You are on page 1of 26

BAB I LATAR BELAKANG

A. Kondisi Ekonomi Indonesia di Tahun 2013 Keadaan ekonomi Indonesia ditahun 2013 kondisinya terpuruk bahkan menjelang akhir tahun semakin krisis, tergambar pada tingkat nilai tukar rupiah yang melemah hingga di level Rp 12.100/ Dollar, beban perekonomian di pengaruhi juga oleh Pemilu tahun 2014, banyak pihak penggerak ekonomi dan pemerintahan negara Indonesia yang tidak fokus dalam menjalankan tugasnya dalam menstabilkan perekonomian Indonesia, dan lebih mengutamakan kepentingan politik untuk meraih jabatan di tahun 2014. Indonesia sudah beberapa kali mengalami guncangan dalam perekonomian nasional, yakni tahun 1998 dan 2008. Guncangan terhadap stabilitas ekonomi dalam negeri saat ini di kawatirkan akan seperti saat guncangan melanda perekonomian Indonesia pada krisis 1998 yang merupakan guncangan ekonomi terparah dalam sejarah perekonomian nasional. Faktor ekonomi global yang dilanda Krisis adalah faktor terbesar yang sedang dihadapi Indonesia meliputi sistem ekonomi dunia merosot drastis. Selain itu faktor ketidak mapanan industri industri dalam negri yang tidak mampu untuk hanya sekedar memenuhi kebutuhan dalam negri, apalagi melakukan eksport. Ditambah birokrasi pemerintahan yang lemah terhadap korupsi sehingga banyak regulasi yang ditetapkan merugikan masa depan banyak orang demi menguntungkan segelintir diri sendiri dan pengusaha importir yang sangat egois mengisi kekayaan diri sendiri tanpa memikirkan efek masa depan yang buruk, akhibat terlalu banyak mengandalkan barang import dan melemahkan industri lokal. Efek merosotnya perekonomian adalah meledaknya harga kebutuhan pokok di Indonesia dan semakin menekan sektor-sektor usaha yang menyediakan kebutuhan tersebut. Misalnya, petani yang menyediakan sayur mayur kini kesulitan dalam mencari pupuk yang murah, padi menjadi kurang subur dan pasokan yang terbatas membuat harga beras melonjak. Ini adalah satu dari ribuan keluhan masyarakat dalam merasakan dampak buruk dari krisis global ini.
1

Sejak Juni 2013, nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan terhadap dollar AS. Beberapa faktor dari global dan domestik turut memberikan kontribusi penurunan mata uang Indonesia tersebut. Pelemahan rupiah yang tak kunjung teratasi dinilai merupakan dampak dari lemahnya fundamental ekonomi Indonesia. Periode pelemahan rupiah ini pun dinilai sebagai ujian bagi fundamental ekonomi. Pelemahan rupiah ini semula diduga karena dampak perekonomian global dan tak terlepas dari kemungkinan dihentikannya stimulus Bank Sentral Amerika (The Fed). Namun, ketika Gubernur The Fed menyatakan bahwa stimulus masih diperlukan untuk ekonomi Amerika dan mata uang utama dan Asia cenderung menguat terhadap dollar AS, rupiah justru masih terus terpuruk. Tak peduli intervensi Bank Indonesia sudah menggerus cadangan devisa lebih dari 7 miliar dollar AS sepanjang 2013. Tak hanya di Indonesia, begitu pula nasib mata uang di beberapa negaranegara berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi lainnya. Selama Juni-Agustus 2013, nilai tukar Lira Turki jatuh sebesar 10 persen; nilai tukar Rupee India jatuh sebesar 20 persen; dan nilai tukar Rupiah serta Real Brazil jatuh sekitar 15 persen. Seperti yang terlihat pada grafik di bawah ini : Nilai Tukar Mata Uang Emerging Markets vs. Dollar AS Periode Januari-Agustus 2013

Sumber: Wells Fargo Securities Economics Group, LLC, Weekly Economic & Financial Commentary, 30 Agustus 2013, hlm.4
2

B. Perkembangan Ekonomi Global, Khususnya Asia Memasukin millenium terdapat fenomena global penting yaitu kebangkitan Macan Asia, atau China. Sejak awal tahun 2000-an, China mencatat pertumbuhan ekonomi yang luar biasa tinggi, yang terutama didorong oleh kemajuan berbagai macam industri manufakturnya. Negara ini mampu membuat apa saja, semuanya, mulai dari jepitan rambut, baut sepeda motor, hingga smartphone yang tidak kalah canggihnya dengan iPhone maupun Android. Produk-produk buatan RRC ini kemudian dijual tersebar ke seluruh dunia, dan bisa dengan mudah ditemukan di negara manapun. Pertumbuhan industri di RRC hanya bisa ditopang oleh dua hal: pasokan besi dan baja, dan pasokan bahan bakar, dalam hal ini batubara. Besi dan baja dan produk turunannya diperlukan untuk membuat mesin-mesin industri, konstruksi bangunan, hingga untuk bahan baku pembuatan barang-barang elektronik dan otomotif. Sementara batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik, di mana listrik itu sendiri tentunya sangat dibutuhkan bagi segala jenis industri. RRC sebenarnya memiliki batubaranya sendiri, namun karena berbagai macam industrinya berkembang lebih cepat dari kemampuan perusahaan-perusahaan tambang setempat dalam menggali batubara, maka jadilah RRC perlu juga mengimpor batubara dari luar, salah satunya tentu saja dari Indonesia. Indonesia dan India juga sama-sama mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada dekade terakhir ini, tetapi kalah dengan RRC, dan tidak pernah sampai menyentuh rekor 13% per tahun seperti yang pernah dicapai RRC. Wajar, karena sesungguhnya industri di dua negara ini belum benar-benar berkembang. Di Indonesia yang para pelaku ekonominya justru terlena dengan mudahnya mengambil keuntungan dari mengeruk batubara, sehingga lupa untuk mengembangkan industri.

