You are on page 1of 65

Cermin

Dunia Kedokteran
1997

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

115
Tuberkulosis Daftar Isi :
Maret 1997 2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5. Pemberantasan Tuberkulosis pada Pelita VI - Abdul Manaf
8. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis.- Zul Dahlan
13. Pengobatan Tuberkulosis Paru dengan Strategi Baru Rejimen
WHO di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur - Sudijo
17. Keefektifan Paduan Obat Ganda Bifasik Anti Tuberkulosis
Dinilai Atas Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan Atas Dasar
Kegiatan Pemulihan Imunitas Protektif. 2. penilaian atas dasar
kegiatan anti mikrobial paduan obat - RA Handojo, Sandi
Agung, Anggraeni Inggrid Handojo
27. Perbandingan Hasil Uji Coba ELISA Makro pada Penderita
Tuberkulosis Paru Biakan Positif dan Negatif - Anik Widi-
janti
30. Tuberkulosis Milier dengan Tuberkuloma Intrakranial -
laporan kasus - Djoko Muljono, Djoko Imam Santoso
33. Tuberkulosis Uveitis Anterior - laporan. kasus - Suhardjo,
Rahajeng Lestari
Karya Sriwidodo WS
38. Frekuensi M. Atipik, M. Tuberkulosis dan M. Bovis pada
Limfadenitis TBC Positif PA Positif Biakan - Misnadiarly
41. Masalah Respirologi Masa Kini dan Tantangannya di Masa
Depan - Eddie Soeria Soemantri
45. Dampak Debu Industri pada Paru Pekerja dan Pengenda
liannya - Faisal Yunus
52. Peranan Kader dalam Menunjang Program ISPA di Jawa
Barat - Enny Muchlastriningsih
56. Penatalaksanaan Gigi Goyang Akibat Kelainan Jaringan
Periodontium – SW Prayitno
60. Hernia Umbilikalis Inkarserata pada Neonatus - laporan kasus
- Nawazir Bustami
62. Abstrak
64. RPPIK
Masalah tuberkulosis merupakan masalah yang tak habis habisnya
dibahas karena penyakit ini masih tetap merupakan problem kesehatan
masyarakat yang utama di negara-negara berkembang se perti Indonesia,
dan bahkan kembali menjadi masalah di negara negara maju seiring dengan
makin prevalennya infeksi HIV.
Mengingat masih merupakan penyakit masyarakat, penanggu langannya
tidak hanya cukup dengan pengobatan kasus, tetapi juga mencakup strategi
pencegahan dan pemberantasan secara luas, ter masuk program dari
Departemen Kesehatan.
Pemberantasan ini tentu tidak lepas dari aspek klinisnya, yaitu diag
nosis dan pemilihan obat yang tepat dan adekuat, di samping pence gahan
penularan.
Masalah-masalah di atas kembali menjadi topik bahasan Cer min Dunia
Kedokteran edisi ini dilengkapi dengan beberapa laporan asus tbc
ekstraparu dan yang mengenai masalah respirologi lainnnya.
Selamat membaca.

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran mengucapkan:

Selamat Hari Raya 'Idul Fitri 1417 H


Mohon Maaf Lahir dan Batin
Redaksi beserta Staf

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


Cermin 1997

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH REDAKSI KEHORMATAN


Prof. Dr Oen L.H. MSc
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-
KETUA PENYUNTING Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa darmo
Dr Budi Riyanto W Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Staf Ahli Menteri Kesehatan,
Jakarta. Departemen Kesehatan RI,
PEMIMPIN USAHA Jakarta.
Rohalbani Robi – Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi – Prof. DR. B. Chandra
PELAKSANA Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Sriwidodo WS Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya.
TATA USAHA – Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno
Sigit Hardiantoro SKM, MScD, PhD. – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
Bagian Periodontologi Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
ALAMAT REDAKSI Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Fakultas Kedokteran Gigi
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Semarang.
Universitas Indonesia, Jakarta
Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka
Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. – DR. Arini Setiawati
Telp. 4208171 – Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort
Laboratorium Ortodonti Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
NOMOR IJIN Universitas Trisakti, Jakarta Jakarta,
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
DEWAN REDAKSI
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
– Dr. B. Setiawan Ph.D - Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto
PENCETAK Zahir MSc.
PT Temprint

PETUNJUK UNTUK PENULIS


Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di- Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih P.O. Box 3117 Jakarta.
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) penga- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
rang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.
English Summary
THE EFFECTIVENESS OF BIPHA- end of first month treatment RESULTS OF MACRO-ELISA TESTS
SIC COMBINATION ANTITUBER- period approached 50% when ON CULTURE-POSITIVE PULMO
CULOSIS TREATMENT BASED ON the short course regimens were NARY TUBERCULOSIS PATIENTS
THE ANTIMICROBIAL ACTIVITY administered, and approached
AND ON THE RECOVERY OF 95% at end of the fourth month Anik Wudijanti
PROTECTIVE IMMUNITY treatment period. Dept. of Clinical Pathology, Dr. Saiful
Anwar Hospital. Faculty of Medicine,
2. EVALUATION BASED ON THE Assessment of the result of
Brawiaya University, Malang, Indonesia
ANTIMICROBIAL ACTIVITY anti-TB chemotherapy has to be
carried out not later than at the This study was carried out on 61
end of the sixth month treatment sera from pulmonary tuberculosis
RA Handoyo, Sandi Agung, period, as after 6 months, anti- patients; 35 séra are from pa-
Anggraeni Inggrid Handoyo tuberculosis regimens have no
The Indonesian Association of Pul- tients with positive sputum cul-
longer any bactericidal potency tures and 26 sera are from pa-
monologists, Malang. Indonesia
The TB Center of Surabaya, Indonesia and thus no increase in the rate fients with negative sputum cul-
of sputum conversion may be tures. The concentration of spe-
A clinical investigation on the expected. The 6-month short cific lgG against M. tuberculosis
efficacy of dual drug, two-phase, course regimen given to cases of the above mentioned sera
anti-tuberculosis regimens. was with pretreatment fully sensitive was determined by the macro
conducted in the TB centre of strains of bacilli, can be consi- Elisa technique.
Malang and in the TB centre of dered the ideal anti-TB regimen The result showed that the
Denpasar, comprising 300 cases as was evidenced by a maximal concentration of specific igG
of pulmonary tuberculosis with result. For optimal result, the 6- from patients with a positive spu-
positive sputa on smear and on month short course regimen tum culture were significantly
culture as well and that have appeared to be acceptable lower than the concentrations of
never received any anti-TB drug. even when no pretreatment specific lgG from patients with a
One hundred cases were drug-susceptibility test was negative sputum culture (p <
allocated at random to a six- carried out, Prolongation of the 0,05).
month short course regimen (HR/ treatment period from six to nine
5H2R2), 100 cases to a 9-month months, resulted in the preven- Cermin Dunia Kedokt. 1997; 115:27-9
short course regimen (HR/8H2R2) tion of bacteriological relapse Aw
and one hundred cases to a 12- following cessation of a success-
month conventional regimen ful treatment.
(HS/11H2R2). The application of anti-TB TUBERCULOUS ANTERIOR UVEITIS
Both short course regimens chemotherapy for a period Suhardjo, Rahajeng Lestari
appeared to be statistically more longer than 6 months, is meant Dept. of Ophthalmology, Faculty of
Medicine, Gajah Mada Uniersity Sardjito
effective than the conventional merely to stabilize the bacterio-
General Hospital, Yogyakarta, Indonesia
regimen in terms of "the initial kill", logical cure achieved during the
the rate of sputum conversion active treatment period. In developing countries tuber-
Cermin Dunia Kedokt. 1997; 115:17-26
(bacteriological cure) at the end Rah, Sa, Alh culosis is stil one of the main health
of each motnh in treatment problem. The difficulty of tuber-
period, the cure rate at the end culous uveitis diagnosis was
of treatment period, and the true caused by lack of bacterial and
cure rate at the end of an 18- histological examinations.
month follow-up period. The A 35 year old man suffering
bacteriological cure rate at the
(Bersambung ke halaman 26)

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


Artikel
ULASAN

Pemberantasan Tuberkulosis
pada Pelita VI
Abdul Manaf
Perkumpulan Respirologi Indonesia

PENDAHULUAN Hal ini lebih lanjut akan memberikan dampak bagi peningkat-
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992 me- an sumber daya manusia (SDM) serta meningkatkan sektor
nyatakan tuberkulosis sebagai penyebab kematian nomor 2 dari ekonomi.
semua golongan usia dan nomor 1 dari golongan penyakit Kebijaksanaan operasional baru program P2TB Paru sesuai
infeksi. Setiap tahunnya 175.000 meninggal, sekitar 500.000 dengan rekomendasi WHO adalah sejalan dengan kondisi
kasus baru dengan 260.000 tidak terdiagnosis serta mendapat- struktur administrasi pemerintahan dengan desentralisasi ke
kan pelayanan yang tidak tuntas. Kenyataan bahwa penderita tingkat kabupaten; hal ini akan memudahkan pelimpahan tugas
umumnya dari golongan usia produktip kerja akan berdampak kepada petugas tingkat kabupaten sesuai dengan strategi baru.
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Terabaikannya penyakit ini telah menimbulkan masalah SITUASI
resistensi kuman yang menjadi beban sektor kesehatan. Ancam- Pelaksanaan program pemberantasan yang selama ini di-
an penyebaran infeksi I-IIV turut memperberat rnasalah, oleh jalankan di puskesmas belum memperlihatkan hasil yang ber-
karena penderita HIV positip 10 kali lebih mungkin akan men- makna, di samping itu belum terdapat keseragaman diagnosis
derita tuberkulosis. sesuai lokasi dan klasifikasi berdasarkan kategori pengobatan
Keinginan pemerintah untuk menanggulangi masalah yang dibutuhkan untuk analisis secara kohort melalui kese-
tuberkulosis yang sejalan dengan keinginan untuk mengentas- ragaman pencatatan. Lebih dari 50% penderita belum tercakup
kan kemiskinan perlu mendapatkan dukungan lintas program, oleh program yang selama ini dipusatkan di puskesmas dan di
lintas sektor dan mengikut sertakan LSM maupun meningkat fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah lainnya maupun sektor
kan peran serta masyarakat untuk secara terpadu mengguna- swasta.
kan infrastruktur fasilitas pelayanan kesehatan yang telah ada Pada tahun 1994 telah dilaksanakan evaluasi program
sebagai wadah. Pada kenyataannya masih banyak penderita bersama dengan WHO dan hasilnya telah diajukan dalam
yang berobat di luar puskesmas, di samping belum adanya ke- Lokakarya Nasional ke VI. Selanjutnya Dokumen Perencanaan
seragaman tata laksana penanggulangan. 5 Tahun yang dibuat dengan bantuan konsultan WHO me-
Keberhasilan beberapa proyek dengan menggunakan re- rupakan dasar kebijaksanaan operasional yang dimulai pada
komendasi WHO, menunjukkan bahwa infrastruktur yang ada tahun 1995. Dalam rangka menunjang keberhasilan pelaksana-
sudah baik dan telah siap untuk digunakan. Penggalian sumber an program pada tahun 1995, WHO melengkapi strategi pe-
daya dan dana yang selanjutnya digunakan secara tepat di laksanaan program dengan mengembangkan strategi DOTS
samping penataan yang baik dalam program P2TB Paru Na- (Direct Observed Treatment Short-Course) karena pengendali-
sional akan meningkatkan pemerataan keberhasilan program an pengobatan penderita sangat menentukan keberhasilan
P2TB Paru khususnya dan Program Kesehatan pada umumnya pengobatannya.
dalam mencapai tujuan Kesehatan bagi Semua di tahun 2000. Meningkatnya penyebaran infeksi HIV dan penyakit AIDS

Pertemuan Berkala Ilmiah dan Organisasi (PBIO) Ke-II Perkumpulan


Respirologi Indonesia, Palembang 2 -3 Desember 1995

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 5


merupakan salah satu faktor meningkatnya penyakit tuber- terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dengan di
kulosis di dunia akibatnya daya tahan tubuh yang rendah. sekelilinginya terdapat 3-5 Puskesmas Satelit (PS) yang secara
Meskipun di Indonesia jumlah penderita HIV/AIDS yang keseluruhan mencakup wilayah kerja dengan jumlah penduduk
ditemukan terbatas, tetapi peningkatan kasus yang terjadi cu- antara 100.000-150.000 jiwa merupakan kondisi ideal bagi
kup memprihatinkan. Kedua penyakit yang saling mempenga- kelangsungan program dan menjadi dasar perencanaan mau
ruhi akan menjadikan beban ganda bagi petugas kesehatan bila pun pengembangan selanjutnya.
tidak segera ditanggulangi dengan baik. Dalam kebijaksanaan operasional program P2TB Paru
Telah terbentuknya infrastruktur dan dengan meningkatkan Pelita VI, Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) merupakan
kualitas pelaksanaan program pemberantasan TB Paru pada bagian terpenting dalam rangka peningkatan kualitas, khusus-
fasilitas pelayanan kesehatan yang ada akan menurunkan angka nya dalam rangka penegakan diagnosis secara mikroskopis di
kematian dan kesakitan penderita yang umumnya terdapat laboratorium. Beban kerja pemeriksaan sediaan yang cukup
dalam golongan kurang/tidak mampu serta termasuk dalam dan pelatihan yang baik akan mempertahankan keterampilan
golongan usia produktip kerja. Dengan mencegah penyebaran dan meningkatkan kualitas petugas laboratorium. Pemakaian pe-
resistensi kuman terhadap obat antituberkulosis, keberhasilan warnaan Ziehl Neelsen dan digunakannya mikroskop binokuler
program pemberantasan akan mengandung peningkatan sumber merupakan unsur penunjang yang tidak dapat diabaikan serta
daya manusia (SDM) yang pada akhirnya akan meningkatkan menuntut terbentuknya tatalaksana serta jaring-jaring labo-
pertumbuhan ekonomi negara. ratorium dalam usaha menjaga dan meningkatkan kualitas
Peranan pelayanan kesehatan di luar puskesmas untuk (mutu). Pembentukan kelompok-kelompok puskesmas pelak-
penderita tuberkulosis perlu ditingkatkan, termasuk rumah sakit sana program dengan PRM sebagai tempat pemeriksaan
pemerintah maupun swasta, dokter spesialis dan dokter swasta. laboratorium secara mikroskopis ini selanjutnya dikembang-
Desentralisasi ke tingkat kabupaten maupun suksesnya kan secara bertahap; dengan demikian puskesmas yang saat ini
pelaksanaan secara terpadu, memerlukan konsolidasi dan belum sebagai pelaksana program dapat secara langsung
kesatuan sudut pandang untuk secara bersama-sama mengambil menjadi PS.
bagian dalam program P2TB Paru secara nasional. Penggalian Sesuai dengan struktur organisasi Departemen Kesehatan
sumber daya dan dana dengan pemerataan penggunaan secara terlihat bahwa untuk mencapai keberhasilan program secara
tepat dan tata laksana yang baik akan menunjang keinginan nasional, sejak awal harus dilakukan secara lintas program
pemerintah untukmengentaskan kemiskinan serta meningkat sesuai dengan beban dan tanggung jawabnya.
kan perekonomian dan tercapainya kesejahteraan. Pemakaian obat anti tuberkulosis (OAT) jangka pendek
sesuai dengan rekomendasi WHO berdasarkan Kategori dan
PROGRAM P2TB PARU PELITA VI Klasifikasi penyakit sangat penting dalam mencegah kegagalan
Kebijaksanaan operasional program pemberantasan tuber- pengobatan dan resistensi kuman dengan keteraturan berobat
kulosis Paru (P2TB Paru) Pelita VI merupakan antisipasi ter- penderita sampai sembuh. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang
hadap kondisi pelaksanaan program pemberantasan yang dipergunakan dalam program pemberantasan tuberkulosis paru
walaupun selama ini telah dijalankan, tetapi belum mem- terdiri dari beberapa kategori yaitu :
perlihatkan hasil yang bermakna. Prioritas ditujukan terhadap a) Kategori 1: 2HRZE/4 H3R3
peningkatan mutu pelaksanaan dan pelayanan, di samping Untuk penderita Baru BTA positip dan penderita BTA ne-
penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai gatip/Rontgen positip sakit berat.
penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman tuber- b) Kategori 2 : 2 HRZES/HRZE/5 H3R3E3
kulosis di masyarakat. Untuk itu usaha yang telah ada harus Untuk penderita BTA positip kambuh atau gagal dengan
dilanjutkan dengan beberapa perbaikan sesuai dengan per- pengobatan kategori 1.
kembangan dunia dan Iptek di samping keterpaduan kegiatan c) Sisipan : HRZE
seluruh sektor terkait (lintas program maupun lintas sektor) Sebagai tambahan pengobatan selama 1 bulan secara
dalam menunjang pelaksanaannya. intensip apabila setelah selesai pengobatan fase awal, pe-
Dalam rangka memutuskan rantai penularan dan mencegah meriksaan sputum hasilnya BTA positip.
meningkatnya resistensi kuman, tujuan utama adalah pen- d) Kategori 3 : 2 HRZ/2 H3R3, belum disediakan oleh pro-
capaian angka kesembuhan 85% yang kemudian disusul dengan gram saat ini. Paduan obat ini digunakan untuk penderita BTA
peningkatan cakupan 70% di tahun 2000, yang berdasarkan negatip dengan radiologis positip.
pengalaman akan menurunkan angka prevalensi separuhnya. Beberapa daerah sehubungan dengan kondisi setempat,
Untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan program dan terutama akibat faktor geografis; dalam tahap pengembangan
pelayanan, berdasarkan pengalaman serta hasil evaluasi, perlu akan didapatkan Puskesmas Pelaksana Program yang tidak dapat
dilakukan penyempurnaan kebijaksanaan operasional dengan dikelompokkan sebagai KPP serta berdiri sendiri. Puskesmas
mengaktifkan serta meningkatkan kualitas infrastruktur yang pelaksana program demikian disebut sebagai Puskesmas
telah ada di samping mengikut sertakan komponen pelayanan Pelaksana Mandiri (PPM).
kesehatan di luar program. Keberadaan BP-4, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta
Pembentukan Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang yang juga menangani penderita tuberkulosis diharapkan dapat

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


turut terlibat secara aktip dan mempunyai kesatuan sudut KESIMPULAN
pandang. Hal ini akan dapat dicapai dengan koordinasi dan Keberhasilan kebijaksanaan operasional Pelita VI sangat
kerja sama yang baik dari tingkat Pusat, Propinsi dan Kabupa ditentukan oleh kerja sama lintas program dan sektor di setiap
ten. Demikian pula halnya dengan Perhimpunan Dokter Ahli tingkat administrasi pemerintahan dengan prioritas utama pada
Paru (PDPI) maupun Ikatan Dokter Indonesia (IDI). kualitas; pencapaian angka kesembuhan 85% sebagai target
Eksistensi Balai Laboratorium Kesehatan (BLK.) di seluruh diharapkan sesuai dengan pengalaman, maka dalam 5 tahun
daerah tingkat I perlu dikembangkan, terutama dalam rangka angka prevalensi akan dapat diturunkan separuhnya di samping
pelatihan tenaga laboratorium dan meningkatkan kegiatan jaga mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti
mutu. tuberkulosis.
Seluruh kegiatan penelitian dan pengembangan termasuk Tatalaksana pengobatan yang baik, pengendalian peng-
dalam rangkaian penilaian perlu dikembangkan dengan me- obatan penderita, pengadaan OAT yang cukup dan tidak ter-
libatkan unsur terkait di bawah koordinasi Badan Litbangkes. putus, pengadaan sarana dan prasarana, penyuluhan, pelatihan
Meningkatkan keterlibatan semua unsur pelayanan Pe- dan supervisi, dan peningkatan kualitas pelayanan sangat
merintah dan Swasta maupun peran serta masyarakat dengan menentukan keberhasilan program pemberantasan penyakit
lebih mengaktipkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tuberkulosis paru (P2TB Paru) dengan kebijaksanaan baru.
yang telah ada. Hal ini merupakan pengamalan strategi DOTS Dengan ancaman menyebarnya infeksi HIV, penanggu-
(Direct Observed Treatment Short-Course) sebagai suatu rang- langan tuberkulosis saat ini perlu ditingkatkan dan merupakan
kaian dari kesatuan mata rantai (The Hold Chain). DOTS saat yang tepat untuk mencegah terdapatnya dua penyakit pada
terutama berperan dalam menjamin keberhasilan pengobatan seorang penderita yang akan menjadikan penanggulangannya
penderita dengan keteraturan dan ketaatan penderita selama lebih sulit lagi.
masa pengobatan. Di samping itu juga melengkapi penderita Pelaksanaan secara terpadu dengan memanfaatkan sumber
dengan informasi yang cukup jelas mengenai penyakitnya yang daya dan dana yang ada perlu ditingkatkan clalam usaha pe-
dapat disembuhkan serta memberikan semangat agar dapat merataan pembangunan kesehatan yang pada akhirnya akan
memenuhi seluruh jadual pengobatannya. turut mendukung pembangunan di bidang ekonomi serta
mengentaskan kemiskinan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 7


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Diagnosis dan Penatalaksanaan


Tuberkulosis
Zul Dahlan
Subunit Pulmonologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unpad
RS Hasan Sadikin, Bandung

