan yang buruk,
sehingga sulit untuk memahami dan memberikan apa yang ia inginkan

pada saat dia menginginkan sesuatu.

Kerumitan kedua muncul perihal insting. Klein menerima teori Freud

bahwa kita terlahir dengan dua insting dasar dan yang saling

bertentangan: insting kematian (yang bersifat agresif dan destruktif) dan

insting kehidupan (yang bersifat melindungi dan memelihara). Sikap

agresi seorang anak, pada prinsipnya, melawan “obyek-obyek yang

buruk” ini yang membuatnya menderita; apa yang tidak dia ketahui, pada

mulanya, adalah bahwa beberapa dari obyek-obyek yang buruk ini adalah

identik dengan obyek-obyek yang baik. Misalnya, pada saat lapar,

seorang anak menangis keras karena marah ketika payudara ibunya

mengering; sehingga payudara ini kemudian menjadi sebuah “obyek yang

buru” yang tampak berbeda sepenuhnya dari payudara yang berlimpah

air susunya dan yang bersifat menyenangkan.

Anak kecil dalam penderitaannya berharap untuk menghancurkan

payudara yang buruk dengan fantasi-fantasi yang ekstrim. Namun pada

akhirnya, ia mulai menyadari bahwa payudara yang buruk yang dia benci

ini sama dengan payudara yang baik yang dia sukai, dan bahwa sikap

agresifnya, impuls-impuls destruktifnya telah diarahkan pada sumber

yang sama dengan kesenangannya. Merasa takut bahwa fantasinya dapat

mengancam obyek-obyeknya dan juga dirinya sendiri, anak-anak

melangsungkan sebuah perang batin yang kuat antara impuls yang

destruktif dan impuls yang melindungi. Di luar konflik ini, muncul teori

“super ego” yang terkenal, bahwa aksi psikis ini bertujuan untuk

merepresi insting-insting yang membahayakan.


Gambaran tentang fantasi kanak-kanak ini, yang diklaim oleh Klein

untuk meng-asal-kan baik dari teori dan dari observasi, membalikkan satu

dari hipotesa-hipotesa Freud yang paling bermasalah. Menurut Freud ,

super ego berkembang hanya setelah Oedipus complex luruh, katakanlah

ketika anak telah menginjak usia kira-kira lima tahun. Tapi, Klein telah

mengobservasi tindakan psikis yang kasar dan represif bahkan disaat

anak baru berusia tiga tahun, sebuah tindakan yang bahkan lebih kasar

dan lebih represif dibandingkan dengan super ego orang dewasa, untuk

tidak menyebut kedua orangtuanya. Teori relasi-relasi obyek bukan hanya

menjelaskan penampakan paling awal dari super ego, ia juga menjelaskan

kekasarannya yang khas, yang berasal dari intensitas konflik di antara

insting-insting dan fantasi-fantasi seorang anak, yang mendistorsi realitas.

Selanjutnya, teori Klein menjauh dari fiksasi yang memalukan dari teori

Freudian tentang pengalaman-pengalaman dari anak laki-laki kecil. Baik

anak laki-laki maupun anak perempuan, merasakan kesenangan dan

penderitaan yang setara, dan mereka saling berbagi fantasi-fantasi yang

sama tentang mengkonsumsi atau menghancurkan “obyek-obyek” dari

dunia mereka yang terpisah-pisah.

Jadi, untuk mengakrabkan diri dengan pernyataan Klein yang

elegan, “formasi dari super ego bermula pada waktu yang sama dengan

seorang anak yang membuat introjeksi-introjeksi oralnya yang paling awal

dari obyek-obyeknya” (“The Early Development of Conscience in the

Child”, 1933). Dan dengan ini, kita tinggalkan sastra psikoanalisa.

De-Signs of the Times:


Paradigma-paradigma Posmodern
Strukturalisme dan Semiotika

Ilmu yang mempelajari kehidupan tentang tanda-tanda dalam masyarakat adalah


masuk akal; ini akan menjadi sebuah bagian dari psikologi sosial dan, sebagai
konsekuensinya, menjadi bagian dari psikologi umum; aku akan menyebutnya
semiologi (dari bahasa Yunani semeion = “tanda”). Semiologi akan menunjukkan
apa saja yang menjadi unsur-unsur dari tanda-tanda, apa hukum-hukum yang
mengatur mereka. Ketika ilmu ini belum eksis, tak seorang pun dapat mengatakan
tentangnya; tapi, ia mempunyai hak untuk eksis, sebuah wilayah yang mendapat
pengawasan terlebih dahulu.
Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics (1916)

Strukturalisme (studi tentang struktur-struktur budaya) dan ilmu-ilmu yang

berhubungan dengan semiotika (ilmu tentang tanda-tanda), keduanya terlahir oleh

sebuah teks tunggal, yaitu, Course in General Linguistics, yang ditulis oleh pakar

linguistik Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913), setelah kematiannya.

Dalam praktek, dua karya Saussure ini sulit untuk dibedakan, tapi pada garis

besarnya, keduanya dapat didefinisikan sebagai berikut:

• Strukturalisme adalah istilah yang lebih inklusif. Ia mengacu pada penelitian

untuk sturktur-struktur “mendalam” umum, yang melandasi ranah yang luas

dari ekspresi-ekspresi budaya. Sebuah contoh dari antropologi adalah analisa

Claude Levi-Strauss tentang mitos: banyak mitos yang tampak berbeda,

sebenarnya mempunyak “makna” yang sama (menyediakan fungsi yang sama)

ketika mereka beroperasi dengan cara yang sama (mempunyai struktur yang

sama). Para strukturalis dari satu jenis atau jenis lain mungkin juga

ditemukan di kalangan para filosuf, sejarawan, psikolog, dan kritikus sastra,

disamping pakar linguistik.


• Semiotika adalah sebuah cabang dari strukturalisme. Ide dasarnya adalah

bahwa semua jenis perilaku itu bersifat komunikatif, untuk mengatakan

bahwa mereka adalah “penanda”. Segala sesuatu dari gambaran detail tentang

apa saja yang menjadi perhatian anda mengenai sebuah aksi perang, dapat

dipahami sebagai sebuah “tanda” yang analog bagi sebuah kata atau kalimat.

Semiotika mempelajari sistem-sistem, yang serupa dengan bahasa, dimana

tanda-tanda semacam ini mengandaikan adanya makna (yang ditandai).

Mayoritas dari pakar semiotika sekarang ini adalah para teoritisi sastra atau

para mahasiswa perfilman, karena citra mereka sebagai orang yang sangat

mencintai Perancis, yang merokok secara terus-menerus.

Saussure menyebut dirinya sendiri sebagai bukan seorang strukturalis (sebuah

istilah yang belum ditemukan) dan bukan juga seorang pakar semiotika

(meskipun dia menemukan istilah ini), tapi dalam karya ilmiahnya the Course,

dia mengajukan konsep-konsep fundamental yang umum bagi masing-masing.

Dia mulai dengan menyerang bias sejarah dan bias komparatif dari pakar

linguistik di masanya. Para pakar linguistik, kebanyakan menyibukkan diri

mereka dengan ide-ide penting yang menjadi bahan perdebatan tentang sejarah,

perkembangan, dan saling keterhubungan dengan bahasa-bahasa modern. (Dia

menyebut ini sebagai aspek “diakronik” sejarah/temporer). Saussure

mempertahankan pendapatnya bahwa studi-studi semacam ini sebagai

meletakkan kereta di depan kuda, karena para pakar linguistik tidak mempunyai

teori yang memadai tentang bagaimana bahasa berfungsi dalam semua waktu

(dalam aspek strukturalnya atau aspek “sinkronik”). Bayangkan para ilmuwan

yang mempelajari evolusi manusia tanpa memahami biologi atau fisiologi, dan

anda akan memahami apa yang sedang dikeluhkan oleh Saussure.


Saussure bertujuan untuk menyembuhkan kelemahan ini. Pertama, dia

memerinci bahasa menjadi dua komponen: langue (struktur dan aturan-aturan

tentang bahasa) dan parole (bahasa sebagaimana ia diucapkan). Langue, pada

intinya, adalah sinkronik---ia adalah sebuah sistem abstrak dan dibakukan dan

tidak berubah kapanpun. Parole bersifat cair dan diakronik---pembicaraan

adalah merangkai kata-kata pada suatu waktu, dan sementara diatur oleh

konvensi-konvensi dari langue, ia berlangsung dalam waktu singkat dan

cenderung cepat berubah. (Pikirkan tentang langue sebagai kamus raksasa yang

tidak penting-bersama dengan---buku panduan grammar).

Saussure berpikir bahwa untuk dapat memahami secara mendalam

tentang bagaimana bahasa bekerja, kita pertama kali harus memahami langue,

yang bersifat lebih fundamental daripada parole. Inilah teorinya: langue adalah

sebuah struktur dari tanda-tanda yang, secara inheren, tidak mempunyai makna

atau dalam keadaan terisolasi, tapi hanya sebagai bagian dari sistem. Kata tree

(pohon), misalnya, adalah sebuah tanda linguistik dengan sebuah makna bagi

orang –orang yang berbahasa Inggris. Tapi, jika anda mengatakan “tree” kepada

seorang warga kepulauan Aleut di Alaska, ia tidak mempunyai makna sama

sekali. Sebuah kata mempunyai makna hanya jika ia mempunyai sebuah tempat

khusus dalam sebuah sistem tanda-tanda (misalnya, bahasa Inggris).

Selanjutnya, ia tidak mengandung makna aslinya ketika terjadi penggabungan

suara yang melahirkan kata tree, tapi lebih karena ia adalah berbeda dari semua

tanda-tanda lain dalam bahasa Inggris.

Poin Saussure yang paling mendasar adalah bahwa tanda-tanda linguistik

(suara-suara, kata-kata, frasa-frasa, kalimat-kalimat, dll.) tidak mempunyai

makna yang esensial; dalam dan tentang diri mereka, mereka adalah hampa

makna. Makna dihadirkan oleh sistem tanda-tanda---sistem tentang perbedaan-


perbedaan---yang sepenuhnya netral. Tidak ada alasan yang diperlukan bagi kata

tree agar diingat oleh pikiran sebagai citra dari sebuah pohon; tidak ada alasan

yang diperlukan oleh kata “tetapi” yang bermakna kontradiksi; tidak ada alasan

tentang penambahan suara sdi akhir kata-kata dalam bahasa Inggris yang

membuat mereka bersifat plural. Semua makna-makna ini didefinisikan oleh

konvensi, sebagaimana tercakup dalam langue; makna adalah sebuah produk

budaya.

Yang membawa kita pada poin dimana semiotika muncul pertama kali

dari strukturalisme: pembedaan antara suatu penanda (suara, tanda, atau

isyarat) dan yang ditandai (konsep yang diasosiasikan atau citra). Misalnya,

suara-suara yang anda buat saat anda mengatakan kata tree, atau tanda-tanda

yang anda buat pada halaman buku saat anda menuliskannya, mencakup suatu

penanda; citra mental atau konsep dari sebuah pohon (tree) adalah benda yang

ditandai yang diasosiasikan. Kombinasi dari penanda dan yang ditandai

menciptakan tanda; dan kenetralan dari tanda ini berasal dari fakta bahwa

penanda dan yang ditandai hanya dihubungkan oleh konvensi atau kesepakatan

bersama.

Dengan menyadari kenetralan dari tanda-tanda, ini hanyalah langkah

pertama dari seorang strukturalis atau analis semiotika. Langkah selanjutnya

adalah menguji sistem atau struktur dibaliknya. Tokoh sentral dari

strukturalisme adalah bukan seorang pakar linguistik, melainkan seorang

antropolog, Claude Levi-Strauss, seorang yang menganut keyakinan yang kokoh

bahwa anda tidak dapat memahami ritual, keyakinan, praktek, pertukaran, atau

mitos tertentu kecuali anda memahami struktur keseluruhan (seperangkat pola-

pola) dari suatu budaya yang diandaikan, yang tersembunyi dan tidak disadari.

Jika anda mengambil sebuah mitos, misalnya, anda tidak dapat memahaminya
hanya dengan menganalisanya secara terpisah---katakanlah melalui psikoanalisa

atau mencari dasar pijakan historisnya. Apa yang perlu anda lakukan adalah

melihat secara menyeluruh pada mitos-mitos budaya untuk menemukan

“bahasa” mitis yang mendalam dibalik itu. bahasa ini, pada esensinya, bersifat

bipolar---seperangkat oposisi-oposisi (murni/tidak murni, subur/mandul,

mentah/matang, dll.) yang dapat berakhir dengan berbagai macam cara dalam

setiap mitos.

Semiotika, meskipun bersifat tersembunyi dalam karya-karya Saussure

dan rekan semasanya, filosuf Charles S. Peirce, benar-benar berangkat dari

tulisan-tulisan dari kritikus Perancis, Roland Barthes (1915-1980). Barthes juga

mempelajari mitos, tapi dia memperluas konsep ini untuk mencakup keragaman

yang luas dari kode-kode budaya dan keyakinan-keyakinan. Dalam Mythologies

(1957), dia mengelola signifikansi budaya tentang segala sesuatu dari otak

Einstein bagi penanganan profesional, menguji cara-cara obyek dan tindakan

mengemban makna-makna kedua atau bahkan makna-makna ketiga dalam

sebuah budaya. Sebuah contoh dari saya: warna-warna dan pola-pola tertentu

pada sepotong kain menandakan bendera negara; sebuah bendera negara

menandakan identitas nasional; identitas nasional mengimplikasikan

patriotisme; patriotisme mengimplikasikan kepatuhan pada negara; dan lain-

lain.

Barthes kemudian melatih wawasan-wawasannya pada sastra, misalnya

dalam karya masterpiece-nya S/Z (1970), sebuah studi tentang kisah Honore de

Balzac “Sarrasine”. Yang ingin ditunjukkan oleh Barthes adalah bahwa apa yang

“dimaksudkan” oleh sebuah karya tertentu, sebagiannya ditentukan oleh

keragaman kode-kode yang luas, beberapa kode semantik, beberapa kode

ideologis, beberapa kode estetis, dan lain-lain. Setiap teks (atau, jika anda
inginkan, setiap penulis) berupaya untuk menempatkan beberapa batasan pada

bagaimana kode-kode ini berfungsi, sehingga pembaca mengalami perasaan-

perasaan dan makna-makna yang diinginkan. Hingga pada tingkat bahwa sebuah

teks sukses dalam proyek ini, ini adalah “bersifat pembaca” (readerly)---yang

disesuaikan ke arah konsumsi yang pasif. Tapi, tak ada penulis atau karya yang

dapat mengontrol semua kode dan membatasi watak ekspansif atau permainan

bebas dari makna-makna yang melebihi niatan semula. Hingga pada tingkat

bahwa seorang pembaca berpartisipasi dalam memilah-milah dan merangkai

makna-makna yang melampaui yang diperlukan, dia membuat teks ini menjadi

“bersifat penulis” (writerly)---sebuah obyek tentang konsumsi yang aktif.

Selama masa keemasannya di tahun 1950-an dan 1960-an, strukturalisme

berakar dalam keragaman dari disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan, yang

memunculkan aliran-aliran pemikiran yang sekarang ini disebut dengan “pos-

strukturalis”. Pergerakan-pergerakan seperti dekonstruksi filsafat dan

psikoanalisa Lacanian layak memperoleh sebutan yang menimbulkan keraguan

ini karena, disamping sebagai strukturalis, mereka mempertanyakan beberapa

asumsi-asumsi strukturalisme---misalnya, superioritas pembicaraan dari tulisan

atau koherensi tentang topik manusia. Untuk pembahasan lebih jauh dari salah

satu pergerakan yang menyenangkan dan menarik ini, lihat DEKONSTRUKSI,

hal....

Grammar Universal
Menurut pakar linguistik, Noam Chomsky (lahir tahun 1928), yang sekarang ini

mungkin terkenal dengan kuliah-kuliah politiknya, otak manusia tidak bersifat

tabula rasa ketika ia dihadapkan pada soal bahasa. Jumlah bahasa manusia yang
sangat banyak, baik yang masih ada maupun yang telah punah, adalah sangat serupa

dalam struktur secara kebetulan. Otak, pikirnya, harus tersambung dan terhubung

(hard-wired) dengan suatu “grammar universal” yang memungkinkan anak-anak

untuk belajar bahasa dengan sangat cepat, tapi yang juga merancang batasan-

batasan tentang seperti apa bahasa itu.

Chomsky mengasalkan ide ini dari studinya tentang sintaksis, yang

merupakan penyusunan kata-kata penuh makna dalam sebuah kalimat. “Kucing ada

di atas karpet” (The Cat is on the mat) menunjukkan sintaksis bahasa Inggris yang

sempurna (dan dengan demikian mempunyai sebuah makna), sementara “Kucing

karpet di atas adalah” (Cat mat the on is) tidak demikian. Ketika Chomsky memulai

karirnya, sintaksis bukanlah sebuah topik yang banyak diperbincangkan;

strukturalisme sedang berada di puncak kejayaannya, dan kaum strukturalis jauh

lebih banyak menaruh perhatian pada sifat dari “tanda” linguistik (kata/konsep yang

berpasangan) daripada tentang grammar atau struktur kalimat-kalimat yang

koheren.

Chomsky juga tertarik dengan struktur, tapi tidak begitu banyak dalam

struktur permukaan bahasa (penggunaan aktual dari tanda-tanda) sebagaimana

dalam apa yang ia sebut sebagai “struktur mendalam”. Dengan mengobservasi

bahwa, praktis, semua anak-anak, apapun kecerdasan bawaan mereka, akan dengan

mudah dan dengan cepat dapat memiliki kompetensi dasar dalam berbahasa,

Chomsky berteori bahwa manusia harus berbagi beberapa kemampuan linguistik

bawaan, saat lahirnya. Ini adalah kemampuan untuk belajar, dari mendengarkan

hanya sejumlah kecil dari semua kalimat yang mungkin, grammar dasar dan aturan-

aturan untuk mentransformasi kalimat-kalimat menjadi kombinasi-kombinasi yang

baru.
Poin utama Chomsky adalah bahwa, ketika tak satu pun dari kita yang

mempelajari aturan-aturan grammar sebelum belarjar cara berbicara, otak harusnya

mempunyai kemampuan grammatika yang built-in (sudah terkonstruk di dalam otak

sejak lahir). Ketika kita mengajarkan kepada seorang anak kalimat “Lihatlah tempat

berlari,” kita tidak (dan tidak perlu) men-diagram kalimat ini menjadi unsur-unsur

grammatikal. Seorang anak bagaimanapun telah mengetahui bahwa kombinasi

suara-suara ini adalah mengandung makna, dan sudah mempunyai pemahaman

tentang bagaimana kata-kata saling sesuai untuk menciptakan makna.

Selanjutnya, suatu studi komparatif tentang bahasa-bahasa yang beraneka

ragam di dunia ini menunjukkan bahwa hampir semua dari mereka didukung oleh

sekelompok kecil dari struktur-struktur grammatika yang umum. Kombinasi subyek-

kata kerja-obyek, misalnya, adalah mendekati universal. Bahkan struktur-struktur

yang lebih sederhana, seperti klausa-klausa relatif, cenderung untuk terlihat sama

dalam setiap bahasa. Kalimat berbahasa Inggris “Buku yang saya baca” (The book

that I read) menurut ucapan bahasa Perancisnya adalah: “Le livre que j’ai lit”: ini

adalah grammar yang sama. Padanan kalimat ini dalam bahasa Ibraninya yang agak

berbeda---mungkin menjadi “Buku yang saya membacanya,” (The boook that I read

it) sebuah bentuk yang kita temukan dalam bahasa-bahasa lain (bahkan kadang-

kadang dalam bahasa Inggris). Dua bentuk dasar ini, “yang saya baca” dan “yang saa

membacanya,” menggambarkan klausa relatif dalam setiap bahasa yang dikenal dan

yang dipraktekkan. Mengapa hanya dua bentuk ini, ketika yang lain dapat

melakukan pekerjaan yang sama? Mengapa “Buku yang saya baca” dan bukan “Buku

yang oleh aku yang membaca yang dilakukan di masa lalu” (The book by me reading

it past time done) atau formasi lain yang seperti ini?

Jawaban Chomsky adalah grammar universal: sebuah grammar yang

mengizinkan kita untuk mempelajari bahasa apa saja dengan contoh dan membatasi
cara-cara yang mungkin dalam membentuk sebuah frasa atau kalimat yang

mengandung makna. Dan meskipun biasanya terdapat beberapa cara untuk

mengucapkan hal yang sama, masing-masing cara harus menderivasikan, dengan

bantuan dari aturan-aturan bawaan dan baku tentang transformasi, yang disebut

Chomsky sebagai “struktur yang mendalam” (deep structure) dari kalimat. Misalnya,

kalimat yang diucapkan “John mudah merasa puas” adalah sebuah transformasi

dengan aturan-aturan ketat dari kalimat yang lebih eksplisit dan primitif “Adalah

mudah untuk menyenangkan John” (“ubah posisi obyek John ke posisi awal dan

hapuskan subyek ‘it’”). Kalimat serupa yang berbunyi “John ingin sekali untuk

menyenangkan (“John is eager to please”) yang dihasilkan dari “struktur mendalam”

yang sangat berbeda---yaitu, “John ingin sekali untuk menyenangkan seseorang”---

melalui sebuah aturan transformasi yang berbeda. Bahwa kita secara insting

memahami semua aturan ini, dan bahwa kita dapat mengerti banyak kalimat yang

kacau atau kalimat yang ambigu, mendukung teori suatu grammar universal.

