You are on page 1of 7

Prof.Dr.Faisal Afiff, SE.Spec.

Lic Beliau adalah seorang pengajar dan telah meniti karir di Fakultas Ekonomi UNPAD selama 45 Tahun. Pendidikan terakhir S3 Bidang Ilmu Ekonomi Belgia dengan spesialisasi pengajaran di bidang Bidang Ilmu Marketing dan Distribusi. Saat ini menjabat sebagai Guru Besar. http://www.fe.unpad.ac.id/id/arsip-fakultas-ekonomi-unpad/opini/239184-tren-kepemimpinan-sektor-publik

TREN KEPEMIMPINAN SEKTOR PUBLIK


Para pemimpin dan organisasi mereka akan menghadapi saat yang paling menegangkan untuk mampu bergulat dengan perubahan besar dalam ekonomi, pemerintahan dan masyarakat. Dengan demikian dibutuhkan langkah inovatif dan praktik-praktik yang baik dalam pengembangan kepemimpinan di sektor publik. Kepemimpinan dapat dianggap sebagai proses tindakan untuk mempengaruhi kegiatan kelompok atau tim kerja dalam organisasi dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan...."

Tulisan ini mencoba menyajikan ide-ide baru atau tren tentang praktek dan pengembangan kepemimpinan di sektor publik dan organisasi non-profit (nirlaba) lainnya. Para pemimpin dan organisasi mereka akan menghadapi saat yang paling menegangkan untuk mampu bergulat dengan perubahan besar dalam ekonomi, pemerintahan dan masyarakat. Dengan demikian dibutuhkan langkah inovatif dan praktik-praktik yang baik dalam pengembangan kepemimpinan di sektor publik. Kepemimpinan dapat dianggap sebagai proses tindakan untuk mempengaruhi kegiatan kelompok atau tim kerja dalam organisasi dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Konsep kepemimpinan di masa lalu, mungkin lebih menekankan pada aspek pribadi tentang sifat atau perilaku para pemimpin, ketimbang mencari kompetensi yang paling jelas dan memiliki hubungan dengan kepemimpinan yang efektif. Dewasa ini telah tumbuh kesadaran untuk mengungkap sisi gelap kepemimpinan, dan bukan hanya sisi keterbatasan tetapi juga bahaya dari sifat, gaya dan kegiatan kepemimpinan tertentu. Misalnya, beberapa penelitian telah mengungkap bagaimana para pemimpin karismatik dapat menciptakan ketergantungan yang berlebihan (overdependency) terhada para pengikut (Burke 2006). Disamping itu para pemimpin karismatik juga dapat menghambat proses partisipasi dalam pengambilan keputusan kelompok atau tim kerja pada masyarakat demokratis (Hartley dan Benington 2010). Pakar lain berpendapat, bahwa para pemimpin perlu memiliki pengaruh melampaui kewenangan formalnya, khususnya untuk "memobilisasi", memotivasi, mengorganisir, dan mengarahkan tim kerja dalam suatu organisasi. Dalam hal ini proses kepemimpinan melibatkan hubungan antara pemimpin dan pengikut, dan bagaimana suatu pengaruh berlangsung diantara mereka. Terdapat desakan akan kebutuhan pemikiran tentang kepemimpinan yang tidak hanya dipandang sebagai kualitas pribadi dalam posisi individual formal semata, akan tetapi juga perlu dilihat dalam kerangka interaktif dinamik yang berlangsung diantara orang dan kelompok yang berbeda dalam konteks situasi yang terus berubah. Dewasa ini tengah terjadi perubahan struktural dan kultural yang berdampak pada kehidupan sehari-hari warga negara dan masyarakat, seperti adanya kekhawatiran tentang hidup di masa tua, tentang prospek pekerjaan untuk diri sendiri dan anak-anak mereka, menghadapi bencana alam, seperti banjir tak terduga di kota dan desa, meningkatnya ancaman keamanan, skeptisisme tentang kejujuran dan keberanian para wakil rakyat dan kepala daerah; serta tekanan yang ditimbulkan oleh kecepatan dan intensitas global baik melalui

