Professional Documents
Culture Documents
Menggali Warna 1
Hidup dan Dihidupkan dalam Cerita
Pengaruh cerita Pak Amat dengan kawan-kawannya
benar-benar membekas dalam hati saya. Dengan ditemani
Jajat yang sama-sama belajar silat Cimande di Gang Selot,
kami berdua masuk kebun raya Bogor untuk mencari tahu
keberadaan beliau atau jika beruntung mungkin bisa bertemu
dengan beliau secara tidak sengaja.
Pada pertengahan tahun 70-an tembok pagar kebun raya
belum ditinggikan. Rendahnya tembok pagar ini sangat
membantu kami untuk masuk kebun raya tanpa harus melapor
atau mebayar. Dengan bermodalkan lampu senter dua batu,
kami berdua menyusuri seluruh areal kebun raya dan
mendatangi tempat-tempat yang diberitakan pernah terjadi
perjumpaan. Hanya wilayah istana Bogor yang tidak kami
masuki. Meskipun CPM penjaga istana tidak ada yang patroli
sampai ke belakang istana pada malam hari, akan tetapi tidak
ada satupun dari kami berdua yang memiliki cukup keberanian
melompat pagar istana.
Hampir tiga kali dalam seminggu kami mengendap-endap
dekat kuburan Mbah Jeprak yang berada dekat pagar istana di
bagian belakang hanya untuk melihat apa yang di lakukan
orang-orang yang duduk di sekitar kuburan. Ada yang duduk
diam seperti patung selama berjam-jam dan ada juga yang
hanya tidur-tiduran beberapa menit dan kemudian pulang.
Rata-rata setiap acara ritual dilakukan sekurang-kurangnya oleh
dua orang dan tidak lebih dari lima orang. Jarang sekali yang
berani datang sendiri.
Tidak ada yang berbicara dengan suara keras di tempat
ini. Mereka hanya berbisik-bisik di antara mereka dan terus
terdiam agak lama. Entah siapa yang disebut dengan Mbah
Jeprak yang secara rutin selalu didatangi oleh peziarah.
Bahkan jika ditanyakan kepada kuncennya, mereka hanya
Menggali Warna 2
mengatakan bahwa Mbah Jeprak adalah salah satu keturunan
Siliwangi yang dituakan di wilayah Bogor.
Hasilnya, hampir selama satu setengah tahun berkunjung
ke kebun raya, kami tidak pernah melihat Sukarno atau
bayangannya sekalipun. Sukarno seolah-olah raib ketika kami
berusaha bertemu beliau. Hanya saja dalam perjalanan
pencarian kami, banyak cerita-cerita pertemuan beliau dengan
beberapa orang yang sempat kami ajak bicara.
Ketidakberkenannya beliau untuk bertemu dengan kami
berdua telah membawa kepada pemikiran bahwa cerita
pertemuan dengan Sukarno dengan berbagai kalangan hanya
sebatas cerita saja untuk kami yang baru duduk di kelas satu
SMA. Rasanya belum pantas kami bertemu dengan beliau
karena dianggap belum cukup umur. Itu saja alasan yang bisa
dihasilkan oleh pemikiran dua orang yang mencoba mencari
alasan mengapa beliau tidak berhasil kita temukan.
Secara tidak sengaja ritual pencarian Sukarno pun
terhenti. Banyak kemarahan orang tua yang harus saya terima
karena keterlambatan waktu untuk sampai di rumah setiap kali
selesai latihan silat. Akhirnya diputuskan saya tidak boleh lagi
latihan silat Cimande yang dilakukan malam hari.
Keputusan untuk harus tetap tinggal berada di dalam
rumah pada malam hari membuat saya lebih tertarik untuk
membaca buku Di Bawah Bendera Revolusi, yang tebalnya
hampir sama dengan tinggi kotak rokok. Setiap halaman dibaca
untuk mendapat pemahaman yang lebih lengkap tentang beliau.
Celakanya hampir tidak ada yang dapat dimengerti oleh anak
yang baru duduk di kelas dua SMA.
Pemahaman terhadap Soekarno menjadi lebih didasarkan
pada cerita orang-orang yang masa mudanya begitu terpesona
oleh kepiawaian beliau. Sampai perjalanan lima tahun ke
depan, pemahaman terhadap kepemimpinan Soekarno semakin
menjadi tidak luar biasa. Akan tetapi bagi seorang anak muda
Menggali Warna 3
yang tidak pernah melihat keajaiban, Soekarno adalah satu
keajaiban yang mudah dimengerti oleh anak muda ketika itu.
Dari perjalanan tersebut diperoleh pemahaman bahwa
beberapa bagian masyarakat mengharapkan terjadinya suatu
keajaiban dengan lahirnya seorang pemimpin nasional yang
mampu meningkatkan setinggi-tingginya kesejahteraan rakyat
dan disegani oleh dunia. Soekarno yang hanya berkesempatan
merasakan sedikit keajaiban, secara bersama-sama digali oleh
masyarakat dengan cara menambahkurangkan untuk
membentuk sosok pemimpin nasional yang memiliki keajaiban
secara imajinatif.
Ternyata sebagian besar dari kelompok masyarakat ini
adalah kelompok yang terpinggirkan secara ekonomi dan
mengalami berbagai ketidakadilan prilaku masyarakat lainnya,
sehingga berharap lahirnya pemimpin nasional yang mampu
membuat berbagai keajaiban dalam mensejahterakan
rakyatnya. Ditambah dengan terjadinya bencana alam yang
berturut turut menghilangkan banyak nyawa rakyat, maka
secara perlahan mulai tumbuh keyakinan yang besar dalam
kelompok masyarakat akan lahirnya seorang pemimpin
harapan.