Jika benar, teori Chomsky menempuh jalan panjang menuju penjelasan

tentang bagaimana manusia itu dapat mengatakan apa saja yang baru. Jika akuisisi

bahasa itu bersifat empirik murni---dengan kata lain, jika kita mempelajari semua

bahasa hanya dari tindakan mendengar---maka, akan menjadi sulit untuk

menjelaskan bagaimana kita dapat berbicara secara kreatif selain dari sekadar

mengulang-ulang apa yang telah kita dengar. Kemampuan untuk mengganti kata-

kata yang baru dan ide-ide menjadi bentuk-bentuk kalimat yang telah dipelajari,

setidaknya, haruslah bersifat bawaan.

Selanjutnya, Chomsky meyakini, struktur-struktur mendalam yang terdapat

di bawah permukaan bahasa, harusnya mempunyai beberapa keterhubungan

esensial bagi proses konstruksi otak. Dengan demikian, sebagaimana yang dia

kemukakan, bahasa adalah suatu “cermin dari pikiran” (Reflections on Language,


1975). Dalam suatu cara yang paling mendasar, apa yang dapat kita pikirkan sebagai

terhubung dengan apa yang dapat kita katakan, tidak harus karena pemikiran-

pemikiran dan konsep-konsep ini pada esensinya bersifat linguistik (meskipun

beberapa pihak akan mengatakan demikian), tapi karena organ otak dikonstruk

untuk memiliki pembicaraan, dan cara ia dikonstruk harusnya menentukan cara kita

berpikir.

Ide-ide Chomsky membawa perubahan yang sangat revolusioner dalam ilmu

linguistik dan ilmu kognitif, dan ide-ide ini masih berperan sangat besar dalam

kedua disiplin ilmu ini. (Tapi, pandangan-pandangan Chomsky telah mengalami

perkembangan secara bertahap; dia sekarang menyusun sebuah versi dari teorinya

yang disebut dengan “minimalism”.). Teori-teorinya jelas mempunyai keterbatasan-

keterbatasan, khususnya ketika ia mulai memahami memahami tindakan berbicara,

yang sangat menarik perhatiannya daripada tentang hal-hal yang potensial untuk

dibicarakan. Dinamika-dinamika percakapan dan nuansa-nuansa yang tidak disadari

tentang komunikasi praktis, adalah melampaui grammar universal; kadang-kadang,

permukaan itu lebih penting dari kedalaman. Bahwa kita semua mampu untuk

berbicara secara kreatif tidak berarti bahwa kita semua dapat melakukan itu, dan

bahwa kita dapat mengatakan dan memahami “I love you” atau “Waspadalah

terhadap

ocehan tak berguna, putraku” tidak berarti bahwa kita akan melakukannya.

Dekonstruksi

Tentu saja, ini bukan sebuah pertanyaan tentang memilah-milah kembali konsep
yang sama tentang penulisan dan tentang membalik hal-hal yang tidak simetris
[pembicaraan atas tulisan] yang sekarang telah menjadi problematis. Ini lebih
berupa sebuah pertanyaan tentang memproduksi sebuah konsep baru tentang
menulis. Konsep ini dapat disebut dengan gram (sesuatu yang tertulis) atau
differance. Peran dari differances, sebenarnya, mengandaikan sintesa-sintesa dan
acuan-acuan (referrals) yang mencegah pada momen apapun, atau dalam
pemahaman apapun, bahwa sebuah unsur sederhana hadir dalam dan dari dirinya
sendiri, yang mengacu hanya pada dirinya sendiri. Apakah dalam tertib (order)
wacana pembicaraan atau wacana tulisan, tidak ada unsur yang dapat berfungsi
sebagai sebuah tanda tanpa proses mengacu pada unsur lain yang dirinya sendiri,
sungguh-sungguh, hadir. Hasil-hasil yang serba jalin-menjalin ini pada masing-
masing “unsur”---fonem [unit suara] atau grapheme [tanda tertulis]---yang tersusun
pada basis dari jejak di dalamnya dari rangkaian sistem unsur-unsur yang lain.
Proses jalin menjalin ini, tenunan ini, adalah teks yang dihasilkan hanya dalam
transformasi dari teks lain. Tak ada satupun, tidak juga di antara unsur-unsur, tidak
juga dalam sistem, dimana saja berada, yang sungguh-sungguh hadir atau absen.
Yang ada hanyalah, dimana saja berada, perbedaan-perbedaan dan jejak-jejak dari
jejak-jejak.
Jacques Derrida, “Semiologi and Grammatology” (1968)

Well, ini menjelaskan segalanya! Tapi sebenarnya, adalah sulit untuk menyalahkan

siapapun karena melewatkan poin inti dari dekonstruksi, ketika tulisan seorang

dekonstruksionis begitu berbelit-belit dan kompleks. Meskipun ini dapat

menimbulkan sedikit gangguan untuk melihat istilah dekonstruksi sedang merebak

dimana-mana, dengan cemoohan terhadapnya, ketika kebanyakan dari mereka yang

menggunakan dan mengejek istilah ini tidak mengetahui apa yang sedang mereka

bicarakan.

Au contraire (Sebaliknya), beberapa pihak mengatakan; adalah para

dekonstruksionis, terutama pemimpin mereka, Jacques Derrida (lahir tahun 1930),

yang melakukan penyalahgunaan istilah ini. Diantara dosa-dosa para pendukung

dekonstruksi, kata mereka, adalah yang memutar-balikkan bahasa dan mengingkari

semua yang benar dan baik. Para pendukung dekonstruksi mengatakan bahwa tidak

ada sesuatu yang disebut dengan kebenaran, bahwa segala sesuatu bersifat relatif,

bahwa nilai-nilai moral adalah suatu ketololan, dan bahwa makna telah dirampas.
Dekonstruksi, singkatnya, berada di balik semua kejahatan masyarakat modern, dari

kebenaran politik menuju relativisme moral dan relativisme estetika.

Terdapat suatu kadar tertentu dari kebenaran dalam distorsi-distorsi ini, tapi

ini adalah kepanikan yang tidak perlu dan tidak pada tempatnya. Karena fakta yang

sederhana adalah bahwa Derrida dan rekan-rekan, mereka tidak benar-benar

mengadakan kampanye nihilistik13 untuk menghancurkan kebudayaan. Mereka

hanya ingin menghancurkan tradisi metafisik dalam filsafat Barat, yang dalam

pikiran mereka adalah sebuah benteng dari bahasa absurd yang dibangun di udara.

Inilah poin utamanya, ringkasnya, bagi siapa saja dari anda yang dapat hidup

tanpa detail-detail: bahkan sejak era sebelum Sokrates, para filosuf telah merancang

ideal-ideal seperti “kebenaran”, “orisinalitas”, “wujud”, dan “kehadiran”, dan terus

berlanjut untuk mengkonstruk sistem-sistem berdasarkan pada kategori-kategori ini

dan kategori-kategori yang berlawanan dengan mereka. Mimpi filosofis adalah untuk

menemukan dan mengklarifikasi prinsip-prinsip metafisik yang mendasar ini. Tapi,

mereka semua penuh dengan lubang-lubang, dan upaya apapun untuk mendukung

mereka, secara tak terhindarkan, akan penuh dengan tautologi-tautologi dan

kontradiksi-kontradiksi diri.

Sekarang, untuk detail-detail yang kotor; para pembaca yang lebih waras

mungkin akan terus melanjutkan langkah mereka. Sebuah awal yang bagus untuk

memulai adalah karya terbaik dan paling terkenal dari Derrida yaitu, Of

Grammatology (1967), yang terus menyerang secara gencar beragam target,

termasuk tulisan-tulisan strukturalis dari Saussure dan Levi-Strauss. Saussure, kata

Derrida, mempublikasikan sebuah kesalahan yang sudah berlangsung sangat lama

dengan memperlakukan pembicaraan (speech) sebagai sesuatu yang lebih murni dan

lebih orisinal daripada tulisan. Pembicaraan diandaikan sebagai memberi kehadiran


Nihilisme = doktrin yang menyatakan bahwa semua nilai adalah tidak mempunyai dasar dan bahwa tak ada
13

satupun yang dapat diketahui atau dikomunikasikan. Penerjemah.


dan tubuh bagi pemikiran, sementara tulisan hanyalah sekadar parasit, sebuah

copyyang kalah penting dari pembicaraan. Derrida menyebut doktrin ini sebagai

logosentrisme.

Saussure dan para pendahulunya tidak hanya berhenti sampai disini saja.

Logosentrisme hanyalah sekadar sebuah gejala dari kecenderungan metafisik untuk

mengobrak-abrik realitas menjadi dua hal yang saling berlawanan, satu aspek adalah

“kebaikan” dan aspek lain adalah “keburukan”. Bahasa ucapan itu sendiri, dalam

pemikiran Saussure, diperinci menjadi dua bagian yang berlawanan, yang disebut

“hal-hal yang ditandai” (makna-makna) dan “penanda-penanda” (suara-suara yang

menunjuk pada makna-makna); hal-hal yang ditandai adalah lebih penting dan lebih

substansial daripada penanda-penanda (signifiers), yang adalah tidak bermakna dan

netral. Sebuah daftar parsial dari hal-hal yang berlawanan ini mencakup:

Ucapan : tulisan

Yang ditandai : penanda

Di dalam : di luar

Hadir : absen

Presentasi : representasi

Sentral : marjinal

Serius : retoris

Ada : tidak ada

Benar : salah

Alam : budaya

Para filosuf metafisika memandang dunia ini dalam istilah-istilah yang sedemikiran

rupa dan, sadar atau tidak sadar, memperlakukan unsur yang pertama dari masing-

masing yang berpasangan ini sebagai lebih orisinal, lebih murni, dan lebih baik

daripada unsur yang kedua. Apa yang tidak mereka lakukan adalah berhenti untuk
mempertanyakan logika dari pembuatan pembedaan-pembedaan seperti ini. Tidak

juga mereka menjelaskan bagaimana perbedaan-perbedaan semacam ini dapat

muncul di tempat pertama jika ucapan, alam, dan lain-lain, adalah begitu murni,

hadir dan baik.

Tujuan dari dekonstruksi adalah tidak untuk membatalkan hal-hal yang

berlawanan seperti ini, yang akan menjadi cukup idealistis dan romantis. Tidak juga

ia ingin menunjukkan bahwa istilah-istilah yang merupakan unsur kedua (tulisan,

penanda, dapat di-indera, dll) ini adalah lebih baik dalam kenyataan ketimbang

unsur yang pertama (ucapan, yang ditandai, hal yang dapat dimengerti, dll), yang

akan hanya berupa memainkan game yang sama yang merupakan langkah mundur.

Tapi, tujuan dekonstruksi lebih untuk menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan

diantara istilah-istilah di atas, menyembunyikan suatu saling-ketergantungan atau

atau kesamaan.

Marilah kita ambil contoh tentang pembedaan antara ucapan/tulisan. Dalam

penjelasan filsafat tradisional, ucapan disetarakan dengan “kehadiran” dari seorang

pembicara, dengan beberapa pemahaman. Sang pembicara hadir dalam tubuh saat

dia berbicara, tapi pembicaraannya juga merupakan presentasi langsung dari

pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaannya. Tulisan, pada sisi lain,

didefinisikan dengan ketidakhadiran dari sang penulis: anda dapat membaca kata-

kata Rousseau meskipun Rousseau telah mati. Ketidakhadiran Rousseau secara fisik

juga membuat upaya untuk memahami berbagai hal yang dimaksudkan oleh

Rousseau menjadi sulit: jika satu dari kalimat-kalimatnya tampai ambigu atau

membingungkan, anda tidak dapat menelponnya untuk menanyakan apa yang dia

maksudkan. Dengan menetapkan makna yang “benar” dari karya tulisnya adalah

termasuk membuat dugaan yang berdasarkan pada pengetahuan.


Penolakan Derrida, terletak pada, bahwa ucapan (speech) itu tidak lebih aman

ketimbang tulisan dari (bahaya) ketidakhadiran, kebingungan, atau kesalahan.

Ucapan, dalam kenyataan, adalah semua hal tentang ketidakhadiran, ketika jika

sesuatu itu hadir (terlihat oleh) di depan mata atau pikiran dan maknanya atau

tujuannya telah menjadi jelas, maka, tidak akan ada alasan untuk membicarakannya.

Kita berbicara untuk menujukan pada berbagai hal---obyek-obyek, ide-ide, sikap-

sikap, dan lain sebagainya---yang belum ada disana atau yang belum menjadi jelas.

Dan ketika kata-kata tidak memerintahkan berbagai hal yang diucapkan untuk

menjadi hadir, mereka hanya memperkuat kembali ketidakhadiran mereka.

Meskipun kita berbicara untuk menghadirkan apa yang tidak hadir, untuk

mengisi ruang, dan untuk mengimbangi kebisuan (silence) dan kehampaan, dalam

kenyataan, semua yang kita lakukan adalah menghasilkan penanda-penanda, bukan

menghasilkan hal-hal yang ditandai. Inilah yang dimaksudkan Derrida ketika dia,

secara ambigu, menyindir bahwa “Il n’y a pas de hors-text”---Tidak ada yang ada di

luar teks.” Dengan jargon “teks” ini, dia memaksudkan sebagai menelusuri

perbedaan-perbedaan, penggunaan tanda-tanda (marks) untuk memisahkan ini dari

itu atau untuk menandai apa yang tidak hadir.

Ucapan adalah sama tekstualnya dengan tulisan, sama mudah membuat

bingung, dan sama sama mudah disalah-tafsirkan. Kita mempunyai semua argumen-

argumen itu yang tidak pernah berakhir, dimana kata-kata kita hanya menciptakan

lebih banyak perbedaan-perbedaan lagi, bukan kesepakatan. Dan ucapan, jauh dari

membuat berbagai hal atau ide-ide menjadi sepenuhnya jelas dan hadir dan dengan

demikian membuat setiap orang menjadi terdiam, tampaknya, secara tak

terhindarkan, akan memprovokasi lebih banyak ucapan. Bagaimana saya

mengklarifikasi apa yang saya maksudkan? Saya menggunakan kata-kata, tau tanda-

tanda. Tapi, apakah tanda-tanda ini jelas? Dan sebagainya dan sebagainya.
Tidak ada satupun yang berada di luar rangkaian ketidakhadiran dan acuan

ini, demikian pendapat Derrida. Bahkan untuk mengucap kata “di dalam” dan “di

luar”, (tidak terlepas dari) menggunakan dan menerapkan kategori-kategori lama

yang sama yang mengasumsikan bahwa semua hal yang baik seperti kehadiran dan

wujud (being) telah dihancurkan oleh hal-hal yang buruk seperti ketidakhadiran dan

ketiadaan. Bahwa pernah ada satu periode waktu, pernah ada suatu keadaan yang

alami, yang bebas dari ketidakhadiran, perbedaan-perbedaan, dan tekstualitas

menyerang dia hingga dalam kadar tertentu membuat dia menjadi sangat ragu---

sebuah fantasi metafisik.

Tanda-tanda yang terucap atau yang tertulis adalah bersifat mereproduksi

dan menduplikasikan-diri. Penanda-penanda terus mengalir seperti sebuah aliran

sungai. Tidak tempat untuk istirahat dalam wacana, tidak ada kata akhir, tidak ada

jangkar transendental, tidak ada kebenaran akhir atau kehadiran dimana kita dapat

memerintahkan untuk berhenti pada semua pembicaraan dan semua tulisan.

Bagaimana mungkin seseorang dapat memutuskan apa yang benar, apa yang otentik,

apa yang eksis kecuali melalui wacana?

Ucapan dan “tulisan” (dalam definisi Derrida yang lebih luas) membentuk

suatu sistem yang membungkus dan melingkupi yang hanya merupakan konteks itu

sendiri: jika anda mencari sebuah kata di dalam kamus, anda mendapatkan lebih

banyak kata-kata, dimana anda kemudian mencari hanya untuk memperoleh lebih

banyak kata-kata lagi, dan seterusnya dan demikian seterusnya. Tak ada satu pun di

luar bahasa yang dapat menjamin kebenarannya, keotentikannya, kehadirannya,

atau maknanya; bukti-bukti, demonstrasi-demonstrasi, argumen-argumen,

pembandingan-pembandingan, dan kontras-kontras, semua itu adalah gestur-gestur

linguistik (“diskursif”). Poin inti Derrida, kemudian adalah, bukan bahwa tak ada
satupun yang bermakna apapun, tapi lebih berupa, bahwa terdapat lebih banyak

“makna” yang menyebar daripada makna yang dapat dikontrol oleh seseorang.

Derrida “men-dekonstruksi” beberapa oposisi (hal-hal yang berlawanan)

metafisika kunci, seperti pusat/pinggir dan kehadiran/ketidakhadiran. Pada masing-

masing kasus, dia menunjukkan bahwa istilah yang pertama kali disebut, tidak

pernah mencukupi dirinya sendiri (self-sufficient), tapi selalu memahami hanya

dalam relasi untuk istilah yang kedua: sebuah lingkaran mempunyai sebuah pusat

hanya karena mempunyai sebuah “pinggir” atau perimeter (batas terluar dari sebuah

area); sesuatu itu hadir hanya dalam relasi dengan ketidakhadiran potensialnya dan

ketidakhadiran aktual dari hal-hal lainnya. Ide-ide yang kita pertimbangkan sebagai

“sentral” bagi tradisi Barat adalah bukan karena mereka, secara jelas dan secara

tidak meragukan, menyingkap suatu kebenaran transendental, tapi karena

masyarakat telah menciptakan mereka secara demikian. Mereka menjadi sentral

oleh suatu proses sejarah.

Jadi, Derrida tidak mengingkari bahwa kebenaran, keindahan, dan kebaikan

itu eksis---karena mereka memang eksis, sebagai fungsi-fungsi, dalam semua

budaya. Tapi lebih berupa, Derrida mengingkari bahwa mereka adalah realitas-

realitas transendental yang eksis di luar dan menjamin konsep-konsep manusiawi,

wacana, dan sejarah. Singkatnya, orang-orang akan terus bicara dan bicara tanpa

ada akhir, dan tidak ada kebenaran absolut atau kehadiran absolut yang akan pernah

turun dari atas untuk menghentikan mereka. Dimana semua ini menimbulkan

situasi stres dan situasi menyenangkan sekaligus.

“Desa Global”
Media elektronik yang dimiliki manusia pasca melek huruf (post-literate), membuat
dunia ini berkerut dan menyusut menjadi sebuah desa atau suku dimana segala
sesuatunya terjadi terhadap setiap orang pada waktu yang sama: setiap orang
mengetahui tentang, dan oleh karena itu, berpartisipasi di dalamnya, segala sesuatu
yang sedang terjadi di menit pertama ia terjadi. Televisi memberi sifat simultanitas
(terjadi pada waktu yang bersamaan) ini pada peristiwa-peristiwa di desa global ini.
Marshall McLuhan, Explorations in Communication (1960), Introduction

Marshall McLuhan (1911-1980) begitu intens menjelaskan keseluruhan budaya Barat

bahwa dia membiarkan banyak detail yang terlewatkan. Bahkan generalisasi-

generalisasi sedikit dibelokkan dan jangkauannya melampaui rengkuhannya; tapi

poin-poin utamanya adalah jelas dan wawasan-wawasannya sangat menarik dan

memesona.

Mcluhan meramalkan suatu pergeseran budaya, secara tak terduga, yang

direkayasa oleh teknologi canggih, terutama sekali oleh media elektronik. Hasilnya

adalah “desa global” demikian dia menamainya pada tahun 1960. Ini adalah sebuah

dunia dimana peristiwa-peristiwa yang berjauhan lokasinya, dapat dikomunikasikan

dan dialami secara spontan, melalui radio, televisi, dan, setelah kematiannya, mesin

faks dan jaringan komputer. Ruang mengalami kolaps, waktu dimampatkan, dan

dengan terjadinya ini, cair pula batasan-batasan dari dunia-dunia tradisional dan

parokial (pandangan yang sempit dan terbatas). Seperti hubungan bertetangga dan

negara. Hidup kita menjadi saling terjalin berkelindan dengan semua orang.

Ini adalah observasi yang fundamental, tapi McLuhan melangkah lebih jauh

lagi. Dia menjelaskan (secara lebih terperinci) teorinya yang lebih luas dalam The

Gutenberg Galaxy (1962), yang dimulai dengan pendahuluan proses cetak-mencetak

di Eropa. McLuhan mengklaim bahwa penemuan Gutenberg ini lebih besar

maknanya ketimbang membuat buku-buku tersebar dan tersedia secara lebih luas; ia

juga merevolusionerkan kesadaran. Bangsa Yunani kuno, setelah mengadopsi


apfabet fonetik, menjadi mampu untuk merekam ide-ide dalam urut-urutan yang

linear, dan oleh karena itu, mampu untuk berpikir secara rasional dan linear; proses

mencetak menyebarkannya ke seluruh budaya Barat. Dan dengan membuat teks-

teks menjadi tersedia, proses mencetak ini telah mengembangkan dan memajukan

suatu relasi baru diri manusia dengan masyarakatnya: budaya-budaya buku (tradisi

membaca) adalah budaya-budaya yang bersifat individualistik dan introspektif, yang

penekanannya bertumpu pada “kebebasan pemikiran” dan analisa yang bebas dari

bias dan bebas dari kepentingan pribadi.

Pada masyarakat yang belum melek huruf, situasinya sangatlah berbeda.

Budaya sebelum membaca buku---budaya oral---dipusatkan pada pembicaraan dan

mendengar; pengetahuan disampaikan oleh generasi yang lebih tua, dan tradisi

(lebih dari inisiatif individu) mendominasi aktivitas budaya. Dalam analisa

McLuhan, pengalaman berpusat pada sensasi aura adalah lebih konkret dan lebih

komunal, lebih langsung dan dramatik dan emosional, daripada pengalaman visual

yang terutama berlangsung melalui teks-teks. Suatu dunia suara adalah sebuah

dunia tentang gerak dan aktivitas, dimana semua pengalaman dikonsentrasikan di

masa sekarang. Dunia visi, pada sisi lain, adalah sebuah dunia yang berjarak dan

abstraksi, yang tidak bias. Kebanyakan dari apa yang kita lihat, yang

dipertentangkan dengan mayoritas apa yang kita dengar, bertempat tinggal dalam

satu tempat dan tetap tidak mengalami perubahan. Kebanyakan dari apa yang kita

lihat, yang dipertentangkan dengan mayoritas apa yang kita dengar, adalah tidak

ditujukan kepada kita dan tidak secara langsung melibatkan kita. Kita berada pada

jarak yang lebih jauh dari dunia visual; kita dapat mengelilinginya,

membelakanginya, menganalisanya, meletakkannya dalam perspektif.

Di periode karirnya yang lebih awal, McLuhan telah memenangkan nilai-nilai

rasionalistik dan linear dari budaya buku, dimana dia melihatnya terancam oleh
radio dan televisi. Dalam karya-karya ilmiah selanjutnya, dia memperkuat serangan

dan pada saat yang sama menghentikan vonis-vonis tentang nilai. Teknologi-

teknologi baru membuat kita benar-benar kalah, mereka menghancurkan (secara

bertahap) perspektif-perspektif yang bergantung pada jarak waktu dan ruang,

mereka menghancurkan (secara bertahap) analisa dan dan membuka secara paksa

apa yang tampaknya telah tertutup; tapi, ini tidak harus menjadi sesuatu yang buruk.

Dalam salah satu aspek, proses mengalir, keterpisahan dan ketakterhubungan,

kehadiran yang bersifat abadi dari pengalaman media massa, dengan menghapus

batasan-batasan, membawa kita lebih dekat kepada realitas yang semakin berjarak

lagi, dimana ilmu fisika telah menunjukkan hal ini sebagai dikonstruksi yang

berdasarkan pada medan-medan terbuka dan kemungkinan-kemungkinan daripada

berdasarkan pada obyek-obyek yang telah dibakukan (fixed) dan kepastian-

kepastian. Dalam pandangan McLuhan, terdapat sesuatu yang sangat memiskinkan

tentang sebuah budaya yang terobsesi dengan dunia visual ini: budaya semacam ini

sangat tidak menyatu dan menyeluruh, tidak menyentuh kekayaan dari pengalaman

yang dikomunikasikan secara langsung melalui semua indera.

Media elektronik mengembalikan kita kepada situasi “desa” dalam banyak

cara daripada hanya satu cara. “Sekarang ini,” ramalan-ramalan McLuhan dalam

The Gutenberg Galaxy, “kita bergerak kembali dengan sangat cepat menuju sebuah

dunia tentang pengalaman mendengar dari peristiwa-peristiwa yang terjadi secara

simultan dan kesadaran yang komprehensif.” Teknologi-teknologi baru “men-suku-

kan” kita kembali (retribalize), membawa kita kembali ke periode waktu dimana

realitas bersifat lebih langsung dan lebih dangkal sepenuhnya, dihadapan

kemenangan abstraksi, keberjarakan, dan garis linear satu dimensi, yang begitu

sempurnanya terkandung dalam ilmu pengetahuan mekanistik dari Descartes dan

Newton, dan tempat-tempat perakitan dari pabrik-pabrik di abad dua puluh. Media
massa yang populer, katanya, “tidak menawarkan visi yang tunggal, tidak

menawarkan sudut pandang, tapi menawarkan suatu mosaik (desain gambar yang

harus disusun melalui kepingan-kepingan gambar agar menjadi utuh) dari kerangka

berpikir dan sikap-sikap dari kesadaran kolektif.” Sekarang ini, “ilmu pengetahuan

dan metode kita tidak memperjuangkan suatu sudut pandang, tidak mengupayakan

metode yang tertutup dan perspektif, tapi mengupayakan ‘medan’ yang terbuka dan

vonis yang ditunda untuk sementara waktu. Hal sedemikian ini sekarang merupakan

satu-satunya metode yang mampu bertahan dan berkembang dibawah kondisi-

kondisi dari gerakan informasi secara serentak dan saling ketergantungan total

manusia.”

seseorang mungkin merasa enggan untuk mendukung antusiasme McLuhan

ini. Jika semua umat manusia sekarang ini menjadi satu suku yang berterima kasih

kepada CNN dan Internet, maka, klan-klan dan kerabat-kerabatnya masih mampu

untuk berperilaku yang tidak terpuji. Peristiwa-peristiwa membuktikan bahwa

dalam desa global ini, kita belum menjadi satu keluarga besar yang bahagia. Ini

barangkali setara dengan memberi peringatan adanya bahaya bahwa ritual magis

dari suku ini sekarang, berdasarkan pengakuan langsung dari pribadi McLuhan

sendiri, kewenangannya diambil alih oleh para pendeta periklanan. “Sekali lagi,” dia

melaporkan dengan sikap netral, siapapun anak kecil yang lahir di Barat sekarang

ini, tumbuh dan berkembang dalam jenis [kesukuan] dari dunia repetitif magis ini

ketika dia mendengar tayangan iklan-iklan di radio dan TV.” Desa global ini

disatukan bukan hanya oleh aliran informasi dan citra-citara yang bersifat spontan,

tapi juga oleh dari McDonald’s dan film-film Terminator yang merebak dimana-

mana di berbagai penjuru dunia ini. Saya pikir, saya harus berpartisipasi untuk

membaca sebuah buku sekarang ini.


“The Medium Is the Message”
Dalam suatu budaya yang kita punyai, yang telah lama dibiasakan untuk memilah-
milah dan membagi berbagai hal sebagai suatu sarana kontrol, ini kadang-kadang
agak mengejutkan untuk diingat bahwa, dalam fakta praktikal dan operasional,
media ini adalah pesan. Ini sekadar untuk mengatakan bahwa konsekuensi-
konsekuensi dari media apapun secara personal maupun secara sosial---yaitu, terkait
dengan perluasan (extension) diri kita---yang dihasilkan dari skala baru, yang
diperkenalkan ke dalam urusan-urusan kita oleh masing-masing dari perluasan diri-
diri kita ini, atau melalui teknologi baru apa saja.
Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man (1964)

Jika anda mendapati sindiran dari Marshall McLuhan bahwa “media adalah pesan”

ini agak sedikit membingungkan, jangan merasa bingun, karena ia memang bersifat

samar dan tidak jelas. McLuhan ingin membuat diri anda bingung untuk memahami

apa yang dia maksudkan---yaitu, dia ingin menjadi “cool”, sebuah istilah yang akan

saya jelaskan berikut ini. Untuk menerjemahkan secara sederhana, McLuhan sedang

mengatakan “media-media yang mengkomunikasikan mempunyai lebih dari satu

pengaruh (pesan) dibandingkan dengan informasi apa saja yang ia komunikasikan.”

McLuhan memandang teknologi-teknologi komunikasi sebagai perluasan dari

tubuh-tubuh dan indera-indera kita---kamera adalah perluasan dari mata, radio

adalah perluasan dari telinga, dan seterusnya. Ide besar dia adalah bahwa teknologi-

teknologi ini tidak pernah bersikap netral---bahwa mereka bukan sekadar media-

media yang jelas untuk menyampaikan pesan-pesan. Lebih tepatnya adalah bahwa

ketika mereka memperluas indera-indera kita yang ditransformasi oleh mereka,

dengan mengubah hubungan kita terhadap ruang dan waktu dan mempengaruhi

interaksi-interaksi kita dengan dunia.

Penemuan tulisan, misalnya, bukan hanya memperluas kuasa kita untuk

berbicara menyeberangi ruang dan waktu, ia juga membuat mungkin perkembangan


dari pemikiran rasional dan analitik, yang mentransformasikan hubungan-hubungan

laki-laki dan perempuan terhadap alam dan terhadap satu sama lain. Dan

penemuan-penemuan dari mesin cetak dan buku, yang melahirkan dan

mengembangkan tradisi membaca dan berrefleksi yang dilakukan secara

menyendiri, terpisah dari orang-orang lain, adalah hal-hal yang sangat esensial bagi

perkembangan individualisme yang berlangsung pada abad tujuh belas. “Pesan”

(hasil, pengaruh) dari tulisan adalah pemikiran analitik; “pesan” dari mesin cetak

adalah individualisme.

McLuhan, meskipun terlatih sebagai seorang Profesor dalam bahasa Inggris,

adalah sangat dikenal atas tulisan-tulisannya tentang media elektronik, televisi

secara khusus. Dia menyebut televisi sebagai sebuah media yang bersifat “rileks”

(cool), yang disifatkan dengan keakraban dan privasi, citra-citra yang mengandung

definisi tentang berbagai hal yang remeh (low-definition) dan ide-ide yang sangat

menuntut partisipasi para pemirsanya. (Media “hot” seperti film dan percetakan,

menghadirkan citra-citra yang didefinisikan secara jelas dan mendetail serta

mendorong konsumsi pasif).

Meskipun McLuhan menyetujui kritik-kritik yang menyatakan bahwa TV

telah mengubah masyarakat secara radikal, dia mencibir upaya-upaya moralistik

mereka untuk menyensor atau mempersingkat program-program tayangan tertentu.

Dia mengklaim bahwa isi dari (pemrogaman) TV adalah tidak relevan; apa yang

sedang mengubah masyarakat, lebih tepatnya, adalah stimulasi media tentang cara-

cara melihat pada dunia secara baru dan lebih aktif, dimana “informasi” menjadi

kurang penting dibandingkan dengan pola-pola merasa dan keikut-sertaan

(oartisipasi). Cara dia yang romantis dengan mengajukan poin ini adalah bahwa

televisi memperkenalkan kembali anak-anak muda kepada pemikiran “mitis”, “visi


yang instan dari sebuah proses yang kompleks yang biasanya meluas hingga periode

waktu yang lama.

Televisi, menegasikan ruang dan waktu dengan membawa abad-abad sejarah

dan semua sudut-sudut dari belahan dunia ini ke dalam kamar-kamar kita setiap

malam. Dengan kata lain, ia telah membantu menciptakan suatu “desa global”.

Namun, dalam prosesnya, televisi “mendinginkan” apa yang ia sajikan, dengan

mengurangi konflik-konflik dan membuat datar (membosankan) kepribadian-

kepribadian, membuatnya menjadi mungkin untuk melompat dari meng-cover

peperangan ke iklan komersial produk bir. Definisi yang remeh dan tidak penting,

keikut-sertaan (partisipasi), “pesan” TV yang berorientasi pada proses, barangkali

sangat baik digambarkan dengan contoh acara-acara TV yang sukses seperti “The

People’s Court” dan “America’s Funniest Home Videos”; kesimpulan-kesimpulan

logisnya adalah bahwa iklan-iklan “gelombang baru” yang elusif (cenderung rumit)

ini dan parade yang bergairah dari pola-pola mitis ini, MTV.

McLuhan meramalkan bahwa transformasi televisi terhadap masyarakat,

pada akhirnya, akan menjadi usang dan tak berguna lagi---dan ramalannya ini

menjadi benar dengan kemunculan buku-buku komputer dan kematian surat kabar

secara perlahan-lahan. (Semua ini masih terlihat hidup lebih seperti layar-layar TV

setiap tahun, dengan foto-foto warna padi-padian dan grafik-grafik yang

mengandung informasi yang menghibur. Harian USA Today menjual kotak-kotak

yang dibentuk seperti perangkat TV). Tapi, dia juga mengatakan bahwa ketika citra

televisi mencapai ketajaman dan definisi tentang film, ia akan tidak lagi menjadi

televisi, karena ia tidak lagi menjadi bersifat cool (rileks). Andaikan dia hidup

kembali untuk menyaksikan HDTV (dia meninggal tahun 1980), dia mungkin

sekarang ini akan memprediksi kematian dari tube sebagaimana kita

mengetahuinya.
Virtual Reality
(Realitas Maya)

“Realitas virtual” adalah sebuah frasa tentang dunia maya yang banyak dibicarakan

oleh orang-orang sekarang ini, tapi, apakah ia benar-benar eksis? Tidak---setidaknya

menurut beberapa kamus yang pernah saya lihat. Sebagai bahasa, maka, ia hanya

bersifat maya, dan hal yang sama mungkin juga dapat dikatakan atas realitas yang

dihasilkannya. Cara yang paling sering digunakan oleh mayoritas orang untuk

mengarungi dunia maya adalah dengan memainkan video game yang sangat dipuja,

yang menampilkan “jalan setapak yang beratap di alam maya” (“virtual arcade”).

Lalu, apa intinya? Intinya adalah bahwa ia akan datang segera dan memasuki

rumah anda. Ketika komputer menjadi semakin kuat, semakin berpengaruh, dan

semakin murah harganya dari hari ke hari, mereka membuka lebih banyak

kemungkinan untuk simulasi-simulasi yang lebih meyakinkan tentang situasi-situasi

kehidupan-nyata. Realitas yang dihasilkan oleh komputer tentang masa depan ini,

bukan sekadar gambar yang sangat jelas. Ia akan menjadi, kata “nabi-nabi” suatu

gambar berdefinisi tinggi yang dapat anda masuki secara maya.

Istilah “realitas maya” berkembang berdasarkan jargon komputer, dimana

“maya” aslinya bermakna “tidak hidup, tapi dibuat tampak nyata melalui software”.

(Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1959, dalam frasa, “memori maya”,

yang masih digunakan sekarang ini dan yang berarti “ruang hard-disk yang

dirancang oleh sistem software untuk digunakan seolah-olah ia adalah akses memori

secara acak (RAM = Random Access Memory). Dengan demikian, realitas maya---

suatu pengalaman sensoris yang diciptakan oleh software komputer---suatu simulasi


tiga dimensi yang, pada titik terbaiknya, dapat dilihat, dirasa, didengar, dan tercium

seperti realitas.

Seperti banyak teknologi-teknologi baru lainnya, realitas maya telah

dikembangkan di industri pertahanan (militer) Amerika. Realitas maya yang sangat

mirip dengan aslinya adalah simulator-simulator pesawat terbang yang

dikembangkan untuk melatih pilot-pilot tempur di akhir tahun 1940-an. Dengan

menggunakan simulator-simulator ini, para pilot dapat menguasai berbagai macam

skenario-skenario berbahaya tanpa membahayakan diri mereka (atau

membahayakan mesin pesawat yang sangat mahal harganya). Satu dekade

kemudian, menurut Howard Rheingold dalam Virtual Reality (1991), sinemator

Hollywood, Morton Helig, telah memikirkan dan merakit “Simulator Sensorama”

pertamanya, suatu ruang-ruang yang bersekat-sekat dengan jalan setapak yang

dilengkapi dengan tangkai pemutar dan sebuah lempengan ceper untuk memasuki

pengalaman maya untuk mengendarai motor (salah satu dari program-program yang

tersedia) melalui jalanan Brooklyn.

Tapi, alat mekanis (gadget) dari Helig ini, yang melampaui visi untuk

membungkus semua indera, tidak pernah dilirik oleh berbagai pihak. Baru pada

tahun 1980-an, ketika Departemen Pertahanan dan NASA menyadari potensi

penting dari realitas maya (yang kemudian dipercanggih di M.I.T. dan di tempat-

tempat lain) dimana teknologi ini membutuhkan perhatian serius dan banyak uang.

Yang membuat realitas maya ini melampaui simulasi adalah bahwa bukan cuma

sekadar mengimitasi atau mensimulasi sebuah pengalaman, ia mensimulasikan

lingkungan dan kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk menciptakan

pengalaman-pengalaman baru yang aktual. Ini adalah realitas yang terjadi dalam

suatu lingkungan maya.


Semakin hari, pengalaman maya ini semakin menjadi lebih akrab. Hingga

sekarang ini, basis teknologi dari realitas maya ini---yang menggunakan helm,

“power glove”, goggles, dan komputer kabel milik perseorangan---secara relatif

masih kasar dan belum matang, terutama dalam aplikasi-aplikasi komersialnya.

Tapi, terdapat ide-ide besar untuk aplikasi-aplikasi mendatang: bangunan-bangunan

virtual yang dapat anda “lalui” sebelum mereka dibangun; komunikasi maya jarak

jauh, dimana anda dapat menjangkau dan mengontak seseorang yang berjarak

ribuan mil; manipulasi virtual dari molekul-molekul dengan kekuatan tangan

seseorang yang terbungkus sarung tangan (power-gloved hands); perjalanan virtual

melalui tubuh seorang pasien; konferensi bisnis virtual. (Ucapkan selamat tinggal

pada pertemuan bisnis yang membutuhkan banyak biaya ke Vegas dan Frisco). Ide

besar bagi kebanyakan orang, tentu saja, adalah seks virtual; tapi, saya tidak ingin

menganggap baik hal ini pada simulasi komputer (sangat memprihatinkan) di era

kita sekarang.

IN SEARCH OF THE INVISIBLE HAND:


EKONOMI
Hukum Gresham

Hukum Gresham---“Uang buruk dapat menghasilkan uang bagus” (“Bad

money drives out good”)---terdengar sederhana, tapi, apa maksudnya?

Terdapat berbagai macam penggunaan, tapi, pengertiannya yang utama

sekarang ini adalah bahwa kapan saja seseorang bermaksud untuk

meningkatkan dan mengembangkan investasinya, cepat atau lambat,

orang awam atau orang bodoh akan mengambil alih. Uang pintar (smart

money) akan memberi jalan pada emas yang bodoh (fool`s gold).

Hampir pasti, bukan itu aslinya yang dimaksudkan dengan “hukum”

ini, ketika Sir Thomas Gresham (sekitar tahun 1519-1579) adalah pebisnis

top Inggris. Gresham telah dipuji semasa hidupnya dan menjadi legenda

sebagai pahlawan wiraswasta, menduduki posisi puncak dari birokrasi

pemerintah yang penting. Diantara pengabdian-pengabdiannya kepada

kerajaan adalah bahwa dia di awal tahun 1550-an, menjadi wakil kerajaan

di Antwerp, pusat bisnis Eropa yang paling utama. Yang termasuk dalam

tugasnya adalah menangani hutang Kerajaan dan mengadakan negosiasi

pertukaran mata uang (currency exchange), Gresham dengan cepat

menjadi seorang ahli tentang tarif pertukaran dan tentang sirkulasi uang

secara umum.

Sebagaimana yang dipunyai oleh seorang legenda, Gresham sangat

terkesan dengan Ratu Elizabeth I, segera setelah dia menduduki tahta

kerajaan pada tahun 1558. dia menulis dan menjelaskan kepada sang

Ratu bahwa mata uang Inggris (dan demikian pula dengan berbagai
komoditinya) mengalami keterpurukan di pasar luar negeri. Gresham,

secara bijaksana, menyalahkan situasi ini kepada pendahulunya “Bloody

Mary”, yang secara otoritatif menyetujui penurunan nilai mata uang

logam.

Ketika tak seorangpun yang menginginkan penurunan nilai uang

logam, yang terbuat dari logam yang lebih murah dibandingkan dengan

mata uang logam yang telah beredar, setiap orang berupaya untuk

menukarkan uang “buruk” ini dan dalam waktu yang sama menyimpan

uang “bagus”. Dengan demikian, koin-koin yang lebih baik mutunya, tidak

lagi beredar dan koin-koin yang lebih rendah mutunya-lah yang dipakai

sebagai alat untuk nilai pertukaran komersial. (Sebenarnya, Gresham

hanya mengutip sebuah peribahasa, tapi ini tidak menghalangi ekonom

Henry Macleod untuk menyebutnya sebagai “Gresham Law” pada tahun

1858).

Gresham terus melangkah pada tahun 1568 untuk mendirikan

pertukaran mata uang logam London (London’s Royal Exchange), sebuah

tempat pertemuan para pedagang, orang-orang dari berbagai status dan

kelas, truk,14 dan barter. (Dia mencontoh Bursa Antwerp). Bangunan ini

dihiasi dengan banyak patung belalang, jenis serangga yang sangat

penting bagi lambang Gresham, dan ini memunculkan tradisi dari para

bankir Inggris, pandai emas, ahli permata, dan para pedagang uang dan

koin lain untuk menempatkan belalang-belalang ini sebagai lambang.

Gresham juga menjadi legenda yang sangat populer sebagai orang

yang, secara spektakuler, memamerkan selera untuk tingkat konsumsinya

yang luar biasa. Telah dilaporkan bahwa ketika Ratu Elizabeth melakukan
14
Truk = Lori untuk mengangkut muatan-muatan berat. Penerjemah.
kunjungan pertamanya ke gedung Pertukaran mata Uang Gresham yang

baru, sang pakar uang ini mengangkat sebuah piala anggur yang telah dia

campur dengan bubuk batu mulia senilai £15.000. Bahkan lebih aneh lagi,

dia meminum anggur bercampur bubuk batu mulia ini.

