You are on page 1of 10

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

Oleh :
Edy Santosa, Biro Telematika Lemhannas RI

1. Latar Belakang

Pancasila sesuai dengan ketetapan MPR No. XVIII tahun 1998 telah di
tetapkan sebagai dasar negara, ideologi nasional dan falsafah pandangan hidup
bangsa. Sebagai ideologi nasional, Pancasila berfungsi menggerakkan masyarakat
untuk membangun bangsa dengan usaha-usaha yang meliputi semua bidang
kehidupan. Pancasila tidak menentukan secara apriori sistem ekonomi dan politik,
tetapi sistem apapun yang dipilih harus mampu menyalurkan aspirasi untuk
kepentingan seluruh masyarakat Indonesia.

Sebagai ideologi nasional, Pancasila yang pada dasarnya menampilkan nilai-


nilai universal, menunjukkan wawasan yang integral-integratif, dan sebagai ideologi
modern yang mampu memberikan gairah dan semangat tinggi. Berbeda dengan
ideologi-ideologi barat, Pancasila yang dilahirkan dalam budaya dan sejarah
peradaban timur sangat menjunjung tinggi peran religiositas, yang justru sangat
didambakan dalam alam kehidupan dan peradaban teknokratis sekarang ini.
Pancasila digali dari akar budaya bangsa Indonesia walaupun bangsa Indonesia
terdiri dari bermacam ras dan suku yang memiliki bahasa dan adat istiadatnya
sendiri, tetapi mereka, bangsa Indonesia tetap bertekad untuk bersatu (Sumpah
Pemuda 1928), dari sinilah kemudian Pancasila dijadikan falsafah pandangan
hidup bangsa.

Di negerinya sendiri nasib ideologi Pancasila mengalami pasang surut.


Pancasila sempat disakralkan diera orde baru, tapi kemudian pada awal era
reformasi Pancasila dicampakkan. Karena itu pula, Pancasila tidak membumi lagi
bagi kehidupan bangsa. Sakralisasi terhadap Pancasila pada masa lalu telah
menyebabkan Pancasila seperti benda museum yang berjarak dari generasi anak
bangsa. Akibat itu pula Pancasila dianggap barang langka yang tidak menarik untuk
diimplementasikan. Beberapa televisi pernah menayangkan wawancara mendadak
dengan sejumlah generasi muda dari kalangan siswa sampai mahasiswa, terbukti
semakin sulitnya mencari generasi muda yang paling tidak, “tahu” Pancasila.
Sebagian dari mereka tak bisa menyebutkan sila-sila Pancasila. Ini menjadi indikator
sederhana dari semakin terasingnya Pancasila dari nafas kehidupan anak bangsa,
khususnya bagi generasi muda.

Sebagai ideologi nasional Pancasila seharusnya tersosialisasi dalam bentuk


ajaran atau doktrin yang mengandung nilai-nilai dasar, nilai instrumental dan nilai
praksis. Ajaran atau doktrin ini harus menjadi referensi dalam kegiatan
pembangunan nasional, khususnya pembangunan di bidang ekonomi.

2. Pembahasan

Pada tanggal 1 Juni 1945 para founding fathers berkumpul dalam forum
persidangan BPUPKI untuk merumuskan dasar negara bagi Indonesia Merdeka
yang akan segera dicapai. Hal yang sungguh luar biasa pada momentum itu adalah
sikap negarawan dan visi ke depan yang universal dari para pemimpin politik kita
jauh melampaui masanya. Wujud nyata dari keberhasilan itu adalah dirumuskannya
prinsip–prinsip ber-negara dan ber-bangsa, yang digali dari Nilai-nilai Luhur Bangsa
Indonesia, dan terciptanya harmoni atas perbedaan pandangan ditengah
Keragaman Budaya dan Latar Belakang Pemikiran demi tercapainya Indonesia
Merdeka yang mereka cita-citakan dan perjuangkan bersama. Rumusan hasil
sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 berupa konsensus sosial inilah yang
kemudian kita kenal dengan Pancasila. Pancasila terlahir sebagai kristalisasi
perjalanan sejarah dan komitmen kebangsaan segenap pemimpin politik pada waktu
itu, dan sekaligus menjadi cita-cita kolektif tentang terselenggaranya tata kehidupan
masyarakat baru yang lebih beradab, adil makmur, dan sejahtera materil maupun
spirituil dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Peringatan hari lahirnya Pancasila setiap tanggal 1 Juni, adalah sebagai


