You are on page 1of 7

TINJAUAN YURIDIS UNDANG UNDANG FIDUSIA NO 42 TAHUN 1999

DALAM PERKEMBANGAN HUKUM JAMINAN

A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Fidusia

Adapun yang melatar belakangi UU fidusia lahir adalah karena kebutuhan


praktis, kebutuhan tersebut dapat dilihat dari fakta-fakta berikut :

a. Barang Bergerak Sebagai Jaminan Hutang.

Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistim hukum kita, dan juga hukum
di kebanyakan negara-negara Eropa Kontinental, bahwa jika yang menjadi
objek jaminan utang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam
bentuk gadai.

Dalam hal ini, objek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang
menerima gadai (kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi objek jaminan
hutang adalah benda tidak bergerak, maka jaminan tersebut haruslah
berbentuk hipotik (sekarang ada hak tanggungan). Dalam hal ini barang
objek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur, tetapi tetap dalam
kekuasaan debitur. Akan tetapi terdapat kasus-kasus dimana barang objek
jaminan hutang masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur
enggan menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditur,
sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan, bahkan kerepotan
jika barang tersebut diserahkan kepadanya, karena itulah dibutuhkan
adanya satu bentuk jaminan hutang yang objeknya masih tergolong benda
bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada
pihak kreditur. Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru dimana objeknya
benda bergerak, tetapi kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari
debitur kepada kreditur.

b. Tidak Semua Hak Atas Tanah Dapat dihipotikkan.

Latar belakang lain yang mendorong timbul atau berkembangnya praktek


fidusia adalah adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan
dengan hipotik atau hak tanggungan.

c. Barang Objek Jaminan Hutang Yang Bersifat Perdata.

Ada barang-barang yang sebenarnya masih termasuk barang bergerak,


tetapi mempunyai sifat-sifat seperti barang tidak bergerak sehingga
pengikatnya dengan gadai dirasa tidak cukup memuaskan, terutama karena

1
adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari benda objek jaminan
hutang tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan.

d. Perkembangan Pranata Hukum Kepemilikan Yang Baru.

Perkembangan kepemilikan atas barang tertentu yang tidak selamanya


dapat diikuti oleh perkembangan jaminan, sehingga hak-hak atas barang
sebenarnya tidak bergerak, tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik.

e. Barang Bergerak Objek jaminan Hutang Tidak Dapat Diserahkan.

Ada kalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan
agar diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya,
tetapi barang yang dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat
diserahkan kepemilikannya kepada hak kreditur. (lihat Munir Fuady, Jaminan
Fidusia, Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 1.)

Selain fakta di atas yang melatarbelakangi lahirnya UU No. 42 Tahun 1999


tentang Fidusia berdasarkan keadaan sekarang yang dicantumkan dalam
konsiderannya adalah :

1. Kebutuhan yang sangat besar dan terus mengikat bagi dunia usaha
atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum
yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan.
2. Pengaturan lembaga jaminan fidusia masih didasarkan pada
Yurisprudensi.
3. Dalam rangka memberi kepastian hukum dari perlindungan hukum bagi
pihak yang berkepentingan.

B. Dasar Hukum Penetapan Jaminan Fidusia.

Sejak lahirnya jaminan fidusia ini sangat kental dengan rekayasa.


Sebab dalam sistem hukum Belanda tempo dulu, oleh karena juga di
Indonesia untuk jaminan barang bergerak hanya dikenal gadai, sedang
barang tidak bergerak dikenal dengan hipotek. (lihat Oey Hoey Tiong,
Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Penerbit Ghalia
Indonesia, 1983, hal.. 34.)

Tetapi dalam praktek untuk menjaminkan barang bergerak, tetapi tanpa


penyerahan barang secara fisik. Untuk maksud tersebut tidak dapat
digunakan lembaga gadai (yang mensyaratkan penyerahan benda) dan juga
dapat digunakan hipotek yang hanya diperuntukkan terhadap barang tidak

2
bergerak saja.

Karena itu dicarikanlah jalan untuk dapat menjaminkan barang bergerak


tanpa penyerahan fisik barang tersebut akhirnya muncul rekayasa untuk
memenuhi kepentingan praktek seperti itu dengan jalan pemberian jaminan
Fidusia yang akhirnya diterima dalam praktek dan diakui oleh yurisprudensi
dan diundangkan pada tahun 1999.

Rekayasa tersebut dalam bentuk globalnya disebut dengan constitutum


possessorium (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik
benda sama sekali). Bentuk rincian dari constitutum possessorium dalam
Fidusia ini dilakukan melalui proses tiga fase. (lihat Munir Fuady, Jaminan
Fidusia, Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 5.)

1. Fase I - Fase Perjanjian Obligatoir (Obligatoir Overeenkomst).


Proses jaminan fidusia diawali oleh adanya suatu perjanjian obligatoir
(Obligatoir Overeenkomst). Perjanjian Overeenkomst tersebut berupa
perjanjian pinjam uang dengan jaminan fidusia diantara pihak pemberi
Fidusia (debitur) dengan pihak penerima Fidusia (kreditur).