PENDAHULUAN hingga efek terapi diukur dari penyembuhan TBP saja tanpa
Sebagaimana juga halnya di negara-negara berkembang perhatian yang cukup pada kesembuhan TBE yang menyertai-
lain, tuberkulosis (TB) di Indonesia masih merupakan salah nya. Timbul kesan seolah-olah penanganan TB paru sudah di-
satu masalah kesehatan yang utama. WHO memperkirakan anggap inklusif menyelesaikan pula masalah penanganan TB
adanya 20 juta kasus di seluruh dunia, dengan angka kematian Ekstraparu yang mungkin menyertainya. Sikap ini tentu me-
sebesar 3 juta pertahun, 80% diantaranya meninggal di negara nyebabkan penatalaksanaan TB tidak sempurna karena mung-
berkembang(1). Dilaporkan bahwa insidensi penyakit ini pada kin terapi TBE belumlah tuntas(4). Sasaran terapi TB dengan
masa kini meningkat di negara tertentu berhubung dengan demikian haruslah sekaligus mencapai kesembuhan TBP dan
tingkat infeksi yang tinggi dan terjadinya penurunan daya tahan TBE.
tubuh akibat kemiskinan atau penyakit AIDS. Di samping itu Pada tahun 1993 WHO mengeluarkan petunjuk program
diakibatkan pula oleh insidensi kasus TB resisten yang semakin terapi tuberkulosis(6) dan Depkes RI menyebarluaskan petunjuk
tinggi(2). Panduan Kemasan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)(3). Pedoman
Tuberkulosis merupakan penyakit sistemik yang dapat dan tatalaksana yang baru ini patut dipedomani dan dilaksana-
mengenai hampir semua organ tubuh, yaitu organ pernafasan kan.
(TBparu-TBP) ataupun di organ di luar paru (TB Ekstraparu- Dalam makalah ini akan diuraikan diagnosis dan penata-
TBE)(3). Kuman TB dapat hidup lama tanpa aktifitas dalam ja- laksanaan TB berdasarkan hal-hal tersebut di atas.
ringan tubuh (dormant) hingga sampai saatnya ia aktif kembali.
Lesi TB dapat sembuh tetapi dapat juga berkembang progresif EPIDEMIOLOGI
atau mengalami proses kronik atau serius. Lesi ini dapat dijumpai Tuberkulosis merupakan penyakit yang terjadi akibat in-
secara bersama di organ paru dan ekstraparu ataupun secara feksi Mycobacterium tuberculosis complex yaitu kuman M.
sendiri-sendiri. Karena itu dalam penatalaksanaan TB pada tuberkulosis, M. bovis, atau M. africanum. Penyakit ini diketahui
umumnya, TB paru pada khususnya, haruslah tercakup usaha mengenai hampir semua organ tubuh dalam bentuk TB Paru
yang gigih untuk mencari bukti adanya kejadian TB di organ dan TB Ekstraparu. Pemikiran kemungkinan adanya TBE yang
ekstraparu. menyertai TBP pada seorang penderita agaknya belum menjadi
Beberapa negara maju melaporkan penurunan angka kelaziman. Dikenal istilah Koch pulmonum, yaitu penyakit
kejadian TBP disertai peningkatan prosentase kejadian TBE. paru yang disebabkan M. tuberkulos. Seringkali penyakit tuber
Hal ini berhubungan dengan hal di atas dan adanya metoda kulosis diidentikkan dengan Koch pulmonum, seolah-olah
diagnosis yang lebih maju terhadap TBE hingga lebih sering tuber kulosis hanya menimbulkan penyakit paru-paru saja.
bisa ditemukan(4,5). Penelitian di Jawa Barat menunjukkan Sikap ini dapat dihilangkan dengan meningkatkan
kejadian TBE yang tinggi yang menyertai TBP(3). Selama ini kewaspadaan dalam mendeteksi penyakit tuberkulosis bentuk
umumnya perhatian terarah kepada penatalaksanaan TBP lain atau pada organ lain yang mungkin menyertai TB paru.

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


Adanya reaksi imunitas humoral (terutama IgG) dan selu- mencurigakan ke arah TB Ekstraparu antara lain:
lar pada tuberkulosis(7), dan manifestasi TB multi organ me- nyeri pleuri dengan sesak nafas (efusi pleura)
rupakan bukti bahwa TB merupakan penyakit infeksi sistemik. • limpadenopati cervicales berbentuk paket dengan/tanpa
Reaksi imunitas tuberkulin (PPD) terhadap kuman TB dapat fistel (TB kelenjar, scrofluloderma).
menjadi tanda adanya TBP atau TBE ataupun kedua-duanya; • gejala obstruksi usus subakut yang berulang kali: keluhan
karena itu usaha penegakan diagnosis dan terapi TB haruslah nyeri perut/mulas, palpasi adonan roti, perkusi ‘papan catur”
dilaksanakan secara sistematis terhadap kemungkinan ter- (TB rongga perut).
dapatnya TBP dan TBE secara sendiri atau bersamaan(8). • infeksi saluran kemih yang berulang-ulang dan makin be-
Di negara-negara maju dilaporkan penurunan angka ke- rat hingga dapat disertai antara lain kerusakan ginjal, hipertensi
jadian TBP, tetapi disertai dengan peningkatan kasus TBE. Di atau gagal ginjal (TB saluran kemih).
Inggris dilaporkan pada tahun 1988 kejadian TBE sebanyak • abses paravertebral, hiposcoliosis, coxitis (TB tulang/
32% dari 2163 penderita, 57% di antaranya adalah orang India. sendi).
Sedangkan USA terdapat peningkatan kejadian TBE yaitu • perikarditis dengan tamponade jantung (TB perikardial).
tahun 1964 sebanyak 8%, 1981 15%, dan 1986 17,5%. Pasien • tanda-tanda perangsangan meningen dengan penurunan
HIV sebanyak 70% disertai TB terutama TBE. Hal ini menun- kesadaran (TB meningen).
jukkan bahwa pengenalan dan diagnosis TBE merupakan hal 1.3. Laboratorium klinik umum
yang penting di masa yang akan datang(9).
• Hb. Anemi bila ada disebabkan oleh peradangan kronik,
Penelitian di Jawa Barat dan RS Hasan Sadikin Bandung
perdarahan, atau defisiensi.
menunjukkan insidensi TB yang tinggi. Didapatkan sebanyak
• Laju Endap Darah (LED). Mungkin meninggi, tetapi tidak
41,6% dari 5469 pasien penyakit paru/TB yang dirawat nginap
dapat merupakan indikator untuk aktivitas penyakit.
di RS Hasan Sadikin antara 1983-1988 adalah pasien TB,
• Tes Faal Hati. TB di hati dapat menimbulkan gangguan faal
38,3% di antaranya pasien TB yang dirawat jalan di poli
yang ringan berupa retensi BSP (pada 50% kasus), peninggian
Pulmonologi RSHS menderita TBE(2).
alkali fosfatase (pada 33% kasus), peninggian SGOT ringan
Hal ini menekankan pentingnya pemikiran dan penegakan
(pada 90%)(4).
diagnosis TBE dan TBP pada saat bersamaan.
• Hipokalemi/hiponatremi. Kadang-kadang keadaan ini bisa
PENDEKATAN DIAGNOSIS(8). dijumpai pada TBP milier.
Dengan pemeriksaan yang sistematik, intensifdan berulang • Serologik/kimiawi. Cairan radang tuberkulosis bersifat
kali, serta berdasarkan pengertian pada perjalanan penyakit eksudat, dan hal ini terbukti bila memenuhi satu atau lebih
tuberkulosis, diagnosis TBE ataupun TBP akan lebih mudah kriteria di bawah ini:
ditegakkan. Jenis-jenis pemeriksaan yang perlu dilakukan ter- 1) Kadar LDH (Lactic Dehydrogenase) > 200 SI
gantung kepada bentuk manifestasi TB. 2) Ratio (LDH CairanfLDH serum) > 0,6
3) Ratio (protein cairan/protein serum) > 0,5.
1. Keadaan Klinik Didapatkannya Rivalta test (+) dan hitungan sel pada cairan
Perlu dipahami perkembangan penyakit yang menahun dan yang menunjukkan mayoritas limposit menyokong adanya
tuberkulosis terjadi secara melompat-lompat(10), dengan eksudat dengan peradangan yang kronik.
berbagai bentuk gej ala dan manifestasi TB. • Pemeriksaan lain : PPD 5 TU. Hasil (+) tidak
Riwayat terapi TB sebelumnya perlu diketahui untuk menunjukkan tingkat aktifitas. Bisa (-) pada TB yang berat.
evaluasi hasil pengobatan, yaitu mengenai jenis paduan obat 2. Radiologik
yang dipakai, lama pemberian, keteraturan berobat. Jenis pemeriksaan radiologik yang bisa kita lakukan
1.1. Gambaran Klinik TB Paru adalah:
Evaluasi keadaan klinik didasarkan keluhan dan gejala - Foto toraks PA, lateral, lateral decubitus, top lordotic, atau
utama TB Paru dapat berupa: batuk +1- sputum, pnemonia tomogram.
yang lambat sembuh, demam dan berkeringat, hemoptisis, - Foto sendi dan tulang, foto ginjal dengan kontras (IVP),
penurunan berat badan, nyeri dada, ronkhi di puncak paru, foto abdomen.
sesak nafas, wheezing lokal, lemah badan, anoreksia. a) Foto toraks
Pada TB Paru milier akut gejala tersebut sangat menonjol Perlu diingat bahwa umumnya sulit menentukan tingkat
dan pada 10-30% disertai manifestasi TB Ekstraparu berupa aktifitas TB Paru dan foto toraks karena biasanya terlihat ber-
TB choroid, TB meningen, hepatosplenomegalia, dan kadang bagai stadium dan paduan gambaran berbagai jenis lesi. Bila
kadang Adult Respiratory Distress Syndrome. TB Paru milier terdapat secara bersamaan ambaran infiltrat seperti awan
kriptik yang terdapat pada orang tua jarang disertai dengan dengan batas tak tegas pada TBP dini, kita mungkin bisa
gejala TB Ekstraparu(11,12). tnenyangka adanya proses TBP yang secara radiologis aktif.
1.2. Gambaran Klinik TB Ekstraparu(11,12). Yang penting adalah pemeriksaan lanjutan dengan foto seri
Gambaran klinik Ekstraparu harus dicari pada pen- untuk mengevaluasi adanya kemajuan terapi atau perburukan
derita TB Paru, terutama penderita TBP yang diduga disertai gambaran radiologik yang dianggap sebagai gambaran TB Paru.
penyebaran diseminata (TB diseminata). Gambaran klinik yang Di samping itu perlu diperhatikan penyebab lain dari gam-

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 9


baran radiologi yang terlihat, misalnya adanya infeksi sekunder dilakukan uji kepekaan dan identifikasi kuman bila perlu.
kuman lain berupa pneumonia, adanya tumor paru, aspergillosis, Pemeriksaan mikroskopik dapat dengan pewarnaan Ziehl
efusi perikardial dan sebagainya. Gambaran radiologik tidak Neelsen atau Tan Thiam Hok (gabungan Kinyoun Gabbett),
ada yang benar spesifik untuk tuberkulosis paru. dan biakan dengan cara sederhana(12).
Sifat gambaran non toraks yang dianggap menyokong untuk Bahan pemeriksaan dapat berupa: sputum, lesi kulit, sum
TB Paru adalah: sum tulang, urine, cairan serebrospinal, cairan pleuralrongga
1) Bayangan yang terutama menempati bagian atas/puncak perutlperikardial, cairan sendi. cairan dan pus/fistel.
paru. Pemeriksaan bakteriologik dapat juga digunakan untuk
2) Bayangan bercak atau noduler. evaluasi hasil terapi.
3) Bayangan rongga; ini dapat juga misalnya oleh Ca atau b) Histopatologik
abses paru. Mencari gambaran patoligik yang spesifik untuk tuber-
4) Kalsifikasi. kulosis dan jaringan hasil biopsi/aspirasi biopsi dan organ yang
5) Bayangan bilateral, terutama bagian paru atas. sakit seperti kulit, kelenjar, pleura, peritoneum, perikardium,
6) Bayangan abnormal yang menetap tanpa perubahan pada hati, sumsum tulang.
foto ulangan setelah beberapa minggu. ini membantu menying
4. Pemeriksaan penunjang lain
kirkan kemungkinan pneumonia atau infeksi lain.
Dapat dilakukan berbagai pemeriksaan khusus bila diperlu-
Corakan sistem pernafasan yang bisa terlihat pada foto
kan., yaitu :
toraks dapat berupa(13) : infiltratleksudatif, penyebaran bron-
• Funduskopi, pada TB choroid
kogen, kalsifikasi, fibroeksudatif/fibrainduratif, gambaran milier,
konsolidasi. • Laryngoskopi, pada TB larynx
Di samping itu juga : efusi pleura,atelektasis, fibrosis • Ultrasonografi atau ekhokardiorafi, pada TB mesenterium
pleura, bronkiektasis. atau TB perikardium
National Tuberculosis Association USA (1961) menetap- • Sidik tulang pada TB tulang/sendi(4)
kan klasifikasi luas lesi gambaran radiologi dan TB Paru yang • Bronkoskopi pada TB bronkus
berguna dalam klinik, yaitu(11) : • Laparoskopi, pada TB perut.
1) Lesi minimal: lesi dengan densitas ringan sampai sedang
tanpa kavitas, pada satu atau dua paru dengan luas total tidak 5. Cara identifikasi lain
melebihi volume satu paru di atas sendi kondrosternal kedua. Berbagai pemeriksaan ini umumnya belum lazim
2) Lesi moderat: lesi terdapat pada 1 atau 2 paru dengan luas dikerjakan di Indonesia, yaitu(6) :
total tidak melebihi batas sebagai berikut : • Pengukuran tingkat pertumbuhan kuman
• lesi dengan densitas ringan sampai dengan yang terbesar, • Morfologi dan pigmentasi kuman Produksi niacin dan
luasnya sampai volume 1 paru atau yang setara pada kedua nitrat
paru. • Khromatografi gas dan cairan
• lesi pada dan berkumpul yang berkumpul yang luas terba- • Deteksi antibodi/antigen kuman TB: PAP, immunodifusi,
tas sampai sepertiga volume 1 paru. Elisa, floresen antibodi, dan lain-lain.
Bila ada kavitas luas diameter total kurang dari 4 cm. • Mendeteksi DNA dan kuman TB: Polymerase Chain Re-
3) Lesi lanjut: lesi yang lebih luas dan moderat. action (PCR).
b) Foto lain
• Intravenous Pyelography (IVP) dan TB ginjal dapat me- PENEGAKAN DIAGNOSIS
nunjukkan adanya struktur karakteristik berupa distorsi struktur Diagnosis pasti tuberkulosis ditegakkan dengan penemuan
calyx pada kutub I dan ginjal, yang sering disertai dengan M. tuberkulosisterutama dan biakan bahan sputum/jaringan,
pemeri ksaan cystoscopy dan retrograde pyelography. sedangkan gambaran klinik dan radiologi tidak dapat dijadikan
• Foto tulang dan sendi dapat menunjukkan adanya lesi pegangan; tetapi mengingat kesulitan sarana laboratorium di
osteolitik dengan pembengkakan tulang baru, mungkin terjadi Indonesia untuk pemeriksaan sediaan apus/mikroskopik dan
fraktur tulang yang patologik. biakan BTA, serta kenyataan bahwa hanya 30-70% saja dari
• Foto abdomen bisa bermanfaat padaTB rongga perut seluruh kasus TBP yang dapat didiagnosis secara bakteriologik(14)
dengan gejala obstruktif. maka keharusan adanya BTA positif untuk membuat diagnosis
akan menyebabkan banyak penyakit TBP yang tidak ter-
3. Bakteriologiklidentifikasi kuman diagnosis. Sebaliknya bila diagnosis boleh ditegakkan tanpa
a) Bakteriologik keharusan penemuan BTA, maka akan banyak kasus TBP yang
Dapat dilakukan berbagai cara pemeriksaan bakteriolo- tidak aktif yang mendapat terapi.
gik kuman TB yaitu secara mikroskopik biasa, mikroskopik Untuk menghindari kesalahan diagnosis dan kesalahan
fluoresen atau biakan. Biakan adalah cara yang terbaik karena terapi tersebut, diagnosis TB harus ditegakkan secara seragam
20-30% lebih mampu menemukan kuman TB, di samping itu berdasarkan pedoman yang sistematis dan terarah.
dapat untuk memastikan kuman tersebut kuman hidup, dan dapat Penegakan diagnosis didasarkan kepada gambaran klinik,

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


hasil radiologik/pemeriksaan lain, dan bakteriologik. Nilai sebaiknya ditulis:
diagnostik dan yang disebut lebih belakang adalah lebih pen- 1. TB Paru (luas lesi), (corakan paru), aktifitas), dengan
ting dan yang mendahuluinya. gambaran lesi paru lain.
Selain untuk diagnostik penemuan kasus, ketiga hal tersebut 2. (TB Ekstraparu) Pasti/Tersangka.
juga bermanfaat untuk evaluasi hasil terapi; terkadang diperlu- 3. Penyakit penyerta yang ada kaitannya dengan penata-
kan pemeriksaan penunjang lain. laksanaan TB.
Contoh : TB Paru lesi lanjut, fibrokavernosa, aktif, dengan
1) Diagnosis TB Paru
pneumotorak kiri, TB kelenjar cervicalis kanan. Diabetes
Ditegakkan berdasarkan klasifikasi TB Paru dengan krite-
Mellitus onset dewasa, tak terkontrol.
na sebagai tercantum pada Tabel 1, yaitu terdiri dari TB Paru
Bekas, TB Paru Tersangka Aktif atau Tersangka Tak Aktif, dan
TERAPI
TB Paru Aktif.
Yang diuraikan di sini adalah terapi utama TB yaitu kemo-
Yang perlu mendapat pengobatan adalah TB Paru Tersang-
terapi anti TB, sedangkan tindakan lain tidak diuraikan di sini.
ka Aktif dan TB Paru Aktif.
Tujuan obat kemoterapi anti TB (OAT) adalah:
Tabel 1. Klasifikasi Diagnosis tuberkulosis Paru 1) Menyembuhkan pasien dalam jangka pendek dengan
Klasifikasi Aktititas
gangguan yang minimal.
2) Mencegah kematian karena penyakit yang aktif atau efek
Kriteria 2. TBP 3. TBP lanjutannya.
1. TBP Tersangka Tidak 3) Mencegah relaps.
Aktif
Aktif
Aktif Tak Aktif 4) Mencegah timbulnya kuman yang resisten.
1. Gambaran klinik + + ± – 5) Melindungi masyarakat dan penularan(15).
2. Radiologik + + ± – Pemberian OAT berdasarkan kepada 5 prinsip : terapi sedini
3. Bakteriologik + – – – mungkin, paduan beberapa obat, diberikan secara teratur, dosis
* Rencana Terapi + + + –
yang cukup, lengkap diberikan sesuai jangka waktunya. Namun
hal ini tidak sepenuhnya bisa dilaksanakan karena hambatan
2) Diagnosis TB Ekstraparu faktor sosial, ekonomi dan keah1ian(16). Di negara berkembang
Diagnosis RB Ekstraparu didasarkan kepada gambaran penyembuhan yang dicapai di bawah 85% karena hal di atas
klinik hasil pemeriksaan penunjang dan hasil hakteriologik. Di- sukar terlaksana, terutama akibat kepatuhan berobat yang ku-
agnosis TBE terbagi 2 yaitu TBE Pasti dan TBE Tersangka, tetapi rang hingga timbul resistensi obat yang ganda dari penyebaran
TB Tersangka tergantung kepada keyakinan akan ada tidaknya penyakit. Namun bila program terapi terkontrol dan fasilitas
TBE aktif berdasarkan gambaran klinik. pemeriksaan BTA tersedia, pengobatan TB dapat berjalan
dengan sukses(6).
Tabel 2. Klasifikasi Diagnosis Thberkulosis Ekstraparu

Kriteria TBE Pasti TBE Tersangka 1) Jenis obat anti TB


OAT utama berupa rifampicin (R), isiniazid (H), pyrazina-
1. Gambaran Klinik + +
2. Pemeriksaan Penunjang + + mide (Z), ethambutol (E) dan streptomycin (S). Di samping itu
3. BTA/histopatologik + – terdapat OAT tambahan dengan kemampuan yang lemah yaitu
khas untuk TB antara lain kanamycin, PAS, tjiiacetazone, ethionamide, golongan
Rencana Terapi + +/–
quinolone seperti ciprofloxacin.

