You are on page 1of 16

IMPLEMENTASI UNDANG UNDANG NO 30 TAHUN 2004 TENTANG

JABATAN NOTARIS

A. Analisis Hukum Terhadap Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang


Jabatan Notaris Dari Sudut Peraturan Perundang-undangan Yang
Mengaturnya.

1. Sejarah pembentukan UU No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Pada tanggal 14 September 2004 yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat


telah menyetujui RUU tentang Jabatan Notaris menjadi Undang-undang
merupakan penyempurnaan undang-undang peninggalan jaman kolonial
dan unifikasi sebagian besar Undang-undang yang mengatur mengenai
kenotariatan yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum
dan kebutuhan masyarakat.

Adapun berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan


sebelum adanya Undang-Undang No. 30 Republik Indonesia Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu, perlu diadakan pembaruan dan pengaturan kembali secara
menyeluruh dalam satu Undang-undang yang mengatur tentang jabatan
Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk
semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dalam
rangka mewujudkan unifikasi hukum di bidang kenotariatan tersebut,
dibentuk Undang-undang tentang Jabatan Notaris.

Dalam Undang-Undang No. 30 Republik Indonesia Tahun 2004 Tentang


Jabatan Notaris ini diatur secara rinci tentang Jabatan Umum yang
dijabat oleh Notaris, sehingga diharapkan bahwa Akta Otentik yang
dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum.

Mengingat Akta Notaris sebagai Akta Otentik merupakan alat bukti


tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam Undang-Undang ini diatur
tentang bentuk dan sifat Akta Notaris, serta tentang Minuta Akta, Grosse
Akta, dan Salinan Akta, maupun Kutipan Akta Notaris.

Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang
dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang
berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara
memuaskan di hadapan persidangan pengadilan. Fungsi Notaris di luar
pembuatan Akta otentik diatur untuk pertama kalinya secara
komprehensif dalam Undang-Undang No. 30 Republik Indonesia Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris.

Demikian pula ketentuan tentang pengawasan terhadap pelaksanaan


jabatan Notaris dilakukan dengan mengikut sertakan pihak
ahli/akademisi, disamping Departemen yang tugas dan

1
tanggungjawabnya dibidang kenotariatan serta Organisasi Notaris.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan


perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat.

a. Sebelum berlakunya Undang-undang No 30 tahun 2004 Tentang


Jabatan Notaris.

Pengaturan Jabatan Notaris di Indonesia di atur dalam Reglement Op


Het Notaris ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) sebagaimana telah diubah
terakhir dalam lembaran Negara tahun 1954 Nomort 101; Ordonantie 16
Sepetember 1931 tentang Honorarium Notaris; Undang-undang Nomor
33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara
Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 700); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4379); dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang
Sumpah/Janji Jabatan Notaris.

2. Pengertian Notaris

Kedudukan seorang Notaris sebagai suatu fungsionaritas dalam


masyarakat dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat
memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis
serta ditetapkannnya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat
dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.

Undang-undang Nomor 30 Republik Indonesia Tentang Jabatan Notaris


pada Bab I di dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi,

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta


otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang
Undang ini.

Undang-undang tentang Jabatan Notaris merupakan penyempurnaan


Undang-undang peninggalan jaman kolonial dan unifikasi sebagian
besar Undang-undang yang mengatur mengenai kenotarisan yang sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan
masyarakat.

Demikian pula, Notaris sebagai Pejabat Umum ditegaskan juga dalam


bab I pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Di Indonesia (Ord. Stbl. 1860
no. 3, mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860), yang menyebutkan : Notaris
adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang

2
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin
kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse,
salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh
suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain.

Dengan memperhatikan beberapa pasal dari beberapa peraturan


perundang-undangan yang melegitimasikan keberadaan Notaris sebagai
Pejabat Umum, dan melihat tugas dan pekerjaan notaries memberikan
pelayanan publik (pelayanan pada masyarakat) untuk membuat akta-
akta otentik, notyaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan
mensyahkan (waarmerken dan legaliseren) surat-surat / akta-akta yang
dibuat di bawah tangan (L.N. 1916-46 jo. 43). Notaris juga memberikan
nasihat dan penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak
yang bersangkutan, serta pengangkatan dan pemberhentian seorang
Notaris yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri yang
bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan, maka
persyaratan Pejabat Umum adalah seorang yang diangkat oleh
Pemerintah dengan tugas kewenangan memberikan pelayanan publik di
bidang tertentu, terpenuhi oleh Jabatan Notaris.

Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figuur) yang keterang-


keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda
tangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat,
seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya
(onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat
suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan
datang. Kalau seorang advokat membela hak-hak seseorang ketika
timbul suatu kesulitan, maka seoarang Notaris harus berusaha
mencegah terjadinya kesulitan itu.

