You are on page 1of 18

KAPATA SEBAGAI PENUTUR SEJARAH MASYARAKAT MALUKU

(SUATU KAJIAN HERMENEUTIK TERHADAP KAPATA SIWALIMA DARI


NEGERI SOAHUKU KABUPATEN MALUKU TENGAH

Falantino Eryk Latupapua


Fricean Tutuarima

Abstrak : Dalam kehidupan suatu masyarakat adat di sebagian besar


wilayah di Maluku, sastra lisan memiliki fungsi yang amat vital. Sastra
lisan selalu menjadi pelengkap utama dalam setiap ritual adat yang
dilaksanakan oleh negeri-negeri adat di Maluku, seperti panas pela,
panas gandong, pamoi, dan sebagainya. Hampir semua jenis sastra
lisan selalu terintegrasi dalam ritual adat orang Maluku; nyanyian
rakyat, ungkapan tradisional, puisi rakyat, dan bahasa rakyat. Salah
satu jenis sastra lisan yang amat menarik untuk dibicarakan adalah
kapata atau nyanyian rakyat Maluku. Kajian ini merupakan sebuah
pengantar untuk mengenal kapata sebagai produk tradisi lisan Maluku
yang telah dikenal sejak lama dalam tatanan adat dan budaya orang
Maluku. Hal ini menjadi penting untuk dibicarakan, sebab saat ini
wacana revitalisasi sastra lisan sebagai sebuah kekayaan dan
kekayaan budaya untuk membangun peradaban masyarakat yang
stabil dan mandiri semakin marak diperbincangkan. Dengan demikian,
membicarakan tentang kapata dapat berarti menggali kembali esensi
sastra lisan tersebut sebagai pembangun peradaban masyarakat
Maluku. Manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah untuk
memperkenalkan kapata sebagai salah satu media penutur sejarah
masyarakat Maluku dan alat penjaga nilai dan norma demi merajut
kembali hubungan persaudaraan sesama orang Maluku pasca konflik
kemanusiaan. Pemerian struktur dan isi Kapata Siwalima akan
dilakukan dengan menggunakan metode analisis isi dengan
pendekatan struktural hermeneutik.
Kata Kunci : sastra lisan, kapata, struktural hermeneutik.

Falantino Eryk Latupapua dan Fricean Tutuarima adalah Dosen Tetap


pada FKIP Universitas Pattimura, Ambon
KAPATA AS AN ORAL HISTORY NARRATOR OF MOLLUCCA’S
COMMUNITY (AN HERMENEUTIC ANALYSIS UNTO KAPATA SIWALIMA
FROM SOAHUKU, CENTRAL MOLLUCCA)

Falantino Eryk Latupapua


Fricean Tutuarima

Abstract : In a community living as a custom community from most


region of Mollucca, oral literary has a vital function. An oral literary has
ever being the main component in every customary rite in the custom
villages of Mollucca, such as; panas pela, panas gandong, pamoi, and
etc. Most of the oral literary type has integrated in the customary rite
of the Mollucca’s; folksongs, traditional wisdoms, rhymes, and
folkspeechs. A kind of oral literary that enthused to be studied is
kapata or Mollucca’s folksong. This is an introductory study to
recognize kapata as of product of Mollucca’s oral tradition which have
known long time in the Mollucca’s customary and cultural system. This
subject is an important matter to be conversed cause in this time, oral
literary revitalize discourse as a cultural heritage into stabilized
community development is being studied everywhere. Thereby,
conversed kapata could means re-elaborating the essence of oral
literary as a cultural and civilization developer of Mollucca’s. The
expected aim of this study is to introducing kapata as an oral history
narrator of Molluca’s and as means of norm and value preserver. It can
be used to rearrange relation and brotherhood among The Mollucca’s
hereafter the 1999 human conflict. Conversed kapata in this study is
the famous Kapata Siwalima which comes from Soahuku Village
(Lilipory Kalapessy) in Central Mollucca. Kapata Siwalima is a well
known as a folksong of the Soahuku’s community. The content and
structure description of Kapata Siwalima is using content analysis
method with the structural hermeneutic approach.
Keywords : oral literary, kapata, structural hermeneutic.