C. Persiapan Indonesia yang Kurang dalam Fundamental Ekonomi Sesungguhnya ketika Indonesia sempat dihantam efek krisis global pada tahun 2008, mulai timbul kesadaran bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada ekspor sumber daya alam, dalam hal ini batubara, melainkan para pelaku ekonominya harus pula mendorong pengembangan industri

untuk menciptakan hilirisasi, untuk menciptakan produk yang memiliki nilai tambah. Kesadaran ini pula yang kemudian melahirkan Masterplan Percepatan & Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dengan tujuan utamanya yaitu untuk mengembangkan infrastruktur, dimana infrastruktur tersebut, baik dalam bentuk fisik maupun kebijakan pemerintah, memang sangat diperlukan untuk mengembangkan industri dan pada akhirnya menumbuhkan ekonomi. Ide mengenai MP3EI ini pertama kali dicetuskan oleh Presiden SBY pada tahun 2008, ketika krisis global mencapai puncaknya. Sayangnya, sebelum MP3EI tersebut benar-benar diselesaikan perencanaanya, pada awal tahun 2010, harga crude palm oil (CPO) alias minyak sawit mentah mulai melejit, dan hal ini segera memberikan peningkatan keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit. Karena bisnis batubara sendiri pada saat itu juga belum meredup, maka jadilah pertumbuhan ekonomi Indonesia melaju kencang lagi, menyebabkan Pemerintah maupun para pelaku ekonomi kembali terlena, dan tidak mengimplementasi kebijakan tersebut. Namun pasca tahun 2011, keadaan seketika berbalik arah ketika harga-harga komoditas dunia, termasuk CPO dan batubara sebagai andalan utama ekspor Indonesia, menurun. Nilai ekspor Indonesia kemudian tertekan, dan karena ditambah oleh meningkatnya arus impor, neraca pedagangan nasional akhirnya menjadi defisit, dan hal ini perlahan tapi pasti menggerus pertumbuhan ekonomi hingga terakhir menjadi hanya 5.8% pada Kuartal I 2013. Sebenarnya sejak tahun 2011, draft MP3EI resmi disahkan sekaligus menjadi penanda bahwa Pemerintah bersama-sama BUMN dan pihak swasta mulai membangun infrastruktur dan lain-lain. Namun sebelum beberapa infrastruktur tersebut selesai dibangun dan mulai memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan industri dan perekonomian itu sendiri, ekonomi Indonesia telanjur tertekan.

D. Perbandingan antara Krisis Ekonomi Tahun 1998 & 2008 dengan Tahun ini Sebelum masa krisis moneter 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat pesat, kurs rupiah cenderung relatif stabil. Demikian pula iklim investasi baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun penanaman Modal asing (PMA)
4

meningkat terus menerus. Stabilnya nilai rupiah ini membuat para investor dan pemerintah selaku pihak yang berperan besar dalam pembangunan ekonomi cenderung mengabaikan pinjaman terhadap mata uang asing, khususnya Dollar Amerika Serikat. Dengan tidak adanya perlindungan terhadap rupiah itu, belakangan membawa dampak yang kurang baik pada saat terjadinya resesi ekonomi secara global pada tahun 1998. Krisis ekonomi global adalah peristiwa di mana seluruh sektor ekonomi pasar dunia mengalami keruntuhan atau degresi dan mempengaruhi sektor lainnya di seluruh dunia. Sebagai contoh bahwa negara adidaya yang memegang kendali ekonomi pasar dunia yang mengalami keruntuhan besar dari sektor ekonominya. Peristiwa ini mengakibatkan rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu. Bangkrutnya Lehman Brothers langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia seperti di Jepang, Hongkong, China, Australia, Singapura, India, Taiwan dan Korea Selatan, mengalami penurunan drastis 7-10%. Termasuk bursa saham di kawasan Timur Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak terkecuali di AS sendiri, para investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian besar. Permasalahan krisis moneter ini bermula dari gonjang-ganjing krisis di sejumlah negara-negara Asia, seperti Jepang, Thailand, Malaysia dan sebagainya, termasuk Indonesia.Krisis di negara-negara maju dan berkembang pada masa itu diawali merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat. Gejolak ini membuat banyak bank-bank di Indonesia mengalami kerugian, terutama yang mempunyai pinjaman uang dalam bentuk mata uang asing. Kerugian ini di dukung pula oleh kurang tanggapnya pemerintah dalam mengantisipasi resesi ekonomi yang ditambah dengan memburuknya arus kas (cash flow) bank-bank selaku penyimpan dana masyarakat. Kenyataan ini berakibat pada sulitnya bank-bank untuk melakukan likuidasi, sehingga mendorong sejumlah nasabah menarik dananya dari bank secara bersama-sama. Kepercayaan masyarakat terhadap bank pun menjadi suatu pertanyaan besar, khususnya Bank Indonesia selaku Bank Sentral yang bertugas melakukan pengawasan terhadap bank-bank konvensional maupun bank perkreditan, sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 Jo. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan . Ada perbedaan gejolak ekonomi di tahun 1998, 2008 dan saat ini menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Difi Ahmad Johansyah.
5

Menurutnya, pada waktu pengembalian dana investasi asing di tahun 1998, baik BI dan pemerintah tidak punya statistik yang lengkap atas utang luar negeri, dan ternyata jumlah utang luar negeri sangat besar sehingga saat itu Bank Indonesia harus melakukan intervensi besar-besaran, sebab nilai tukar Rupiah anjlok dari yang dipatok pemerintah di angka tertentu. Permasalahan krisis moneter pada tahun 1998 itu memang tidak mudah untuk diatasi oleh pemerintah, mengingat bahwa pemerintah pada saat yang bersamaan harus pula memikirkan permasalahan lain yang menjadi tuntutan perubahan masyarakat, seperti : reformasi hukum, sosial, kesejahteraan, dan sebagainya. Sedangkan saat krisis ekonomi kembali menghantam di 2008, ini dikenal sebagai krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Di mana kredit perumahan di AS diberikan kepada debitur-debitur yang memiliki portofolio kredit yang buruk. Menurut Difi Ahmad, sumber masalahnya ada di negara lain tapi Indonesia terkena imbasnya, jadi disebut sebagai krisis sektor keuangan. Akan tetapi, kondisi perbankan Indonesia sudah kuat pada saat itu, sehingga secara umum di tahun 2008 perekonomian Indonesia selamat. Sedangkan saat ini, yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang sangat cepat, namun di saat yang sama impor meningkat. Akibatnya, defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan makin lebar dan tak terkendali.

BAB II ISI

A. Pengertian Nilai Tukar Mata Uang, Pelaku, dan Pengelolaan Risikonya Menurut Fabozzi dan Franco (1996:724) an exchange rate is defined as the amount of one currency that can be exchange per unit of another currency, or the price of one currency in items of another currency. Sedangkan menurut Adiningsih, dkk (1998:155), nilai tukar rupiah adalah harga rupiah terhadap mata uang negara lain. Jadi, nilai tukar rupiah merupakan nilai dari satu mata rupiah yang ditranslasikan ke dalam mata uang negara lain. Misalnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS, nilai tukar rupiah terhadap Yen, dan lain sebagainya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar, yaitu (Madura, 1993): 1. Faktor Fundamental Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-indikator ekonomi seperti inflasi, suku bunga, perbedaan relatif pendapatan antar-negara, ekspektasi pasar dan intervensi Bank Sentral. 2. Faktor Teknis Faktor teknis berkaitan dengan kondisi penawaran dan permintaan devisa pada saat-saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara penawaran tetap, maka harga valas akan naik dan sebaliknya. 3. Sentimen Pasar Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor atau berita-berita politik yang bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga valas naik atau turun secara tajam dalam jangka pendek. Apabila rumor atau beritaberita sudah berlalu, maka nilai tukar akan kembali normal.