Laissez Faire dan Hukum tentang


Keuntungan yang [Semakin]
Menyusut

Secara harfiah, “membiarkan menjadi” atau “membiarkan untuk

melakukan sesuatu”, “laissez faire” adalah sebuah doktrin ekonomi yang

dibuat oleh bangsa Perancis di pertengahan tahun 1700-an. Pada masa

itu, ia mengacu pada suatu kebijakan non-intervensionis, yang secara

ekonomi, setara dengan aforisme dari Henry David Thoreau, “Bahwa

pemerintah yang terbaik adalah yang paling sedikit memerintah.” Di

masa sekarang, frasa ini ---masih belum dapat diterjemahkan---diterapkan

secara lebih umum pada sikap lepas tangan terhadap apa saja.

Doktrin aslinya telah dikembangkan oleh sekelompok ekonom

Perancis yang selanjutnya memberi julukan “fisio-krat” (“physiocrats”)

setelah doktrin Yunani tentang “aturan alam” (the rule of nature).

Dipimpin oleh François Quesnay (1694-1774), mereka meyakini bahwa

Alam adalah bijak dan baik dan tahu apa yang sedang ia lakukan,

sementara rejim-rejim pemerintahan adalah dapat membuat kesalahan,

mudah tersesat, dan seringkali bodoh. Tetap saja, praktek yang menang di
Eropa di masa itu adalah untuk rejim-rejim pemerintahan yang

mengontrol dan mengarahkan dalam skala mikro (micromanage) secara

praktis pada setiap aspek dari produksi dan distribusi barang-barang.

Pemerintah, demikian para fisio-krat berdalih, harus mempraktekkan

“laissez faire” sehingga Alam melakukan sendiri segala sesuatunya, yang

membimbing dunia ekonomi secara efisien menuju keadaan alaminya

yang menguntungkan.

Siapa sebenarnya yang menemukan ungkapan “laissez faire” masih

dalam perdebatan. Beberapa pihak meyakini bahwa Quesnay-lah yang

menemukannya, sementara pihak-pihak yang lain mengatakan bahwa

Vincent de Gournay-lah penemunya, seorang inspekstur (pemeriksa)

produksi di pemerintahan raja Louis XVI dan yang mengubah bentuk

menuju doktrin fisiokratik. Apa saja kebenaran yang dihasilkan, para

fisiokrat adalah lebih baik dalam menemukan uangkapan-ungkapan

ketimbang mengoperakikan kebijakan-kebijakan mereka. Ada suatu hal

yang nge-trend untuk waktu yang singkat di dalam istana Louis tentang

laissez faire, tapi, ini tidak berlangsung lama, dan ia hanya diperkenalkan

kembali (dalam suatu bentuk yang telah dilumpuhkan sedemikian rupa)

setelah Revolusi Perancis. Doktrin ini terbukti lebih sukses di Inggris,

dimana ia sangat menjulang dalam karya Adam Smith yang sangat

mengguncang, Wealth of Nations (1776), buku teks “klasik” pertama

tentang ekonomi.

Hukum tentang Keuntungan yang Menyusut


Fisiokrat yang lain, Robert-Jacques Turgot, telah memperoleh pujian atas

formulasinya mengenai “hukum tentang keuntungan yang menyusut”

setelah sebuah kondisi tertentu, upaya yang dilanjutkan atau proses

ekspansi akan menghasilkan keuntungan-keuntungan yang semakin

berkurang.

Katakanlah, misalnya, bahwa anda menemukan sebuah aliran air

yang mengandung emas di bawah ruang garasi anda. Ini tidak akan

menguntungkan anda kecuali anda mengeluarkan sejumlah uang terlebih

dahulu untuk meratakan garasi dan merancang sebuah penggalian.

Setelah itu, keuntungan anda dari setiap dolar yang telah anda habiskan

akan menjadi sangat besar, hingga, ketika aliran air ini telah mengering,

masing-masing dolar yang telah dihabiskan, mulai berkurang keuntungan

yang dihasilkannya dan semakin sedikit emas yang ditemukan. Tambang

anda telah menjadi korban dari hukum tentang keuntungan yang

menyusut ini.

Turgot memformulasikan gagasan ini, sekitar tahun 1767, dalam

hubungan dengan menumpuk berat di atas sebuah pegas yang kencang.

Berat yang signifikan dibutuhkan untuk melenyapkan resistensi awal dari

pegas itu, tapi, melampaui titik ini, bahkan beban sekecil apapun akan

dapat menekan hingga tingkat tertentu. Namun, Turgot mengatakan,

“setelah menghasilkan sejumlah keuntungan tertentu, ia akan kembali

mulai menahan (resist) kekuatan (beban) ekstra yang diletakkan di

atasnya, dan beban-beban yang pada awalnya telah menimbulkan

tekanan sebesar satu inci atau lebih, sekarang tidak dapat

menggerakkannya meski hanya selebar benang. Begitu pula dengan efek-


efek dari beban-beban tambahan, yang secara bertahap akan menyusut.”

(Obsevations sur un Mémoire de M. De Saint-Péravy).

“Tangan yang Tak Tampak”


setiap individu, seharusnya, bekerja untuk memberi pendapatan tahunan
dari suatu masyarakat sebesar kemampuannya. Dia, pada umumnya,
sungguh, tidak berniat untuk mempromosikan kepentingan publik, tidak
juga mengetahui sejauh mana dia mempromosikannya. Dengan lebih
mendahulukan dukungan terhadap pasar domestik daripada industri luar
negeri, dia hanya berniat melindungi rasa amannya sendiri; dan dengan
mengarahkan industri sedemikian rupa sehingga produknya dapat
mencapai nilai tertinggi, dia hanya merancang perolehan dan
keuntungannya sendiri, dan dia dalam hal ini, sebagaimana dalam banyak
kasus-kasus lain, diarahkan oleh sebuah tangan yang tak tampak untuk
mempromosikan sebuah tujuan yang bukan merupakan bagian dari niatan
dan rencananya. Tidak juga ia merupakan hal terburuk bagi masyarakat
dimana ia bukan merupakan bagian darinya. Dengan mengejar
kepentingannya sendiri, dia berulangkali mempromosikan bahwa suatu
masyarakat itu lebih efektif daripada ketika dia benar-benar berniat untuk
mempromosikannya.

Adam Smith, The Wealth of Nations, Book IV, chapter 2

pada tahun 1776, tahun dimana terjadi protes pajak terbesar dalam

sejarah, Adam Smith seorang warga Skotlandia (1723-1790) telah

mempublikasikan karya ilmiah yang telah mempopulerkan dan membuat

terkenal doktrin “laissez faire”. Cukup layak, bahwa Smith telah menjadi,

dalam dua abad setelah publikasi karyanya, santo pelindung para

pedagang bebas konservatif yang tidak membenci satu kata yang

melebihi kata “pajak”.


Karya Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of

Nations, mungkin adalah treatise (buku yang membahas suatu masalah

secara sangat rinci) ekonomi yang paling terkenal, lebih karena

kejelasannya dan kekuatan retoriknya ketimbang orisinalitasnya. Dengan

mengambil ide-ide dari fisio-krat Perancis dan fisio-krat Inggris seperti Sir

William Petty dan Sir Dudley North, Smith menyusur serangkaian argumen

yang terkait dengan, sungguh, pukulan mematikan menuju ekonomi yang

tertata rapi.

Smith yakin, seperti banyak filosuf kontemporer, bahwa Alam

semesta adalah pembimbing terbaik manusia. Tuhan (“Yang Maha

Pemurah”) telah begitu mengatur berbagai hal sehingga jika manusia laki-

laki dan perempuan dalam keadaan bebas untuk mengejar kepentingan-

kepentingan utama mereka, maka mereka, secara alami, akan bertindak

yang terbaik untuk masyarakat. Apakah mereka meniatkan demikian atau

tidak---dan kebanyakan dari mereka tidak meniatkan ini---orang-orang

saling membantu satu sama lain dengan cara menolong diri mereka

sendiri; bahkan motif-motif yang paling rakus pun seringkali mengarah

menuju hasil-hasil yang paling menguntungkan bagi semua. Ini adalah

kerja dari “tangan yang tak tampak” dari Yang Maha Pemurah.

Smith pertama kali memperkenalkan konsep ini dalam bukunya

Theory of Moral Sentiments (1759), tapi, baru berkembang sepenuhnya

dalam karyanya The Wealth of Nations, dimana dia mengajukan gagasan

harmoni dari kepentingan-kepentingan diri. jika setiap orang mencari

demi kepentingan dirinya sendiri, hasilnya tidak akan terjadi “keadaan

perang” sebagaimana yang digambarkan oleh Thomas Hobbes, tapi lebih


mengarah pada gelombang pasang kebahagiaan yang melambungkan

semua kapal boat. Dengan memperkaya diri mereka, orang-orang

(otomatis juga) memperkaya masyarakat. Jadi, masyarakat harus

mengizinkan orang-orang untuk memperkaya diri mereka sendiri sebesar

dan sejauh kemampuan mereka. Masing-masing orang akan melakukan

yang sebaik dan semaksimal mungkin untuk mewujudkan keuntungan

terbesar, dengan menghasilkan komoditi yang dapat dibeli dengan harga

yang lebih murah oleh orang lain daripada membuat sendiri komoditi ini.

Dan jika seseorang menjadi terlalu serakah, dengan mengambil

keuntungan tapi dengan mengorbankan masyarakat luas dengan cara

mengkatrol harga tinggi-tinggi, maka tangan yang tak tampak ini akan

mengilhami yang lain untuk berkompetisi dan melakukan aksi tandingan.

Dengan cara inilah harga-garga bisa dikendalikan dan sepak terjang bisnis

yang tidak menguntungkan akan hancur.

Ketika tangan yang tak tampak ini melakukan pekerjaannya dengan

baik, simpul Smith, merupakan tindakan bodoh yang dilakukan oleh rejim-

rejim pemerintahan untuk memaksakan kehendaknya atas proses

produksi dan perdagangan. Lebih jauh lagi, “raja-raja dan menteri-

menteri... diri mereka selalu saja, dan tanpa terkecuali, adalah orang-

orang yang menghambur-hamburkan uang secara sia-sia dalam

masyarakat.” Singkatnya, Laissez faire”.

Doktrin ini bekerja dengan baik dalam suatu masyarakat dengan iklil

ekonomi yang bebas, kuat dan ekspansif, seperti situasi Inggris di era

Adam Smith. Tapi, sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman, laissez

faire tidak dapat bekerja dengan baik dalam suasana ekonomi yang
sedang berkontraksi, atau di negara-negara yang sedang berkembang,

atau ketika tingkat pengangguran sangat tinggi. Saya ragu bahwa Smith

akan mampu menjelaskan mengapa tangan yang tak tampak ini memutar

siklus bisnis ke arah bawah atau mengapa ia menghukum perdagangan

bebas yang meningkat pesat dengan kegagalan dan kebangkrutan yang

tak terhindarkan.

The Division of Labour


(Pembagian Kerja)

Peningkatan terbesar dalam kekuatan-kekuatan buruh yang produktif, dan


bagian terbesar dari skill, ketrampilan, dan proses pengambilan keputusan
dimana ia diarahkan atau diterapkan ke berbagai arah, tampaknya
merupakan efek-efek dari pembagian kerja.

Adam Smith, The Wealth of Nations, Book 1, chapter


1

Tak seorangpun yang menemukan pembagian kerja ini, yang hanyalah

membagi bagian-bagian kerja kepada orang-orang atau kelompok-

kelompok yang berbeda-beda. Pembagian tugas-tugas yang kompleks

dapat ditelusuri sejak proses yang paling awal dari terbentuknya

masyarakat dan telah memberi pengaruh dalam skala yang sangat besar,

setidaknya, sejak masa paling awal dari konstruksi piramida di Mesir. Tapi,
sebelum era Revolusi Industri, ini bukan prosedur operasi yang standar di

tempat kerja, dan kita dapat mengucapkan terima kasih pada

peningkatan-peningkatan secara teknik yang berlangsung pada abad

sembilan belas terkait produksi massa modern.

Kontributor penting bagi berlangsungnya dominasi pembagian kerja

adalah Adam Smith. Smith mempertimbangkan pembagian kerja sebagai

cukup penting untuk memulai penulisan Wealth of Nations-nya tentang

topik ini. Sebagai contoh, dia mengutip tentang pembuatan bros (peniti,

pin), yang tampaknya adalah tugas yang sederhana, namun berlangsung

lambat dan melelahkan bagi seseorang untuk membuatnya. Tapi, jika

sebuah pabrik itu membagi tugas diantara sepuluh hingga dua puluh

pekerja, masing-masing dari orang dengan tingkat skill tinggi ini dalam

satu proses operasi, maka, dimungkinkan untuk menghasilkan kira-kira

dua belas pounds---48.000 bros---per hari. Smith mendapati ini cukup

mengesankan.

Poin pertama Smith adalah bahwa pembagian kerja ini mengizinkan

setiap pekerja untuk fokus pada satu tugas dan hanya satu tugas, dimana

dia secara alami akan menjadi sangat trampil. Kedua, waktu yang dihemat

jika para pekerja tidak harus berganti-ganti tugas. Terakhir---dan me-

review masa lampau yang sangat penting---jika kerja dibagi-bagi menjadi

serangkaian dari tugas-tugas yang terbatas, jelas dan pasti, adalah

mungkin untuk setidaknya untuk me-mekanisasi mereka secara sebagian,

“memungkinkan satu orang untuk melakukan kerja dari banyak orang.”

Tentu saja, pembagian kerja ini juga mempunyai biaya-biaya yang

harus dibayar, beberapa diantaranya telah diidentifikasi oleh Smith. Ketika


pengangguran bukan suatu masalah nyata di era Smith, dia tidak dapat

meramalkan suatu periode waktu ketika mekanisasi menuntut pekerjaan-

pekerjaan harus dilakukan dalam skala massif. Tapi, Smith merasa

khawatir bahwa dengan memaksa para pekerja untuk menghabiskan

setiap hari untuk melakukan tugas-tugas repetitif yang sederhana, tidak

akan dapat meningkatkan semangat kerja. Jika seseorang tidak terpanggil

dalam pekerjaannya untuk “mengerahkan pemahamannya, atau melatih

skill untuk menemukan sesuatu” dalam menghadapi tantangan-

tantangan, maka, dia “pada umumnya akan menjadi bodoh dengan

tingkat kebodohan yang mungkin dapat dicapai oleh seorang manusia.”

Jawaban Smith: pendidikan bebas, dan barangkali, yang bersifat memaksa

dan wajib. Para lulusan dari sekolah-sekolah negeri sekarang ini dapat

menjadi bukti bagi keefektifan solusi ini.

Paradoks Nilai
Tidak diragukan lagi jika anda merasa terheran-heran, ketika sepotong

permata tertangkap oleh pandangan mata anda, bagaimana mungkin

potongan sampah ini seharga $74.95?” Adam Smith juga terheran-heran

dengan cara yang sama tentang mengapa berlian-berlian itu harus

dihargai mahal dan air dihargai begitu murah ketika yang disebut pertama

hampir-hampir tidak berguna sedangkan yang disebut terakhir begitu

esensial. Tentu saja, yang pertama sangat jarang dan yang kedua tersedia

secara berlimpah, tapi, Smith menyadari bahwa suplai dan permintaan


hanya akan diperhitungkan karena faktor harga dan bukan karena faktor

nilai---yaitu, untuk mengapa ada suatu permintaan di tempat pertama.

Ini adalah “paradoks nilai” versi Smith; jawaban dia adalah bahwa

berlian-berlian itu bernilai karena mereka membutuhkan begitu banyak

pekerja untuk meng-ekstrak, memotong, dan membuatnya bersinar

cemerlang, sementara air dapat diperoleh dengan sebuah timba. Dengan

kata lain, nilai diproduksi oleh kerja manusia; inilah sebabnya mengapa

lemari yang diukir dengan tangan adalah lebih “bernilai” daripada lemari

yang dihasilkan oleh jalur berjalan dari proses perakitan.

Tentu saja, dalam beberapa pengertian, air tetap saja masih lebih

“bernilai” dibandingkan dengan berlian, karena ia lebih bermanfaat---ia

mempunyai “nilai guna” yang lebih besar meskipun lebih murah “nilai

tukarnya”. Yang ingin dikukuhkan oleh Smith dengan teori nilai kerja-nya

adalah perbedaan antara kedua hal ini, dengan yang kedua (air) yang

bersifat melayani, dalam kaitan dengan permintaan pasar, untuk

menentukan harga komoditas.

Teori Smith mengarahkan dia untuk menginvestasikan keyakinannya

pada suatu pasar bebas dan terbuka sebagai yang terbaik dari semua

perencanaan-perencanaan ekonomi, ketika ia memaksa para produsen,

melalui kompetisi, untuk meminimalkan penggunaan buruh, dan juga,

biaya. Cukup ironis, teori nilai kerja Smith ini juga merupakan basis dari

ekonomi Marxis. Dalam pandangan Marx, sementara kaum buruh sungguh

menciptakan nilai, kaum kapitalis yang rakus, jika dibiarkan, secara tak

terhindarkan akan membayar para pekerja dengan lebih sedikit uang

daripada yang seharusnya, menutup angin perubahan. Perbedaan antara


biaya dari memproduksi sebuah produk dan harganya di pasar, disebut

“nilai surplus”. Moral dari semua ini adalah bahwa cara untuk

memecahkan paradoks nilai dari Smith ini adalah untuk menemukan

sebanyak mungkin jenis-jenis nilai yang berbeda-beda, yang diperlukan.

Materialisme Dialektika dan

Perjuangan Kelas
Sebagaimana anda, para pembaca cerdas, mungkin telah menduga,

materialisme dialektika adalah apa yang anda peroleh ketika anda

mengarungi materialisme dengan dialektika Hegel [lihat hal. ...]. kita

berhutang budi kepada Karl Marx (1818-1883), yang dipengaruhi secara

mendalam oleh Hegel di saat mudanya tapi kemudian meninggalkan

idealisme Hegelian secara terburu-buru.

Banyak orang mempunyai ide yang salah tentang Marx.

Sebagaimana nanti akan kita lihat, dia tidak memikirkan kapitalisme

sebagai sesuatu yang dapat dilakukan tanpa keberadaan sebuah bangsa.

Dialektika materialis adalah tentang langkah berbaris yang teratur dan

bertahap dari ketertindasan menuju kebebasan, dari feodalisme menuju

komunisme, dan kapitalisme harus dihentikan sepanjang jalur ini.

Lalu, dengan istilah “materialisme” Marx tidak memaksudkannya

sebagai suatu hasrat untuk memiliki. Yang dia maksudkan adalah bahwa

sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, dan aktivitas-aktivitas manusia itu dibentuk

oleh lingkungan-lingkungan material (seperti geografi dan ekonomi).

Adapun tentang bagian “dialektis”-nya, Hegel telah menggambarkan


sejarah sebagai suatu perjuangan yang terus-menerus dan progresif,

dimana tesa berbenturan dengan anti-tesa untuk menghasilkan sintesa

yang lebih baik. Marx menyukai model ini, tapi, dia menolak asumsi Hegel

bahwa dialektika sejarah dibimbing oleh “Ide-ide” atau “Spirit”---yaitu,

Tuhan.

Sejarah berproses melalui serangkaian pembalikan-pembalikan dan

perubahan secara besar-besaran, yakin Marx, tapi semua ini diilhami oleh

lingkungan-lingkungan kehidupan yang bersifat material, yang “basisnya”

adalah struktur ekonomi dari era itu. Perencanaan-perencanaan ekonomi

menentukan setiap bentuk dari ekspresi kultural dan perubahan, dari

politik dan kelas menuju seni dan agama. Marx menyebut ekspresi-

ekspresi ini sebagai “superstruktur”.

Dialektika muncul atas dasar konflik-konflik yang terkandung secara

inheren dalam sistem-sistem ekonomi. Dalam sistem kapitalis, untuk

mengambil contoh yang paling dikenal, terdapat konflik yang tak

terhindarkan antara mereka yang mengontrol sarana-sarana produksi

(kaum borjuis) dan mereka yang sebenarnya memproduksi (kaum

proletar). Tapi, kapitalisme adalah sebuah tahapan yang harus dijalani

dalam perkembangan ekonomi. Berkembang dari puing-puing feodalisme

(yang telah menemukan anti-tesanya dalam perkembangan dari kelas

borjuis), sistem kapitalis mempromosikan pengembangan industri dan

efisiensi produksi. Tapi, konflik internal antara kapitalis dan pekerja, akan

mengarah secara tak terhindarkan menuju perjuangan kelas, dengan para

pekerja tampil untuk pertama kalinya menempati posisi puncak. Dalam

istilah dialektika, “tesa” dari kapitalisme bertemu dengan anti-tesa-nya


dalam suatu kaum proletarian yang terorganisir, dan dari akibat

perjuangan kelas, muncul “sintesa” tentang sistem sosialis.