Para Notaris mempunyai persamaan dalam pekerjaan dengan para


advokat. Keduanya menuangkan suatu kejadian dibidang ekonomi dalam
suatu bentuk hukum, memberi nasihat kepada pelanggan dan
mengharapkan mendapat kepercayaan dari mereka.

Adapun ada perbedaan prinsip, yaitu :

1. Seorang Notaris memberi kepada semua pihak, advokat kepada satu


pihak. Seorang notaries berusaha menyelesaikan suatu persoalan,
sehingga semua pihak puas, advokat berusaha memuaskan satu pihak.
Kalaupun dalam usaha itu itu tercapai suatu consensus, pada dasarnya
ia memperhatikan hanya kepantingan pelanggannya.

2. Pekerjaan seorang Notaris adalah untuk mencegah terjadinya suatu


persoalan antara pihak-pihak, sedangkan seorang advokat
menyelesaikan suatu persoalan yang sudah terjadi.

3
3. Dari uraian tersebut diatas maka telah jelas pekerjaan seorang Notaris
lebih luas dari apa yang digambarkan diatas, tetapi adanya perbedaan-
perbedaan nyata sekali. Pada umumnya A.W. Voors menganjurkan
supaya berpegang pada pedoman sebagai berikut :

 Dalam membela hak satu pihak diharapkan seoarang Notaris tidak


ikut campur, tetapi dalam hal mencari dan membuat suatu bentuk
hukum di mana kepentingan pihak-pihak berjalan parallel, Notaris
memegang peranan dan advokat hanya memberi nasihat.

 Sering terjadi terhadap masyarakat adalah seorang Notaris bertindak


sebagai Notaris dan advokat. Sikap ini sering menyenangkan para
pelanggan. Tetapi sebagai akibatnya, hal ini nanti akan menghantam
diri Notaris itu sendiri, sebab tidak mustahil Notaris iti bentrok dengan
seorang advokat atau mengecewakan pelanggan karena seorang
notaris tidak dibenarkan membela teori-teori yang dikemukakannya
kepada pelanggan di hadapan pengadilan, keculai diminta oleh
instansi itu.

4. Pengertian Akta Notaris Sebagai Akta Otentik

Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan, demikjian menurut
ketentuan umum bab I pasal 1 angka 7 dalam Undang-undang Republik
Indonesia No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Akta Notaris tidak boleh memuat penetapan atau ketentuan yang


memberikan sesuatu hak dan / atau keuntungan bagi :
1. Notaris, istri atau suami Notaris;
2. saksi, istri atau suami saksi; atau
3. orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan
Notaris atau saksi, baik hubungan darah dalam garis lurus ke
atas atau kebawah tanpa pembatasan derajat maupun
hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga.

5. Pengertian Akta

Menurut Prof. R. Soebekti, S.H. yang dinamakan Akta adalah suatu


tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti
tentang suatu peristiwa dan ditandangani.

Sedangkan menurut Prof. Mr. A. Pitlo, berpendapat bahwa :


Akta adalah suatu surat yang ditanda tangani, diperbuat untuk dipakai
sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa
surat itu dibuat.

Dalam hal yang sama. Dr. Sudikno Mertokusuma. S.H. berpendapat

4
bahwa yang dimaksud Akta :

Adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa


yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak
semula dengan sengaja untuk pembuktian.

Dari beberapa pengertian mengenai Akta yang penulis kutip tersebut diatas,
jelaslah bahwa tidak semua dapat disebut akta, melainkan hanya surat-surat
tertentu yang memnuhi beberapa syarat tertentu saja yang disebut Akta.

Adapun syarat yang harus dipenuhi agar suatu surat disebut Akta adalah :

a. Surat itu harus ditanda tangani.

Keharusan ditanda tangani sesuatu surat untuk dapat disebut akta


ditentukan dalam pasal 1874 KUHPerdata. Tujuan dari keharusan
ditanda tangani itu untuk memberikan ciri atau untuk mengindividualisasi
sebuah akta yang satu dengan akta yang lainnya, sebab tanda tangan
dari setiap orang mempunyai cirri tersendiri yang berbeda dengan tanda
tangan orang lain. Dan dengan penanda tangannya itu sesesorang
dianggap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta
tersebut.

b. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau
perikatan.
Jadi surat itu harus berisikan suatu keterangan yang dapat menjadi bukti
yang dibutuhkan, dan peristiwa hukum yang disebut dalam surat itu
haruslah merupakan peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak
atau perikatan.

c. Surat itu diperuntukan sebagai alat bukti.


Jadi surat itu memang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti. Menurut
ketentuan aturan Bea Materai Tahun 1921 dalam pasal 23 ditentukan
antara lain : bahwa semua tanda yang ditanda tangani yang diperbuat
sebagai buktinya perbuatan kenyataan atau keadaan yang bersifat
hukum perdata dikenakan bea materai tetap sebesar Rp.25,-. Oleh
karena itu sesuatu surat yang akan dijadikan alat pembuktian di
pengadilan harus ditempeli bea materai secukupnya (sekarang sebesar
Rp.6.000,-).

