You are on page 1of 21

LATAR BELAKANG

Kata Sejarah (History) yang kita gunakan pada sekarang bersumber daripada perkataan Arab yaitu
Syajaratun yang berarti Pohon. Dari sisi lain, istilah history merupakan terjemahan dari kata dalam
bahasa Yunani yakni Histories yang memberikan arti atau bermakna suatu penyelidikan ataupun
pengkajian1. Menurut “Bapak Sejarah” Herodotus, Sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan suatu
perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan peradaban2.

Mengikut definisi yang diberikan oleh Aristotele, bahwa Sejarah merupakan satu sistem yang meneliti
suatu kejadian sejak awal dan tersusun dalam bentuk kronologi. Pada masa yang sama, menurut beliau
juga Sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekod-rekod atau bukti-
bukti yang konkrit.

Dalam makalah ini, kami akan mencoba untuk menjelaskan bagaimana perkembangan sejarah buku,
majalah, dan surat kabar di dunia. Juga ditambahkan dengan sejarah perkembangan buku, majalah,
dan surat kabar di Indonesia sebagai bahan literatur. Karena pada dasarnya, sejarah perkembangan
buku, majalah, dan surat kabar ini adalah sebagai tanda perkembangan Ilmu komunikasi dan
Jurnalistik.

Hal ini penting sebagai bahan pembelajaran dan pengetahuan bagi kita untuk mengetahui sejarah
buku, majalah, dan surat kabar. Dan semoga makalah ini bermanfaat dan sebagai bahan referensi yang
akan datang.

RUMUSAN MASALAH

Rumasan masalah dalam makalah ini adalah:


1. bagaimana sejarah perkembangan buku?
2. bagaimana sejarah perkembangan majalah?
3. bagaimana sejarah perkembangan surat kabar?

1
Muhd. Yusof Ibrahim, 1986, Pengertian Sejarah, Beberapa Perbahasan Mengenai Teori dan Kaedah, Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kuala Lumpur, hlm. 6.

2
R. Suntralingam, Pengenalan Kepada Sejarah, Merican and Sons., Sdn. Bhd., Kuala Lumpur, 1985, hlm. 58
Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar
PEMBAHASAN

A. SEJARAH BUKU

Pada zaman kuno, tradisi komunikasi masih mengandalkan lisan. Penyampaian informasi, cerita-
cerita, nyanyian, doa-doa, maupun syair, disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut. Karenanya,
hafalan merupakan ciri yang menandai tradisi ini. Semakin banyak yang dihafal, orang merasa
kewalahan alias tidak mampu menghafalkannya lagi. Hingga, terpikirlah untuk menuangkannya
dalam tulisan. Maka, lahirlah apa yang disebut sebagai buku kuno.
Buku kuno ketika itu, belum berupa tulisan yang tercetak di atas kertas modern seperti sekarang ini,
melainkan tulisan-tulisan di atas keping-keping batu (prasasti) atau juga di atas kertas yang terbuat
dari daun papyrus3.

Mesir merupakan bangsa yang pertama mengenal tulisan yang disebut hieroglif4. Mereka
menuliskannya di batu-batu atau pun di kertas papyrus. Kertas papyrus bertulisan dan berbentuk
gulungan ini yang disebut sebagi bentuk awal buku atau buku kuno.

Selain Mesir, bangsa Romawi juga memanfaatkan papyrus untuk membuat tulisan. Panjang gulungan
papyrus itu kadang-kadang mencapai puluhan meter. Hal ini sungguh merepotkan orang yang menulis
maupun yang membacanya. Karena itu, gulungan papyrus ada yang dipotong-potong. Papyrus
terpanjang terdapat di British Museum di London yang mencapai 450 meter.

Kesulitan menggunakan gulungan papyrus, di kemudian hari mengantarkan perkembangan bentuk


buku mengalami perubahan. Perubahan itu selaras dengan fitrah manusia yang menginginkan
kemudahan. Dengan akalnya, manusia terus berpikir untuk mengadakan peningkatan dalam peradaban
kehidupannya. Maka, pada awal abad pertengahan, Gulungan diganti oleh codex5.

Perkembangan selanjutnya, orang-orang Timur Tengah menggunakan kulit domba yang disamak dan
dibentangkan. Lembar ini disebut pergamenum yang kemudian disebut perkamen, artinya kertas
kulit. Perkamen lebih kuat dan lebih mudah dipotong dan dibuat berlipat-lipat sehingga lebih mudah
digunakan.

3
Papyrus adalah tumbuhan sejenis alang-alang yang banyak tumbuh di tepi Sungai Nil.
4
Tulisan hieroglif yang diperkenalkan bangsa Mesir Kuno bentuk hurufnya berupa gambar-gambar.
5
Codex adalah lembaran kulit domba terlipat yang dilindungi oleh kulit kayu yang keras
Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar
Di Cina dan Jepang, perubahan bentuk buku gulungan menjadi buku berlipat yang diapit sampul
berlangsung lebih cepat dan lebih sederhana. Bentuknya seperti lipatan-lipatan kain korden. Inilah
bentuk awal dari buku yang berjilid. Buku-buku kuno itu semuanya ditulis tangan. Awalnya yang
banyak diterbitkan adalah kitab suci, seperti Al-Qur’an yang dibuat dengan ditulis tangan.

Di Indonesia sendiri, pada zaman dahulu, juga dikenal dengan buku kuno. Buku kuno itu ditulis di
atas daun lontar. Daun lontar yang sudah ditulisi itu lalu dijilid hingga membentuk sebuah buku.

Perkembangan perbukuan mengalami perubahan signifikan dengan diciptakannya kertas yang sampai
sekarang masih digunakan sebagai bahan baku penerbitan buku. Pencipta kertas yang memicu lahirnya
era baru dunia perbukuan itu bernama Ts’ai Lun6. Penemuan Ts’ai Lun telah mengantarkan bangsa
Cina mengalami kemajuan. Sehingga, pada abad kedua, Cina menjadi pengekspor kertas satu-satunya
di dunia.
Sebagai tindak lanjut penemuan kertas, penemuan mesin cetak pertama kali merupakan tahap
perkembangan selanjutnya yang signifikan dari dunia perbukuan. Penemu mesin cetak itu
berkebangsaan Jerman bernama Johanes Gensleich Zur Laden Zum Gutenberg.

