Professional Documents
Culture Documents
Apa bedanya riba dan bunga? Pada tanggal 16 Desember 2003 dalam pertemuan komisi
fatwa MUI diputuskan bahwa semua transaksi yang berbasis bunga adalah haram, karena
bunga telah memenuhi unsur-unsur riba yang diharamkan al-Qur’an. Di daerah-daerah
yang belum ada lembaga syari’ah boleh bertransaksi dengan lembaga keuangan
konvensional sepanjang belum ada lembaga yang sesuai syari’at. Jadi, sejak saat itu MUI
menetapkan bahwa bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Al-hamdulillah,
sekarang sudah banyak bank-bank yang beroperasi dengan sistem syari’ah. Sekarang
sudah mulai muncul asuransi syari’ah, perbankan syari’ah, pasar modal syari’ah dan
lembaga-lembaga bisnis yang berbasis syari’ah lainnya.
Riba dilarang oleh al-Qur’an dan dilarang juga oleh hadis. Hadis di sini berfungsi
mendukung hukum yang ditetapkan al-Qur’an. Dalam istilah fiqh, riba semacam ini
disebut riba fadhl, yang artinya adalah kelebihan. Seperti menukar emas satu kilo dengan
emas satu kilo seperempat, kelebihannya disebut riba fadhl. Satu kwintal beras rojo lele
ditukar dengan satu kwintal seperempat beras biasa, kelebihannya disebut riba fadhl.
Jenis riba kedua adalah riba nasiah, yaitu kelebihan yang terjadi akibat penundaan dalam
pembayaran. Inilah sistem yang banyak digunakan oleh bank-bank konvensional. Bila
diperbandingkan, riba yang diterapkan oleh lembaga keuangan dan bisnis konvensional
lebih kejam dibanding riba pada masa turunnya al-Qur’an. Pada masa Jahiliyyah, kalau
ada orang pinjam seratus juta rupiah, maka kembalinya tetap sama kalau belum melewati
satu bulan sudah bisa membayar. Ketika sudah melebihi satu bulan belum mampu
membayar, karena tidak mampu, maka biasanya dikenakan bunga. Sedangkan dalam
transksi bank konvensional sekarang, sejak berhutang sudah dicatat berapa jumlah
bunganya.
Ada yang bertanya, apa perbedaan bank syari’ah dengan bank konvensional? Sebagai
contoh, seseorang ingin kredit mobil dengan meminjam uang dari bank, maka bank
kemudian meneliti mengenai kemampuan orang tersebut dan memberikan harga kredit
dengan bunga sekian. Sedangkan bank syari’ah tidak demikian. Pertama dilakukan
penelitian mengenai kemampuan membayar sang nasabah, baru kemudian bank syariah
membeli mobil tersebut dari dealer dan dijual kepada nasabah dengan harga sekian dan
dengan cara membayar kredit. Meskipun pada akhirnya bernilai jumlah uang yang sama
karena kredit, tetapi akadnya berbeda. Yang pertama, pada bank konvensional masuk
dalam kategori riba nasiah sedangkan yang kedua pada bank syari’ah masuk akad jual
beli dengan cara pembayaran mengangsur.
Ada masalah-masalah dalam Islam yang sama prakteknya tetapi akadnya berbeda,
sehingga hukumnya juga berbeda. Ada perbuatan yang sama, tetapi satu halal dan satu
lagi haram hanya karena perbedaan akad saja. Contoh lain, apa yang dilakukan oleh
sepasang suami istri dengan pasangan kumpul kebo, yang satu halal dan yang satu lagi
haram karena perbedaan akadnya. Inilah contoh apa yang diharamkan al-Qur’an
diharamkan pula dalam hadis. Maka dari itu, hadis fungsinya adalah sebagai pendukung
al-Qur’an.
Ketiga, hadis sebagai sumber hukum Islam. Hadis adalah sebagai sumber hukum
kedua setelah al-Qur’an. Banyak hadis menjelaskan sesuatu yang tidak disebut dalam al-
Qur’an. Salah satunya adalah tentang dihalalkannya memakan daging binatang yang
disebut dlabb. Dulu banyak yang menerjemahkan dlabb dengan biawak, padahal ternyata
jauh berbeda dengan biawak karena di Indonesia tidak ada. Penetapan halalnya binatang
dlabb ini adalah berdasarkan hadis Nabi Saw.
Jadi, kedudukan dan fungsi hadis adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
Sedangkan fungsinya adalah sebagai penjelas dan penguat hukum yang ditetapkan dalam
al-Qur’an, juga sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri yang tidak dijelaskan dalam
al-Qur’an.
Dua belas abad yang lalu, ketika Imam as-Syafi’i mengajar hadis ada orang yang
bertanya apakah engkau masih mengajar hadis? Lalu al-Syafi’i mengatakan, "Apakah
saya sudah memakai ikat pinggang kepasturan?" Itu artinya, bahwa orang yang sudah
tidak mau memakai hadis Nabi sama halnya telah keluar dari Islam. Begitu juga yang
dialami oleh al-Suyuthi, penulis kitab Miftahul Jannah lilihtijaj bi al-Sunnah, beliau
menulis tentang argumentasi penetapan hadis sebagai sumber ajaran Islam. Al-Suyuthi
mengatakan, barang siapa yang tidak mengakui sunnah atau hadis sahih maka dia akan
dikumpulkan di akhirat nanti bersama orang-orang Yahudi dan Nasrani. Artinya, menurut
as-Syafi’i dan al-Suyuthi, orang-orang inkarus sunnah adalah kafir.
Contoh lagi, kita sering mendengar hadis bahwa mencintai dunia itu pangkal segala
kejahatan. Memang dari segi substansi benar, tetapi dari segi silsilah sanad hadis ini
mengalami keterputusan. Hadis ini diriwayatkan oleh Hasan al-Bashri, seorang tabi’in
langsung kepada Nabi SAW.
Kedua, jumlah orang-orang yang membentuk silsilah keguruan atau sanad yang
kemudian disebut rawi, masing-masing harus adil dan dlabit. Adil syaratnya lima:
muslim, berakal, baligh, tidak suka bermaksiat, dan menjaga martabat atau muruah. Yang
terakhir, menjaga muruah artinya adalah menjaga diri dari hal-hal yang dapat merusak
martabat meskipun tidak berdosa secara syara’. Hal itu berbeda-beda dari satu tempat ke
tempat yang lain. Kalau ada periwayat hadis yang melakukan hal-hal yang merusak
martabat mereka, maka hadisnya tidak bisa dikatakan sahih.
Menurut Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, kalau berita-berita yang kita terima dari
koran-koran dan televisi itu diuji dengan laboratorium ilmu hadis maka tidak ada berita
yang sahih, berita sejarahpun tidak ada yang sahih