LATAR BELAKANG KEHIDUPAN LAKI LAKI YANG MENJADI WARIA:
SEBUAH KEGAGALAN DALAM PROSES PENDIDIKAN PEMBENTUKKAN IDENTITAS GENDER
Meike Kurniawati S.Psi., MM Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara J akarta kurniawati2006@yahoo.co.id
Abstract
Transsexual is one who experiences discomfort between his sex and his gender identity (Perroto & Culkin, 1993). The experience makes transsexual unhappy with his sex and want to change it. The explanation for transsexual are provided by: biological, behavioral, and socio cultural perspective. The previous research by Kurniawati (2003), found that the main causes exchange behavior male to transsexual are: a mistake in developed gender identity education and a mistake in imitation process supported with reinforcement, also physical factor supported with reinforcement. Reinforcement begins from childhood and continued until Subject realize that he is transsexual. Reinforcement especially derived from family members, such as praise when Subject dresses or behave like a woman. When Subject growing teenager, reinforcement not only derived from family members but also come from environment. See how deep the role of reinforcement especially from family members in exchange behavior male to transsexual process, its important for parents to educate and reinforce their children appropriate with his / her gender identity.
2 Latar Belakang Setiap manusia dalam hidupnya akan selalu berkembang dan harus melalui tahap tahap perkembangannya. Akibat dari perkembangan tersebut, manusia akan mengalami perubahan perubahan, baik fisik maupun psikologisnya. Bila ditinjau dari manusia sebagai makhluk holistic, maka perkembangan manusia tidak akan dapat dilepaskan dari interaksi antara unsur biologis, psikologis, dan social. Ketiga unsur ini saling mempengaruhi sebagai satu kesatuan (Maramis, dalam Kurniawati (2003)). Dalam kurun waktu perkembangan tersebut, tidak setiap individu akan berkembang sesuai dengan perkembangan fisiknya. Sebagai contoh, tidak semua anak laki laki akan berkembang menjadi laki laki sesungguhnya, dan tidak semua anak perempuan akan berkembang menjadi wanita sesungguhnya. Bisa saja terjadi, anak laki laki akan berkembang menjadi waria dan anak perempuan berkembangan menjadi tomboy. Waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik dengan identitas gendernya. Mereka merasa bahwa jauh dalam dirinya, biasanya sejak masa kanak kanak, mereka adalah orang yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya saat ini ((Perroto & Culkin, 1993).). Adanya ketidaksesuaian itu mengakibatkan waria tidak senang dengan alat kelaminnya dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubaha tersebut maka waria akan bertingkah laku seperti perempuan dan mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan dengan cara berdandan seperti perempuan (Lidiawati, dalam Kurniawati (2003)). Ketika gangguan tersebut mulai terjadi pada masa kanak - kanak, hal tersebut akan dihubungkan dengan banyaknya perilaku lintas gender, seperti berpakaian seperti perempuan, lebih suka bermain dengan teman teman perempuan, dan melakukan permainan yang secara umum dianggap sebagai permainan perempuan (Davidson, Neale, and Kring, 2006). 3 Factor penyebab munculnya perubahan perilaku dari laki laki menjadi waria dapat ditinjau dari beberapa perspektif, yaitu: biologis, behavioristik, dan sosiokultural (Nevi, Ratus, dan Greene, 1994). Perspektif biologis berkaitan dengan masalah hormonal, behavioristik berkaitan dengan penguatan yang diberikan oleh keluarga atau orang lain ketika anak laki laki berperilaku / berpenampilan seperti perempuan, sedangkan perspektif sociocultural berkaitan dengan factor budaya yang diduga mempengaruhi perubahan perilaku dari laki laki menjadi waria. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kurniawati (2003), menyatakan bahwa factor utama penyebab laki laki menjadi waria adalah kesalahan dalam proses pendidikan pembentukkan identitas jenis kelamin dan kesalahan imitasi yang ditunjang dengan penguatan, serta factor bawaan yang ditunjang dengan penguatan. Penguatan mulai didapat dari masa kanak kanak dan terus berlanjut sampai Subyek menyadari bahwa dirinya adalah waria. Penguatan terutama didapat dari keluarga, berupa pujian pada saat Subyek berpakaian atau berperilaku perempuan. Saat Subyek mulai remaja, penguatan tidak hanya didapat dari keluarga melainkan juga dari lingkungan sekitar. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, maka dapat dilihat bahwa penguatan terutama dari keluarga sangat berperan penting dalam proses perubahan perilaku dari laki laki menjadi waria, disamping factor factor lain seperti factor biologis, dan sociocultural. Namun tidak semua orang tua menyadari peran mereka dalam proses pendidikan pembentukkan identitas jenis kelamin anak. Tujuan makalah ini dibuat adalah untuk memberikan sedikit gambaran tentang pentingnya pendidikan dan penguatan bagi anak anak dalam proses pembentukkan identitas jenis kelamin.
