You are on page 1of 10

Soekarno

sosok yang hidup dalam cerita

Banyak hal yang bisa membuat fikiran


manusia yang masih menjejak bumi ini terkejut,
yaitu ketika mendengar bahwa Soekarno
presiden pertama Republik Indonesia masih
hidup. Pertama kali mendengar bahwa beliau
masih hidup berasal dari pengakuan Pak Amat
seorang penjual pisang ambon yang sering
mangkal di sekitar pintu Kebun Raya Bogor. Hampir setiap
malam setelah waktu isya, Pak Amat dan teman-temannya
berkumpul di beranda rumah panggung yang berlantai geribik
untuk menceritakan tentang kesaksian si Anu atau si Ini yang
juga memiliki pengalaman yang sama dengan Pak Amat.
Saya melihat Pak Karno menggunakan caping bambu
berjalan memeriksa kebun raya, Ucap Pak Amat berkali-kali
untuk menyakinkan teman bicaranya. Dan ini bukan penglihatan
yang pertama kali bagi Pak Amat, yang melihat dan sering
berpapasan dengan beliau di sekitar kebun raya Bogor.
Anehnya tidak ada satu orangpun yang meragukan cerita Pak
Amat, bahkan kemudian pembicaraan mulai menghangat ketika
teman bicaranya menambahkan cerita kesaksian orang lain
yang juga melihat beliau di sekitar Istana Batutulis.
Masih jelas dalam ingatan saya ketika mantan presiden
pertama RI dikabarkan meninggal di Jakarta dan kemudian di
kuburkan di Blitar. Hampir setiap orang dewasa yang kebetulan
bertemu akan membicarakan beliau. Bahkan orang tua sayapun
yang terkenal pendiam, juga ikut membicarakan dan tampak
sedih dengan beredarnya berita kematian tersebut.

Menggali Warna 1
Hidup dan Dihidupkan dalam Cerita
Pengaruh cerita Pak Amat dengan kawan-kawannya
benar-benar membekas dalam hati saya. Dengan ditemani
Jajat yang sama-sama belajar silat Cimande di Gang Selot,
kami berdua masuk kebun raya Bogor untuk mencari tahu
keberadaan beliau atau jika beruntung mungkin bisa bertemu
dengan beliau secara tidak sengaja.
Pada pertengahan tahun 70-an tembok pagar kebun raya
belum ditinggikan. Rendahnya tembok pagar ini sangat
membantu kami untuk masuk kebun raya tanpa harus melapor
atau mebayar. Dengan bermodalkan lampu senter dua batu,
kami berdua menyusuri seluruh areal kebun raya dan
mendatangi tempat-tempat yang diberitakan pernah terjadi
perjumpaan. Hanya wilayah istana Bogor yang tidak kami
masuki. Meskipun CPM penjaga istana tidak ada yang patroli
sampai ke belakang istana pada malam hari, akan tetapi tidak
ada satupun dari kami berdua yang memiliki cukup keberanian
melompat pagar istana.
Hampir tiga kali dalam seminggu kami mengendap-endap
dekat kuburan Mbah Jeprak yang berada dekat pagar istana di
bagian belakang hanya untuk melihat apa yang di lakukan
orang-orang yang duduk di sekitar kuburan. Ada yang duduk
diam seperti patung selama berjam-jam dan ada juga yang
hanya tidur-tiduran beberapa menit dan kemudian pulang.
Rata-rata setiap acara ritual dilakukan sekurang-kurangnya oleh
dua orang dan tidak lebih dari lima orang. Jarang sekali yang
berani datang sendiri.
Tidak ada yang berbicara dengan suara keras di tempat
ini. Mereka hanya berbisik-bisik di antara mereka dan terus
terdiam agak lama. Entah siapa yang disebut dengan Mbah
Jeprak yang secara rutin selalu didatangi oleh peziarah.
Bahkan jika ditanyakan kepada kuncennya, mereka hanya