Gutenberg telah berhasil mengatasi kesulitan pembuatan buku yang dibuat dengan ditulis tangan.
Gutenberg menemukan cara pencetakan buku dengan huruf-huruf logam yang terpisah. Huruf-huruf
itu bisa dibentuk menjadi kata atau kalimat. Selain itu, Gutenberg juga melengkapi ciptaannya dengan
mesin cetak. Namun, tetap saja untuk menyelesaikan satu buah buku diperlukan waktu agak lama
karena mesinnya kecil dan jumlah huruf yang digunakan terbatas. Kelebihannya, mesin Gutenberg
mampu menggandakan cetakan dengan cepat dan jumlah yang banyak.

Gutenberg memulai pembuatan mesin cetak pada abad ke-15. Teknik cetak yang ditemukan Gutenberg
bertahan hingga abad ke-20 sebelum akhirnya ditemukan teknik cetak yang lebih sempurna, yakni
pencetakan offset, yang ditemukan pada pertengahan abad ke-20.

Di era modern sekarang ini perkembangan teknologi semakin canggih. Mesin-mesin offset raksasa
yang mampu mencetak ratusan ribu eksemplar buku dalam waktu singkat telah dibuat. Hal itu diikuti
pula dengan penemuan mesin komputer sehingga memudahkan untuk setting (menyusun huruf) dan
lay out (tata letak halaman). Diikuti pula penemuan mesin penjilidan, mesin pemotong kertas,
scanner7, dan juga printer laser8.
6
Ts’ai Lun berkebangsaan Cina. Hidup sekitar tahun 105 Masehi pada zaman Kekaisaran Ho Ti di daratan Cina.
7
Scanner adalah alat pengkopi gambar, ilustrasi, atau teks yang bekerja dengan sinar laser hingga bisa diolah melalui
komputer.
8
Printer Laser adalah alat pencetak yang menggunakan sumber sinar laser untuk menulis pada kertas yang kemudian di
taburi serbuk tinta.
Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar
Semua penemuan menakjubkan itu telah menjadikan buku-buku sekarang ini mudah dicetak dengan
sangat cepat, dijilid dengan sangat bagus, serta hasil cetakan dan desain yang sangat bagus pula. Tak
mengherankan bila sekarang ini kita dapati berbagai buku terbit silih berganti dengan penampilan
yang semakin menarik.

SEJARAH SINGKAT TENTANG BUKU

Buku Antik
Alat komunikasi tertua manusia adalah ucapan dari mulut ke mulut. Belum ada tulisan dan bacaan.
Lama-kelamaan ucapan tersebut menjadi gambar juga tulisan. Manusia zaman dulu menulis dimana
saja, mulai dari batu, pohon, tanah liat, dan kulit binatang. Tulisan yang beraturan secara alpabet baru
ditemukan sekitar 1800 SM di Mesir.

Gulungan Daun Papirus


Pada zaman Mesir kuno, manusia menggunakan daun dari tumbuhan papirus untuk tempat menulis.
Buku ini berbentuk gulungan. Buku gulungan ketika itu juga dipakai di kebudayaan Yunani, Romawi,
Cina, dan lainnya.

Codex
Codex disebut juga sebagai kumpulan naskah kuno yang berisikan tentang
ajaran agama. Codex sendiri diambil dari bahasa Latin, yang berarti blok kayu.
Buku diwaktu itu terbentuk dari blok kayu yang diatasnya dilapisi lilin.
Kelebihannya adalah Codex ini dapat dipakai ulang. Ketika mau menulis yang
baru, lapisan lilinnya dipanasin sehingga meleleh dan kosong, kemudian baru
menulis.

Manuskrip
Manuskrip juga tergolong naskah kuno tetapi lebih rapi daripada Codex. Manuskrip dimulai ketika
Kerajaan Romawi mulai runtuh pada abad kelima. Ketika itu papirus susah didapat karena Romawi
kehilangan kontak dengan Mesir penghasil papirus. Maka mereka menggantinya dengan kulit binatang
sebagai tempat menulis yang sampulnya terbuatu dari kayu.

Incunabulum
Diambil dari bahasa Latin incunabula. Artinya, buku pertama kali dicetak
sebelum tahun 1501. Buku ini bukan tulisan tangan seperti Manuskrip, tetapi
Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar
sudah dicetak. Terdiri dari dua macam yaitu block book dan tifpgrafi. Block book terbuat dari satu
pahatan sering disebutjuga xylographic, sedangkan tipografi adalah cetakan yang ditekan dan dapat
digerakan.

Kertas
Pembuatan kertas sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-11. Tapi sampai abad ke-16 kertas kulit
masih banyak dipakai. Setelah abad ke-16, kertas baru dipakai secara missal. Kertas kuno sebenarnya
telah ditemukan di Cina 200 tahun SM. Tapi tulisan di kertas yang jadi buku baru dimulai abad 11, dan
pabrik kertas pertama kali berdiri di Spanyol tahun 1120.

Modern
Kemajuan tekologi membuat buku berkembang pesat. Mulai abad ke-18 dan 19, buku masih memakai
bahan gabungan seperti sutra. Tetapi sekarang buku terbuat dari kayu.

SEJARAH PERKEMBANGAN BUKU DI INDONESIA

Di Indonesia, awalnya bentuk buku masih berupa gulungan daun lontar. Menurut
Ajib Rosidi (sastrawan dan mantan ketua IKAPI), secara garis besar, usaha penerbitan buku di
Indonesia dibagi dalam tiga jalur, yaitu usaha penerbitan buku pelajaran, usaha penerbitan buku
bacaan umum (termasuk sastra dan hiburan), dan usaha penerbitan buku agama.

Pada masa penjajahan Belanda, penulisan dan penerbitan buku sekolah dikuasai orang Belanda.
Kalaupun ada orang pribumi yang menulis buku pelajaran, umumnya mereka hanya sebagai pembantu
atau ditunjuk oleh orang Belanda. Usaha penerbitan buku agama dimulai dengan penerbitan buku-
buku agama Islam yang dilakukan orang Arab, sedangkan penerbitan buku agama Kristen
umumnya dilakukan oleh orang Belanda.