TB Ekstraparu dapat dibagi 2: 2) Paduan obat anti TB


a) TB Ekstraparu Pasti OAT digunakan dalam bentuk kombinasi atau paduan obat
Berdasarkan: yang dipilih berdasarkan pengertian akan sifat obat dan ke-
a) gejala klinik yang sesuai ampuhannya terhadap tipe aktifitas dari kuman TB. WHO
b) hasil pemeriksaan penunjang yang menyokong membuat 3 kategori paduan OAT berdasarkan kepada prioritas
c) hasil BTA positif/histopatologi yang spesifik untuk TB. terapi (yang tertinggi dan yang terendah). Secara umum yang
b) TB Ekstra Tersangka termasuk prioritas tertinggi adalah kasus baru, TB dengan BTA
Berdasarkan: (+) dan bentuk klikik TB lain yang berat termasuk TBE(6).
a) gejala klinik yang sesuai Kategori I : termasuk TB yang berat:
b) hasil pemeriksaan penunjang yang menyokong - TBP yang luas
c) hasil BTA dan histopatologi negatif. - TBP milier
- TBP diseminata
3) Penulisan diagnosis tuberkulosis - TBP dengan DM
Penulisan/penegakan diagnosis TB yang lengkap akan me- - Manifestasi TB ekstraparu
mudahkan evaluasi berat dan luasnya TBP dan TBE pada saat - TBPdengan DM
sebelum terapi dan sesudahnya; karena itu penulisan diagnosis Kategori II:

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 11


- TBP yang kambuh Tabel 3. Paduan Obat Anti TB di Subunit Pulmonologi FKUPIRSHS
- TBP yang gagal Fase Terapi Kategori I Kategori II Kategori III
Kategori III :
1.Intensif/Inisial 2R7HZ7E7 2R7H7Z7E7S7/ 2R7H7Z7,
- TBP tersangka aktif
IR7H7Z7E7(3 bl) 2R3H3Z3
WHO menetapkan paduan OAT yang terdiri dari fase 2. Lanjutan/kontinyu 4R7H7, 6R7H7E7, 4R7H7,
inisial/intensif biasanya dengan 4 jenis obat tiap hari untuk 4R3H3, 6R3H3Z3 4R3H3,
mencapai efek bakterisidal dan menghilangkan gejala klinik, 7H7E7, 7H7T7 7H7E7 (T7)
diikuti fase lanjutanlkontinyu dengan 2 - 3 jenis obat tiap hari
selang hari untuk mencapai efek sterilisasi/pemusnahan kuman Dosis obat anti TB :
dan mencegah re1aps(6). Paduan dan Depkes umumnya meng- Tiap hari/mg Tiap hari/mg 3 kali/minggu
ikuti hal ini walaupun ada perbedaan dalam paduan obatnya. Jenis obat
BB < 50 kg BB > 50 kg mg

3) Terapi TB di Subunit Pulmonologi FKUP/RSHS Ban- 1. Rifampisin 450 600 600


dung 2. INH 300 400 600
3. Pyrazinamide 1500 2000 2000
Berdasarkan pedoman WHO dan Depkes RI, penatalak 4. Ethambutol 1000 1500 1500
sanaan TB di FKUP/RSHS pada waktu ini adalah seperti ter- 5. Streptomisin 750 1000 –
lihat pada Bagan 1. Bila pada terapi intensif Kategori II selama 6. Thiacetazon – – 100
3 bulan BTA masih positif maka terapi diteruskan 1 bulan lagi.
Bila pada 4 bulan BTA masih positif, pefajari hasil kultur dan kan Kategori pemakaian OAT dalam upaya masa kini untuk
tes resistensi untuk penentuan fase terapi lanjutan. Bila hasil memberantas penyakit tuberkulosis.
nya: 4) Mengingat TB dapat mengenai multiorgan yang menyang
kut berbagai disiplin ilmu kedokteran, dipenlukan usaha yang
• sensitif terhadap semua obat berikan paduan obat OAT
gigih dan kerjasama yang baik dari berbagai disiplin ilmu
Kategori I.
kedokteran dalam upaya pemberantasan TB Paru khususnya
• resistensi terhadap R atau H berikan paduan OAT Kate-
penatalaksanaan TB Ekstraparu.
gori II, dengan observasi yang ketat.
• resistensi terhadap R dan H : keberhasilan OAT Kategori KEPUSTAKAAN
1. Styblo K, Rouillon A. Tuberculosis in the world. Estimated global inci-
II terbatas. Pilihan OAT individual. dence of smear positive pulmonary tuberculosis. Bull lnt Union Tuberc
Dalam mengobati TBE perlu diamati bukti-bukti tuntasnya 198l;56: 118-26.
pengobatan TBP dan TBE, sebab terdapat kemungkinan perlu 2. Dahlan Z. Kejadian tuberkulosa ekstraparu di RS Hasan Sadikin dan
nya memperpanjang jangka waktu pengobatan khususnya TBE. beberapa pusat kesehatan di Jawa Barat. Simposium masalah tuberkulosa
ekstraparu dan pengelolaannya. Lab/UPF lP Dalam FKUP/RSHS,
Bagan 1. Penatalaksanaan Tuberkulosis di FKUP?RSHS Bandung 1989 : 16-25.
3. Stead WW, Betes JH. Tuberculosis, in Harrison’s Principles of Internal
Medicine, Mc Graw-Hill Kogakusha Ltd., Tokyo 1980 700-7 10.
4. Weg JG. Chronic Respiratory Infections, In Pulmonary Medicine by
Guenter CA, J.B. Lipponcott Co. Philadelphia, 1982, p. 414-424.
5. WHO. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for national programmes.
Tuberculosis Unit. Division of Communicable, Diseases.
6. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Paduan Obat Anti Tuberkulosa
(OAT). 1993.
7. Kadjito T. Imunologi pada tuberkulosis paru BTA (+) : aspek humoral dan
selular. First Asian Pacific Symposium, Second National Congress on
Alergy and Immunology. October 26-29, Indonesia, 1989 48-49. Abstract.
8. Dahlan Z. Pendekatan dan Penegakan Diagnosa Penyakit Tuberkulosa.
Maj. Kedokteran Bandung, 1989; XXI (4): 1179-185.
9. Humpries Ini, Lam WK, Tcoh R. Non Respiratory Tuberculosis. In
Clinical Tuberculosis, by Davis PDO, Champman & Hall Medical London,
1994: 93-125.
10. Rasmin Rasjid. Patofisiologi dan Diagnostik Tuberkulosis Paru. Tuber-
kulosis Paru. FKUI Jakarta, 1985.
KESIMPULAN 11. Crofton Si, Douglas A. Tuberculosis in Respiratory Diseases. 3rd ed. PG
1) Tuberkulosis merupakan penyakit sistemik yang dapat me- Publishing Pte, Ltd, Singapore, 1984 : 218-280.
ngenai seluruh organ tubuh, hingga penegakan diagnosa dan 12. Home N. Tuberculosis. Medicine 1986; 2(12): 1490-1497.
terapi tuberkulosis harus ditujukan sekaligus terhadap ke- 13. Rahajoe N. Pengobatan tuberkulosa anak secara rasional. Kumpulan
makalah Meet the Expert. Makalah Pengelolaan Rasional Penyakit
mungkinan adanya manifestasi TBE dan TBE. Tuberkulosa Paru, Bandung, 28 April 1984.
2) Masalah utama kegagalan pengobatan disebabkan putus 14. Hadiarto M. .Pedoman diagnosis dan pengelolaan TB Ppru. Pedoman
nya pengobatan akibat kurangnya pengawasan dan kerjasama Diagnostikdan Terapi. FKUI Jakarta, 1989.
penderita, yang menimbulkan gagalnya pengobatan dan ter- 15. Chan SL. Chemotherapy of tuberculosis. In Clinical Tuberculosis, by
Davis PDO, Chapman and Hall Medical, London, 1994 : 141-156.
jadinya resisten ganda terhadap OAT. Keadaan di atas harus 16. BY Yan. Anti TB chemotherapy and its relation to TB control in China.
diatasi sebaik-baiknya. Proc 12th Asia Pacific Congress on Diseases of the Chest, 1992, October
3) Berdasarkan pedoman dan WHO dan Depkes telah diaju- 4-7: 29.

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


HASIL PENELITIAN

Pengobatan Tuberkulosis Paru


dengan Strategi Baru Rejimen WHO
di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur
Sudijo
Kanwil Departemen Kesehatan Propinsi Jawa Timur

ABSTRAK
Telah dilakukan pengobatan pada penderita TB paru dengan rejimen rekomendasi
WHO di Kelompok Puskesmas Pelaksana program TB paru Puskesmas Taman, Tu-
langan, Medaeng Kabupaten Sidoarjo (daerah uji coba tingkat nasional). Jumlah kasus
sebanyak 84 orang, dari 52 orang telah menyelesaikan pengobatan pada periode No-
pember 1994 – Oktober 1995. Pengobatan tersebut dengan menggunakan strategi baru
program pemberantasan TB paru Indonesia.
Hasil yang didapat adalah angka kesembuhan 94%, angka konversi 100%, positive
rate 8,1%. Angka-angka tersebut cukup tinggi dibanding target nasional sebesar: angka
kesembuhan 85%, angka konversi 80%, sedang positive rate di bawah angka nasional
yaitu 10%.

PENDAHULUAN hanya membuat slide serta memfiksasi saja.


Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih menjadi masalah 2) Pencarian penderita dilakukan secara pasif di sarana kese-
kesehatan masyarakat di Indonesia, berdasarkan hasil SKRT hatan.
tahun 1992 TB menjadi penyebab kematian ke 2 dari seluruh 3) Diagnosis BTA secara mikroskopis bila ditemukan kuman
pe nyakit dan penyebab pertama dari kelompok penyakit dengan 3 kali pemeriksaan dahak yang berbeda (dahak sewaktu,
infeksi. Setiap tahun terdapat kurang lebih 445.000 kasus baru, pagi dan sewaktu) dan paling sedikit 2 kali positifdisebut kasus
sepa ruhnya tidak terdiagnosis dan ini yang turut berperan BTA(+).
dalam penyebaran penyakit ini di masyarakat(1,2). 4) Kasus BTA(–) bila 3 kali pemeriksaan dahak hasilnya semua
Pada bulan April tahun 1994 telah dilakukan evaluasi pro- negatiftapi pada pemeriksaan Röntgen terdapat tanda TB aktif
gram Nasional TB paru antara Indonesia dan WHO dan telah di parunya.
disepakati bersama untuk merubah strategi baru untuk pem- 5) Pengecatan dengan Ziehl Neelsen dan pemeriksaan kuman
berantasan TB paru di Indonesia. Untuk mengetrapkan strategi dengan mikroskop binokuler.
baru tersebut telah dilakukan uji coba di Jambi dan Jawa Timur. 6) Tipe kasus dibedakan kasus banu, kasus kambuh/gagal,
kasus BTA(–) tapi Rontgen
POKOK-POKOK STRATEGI BARU PEMBERANTAS- 7) Follow up pengobatan dilakukan secara ketat pada akhir
AN TB PARU(3-6) fase intensif dan dua bulan sebelum akhir pengobatan dan akhir
1) Pelaksana program adalah Kelompok Puskesmas Pelaksana pengobatan, setiap follow up pemeriksaan dahak dilakukan dua
yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dan kali (dahak sewaktu dari pagi).
Puskesmas Satelit (PS). Diagnosis hanya dilakukan di PRM, PS 8) Supervisi pelaksanaan program dilakukan oleh petugas ting-
kat II secara ketat (3 bulan sekali) ke PRM dan PS. (–)……(+) gagal
9) Pengawasan langsung keteraturan berobat (DOTS : Directly (+)……………………… sembuh
Observed Treatment Short- Course) oleh petugas kesehatan atau Kategori 2
keluarganya. 0___ 1___ 2___ 3___ 4___ 5___ 6___ 7___ 8___ 9
10) Rejimen standar WHO yang digunakan sebagai berikut: BTA BTA BTA BTA BTA
• Kategori 1: kasus baru BTA + : 2HRZE/4H3R3. (–)……………………(–)…(–)……. sembuh
• Kategori 2 : kasus kambuli/gagal : 2HRZE + S/HRZE/ (+)…………. gagal
5H3R3E3. (–)…(+)…… gagal
• Kategori 3 : kasus BTA –, X-ray +: 2HRZ/2H3R3. (+)…(–)……………………(–)…(–) sembuh
Keterangan : H : INH, R : rifampicin, Z : pirazinamid, E : ethambutol, S
S : streptomicin. (–)…………………….(+)…… gagal
11) Hasil pengobatan dibedakan sebagai berikut: (–)…………………….(–)…(+) gagal
• Sembuh : penderita kategori 1 dan 2 yang BTAnya negatif (+)…………………………….. gagal
2 kali atau lebih secara berurutan sebelum akhir pengobatannya. Kategori 3
• Pengobatan lengkap : penderita telah minum obat sesuai 0_____ 1_____ 2_____ 3_____ 4
jadual tanpa follow up laboratorium, atau hanya 1 kali BTA BTA
negatif pada 2 bulan terakhir pengobatan. (–)……………...... pengobatan lengkap
• Gagal (+) ………………. Gagal
a) penderita yang BTAnya masih positif pada 2 bulan dan
seterusnya sebelum akhir pengobatan. Keterangan:
b) penderita putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke S : obat sisipan 1 bulan (+) : BTA +
BTA : pemeriksaan basil tahan asam (–) : BTA –
5 dan BTA terakhir masih positif.
c) penderita kategori 3 yang BTAnya positif pada bulan ke 2.
HASIL PENGOBATAN
• Putus berobat/defaulter: penderita tidak minum obat lebih Tabel 1. Penemuan penderita periode Nopember 1994 – Oktober 1995 di
dari 2 bulan dan BTA terakhir telah negatif. Kelompok Puskesmas Pelaksana Program
• Meninggal : penderita yang meninggal selama pengobatan
Tersangka BTA (-) Positive rate
tanpa melihat sebab kematiannya. Puskesmas
Diperiksa
BTA (+)
X-ray (+) BTA (+) (%)
Tujuan Strategi Baru P2TB Paru(3,4,5) adalah untuk menjaga
Taman 434 23 26 5
mutu pengobatan, mengurangi resistensi obat secara majemuk
Tulangan 164 26 1 15,8
(multiple drug resistency), meningkatkan angka kesembuhan
Medaeng 117 8 7
minimal 85% dan angka konversi minimal 80%.
Periode Pengobatan Jumlah 715 57 27 8
Periode pengobatan yang dievaluasi adalah bulan Nopem-
Tabel 2. Penemuan penderita berdasarkan jenis kelamin periode Nopem-
ber 1994 sampai Oktober 1995. ber 1994– Oktober 1995
Tempat uji coba
Pengobatan dilakukan di Puskesmas Taman (PRM), Pus- Puskesmas Laki Wanita Jumlah
kesmas Tulangan (PS), Puskesmas Medaeng (PS) di Kabupaten Taman 28 21 49
Sidoarjo. Tulangan 10 17 27
Lama pengobatan Medaeng 7 1 8
Lama pengobatan untuk kategori 1: 6 bulan, kategori 2: 8
Jumlah 45 39 84
bulan, kategori 3 : 4 bulan.
Apabila pada akhir fase intensif BTA masih positif diberi Tabel 3. Penemuan kasus berdasarkan umur periode Nopember 1994 –
obat sisipan selama 1 bulan, sehingga lama pengobatan bertam- Oktober 1995
bah 1 bulan.
Puskesmas < 20 < 30 < 40 < 50 < 60 > 60 Jumlah
SKEMA FOLLOW UP PENGOBATAN DAN ARTINYA Taman 4 12 14 8 9 2 49
Tulangan 1 6 8 5 3 4 27
Kategori 1 Medaeng 2 – 2 1 2 1 8
Bulan 0___ 1___ 2___ 3___ 4___ 5___ 6___ 7 Artinya Jumlah 7 18 24 14 14 7 84
BTA BTA BTA BTA
(–)…………….(–)…..(–)…… sembuh PEMBAHASAN
(+)………….. gagal Penemuan penderita bulan Nopember 1994–Oktober 1995
(–)….(+)…… gagal BTA (+): 57 orang, BTA (–) X-ray (+) : 27 orang, positive rate
(+) S (–)……………..(–)…(–) sembuh BTA (+) rata-rata 8% (Tabel 1). Positive rate ini lebih ren-
(+)…… gagal dah dari penelitian Sudijo, yang mendapatkan 19,2% dan

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


kan rejimen baik bila konversi antara 85% – 90% Sedang
Tabel 4. Pengobatan penderita periode Nopember 1994 – Oktober 1995 Kategori 3 sebanyak 15 orang, pada follow up bulan ke 2 se-
Kategori Taman Tulangan Medaeng Total
luruhnya tetap BTA (–) (Tabel 5 c), kegagalan kategori 3 : 0%.
Dari 84 kasus yang diobati selama Nopember 1994–Okto-
1 22 26 8 56
2 1 – – 1 ber 1995 yang telah menyelesaikan pengobatannya dan yang
3 26 1 – 27 dapat dievaluasi adalah 52 kasus, sedang 32 kasus saat ini masih
Jumlah 49 27 8 84 dalam pengobatàn (Tabel 6). Untuk kategori 1 sebanyak 33
kasus sembuh, satu kasus putus berobat atau angka kesembuhan
Tabel 5.a. Follow up pengobatan kategori 1 kategori 1: 94%; kategori 2: 1 kasus dan sembuh 100% sehingga
angka kesembuhan kategori 1 dan 2 = 94%. Sedang kategori 3 :
Taman Tulangan Medaeng Total
Bulan ke 15 kasus seluruhnya telah menyelesaikan pengobatan atau
Dp + Dp + Dp + Dp + pengobatan lengkap 100% yaitu BTA (–) pada follow up bulan
2 21 1 25 – 5 – 51 1 ke 2 (lihat skema). Pada Pelita IV dengan rejimen 1HRE/5H2RS
3 1 – – – – – 1 – (laporan Subdit P2TB Paru dikutip Kusnindar) angka kesem-
5 14 – 15 – 5 – 34 – buhannya 85%, angka kegagalan 8% dan putus berobat 5%(2).
AP 14 – 15 – 4 – 33 –
Abdul Mukti mendapatkan angka kegagalan 5,6%; laporan dari
b. Follow up pengobatan kategori 2 Singapura dengan rejimen HRZSI5HR angka kegagalannya
0,6% dan dari Inggris 1% dengan HRE/7HR (dikutip Abd.
Taman Tulangan Medaeng Total
Bulan ke
Mukti)(11).
Dp + Dp + Dp + Dp + Dengan tingkat kesembuhan yang tinggi dan tanpa kasus
3 1 – – – – – 1 – yang gagal pengobatan, diperkirakan tidak ada resistensi pada
7 1 – – – – – 1 – pengobatan rejimen ini di Kelompok Puskesmas Pelaksana-
AP 1 – – – – – 1 – Program di Kabupaten Sidoarjo; namun masih penlu penelitian
c. Follow up pengobatan kategori 3 lebih lanjut dengan test resistensi. Pada pengobatan di KPP ini
belum ada indikasi untuk test resistensi (indikasi test resistensi
Taman Tulangan Medaeng Total untuk program adalah bila BTA masih positif setelah diberi obat
Bulan ke
Dp + Dp + Dp + Dp + sisipan). Penelitian Yunus dkk. mendapatkan resistensi 2,6%
dengan 2HRZ/4HR, sedang penjenis obat didapatkan resistensi
2 14 – – – – – 15 –
sebagai berikut: terhadap INH: 1,9%, rifampisin2,8%, etham-
Tabel 6. Kasus yang selesai pengobatan dan yang dievaluasi butol 0,4%, streptomisin 7,7%(9).
Kategori Kategori Kategori
Puskesmas
1 2 3
Pindah D.O Total KESIMPULAN
Selama periode pengobatan di Kelompok Puskesmas Pe-
Taman 14 1 14 1 1 31
Tulangan 15 – 1 – 1 17 laksana Taman, Tulangan, Medaeng telah diobati 84 kasus yang
Medaeng 4 – – – – 4 terdiri 56 kasus kategori 1, 1 kasus kategori 2 dan 27 kasus
Jumlah 33 1 15 1 2 52 kategori 3. Yang telah menyelesaikan pengobatan sebanyak 52
kasus: 33 kasus kategori 1, 1 kasus kategori 2, dan 15 kasus
dengan Gliseril guaiakolat 46,4%, Yosep (25%), Yan Hen- kategori 3. Dari seluruh kasus yang menyelesaikan pengobatan
drokusumo (28,7%) dan dengan konsentrasi, 53%, Nur Rach- 2 kasus putus berobat dan kategori I dan 1 kasus pindah ke
man (21,6%)(7,8,9). kabupaten lain. Angka kesembuhan sebesar 94,5%, angka kon
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah pria tidak jauh berbeda versi 100%, angka putus berobat 5,5%, angka pengobatan leng
dengan wanita (Tabel 2) hal ini sesuai dengan yang laporan kap 100%, sedang positive rate BTA (+) 8,1%.
terdahulu. Berbeda dengan laporan Taufik, Bachtiar yang me-
laporkan pria 1,5–2 kali dari pada wanita demikian pula lapor-
an dari Singapura, Brunei dan Ma1aysia(7). KEPUSTAKAAN
Berdasarkan kelompok umur yang tertinggi adalah usia
1. Aditama TY. Perkembangan Mutakhir Diagnosis Tuberkulosis Paru;
30–40 tahun (Tabel 3); hal ini berbeda dengan yang dilaporkan Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 29–3 1.
Taufik, Faisal Yunus: usia terbanyak 21–30 tahun(9). 2. Kusnindar. Masalah Penyakit Tuberkulosis dan Pem’berantasannya di
Pada follow up, kategori 1 yang masih BTA (+) pada bulan Indonesia; Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 17–19.
ke 2 sebanyak 1 orang namun menjadi BTA(–) pada bulan ke 3 3. WHO-SubDit P2TB Paru. Modul Pelatihan bagi Petugas TB Kabupaten:
Monitoring Pengobatan, Depkes RI Jakarta 1995: 6–36.
(Tabel 5 a), kategori 2 sebanyak 1 orang pada follow up bulan 4. WHO-SubDit P2TB Paru. Modul Pelatihan bagi Petugas TB Kabupaten:
ke 3 telah konversi menjadi BTA (–) (Tabel 5 b). Dengan de- Administrasi Pengobatan; Depkes RI Jakarta 1995: 34–83.
mikian terjadi konversi seluruh kasus kategori 1 dan 2 (angka 5. WHO-SubDit P2TB Paru. Modul Pelatihan bagi Petugas TB Kabupaten:
Pendahuluan Manejemen Tuberkulosis di tingkat Kabupaten, Jakarta 1995:
konversi 100%). Penelitian Handoyo mendapatkan angka kon-
1–7.
versi 92% dengan rejimen 1HZE/5H2Z2E2, Kleberg: konversi 6. WHO. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for National Programmes;
67% dengan rejimen 3HZE/6HE, sedang WHO merekomendasi- Geneva 1993: 3–15.