Falantino Eryk Latupapua and Fricean Tutuarima are Lecturer of FKIP


Department, Pattimura University, Ambon
A. PENDAHULUAN

Sastra dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat


dilepaspisahkan. Sastra merupakan aktivitas manusia yang diwujudkan dalam
media tertentu dan memiliki ciri estetika yang tertentu pula. Sedangkan
kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan,
sejarah, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-
kebiasaan lain (Taylor dalam Ratna, 2005). Senada dengan itu, Von Savigny
menyatakan bahwa hukum suatu masyarakat, betapapun sederhananya hukum
itu adalah cerminan dari jiwa masyarakat dimana hukum itu hidup. Dengan
demikian, seperti juga hukum, sastra adalah produk kebudayaan manusia, dan
kebudayaan merupakan sumber utama cipta sastra. Karenanya, sastra lisan
maupun tulisan selalu mencerminkan, dan menceritakan tentang kehidupan
masyarakat, termasuk menjadi saluran untuk meneguhkan nilai-nilai yang
tumbuh dan berkembang sebagai norma dalam masyarakat.
Dalam kehidupan suatu masyarakat adat, seperti sebagian besar
wilayah di Maluku, sastra lisan (selanjutnya disebut folklor lisan) memiliki fungsi
yang amat vital. Intensitas penggunaan folklor lisan dalam kehidupan
masyarakat itulah yang sering dijadikan ukuran untuk menentukan tinggi atau
rendahnya nilai kebudayaan serta daya hidup atau vitalitasnya dalam
masyarakat. Dalam berbagai prosesi adat di Maluku, mulai dari cuci negri, maso
minta, pamoi, panas pela dan panas gandong, maupun berbagai prosesi lainnya,
folklor lisan selalu digunakan dalam bentuk-bentuk dan tujuan yang berbeda.
Meskipun demikian, kenyataan yang terjadi dalam masyarakat saat ini
menunjukkan bahwa folklor lisan tak lagi menunjukkan kekuatannya sebagai
penjaga norma dan pengesahan pranata adat dan budaya. Hal itu terbukti
dengan proses transformasi yang mengalami kemandekan sehingga
mengakibatkan generasi muda tidak lagi peduli dan tidak menyadari keberadaan
folklor lisan sebagai kekayaan budaya yang mesti dijaga, dipelihara, dan
dilestarikan. Serbuan teknologi modern dalam era yang semakin mengglobal
dengan industri media infokom yang seakan tak lagi mengenal batas ruang dan
waktu memunculkan kecenderungan tercerabutnya akar-akar budaya yang
mengandung nilai-nilai positif sebagai akibat dari krisis identitas diri dan rasa
memiliki (sense of belonging).
Akibat yang dirasakan secara langsung adalah munculnya berbagai
jenis penyimpangan terhadap nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh generasi
terdahulu. Budaya kekerasan yang sering terjadi di negara kita, bahkan di
Provinsi Maluku hingga saat ini bukan tidak mungkin diakibatkan oleh
kekurangtahuan dan kekurangmampuan untuk memaknai nilai humanisme
dalam sejarah masyarakat Maluku sebagai satu gandong, satu pancaran dan
orang basudara.
Dalam kaitan dengan sejarah masyarakat Maluku, folklor lisan dapat
menjadi penutur taklangsung serta mampu menjadi sumber rujukan yang valid
dalam penulisan sejarah maupun media pengantar nilai-nilai positif dari sejarah
masa lalu untuk diimplementasikan bagi generasi masa kini. Salah satu jenis
folklor lisan Maluku yang menarik untuk dikaji adalah kapata. Kapata dalam
kategori folklor lisan versi Danandjaya dapat dikelompokkan sebagai nyanyian
rakyat, sekaligus sebagai puisi rakyat (Danandjaja, 2002 :46) Hal itu disebabkan,
ada kapata yang dinyanyikan, artinya memiliki nada atau melodi, dan ada pula
yang dilafalkan tanpa nada, seperti melafalkan sajak. Ciri nyanyian rakyat ini
dapat dilihat dari cara penyampaiannya yang dituturkan atau disampaikan secara
lisan, dari generasi ke generasi, dan dapat menyebar secara luas. Rusyana
(1980) mendeskripsikan tuturan sebagai tuturan yang telah dituturkan kembali di
antara orang-orang yang berada dalam beberapa generasi.
Di Maluku, banyak kapata dapat dijadikan sebagai sumber penulisan
sejarah, karena bercerita tentang kehidupan masyarakat Maluku di masa
lampau, tentu saja beserta nilai-nilai positif humanis yang dianut. Kapata-kapata
ini umumnya hanya dikuasai oleh golongan tua saja, yakni mereka yang telah
berusia lanjut dan menduduki peran-peran vital sebagai pemangku atau tua-tua
adat dalam masyarakat. Kenyataan ini dapat menjadi ancaman bagi proses
transformasi atau pewarisan kapata di kalangan generasi muda.
Sejalan dengan itu, pendekatan hermeneutik amatlah relevan untuk
diterapkan dalam kaitan dengan upaya untuk membongkar dan memaknai teks
sastra yang berasal dari pengalihan bentuk atau transkripsi. Hermeneutik,
meskipun merupakan topik tua, akhir-akhir ini telah muncul sebagai sesuatu
yang baru dan menarik. Hermeneutik seakan telah bangkit kembali dari masa
lalu dan dianggap penting. Secara etimologis, kata “hermeneutik” berasal dari
bahasa Yunani hermenuein yang berarti penafsiran, ungkapan, pemberitahuan
atau terjemahan. Kata benda hermeneia secara harafiah dapat diartikan sebagai
“penafsir”. (Sumaryono, 1999: 23). Meskipun umumnya sebuah kajian dengan
pendekatan hermeneutik hanya diterapkan pada teks sastra bukan lisan,
transkripsi atau pengalihan bentuk dari lisan ke tulisan telah sah disebut sebagai
teks. Meskipun demikian, kelisanannya tidak akan berhenti sampai di sana. Di
dalam masyarakat, kekayaan itu akan tetap dikenal sebagai sastra lisan.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, fungsi kapata sebagai
penutur sejarah masyarakat Maluku dapat menjadi acuan bagi generasi muda
Maluku secara umum untuk lebih mengenal identitas dirinya serta posisi dan
fungsi yang harus diduduki dan dijalankan. Hal tersebut dirasakan sangat
penting untuk mengembalikan hegemoni dan menumbuhkan kembali kecintaan
dan rasa memiliki khazanah adat dan budaya orang Maluku yang hampir
mengalami krisis, terutama di kalangan generasi muda.
Sejalan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, masalah yang akan
dijadikan fokus pembahasan dalam kajian ini adalah makna dan fungsi Kapata
Siwalima dan proses pewarisan atau transformasinya di kalangan masyarakat
pemiliknya, baik masyarakat Soahuku secara khusus, maupun masyarakat
Maluku secara umum.
Kajian ini bertujuan untuk mendiskripsikan serta menguraikan kode-kode
dan simbol-simbol secara hermeneutika dalam Kapata Siwalima dari Negeri
Soahuku, Kabupaten Maluku Tengah dalam upaya untuk menunjukkan dan
memantapkan fungsi kapata sebagai sumber atau penutur sejarah masyarakat
Maluku. Akhir dari kajian ini diharapkan akan mengubah cara pandang
masyarakat dalam memaknai fungsi dan peranan folklor lisan dalam
kehidupannya, demi menumbuhkan kembali kecintaan akan budaya Maluku
yang amat kaya.
Akhirnya, kajian ini diharapkan dapat memberi sumbangan terhadap
pelestarian sastra daerah Maluku dan menjadi pemicu untuk meningkatkan
apresiasi sastra daerah Maluku sebagai kekayaan budaya, khususnya di
kalangan generasi muda. Selanjutnya, melalui penelitian ini diharapkan pula
mengembangkan sastra daerah sebagai suatu ranah kajian ilmu sastra dalam
rangka mengembangkan wawasan kebangsaan yang berdasarkan kepada
kearifan lokal.