Penerbitan buku bacaan umum berbahasa Melayu pada masa itu dikuasai oleh orang-orang Cina.
Orang pribumi hanya bergerak dalam usaha penerbitan buku berbahasa daerah. Usaha penerbitan
buku bacaaan yang murni dilakukan oleh pribumi, yaitu mulai dari penulisan hingga penerbitannya,
hanya dilakukan oleh orang-orang Sumatera Barat dan Medan. Karena khawatir dengan
perkembangan usaha penerbitan tersebut, pemerintah Belanda lalu mendirikan penerbit Buku
Bacaan Rakyat. Tujuannya untuk mengimbangi usaha penerbitan yang dilakukan kaum pribumi.
Pada tahun 1908, penerbit ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Hingga Jepang masuk ke

Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar


Indonesia, Balai Pustaka belum pernah menerbitkan buku pelajaran karena bidang ini dikuasai
penerbit swasta belanda.

Sekitar tahun 1950-an, penerbit swasta nasional mulai bermunculan. Sebagian besar berada di pulau
Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka ingin
mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1950
masih diijinkan berusaha di Indonesia.
Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua
perusahaan Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan
perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan jalan memberi subsidi dan bahan baku kertas
bagi para penerbit buku nasional sehingga penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya denga harga
murah.

Pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas mengatur bantuan pemerintah
kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan
perkembangan penerbitan nasional dapat meningkat dengan cepat. Menurut Ikatan Penerbit
Indonesia (IKAPI) yang didirikan 1950, penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula
berjumlah 13 pada tahun 1965 naik menjadi 600-an lebih.

Pada tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akibat dari perubahan itu
adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak akhir
tahun 1965, subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, karena hanya 25% penerbit yang bertahan,
situasi perbukuan mengalami kemunduran.

Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, kemudian
menetapkan bahwa semua buku pelajaran disediakan oleh pemerintah. Keadaan tidak bisa terus-
menerus dipertahankan karena buku pelajaran yang meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu,
diberikan hak pada Balai Pustaka untuk mencetak buku-buku yang dibutuhkan dipasaran bebas. Para
penerbit swasta diberikan kesempatan menerbitkan buku-buku pelengkap dengan persetujuan tim
penilai.

Hal lain yang menonjol dalam masalah perbukuan selama Orde Baru adalah penerbitan buku yang
harus melalui sensor dan persetujuan kejaksaan agung. Tercatat buku-buku karya Pramudya Ananta
Toer, Utuj Tatang Sontani dan beberapa pengarang lainnya, tidak dapat dipasarkan karena mereka
dinyatakan terlibat G30S/PKI. Sementara buku-buku “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai”,

Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar


kemudian “Era Baru, Pemimpin Baru” tidak bisa dipasarkan karena dianggap menyesatkan, terutama
mengenai cerita-cerita seputar pergantian kekuasaan pada tahun 1966.

B. SEJARAH MAJALAH

1. Definisi Majalah

Beberapa ahli, mendefinisikan majalah sebagai kumpulan berita, artikel, cerita, iklan, dan sebagainya,
yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran kuarto atau folio dan dijilid dalam bentuk buku, serta
diterbitkan secara berkala, seperti seminggu sekali, dua minggu sekali atau sebulan sekali. Ada pula
yang membatasi pengertian majalah sebagai media cetak yang terbit secara berkala, tapi bukan terbit
setiap hari. Media cetak itu haruslah bersampul, setidak-tidaknya punya wajah, dan dirancang secara
khusus. Selain itu, media cetak itu dijilid atau sekurang-kurangnya memiliki sejumlah halaman
tertentu. Bentuknya harus berformat tabloid, atau saku, atau format konvensional sebagaimana format
majalah yang kita kenal selama ini.

Menurut suatu literatur, majalah pertama terbit di Inggris tahun 1731 yaitu Gentleman Magazine.
Majalah ini berisi berbagai topik tentang sastra, politik, biografi, dan kritisisme. Kelak, ia menjadi
contoh karakter umum majalah yang biasa dijumpai hingga kini, misalnya berisi humor, esai politik,
sastra, musik, teater, hingga kabar orang-orang ternama. Sepuluh tahun sesudahnya, muncul majalah
pertama di Amerika Serikat.

Namun sumber lain seperti Encyclopedia Americana menyebutkan, majalah dalam bentuk sebagai
sisipan dari suratkabar sudah terbit sejak 1665 di Prancis, yakni Le Journal de savants. Majalah
periodik ini berisi berita penting dari berbagai buku dan penulis, komentar seni, filsafat, dan iptek. Di
Inggris, ada majalah Tatler yang terbit singkat tahun 1709-1711, demikian juga The Spectator (1711-
1712). Gentleman’s Magazine sendiri lebih pas disebut sebagai majalah umum pertama yang tampil
lebih modern, dan bertahan cukup lama hingga 1901.

2. Guttenberg sebagai Pemicu

Dunia cetak-mencetak mulai mengalami kemajuan tak henti-henti sejak dikembangannya mesin cetak
oleh Johannes Guttenberg tahun 1455. Mesin cetak ini merupakan yang pertama kalinya di Eropa
yang menggunakan cetak logam yang dapat digerakkan (movable metal type). Secara dramatis,
penemuan ini meningkatkan kecepatan produksi barang cetakan, termasuk buku dan majalah. Mesin
cetak juga mengurangi waktu yang digunakan dalam produksi buku dan majalah sebelumnya.
Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar
Di Amerika, majalah merupakan media cetak yang terbit belakangan setelah buku dan suratkabar.
Hingga tahun 1800-an, tak satu pun majalah yang terbit sanggup bertahan lebih dari 14 bulan. Sampai
tahun 1890, majalah-majalah terkemuka di Amerika seperti Harper’s, Century, dan Scribner’s
ditujukan untuk kaum minoritas, yakni warga masyarakat yang kaya, agamawan, bangsawan, dan
ilmuwan. Perubahan khalayak dari kalangan tertentu ke masyarakat luas, bagi majalah terjadi 50 tahun
lebih lambat daripada koran. Isi majalahnya pun jauh dari selera, daya tangkap, dan kepentingan orang
kebanyakan. Majalah-majalah yang beredar pada masa itu seperti Atlantic dan Harper’s masih penuh
dengan artikel-artikel yang akan memusingkan orang kebanyakan.

Di masa ini, telah ada mesin cetak, kereta api, dan telegram untuk mengirim-menerima berita. Mesin-
mesin cetak rintisan Guttenberg mulai berubah ke mesin cetak Columbia. Sampai 1825, media cetak
di AS masih menggunakan mesin cetak silinder bertenaga uap yang hanya bisa mencetak 2000
eksemplar per jam. Penggunaan mesin silinder ganda hanya dapat menaikkan produksi dua kali lipat.
Baru setelah mesin cetak putar tenaga listrik digunakan, koran-koran bisa mencetak 20.000
eksemplar per jam.