Mata uang sebuah negara diperdagangkan atau lebih tepat dipertukarkan pada apa yang umum disebut Pasar Valuta Asing atau Foreign Exchange Market (selanjutnya disebut FX Market). FX Market tidak memiliki lokasi fisik seperti pasar tradisional, tetapi sebuah sistem perdagangan melalui jaringan komputer antarbank dan broker dealer. Selain itu FX Market beroperasi secara bebas hampir 24 jam setiap hari, dan tidak ada satupun otoritas di dunia yang melakukan kontrol dan regulasi. Khusus untuk Rupiah, sejak 1997 otoritas Indonesia melarang Rupiah diperdagangkan secara bebas di luar negeri sehingga FX Market untuk USD-IDR hanya ada antarbank di Indonesia sepanjang siang hari waktu kerja perbankan Indonesia. Nilai mata uang USD menggambarkan keadaan ekonomi negara, pemerintah dan rakyat Amerika Serikat (AS) dan kebijakan moneter Bank Sentral, the Fed. Dengan demikian BI dan pemerintah RI tidak bisa mempengaruhi nilai USD dan sebaliknya pemerintah AS dan the Fed tidak dapat menentukan nilai Rupiah. Nilai tukar Rupiah dikatakan melemah atau USD-IDR naik hanya terjadi bilamana nilai Rupiah tetap dan USD menguat, atau Rupiah melemah dan USD tetap atau Rupiah melemah melebihi USD yang juga melemah atau Rupiah melemah dan USD menguat. Pada umumnya ada empat Pelaku dalam transaksi valas dengan tujuan berbeda, sbb : 1. Kelompok pertama terdiri dari korporasi, perusahan asing dan pemerintah untuk keperluan bisnis ril. Perusahaan eksportir menukar hasil ekspor dalam USD menjadi Rupiah untuk dibelanjakan di dalam negeri sedangkan perusahan importir menukar Rupiah menjadi USD untuk dibelanjakan di luar negeri. Perusahan asing menukar USD menjadi Rupiah untuk melakukan bisnis ril di Indonesia. Pemerintah menukar USD menjadi Rupiah bilamana hasil penjualan Surat Utang dalam USD atau pinjaman luar negeri akan dibelanjakan di dalam negeri. Bilamana utang USD itu jatuh tempo, pada umumnya pemerintah membuat utang baru dalam USD sehingga tidak perlu menukar Rupiah menjadi USD untuk membayar utang dalam bentuk USD yang jatuh tempo itu.

2. Kelompok kedua adalah para investor asing menukar USD menjadi Rupiah untuk membeli instrumen investasi portofolio di Indonesia dalam bentuk saham dan obligasi. Sebaliknya mereka akan menukar kembali Rupiah menjadi USD bilamana mereka menjual kembali saham dan obligasi dan berhenti melakukan investasi portofolio di Indonesia. 3. Kelompok ketiga adalah individu atau korporasi yang memiliki kelebihan dana Rupiah dan menyimpannya dalam bentuk USD atau mata uang asing lainnya dengan tujuan untuk menjaga purchasing power uang mereka. Kegiatan ini umum disebut lindung nilai atau hedging. 4. Kelompok keempat adalah para trader sebut saja para spekulan yang membeli atau menjual USD-IDR dengan tujuan memperoleh keuntungan dari pergerakannya. Bilamana seorang trader berpendapat bahwa USDIDR akan naik, mereka akan membeli dan bilamana sebaliknya mereka akan menjual. Keempat kelompok ini yang berpartisipasi secara teratur di FX Market dan karena memiliki tujuan berbeda maka mereka menciptakan situasi supply dan demand atas USD. Ketika demand USD melampaui supply, maka Rupiah melemah atau nilai USD-IDR akan naik. Pada situasi ini BI ikut melibatkan diri menjadi pelaku pasar dengan menjadi pemasok kekurangan USD ke FX Market melalui kegiatan yang umum disebut intervensi yaitu menjual USD yang diambil dari cadangan devisa. Tetapi karena BI melakukannya terlalu sering, maka BI dapat dikatakan sebagai Kelompok kelima pelaku FX Market di Indonesia. Dengan demikian nilai USD-IDR ditentukan oleh situasi supply dan demand oleh kelima kelompok itu. Demand USD akan meningkat tajam bilamana Kelompok kedua yaitu investor asing melikuidasi portofolio mereka dan menukar Rupiah kembali menjadi USD. Investor asing sangat menyadari bahwa investasi di emerging market seperti Indonesia risikonya sangat tinggi dan mereka menerapkan manajemen risiko yang sangat ketat. Ada tiga pedoman atau kriteria yang umum diterapkan dalam manajemen risiko investor asing: 1. Bilamana terjadi peristiwa-peristiwa global maupun domestik yang memiliki potensi mempengaruhi nilai investasi, INVESTOR GET OUT.
9

2. Bilamana nilai USD-IDR mencapai harga tertentu, INVESTOR GET OUT. 3. Jangan membiarkan profit berubah menjadi loss. Maksudnya bilamana investor pernah mengalami potensi profit dari harga saham dan obligasi, maka mereka harus menjaga agar profit itu tidak hilang bilamana harga saham atau obligasi turun. Umumnya investor asing menetapkan angka antara 30-50% sebagai batas. Maksudnya mereka hanya bisa membiarkan profit turun 30-50% dari potensi profit yang pernah terlihat dan bilamana melampaui batas itu INVESTOR GET OUT. Ketiga kriteria ini dapat memicu sebuah tindakan Investor asing mulai menjual saham dan obligasi kemudian menukar Rupiah menjadi USD dan mereka akan menjual secara total bilamana ketiga-tiganya telah terjadi.

Sehubungan keadaan ekonomi global mengalami guncangan ada beberapa peristiwa yang memiliki potensi mempengaruhi nilai investasi mereka di Indonesia : 1. Ketika ekonomi China mulai melemah di awal 2013, mereka berpikir bahwa akan mempengaruhi ekonomi Asia termasuk Indonesia. 2. Sejak 2012 Indonesia mulai mengalami defisit perdagangan dengan partner luar negeri yaitu impor melampaui ekspor. 3. Meningkatnya harga minyak mentah, maka akan menjadi ancaman bagi ekonomi Indonesia. 4. Perang sipil di Syria yang berkelanjutan bisa menyeret Amerika Serikat dan sekutunya melakukan intervensi militer yang akan mempengaruhi ekonomi Indonesia melalui harga minyak yang tinggi dan sentimen antiAmerika dalam negeri. 5. Mereka sangat khawatir kalau-kalau Bank Sentral Amerika Serikat (the Fed) dalam FOMC meeting yang akan berlangsung pada 18 September 2013 membuat keputusan menghentikan kebijakan stimulus yang sudah berlangsung sejak 2008 yang lalu. Bilamana itu terjadi, suku bunga USD akan naik dan USD akan menguat terhadap semua mata uang dunia
10

termasuk

Rupiah.