penghargaan terhadap ideologi nasional Bangsa Indonesia yang tentu saja akan
dikaji berdasarkan konteks waktu, generasi dan semangat jaman, maupun perspektif
sudut pandangnya, dan diharapkan dapat menjadi wacana yang lebih komprehensif
serta bermuara pada kegiatan dan tindakan yang nyata, sehingga tidak terjebak
dalam abstraksi dan angan-angan pemikiran belaka. Maka memperingati Hari
Lahirnya Pancasila, merupakan hal yang penting dan perlu digarisbawahi dengan
tegas, dalam mengkaji dan memperbincangkan Pancasila dengan keterbukaan
terhadap konteks waktu dan semangat jaman, aspirasi generasinya dengan
berbagai perspektif sudut pandang. Dengan demikian diharapkan dapat menjadi
perspektif baru yang ditarik dari realitas historis Indonesia dan Pancasila, dengan
realitas kekiniannya. Perspektif baru ini menjadi pijakan utama dalam menempatkan
diri (reposisi), guna penataan dan pengelolaan negara dan bangsa agar berada
pada ruang dan waktu yang tepat.

Sejarah lahirnya Pancasila memberikan pesan kepada kita bahwa Pancasila


merupakan manifestasi dari keluhuran budi dan semangat kolektifitas dari bangsa
Indonesia yang oleh para founding fathers dirumuskan menjadi suatu tata nilai bagi
kehidupan kebangsaan untuk Indonesia yang merdeka. Pancasila menjadi produk
historis dari konsensus sosial segenap kekuatan sosial politik yang membentuk
Indonesia modern tersebut, sekaligus dijadikan pengalaman empiris dalam
menciptakan harmoni di antara perbedaan kepentingan dari keragaman orientasi.

Pancasila tidak hanya bergerak pada proses konseptualisasi yang semakin


mantap, tetapi juga mempunyai peran dalam kegiatan empirik sebagai visi, orientasi
dan perangkat kritik dalam kehidupan praktis berbangsa dan bernegara khususnya
dalam pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu implementasi Pancasila
sebagai ideologi nasional yang modern harus berjalan selaras dengan proses
pembangunan bangsa dalam berbagai aspeknya tanpa terjebak dalam praktik
dogmatisme dan determinisme, serta indoktrinasi. Indonesia dan Pancasila adalah
realitas historis dari hasil perjuangan rakyat yang melepaskan diri dari penjajahan
dan penindasan, untuk hidup sebagai bangsa yang lebih bermartabat dan lebih
sejahtera.

Pancasila sebagai ideologi nasional mempunyai makna fungsional sebagai


penopang solidaritas bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai sumber inspirasi
pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pancasila oleh para founding fathers dimaksudkan sebagai staat
fundamental norm sekaligus philosophie groundslag. Makna dari hal ini adalah
ditempatkannya Pancasila sebagai sistem nilai yang menjadi landasan bagi
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta filosofi hidup bagi
setiap warga negaranya. Dengan demikian Pancasila memiliki makna emansipatif
karena ada orientasi berupa tindakan praktis dalam setiap denyut kehidupan di
Indonesia. Pancasila menjadi jiwa yang tertanam dalam setiap sanubari seluruh
elemen bangsa untuk menyusun Indonesia,kini dan esok. Dalam pengalaman
kehidupan kebangsaan kita, Pancasila yang telah berusia lebih dari 64 tahun, telah
melampaui ruang dan waktu berdialektika dengan dinamika jaman. Sepanjang
waktu itu, Pancasila telah menjadi landasan bagi penyelenggaraan negara dengan
berbagai dinamikanya.
Nilai-nilai Pancasila pada praktik pengejawantahannya kemudian sangatlah
dipengaruhi oleh struktur kepentingan kekuasaan politik yang tengah berlangsung.
Pengalaman sejarah politik bangsa kita memperlihatkan hal tersebut. Pancasila
pernah berada pada masa dijadikan suatu instrumen politik untuk mengakhiri
fragmentasi dan kekacaubalauan politik eksperimen demokrasi liberal dalam sistem
politik parlementer yang bertentangan dengan Pancasila yang berlandaskan nilai-
nilai ke-Indonesiaan. Dengan demikian, keluarnya dekrit Presiden 1 Juli 1959 dapat
dimaknai sebagai suatu upaya politik untuk mengembalikan prinsip
permusyawaratan yang merupakan nilai prinsipal dalam Pancasila dan UUD 1945.