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 15


7. Sudijo. Penggunaan gliseril guaiakolat untuk meningkatkan cakupan BTA pengobatan pada penderita TB paru yang berobat jalan di Bag. Pulmonlogi
(+) pada tersangka TB paru. Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 14–7. FKUI/RS. Persahabatan. Paru 1992; 12(2): 14–25.
8. Yan Hendrokusumo. Penemuan Basil Taman Asam dengan metode ho- 10. Wibowo. Pengobatan Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokt. 1990;
mogenisasi - konsentrasi dengan biakan media Ogawa. Paru 1992; 12(2): 63: 25–8.
3–13. 11. Abdul Mukti. Terapi Rasional Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokt.
9. Faisal Yunus, Sugeng Hidayat, Yulino Amril dkk. Aspek diagnosis dan 1990; 63: 20–4.

. HEALTH CARE MEDICAL SPECIALIST .


PT PUTRAMAS MULIASANTOSA is a company with a solid track record in the health care industry. We
have recently partnered with a reputable Australia Health Care firm to expand and bring the company to an
international standard in the industry.
In support of this growth, we are seeking highly qualified medical specialists to assume the following
appointments:

GYNECOLOGISTS NEUROLOGISTS
INTERNISTS ANAESTHESIOLOGISTS
OPTHALMOLOGISTS RADIOLOGISTS
CLINICAL PATHOLOGIST SURGEONS
PEDIATRICIANS CARDIOLOGIST
The successful candidates should have completed the WAJIB KERJA SARJANA and are willing to be
employed on a full-time basis. Highly motivated, dynamic and willingness to learn new ideas and practices
are qualities we are looking for.
We offer opportunities for growth and advancement plus exposure and training to international standards of
medical practice.
We welcome your CV with photo and certificates. Please address it to:
THE DIRECTOR
P0 BOX 4087
JKT 13040

Conscience is wiser than science


(Lavater)

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


HASIL PENELITIAN

Keefektifan Paduan Obat Ganda


Bifasik Anti Tuberkulosis Dinilai Atas
Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan
Atas Dasar Kegiatan Pemulihan
Imunitas Protektif
2. penilaian atas dasar kegiatan anti mikrobial
paduan obat
R.A. Handojo , Sandi Agung, Anggraeni lnggrid Handojo
Malang,Indonesia

ABSTRAK

Suatu penelitian tentang keefektifan paduan obat ganda, bifasik, anti-TB, telah di-
kerjakan di BP4 di Malang dan di BP4 di Denpasar, meliputi tiga ratus orang kasus TB
paru dengan dahak biakan dari mikroskopis positif dan tidak pernah memperoleh obat
obat anti-TB sebelumnya.
Melalui penentuan secara acak, 100 orang memperoleh paduan obat jangka pendek
6 bulan (HR/5H2R2), 100 orang memperoleh paduan obatjangka pendek 9 bulan (HR/
8H2R2) dari 100 orang memperoleh paduan obatjangka panjang 12 bulan (HS/11H2R2).
Kedua paduan obat jangka pendek ternyata lebih efektif secara statistis bermakna dan
pada paduan obat jangka panjang dari segi the initial kill, angka konversi dahak (pe-
nyembuhan bakteriologis) pada tiap akhir bulan pengobatan, angka kesembuhan (cure
rate) pada akhir kurun waktu pengobatan, dari angka kesembuhan sebenarnya (true cure
rate) pada akhir kurun waktu tindak lanjut yang berlangsung 18 bulan. Angka kesem-
buhan bakteriologis pada akhir bulan pengobatan ke- 1 dan ke-4 berturut-turut mendekati
50% dan 95% pada penggunaan paduan obatjangka pendek.
Penilaian hasil pengobatan harus dikerjakan paling lambat pada akhir bulan peng-
obatan ke-6, oleh karena sesudah 6 bulan paduan obat anti-TB tidak lagi mempunyai
potensi kegiatan bakterisidal dan tidak menambah angka kesembuhan bakteriologis.
Paduan obat jangka pendek 6 bulan (HR/5H2R2) digunakan oleh golongan kasus yang
mempunyai hasil yang sensitif penuh terhadap obat-obat yang digunakan, merupakan
paduan obat yang ideal oleh karena menghasilkan angka kesembuhan yang maksimal
(100%). Untuk memperoleh hasil pengobatan yang optimal, paduan obatjangka pendek 6
hulan (HR/5H2R2) dapat digunakan tanpa perlu dikerjakan uji kepekaan hasil terhadap
obat-obat yang digunakan. Perpanjangan kurun waktu pengobatan.dari 6bulan menjadi 9
bulan, telah memungkinkan dicegah terjadinya. kekambuhan bakteriologis sesudah
dihentikan pengobatan yang berhasil.
Pemberian khemoterapi anti-TB selama kurun waktu Iebih lama dan pada 6 bulan
dimaksud untuk menstabilkan kesembuhan bakteriologis yang diperoleh sewaktu kurun
waktu pengobatan aktif.

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 17


PENDAHULUAN HRH2R2).
Khemoterapi anti-tuberkutosis (anti-TB) semata-mata be- 2) Paduan obatjangkapendek 9 bulan yang terdiri dari INH dan
kerja anti-mikrobial(1); dengan lain perkataan, khemoterapi anti- RMP diberikan tiap hari selama satu bulan dan selanjutnya 2
TB hanya bekerja memusnahkan basil tuberkulosis (basil TB) kali seminggu selama 8 bulan (golongan B; HR/8H2R2).
dalam hal digunakan obat-obat anti-TB yang bekerja bakterisi- 3) Paduan obatjangka panjang satu tahun yang terdiri dari INH
dal, atau bekerja melemahkan basil TB dalam hal digunakan dan streptomisin (SM) diberikan tiap hari selama satu bulan
obat-obat anti-TB yang bekerja bakteriostatis yang selanjutnya dan selanjutnya 2 kali seminggu selama 11 bulan (golongan C;
memudahkan makrofag untuk menyel esaikan proses fagositosis. HS/H2S2).
Keefektifan khemoterapi anti-TB dinilai atas dasar: Melalui penentuan secara acak (at random), tiap golongan
1) perolehan kesembuhan bakteriologis (bacteriological cure). pengobatan (treatment group) meliputi 68 orang di BP4 di
2) perolehan kesembuhan radiografis (radiographic cure). Malang dan 32 orang di BP4 Denpasar. Dosis INH adalah 400
3) perolehan kesembuhan imunologis (immunological cure). mg/hari selama fase pengobatan tiap hari dan 700 mg/hari selama
4) perolehan kesembuhan klinis (clinical cure). fase pengobatan dua kali seminggu. Dosis RMP adalah 450 mg/
Perolehan kesembuhan bakteriologi dahak (sputum bacte- hari selama fase pengobatan tiap hari dan 600 mg/hari selama
riology), merupakan cara pemeriksaan yang praktis, tidak mahal fase pengobatan dua kali seminggu. Dosis SM adalah 3/4 gram/
dan konfirmatif. Pemeriksaan bakteriologi dahak dikerjakan hari selama fase pengobatan tiap hari dan 1 gram/hari selama fase
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis (M) dan pemeriksaan pengobatan dua kali seminggu. Dosis INH, RMP dan SM tidak
dahak biakan (B). ditentukan oleh berat badan kasus TB dan diberikan sebagai
Adanya kuman mati (M÷B–) yang ditemukan sampai se- dosis tunggal pagi hari 1/2 jam sebelum makan.
besar 50% pada akhir bulan pengobatan ke-enam pada kasus Pada penelitian klinis ini, paduan obat anti-TB diberikan
kasus TB paru yang memperoleh khemoterapi anti-TB jangka sebagai pengobatan jalan (ambulatory treatment) secara fully
pendek yang antara lain mengandung rifampicin (RMP), me- supervised treatment.
rupakan petunjuk bahwa pemeriksaan dahak biakan mutlak di Pemeriksaan dahak
perlukan untuk memastikan terjadinya kegagalan pengobatan Pemeriksaan dahak dikerjakan di Laboratorium Mikrobio-
(treatment failure); pusat-pusat pengobatan TB paru yang hanya logi di Brompton Hospital di London, meliputi:
mempunyai fasilitas pemeriksaan dahak mikroskopis, hanya a) pemeriksaan mikroskopis (M) dengan menggunakan
dapat menentukan perolehan pengobatan yang berhasil (the mikroskop fluoresensi.
achie of a successful result of treatment) dan tidak dapat b) pemeriksaan biakan (B) pada medium padat Löwenstein
menentukan terjadinya kegagalan pengobatan(2). Keberadaan Jensen.
kuman mati pada saat belum dimulai khemoterapi anti-TB telah c) pemeriksaan resistensi strain basil TB terhadap obat-obat
dilaporkan oleh peneliti-peneliti lain(3,4). anti-TB pada dahak yang biakan positif (B+).
Dari segi kegiatan anti-mikrobial, khemoterapi anti-TB d) pemeriksaan M. atipik dan resistensi terhadap obat-obat
bertujuan memperoleh konversi dahak (sputum conversion). anti-TB.
Kenegatifan dahak adalah dahak satu kali negatif, mikroskopis Pemeriksaan dahak mikroskopis biakan dan resistensi ter-
atau biakan, sedangkan konversi dahak adalah dahak biakan tiga hadap obat-obat anti-TB dikerjakan pada bulan 0 (sebelum di-
kali berturut-turut negatif pada pemeriksaan sekali sebulan(5). mulai pengobatan), tiap bulan selama kurun waktu pengobatan
Saat terjadinya konversi dahak identik dengan saat terjadinya aktifdan tiap bulan selama kurun waktu tindak lanjut 12 bulan
kesembuhan bakteriologis (bacteriological cure). dan selanjutnya tiap 3 bulan sekali selama 6 bulan berikutnya
Suatu penelitian klinis tentang kegiatan anti-mikrobial padu- untuk tiap golongan.
an obat ganda, bifasik, anti-TB, telati dikerjakan di Balai Pembe-
rantasan Penyakit Paru-paru (BP4) di Malang dan diBalai Peng- Penilaian keberhasilan
obatan Penyakit Paru-paru (BP4) di Denpasar. Penilaian keberhasilan pengobatan dikerjakan selama kurun
waktu pengobatan aktif dan selama kurun waktu tindak lanjut
BAHAN DAN CARA sesudah diselesaikan pengobatan yang berhasil.
Jumlah Kasus TB a) Penilaian selama kurun waktu pengobatan aktif
Sebanyak 300 orang kasus TB paru berumur 15 tahun atau 1) Perolehan kesembuhan bakteriologis
lebih, dengan dahak mikroskopis dan biakan positif, (M+, B+), Perolehan kesembuhan bakteriologis (the achievement of
pria dan wanita, belum pernah memperoleh obat anti-TB sebe- bacteriologic cure) ditentukan atas dasan kejadian konversi
lumnya sepanjang diketahui melalui wawancara yang cermat, di- dahak (the event of sputum conversion) selama kurun waktu
masukkan dalam studi ini. Sebanyak 204 orang bertempat tinggal peng obatan aktif.
di Kotamadya Malang dan 96 orang di Kotamadya Denpasar. 2) Kegagalan pengobatan
Pada penelitian klinis ini digunakan 3 jenis paduan obat anti- Kegagalan pengobatan (treatment failure) ditentukan atas
TB, yaitu: dasar:
1) Paduan obatjangka pendek 6 bulan yang terdiri dari isoniazid a) terjadinya kepositifan dahak biakan persisten (persistent
(INH) dan rifampisin (RMP) diberikan tiap hari selama satu bu- sputum culture positivity) selama kurun waktu pengobatan
lan dan selanjutnya 2 kali seminggu selama 5 bulan (golongan A; aktif(5,6).

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


b) terjadinya kepositifan dahak biakan selama tiga bulan ber- SM, 25 orang (26,3%) dengan strain basil TB yang resisten ter-
turut-turut pada akhir bulan pengobatan(6). hadap INH melulu, 3 orang (3,2%) dengan strain basil TB yang
c) terjadinya kekambuhan bakteriologis (bacteriologic relapse) resisten terhadap SM melulu, dan 10 orang (10,5%) dengan
selama kurun waktu pengobatan aktif sesudah terjadi konversi strain basil TB yang resisten terhadap INH maupun SM.
dahak(5,6). 2) Konversi dahak
b) Penilaian selama kurun waktu tindak lanjut Golongan pengobatan A dan golongan pengobatan B sam-
1) Stabilisasi kesembuhan bakteriologis pai akhir bulan pengobatan ke enam memperoleh paduan obat
Dengan stabilisasi kesembuhan bakteriologis dimaksud anti-TB yang sama. Di samping itu tidak terdapat perbedaan ber-
usaha mempertahankan kesembuhan bakteriologis agar tidak makna (p > 0,05) mengenai konversi dahak antara golongan
terjadi kekambuhan bakteriologis. pengobatan A dan golongan pengobatan B pada tiap akhir bulan
2) Kekambuhan bakteriologis pengobatan, baik pada kasus-kasus TB dengan strain basil TB
Kekambuhan bakteriologis ditentukan atas dasar terjadi-, yang sensitifterhadap INH maupun RMP (Tabel 1), pada kasus
nya : kasus TB dengan strain basil TB yang resisten terhadap INH
a) kepositifan dahak biakan selama tiga bulan berturut-turut dan/atau RMP (Tabel 2) maupun pada kasus-kasus TB dan
selama kurun waktu pengobatan sesudah terjadi konversi dahak. golongan keseluruhan (Tabel 3).
Kekambuhan ini disebut kekambuhan bakteriologis selama
pengobatan (bacteriological relapse during treatment)(7). Tabel 1. Kegiatan anti-mikrobial. Sensitif terhadap INH dan RMP
b) kepositifan dahak biakan selama tiga bulan berturut-turut HR/5H2R2 HR/8H2R2
selama kurun waktu tindak lanjut sesudah diselesaikan peng- (A 1) (B 1)
obatan yang berhasil(7). Konversi dahak (kd) Konversi dahak (kd) Nilai
Kekambuhan ini disebut kekambuhan bakteriologis se- N2
N1 N2 N3 % ∆ kd N3 % ∆ kd P
lama kurun waktu tindak lanjut (bacteriological relapse during
follow-up). 0 61 46
1 61 29 047,5 47,5 46 19 041,3 41,3 > 0,05
2 61 45 073,7 26,2 46 33 071,7 30,4 > 0,05
HASIL 3 61 57 093,4 19,7 46 40 087,0 15,3 > 0,05
A) Penilaian pada akhir bulan-bulan pengobatan 4 61 60 098,4 05,0 46 44 095,7 08,7 > 0,05
5 61 61 1000 01,6 46 44 095,7 000 > 0,05
1) Jumlah kasus TB yang dapat dinilal
6 61 61 100,0 00,0 46 100,0 04,3 > 0,05
a) Golongan pengobatan A (HR/5H2R2)
Dari 100 orang kasus TB yang ditentukan memperoleh Pos. persist. : 0 Pos. persist. : 0
paduan obat jangka pendek 6 bulan, terdapat 96 orang (66 orang Keterangan:
di BP4 di Malang dan 30 orang di BP4 Denpasar) yang dapat N1 = bulan pengobatan
dinilai sampai akhir bulan pengobatan ke-enam, dan terdiri dari N2 = jumlah orang yang diperikca
N3 = jumlah orang dengan konversi dahak
61 orang (63,5%) dengan strain basil TB yang sensitif terhadap
INH maupun terhadap RMP, 33 orang (34,4%) dengan strain Tabel 2. Kegiatan anti-mikrobial Resisten terhadap INH dan/atau RMP
basil TB yang resisten hanya terhadap INH dan 2 orang (2,1%) HR/5H2R2 HR/8H2R2
dengan strain basil TB yang resisten terhadap INH maupun (A 2) (B 2)
terhadap RMP (multi-drug resistance). Konversi dahak (kd) Konversi dahak (kd) Nilai
b) Golongan pengobatan B (HR/8H2R2) N2
N1 N2 N3 % ∆ kd N3 % ∆ kd P
Dari 100 orang kasus TB yang ditentukan memperoleh
paduan obat jangka pendek 9 bulan (HR/8H2R2) terdapat 88 0 35 42
orang (62 orang di BP4 di Malang dan 26 orang di BP4 Denpasar) 1 35 16 45,7 45,7 42 21 50,0 50,0 > 0,05
2 35 22 62,9 17,2 42 29 69,0 19,0 > 0,05
yang dapat dinilai sampai akhir bulan pengobatan ke-enam, dan 3 35 26 74,3 11,4 42 33 786 09,6 > 0,05
terdiri dari 46 orang (52,3%) dengan basil TB yang sensitif ter- 4 35 28 80,0 05,7 42 35 83,3 04,7 > 0,05
hadap INH maupun RMP, 40 orang (45,5%) dengan basil TB 5 35 31 88,6 08,6 42 15 83,3 00,0 > 0,05
yang resisten terhadap INH saja, 1 orang (1,1%) dengan basil TB 6 35 31 88,6 00,0 42 36 85,7 02,4 > 0,05
yang resisten terhadap RMP saja, dan satu orang (1,1%) dengan Pos. persist.: 4 Pos. persist.: 6
basil TB yang resisten terhadap INH maupun RMP. = 11,4% = 14,3% > 0,05
c) Golongan pengobatan C (HS/11H2S2) Keterangan:
Dari 100 orang kasus TB yang ditentukan memperoleh N1 = bulan pengobatan
paduan obatjangka panjang 12 bulan (HS/11H2S2) terdapat 95 N2 = jumlah orang yang diperi4a
orang kasus TB (64 orang di BP4 di Malang dan 31 orang di N3 = jumlah orang den gan konversi dahak
BP4 Denpasar) yang dapat dinilai sampai akhir bulan pengobat- Oleh karena itu, pada penilaian sampai akhir bulan peng-
an ke-6. obatan ke-enam, jumlah kasus TB dan golongan pengobatan A
Golongan pengobatan ini terdiri dari 57 orang (60,0%) kasus disatukan dengan jumlah kasus TB dan golongan B (HR/
TB dengan strain basil TB yang sensitif terhadap INH maupun 5–8H2R2).