Berdasarkan ketentuan dan syarat-syarat tersebut diatas, maka surat jual


beli, surat sewa menyewa, bahkan sehelai kwitansi adalah suatu akta,
karena ia dibuat sebagai bukti dari suatu peristiwa hukum dan tanda tangani
oleh berkepentingan.

6. Pengertian Akta Otentik


Menurut beberapa pendapat ahli hukum yang dimaksud Akta Otentik
adalah sebagai berikut :

5
Akta yang dibuat oleh Pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh
penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik
maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa
yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan.

Surat yang dibuat oleh atau dimuka seseorang Pejabat Umum yang
mempunyai wewenang untuk membikin suarat itu, dengan maksud untuk
menjadikan surat tersebut sebagai surat bukti.

Suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang,


dibuat oleh atau dihadapan seorang Pegawai Umum yang berwenang
untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya.

Akta yang dibuat menurut bentuk Undang – undang oleh dan dihadapan
seorang Pegawai Umum yang berwenang di tempat itu.

Dari beberapa pendapat para ahli hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa
Akta Otentik mengandung beberapa unsur itu :

a. Akta itu harus dibuat oleh dan atau dihadapan Pegawai atau Pejabat
Umum yang ditunjuk oleh Undang-undang.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
undang.
c. Pegawai Umum oleh dan atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Selanjutnya akan uraikan masing-masing unsur tersebut ditas sebagai


berikut :

a. Akta itu harus dibuat oleh dan atau dihadapan Pegawai atau Pejabat
Umum yang ditunjuk oleh Undang-undang.

Dalam ketentuan pasal 1869 KUH Perdata hanya mengatur apa yang
dinamakan Akta Otentik, tetapi pasal tersebut yang dimaksud dengan
“Pegawai / Pejabat Umum” itu dan juga tidak menjelaskan tempat
dimana ia berwenang, sampai dimana batas-batas wewenangnya dan
bagaimana akta menurut Undang-undang itu, sehingga Pembuat
Undang-undang masih harus membuat Peraturan Perundang-undangan
yang mengatur hal-hal tersebut diatas. Hanya saja disebutkan bahwa
sebagai Pegawai Umum yang dmaksud, berlaku sesoarang Notaris,
seorang Hakim, seorang Juru Sita pada suatu pengadilan, seoarang
Pegawai Catatan Sipil dan sebagainya. Sehingga suatu Akta Notaris,
suatu Surat Keputusan Hakim, suatu Surat Proses Verbal, Surat
Perkawinan, Surat Kelahiran, Surat Proses Verbal, Surat Kematian,
semuanya itu adalah Akta Otentik.

Menurut ketentuan pasal 1868 KUH Perdata mengenai Akta Otentik

6
dapat dibedakan menjadi : Akta Otentik yang dibuat “oleh” Pegawai /
Pejabat Umum, dan Akta Otentik yang dibuat “dihadapan” Pegawai /
Pejabat umum.

Suatu Akta yang dibuat “oleh” pegawai umum, itu meruapakan laporan
suatu perbuatan atau kejadian resmi yang dtelah dilakukan “oleh”
Pegawai Umum, itu merupakan laporan suatu perbuatan atau kejadian
resmi yang telah dilakukan oleh Pegawai Umum yang bersangkutan
misalnya Akta Notaris yang dibuat di dalam Rapat Umum Para
Pemegang Saham suatu Perseroan Terbatas.

Dikatakan “oleh” disini karena inisiatif dari isi akta itu tidak dating dari
orang-orang yang beritakan tentang sesuatunya dalam akta itu, tetapi
Pegawai Umum tersebut menerangkan, menguraikan sesuatu tindakan
yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihatnya atau disaksikan,
dilakukan oleh Pembuat Akta itu yakni Pejabat umum itu sendiri, di
dalam menjalankan jabatannya dan akta yang dibuat sedemikian itu dan
yang memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta
dialaminya itu dinamakan Akta Pejabat atau Relaas Akta.

Sedangkan akta yang dibuat “dihadapan” Pegawai umum, itu merupakan


suatu laporan sesuatu perbuatan atau kejadian yang dilakukan oleh para
pihak yang bersangkutan dan atas permintaan para pihak yang
bersangkutan, Pegawai Umum mendengarkan apa yang bersangkutan,
atau diceritakan dan yang dikehendaki atau melakukan perbuatan oleh
kedua belah pihak yang sengaja datang menghadap itu agar keterangan
itu atau perbuatan yang dikehendaki itu dinyatakan, diwujudkan serta
dikonstatir oleh Pegawai umum dalam suatu akta, misalnya : A dan B
datang menghadap Pegawai Umum, keduanya menerangkan bahwa
mereka telah sepakat mengadakan perjanjian sewa menyewa. Akta yang
sedemikian itu dinamakan Akta para Pihak.

