You are on page 1of 2

Hak-hak Asasi Anak

TAHUKAH Anda? Sekitar 40.000-50.000 anak kita (di bawah usia 18 tahun) telah berpredikat "anak-anak
jalanan"; sekitar 1,6 juta anak berpredikat "buruh" dan sekitar 400.000 anak berpredikat "pengungsi
domestik". Sementara itu, anak-anak penderita cacat berkisar 10,6 juta. Yang putus sekolah sekitar 11,7
juta. Anak-anak korban seksual mencapai 40.000-70.000 orang. Lalu, sekitar 871 anak menjadi korban
kekerasan! (Pusat Data & Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak). Belum lagi yang menjadi
korban narkoba! Anak-anak yang sedang mendapat perawatan akibat narkoba di Bina Rumwattik
Pamardisiwi, Badan Koordinasi Narkotik Nasional per Desember 2000, sebanyak 282 anak (248 pria, 34
perempuan).
Ini belum termasuk mereka yang sedang dirawat di tempat-tempat rehabilitasi lain. Yang memilukan
adalah berita kasus "jual-beli" anak-anak demi kebutuhan finansial sesaat (Kompas, 26/11/2001,
Teganya Menjual Anak Sendiri). Anak-anak di-"obyek"-kan, dijadikan semacam "barang" yang bila
menyenangkan akan dipertahankan, bila tidak akan dibuang atau diperjualbelikan. Begitulah potret
sebagian wajah dunia anak-anak dalam negara kita yang hingga kini masih dililit krisis multidimensi.
Harus diakui, sebagian anak-anak kita sedang tertekan lahir, batin, dan sosial (Bandingkan Khofifah Indar
Parawansa saat membuka seminar Membangun Generasi Baru tanpa Kekerasan, Jakarta 14/6/2001).
Dalam keadaan sosial tanpa jaminan dan keamanan, pertumbuhan, dan perkembangan anak-anak kita
sulit mendapatkan iklim sehat. Makanan sehari-hari yang bergizi sulit diperoleh. Ibu sering meng-"obyek"-
kan anak-anak untuk mendapat sumbangan sukarela di perempatan jalan-jalan raya. Anak-anak dijemur
dan tidak mendapat perlindungan sebagaimana mestinya. Anak-anak tidak berkesempatan bersekolah,
karena harus mencari nafkah sehari-hari. Jaminan sosial bagi anak-anak, termasuk anak-anak cacat,
amat sulit diharapkan. Biaya pengobatan tak terjangkau. Ke manakah generasi muda kita?
Akibatnya, sebagian generasi masa depan bangsa kita itu akan menjadi orang-orang buta huruf, kaum
buruh, tak memiliki tempat tinggal tetap (karena mengungsi), peminat barang-barang terlarang (narkoba)
bahkan memiliki trauma psikis berkepanjangan karena tindak kekerasan amoral di bidang seksual. Sejak
kecil mereka sudah berurusan dengan dunia hukum positif dan masuk-keluar penjara. Masa depan
mereka serba tidak menentu, karena tidak disiapkan dengan baik dan bijaksana. Menghadapi dan
menanggapi keadaan sosial yang memprihatinkan ini, apakah yang perlu segera diperbuat?
Tanggung jawab orangtua
Kecepatan pertambahan penduduk Indonesia termasuk salah satu gejala sosial yang perlu dicermati
bangsa dan negara kita. Keadaan ini, antara lain, dipengaruhi filsafat hidup suatu masyarakat, "banyak
anak, banyak rezeki", misalnya, ikut mewarnai pelipatgandaan penduduk kita. Yang diutamakan oleh
pandangan hidup ini adalah hubungan antara "anak" dan "rezeki". Anak dipandang sebagai "makhluk
pembawa rezeki". Optimisme dalam pandangan hidup ini sering melupakan dimensi tanggung jawab
orangtua terhadap anak-anaknya. Anak-anak terutama diharapkan bisa mengemban tanggung jawab
terhadap orangtua. Sedangkan pemeluk pandangan hedonisme agaknya akan mendahulukan
"kebahagiaan" dalam proses merencanakan kelahiran anak. Cukup sering (maaf!) anak lahir sebagai
"dampak samping" rekreasi sesaat. Tak heran, ada yang ingin melepas tanggung jawab dengan
meniadakan embrio dalam kandungannya karena anak-anak lahir di luar rencana semula. Kehadiran
anak-anak itu tidak didambakan sebelumnya.
Di balik pengaruh pandangan hidup berbeda itu, dimensi tanggung jawab perlu mendapat perhatian
utama orangtua. Bahwa kehadiran seorang anak perlu dipandang sebagai "anugerah" yang di dalamnya
mengandung "tanggung jawab" (Gabe ist Aufgabe). Kehadiran anak-anak, menurut sudut pandang
tertentu, tidak dapat dipandang sebagai hasil prestasi manusia belaka, sebab kehadiran mereka
menunjukkan kehadiran Sang Khalik. Anak-anak dalam keluarga dapat dipandang sebagai "titipan"
Pencipta. Sikap tanggung jawab orangtua atas diri anak dituntut. Sebagai bagian golongan lemah, anak-
anak sebenarnya sedang "menuntut" tanggung jawab orangtua yang telah melahirkannya.
Tanggung jawab orangtua terhadap anak-anak seharusnya sudah terjadi sejak dalam kandungan hingga
embrio itu lahir sebagai anak manusia. Tanggung jawab ini mencakup kehidupan, pertumbuhan,
kesehatan, pendidikan, dan bekal-bekal yang mereka perlukan supaya bisa berdikari di masa depan.
Anak-anak tidak bisa dibiarkan bertumbuh dan berkembang secara alami. Pendidikan amat diperlukan.
Bukti tanggung jawab ini seharusnya tampak dalam pola pikir dan perilaku orangtua yang telah