Menggali Warna 2
mengatakan bahwa Mbah Jeprak adalah salah satu keturunan
Siliwangi yang dituakan di wilayah Bogor.
Hasilnya, hampir selama satu setengah tahun berkunjung
ke kebun raya, kami tidak pernah melihat Sukarno atau
bayangannya sekalipun. Sukarno seolah-olah raib ketika kami
berusaha bertemu beliau. Hanya saja dalam perjalanan
pencarian kami, banyak cerita-cerita pertemuan beliau dengan
beberapa orang yang sempat kami ajak bicara.
Ketidakberkenannya beliau untuk bertemu dengan kami
berdua telah membawa kepada pemikiran bahwa cerita
pertemuan dengan Sukarno dengan berbagai kalangan hanya
sebatas cerita saja untuk kami yang baru duduk di kelas satu
SMA. Rasanya belum pantas kami bertemu dengan beliau
karena dianggap belum cukup umur. Itu saja alasan yang bisa
dihasilkan oleh pemikiran dua orang yang mencoba mencari
alasan mengapa beliau tidak berhasil kita temukan.
Secara tidak sengaja ritual pencarian Sukarno pun
terhenti. Banyak kemarahan orang tua yang harus saya terima
karena keterlambatan waktu untuk sampai di rumah setiap kali
selesai latihan silat. Akhirnya diputuskan saya tidak boleh lagi
latihan silat Cimande yang dilakukan malam hari.
Keputusan untuk harus tetap tinggal berada di dalam
rumah pada malam hari membuat saya lebih tertarik untuk
membaca buku Di Bawah Bendera Revolusi, yang tebalnya
hampir sama dengan tinggi kotak rokok. Setiap halaman dibaca
untuk mendapat pemahaman yang lebih lengkap tentang beliau.
Celakanya hampir tidak ada yang dapat dimengerti oleh anak
yang baru duduk di kelas dua SMA.
Pemahaman terhadap Soekarno menjadi lebih didasarkan
pada cerita orang-orang yang masa mudanya begitu terpesona
oleh kepiawaian beliau. Sampai perjalanan lima tahun ke
depan, pemahaman terhadap kepemimpinan Soekarno semakin
menjadi tidak luar biasa. Akan tetapi bagi seorang anak muda

Menggali Warna 3
yang tidak pernah melihat keajaiban, Soekarno adalah satu
keajaiban yang mudah dimengerti oleh anak muda ketika itu.
Dari perjalanan tersebut diperoleh pemahaman bahwa
beberapa bagian masyarakat mengharapkan terjadinya suatu
keajaiban dengan lahirnya seorang pemimpin nasional yang
mampu meningkatkan setinggi-tingginya kesejahteraan rakyat
dan disegani oleh dunia. Soekarno yang hanya berkesempatan
merasakan sedikit keajaiban, secara bersama-sama digali oleh
masyarakat dengan cara menambahkurangkan untuk
membentuk sosok pemimpin nasional yang memiliki keajaiban
secara imajinatif.
Ternyata sebagian besar dari kelompok masyarakat ini
adalah kelompok yang terpinggirkan secara ekonomi dan
mengalami berbagai ketidakadilan prilaku masyarakat lainnya,
sehingga berharap lahirnya pemimpin nasional yang mampu
membuat berbagai keajaiban dalam mensejahterakan
rakyatnya. Ditambah dengan terjadinya bencana alam yang
berturut turut menghilangkan banyak nyawa rakyat, maka
secara perlahan mulai tumbuh keyakinan yang besar dalam
kelompok masyarakat akan lahirnya seorang pemimpin
harapan.
Di satu sisi, pemimpin harapan ini digambarkan sebagai
pemimpin yang memiliki wibawa dan kekuasan di atas pemimpin
dunia yang ada pada saat itu. Di sisi lain timbul juga
pemahaman bahwa bentuk negara akan berubah menjadi
kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang sangat disegani
oleh dunia.
Tidak pernah terfikirkan oleh masyarakat yang terus
bermimpi bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak akan berubah hanya dengan lahirnya seorang pemimpin
yang ajaib. Perubahan bentuk negara oleh pemimpin dengan
keajaiban seperti ini akan mengakibatkan lahirnya pergolakan
yang berujung kepada perubahan pengertian terhadap
pemimpin yang ajaib kepada pemimpin yang membawa azab.
Menggali Warna 4
Pemimpin Besar Kelompok Amanah