teknologi informasi dan komunikasi maupun jejaring media sosial baru. Perubahan struktural dan kultural yang drastis membutuhkan penyesuaian yang tidak mudah dalam pemikiran dan perilaku, dibutuhkan pergeseran paradigma mendasar, bahkan semacam revolusi Copernican dalam pola pikir dan perilaku, yang mengubah cara pandang kita tentang, yakni: hubungan warga dan negara; hubungan negara, masyarakat sipil, dan bisnis swasta; hubungan publik, bisnis swasta dan sektor swadaya masyarakat ; hubungan pusat dan daerah; dan hubungan hirarki, pasar, dan jaringan. Tentu saja, struktur organisasi piramidal seperti birokrasi Weberian sering dianggap terlalu kaku, tidak fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan dalam konteks eksternal yang cepat , sejalan dengan kecepatan intensitas interaktif dari teknologi informasi dan komunikasi baru. Dengan demikian semakin jelas bahwa organisasi publik, bisnis swasta dan sektor swadaya masyarakat perlu beradaptasi saat mereka berinteraksi dengan lingkungan eksternal yang berubah cepat. Diperlukan paradigma baru tentang pemerintahan dan kepemimpinan pelayanan publik sebagai bagian dari sistem adaptif yang kompleks, di mana setiap bagian erat berinteraksi dengan semua bagian lain, seperti pada ekosfer ( Marion 2007). Paradigma baru tersebut cenderung dipengaruhi oleh perspektif yang lebih segar yang terinspirasi oleh perkembangan di bidang ilmu biologi, ekologi, fisika, dan ilmu saraf, dengan memahami sifat-sifat yang muncul dari interaksi antar komponen dan menganalisisnya secara terpisah. Warga negara dan masyarakat semakin dihadapkan pada rangkaian masalah lintas sektoral yang kompleks, dan hal tersebut harus dilihat sebagai bagian dari sistem adaptasi dan interaktif yang kompleks. Seluruh sistem pelayanan publik dan konstelasi kepemimpinan perlu berpikir dan bekerja dengan cara yang lebih koheren dan terkoordinasi. Diperlukan banyak program kemitraan untuk menciptakan kader pemimpin publik dari pemerintah pusat, daerah, PNS, polisi, pemadam kebakaran dan layanan publik lainnya, dan memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan beberapa konsep bersama beserta alat pendukung keputusannya, misalnya, tatanan nilai publik, berfikir strategik, daya analisis, dan kepemimpinan adaptif. Hal ini membantu untuk mendorong beberapa pemikiran inovatif, terutama dalam penanggulangan berbagai masalah penyakit sosial, seperti penyalahgunaan narkoba dan miras. Perlu adanya kolaborasi dan konektivitas di seluruh sistem untuk mengidentifikasi kesenjangan dan tumpang tindih serta duplikasi antar pelayanan, dan menyebabkan lebih banyak perencanaan terkoordinasi sekaligus melakukan berbagai upaya penghematan yang signifikan, termasuk uji coba bersama program pengembangan kepemimpinan antar semua badan publik di pusat dan di daerah. Sejalan dengan itu, perlu juga diredakan ketegangan antara pemikiran horisontal dalam melaksanakan kepemimpinan yang efektif, dengan garis pertanggung-jawaban vertikal terhadap hirarki pemerintah pusat di sisi yang lain. Para pimpinan dan pengambil kebijakan harus belajar bagaimana memimpin proses perubahan di luar lingkup kontrol formal mereka. Dalam model pemerintahan tradisional, negara memegang kendali anggaran dan pengambilan keputusan. Dalam pembangunan masyarakat dewasa ini, peran negara kian berkurang, sementara peran swasta didorong untuk lebih kompetitif. Dalam situasi seperti ini diperlukan pola kepemimpinan masyarakat yang lebih radikal, khususnya di garis depan pelayanan publik seperti dalam sektor kesehatan masyarakat. Implikasinya diperlukan perubahan kontekstual tentang kebijakan dan praktek pemerintahan yang mendalam berkenaan masyarakat lokal, disamping dibutuhkan perubahan pola pikir revolusi Copernican dalam cara berfikir menghadapi jaringan global masyarakat baru. Artinya, dibutuhkan kehadiran kepemimpinan dan pemerintahan publik pola baru yang seyogyanya muncul di tingkat lokal.