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, Pancasila harus berdialektika dengan


interpretasi yang dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru. Komitmen untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen pada
realitasnya kemudian justru menjadi jargon dan idiom politik politik belaka. Kita
menyaksikan realitas adanya keretakan antara sistem nilai ideal dengan
pengalaman praktis yang kemas dalam bentuk doktrin resmi berupa butir–butir P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dioperasionalisasikan
secara represif oleh aparatue negara dalam forum–forum resmi penataran, litsus, dll.
Tingkat pemahaman terhadap butir–butir P4 kemudian menjadi ukuran bagi sesuatu
yang oleh negara dianggap sebagai kadar komitmen terhadap Pancasila. Persoalan
muncul bukan pada nilai–nilai ideal yang terkandung dalam P4, namun terletak pada
kesenjangan antara nilai–nilai ideal dalam penjabaran Pancasila dengan praktek
kenegaraan. Tak hanya itu, Pancasila pun digunakan sebagai instrumen untuk
melakukan penataan politik yang muaranya adalah menjaga legitimasi dan stabilitas
kekuasaan rezim yang berlangsung. Atas nama Pancasila, penguasa secara
sewenang–wenang melakukan tindakan represi terhadap masyarakat kritis yang
dianggap potensial menjadi ancaman bagi kekuasaan.

Dari uraian tersebut tampak dua realitas penyelewengan terhadap nilai-nilai


Pancasila1. Pertama bentuk dari praktik kemalasan bangsa untuk senantiasa
mengaktualisasi dan merevitalisasi nilai-nilai luhur jati diri bangsa, sebagai elaborasi
Pancasila terhadap konteks aspirasi jaman dan dan generasi. Sehingga menjadikan
kita tidak percaya diri dan gamang. Mengadopsi sebuah nilai dengan menirunya
mentah-mentah. Bila tanah (baca: ruang) yang mau dipijak saja tidak tahu, langit
(baca: jaman) mana yang akan dijunjung. Kedua: pada praktik penyerderhanaan,
yang melahirkan penyeragaman dan orientasi kepada materi yang bersifat fisik

1
Yanuar Arifin, Revitalisasi Pancasila dan Redefinisi Nasionalisme Keindonesiaan’ Jakarta 2 Juni 2008.
belaka. Proses sebagai nilai penentuan hasil cenderung dibaikan, tak pelak lebih
mudah menerima hal yang instan dan cepat saji. Rakyat dan realitasnya diabaikan
perannya sebagai unsur emansipatoris bersama pemerintah dan negara, untuk
menggunakan Pancasila dalam menilai pembangunan bangsa dan negara. Pada
prinsipnya kedua praktik penyimpangan, adalah praktik korupsi, terutama terhadap
nilai, yang kini telah melahirkan ketidakadilan, diskriminasi, dan cenderung
menggunakan kekerasan daripada berdialog dan bertoleransi karena pluralitas
masyarakat dan budayanya yang hidup dalam satu negara yang berdaulta di era
globalisasi.

Dari perkembangan lingkungan global, Indonesia yang saat ini masuk


pada tata masyarakat global yang makin integratif, dihadapkan pada berbagai
tantangan yang semakin kompleks. Banyak peluang dan tantangan ada didepan
kita, misalnya perkembangan tehnologi dan informasi memungkinkan kita untuk
mengembangkan diri dan memajukan peradaban kita. Namun demikian,
ketidaksiapan kita dapat juga menimbulkan permasalahan dalam pergaulan global.
Dalam konteks ini kita merasakan bahwa dampak globalisasi yakni liberalisasi
ekonomi dengan praktik korporasi yang tamak, yang pernah dialami oleh bangsa
Indonesia hampir genap empat abad lamanya. Mulai era imperialisme kolonial
Belanda dengan Perseroan Terbatas yang bernama VOC menancapkan kuku
kekuasaanya di kerajaan–kerajaan Nusantara. Kemudian hingga berlangsung pada
derajat yang lebih intens ketika pada pemerintahan yang merilis kebijakan politik dan
ekonomi pintu terbuka terhadap kepentingan modal asing. Dikeluarkannya Undang-
undang No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing jo. (junto) Undang-
undang No. 11 tahun 1970, membawa Indonesia dalam tata ekonomi yang
dikonstruksi oleh paham kapitalisme-liberalisme secara lebih dalam. Pancasila
dilupakan sebagai dasar filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dapat
menjadi dasar penataan, politik, ekonomi dan negara. Liberalisasi tahap lanjut saat
ini, berjalan paralel dengan arus gerakan demokratisasi yang diusung oleh
gelombang reformasi, implikasinya adalah semakin terbukanya ruang untuk
mengekspresikan kebebasan yang cenderung menjadi anarkhi. Liberalisasi
melanda seluruh sektor dan bidang kehidupan tanpa terkecuali dan menyeret
Indonesia dalam tata dunia global.

