You are on page 1of 2

February 8, 2008

Politik Pendidikan
Agus Suwignyo

Politik pendidikan, yaitu penggunaan kekuasaan untuk mendesakkan kebijakan pendidikan, dapat bersifat keras
dan lunak.

Politik pendidikan dikategorikan keras apabila melibatkan kekuatan (fisik) untuk mendesakkan implementasi
kebijakan tertentu. Sebaliknya, politik pendidikan lunak menekankan implementasi kekuasaan secara halus
(subtle) lewat strategi taktis.

Meski segera lenyap dari pemberitaan media, pemogokan 6.200 guru di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi,
baru-baru ini penting diulas karena merupakan wujud politik pendidikan yang keras. Dalam aksi itu, para guru
mengolah potensi kekuasaan kolektif—mogok mengajar—untuk menghasilkan kekuatan nyata guna
memengaruhi tatanan keseharian masyarakat (menghentikan kegiatan belajar-mengajar di sekolah).

Strategi politik para guru itu untuk melawan politik ”lunak” pemerintah terkait anggaran pendidikan dan
tunjangan kesejahteraan guru. Melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, Pemkab Merangin menurunkan
anggaran pendidikan dari Rp 28 miliar (2007) menjadi Rp 23 miliar (2008) (Kompas, 24/1/2008) dan tidak
membayar tunjangan lauk-pauk bagi guru (Kompas, 26/1/2008).

Apa arti pemogokan itu dari sisi politik pendidikan di Indonesia?

Sebagai bentuk penerapan kekuasaan, politik pendidikan (keras/lunak) didasarkan tujuan yang hendak dicapai,
bukan dampak yang ditimbulkan. Karena itu, tolok penilaian yang tepat atas aksi pemogokan itu bukan apakah
ia berdampak baik atau buruk, tetapi efektifkah ia untuk meraih tujuan yang ditetapkan.

Eksploitasi kekuasaan

Sepakat dengan Tajuk Rencana Kompas (25/1/2008), di zaman pascareformasi, perjuangan para guru perlu
melampaui batasan klasik sosok dan citra guru. Unjuk rasa ribuan guru menuntut kenaikan anggaran
pendidikan, kesejahteraan, dan status kepegawaian di Jakarta, Tangerang, dan Yogyakarta beberapa waktu lalu
menunjukkan, garis perjuangan guru telah memangkas tabu-tabu keningratan ”semu” profesi guru yang
ditonjolkan, terutama sepanjang pemerintahan Orde Baru.

Berbagai unjuk rasa itu merupakan indikasi, kesadaran tentang keharusan pemerintah melaksanakan ketentuan
konstitusi tentang anggaran pendidikan mulai menyebar ke kalangan guru. Tampaknya para guru merasa ikut
bertanggung jawab untuk menuntut pemerintah agar memenuhi ketentuan anggaran pendidikan. Di zaman
pascareformasi, kesadaran dan tanggung jawab itu terekspresikan dalam unjuk rasa guru yang kian lazim
terjadi.

Meski demikian, demonstrasi guru di Kabupaten Merangin adalah kasus politik pendidikan yang unik.

Pertama, dengan mogok guna mendesakkan tuntutan, para guru mengeksploitasi potensi kekuasaan dalam
kolektivitas mereka. Ketika disalurkan lewat politik pendidikan yang keras, potensi kekuasaan itu mewujud
dalam kekuatan massa yang secara nyata menentukan nasib anak didik, masyarakat, bahkan hitam/putihnya
kewibawaan pemerintah.

http://jawabali.com/pendidikan/politik-pendidikan-557
Membuka mata

Pemogokan bukan unjuk rasa biasa. Bagi kaum buruh di Inggris pascarevolusi industri, pemogokan menjadi
strategi perjuangan menuntut hak. Hingga kini, di negara-negara maju, pemogokan pekerja seperti pegawai
kereta api dipandang sebagai aksi massa yang disikapi serius pemerintah karena potensial menggoyahkan
perekonomian dan tatanan sosial.

Di Indonesia, pemogokan dilakukan buruh dalam skala relatif kecil. Namun, pemogokan 6.200 guru di
Merangin membuka mata bahwa selain buruh, guru juga menyimpan potensi kekuasaan politik massa yang
besar. Kasus Merangin mengindikasikan, guru tidak hanya memegang kunci pencerahan budi, tetapi juga kunci
kekuasaan politik dalam arti sebenarnya.

Dalam pemogokan, eksploitasi potensi kekuasaan kolektif guru jauh lebih nyata daripada dalam unjuk rasa
biasa. Artinya, pada konteks luas, jika terjadi koordinasi solid dan sistemik atas 2,7 juta guru di Indonesia untuk
mengolah potensi kekuasaan kolektif yang diekspresikan dalam politik pendidikan yang keras, misalnya
pemogokan, peran guru sebagai agen perubahan menjadi amat nyata.

Persis itulah makna kedua yang penting diulas. Dipilihnya strategi politik pendidikan yang keras oleh guru
untuk melawan strategi lunak pemerintah dalam penentuan anggaran mengindikasikan para guru mulai
kehilangan kesabaran menghadapi sikap kenyal pemerintah dalam melaksanakan amanat konstitusi tentang
anggaran pendidikan. Mengutip Tajuk Rencana Kompas, bagi para guru persoalannya ”sudah sampai ubun-
ubun, serius, dan selayaknya memperoleh tanggapan segera”.

Ketika kesadaran dan kepedulian tentang tanggung jawab politik atas penyelenggaraan pendidikan kian meluas
di kalangan guru dan ketika kebebasan berpendapat menjadi esensi demokrasi yang kian dijiwai, pemogokan
guru di Merangin adalah sinyal terlalu jelas untuk diabaikan pemerintah (daerah) mana pun. Siapa pun tak
membayangkan, seluruh guru di Indonesia mogok mengajar hingga pemerintah memenuhi anggaran
pendidikan. Meski demikian, pemogokan massal guru adalah niscaya.

Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam

http://jawabali.com/pendidikan/politik-pendidikan-557

You might also like