Banyak organisasi publik yang telah merintis upaya baru ini kedepan, dengan melakukan pendekatan sebagai berikut: Otoritas publik semakin melihat peran mereka sebagai pembantu untuk mengembangkan warga negara dan masyarakat dengan memberikan pelayanan terbaik; Konsekuensinya para pemegang otoritas publik harus melihat ke bawah ke tingkat akar rumput, tidak lagi berorientasi vertikal; Melihat ke bawah berarti fokus pada apa hasil praktis yang ingin dicapai dan bermanfaat bagi publik; Karenanya perlu melibatkan masyarakat pada dialog ruang publik tentang apa nilai-nilai umum yang paling diharapkan, untuk menyeimbangkan nilai yang paling diinginkan oleh generasi saat ini, yang mungkin saja bisa bertentangan dengan kepentingan publik jangka panjang pada generasi mendatang; Melibatkan organisasi lain di sektor swasta, LSM dan perguruan tinggi untuk mengatasi masalah lintas sektoral yang kompleks yang dihadapi warga masyarakat, dan bagaimana komitmen mereka, agar staf dan sumber daya mereka dapat dimobilisasi dalam pencapaian tatanan nilai publik yang sudah disepakati; Melihat kembali ke internal organisasi guna menyelaraskan semua kegiatan, dengan mengidentifikasi kegiatan internal yang dapat mendukung tatanan nilai publik dengan memperkuat kegiatan tersebut, dan menselaraskannya dengan tatanan nilai publik baru yang telah disepakati; dan Menjalin tata hubungan antara pemerintah di tingkat pusat dengan pemerintah di daerah untuk pelayanan publik, disamping melibatkan masyarakat lokal untuk mencari solusi dan kebutuhan lokal, misalnya termasuk masalah kesehatan. Sampai saat ini, masalah kepemimpinan masih sering dibahas dalam konteks kualitas pribadi intrinsik pemimpin individual itu sendiri, yang sering terlepas dari konteks atau peran dalam suatu organisasi. Namun dewasa ini terdapat desakan kepentingan yang lebih besar tentang bagimana konteks dan peran keduanya pemimpin dan organisasi - akan berdampak pada karakteristik dan tugas kepemimpinan, dimana sumber kewenangan dan/atau legitimasi dapat berdampak pada apa yang dapat atau tidak dapat dicapai oleh seorang pemimpin. Karakteristik kepemimpinan cenderung bervariasi dalam situasi yang berbeda antara kepemimpinan formal dan informal. Juga terdapat perbedaan antara kepemimpinan dengan wewenang atau otoritas dengan kepemimpinan tanpa otoritas. Dalam kepemimpinan otoritas, suatu kekuasaan diberikan melalui sumber legitimasi resmi, sedangkan suatu legitimasi kepemimpinan dapat melampaui kewenangannya yang diakibatkan oleh adanya pengakuan oleh tokoh masyarakat yang mewakili sistem sosial sebagai suara yang signifikan dan berpengaruh. Otorisasi dapat menciptakan koalisi antara organisasi dan kepentingan yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Para pememimpin dengan kewenangan formal dan informal memiliki berbagai sumber legitimasi, dan akses ke berbagai sektor, baik politik, ekonomi, sosial-budaya dan sumber daya organisasi lainnya untuk mencapai tujuan mereka, termasuk penggunaan hirarki, komando dan kontrol, baik melalui instruksi maupun pengaruh. Oleh karena itu, terdapat sebagian pakar yang menyarankan untuk membedakan antara kepemimpinan dan otoritas, atau bahwa kepemimpinan perlu dilihat sebagai kata kerja, dan bukan pekerjaan. Suatu kewenangan, kekuasaan dan pengaruh adalah alat penting, tetapi hal tersebut belum mendefinisikan kepemimpinan. Dalam hal ini, suatu sumber otoritas, kekuasaan, dan pengaruh dapat digunakan untuk segala macam keperluan, namun memiliki sedikit hubungan dengan tugas kepemimpinan. Adanya karakteristik kepemimpinan juga dapat membantu penguatan konsep atas kepemimpinan kontijensial sesuai dengan otoritas dan legitimasi sebagai basis kekuatan kepemimpinannya. Benington dan Moore (2011) membahas pentingnya pemimpin atau manajer publik lebih berfikir hati-hati tentang bagaimana menyelaraskan elemen-elemen yang dibutuhkan untuk menciptakan strategi yang berhasil dalam menghasilkan tatanan nilai publik, membingkai proposisi nilai publik, mendapatkan dukungan dan legitimasi yang cukup dalam mencapai masyarakat yang diinginkan. Dalam konteks kebutuhan ini beberapa

