You are on page 1of 19

Negara demokrasi: ISRAEL, INGGRIS, AMERIKA, INDIA,

Inggris merupakan negara demokrasi yang berbentuk kerajaan yang berparlemen.


Kenyataannya, monarki, yang sekarang adalah Ratu Elizabeth II, mempunyai
kekuasaan politik yang sangat kecil, meskipun dia tetap memegang gelar sebagai
kepala negara, dan memainkan suatu bagian yang resmi dalam proses berpolitik.

Kekuasaan politik di tangan pemerintah yang dipilih (dikepalai oleh seorang


Perdana Menteri dan Kabinet) didasarkan pada kekuatan dukungan yang ada di
parlemen. Selama abad ini, pemerintahan selalu dibentuk oleh salah satu dari
ketiga partai politik utama yaitu partai buruh, konservatif dan liberal-demokrat.
Pemerintahan koalisi jarang terjadi dalam sejarah politik Inggris. Ada juga dua
partai nasional satu di Wales (Plaid Cymru) dan satu di Scotland (The Scotish
National Party), seperti juga beberapa partai nasional di Irlandia Utara.

Parlemen terdiri dari dua bagian (chamber/house) yaitu House of Common dan
House of Lord. House of Lord terdiri dari lord Spiritual dan Lord Temporal. Lord
Spiritual terdiri para pemimpin gereja, sedangkan Lord Temporal adalah keturunan
bangsawan kerajaan dari perserikatan kerajaan (United Kingdom). Ratu yang
bertindak dengan

nasihat perdana menteri, menganugerahkan gelar kebangsawanan ini, biasanya


pengakuan atas jasanya terhadap negara atau berbagai kegiatan lain yang
menguntungkan bagi negara, akan tetapi yang tidak ingin menjadi anggota
parlemen.

House of Common

sebenarnya adalah yang berperanan dalam sistim politik Inggris. Anggotanya dipilih
oleh rakyat. House of Common beranggotakan 650 orang yang tetap dan digaji,

yang setiap anggota ini mewakili suatu lingkungan atau daerah (constituency).
Anggota parlemen ini (MP) harus memenangkan pemilihan di daerahnya paling
sedikit sekali dalam lima tahun suatu pemilihan umum. Ketua partai politik
memenangkan mayoritas dalam pemilihan umum tersebut (saat ini Partai
Conservative) diminta oleh

ratu untuk membentuk kabinet, dan dalam lima tahun, atau sesuai dengan
keinginan pemerintah yang berkuasa, atau pemerintah telah kehilangan
mayoritasnya dalam House of Common, harus melakukan pemilihan umum kembali.
Partai minoritas yang terbesar (sekarang partai buruh), secara resmi menjadi partai
oposisi dan mempunyai pemimpin sendiri dan suatu “kabinet bayangan”.
Hiruk pikuk pesta demokrasi telah mencapai antiklimaksnya. Ketika sejumlah
lembaga survei menayangkan hasil quick countnya, ternyata dari sekian banyak
partai hanya 9 partai berhak duduk di kursi legislatif. Mungkin hanya sebagian
partai yang sukses, akan bertepuk tangan dan bertepuk dada. Sebaliknya sebagian
yang hasilnya tidak memuaskan secara tidak jantan mulai menampilkan kambing
hitam. Mulai dari tudingan kecurangan pemilu, masalah DPT, KPU tidak becus,
pemerintah curang dan berbagai paranoid lainnya. Tampaknya hal ini adalah
sebuah antiklimaksnya yang berpotensi mencederai sebuah demokrasi yang indah
yang diharapkan tumbuh di Indonesia.

Dalam sebuah kompetisi demokrasi seperti perhelatan pemilu, kalah dan menang
adalah hasil yang harus dihadapi. Sebagian kelompok partai yang sukses pasti
sukacita menyikapinya. Sebaliknya tampaknya sebagian besar lagi yang lain akan
berduka. Terutama yang perolehan suaranya turun dari pemilu sebelumnya atau
partai yang tidak melampaui "electoral threshold".

Keindahan Demokrasi

Barack Obama memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat secara luar


biasa. Kandidat Demokrat itu menang telak atas rivalnya John McCain dari partai
Republik. John McCain juga luar biasa. Dengan kepala tegak dan kebesaran hati
seorang negarawan, dia langsung mengucapkan selamat kepada rivalnya. Dia
bahkan menyatakan siap mendukung Obama sebagai Presiden AS. Pernyataan itu
disampaikan di hadapan ribuan pendukungnya, kendati para pendukung ada yang
mencemooh Obama. Sikap positif McCain sama dengan yang ditunjukkan Hillary
Clinton ketika dikalahkan Obama saat bertarung untuk menjadi calon Presiden AS
mewakili Partai Demokrat.

"Saya tahu bahwa kemenangannya merupakan kebanggaan bagi kaum Afrika-


Amerika. Tapi kemenangannya juga merupakan pilihan rakyat AS. Di negara kita,
kesempatan itu terbuka bagi semua orang, tak terkecuali senator Obama yang
memiliki ide dan kemampuan. Kita semua orang Amerika. Buat saya, itu ikatan
paling penting," ujar McCain berusaha menenangkan pendukungnya. "Biarkan dia
memimpin kita. Seluruh warga Amerika harus saling bahu-membahu membantu
untuk membawa Amerika kepada kesejahteraan, melindungi segenap bangsa," seru
McCain disambut tepuk tangan meriah oleh para pendukungnya.

