You are on page 1of 0

1

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN LAKI LAKI YANG MENJADI WARIA:


SEBUAH KEGAGALAN DALAM PROSES PENDIDIKAN
PEMBENTUKKAN IDENTITAS GENDER

Meike Kurniawati S.Psi., MM
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara J akarta
kurniawati2006@yahoo.co.id

Abstract

Transsexual is one who experiences discomfort between his sex and his gender
identity (Perroto & Culkin, 1993). The experience makes transsexual unhappy with
his sex and want to change it. The explanation for transsexual are provided by:
biological, behavioral, and socio cultural perspective.
The previous research by Kurniawati (2003), found that the main causes exchange
behavior male to transsexual are: a mistake in developed gender identity education
and a mistake in imitation process supported with reinforcement, also physical factor
supported with reinforcement. Reinforcement begins from childhood and continued
until Subject realize that he is transsexual. Reinforcement especially derived from
family members, such as praise when Subject dresses or behave like a woman. When
Subject growing teenager, reinforcement not only derived from family members but
also come from environment.
See how deep the role of reinforcement especially from family members in exchange
behavior male to transsexual process, its important for parents to educate and
reinforce their children appropriate with his / her gender identity.

Keywords : transeksusal. Gender identity education, reinforcement.



2
Latar Belakang
Setiap manusia dalam hidupnya akan selalu berkembang dan harus melalui tahap
tahap perkembangannya. Akibat dari perkembangan tersebut, manusia akan
mengalami perubahan perubahan, baik fisik maupun psikologisnya. Bila ditinjau
dari manusia sebagai makhluk holistic, maka perkembangan manusia tidak akan dapat
dilepaskan dari interaksi antara unsur biologis, psikologis, dan social. Ketiga unsur ini
saling mempengaruhi sebagai satu kesatuan (Maramis, dalam Kurniawati (2003)).
Dalam kurun waktu perkembangan tersebut, tidak setiap individu akan berkembang
sesuai dengan perkembangan fisiknya. Sebagai contoh, tidak semua anak laki laki
akan berkembang menjadi laki laki sesungguhnya, dan tidak semua anak perempuan
akan berkembang menjadi wanita sesungguhnya. Bisa saja terjadi, anak laki laki
akan berkembang menjadi waria dan anak perempuan berkembangan menjadi
tomboy.
Waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik dengan identitas
gendernya. Mereka merasa bahwa jauh dalam dirinya, biasanya sejak masa kanak
kanak, mereka adalah orang yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya saat ini
((Perroto & Culkin, 1993).). Adanya ketidaksesuaian itu mengakibatkan waria tidak
senang dengan alat kelaminnya dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubaha
tersebut maka waria akan bertingkah laku seperti perempuan dan mengidentifikasikan
dirinya sebagai perempuan dengan cara berdandan seperti perempuan (Lidiawati,
dalam Kurniawati (2003)). Ketika gangguan tersebut mulai terjadi pada masa kanak -
kanak, hal tersebut akan dihubungkan dengan banyaknya perilaku lintas gender,
seperti berpakaian seperti perempuan, lebih suka bermain dengan teman teman
perempuan, dan melakukan permainan yang secara umum dianggap sebagai
permainan perempuan (Davidson, Neale, and Kring, 2006).
3
Factor penyebab munculnya perubahan perilaku dari laki laki menjadi waria dapat
ditinjau dari beberapa perspektif, yaitu: biologis, behavioristik, dan sosiokultural
(Nevi, Ratus, dan Greene, 1994). Perspektif biologis berkaitan dengan masalah
hormonal, behavioristik berkaitan dengan penguatan yang diberikan oleh keluarga
atau orang lain ketika anak laki laki berperilaku / berpenampilan seperti perempuan,
sedangkan perspektif sociocultural berkaitan dengan factor budaya yang diduga
mempengaruhi perubahan perilaku dari laki laki menjadi waria.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kurniawati (2003), menyatakan bahwa
factor utama penyebab laki laki menjadi waria adalah kesalahan dalam proses
pendidikan pembentukkan identitas jenis kelamin dan kesalahan imitasi yang
ditunjang dengan penguatan, serta factor bawaan yang ditunjang dengan penguatan.
Penguatan mulai didapat dari masa kanak kanak dan terus berlanjut sampai Subyek
menyadari bahwa dirinya adalah waria. Penguatan terutama didapat dari keluarga,
berupa pujian pada saat Subyek berpakaian atau berperilaku perempuan. Saat Subyek
mulai remaja, penguatan tidak hanya didapat dari keluarga melainkan juga dari
lingkungan sekitar.
Mengacu pada hasil penelitian tersebut, maka dapat dilihat bahwa penguatan terutama
dari keluarga sangat berperan penting dalam proses perubahan perilaku dari laki laki
menjadi waria, disamping factor factor lain seperti factor biologis, dan sociocultural.
Namun tidak semua orang tua menyadari peran mereka dalam proses pendidikan
pembentukkan identitas jenis kelamin anak. Tujuan makalah ini dibuat adalah untuk
memberikan sedikit gambaran tentang pentingnya pendidikan dan penguatan bagi
anak anak dalam proses pembentukkan identitas jenis kelamin.