Liberalisasi di satu sisi memberikan inspirasi akan tata masyarakat bebas,


keluar dari praktik penindasan dan penjajahan, dari rezim yang hegemonik dan
represif. Kebebasan ini diyakini dapat memberikan kesempatan untuk menata
kehidupan lebih baik sebagaimana menjadi cita–cita founding fathers. Namun
demikian, yang perlu dikritisi adalah muatan kepentingan neoliberal yang
menyelusup dalam kebebasan ini sarat dengan sejumlah kontradiksi yang tidak
sesuai dengan Indonesia Merdeka yang dicita-citakan bangsa Indonesia2.

Di era globalisasi ini, arus perubahan Negara-negara di dunia telah mengarah


kepada homogenisasi paradigma kehidupan, yaitu universalisasi liberalisme. Di
bidang ekonomi, ekonomi neoliberal yang bertumpu pada kapitalisme global menjadi
arus utama. Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang telah mulai
berkenalan dengan kapitalisme global seiring dengan perekonomian era Orde baru
yang menjadikan paradigma pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi
panglima. Krisis devaluasi rupiah yang kemudian menjadi krisis moneter sepanjang
1997-1998 telah membutakan mata bahwa pondasi perekomomian Indonesia yang
dibangun atas dasar hutang luar negeri tidaklah kokoh. Di era reformasi ini,
kesadaran demikian belum mampu membangkitkan semangat di kalangan
pemerintahan untuk mencari alternatif system perekonomian yang berkeadilan
sosial, sebaliknya saat ini Indonesia mengalami berbagai dentumen arus
neoliberalisme yang terwujud dalam trio deregulasi, privatilasi, dan liberalisasi
perdagangan.

Dari perkembangan lingkungan Regional, negara-negara ASEAN


mengakui peran strategis Indonesia dalam pembangunan ekonomi regional.
Bahkan, ASEAN masih memandang Indonesia sebagai inisiator dalam
pengembangan kerja sama lingkungan, sosial budaya, pendidikan termasuk politik.
Indonesia termasuk sebagai inisitor dalam pengembangan arus investasi termasuk
pemberdayaan UKM antarnegara ASEAN. 'Peran aktif Indonesia dalam kerja sama
regional ASEAN sangatlah strategis. Hingga kini walaupun taraf pembangunan
ekonomi negara-negara ASEAN berbeda, keselarasan untuk menuju kawasan
regional yang memiliki daya tahan ekonomi yang kuat terbangun dengan baik.
Sekretaris Direktorat Jenderal kerja sama ASEAN Deplu Mayerfas, mengatakan
“Stabilitas hubungan regional negara-negara ASEAN bahkan hingga tahun ke-40 ini
masih damai. Tidak ada konflik yang menjurus pada perpecahan komunitas
regional. ASEAN termasuk kerja sama regional yang paling solid”.

Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB), Haruhiko Kuroda, mengatakan


ASEAN bisa dan seharusnya menjadi contoh bagi negara-negara lain di Asia

2
Palar Batubara, Pancasila Sebagai Ideologi Nasional Dan Sumber Nilai Dalam Praksis Sosial Dan
Kebangsaan, Jakarta 2008
mengenai bagaimana kerjasama ekonomi dapat mempererat integrasi regional.
"ASEAN berada dalam posisi yang unik sebagai ‘regional sub de facto’ bagi
kerjasama dan integrasi ekonomi di kawasan Asia Timur dan pada akhirnya seluruh
Asia,"3. Kuroda menambahkan bahwa penandatanganan Piagam ASEAN menjadi
satu pencapaian yang paling penting dalam proses evolusi ASEAN. Piagam ASEAN
akan mengubah kerangka institusi ASEAN menjadi salah satu yang berbasis pada
peraturan, namun masih pragmatis, dengan kesadaran bahwa pembangunan
ekonomi nasional dan prioritas nasional itu bervariasi di setiap negara.