melahirkan mereka. Meminta-minta sambil menggendong anak-anak yang baru berusia 2-3 tahun
agaknya memperalat pribadi anak-anak manusia yang bermartabat luhur. Apakah manusia wajib
melahirkan anak jika orangtua tidak mampu menghidupi dan membesarkannya secara bertanggung
jawab?
Pelalaian tanggung jawab orangtua terhadap anak mendatangkan penderitaan dan masa depan yang
berat bagi anak-anak manusia dalam dunia kita. Kurangnya pemeliharaan, pendidikan, dan penempaan
anak-anak, akan turut merumitkan tatanan dan isi hidup sosial masyarakat. Tidak ringan bagi keluarga-
keluarga untuk menyiapkan anak-anaknya dalam menghadapi masa depan yang cerah dan lebih baik.
Tantangan akan tetap ada. Namun, jalan keluar tetap bisa ditemukan, bila terjalin kerja sama yang baik
dalam menyiapkan anak-anak menghadapi dan mengisi masa depan keluarga, masyarakat, dan negara
kita. Pelalaian tanggung jawab orangtua terhadap anak merupakan pelalaian tanggung jawab keluarga
dalam menyiapkan "sel-sel baru" hidup masyarakat. Peran keluarga sebagai tempat pembentukan
kesatuan sosial, sel yang menjadikan organisme masyarakat (Bdk Auguste Comte:1798-1857) mulai
dilupakan banyak pihak dalam dunia modern.
Perjuangkan hak-hak asasi anak-anak
Selain adanya tanggung moral orangtua, anak-anak yang baru dilahirkan sudah memiliki hak-hak asasi
kodrati yang sama sekali bukan pemberian atau hadiah penguasa negara. Pemilikan hak-hak dasar ini,
antara lain, telah dijamin Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Asasi Anak tahun 1924 dan Deklarasi Hak-
hak Anak yang disetujui Majelis Umum PBB tahun 1959. Hak-hak ini juga diakui dalam Deklarasi Hak-hak
Asasi Manusia Sedunia!
Ketentuan Pasal 2 Konvensi Hak-hak Anak yang diterima Majelis Umum PBB, 20 November 1989,
misalnya, menggarisbawahi pentingnya dan perlunya menegakkan kembali hak-hak asasi yang dimiliki
anak-anak. Negara-negara peserta Konvensi ini berjanji akan menghormati dan menjamin hidup dan hak-
hak tiap anak yang ditetapkan dalam Konvensi tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun, tanpa
memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal-
usul bangsa, suku bangsa atau sosial, harta kekayaan, cacat kelahiran atau status lain dari anak atau
dari orang tua anak atau walinya yang sah menurut hukum.
Tanggung jawab atas perwujudan hak-hak asasi ini mencakup tindak perlindungan, pemeliharaan hidup,
pertolongan dan penyediaan fasilitas yang memungkinkan anak-anak untuk berkembang dan menjadi
manusia yang sanggup berdikari dan menentukan masa depan dengan bebas dan bertanggung jawab.
Kemerdekaan dalam bidang berpikir, bertindak sesuai dorongan hati nurani dan memeluk agama.
Pemenuhan kebutuhan pokok dalam bidang kesehatan dan pendidikan termasuk prasyarat yang sama
sekali tak bisa dilalaikan. Wujud tanggung jawab ini terutama terletak pada bahu orangtua yang telah
melahirkan anak. Pelalaian atas tanggung jawab hakiki ini hanya akan menyengsarakan hidup anak di
masa depan, yang juga berarti menyengsarakan masa depan masyarakat kita.
Tiap penegak hukum dan pencinta keadilan sebenarnya bisa berperan banyak dalam membela dan
memperjuangkan hak-hak asasi anak-anak sebagai golongan tak berdaya. Bahkan, tiap orang dewasa
seharusnya menjadi pembela utama hak-hak asasi anak-anak. Pendekatan hukum positif saja rasanya
tidak memadai, tetapi suatu pendekatan sosiologis akan amat penting dalam memperjuangkan
perwujudan hak-hak asasi anak-anak. Penyuluhan-penyuluhan yang berkenaan dengan masalah
pembentukan keluarga dan tanggung jawab orangtua akan ikut membantu banyak pihak lebih menyadari
tanggung jawab kodrati mereka yang telah melahirkan anak. Mungkin, melalui kegiatan itu, kasus-kasus
aborsi bisa direduksi, karena penyuluhan ini akan menekankan dimensi kesadaran akan tanggung jawab
orangtua. Barangkali, mutu hidup anak-anak kita sebagai generasi masa depan bangsa akan lebih baik.
Tanggung jawab bersama menyiapkan generasi muda dalam mengarungi masa depan nusa dan bangsa
kita termasuk tugas luhur dan berat. Langkah awal perwujudan tanggung jawab ini adalah
memperjuangkan dan membela hak-hak asasi anak-anak yang sering di-"obyek"-kan, dieksploatasi,
diperdagangkan, diselundupkan, bahkan dibunuh melalui proses pengguguran. Diperlukan suatu lahan
baru bagi kelahiran suatu generasi baru yang tidak lagi buta huruf, yang tidak mudah dibodohi, dibohongi,
dan ditipu oleh mereka yang pintar, berduit dan berkuasa amat diperlukan oleh bangsa kita yang baru
akan mulai bereformasi. Reformasi yang dicanangkan bangsa kita tampaknya perlu segera dimulai dari
generasi anak-anak, karena telah muncul aura, reformasi di kalangan generasi "orang dewasa" sedang
mengalami krisis. Save the children! *

You might also like