Marx membayangkan bahwa Eropa----yang tersiksa oleh berbagai

revolusi di awal tahun 1800-an---tepat berada di bibir pencapaian sintesa

ini. (Sebagaimana dia telah melihatnya, semacam masyarakat-

masyarakat yang terbelakang seperti Rusia dan Cina untuk menempuh

jalan panjang, padahal mereka belum melalui tahapan kapitalisme). Marx

tidak dapat mengetahui masa depan yang akan terjadi dalam hal ini, tapi,

di sisi yang lain, dia tidak berada dibawah ilusi terkait dengan bentuk

sosialisme yang akan berlangsung untuk pertama kalinya. Dia

meramalkan suatu “kediktatoran dari kaum proletariat”, yang dia pikir

sebagai tak terhindarkan meskipun tidak bersifat ideal. Akhirnya, ketika

kepemilikan pribadi telah sepenuhnya ditiadakan, perbedaan-perbedaan

kelas telah lenyap, dan dengan demikian, masyarakat secara inheren

menjadi adil (menurut prinsip-prinsip materialis), maka, sebuah sintesa

baru akan muncul: yaitu tentang masyarakat demokratis yang tidak

terdapat kelas-kelas.

Dengan kata lain, Marx akan berpandangan bahwa kebanyakan dari

sistem-sistem politik yang kita sebut sebagai “Marxis” itu sebagai suatu

keburukan yang bersifat temporer, jika perlu. Penindasan-penindasan dan

kebobrokan-kebobrokan yang berlangsung selama beberapa dekade

adalah bukan bagian dari rencananya. Dalam praktek, filsafat-filsafat

sosial bersifat serba salah, tapi, ketika suatu metode tentang analisa

historis, Marxisme masih tetap bertahan dalam berbagai bentuk. Para

antropolog, sejarawan, ilmuwan politik, dan sarjana-sarjana sastra,


masing menggunakan alat-alat analitiknya untuk menanggalkan lapisan-

lapisan sentimen dan idealisme dari budaya-budaya yang mereka pelajari.

Dalam kenyataan, hampir metode analitik apa saja, menekankan kondisi-

kondisi material yang mungkin disebut sebagai “Marxis”, yang berarti

bahwa Marxisme muncul dalam banyak bentuk, meskipun tidak semua

dari mereka bersifat compatible. Jadi, jika dialektika ini dapat bertahan

dimana saja, ia masih berada dalam Marxisme itu sendiri.

“Agama Adalah Candu bagi

Masyarakat”
Penderitaan agama ada pada satu waktu dan waktu yang sama dengan
ekspresi tentang penderitaan yang nyata dan sebuah protes melawan
penderitaan yang nyata. Agama adalah keluhan dari makhluk yang
tertindas, jantung dari dunia yang tidak berhati nurani dan jiwa dari
kondisi-kondisi tak berjiwa. Ia adalah opium bagi rakyat.

Karl Marx, “A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of


Right” (1844)

Anda persisnya akan memperhatikan dua hal. Pertama, Marx mengatakan

bahwa agama adalah opium, bukan opiate (obat-obatan yang

mengandung candu), bagi masyarakat---sebuah perbedaan yang tipis,

tapi layak dikedepankan. (Opium adalah narkoba secara khusus,

sementara opiate adalah sebuah kelas [kategori]). Kedua, Marx sangat

menyukai berbagai hal yang italic (huruf miring).

Dengan memberi karakter agama sebagai penenang rasa sakit,

yang mengejutkan banyak pihak, adalah sesuatu yang sangat radikal di


eranya. Dan Marx, lebih dari menyalahkan agama itu sendiri, ia

sebenarnya sedang mengkritik kondisi dari suatu masyarakat yang akan

mengarahkan masyarakat kepada agama. Namun demikian, setelah

mendengar tentang “kaum komunis yang tidak ber-Tuhan”, kita selalu

mengimplikasikan (melaui kriteria logis) bahwa pemikiran kaum Marxis

tidak mengandung nilai-nilai dan moral-moral.

Ini tidak cukup benar. Apa yang benar-benar dimaksudkan oleh Marx

adalah bahwa agama berfungsi untuk mem-pasifikasi (menenangkan)

kaum tertindas; dan penindasan adalah jelas salah secara moral. Agama,

katanya, merefleksikan apa yang tidak ada dalam masyarakat; ia adalah

sebuah idealisasi dari apa yang diinginkan oleh masyarakat tapi belum

dapat diwujudkan sekarang. Kondisi-kondisi sosial di Eropa abad

pertengahan telah mereduksi para pekerja pada taraf yang sedikit lebih

baik daripada kaum budak; kondisi-kondisi yang sama telah menghasilkan

sebuah agama yang menjanjikan dunia yang lebih baik di akhirat.

Agama bukan hanya sekadar suatu takhayul atau suatu ilusi. Ia

mempunyai sebuah fungsi sosial: untuk mengalihkan perhatian kaum

yang tertindas dari realitas ketertindasan mereka. Selama orang-orang

yang tereksploitasi dan tertindas ini meyakini bahwa penderitaan-

penderitaan mereka akan memperoleh imbalan pahala berupa kebebasan

dan kebahagiaan di akhirat kelak, mereka akan berpikir bahwa

ketertindasan mereka ini merupakan bagian dari tatanan yang alami---

suatu beban kesulitan yang niscaya daripada sesuatu yang dibebankan

secara paksa oleh orang lain. Jadi, inilah yang dimaksudkan oleh Marx

dengan menyebut agama sebagai “opium masyarakat”: ia meniadakan


rasa sakit dan penderitaan, tapi, pada waktu yang sama, membuat

mereka menjadi lamban dan tidak aktif, mengaburkan persepsi mereka

tentang realitas dan mencuri paksa keinginan mereka untuk mengubah

keadaan.

Apa yang Marx inginkan? Dia ingin “masyarakat” untuk membuka

mata mereka terhadap realitas-realitas kejam dari kepitalisme borjuis

abad sembilan belas. Kaum kapitalis terus memeras dan memeras lebih

banyak lagi keuntungan dari kerja kaum proletar, dan pada waktu yang

sama “mengasingkan” para pekerja dari realisasi diri mereka. Apa yang

sangat layak menjadi milik para pekerja---dan mereka tentu saja layak

untuk memiliki itu jika saja mereka bangkit dari tidur ketidaksadaran

mereka---adalah kontrol atas kerja mereka, kepemilikan nilai (imbalan

yang ekuivalen) yang telah mereka ciptakan melalui kerja, dan dengan

demikian, layak untuk memiliki harga diri, kebebasan dan kekuasaan.

Guna mencapai tujuan itu, Marx menyerukan “penghapusan agama

sebagai kebahagiaan yang bersifat ilusi bagi masyarakat.” Dia

menghendaki mereka untuk menuntut “kebahagiaan yang riil”, yang

dalam filsafat materialis Marx adalah kebebasan dan tercapainya tujuan

hidup di dunia ini. Ketika orang-orang kaya dan mempunyai kekuasaan

tidak hanya berpangku tangan dan serta-merta menyerahkan semua yang

mereka miliki begitu saja, maka massa akan harus merebut paksa

mereka. Dengan demikian, butuh perjuangan kelas dan revolusi. Andaikan

masalahnya menjadi sesederhana itu.


Konsumsi yang Berlebihan
[Gentleman yang mempunyai waktu luang, dalam masyarakat yang telah
maju dan mandiri, tidak lagi menjadi] sekadar sukses, laki-laki yang
agresif---manusia yang memiliki kekuatan, sumber daya, dan keberanian.
Agar dapat menghindari situasi yang membuatnya terlihat sebagai orang
bodoh, dia harus juga mengolah taste-nya, karena ini sekarang menjadi
kewajiban baginya untuk membuat perbedaan yang jelas dengan cara
yang menyenangkan antara kaum bangsawan dengan kaum awam dalam
hal benda-benda komoditas yang dikonsumsi.... Sangat dekat
hubungannya dengan kebutuhan ini bahwa gentleman itu harus
mengkonsumsi secara bebas dan mengkonsumsi benda-benda komoditas
yang yang tepat, terdapat desakan bahwa dia harus tahu bagaimana
mengonsumsi mereka dalam cara dan gaya yang terlihat cocok dan
menyenangkan. Hidupnya yang penuh dengan waktu senggang ini harus
diarahkan dalam bentuk yang sesuai. Oleh karena itulah, muncul cara-
cara berperilaku yang baik secara sosial.... cara-cara berperilaku yang
superior dan cara-cara menjalani hidup merupakan faktor-faktor yang
mendukung norma dari waktu luang yang berlebihan dan konsumsi yang
berlebihan.

Thorstein Veblen, The Theory of the Leisure Class,


chapter 4

Konsumsi yang luar biasa ini begitu pesat menyebar sekarang ini

sehingga ia membuat terkejut siapa saja untuk menemukan ide ini. Dalam

kenyataan, ini adalah sesuatu yang bersifat kuno---sekuno kebutuhan

untuk menunjukkan atau mempunyai sesuatu yang dimiliki oleh para

tetangga---tapi, ide ini belum pernah dinyatakan oleh seorang pakar teori

pun sebelum filosuf Amerika Thorstein Veblen (1857-1929), penemu dari

ungkapan ini.

Veblen, yang sikap menghinanya terhadap masyarakat yang suka

mengkonsumsi adalah sangat jelas, memulai dengan menemukan istilah

“kelas yang mempunyai waktu luang” (Leisure Class) dalam karya tulisnya
yang pertama dan paling terkenal, The Theory of the Leisure Class (1899).

Menurut Veblen, segera setelah suatu masyarakat menjadi maju dan

sukses melewati tahapan primitifnya, dan benda-benda komoditas

tersedia dalam jumlah yang melimpah dan mengalami keadaan surplus,

yang melebihi apa yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, perbedaan-

perbedaan kelas yang mendasar akan muncul. Pada satu pihak adalah

mereka yang menghabiskan hari-hari mereka dengan pekerjaan manual

mereka; pada pihak lain, mereka yang mempersembahkan diri mereka

untuk mengejar target-target yang “mulia.” (terutama, di tahap-tahap

awal, berburu dan berperang). Satu kelas memproduksi, sementara kelas

yang lain meng-“eksploitasi”---dengan kata lain, yang satu membuat,

yang lain mengambil.

Ketika masyarakat berkembang lebih jauh, kelas yang mengalami

peningkatan lebih tinggi, menarik diri dari berbagai jenis kerja yang

bersifat produktif. Kelas ini, melalui paksaan sosial dan politik, mengembil

kontrol sumber daya-sumber daya komunal dan kemakmuran. Sementara

itu, dengan cara mewakilkan dan memberi wewenang kepada semakin

banyak pekerja atas para pekerja yang lain, yang terjadi kemudian adalah

semakin banyak waktu luang yang tersedia. “Kelas leisure” ini kemudian

memanfaatkan waktu luang ini untuk memuaskan kebutuhan manusiawi

yang paling mendasar: kebutuhan untuk dihargai oleh orang lain.

“agar dapat memperoleh dan menggenggam harga diri dari orang-

orang,” kata Veblen, “adalah tidak cukup untuk hanya sekadar memiliki

kekayaan dan kekuasaan. Kekayaan atau kekuasaan harus dijadikan

sebagai bukti, karena harga diri itu diberikan hanya berdasarkan pada
bukti.” Dalam masyarakat barbar, bukti ini terdiri dari trofi (medali

penghargaan sebagai simbol kemenangan) dan pampasan perang,

simbol-simbol konkret dari kesuksesan mengeksploitasi. Dalam

masyarakat yang lebih maju, bukti ini adalah berupa waktu yang berlebih

dan uang untuk dihamburkan.

Dengan demikian, peningkatan menuju target-target yang “tidak

berguna” seperti melukis, musik, fashion, mempelajari bahasa-bahasa

yang telah punah, mengembang-biakkan anak-anak kuda balap, dan lain-

lain. Semua ini membutuhkan banyak waktu luang dan dengan demikian

juga membutuhkan banyak kebebasan dari kerja kasar dan sangat

rendah. Dan dengan demikian, pertunjukan yang berlebihan tentang

benda-benda mewah yang berharga sangat mahal, mulai dari pakaian

hingga mobil, karpet hingga lampu-lampu kristal. Semakin benda-benda

ini tidak berhubungan dengan cara mempertahankan hidup atau dengan

produksi, maka semakin baik ia.

Namun, pamer kekayaan dan kekuasaan ini tidaklah mencukupi

dalam dirinya sendiri. karena “konsumsi yang berlebihan”, demikian sebut

Veblen, adalah dimaksudkan untuk menegaskan superioritas seseorang

atas orang-orang lain, ia bersifat sangat individu---ia menghasilkan sikap

iri hati. Dan dengan demikian, ia melahirkan kompetisi, bukan hanya

untuk memiliki apa yang dipunyai oleh para tetangga, tapi, untuk

melebihi mereka. Jadi, pertunjukan dan pameran kekayaan dan taste

(selera tinggi) ini hanya sekadar sebuah tawaran (bid) dalam permainan

poker dari sikap iri hati yang kompetitif; anda harus terus-menerus
mengungguli mereka untuk tetap dalam posisi puncak atau menanggung

pelecehan diremehkan karena ketidaksanggupan anda untuk memberi.

Tak satupun dari ini yang akan menjadi masalah besar jika ia

dibatasi hanya pada orang yang paling kaya dari “kelas hartawan

superior”, untuk menggunakan istilah Veblen. Sangat disayangkan, bahwa

kelas menengah, segera setelah seseorang mengalami peningkatan

kemakmuran, menjadi terseret dalam permainan ini, sampai pada tingkat

membahayakan bukan hanya bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi

situasi ekonomi. Perolehan-perolehan yang mengalami surplus, terhubung

bukan pada investasi-investasi produktif, tapi pada pertunjukan dan

pameran dari ambisi besar seseorang. Ketika masyarakat lebih dikontrol

dan dikuasai oleh ego ketimbang oleh rasio (yang merupakan salah satu

alasan mengapa ekonomi klasik mengalami kegagalan), mereka akan

sering, berdasarkan pilihan yang tersedia, membeli mainan berteknologi

tinggi yang baru daripada menabung uang dalam bentuk surat obligasi

atau sesuatu yang bermanfaat.

Disamping serangkaian sikap sarkastiknya atas keangkuhan

manusia yang berlebihan, Veblen mempunyai banyak hal yang dapat

disumbangkan pada pemikiran sosial. Salah satunya, sikapnya yang kasar

dan tajam dalam Theory of the Leisure Class menyembunyikan sebuah

concern mendalam atas situasi sulit dari kelas pekerja, yang, dengan

mengucap terima kasih pada doktrin laissez faire, telah tumbuh secara

sangat mengkhawatirkan di peralihan abad ini. Banyak kontribusi lain dari

dia, berupa tulisan-tulisan yang kurang terkenal, yang menunjukkan jalan

bagi para arsitek dari Pembuat Kebijakan Baru untuk menerapkan


kebijakan sosial guna memperbaiki dan memberi solusi atas situasi

Depresi yang telah dia prediksi sebelumnya. Bahkan jika karya tulis

pertamanya ini juga merupakan satu-satunya buku yang dia tulis, kita

masih harus mengucapkan terima kasih kepadanya karena telah

menawarkan cara yang menghibur untuk melewati momen-momen luang

untuk membaca.

Pembelanjaan Defisit
Ekonom dan sastrawan Inggris, John Maynard Keynes (1883-1946) pernah

dipuji dan memperoleh reputasi yang sangat terhormat, dan sekarang ini

secara kontinyu dipersalahkan, atas cetusan teorinya tentang

pembelanjaan defisit. Adalah benar bahwa Keynes (dieja “Canes”) adalah

seorang yang terus-menerus menggembar-gemborkan ketersediaan

lapangan kerja yang bersifat massif, bahkan yang bersifat tidak produktif

sekalipun. Tapi, faktanya adalah bahwa tak satupun dalam karya-karyanya

yang banyak itu dimana kita dapat menemukan istilah “pembelanjaan

yang defisit” atau “pembiayaan yang defisit”, atau pembelaan terperinci

tentang negara yang makmur.

Apa yang kita temukan---terutama dalam buku yang membuatnya

memperoleh reputasi tinggi, The General Theory of Employment, Interest

and Money(1936)---adalah sesuatu yang ambisius dan di masanya, upaya

yang sangat tidak biasa untuk menganalisa jalinan kerja berskala besar

atau faktor-faktro aggregat ekonomi. Pendekatan ini sekarang dikenal


sebagai “makro ekonomi”, atau “Ekonomi Baru”. Di suatu masa ketika

kebanyakan ekonom sibuk mempelajari pohon-pohon, Keynes telah

mempertimbangkan hutan.

Gagasan esensial dari Keynes adalah bahwa kita mungkin

memahami dan memanipulasi ekonomi nasional jika kita menerima satu

aksioma sederhana: bahwa pendapatan (income) nasional setara dengan

seluruh konsumsi dan investasi. Selanjutnya, tingkat okupasi tenaga kerja

nasional adalah proporsional secara langsung bagi pendapatan nasional.

Dengan demikian, jika konsumsi dan investasi, keduanya bertumbuh,

maka demikian pula dengan okupasi tenaga kerja akan bertumbuh pula.

Tertarik? Tidak, tapi implikasi-implikasinya sangat mendalam. Cara

Keynes menyusun dan merancang formula-formulanya, ternyata bahwa

peningkatan investasi apapun harus menghasilkan peningkatan income

yang lebih besar. Dengan kata lain, setiap dolar yang diinvestasikan

dalam bidang ekonomi, akan menghasilkan lebih dari satu dolar dalam

income nasional, yang pada gilirannya akan membuat anda layak

memperoleh lebih dari satu dolar bagi ketersediaan lapangan kerja yang

baru.

Dengan demikian, kesimpulan Keynes adalah: bahwa dalam rentang

peristiwa-peristiwa, investasi publik (public investment)---yaitu,

pembelanjaan pemerintah---adalah selalu demi kepentingan masyarakat

secara penuh. Ini benar bahkan jika pajak penghasilan tidak menutup

kerugian dari proses membelanjakan uang, dengan membuat pemerintah

mempunyai hutang---atas disar inilah ungkapan “pembelanjaan defisit”

muncul.
Mengapa tak seorang pun yang melihat ini sebelumnya?

Bagaimanapun juga, aritmatika Keynes cukup mendasar. Di tempat

pertama, para ekonom tidak terbiasa untuk melihat secara “makro

ekonomi”. Di tempat kedua, Keynes membuat sebuah asumsi baru

tentang perilaku ekonomis. Dia meyakini bahwa masyarakat didorong dan

dibimbing oleh suatu “kecenderungan bawaan untuk mengkonsumsi”

yang secara relatif baku (fixed) terkait dengan pendapatan individu. Tapi,

hubungan antara pendapatan dan pembelanjaan adalah bukan suatu

hubungan proporsional yang langsung. Seseorang yang membelanjakan

$15.000 dari pendapatan sebesar $20.000, tidak akan membelanjakan

$30.000 jika pendapatannya digandakan. Semakin lebih kaya anda,

semakin kecil presentase dari pendapatan anda yang anda belanjakan

untuk mengkonsumsi berbagai hal---orang kaya tidak makan begitu

banyak es krim daripada orang miskin.

Demikianlah, tingkat konsumsi nasional akan selalu tertinggal di

belakang kenaikan pada income nasional. Ini adalah basis matematis bagi

proses argumentasi Keynes tentang investasi publik. Karena, jika income

itu setara dengan konsumsi plus investasi, dan konsumsi bergerak lebih

lamban daripada income, maka rasio antara pertumbuhan pada income

dan perubahan pada investasi yang menyebabkannya harus menjadi lebih

besar daripada yang satunya. Ini karena kebiasaan-kebiasaan konsumsi

kita berubah lebih lamban daripada income kita, sehingga investasi publik

dapat memberi keuntungan.

Jika ia juga mengarah pada hutang nasional, ini memalukan, tapi

Keynes lebih menyukai hutang pada penghematan yang tolol. Disamping


itu, Keynes tidak menyediakan stok sama sekali dalam keyakinan ekonomi

klasik bahwa ekonomi kapitalis, terserah kepada mereka sendiri, akan

cenderung menuju ketersediaan pekerjaan secara penuh dan penggunaan

sumber daya secara maksimal. Dia, lebih tepatnya, berpikir bahwa

kapitalisme yang bebas dari batasan-batasan, dengan memberi dukungan

dan memfasilitasi orang yang telah kaya, yang rakus, yang licik, dan yang

tidak punya prinsip, hanya akan mengarah selalu pada peningkatan

konsentrasi kekayaan dan pada tingkat pengangguran yang tidak sehat.

Adalah penting bahwa pengaruh Keynes semakin besar sebagai akibat

dari terjadinya depresi parah (Great Depression), yang tidak hanya

mensuplai contoh skenario terbaiknya untuk aplikasi ide-idenya, tapi juga

membuat surut reputasi laissez-faire.

Terutama di saat depresi seperti ini dan tingkat ketersediaan

pekerjaan yang rendah, investasi perseorangan cenderung menciut,

ketika keuntungan yang akan diraih di masa depan tampaknya sangat

meragukan; tingkat konsumsi juga menciut, dan bersama dengan kedua

faktor ini, menciut pula income nasional. Jadi, membutuhkan pekerjaan-

pekerjaan publik dan bentuk-bentuk lain dari stimulasi ekonomi

pemerintah. Namun, Keynes juga bersikap pesimis atas capaian di Inggris

dan di berbagai negara tentang ketersediaan pekerjaan secara penuh,

dan dia meyakini bahwa stimulasi teknologi terhadap dunia industri telah

mencapai puncaknya di Barat.