Dari uraian tersebut diatas maka terdapat perbedaan pokok diantara kedua
akta tersebut, yaitu :

1. Pada Akta Relaas, misalnya berita acara rapat yang dibuat oleh pejabat,
sedangkan akta para pihak dibuat oleh para pihak dihadapan pejabat,
dimana para pihak meminta bantuan pejabat untuk mengkonstatir apa
yang dikehendakinya dalanm suatu akta.

2. Pada Akta Relaas Pejabat Pembuat akta mempunyai inisiatif untuk


membuat akta, sedang dalam akta Para Pihak, inisiatif pembuatan akta
dating dari para pihak sendiri, pihak pejabat tidak pernah berinisiatif
untuk membuat akta.

3. Akta relaas, tanda tangan para yang hadir tidak merupakan keharusan,
sedangkan pada Akta para Pihak, dengan ancaman kehilangan sifat
otensitasnya.

7
4. Akta Relaas berisikan keterangan tertulis dari pejabat yang membuat
akta itu sendiri, sedangkan Akta para Pihak berisikan keterangan yang
dikehendaki oleh para pihak yang menyuruh membuat akta itu.

5. Kebenaran dari isi Akta relaas tidak dapat diganggu gugat, kecuali
dengan menuduh akta itu adalah palsu, sedangkan kebenaran Akta Para
Pihak dapat digugat tanpa menuduh kepalsuan akta itu.

6. Bentuk Akta Relaas berbeda dengan bentuk Akta Para pihak pada
bagian awal akta dan pada bagian akhir akta.

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang
No 30 Tahun 2004.

Mengenai bentuk dari Akta Otentik itu sebenarnya tidak ditentukan secara
tegas dalam Undang-undang, tetapi yang ditentukan secara tegas adalah
“isi” dari Akta Otentik itu. Akta-akta Otentik yang dibuat oleh para Pejabat
Pembuat Akta menurut hukum public, seperti vonis hakim, proses verbal
yang dibuat oleh juru sita, dan lain-lain, mempunyai bentuk beragam, hanya
saja isi atau hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta itu telah ditentukan
dalam Peraturan Perundang-undangannya, berdarkan nama maka seluruh
akta sejenis mempunyai bentuk yang serupa, sebagai contoh : Akta Otentik
yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, berdasarkan Peraturan jabatan
Notaris (Stb. 1860 Nomor 3), bentuknya tidak secara tegas dalam Undang-
undang, tetapi isi dan cara penulisan akta itu ditentukan secara tegas pasal
25 sampai dengan pasal 28, dengan ancaman kehilangan sifat otentik dari
akta itu atau ancaman hukuman denda terhadap Notaris yang membuat
akta tersebut.

c. Pegawai umum oleh dan atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Sebagaimana telah penulis sampaikan diatas, bahwa ketentuan pasal


1868 KUPerdata itu tidak menjelaskan tempat dimana Pejabat Umum itu
berwenang dan sampai sejauh batas wewenangnya, sehingga pembuat
Undang-undang harus membuat Peraturan Perundang-undangan yang
mengatur hal tersebut, maka jika kita amati pasal 1 Peraturan Jabatan
Notaris (Stb. 1860 Nomor 3) yang berbunyi sebagai berikut :

Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk


membuat Akta Otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh Peraturan Umum atau oleh yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu Akta Otentik,
menjamin kepastian tanggalnya menyimpan aktanya, dan memberikan
groose, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta
itu oleh suatu Peraturan Umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain.

8
Dari bunyi pasal tersebut diatas, jelaslah bahwa untuk Akta Otentik
dibidang keperdataan (berdasarkan hukum perdata), Notaris adalah
satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuatnya, baik akta itu
diharuskan atau atas permintaan orang yang berkepentingan, kecuali
untuk akta-akta tertentu secara tegas disebut dalam poerundang-
undangan , bahwa selain Notaris ada pejabat lain yang berwenang
membuatnya, atau untuk pembuatan Akta Otentik tertentu pejabat lain itu
dinyatakan sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang untuk
membuatnya. Sehingga wewenang Notaris merupakan wewenang yang
bersifat umum, sedangkan wewenang pejabat lain yang bukan Notaris
bersifat khusus.

Adapun akta-akta yang pembuatannya juga ditugaskan kepada pejabat lain


oleh Undang-undang dikecualikan pembuatannya kepada antara lain :

1. Pasal 281 KUH Perdata, selain Notaris sebagai Pejabat Umum, juga
Pegawa Kantor Catatan Sipil membuat akta pengakuan anak luar kawin.

2. Pasal 1227 KUH Perdata, selain Notaris sebagai Pejabat Umum, juga
Juru Sita berwenang membuat berita acara karena adanya penolakan
atau keterlambatan pendaftaran Hipotik oleh Pegawai penyimpanan
yang berwenang untuk itu.