langkah bisa dilakukan, yakni: Mengidentifikasi tantangan adaptif: dalam hal ini para pemimpin perlu berpikir keras tentang apa tantangan nyata yang mendasari suatu masalah, dan apakah masalah tersebut perlu ditangani dengan gaya kepemimpinan teknik atau adaptif. Kepemimpinan adaptif adalah kemampuan untuk mengubah pola pikir dan perilaku mereka dalam rangka bergulat dengan permasalahan yang sulit; Tidak tergoda untuk memecahkan masalah masyarakat secara sendirian: dalam arti perlu melibatkan masyarakat untuk bersama-sama memikul tanggung jawab atas kontribusi mereka terhadap pemecahan masalah dan proses perubahan; dan Mengatur dan meredam tingkat stres dalam melakukan pekerjaan yang adaptif. Terdapat tingkat stres pribadi dan sosial yang sangat tinggi, ketika masyarakat cenderung memilih tindakan ekstrim atau represif untuk mencoba mengembalikan rasa ketertiban dan kendali. Seorang pemimpin yang bijak akan menjaga tingkat kesulitan dalam kisaran di mana ia tetap dapat berfungsi secara efektif, masih mampu melihat permasalahan secara obyektif tanpa merasa kewalahan. Mampu mengendalikan suhu masyarakat dengan baik sehingga tidak mencapai titik didih yang merusak, atau dalam rumusan singkat mampu memasak konflik secara konstruktif. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa efektivitas dari kecerdasan emosi dan kecerdasan politik adalah penting, terutana bagi para pemimpin yang bekerja di luar kewenangan formal, dimana pemahaman akan tujuan, kepentingan dan nilai-nilai tentang mitra kerja dan para pekerja adalah penting, terutama dalam rangka membangun koalisi untuk mencapai tujuan dan hasil yang diinginkan. Karenanya leadership is all about relationship, artinya membangun dan merawat hubungan dengan baik dibutuhkan kecerdasan emosi. Pemimpin tanpa kecerdasan emosi yang baik akan sulit mendapatkan kepercayaan dari para pengikutnya, bahkan mungkin mereka akan menjauhinya. Agaknya mustahil membangun kepemimpinan efektif tanpa disertai kecerdasan emosi. Sebagaimana dikatakan oleh Shankman dalam emotionally intelligent leadership (2008), yakni terdapat tiga kesadaran yang perlu dilatih oleh para pemimpin yang ingin mengembangkan kecerdasan emosionalnya, yaitu dengan mengembangkan kesadaran akan diri, kesadaran akan orang lain, dan kesadaran akan konteks. Kesadaran akan diri akan menuntut kejujuran dalam mengenali emosi diri. Kesadaran akan orang lain menuntut untuk memperhatikan dan memahami karakter setiap anggota organisasi atau para pemimpin dalam organisasi. Kesadaran akan konteks akan menuntut seseorang untuk mengenali lingkungan, budaya ataupun norma di tempat kerjanya. Banyak orang tidak memiliki kesadaran akan orang lain dan konteks. Hal itu membuat mereka gagal memimpin, karena mereka berpikir bahwa cara memimpin yang sama di masa lalu bisa diterapkan pada masa kini. Biasanya orang tersebut mulai menyalahkan keadaan atau menyalahkan anggotanya. Dengan memiliki kesadaran akan diri, orang lain dan konteks, maka seorang pemimpin mudah membagi nilai dan visi kepada anggota-anggotanya, karena mereka memahami bagaimana cara menyampaikan nilai dan visi tersebut kepada para anggota, terlebih sekedar meminta partisipasi anggota-anggotanya. Karena itu, kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor kepemimpinan yang paling efektif. Bergulirnya kebijakan desentralisasi sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam menjalankan otonomi daerah sejak tahun 1999, yakni dengan terbitnya UU No 22 tahun 1999 dan revisinya UU no 32 tahun 2004 telah membawa pengaruh yang sangat besar, bukan saja dalam kaitan relasi kekuasaan antara pusat dan daerah, namun juga relasi-relasi antara pemerintah daerah dan masyarakatnya dan juga relasi