4 Landasan Teori Waria Oetomo (dalam Kurniawati, 2003) menyatakan bahwa dalam perkembangannya waria merupakan proyek feminimitas yang artinya suatu proses keadaan maskulin ke feminim. Waria yang mempunyai tubuh atau fisik laki laki, mempertontonkan perilaku serta atribut yang halus dari perempuan meskipun pada saat saat tertentu mereka masih menunjukkan keagresifannya, menunjukkan aksi maskulin dan menganggap penetrator sebagai peran seksualnya. Waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik dengan identitas jenis kelaminnya (Perroto & Culkin, 1993). Kusumayanti (2000) menyatakan waria atau banci adalah jenis kelamin ketiga, yang memiliki sifat antara pria dan wanita tetapi bukan penggabungan diantara keduanya. Hal tersebut merupakan sebutan awal yang menggambarkan perempuan yang terjebak dalam tubuh laki laki. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik, psikis, dan seks. Dalam arti secara fisik dia adalah laki laki tetapi secara psikologis perempuan. Ketidaksesuaian yang terjadi membuat waria tidak senang terhadap alat kelaminnya dan ingin mengubahnya. Untuk mendukung perubahan tersebut, maka waria bertingkah laku dan mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan.
Jenis jenis Waria Kaum waria terdiri dari kelompok manusia yang tidak homogen. Mereka terdiri dari berbagai komponen yang secara ilmiah psikologik psikiatri dapat dibedakan karena mempunyain ciri ciri khusus. Atmojo (dalam Kurniawati, 2003) menyatakan bahwa waria terbagi dalam kelompok kecil: (a). Kaum transeksual, (b).Kaum transvestisme, 5 (c). Kaum homoseksual yang menderita transvestisme, (d). Kaum opportunities.
Kaum transeksual Mereka yang termasuk dalam kelompok ini mengalami ketidakserasian pada jenis biologis dan jenis kelamin mereka. Ada keinginan dari mereka untuk menghilangkan dan menggantikan alat kelaminnya dan hidup sebagai lawan jenisnya. Untuk langkah awal mereka biasanya menghilangkan ciri fisik laki lakinya, misal: mengoperasi sebagian dari tubuhnya seperti payudara, dagu, kelopak mata, minimal mereka merasa perlu merias diri dan berpakaian seperti wanita. Kelompok ini memenuhi criteria penderita transeksual.
Kaum transvestite Kelompok ini adalah penderita transvestism dan mereka hanya mendapat kepuasan dengan berpakaian seperti lawan jenisnya. Dalam pola hubungan seks, mereka adalah heteroseksual dan biasanya mereka terikat dalam suatu perkawinan atau dalam mencari pasangan selalu perempuan. Penderita kelompok ini adalah laki laki. J umlah mereka sedikit dan biasanya berpakaian lawan jenis pada saat tertentu saja, yaitu pada saat akan melakukan hubungan seksual. J adi tampak bahwa pemakaian pakaian perempuan disini untuk mendapatkan gairah seksual, berbeda dengan para transeksual yang berpakaian perempuan karena merasa ada ketidaksesuaian antara fisik dengan jiwanya, mereka merasa dan ingin menjadi perempuan. Secara fisik para transvestis tetap suka dengan ciri ciri kelaki lakian mereka, meskipun mereka memakai pakaian perempuan kadang mereka tetap memasang kumis dan tetap senang berhubungan seksual dengan perempuan.