3. Teknologi dan Peliputan


Kemajuan teknologi juga memudahkan peliputan dan pemberitaan. Naskah dan foto-foto berita bisa
dikirimkan jauh lebih cepat. Pada awal abad ke-19, berita dari Inggris baru bisa dibaca di AS 36 hari
kemudian. Pada tahun 1838, selisih waktunya tinggal tiga, lalu dua minggu. Sejak adanya telegram,
berita di Inggris bisa langsung diketahui di AS.

Sebelumnya, penerbit media cetak juga harus cekatan mengumpulkan berita dari berbagai tempat.
Kadang mereka harus mengirim reporternya dengan kapal uap, kereta kuda atau kudanya sendiri, demi
mempercepat perolehan berita. Dengan telegram, koran Patriot edisi 25 Mei 1844 dapat menjadi yang
pertama memuat berita tentang aksi di Kongres. Ketika terjadi perang saudara, minat publik tentang
peristiwa itu sangar besar, sehingga penerbitan media (koran) mengirimkan pasukan reporternya ke
lapangan agar dapat langsung mengirimnya ke redaksi untuk dicetak. Mesin-mesin tambahan baru pun
dibuat.

Kemajuan ini berlanjut, sejalan dengan perbaikan kondisi sosial yang terjadi akibat revolusi industri.
Di kurun 1800-an itu, menurut Straubhaar dan LaRose (2004), tingkat pendidikan makin baik. Dengan
meningkatnya upah, banyak penduduk pindah ke kota-kota untuk bekerja di bidang-bidang industri.
Kelas menengah kota pun terbentuk. Harga majalah makin murah karena skala ekonomi yang makin

Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar


besar, makin canggihnya teknologi cetak, dan meningkatnya permintaan. Efek positifnya adalah
mempercepat penyebaran buku dan majalah hingga menjadi massal.

Penyebaran teknik cetak foto (photoengraving) sejak akhir abad 19 memudahkan dan mempercepat
reproduksi aspek seni koran dan majalah. Biayanya pun menjadi lebih murah jika dibandingkan
dengan teknik lama yang masih menggunakan batangan-batangan kayu, zincograph, dan pelat-pelat
baja.

4. Perubahan Besar
Perubahan besar dalam industri majalah terjadi pada tahun 1890-an, ketika S.S. McClure, Frank
Musey, Cyrus Curtis, dan sejumlah penerbit lain mulai mengubah industri penerbitan majalah secara
revolusioner. Mereka melihat adanya ratusan ribu calon pelanggan yang belum terlayani oleh majalah
yang ada. Mereka juga melihat bahwa iklan akan memainkan peranan penting dalam perekonomian
AS.

Maka, para tokoh ini menciptakan majalah yang isinya sesuai dengan selera dan kepentingan orang
banyak. Munsey’s dan McClure’s mulai menyajikan liputan olahraga di Harvard yang disusul dengan
artikel olahraga umum, tulisan tentang perang, lagu-lagu populer, para pesohor (selebritis), dan
sebagainya. Curtis lalu menerbitkan majalah khusus kaum ibu, Ladies’ Home Journal, yang kemudian
menjadi majalah pertama yang mencapai tiras 1 juta. Majalah-majalah khusus seni dan arsitektur,
kesehatan, dan sebagainya segera ikut bermunculan. Terjadilah fenomena yang disebut dengan
popularisasi dan segmentasi isi.

Para penerbit majalah juga berusaha menekan harga agar bisa terjangkau oleh orang kebanyakan. Pada
tahun 1893, Frank Munsey menjual Munsey’s seharga 10 sen, jauh lebih murah daripada majalah
lain. Iklan menjadi kian penting daripada harga majalah. Curtis kemudian bahkan menurunkan harga
majalahnya menjadi 5 sen, lebih murah daripada harga kertas majalahnya sendiri.

Isi populer dan harga murah itu sukses menjaring banyak pembeli, sehingga pengiklan pun tertarik.
Kerugian akibat harga yang lebih murah daripada biaya produksi ditutup oleh penghasilan dari iklan.
Redistribusi pendapatan memunculkan kelas menengah yang daya belinya lebih baik, dan mereka
merupakan pasar potensial aneka produk massal yang dapat dijaring melalui iklan di majalah. Hal ini
juga mendorong penerbit untuk berusaha membidik pembeli yang homogen guna memudahkan
segmentasi iklan.

Dulu, untuk mempercepat reproduksi majalah mempekerjakan banyak seniman yang masing-masing
Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar
membuat sebagian gambar yang lalu disatukan sebelum digunakan sebagai materi cetakan. Teknik
cetak foto modern jelas serba lebih mudah. Pengiriman foto juga gampang dilakukan sejak adanya
kamera saku dan jasa pencetakan dan pengiriman foto kilat sejak 1935.

Jika sebelumnya produk bacaan (cetak) dan aksesnya hanya tersedia bagi kalangan tertentu, maka
belakangan produk-produk tersebut dapat diproduksi lebih banyak dan menyebar ke pembaca yang
lebih luas. Terbitan koran dan majalah juga termasuk yang harus berusaha keras menyesuaikan diri
dengan kondisi-kondisi baru ini. Banyak majalah raksasa yang tertekan, Tidak sedikit mingguan atau
bulanan yang sudah puluhan tahun terbit dan berjangkauan luas akhirnya terpaksa tutup.

Majalah yang mampu bertahan umumnya yang bersifat khusus, seperti majalah khusus wisata
(Sunset), olahraga (Sport Illustrated), hobi perahu layar (Yachting), penggemar acara televisi (TV
Guide), atau berita-berita ilmiah (Scientific American). Majalah-majalah yang meliput segala hal
(pusparagam) seperti Collier’s dan Saturday Evening Post, sudah bukan zamannya lagi, bahkan juga
bagi yang awalnya begitu terkenal seperti Life dan Look. Sekarang adalah zaman majalah-majalah
khusus.

5. Iklan dalam Majalah


Peran iklan di media masa sudah terlihat sejak masa Perang Saudara di Amerika. Akan tetapi porsinya
yang signifikan sebagai sumber dana mulai terlihat sejak tahun 1890-an, ketika muncul majalah-
majalah berskala nasional yang berharga murah namun bersirkulasi tinggi. Memasuki paruh kedua
abad 20, peran iklan sudah dominan, namun masih cukup banyak penerbit yang menolak atau
membatasi penerimaan iklan karena khawatir akan mempengaruhi isi terbitannya.