Peristiwa-peristiwa

ini

menjadi

pemicu

untuk

mengambil tindakan sesuai dengan manajemen risiko pertama. Mereka memilih mulai melikuidasi portofolio di Indonesia dan menukar Rupiah kembali menjadi USD. Tindakan mereka menimbulkan demand USD meningkat dan BI harus menguras lebih banyak cadangan devisa untuk memasok kekurangan supply USD. Dapat ditaksir investor asing menukar USD pada harga USD-IDR antara 8.700 sampai 9.300 untuk membeli instrumen saham dan obligasi di Indonesia sejak beberapa tahun lalu. Sebab itu kemungkinan besar mereka menetapkan angka 10.000 sampai 10.500 sebagai kriteria kedua. Setelah angka itu terjadi, mereka melikudasi portfolio mereka lebih lanjut dan menimbulkan demand USD lebih meningkat lagi dan BI mulai kewalahan melakukan intervensi. Diperkirakan investor asing telah pernah mencapai potensi profit antara 50-60% karena kenaikan harga saham di pasar saham Jakarta. Mereka akan menjaga agar potensi profit itu tidak berubah menjadi loss. Di lain pihak, dengan melemahnya Rupiah, mereka mengalami kerugian dari sisi nilai tukar USD-IDR. Kemungkinan besar mereka menetapkan angka 11.500 sampai 12.000 sebagai kriteria ketiga, karena kalau Rupiah melemah lebih jauh, mereka akan kehilangan profit yang pernah dilihatnya. Kriteria ketiga akan makin cepat terpicu, bilamana harga saham turun sementara Rupiah terus melemah. Bilamana ini terjadi, maka mereka akan likuidasi secara total portofolio mereka dan menukar Rupiah kembali menjadi USD. Tindakan ini menimbulkan demand USD melonjak tajam dan BI tidak akan sanggup lagi menjadi pemasok dan akibatnya USD-IDR naik tajam.

B. Penyebab Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah di Tahun 2013 Beberapa faktor dari global dan domestik turut memberikan kontribusi penurunan mata uang Indonesia tersebut. Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menyatakan, pelemahan nilai tukar rupiah dipicu oleh pembalikan dana asing (capital reversal). Ekonomi global yang belum pulih membuat investor menukarkan produk investasinya ke jenis investasi dengan risiko paling aman, yaitu dollar AS.

11

Sejak Agustus 2011 sampai awal Juli 2013, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika (selanjutnya disingkat USD-IDR) melemah konsisten tetapi secara perlahan dan teratur dari 8.500 menjadi 10.000 atau 17,6% dalam waktu dua tahun. Sebaliknya pada hari Jumat 30 Agustus 2013 USD-IDR mencapai sekira 11.500, yang berarti terjadi penurunan nilai Rupiah sebesar 15% dalam waktu kurang dari dua bulan. Dapat dikatakan bahwa selama periode Juli sampai Agustus 2013 USD-IDR tidak bergerak secara normal, perlahan dan teratur (moving gradually) tetapi meledak (exploding). Nilai USD-IDR yang meledak dalam waktu relatif singkat itu menunjukkan telah terjadi sejenis pengekangan pergerakan USD-IDR selama periode sebelumnya yang kemudian tidak sanggup lagi dikekang lebih jauh dan akhirnya terlepas dan meledak. Terdapat dua faktor penting yang menyebabkan Nilai Rupiah terus menurun : 1. Faktor Pertama, keluarnya sejumlah besar investasi portofolio asing dari Indonesia. Keluarnya investasi portofolio asing ini menurunkan nilai tukar Rupiah, karena dalam proses ini, investor menukar Rupiah dengan mata uang negara lain untuk diinvestasikan di negara lain. Artinya, terjadi peningkatan penawaran atas Rupiah. Adapun indikasi dari keluarnya investasi portofolio asing ini bisa dilihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung menurun seiring dengan

kecenderungan menurun dari Rupiah. [1] Dalam grafik di bawah, bisa dilihat bahwa IHSG mengalami kecenderungan menurun sejak Juni 2013: IHSG April-Agustus 2013

Sumber: Bloomberg, http://www.bloomberg.com/quote/JCI:IND/chart.


12

Alasan yang memicu investasi portofolio asing ini keluar dari Indonesia adalah karena rencana the Fed (bank sentral AS) untuk

mengurangi Quantitative Easing (QE). Rencana ini dinyatakan oleh Ketua the Fed, Ben Bernanke, di depan Kongres AS pada 22 Mei 2013. Tidak lama setelah itu, mata uang di beberapa negara emerging markets pun anjlok (lihat Grafik 1). Yang dimaksud dengan QE di sini adalah program the Fed untuk mencetak uang dan membeli obligasi atau aset-aset finansial lainnya dari bank-bank di AS. Program ini dilakukan untuk menyuntik uang ke bank-bank di AS demi pemulihan diri pasca-krisis finansial 2008. Rencana pengurangan QE memberikan pesan bahwa ekonomi AS menyehat. Karenanya, nilai tukar obligasi dan aset-aset finansial lain di AS akan naik. Inilah ekspektasi para investor portofolio yang mengeluarkan modalnya dari negara-negara emerging markets. Pemerintah AS melihat bahwa di depan, investasi portofolio di AS akan lebih menguntungkan daripada di negara-negara emerging markets. Dalam tiga bulan terakhir, yield obligasi jangka panjang pemerintah AS sendiri telah naik. Sebagai contoh, yield obligasi 10-tahun pemerintah AS yang menjadi benchmark, naik sekitar 125 bps dalam tiga bulan terakhir.

2. Faktor kedua, yang menyebabkan penawaran tinggi dan permintaan rendah atas Rupiah adalah neraca nilai perdagangan Indonesia yang defisit. Artinya, ekspor lebih kecil daripada impor. Dinamika ekspor-impor memang bisa berdampak pada nilai tukar mata uang. Ekspor meningkatkan permintaan atas mata uang negara eksportir, karena dalam ekspor, biasanya terjadi pertukaran mata uang negara tujuan dengan mata uang negara eksportir. Pertukaran ini terjadi karena si eksportir membutuhkan hasil akhir ekspor dalam bentuk mata uang negerinya agar bisa ia pakai dalam usahanya. Sebaliknya, impor meningkatkan penawaran atas mata uang negara importir, karena dalam impor, biasanya terjadi pertukaran mata uang negara importir dengan mata uang negara asal. Karena selama Januari-Juli 2013, impor Indonesia lebih kecil daripada ekspornya, maka situasi ini telah melemahkan nilai tukar Rupiah.