6 Kaum homoseksual penderita transvestismen Selain mereka yang bersifat maskulin, feminism, atau yang kewanita wanitaan, atau mereka yang tergolong closed type, terdapat pula homoseksual yang juga menderita transvestisme. Yaitu, mereka yang mendapat kepuasan seksual dari hubungan homosekual dan berpakaian lawan jenis. Di negara Barat dijumpai kehidupan kaum homoseksual yang bebas dan mempunyai kedudukan setaraf dengan kehidupan kaum heteroseksual. Disana mereka mudah menemukan pasangan dan kontak homoseksual sehingga mereka tidak perlu berdandan sebagai perempuan untuk mencari pasangan. Hal ini berbeda dengan di Indonesia. Untuk homoseksual yang closed type, yang tidak ada atau sedikit memiliki teman homoseksual, mereka akan mengalami kesulitan dalam mencari pasangan, sehingga timbul gagasan bahwa dengan berdandan sebagai perempuan akan lebih mudah bagi mereka untuk mencari kontak homoseksual.
Kaum opportunities Kelompok ini terdiri dari mereka yang memanfatkan kesempatan. Dimana mereka menjadi waria untuk mencari penghasilan atau nafkah. J adi tidak terdapat kelainan seperti 3 kelompok sebelumnya.
PENYEBAB PERUBAHAN PERILAKU DARI LAKI LAKI MENJADI WARIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF BEHAVIORISTIK OPERANT CONDITIONING Tokoh aliran behaviorisme adalah B.F. Skinner dengan teori operant conditioning. Pandangan Skinner tentang manusia adalah bahwa manusia dibentuk oleh lingkungan. 7 Manusia lahir dengan potensi yang bisa dikembangkan kearah mana saja. Melalui proses pembentukkan manusia bisa menjadi sosok tertentu dengan kepribadian tertentu (Costin & Draguns, dalam Kurniawati (2003)). Skinner (Davidson, Neale, dan Kring, 2006) memperkenalkan konsep stimulus discriminative, untuk merujuk pada berbagai kejadian di luar diri yang memberi pesan pada organisme bahwa jika ia melakukan suatu perilaku, maka akan diikuti suatu konsekuensi tertentu. Pada prinsipnya, manusia bukanlah organisme yang pasif, tetapi aktif mencari akibat akibat atau konsekuensi yang menyenangkan. Manusia membentuk lingkungan dan dunianya sendiri. Lingkungan mempunyai posisi kuat dikarenakan lingkungan menyediakan penguatan (reinforcement).
Jenis jenis penguatan Skinner (Davidson, Neale, dan Kring, 2006), menyatakan bahwa penguatan dipandang sangat penting dalam proses pembentukkan perilaku. Ada dua jenis penguatan, yaitu: (a). Reinforcement positif, (b). Reinforcement negative.
Reinforcement positif Merujuk pada penguatan suatu kecenderungan untuk merespon karena terjadi peristiwa yang menyenangkan.
Reinforcement negative Reinforcement negative juga memperkuat respon, namun dilakukan melalui penghapusan peristiwa / stimulus - stimulus yang tidak menyenangkan (Davidson, Neale, dan Kring, 2006). Stimulus stimulus yang tidak menyenangkan disebut juga 8 aversive stimulus. Dalam reinforcement negative ini, stimulus yang tidak menyenangkan atau stimulus aversif akan dihilangkan, sehingga orang melakukan perilaku yang diinginkan. Contoh: seorang anak yang memakai pakaian sesuai jenis kelaminnya diabaikan saja. Pengabaian adalah stimulus yang tidak menyenangkan. Ketika anak memakai pakaian lawan jenis, maka reinforcement negative dihilangkan, misal: orang tua kemudian memuji, memperhatikan anak tersebut.