B. METODE
Kajian ini memfokuskan pembahasan terhadap isi Kapata Siwalima dari
negeri Soahuku Kabupaten Maluku Tengah dengan menggunakan metode
analisis isi (content analysis) dengan pendekatan struktural hermeneutik
terhadap hasil wawancara dengan para informan. Analisis isi adalah teknik
penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan
sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan
komunikasi atau isi komunikasi (Bungin, 2001:219). Sedangkan pendekatan
struktural hermeneutik dititikberatkan pada penafsiran terhadap isi teks sastra
atau transkrip sastra lisan. Pendekatan hermeneutik didahului dengan
pembacaan heuristik, yaitu membaca sastra sesuai dengan kaidah bahasanya,
kemudian ditafsirkan maknanya sesuai dengan pemahaman peneliti. Indikator
yang digunakan untuk mendeskripsikan pemaknaan isinya antara lain; makna
dari foklor lisan kapata, ungsi foklor lisan sebagai media transformasi budaya,
serta upaya pewarisan nilai budaya dan kendalanya.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berikut ini akan dikemukakan analisis makna secara hermeneutik
terhadap teks Kapata Siwalima dihubungkan dengan data hasil wawancara,
kemudian fungsinya sebagai media transformasi budaya di negeri Soahuku
(Lilipory Kalapessy), dan upaya pewarisan atau transformasi sastra lisan
tersebut di tengah tantangan dan hambatan yang dihadapi.
1. Sejarah Singkat Negeri Soahuku (Lilipory Kalapessy)
Soahuku (Lilipory Kalapessy) adalah sebuah negeri adat yang secara
administratif berada di wilayah Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah.
Menurut sejarah, penduduk asli negeri Soahuku berasal dari Nunusaku di pusat
pulau Seram yang terletak di pegunungan antara Kecamatan Taniwel,
Kecamatan Piru, dan Kecamatan Kairatu, dan menjadi hulu aliran tiga sungai
penting yaitu Tala, Eti, dan Sapalewa. Menurut wawancara dengan Mathijs
Latuny, nenek moyang orang Soahuku bermigrasi, turun dari Nunusaku pada
abad ke-13. Mereka sampai di suatu tempat di pesisisr pantai yang namanya
Amahunu, atau Aikasiro, dan membangun perkampungan di situ. Lama
kelamaan dinamailah tempat itu sebagai Soahuku, yang merupakan gabungan
kata soa yang berarti bertekad atau bermufakat, dan huku yang merupakan
sebutan untuk Nunusaku. Jadi, secara etimologis, nama negeri Soahuku berarti
tempat di mana kita bermufakat untuk tinggalkan Nunusaku.
Marga asli yang merupakan soa parentah adalah marga Ruhupessy.
Nenek moyang marga Ruhupessy inilah menurut sejarah adalah yang pertama
tiba dan membangun negeri Soahuku di tempatnya yang sekarang. Di samping
itu, marga asli negeri Soahuku yang lainnya adalah Souhoka, Tamaela, Latuny,
dan Kakiay.
Negeri Soahuku terletak di pesisir pantai bagian dalam Teluk Elpaputih.
Bagian timur berbatasan dengan Negeri Amahai, bagian barat berbatasan
dengan Laut Banda, bagian utara berbatasan dengan Teluk Elpaputih, dan
bagian selatan dengan negeri Rutah.

