You are on page 1of 3

Bahan Baku Alternatif Dari Limbah Di Indonesia beberapa limbah industri dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan baku

pembuatan semen. Limbah tersebut bisa dimasukkan pada proses raw mill atau pada proses cement mill. Beberapa limbah yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku alternatif pada industri semen antara lain terlihat pada tabel dibawah ini. No. Bahan Baku Limbah (Bahan Baku Alternatif) Input pada Pabrik Semen 1 Silicon (Si) Used Foundry Sand Raw Mill Molding sand (Mortar) Raw Mill 2 Calcium (Ca) Limestone/ chalk Raw Mill/ Cement mill Foam concrete granulates Raw Mill Calcium fluoride Raw Mill 3 Iron (Fe) Iron slag Raw Mill Cooper slag Raw Mill Dust EAF Raw Mill Iron scale Raw Mill Blast furnace & converter slag Raw Mill Iron ore Raw Mill Pyrite cinder Raw Mill 4 Aluminium (Al) Industrial sludge Raw Mill 5 Si Al Ca Blast furnace slag Raw Mill Fly ash, Raw Mill Ash from low quality Coal, Coal tailing Raw Mill/ Cement mill Paper residuals Raw Mill Ashes from inceneration processes Raw Mill/ Cement mill Spent catalyst Cement mill Trass Raw Mill/ Cement mill 6 Si Al Clay Raw Mill Bentonite / Kaolinite Raw Mill Recidues from coal pre treatment Raw Mill

Crash glass Raw Mill 7 S Natural Gypsum Cement Mill Chemical gypsum Cement Mill Other gypsum from the chemical or ceramic industries Cement Mill (sumber: Agus Erfien, Indocemen, 2006 ) Pada saat ini beberapa pabrik semen di Indonesia telah dan sedang memanfaatkan cangkang (kernel shell) dari kelapa sawit sebagai alternatif fuel. Sedangkan di Eropa alternatif fuel yang banyak dimanfaatkan adalah ban bekas dan limbah sludge domestik. Limbah padat yang bisa dimanfaatkan sebagai alternatif fuel lainnya antara lain: sludge (paper fiber, WWT sewage), packaging waste, carbon fly ash, bottom ash, paint residue, waste plastics, dan biomas seperti: rice husk, palm kernel shell, wastewood, baggase, waste paper, dan waste rubber. Sedangkan limbah cair yang dapat dipergunakan sebagai alternatif fuel anatara lain: waste oil & oiled water, sludge oil, slope oil & recovery oil, solvents dll. Unsur-unsur kimia yang sangat diperlukan dalam pembuatan semen adalah Silicon (Si), Calcium (Ca), Besi (Fe), Alumunium (Al) dan Sulfur (S). Unsur unsur kimia yang diperlukan tersebut dapat diperoleh dari bahan baku utama proses produksi pabrik semen yang terdiri dari batu kapur, tanah liat, pasir silika, dan pasir besi serta bahan penolong berupa gypsum. Beberapa limbah industri dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan baku pembuatan semen. Limbah tersebut bisa dimasukkan pada proses raw mill atau pada proses cement mill. Mengingat proses produksi semen ini menggunakan suhu yang sangat tinggi terutama pada proses pembakaran pada rotary kiln (1500 C), suhu dimana pembakaran limbah akan menghasilkan pembakaran sempurna. Namun demikian negara negara Eropa seperti Jerman dan Spanyol, telah memberlakukan peraturan yang ketat bagi limbah yang akan dimanfaatkan sebagai alternative bahan baku maupun bahan bakar. Limbah tersebut antara lain tidak boleh memiliki kandungan merkuri dan halogen melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan (Hg<10 mg/Kg, Halogen (Cl)<0.25%, dll).
Ekosemen Diawali penelitian di tahun 1992, dengan dibiayai oleh Development Bank of Japan, para peneliti Jepang telah meneliti kemungkinan abu hasil pembakaran sampah, endapan air kotor dijadikan sebagai bahan semen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa abu hasil pembakaran sampah mengandung unsur yang sama dengan bahan dasar semen pada umumnya. Pada tahun 1998, setelah melalui proses uji kelayakan akhirnya pabrik pertama didunia yang mengubah sampah menjadi semen didirikan di Chiba. Pabrik tersebut mampu menghasilkan ekosemen 110.000 ton per tahunnya. Sedangkan sampah yang diubah menjadi abu yang kemudian diolah menjadi semen mencapai 62.000 ton per tahun, endapan air kotor dan residu pembakaran yang diolah mencapai 28.000 ton per tahun. Hingga saat ini sudah dua pabrik di Jepang yang memproduksi ekosemen. Pembuatan ekosemen Penduduk jepang membuang sampah baik organik maupun anorganik, sekitar 50 juta ton/tahun. Dari 50 ton per tahun tersebut yang dibakar menjadi abu sekitar 37 ton per tahun. Sedangkan abu yang dihasilkan mencapai 6 ton/tahunnya. Dari abu inilah yang kemudian dijadikan sebagai bahan dari pembuatan ekosemen. Abu ini dan endapan air kotor mengandung senyawa-senyawa dalam pembentukan semen biasa. Yaitu, senyawa-senyawa oksida seperti CaO, SiO2, Al2O3, dan Fe2O3. Oleh karena itu, abu ini bisa berfungsi sebagai pengganti clay yang digunakan pada pembuatan semen biasa. Namun CaO yang terkandung pada abu hasil pembakaran sampah dinilai masih belum mencukupi, sehingga limestone (batu kapur) sebagai sumber CaO masih dibutuhkan sekitar 52 persen dari keseluruhan. Sedangkan pada semen biasa, limestone yg dibutuhkan mencapai 78 persen dari keseluruhan.