3. Pasal 1405 dan 1406 KUH Perdata, tentang penawaran pembayaran


karena adanya penolakan dari yang berpiutang, yang harus dibuktikan
dengan adanya akta yang dibuat oleh Notaris atau Juru Sita.

4. Pasal 145 dan 218 KUH Dagang, kewajiban Juru Sita, disamping Notaris
membuat akta protes wesel dan cek.

5. Pasal 4 KUH Perdata, kewajiban dari Pegawai Catatan Sipil dengan


mengecualikan Notaris, untuk membuat register kelahiran,
pemberitahuan kawin, perceraian serta kematian.

Sepanjang mengenai wewenang yang harus dipunyai oleh seorang Pegawai


Umum untuk membuat suatu Akta Otentik, maka seorang Pegawai Umum
itu hanya boleh melakukan atau menjalankan jabatan di dalam seluruh
daerah yang ditentukan baginya dan hanya di dalam daerah yang ditentukan
baginya dan hanya di dalam daerah hukum itu berwenang. Jadi jika suatu
akta dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang tidak berweang untuk itu,
melainkan hanya berlaku sebagi akta dibawah tangan jika para pihak telah
menanda tanganinya, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1869 KUH
Perdata yang berbunyi sebagai berikut :

Suatu akta, yang karena berkuasa atau tidak cakapnya dalam pegawai
termasuk diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat
diberlakukan sebagai Akta Otentik, namun demikian mempunyai kekuatan
sebagai akta dibawah tangan, jika ia ditanda tangani oleh para pihak.

9
7. Kekuatan Pembuktian dari Akta Otentik

Sebagaimana telah penulis singgung diatas, bahwa fungsi Akta yang paling
penting adalah dipergunakan sebagai alat pembuktian, maka kekuatan
pembuktian dari akta dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu : kekuatan
pembuktian lahir/ luar/pihak ketiga, keuatan pembuktian formil dan kekuatan
pembuktian materil.

Adapun yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir adalah kekuatan


pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya
bahwa suatu surat yang kelihatan sebagai akta, harus diterima atau
dianggap dan diperlakukan sebagai akta sampai dapat dibuktikan
sebaliknya.

Kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu


sendiri membuktikan dirinya sebagai akta otentik dan kemampuan ini
menurut pasal 1875 KUH Perdata tidaka dapat diberikan pada akta yang
dibuat dibawah tangan, karena akta yang dibuat dibawah tangan baru
berlaku sah jika yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tanda
tangan itu dan jika demikian akta itu berlaku sebagai alat bukti yang
sempurna bagi para pihak yang bersangkutan.

Sedangkan Akta Otentik membuktikan sendiri keabsahannya yang dalam


bahasa latin disebut acta publica sese ipsa apabila suatu akta kelihatannya
sebagai Akta Otentik, artinya menandakan dirinya dari luar dari kata-katanya
sebagai berasal dari seorang PejabatUmum, maka akta itu terhadap setiap
orang dianggap sebagai Akta Otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta
itu tidak otentik.

Sepanjang mengenai kekuatan pembuktian lahiriah ini, yang merupakan


pembuktian lengkap atau mengikat, mengandung arti bahwa kebenaran dari
hal-hal yang tertulis dalam akta itu dianggap sebagai benar dengan tidak
mengurangi pembuktian sebaliknya, maka Akta Para Pihak dan Akta
Pejabat dalam hal ini sama.

Sesuatu akta yang diberi dari luar kelihatan sebagai akta otentik, berlaku
sebagai akta Otentik terhadap setiap orang, tanda tangan dari Pejabat
Umum yang bersangkutan diterima sebagai sah.

Pembuktian yang sebaliknya artinya bukti bahwa tangan itu tidak sah hanya
dapat diadakan melalui acara “Volscheidsparocedure” menurut ketentuan
pasal 148 KUH Perdata, dimana hanya diperkenankan pembuktian dengan
surat-suarat, saksi-saksi dan ahli-ahli. Jadi dalam hal ini yang menjadi
persoalan bukan isi dari akta itu ataupun wewenang dari pejabat itu, akan
tetapi semata-mata mengenai tanda tangan dari pejabat itu.

Kekuatan pembuktian formil dari akta yaitu kekuatan yang didasarkan atas

10
benar atau tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan dibawah
akta itu. Sebagai contoh : antara A dan B yang melakukan jual-beli,
mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam akta itu adalah benar.
Jadi pengakuan mengenai adanya pernyataan terjadinya peristiwa atau
perbuatan hukum jual-beli itu sendiri.

Dalam Akta Otentik, pejabat Pembuat Akta telah menyatakan dalam tulisan
itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain itu kebenaran
dari apa yang diuaraikan oleh Pejabat dalam akta itu sebagai yang
dilakukan dan disaksikannya dalam menjalankan jabatannya itu.