Keynes tampaknya telah ketinggalan kereta terkait dengan

kemajuan teknologi. Dan banyak ekonom yang cenderung untuk

meragukan satu dari pernyataannya yang paling mendasar: bahwa relasi


konsumsi terhadap income nasional adalah stabil, dan bahwa yang

disebut pertama tidak pernah tumbuh lebih cepat daripada yang disebut

belakangan. Dalam jangka pendek, barangkali tidak; tapi, dalam jangka

panjang, pola-pola konsumsi telah berubah secara demonstratif dimana-

mana. Pada sisi lain, sebagaimana sindiran Keynes yang terkenal, “dalam

jangka panjang, kita semua akan mati.”

Moneterisme
Teori makro ekonomi Keynesian telah lama menguasai para pembuat

kebijakan di negara-negara Barat, tapi ada beberapa pihak yang

mendapatinya sulit untuk dicerna. Sebagaimana mereka melihatnya, yang

menjadi masalah dengan ide-ide Keynes, setidaknya saat mereka

dipraktekkan, adalah bahwa mereka menghasilkan suatu ketergantungan

yang tidak sehat pada kebijakan fiskal---yaitu, atas pemungutan pajak dan

pembelanjaan.

Kritik paling berpengaruh tentang kebijakan fiskal sejak tahun 1960-

an adalah Milton Friedman, seorang profesor di University of Chicago dan

seorang tokoh sentral dalam “Aliran Chicago” tentang ekonomi. Di tempat

pertama, sebagaimana dicatat oleh Friedman, jika tujuan obyektif dari

pemungutan pajak dan pembelanjaan adalah untuk mempromosikan

ketersediaan lapangan pekerjaan secara penuh tanpa ada peningkatan


inflasi, ini merupakan kegagalan yang mengenaskan, sebagaimana

pengalaman rakyat AS pada tahun 1970-an dapat memberi penjelasan

kepada anda.

Di tempat kedua, adalah bodoh untuk menganggap bahwa para

birokrat pemerintah dan para pembuat kebijakan adalah orang-orang

yang lebih bijak daripada pasar, yang kearifan kolektifnya dan aktivitas-

aktivitas otonomnya, pada akhirnya, mendorong perkembangan ekonomi.

Pasar-pasar cukup samar dan tak dapat diramalkan dalam tindakan-

tindakan mereka bahwa hanya manusia saja yang biasanya akan

membuat sesuatu menjadi lebih buruk dengan memanipulasi mereka.

Disini Friedman menganut argumen-argumen lama tentang laissez

faire, dan secara umum, ide-ide politiknya jelas berhubungan dengan ide-

ide dari akhir abad delapan belas. Namun, teori ekonominya---yang

dikenal sebagai “moneterisme”---adalah, lebih baru dan luar biasa

(meskipun tidak seluruhnya baru). Dengan menolak formula-formula

Keynes untuk investasi dan konsumsi, Friedman mengajukan pendapat

bahwa income, ketersediaan lapangan kerja, dan harga-harga adalah jauh

lebih bergantung pada suplai uang dan kecepatannya mengubah

kepemilikan daripada terhadap investasi publik. Dalam pandangannya,

kekuatan riil dari ekonomi Amerika bersandar bukan pada kontrol yang

rakus dan boros dari Kongres, tapi, dalam kontrol yang pasti dan dapat

dipercaya dari Federal Reserve (Bank Sentral Amerika, penerjemah), yang

mengontrol suplai uang dan tingkat suku bunga.

Tapi, Friedman, konsisten dengan sikap oposisi politiknya terhadap

kontrol negara, tidak pernah berargumen untuk memanipulasi suplai uang


demi untuk mem-fix-kan masalah-masalah ekonomi mutakhir. Dia lebih

bersikap untuk menyerahkan segala sesuatunya pada pasar, dengan

Federal Reserve bertindak hanya dalam suatu cara yang konsisten dan

stabil menuju peningkatan secara bertahap suplai uang sepanjang

waktu---dengan sikap mantap (tidak ragu-ragu) dan tidak bias pada

gangguan-gangguan atau kesuksesan saat itu.

Harus dicatat bahwa Friedman bukan menolak teori-teori Keynes,

tapi lebih tepatnya, bagaimana teori-teori ini telah dipergunakan. Keynes

sendiri, yang bukan seorang penganut kebijakan fiskal yang murni,

memikirkan peran lembaga perbankan sebagai sama pentingnya dengan

peran pemerintah. Setiap aliran ekonomi modern, termasuk moneterisme,

berhutang pada Keynes atas pengukuhan teori makro ekonomi dasar.

(Bahkan Richard Nixon, hampir bukan pembelanja dan pemungut pajak

yang besar, menyebut dirinya sebagai seorang Keynesian). Selanjutnya,

tidak ada ekonom, yang menyelam dan mengabdi sepenuhnya pada

laissez faire---jika dia memang demikian halnya, dia tidak akan

mempunyai alasan apapun untuk mempelajari ilmu ekonomi. Sungguh,

sulit untuk melihat apa yang dilakukan oleh Fried sepanjang hari.

Hukum Parkinson
“Pekerjaan berekspansi agar dapat mengisi waktu yang tersedia bagi
penyelesaiannya.”

C. Northcote Parkinson, Parkinson’s Law, or the Pursuit of Progress


(1957)
Anda mungkin memperhatikan bahwa jika anda mempunyai waktu

sepuluh menit untuk menulis surat, anda akan melakukannya dalam

waktu sepuluh menit; tapi, jika anda mempunyai waktu empat jam, anda

akan memanfaatkan waktu selama empat jam. Yang demikian ini adalah

esensi dari “Hukum Parkinson”, yang pertama kali dimunculkan pada

tahun 1955 oleh sejarawan Cyril Northcote Parkinson dalam jurnal The

Economist. Dengan mem-parodi-kan esai yang sangat khas dalam sosio-

ekonomi, Parkinson “membuktikan” klaimnya dengan membuat grafik

statistik pertumbuhan dalam birokrasi Angkatan Laut Inggris di suatu

masa ketika tanggung jawab-tanggung jawab yang diembannya semakin

berkurang: ia membutuhkan lebih banyak orang untuk menyelesaikan

yang semakin berkurang.

“adalah orang yang paling sibuk yang mempunyai waktu lebih,” ujar

Parkinson. Orang-orang cenderung untuk melakukan pekerjaan untuk diri

mereka sendiri; yang bervariasi adalah bukan waktu luang tapi efisiensi.

Sangat tertarik tentang bagaimana hukumnya dapat diterapkan di tempat

kerja, Parkinson secara ironis mencermati bahwa “seorang pejabat

(official) ingin untuk melipatgandakan orang-orang yang lebih lemah dan

lebih rendah (subordinate) darinya, bukan pesaing-pesaing (rivals)” dan

bahwa “Para official membuat pekerjaan terhadap satu sama lain.” Tak

peduli dengan jumlah pekerjaan yang riil, para manajer terus

mempekerjakan lebih banyak orang-orang yang inferior, hanya untuk

membuat diri mereka terlihat lebih bertanggung jawab dan lebih

powerful---yang memutus reaksi berantai yang membutuhkan lebih


banyak subordinasi dan supervisi, tanpa ada peningkatan apresiasi dalam

produktivitas.

Disamping ironi Parkinson ini, hukumnya membunyikan suara

kebenaran baik tentang suasana di kantor dan di rumah. Semakin sibuk

anda, semakin efisien anda jadinya. Semakin luang hari anda, semakin

anda menuntut tugas-tugas yang sederhana jadinya. Berdasarkan sifat-

sifat manusia, maka tugas-tugas yang tak pernah berakhir ini---seperti

spring-cleaning (pembersihan besar-besaran yang dilakukan pada musim

semi)---adalah sesuatu tentang hal yang diinginkan, yang datang secara

tak terduga.

Sebelum Kami Meninggalkan Anda,


Beberapa Pemikiran

Luddisme

“Luddisme” berdasarkan makna mutakhirnya ---“rasa takut akan teknologi dan suatu

sikap menolak pada kemajuan”---adalah sebuah alasan yang cukup disesalkan

untuk sebuah ide besar. Tapi, gambaran sejarah dari penganut Luddisme ini
menawarkan sebuah kisah yang lebih kompleks dan menarik; dan sementara hari

mereka di bawah sinar matahari ini sangat singkat (1811-1816), concern mereka

masih tetap diperhitungkan, terutama di negara-negara berkembang.

Gerakan ini, menurut dugaan, mengambil namanya dari seorang manusia

pemberontak dari Leicestershire (Inggris Tengah), Ned Ludd, dimana Oxford English

Dictionary memberi acuan sebagai “orang gila yang hidup sekitar tahun 1779”. Tak

seorang pun yang benar-benar tahu persis apa yang ingin dilakukan (perpetrate)15

oleh Ludd, tapi ada satu kisah yang menyatakan bahwa dia menghancurkan sebuah

mesin perajut kaos kaki di sebuah pabrik tempat dia bekerja karena sang bos telah

memarahinya. Apapun kebenaran yang dikatakan, Ludd menjadi pahlawan

penduduk desa itu, dan gelar “Raja Ludd” dan “Jenderal Ludd” dilekatkan padanya

setelah berbagai pemberontakan anti-industri.

Tidak seperti Ludd, pengikut Ludd (Luddites) di awal abad sembilan belas

adalah bukan para pekerja pabrik, atau setidaknya tidak memulai dengan cara itu.

Mereka kebanyakan adalah para perajin (craftsmen) desa yang mempunyai

ketrampilan tinggi, terutama di Yorkshire, yang mengerjakan berbagai macam

perdagangan di bidang industri kain wool. Mereka memperoleh bayaran yang

pantas, dan informasi tambahannya, bahwa mereka adalah para pemimpin

komunitas dengan ikatan famili yang kuat, sebuah ikrar kesetiaan pada industri

domestik, dan sebuah pengabdian pada tradisi.

Tapi, berbagai hal berubah dengan cepat. Terluka oleh Revolusi Amerika dan

Perang Napoleon, ekonomi Inggris sedang terpuruk. Pada waktu yang sama,

industrialisme memperoleh momentumnya, secara sangat cepat, sebagai pabrik-

pabrik dan mesin otomatis yang menyebar melalui pedesaan. Laki-laki, perempuan,

dan anak-anak dipaksa bekerja di pabrik-pabrik, dan cara-cara tradisional harus

takluk dibawah disiplin ketat di tempat kerja. Bagi para perajin yang mempunyai
15
Perpetrate= melakukan perbuatan yang negatif dan buruk (misalnya: kejahatan, penipuan). Penerjemah.
ketrampilan tinggi, ini berarti kehancuran bisnis kecil mereka dan tercabik-cabiknya

struktur-struktur rumah dan kehidupan komunitas mereka.

Revolusi Amerika adalah sejarah yang baru saja lewat, dan ia terbukti

memberi inspirasi kepada penduduk Yorkshire, yang telah diabaikan oleh para

politisi mereka. Dalam suatu cara yang terorganisir sangat rapi dan sistematis, para

perajin dan aliansi mereka---kaum “Luddites”---mendobrak paksa tempat-tempat

penggilingan gandum dan merusak kerangka-kerangka mesin hingga hancur

berkeping-keping. Ini lebih mirip Pesta Teh Boston dengan palu-palu.

Pemberontakan kaum saleh atau terorisme industri? Sejarah berpihak pada

para pemenang, dan orang-orang yang kalah harus membayar sangat mahal.

Banyak diantara mereka yang ditembak atau digantung, dan sekarang istilah Luddite

hampir digunakan secara bergantian dengan istilah luny (keadaan gila atau sangat

bodoh). Amuk massa dari para perajin Yorkshire, yang dapat dimengerti, yang

melawan kaum kapitalis (bukan melawan mesin) dewasa ini dianggap sama dengan

penolakan secara ksatria dan romantis untuk mempercayai sebuah mesin penjawab

berdasarkan pada alasan-alasan yang prinsipil. Tentu saja, sekarang ini hanya

sedikit yang meyakini bahwa gerak maju teknologi ini dapat dihentikan, tapi, di suatu

masa dimana hasil bukanlah suatu kesimpulan yang bersifat pasti. Dan masih ada

negara-negara, seperti India, dimana sebuah tradisi dari perajin desa masih dapat

bertahan dan demikian pula halnya menghadapi ancaman dan bahaya dari

kemajuan zaman. Luddisme sejati masih hidup di tempat-tempat yang demikian ini,

tapi sejarah tidak begitu memberi harapan.

Gagasan Salah yang Menyedihkan


(The Pathetic Fallacy)
[Ada] sebuah gagasan salah yang ditimbulkan oleh keadaan perasaan gembira,
yang membuat kita, untuk saat itu, menjadi lebih atau kurang irrasional.... Semua
perasaan yang kuat mempunyai efek yang sama. Mereka menghasilkan di dalam diri
kita sebuah kepalsuan dalam semua kesan-kesan kita tentang berbagai hal
eksternal, dimana saya ingin mengkarakterkan secara umum sebagai “gagasan
salah yang menyedihkan”.
John Ruskin, “Of the Pathetic Fallacy”, in Modern Painters (1856), Part IV, chapter
12

Apakah perut anda mengeluhkan pizza pepperoni? Apakah uang membakar dan

menimbulkan sebuah lubang di dalam kantong saku anda? Apakah langit tersenyum

pada romansa terakhir anda? Jika demikian halnya, anda divonis bersalah telah

menerapkan “gagasan salah yang menyedihkan” ini, tapi jangan menganggapnya

terlalu serius karena hampir setiap orang melakukannya.

Apapun yang terjadi, yang menyedihkan (pathetic) ini tidak berarti apa yang

anda pikirkan sebagai telah ia lakukan. Kritikus era Victoria, John Ruskin (1819-

1900), penemu ungkapan ini, mengetahui dalam benaknya akar makna dari pathos,

bahasa Yunani untuk “emosi”. Yang dia maksudkan dengan kesalahan adalah jenis

kesalahan yang dibuat terutama oleh tipe-tipe yang kreatif---yaitu, perasaan-perasan

untuk memenuhi (mengabulkan) sesuatu, niat-niat, dan sifat-sifat manusia lain

terhadap obyek-obyek yang tidak dapat kita miliki. Singkatnya, kesalahan yang

menyedihkan ini adalah suatu spesies dari antropo-morfisme.

Jenis kesalahan ini tidak bersifat intelektual. Kita tidak benar-benar

memikirkan perut dapat mengeluh, atau bahwa laut dapat menjadi marah, atau

bahwa kursi yang dimaksudkan untuk membuat jari kita memar. Tapi, kadang-

kadang, didorong oleh gairah (Ruskin menyebutnya “perasaan kuat”), kita melihat

berbagai hal dengan cara itu. Dalam jerat rasa senang atau amarah, persepsi kita

menjadi berwarna-warni, dan imajinasi kita menaklukkan rasio kita.


Semua ini tidak harus sesuatu yang buruk. Dalam kenyataan, bagi para

penyair dan pelukis, ini adalah bahan bagi jualan mereka. Dengan menggambarkan

dalam kata-kata tentang perjuangan menuju pantai, penyair Alton Locke menulis:

“Mereka mendayungnya mengarungi buih yang bergulung-gulung---/ Buih yang

ganas, yang bergerak perlahan.” Tentu saja, catat Ruskin, “buih tidak ganas, tidak

juga ia bergerak perlahan.” Dalam kasus lain, Oliver Wendell Holmes menulis

dengan penuh khayal tentang: “[Bunga] Crocus yang boros, merekah seperti

dicetak/Telanjang dan menggigil, dengan piala emasnya.” Ini, jelas Ruskin tanpa

mengeluarkan air mata, “adalah sangat indah, namun sangat tidak benar. Bunga

Crocus bukanlah pemboros, tapi tanaman yang punya daya tahan bagus terhadap

cuaca dingin; warna kuningnya bukan kuning emas, tapi kuning kunir (kunyit).”

Klaim-klaim dari para penyair ini, dengan demikian, adalah kesalahan, tapi, untuk

alasan yang sama inilah kita sangat menyukai puisi.

Tapi, pengaruh-pengaruh emosional dan antropo-morfisme, tidak cukup untuk

membuat puisi yang bagus. Tidak juga keduanya diperlukan karena, jelas Ruskin,

kesalahan yang menyedihkan ini sulit ditemukan dalam karya-karya Shakespeare,

Homer, atau Dante. (Namun, ia mudah ditemukan dalam puisi “reflektif, terutama

oleh para penyair beraliran Romantik---Coleridge, Wordsworth, Shelley, Keats, dan

lain-lain). Selanjutnya, ia sebenarnya bukan “tidak benar” dalam dirinya sendiri yang

menyenangkan kita; lebih tepatnya, untuk membuatnya paradoks, ketidakbenaran

yang mengandung kebenaran. Jika seorang penyair berniat untuk melakukan

kesalahan, dia harus memastikan bahwa kekaburan atau ketidakbenaran ini adalah

compatible (sesuai) dengan emosi yang dianggap mengilhaminya. Dalam

kenyataan, ia tidak berfungsi dengan baik, tapi ia menyenangkan, untuk

menggambarkan dengan kata-kata tentang seseorang yang terkungkung oleh

amarahnya, mengagumi senyuman matahari.


Singkatnya, pengaruh-pengaruh dari perasaan harus serasi dengan kekuatan

dan karakter dari perasaan. Diantara para penyair yang terbesar, seperti

Shakespeare, kekuatan perasaan ini diserasikan dengan kekuatan pemikiran,

sehingga kesalahan dapat dihindari: perasaan-perasaan bisa saja diasosiasikan

dengan sebuah pohon primrose (pohon yang berbunga kecil dan menyerupai tabung

dengan warna yang bermacam-macam), tapi pohon primrose ini masih tetap sebuah

primrose. Demikian pula, tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh mereka yang

sedikit merasa atau sama sekali tidak merasakan sesuatu, karena mereka hanya

melihat sesuatu sebagai “benar-benar” apa adanya mereka. Kesalahan muncul baik

ketika seorang penyair yang memiliki berbagai talenta tapi mempunyai intelek yang

hebat, penyair seperti ini dikalahkan oleh emosi (Penyair aliran Romantik menjadi

salah satu hasilnya) atau ketika seorang penyair yang kuat, dan kecerdasan pikiran,

ditundukkan oleh sebuah pengalaman intens yang tidak biasa, dengan melihat

sejenak pada berbagai hal yang transenden sifatnya, dengan meliputi kebenaran. Ini

mengilhami kesalahan, dan ini adalah jenis yang terbaik.

Pada sisi lain, metafor-metafor yang diulang-ulang, emosi yang tidak otentik,

dan tuntutan puitis---dari jenis yang derivatif dan sangat dielaborasi, yang ditulis oleh

penulisnya setelah acara bubar---adalah cukup buruk dan tak dapat dimaafkan.

Hingga pada tingkat dimana kesalahan yang menyedihkan ini bersifat khayalan

daripada dirasakan, ia hanya sekadar kesalahan; hingga pada tingkat bahwa ia

benar secara emosi, ini adalah menyedihkan. Jadi, simpul Ruskin, “kesalahan yang

menyedihkan adalah powerful hanya sejauh ia bersifat menyedihkan, lemah sejauh

ia mengandung suatu kesalahan.”

Ide Ruskin, selanjutnya akan dimunculkan kembali dalam jargon psikoanalisa.

Apa yang dia sebut dengan “kesalahan yang menyedihkan”, disebut oleh Freud

sebagai “proyeksi”, pen-transfer-an sensasi-sensasi obyektif dan emosi-emosi


terhadap obyek-obyek di luar dunia. “Proyeksi dari persepsi-persepsi batin menuju

luar,” tulis Freud, “adalah suatu mekanisme primitif yang, misalnya, juga

mempengaruhi persepsi-persepsi indera kita, sehingga ia secara normal mempunyai

bagian terbesar [diantara pertahanan-pertahanan psikhis] dalam membentuk dunia

kita.” Dan juga, menurut J.A.C Brown, “kapan saja aspek internal dan subyektif

dikaburkan dengan aspek eksternal dan obyektif, kita boleh jadi berbicara tentang

proyeksi.” Bukan hanya dilakukan oleh para penyair dan seniman; kita semua juga

melakukan ini.

“Bentuk Mengikuti Fungsi”


semua benda secara alami mempunyai sebuah bentuk (shape), untuk mengatakan,
sebuah bentuk (form), suatu penampakan luar, yang menjelaskan kepada kita
tentang identitas mereka yang sebenarnya, yang membedakan mereka dari diri kita
sendiri dan dari satu sama lain....
Apakah ia menjadi burung elang yang sedang menyambar dalam aksi
terbangnya atau bunga pohon apel yang terbuka, kerja keras dari kuda pekerja,
angsa yang ceria, pohon oak yang bercabang, aliran air yang berkelok-kelok pada
bagian bawahnya, awan-awan yang terbawa angin, semuanya mengarah ke
matahari, bentuk selalu mengikuti fungsi, dan inilah hukum itu. Dimana fungsi tidak
berubah, bentuk (juga) tidak berubah. Batu-batu granit, bukit-bukit yang selalu
merenung, masih terus ada selama berabad-abad; kehidupan yang cerah,
memasuki bentuk, dan mati dalam waktu yang singkat.
Louis Sullivan, “The Tall Office Building Artistically Considered” (1896)

Louis Sullivan (1856-1924) memikirkan arsitektur Amerika di akhir abad ini sebagai

suatu keadaan yang sangat menyedihkan. Amerika yang dinamis, kekuatan ekonomi

yang berkembang pesat, rumah bagi gedung-gedung pencakar langit, sedang

mendirikan gedung-gedung yang didasarkan pada masa lalu---gedung-gedung yang


diilhami oleh Yunani, Roma, era Gothic dan Baroque, era Renaisans dan era Abad

Pencerahan---(Pokoknya) segala hal kecuali Amerika modern.