Banyak cerita keajaiban Soekarno yang akhirnya terpusat


kepada keberadaan kekayaan republik yang disimpan di UBS
Bank of Switzerland atau berbagai timbunan emas di gunung-
gunung yang seluruhnya merupakan wewenang beliau.
Anehnya, orang yang semula tidak percaya, tidak lama
kemudian menjadi percaya terhadap kekayaan Republik
Indonesia yang disimpan di Belanda, Swis, Vatikan, Amerika
Serikat. Bahkan kekayaan tersebut terkait dengan perjanjian
antara Repblik Indonesia, Republik Rakyat China, dan Amerika
serikat berdasarkan Yunan Agreement.
Dari cerita-cerita yang beredar muncul beberapa nama
seperti Soewarno, Ronggolawe, Pringgodigdo, Sarinah serta
berbagai abah-abah dan bunda-bunda yang mengaku pernah
berhubungan baik dan menerima amanah untuk menyimpan
kekayaan rakyat dari beliau. Meskipun sulit ditemui, banyak
kalangan yang menyatakan pernah bertemu dengan Soewarno
di Belanda, Ronggolawe di Jogja, Pringgodigdo di Solo, serta
Sarinah di Ujung Kulon. Dari hasil pertemuan mereka dengan
para tokoh tersebut dibuktikan dengan sekumpulan dokumen
bank dengan kualitas kertas dan standard dokumen dari jaman
tempo doeloe, yang membuat pengikut kelompok amanah
semakin yakin dan percaya dengan sistem pengaturan
Soekarno yang terus hidup.
Kelompok amanah merupakan kelompok yang
anggotanya mengaku mendapat amanat untuk menyimpan
harta kekayaan milik Soekarno berupa uang, emas, berlian, dan
beberapa jenis pusaka lainnya baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Kelompok ini beranggotakan orang-orang tua yang
mengaku berumur hampir mendekati seratus tahun atau lebih
dan menyatakan menjadi saksi atas penyerahan harta kekayaan
republik kepada seseorang.

Menggali Warna 5
Kelompok amanah yang terdiri dari orang setengah baya
sering mengaku mendapatkan wahyu atau pertemuan dengan
Soekarno yang bertugas untuk menyelesaikan dan
menyerahkan kembali seluruh harta tersebut kepada rakyat.
Sedangkan kelompok amanah yang terdiri dari anak muda
berafiliasi dengan salah satu kelompok amanah yang berada di
daerah mereka dan diberikan nomor sandi atau pin yang
menjadi tanda bagi kelompok mereka sendiri.
Kelompok ini telah tersebar secara luas dari kota besar
sampai ke desa-desa terpencil di pedalaman di seluruh pulau
Jawa. Sedikit dari kelompok amanah yang bertempat tinggal di
luar pulau Jawa.
Dari seluruh kelompok amanah yang ada, terdapat ciri
utama yang sama di antara mereka, yaitu mereka menganggap
bahwa kekayaan republik yang diserahkan Soekarno kepada
mereka sepenuhnya merupakan tanggung jawab setiap anggota
kelompok. Ciri yang kedua adalah bahwa seluruh sistem
komunikasi di antara kelompok amanah dengan Soekarno di
lakukan berdasarkan pendekatan spritual yang dipimpin oleh
oleh orang yang tertua yang disebut abah, mbah, bunda atau
sebutan lainnya, yang menggambarkan adanya kemampuan
spiritual yang tinggi di dalam diri pemimpin tersebut. Ciri yang
ketiga adalah harta tersebut tidak diperkenankan untuk dijual
belikan, akan tetapi dapat ditukar dengan mahar atau mas kawin
dan baru kemudian dapat dipindah tangankan. Ciri yang
keempat adalah seluruh harta merupakan milik rakyat yang
harus diserahkan kembali kepada rakyat dengan mekanisme
yang mereka tentukan. Artinya, secara implisit seluruh ciri
tersebut merupakan penjabaran pesan Soekarno kepada setiap
kelompok amanah dalam menjalankan tugas mereka.
Fanatisme inilah yang menyebabkan Soekarno tetap
hidup dan dihidupkan kembali oleh penganutnya tanpa
memperdulikan kenyataan bahwa beliau sudah meninggal dan
dikuburkan di Blitar. Jadi tidak mengherankan jika saat ini