4
Landasan Teori
Waria
Oetomo (dalam Kurniawati, 2003) menyatakan bahwa dalam perkembangannya waria
merupakan proyek feminimitas yang artinya suatu proses keadaan maskulin ke
feminim. Waria yang mempunyai tubuh atau fisik laki laki, mempertontonkan
perilaku serta atribut yang halus dari perempuan meskipun pada saat saat tertentu
mereka masih menunjukkan keagresifannya, menunjukkan aksi maskulin dan
menganggap penetrator sebagai peran seksualnya.
Waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik dengan identitas
jenis kelaminnya (Perroto & Culkin, 1993).
Kusumayanti (2000) menyatakan waria atau banci adalah jenis kelamin ketiga, yang
memiliki sifat antara pria dan wanita tetapi bukan penggabungan diantara keduanya.
Hal tersebut merupakan sebutan awal yang menggambarkan perempuan yang terjebak
dalam tubuh laki laki. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik, psikis, dan seks.
Dalam arti secara fisik dia adalah laki laki tetapi secara psikologis perempuan.
Ketidaksesuaian yang terjadi membuat waria tidak senang terhadap alat kelaminnya
dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubahan tersebut, maka waria
bertingkah laku dan mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan.

Jenis jenis Waria
Kaum waria terdiri dari kelompok manusia yang tidak homogen. Mereka terdiri dari
berbagai komponen yang secara ilmiah psikologik psikiatri dapat dibedakan karena
mempunyain ciri ciri khusus. Atmojo (dalam Kurniawati, 2003) menyatakan bahwa
waria terbagi dalam kelompok kecil: (a). Kaum transeksual, (b).Kaum transvestisme,
5
(c). Kaum homoseksual yang menderita transvestisme, (d). Kaum opportunities.

Kaum transeksual
Mereka yang termasuk dalam kelompok ini mengalami ketidakserasian pada jenis
biologis dan jenis kelamin mereka. Ada keinginan dari mereka untuk menghilangkan
dan menggantikan alat kelaminnya dan hidup sebagai lawan jenisnya. Untuk langkah
awal mereka biasanya menghilangkan ciri fisik laki lakinya, misal: mengoperasi
sebagian dari tubuhnya seperti payudara, dagu, kelopak mata, minimal mereka merasa
perlu merias diri dan berpakaian seperti wanita. Kelompok ini memenuhi criteria
penderita transeksual.

Kaum transvestite
Kelompok ini adalah penderita transvestism dan mereka hanya mendapat kepuasan
dengan berpakaian seperti lawan jenisnya. Dalam pola hubungan seks, mereka adalah
heteroseksual dan biasanya mereka terikat dalam suatu perkawinan atau dalam
mencari pasangan selalu perempuan. Penderita kelompok ini adalah laki laki.
J umlah mereka sedikit dan biasanya berpakaian lawan jenis pada saat tertentu saja,
yaitu pada saat akan melakukan hubungan seksual. J adi tampak bahwa pemakaian
pakaian perempuan disini untuk mendapatkan gairah seksual, berbeda dengan para
transeksual yang berpakaian perempuan karena merasa ada ketidaksesuaian antara
fisik dengan jiwanya, mereka merasa dan ingin menjadi perempuan. Secara fisik para
transvestis tetap suka dengan ciri ciri kelaki lakian mereka, meskipun mereka
memakai pakaian perempuan kadang mereka tetap memasang kumis dan tetap senang
berhubungan seksual dengan perempuan.