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 19


Tabel 3. Kegiatan anti-mikrobial. Golongan keseluruhan. pengobatan HR/5–8H2R2 (paduan obat ideal), sedangkan ke-
HR/5H2R2 HR/8H2R2
gagalan pengobatan berupa biakan dahak positif persisten
(A 3) (B 3) (persistent sputum culture positivity) dijumpai pada 12,3% kasus
Konversi dahak (kd) Konversi dahak (kd) Nilai
TB yang memperoleh paduan obat HS/11H2S2. Terdapat per-
bedaan sangat bermakna (p < 0,001) mengenai kegagalan
N1 N3 % ∆ kd N2 N3 % ∆ kd P
N2 pengobatan antara kasus TB yang dapat HR/5–8H2R2 dan kasus
0 96 88 TB yang memperoleh paduan obat HS/11H2S2.
I 96 45 46,9 46,9 88 39 44,3 44,3 > 0,05 b) Kasus TB dengan strain basil yang resisten terhadap INH
2 96 88 25,0
3 96
67 69,8 22,9
88
61 69,3 > 0,05 dan/atau RMP atau yang resisten terhadap INH dan/atau SM.
83 86,5 16,7 73 83,0 13,7 > 0,05
4 96 88 06,8 Pada Tabel 5 dapat dilihat konversi dahak sebesar 48,1%
88 91,7 05,2 79 89,8 > 0,05
5 96 92 95,8 04,1 88 79 89,8 00,0 > 0,05 pada akhir bulan pengobatan pertama pada golongan pengobatan
96 92 95,8 00,0 88 82 93,2 03,4 >005 HR/5–8H2R2. Pada akhir bulan pengobatan yang sama, konversi
Pos. persist.: 4 Pos. persist.: 6 dahak sebesar 23,7% dijumpai pada golongan pengobatan
= 4,2% = 6,8% > 0,05 HS/11H2S2. Perbedaan angka konversi tersebut di atas bermakna
(p < 0,05). Perbedaan yang dimaksud menjadi jelas bermakna
Keterangan: (p <0,01) menjelang akhir bulan pengobatan ke-6, kecuali pada
N1 = bulan pengobatan akhir bulan pengobatan ke-4 (p > 0,05).
N2 = jumluh orang yang diperikca
N3 = jumlah orang dengan konversi dahuk Tabel 5. Kegiatan anti.mikrobiaL Resisten terhadap INH dan/atau RMP
dan/atau SM
2.1) Perbedaan kegiatan anti-mikrobial paduan obat HR/5–
8H2R2 dan paduan obat HS/11H2S2. HR/5-8H2R2 HS/11H2S2
a) Kasus TB dengan strain basil TB yang sensitif terhadap (A - B 2) (C 2)
INH, RMP maupun SM. Konversi dahak (kd) Konversi dahak(kd) Nilai
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa konversi dahak terjadi N1 N2 N3 % ∆ kd N3 % ∆ kd P
N2
sebesar 44,9% pada akhir bulan pengol ke- I pada golongan
0 77 38
pengobatan HR5–8H2R2 dan pada golongan pengobatan 1 77 38
HS/11H2S2 konversi dahak terjadi sebesar 29,8%, tidak terdapat 37 48,1 48 1 09 23,7 23,7 < 0,05
2 77 51 66,2 18,1 38 16 42,1 18,4 < 0,05
perbedaan yang bermakna (p > 0,05). 3 77 59 76,6 10,4 38 20 52,6 10,5 < 0,01
4 77 63 81,8 05,2 38 23 60,5 07,9 > 0,05
Tabel 4. Kegiatan anti.mikrobial. Sensitif terhadap INH, RMP dan SM 5 77 38
66 85,7 03,9 23 605 00,0 < 0,01
6 77 67 87,0 01,3 38 25 65,8 053 < 0,01
HR/5-8H2R2 HS/11H2S,
(A-B 1) (C 1) Pos. persist.: l0 Pos. persist.: 13
Konversi dahak (kd) Konversi dahak (kd) Nilai = 13,0% = 34,2% < 0,01
NI N2 N3 % ∆ kd N2 N3 % ∆ kd P
Keterangan:
0 107 57 N1 = bulan pengobatan
I 107 048 0449 44,9 57 17 29,8 29,8 > 0,05
N2 = jumlah orang diperikca
2 107 078 0729 28,0 57 30 52,6 228 < 0,01
N3 = jumlah orang dengan konversi dahak
3 107 097 090,7 17,8 57 40 70,2 17,6 < 0,001
4 107 104 097,2 065 57 46 80,7 10,5 < 0,001 Tambahan konversi dahak (∆kd) berkurang pada tiap akhir
5 107 105 098,1 009 57 49 860 05,3 <0,01
6 107 57 bulan pengobatan berikutnya pada kedua golongan pengobatan
107 100,0 01,9 50 877 01,7 < 0 001
tersebut di atas. Pada Tabel 5 dapat dibaca bahwa kegagalan
Pos. persist.: 0 Pos. persist.: 7 pengobatan berupa biakan dahak positif persisten dijumpai
= 12,3% < 0,001 sebesar 13,0% pada golongan pengobatan HR/5–8H2R2 dan se-
Keterangan. besar 34,2% pada golongan pengobatan HS/11H2S2. Terdapat
N1 = hulan pen gobatan perbedaan yang jelas bermakna (p < 0,01) pada akhir bulan
N2 = jutnluh orung diperikcu pengobatan ke-6.
N3 = jumlah orung den gun konversi dahak c) Kasus TB keseluruhan (yang sensitif dan yang resisten ter-
Perbedaan yang jelas bermakna dijumpai pada akhir bulan hadap INH dan/atau RMP atau terhadap INH dan/atau SM)
pengobatan ke-2 (p < 0,01) yang selanjutnya menjadi sangat Seperti terbaca pada Tabel 6, konversi dahak sebesar 45,7%
bermakna (p < 0,001) pada akhir bulan-bulan pengobatan dan 27,4% berturut-turut pada golongan pengobatan HR/5–8H2R2
berikutnya, kecuali pada akhir bulan pengobatan ke-5 (p <0,01). dan pada golongan pengobatan HS/11H2S2 pada akhir bulan
Pada Tabel 4 dapat dilihatjuga bahwa tambahan konversi dahak pengobatan pertama. Perbedaan tersebut jelas bermakna (p <
(Akd) menurun menjelang diselesaikan pengobatan pada akhir 0,01)pada akhir bulan pengobatãn pertama. Perbedaan ini men-
bulan pengobatan ke-6. jadi sangat bermakna (p <0,001) pada akhir bulan-bulan peng-
Tabel 4 selanjutnya menunjukkan tidak terjadi kegagalan obatan selanjutnya sampai pada akhir bulan pengobatan ke-6.
pengobatan pada akhir bulan pengobatan ke-6 pada golongan Tabel 6 menunjukkan pula bahwa tambahan konversi dahak

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


Tabel 6. Kegiatan anti-mikrobial. Golongan keseluruhan. Tabel 7. Kegiatan anti-mikrobial.
HS/11H2S2 HR/5-8H2R2 HR/5-8H2R2
HR/5-8H=R2
(C 3) Sensitif terhadap INH & RMP Golongan keseluruhan
(A - B 3)
(A - B 1) (A - B 3)
Konversi dahak (kd) Konversi dahak (kd) Nilai Konversi dahak (kd) Konversi dahak (kd) Nilai
NI N2 N3 % ∆ kd N2 N3 % ∆ kd P N3 % ∆ kd N3 % ∆ kd P
NI N2 N2
0 184 95 0 107 184
1 184 084 45,7 45,7 95 26 27,4 27,4 < 0,01 1 107 048 044,9 44,9 184 084 45,7 457 > 0,05
2 184 128 69,6 23,9 95 46 48,4 21,0 < 0,001 2 107 078 072,9 28,0 184 128 69,6 23,9 > 0,05
3 184 156 84,8 152 95 60 63,2 14,8 < 0,001 3 107 097 090,7 17,8 184 156 84,8 15,2 > 0,05
4 184 167 90,8 06,0 95 69 72,6 09,4 < 0,001 4 107 104 097,2 06,5 184 167 90,8 06,0 < 0 05
5 184 171 92,9 02,1 95 72 758 03,2 < 0,001 5 107 105 098,1 00,9 184 171 92,9 02,1 > 0,05
6 184 174 94,6 01,7 95 75 78,9 03,1 < 0,001 6 107 107 100,0 01,9 184 174 94,6 01,7 < 0,05
Pos. persist.: 10 Pas. persist. : 20 Pos. persist. : 0 Pos. persist.: 10
=5,4% =21,1% <0,001 = 5,4% < 0,05
Keterangan: Keterangan:
N1 = bulan pengobatan N1 = bulan pengobatan
N2 = jumlah orang diperikca N2 = jumlah orang diperiksa
N3 = jumlah orang dengan konversi dahak N3 = jumlah orang dengan konversi dahak
(∆kd) terdapat paling tinggi pada akhir bulan pengobatan per- Tabel 8. Kegiatan anti-mikrobial.
tama pada kedua golongan pengobatan di atas; tambahan kon-
HR/5-8H2R2 HS/11H2S2
versi dahak tersebut menurun pada akhir bulan-bulan pengobatan Sensitif terhadap INH + RMP Golongan keseluruhan
berikutnya baik pada golongan pengobatan HR/5-8H2R2 maupun (A - B 1) (C 3)
pada golongan pengobatan HS/11H2S2. Selanjutnya terbaca bahwa Konversi dahak (kd) Konversi dahak (kd) Nilai
kegagalan pengobatan berupa biakan dahak positif persisten ter-
jadi sebesar 5,4% pada golongan pengobatan HR/5–8H2R2 dan N1 N2 N3 % ∆ kd N2 N3 % ∆ kd P
sebesar 21,1% pada golongan pengobatan HS/11H hal ini 0 107 95
1 107 048 044,9 449 95 26 27,4 274 =0,01
berbeda sangat bermakna (p <0,001).
2 107 078 072,9 28,0 95 46 48,4 21,0 < 0,001
2.2) Perbedaan kegiatan anti-mikrobial paduan obat HR/5–8H2R2 3 107 097 090,7 17,8 95 60 63,2 14,8 < 0,001
antara golongan kasus TB dengan strain basil yang sensitif 4 107 104 097,2 06,5 95 69 72,6 094 < 0,001
penuh dan golongan kasus TB keseluruhan. 5 107 105 098,1 00,9 95 72 75,8 03,2 < 0,001
Pada Tabel 7 dapat dilihat tidak terdapat perbedaan ber- 6 107 107 100,0 01,9 95 75 78,9 031 < 0 001
makna mengenai angka konversi dahak antara golongan kasus Pos. persist. : 0 Pos. persist.: 20
TB yang memperoleh paduan obat HR/5–8H2R2 dengan strain =21,1% <0,001
basil sensitif penuh terhadap INH dan RMP (paduan obat ideal)
Keterangan:
dengan golongan kasus TB yang memperoleh paduan obat sama
N1 = bulan pengobatan
tetapi dengan strain basil sensitif dan resisten terhadap INH dan/ N2 = jumlah orang diperiksa
atau RMP (golongan keseluruhan) pada akhir bulan pengobatan N3 = jumlah orang dengan konversi dahak
pertama (p > 0,05). Keadaan ini bertahan pada tiap akhir bulan
pengobatan berikutnya kecuali pada akhir bulan pengobatan ke 4 Terdapat perbedaan angka kegagalan pengobatan pada akhir
dan ke-6, yang berbeda bermakna (p <0,05) (Tabel 7). bulan pengobatan ke-6 yang sangat bermakna (p <0,001) antara
Terdapat perbedaan bermakna (p <0,05) angka kegagalan kedua golongan perigobatan tersebut di atas (Tabel 8).
pengobatan pada akhir bulan pengobatan ke-6 antara kedua go- 2.4) Perbedaan kegiatan anti-mikrobial antara golongan ke-
longan pengobatan tersebut di atas (Tabel 7). seluruhan kasus TB yang memperoleh paduan obat HR/8H2R2
2.3) Perbedaan kegiatan anti-mikrobial antara golongan kasus dan golongan keseluruhan kasus TB yang memperoleh paduan
TB dengan strain basil yang sensitif penuh yang memperoleh obat HS/11H2S2.
paduan obat HR/5–8H2R2 (paduan obat ideal) dan golongan ke- Pada Tabel 9 dapat dilihat perbedaan angka konversi dahak
seluruhan kasus TB yang memperoleh paduan obat HS/11H2S2. pada akhir bulan pengobatan pertama yang bermakna (p <0,05)
Tabel 8 menunjukkan perbedaan jelas bermakna (p = 0,01) antara golongan keseluruhan kasus TB yang memperoleh
mengenai angka konversi dahak pada akhir bulan pertama antara paduan obat HR/8H2R2 da golongan keseluruhan kasus TB
golongan kasus TB dengan strain basil yang sensitif penuh yang memperoleh paduan obat HS/11H2S2. Perbedaan ini jelas
terhadap INH dan RMP (paduan obat ideal) yang memperoleh bermakna (p <0,01) kecuali pada akhir bulan pengobatan ke-5
paduan obat HR/5–8H2R2 dari golongan keseluruhan kasus TB (p <0,05).
yang memperoleh paduan obat HS/11H2S2. Perbedaan ini men- Tabel 9 selanjutnya menunjukkan bahwa tambahan kon-
jadi sangat bermakna (p <0,001) pada akhir bulan-bulan peng- versi dahak (∆kd) menurun sesudah akhir bulan pengobatan
obatan berikutnya. pertama sampai pada akhir bulan pengobatan ke-6 pada kedua

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 21


golongan kasus TB tersebut di atas; sesudah bulan pengobatan Tabel 10. Kegiatan anti-mikrobial. Penilaian hasil pengobatan.
ke-6 tidak lagi ditemukan tambahan konversi dahak pada kedua
HR/5H2R2 HR/SH2R2 HS/11H2S2
golongan kasus TB tersebut di atas. Perihal
(A) (B) (C)
Selama kurun waktu pengobatan sesudah bulan pengobatan
ke-6, ditemukan kasus kekambuhan bakteriologis selama ber- A. Awal pengobatan
Iangsung pengobatan (bacteriological relapse during treatment) - Diobati 100 100 100
- Tidak selesai berobat 4 12 5
pada seorang dan golongan keseluruhan kasus TB yang memper- B. Akhir bulan pengobatan ke-6
oleh paduan obat HR/8H2R2 dan pada 2 orang dan golongan ke- - Dapat dinilai 96 88 95
seluruhan kasus TB yang memperoleh paduan obat HS/11H2S2 - Pengobatan gagal 4(4,2%) 6(6,8%) 20(21.8%)
- Positif persisten 4 6 20
(Tabel 9). Pada akhir bulan pengobatan terdapat 7 orang (8,0%)
C. Akhir kurun waktu pengobatan
dengan kegagalan pengobatan pada go] ongan keseluruhan kasus - Gagal 4(4,2%) 7(8,0%) 22(23,2%)
TB yang memperoleh paduan obat HR/8H2R2 dan 22 orang - Positif persisten 4 6 20
(23,2%) pada golongan keseluruhan kasus TB yang memperoleh - Kekambuhan bakteriologik 0 1 (1,1%) 2(2,1%)
- Sembuh (cure rate) 92(95,8%) 81 (92,0%) 73(76,8%)
paduan obat HS/11H2R2 perbedaan ini jelas bermakna secara
D. Kurun waktu tindak lanjut
statistis (p <0,01). - Berhasil 92 81 73
Tabel 9. Kegiatan anti-mikrobial. Resisten terhadap INH dan/atau RMP - Putus periksa I 4 3
E. Akhir kurun waktu tindak lanjut
HR/8H2R2 HS/11H,S, - Dapat dinilai 91 77 70
(B) (C) - Kekambuhan bakteriologik 4(4,4%) 0 0
Konversi dahak (kd) Konversi dahak (kd) Nilai - Menyelesaikan pengobatan
dan periksa tindak lanjut 95 84 92
NI N2 N3 % A kd N2 N3 'k A kd P - Kegagalan pengobatan 8 7 22
- Angka kesembuhan
00 88 95 sebenarnya (true cure rate) 87(91,1%) 77(91,7%) 70(76,1%)
01 88 39 443 44,3 95 26 27,4 274 > 0 05
02 88 61 69,3 25,0 95 46 48,4 21,0 >00 1
03 88 137 95 632 > 0,01 bedaan angka kegagalan pengobatan yang bermakna (p > 0.05).
73 83,0 60 14,8
04 88 79 89,8 06,8 95 69 72,6 094 > 0,01 Kegagalan pengobatan pada ketiga golongan pengobatan
05 88 79 89,8 00,0 95 72 758 03,2 >005 tersebut berupa biakan dahak positif persisten.
06 88 034 95 789 > 0,01
07 88
82 932
95
75 03 1 Tidak ditemukan kekambuhan bakteriologis selama kurun
82 93,2 00,0 75 78,9 00,0 < 0,01
08 88 00,0 95 78,9 < 0,01 waktu pengobatan enam bulan pada ketiga golongan pengobatan
82 93,2 75 00,0
09 88 82 93,2 000 95 75 789 00,0 < 0,01 tersebut di atas.
10 95 75 789 000
11 95 75 78,9 00,0
2) Pada akhir kurun waktu pengobatan
12 96 75 78,9 000 Kurun waktu pengobatan pada golongan A (HR/5H2R2)
Kegagalan pengobatan Kegagalan pengobatan < 0,01 adalah 6 bulan, pada golongan B (HR/8H2R2) adalah 9 bulan dan
- Pos. persist. :6 - Pos. Persist. 20
pada golongan C (HS/11H2S2) adalah 12 bulan.
- Kekamb. bakt. I - Kekamb. bakt. : 2 Tabel 10 menunjukkan kekambuhan bakteriologis selama
- Jumlah 7 = 8,0% - Jumlah 22 = 23,2% kurun waktu pengobatan pada seorang kasus (1,1%) dan go-
longan B dan pada dua orang kasus (2,1%) dan golongan C. Pada
Keterangan : golongan A tidak ditemukan kasus kekambuhan bakteriologis
N1 = bulan pengobutan
N2 = jumlah orang diperiksa selama kurun waktu pengobatan.
N3 = jumluh orang den gun konversi dahuk Penilaian pada akhir kurun waktu pengobatan menunjukkan
kegagalan pengobatan pada sebanyak 4 orang pada golongan A
B) PENILAIAN HASIL PENGOBATAN (semuanya atas dasar biakan dahak positif persisten), 7 orang
1) Pada akhir bulan pengobatan ke-6 pada golongan B (6 orang atas dasar biakan dahak positif per-
Dari 96 orang pada golongan keseluruhan kasus TB yang sisten dan seorang atas dasar kekambuhan bakteriologis sewaktu
memperoleh paduan obat HR5H2R2, dan sebanyak 88 orang pada pengobatan) dan 22 orang pada golongan C (20 orang atas dasar
golongan keseluruhan kasus TB yang memperoleh paduan obat biakan dahak positif persisten dan 2 orang atas dasar kekam-
HR/8H2R2 dan dari sebanyak 95 orang pada golongan ke- buhan bakteriologis sewaktu pengobatan) (Tabel 10).
seluruhan kasus TB yang memperoleh paduan obat HS/11H2S2 Angka kesembuhan (cure rate) pada akhir kurun waktu
ditemukan kasus kegagalan pengobatan berturut-turut pada se- pengobatan adalah 95,8% pada golongan A, 92,0% pada golong-
banyak 4 orang (4,2%), 6 orang (6,8%) dan 20 orang (2 1,8%) an B dan 76,8% pada golongan C (Tabel 10). Terdapat perbeda
(Tabel 10); terdapat perbedaan yang sangat bermakna (p < an yang sangat bermakna (p <0,001) antara ketiga golongan
0,001). pengobatan tersebut di atas. Tidak terdapat perbedaan bermakna
Antara golongan keseluruhan kasus TB yang memperoleh (p > 0,05) antara golongan pengobatan A (HR/5H2R2) dan go-
paduan obat HR/5H2R2 dan golongan keseluruhan kasus TB longan pengobatan B (HR/8H2R2) mengenai angfka kesembuhan
yang memperoleh paduan obat HR/8H2R2 tidak terdapat per- pada akhir kunun waktu pengobatan.

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


3) Pada akhir kurun waktu tindak lanjut obat anti-TB yang mempunyai NKB yang tidak tinggi(8).
Kurun waktu tindak lanjut pada tiap golongan pengobatan Pada penilaian sampai akhir bulan pengobatan ke-6 peneliti-
adalah 18 bulan. Yang diikut-sertakan pada pemeriksaan selama an ini, terdapatdua golongan pengobatan utama yaitu golongan
kurun waktu tindak lanjut adalah kasus-kasus TB yang me- A–B dan C. Golongan A–B yang merupakan gabungan dan go-
nunjukkan konversi dahak selama kurun waktu pengobatan dan longan A (HR/5H2R2) dan golongan B (HR/8H2R2) memperoleh
ditetapkan sebagai kasus berhasil pada akhir kurun waktu pen- paduan obat HR/5–8H2R2 Golongan C memperoleh paduan obat
gobatan. HS/11H2S2.
Pada Tabel 10 dapat dilihat kejadian kekambuhan 1) Subgolongan A–B1 yang meliputi kasus-kasus yang mem-
bakteriologis selama kurun waktu tindak lanjut (bacterio logical punyai strain basil TB hang sensitif penuh terhadap obat-obat
relapse during follow-up pada 4 orang (4,4%) dari go longan A yang digunakan dan memperoleh paduan obat selektif karena
(HR/5H2R2) dan golongan B (HR/8H2R2) dan dari golongan C memenlukan uji kepekaan basil terhadap obat anti-TB (drug-
(HS/11H2S2) tidak ditemukan kejadian kekambuh an. Perbedaan susceptibility test).
angka kejadian kekambuhan bakteriologis selama kurun waktu 2) Subgolongan A–B2 yang meliputi kasus-kasus yang mem-
tindak lanjut antara ketiga golongan pengobatan tersaebut di atas punyai strain basil TB yang nesisten terhadap INH melulu, ter-
adalah bermakna (p < 0,05). hadap RMP melulu atau terhadap INH maUpun RMP; sebagian
Angka kesembuhan sebenarnya (true cure rate) sebesar besar resisten terhadap INH melulu. Subgolongan ini memper-
91,6% pada golongan A, 91,7% pada golongan B dan 76,1% pada oleh paduan obat khusus karena memenlukan uji kepekaan
golongan C (Tabel 10). Terdapat perbedaan yang jelas bermakna basil terhadap obat anti-TB.
(p <0,01) antara ketiga golongan pengobatan tersebut di atas; 3) Subgolongan A–B3 yang meliputi kasus-kasus dari sub-
tidak terdapat perbedaan bermakna (p >0,05) antara golongan A golongan A–B1 dan subgolongan A–B2 Subgolongan A–B3 ini
dan golongan B. dapat disamakan dengan subgolongan kasus-kasus TB yang
tidak memerlukan pemeriksaan uji kepekaan basil terhadap
DISKUSI obat anti-TB.
Khemoterapi anti-TB tidak lagi diberikan sebagai pengobat- Golongan C terdiri dari 3 subgolongan yaitu:
an tunggal (single drug treatment), tetapi dalam bentuk paduan 1) Subgolongan C1 yang meliputi kasus-kasus yang mem-
yang dapat berupa paduan obat ganda (dual drug treatment) atau punyai strain basil TB yang sensitifpenuh terhadap INH
paduan obat multipleks (multi-drug treatment). Paduan obat maupun SM dan mempenoleh paduan obat selektif.
ganda terdiri dan 2 obat anti-1’B individual dan paduan obat 2) Subgolongan C2 yang meliputi kasus-kasus yang mem-
multipleks terdiri dari 3 atau lebih obat-obat anti-TB individual. punyai strain basil TB yang resisten terhadap INH melulu, ter-
Tiap obat anti-TB individual mempunyai nilai bakterisidal hadap SM melulu atau terhadap INH maupun SM; sebagian
yang ditentukan atas dasar lingkungan tempatobatyang dimaksud besar resisten terhadap INH melulu. Subgolongan ini
dapat mengembangkan pekerjaan anti-mikrobialnya; dengan memperoleh paduan obat khusus.
demikian, tiap paduan obat anti-TB mempunyai nilai kegiatan 3) Subgolongan C3 yang meliputi kasus-kasus dari subgolong-
bakterisidal (NKB) yang ditentukan atas dasar komposisi paduan an C1 dan kasus-kasus TB dan subgolongan C2 Subgolongan C3
obat yang dimaksud. Paduan obat HR/5H2R2 dan paduan obat ini dapat disamakan dengan subgolongan kasus TB yang tidak
HR/8H2R2 adalah paduan obat ganda jangkapendek yang mem- memerlukan pemeriksaan uji kepekaan basil terhadap obat anti-
punyai nilai bakterisidal sebesar 1 (one bactericidal drug) dan TB.
baik INH maupun RMP dapat mengembangkan kegiatan anti Berhubung kunang tersedianya fasilitas pemeriksaan uji
mikrobialnya pada Iingkungan asam maupun pada lingkungan kepekaan basil terhadap obat anti-TB, penentuan komposisi
netral/alkalis. Paduan obat HS/11H2S2 adalah paduan obat ganda paduan obat anti-TB pada umumnya tidak didasankan pada hasil
jangka panj ang atau disebutjuga paduan obat konvensional yang pemeriksaan uji kepekaan basil terhadap obat anti-TB.
mempunyai NKB sebesar 1/2 karena INH adalah obat anti-TB Kesembuhan bakteriologis yang ditentukan berdasarkan
individual yang mempunyai nilai bakteriscdal 1 dan SM adalah terjadinya konversi dahak adalah kesembuhan yang bersifat
obat anti-TB individual yang mempunyai nilai bakterisidal 1/2; konfirmatif. Penilaian pada akhir bulan pengobatan pertama
SM dapat mengembangkan kegiatan bakterisidalnya hanya pada menunjukkafl bahwa kesembuhan bakteriologis sudah terjadi
lingkungan yang netral/asam saja. Lebih tinggi NKB sesuatu pa pada akhir bulan ke- 1, yaitu berturut-turut sebanyak 44,9% dan
duan obat anti-TB, lebih tinggi pulapotensi kegiatan bakterisidal 29,8% dari subgolongan A–B1 dan subgolongan C1 (p > 0,05)
paduan obat yang dimaksud. (Tabel 4), berturut-turut sebanyak 48,1 % dan 23,7% dan sub-
Tujuan utama pemberian khemoterapi anti-TB melalui golongan A–B2 dan subgolongan C2 (p <0,05) (Tabel 5) dan ber-
paduan obat anti-TB adalah perolehan kesembuhan bakteriolo- turut-turut sebanyak 45,7% dan 27,4% dari subgolongan A–B3
gis (bacteriological cure) yang ditentukan atas dasar terjadinya dan subgolongan C3 (p < 0,01) (Tabel 6).
konversi dahak. Kesembuhan radiografis (radiological cure) Angka kesembuhan bakteriologis atau angka konversi dahak
sering tidak berjalan paralel dengan kesembuhan bakteriologis, pada akhir bulan pengobatan pertama pada golongan kasus yang
dalam arti, kesembuhan bakteriologis lebih cepat daripada ke- memperoleh paduan obat HR/5–8H2R2 lebih tinggi secara ber-
sembuhan radiografis terutama dalam hal digunakan paduan makna daripada golongan kasus yang memperoleh paduan obat