Arsitektur profesional di saat itu terutama sekali adalah suatu lembaga bisnis

yang historis, sangat artifisial (dibuat oleh manusia daripada berlangsung secara

alami), fokus pada tradisi dan terbiasa dengan pemberian ornamen-ornamen yang

netral. Penekanan terletak pada penemuan sang arsitek dan wawasannya yang

luas. Namun, Sullivan, mendesak bahwa para arsitek harus mengkonstruk

bangunan-bangunan berdasarkan prinsip-prinsip yang natural daripada bersandar

pada prinsip-prinsip yang artifisial. Dan determinan (faktor penentu) paling penting

dalam arsitektur alami adalah untuk apa sebuah bangunan itu didirikan---tujuannya,

esensinya, raison d’ětre-nya. Dia menyebut ini sebagai “fungsi” bangunan dan pada

tahun 1896, mengeluarkan diktum terkenalnya, yang sekarang ini lebih dikenal

ketimbang pencetusnya: “Bentuk selalu mengikuti fungsi.” (Bahwa kata “selalu” yang

merusak aliterasi16 huruf f, selalu dibuang).

Sullivan menemukan ungkapan ini dalam sebuah esai tentang apa yang

kemudian disebut dengan “bangunan kantor yang tinggi menjulang”. (Kita

menyebutnya sebuah “pencakar langit”; yang paling pertama dari bangunan jenis ini

adalah the Home Insurance Building di Chicago, yang dibangun tiga belas tahun

sebelum esai Sullivan ditulis). Apa esensi dari bangunan semacam ini? Tanya

Sullivan, Apa fungsinya? Bagi orang yang berada di jalanan, bangunan ini harus

mengkomunikasikan kehebatan, kemuliaan, dan ambisi. Prinsip arsitektur yang

alami yang mengikuti adalah untuk mendesain bangunan ini sehingga aspek tinggi

menjulangnya ditekankan dan tidak terputus. Tapi, cara mayoritas dari gedung-

gedung pencakar langit itu dibangun, pemberian ornamen dan variasi-variasi ide

yang aneh telah merusak garis kemenjulangannya, dengan memutus pergerakan

mata dari lantai dasar menuju puncak bangunan.


16
Aliterasi = pemakaian kata-kata yang sama awal katanya, yaitu huruf F (Form Follows Function)
Jadi, salah satu dari fungsi bangunan ini telah dikhianati oleh bentuknya. Ada

beberapa fungsi lain, dilihat dari perspektif pemanfaatan gedung ketimbang

pengaruh estetikanya. Lantai dasar dan tingkat pertama mempunyai tujuannya

masing-masing: untuk bisnis rumahan (house businesses) dan bank-bank, untuk

menyediakan ruang yang terbuka dan yang mengundang para pengunjung dan para

pekerja, untuk melengkapi dengan perabot yang memancarkan sikap terbuka dan

kebebasan untuk mengakses. Tujuan-tujuan semacam ini barangkali secara alami

disediakan oleh bentuk-bentuk arsitektur khusus: “liberal [sikap terbuka], ekspansif,

[dan] mewah”, “yang didasarkan secara pasti di atas keharusan-keharusan praktis,

tapi diekspresikan dengan sebuah sentimen yang lapang dan bebas”.

Tapi, bagaimana dengan sisa bangunan lainnya? Setiap lantai antara lantai

pertama dan lantai paling atas, secara fungsional, akan menjadi identik: masing-

masing “deretan persis seperti deretan yang lain, sebuah kantor persis seperti

semua kantor-kantor yang lain”. Ini adalah persyaratan praktis tentang penggunaan

ruang secara efisien. Secara alami, jelas Sullivan, berbagai hal yang menyediakan

fungsi yang sama (katakanlah, deretan anak-anak tangga), semuanya mempunyai

bentuk yang sama (yaitu, sayap-sayap). Selama sebuah obyek yang alami terus

menyediakan tujuan yang sama, ia mempertahankan bentuk yang sama. Dengan

istilah “fungsi” Sullivan memaksudkannya sebagai sesuatu yang seperti “esensi

natural”: bentuk burung mengekspresikan fakta dan esensi dari menjadi seekor

burung, yang dipertentangkan dengan yang selain burung; tidak ada burung yang

terlihat seperti seekor monyet, tidak ada batu karang yang terlihat seperti sebuah

pohon. (ini adalah sejenis tautologi). Jadi, sebuah bank harus tidak terlihat seperti

sebuah kuil Yunani atau rumah yang besar dan indah khas Ghotic; jadi, setiap

tingkat (lantai) dari sebuah bangunan yang menyediakan fungsi yang sama, harus

mempunyai bentuk yang sama.


Ini tampak sangat jelas sekarang ini, ketika gedung-gedung pencakar langit

yang kita lihat, secara praktis, semuanya mengikuti diktum Sullivan. Tapi, yang

sedemikian ini bukan menjadi maslaah di masa Sullivan. Sullivan menyalahkan

gedung berlantai enam belas yang terdiri dari “enam belas bangunan yang terpisah,

berbeda-beda dan tidak saling terhubung, yang ditumpuk satu di atas yang lain

hingga tumpukan yang paling atas dapat dijangkau.” Keadaan yang tidak normal

semacam ini tidak didesain oleh arsitek-arsitek yang bodoh atau naif, tapi oleh para

arsitek yang “terlatih” yang dikepung oleh rasa takut akan terlihat tidak canggih atau

tidak cerdas dan imajinatif.

Sullivan agak sedikit membesar-besarkan masalah. Dan, dalam kenyataan,

dia tumbuh lebih getir bersama dengan berjalannya waktu, ketika bisnisnya anjlok,

yang dipengaruhi secara negatif oleh agenda sosialnya yang radikal. Tapi,

sementara praktek dia telah berakhir, dia mulai mengubah konvensi-konvensi di

masanya. Bekerja berdasarkan pijakan ajaran filsafat tentang demokrasi alami dan

pertumbuhan organik, Sullivan berupaya untuk membawa spirit alam ke dalam

arsitektur dunia bisnis Amerika. (Barangkali, contoh terbaik yang masih bertahan

adalah Gedung Wainwright yang dia bangun di St. Louis, dibangun tahun 1890-

1891). Ide-idenya tidak sepenuhnya orisinal, tapi cukup berpengaruh, terutama

ketika dipraktekkan oleh murid Sullivan, Frank Lloyd Wright, sang pemuncak

“arsitektur organik”.

Diantara para arsitek, Sullivan dan Wright membawa arsitektur Modern ke

Amerika, dengan penekanannya pada ruang dan struktur yang telanjang,

fungsionalitas dan modernitas. Dibawa ke sisi ekstrim dari utilitas yang telanjang,

prinsip-prinsip semacam ini dapat menghasilkan bangunan-bangunan yang buruk

dan yang mengasingkan, seperti contoh-contoh paling buruk dari “Gaya

Internasional”. Tapi, kesalahan tidak dapat benar-benar ditimpakan kepada Sullivan


atau pada ungkapan (frasa)nya yang sangat menarik yang seringkali disalahpahami

“Bentuk selalu mengikuti fungsi.” Dia bukan musah dari nilai-nilai estetika, atau

bahkan dari dekorasi dan ornamen, dimana dia hanya ingin untuk menghadirkan

sesuatu yang bersifat organik daripada yang artifisial. Dia menyerukan suatu

arsitektur yang merespon pada hal-hal spiritual sebagaimana halnya dengan

kebutuhan-kebutuhan kaum utilitarian dan yang mengekspresikan spirit zaman itu.

“Dan dengan demikian,” dia menyatakan dalam kesimpulan esainya, “ketika

insting bawaan dan kemampuan untuk mencerap akan mengatur penggunaan seni

kita yang tercinta; ketika hukum yang dikenal, hukum yang dihormati, adalah bentuk

yang selalu mengikuti fungsi,” maka “mungkin dapat dinyatakan bahwa kita berada

di high-road (jalan yang lurus dan nyaman dilalui) menuju seni yang alami dan

memuaskan, suatu arsitektur yang akan segera menjadi seni berkualitas tinggi

berdasarkan pemahaman terbaik dan yang paling benar dari kata-kata itu, sebuah

seni yang akan hidup karena ia akan menjadi dari masyarakat, untuk masyarakat

dan melalui masyarakat.” Tapi tidak, tentu saja, seluruhnya orisinal.

“Kurang adalah Lebih”


paradoks pemikiran Barat yang terbesar, harus dikatakan, jarang sekali mempunyai

akibat-akibat praktis. Kemungkinan yang akan terjadi adalah baik-baik saja, jika

seandainya anda menghidupkan mesin mobil anda, mengarahkannya menuju pusat

pertokoan, dan melaju, anda akan sampai disana cepat atau lalmbat, tak perduli

dengan apa yang dikatakan oleh Zeno [lihat, hal. ....]. Demikian pula, paradoks

Russel [hal. ... ] bisa saja telah menimbulkan keadaan kacau dengan perangkat

teori, tapi akibat yang terjadi setelah itu akan, sangat mungkin, berlangsung seperti

sebelumnya.
Pengecualian yang membuktikan aturan ini adalah “Kurang adalah lebih,”

sebuah ungkapan [sangat menarik] favorit dari arsitek Jerman, Ludwig Mies van der

Rohe (1886-1969). Sebenarnya, Mies tidak menemukan ungkapan ini; tidak juga dia

menemukan “Tuhan ada dalam detail-detail,” sebuah slogan lain yang diatributkan

kepadanya. “Kurang adalah lebih” telah muncul dalam puisi hebat Robert Browning,

“Andrea del Sarto” (1855) dan telah menyebar di dunia seni Jerman dalam beragam

bentuk. (Sumber acuan paling langsung dari Mies adalah gurunya, Peter Behrens).

Tapi, adalah Mies yang telah memperkenalkan dan menjadikan akrab paradoks ini

yang menyenangkan berbagai pihak dan, masa sekarang ini, menjadi bahan ejekan

dari banyak orang.

Apa yang dia maksudkan dengan ungkapan adalah sebagai berikut: sebuah

bangunan harus dikonstruksi berdasarkan pada esensi-esensi yang dikandungnya;

simbol-simbol ekstra atau tambahan-tambahan hanya akan membelokkan dari

kejelasan, manfaat, dan pengaruh. (Inilah esensinya tentang bagaimana kita

memanfaatkan ungkapan ini sekarang: “Yang lebih dari sesuatu yang baik tidak

harus menjadi lebih baik”). Yang diupayakan oleh seorang arsitek adalah bukan

“kurang” demi dirinya sendiri---dengan sekadar melucuti detail-detail yang berlebihan

dan yang tak berhubungan dengan struktur bangunan---tapi lebih tepatnya adalah

apa saja yang dirasa cocok dan sesuai dengan peralatan, lokasi, desain yang

diinginkan.

Tujuan ini, di permukaan, mirip dengan tujuan dari Louis Sullivan, yang

memenagi kesatuan organik dengan ungkapannya: “Bentuk selalu mengikuti fungsi.”

Namun, Mies lebih fokus pada rasionalitas dan presisi (akurat, pasti) daripada

metafisika Sullivan. “Fungsi” yang bersifat langsung dari sebuah bangunan tidak

menarik minatnya secara berlebihan; dia, tidak seperti Sullivan, meramalkan bahwa

struktur apapun di masa depan, akan dirancang berdasarkan pada beragam


penggunaan yang menyediakan berbagai macam fungsi. Ini adalah salah satu

alasan utama dari tuntutan untuk kesederhanaan: semakin terbuka dan murni

sebuah gedung itu, semakin ia dapat diadaptasikan.

Dalam praktek, diktum Mies “Kurang adalah lebih” telah menghasilkan

bangunan-bangunan yang menekankan pada rigiditas (baku, tidak bergerak, tidak

fleksibel) geometris, daripada mencoba untuk menyembunyikan, bahan-bahan dan

alat-alat konstruksi. Contoh paling terkenal, setidaknya di Amerika, adalah Seagram

Building di Park Avenue, New York, yang didesain oleh Mies di akhir tahun 1950-an

bersama dengan Philip Johnson. Sangat biasa dalam konstruksinya, gedung

Seagram ini secara struktur hampir tanpa dekorasi dan perabot-perabot, sebuah

menara kaku yang terbuat dari kaca dan perunggu. Meskipun bukan bangunan

pertamanya, ia adalah proto-tipe “kotak kaca”, yang memberi inspirasi kepada

bangunan-bangunan imitasi yang inferior dan yang tak akan pernah berakhir pada

dekade-dekade selanjutnya. Yang bersifat kurang yang terkandung dalam gaya ini,

pastinya, akan menjadi kelebihannya.

“Mereka Yang Tidak Dapat Mengingat Masa


Lalu Akan Dihukum untuk Mengulanginya”

Kemajuan, jauh dari menetap (bertempat tinggal) dalam perubahan, bergantung


pada daya ingat yang kuat. Ketika perubahan itu bersifat absolut, tak ada wujud
yang tersisa untuk menjadi lebih baik dan tak ada arah yang dirancang bagi
peningkatan kualitas yang mungkin: dan ketika pengalaman tidak diingat,
sebagaimana yang terjadi di kalangan masyarakat barbar, maka tahap permulaan
dari suatu perkembangan akan berlangsung abadi. Mereka yang tidak dapat
mengingat masa lalu akan dihukum untuk mengulanginya.
George Santayana, The Life of Reason (1905), Volume I, chapter XII
Dengan telah menjadi sebuah klise, observasi dari filosuf Spanyol-Amerika ini,

George Santayana (1863-1952) telah kehilangan semua kedalamannya. Biasa

diucapkan dalam bentuk kalimat “Mereka yang tidak ( do not) ingat masa lalu...,” ia

telah direduksi menjadi wacana tindakan tentang suatu kurikulum yang sesuai dan

layak. “Pelajari sejarahmu, boys and girls, atau di masa mendatang [masukkan

pengalaman yang tidak menyenangkan disini] yang akan berlangsung, kamu tidak

akan mengingat apa yang telah terjadi pertama kali.”

Bukan karena ini adalah salah; ini hanya karena bukan demikian yang

dimaksudkan oleh Santayana. Dia memilih kata tidak dapat berdasarkan satu

alasan---yaitu, karena dia memaksudkannya sebagai “secara harfiah adalah tidak

dapat untuk”. Yang demikian ini adalah nasib dari anak kecil dan “kaum barbar”,

dimana mereka setiap harinya memulai kehidupannya secara baru, pengalaman-

pengalaman dan pelajaran-pelajaran di hari kemarin sedang dilupakan. Ini bukan

berarti bahwa orang-orang yang demikian ini (seseorang dapat berargumen dengan

istilah “kaum barbar”) memilih untuk menjadi bodoh; ini artinya bahwa m ereka tidak

mempunyai kemampuan perihal pemikiran historis.

Dalam kondisi lupa ini, seseorang tidak dapat untuk membuat keputusan-

keputusan apapun yang telah diinformasikan sebelumnya atau untuk membuat

dirinya maju. Dia tampaknya hanya akan melanjutkan untuk bertindak berdasarkan

pada insting dan refleks, yang sifat mereka adalah repetitif (selalu mengulang-

ulang). Setiap hari, kurang lebihnya, adalah hari yang sama, inilah yang

dimaksudkan oleh Santayana sebagai “mengulangi masa lalu”.

Poin yang lebih luas dari Santayana adalah bahwa kemajuan menuntut suatu

stabilitas yang pasti dan “daya ingat yang kuat” dalam diri individu-individu dan

masyarakat-masyarakat. Ini adalah basis bagi evolusi manusia, yang dimodelkan

menurut evolusi spesies Darwin: perilaku yang terpelajar, yang berbasis pada
pengalaman, adalah lebih merupakan upaya suksesi dalam menghadapi kondisi-

kondisi yang terus berubah. Yaitu, kita akan meraih yang lebih baik dan lebih baik

lagi dalam menghadapi dunia yang terus-menerus berubah ini kita kita mempunyai

“daya ingat yang kuat” dan sikap “fleksibel”: sadar akan masa lalu dan mudah

beradaptasi.

Konteks yang lebih luas dari spekulasi-spekulasi Santayana adalah

“naturalisme”-nya, yang lebih dikenal dengan sebutan “materialisme”. Manusia,

dalam pandangannya, adalah produk dari alam secara menyeluruh dan utuh; dan

pikiran tidak lebih dari aktivitas alami (natural) dari otak. Berdasarkan keadaan ini

yang terus-menerus berubah, demikian pula dengan apa yang kita sebut sebagai

“sifat manusia”. Keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, proses-proses pemikiran, insting-

insting, dan hasrat-hasrat dari penduduk Yunani kuno adalah sangat berbeda

dengan para penduduk Eropa abad pertengahan atau dengan para penduduk Afrika

kontemporer.

Oleh karena itu, tidak ada sejenis sesuatu yang disebut dengan “hukum

universal”, jika dengan itu kita maksudkan sebagai aturan-aturan (rules) yang dapat

diterapkan di dalam ruang dan waktu. Namun, pada waktu yang sama, dalam waktu

dan tempat khusus (particular) apapun, manusia (laki-laki dan perempuan) saling

berbagi pengalaman-pengalaman, nilai-nilai, proses-proses pemikiran, dan lain-lain.

Jika tidak demikian, maka tidak akan ada komunikasi sama sekali. Dan sifat

manusia khusus yang semacam ini mempunyai suatu “keadaan ideal” yang

potensial, dimana ia dapat menjadi segalanya: yang secara ideal sesuai, dalam

batas-batasnya, dengan waktu dan kondisi-kondisi. Masing-masing individu

mempunyai idealnya sendiri, yang tidak ada hubungannya dengan apa yang

dipikirkan, dirasa, atau dilakukan oleh banyak orang.


Dalam kenyataan, Santayana meyakini secara mendalam bahwa masyarakat

telah diberkahi dengan rasio dan bakat-bakat yang berbeda-beda satu dengan yang

lain. Ini mungkin bersifat ideal bagi beberapa pihak untuk bekerja di pabrik perakitan

(assembly lines), sementara pihak lain menganggap ideal untuk menjalankan fungsi

pemerintahan. Oleh karena itu, dia bukanlah seorang yang bersikap antusias

terhadap demokrasi. Dalam pandangannya, Sifat (Natur) dalam dirinya sendiri

adalah tidak demokratis (undemocratic); beberapa spesies mati, sementara spesies

lain berkembang melalui proses evolusi, dan ini karena beberapa spesies adalah

lebih superior dibandingkan yang lain. Dalam diri laki-laki dan perempuan,

ketajaman rasio dan ingatan tentang masa lalu saling bersesuaian untuk melangkah

maju dan mengalami realisasi diri, guna mencapai apa yang diidealkan. Jadi,

buatlah diri anda terpaku membaca buku-buku sejarah, sekarang.

APPENDIKS

Persamaan Energi dan Massa Einstein


(Hal...)

Inilah ide dasarnya: sebagai sebuah obyek dari massa m (yang berbeda
dari beratnya, yang bergantung pada gravitasi) menempuh kecepatan
konstan v, mempunyai sebuah momentum yang mungkin dapat
diekspresikan sebagai hasil mv. Inersia obyek, yang proporsional dengan
massa-nya, m, akan membuatnya terus bergerak ke arah yang sama
pada kecepatan yang sama, kecuali energi (force) diterapkan kepadanya,
yang menyebabkan suatu akselerasi (sebuah perubahan dalam v). Ini
energi yang telah ditambahkan ini, akan menambah energi kepada obyek
ini, yang dibawah situasi normal diekspresikan sebagai suatu peningkatan
dalam kecepatan (momentum ekstra). Energi total yang diekspresikan
dalam gerak obyek ini disebut dengan “energi kinetik”, yang
momentumnya dikalikan dengan kecepatannya, dibagi dua---yaitu,

E = m v2/2

Ini memberi sejumlah energi yang dibutuhkan untuk men-set suatu tubuh
dari massa m dari keadaan diam ke dalam gerak dari kecepatan v.

Namun ekuasi ini dianggap benar hanya dibawah hukum relativitas


Newtonian. Jika kita mempertimbangkan ekuasi-ekuasi Lorentz tentang
teori khusus (yang menggambarkan kontraksi ruang dan pengembangan
waktu dalam arah gerak yang relatif), maka, formulanya menjadi:

E= .....

Dimana c adalah kecepatan cahaya dalam suatu vakum (ruang kosong).


Ketika kecepatan obyek, v, mendekati kecepatan cahaya ini, v/c
mendekati I, dan denominatornya (angka penyebut dalam pecahan)
menjadi lenyap. Dalam hal ini, karena kita sedang membagi dengan
angka nol, E adalah tak terbatas: dengan kata lain, ia akan mengambil
sejumlah energi yang tak terbatas untuk menggerakkan sebuah obyek
hingga keceptan cahaya. Ringkasnya, tidak ada obyek dengan massa
apapun yang pernah dapat menempuh kecepatan cahaya ini---tidak ada
cukup energi untuk bisa sampai kesana. (Cahaya itu sendiri tidak
mempunyai massa).