6
Kaum homoseksual penderita transvestismen
Selain mereka yang bersifat maskulin, feminism, atau yang kewanita wanitaan, atau
mereka yang tergolong closed type, terdapat pula homoseksual yang juga menderita
transvestisme. Yaitu, mereka yang mendapat kepuasan seksual dari hubungan
homosekual dan berpakaian lawan jenis.
Di negara Barat dijumpai kehidupan kaum homoseksual yang bebas dan mempunyai
kedudukan setaraf dengan kehidupan kaum heteroseksual. Disana mereka mudah
menemukan pasangan dan kontak homoseksual sehingga mereka tidak perlu
berdandan sebagai perempuan untuk mencari pasangan. Hal ini berbeda dengan di
Indonesia.
Untuk homoseksual yang closed type, yang tidak ada atau sedikit memiliki teman
homoseksual, mereka akan mengalami kesulitan dalam mencari pasangan, sehingga
timbul gagasan bahwa dengan berdandan sebagai perempuan akan lebih mudah bagi
mereka untuk mencari kontak homoseksual.

Kaum opportunities
Kelompok ini terdiri dari mereka yang memanfatkan kesempatan. Dimana mereka
menjadi waria untuk mencari penghasilan atau nafkah. J adi tidak terdapat kelainan
seperti 3 kelompok sebelumnya.

PENYEBAB PERUBAHAN PERILAKU DARI LAKI LAKI MENJADI
WARIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF BEHAVIORISTIK
OPERANT CONDITIONING
Tokoh aliran behaviorisme adalah B.F. Skinner dengan teori operant conditioning.
Pandangan Skinner tentang manusia adalah bahwa manusia dibentuk oleh lingkungan.
7
Manusia lahir dengan potensi yang bisa dikembangkan kearah mana saja. Melalui
proses pembentukkan manusia bisa menjadi sosok tertentu dengan kepribadian
tertentu (Costin & Draguns, dalam Kurniawati (2003)).
Skinner (Davidson, Neale, dan Kring, 2006) memperkenalkan konsep stimulus
discriminative, untuk merujuk pada berbagai kejadian di luar diri yang memberi pesan
pada organisme bahwa jika ia melakukan suatu perilaku, maka akan diikuti suatu
konsekuensi tertentu.
Pada prinsipnya, manusia bukanlah organisme yang pasif, tetapi aktif mencari akibat
akibat atau konsekuensi yang menyenangkan. Manusia membentuk lingkungan dan
dunianya sendiri. Lingkungan mempunyai posisi kuat dikarenakan lingkungan
menyediakan penguatan (reinforcement).

Jenis jenis penguatan
Skinner (Davidson, Neale, dan Kring, 2006), menyatakan bahwa penguatan
dipandang sangat penting dalam proses pembentukkan perilaku. Ada dua jenis
penguatan, yaitu: (a). Reinforcement positif, (b). Reinforcement negative.

Reinforcement positif
Merujuk pada penguatan suatu kecenderungan untuk merespon karena terjadi
peristiwa yang menyenangkan.

Reinforcement negative
Reinforcement negative juga memperkuat respon, namun dilakukan melalui
penghapusan peristiwa / stimulus - stimulus yang tidak menyenangkan (Davidson,
Neale, dan Kring, 2006). Stimulus stimulus yang tidak menyenangkan disebut juga
8
aversive stimulus. Dalam reinforcement negative ini, stimulus yang tidak
menyenangkan atau stimulus aversif akan dihilangkan, sehingga orang melakukan
perilaku yang diinginkan. Contoh: seorang anak yang memakai pakaian sesuai jenis
kelaminnya diabaikan saja. Pengabaian adalah stimulus yang tidak menyenangkan.
Ketika anak memakai pakaian lawan jenis, maka reinforcement negative dihilangkan,
misal: orang tua kemudian memuji, memperhatikan anak tersebut.