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 23


HS/11H2R2 kecuali pada golongan kasus yang mempunyai basil dahak (∆KD) sampai akhir kurun waktu pengobatan; dengan
yang sensitif penuh terhadap obat-obat yang digunakan. Dengan perkataan lain, paduan obat anti-TB tidak lagi mempunyai
perkataan lain, selama pengobatan bulan pertama, kemampuan kemampuan bakterisidal sesudah akhir bulan pengobatan ke-6.
bakterisidal SM dapat disamakan dengan kemampuan bakterisi- Penemuan tersebut di atas memberi petunjuk yang berharga
dal RMP hanya dalam hal kasus-kasus basil sensitif penuh ter- bahwa penentuan hasil khemoterapi anti-TB harus dikerjakan
hadap obat-obat yang digunakan. Kegiatan bakterisidal suatu paling lambat pada akhir bulan pengobatan ke-6. Paduan obat
paduan obat anti-TB selama bulan pengobatan pertama dikenal yang tidak berhasil menjadikan konversi dahak sampai pada
juga dengan sebutan the early kill. Lebih tinggi kemampuan the akhir bulan pengobatan ke-6 harus dihentikan. Bila tidak tersedia
early kill lebih tinggi pula angka kesembuhan bakteriologis pada fasilitas pemeriksaan dahak biakan, penentuan hasil khemo
akhir bulan pengobatan pertama. terapi anti-TB dapat dikerjakan hanya melalui penentuan ke-
Angka konversi dahak ditemukan meningkat dari bulan ke berhasilan pengobatan (successful treatment) dan tidak melalui
bulan sesudah bulan pengobatan pertama, baik pada golongan penentuan kegagalan pengobatan (treatmentfailure). Untuk yang
kasus yang memperoleh paduan obat yang mengandung RMP disebut belakangan ini diperlukan adanya fasilitas pemeriksaan
maupun pada golongan kasus yang memperoleh paduan obat dahak biakan, terutama dalam hal digunakan paduan obat yang
yang mengandung SM. Namun, tambahan angka konversi dahak mengandung RMP. Pada akhir bulan ke-6 pada penggunaan
(∆kd) menurun sesudah bulan pengobatan pertama. Penemuan paduan obat HRJ5–8H dapat ditemukan “kuman mati” (dead
tersebut menunjukkan bahwa kemampuan bakterisidal suatu bacilli) pada 50% kasus dahak mikroskopis positif pada akhir
paduan obat anti-TB menurun dari bulan ke bulan sesudah bulan bulan pengobatan ke-6.
pengobatan pertama. Mulai akhir bulan pengobatan ke-2, di Angka kegagalan pengobatan pada subgolongan A–B1 dan
temukan perbedaan angka konversi dahak antara golongan kasus pada subgolongan C1 berturut-turut adalah 0% dan 12,3% (p <
yang memperoleh HR/5–8H2R2 dan golongan kasus yang mem- 0,001) (Tabel 4), pada subgolongan A–B2 dan pada subgolongan
peroleh HS/11H2S2 (Tabel 4 – Tabel 6) yang bermakna (p < C2 berturut-turut adalah 13,0% dan 34,2% (p < 0,01) (Tabel 5),
0,05) sampai sangat bermakna (p < 0,001). DaRI penemuan ter- dan pada subgolongan A–B3 dan pada subgoldngan C3 berturut-
sebut dapat diketahui bahwa kemampuan bakterisidal paduan turut adalah 5,4% dan 21,1% (p <0,001) (Tabel 6).
obat HS/11H2R2 lebih cepat menurun dan pada kemampuan Karena angka kegagalan pengobatan 0%, atau angka ke-
bakteridal paduan obat HR/5–8H2R2 sesudah bulan pengobatan sembuhan (cure rate) 100% pada akhir bulan pengobatan ke-6,
pertama. paduan obat HR/5H2R2 dapat disebut paduan obat ideal untuk
Pada sebagian besar akhir-akhir bulan pengobatan ditemu- kasus-kasus TB dengan strain yang sensitif penuh. Kegagalan
kan perbedaan angka konversi dahak yang tidak bermakna (p> pengobatan yang ditemukan pada akhir bulan pengobatan ke-6
0,05) antara kasus yang memperoleh paduan obat HR/5–8H2R2 pada golongan kasus yang memperoleh paduan obat HR/5–8H2R2
dengan strain basil yang sensitifpenuh terhadap obat-obat yang (subgolongan A–B1 subgolongan A–B3) dan pada golongan
digunakan (subgolongan A–B1) dan golongan keseluruhan kasus kasus yang memperoleh paduan obat HS/11H2S2 (subgolongan
yang memperoleh paduan obat HR/5–8H2R2 (subgolongan A–B3) C1 subgolongan C2 subgolongan C3 semuanya berupa biakan
(Tabel 7). Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa kemampu- dahak positif persisten; tidak ditemukan kejadian kekambuhan
an bakterisidal paduan obat HR/5–8H2R2 tidak banyak diten- bakteriologis selamapengobatan (bacteriological relapse during
tukan oleh kondisi kepekaan strain basil TB terhadap obat-obat treatment).
yang digunakan, asalkan resistensi strain basil terhadap INH Penilaian hasil pada akhir kurun waktu pengobatan menurut
dapat dianggap sebagai resistensi primer. Dengan demikian da- 3 golongan pengobatan, yaitu:
pat dikatakan bahwa pada penggunaan paduan obat HR/5–8H2R2 1) Golongan keseluruhan yang memperoleh paduan obat HR/
pemeriksaan uji kepekaan strain basil terhadap obat dapat di 5H2R2 (golongan A).
abaikan. 2) Golongan keseluruhan yang memperoleh paduan obat HR/
Di lain pihak, pada tiap akhir bulan pengobatan terdapat per- 8H2R2 (golongan B).
bedaan yang jelas (p <0,01) sampai sangatjelas (p <0,001) ber- 3) Golongan keseluruhan yang memperoleh paduan obat HS/
makna dalam hal angka konversi dahak antara golongan kasus 11H2S2) (golongan C).
yang memperoleh paduan obat HR/5–8H2R2 dengan strain basil Ditemukan kegagálan pengobatan pada 4 orang (4,2%)
yang sensitif penuh terhadap obat-obat yang digunakan (sub- golongan A, pada 7 orang (8,0%) golongan B dan pada 22 orang
golongan A–B1) dan golongan keseluruhamn kasus yang mem- (23,2%) golongan C; terdapat perbedaan yang jelas bermakna
peroleh paduan obat HS/11H2D2 (subgolongan C3) (Tabel 8). (p < 0,01) (Tabel 9). Tidak terdapat perbedaan bermakna (p >
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada penggunaan 0,05) dalam hal angka kegagalan pengobatan pada akhir kurun
paduan obat HS/11H2S2 pemeriksaan uji kepekaan strain basil waktu pengobatan golongan A dan golongan B.Kegagalan peng-
terhadap obat mutlak diperlukan. obatan pada akhir kurun waktu pengobatan yang ditemukan pada
Penilaian keseluruhan penggunaan paduan obat jangka 4 orang pada golongan A, semuanya berupa biakan dahak positif
pendek 9 bulan (HR/8H2R2) dan paduan obatjangka panjang 12 persisten, pada 7 orang pada golongan B, seorang berupa ke-
bulan (HS/11H2S2) (Tabel 9) menunjukkan bahwa sesudah akhir kambuhan bakteriologis selama pengobatan dan 6 orang berupa
bulan pengobatan ke-6, tidak ditemukan tambahan konversi biakan dahak positif persisten; dan yang ditemukan pada 22

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


orang padagolongan C, 2 orang berupa kekambuhan bakteriolo- basil TB terhadap obat-obat yang digunakan, tidak menentukan
gis selama pengobatan dan 20 orang berupa biakan dahak positif angka kejadian kekambuhan bakteriologis sesudah penghentian
persisten. pengobatan yang berhasil, asal resistensi terhadap obat-obat
Perpanjangan waktu pengobatan menjadi 9 bulan pada go- yang digunakan dapat dianggap sebagai resistensi primer.
longan pengobatan B dan menjadi 12 bulan pada golongan peng- The Singapore Tuberculosis Service/British Medical Re-
obatan C tak berhasil menstabilkan kesembuhan bakteriologis search Council (1981) melaporkan kejadian kekambuhan bak-
yang diperoleh pada akhir bulan pengobatan ke-6 pada seorang teriologis selama kurun waktu tindak lanjut pada 11% dari 79
pada golongan B dan pada 2 orang pada golongan C. Kejadian ini kasus TB dengan strain basil sensitif penuh terhadap obat-obat
mungkin karena paduan obat anti-TB tidak lagi mempunyai yang digunakan dan memperoleh paduan obat jangka pendek 4
kemampuan kegiatan bakterisidal sesudah akhir bulan pengobatan bulan yang terdiri dari INH, SM, PZA (pyrazinamide) dan RMP
ke-6 (Tabel 9). Kemungkinan besar terdapat mekanisme yang (2HSRZ/2HRZ), sedangkan pada penggunaan paduan obat yang
lain dan kegiatan bakterisidal paduan obat anti-TB yang men- sama selama 6 bulan (2HSRZ/4HSR) ditemukan kejadian kekam-
stabilkan perolehan kesembuhan bakteriologis sesudah akhir buhan bakteriologis selama kurun waktu tindak lanjut pada 0%
bulan pengobatan ke-6. dan 78 kasus TB dengan keadaan kepekaan basil yang sama
Penilaian pada akhir kurun waktu tindak lanjut delapanbelas terhadap obat-obat pada permulaan pengobatan. Semua kasus
bulan menurut 3 golongan pengobatan, yaitu: kekambuhan bakteriologis terjadi dalam kurun waktu 12 bulan
1) Golongan keseluruhan yang memperoleh paduan obat HR/ sesudah penghentian pengobatan yang berhasil(9).
5H2R2 (golongan A). Selama kurun waktu tindak lanjut 24 bulan, oleh The Hong
2) Golongan keseluruhan yang memperoleh paduan obat HR/ Kong Chest Service/British Medical Research Council (1979)
8H2R2 (golongan B). dilaporkan kejadian kekambuhan bakteriologis sesudah peng-
3) Golongan keseluruhan yang memperoleh paduan obat HS/ hentian pengobatan yang berhasil pada 7% dan 87 kasus TB
11H2S2 (golongan C). yang memperoleh paduan obat jangka pendek 6 bulan (2HSRZ/
Penilaian pada akhir kurun waktu tindak lanjut 18 bulan 4H2S2Z2). Golongan kasus ini mempunyai strain basil yang
menunjukkan bahwa telah ditemukan kejadian kekambuhan sensitifpenuh terhadap obat-obat yang digunakan. Pada 3% dari
bakteriologis (bacteriological relapse during 18-month follow- 87 kasus yang sama dan memperoleh paduan obat yang sama
up) pada 4 orang (4,4%) golongan A. Tidak ditemukan kejadian tetapi selama 8 bulan (2HSRZ/6H2S2Z2) terjadi kekambuhan
kekambuhan bakteriologis selama kurun waktu tindak lanjut 18 bakteriologis sesudah penghentian pengobatan yang berhasil, 4
bulan pada golongan B dan pada golongan C. Terdapat per- dari 9 orang dengan kekambuhan bakteriologis yang dimaksud
bedaan angka kejadian kekambuhan bakteriologis selama kurun ditemukan dalam kurun waktu 12 bulan sesudah penghentian
waktu tindak lanjut 18 bulan antara golongan A, golongan B dan pengobatan yang berhasil(10).
golongan C yang bermakna (p <0,05) (Tabel 10). Oleh The East and Central African/British Medical Research
Penemuan tersebut di atas menunjukkan bahwa perpan- Council (1983) dilaporkan kejadian kekambuhan bakteriologis
jangan kurun waktu pengobatan sesudah akhir bulan pengobat- selama kurun waktu tindak lanjut 12 bulan pada 9% dari 158
an ke-6 bermanfaat untuk mencegah terjadinya kekambuhan kasus TB yang memperoleh paduan obat jangka pendek 6 bulan
bakteriologis selama kurun waktu tindak lanjut. (2HSRZ/4H). Paduan obat sama yang diberikan untuk golongan
Empat orang kasus TB dan golongan A yang mengalami kasus TB yang sama tetapi selama 8 bulan (2HSRZ/6H) men-
kekambuhan bakteriologis selama kurun waktu tindak lanjut 18 jadikan kekambuhan bakteriologis sesudah penghentian peng-
bulan, ditemukan dalam kurun waktu 12 bulan sesudah dihenti- obatan yang berhasil pada 3% dan 119 orang(11).
kan pengobatan yang berhasil. Tiga orang kasus mempunyai Pada penelitian yang dilaporkan in paduan obat jangka
strain basil TB yang sensitif penuh terhadap obat pada saat pendek yang terdini dari INH dan RMP diberikan untuk kasus
dimulai pengobatan, dari seorang kasus mempunyai strain basil kasus TB keseluruhan (tidak dikerjakan uji kepekaan terhadap
TB yang resisten terhadap obat INH melulu pada permulaan obat) mewujudkan angka kesembuhan bakteriologis sebesar
pengobatan. Penilaian lebih lanjut pada golongan A mengenai 90,8% pada akhir bulan pengobatan ke-4. Dari segi pengobatan
kejadian kekambuhan bakteriologis sesudah penghentian peng- di lapangan (field treatment), paduan obat dimaksud dapat di
obatan yang berhasil menunjukkan bahwa dari 60 kasus strain sebut adekuat walaupun diberikan hanya selama 4 bulan. Usaha
basil yang sensitifpenuh terhadap INH dan RMPpada permulaan untuk mernpertinggi angka kesembuhan bakteriologis dan mem-
pengobatan ditemukan 3 orang (5,0%) yang mengalami kekam- perkécil angka kekambuhan bakteriologis sesudah penghentian
buhan bakteriologis sesudah penghentian pengobatan yang ber- pengobatan yang berhasil, dikerjakan melalui perpanjangan
hasil. Dari 31 kasus strain basil yang resisten terhadap INH dan/ kurun waktu pengobatan menjadi 6 bulan. Perpanjangan kurun
atau RMPpada permulaan pengobatan ditemukan 1 orang (3,2%) waktu pengobatan lebih lanjut r sembilan bulan dapat lebih
yang mengalami kekambuhan bakteriologis sesudah penghenti- memperkecil angka kekambuhan bakteriologis tanpa menambah
an pengobatan yang berhasil. angka kesembuhan bakteriologis. Dengan perkataan lain, per-
Tidak terdapat perbedaan bermakna (p > 0,05) mengenai panjangan pemberian paduan obat sesudah kurun waktu peng-
angka kejadian kekambuhan bakteriologis selama kurun waktu obatan 6 bulan dimaksud untuk menstabilkan kesembuhan bakte-
tindak lanjut antara kedua subgolongan pengobatan tersebut di niologis yang diperoleh pada akhir bulan pengobatan ke-6.
atas, sehingga dapat dikatakan bahwa keadaan kepekaan strain Berhubung obat-obat anti-TB tidak lagi mempunyai potensi

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 25


bakterisidal sesudah kurun waktu pemberian lebih dari 6 bulan, answers. WHO, Geneve, 1979.
2. Handojo RA. Permasalahan “kuman mati” pada pengelolaan terhadap
mekanisme pencegahan kekambuhan bakteriologis tidak lain kasus tuberkulose paru. Kumpulan Naskah Kongres Nasional ke 111
adalah berdasarkan usaha mempertinggi imunitas protektif yang Ikatan Dokter Paru Indonesia, Medan, 1983, hal 162–70.
diperoleh pada akhir bulan pengobatan ke-6, yang sebagian besar 3. Sri Prihatini B. Short chemotherapy in the health centres of East Java.
diperankan oleh rnakrofag. Symposium on Infectious Diseases, Surabaya, 1979.
4. WHO Regional Office. The TB Pilot Project in Yogyakarta. 1962. Reports
Populasi basil TB yang berada di dalam sel makrofag dan on WHO Projects, 1968.
dikenal sebagai the persisters sewaktu-waktu dapat keluar dan 5. East Africa/British Medical Research Council. Retreatment investigation.
mempunyai kemampuan membangkitkan cedera imunologis pada Streptomycin plus PAS plus pyrazinamide in the retreatment of pulmonary
jaringan tubuh host yang selanjutnya berkembang menjadi ke- tuberculosis in East Africa (second report). Tubercle 1973; 54: 283.
6. Handojo RA. Short Course Chemotherapy in Indonesia. Proc I the Eastern
kambuhan bakteriologis. Dalam hal ini, makrofag yang dikenal Regional Tuberculosis Conference of the International Union of Tubercu-
sebagai imuno-fagosit akan mengembangkan kegiatan bakterisi- losis in Jakarta, 1983. p 133–47.
dal yang diperlukan untuk mencegah terjadinya cedera imunolo- 7. Handojo RA, Liunanda S. The determination of a bacteriological relapse
gis termasuk mencegah terjadinya kekambuhan bakteriologis. after anti-tuberculous treatment. Proc 7th Asia Pacific Congress on Diseases
of the Chest, Hong Kong, 1983. Ed: Nandi PL, Lam WK. p 202–4.
Penambahan ethambutol atau SM sebagai obat pelengkap 8. Mulia J. Penentuan keberhasilan kemoterapi pada TB paru. Perbandingan
pada paduan obat ganda HR menjadi paduan obat HRE atau antara nilai pemeriksaan dahak dan pemeriksaan radiografis. Naskah leng
paduan obat HRS akan meningkatkan potensi kegiatan bakte- kap KONAS ke II Ikatan Dokter Paru Indonesia, Surabaya, 1980.
risidal dan mempertinggi potensi imunitas protektif. 9. Singapore Tuberculosis Service/British Medical Research Council. Cli-
nical trial of 6-month and 4-month regimens of chemotherapy in the
treatment of pulmonary tuberculosis. The results up to 30 months.
UCAPAN TERIMA KASIH
Tubercie 1981; 62: 95–102.
Terima kasih disampaikan kepada PT. Ciba-Geigy Pharma di Jakarta
10. Hong Kong Chest Service/British Medical Research Council. Controlled
atas bantuannya sehingga penelitian ini dapar diselesaikan dengan baik.
trial of 6-month and S-month regimens in the treatment of pulmonary
tuberculosis. The results up to 24 months. Tubercle 1979; 60: 201–10.
11. East and Central Africa/British Medical Research Council. Controlled
KEPUSTAKAAN clinical trial of 4 short course regimens of chemotherapy (three six-month
and one eight-month) for pulmonary tuberculosis. Fifth Collaborative
1. Toman K. Tuberculosis case-finding and chemotherapy. Questions and Study (first report). Tubercle 1983; 64: 153–66.