2. Kedudukan Kapata Siwalima dalam Masyarakat Negeri Soahuku


a. Makna Kapata Siwalima; Sebuah Kajian Hermeneutika

Kapata Siwalima telah cukup dikenal di kalangan masyarakat Soahuku,


Amahai, Kota Masohi, dan negeri-negeri di sekitarnya. Hal tersebut disebabkan
karena kapata tersebut sering diperdengarkan bersamaan dengan pergelaran
tari Mako-Mako yang biasanya dipentaskan oleh Sanggar Seni Budaya Seram
Totobuang yang diasuh oleh Dominggus Tamaela dan Mathijs Latuny dalam
ritual adat maupun acara lainnya.
Dalam tataran adat masyarakat Soahuku, kapata dan Mako-Mako adalah
dua jenis folklor yang tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaannya. Masyarakat
Soahuku zaman lampau sering menyebutnya dalam Bahasa Tanah sebagai
sikantaro lekahua yang berarti menyanyi sambil menari Mako-Mako. Pergelaran
Kapata Siwalima dan Mako-Mako harus disertai dengan apapua, yaitu sirih-
pinang serta tabaku juga sopi, serta wajib diiringi dengan alat musik ritmis tifa
atau sejenisnya. Berikut ini adalah lirik Kapata Siwalima yang ditulis dan
dinyanyikan dalam bahasa Tanah, bahasa adat sebagian besar negeri adat di
Maluku, termasuk negeri Soahuku (Lilipory Kalapessy).

KAPATA SIWALIMA

(bagian I, dinyanyikan berulang dalam tempo lambat, seperti balada)


Tui-tuia heilete, heilete,
Heilete Nunusaku o, Nunusaku o,
Riai moma, taralele, taralele
Tara lele, moria la samo, moria la samo

(bagian II, dinyanyikan berulang dalam tempo cepat menghentak-hentak


dan melodi yang berbeda dari bagian I di atas)
Uru Siwarima, uru Siwarima o, Uru Siwarima, uru Nusaina o
Mae sama ito, sama ito mae o, Sama ito mae ito lekahua o
Upu patasiwa toti apapua mae, Apapua mae, upu patasiwa o
Nunusaku o, Nunusaku nunu o, Nunu Nusa Ina nunu Siwarima o
Upu lepa pela upu ina lepa o, Kwele batai telu kuru siwarima o
Sei hale hatu hatu lisa pei o, Sei lesi sou sou lesi pei o

Seperti halnya nyanyian rakyat di Maluku lainnya, Kapata Siwalima


dinyanyikan dalam bentuk berulang (resitatif) dan bernada pentatonis (lihat
transkripsi partitur terlampir). Semua vokal “O” yang dinyanyikan pada akhir
kalimat merupakan pemberitahuan serta pertanda penegasan atau penekanan
terhadap pesan yang dinyanyikan tersebut.
Selanjutnya, telaah hermeneutika terhadap isi Kapata Siwalima
berdasarkan wawancara dengan Dominggus Tamaela dan Mathijs Latuny dapat
dikemukakan sebagai berikut :
Tui tui a hei lete, hei lete
(artinya : ada banyak orang berjalan berpencar-pencar
seperti tui-tui / musang)
Hei lete, Nunusaku o, Nunusaku o
(artinya : mereka berjalan berpencar-pencar turun dari
Nunusaku)

Bagian pertama ini menjelaskan bahwa orang Maluku berasal dari satu
pancaran yaitu dari Nunusaku. Menurut Sahusilawane (2005), Nunusaku adalah
negeri utopia dalam sejarah dan mitos orang Maluku tentang asal usulnya.
Negeri itu terletak di pusat pulau Seram, dan digambarkan sebagai tempat yang
indah, penuh dengan pepohonan bunga dan buah. Hanya orang yang beruntung
dan berniat baik saja yang bisa sampai ke sana. Nunusaku adalah tempat asal
Alif’uru atau sebutan bagi manusia pertama. Awalnya orang Maluku terpancar
dari Nunusaku ketika terjadi perang besar di jazirah Huamual. Hal ini
menyebabkan penduduk Nunusaku turun ke daerah pantai dan bereksodus ke
pulau-pulau sekitar pulau Seram. Nenek moyang orang Soahuku turun dari
Nunusaku pada abad ke-13, sedangkan orang Amahai, negeri tetangga Soahuku
turun satu abad sesudahnya, yaitu pada abad ke-14.
Riai moma taralele, taralele
(artinya : sampai di suatu tempat mereka membuat
perjanjian)
Taralele moria la samo, moria la samo
(artinya mereka membuat perjanjian untuk saling peduli
atau saling menjaga satu sama lain sebagai saudara
kandung)