Dalam arti formil sepanjang mengenai Akta Pejabat/ Relaas Akta, akta itu
membuktikan kebenaran dari akta yang disaksikan, yakni yang dilihat,
didengar dan dilakukan sendiri oleh Pejabat Umum tersebut dalam
melakukan jabatannya.

Dengan demikian terjamin kebenaran dan kepastian dari tanggal akta itu,
identitas dari orang-orang yang hadir dan juga tempat dimana akta itu
dibuat.
Sedangkan dalam Akta para Pihak, bahwa para pihak ada menerangkan
seperti apa yang diuraikan dalam akta itu, sedangkan kebenaran dari apa
yang diterangkan oleh para pihak itu pada hakikatnya hanya pasti antara
para pihak sendiri.

Kekuatan pembuktian materil adalah kekuatan pembuktian yang dasarkan


atas benar atau tidaknya apa yang dinyatakan atau diterangkan dalam akta
itu.

Sebagai contoh : A adan B mengakui benar telah terjadi perbuatan hukum


jual – beli. Jadi menyangkut pembuktian tentang materi atau isi suatu akta,
memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak
melakukan atau melaksanakan dalam akta itu.

Dalam Akta Pejabat/ Relaas Akta sebagai Akta Otentik, tidak lain hanya
membuktikan apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan
dilakukan sendiri oleh pejabat itu dalam menjalankan jabatannya.

Jadi kebenaran dari pernyataan pejabat serta bahwa akta itu dibuat oleh
pejabat berlaku bagi siapapun. Sedangkan pada Akta Para Pihak menurut
Undang-undang merupakan bukti sempurna bagi mereka dan para ahli
warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak darinya.

Karena akta itu, isi keterangan yang dimuat dalam akta itu berlaku sebagai
yang benar, isinya mempunyai kepastian sebagai yangsebenarnya, menjadi
terbukti dengan sah diantara pihak dan para ahli waris serta para penerima
hak mereka.

Menurut pasal 1870. 1871 KUH Perdata akta ityu memberikan pembuktian
yang lengkap tentang kebenaran apa yang tercantum dalam akta itu,

11
sedangkan bagi pihak ketiga keuatan pembuktian materil dari akta itu
diserahkan pada pertimbangan hakim.

B. Analisis Hukum Terhadap Undang-Undang 30 Tahun 2004 Tentang


Jabatan Notaris

1. Apakah yang dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan


mengenai mekanisme pertanggungjawaban Notaris dalam menjalankan
tugas operasionalnya sebagai pejabat umum.

Sebagaimana telah penulis uraikan pada bab II sebelumnya siapakah


yang dimaksud dengan Notaris, sampai dimana batas wewenangnya dan
bagaimana tugas dan pekerjaannya notaris yang ditentukan oleh
Undang-undang.

Adapun untuk memahami lebih jauh ruang lingkup Undang-undang No.


30 tahun 2004 Republik Indonesia Tentang Jabatan Notaris tersebut,
terlebih dahulu penulis uraikan ruang lingkup Undang-undang tersebut
mengenai hal-hal yang mencangkup pokok-pokok materi, sebagaimana
berikut :

a. Ketentuan Umum. Berisi uraian tentang pengertian dan definisi yang


digunakan, antara lain mengenai pengertian Notaris, Organisasi
Notaris, akta Notaris, Grosse Akta, dan Formasi Protokol.

b. Pengangkatan dan Pemberhentian Notaris Dalam Undang-undang ini


memuat 2 (dua) syarat, yaitu syarat subyektif dan obyektif. Syarat
subyektif tentang dapat dan tidak dapat seseorang diangkat sebagai
Notaris, antara lain berkewarganegaraan Indonesia, berijazah sarjana
hukum dan pendidikan kenotariatan, mendapat rekomendasi dari
Organisasi Notaris. Adapun syarat obyektif yaitu pengangkatan dan
pemberhentian Notaris dilakukan oleh Menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang kenotariatan.
c. Kewenangan, kewajiban, dan Larangan Jabatan Notaris.
Kewenangan notaris ditegaskan yakni membuat akta otentik, yang
diperluas dengan kewenangan lainnya. Perluasan wewenang
tersebut, berdasarkan pada perencanaan yang baik dengan mengacu
pada kenyataan yang ada di masyarakat yaitu tuntutan akan bantuan
jasa notaris. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban
bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, dan menjaga kepentingan
pihak-pihak yang terkait dalam perbuatan hukum secara tidak
memihak. Penjabaran secara terperinci mengenai kewajiban Notaris
ditentukan dalam Undang-undang ini untuk memberikan jaminan
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi masyarakat yang
membutuhkan jasa Notaris.