Seorang agen iklan muda bernama George P. Rowell suatu ketika mendekati penerbit Harper’s Weekly
yang sudah memuat iklan kliennya guna mengetahui jumlah sirkulasinya. Pihak penerbit merasa
tersinggung dan menolak iklan yang sama pada edisi berikutnya. Fletcher Harper, pemiliknya, bahkan
pernah menolak tawaran US$ 18.000 untuk memuat iklan mesin jahit di halaman belakang majalahnya
selama setahun. Harper merasa iklan itu tidak layak, dan ia membutuhkan halaman belakang
majalahnya untuk mempromosikan bukunya sendiri.

Pada masa itu sedikit saja majalah yang mencari iklan secara aktif. Satu dari yang sedikit itu adalah
Century, majalah prestisius yang beredar di kalangan berada dan terpelajar. Agresivitasnya dalam
mencari iklan selama 1870-an dan 1880-an turut mengikis keengganan penerbit majalah terhadap
iklan. Di tahun 1890-an, Frank Mursey yang sudah disebut sebelumnya, berjasa menerapkan praktik
penerbitan majalah standar. Ia memasang harga lebih rendah daripada biaya produksi majalahnya
Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar
sendiri, dan kekurangannya itu ia tutupi dengan iklan. Praktik ini kemudian ditiru oleh para penerbit
lainnya.

6. Standarisasi dan Imitasi


Dalam perkembangannya, isi, gaya bahasa, dan format antara majalah-majalah sejenis –misalnya
majalah busana, majalah sastra, atau majalah mingguan— menjadi sangat mirip. Standarisasi ini
merupakan dampak tak terelakkan dari industrialisasi media, mekanisasi, urbanisasi, dan redistribusi
pendapatan. Media telah berubah dari seni menjadi industri yang harus menggunakan teknik-teknik
produksi massal.

Lama-kelamaan, pengasuh majalah harus mengikuti jenis artikel yang sudah terbukti diminati
pembaca, dan ia sama sekali tidak bisa leluasa memilih menurut penilaiannya sendiri. Karakter
majalah harus disesuaikan dengan selera pasar. Walter Hines Page, misalnya, pernah mengasuh
majalah Forum pada 1187-1895. Ia mengejutkan semua stafnya karena menyusun langsung daftar isi
majalahnya sekian bulan ke muka, dan langsung menentukan jenis-jenis artikel yang harus dicari. Ia
melakukan semua ini cukup dengan menyimak artikel apa saja yang sudah terbukti diminati pembaca.
Praktik seperti ini kini sudah lazim di hampir semua majalah.

Imitasi dan peniruan juga terjadi dalam proses standarisasi majalah. Setiap gagasan yang sukses akan
segera beramai-ramai ditiru. Pada tahun 1922, seorang pemuda bernama DeWitt Wallace senang
membaca semua majalah yang ada, lalu memilih dan menghimpun artikel-artikel yang dianggapnya
paling baik atau menarik. Dari kebiasaan ini, timbul ide untuk menerbitkan sebuah majalah ringkas
yang hanya memuat artikel-artikel bermutu. Maka lahirlah Reader’s Digest, yang sampai sekarang
merupakan majalah dengan tiras terbanyak di seluruh dunia. Tidak lama berselang, sekian banyak
majalah sejenis bermunculan sehingga istilah digest merujuk ke jenis majalah seperti itu. Kalau ada
jenis majalah baru, misalnya khusus memuat cerita-cerita detektif, pengakuan pribadi, berita hangat,
majalah khusus yang memuat foto-foto menarik, majalah petualangan, dan sebagainya, yang meraih
sukses maka sekian banyak tiruannya akan segera menyerbu.

7. Sejarah Perkembangan Majalah di Indonesia

Sejarah keberadaan majalah sebagai media massa di Indonesia dimulai pada massa menjelang dan
awal kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta pada tahun 1945 terbit majalah bulanan dengan nama Pantja
Raja pimpinan Markoem Djojohadisoeparto dengan prakarsa dari Ki Hadjar Dewantoro, sedang di
Ternate pada bulan oktober 1945 Arnold Monoutu dan dr. Hassan Missouri menerbitkan majalah
mingguan Menara Merdeka yang memuat berita-berita yang disiarkan radio republic Indonesia. Di

Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar


kediri terbit majalah berbahasa Jawa Djojobojo, pimpinan Tadjib Ermadi. Para anggota Ikatan Pelajar
Indonesia di Blitar menerbitkan majalah berbahasa jawa, Obor (Suluh).

1. Awal Kemerdekaan

Soemanang, SH yang menerbitkan majalah Revue Indonesia, dalam salah satu edisinya pernah
mengemukakan gagasan perlunya koordinasi penerbitan surat kabar, yang jumlahnya sudah mencapai
ratusan. Semuanya terbit dengan satu tujuan, yakni menghancurkan sisa-sisa kekuasaan belanda,
mengobarkan semangat perlawanan rakayat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional
untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat.

2. Zaman orde lama

Pada masa ini, perkembangan majalah tidak begitu baik, kaena relatif sedikit majalah yang terbit.
Sejarah mencatat majalah Star Weekly, serta majalah mingguan yang terbit di Bogor bernama Gledek,
namun hanya berumur beberapa bulan saja.

4. Zaman orde baru

Awal orde baru, banyak majalah yang terbit dan cukup beragam jenisnya, diantaranya di Jakarta terbit
majalah Selecta pimpinan Sjamsudin Lubis, majalah sastra Horison pimpinan Mochtar Lubis, Panji
Masyarakat dan majalah Kiblat. Hal ini terjadi sejalan dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia
yang makin baik, serta tingkat pendidikan masyarakat yang makin maju.