Pembentukan Perilaku dan Perilaku Berantai Dalam melatih suatu perilaku, Skinner mengemukakan istilah shaping, yaitu upaya secara bertahap untuk membentuk perilaku, mulai dari bentuk yang paling sederhana (elementer) sampai bentuk yang paling kompleks. Terdapat dua unsur dalam pengertian shaping, yaitu: 1. Adanya penguatan secara berbeda beda (differential environment), yaitu ada respons yang diberi penguatan dan ada respons yang tidak diberi penguatan. Contoh kasus: orang tua yang sangat menginginkan anak perempuan, tetapi ternyata mendapat anak laki laki seringkali tetap memperlakukan anak laki lakinya seperti anak perempuan. Maka ketika si anak berperilaku perempuan atau berdandan seperti perempuan, anak akan diberi penguatan. Tetapi apabila anak berperilaku atau berdandan seperti laki laki, dia tidak akan diberi penguat. benar benar bangun tepat waktu dia akan diberi penguat. 2. Succesive approximation (upaya mendekat terus menerus), mengacu pada pengertian bahwa hanya respons yang sesuai dengan harapan yang akan diberi penguat.
9 Dengan shaping diatas, perilaku manusia sedikit demi sedikit dibentuk untuk akhirnya dapat melakukan perilaku yang kompeks. Secara sederhana, cara conditioning Skinner dapat mengikuti skema sebagai berikut:
_________________________ Asosiasi yang diperhatikan
Keterangan: Stimulus discriminative adalah berbagai kejadian di luar diri yang memberi pesan pada organisme bahwa jika ia melakukan suatu perilaku, maka akan diikuti suatu konsekuensi tertentu (Davidson, Neale, dan Kring, 2006). Respons operant adalah respon yang secara active dipilih oleh individu karena dari pengalaman yang sudah didapat individu akan memperoleh penguat apabila melakukan respon tertentu. Stimulus penguat adalah penguat yang diberikan kalau individu dapat memberikan respon yang benar. Menurut teori operant conditioning penyebab laki laki menjadi waria adalah penguatan yang didapat individu ketika individu tersebut menunjukkan perilaku lawan jenisnya. Penguatan ini terus diulang sampai akhirnya terbentuk perilaku lawan jenis (laki laki berperilaku perempuan).
10 SOCIAL LEARNING THEORY Social learning theory adalah pandangan yang menekankan perilaku, lingkungan, dan kognisi sebagai factor kunci dalam perkembangan (Santrock, 2002). Bandura (dalam Feldman, 1996) menyatakan bahwa bagian utama dari proses belajar manusia terdiri dari belajar observasi (observational learning). Observational learning adalah belajar dengan cara mengobservasi perilaku orang lain yang disebut model dan melihat akibat akibat dari tindakan mereka. Melalui belajar mengamati (modeling dan imitasi) secara kognitif individu tersebut akan menampilkan perilaku orang lain kemudian mengadopsi perilaku itu dalam dirinya (Santrock, 2002). Sebagian besar tingkah laku manusia terjadi karena pengamatan atau belajar model. Model yang ditiru bukan hanya orang orang yang nyata ada, melainkan juga model model simbolik (misal: artis, pahlawan, atau orang orang yang biasa dilihat di buku atau di TV (Monks, Knoers, dan Hadinoto, 2001). Menurut Bandura, ada empat syarat seorang individu dapat menirukan model dengan baik (Monks, Knoers, dan Hadinoto, 2001) yaitu: 1. Perhatian (suatu model tidak dapat ditiru bila tidak diadakan pengamatan) 2. Retensi atau disimpan dalam ingatan (tingkah laku yang diamati harus bisa diingat kembali untuk bisa ditirukan jika model tersebut sudah tidak ada lagi) 3. Reproduksi motoris (untuk dapat menirukan dengan baik, seseorang harus memiliki kemampuan motoris) 4. Reinforcement dan motivasi (orang yang meniru harus melihat tingkah laku itu sebagai tingkah laku yang terpuji dan termotivasi untuk menirukan).