Syair tersebut menggambarkan esensi hidup nenek moyang orang


Maluku yang amat teguh menjunjung hubungan persaudaraan. Hubungan pela
gandong antar negeri-negeri di Maluku merupakan bukti nyata penghargaan
terhadap janji leluhur dan pengakuan terhadap asal-usul orang Maluku yang
berasal dari satu pancaran, dari Nunusaku, Nusa Ina, yang turun melalui Tiga
Batang Air; Tala, Eti, dan Sapalewa kemudian terpencar-pencar ke pulau-pulau
sekitarnya. Hubungan ini masih terpelihara dengan baik sampai hari ini dan akan
terus menjadi pengikat yang kuat bagi masyarakat Maluku.
Uru Siwarima, uru Siwarima o, uru siwarima uru Nusa Ina
o
(artinya : manusia-manusia Siwalima, manusia-manusia
Nusa Ina)

Siwalima merupakan akronim dari patasiwa dan patalima, dua kelompok


masyarakat Maluku yang telah ada sejak dahulu. Patasiwa yang artinya
sembilan soa/kelompok adalah masyarakat yang mendiami pesisir pantai, dan
Patalima berarti lima soa/ kelompok mendiami daerah pedalaman
(Sahusilawane, 2005 : 53). Kata ini dijadikan semboyan provinsi Maluku, yang
artinya kira-kira katong samua punya. Bait ini seakan-akan memberikan
legitimasi dan pembenaran bahwa semua anak-cucu Siwalima berasal dari
Pulau Seram atau Nusa Ina, sesuai dengan tutur sejarah yang telah didengar
dan diketahui. Karena itu, hubungan persaudaraan yang telah terikat sejak
dahulu kala itu seharusnya tetap dijaga dan menjiwai seluruh kehidupan
masyarakat Maluku.
Mae sama ito, sama ito mae o
(artinya : mari kita sama-sama)
Sama ito mae, ito le kahua o
(artinya : mari kita sama-sama mako-mako)
Bagian ini berisikan pernyataan atau ajakan untuk menari Mako-Mako
secara bersama-sama. Tari Mako-Mako adalah sebuah tarian yang berasal dari
Maluku Tengah, yang berisikan gerakan-gerakan ritmik dan dinamis. Para
penarinya bergerak melingkar sambil bergandeng tangan dan bernyanyi,
dipandu oleh seorang pemimpin. Dalam tradisi ritual adat, tarian ini biasanya
ditarikan sebagai tarian penyemangat perang atau sebagai ungkapan syukur dan
sukacita atas kemenangan perang atau terjadinya sebuah peristiwa penting dan
baik. Para penari biasanya melambangkan Malessy atau prajurit, sedangkan
seorang pemimpin tarian biasanya melambangkan Kapitan atau Mauweng
(penghulu adat). Tari Mako-Mako biasanya ditarikan sambil menyanyikan kapata
diiringi tifa. Kapata yang dinyanyikan secara berbalasan melambangkan
kepatuhan dan pengabdian kepada pimpinan. Secara keseluruhan, semua itu
menggambarkan kehidupan orang Maluku yang memiliki daya seni yang tinggi.
Semua prosesi adat maupun kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan selalu
diwarnai dengan nyanyian dan tari-tarian.
Upu patasiwa toti apapua mae
(artinya : Bapa Patasiwa telah memberikan apapua)
Apapua mae upu patasiwa o
(artinya : Sirih pinang ; hidangan atau jaminan benar-benar
disediakan oleh Bapa Patasiwa).

Apapua adalah sirih pinang dan tabaku (tembakau) sebagai hidangan


atau jaminan dalam upacara adat, yang melambangkan pengakuan akan
kekuatan atau penyertaan roh tete nene moyang sebagai pengikat tali
persaudaraan anak cucu Siwalima. Apapua selalu dihidangkan dalam setiap
prosesi adat. Masyarakat Soahuku dan masyarakat Maluku umumnya percaya
dan meyakini apapua yang terhidang merupakan bukti penyertaan dan
perlindungan roh tete nene moyang atau suatu bentuk restu Upu Aman Lanite
(Bapa Pencipta langit dan bumi) terhadap prosesi adat yang sedang
berlangsung. Apapua yang terhidang dan dinikmati oleh mereka yang hadir juga
merupakan lambang ikatan persaudaraan sebagai sesama anak-cucu Siwalima.
Hal tersebut merupakan bukti bahwa orang Maluku sunguh-sungguh menyadari
dan mengakui peran sebuah causa prima atau penyebab utama terciptanya alam
semesta sebagai entitas yang berkuasa atau menentukan jalan hidup mereka.
Jadi, sejak dahulu kala, pola-pola religiusitas masyarakat Maluku telah terbentuk
dan menemukan bentuknya sendiri.
Nunusakuo nunusaku nunuo..
(artinya : cepat ke Nunusaku)
Nunu nusa ina nunu siwarima o..
(artinya : cepat ke Nusa Ina, ke tanah asal anak-cucu Siwalima)