Pembentukan Perilaku dan Perilaku Berantai
Dalam melatih suatu perilaku, Skinner mengemukakan istilah shaping, yaitu upaya
secara bertahap untuk membentuk perilaku, mulai dari bentuk yang paling sederhana
(elementer) sampai bentuk yang paling kompleks. Terdapat dua unsur dalam
pengertian shaping, yaitu:
1. Adanya penguatan secara berbeda beda (differential environment), yaitu ada
respons yang diberi penguatan dan ada respons yang tidak diberi penguatan.
Contoh kasus: orang tua yang sangat menginginkan anak perempuan, tetapi
ternyata mendapat anak laki laki seringkali tetap memperlakukan anak laki
lakinya seperti anak perempuan. Maka ketika si anak berperilaku perempuan
atau berdandan seperti perempuan, anak akan diberi penguatan. Tetapi apabila
anak berperilaku atau berdandan seperti laki laki, dia tidak akan diberi
penguat. benar benar bangun tepat waktu dia akan diberi penguat.
2. Succesive approximation (upaya mendekat terus menerus), mengacu pada
pengertian bahwa hanya respons yang sesuai dengan harapan yang akan diberi
penguat.

9
Dengan shaping diatas, perilaku manusia sedikit demi sedikit dibentuk untuk akhirnya
dapat melakukan perilaku yang kompeks.
Secara sederhana, cara conditioning Skinner dapat mengikuti skema sebagai berikut:

Stimulus discriminative respon operant Stimulus penguat

_________________________
Asosiasi yang diperhatikan

Keterangan:
Stimulus discriminative adalah berbagai kejadian di luar diri yang memberi pesan
pada organisme bahwa jika ia melakukan suatu perilaku, maka akan diikuti suatu
konsekuensi tertentu (Davidson, Neale, dan Kring, 2006).
Respons operant adalah respon yang secara active dipilih oleh individu karena dari
pengalaman yang sudah didapat individu akan memperoleh penguat apabila
melakukan respon tertentu.
Stimulus penguat adalah penguat yang diberikan kalau individu dapat memberikan
respon yang benar.
Menurut teori operant conditioning penyebab laki laki menjadi waria adalah
penguatan yang didapat individu ketika individu tersebut menunjukkan perilaku
lawan jenisnya. Penguatan ini terus diulang sampai akhirnya terbentuk perilaku lawan
jenis (laki laki berperilaku perempuan).



10
SOCIAL LEARNING THEORY
Social learning theory adalah pandangan yang menekankan perilaku, lingkungan, dan
kognisi sebagai factor kunci dalam perkembangan (Santrock, 2002).
Bandura (dalam Feldman, 1996) menyatakan bahwa bagian utama dari proses belajar
manusia terdiri dari belajar observasi (observational learning). Observational
learning adalah belajar dengan cara mengobservasi perilaku orang lain yang disebut
model dan melihat akibat akibat dari tindakan mereka. Melalui belajar mengamati
(modeling dan imitasi) secara kognitif individu tersebut akan menampilkan perilaku
orang lain kemudian mengadopsi perilaku itu dalam dirinya (Santrock, 2002).
Sebagian besar tingkah laku manusia terjadi karena pengamatan atau belajar model.
Model yang ditiru bukan hanya orang orang yang nyata ada, melainkan juga model
model simbolik (misal: artis, pahlawan, atau orang orang yang biasa dilihat di
buku atau di TV (Monks, Knoers, dan Hadinoto, 2001).
Menurut Bandura, ada empat syarat seorang individu dapat menirukan model dengan
baik (Monks, Knoers, dan Hadinoto, 2001) yaitu:
1. Perhatian (suatu model tidak dapat ditiru bila tidak diadakan pengamatan)
2. Retensi atau disimpan dalam ingatan (tingkah laku yang diamati harus bisa
diingat kembali untuk bisa ditirukan jika model tersebut sudah tidak ada lagi)
3. Reproduksi motoris (untuk dapat menirukan dengan baik, seseorang harus
memiliki kemampuan motoris)
4. Reinforcement dan motivasi (orang yang meniru harus melihat tingkah laku itu
sebagai tingkah laku yang terpuji dan termotivasi untuk menirukan).