Perilaku menyimpang juga seringkali terbentuk melalui proses belajar dengan observasional (observational learning). Penyebab perubahan perilaku dari laki laki 11 menjadi waria juga dapat disebabkan karena proses observasi individu terhadap waria sebagai model. Individu yang belajar dengan mengamati para waria, secara cognitive akan menampilkan perilaku waria tersebut kemudian mengadopsi perilaku itu dalam dirinya.
PROSES PERUBAHAN LAKI LAKI MENJADI WARIA MENURUT PERSPEKTIVE BEHAVIORISTIK Perspektif behavioristik tentang waria lebih berfokus pada perilaku mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan jenis kelamin, dimana ketidaksesuaian tersebut diperkuat oleh perlakuan dari lingkungan terutama keluarga. Penyebab seorang laki laki menjadi waria adalah adanya penguatan dari keluarga berupa perhatian dan dorongan pada masa kanak kanak ketika individu tersebut beraktivitas atau memakai pakaian lawan jenis. Sebagai contoh, orang tua yang sangat ingin anak perempuan seringkali memperlakukan anak laki lakinya seperti anak perempuan (Perroto dan Culkin, 1993). Pakaian merupakan sarana bagi anak anak untuk menunjukkan gangguan identitas jenis kelamin, sedangkan penguatan diperoleh dari perlakuan para orang tua. Interview yang dilakukan oleh Green (dalam Neale, Davidson, dan Haaga, 1995) dengan orang tua dari anak anak yang mengalami masalah perkembangan identitas jenis kelamin menunjukkan bahwa orang tua tidak menghalang halangi dan dalam banyak hal justru mendukung perilaku anak yang memakai pakaian lawan jenis. Banyak orang tua terutama Ibu dan nenek yang menganggap lucu ketika anak laki lakinya menggunakan pakaian atau sepatu ibunya, memotret anak dengan pakaian dan topi lawan jenis, dan seringkali orang tua mengajarkan pada anak anak itu bagaimana berdandan. Reaksi penguat dari keluarga yang terus menerus dalam jangka waktu lama pada akhirnya akan menyebabkan timbulnya konflik antara 12 anatomi seks dengan identitas jenis kelamin anak (Neale, Davidson, dan Haaga, 1995). Rekers & Lovas (dalam Kurniawati, 2003) menyatakan bahwa orang tua seringkali memberikan reinforcement berupa perhatian dan pujian betapa cantiknya anak laki laki mereka ketika anak tersebut memakai pakaian ibu atau saudara perempuannya. Secara sederhana proses terbentuknya perubahan perilaku dari laki laki menjadi waria adalah:
Masa kanak kanak anak laki laki berpakaian perempuan mendapatkan pujian dan perhatian dari orang tua.
Keterangan: Stimulus diskriminatif : masa kanak kanak Respont operant : anak laki laki berpakaian perempuan Stimulus penguat : pujian dan perhatian dari orang tua Kurniawati (2003), menyatakan bahwa saat individu mulai menginjak masa remaja, peranan keluarga semakin berkurang. Individu sudah mulai lebih banyak berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga. Penguatan penguatan tidak lagi didapat dari keluarga tetapi dari lingkungan di luar keluarga, seperti teman sebaya, kelompok kelompok social tertentu, dll. Saat mulai menginjak masa remaja, individu laki laki yang berubah menjadi waria mulai mencari identitas diri dan mulai berteman dengan 13 sesama waria. Dengan berteman dan berkumpul bersama komunitas waria yang lain membuat individu tersebut merasa mendapat pengakuan yang pada akhirnya semakin memantapkan pilihan dirinya untuk menjadi waria. Perubahan perilaku dari laki laki menjadi waria tidak hanya disebabkan karena adanya penguatan dari keluarga berkaitan dengan perilaku mana yang sesuai atau tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, tetapi juga disebabkan karena pengaruh permodelan. Individu laki laki yang pada masa kecilnya menggunakan waria sebagai model untuk diamati dan ditiru serta melihat adanya akibat akibat yang menyenangkan ketika individu tersebut bertindak sesuai dengan model (Kurniawati, 2003).