Bait ini berisikan seruan atau ajakan kepada anak-cucu Siwalima untuk
kembali ke Nunusaku, ke Nusa Ina, yang merupakan tanah asal mereka. Dalam
bagian tradisi lisan ini terkandung nilai positif berupa penghargaan atau rasa
cinta terhadap tanah air, tempat asal, dan akar budaya. Ungkapan “cepat ke
Nusa Ina” dapat ditafsirkan sebagai pesan kepada anak-cucu untuk selalu
berinisiatif untuk kembali dan membangun negeri asal mereka serta tidak
melupakan tanah asal.
Upu lepa pela upu ina lepa o
(artinya : datuk-datuk/ moyang-moyang bilang…)
Kwele batai telu kuru siwarima o
(artinya : Tiga Batang Air ; Sungai Tala di Kairatu, Sungai
Eti di Piru, dan Sungai Sapalewa di Taniwel, adalah milik
anak-cucu Siwalima.

Bagian ini berisikan pernyataan mengenai Tiga Batang Air; Tala, Eti, dan
Sapalewa, yang menurut sejarah berfungsi sebagai jalur yang dilalui nenek
moyang orang Maluku ketika turun dari Nunusaku. Selain itu, secara tersirat,
bagian kapata ini menekankan akan pentingnya fungsi lingkungan sebagai
penunjang kehidupan manusia. Pada zaman dahulu, nenek moyang orang
Maluku yang biasanya disebut sebagai bangsa Alif’uru (alif artinya pertama, dan
uru artinya manusia) telah memfungsikan sungai sebagai urat nadi transportasi
mereka, selain fungsi-fungsi yang telah dikenal secara umum. Secara
keseluruhan, bagian ini menandai hubungan manusia yang sangat dekat dengan
lingkungannya. Selain itu, pengakuan terhadap janji dan perkataan yang
dituturkan secara lisan oleh para leluhur hingga saat ini menjadi nilai yang dapat
diamalkan dalam kehidupan bersama.
Sei hale hatu hatu lisa pei o
Sei lesi sou sou lesi pei o
(artinya : sebuah sumpah atau janji bahwa “sapa bale
batu, batu tindis dia ; sapa langgar sumpah, sumpah
bunuh dia” Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
sebagai; Siapa yang membalikkan batu, batu akan
menindihnya; siapa yang melanggar sumpah, maka
sumpah itu akan membunuhnya)

Bagian akhir dari kapata ini adalah tuturan sumpah adat yang hingga kini
biasanya selalu diucapkan dalam setiap prosesi adat. Makna dari sumpah
tersebut adalah sebagai “mnemonic devices” atau alat untuk mengingatkan
masyarakat akan pentingnya menjaga nilai dan norma yang telah lama
disepakati oleh leluhur sebagai sebuah kekuatan untuk membangun masyarakat.
Selain sebagai alat pengingat, sumpah tersebut berfungsi juga sebagai alat
pengikat. Dalam tataran adat masyarakat Maluku, semua sumpah, janji, bahkan
peraturan adat yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun badan saniri wajib
ditaati dan mengikat seluruh komunitas kolektif. Secara langsung masyarakat
telah mengamalkannya sebagai sebuah kekuatan religius magis. Artinya,
sumpah tersebut diyakini memiliki kekuatan sakral yang akan mendatangkan
malapetaka apabila dilaksanakan bersalahan dengan adat atau dijalankan
dengan tidak semestinya. Hal ini sebenarnya merupakan keuntungan bagi folklor
sebagai kekayaan budaya untuk mempertahankan daya hidup atau vitalitas
folklor bagi generasi selanjutnya. Betapa tidak, nilai religius magis itulah yang
menyebabkan masyarakat selalu mengingat dan menjalankan tugas dan fungsi
sastra lisan sebagaimana mestinya, sehingga sastra lisan atau folklor secara
umum akan terus hidup dan bertahan di tengah ancaman modernisasi akibat
dinamisasi perkembangan masyarakat dewasa ini.