Kategorisasi majalah yang terbit pada masa orde baru, yakni :

1) Majalah berita : Tempo, Gatra, Sinar, Tiras

2) Majalah keluarga : Ayahbunda, Famili

3) Majalah wanita : Femina, Kartini, Sarinah

4) Majalah pria : Matra

5) Majalah remaja wanita : Gadis, Kawanku

6) Majalah remaja pria : Hai

7) Majalah anak-anak : Bobo, Ganesha, Aku Anak Saleh

Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar


8) Majalah ilmiah popular : Prisma

9) Majalah umum : Intisari, Warnasari

10) Majalah hukum : Forum Keadilan

11) Majalah pertanian : Trubus

12) Majalah humor : Humor

13) Majalah olahraga : Sportif, Raket

14) Majalah berbahasa daerah : Mangle (Sunda, Bandung), Djaka Lodang (Jawa, Yogyakarta)

C. SEJARAH SURAT KABAR

Ide surat kabar9 sendiri sudah setua zaman Romawi kuno dimana setiap harinya, kejadian sehari-hari
diterbitkan dalam bentuk gulungan yang disebut dengan “Acra Diurna”, yang terjemahan bebasnya
adalah “Kegiatan hari”. Kemudian Setelah Gutenberg menemukan mesin cetak di abad ke-15, maka
buku-buku pun mulai diterbitkan di Perancis dan Inggris, begitu pula halnya dengan surat kabar.
Surat kabar pertama kali dibuat di Amerika Serikat, dengan nama “Public Occurrenses Both
Foreign and Domestick” di tahun 1690. Surat kabar tersebut diusahakan oleh Benjamin Harris,
seorang berkebangsaan Inggris. Akan tetapi baru saja terbit sekali, sudah dibredel. Bukan karena
beritanya menentang pemerintah, tetapi cuma gara-gara dia tidak mempunyai izin terbit. Pihak
kerajaan Inggris membuat peraturan bahwa usaha penerbitan harus mempunyai izin terbit, di mana hal
ini didukung oleh pemerintah kolonial dan para pejabat agama. Mereka takut mesin-mesin cetak
tersebut akan menyebarkan berita-berita yang dapat menggeser kekuasaan mereka kecuali bila usaha
itu dikontrol ketat.

Kemudian surat kabar mulai bermunculan setelah negara Amerika Serikat berdiri. Saat itu, surat kabar
itupun tidak sama seperti surat kabar yang kita miliki sekarang. Saat itu surat kabar dikelola dalam
abad kegelapan dalam jurnalisme. Sebab surat kabar telah jatuh ke tangan partai politik yang saling
bertentangan. Tidak ada usaha sedikitpun untuk membuat berita secara objektif., kecuali untuk
9
Koran (dari bahasa Belanda: Krant, dari bahasa Perancis courant) atau surat kabar adalah suatu penerbitan yang ringan
dan mudah dibuang, biasanya dicetak pada kertas berbiaya rendah yang disebut kertas koran, yang berisi berita-berita
terkini dalam berbagai topik. Topiknya bisa berupa even politik, kriminalitas, olahraga, tajuk rencana, cuaca. Surat kabar
juga biasa berisi kartun, TTS dan hiburan lainnya.

Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar


menjatuhkan terhadap satu sama lainnya. Washington dan Jefferson dituduh sebagai penjahat terbesar
oleh koran-koran dari lawan partainya.

Apapun situasinya, rakyat hanya menginginkan Amandemen dalam konstitusi yang akan menjamin
hak koran-koran ini untuk mengungkapkan kebohongan yang terburuk sekalipun tanpa takut dibrendel
oleh pemerintah. Presiden John Adams membredel koran ”The New Republik”. Akibatnya partai
Federal pecah dan sebaliknya menguatkan posisi Jefferson. Aksi bredel-membredel ini sampai
membuat keheranan seorang menteri bangsa Prusia yang berkunjung ke Kantor Jefferson. Secara
kebetulan, ia membaca koran dari partai Federalis yang isinya meyerang Jefferson habis-habisan.
Kritik-kritik keras tidak hanya menyerang Washington, Jefferson, John Adams ataupun James
Medison. Dan selama koran tetap dikuasai oleh para anggota partai politik saja, maka tidak banyak
yang bisa diharapkan.

Kemudian kecerahan tampaknya mulai menjelang dunia persurat kabaran. James Gordon Bennet,
seorang berkebangsaan Skotlandia melakukan revolusinisasi terhadap bisnis surat kabar pada 1835.
Setelah bekerja di beberapa surat kabar dari Boston sampai Savannah akhirnya dia pun mendirikan
surat kabar sendiri. Namanya ”New York Herald” dengan modal pinjaman sebesar 500 dollar.
Percetakannya dikerjakan di ruang bawah tanah di Wall Street dengan mesin cetak yang sudah tuam
dan semua pekerjaan reportase dilakukannya sendiri.

”The Herald” dan Bennet memperlihatkan kepada Amerika dan dunia tentang bagaimana cara
mendapatkan berita. Tidak lama kemudian Bennet pun berhasil meraih kesuksesan dan membangun
kantor beritanya sama seperti kantor-kantor perusahaan surat kabar yang banyak kita jumpai sekarang.
Dia juga sudah menempatkan koresponden-korespondennya di luar negeri di mana beritanya dikirim
dengan usaha paket milik Bennet sendiri, dari pelabuhan New York ke kantornya di kota. Dia juga
yang pertama-tama mendirikan biro di Washington, dan memanfaatkan jasa telegraf yang baru saja
ditemukan.

Sejak itulah berita sudah mulai dipilah-pilahkan menurut tingkat kepentingannya, tapi tidak
berdasarkan kepentingan politik. Bennet menempatkan politik di halaman editorial. Isi korannya
yang meliputi soal bisnis, pengadilan, dan kehidupan sosial masyarakat New York memang tidak bisa
dijamin keobyektifatnya, tetapi setidaknya sudah jauh berubah lebih baik dibandingkan koran-koran
sebelumnya.

Enam tahun setelah ”Herald” beredar, saingannya mulai muncul. Horace Greely mengeluarkan
koran “The New York Tribune”. Tribune pun dibaca di seluruh Amerika. Pembacanya yang dominan
adalah petani, yang tidak peduli apakah mereka baru sempat membaca korannya setelah berminggu-

Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar


minggu kemudian. Bagi orang awam, koran ini dianggap membawa perbaikan bagi negara yang saat
itu kurang terkontrol dan penuh bisnis yang tidak teratur.

Koran besar yang ketiga pun muncul di New York di tahun 1851, ketika Henry J. Raymond
mendirikan koran dengan nama “The New York Times”, atas bantuan mitra usahanya, George Jones.
Raymond-lah yang mempunyai gagasan untuk menerbitkan koran yang non partisan kepada
pemerintah maupun perusahaan bisnis. Beruntung, saat itu Presiden Lincoln tidak pernah melakukan
pembredelan terhadap koran-koran yang menyerangnya.