Sambungan dari halaman 4)

from tuberculous anterior uveitis with systemic triple drugs for tu- Tuberculous anterior uveitiswas
has been reported. The sign was berculosis, corticosteroid and diagnosed based on the specific
muffon fat keratic precipitate in midriaticum. Anterior segment clinical features of the eye, the
his left eye. Radiologic examina- improved to normal in 7 months signs of pulmonary tuberculosis,
tion revealed bilateral pulmonary and the symptomsdisappeared and clinical response to tuber-
tuberculosis.He has been treated in 11 months. culosis treatment.
Cermln Dunia Kedokt. 1997: 115: 33-7
S. RI

Even a horse, though he has four feet, will stumble

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


HASIL PENELITIAN

Perbandingan Hasil Uji Coba


ELISA Makro
pada Penderita Tuberkulosis Paru
Biakan Positif dan Negatif
Anik Widijanti
Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr Sa Anwar/Fakultas Kedokteran Universitas Brawidjaja, Malang

ABSTRAK
Penelitian dilakukan pada 61 sera penderita tuberkulosis paru, 35 sera dengan biakan
dahak positif dan 26 dengan biakan dahak negatif. Pada sera ditentukan kadar IgG
spesfiknya terhadap M. tuberculosis dengan cara Elisa makro.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar IgG spesifik pada penderita dengan
biakan positif secara bermakna lebih kecil dari kadar IgG spesifik penderita dengan
biakan negatif (p < 0,05).

PENDAHULUAN pada 2–3 bulan sesudah pengobatan dihentikan, serta akan


Penyakit tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah ke- meningkat lagi jika terjadi kekambuhan(1).
sehatan masyarakat di Indonesia(1). Berdasarkan program pem- Kadar IgG spesifik terhadap M. tuberculosis pada penderita
berantasan penyakit TB di Indonesia maka pengobatan ditentu- dapatjuga dapat ditentukan dengan cara Elisa makro. Sensitivi-
kan dengan adanya kuman di dalam dahak(2). Hal tersebut ber- tas, detektabilitas dan presisi Elisa makro lebih baik dibanding-
dasar padapertithbangan bahwapemeriksaan dahak mikroskopis kan dengan Elisa mikro, tetapi Elisa makro harganya relatif
yang positif lebih mempunyai arti epidemiologi dibandingkan mahal dan lebih cocok untuk jumlah sampel yang kecil(5).
dengan biakan yang positif. Untuk mendapatkan hasil positif Dalam penelitian ini akan diperiksa apakah ada perbedaan
pada pemeriksaan mikroskopik dibutuhkan 5000–10000 kuman hasil Elisa makro antara biakan positif dan biakan negatif.
per ml dahak, sedangkan untuk biakan yang positif hanya dibu-
tuhkan 25–50 kuman per ml dahak(3). Pemeriksaan mikroskopik MATERIAL DAN METODE
yang positif belum tentu menunjukkan kuman hidup, tetapi biak- Sampel diambil dari 61 penderita TB Paru dengan kriteria:
an yang positif selalu disebabkan adanya kuman hidup, hanya 1) BTA dahak (mikroskopik) yang positif (Ziehi Nielsen)
sayangnyapemeriksaan biakan selain membutuhkan waktu lama 2) Kelainan radiologis yang relevan untuk TB Paru
(1–2 bulan) juga relatif lebih mahal(4). Adanya kuman dalam 3) Belum pernah mendapat pengobatan anti TB (wawancara
dahak, dapat memberikan hasil biakan negatif bila kumannya cermat)
mati. Dengan kenyataan tersebut maka seharusnya penderita 4) Keadaan umum baik, serta tidak minum obat yang dapat
dengan kuman mati akan mempunyai kadar IgG yang berbeda menekan imunitas humoral.
dan penderita yang biakannya positif (kuman hidup). Kadar IgG Cara pelaksanaan:
spesifik terhadap M. tuberculosis sering meningkat sesudah pen- 1) Dilakukan pemeriksaan biakan dahak.
derita TB mendapatkan pengobatan dan akan normal kembali 2) Pemeriksaan kadar IgG dengan cara Elisa makro dilakukan

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 27


seperti pada Elisa mikro cara Kardjito dkk, hanya digunakan Cut off 28,77% lebihiecil mean + 2 SD : 0,409
tabung polistiren dan volumenya 3 kali lebih besar(5,6). Cut off dengan mean + 3 SD : 0,7 11
Ke dalam tabung polistiren dimasukkan 0,6 ml antigen
3) Tabel 1. Hasil Elisa makro pada penderita TB Paru baru
sitoplasmik dan Mycobacterium tuberculosis var bovis BCG
(Ultrasonicated) pengenceran 1: 100 dan diinkubasikan dalam Biakan positif Biakan negatif
kotak lembab pada 4°C selama semalam. Kemudian tabung Jumlah kasus 35 26
polistiren dicuci dengan larutan dapar fosfat salin tween (PBS Mean War IgG spesifik 1,094 1,385
tween) sebanyak 3 kali. Sesudah itu ditambahkan 0,6 ml serum SD 0,560 0,463
(pengenceran 1: 500) dan diinkubasikan selama 2jam pada Rentang 0,160-1,800 0,180-1,810
suhu kamar, kemudaian dicuci seperti di atas. Sensitifitas 80% 92,30%
Berikutnya ditambahkan 0,6 ml konyugat (antihuman IgG Perbedaan bermakna p < 0,05
berlabel ensim peroksidase) dengan pengenceran 1 : 1000, di-
inkubasi semalam pada 4°C. Sesudah inkubasi sisanya dibuang
dan tabung dicuci seperti di atas. 4) Tabel 2. Hasil sensitifitas Elisa Makro dengan berbagal batas alas
nilai rujukan
Selanjutnya dimasukkan 0,6 ml substrat (H2O2 0,03% dan
ABTS), inkubasi 30 menit. Tambahkan 0,150 ml NaF 1 N Cut off Dahak positif Biakan positif Biakan negatif
sebagai larutan penghenti reaksi. Pembacaan dilakukan pada value N=61 N=35 N=36
0,409 86,88% 82,85% 92,30%
spektrofotometer dengan panjang gelombang 420 nm(5,6).
0,574 * 85,24 % * 80,00 % * 92,30 % *
Dalam tiap seri pemeriksaan dipakai serum kontrol yang 0,739 80,32% 71,42% 92,30%
sama, yang juga berguna untuk menghitung CV antar seri (between 0,711 80,32% 71,42% 92,30%
run) dan dalam 1 seri (intra run).
3) Penentuan batas atas nilai rujukan (cut off) pemeriksaan Keterangan:
dilakukan dengan memeriksa 34 perawat sehat, dan dipakai * Batas atas nilai rujukan dengan rumus mean + 2 SD (lama). Tidak
terdapat perbedaan yang bermakna antara sensitifitas dengan batas
rumus: atas nilai rujukan baru dan lama (p > 0,05).
Cut off = mean + 2 SD
Cut off dipakai untuk membedakan hasil positif dan negatif
PEMBAHASAN
dan Elisa makro. Nilai absorbance di atas cut off menunjukkan
Penderita tuberkulosis (TB) yang mendapat pengobatan,
hasil positif, sedangkan nilai absorbance di bawah nilai cut off
kadar IgG spesifiknya akan meningkat dan mencapai puncaknya
menunjukkan hasil negatif.
pada 3 bulan pengobatan, kemudian akan menurun lagi secara
4) Perhitungan CV (koefisien variasi) dan Elisa makro dengan
perlahan dan mencapai kadar orang normal pada 3 bulan sesudah
SD pengobatan dihentikan, serta akan meningkat lagi jika terjadi
Rumus : = –––––
Mean kekambuhan (relaps)(1). Pengobatan yang diberikan kepada
penderita juga dapat menyebabkan perubahan pengeluaran
Pengaruh CV terhadap sensitifitas tes diperbandingkan pada kuman hidup dalam dahak menjadi kuman yang mati (dahak
kedua kelompok biakan. mikroskopik positif tetapi biakan negatif). Hal tersebut dapat
5) Untuk membandingkan kadar IgG spesifik antara 2 kelom- dilihat dari data kami: dari 61 penderita dengan dahak mikro-
pok biakan positif dan negatif dipakai uji statistik Student t(7). skopikpositif hanya 35 yang menunjukkan biakan positif. Keada-
6) Penentuan sensitifitas pemeriksaan dengan rumus: an tersebut dapat terjadi karena pemilihan kasus TB paru hanya
jumlah penderita dengan Elisa makro positit berdasar pada wawancara, sehingga sering terjadi kesalahan
––––––––––––––––––––––––––––––––––––
jumlah penderita Tb dalam penelitian
apakah benar-benar kasus baru (yang belum pernah mendapat
pengobatan) atau kasus yang sudah pernah diobati.
7) Perbedaan sensitifitas (nilai diagnostik) uji Elisa makro dari Dari kenyataan di atas maka kadar IgG spesifik pada pen-
kedua kelompok biakan positif dan negatif dihitung dengan uji derita yang menunjukkan biakan positif (masih mengeluarkan
statistik McNemar(8). kuman hidup dalam dahaknya) lebih rendah dibandingkan
dengan penderita yang mengeluarkan kuman mati (biakan ne-
HASIL gatif), karena mungkin sudah mendapatkan pengobatan. Hasil
1) Pemeriksaan Elisa makio pada 34 perawat sehat. penentuan kadar IgG spesifik dengan Elisa makro menunjukkan
Cut Off pemeriksaan = 0,574 absorbance unit seperti yang diperkirakan, yaitu kadar IgG spesifik pada kelom-
Mean (nilai rata-rata) = 0,300 pok dengan biakan positif lebih rendah dari kelompok dengan
SD (simpangan baku) = 0,137 biakan negatif (p <0,05). TB dengan dahak mengandung kuman
CV (koefisien variasi) between run = 28,77% hidup (biakan positif) mempunya kadar IgG spesifik lebih
within run = 16,11% rendah karena penderita tersebut mempunyai antigen yang ber-
2) Untuk mengetahui pengaruh besarnya CV terhadap sensiti- lebihan. Antigen yang berlebihan dapat menekan respon imun-
fitas (nilai diagnostik) pada Elisa makro, maka dilakukan per- humoral dan menyebabkan rendahnya kadar IgG spesifik(9). Di
hitungan berbagai cut off: samping itu antigen berlebihan juga akan mengikat antibodi
Cut off 28,77% lebih besar mean + 2 SD : 0,739 dalam sirkulasi, kemudian membentuk kompleks imun dengan

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


akibat turunnya kadar IgG spesifik dalam darah(10). KEPUSTAKAAN
Perubahan batas atas nilai rujukan (cut off) dengan memper-
1. Handojo I. Uji Peroksidase-Antiperoksidase (PAP pada Penyakit Tu-
hitungkan CV, ternyata tidak mempengaruhi sensitifitas (nilai berkulosis Paru (Disertation) Surabaya, Indonesia: Universitas Airlangga
diagnostik) dan uji Elisa makro (p > 0,05). Hal ini sangat Surabaya, 1988. 213 p.
menguntungkan karena besarnya CV ternyata tidak berpengaruh 2. Ditjen P3M Depkes RI. Rencana Induk Pemberantasan Penyakit Tu
pada nilai diagnostik uji Elisa makro, sedangkan kegunaan uji berkulosis Paru di Indonesia. Surabaya; Konggres PPTI ke III, September
1984.47–69.
Elisa makro untuk evaluasi tindak lanjut masih memerlukan 3. Handojo RA. Review Hasil-hasil Penelitian mengenai Tuberkulosis Paru.
penelitian lebih lanjut. Laporan kepada Kepala Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan,
Depkes RI. Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4) Malang 1978.
KESIMPULAN 4. Koneman EW dkk. Color Atlas and Textbook of Diagnostic Micro
biology. 3rd ed. JB Lippincott Co USA 1988 535°572.
Penentuan kadar IgG spesifik pada Elisa makro menunjuk- 5. Anik W, Handoyo I. Nilai Diagnostik Uji Elisa Makro pada Penyakit
kan: Tuberkulosis Paru (Kaiya akhir di bagian Patologi Klinik FK) Surabaya,
1) Kadar IgG spesifik pada kelompok dengan biakan positif Indonesia: Universitas Airlangga Surabaya, 1990.
lebih rendah dibanding kadar IgG spesifik pada kelompok de- 6. Handoyo I, Anik W. Nilai Klinis Uji Elisa Makro pada Penyakit Tu-
berkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokt 1993; 88: 45–48.
ngan biakan negatif (p <0,05). 7. Sutrisno Hadi. Statistik Jilid 2. 9th ed. Yayasan Penerbitan Fakultas
2) Perubahan batas atas nilai rujukan dengan memperhitung- Psikologi UGM Jogyakarta 1987 256–284.
kan CV dan pemakaian rumus cut off = mean + 3 SD ternyata 8. Sidney Siegel. Statistik Non Parametrik untuk ilmu-ilmu sosial. 2nd ed.
tidak mempengaruhi sensitifitas (nilai diagnostik) dan uji Elisa Gramedia Jakarta Indonesia 1986 : 77–81.
9. Chaparas SD. Immunity in Tuberculosis. Bull WHO 1982; 60(4): 447–
makro (p > 0,05). 462.
10. Bhattacharya A, Ranadive SN, Kale M, Bhattacharya S. Antibody-Based
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Determination of Immune
Complexes in Clinical Tuberculosis. Am Rev Respir Dis; 134: 205–209.

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 29


LAPORAN KASUS

Tuberkulosis Milier
dengan
Tuberkuloma Intrakranial
Laporan Kasus
Djoko Mulyono, Djoko Iman Santoso
PPDS I Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Rumah Sakit Umum Daerah Dr Sutomo, Surabaya

PENDAHULUAN 1) Keradangan cairan serebrospinal. meningen yang berlanjut


Salah satu masalah kesehatan, khususnya penyakit menular menjadi araknoiditis, hidrosefalus dan gangguan saraf pusat
yang merupakan penyakit "rakyat" dengan keadaan sosio- 2) Vaskulitis dengan berbagai kelainan serebral, antara lain
ekonomi yang kurang, terutama di negara yang sedang ber- infark dan edema vasogenik.
kembang antara lain adalah tuberkulosis (TB); bahkan di negara 3) Ensefalopati atau mielopati akibat proses alergi.
majupun dengan munculnya AIDS maka tuberkulosis akibat Gambaran klinis penderita dibagi menjadi 3 fase. Pada fase
mikobakterium atipikal mulai diperhatikan(1). permulaan gejalanya tidak khas, berupa malaise, apati, anoreksia,
Salah satu manifestasi infeksi tuberkulosis ekstrapulmonal demam, nyeri kepala. Setelah minggu ke dua, fase meningitis
yang berbahaya adalah TB pada sistim saraf, dalam hal ini dengan nyeri kepala, mual, muntah dan mengantuk (drowsiness).
adalah tuberkuloma intrakranial. Kelumpuhan saraf knanial dan hidrosefalus terjadi karena eksudat
yang mengalami organisasi, dan vaskulitis yang menyebabkan
TINJAUAN KEPUSTAKAAN hemiparesis atau kejang-kejang yang juga dapat disebabkan oleh
Cara penularan TB yang paling banyak ialah melalui saluran proses tuberkuloma intrakranial. Pada fase ke tiga ditandai
napas, meskipun cara lain masih mungkin. Kuman TB yang dengan mengantuk yang progresif sampai koma dan kerusakan
masuk alveol akan ditangkap dan dicerna oleh makrofag. Bila fokal yang makin berat(1).
kuman virulen, ia akan berbiak dalam makrofag dan merusak Tuberkel bisa tumbuh, mendesak atau menginfiltrasi ja-
makrofag; makrofag yang rusak mengeluarkan bahan kemo- ringan sekitarnya dan menimbulkan gejala yang tergantung pada
taksik yang menarik monosit (makrofag) dari peredaran darah lokasi, kecepatan tumbuh serta reaksi radang di sekitarnya. Lesi
dan membentuk tuberkel kecil. Aktivasi makrofag yang berasal ini bila bersifat lokal, membesar disebut sebagai tuberkuloma
dari darah dan membentuk tuberkel ini dirangsang oleh limfokin atau tersebar, infiltrasi sebagai granulomata. Tuberkuloma intra
yang dihasilkan dari sel T lirnfosit(2). kranial bisa tidak memberi gejala klinis(1).
Kuman yang berada di alveol membentuk fokus Ghon, Pada CT Scan sesudah pemberian kontras, tuberkuloma
melalui saluran getah bening kuman akan mencapai kelenjar memberi gambaran sebagai(4) :
getah bening di hilus dan membentuk fokus lain (limfadenopati). 1) Lesi berbentuk cincin dengan area hipodens/isodens di
Fokus Ghon bersama dengan limfadenopati hilus disebut primer tengah dan dinding yang menyerap kontras.
kompleks dan Ranke. Selanjutnya kuman menyebar melalui 2) Lesi berbentuk nodul/plaque yang menyerap kontras.
saluran limfe dan pembuluh darah dan tersangkut di berbagai Tanpa kontras, lesi pada umumnya hipodens/isodens, pada
organ tubuh; jadi TB primer merupakan suatu infeksi sistemik(3). beberapa kasus didapatkan kalsifikasi. Gambaran tuberkuloma
Pada saat terjadinya bakteremia yang berasal dari fokus pada CT Scan sukar dibedakan dengan tumor, abses atau granu-
infeksi. TB primer, terbentuk beberapa tuberkel kecil pada loma kronik kronik(1).
meningen atau medula spinalis. Tuberkel dapat pecah dan me- Diagnosis pasti tuberkuloma ditegakkan dengan operasi. Be-
masuki cairan otak dalam ruang subarachnoid dan sistim berapa penulis berpendapat bahwa tuberkuloma dapat dipastikan
ventrikel, menimbulkan meningitis dengan proses patologi bila pada serial CT Scan atau serial Magnetic Resonance Imag-
berupa(1,4) : ing (MRI) lesi menghilang sesudah mendapat terapi obat anti