13

C. Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah Jika mata uang suatu negara melemah, maka yang diuntungkan adalah sektor ekspor yang bahan bakunya (sebagian besar) berasal dari dalam negeri. Namun, ini tidak berarti seluruh sektor ekspor Indonesia untung, karena banyak komoditi ekspor kita yang ditopang oleh bahan baku impor, sehingga keuntungan yang didapat dari kenaikan harga barang ekspor itu dibatalkan oleh harga bahan baku impornya yang mahal. Jika nilai mata uang negara tujuan jatuh, harga komoditi impor akan naik. Misalnya, jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah jatuh sebesar 10% dari 1 Dollar AS = 9.000 Rupiah menjadi 1 Dollar AS = 9.900 Rupiah, maka harga komoditi impor pun akan naik sebesar 10%. Komoditi yang harganya Rp1,5 juta akan naik Rp150 ribu menjadi Rp1,65 juta. Beberapa dampak yang mencolok akibat melemahnya Rupiah adalah : 1. Industri Penerbangan terpukul 2. Tiket kereta api dan transportasi lainnya naik 3. Jika ongkos transportasi naik, seluruh barang komoditi akan ikut naik harganya 4. Harga barang elektronik melonjak 5. Bahan bangunan dan material melonjak Dari data BPS, kita bisa lihat inflasi di bulan Juni adalah 1,03 persen, lalu meningkat menjadi 3,29 persen pada Juli. Sementara, pada bulan Agustus, inflasi menurun menjadi 1,12 persen. Inflasi tahun kalender (Januari-Agustus) 2013 adalah 7,94 persen dan ini merupakan inflasi tahunan tertinggi sejak 2009. Untuk barang konsumsi, yang harganya akan naik bukan hanya barang-barang konsumsi impor, namun juga barang-barang konsumsi yang diproduksi di dalam negeri, tetapi sebagian besar alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor. Harga tahu tempe, misalnya, naik 20-25 persen, karena bahan bakunya berupa kedelai diimpor. Kenaikan harga komoditi impor ini tentu akan berdampak bagi bangsa Indonesia, yaitu : 1. Konsumen, terutama konsumen kelas bawah, dikarenakan pendapatan mereka tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang.

14

2. Pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi impor mulai dari importir sampai pengecer, karena mereka menghadapi pasar dalam negeri yang menyusut. Misalnya, belakangan ini, para importir bahan kebutuhan pokok di Batam sudah menghentikan aktivitas usahanya. 3. Para usahawan yang berorientasi pasar dalam negeri, namun alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor, seperti pengusaha tekstil, alas kaki, kemasan, dan sebagainya. 4. Rakyat pekerja yang sudah terpukul dari sisi konsumsi akibat kenaikan harga barang, juga akan dijepit dari sisi upah oleh pengusaha yang terjepit oleh kenaikan harga alat-alat produksi impor, kenaikan nilai utang luar negeri, dan penyusutan pasar dalam negeri. Namun, anjloknya Rupiah bukan hanya berdampak pada kenaikan harga komoditi impor saja. Dampak lainnya yang juga penting adalah kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri, karena utang luar negeri dipatok dengan mata uang asing. Logikanya sama dengan dampak pelemahan Rupiah pada komoditi impor. Jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah berbanding Dollar AS jatuh sebesar 30%, maka nominal Rupiah dari utang yang dipatok dalam Dollar AS akan naik sebesar 30%. Sampai dengan Maret 2013, total utang luar negeri Indonesia adalah 254,295 miliar Dollar AS, dengan utang pemerintah dan bank sentral sebesar 124,151 miliar Dollar AS serta utang swasta sebesar 130,144 miliar Dollar AS. Pihak mana saja yang akan terpukul oleh kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri Indonesia ini : 1. Utang swasta, baik pengusaha yang berutang dan para pekerjanya yang akan ditekan oleh pengusaha yang berutang tersebut. 2. Utang pemerintah, anggaran negara atau APBN, dimana ketika anggaran terjepit, rezim neoliberal biasanya akan mengurangi atau mencabut subsidi untuk rakyat, 3. Rakyat secara umum juga akan terkena dampaknya. 4. Pembayaran utang luar negeri cenderung akan meningkatkan penawaran atas Rupiah, karena uang Rupiah yang dimiliki pengutang harus ditukar dengan mata uang pembayaran utang. Akibatnya, nilai tukar Rupiah bisa semakin lemah.

15

D. Alternatif Kebijakan Ekonomi untuk Mengatasi Jatuhnya Nilai Rupiah Dalam situasi seperti sekarang, tidak banyak cara yang dapat dilakukan BI dan pemerintah, mungkin hanya tersedia 3 pilihan : Pertama, menaikkan suku bunga Rupiah secara agresif. Maksudnya suku bunga harus dinaikkan dengan besaran yang cukup sehingga dapat mempengaruhi keadaan supply dan demand USD jangka pendek. Dengan suku bunga Rupiah yang tinggi akan memaksa para eksportir yang menyimpan hasil ekspor di luar negeri membawanya ke dalam negeri. Di lain pihak suku bunga tinggi akan mengurangi impor terutama impor barang-barang konsumsi yang merupakan kebutuhan sekunder. Suku bunga Rupiah yang tinggi juga akan mendorong para pemilik kelebihan dana (kelompok ke-3) untuk menyimpan uangnya dalam Rupiah. Begitu juga Kelompok ke-4 para spekulan akan berhenti membeli USD karena biayanya menjadi sangat tinggi. Menaikkan secara agresif mungkin berarti sebesar 5-10%. Menaikkan suku bunga secara normal, 0,51,0% tidak akan banyak menolong. Kedua, BI tetap melakukan intervensi terbatas, yaitu menggunakan cadangan devisa. Ketika cadangan devisa pada kondisi kritis maka BI akan membiarkan Rupiah melemah terus dengan cepat hingga mencapai level di mana harga saham di pasar saham Jakarta menjadi sangat murah dihitung dalam USD dan diharapkan investor asing portofolio (Kelompok ke-2) tertarik kembali menukarkan USD dan membeli saham. Ketiga, melakukan reformasi ekonomi dan politik untuk dapat mempengaruhi keadaan supply dan demand USD dalam jangka panjang. Dalam prakteknya, kebijakan ekonomi dengan berbagai dampak positif dan negatif, telah diupayakan pemerintah Indonesia, sekalipun implementasinya masih bisa dinilai kurang. Cara mengatasi tekanan ekonomi nasional yaitu dengan melaksanakan kebijakan ekonomi, baik makro maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijakan ekonomi pemerintah sejak masa krisis global dimaksudkan memiliki dua sasaran strategis, yakni pertama, mengurangi dampak negatif krisis terhadap masyarakat berpendapatan rendah dan rentan, dan kedua, pemulihan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi ke jalur semula. Hingga kini, banyak yang menilai paket-paket kebijakan ekonomi pemerintah hanya berjalan di atas kertas, namun di lapangan tidak efektif.