b. Fungsi Foklor Lisan Kapata Siwalima sebagai Media Transformasi


Budaya
Kapata adalah nyanyian yang biasanya ditampilkan pada waktu badiri
adat (melaksanakan upacara adat). Misalnya pada waktu pelantikan Raja atau
Saniri Negeri, Nai Baileo, dan upacara adat lainnya. Kapata biasanya
dinyanyikan secara bersama-sama dalam bahasa Tanah (bahasa adat Maluku)
dengan iringan alat musik ritmis (tifa dan alat musik lain yang sejenis).
Lebih lanjut dapat dijelakan bahwa Kapata Siwalima biasanya dikenal di
negeri Soahuku sebagai Kapata Kahidopang. Artinya, kapata itu menceritakan
tentang sejarah hidup manusia di masa lampau, dengan segala penerapan nilai
budaya untuk anak-cucu di masa kini. Kapata Siwalima biasanya dilaksanakan
sebagai pengiring Tari Mako-Mako dalam upacara adat. Dalam pelaksanaannya,
hidangan apapua (sirih, pinang, tabaku, dan sopi. Di zaman dahulu, Kapata dan
Tari Mako-Mako biasanya juga dipertontonkan sepulang berperang atau dalam
pesta negeri untuk mensyukuri berbagai keberhasilan tertentu. Fungsi lain dari
kapata yaitu untuk meramaikan upacara adat, di samping sebagai cara untuk
mengajar anak cucu tentang peraturan adat dan perintah tete nene moyang.
Lazimnya, kapata berisi nasihat untuk menjaga adat dan ajaran nenek
moyang juga menceritakan tentang sejarah suatu negeri, atau munculnya suatu
tempat, petuanan, bahkan kehidupan tokoh-tokoh yang penting di kehidupan
masa lalu. Karena itu, nilai-nilai sosial budaya positif yang dikonstruksi dalam
kapata sangat indah dan penting untuk diimplementasikan bagi kehidupan anak-
cucu di masa sekarang. Kapata pada mulanya sangat disakralkan. Artinya, tidak
semua orang dapat mengetahui dan menyanyikannya. Hanya orang-orang yang
menduduki fungsi vital di dalam masyarakat adat saja yang mampu
menyanyikannya. Namun saat ini kapata sudah dinyanyikan secara terbuka dan
dianggap sebagai milik semua orang tanpa kecuali. Jadi nilai kesakralannya
sudah berkurang. Akan tetapi nilai kehidupan yang positif di dalamnya tetap
seperti sedia kala.
Kapata Siwalima menceritakan tentang asal-usul manusia Maluku yang
terpancar dari Nunusaku, suatu tempat di pusat Pulau Seram atau Nusa Ina
(Pulau Ibu). Sesuai maknanya, Kapata Siwalima mengisyaratkan bahwa semua
orang Maluku adalah gandong atau bersaudara kandung. Karena itu, kehidupan
yang saling berdampingan dalam damai dan saling menghormati perbedaan
adalah gambaran ideal kehidupan yang seharusnya diamalkan oleh semua
anak-cucu Maluku.
Sejalan dengan itu, fungsi-fungsi Kapata Siwalima sebagai nyanyian
rakyat maupun nyanyian adat dalam masyarakat Soahuku yang dapat
disebutkan di sini, antara lain :
a. sebagai penutur sejarah
Kapata Siwalima ternyata mengandung nilai naratif historis yang
sangat tinggi. Isi Kapata Siwalima menguraikan tentang sejarah nenek
moyang orang Maluku yang turun dari satu pancaran, yaitu Nunusaku di
Nusa Ina. Hal ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan sejarah yang
valid untuk generasi mendatang.

b. sebagai alat untuk menasihati dan mengingatkan


Kapata Siwalima berfungsi sebagai alat untuk menasihati dan
mengingatkan generasi masa kini tentang pentingnya menjaga warisan
adat dan budaya leluhur, serta mengamalkan nilai-nilai positif yang
terkandung di dalamnya. Hal tersebut amat penting demi menjaga daya
hidup tatanan adat dan budaya masyarakat Maluku secara umum dari
ancaman degradasi dan distorsi kebudayaan.

c. sebagai hiburan
Kapata Siwalima yang biasanya ditembangkan sambil diiringi Tari
Mako-Mako ternyata menjanjikan hiburan tersendiri. Dinamisasi gerak
yang berpadu dengan harmoni nada pentatonis di dalamnya sungguh
sangat menarik untuk dikembangkan sebagai wisata budaya, tergantung
proses pengemasan dan promosi yang baik.