Adapun larangan dalam jabatan Notaris diantaranya mengenai larangan


meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 x 24 jam berturut-turut tanpa

12
alasan yang sah didasarkan pada adanya kewajiban pelayanan kepada
masyarakat. Ketentuan ini menggantikan ketentuan lama yang melarang
meninggalkan wailayah jabatannya lebih dari 3 x 24 jam, dasar
pertimbangan yaitu dengan melihat pada kenyataan dalam masyarakat
karena terdapat cukup banyak Notaris yang tersebar di wilayah Negara
Republik Indonesia. Ketentuan larangan perangkapan jabatan Notaris
mempunyai kedudukan sendiri dan tidak memihak dalam menjalankan
jabatannya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan
masyarakat yang memerlukan jasa Notaris.

d. Tempat kedudukan dan Wilayah jabatan Notaris.

Pengaturan mengenai tempat kedudukan dan wilayah jabatan Notaris


termasuk segala ketentuan mengenai perpindahan wilayah jabatan Notaris
tidak lepas dari tujuan supaya lebih terjamin kepentingan umum, kepastian
hukum, dan terjangkaunya pelayanan jasa Notaris oleh masyarakat. Ada hal
baru yaitu bahwa wilayah jabatan notaries meliputi seluruh wialayah
propinsi, namun mereka wajib berkedudukan di satu kabupaten atau kota
dalam propinsi.

e. Honorarium.

Bagi Notaris ditetapkan honorarium berdasarkan kesepakatan para pihak


dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh organisasi Notaris.
Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat standar dalam menentukan
honorarium bagi Notaris.

f. Akta Notaris.

Ketentuan mengenai akta Notaris merupakan ketentuan yang fundamental


bagi Notaris oleh karena segala ketentuan mengenai bentuk dan sifat akta
termasuk persyaratan esensial baik mengenai penghadap tata cara
pembuatan akta, sifat memaksa dalam pembuatan akta Notaris oleh dan
dihadapan Notaris, akibat hokum dan sanksi yang dijatuhkan apabila tidak
dipenuhinya ketentuan tersebut, telah diatur dalam Undang-undang ini. Hal
ini dilakukan guna memberikan jaminan yang pasti akan kebenaran formil
dari surat akta otentik sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh.

g. Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris.

Undang-undang ini mengatur mengenai pengambilan Minuta Akta dan


Pemanggilan Notaris, karena Notaris adalah jabatan yang bersifat publik
perlu diatur secara khusus.

13
h. Pengawasan.

Agar ketentuan dapat dipastikan tertib pelaksanaannya, maka diperlukan


adanya mekanisme pengawasan terhadap Notaris. Ketika itu Pengadilan
Negeri adalah institusi yang melakukan pengawasan terhadap Notaris,
tetapi sekarang ini Majelis Pengawas yang secara berjenjang dimulai dari
Dewan Pengawas Pusat, Majelis Pengawas wilayah (Propinsi) dan Majelis
Pengawas Daerah (Kabupaten). Departemen Kehakiman Dan Hak-Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia selaku institusi yang mengangkat
Notaris, berdasarkan Undang-undang.

Penempatan petugas yang tepat dan kompeten, diharapkan pengawasan


terhadap Notaris semakin tajam, akurat, wajar. Sehingga dengan demikian,
akan membentuk pribadi Notaris yang lebih sigap, professional dan
bertanggungjawab dalam melaksanakan tugasnya.

i. Ketentuan sanksi.

Sanksi hukum akan dikenakan terhadap Notaris yang melakukan


pelanggaran atas ketentuan dalam Undang-undang ini. Sanksi dimaksud
berupa ; sanksi perdata dan administratif berupa teguran lisan, tertulis,
perberhentian dengan hormat, dan pemberhentian dengan tidak hormat.

Pemahaman keberadaan Notaris sebagai “Jabatan” sekaligus “Penjabat”


untuk pertama kali mendapat pengaturan di dalam Reglement Op Het
Notaris ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir
dalam lembaran Negara tahun 1954 Nomort 101;

Kemudian Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

Berikutnya, Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris


dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
Serta, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4379);

Dan, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Sumpah/Janji


Jabatan Notaris.

Dari yang diuraikan diatas maka dapat penulis kemukakan bahwa


sebelumnya Undang-undang No. 30 Republik Indonesia Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, maka dari ketentuan-ketentuan dalam beberapa
peraturan-peraturan yang penulis sebutkan diatas, dapat disimpulkan telah
terjadi pergeseran Kedudukan Notaris sebagai pejabat yang membuat Akta
Otentik dibidang keperdataan.

14
Dari hal-hal yang penulis uraikan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa
Notaris adalah Pejabat Umum dan akta-akta yang dibuatnya Akta Otentik.

2. Apakah konsep jabatan umum yang melekat pada Notaris dengan akta
otentik yang dibuatnya.

Menurut ketentuan pasal 1870 KUH Perdata, suatu Akta Otentik


memberikan diantara para pihak beserta para ahli warisnya atau orang-
orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang lengkap atau
sempurna dan mengikat tentang apa yang dimuat di dalamnya, dalam arti
bahwa apa yang ditulis dalam akta itu harus dapat dipercaya oleh hakim,
yaitu harus dianggap sebagai yang benar, selama ketidakbenarannya itu
tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Dan ia
memberikan suatu penambahan pembuktian lain.