SEX ROLE Di dalam membahas masalah waria, tentu berkaitan dengan masalah identitas jenis kelamin. Berbicara mengenai identitas jenis kelamin juga akan membicarakan tentang peran yang diharapkan atau dilakukan seseorang yang sesuai dengan jenis kelaminnya atau yang disebut gender role, karena kedua konsep ini tidak dapat dipisahkan. Identitas jenis kelamin ini tergantung pada bagaimana seseorang menggunakan perilaku dan peran yang telah ditetapkan (Liebert dan Nelson, dalam Kurniawati, 2003)). Selanjutnya proses untuk memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya disebut sex role typing. J adi tampak bahwa berhasil atau tidaknya seseorang menerima dan memahami perilaku sesuai dengan peran jenis kelaminnya akan menentukan berhasil atau tidaknya seseorang dalam pembentukkan identitas jenis kelamin. Dalam perkembangan seseorang banyak factor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam pembentukkan peran jenis kelaminnya. Ada tiga factor yang 14 berhubungan dengan perkembangan peran jenis kelamin seseorang (Hetheringhton & Parke (dalam Kurniawati, 2003): (1). Faktor biologis, hormon dalam hal ini memegang peranan penting dalam pembentukkan identitas jenis kelamin. Pada dasarnya hormon laki laki dan perempuan dewasa kedua duanya ada dalam tiap diri manusia tetapi berbeda kuantitasnya (kadarnya). Pada laki laki hormon androgen lebih banyak jumlahnya, sedangkan pada perempuan hormon ekstrogen lebih banyak. (2). Faktor cognitive, Menurut Kohlberg factor cognitive juga berperan dalam perkembangan sex role typing. Ketika anak diperlakukan berbeda sehingga seorang anak termasuk dalam kelompok laki laki atau perempuan, hal tersebut akan menyebabkan anak tersebut kemudian berperilaku sesuai dengan jenis kelaminnya dan akan meniru model yang sama dengan dengan jenis kelaminnya. (3). Faktor social, Standart sex role dan pemaksaan untuk menggunakan pola perilaku yang sesuai berasal dari berbagai sumber yaitu: keluarga, guru,teman, media massa. Semua ini akan mempengaruhi perkembangan anak. Sejak kecil orang tua akan memperlakukan anak berbeda beda. Di sekolah guru akan mengkritik bila anak berperilaku tidak umum. Diantara teman teman pun, bila anak berperilaku tidak umum akan mendapat kritikan dan kurang diterima teman sebayanya, misalnya: laki laki yang berpenampilan seperti perempuan. Salah satu kemampuan yang penting dalam kehidupan manusia adalah kemampuan untuk memahami identitas dan peran jenis sesuai dengan jenis kelaminnya. Proses untuk memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya (sex role typing) dipengaruhi oleh factor biologis, kognitif, dan social. Kegagalan dalam memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya akan membuat individu mengalami gangguan identitas gender yang disebut transeksual atau waria.