Perilaku menyimpang juga seringkali terbentuk melalui proses belajar dengan
observasional (observational learning). Penyebab perubahan perilaku dari laki laki
11
menjadi waria juga dapat disebabkan karena proses observasi individu terhadap waria
sebagai model. Individu yang belajar dengan mengamati para waria, secara cognitive
akan menampilkan perilaku waria tersebut kemudian mengadopsi perilaku itu dalam
dirinya.

PROSES PERUBAHAN LAKI LAKI MENJADI WARIA MENURUT
PERSPEKTIVE BEHAVIORISTIK
Perspektif behavioristik tentang waria lebih berfokus pada perilaku mana yang sesuai
dan tidak sesuai dengan jenis kelamin, dimana ketidaksesuaian tersebut diperkuat oleh
perlakuan dari lingkungan terutama keluarga. Penyebab seorang laki laki menjadi
waria adalah adanya penguatan dari keluarga berupa perhatian dan dorongan pada
masa kanak kanak ketika individu tersebut beraktivitas atau memakai pakaian lawan
jenis. Sebagai contoh, orang tua yang sangat ingin anak perempuan seringkali
memperlakukan anak laki lakinya seperti anak perempuan (Perroto dan Culkin,
1993). Pakaian merupakan sarana bagi anak anak untuk menunjukkan gangguan
identitas jenis kelamin, sedangkan penguatan diperoleh dari perlakuan para orang tua.
Interview yang dilakukan oleh Green (dalam Neale, Davidson, dan Haaga, 1995)
dengan orang tua dari anak anak yang mengalami masalah perkembangan identitas
jenis kelamin menunjukkan bahwa orang tua tidak menghalang halangi dan dalam
banyak hal justru mendukung perilaku anak yang memakai pakaian lawan jenis.
Banyak orang tua terutama Ibu dan nenek yang menganggap lucu ketika anak laki
lakinya menggunakan pakaian atau sepatu ibunya, memotret anak dengan pakaian dan
topi lawan jenis, dan seringkali orang tua mengajarkan pada anak anak itu
bagaimana berdandan. Reaksi penguat dari keluarga yang terus menerus dalam
jangka waktu lama pada akhirnya akan menyebabkan timbulnya konflik antara
12
anatomi seks dengan identitas jenis kelamin anak (Neale, Davidson, dan Haaga,
1995).
Rekers & Lovas (dalam Kurniawati, 2003) menyatakan bahwa orang tua seringkali
memberikan reinforcement berupa perhatian dan pujian betapa cantiknya anak laki
laki mereka ketika anak tersebut memakai pakaian ibu atau saudara perempuannya.
Secara sederhana proses terbentuknya perubahan perilaku dari laki laki menjadi
waria adalah:

Stimulus diskriminatif Respon operant Stimulus penguat

________________________

Masa kanak kanak anak laki laki berpakaian perempuan mendapatkan
pujian dan perhatian dari orang tua.

Keterangan:
Stimulus diskriminatif : masa kanak kanak
Respont operant : anak laki laki berpakaian perempuan
Stimulus penguat : pujian dan perhatian dari orang tua
Kurniawati (2003), menyatakan bahwa saat individu mulai menginjak masa remaja,
peranan keluarga semakin berkurang. Individu sudah mulai lebih banyak berhubungan
dengan lingkungan di luar keluarga. Penguatan penguatan tidak lagi didapat dari
keluarga tetapi dari lingkungan di luar keluarga, seperti teman sebaya, kelompok
kelompok social tertentu, dll. Saat mulai menginjak masa remaja, individu laki laki
yang berubah menjadi waria mulai mencari identitas diri dan mulai berteman dengan
13
sesama waria. Dengan berteman dan berkumpul bersama komunitas waria yang lain
membuat individu tersebut merasa mendapat pengakuan yang pada akhirnya semakin
memantapkan pilihan dirinya untuk menjadi waria.
Perubahan perilaku dari laki laki menjadi waria tidak hanya disebabkan karena
adanya penguatan dari keluarga berkaitan dengan perilaku mana yang sesuai atau
tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, tetapi juga disebabkan karena pengaruh
permodelan. Individu laki laki yang pada masa kecilnya menggunakan waria
sebagai model untuk diamati dan ditiru serta melihat adanya akibat akibat yang
menyenangkan ketika individu tersebut bertindak sesuai dengan model (Kurniawati,
2003).