Setelah serentetan perang saudara di Amerika usai, bisnis persuratkabaran pun berkembang luar
biasa. Koran-koran pun mulai muncul di bagian negara-negara selain New York dan Chicago. Di
selatan, Henry W. Grady dengan koran “Konstitusi Atlanta”. Lalu, muncul koran “Daily News” dan
“Kansas City Star” yang mempunyai konsep pelayanan masyarakat sebagai fungsi dari sebuah
sebuah surat koran. Bahkan pemilik Star, Rockhill Nelson bersumpah untuk mengangkat kota Kansas
dari “kubangan lumpur” dan berhasil. Di barat, Jurnalisme Flamboyan diwakili oleh “Denver Post”
dan koran-koran San Fransisco.

Di New York, surat kabar dianggap sebuah bisnis yang bakal menjanjikan. Charles Dana membeli
surat kabar ”Sun” dan menyempurnakannya. Editornya, John Bogart punya cerita sendiri tentang
berita. Menurutnya ”kalau anjing menggigit manusia, itu bukan berita. Tapi kalau manusia menggigit
anjing, itu baru namanya berita”.

James Gordon Bennet Junior (anak Bennet) dan Joseph Pulitzer merupakan rival-rival utama
Dana. Bennet Jr. Memperlihatkan cara membuat berita yang baik. Prestasinya yang paling terkenal
adalah ketika dia mengirimkan Henry Stanley, seorang wartawan London, untuk mencari David
Livingstone, seorang misionaris yang hilang di hutan.

Sedangkan Pulitzer mempunyai koran yang bernama ”New York World” dan terkenal sejak jaman
perang saudara sampai akhir abad itu. Pulitzer melakukan taktik yang lebih baik dibanding para
pendahulunya. Editorialnya yang bersifat perjuangan ke arah perbaikan dan liberal, liputan beritanya
yang serba menarik, dan taktik diversifikasinya mengundang decak kagum seperti yang pernah
dilakukan oleh Herald. Pulitzer adalah yang pertama kali menerbitkan koran mingguan, di mana
isinya ditulis oleh para penulis terbaik yang pernah ada.

Pada tahun 1892 supremasi Pulitzer ditantang oleh William Randolp Hearst lewat koran ”World”.
Dalam hal inovasi dan keberanian, ”World”-nya Hearst lebih dari ”World”-nya Pulitzer. Bukan itu
saja, koran Hearst isi beritanya jauh lebih flamboyan daripada koran Pulitzer. Hearst banyak
mempekerjakan orang-orang terbaiknya Pulitzer. Dia mempekerjakan Richard Outcault, kartunis
Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar
Pulitzer dan mendorongnya untuk menciptakan sebuah featuer bernama ”The Yellow Kid”, yang
menandai lahirnya cergam komik di Amerika.

Pada masa perang antara Amerika dan Spanyol, kedua koran ini berteriak paling keras mendukung
Amerika Serikat untuk terjun perang, memimpin suara rakyat dengan padan suara jurnalisme dalam
skala nasional, dan memojokkan ke dalam konflik yang tidak terhindarkan. Selanjutnya di perang
Amerika-Kuba, keduanya mengalihkan kompetisinya dalam usaha meliput perang.
Setelah Pulitzer meninggal, ”New York World” malah menjadi yang terbesar di dunia. Orang
menyebut Pulitzer sebagai ”wartawannya surat kabar”. Sebaliknya, Hearst bersama koran-koran
lainnya terpukul keras ketika depresi besar terjadi. Tetapi usaha majalahnya yang paling terkemuka,
yakni ”Good Housekeeping” dan ”cosmopolitan” tetap terus berkembang pesat.
Dalam perkembangannya, surat kabar berangkat sebagai alat propaganda politik, lalu menjadi
perusahaan perorangan yang disertai keterkenalan dan kebesaran nama penerbitnya, dan sekarang
menjadi bisnis yang tidak segemerlap dulu lagi, bahkan dengan nama penerbit yang semakin tidak
dikenal.

Perubahan ini memberikan dampak baru. Ketika iklan mulai menggantikan sirkulasi (penjualan
langsung) sebagai sumber dana utama bagi sebuah surat kabar, maka minat para penerbit jadi lebih
identik dengan minat para masyarakat bisnis. Ambisi persaingan untuk mendapatkan berita paling
bagus tidaklah sebesar ketika peloporan. Walaupun begitu, perang sirkulasi masih terjadi pada tahun
1920-an, tetapi tujuan jangka panjang mereka adalah untuk mencapai perkembngan penghasilan dari
sektor iklan. Sebagai badan usaha, yang semakin banyak ditangani oleh para pengusaha, maka surat
kabar semakin kehilangan pamornya seperti yang dimilikinya pada abad ke-19.

Namun, surat kabar kini mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih penting. Surat kabar yang mapan
kini tidak lagi diperalat sebagai senjata perang politik yang saling menjatuhkan ataupun bisnis yang
individualis, melainkan menjadi media berita yang semakin obyektif, yang lebih mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan pihak-pihak tertentu saja.

Kenaikan koran-koran ukuran tabloid di tahun 1920-an yang dimulai oleh ”The New York Daily
News”, memberikan suatu dimensi baru terhadap jurnalisme. Akhirnya memang menjadi kegembiraan
besar bagi kehidupan surat kabar, terutama dalam meliput berita-berita keras. Perubahan lain yang
layak mendapat perhatian adalah timbulnya sindikasi. Berkat adanya sindikat-sindikat10, maka koran-
koran kecil bisa memanjakan pembacanya dengan materi editorial, informasi, dan hiburan. Sebab
kalau tidak, koran-koran kecil itu tentu tidak dapat mengusahakan materi-materi tersebut, lantaran
biaya untuk itu tidaklah sedikit.
10
Sindikat adalah perusahaan yang berhubungan dengan pers yang memperjualbelikan bahan berita, tulisan atau bahan-
bahan lainuntuk digunakan dalam penerbitan pers.
Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar
Tahun 1950, industri televisi mulai mengancam dominasi media cetak. Namun, sampai sekarang,
koran masih bertahan. Kenyataan menunjukkan bahwa koran telah menjadi bagian dari kehidupan
manusia pada umumnya. Dengan karakter khususnya ia mampu membedakan dirinya dari media
lainnya seperti televisi dan radio.