3. Upaya Pewarisan Nilai Budaya dalam Kapata dan Kendalanya


Secara umum masyarakat Soahuku mengaku tidak bisa menyanyikan
kapata atau tidak mengerti artinya karena mereka tidak mampu menggunakan
bahasa Tanah sebagai bahasa adat yang digunakan untuk menuturkan kapata
itu. Ada pula warga masyarakat yang menguasai bahasa Tanah secara pasif,
yakni sebagai pendengar saja; tidak dapat bertutur secara aktif. Masyarakat
golongan ini dapat saja berperan sebagai penyalin namun berpotensi menjadi
penyebab distorsi atau pembelokan terhadap isi dan maknanya.
Kenyataan lainnya yang memperkuat uraian di atas menyatakan bahwa di
negeri Soahuku hanya Mathijs Latuny dan Dominggus Tamaela saja yang
menguasai seluk-beluk adat negeri. Mereka menduduki peran sebagai kepala
adat dan atau tua-tua adat. Sejalan dengan itu, baik badan saniri maupun
pemerintah negeri tidak terlalu memiliki pengetahuan yang luas tentang adat
tersebut, termasuk kapata dan pasawari sebagai komponennya. Generasi muda
pun belum cukup memiliki ketertarikan untuk mempelajarinya. Hal ini dibuktikan
dengan kurangnya motivasi untuk mempelajari bahasa Tanah sebagai bahasa
yang menjadi media penyampaian sastra lisan kapata.
Mengenai masalah pewarisan, sebenarnya usaha untuk menjamin
kelangsungan tradisi lisan tersebut telah dilakukan dengan cara mendirikan
Sanggar Seni Budaya Seram Totobuang yang diasuh oleh Dominggus Tamaela.
Sanggar tersebut bukan hanya melestarikan seni dan budaya tetapi juga
berupaya mengembalikan adat pada hakikat keasliannya. Namun, terkadang
masalah pembinaan tersebut mengalami kendala menyangkut sarana dan
prasarana, serta kecukupan finansial. Selain itu, upaya untuk membina dan
menyiapkan beberapa pemuda untuk menyanyikan kapata dan menari Mako-
Mako telah dilakukan namun pelaksanaannya dan pembinaannya bersifat
insidental saja. Artinya, mereka hanya berlatih menjelang upacara adat atau
pentas lainnya untuk memenuhi kebutuhan tampil pada saat itu saja.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, ternyata upaya pewarisan
telah dilakukan melalui pendirian sanggar dan melatih para pemuda namun
mengalami kendala-kendala; minimnya penguasaan bahasa Tanah dan
rendahnya motivasi untuk mempelajari sastra lisan kapata sebagai kekayaan
budaya, di samping keterbatasan sarana dan prasarana serta dana.

D. KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil dan pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat dikemukakan,
antara lain : (1) kapata dapat digunakan sebagai rujukan dalam penelusuran
sejarah dan penggalian nilai-nilai sosial budaya pada masyarakat Soahuku
secara khusus dan masyarakat Maluku secara umum, (2) kapata Siwalima
menuturkan tentang sejarah orang Maluku yang mulanya terpancar atau berasal
dari Nunusaku Nusa Ina melalui Tiga Batang Air (Tala, Eti, dan Sapalewa).
Makna penting yang terkandung di dalamnya adalah warisan leluhur berupa
ajaran tentang nilai-nilai hidup yang positif, seperti saling menghormati,
memelihara hubungan persaudaraan, dan sebagainya, mesti dijadikan pegangan
dalam menghadapi perubahan global yang makin terasa, (3) penguasaan dan
kemampuan memaknai Kapata Siwalima sangat ditentukan oleh penguasaan
bahasa Tanah sebagai bahasa Adat di negeri Soahuku, (4) proses transformasi
atau pewarisan kapata di kalangan generasi muda negeri Soahuku ternyata
mengalami stagnasi yang memprihatinkan. Apabila tidak dilakukan langkah-
langkah yang tepat, suatu saat nanti kapata sebagai kekayaan budaya itu akan
memudar gaungnya dan mematikan kesempatan generasi masa depan untuk
mengenal akar budaya asli mereka.
Demi pemertahanan Kapata Siwalima sebagai kekayaan dan warisan
budaya, maka hal-hal yang dapat disarankan, antara lain : (1) a. Pemerintah
mesti memberdayakan produk budaya masyarakat dengan memperhatikan
pranata yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, termasuk adat istiadat,
kesenian, sastra lisan, serta merevitalisasi bahasa daerah (bahasa Tanah) untuk
mencegah dari kepunahan, (2) kapata sebagai sastra lisan dapat digunakan
sebagai penutur sejarah dan sarana implementasi nilai-nilai sosial budaya yang
positif ajaran para leluhur, (3) masyarakat perlu menjaga vitalitas atau daya
hidup kapata dan sastra lisan umumnya dengan cara berperan aktif dalam
proses transformasi atau pewarisannya. Oleh karena itu proses penyalinan
kepada generasi muda harus dilakukan, (4) sekolah-sekolah mesti membentuk
bengkel seni sastra yang secara khusus menyediakan sarana interaksi siswa
untuk bersastra, termasuk menggeluti sastra lisan lokal, agar pengajaran sastra
dapat menunjang proses transformasi yang mengarah kepada apresiasi dan
kreasi sastra, (5) pemerintah perlu mendukung penuh sanggar-sanggar seni
budaya yang berproses dengan usaha untuk melestarikan adat dan budaya asli
Maluku seperti kapata dan Mako-Mako demi menjaga dan menghindari
hilangnya identitas budaya orang Maluku yang amat kaya dan bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy. 2003. Dari Antropologi Budaya ke Sastra, dan Sebaliknya,


dalam Rokhman, Muh. Arif, et.al. Sastra Interdisipliner, Menyandingkan
Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: Qalam.

Bungin, Burhan (ed.). 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Perkasa..

Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama

Sahusilawane, Florence. 2005. Cerita-Cerita Tua Berlatar Belakang Sejarah dari


Pulau Seram. Ambon: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi
Maluku dan Maluku Utara.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi
dan Fakta Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rusyana, Yus. 1980. Usaha Penyebarluasan Tradisi Lisan. Dalam Majalah


Kebudayaan. Tradisi Lisan Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan. Jakarta:
Depdikbud.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:


Kanisius

You might also like