16

E. Merananya Suku Bunga Bank Indonesia (BI) sebagai Upaya Penyelamatan Ekonomi Terakhir di awal bulan Desember 2013, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI Rate jadi 7,5 persen. Kenaikan suku bunga kali ini tampaknya tidak dimaksudkan untuk meredam inflasi, seperti yang lazim dilakukan. Inflasi year on year Oktober 2013 cukup terkendali 8,32 persen. Sedikit turun dari 8,4 persen pada bulan sebelumnya. Pesan yang ingin disampaikan BI adalah, dengan kebijakan ini, mereka berupaya mengurangi defisit transaksi berjalan yang masih 8,4 miliar dollar AS pada triwulan III-2013, atau turun dari 9,9 miliar dollar AS pada triwulan II. Di tahun 2013 ini, BI sudah menaikkan BI rate hingga 5 kali, sebesar 150 bps, dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia April - Desember 2013 PERIODE 11 April 2013 14 Mei 2013 13 Juni 2013 11 Juli 2013 15 Agustus 2013 29 Agustus 2013 12 September 2013 08 Oktober 2013 12 November 2013 12 Desember 2013 BI RATE 5.75 % 5.75 % 6.00 % 6.50 % 6.50 % 7.00 % 7.25% 7.25% 7.50 % 7.50 %

Sumber : http://www.bi.go.id/web/en/Moneter/BI+Rate/Data+BI+Rate/ Terdapat transmisi yang erat di antara kedua variabel tersebut, yaitu jika suku bunga naik, hasrat untuk berkonsumsi (propensity to consume) akan berkurang, demikian pula hasrat investasi. Selanjutnya, melemahnya konsumsi (C) dan investasi (I) akan mengurangi permintaan agregat (aggregate demand). Karena struktur industri Indonesia sensitif terhadap barang dan jasa impor, selanjutnya impor barang dan jasa akan berkurang. Pengurangan ini akan menurunkan defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan.

17

F. Dampak Kenaikan Suku Bunga Bank Indonesia (BI) Kebijakan BI menaikkan BI Rate bisa dinilai efektif, karena dalam situasi krisis ekonomi global yang mulai dirasakan transmisinya ke Indonesia, tingkat kepercayaan para pelaku ekonomi juga mulai goyah. Ekspresinya, para pelaku ekonomi mulai mengerem konsumsi. Dua industri yang biasanya bisa menjadi indikator bergairah atau tidaknya perekonomian adalah industri otomotif dan properti. Sejauh ini, pada industri otomotif belum ada tanda-tanda melemah. Kemampuan para produsen melakukan inovasi, misalnya dengan produksi mobil yang irit dan murah, serta sepeda motor yang hemat, berhasil menumbuhkan penjualan. Penjualan mobil tahun ini diperkirakan 1,2 juta unit, sedangkan sepeda motor kembali ke level 8 juta unit. Namun, untuk sektor properti, mulai ada tanda-tanda melemah. Di beberapa kota besar (terutama Jakarta dan Surabaya) mulai dikeluhkan gejala gelembung properti, harga properti melambung tinggi, tetapi kemudian pemilik kesulitan menjualnya kembali jika diperlukan. Aset ini menjadi berkurang derajat likuiditasnya. Meski demikian, asalkan para pengembang jeli mencari segmen pasar dan lokasi yang tepat, sebenarnya industri properti masih terbuka ekspansi, mengingat masih banyak keluarga yang belum memiliki rumah pertama. Upaya mengerem pertumbuhan ekonomi tak hanya oleh Indonesia. China mulai menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi hingga dua digit (periode 20012008) membawa beberapa dampak negatif. Sektor properti terlalu menggelembung sehingga rawan meletus. Upah buruh naik, harga tanah di kota-kota industri sepanjang pantai timur naik drastis. Jika tidak dikendalikan, itu akan merusak daya saing China di kemudian hari. Solusinya, pertumbuhan ekonomi diperlambat. Itulah sebabnya, perekonomian China tahun ini diperkirakan tumbuh 7,6 persen-7,8 persen. Kendati demikian, level pertumbuhan ini tetap yang tertinggi di dunia. Yang menarik, dua lembaga multilateral, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, sejak Oktober 2013 meramal Indonesia akan mengalami koreksi pertumbuhan ekonomi ke bawah. Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi 2013 hanya 5,6 persen dan tahun depan (2014) 5,4 persen. Sementara IMF meramal pertumbuhan 5,3 persen (2013) dan 5,5 persen (2014).
18

Proyeksi itu rasanya terlalu rendah. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi masih 5,8 persen. Pada triwulan IV-2013, biasanya kementerian dan lembaga ngebut mengejar target absorpsi anggaran. Hal yang sama juga pada perusahaan-perusahaan swasta. Datangnya musim liburan akhir tahun dan Natal juga memberi energi belanja yang lebih sehingga mendorong permintaan agregat. Tahun 2014, tahun pemilu, akan menumbuhkan asa memiliki presiden dan pemerintahan baru yang lebih kuat. Ujungnya, tumbuh sentimen positif yang bisa memacu investasi. Ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Proyeksi Bank Pembangunan Asia (ADB) lebih realistis. Mereka meramal pertumbuhan ekonomi 5,7 persen (2013) dan 6,0 persen (2014). Proyeksi lembaga-lembaga finansial dunia cukup beragam, misalnya Goldman Sachs 5,4 persen (2013) dan 5,5 persen (2014), HSBC (5,6 dan 5,5 persen), ING (5,9 dan 7 persen), DBS (5,8 dan 6 persen), Economist Intelligence Unit (5,1 dan 5,4 persen), Citigroup (5,7 dan 5,3 persen), Nomura (5,5 dan 5,7 persen), ANZ (5,5 dan 6 persen), Barclays Capital (5,4 dan 5,5 persen), Credit Suisse (5,7 dan 5,5 persen), dan yang paling parah JP Morgan (5,5 dan 4,9 persen). Saya cenderung sependapat dengan ADB dan DBS. Apakah suku bunga masih akan naik lagi pada Desember 2013? Jawabannya bisa Ya dan Tidak. JikaYa artinya BI tidak melihat jalan lain untuk menstabilkan rupiah yang saat ini di level Rp 11.600 per dollar AS. Stabilisasi rupiah merupakan tujuan terpenting, melebihi prioritas lainnya. Di sisi lain, BI tetap harus berhitung, kenaikan suku bunga lebih lanjut hanya akan memicu kenaikan suku bunga kredit sehingga menyengsarakan dunia usaha. Ada tanda kebijakan kenaikan suku bunga ini masih dilanjutkan. Alasannya, mengantisipasi kenaikan suku bunga di AS. Jika suku bunga AS naik (kini suku bunga acuan The Fed hanya 0,25 persen), akan rawan terjadinya aliran modal keluar dari Indonesia. Namun, tahun depan kita punya modal inflasi yang lebih rendah. Harga minyak mentah dunia hingga tahun depan rasanya masih akan bergerak di antara 100 dollar AS per barrel (minyak West Texas Intermediate) hingga 110 dollar AS (Brent), ditambah lagi pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM (mesti subsidi sudah di
19