SEX ROLE
Di dalam membahas masalah waria, tentu berkaitan dengan masalah identitas jenis
kelamin. Berbicara mengenai identitas jenis kelamin juga akan membicarakan tentang
peran yang diharapkan atau dilakukan seseorang yang sesuai dengan jenis kelaminnya
atau yang disebut gender role, karena kedua konsep ini tidak dapat dipisahkan.
Identitas jenis kelamin ini tergantung pada bagaimana seseorang menggunakan
perilaku dan peran yang telah ditetapkan (Liebert dan Nelson, dalam Kurniawati,
2003)).
Selanjutnya proses untuk memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya disebut
sex role typing. J adi tampak bahwa berhasil atau tidaknya seseorang menerima dan
memahami perilaku sesuai dengan peran jenis kelaminnya akan menentukan berhasil
atau tidaknya seseorang dalam pembentukkan identitas jenis kelamin.
Dalam perkembangan seseorang banyak factor yang mempengaruhi keberhasilan
seseorang dalam pembentukkan peran jenis kelaminnya. Ada tiga factor yang
14
berhubungan dengan perkembangan peran jenis kelamin seseorang (Hetheringhton &
Parke (dalam Kurniawati, 2003): (1). Faktor biologis, hormon dalam hal ini
memegang peranan penting dalam pembentukkan identitas jenis kelamin. Pada
dasarnya hormon laki laki dan perempuan dewasa kedua duanya ada dalam tiap
diri manusia tetapi berbeda kuantitasnya (kadarnya). Pada laki laki hormon
androgen lebih banyak jumlahnya, sedangkan pada perempuan hormon ekstrogen
lebih banyak. (2). Faktor cognitive, Menurut Kohlberg factor cognitive juga berperan
dalam perkembangan sex role typing. Ketika anak diperlakukan berbeda sehingga
seorang anak termasuk dalam kelompok laki laki atau perempuan, hal tersebut akan
menyebabkan anak tersebut kemudian berperilaku sesuai dengan jenis kelaminnya
dan akan meniru model yang sama dengan dengan jenis kelaminnya. (3). Faktor
social, Standart sex role dan pemaksaan untuk menggunakan pola perilaku yang
sesuai berasal dari berbagai sumber yaitu: keluarga, guru,teman, media massa. Semua
ini akan mempengaruhi perkembangan anak. Sejak kecil orang tua akan
memperlakukan anak berbeda beda. Di sekolah guru akan mengkritik bila anak
berperilaku tidak umum. Diantara teman teman pun, bila anak berperilaku tidak
umum akan mendapat kritikan dan kurang diterima teman sebayanya, misalnya: laki
laki yang berpenampilan seperti perempuan.
Salah satu kemampuan yang penting dalam kehidupan manusia adalah kemampuan
untuk memahami identitas dan peran jenis sesuai dengan jenis kelaminnya. Proses
untuk memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya (sex role typing) dipengaruhi
oleh factor biologis, kognitif, dan social.
Kegagalan dalam memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya akan membuat
individu mengalami gangguan identitas gender yang disebut transeksual atau waria.

15
KESIMPULAN
Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan Kurniawati (2003) dapat disimpulkan
beberapa temuan pokok antara lain:
1. Penguatan dari keluarga dan lingkungan sekitar (sekolah, masyarakat) pada
saat Subyek berperilaku atau berpakaian perempuan merupakan factor utama
penyebab perubahan individu laki laki menjadi waria.
2. Ayah sangat berperan dalam perkembangan identitas jenis kelamin anak
terutama pada anak laki laki. Pada kasus perubahan dari laki laki menjadi
waria tampak bahwa peranan ayah dalam proses pembentukkan identitas jenis
kelamin anak laki laki sangat lemah
3. Kurangnya pengetahuan orang tua tentang perkembangan identitas jenis
kelamin pada anak anak menyebabkan banyak orang tua yang salah dalam
mendidik anak sesuai dengan identitas jenis kelaminnya. Para orang tua
berpendapat bahwa perkembangan identitas jenis kelamin pada anak anak
akan terjadi secara alamiah (tidak melalui proses belajar) dan akan dimulai
pada saat anak dewasa
4. Kurangnya pengetahuan orang tua tentang perkembangan identitas jenis
kelamin anak juga dipengaruhi oleh status social ekonomi dan tingkat
pendidikan orang tua yang rendah.
5. Penyebab laki laki menjadi waria juga dapat disebabkan karena factor
biologis, tetapi factor biologis tidak dibahas dalam penelitian yang dilakukan
oleh Kurniawati (2003) karena berkaitan dengan ketidaknormalan hormon,
yang tentunya harus diukur atau dipelajari dari sisi medis.


16
SARAN BAGI ORANG TUA
Dari berbagai pembahasan dan kesimpulan yang telah dibahas sebelumnya, dapat kita
ketahui bahwa orang tua berperan besar dalam proses pembelajaran pembentukkan
identitas jenis kelamin pada anak. Oleh sebab itu diharapkan sejak kecil anak sudah
diarahkan untuk berkembang sesuai dengan identitas dan peran jenis kelaminnya.
Pada saat anak mulai menunjukkan perilaku lawan jenis, orang tua harus
mengingatkan dan memberikan penjelasan pada anak berkaitan dengan perilaku mana
yang sesuai dan tidak sesuai dengan jenis kelamin anak.
Demikian pula dengan perlakuan orang tua pada anak. Hendaknya orang tua
memperlakukan anak sesuai dengan identitas dan peran jenis kelaminnya. Perlakukan
anak laki laki sebagai laki laki, dan anak perempuan sebagai anak perempuan.
Bukan sebaliknya.
Secara khusus bagi ayah, mengingat pentingnya peran ayah dalam proses
pembentukkan identitas jenis kelamin anak laki laki maka diharapkan ayah juga
lebih terlibat secara active dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak, terutama
pendidikan yang berkaitan dengan pembentukkan identitas jenis kelamin anak.
Dan hal yang harus diingat adalah perkembangan identitas dan peran jenis kelamin
anak dimulai sejak usia dini dan didapat melalui proses belajar. Tugas orang tua sekali
lagi adalah membantu terjadinya proses pembelajaran tersebut.






17
DAFTAR PUSTAKA

Davidson, G.C., Neale, J .M., & Kring, A.M. (2006). Abnormal Psychology. New
York: J ohn Willey and Sons, inc.

Feldman, R.S. (1996). Understanding Psychology. 4
th
Edition. New York: McGraw
Hill, inc

Kurniawati, M. (2003). Latar Belakang Kehidupan Laki laki yang Menjadi Waria.
Skripsi Sarjana Strata 1 (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi
Universitas Surabaya.

Kurniawati, M. (2003). Latar Belakang Kehidupan Laki-Laki Yang Menjadi Waria.
Skripsi Sarjana Strata 1 (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi
Universitas Surabaya

Kusumayanti, W. (2000). Ibu dan Penerimaan Diri Waria. Skripsi Sarjana Strata 1
(tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Surabaya.

Monks, F.J ., Knoers, A.M., & Haditono, S.R. (2001). Psikologi Perkembangan.
Cetakan ke 13. Yogyakarta: Open University Press.

Nevid, J .S., Rathus, S.A., Greene, B. (1994). Abnormal Psychology in A Changing
World. 2th Edition. New J ersey: Prentice Hall, inc.

Perroto, R.S., & Culkin, J . (1993). Exploring Abnormal Psychology. New York:
Harpercollins College Publisher.

Santrock, J .W. (2002). Life Span Development. J ilid 1 (terjemahan Achmad Chusairi
& J uda Damanik). J akarta: Erlangga.









18

You might also like