McCain bahkan mengatakan, nenek Obama Madelyn Dunham, yang meninggal dua
hari sebelum pemilihan, pasti bangga dengan keberhasilan cucunya "Sayang dia
tidak melihat. Dia pasti bangga dengan kemenangan ini," ujar McCain.

Di Indonesia Langka

Sikap patriotis dan kedewasaan berdemokrasi yang dilakukan McCain itu


tampaknya langka dijumpai di Indonesia. Tampaknya sampai saat ini tidak banyak
yang bersikap elegan seperti McCain. Banyak kasus menunjukkan seorang calon
bupati atau gubernur kalah, bukan memberi selamat kepada pemenang. Tetapi
selalu mencari celah untuk menggugat pemilu yang telah dilakukan.

Sebuah contoh besar bagi bangsa ini adalah Megawati sewaktu dikalahkan SBY.
Jangankan mengucapkan selamat, sampai sekarang untuk bicara, bertemu muka
atau bertegur sapa saja belum pernah. Contoh besar tadi banyak diteladani contoh
kecil yang lain. Setelah kalah pemilu, bebagai calon gubernur, calon walikota yang
kalah bukan memberi selamat kepada pemenang. Tetapi selalu mencari celah
untuk menggugat pemilu yang telah dilakukan. Terdapat calon bupati atau
gubernur yang kalah massanya melakukan perusakan kantor KPU atau demo ke
DPR. Sementara calon bupati lainnya ada yang sampai sekarang sakit hati
mempermasalahkan keabsahan ijazah lawannya yang sudah menang, dan masih
banyak lagi contoh ketidak dewasaan, ketidak-eleganan yang belum mencerminkan
sikap dewasa dalam berdemokrasi.

Pascapemilu legislatif tampaknya kedewasaan berdemokrasi pelaku politik di


Indonesia mulai diuji. Bila dicermati sikap kaum yang kalah ini dapat dinilai kualitas
kedewasaan berdemokrasi. Meskipun jarang tetapi harus diapresiasi beberapa
politisi yang kalah dengan sportif memberi selamat kepada pemenang dan
menyatakan dukungan dan mawas diri terhadap ketidak berhasilannya.

Adalah sesuatu yang manusiawi bila kecewa dalam sebuah kekalahan. Apalagi
kekalahan itu melalui pertarungan dengan pengorbanan habis-habisan yang
menguras harta dan seluruh hidupnya. Jangankan uang miliaran kadangkala harga
diri sudah dikorbankan. Dengan pengorbanan yang demikian besar tersebut maka
wajar kalau sikap "tidak siap kalah" akan dialami. Kalaupun sikap tidak elegan
tersebut dilakukan, yang pasti tidak akan pernah menguntungkan. Sikap sakit hati
dan ketidakdewasaan berpolitik ini akan menambah masalah baru. Lost cost akan
bertambah dan memperburuk kredibilitas di mata masyarakat. McCain pun pasti
telah mengorbankan jutaan dolar dan segalanya, tapi dengan jiwa demokrat dan
tanpa tedeng aling-aling langsung mengucapkan selamat dan dukungan kepada
Obama.
Tidaklah heran, saat ini bagi politisi yang tidak sukses sangat mudah untuk
menyebutkan kekurangan pemilu. Begitu mudahnya mereka menyebutkan bahwa
di kecamatan tertentu ratusan bahkan ribuan orang tidak terdaftar dalam DPT.
Padahal faktanya belum tentu yang digembar-gemborkan. Apalagi beberapa kasus
tersebut diembuskan lebih kuat lagi oleh berbagai media massa atau elektronik.

Tetapi bila berpikir jernih dan rasional sebenarnya berbagai permasalahan seperti
kecurigaan kecurangan pemilu, masalah DPT, KPU tidak becus, dan berbagai
paranoid lainnya itu sebenarnya dialami semua peserta pemilu. Atau dengan kata
lain, hal itu bukan merupakan penyebab utama kekalahan partai tertentu. Kalaupun
hal itu merugikan partai tertentu biasanya tidak terlalu signifikan.

Tetapi bila diduga terjadi kecurangan yang masif dan berat mungkin bisa saja
diajukan dalam jalur hukum yang tersedia. Saksi dan partai politik dapat
mengadukan melalui KPU kecamatan, kabupaten dan provinsi. Berbagai putusan
tentang gugatan pemilu semuanya diputuskan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sejatinya, setiap perkara yang memperkarakan keputusan yang dibuat oleh pejabat
negara atau pihak yang melaksanakan urusan pemerintahan diselesaikan di PTUN.
KPU selaku pejabat negara ketika mengeluarkan keputusan, maka memiliki peluang
untuk digugat oleh individu atau badan hukum perdata. Hanya ada satu keputusan
KPU yang tidak bisa digugat oleh melalui PTUN adalah Keputusan Komisi Pemilihan
Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum (UU no 9
tahun 2004 pasal 2 angka 7). Artinya selain tahapan penghitungan suara, semua
tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum.
Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan
KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi objek
perkara dalam PTUN. Bila hal ini masih belum dapat diselesaikan dapat diajukan
pada Mahkamah Konstitusi.

Seyogianya sikap demokratis McCain harus mengilhami semua politisi di Indonesia.


Demokrasi indah yang dipertontonkan negara demokrasi itu harus menjadi contoh
setiap politisi dan masyarakat kita. Keberhasilan pemilu di Indonesia nantinya
jangan dirusak oleh hujatan kepada KPU dari kaum yang tidak siap kalah.
Ketidakberdayaan KPU dalam penyelenggaraaan pemilu yang sempurna adalah
sebuah hal yang normatif dalam sebuah kerja yang sangat besar dan berat ini.
Kekurangan yang terjadi pada pemilu ini adalah sebuah pelajaran berharga bagi
pemilu presiden berikutnya. Ketidakpuasan elite politik dan sikap gugatan yang
berlebihan bagi pemilu akan berpotensi merambah ke masyarakat luas. Bila ini
terjadi maka kerawan sosial dan keamanan dalam masyarakat menjadi taruhannya.

Dalam pertarungan demokrasi, kalah atau menang adalah kehendak yang harus
diterima. Pemenang pun harus bijak, tidak harus bertepuk dada tetapi harus mawas
diri. Bahwa kehendak menang itu adalah amanah dari masyarakat yang harus
diperjuangkan. Sedangkan kehendak kalah pun, akan menjadi terhormat bila
dengan sikap jantan memberi selamat kepada pemenang. Kekalahan adalah
kemenangan tertunda yang harus diperjuangkan dalam pertarungan berikutnya
dengan penuh mawas diri dan kerja keras.

http://www.harian-global.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=4989:keindahan-
demokrasi&catid=57:gagasan&Itemid=65

Kemerdekaan dan Demokrasi di India

Belum lama ini, tepatnya tanggal 15 Agustus 2007, India merayakan hari
kemerdekaannya yng ke-60. Sehari sebelumnya, Pakistan merayakan juga hari
kemerdekaannya yang ke-60. Kedekatan hari kemerdekaan kedua negara yang
bertetangga ini bukanlah suatu kebetulan. Kolonial Inggris memutuskan untuk
memberikan kemerdekaan kepada mereka pada saat yang hampir bersamaan.
Suara tembakan meriam menggema dari Benteng Merah di New Delhi saat Perdana
Menteri Manmohan Singh menaikkan bendera India di tempat bendera Inggris yang
diturunkan selamanya pada tahun 1947.

India memiliki banyak kisah keberhasilan untuk menandai enam dekade


kemerdekaannya. Meski diwarnai berbagai keraguan pada awal-awal berdirinya
negara tersebut, namun India telah mengalami proses yang tergolong menyeluruh,
baik secara sosial maupun geografis.
Sebetulnya, kawasan yang dikenal dengan nama British India itu semula merupakan
satu kawasan luas di bawah kolonial Inggris. Namun pada waktu itu, perbedaan
kepercayaan yang kuat antar kelompok-kelompok Hindu dan Islam sudah terasa
kuat. Maka itulah Inggris memberikan kemerdekaan atas wilayah kolonialnya itu
menjadi 2 negara: Pakistan yang mayoritas penduduknya beragama Muslim, dan
India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Pemberian kemerdekaan
kepada kedua negara itu bukan merupakan hal yang mudah. Terutama
menyangkut garis batas kedua negara dan kedaulatan satu daerah untuk memilih
ke pihak negara mana ia ingin bernaung.

Setelah lewat 60 tahun, bisa dikatakan perasaan benci belum diselesaikan. Meski
PM baru Manmohan Singh mencoba menyelesaikan hal tersebut secara diplomatik.
Masalah memberi dan menerima bisa jadi hanyalah tinggal suatu konsep belaka jika
berbicara mengenai hubungan antara kedua negara tersebut. Ambillah contoh
masalah Kashmir yang masih menjadi salah satu masalah terbesar hingga kini.
Meskipun beberapa waktu lalu perbatasan itu telah dibuka dan arus lalu lintas
masyarakat diperlancar. Sejarah sengketa perbatasan Kashmir dimulai pada sekitar
masa pembagian wilayah dengan menarik garis perbatasan. Wilayah yang terletak
tepat di antara kedua negara ini berpendudukan mayoritas Muslim. Namun
pemerintahannya berada pada kerajaan setempat yang beragama Hindu.

Namun pada perayaan hari kemerdekaan bulan lalu, India mulai melihat ke depan.
India adalah salah satu negara yang memiliki perekonomian dengan pertumbuhan
terpesat di dunia, tapi Singh mengatakan masih sedikit rakyat India yang
menikmatinya. Pidato yang dikatakan Singh serupa dengan komentar yang
disampaikan sebelumnya oleh presiden wanita pertama negara itu, Pratibha Patil,
yang mengatakan semua orang harus menikmati ledakan ekonomi negara dan India
harus memastikan ”pertumbuhan yang adil bagi semua orang”.

India kini telah mampu menempatkan dirinya sebagai negara yang memiliki
kekuatan ekonomi yang patut diperhitungkan setelah selama empat dekade
kebijakan ekonomi negara tersebut gagal meredam lonjakan penduduk. Dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi hampir mendekati China, posisi India tentunya
semakin strategis, baik dipandang dari kepentingan Washington maupun Tokyo.

Sedangkan demokrasi sebagai ’tawaran dagang utama’ India tak pelak lagi telah
menjelma sebagai pencapaian penting negara itu. Karena status demokrasi itu pula
yang membuat India tidak terlalu sulit mencapai kesepakatan dengan AS dalam hal
pasok bahan bakar nuklir meski negara tersebut tidak ikut menandatangani pakta
nonproliferasi nuklir.

Tidak hanya itu, peran India di kancah internasional juga semakin diperhitungkan.
Industri berat dan manufaktur negara itu juga terbilang semakin mengalami
kemajuan dan modern seperti jaringan telekomunikasi, farmasi dan alih daya.

http://www.forum-politisi.org/berita/article.php?id=499

Demokrasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara


sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas
negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan
dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam
peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis
lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga
pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan
kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat
(DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh
wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya
(konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain
sesuai hukum dan peraturan.

Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting,


misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum.
Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara,
namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan
umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih
(mempunyai hak pilih).

Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan
memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam
arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen
secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab
kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari
sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak
besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara
berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh
idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil.
Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih
pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun
negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang
telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki
catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).Daftar isi
[sembunyikan]

1 Sejarah dan Perkembangan Demokrasi

2 Demokrasi di Indonesia

3 Lihat pula

4 Pranala luar
[sunting]

Sejarah dan Perkembangan Demokrasi

Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena
kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari
sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti
dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah
berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi"
di banyak negara.

Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan
kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci
tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini
disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam


suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan
kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan
ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu
besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab,
bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran
terhadap hak-hak asasi manusia.

Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya


kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk
gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak
akan membawa kebaikan untuk rakyat.

Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi
harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga
negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori)
membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.

[sunting]

Demokrasi di Indonesia

Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan


penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme
kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR
adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya
rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan
yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat
pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di
indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin
sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi
Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan
kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada
tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu
demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang
menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.

http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

Bagaimana Peranan Militer Di Negara Demokrasi Seharusnya Di jalankan?

Januari 10, 2009 — er1kzs

Bagaimana Peranan Militer Di Negara Demokrasi Seharusnya Di jalankan?

Oleh: Hendriko Firman


ABSTRAK

Militer menurut pendapat ahli yaitu:

Militer adalah semua hal yang berkaitan dengan profesi sebagai militer,
kemiliteran/angkatan bersenjata dan operasi militer sedangkan Etika adalah semua
hal yang berkaitan dengan moralitas, kebenaran atau prinsip-prinsip tentang
kebenaran

A military is an organization authorized by its nation to use force, usually including


use of weapons, in defending its country (or by attacking other countries) by
combating actual or perceived threats. As an adjective the term “military” is also
used to refer to any property or aspect of a military. Militaries often function as
societies within societies, by having their own military communities, economies,
education, medicine and other aspects of a functioning civilian society.

Militer adalah sebuah organisasi yang diberi wewenang oleh Negara untuk
menggunakan kekuatan, biasanya termasuk menggunakan senjata, dalam
mempertahankan bangsanya (atau menyerang Negara lain) dengan sesungguhnya
menyerang atau merasa terancam. Dalam kata sifat istilah “militer” juga di
gunakan untuk merujuk kepada beberapa peralatan atau aspek yang menyangkut
militer. Militer sering berfungsi sebagai kelompok yang tanpa kelompok, dengan
memiliki masyarakat militernya sendiri, ekonomi sendiri, pendidikan sendiri,
kesehatan sendiri dan aspek lainnya dari fungsi kelompok sipil

Militer adalah angkatan bersenjata dari suatu negara dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan angkatan bersenjata. Padanan kata lainnya adalah tentara’
atau angkatan bersenjata. Militer biasanya terdiri atas para prajurit atau serdadu.
Kata lain yang sangat erat dengan militer adalah militerisme, yang artinya kurang
lebih perilaku tegas, kaku, agresif dan otoriter “seperti militer”. Padahal pelakunya
bisa saja seorang pemimpin sipil.Karena lingkungan tugasnya terutama di medan
perang, militer memang dilatih dan dituntut untuk bersikap tegas dan disiplin.
Dalam kehidupan militer memang dituntut adanya hirarki yang jelas dan para
atasan harus mampu bertindak tegas dan berani karena yang dipimpin adalah
pasukan bersenjata.
Jadi pertanyaannya sekarang bagaimanakah peranan militer dalam peranan negara
demokrasi?

Militer telah disinggung diatas tadi memiliki dunianya sendiri sehingga akibat peran
inilah ia bisa melakukan intervensi ke dalam urusan politik. Dan di sisi lain di
Negara-negara demokrasi berkembang peranan militer selalu berada di atas orang
sipil berbalik di negara barat dimana kekuatan militer berada di bawah kekuatan
sipil dan mereka menerimanya.

Secara garis besar kita bisa menemukan bahwa peranan militer yang seharusnya
adalah tidak memberikan kekuasaan penuh ke militer di Negara yang pada bentuk
konstitusi beralandaskan azas demokrasi. Dimana peran militer di redusir dan
membuat akses-akses ke dalam kancah politik di minimalisir dimana dalam tatanan
ini Negara yang awalnya masih bayi dalam menerapkan demokrasi pasti akan
menghadapi tantangan dalam konflik antara para politikus yang dalam artian masih
mementingkan peranan partai dan kepentingan kolektif yang tidak memandang
azas rakyat sebagai Negara itu sendiri. Di sisi lain dalam konteks ini apabila dalam
rutinitas tersebut apabila hal ini apabila terus berlanjut maka peran militer akan
lebih dominan lantaran akibat tidak adanya sebuah aspek kepercayaan dalam
sebuah Negara yang bisa dikatakan demokrasi semu ini, ini akan mengakibatkan
Negara yang baru ini akan mengalami semacam atau prospek untuk melakukan
kudeta di mana peran militer lah yang menjadi basisnya.

Demokratisasi Dalam studinya yang dilakukan di delapan negara ketiga, Robert P


Clark (1996) menyimpulkan bahwa naiknya kekuasaan militer memang merupakan
gejala umum di dunia ketiga sebagaimana maraknya otoritarianisme. Clark
mengidentifikasi munculnya rezim militer di suatu negara senantiasa bersamaan
dengan menjauhnya demokrasi dari negara yang bersangkutan. Memang, tidak
semua kasus otoritarianisme disebabkan karena militerisme. Pada faktanya banyak
juga negara otoriter yang dipimpin oleh rezim sipil. Namun, seperti kata Nordlinger,
jika sebuah pemerintahan dikuasai oleh militer maka hampir pasti akan melahirkan
otoritarianisme. Mengapa rezim militer lebih pro pada otoritarianisme? Dalam kasus
Indonesia, hal ini bisa dijawab karena secara formal, ideologi sebagai konsepsi
kenegaraan yang dipedomani militer Indonesia untuk mengarahkan posisi dan
perannya dalam kedudukan kenegaraan ialah doktrin Tri Ubaya Cakti dan Catur
Darma Eka Paksi. Di samping itu, karena militer juga berperan dalam menentukan
pola kenegaraan serta cara mengisi kemerdekaan, maka konsep kenegaraan
integralistik yang dipedomani dan dipertahankan militer juga bisa disebut sebagai
bagian dari ideologi militer. Di dalam doktrin pertahanan negara dan perjuangan
militer, dikenal dua konsep utama yang secara langsung akan melibatkan militer
dalam proses demokratisasi, yakni konsepsi tentang perang dan konsepsi tentang
musuh. Doktrin militer di Indonesia mengajarkan konsep “perang rakyat semesta”
dimana atas perintah pimpinan militer, seluruh rakyat harus ikut berperang.
Implikasi dari pelaksanaan doktrin ini adalah: Pertama, militer bisa menentukan
arah kebijakan politik yang bukan saja harus dipatuhi oleh kalangan prajurit militer,
tetapi juga oleh seluruh komponen masyarakat sipil. Kedua, karena mencakup
semua komponen bangsa maka otomatis menutup peluang bagi pemimpin sipil
untuk mengambil kebijakan-kebijakan politik yang memberikan kebebasan pada
rakyat untuk menyalurkan aspirasi sesuai dengan bisikan hati nuraninya karena
yang ada dan berhak disalurkan hanyalah aspirasi pimpinan militer. Hal ini sangat
erat kaitannya dengan konsepsi militer mengenai “musuh”.

Di sisi lain hal ini akan kita lihat setelah adanya suatu perebutan legitimasi antara
orang-orang sipil dan orang orang militer yang dominan, dimana peranan masing-
masing instansi akan membuat suatu tendensi yang berkepanjangan dan akhirnya
rakyat adalah sebuah korban dari tidak efesien. Dalam struktur yang seperti ini
tidak akan adanya suatu stabilitas Negara yang demokratis lantaran tidak berjalan
secara semestinya peran dari orang-orang sipil dan orang-orang dari peran militer
lantaran akibat tindih-mendih yang sangat dualisme. Disatu lain mereka tidak
berpihak kepada satu azas yang pasti.

Dalam Negara-Negara yang baru merasakan demokrasi yang masih bayi hal ini
tidak saja akan melahirkan beberapa masalah-masalah baru seperti suatu sektarian
dalam berbagai instansi. Hal ini bisa kita lihat dari kekacauan dari pemerintahan
Indonesia pada masa rezim soekarno yang tidak melakukan suatu balancing pada
peran sipil dan peran militer. Bisa dilihat peran militer dikucilkan dengan adanya
beberapa pengnonefesienan peran militer itu sendiri. Dan tidak berjalannya struktur
lembaga yang efesien karena presiden merasa sebagai panglima militer, yang
menganggap dirinya sebagai representasi dari AL AU dan AD. Sehingga tendensi
pemerintah kepada militer tapi disisi lain adanya semacam penganak tirian dari
pemerintah itu sendiri telah melahirkan berbagai kecumburaan social.

Dalam konteks reformasi politik, pembongkaran wacana hubungan sipil-militer


merupakan hukum besi perubahan sosial ke arah terbentuknya tatanan politik
demokratis. Inilah keharusan dari proses transisi otoritarianisme menuju demokrasi
yang seharusnya makin disadari oleh setiap elemen militer dan para politisi sipil.
Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat posisi dan peran militer lebih kondusif
bagi perwujudan demokrasi. Kekuatan militer yang dibutuhkan dalam suatu negara
demokrasi bukanlah tipe militer pretorian, tetapi militer yang profesional sebagai
kekuatan pertahanan (eksternal) negara yang oleh sosiolog Louis W Goodman
disebut sebagai tujuan utama militer. Senada dengan Goodman, Stevan Melnik-
salah seorang thinker partai liberal Jerman-menegaskan: As far the professional
military forces must be out of politics.

Adanya sifat yang tegas di tubuh militer dalam Negara demokrasi membuat badan
ini menjadi sangat kuat dan teguh dalam hirarki sturukturalnya dimana perannya
yang sangat tegas ini baik ke luar (eksternal) dan kedalam (internal)
mengakibatkan militer menjadi tidak demokratis karena ia menerapkan suatu
command sebagai putusannya bukan suara terbanyak. Organisasi militer, menurut
Janusz Onyszkiewicz, wakil Partai Perserikatan Kebebasan di Parlemen Polandia,
merupakan entitas yang tidak demokratis (a completely undemocratic entity) dalam
suatu negara demokrasi, seperti halnya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang
menganut hierarki ketat. Yang membedakan di antara keduanya adalah bahwa
organisasi militer bukan semata institusi otokratik (autocratic institution) yang
selalu menuntut loyalitas dan komitmen total dari para anggotanya, lebih dari itu
juga dirancang sebagai kekuatan represif untuk melayani kepentingan negara.

Masalahnya, kepentingan negara tidak selalu identik dengan kepentingan rakyat


seperti pernah digugat Marx dengan teori negara kelas. Pengalaman Indonesia di
bawah kekuasaan Orde Baru yang lalu menunjukkan betapa perilaku negara
bergerak di antara dua kutub kepentingan. Kutub pertama dan yang utama adalah
kepentingan modal internasional yang nyaris sepenuhnya menjadi “tuan asing”.
Sedangkan kutub kedua adalah kepentingan negara itu sendiri yang direpresentasi
oleh kepentingan pemerintah (birokrasi sipil dan militer). Pada sisi yang lain
kepentingan rakyat banyak terabaikan, atau paling-paling terjadi ideologisasi
bahwa kepentingan negara identik dengan kepentingan rakyat. Faktanya, rakyat
acapkali tidak memperoleh manfaat yang berarti dari kinerja kekuasaan negara,
dan bahkan sebaliknya tertindas karenanya . Karena itulah dalam strukturalnya
militer acapkali hanya berisikan sebuah institusi yang massiv tapi sifatnya itu minor
karena dia tidak punya improvisasi dalam hal kenegaraan.

Sebagai institusi otokratik dan sekaligus represif, militer berkecenderungan


menegakkan otoritarianisme kekuasaan. Makanya militer sering dianggap sebagai
ancaman demokrasi, meskipun dalam batas-batas tertentu ia bisa memberi makna
bagi perwujudan demokrasi. Sejarah bangsa-bangsa di dunia mencatat bahwa
militer menegakkan otoritarianisme kekuasaan diktator personal dan melayani
kepentingan sang penguasa. Ia tidak dikontrol oleh rakyat, melainkan oleh agen-
agen dan kroni kekuasaan sang diktator. Dalam negara dengan rezim militer, ia
mengontrol diri sendiri dan menegakkan otoritarianisme untuk kepentingan dan
misinya sendiri. Sementara dalam rezim satu partai seperti di bekas negara-negara
komunis, militer menegakkan otoritarianisme kekuasaan partai, dan tentu saja ia
juga dikontrol oleh partai yang berkuasa. Kecenderungan itulah yang harus
direformasi. Artinya, bagaimana kekuatan militer tidak lagi terjebak dalam
kepentingan kekuasaan belaka, melainkan lebih melayani kepentingan rakyat
dalam arti yang seluas-luasnya dan sebenar-benarnya. Sebab untuk konteks
Indonesia, track record militer yang terjebak dalam arus kepentingan kekuasaan
sangat jelas, yakni ketika militer melayani kepentingan subyektif kekuasaan rezim
Soekarno, rezim militer Soeharto, dan rezim transisional Habibie. Kesemua itu
adalah sejarah kelabu penindasan demokrasi di Indonesia.
Adalah otoritas rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara untuk mendefinisikan
posisi dan peran militer. Rakyat, yang merupakan entitas politik sipil, berwenang
menentukan dan sekaligus mengontrol peran dan fungsi militer dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Menurut Janusz, kontrol sipil atas kekuatan militer
merupakan aksioma demokrasi. Hal ini sebenarnya sejalan dengan doktrin TNI yang
setiap saat kita dengar: Yang terbaik untuk rakyat adalah terbaik untuk TNI. Dengan
begitu kita sesungguhnya berharap profesionalisme militer dapat segera terwujud
di Negara Negara yang baru melek demokrasi termasuk itu Indonesia.

Dalam negara demokrasi, supremasi dan kontrol sipil atas militer merupakan
conditio sine qua non, demikian halnya dengan profesionalisme militer itu sendiri.
Premis ini telah diterima secara luas oleh dunia internasional dan menandai
terjadinya progresivitas politik di negara-negara demokrasi baru seperti di belahan
Afrika Selatan, Asia, Amerika Latin, dan bahkan di bekas negara komunis Eropa
Timur. Inilah yang menjadi counter attack positif sendiri bagi rezim diktatorian yang
menganut militer sebagai basis akomodasi politiknya sehingga nantinya suatu
kekuasaan yang kejam terhadap rakyatnya akan melahirkan Negara yang akan
tumbuh menjadi Negara demokrasi. Tapi ini tentunya akan terjadi secara evolusi
yang dimana tidak manusiawi.

Yang ingin dikatakan di sini adalah bahwa kontrol sipil dan profesionalisme militer
telah menjadi fakta dari pertumbuhan negara-negara di dunia ke arah
pembentukan sistem pemerintahan demokrasi. Suatu sistem pemerintahan yang
oleh Dalai Lama (1997) disebut yang terdekat dengan hakikat kita sebagai manusia
dan merupakan pondasi yang stabil di mana di atasnya dapat dibangun struktur
politik dunia yang adil dan bebas. Fakta global itu dapat menjadi pelajaran berharga
bagi upaya rekonstruksi relasi sipil-militer yang benar-benar kondusif bagi
demokratisasi. Tidak sejalannya kekuatan sipil dan militer dalam Negara yang di
cambuk oleh kekuatan militer tentunya akan melahirkan suatu perasaan
didiskreditkan makanya akibat tidak adanya control demokrasi yang transparan dan
indpenden rakyat akan merasakan bahwa demokrasi nantinya akan menjadi
romantisme dalam sebuah Negara yang dikukung oleh militer yang agresif dan
melek politik.

Namun demikian, semua itu tergantung pada tiga entitas politik utama, yaitu para
politisi sipil, petinggi-petinggi militer dan para pemimpin masyarakat sipil. Para
politisi sipil, baik di jajaran eksekutif maupun legislatif, dituntut soliditasnya agar
benar-benar kuat alias tidak terpecah-pecah. Politisi sipil yang terpecah-pecah,
tidak kompak dan saling serang hanya akan membuka pintu bagi intervensi militer
ke dalam politik, baik melalui kudeta maupun intervensi prerogatif dan kekuasaan.
Sementara itu, para petinggi militer dituntut untuk berkonsentrasi pada tugas
utamanya, yaitu pertahanan (eksternal) negara dan sejauh mungkin
meminimalisasi intervensinya ke dalam politik kenegaraan. Militer harus mulai
percaya pada kemampuan politisi sipil menjalankan kekuasaan negara, dan
memberikan jaminan atas berlangsungnya kekuasaan secara regular. Di pihak
masyarakat sipil harus mulai melakukan peran strategisnya dengan berpartisipasi
secara aktif dalam proses kontrol terhadap peran militer maupun politisi sipil itu
sendiri. Ini penting agar para politisi sipil dan militer tidak keluar dari garis mandat
yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka. Perlu dicatat bahwa pemberian
mandat oleh rakyat kepada politisi sipil tidak berarti penyerahan seluruh kedaulatan
kepada mereka. Hal itu bersifat relatif. Dengan demikian sangat dimungkinkan bagi
masyarakat sipil untuk mengungkapkan kritik dan aspirasi-aspirasinya melalui
saluran nonpolitik. Meski demikian harus ditegaskan pula bahwa pemanfaatan dan
sekaligus penguatan saluran politik akan lebih mempercepat proses pelembagaan
demokrasi. Dalam tataran seperti inilah seharusnya peranan militer dan
responsivitasnya terjadi di Negara-negara demokrasi. Dan adapula menjadi kendala
yang sangat serius adalah Negara-negara yang baru menerapakan demokrasi
modern karena mereka masih belum mempunyai azas kesatuan yang sama
dibawah payung demokrasi itu sendiri, sehingga tak pelak kita melihat di Negara-
negara yang baru memulai demokrasi yang terjadi adalah suatu hagemoni dan
monopoli politik yang tidak seimbang di antara kedua belah pihak antara militer
dan sipil. Hal ini menjadikan situasi politik di Negara tersebut mengalami siklus
ganda (double cycle) atau terjadi perebutan balas dendam kekuasaan untuk
merebut peran tersebut dan tidak menghiraukan progresifitas dari jalannya
demokrasi Negara tersebut. Itu bisa kita lihat di Negara Indonesia sendiri yaitu
politik yang terlalu kuat di Orla dan militer yang terlalu kuat di Orba. Hal ini
melahirkan tesa sipil di Orde lama dan Orde baru melahirkan sintesa dan pada
reformasi melahirkan jawaban atas antitesa yang dimana hal itu dijawab dengan
peranan militer yang saling mem-backing satu sama lain agar tetap terfokus
kepada rakyat dan demokrasi.

Menariknya dalam kasus kasus Negara yang baru menerapkan ide demokrasi hal ini
tidak sejalan akhirnya dengan kebijakan dalam negeri itu sendiri seperti contoh
kasus di Orde baru Indonesia yang militer sebagai shoulder legitimasinya dimana ia
menerapkan kebebasan ekonomi tapi perannya di Negara tidak demokratis justru ia
malah menekan kedalam institusinya sendiri, bukan keluar dari ranah institusinya
untuk bisa menerepakn reformasi kebijakan dan pengeneralisasian diktatornya
dalam situasi kondusif melalui represif tindakan militer adalah salah. Seperti yang
dikatakan oleh Siddharth Chandra dan Douglas Kammen bahwa:

“Soeharto new order began as a typical hierarchical military regime (1965-1974),


took and additional characteristic of bureaucratic authoritarianism, (1975-88), and
during its last decade came increasingly resemble sultanic regime (1989-1998). As
the nature of regime changed, so too did the political position of the military. While
soeharto was careful to maintain control over the appointment of senior officers and
sought to prevent the military form becoming and independent political actor, the
military nonetheless enjoyed a reasonable degree of administrative freedom,
particularly in the appointment and promotion of lower and middle ranking officer.
Seyongyanya peran militer dalam tatanan dunia barat yang masih bisa dikatakan
baik adalah kekuatan mereka yang stabil karena berjalannya sebuah good
governance yang baik karena impul-impul dari pendukungnya berkerja dengan baik
sehingga menghasilkan kekuatan dan rasa saling kepercayaan dalam politk yang
mendasari lahirnya demokrasi yang otokritik dan ballance. Hal ini dikatakan oleh
Ayuzumardi Azra dalam paparannya yang mengatakan bahwa good governance
adalah salah satu hal yang wajib di dalam Negara demokrasi sehingga:

”government is of course only one of the actors in the governance. There are many
other actors outside of the executive branch of government, including legislative
and judicative branches which play an important role in decision making process.
Even in a wider sense, other non government actors that also play a role in decision
making or in influence decision making progress, can be called as actors of
governance; they are, for instance, civil society organizations and groups, NGOs,
research institutes, political parties, the military, religious leaders, public
intellectuals, and others. But, above all, it is government especially that is central in
the creation for good governance.

Hal selanjutnya yang perlu dikritisi adalah peran militer di dalam Negara demokrasi
yang menerapkan asas ekonomi yang tidak transparan sehingga oknum militer bisa
menjadi kabur dan akhirnya bisa mengakibatkan perimbangan pendapatan yang
sebelumnya kepada sipil atau pun tidak adanya perbaikan salary dari militeris atau
tentara maka akan melahirkan tindakan penyimpangan. Hal ini bisa kita lihat di
Negara yang berdemokrasi di dalamnya masih dibayangi romantisme yang kandas
dari pemimpin sebelumnya itu bisa kita lihat dari contohnya Indonesia yang dimana
ia dalam romansanya dengan rezim soeharto melahirkan anak emas terhahadap
anak nya sendiri dan, akhirnya munculah apa yang disebut kronisme. Dan tak pelak
lagi militer yang punya ekses dan kelonggaran dalam hukum bisa mencari celah
untuk mendapatkan pendapatan tambahan. Dan hal itu di lakukan dengan “kerja
sama” ataupun dengan tindakan pungli. Hal ini bisa menjadi contoh adalah militer
yang terjun kedalam praktek-praktek birokrasi.

Dimana golongan birokrasi militer, yang telah mendapat basis ekonomi bukan dari
pemilikan modal swasta, tetapi dengan menggunakan kekuasaan dan jabatan
birokrasi. Dengan kekuasaan dan jabatan birokratis ini memungkinkan komando-
komando tertentu mempunyai akses (terobosan masuk) dalam pasaran ekonomi,
sampai ke daerah-daerah. Dengan cara menduduki pusat-pusat kekuasaan dalam
birokrasi Negara dagang yang patrimonial, mereka mendapat bagian dari
keuntungan yang dihasilkan oleh modal asing dan modal Cina.

Hal ini tentunya tidak sejalan dengan prinsip demokrasi yang seharusnya
diterapkan di Negara-negara demokrasi. Dimana peran militer yang seharusnya
terjadi dalam basis ekonomi adalah menitikberatkan pada keamanan yang in dan
out itu bisa kita lihat di Negara-negara barat yang telah mapan.

KESIMPULAN

Tak terbantakah lagi bahwa seyongyanya peranan militer dalam Negara demokrasi
adalah ibarat pedang bermata dua apabila ia tidak di atur dengan cara ataupun
system yang demoktatis maka ia akan memakan negaranya sendiri dalam bentuk
Negara yang dictator militer. Sehingga pulalah ketentuan yang ada hanya akan
melahirkan berbagai masalah kudeta yang berkepanjangan mengingat adanya
peran yang tidak imbang dalam tataran pendemokrasian. Di lihat dari sudut
pandang yang lain ketentuan pola lain dari hal ini tidak akah berjalannya system
demokrasi yang benar.

Perlu di ingat bahwa adanya semacam peran dari institusi lain ataupun dari
masyarakat untuk melakukan semacam pengawasan terhadap tindak-tanduk militer
yang kita ketahui bahwa ia memiliki norma-normanya sendiri yang tentunya tidak
bisa diremehkan mengingat sectarian keberpihakannya memiliki unsur yang
loyalitis yang fanatis ataupun normal.

Sedangkan yang terjadi seharusnya peranan militer di Negara demokrasi adalah


tidak ikut campur dalam politik, focus kepada bidangnya dalam HANKAM, netral
dalam politik, berswadaya dalam masyarakat, walaupun tidak punya peran yang
tegas dalam politik kekuasaan seyongyannya militer juga harus siap dengan
keadaan darurat untuk member sumbangsih dalam politik tapi sifatnya yang
sementara. Dalam hal ini militer juga harus pandai membaca situasi poliltik karena
bisa jadi militer ditunggangi oleh politisi ataupun oleh parpol untuk melakukan
perbuatan yang diluar wewenangnya untuk bisa menghalalkan kekuasaan segilintir
orang dimana pada saat itu militer seharusnya melihat pada pimpinan yang lebih
tinggi, yaitu kepentingan rakyat, apakah benarkah ini situasi yang krusial atau
hanya sabotase dan propaganda dari elite.

Tidak riskan lagi kalau kita mengatakan bahwasanya militer harus netral dan
objektif, dimana dalam Negara demokrasi peran masyarakat juga memainkan
peranan penting dalam hal ini dimana Di samping itu masyarakat sipil juga harus
kuat, solid, tidak terpecah-pecah dan tidak mudah terprovokasi. Di antara elemen
masyarakat sipil sudah seharusnya dibangun iklim dialog dan kerja sama kualitatif
untuk pembebasan bersama dari kungkungan situasi yang terus memburuk.
Dengan begitu masyarakat sipil dapat mengatasi vulnerabilitas internalnya yang
potensial menjebaknya ke dalam konflik-konflik horizontal sebagaimana fenomena
konflik sosial dan kerusuhan-kerusuhan dewasa ini.

***
DAFTARKEPUSTAKAAN

– Ahmad Adaby Darban. Pengaruh akar budya politik budaya pada dinamika politik
ekonomi di Indonesia. Universitas Muhamadiyah press. Malang. 2001

– Azyumardi Azra. Religious-based civil society, and anti-corruption campaign. An


Indonesia experience in the creation of good governance. Paper untuk konferensi
civil society, religion and global governance: paradigms of power and persuasion.
Canberra. 2005

– Gardiner, Juliet. What is History Today…?. MacMillan Education. London. 1988

– Muh Hanif Dhakiri. Harian Kompas. Rabu, 16 Februari 2000.

–Siddharth Chandra dan Douglas Kammen. Generating Reforms and reforming


generation military politic in Indonesia democratic transition and consolidation.
Dalam World Politics. Academic Research Library. 2002.

– http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala

– http://en.wikipedia.org/wiki/Military

– http:// Kammi.or.id

http://hendrikofirman.wordpress.com/2009/01/10/bagaimana-peranan-militer-di-
negara-demokrasi-seharusnya-di-jalankan/

You might also like