15 KESIMPULAN Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan Kurniawati (2003) dapat disimpulkan beberapa temuan pokok antara lain: 1. Penguatan dari keluarga dan lingkungan sekitar (sekolah, masyarakat) pada saat Subyek berperilaku atau berpakaian perempuan merupakan factor utama penyebab perubahan individu laki laki menjadi waria. 2. Ayah sangat berperan dalam perkembangan identitas jenis kelamin anak terutama pada anak laki laki. Pada kasus perubahan dari laki laki menjadi waria tampak bahwa peranan ayah dalam proses pembentukkan identitas jenis kelamin anak laki laki sangat lemah 3. Kurangnya pengetahuan orang tua tentang perkembangan identitas jenis kelamin pada anak anak menyebabkan banyak orang tua yang salah dalam mendidik anak sesuai dengan identitas jenis kelaminnya. Para orang tua berpendapat bahwa perkembangan identitas jenis kelamin pada anak anak akan terjadi secara alamiah (tidak melalui proses belajar) dan akan dimulai pada saat anak dewasa 4. Kurangnya pengetahuan orang tua tentang perkembangan identitas jenis kelamin anak juga dipengaruhi oleh status social ekonomi dan tingkat pendidikan orang tua yang rendah. 5. Penyebab laki laki menjadi waria juga dapat disebabkan karena factor biologis, tetapi factor biologis tidak dibahas dalam penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2003) karena berkaitan dengan ketidaknormalan hormon, yang tentunya harus diukur atau dipelajari dari sisi medis.
16 SARAN BAGI ORANG TUA Dari berbagai pembahasan dan kesimpulan yang telah dibahas sebelumnya, dapat kita ketahui bahwa orang tua berperan besar dalam proses pembelajaran pembentukkan identitas jenis kelamin pada anak. Oleh sebab itu diharapkan sejak kecil anak sudah diarahkan untuk berkembang sesuai dengan identitas dan peran jenis kelaminnya. Pada saat anak mulai menunjukkan perilaku lawan jenis, orang tua harus mengingatkan dan memberikan penjelasan pada anak berkaitan dengan perilaku mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan jenis kelamin anak. Demikian pula dengan perlakuan orang tua pada anak. Hendaknya orang tua memperlakukan anak sesuai dengan identitas dan peran jenis kelaminnya. Perlakukan anak laki laki sebagai laki laki, dan anak perempuan sebagai anak perempuan. Bukan sebaliknya. Secara khusus bagi ayah, mengingat pentingnya peran ayah dalam proses pembentukkan identitas jenis kelamin anak laki laki maka diharapkan ayah juga lebih terlibat secara active dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak, terutama pendidikan yang berkaitan dengan pembentukkan identitas jenis kelamin anak. Dan hal yang harus diingat adalah perkembangan identitas dan peran jenis kelamin anak dimulai sejak usia dini dan didapat melalui proses belajar. Tugas orang tua sekali lagi adalah membantu terjadinya proses pembelajaran tersebut.
17 DAFTAR PUSTAKA
Davidson, G.C., Neale, J .M., & Kring, A.M. (2006). Abnormal Psychology. New York: J ohn Willey and Sons, inc.
Feldman, R.S. (1996). Understanding Psychology. 4 th Edition. New York: McGraw Hill, inc
Kurniawati, M. (2003). Latar Belakang Kehidupan Laki laki yang Menjadi Waria. Skripsi Sarjana Strata 1 (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Surabaya.
Kurniawati, M. (2003). Latar Belakang Kehidupan Laki-Laki Yang Menjadi Waria. Skripsi Sarjana Strata 1 (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Surabaya
Kusumayanti, W. (2000). Ibu dan Penerimaan Diri Waria. Skripsi Sarjana Strata 1 (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Surabaya.
Monks, F.J ., Knoers, A.M., & Haditono, S.R. (2001). Psikologi Perkembangan. Cetakan ke 13. Yogyakarta: Open University Press.
Nevid, J .S., Rathus, S.A., Greene, B. (1994). Abnormal Psychology in A Changing World. 2th Edition. New J ersey: Prentice Hall, inc.
Perroto, R.S., & Culkin, J . (1993). Exploring Abnormal Psychology. New York: Harpercollins College Publisher.