Oleh sebab itu, kerjasama dan integrasi ekonomi untuk pembangunan


kawasan, menjadi sangat penting dan memiliki nilai strategis, karena dapat
menjembatani gap pembangunan antara negara-negara di ASEAN dan negara-
negara kawasan. Dalam kaitan ini peran sektor swasta akan menjadi bagian integral
dari upaya ASEAN membentuk masyarakat bersama ASEAN (AEC/ASEAN
Economic Community) pada 2015. Kemitraan negara dan swasta akan menjadi
komponen penting untuk melewati keempat pilar kerjasama dan integrasi regional
yaitu infrastruktur lintas batas, perdagangan dan investasi, uang dan keuangan,
serta penyediaan perangkat-perangkat publik regional4.

Dari perkembangan lingkungan Nasional, muncul perkembangan menarik


dengan mulai diwacanakannya system Ekonomi Pancasila yang merupakan sistem
ekonmi yang berlandasan dan dijiwai spirit nilai-nilai Pancasila. Pandangan sistem
ini yang bisa dilacak dari ide-ide Bung Hatta, salah seorang proklamator RI. Senada
dengan pesan pasal 33 UUD 1945 dan berbasiskan nilai-nilai sosio-religio-budaya
masyarakat Indonesia.

Apabila mencermati pemikiran Adam Smith yang telah menulis The teory of
Moral Sentiments (1759), di dalam salah satu karyanya, terdapatlah ajaran asli
Bapak Ilmu Ekonomi ini bahwa ekonomi sama sekali tidak lepas dari faktor-faktor
etika. Dalam buku ini Adam Smith mencoba mengembangkan ilmu ekonomi yang
tidak saja bermoral namun juga mendesain aspek kelembagaannya. Dari sinilah
keberadaan Ekonomi Pancasila parallel dengan pemikiran Smith.

Sistem Ekonomi Pancasila dicirikan oleh lima hal sebagai berikut 5:


a. Koperasi adalah sokogru perekonomian nasional.
b. Manusia adalah “economic man” social and religions man”.

3
Kunjungan Mr. Haruhiko Kuroda (Presiden ADB) ke Bappenas. 22/11/2008.
4
Situs Resmi Bank Pembangunan Asia (ADB).
5
Mubyarto & Budiono, 1980, Ekonomi Pancasila, Badan Penerbit FE-UGM, Yogyakarta.
c. Ada kehendak sosial yang kuat kearah egalitarianisme dan
kemerataan sosial.
d. Prioritas utama kebijakan diletakan pada penyususnan perekonomian
nasional yang tangguh.
e. Pengandalan pada sistem desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan-
kegiatan ekonomi, diimbangi dengan perencanaan yang kuat sebagai
pemberi arah bagi perkembangan ekonomi seperti yang dicerminkan dalam
cita-cita koperasi.

Pancasila harus diintegrasikan dalam perilaku sosial maupun politik dan


sebagai alat pemersatu bangsa disemua dimensi kehidupan. Perubahan akan dapat
terjadi jika para pemimpin politik dapat memberikan tauladan kepada seluruh
masyarakat akan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Bentuk
nyata dari keteladanan dan konsistensi pelaksanaan Pancasila ini dapat dimulai
dengan diakhirinya kebijakan–kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan
rakyat, praktik kejahatan korupsi, ego kepentingan yang bersifat sektoral,
pengutamaan permusyawaratan sebagai mekanisme politik dalam menyelesaikan
seluruh persoalan bangsa dan menolak seluruh kepentingan asing yang
bertentangan dengan kepentingan nasional 6.

3. Penutup
a. Kesimpulan

1) Sebagai ideologi nasional, Pancasila yang pada dasarnya


menampilkan nilai-nilai universal, menunjukkan wawasan yang integral-
integratif, dan sebagai ideologi modern yang mampu memberikan
gairah dan semangat tinggi. Sebagai ideologi nasional Pancasila
seharusnya tersosialisasi dalam bentuk ajaran atau doktrin yang
mengandung nilai-nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.
Ajaran atau doktrin ini harus menjadi referensi dalam kegiatan
pembangunan nasional, khususnya pembangunan di bidang ekonomi.
Pancasila sebagai ideologi nasional mempunyai makna fungsional
sebagai penopang solidaritas bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai
sumber inspirasi pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial

6
Pidato Presiden SBY dalam memperingati hari kelahiran Pancasila 1 Juni 2006.
yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila tidak hanya
bergerak pada proses konseptualisasi yang semakin mantap, tetapi
juga mempunyai peran dalam kegiatan empirik sebagai visi, orientasi
dan perangkat kritik dalam kehidupan praktis berbangsa dan bernegara
khususnya dalam pembangunan ekonomi nasional.