PERKEMBANGAN SURAT KABAR DI INDONESIA

Surat kabar merupakan media massa yang paling tua dibandingkan dengan jenis media massa lainnya.
Sejarah mencatat keberadaan surat kabar dimulai sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johann
Guternberg di Jerman. Sedangkan keberadaan surat kabar di Indonesia ditandai dengan perjalanan
panjang melalui lima periode yakni masa penjajahan Belanda, Penjajahan Jepang, menjelang
kemerdekaan dan awal kemerdekaan, zaman orde baru serta orde baru

1. Zaman Belanda

Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita-berita resmi
pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Sedangkan di Surabaya
Soerabajash Advertentiebland terbit pada tahun 1835 yang kemudian namanya diganti menjadi
Soerabajash Niews en Advertentiebland. Di semarang terbit Semarangsche Advertentiebland dan
Semarangsche Courant. Di Padang surat kabar yang terbit adalah Soematra courant, Padang
Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makassar (Ujung Pandang) terbit Celebe Courant dan
Makassaarch Handelsbland. Surat-surat kabar yang terbit pada masa ini tidak mempunyai arti secara
politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar
setiap kali terbit. Semua penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum
diperiksa oleh penguasa setempat.

Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda,
dan 12 surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalah Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari,
Bintang Djohar, Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan Surat
kabar berbahasa jawa Bromartani yang terbit di Solo

2. Zaman Jepang

Ketika Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat kabar yang ada di Indonesia diambil alih pelan-
pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat-alat tenaga. Tujuan sebenarnya
adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita
Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah
pusat pemberitaan Jepang, yakni Domei.
Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar
Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi
pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat
kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.

3. Zaman Awal Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan, Indonesia pun melakukan perlawanan dalam sabotase komunikasi. Surat
kabar yang diterbitkan oleh bangsa Indonesia pada saat itu merupakan tandingan dari surat kabar yang
diterbitkan pemerintah Jepang.

Surat kabar Berita Indonesia yang diprakarsai oleh Eddie Soeraedi ikut melakukan propaganda agar
rakyat datang berbondong-bondong pada rapat raksasa di lapangan Ikada Jakarta tanggal 19
September 1945. Surat kabar perjuangan lainnya antara lain adalah Merdeka yang didirikan oelh B.M
Diah, Harian Rakyat dengan pemimpin redaksi Samsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Soeara
Indonesia pimpinan Manai Sophian di Makassar, Pedoman Harian yang berganti nama Soeara
Merdeka di Bandung, Kedaulatan rakyat di Bukit tinggi, serta surat kabar Demokrasi dan Oetoesan
Soematra di Padang.

4. Zaman Orde Lama

Setelah presiden soekarno mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959,
terdapat larangan kegiatan politik termasuk pers. Persyaratan mendapatkan (SIT) surat izin terbit dan
surat izin cetak diperketat. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
pada saat itu amat menaruh perhatian pada pers. PKI memanfaatkan para buruh, termasuk karyawan
surat kabar untuk melakukan apa yang dinamakan slowdown strike, yakni mogok secara halus. Dalam
hal ini karyawan dibagian setting memperlambat kerja sehingga banyak kolom surat kabar yang tidak
terisi menjelang deadline (batas waktu cetak). Akhirnya kolom kosong itu diisi iklan gratis
sebagaimana dialami oleh Soerabaja Post dan Harian Pedoman di Jakarta. Pada masa inlah sering
terjadi polemic antara surat kabar yang pro PKI dan anti PKI

4. Zaman Orde Baru

Pertumbuhan pers yang marak di satu pihak cukup sangat menggembirakan, tapi di lain pihak perlu
diwaspadai. Karena masih banyak surat kabar atau majalah yang terdorong oleh tujuan komersial
ataupun motif lainnya menyajikan berita-berita sensasional tanpa adanya norma-norma kesusilaan,
sopan santun, kerahasian Negara dan kurang memperhatikan akibat tulisan yang dapat menyebabkan
disintegrasi rakyat.

Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar


KESIMPULAN

Sejarah buku, majalah, dan surat kabar tidak terlepas dari sejarah perkembangan komunikasi dan
teknologi komunikasi. Dan perkembangan sejarah ini juga tidak terlepas dari pengaruh kekuasaan
(misalnya politik, negara, dsb). Oleh sebab itu, perlu kita sadari bahwa pentingnya untuk mengetahui
perkembangan sejarah buku, majalah, dan surat kabar sebagai bahan literatur kita.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Husein, 15 Februari 2006. Asal Usul Majalah, http://duamata.blogspot.com/2006/02/pasang-


surut-majalah.html, diakses 31 mei 2009

Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala. 2004. Komunikasi massa:Suatu pengantar. Bandung ;
Simbiosa Rekatama Media, 24 September 2008, SEJARAH PERKEMBANGAN MEDIA MASSA
DI INDONESIA (1), http://angelicus.wordpress.com/2008/09/24/sejarah-perkembangan-media-
massa-di-indonesia-1/, diakses 26 Mei 2009

Artikel non personal, 14 November 2007, Definisi Sejarah,


http://lpsa.wordpress.com/2007/11/14/definisi-sejarah/, diakses 3 Juni 2009

Bachtiar Hakim, 16 Maret 2008, SEJARAH PERKEMBANGAN MEDIA MASSA


CETAK (KORAN), http://bachtiarhakim.wordpress.com/2008/03/16/sejarah-perkembangan-
media-massa-cetak-koran/, diakses 26 Mei 2009

Badiatul Muchlisin Astii, Mengenal Sejarah Buku, http://www.penulissukses.com/penulis12.php,


diakses 31 mei 2009

Heru Sutadi, 03 Maret 2009, Sejarah Penerbitan Buku di Indonesia,


http://hsutadi.blogspot.com/2009/03/sejarah-kelahiran-buku-dan.html. diakses 3 Juni 2009

MAKALAH
SEJARAH BUKU, MAJALAH, DAN SURAT KABAR
MATA KULIAH SEJARAH MEDIA

Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar


Oleh:
Kartini Rosmala D. K.
Sukandi
Indah Lestarie

Jurusan Ilmu Komunikasi


Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa
Universitas Islam ”45” Bekasi
2009

DAFTAR ISI

Latar Belakang ..................................................................................................................... 1


Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
Pembahasan .......................................................................................................................... 2

Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar


A. Sejarah Buku ...................................................................................... 2
B. Sejarah Majalah .............................................................................................. 7
C Sejarah Surat Kabar ................................................................................................................................ 1
3
Kesimpulan .......................................................................................................................... 1
9
DAFTAR PUSTAKA

Sejarah Buku, Majalah, dan Surat Kabar

You might also like