atas Rp 300 triliun), maka inflasi pun akan turun ke level 5,5 hingga 6,5 persen. Dalam kondisi ini, mestinya BI menurunkan BI Rate. Keinginan BI agar penyaluran kredit pada industri perbankan hanya tumbuh 15-17 persen tahun depan, dirasa terlalu konservatif. Pertumbuhan kredit selevel itu hanya akan memacu pertumbuhan ekonomi 5,5 persen. Jika ingin pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen, pertumbuhan kredit seharusnya antara 18 hingga 20 persen. Indonesia tidak harus mengikuti jejak China untuk mengerem pertumbuhan ekonomi karena situasinya berbeda. Data pengangguran terakhir China adalah 4 persen, atau jauh lebih rendah daripada Indonesia yang sekitar 6 persen. Artinya, bagi Indonesia masih lebih urgen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar tercipta kesempatan kerja baru daripada menaikkan BI Rate terus-menerus.

G. Intervensi Bank Indonesia untuk Menahan Jatuhnya Rupiah Mengakibatkan Devisa Negara Terkuras Cadangan devisa selalu terkait dengan inflow dan outflow. Pada akhir Juni 2013, ada outflow sekitar 4,1 miliar dollar AS sehingga cadangan devisa Indonesia menurun menjadi 98,1 miliar dollar AS. Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa hingga akhir Juni 2013 sebesar 98,1 miliar dollar AS. Nilai tersebut merosot dari cadangan devisa di akhir bulan sebelumnya yang masih 105,1 miliar dollar AS. Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan bahwa penurunan cadangan devisa ini disebabkan oleh kenaikan dana asing yang keluar dari Tanah Air. BI mencatat, ada dana asing yang keluar hingga akhir Juni 2013 sebesar Rp 40,1 triliun. Namun, BI mencatat posisi cadangan devisa saat ini masih bisa mencukupi untuk 5,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. BI sebelumnya juga mencatat bahwa kondisi cadangan devisa RI yang berada di bawah 100 miliar dollar AS tidak perlu dikhawatirkan. Sebab pada masa krisis akhir 2008 lalu, cadangan devisa RI sempat berada di level 51 miliar dollar AS. Namun pada Agustus 2011 melonjak menjadi 124 miliar dollar AS. Tapi di akhir 2011 lalu, cadangan devisa RI merosot kembali menjadi 110 miliar dollar AS. Hingga akhir Juni 2013, cadangan devisa RI merosot menjadi 98,1 miliar dollar AS, merosot dibanding akhir Mei 2013 yang masih 105,1 miliar dollar AS.
20

Tentu saja, BI tidak akan melakukan intervensi terus menerus selama-lamanya karena akan menguras cadangan devisa. BI pasti memiliki garis di atas pasir yang tidak bisa dilampaui yaitu bilamana cadangan devisa turun dibawah angka tertentu, BI pasti berhenti melakukan intervensi.

H. Pengaruh Kebijakan Stimulus The Fed dan Tapering Off baru-baru ini Setelah mengumumkan untuk memperpanjang stimulus pada September 2013, akhirnya pada tanggal 18 Desember kemarin Permerintah AS mengumumkan keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (The FED), dalam menarik dana stimulus (tapering off). Bank sentral AS akan menarik dana stimulusnya US$ 10 miliar menjadi US$ 75 miliar pada Januari 2014. Kepastian tapering yang diumumkan The FED pada tanggal 18 Desember 2013 dinilai positif oleh Bank Sentral Indonesia. Bank Indonesia (BI) menilai pengumuman Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang memastikan pengurangan stimulus atau lebih dikenal dengan tapering tsb akan dimulai pada Januari 2014 memberikan kepastian kepada pasar keuangan global. Tapering memang sudah diperkirakan sejak tahun lalu dan tinggal menunggu waktu solidnya pemulihan ekonomi AS. Tapering menunjukkan solidnya pemulihan ekonomi Amerika yang

merupakan ekonomi terbesar di dunia dan pasar bagi ekspor negara berkembang. Pemulihan ekonomi Amerika tersebut juga akan mendorong ekspor negara berkembang dan mendorong pemulihan ekonomi dunia bersama dengan pulihnya ekonomi Eurozone, Cina dan Jepang. Sisi positif pengumuman tapering tersebut adalah dari trade channel, di mana sebenarnya bagi Indonesia, hal ini memberikan dampak positif untuk meningkatkan ekspor Indonesia dan Indonesia harus memanfaatkannya dengan strategi meningkatkan dan diversifikasi ekspor, khususnya produk manufaktur. \

21

I. Perencanaan Kebijakan Fundamental untuk Mengatasi Tekanan Ekonomi di Indonesia Sejumlah Paket Kebijakan Pemerintah yang dicanangkan untuk

menyelamatkan perekonomian Indonesia, sebagai berikut: 1. Relaksasi pembatasan fasilitas kawasan berikat untuk penduduk. 2. Penghapusan pajak penghasilan (PPn) untuk buku. 3. Penghapusan pajak penghasilan barang mewah (PPn BM) untuk produk dasar yang sudah tidak tergolong barang mewah. 4. Pentingnya menjaga upah minimum provinsi (UMP) agar mencegah pemutusan hubungan kerja. 5. Pemberian skema kenaikan UMP mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL) 6. Pemberian insentif untuk pengembangan dan riset (research and

development). 7. Mengoptimalkan penggunaan tax allowance untuk insentif investasi. 8. Menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga tingkat inflasi. 9. Mengubah tata niaga daging sapi dan hortikultura dari berbasis kuantitas (kuota) menjadi berbasis harga. 10. Mempercepat investasi dengan menyederhanakan perizinan dan

mengefektifkan layanan satu pintu. 11. Mempercepat dan merampungkan Peraturan Presiden tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) yang lebih ramah terhadap investor. 12. Mempercepat program investasi berbasis agro, CPO, kakao, rotan, mineral logam, bauksit dan tembaga dengan memberi insentif berupa tax holiday dan tax allowance. 13. Mempercepat proses penyelesaian investasi yang sudah ada misalnya pembangkit tenaga listrik, migas, pertambangan, mineral dan infrastruktur.