2. Fase II - Perjanjian Kebendaan (Zakelijke Overeenkomst).


Selanjutnya diikuti oleh suatu perjanjian kebendaan (Zakelijke
Overeenkomst).
Perjanjian kebendaan tersebut berupa penyerahan hak milik dari debitur
kepada kreditur, dalam hal ini dilakukan secara constitutum
prosessorium, yakni penyerahan hak milik tanpa menyerahkan fisik
benda.

3. Fase III - Fase Perjanjian Pinjam Pakai.


Dalam fase ketiga ini dilakukan pinjam pakai, dalam hal ini benda objek
Fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada pihak kreditur
dipinjampakaikan kepada pihak debitur, sehingga praktis benda tersebut
setelah diikat dengan jaminan fidusia tetap saja dikuasai secara fisik
oleh pihak debitur.

Jadi dasar dari Fidusia adalah suatu perjanjian yakni perjanjian Fidusia
perikatan yang menimbulkan Fidusia ini mempunyai karakteristik sebagai
berikut :

1. Antara pemberi Fidusia dengan penerima Fidusia terdapat suatu


hubungan perikatan, yang menerbitkan hak bagi kreditur untuk
meminta penyerahan barang jaminan dari debitur (secara constitutum
posessorium).
2. Perikatan tersebut adalah perikatan untuk memberikan sesuatu karena
debitur menyerahkan suatu barang (secara constitutum posessorium)
kepada kreditur .
3. Perikatan dalam rangka pemberian Fidusia merupakan perikatan yang

3
assessoir, yakni merupakan perikatan yang membuntuti perikatan
lainnya (perikatan pokok) berupa perikatan hutang-piutang.
4. Perikatan Fidusia tergolong kedalam perikatan dengan syarat batal,
karena jika hutangnya dilunasi, maka hak jaminannya secara Fidusia
menjadi hapus.
5. Perikatan Fidusia tergolong perikatan yang bersumber dari suatu
perjanjian yakni perjanjian Fidusia.
6. Perjanjian Fidusia merupakan perjanjian yang tidak disebut secara
khusus dalam KUH Perdata. Karena itu, perjanjian ini tergolong dalam
perjanjian tak bernama (Onbenoem De Overeenkomst).
7. Perjanjian Fidusia tetap tunduk pada ketentuan bagian umum dari
perikatan yang terdapat dalam KUH Perdata.

C. Ruang Lingkup Objek Fidusia.

Pasal 2 Undang-Undang jaminan Fidusia memberikan batas ruang lingkup


berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu berlaku terhadap setiap
perjanjian yang bertujuan untuk membebani Benda dengan Jaminan
Fidusia, yang dipertegas kembali oleh rumusan yang dimuat dalam Pasal 3
Undang-Undang Jaminan Fidusia dengan tegas menyatakan bahwa
Undang-Undang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku terhadap :
a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan,
sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan
jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian
bangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia.
b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua
puluh) M3 atau lebih ;
c. Hipotek atas pesawat terbang ; dan
d. Gadai.

Seperti telah disinggung di muka, jika diperhatikan sejarah perkembangan


fidusia, pada awalnya yaitu pada zaman Romawi, objek fidusia adalah
meliputi baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak. (Gunawan
Widjaja, jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2000, hal. 132.)

Pemisahan mulai diadakan kemudian, orang-orang Romawi mengenal gadai


dan hipotek. Ketentuan ini juga diikuti oleh Negeri Belanda dalam
Burgerlijke Wetboek-nya. (Gunawan Widjaja, jaminan Fidusia, Raja Grafindo
Persada, jakarta, 2000, hal. 132.)

Pada saat fidusia muncul kembali di Belanda, maka pemisahan antara


barang bergerak untuk hipotek juga diberlakukan. Objek fidusia
dipersamakan dengan gadai yaitu barang bergerak karena pada waktu itu
fidusia dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari larangan yang

4
terdapat dalam gadai. Hal ini terus menjadi yurisprudensi tetap baik di
Belanda dan Indonesia.

Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria


yang tidak membedakan atas barang bergerak dan barang yang tidak
bergerak melainkan pembedaan atas tanah dan bukan tanah.

Bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tidak dapat dijaminkan


terlepas dari tanahnya. Jadi orang yang memiliki bangunan di atas tanah
dengan hak sewa misalnya tidak dapat membebaninya dengan hak
tanggungan tersebut. Oleh karenanya jalan satu-satunya adalah dengan
fidusia. Khusus mengenai penyerahan hak sewa ini diperlukan persetujuan
dari pemilik tanah yang menyewakan tanah itu untuk sewaktu-waktu
mengalihkan hak sewa atas tanah itu kepada yang lain.

Perkembangan ini adalah sesuai dengan perkembangan kebutuhan


masyarakat di Indonesia, dimana banyak orang yang menguasai tanah
dengan hak-hak atas tanah yang tidak bisa dijaminkan dengan Hak
Tanggungan, seperti hak sewa, hak menumpang dan sebagainya.
Bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tersebut tidak dapat
dijaminkan Hak Tanggungan dan ini dapat diatasi dengan Jaminan Fidusia.