antar daerah itu sendiri. Hal ini didasarkan pada konsep desentralisasi yang merupakan bentuk restrukturisasi atau reorganisasi kewenangan sehingga terdapat suatu sistem tanggung jawab bersama antara lembaga-lembaga pemerintahan di tingkat pusat, regional dan lokal sesuai dengan prinsip subsidiaritas. Dengan kata lain, bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka kesatuan RI. Dengan demikian, prakarsa, wewenang dan tanggung jawab atas wewenang yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah, baik mengenai sarana dan prasarana, sumber daya manusia serta pelaksanaannya maupun segi-segi pendanaannya, dan perangkat pelaksanaannya juga perangkat daerah itu sendiri. Adanya penyerahan wewenang atau desentralisasi dimaksudkan agar masyarakat ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya di daerah. Oleh karena itu kebijakan desentralisasi sering dihubungkan dengan keadaan masyarakat, terutama dengan kematangannya dalam politik sehingga kesadaran masyarakat untuk turut serta dalam pemerintahan akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan dinamika yang ada. Selain itu dengan adanya desentralisasi diharapkan dapat lebih menjamin prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah. Pada dasarnya desentralisasi dikembangkan tidak hanya untuk menciptakan perbaikan kehidupan sosialekonomi dan politik semata, akan tetapi juga untuk semakin membumikan sistem demokrasi Pancasila yang kita anut bersama. Oleh karena prinsip-prinsip desentralisasi diselaraskan dengan prinsip-prinsip demokrasi, dalam konteks negara kita adalah demokrasi Pancasila. Adapun prinsip demokrasi Pancasila, tidak lain adalah : 1. Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia; 2. Keseimbangan antara hak dan kewajiban; 3. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab; 4. Mewujudkan rasa keadilan; 5. Pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat; 6. Mengutamakan persatuan nasional dan kekeluargaan; dan 7. Menjunjung cita-cita nasional. Dalam perkembangannya untuk menunjang terlaksananya proses tersebut maka diperlukan adanya penerapan prinsip-prisnsip good governance. Prinsip-prinsip tersebut mencakup : Partisipasi dari stakeholders termasuk didalamnya warga negara yang memiliki hak suara dalam pegambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi; Kepastian hukum dalam penyelenggaraan negara yang dilaksanakan secara adil tanpa pandang bulu; Transparansi bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap informasi yang dibutuhkan; Responsivitas, yang berarti kemampuan pemerintah dalam menjalankan misi dan tujuannya terutama dalam memenuhi dan menyelenggarakan urusan-urusan publik yang bertujuan untuk memberikan pelayanan yang sama kepada setiap stakeholders; Consensus orientation, yang berarti bahwa kebijakan-kebijakan yang dihasilkan hendaklah merupakan hasil kesepakatan atau konsensus dari stakeholders yang akan menerima dampak langsung ataupun tidak langsung dengan pemerintah;