2) Di era Orde Baru, komitmen untuk melaksanakan Pancasila dan


UUD 1945 secara murni dan konsekuen pada realitasnya kemudian
justru menjadi jargon dan idiom politik, sehingga terjadi kesenjangan
antara nilai–nilai ideal dalam penjabaran Pancasila dengan praktek
kenegaraan. Tak hanya itu, Pancasila pun digunakan sebagai
instrumen untuk melakukan penataan politik yang muaranya adalah
menjaga legitimasi dan stabilitas kekuasaan rezim yang berlangsung.

3) Pancasila harus diintegrasikan dalam perilaku sosial maupun


politik dan sebagai alat pemersatu bangsa disemua dimensi
kehidupan. Perubahan akan dapat terjadi jika para pemimpin politik
dapat memberikan tauladan kepada seluruh masyarakat akan
pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen.

b. Saran
Implementasi Pancasila tidak hanya sekedar abtraksi teoritis,
tetapi semakin emansipatif berupa tindakan–tindakan praktis termasuk
dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional. Para pemimpin
elit politik yang ada pada supra dan infra struktur politik, memegang
peran strategis untuk mengintegrasikan Pancasila dalam semua
dimensi kehidupan sebagai upaya menjawab berbagai persoalan yang
dihadapi bangsa. Oleh karenanya elit politik harus berani memutar
haluan, kembali pada Pancasila sebagai pedoman dalam perilaku
politik secara nyata dengan mendukung kebijakan-kebijakan di bidang
ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila untuk mencapai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui kegiatan
pembangunan ekonomi nasional.
DAFTAR BACAAN

Budiarto Danujaya, “Reinventing Ideology”, Kompas, 23 Juni 2004

Dumary, 2003. Kendala Sosialisasi Konsep Ekonomi Pancasila: Beberapa Untuk


Pengemban Ekonomi Pancasila. Jurnal Ekonomi Rakyat. Th. II-No. 4

Fakih, M. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Insist Press


bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Hamid, E.S. 2004. Ekonomi Pancasila. Pendidikan Network


Hamid, E.S. 2004. Pemerintahan Baru, Kesempatan Kerja dan Ekonomi
Pancasila. Harian Umum Pikiran rayat, 21-Oktober 2004.

Jim Supangkat, “Kebudayaan, Modernitas dan Politik Identitas“, Kompas 7


Novemper 2004, p. 17
Koentowijoyo, “Objektivikasi, Agenda Reformasi Ideologi“, Kompas, 13 Juli 1999
Koentowijoyo, “Objektivikasi, Memotong Mata Rantai Dikotomi“, Kompas, 04 Maret
2004
Koentowijoyo, “Radikalisasi Pancasila “, Kompas, 20 Februari 2004

Kuncoro, M. 2006. Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah dan kebijakan. Edisi


Ke empat. UPP-STIM-YKPN-Yogyakarta

Lemhannas RI, ”Modul-1,2,3,4,5 BS Ideologi”, E-Learning PPRA XLIII


Lemhannas RI Tahun 2009.

Mubyarto dan Budiono, 1981. Ekonomi Pancasila. Penerbitan Fakultas Ekonomi,


Universitas Gadjahmada.

Muladi Prof, DR, SH, 2006. Menemukan Kembali Hakekat dan Jati Diri Indonesia.
Disampaikan pada Seminar Reinvesi KeIndonesiaan. Bandung.

Rachbini, J. 2001. Mitos dan Implikasi Globalisasi: Catatan untuk Bidang Ekonomi
dan Keuangan

Said Ali, A. 2005. Penyegaran Pemahaman terhadap Pancasila. Harian Umum Sinar
Harapan

Sayidiman Suryohadiprojo, “Rejuvenasi Pancasila”, Kompas, 23 Juni 2004

You might also like