Sekarang, marilah kita lihat pada hal yang berlawanan: energi


ditambahkan pada suatu obyek dari massa m dalam gerak pada
kecepatan v, tapi, kita, bagaimanapun, mencegah obyek ini dari bergerak
yang lebih cepat daripada v. Untuk mudahnya, (dan ia akan menghasilkan
yang sama, jika tidak demikian), marilah kita mengasumsikan bahwa
obek ini dalam keadaan diam untuk memulai---ia tidak mempunyai energi
kinetik sama sekali---dan bahwa v masih tetap 0 meskipun ada
penambahan energi E. Jika v = 0, maka demikian pula v/c, dan
denominator dari ekuasi kita direduksi menjadi I. Dalam hal mana,

E = mc

Dengan kata lain, energi yang ditambahkan, semuanya harus menjadi


massa, ketika massa ini menjadi satu-satunya variabel yang tersisa yang
dapat berubah. Masa yang telah ditambahkan ini, jika kita menampilkan
pembagian mendasar, akan menjadi sama dengan E/c.

Tapi, massa adalah massa, apakah ia dihasilkan oleh suatu


penambahan energi atau tidak. Oleh karena itu, formula Einstein tetap
dipertahankan dalam setiap kasus; jika kita ingin mengetahui seberapa
banyak energi yang bersifat laten dalam suatu tubuh dari massa 10 gram,
kita hanya menggandakan 10 gram dengan kecepatan dari cahaya yang
dikwadratkan, dan mengubah ke unit-unit yang sesuai. Keluarkan
kalkulator anda!

Chaos dan “Ekuasi Logistik” (hal....)

Ekuasi logistik, yang memainkan peran yang krusial dalam perkembangan


teori chaos, adalah sebuah varian dari suatu ekuasi linier yang sederhana.
Anggaplah kita sedang mempelajari pertumbuhan populasi diantara
sekelompok binatang yang khusus---katakanlah, tupai abu-abu di Central
Park. Hipotesis pertama kita adalah bahwa populasi tupai ini tumbuh
secara stabil dari tahun ke tahun, katakanlah .I atau 10%. Dalam kasus
ini, populasi dalam setahun n+1 akan menjadi 1.1 (100% + 10%) dikali
populasi dalam tahun n, atau, untuk meletakkannya dalam bentuk
matematis, xn+1=1.1(xn), dimana xn adalah populasi dalam tahun n.
Laju perubahan (1.1) adalah dibakukan.

Tapi, semakin kita lebih mencermati, semakin kita menyadari bahwa


pertumbuhan populasi ini tidaklah stabil sama sekali, tapi bahwa laju
perubahan itu sendiri berubah bersama dengan besarnya populasi itu.
sebagai ganti dari menerapkan suatu pengganda (multiplier) yang baku
dari tahun ke tahun, kita dipaksa untuk memperkenalkan sebuah faktor
linier. Suatu predictor (yang memprediksi) yang lebih baik tentang
populasi tupai di Central Park adalah ekuasi logistik non-linier, yang
terlihat seperti ini:
Xn+1 = rxn (1-xn)

Dimana xn melambangkan populasi di tahun n, yang diekspresikan


sebagai suatu persentase dari populasi keseluruhan yang maksimum, dan
dimana r melambangkan beberapa faktor perubahan yang telah baku.
(Jika populasi tupai maksimum di Central Park adalah 1,500 dan dalam
tahun n yang diandaikan, populasi aktualnya adalah 1,000, maka, xn =
1,000/1,500 =.667.)

Ekuasi logistik menyerupai pendekatan linier kita dimana seseorang


mempertahankan (save) faktor tambahan (non-linier) 1-xn, yang tumbuh
lebih kecil ketika jumlah populasi meningkat dan tumbuh lebih besar
ketika jumlah populasi menurun. (Ketika xn adalah sebuah persentasi---
yaitu, sebuah bilangan antara 0 dan 1---maka, 1-xn akan selalu menjadi
positif; dengan demikian, jumlah populasi tidak pernah turun di bawah
angka nol). Lebih jauh lagi, ekuasi ini disebut dengan “iterative”
(ditampilkan kembali), karena hasil-hasil dari satu tahun dihubungkan
kembali (plugged back) untuk meraih hasil-hasil di tahun selanjutnya;
yaitu, ekuasi adalah sebuah “putaran feedback”.

Sebagaimana diketahui, ekuasi logistik, yang bersifat non-linier


(laju perubahannya bervariasi), mempunyai sejumlah sifat-sifat yang
sangat menarik. Nilai-nilai tertentu dari r (untuk menyatakan, nilai-nilai
yang kurang dari 3), jumlah populasi pada akhirnya akan terasah pada
satu kuantitas yang akurat, pasti dan tidak berubah. Ini bahkan bukan
soal bilangan apa yang anda hubungkan pertama kali, selama ia kecil tapi
tidak sama dengan nol. Tujuan akhir ini---nilai xn mendekat ketika anda
terus mengulang-ulang ekuasi ini---disebut dengan “penarik”
(“attractor”). Bahkan yang lebih menarik, ketik r melebihi 3, jumlah
populasi ini pada akhirnya bergerak menuju dua nilai yang menggantikan,
dengan mendekati pada satu dari tahun yang diandaikan dan kemudian
mendekati yang lain di tahun selanjutnya. Sang penarik telah terbagi dan
sekarang disebut dengan sebuah “penarik dari periode 2”. Selanjutnya,
jika kita meningkatkan r hingga hampir mendekati 3.45, sang penarik
dibagi menjadi empat, dan selanjutnya dibagi menjadi delapan, dan
selanjutnya dibagi menjadi enam belas, dan seterusnya. Tapi, ia tidak
terus menggandakan diri selamanya; apa titik tertentu, ketika r kira-kira
sama dengan 3.57, sang penarik menjadi tidak dapat diprediksi, varian
yang liar, yang tampaknya bersifat chaotic sepenuhnya. (Pada poin ini, ia
disebut dengan “penarik yang aneh”.) tapi, sebagaimana diketahui, ini
adalah chaos dengan sebuah pola.
Ekuasi logistik bukan hanya satu-satunya yang menghasilkan
penarik-penarik yang membagi dan chaos yang terpola. Sebagaimana
telah ditemukan oleh Mitchell Feigenbaum pada tahun 1970-an, terdapat
semua jenis ekuasi-ekuasi, banyak diantaranya yang digunakan secara
umum oleh para ilmuwan praktek, bahwa ketika diperlengkapi dengan
suatu putaran feedback yang terlihat dari hasil-hasilnya, persis seperti
ekuasi logistik (satu contoh adalah r sinus ...x). para pakar matematika
menyadari bahwa ini bukan sekadar suatu kebetulan yang aneh, dan
penemuan Feigenbaum benar-benar membuat bola chaos ini terus
menggelinding.

Sumber-sumber
Aristoteles, The Basic Works of Aristotle, editor: Richard McKeon (New York:
Random House, 1941).

Santo Agustinus, On the Two Cities: Selections from ‘The City of God,’
terjemahan Marcus Dods (New York: Frederick Ungar, 1957).

Francis Bacon, Essays, Advancement of Learning, New Atlantis, and Other


Pieces, editor: Richard Foster Jones (New York: Odyssey, 1937).

Jacques Derrida, Of Grammatology (1967), terjemahan Gayatri Chakravorty Spivak


(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976).

______, Positions (1972), terjemahan Alan Bass (Chicago: University of Chicago


Press, 1981).

Albert Einstein, Relativity: The Special and General Theory, terjemahan Robert W.
Lawson (New York: Wings Books, 1961).
______, Beyond the Pleasure Principle (1920), terjemahan James Strachey (New
York: Norton, 1961).

______, The Ego and the Id (1923), terjemahan Joan Riviere dan James Strachey
(New York: Norton, 1962).

______, General Psychological Theory, editor: Philip Rieff (New York: Macmillan,
1963).

______, New Introductory Lectures on Psychoanalysis (1933), terjemahan


James Strachey (New York: Norton, 1965).

______, Sexuality and the Psychology of Love, editor Philip Rieff (New York:
Macmillan, 1963).

G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, terjemahan A.V. Miller (Oxford: Clarendon,


1977).

The Holly Bible, King James Version (1611).

Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology,


terjemahan W.R. Boyce Gibson (New York: Collier, 1962).

C.G. Jung, “On the Psychology of the Unconscious”, terjemahan R.F.C. Hull,
dikutip dalam Great Ideas in Psychology, editor: Robert W. Marks (New York:
Bantam, 1966).
Melanie Klein, Love, Guilt and Reparation & Other Works 1921-1945 (New York:
Dell, 1975).

Steven Knapp dan Walter Benn Michaels, “Against Theory”, Critical Inquiry 8
(Summer 1982).

Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, second edition


(Chicago: University of Chicago Press, 1970).
Robert W. Marks, editor, Space, Time, and the New Mathematics (New York:
Bantam, 1964).

Karl Marx, Early Writings, editor: Quintin Hoare (New York: Vintage, 1975).

Marshall McLuhan, The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man


(Toronto: University of Toronto Press, 1962).

______, Understanding Media: The Extensions of Man, edisi yang telah direvisi
(New York: McGraw Hill, 1965).

______, and Edmund Carpenter, eds., Explorations in Communication (Boston:


Beacon Press, 1960).

Friedrich Nietzsche, The Portable Nietzsche, diterjemahkan dan diedit oleh Walter
Kaufmann (New York: Viking, 1968).

Plato, The Collected Dialogues of Plato, editor: Edith Hamilton and Huntington
Cairns, edisi yang telah dikoreksi (Princeton: Princeton University Press, 1963).

Plutarch, “The Impossibility of Pleasure according to Epicurus”, terjemahan William


Baxter (New York: n.p., 1859).

Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, second edition (New York: Harper &
Row, 1968).

Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, or Principles of Political Right,


terjemahan Henry J. Tozer (London: George Allen & Unwin, 1895).

John Ruskin, Modern Painters, 5 vols. (London: Dent, 1906).


Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness (1943), terjemahan Hazel E. Barnes (New
York: Philosophical Library, 1956).

Louis Sullivan, The Public Papers, editor: Robert Twombly (Chicago: University of
Chicago Press, 1988).

Philip Wheelwright, editor, The Presocratics (New York: Odyssey Press, 1966).

Norbert Wiener, The Human Use of Human Beings: Cybernetic and Society, edisi
yang telah direvisi (Garden City, N.Y.: Anchor/Doubleday, 1954).

Buku-buku Acuan

Mortimer J. Adler, The Great Ideas: A Lexion of Western Thought (New York:
Macmillan, 1992).

S.T. Bindoff, Tudor England (Harmondsworth: Penguin, 1950)


Werner Blaser, Mies van der Rohe: Less Is More (New York: Waser Verlag Zurich,
1986).

I.M. Bochenski, Contemporary European Philosophy, terjemahan Donald Nicholl and


Karl Aschenbrenner (Berkeley: University of California Press, 1961).

J.A.C. Brown, Freud and the Post-Freudians (Harmondsworth: Penguin, 1961).

Douglas Bush, English Literature in the Earlier Seventeenth Century 1600-1660


(New York: Oxford University Press, 1945)

Jeremy Campbell, Grammatical Man: Information, Entropy, Language, and Life (New
York: Simon & Schuster, 1982).
Richard and Fernande DeGeorge, eds., The Structuralists: From Marx to Lévi-
Strauss (Garden City, N.Y.: Anchor/Doubleday, 1972).

Dictionary of the History of Ideas: Studies of Selected Pivotal Ideas, editor: Philip P.
Wiener, 5 vols. (New York: Scribner`s, 1973).

Timothy Ferris, Coming of Age in the Milky Way (New York: William Morrow, 1988).

James Gleick, Chaos: Making a New Science (New York: Viking, 1987).

Stephen Jay Gould, Ontogeny and Phylogeny (Cambridge, Mass.: Harvard


University Press, 1977).

Stephen W. Hawking, A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes
(New York: Bantam, 1988).

Douglas R. Fofstadter, Metamagical Themas: Questing for the Essence of Mind and
Pattern (New York: Basic Books, 1985).

Judy Jones and William Wilson, An Incomplete Education (New York: Ballantine,
1987).

Joseph J. Kockelmans, editor: Phenomenology: The Philosophy of Edmund Husserl


and Its Interpretation (Garden City, N.Y.: Anchor/Coubleday, 1967).

Bart Kosko, Fuzzy Thinking: The New Science of Fuzzy Logic (New York:
....kurang...

APPENDIKS
Ekuasi Energi dan Massa Einstein (Hal...)

Inilah ide dasarnya: sebagai sebuah obyek dari massa m (yang berbeda
dari beratnya, yang bergantung pada gravitasi) menempuh kecepatan
konstan v, mempunyai sebuah momentum yang mungkin dapat
diekspresikan sebagai hasil mv. Inersia obyek, yang proporsional dengan
massa-nya, m, akan membuatnya terus bergerak ke arah yang sama
pada kecepatan yang sama, kecuali energi (force) diterapkan kepadanya,
yang menyebabkan suatu akselerasi (sebuah perubahan dalam v). Ini
energi yang telah ditambahkan ini, akan menambah energi kepada obyek
ini, yang dibawah situasi normal diekspresikan sebagai suatu peningkatan
dalam kecepatan (momentum ekstra). Energi total yang diekspresikan
dalam gerak obyek ini disebut dengan “energi kinetik”, yang
momentumnya dikalikan dengan kecepatannya, dibagi dua---yaitu,

E = m v2/2

Ini memberi sejumlah energi yang dibutuhkan untuk men-set suatu tubuh
dari massa m dari keadaan diam ke dalam gerak dari kecepatan v.

Namun ekuasi ini dianggap benar hanya dibawah hukum relativitas


Newtonian. Jika kita mempertimbangkan ekuasi-ekuasi Lorentz tentang
teori khusus (yang menggambarkan kontraksi ruang dan pengembangan
waktu dalam arah gerak yang relatif), maka, formulanya menjadi:

E= .....

Dimana c adalah kecepatan cahaya dalam suatu vakum (ruang kosong).


Ketika kecepatan obyek, v, mendekati kecepatan cahaya ini, v/c
mendekati I, dan denominatornya (angka penyebut dalam pecahan)
menjadi lenyap. Dalam hal ini, karena kita sedang membagi dengan
angka nol, E adalah tak terbatas: dengan kata lain, ia akan mengambil
sejumlah energi yang tak terbatas untuk menggerakkan sebuah obyek
hingga keceptan cahaya. Ringkasnya, tidak ada obyek dengan massa
apapun yang pernah dapat menempuh kecepatan cahaya ini---tidak ada
cukup energi untuk bisa sampai kesana. (Cahaya itu sendiri tidak
mempunyai massa).
Sekarang, marilah kita lihat pada hal yang berlawanan: energi
ditambahkan pada suatu obyek dari massa m dalam gerak pada
kecepatan v, tapi, kita, bagaimanapun, mencegah obyek ini dari bergerak
yang lebih cepat daripada v. Untuk mudahnya, (dan ia akan menghasilkan
yang sama, jika tidak demikian), marilah kita mengasumsikan bahwa
obek ini dalam keadaan diam untuk memulai---ia tidak mempunyai energi
kinetik sama sekali---dan bahwa v masih tetap 0 meskipun ada
penambahan energi E. Jika v = 0, maka demikian pula v/c, dan
denominator dari ekuasi kita direduksi menjadi I. Dalam hal mana,

E = mc

Dengan kata lain, energi yang ditambahkan, semuanya harus menjadi


massa, ketika massa ini menjadi satu-satunya variabel yang tersisa yang
dapat berubah. Masa yang telah ditambahkan ini, jika kita menampilkan
pembagian mendasar, akan menjadi sama dengan E/c.

Tapi, massa adalah massa, apakah ia dihasilkan oleh suatu


penambahan energi atau tidak. Oleh karena itu, formula Einstein tetap
dipertahankan dalam setiap kasus; jika kita ingin mengetahui seberapa
banyak energi yang bersifat laten dalam suatu tubuh dari massa 10 gram,
kita hanya menggandakan 10 gram dengan kecepatan dari cahaya yang
dikwadratkan, dan mengubah ke unit-unit yang sesuai. Keluarkan
kalkulator anda!

Chaos dan “Ekuasi Logistik” (hal....)

Ekuasi logistik, yang memainkan peran yang krusial dalam perkembangan


teori chaos, adalah sebuah varian dari suatu ekuasi linier yang sederhana.
Anggaplah kita sedang mempelajari pertumbuhan populasi diantara
sekelompok binatang yang khusus---katakanlah, tupai abu-abu di Central
Park. Hipotesis pertama kita adalah bahwa populasi tupai ini tumbuh
secara stabil dari tahun ke tahun, katakanlah .I atau 10%. Dalam kasus
ini, populasi dalam setahun n+1 akan menjadi 1.1 (100% + 10%) dikali
populasi dalam tahun n, atau, untuk meletakkannya dalam bentuk
matematis, xn+1=1.1(xn), dimana xn adalah populasi dalam tahun n.
Laju perubahan (1.1) adalah dibakukan.

Tapi, semakin kita lebih mencermati, semakin kita menyadari bahwa


pertumbuhan populasi ini tidaklah stabil sama sekali, tapi bahwa laju
perubahan itu sendiri berubah bersama dengan besarnya populasi itu.
sebagai ganti dari menerapkan suatu pengganda (multiplier) yang baku
dari tahun ke tahun, kita dipaksa untuk memperkenalkan sebuah faktor
linier. Suatu predictor (yang memprediksi) yang lebih baik tentang
populasi tupai di Central Park adalah ekuasi logistik non-linier, yang
terlihat seperti ini:

Xn+1 = rxn (1-xn)

Dimana xn melambangkan populasi di tahun n, yang diekspresikan


sebagai suatu persentase dari populasi keseluruhan yang maksimum, dan
dimana r melambangkan beberapa faktor perubahan yang telah baku.
(Jika populasi tupai maksimum di Central Park adalah 1,500 dan dalam
tahun n yang diandaikan, populasi aktualnya adalah 1,000, maka, xn =
1,000/1,500 =.667.)

Ekuasi logistik menyerupai pendekatan linier kita dimana seseorang


mempertahankan (save) faktor tambahan (non-linier) 1-xn, yang tumbuh
lebih kecil ketika jumlah populasi meningkat dan tumbuh lebih besar
ketika jumlah populasi menurun. (Ketika xn adalah sebuah persentasi---
yaitu, sebuah bilangan antara 0 dan 1---maka, 1-xn akan selalu menjadi
positif; dengan demikian, jumlah populasi tidak pernah turun di bawah
angka nol). Lebih jauh lagi, ekuasi ini disebut dengan “iterative”
(ditampilkan kembali), karena hasil-hasil dari satu tahun dihubungkan
kembali (plugged back) untuk meraih hasil-hasil di tahun selanjutnya;
yaitu, ekuasi adalah sebuah “putaran feedback”.

Sebagaimana diketahui, ekuasi logistik, yang bersifat non-linier


(laju perubahannya bervariasi), mempunyai sejumlah sifat-sifat yang
sangat menarik. Nilai-nilai tertentu dari r (untuk menyatakan, nilai-nilai
yang kurang dari 3), jumlah populasi pada akhirnya akan terasah pada
satu kuantitas yang akurat, pasti dan tidak berubah. Ini bahkan bukan
soal bilangan apa yang anda hubungkan pertama kali, selama ia kecil tapi
tidak sama dengan nol. Tujuan akhir ini---nilai xn mendekat ketika anda
terus mengulang-ulang ekuasi ini---disebut dengan “penarik”
(“attractor”). Bahkan yang lebih menarik, ketik r melebihi 3, jumlah
populasi ini pada akhirnya bergerak menuju dua nilai yang menggantikan,
dengan mendekati pada satu dari tahun yang diandaikan dan kemudian
mendekati yang lain di tahun selanjutnya. Sang penarik telah terbagi dan
sekarang disebut dengan sebuah “penarik dari periode 2”. Selanjutnya,
jika kita meningkatkan r hingga hampir mendekati 3.45, sang penarik
dibagi menjadi empat, dan selanjutnya dibagi menjadi delapan, dan
selanjutnya dibagi menjadi enam belas, dan seterusnya. Tapi, ia tidak
terus menggandakan diri selamanya; apa titik tertentu, ketika r kira-kira
sama dengan 3.57, sang penarik menjadi tidak dapat diprediksi, varian
yang liar, yang tampaknya bersifat chaotic sepenuhnya. (Pada poin ini, ia
disebut dengan “penarik yang aneh”.) tapi, sebagaimana diketahui, ini
adalah chaos dengan sebuah pola.

Ekuasi logistik bukan hanya satu-satunya yang menghasilkan


penarik-penarik yang membagi dan chaos yang terpola. Sebagaimana
telah ditemukan oleh Mitchell Feigenbaum pada tahun 1970-an, terdapat
semua jenis ekuasi-ekuasi, banyak diantaranya yang digunakan secara
umum oleh para ilmuwan praktek, bahwa ketika diperlengkapi dengan
suatu putaran feedback yang terlihat dari hasil-hasilnya, persis seperti
ekuasi logistik (satu contoh adalah r sinus ...x). para pakar matematika
menyadari bahwa ini bukan sekadar suatu kebetulan yang aneh, dan
penemuan Feigenbaum benar-benar membuat bola chaos ini terus
menggelinding.

You might also like