Dengan demikian siapa yang menyatakan bahwa Akta Otentik itu palsu,
maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu. Karena itulah maka
Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materil.

Sebagai mana telah penulis uraikan diatas, bahwa Akta Notaris adalah Akta
Otentik, maka Akta Notaris juga mempunyai keuatan pembuktian lahiriah,
formil dan materil. Hal mana akan penulis uraikan sebagai berikut :

a. Kekuatan pembuktian lahir mengandung arti bahwa akta itu sendiri


mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai Akta
Otentik, karena kehadirannya sesuai dan menurut Peraturan Perundang-
Undangan yang mengaturnya. Demikian pula akta-akta Notaris
mempunyai kekuatan pembuktian lahir, karena akta-akta itu sendiri
mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sebagai Akta
Otentik yaitu karena kelahirannya ditentukan oleh Peraturan Perundang-
Undangan, dari Pejabat yang membuatnya, jenis akta yang dibuatnya,
wewenang pembuat aktanya, bentuk aktanya dan sifat aktanya
semuanya diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan.

b. Kekuatan pembuktian formil itu mempermasalah-kan mengenai benar


atau tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan dibawah akta
itu, jadi notaris menyatakan dalam tulisan itu bahwa apa yang dinyatakan
dalam akta itu. Sehingga kekuatan pembuktian formil Akta Otentik
menjamin kebenaran tentang tanggal, tempat akta dibuat, komparant
dan tanda tangan yang berlaku terhadap setiap orang.

Demikian juga pada Akta Notaris sebagai Akta Otentikyang merupakan Akta
Para Pihak, bagi siapapun telah pasti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan
menyatakan seperti apa yang tertulis diatas tanda tangan mereka.

Dari hal yang diuraikan diatas, memberikan kepastian bahwa Akta Notaris
mempunyai kekuatan pembuktian formil.

15
c. Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi
atau isi suatu akta dan memberi kepastian tentang peristiwa atau
kejadian bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan
seperti apa yang diterangkan dalam akta itu. Untuk Akta Notaris atau
Relaas Akta sebagai Akta Otentik, tidak lain hanya membuktikan apa
yang disaksikan yakni yang dilihat didengar dan juga dilakukan sendiri
oleh Notaris itu didalam menjalankan jabatannya. Sedangkan Akta Para
Pihak menurut undang-undang merupakan bukti bagi mereka dan ahli
warisnya dan sekalian 0rang-orang yang mendapat hak darinya.
Demikian pula pada akta-akta yang dibuat dihadapan Notaris,
mempunyai kekuatan pembuktian materil oleh karena peristiwa atau
perbuatan hukum yang dinyatakan oleh para pihak dan dikonstatir oleh
Notaris dalam Akta itu adalah benar-benar terjadi dan Akta Notaris
sebagai Akta Otentik yang berupa Akta Para Pihak, maka isi keterangan
dan ataupun perbuatan hukum yang tercantum di dalam akta ituberlaku
terhadap orang-orang yang memberikan keterangan itu dan untuk
keuntungan serta kepentingan siapa akta itu diberikan. Hal ini dapat
dilihat pada bagian akhir setiap akta notaris yang biasanya berbunyi
sebagai berikut :

Demikian akta ini dibuat dihadapan para pihak dan :

Sebagai saksi-saksi, dan setelah dibacakan serta dijelaskan, maka sebagai


bukti kebenaran pernyataan yang dikemukakan oleh PIHAK PERTAMA dan
PIHAK KEDUA tersebut diatas, akta ini ditanda tangani oleh PIHAK
PERTAMA, PIHAK KEDUA, Para Saksi, dan saya Notaris.

Dengan demikian Akta Notaris menurut undang-undang merupakan bukti


sempurna bagi mereka dan ahli warisnya serta sekalian orang yang
mendapat hak darinya, karena akta itu isi keterangan yang dimuat di
dalamnya berlaku sebagai yang benar dan mempunyai kepastian sebagai
yang sebenarnya menjadi terbukti dengan sah diantara para pihak dan para
ahli waris serta penerima hak mereka dan jika akta itu dipergunakan di muka
pengadilan adalah cukup dan bahwa Hakim harus menerima kebenaran
dalam akta itu, dan tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian
lainnya kecuali dilakukan pembuktian sebaliknya oleh pihak ketiga mengenai
kebenaran isi atau materi dari akta itu.

Berdasarkan hal-hal yang penulis uraikan tersebut diatas, dapat penulis


simpulkan bahwa kedudukan Akta Notaris sebagai alat bukti tertulis dalam
sistem Hukum Indonesia, merupakan Akta Otentik, karena memenuhi
syarat-syarat yang dimaksudkan dalam ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan.

16

You might also like