Proses selanjutnya adalah abu hasil pembakaran sampah (39 persen), limestone (52 persen), endapan air kotor (8 persen) dan bahan lainnya dimasukkan ke dalam rotary klin untuk kemudian dibakar. Untuk mencegah terbentuknya dioksin, pada proses pembakaran di rotary klin, dilakukan pada 1400 derajatcelcius lebih dimana pada suhu tersebut dioksin terurai secara aman. Kemudian gas hasil pembakaran pada rotary klin didinginkan secara cepat untuk mencegah proses pembentukan dioksin ulang. Sehingga hasil gas buangan tidaklah berbahaya bagi manusia. Sedangkan pada hasil pembakaran yang masih mengandung senyawa logam dipisahkan, untuk kemudian dapat dipergunakan untuk kebutuhan lain. Hasil akhir dari proses ini adalah ekosemen. Pengaruh plastik vinil Plastik vinil yang terdapat dalam sampah pada proses pembakaran akan mengakibat kekuatan konkrit ekosemen akan berkurang. Hal ini diakibatkan oleh adanya gas Cl 2 hasil peruraian plastik vinil yang dapat mempengaruhi kekuatan konkrit ekosemen. Kualitas ekosemen Berdasarkan hasil pengujian JSA (Japan Standar Association) dinyatakan bahwa ekosemen mempunyai kualitas yang sama baiknya dengan semen biasa. Sehingga, hingga saat ini penggunaan ekosemen sudah digunakan dalam pembangunan jembatan, jalan, rumah, dan bangunan lainnya di Jepang. Dengan adanya pengubahan sampah menjadi semen, menambah alternatif pengolahan sampah menjadi barang bermanfaat bagi manusia yang telah membuangnya. Selain itu dengan adanya alternatif pengolahan sampah menjadi semen, biaya pengolahan sampah di Jepang menjadi lebih murah. Bila sebelumnya 40.000 yen per ton (pengolahan sampah konvensional) menjadi 39.000 yen per ton (pengolahan sampah hingga menjadi semen). Peluang di Indonesia Indonesia belum bisa lepas dari masalah sampah. Mulai dari penolakan warga masyarakat sekitar TPA akibat kepulan asap dan bau yang ditimbulan pengolahan sampah saat ini hingga kejadian yang tidak pernah dilupakan, tragedi leuwih gajah yang merenggut 24 nyawa tak bersalah. Sudah banyak upaya yang dilakukan, termasuk dengan mengubahnya menjadi sumber energi (metan) namun akibat kurangnya prospek dari segi ekonomi, akhirnya perkembangannya masih jalan ditempat. Berhasilnya Jepang, mengolah sampah menjadi semen, tentu menjadi peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia. Di Jakarta saja sampah yang dihasilkan oleh warganya mencapai 6000 ton lebih per hari. Selain itu secara prinsip, pembuatan ekosemen hampir sama dengan pembuatan semen biasa, sehingga jika bisa dilakukan kerja sama dengan pihak industri semen, maka akan jadi kerjasama yang menguntungkan baik pihak pemerintah maupun pihak industri. Dari pihak pemerintah penanganan sampah bisa sedikit teratasi dan dari pihak industri mampu mengurangi penggunaan limestone (26 persen). Namun yang terpenting adalah kemauan pemerintah, khususnya pemerintah kota/daerah, untuk mengelola sampah dengan baik dan memulai untuk mencoba memisahkan sampah antara sampah organik, anorganik, botol dan kaleng menjadi kebudayaan bangsa Indonesia secara luas. Sehingga peluang pemanfaatan sampah menjadi semen atau produk yang lain bisa oleh pihak industri bisa lebih ekonomis. (krs)

You might also like