Professional Documents
Culture Documents
Akta yang dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstan) seorang
Pejabat Umum. Akta yang dibuat oleh (door) Pejabat Umum, disebut Akta
Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian dari Pejabat Umum
yang dilihat dan disaksikan Pejabat Umum sendiri atas permintaan para
pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan
kedalam bentuk akta otentik.
Dan Akta yang dibuat di hadapan (ten overstan) Pejabat Umum, dalam
praktek disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan
para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Pejabat Umum.
Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke
dalam bentuk akta otentik.
Pembuatan akta, baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar
utama atau inti dalam pembuatan akta otentik, yaitu harus ada keinginan atu
kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan
permintaan para pihak tidak ada, maka Pejabat Umum tidak akan membuat
akta yang dimaksud.
Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Pejabat Umum dapat
memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran
Pejabat Umum diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta otentik,
meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan
dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Pejabat Umum atau
isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan
Pejabat Umum.
Dengan kedudukan Pejabat Umum seperti itu, sehingga jika suatu akta
otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Pejabat Umum bukan
sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak
dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau Turut Tergugat
dalam perkara perdata.
Penempatan Pejabat Umum sebagai pihak yang turut serta atau membantu
para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan
palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Pejabat Umum sebagai
tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan
Pejabat Umum, maka hal tersebut telah mencederai akta otentik dan
institusi Pejabat Umum yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya
mengenai kedudukan akta otentik dan Pejabat Umum di Indonesia.
Dalam tataran hukum yang benar mengenai akta otentik, jika suatu akta
otentik dipermasalahkan oleh para pihak, maka :
(1) para pihak datang kembali ke Pejabat Umum untuk membuat
pembatalan atas tersebut, dan demikian akta yang dibatalkan sudah
tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala
akibat dari pembatalan tersebut.
(2) jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan,
salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan
untuk mendegradasikan akta otentik menjadi akta di bawah tangan.
Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat
memberikan penafsiran tersendiri atas akta otentik yang sudah
didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan? Hal
ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, bilamana pihak dalam akta
Notaris itu menuduh atau mendalilkan bahwa seorang Notaris telah
mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (apalagi akta tersebut
merupakan akta pihak/partij akten), maka hal itu tidaklah dibenarkan sebab
tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan
palsu adalah Notaris tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum
sebab Notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum
yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta otentik. Notaris
hanya mengkonstatir/merumuskan apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan
dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan
syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam
akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari
akta otentik tersebut.
Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi suatu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap.