Professional Documents
Culture Documents
Pengantar
Pada pembelajaran bahasa Inggris, life skill tidak dikemas dalam bentuk pokok
bahasan tersendiri, ataupun disisipkan dalam materi tertentu yang membutuhkan waktu
tambahan dan juga tidak memerlukan jenis buku baru dan juga tidak memerlukan
tambahan guru baru. Pembelajaran kecakapan hidup memerlukan reorientasi pendidikan
dari subject-matter oriented menjadi life- skill oriented.
Bertolak dari kenyataan yang ada di Negara kita, bahwa pendidikan yang
diperoleh oleh peserta didik tidak seperti apa yang diinginkan, ini terlihat dari
pelaksanaan dan hasil ujian mereka di sekolah. Sadar ataupun tidak kita sebagai pengajar
merasa panik dengan pelaksanaan Ujian . Untuk itu kiranya diperlukan konsolidasi agar
pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill).
Setelah membaca uraian singkat di atas mungkin muncul pertanyaan, apakah yang
dimaksud dengan life skill (kecakapan hidup) itu. Kecakapan hidup (life skill) adalah
kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup
dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif
mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya manpu mengatasi masalah yang
dihadapinya (Diknas, 2002:5).
Sedangkan Kendall dan Marzano (dalam Saryono, 2002:5) menyebutkan
kecakapan hidup merupakan deskripsi seperangkat katagori pengetahuan yang bersifat
lintas isi atau kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan untuk dunia
kerja. Adapun Bronlin (1989) menyatakan bahwa kecakapan hidup merupakan
pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi dan
bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari, tidak harus selalu
meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini semua berarti bahwa bentuk kecakapan
hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat, bukan teori; pengetahuan sebagai
skill of doing sekaligus skill of being.
Berdasarkan berbagai konsepsi dan penggolongan kecakapan hidup yang ada, ada
beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan yaitu;
3) Kecakapan hidup bukan berkenaan dengan hal-hal hardware semata, tetapi juga
berkenaan dengan brainware dan software yang dibutuhkan oleh masyarakat luas
khususnya siswa dalam berkiprah dan dalam kehidupan sehari-hari.
7) Paradigma learning for life and school to work dapat dijadikan dasar kegiatan
pendidikan, sehingga terjadi pertautan antara pendidikan dan kebutuhan nyata
peserta didik.
Kesejahteraan bangsa bukan lagi bersumber pada sumber daya alam dan modal
yang bersifat fisik, tetapi bersumber pada modal intelektual, modal social dan kredibilitas
sehingga tuntutan untuk terus menerus memutakhirkan pengetahuan menjadi suatu
keharusan. Mutu lulusan tidak cukup bila diukur dengan standar local saja sebab
perubahan global telah sangat besar mempengaruhi ekonomi suatu bangsa. Terlebih lagi
pengetahuan dikembangkan dengan berbasis pengetahuan kompetensi tingkat tinggi,
maka bangsa yang berhasil adalah bangsa yang mempunyai standar mutu pendidikan
yang tinggi. Dengan demikian, fungsi pendidikan sebagai hak asasi manusia yang
mendasar, modal ekonomi, social dan politik;, landasan budaya damai dan sebagai jalan
utama menuju masyarakat belajar sepanjang hayat, sesungguhnya merupakan langkah
penting bagi pembangunan kualitas karakter suatu bangsa yang berbudaya dan
berkarakter.
Fokus hasil pendidikan yang bermutu adalah siswa yang sehat, mandiri,
berbudaya, berakhlak mulia, beretos kerja, berpengalaman dan menguasai teknologi,
serta cinta tanah air. Untuk mewujudkan siswa dengan cirri-ciri tersebut perlu
dikembangkan kurikulum berdasarkan aspek-aspek; (1) Diversivikasi kurikulum, (2)
Standar nasional, (3) Kurikulum Berbasisi Kompetensi Dasar, (4) Partisipasi masyarakat,
(5) Manajemen berbasis sekolah.
Dengan demikian, orang tidak lagi berpikir tentang sistem bahasa, melainkan
berpikir bagaimana menggunakan bahasa ini secara benar sesuai dengan sistem itu.
Pandangan ini membawa sebuah konsekuensi bahwa pembelajaran bahasa haruslah lebih
menekankan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi daripada pembelajaran tentang sistem
bahasa. Sebagai konsekuensi dari pandangan itu, dalam menyusun silabus haruslah
menekankan pada standar kompetensi dan materi yang berupa performansi.
1. Dalam model integratif, implementasi PKH melekat dan terpadu dalam program-
program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang ada, bahkan
proses pembelajaran. Program kurikuler atau mata pelajaran yang ada hendaknya
bermuatan kecakapan hidup. Model ini membutuhkan kesiapan dan kemampuan
tinggi dari sekolah, kepala sekolah dan guru mata pelajaran. Kepala sekolah dan
guru dituntut untuk kreatif, penuh inisiatif, dan kaya akan gagasan. Guru dan
kepala sekolah harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan kurikulum,
mengelola pembelajaran, dan mengembangkan penilaian. Keuntungannya model
ini, adalah relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah
beban sekolah, terutama kepala sekolah, guru ataupun peserta didik.
2. Dalam model komplementatif, implementasi PKH, ditambahkan ke dalam
program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum yang ada; bukan dalam
mata pelajaran. Pelaksanaannya dapat berupa menambahkan mata pelajaran
kecakapan hidup dalam struktur kurikulum atau menyelenggarakan program
kecakapan hidup dalam kalender pendidikan. Model ini membutuhkan waktu
tersendiri atau waktu tambahan, juga guru tambahan dan membutuhkan ongkos
yang relatif mahal. Selain itu, penggunaan model ini dapat menambah beban
tugas siswa dan guru serta membutuhkan finansial yang tidak sedikit yang dapat
memberatkan pihak sekolah. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan
secara optimal dan intensif untuk membentuk kecakapan hidup pada peserta
didik.
3. Dalam model terpisah (diskrit), implementasi PKH di-sendiri-kan, dipisah, dan
dilepas dari program-program kurikuler, atau mata pelajaran. Pelaksanaanny
dapat berupa pengembangan program kecakapan hidup yang dikemas dan
disajikan secara khusus pada peserta didik. Penyajiaannya bisa terkait dengan
program kurikuler atau bisa juga berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini
memerlukan persiapan yang matang, ongkos yang relatif mahal, dan kesiapan
sekolah yang baik. Model ini memerlukan perencanaan yang baik agar tidak salah
penerapan, namun model ini masih dapat digunakan untuk membentuk kecakapan
hidup peserta didik secara komprehensif dan leluasa.
Untuk tingkat SMP, sudah saatnya siswa belajar menggabungkan berbagai mata
pelajaran dan berbagai aspek kecakapan hidup dalam bentuk kegiatan yang
komprehensif. Oleh karena itu perlu diberikan latihan berupa projek/tugas diakhir
semester. Tugas tersebut sebaiknya berupa pemecahan masalah dan dikerjakan secara
kelompok, agar sebanyak-banyaknya mata pelajaran berkontribusi dalam pengerjaan
tugas tersebut(tetapi tidak boleh dipaksakan), sebaiknya dilakukan identifikasi peran serta
mata pelajaran..
Untuk mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan, guru dapat membuat
penilaian yang tidak hanya terbatas pada bentuk tes tertulis namun proses pencapaian
kompetensi dapat dikembangkan melalui strategi pembelajaran tatap muka dan
pengalaman belajar. Pengalaman belajar dilakukan siswa untuk menguasai kompetensi
dasar yang telah ditentukan, sedangkan pembelajaran tatap muka dapat dilakukan di
dalam maupun di luar kelas dengan menggunakan metode yang bervariasi. Pengalaman
belajar sebaiknya memuat kecakapan hidup yang herus dimiliki oleh siswa.
Sindhunata (ed). 2000. Membuka Masa Depan Anak-anak Kita (Mencari Kurikulum
Pendidikan Abad XXI). Yogyakarta: Kanisius.