Di satu sisi, pemimpin harapan ini digambarkan sebagai
pemimpin yang memiliki wibawa dan kekuasan di atas pemimpin
dunia yang ada pada saat itu. Di sisi lain timbul juga
pemahaman bahwa bentuk negara akan berubah menjadi
kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang sangat disegani
oleh dunia.
Tidak pernah terfikirkan oleh masyarakat yang terus
bermimpi bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak akan berubah hanya dengan lahirnya seorang pemimpin
yang ajaib. Perubahan bentuk negara oleh pemimpin dengan
keajaiban seperti ini akan mengakibatkan lahirnya pergolakan
yang berujung kepada perubahan pengertian terhadap
pemimpin yang ajaib kepada pemimpin yang membawa azab.
Menggali Warna 4
Pemimpin Besar Kelompok Amanah
Menggali Warna 5
Kelompok amanah yang terdiri dari orang setengah baya
sering mengaku mendapatkan wahyu atau pertemuan dengan
Soekarno yang bertugas untuk menyelesaikan dan
menyerahkan kembali seluruh harta tersebut kepada rakyat.
Sedangkan kelompok amanah yang terdiri dari anak muda
berafiliasi dengan salah satu kelompok amanah yang berada di
daerah mereka dan diberikan nomor sandi atau pin yang
menjadi tanda bagi kelompok mereka sendiri.
Kelompok ini telah tersebar secara luas dari kota besar
sampai ke desa-desa terpencil di pedalaman di seluruh pulau
Jawa. Sedikit dari kelompok amanah yang bertempat tinggal di
luar pulau Jawa.
Dari seluruh kelompok amanah yang ada, terdapat ciri
utama yang sama di antara mereka, yaitu mereka menganggap
bahwa kekayaan republik yang diserahkan Soekarno kepada
mereka sepenuhnya merupakan tanggung jawab setiap anggota
kelompok. Ciri yang kedua adalah bahwa seluruh sistem
komunikasi di antara kelompok amanah dengan Soekarno di
lakukan berdasarkan pendekatan spritual yang dipimpin oleh
oleh orang yang tertua yang disebut abah, mbah, bunda atau
sebutan lainnya, yang menggambarkan adanya kemampuan
spiritual yang tinggi di dalam diri pemimpin tersebut. Ciri yang
ketiga adalah harta tersebut tidak diperkenankan untuk dijual
belikan, akan tetapi dapat ditukar dengan mahar atau mas kawin
dan baru kemudian dapat dipindah tangankan. Ciri yang
keempat adalah seluruh harta merupakan milik rakyat yang
harus diserahkan kembali kepada rakyat dengan mekanisme
yang mereka tentukan. Artinya, secara implisit seluruh ciri
tersebut merupakan penjabaran pesan Soekarno kepada setiap
kelompok amanah dalam menjalankan tugas mereka.
Fanatisme inilah yang menyebabkan Soekarno tetap
hidup dan dihidupkan kembali oleh penganutnya tanpa
memperdulikan kenyataan bahwa beliau sudah meninggal dan
dikuburkan di Blitar. Jadi tidak mengherankan jika saat ini
Menggali Warna 6
banyak yang menganggap Soekarno masih hidup dalam
keadaan sehat wal afiat dan tetap awet muda.
Anggapan tentang Soekarno yang masih hidup menjadi
sulit dibedakan secara nyata atau tidak nyata. Pada
pelaksanaannya, setiap anggota kelompok amanah selalu
mendasarkan kegiatannya seolah-olah Soekarno masih hidup
dan tetap menjadi pemimpin besar kelompok amanah.
Menggali Warna 8
Proses pembodohan masyarakat ini tidak dapat
digunakan untuk mempersalahkan Soekarno. Soekarno lebih
tepat disebut sebagai sosok yang menjadi korban karena
memiliki sedikit keajaiban dan sebagai individu yang harus
bertanggung jawab terhadap proklamasi yang menjanjikan
kesejahteraan yang setinggi-tingginya bagi rakyat.
Menggali Warna 9
seolah-olah konsep gotong royong merupakan penemuan baru
dan bukan lahir dari proses perkembangan budaya yang
panjang. Seketika itu pula konsep gotong royong menjadi
jargon besar yang mengusung dan menjunjung tinggi
pertumbuhan individualisme dengan mengatas-namakan
gotong-royong. Keadaan ini dibuktikan dengan semakin tidak
percayanya manusia Indonesia terhadap koperasi dan mulai
malasnya tuan-tuan besar di kota besar untuk ikut kegiatan
ronda atau membersihkan saluran air di depan rumahnya.
Kalaupun Soekarno pada saat ini masih hidup akan
kehabisan kata-kata untuk kembali menjelaskan betapa
pentingnya konsep gotong-royong dan renteng-tanggung yang
menjadi dasar budaya dalam pembentukan sistem
perekonomian, pertahanan dan keamanan. Bahkan mungkin
Soekarno akan berdoa setiap hari agar lebih cepat dipanggil
oleh Yang Maha Kuasa ketika melihat bangsa ini menggunakan
gotong-royong sebagai dasar tindak kejahatan korupsi dan
pengabaian terhadap peraturan perundangan oleh setiap
elemen bangsa.
Menggali Warna 10