Menggali Warna 6
banyak yang menganggap Soekarno masih hidup dalam
keadaan sehat wal afiat dan tetap awet muda.
Anggapan tentang Soekarno yang masih hidup menjadi
sulit dibedakan secara nyata atau tidak nyata. Pada
pelaksanaannya, setiap anggota kelompok amanah selalu
mendasarkan kegiatannya seolah-olah Soekarno masih hidup
dan tetap menjadi pemimpin besar kelompok amanah.

Kemiskinan Melahirkan Bangsa yang Bodoh


Kelelahan sebagian masyarakat yang berharap-harap
lahirnya pemimpin yang mampu meningkatkan kesejahteraan
rakyat dalam waktu singkat, menunjukkan bahwa selama ini
belum ada konsep pembangunan yang jitu dan pemimpin
tangguh karismatik.
Komentar masyarakat terhadap tingginya laju percepatan
pembangunan saat ini hanya digambarkan sebagai tingginya
laju interaksi program pembangunan yang hanya lari di tempat
dan tidak mampu bergerak secara cepat seiring dengan laju
perkembangan pembangunan global. Jika anggapan ini benar
akan berarti bahwa pihak eksektuif tidak mampu melakukan
perencanaan dan pelaksanaan program secara tepat sehingga
terjadi kebuntuan konsep pembangunan. Hal ini juga akan
berarti bahwa pihak legislatif tidak mampu membentuk dan
mengarahkan peningkatan percepatan pembangunan ke dalam
fase fase pembangunan yang diharapkan, yaitu sesuai dengan
tugas dan fungsi badan legislatif dalam perancangan aturan
main. Dan lebih celaka lagi adalah ketika lembaga yudikatif
tidak mampu mengekspresikan aturan main kedalam
perikehidupan bangsa dan negara.
Artinya konsep pembangunan yang ada saat ini
memasuki situasi kebuntuan dan belum mendapatkan jalan
terang melalui inovasi-inovasi konsep yang sesuai bagi upaya
pencapaian kesejahteraan rakyat. Dan jika ini benar, maka
Menggali Warna 7
wajar saja jika sebagian masyarakat begitu mengharapkan
lahirnya pemimpin yang memiliki pendekatan yang cerdas untuk
menemukan cara dan pendekatan yang mampu mengembalikan
kepada laju percepatan pembangunan yang tidak hanya berlari
di tempat.
Sebaliknya jika anggapan sebagian masyarakat tadi
salah, maka manfaat laju percepatan pembangunan yang ada
saat ini belum terdistribusi secara merata kepada seluruh rakyat.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa anggapan
masyarakat terhadap konsep pembangunan saat ini memiliki
arti separuh sampai seluruhnya benar.
Terlepas dari benar atau salahnya anggapan masyarakat
terhadap program pembangunan, yang pasti dialami oleh
masyarakat adalah keputus asaan yang sangat mendalam
sampai-sampai harus mengharapkan lahirnya pemimpin idaman
seperti itu. Keputus asaan seperti ini menunjukkan adanya
proses pemikiran panjang masyarakat yang terbentur pada
kenyataan rasional bahwa tidak ada pemimpin yang terlahir
seperti idaman mereka saat ini. Sampai pada tataran pemikiran
seperti itu, maka secara serempak setiap individu mulai berfikir
dengan menggunakan irasionalitas sehingga mampu menghibur
keputus-asaan yang mereka alami. Dalam hal ini, cara berfikir
irasional lebih berfungsi sebagai alat penghibur dalam situasi
yang dianggap tidak ada harapan.
Hal yang terlupa adalah semakin besar irasionalitas yang
digunakan oleh masyarakat akan menunjukkan cara berfikir
yang semakin tidak rasional. Dengan demikian terbukti bahwa
keputus asaan yang dialami oleh sebagian kelompok
masyarakat miskin merupakan alasan utama yang menjadikan
kelompok tersebut menjadi tidak rasional. Dalam bahasa
kasarnya, ketidak rasionalan adalah bentuk lain dari kebodohan
cara berfikir dan atau kesalahan cara memandang suatu
masalah.