Equity, yang menjamin adanya kesamaan akses setiap warga negara terhadap kekuatan politik, sosial-ekonomi, dan juga administratif; dan Accountability, yang berarti pertanggung-jawaban atas pelaksanaan kewenangan yang diberikan pada ruang lingkup tugasnya. Pembusukan seekor ikan akan dimulai dari kepalanya. Pepatah tua ini mengandung makna mengenai pengaruh pemimpin bagi sebuah kelompok atau tim kerja yang bisa saja menghancurkan suatu negara, masyarakat atau organisasi, dimulai dari kualitas kepemimpinan yang ada padanya. Sejarah telah banyak memberikan pelajaran berharga bagi kita tentang pemimpin dan kepemimpinan. Kualitas kepemimpinan dari seorang pemimpin ternyata mampu memancarkan pengaruh yang jauh melampaui sekat-sekat institusi atau lingkungan dimana sebenarnya dia berada. Bahkan dalam sebuah sistem yang dianggap bobrok sekalipun, pemimpin yang berkualitas kembali diperlukan untuk melalukan perubahan besar bagi lingkungan internal ataupun eksternal dari sistem tersebut. Seorang pemimpin publik dalam rangka mendukung suasana desentralisasi yang kondusif di era otonomi hendaknya memiliki obsesi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang selama ini menjadi keluhan dan keprihatinan masyarakat di daerah yang menjadi kewenangannya. Kualitas pelayanan publik hanya dapat ditingkatkan apabila diawali dari reformasi birokrasi. Paradigma lama yang menyebabkan jalur birokrasi berbelit belit sebagaiman terjadi pada masa lalu, sekuat daya dan upaya harus diubah. Demikian pula dengan para birokrat dilingkungan pemerintah, yang pada masa lalu lebih mencitrakan diri sebagai abdi pemerintah, secara perlahan perlu diubah menjadi abdi negara dan abdi masyarakat dalam arti kata sebenarnya. Konsekuensi sebagai abdi masyarakat, mereka harus mengedepankan kualitas pelayanan publik. Pada akhirnya, para pemimpin adalah mereka yang pandai dalam mengelola suasana hati organisasinya. Pemimpin yang paling berbakat melakukan hal itu dengan menggunakan suatu campuran misterius berbagai kemampuan kejiwaan yang disebut kecerdasan emosi. Mereka sadar diri dan berempati. Mereka dapat membaca dan mengatur emosi dirinya sementara secara intuitif menangkap bagaimana perasaan orang lain dan mengukur keadaan emosi organisasi dan denyut aspirasi warganya. Kecerdasan emosi sebagian merupakan fungsi bawaan genetik, sebagian adalah pengalaman hidup, dan sebagian lagi adalah pelatihan. Kecerdasan emosi berbeda-beda tingkatnya antara satu pemimpin dan pemimpin yang lain, dan para manajer menerapkannya dengan ketrampilan yang berbeda-beda pula. Seandainya hal ini dipergunakan dengan bijak dan simpatik, kecerdasan emosi akan memacu pemimpin, para pengikut atau bawahannya, organisasi dan masyarakatnya hingga mencapai kinerja yang luar biasa. Sebaliknya, kalau dipergunakan secara naif dan melenceng, kecerdasan emosi dapat melumpuhkan pemimpin atau memungkinkan mereka memanipulasi para pengikut dan masyarakat untuk kepentingan pribadinya. Oleh karena itu, kesadaran akan diri adalah ketrampilan-kunci dari kecerdasan emosi yang ada di belakang kepemimpinan yang berkualitas. Sejarah Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa kecerdasan emosi bukan hanya merupakan komponen mutlak dari kepemimpinan politik, akan tetapi juga bahwa kecerdasan itu bisa ditingkatkan melalui kerja keras secara terus menerus. George Washington harus bekerja keras mengendalikan temperamen pemarahnya sebelum ia menjadi model untuk negara itu, demikian pula halnya Abraham Lincoln harus mengatasi sifat melankoliknya sebelum akhirnya dapat memperlihatkan penampilan berani dan hangat yang menjadi magnet bagi orang lain. Semua orang bisa menjadi pemimpin yang baik jika memahami seni membuat orang lain bekerja

luar biasa. Untungnya, kecerdasan emosi itu bisa dipelajari. Pemimpin yang punya motivasi untuk meningkatkan kecerdasan emosinya dapat melakukannya apabila mereka diberi informasi yang benar, panduan, dan dukungan. Informasi yang dibutuhkan itu adalah penilaian yang jujur terhadap kekuatan dan kelemahannya oleh orang yang mereka kenal dengan baik dan yang pendapatnya mereka percaya. Panduan yang diperlukan adalah rencana pengembangan yang spesifik yang menggunakan pertemuan di tempat kerja alami sebagai laboratorium untuk bercakap-cakap ketika praktek tentang cara menangani berbagai situasi, tentang apa yang mesti dilakukan kalau mereka telanjur merusak situasi itu, dan bagaimana menarik pelajaran dari persoalan itu. Apabila seorang pemimpin memanfaatkan sumberdaya ini dan mempraktekkannya terus, ia akan dapat mengembangkan ketrampilan kecerdasan emosi yang spesifik, yaitu suatu ketrampilan yang akan bertahan bertahun-tahun. Last but not least, seorang pemimpin publik yang baik di era otonomi atau desentralisasi lebih mengarah pada pemberian pelayanan kepada masyarakat sebaik-baiknya. Kebutuhan publik dapat dipenuhi oleh pemerintah daerah, sehingga masyarakat merasa diperhatikan dan mendapat pengayoman. Pemerintah daerah harus bisa mengubah dan menanamkan kepercayaan pada masyarakat, bahwa yang tadinya rakyat menjadi pelayan pejabat menjadi pejabat yang harus melayani masyarakat. Tentu saja ditengah perubahan ini, para pemimpin publik atau birokrat lebih didesak untuk mengembangkan kemampuan kepemimpinan adaptif dan empatik, yakni suatu kemampuan mengkombinasikan antara kapasitas kecerdasan intelektual, emosi dan sosial dalam menghadapi kompleksitas permasalahan masyarakat yang dihadapinya.

You might also like