Dengan lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia, yaitu dengan mengacu


pada Pasal 1 angka 2 dan 4 serta pasal 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia,
dapat dikatakan bahwa yang menjadi objek Jaminan Fidusia adalah
Benda apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya.
Benda itu dapat berupa benda berwujud maupun yang tidak
berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak
bergerak, dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dapat dibebani
dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atau Hipotek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 Kitab Undang-Undang
Dagang jis Pasal 1162 Kitab Undang-Undang Perdata.

Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang


Jaminan Fidusia, maka dapat diharapkan bahwa nantinya Jaminan Fidusia
akan menggantikan FEO dan cessie jaminan atas utang-piutang
(zekerheidcessi van schuldvorderingen fiduciary assignment of receivables)
yang dalam praktek pemberian kredit banyak digunakan.

D. Akibat Hukum Dikeluarkannya UU Fidusia Terhadap

1. Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan


Untuk memberikan kepastian hukum pasal 11 UU jaminan fidusia
mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan Fidusia di daftarkan
pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia. Kewajiban

5
ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaannya yang dibebani dengan
jaminan fidusia berada di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia
dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi Fidusia, pendaftarannya
mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah
negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus
merupakan jaminan kepsatian terhadap kreditur lainnya mengenai
benda yang telah dibebani jaminan fidusia.

Kita telah dapat melihat pasal 14 (3) UU Fidusia No. 42 Tahun 1999,
maka Fidusia oleh UU dianggap lahir pada saat yang sama dengan
dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar Fidusia.

Adapun bukti pendaftaran Fidusia yang diterima penerima Fidusia


sebagai hak memiliki Fidusia diserahkan kepadanya dokumen yang
disebut sertifikat jaminan fidusia. Sertifikat jaminan fidusia dikeluarkan
oleh instansi yang sah dan berwewenang dalam hal ini Kantor
Pendaftaran Fidusia, maka sertifikat tersebut mempunyai kekuatan
pembuktian yang kuat sebagai suatu akta berbentuk dan hanya Kantor
Pendaftaran Fidusia sebagai suatu badan yang berwenang
mengeluarkan sertifikat perjanjian Fidusia tersebut.

Karena itu pula, jika ada alat bukti sertifikat jaminan fidusia dan sertifikat
tersebut adalah syah, maka alat bukti lain dalam bentuk apapun harus
ditolak. Para pihak tidak cukup misalnya hanya membuktikan adanya
Fidusia dengan hanya mempertunjukkan akta jaminan Fidusia yang
dibuat oleh notaris berdasarkan UU Fidusia pasal 14 (3).

2. Penjamin Fidusia
Dengan keluarnya UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
membawa akibat pada perjanjian Fidusia pada pasal 27 (2).
Dengan preferensi adalah hak penerima fidusia untuk mengambil
pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek
jaminan fidusia.

Dengan demikian sama dengan hak jaminan lainnya. Adanya ketentuan


ini menghapus keraguan selama ini tentang ada tidaknya hak preferensi
bagi penerima Fidusia ini.

Hal lain yang menjadi konsekwensi hukum apabila timbul masalah atau
gugatan karena kesalahan (kesenjangan atau kekurang hati-hatian) dari
pemberi fidusia sehubungan dengan pengguna atau pengalihan benda
fidusia adalah dibebaskannya penerima fidusia dari tanggung jawab
atau dengan kata lain pemberi fidusia yang bertanggung jawab penuh.
(Pasal 29 UU No. 42 Tahun 1999).

Kesimpulan.

6
Diundangkannya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
membawa perubahan dalam pranata jaminan yang tidak lagi membedakan
benda berujud maupun tidak berujud, terdaftar maupun tidak terdaftar,
bergerak maupun tidak bergerak dengan syarat bahwa benda tersebut
tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan seperti yang dimaksud
dalam UU No. 4 Tahun 1996 serta adanya kepastian hukum melalui
pendaftarannya di Kantor Pendaftaran Fidusia sebagai alat bukti yang kuat.

Saran.
Di satu sisi jaminan fidusia memiliki kelemahan karena objek yang
dijaminkan berada di tangan debitur sehingga debitur yang tidak mempunyai
iktikad baik dapat melakukan kecurangan dan sulit dipantau. Oleh karena itu
perlu di buat peraturan pelaksana agar pelaksanaan di lapangan dapat
berjalan dengan baik sehubungan dengan moralitas atau iktikad dari debitur.

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir, 2000, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Tiong, Oey Hoey, 1983, Fidusia sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan,


Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Tunggal, Hadi Setia, 2001, Undang-Undang Jaminan Fidusia dan Peraturan


Pelaksanaannya , Harvarindo, Jakarta.

Wijaja, Gunawan dan Yani, Ahmad, 2000, Seri Hukum Bisnis Jaminan
Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

You might also like