Menggali Warna 8
Proses pembodohan masyarakat ini tidak dapat
digunakan untuk mempersalahkan Soekarno. Soekarno lebih
tepat disebut sebagai sosok yang menjadi korban karena
memiliki sedikit keajaiban dan sebagai individu yang harus
bertanggung jawab terhadap proklamasi yang menjanjikan
kesejahteraan yang setinggi-tingginya bagi rakyat.

Pergeseran Paradigma Gotong Royong kepada


Ekonomi

Sejak dikebumikannya Soekarno di Blitar, waktu seolah


berjalan dengan cepat. Setiap manusia Indonesia disibukkan
oleh peningkatan ekonomi keluarga dengan masuknya berbagai
produk-produk asing yang menjanjikan kemudahan dan
kenikmatan hidup. Masyarakat yang semula hanya dapat
menonton televisi hitam putih di kantor-kantor desa, dalam
beberapa tahun kemudian telah dapat menikmati tayangan
televisi berwarna di rumah masing-masing. Bahkan tidak
memerlukan waktu sampai dua dekade penuh, hak penyiaran
televisi mulai diserahkan kepada televisi swata yang
menjanjikan lebih banyak hiburan bagi masyarakat.
Pemandangan hari minggu pagi di jaman Orde Lama dan
awal Orde Baru yang selalu dipenuhi oleh kegiatan gotong
royong untuk membersihkan jalan yang berbatasan dengan
rumah masing-masing sudah jarang ditemui di pertengahan
tahun 80-an. Kegiatan gotong royong hanya bertahan di
pedesaan terkait dengan kecilnya kemungkinan pemuka
masyarakat untuk mengumpulkan dana untuk kepentingan
publik. Sampai ketika waktu mulai mendekati akhir abad 20,
kegiatan gotong-royong di kota dan pedesaan sudah sulit
ditemukan.
Hal yang menjadi sulit dipercaya, kekuatan perekonomian
rakyat yang semula bertumpu pada karakteristik gotong-royong
dapat dengan seketika lenyap dalam diri manusia Indonesia

Menggali Warna 9
seolah-olah konsep gotong royong merupakan penemuan baru
dan bukan lahir dari proses perkembangan budaya yang
panjang. Seketika itu pula konsep gotong royong menjadi
jargon besar yang mengusung dan menjunjung tinggi
pertumbuhan individualisme dengan mengatas-namakan
gotong-royong. Keadaan ini dibuktikan dengan semakin tidak
percayanya manusia Indonesia terhadap koperasi dan mulai
malasnya tuan-tuan besar di kota besar untuk ikut kegiatan
ronda atau membersihkan saluran air di depan rumahnya.
Kalaupun Soekarno pada saat ini masih hidup akan
kehabisan kata-kata untuk kembali menjelaskan betapa
pentingnya konsep gotong-royong dan renteng-tanggung yang
menjadi dasar budaya dalam pembentukan sistem
perekonomian, pertahanan dan keamanan. Bahkan mungkin
Soekarno akan berdoa setiap hari agar lebih cepat dipanggil
oleh Yang Maha Kuasa ketika melihat bangsa ini menggunakan
gotong-royong sebagai dasar tindak kejahatan korupsi dan
pengabaian terhadap peraturan perundangan oleh setiap
elemen bangsa.

Menggali Warna 10

You might also like