22

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Sejak Juni 2013, nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Hal yang sama juga dialami oleh mata uang beberapa negara emerging markets (negara berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat) lainnya. Secara keseluruhan dapat disimpulkan penyebab-penyebab melemah nilai tukar rupiah terhadap Amerika Serikat (USD), yaitu : 1. Neraca perdagangan 2013 defisit, lebih besar impor daripada ekspor 2. Neraca transaksi berjalan juga mengalami defisit karena pembayaranpembayaran utang luar negeri yang banyak jatuh tempo. 3. Keluarnya sejumlah besar investasi portofolio asing dari Indonesia. 4. Pasar yang membaca bahwa dengan akan di terapkannya tight money policy atau penghentian stimulus (tapering) oleh Bank Sentral Amerika Serikat The FED, kurs rupiah akan tidak dapat langsung menguat dan cenderung melemah selama Indonesia belum mampu memperkuat keseimbangan perdagangan ekspor impornya. Yang akan berakibat laju inflasi akan berlanjut. 5. Pasar juga membaca secara jelas dan khawatir bahwa para petinggi negeri yang bertanggung jawab atas ekonomi sibuk dengan urusannya masingmasing. 6. Ekspektasi pasar bahwa cadangan devisa yang menurun karena faktorfaktor tersebut cenderung akan terus menurun sampai tahun depan. 7. Paket-paket kebijakan ekonomi pemerintah tidak efektif. 8. Program MP3EI yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. 9. Defisit APBN untuk membayar utang luar negeri dan bunga yang bertambah hingga 25%, karena nilai tukar rupiah yang turun. 10. Prospek ekonomi pada tahun 2014 sebagai tahun politik dinilai suram dan berisiko.

23

Jika mata uang suatu negara melemah, maka yang diuntungkan adalah sektor ekspor yang bahan bakunya (sebagian besar) berasal dari dalam negeri. Namun, ini tidak berarti seluruh sektor ekspor Indonesia untung, karena banyak komoditi ekspor kita yang ditopang oleh bahan baku impor, sehingga keuntungan yang didapat dari kenaikan harga barang ekspor itu dibatalkan oleh harga bahan baku impornya yang mahal. Beberapa dampak yang mencolok akibat melemahnya Rupiah adalah : 1. Industri Penerbangan terpukul 2. Tiket kereta api dan transportasi lainnya naik 3. Jika ongkos transportasi naik, seluruh barang komoditi akan ikut naik harganya 4. Harga barang elektronik melonjak 5. Bahan bangunan dan material melonjak Kenaikan harga komoditi impor ini tentu akan berdampak bagi bangsa Indonesia, di antaranya bagi : 1. Konsumen, terutama konsumen kelas bawah, dikarenakan pendapatan mereka tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang. 2. Pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi impor mulai dari importir sampai pengecer, karena mereka menghadapi pasar dalam negeri yang menyusut. 3. Para usahawan yang berorientasi pasar dalam negeri, namun alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor. 4. Keempat, rakyat pekerja yang sudah terpukul dari sisi konsumsi akibat kenaikan harga barang, juga akan dijepit dari sisi upah oleh pengusaha yang terjepit oleh kenaikan harga alat-alat produksi impor, kenaikan nilai utang luar negeri, dan penyusutan pasar dalam negeri. Dampak lainnya yang juga penting adalah kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri, karena utang luar negeri dipatok dengan mata uang asing. Pihak mana saja yang akan terpukul oleh kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri Indonesia ini : 1. Utang swasta, baik pengusaha yang berutang dan para pekerjanya yang akan ditekan oleh pengusaha yang berutang tersebut.
24

2. Utang pemerintah, anggaran negara atau APBN, dimana ketika anggaran terjepit, rezim neoliberal biasanya akan mengurangi atau mencabut subsidi untuk rakyat, 3. Rakyat secara umum juga akan terkena dampaknya. 4. Pembayaran utang luar negeri cenderung akan meningkatkan penawaran atas Rupiah, karena uang Rupiah yang dimiliki pengutang harus ditukar dengan mata uang pembayaran utang. Akibatnya, nilai tukar Rupiah bisa semakin lemah.

B. Saran

Solusinya, pemerintah harus bantu membantu mengatasi masalah fundamental dalam negeri. Misalnya inflasi yang dikhawatirkan melonjak, khususnya selepas kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi. untuk menuntaskan masalah inflasi ini. Bagaimanapun, risiko inflasi ini membuyarkan imbal hasil beragam produk investasi yang ada di tanah air. Inflasi yang melonjak ini juga turut menurunkan pertumbuhan ekonomi karena sebagian besar kontribusinya masih ditopang dari konsumsi domestik dan investasi. Jika risiko inflasi tinggi, maka daya konsumsi masyarakat juga menurun. Ini juga yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Investor asing juga masih pikir-pikir untuk investasi di Indonesia jika inflasinya tinggi. Strategi lain adalah dengan mewajibkan investor asing menyimpan keuntungan usaha di Indonesia atau menginvestasikan lagi untuk ekspansi di dalam negeri. Dengan demikian, pemerintah bisa mengoptimalkan neraca pendapatan melalui pengaturan repatriasi dana asing menggunakan kewenangan yang dimiliki secara transparan. Bauran kebijakan moneter dan fiskal yang tidak dijalankan secara serius membuat kondisi perekonomian nasional tidak bisa berkembang optimal. Kondisi ini membuat upaya mengurangi defisit neraca pembayaran yang sudah berjalan selama delapan triwulan ini belum juga membuahkan hasil. Pemerintah seharusnya mendorong pengembangan industri penghasil bahan baku untuk memasok kebutuhan industri pengolahan yang selama ini mengimpor. Penyerapan bahan baku produksi
25

domestik akan meningkatkan kinerja industri, menekan impor, dan bisa mengurangi defisit neraca transaksi berjalan. Contoh beberapa kebijakan bagus yang mandul karena tidak diawasi pelaksanaannya antara lain hilirisasi industri komoditas primer, seperti perkebunan dan pertambangan. Selain itu, juga kewajiban penggunaan biodiesel untuk mengurangi impor dan subsidi bahan bakar minyak. Kebijakan hilirisasi industri komoditas primer untuk menghentikan ekspor bahan mentah tahun 2014 tinggal isapan jempol karena sejauh ini masih banyak investor yang belum membangun industri pengolahan. Implementasi kebijakan agar efektif berjalan dan berhasil sesuai sasaran membutuhkan kepemimpinan dan kapasitas birokrasi yang serius mengeksekusi kebijakan.

26

You might also like