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


tuberkulosis (OAT)(5-9). neurologi. Pemberian nutnisi dan obat-ohatan personde. Obat
Pengobatan TB menurut WHO (1993), disesuaikan dengan yang diberikan tiap hari adalah : INH 1 x 400 mg, Rifampisin 1
kategori penyakitnya. Untuk penderita baru TB paru dengan x 450 mg, Pirazinamid 1500mg, Streptomisin inj. 1 gram i.m
sputum BTA(÷), TB ekstrapulmonal yang berat seperti meningi- dan prednison 30 mg/hari. Dari neurologi diberikan Dilantin,
tis TB, disseminated tuberculosis, atau TB paru yang luas dengan Asetosal dan Antasida.
sputum BTA (–) dimasukkan ke dalam kategori I, dianjurkan Hari ke 46 terdapat kejang-kejang dan double hemiparesis.
pemberian INH (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Strep- X-foto toraks ulangan : bercak granuler milier menipis dan
tomisin (S) atau Etambutol (E). berkurang (membaik).
Fase awal : 2HRZ S(E). Obat HRZ S(E) diberikan tiap hari Hari ke 53 penderita kejang-kejang dan meninggal.
selama 2 bulan (8 minggu). Bila fase ini telah selesai dan hapusan
sputum negatif, diteruskan dengan fase lanjutan, tetapi bila Kasus 2
hapusan sputum positif, terapi ditambah 2-4 minggu, diteruskan Seorang laki-laki, 20 tahun dibawa ke UGD Medik dengan
dengan fase lanjutan. keluhan batuk yang tak mau sembuh dan sesak napas. Dari allo
Pada fase lanjutan diberikan : 4HR atau 4H3R3. Obat HR anamnesis didapat keterangan Batuk-batuk diderita selama 2
diberikan tiap hari atau 3 kali seminggu selama 4 bulan. Untuk bulan sebelum masuk RS dengan dahak berwarna putih kental.
penderita meningitis TB, TB milier atau dengan kelaian Demam ringan 2 minggu disertai dengan sesak napas, tidak
neurologis HR harus diberikan setiap hari selama 6-7 bulan mengi. Nyeri kepala dirasakan 2 minggu disentai muntah tanpa
(total 8-9 bulan)(10). kejang. Penderita belum pernah berobat. Riwayat kontak TB
Tuberkuloma yang kecil (<2 cm) dapat sembuh dengan serumah disangkal. Riwayat penyakit sebelumnya disangkal.
terapi medisinal dalam 10 minggu, lesi yang lebih besar me- Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum lemah, soporous,
merlukan eksisi. Dengan CT Scan dapat terdeteksi lesi kecil (2- gizi kunang, hemodinamik baik, tampak sesak dengan respirasi
3 mm) dan dapat diterapi medisinal sehingga mengurangi 32 x/menit, berat badan 42 kg. Didapatkan kaku kuduk, suara
morbiditas dan mortalitas akibat operasi(7). napas vesikuler dengan ronki basah halus pada kedua lapangan
paru.
LAPORAN KASUS Laboratorium dalam batas normal. Test mantoux negatif.
Kami laporkan dua kasus tuberkulosis paru milier dengan X-foto toraks, bercak granuler miller pada kedua lapangan
tuberkuloma intrakranial yang dirawat di Ruangan Paru Laki paru. CT Scan kepala dengan kontras menunjukkan tuberkuloma
UPF Paru RSUD Dr Soetomo selama bulan Pebruari dan April pada nukleus kaudatus kanan dan thalamus kiri dengan hidro-
1992. sefalus.
Penderita dirawat bersama dengan bagian neurologi. Men-
Kasus 1 dapat diet personde, obat INH I x 400 mg, Rifampisin 1 x 450
Seorang laki-laki 18 tahun diantar ke UGD Medik dengan mg, Pirazinamid 1500 mg, diberikan melalui sonde. Streptomisin
keluhan utama sesak napas. Dari allo anamnesis didapat inj. 1 gram i.m dan deksametason ini.
keterangan: sesak napas dirasakan sejak 3 hari sebelum ke RS, Penderita dirawat selama 18 hari dan meninggal.
sesak terus menerus tidak mengi. Demam ningan lebih dari 2
minggu. Batuk-batuk dengan dahak berwarna putih sukar di- DISKUSI
keluaskan dirasakan 3 bulan. Dua hari sebelum masuk RS Tuberkulosis milier terjadi karena penyebaran masif kuman
lengan kanan dan tungkai kanan Iemah dan sukar digerakkan. tuberkulosis yang berupa emboli ke dalam alinan darah, dengan
Sehari sebelum masuk RS penderita sukar berbicara. demikian organ-organ yang mempunyai suplai darah yang
Selama sakit belum pernah berobat. Keluarga penderita banyak dan capillary bed yang luas lebih banyak terserang, baik
serumah ada yang menderita penyakit paru. Riwayat penyakit kualitatif maupun kuantitatif(11).
sebelumnya disangkal. Kuman TB yang masuk ke dalam aliran darah biasanya
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, berasal dari suatu fokus pengejuan, sering dari kelenjar limfe
gelisah, tidak dapat berbicara (afasia motonik), gizi kurang, atau proses di paru sendini(12).
hemodinamik baik, respirasi 28 x/menit, berat badan 40 kg. Pe- Tuberkulosis milier yang terjadi pada orang dewasa dapat
meriksaan toraks, suara napas vesikuler dengan ronki basah halus merupakan komplikasi infeksi primer atau TB primer, hal ini
pada kedua lapangan paru. Didapatkan hemiparesis lengan kanan terutama terjadi di negara maju di mana kemungkinan terinfeksi
dan tungkai kanan. kuman TB pada masa kanak-kanak sangat kecil, dengan de-
Pemeriksaan laboratonium LED 103/110, darah lengkap, mikian orang tersebut tidak mempunyai daya tahan tubuh pada
kimia darah maupun analisa gas darah rnasih dalam batas nor- masa dewasa; meskipun dernikian TB milien pada orang dewasa
mal. Test mantoux negatif. dapat pula berasal dari TB kronis atau TB post primer. Meskipun
X-foto toraks : bercak granuler milier pada kedua lapangan orang itu mempunyai daya tahan tubuh, tetapi bersifat fluktuatif
paru. CT Scan kepala dengan kontras menunjukkan infark dan proses TB knonis tidak menjamin daya tahan tubuh tetap
serebri di basal ganglia kanan dan kiri, dan tuberkuloma pada stabil sehingga dapat juga terjadi reaktivasi dan proses kronis
nukleus kaudatus kanan dan kiri. tersebut(12).
Pengelolaan penderita : dirawat bersama dengan bagian Gambaran klinis dan TB milien tidak khas, timbulnya

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 31


keluhan dan lamanya sakit sebelum dirawat tidak jelas, bervariasi efektif untuk mengurangi sesak napas yang kadang-kadang
antara 3-5 minggu. Gejala yang dijumpai biasanya berhubungan dijumpai padaTB milier, serta untuk mengontrol edema otak(5,13).
dengan gejala tuberkulosis pada umumnya yaitu berupa : ke-
lelahan, Iemah, anoreksia, berat badan yang menurun, batuk RINGKASAN
batuk, panas badan, keringat malam dan kadang-kadang sesak Telah dikemukakan 2 buah kasus yakni seorang laki-laki
napas(11). Panas dan berat badan yang menurun sering dijumpai(13). 18 tahun, dengan keluhan sesak, ronki basah halus pada kedua
Pada kedua penderita ini, gejala awal tidak khas, yakni paru, x-foto toraks didapatkan nodul miller, pada CT Scan dengan
berupa batuk-batuk, demam dan sesak napas. kontras didapatkan tuberkuloma pada nukleus kaudatus kanan
Pada pemeriksaan fisikjuga tidak dijumpai tanda yang khas. dan kiri dari infark serebri pada basal ganglia.
Tanda-tanda yang sering dijumpai adalah panas, kurang gizi, Penderita kedua, laki-laki 20 tahun, dengan sesak napas dan
takikardi, takipneu. Pada pemeriksaan paru mungkin dijumpai batuk lama, ronki basah halus pada kedua paru, x-foto toraks
ronki basah pada kedua lapangan paru. Pemeriksaan mata dengan didapatkan nodul milier, pada CT Scan dengan kontras dida-
funduskopi, memberi tanda yang khas berupa tuberkel koroid patkan tuberkuloma pada nukleus kaudatus kanan dan thalamus
pada 60-75% dan TB milier, tetapi tidak ditemukannya tuberkel kiri serta hidrosefalus.
koroid tidak menyingkirkan akan kecurigaan TB mi1ier(13). Diagnosis tuberkuloma intraklanial sulit diambil bila
Pada pemeriksaan fisik kedua penderita, didapatkan kurang hanya berdasarkan gejala klinis dari pemeriksaan CT Scan saja,
gizi, ronki basah halus pada kedua lapangan paru. Salah satu terutama bila tidak didapatkan tanda-tanda meningitis atau
penderita mengalami hemiparesis pada ekstremitas kanan, ke- tuberkulosis di organ lain.
mungkinan akibat suatu proses dan tuberkuloma yang mengada- Pengobatan dengan HRZS tiap hari memberi hasil yang
kan pendesakan. cukup baik terhadap gambaran parunya. Keduanya meninggal
Karena gambaran klinis TB miller tidak spesifik, maka tidak setelah dirawat selama 53 hari dan 18 hari.
banyak membantu menegakkan diagnosis, kecuali bila disertai
panas yang tidak diketahui sebabnya(13).
Grieco(14), membuat kriteria untuk menegakkan diagnosis KEPUSTAKAAN
TB milier, harus dipenuhi salah satu atau lebih kriteria berikut:
1. Kocen RS. Tuberculosis of the nervous system. In: Disease of The
1) Pada biakan dijumpai kuman Mycobacterium tuberculosis, Nervous System. Clinical Neurobiology. Eds: Kennedy PGE, Johnson RT.
pada lebih dari satu bahan : sputum, urin, lesi di kulit, cairan 2nd ed, Butterworths, London, 1992; 1371-78.
serebrospinal, cairan pleura, cairan lambung, cairan asites. 2. Dannenberg JR AM. Pathogenesis of pulmonary tuberculosis. Koch
2) Biopsi atau nekropsi organ, pada pemeriksaan Centennial Suppl, Am Rev Respir Dis 1982; 125: 25-9.
3. Grange JM. The Immunophysiology and immunopathology of tuber-
histopatologis terlihat granuloma pengejuan atau granuloma culosis. In: Clinical Tuberculosis. Editor: Davies PDO. 1st ed, Chapman &
epiteloid tanpa pengejuan. Hall Medical London, 1994; 55-71.
3) X-foto toraks memperlihatkan gambaran nodul milier. 4. Whelan MA, Stern J. Intracranial tuberculoma. Radiology 1981; 138: 75–
Whitham dkk.(15) melaporkan bahwa CT Scan merupakan 81.
5. Choudhury AR. Non surgical treatment of tuberculomas of the brain. Br J
alat yang cukup peka untuk menunjukkan adanya tuberkuloma Neurosurg. 1989; 3(6): 643-53.
intrakranial pada tuberku milier meskipun belum ada gejala 6. Gupta RK, Jena A, Singh AK et al. Role of magnetic resonance (MR) in
atau tanda-tanda dari kerusakan otak. Pada kedua penderita, the diagnosis and management of intracraniual tuberculomas. Clin Radiol.
dari pemeriksaan x-foto toraks didapat gambaran nodul milier, 1990; 41(2): 120-27.
7. Bhargava S, Tandon PN. Intracranial tuberculomas: a CT study, Br J
dan pada CT Scan dengan kontras didapatkan tuberkuloma Radiol. 1980; 523: 935-45.
pada nukleus kaudatus kanan-kiri dan infark cerebri, sedangkan 8. Welchman JM. Computerized tomography of intracranial tuberculomata.
pada penderita lain didapatkan tuberkuloma pada nukleus Clin Radiol. 1979; 30: 567-73.
kaudatus kanan dan thalamus serta hidrosefalus. 9. Peafield RC, Shawdon HH. Five cases of intracranial tuberculoma
followed by serial computerized tomography. J Neurol Neurosurg and
Pada tuberkuloma intrakranial, selain terdapat gejala Psych. 1979; 42: 373-79.
kenaikan tekanan intrakranial akibat proses desak ruang juga 10. World Health Organization. Treatment of tuberculosis. Guidelines for
menimbulkan gejala meningitis, sering disertai TB pada organ national programmes, Geneva 1993 : 1-41.
lain Pada kedua penderita ditemukan TB paru miller, satu 11. GeIb AF, Leffler C, Brewin Act al. Miliary tuberculosis. Am Rev Respir
Dis 1973; 108: 1327-33.
penderita dengan gejala meningitis. 12. Fraser RG, Pare JAP Pare PD, Fraser RS, Genereux GP. Diagnosis of
Manifestasi klinis dan tuberkuloma intrakranial adalah Diseases of The Chest. 3rd ed. WB Saunders Co. Philadelphia, 1989 886-
proses desak ruang (20% dari proses desak ruang disebabkan 926.
oleh tuberkuloma intrakranial). Gejala yang terjadi akibat dan 13. Geppert EF, Leff A. The pathogenesis of pulmonary and miliary tuber-
culosis. Arch Intern Med t979; 139: 138 1-83.
edema otak, dan ini merupakan indikasi untuk pemberian 14. Grieco MH, Chmel H. Acute disseminated tuberculosis as a diagnostic
kortikosteroid(1,13,16). problem. A clinical study based ois cases. Am Rev Respir Dis 1979; 109:
Kemoterapi anti tuberkulosis harus segera diberikan pada 554.
penderita yang diduga TB milier tanpa harus menunggu di- 15. Whitham RR, Johnson RH, Roberts DL. Diagnosis of miliary tuberculosis
by cerebral computerized tomography. Arch Intern Med 1979; 139: 479.
temukannya kuman (BTA). Penggunaan kortikosteroid pada TB 16. Adams RD, Victor M. Principles of Neurology, 4th edition. Mc Graw Hill
miller dapat menyebabkan tuberkel menjadi kecil dan sangat Book Company, 1989 : 570-72.

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


LAPORAN KASUS

Tuberkulosis Uveitis Anterior


Laporan Kasus
Suhardjo, Rahajeng Lestari
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
UPF Penyakit Mata RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Key words . tuberculous anterior uveitis – mutton fat keratic precipitate – pulmonary
tube rculosis – triple drugs.

PENDAHULUAN kronis, merupakan dua hal yang menimbulkan dugaan uveitis


Uveitis adalah suatu peradangan jaringan uvea yang dapat tuberkulosis(1). Keterlibatan uvea tampak sebagai uveitis anterior
bersifat purulen atau non purulen. Uveitis granulomatosa biasa kronis atau koroiditis diseminata. Dalam identifikasi peradang-
nya mengikuti invasi organisme penyebab seperti Mikobakte an jaringan uvea, penyakit tuberkulosis memegang peranan pen-
rium tuberkulosis(1). Penyebab lain adalahToksoplasma gondii, ting(5). Di antara penderita uveitis endogen 25–30% terdiri dari
sarkoidosis, sifihis dan lepra. Semua bagian traktus uvea bisa ter- penderita uveitis tuberkulosis.
serang tetapi predileksinya pada koroid. Uveitis sekarang di- Diagnosis uveitis tuberkulosis sukar ditegakkan, karena
gunakan untuk menyatakan berbagai bentuk peradangan intra- tidak dapat dilakukan pemeriksaan bakteriologik dan histologik
okuler yang tidak hanya mengenai uvea, tetapi juga struktur pada mata. Biasanya diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran
struktur yang berdekatan(2). Uveitis merupakan penyebab ke- uveitis yang spesifik dan hasil pemeriksaan lanjut yang menun-
butaan yang utama di Nigeria(3) : jukkan tuberkulosis. Karena sukarnya menegakkan diagnosis,
Uveitis tidak termasuk dalam 10 pola penyakit mata utama banyak klinik memasukkannya ke dalam golongan uveitis yang
di Indonesia(4). Peradangan jaringan uvea merupakan persoalan tak diketahui penyebabnya(5).
kompleks yang kadang-kadang sukar ditentukan penyebabnya Pada tulisan ini dilaporkan seorang penderita dengan uveitis
dan memerlukan pengobatan khusus(1). Uveitis kebanyakan ter- granulomatosa disertai tuberkulosis paru, dengan tujuan untuk
dapat pada usia 20–50 tahun, di daerah urban lebih sering di- mengingatkan kembali perihal diagnosis dan penanganannya.
banding di daerah rural(6).
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh LAPORAN KASUS
Mikobakterium tuberkulosis, ditandai dengan terjadinya gra- Seorang laki-laki umur 35 tahun alamat Gondolayu Yogya-
nuloma dan nekrosis. Infeksi ini paling sering mengenai paru, karta, nomor rekam medik 181317, pada tanggal 17 Juli 1991
akan tetapi dapatjuga meluas mengenai organ-organ tertentu(7). datang berobat ke poliklinik mata RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Tuberkulosis paru masih merupakan masalah utama di negara dengan keluhan mata kiri kabur.
sedang berkembang karena sebagian besar penduduknya hidup Dua belas bulan sebelum ke poliklinik Mata, penderita
dengan derajat kesehatan yang masih rendah. Prevalensi tuber= berobat ke poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito dengan
kulosis paru dengan BTA (+) di Indonesia masih cukup tinggi keluhan sering batuk-batuk yang berdahak putih, demam, ber-
sekitar 0.3%, berarti di antara 1000 orang dijumpai 3 orang keringat bila malam hari dan nafsu makan berkurang. Keluarga
penderita tuberkulosis paru yang masih potensial menular(7). satu rumah ada yang sakit paru-paru. Di bagian Penyakit Dalam
Survai tahun 1961–1963 di Yogyakarta memperlihatkan pre- dilakukan pemeriksaan laboratonium dan foto dada, didiagnosis
valensi penderita tuberkulosis paru dengan BTA positif sebesar tuberkulosis paru, diberi pengobatan triple drugs (INH 400 mg.
0.3% dan dengan biakan positif sebesar 0.6%(8). ethambutol 750 mg dan nifampisin 600 mg). Selanjutnya pende-
Kuman tuberkulosis terutama menyerang paru-paru, tetapi rita kontrol rutin, tetapi tidak teratur. Sejak 1 bulan sebelum ke-
kuman ini dapat pula menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit bagian Mata, penderita merasa mata kirinya seperti melihat kabut
tuberkulosis di luar paru tidak jarang ditemukan, hanya sering yang melayang-layang, tidak ada rasa sakit dan tidak kelihatan
terlupakan(9). Adanya riwayat tuberkulosis dan adanya uveitis merah. Setelah penglihatan mata kiri semakin kabur penderita

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 33


berobat ke poliklinik Mata. Mata kanan kabur sejak kecil dan kunjungan rumah) atau setelah 4 tahun dan saat pertama kali
juling ke dalam. peniksa ke poliklinik Mata, sudah tidak ada keluhan pada mata
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup, kiri. Segmen depan mata tenang, pupil dan fundus baik. Keluhan
gizi sedang, kompos mentis. Tekanan darah 120/80 mmllg, nadi batuk-batuk tidak ada, tetapi masih mendapat terapi tuberkulosis
80 X/menit, respirasi 16 X/menit, teratur, suhu afebril. Anemia rifampisin 600 mg dua kali seminggu, INH 400 mg dan etham-
(–), ikterus (–), jantung dan paru dalam batas normal, hati dan butol 750 mg setiap hari satu kali.
limpa tak teraba, anggota gerak dalarn batas normal.
Pada pemeriksaan mata kiri didapatkan visus 6/6, kabur, PEMBAHASAN
addisi S +1 untuk penglihatan dekat, tapi terasa kurang jelas, Kasus ini merupakan uveitis granulomatosa pada mata kiri
palpebra tenang, konjungtiva tenang, terdapat keratic precipitate dengan gejala penglihatan kabur setelah 1 tahun mendapat peng-
besar-besar pada kornea, kamera okuli anterior flare tak jelas, obatan tuberkulosis. Pada pemeriksaan tidak ada rasa nyeri dan
pupil bulat, fundus dalam batas normal, tekanan intraokuler kemerahan pada mata, dan kamera okuli anteriornya berkabut
normal. Pada mata kanan didapatkan visus 2/60 tak dapat di- serta terdapat keratic precipitate pada korneanya. Penderita di-
koreksi, Hisberg 300 esotropia, Krimsky 60 prisma dioptri base kelola sebagai uveitis anterior granulomatosa dengan kecuriga-
out, palpebra tenang, kunjungtiva tenang, korneajernih, kamera an kausa tuberkulosis.
okuli anterior dalam jernih, iris/pupil dalam batas normal, fundus Uveitis granulomatosa lebih tersamar dan pada uveitis non
dalam batas normal, tekanan intraokuler normal. granulomatosa, biasanya tanpa rasa nyeri dan kemerahan, tetapi
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 13,4 g%, kerusakan mata permanen relatif berbahaya(1). Serangannya pelan,
lekosit 4400 per mm3 dengan hitungjenis eosinofil 1%, segmen pada mata yang terkena terdapat sedikit kemerahan yang me-
76%, limfosit 22% dan monosit 1%. LED 12mm/jam. VDRL: nyeluruh. Karena vitreus berkabut dan retina terkena, visusnya
0, ASTO 0, Rheumatoid factor : 0, CRP: 0. Toksoplasma IgG: bisa kabur. Rasa nyeri minimal atau tidak ada, dengan fotopobia
600 IU/ml, IgM: (–), glukosa 90 mg/dl. Hasil pemeriksaan urine ningan. Pupil bisa normal atau bila terdapat sinekia posterior
dan feses dalam batas normal. Foto dada menunjukkan KP menjadi tak teratur dan sedikit lebih kecil dan normal. Pada pe-
dupleks. meriksaan dengan slit lamp atau loupe terdapat large gray mutton
Diagnosis pada mata kiri : uveitis granulomatosa dengan fat keratic precipitates. Kamera okuli anterior keruh, nodul iris
dugaan penyebab tuberkulosis, mata kanan amblyopia. Hasil sering terdapat dan menyebabkan vitreus berkabut. Lesi baru
konsuitasi ke bagian penyakit dalam bisa diberi kortikosteroid di pada koroid tampak kuning bila dilihat dengan oftalmoskop.
samping obat untuk tuberkulosisnya. Penderitanya diberi peng Gambaran pada penderita sesuai dengan yang tersebut di
obatan prednison 3. 3.0. (2 hari), 2.2.0. (2 hari), homatropin 2% atas. Wilson(9) juga menyatakan, radang granulomatosa intraokuler
danCendomycos® 2 X, pengobatan dan bagian penyakit dalam pada segmen anterior serangannya pelan, ningan, warna mata ke
diteruskan (INH 400mg, ethambutol 750mg dan rifampi sin 600 arah putih, dengan nodul atau flokul pada iris, mutton fat keratic
mg). Mata kanan esotropia (ambliopia). precipitates yang sedang atau besar dan suan ringan. Pada seg-
Lima hari setelah mendapat tetes mata penderita kontrol men posterior umumnya terdapat pada koroid, retina, dengan
kembali ke poliklinik Mata. Keluhan mata kiri kabur sudah eksudat vitreus yang hebat. Pada penderita terdapat keratic
berkurang. Pada pemeriksaan mata kiri didapatkan visus 6/6, precipitates, keratic precipitates ini merupakan deposit seluler
segmen anterior tenang, keratic precipitate (+) warna kecoklat pada endotel kornea(2).
an, flare tidak jelas, lensa jernih, fundus dalam batas normal. Semua penderita yang dicurigai uveitis perlu menjalani
Mata kanan segmen anterior tenang, iris/pupil dalam batas nor- pemeriksaan laboratorium laju endap darah, VDRL, tes serologi
mal, lensa jernih, fundus dalam batas normal. Pengobatan di- untuk toksoplasmosis, tes PPD dan foto rontgen dada(1). Pada
teruskan dan penderita dianjurkan untuk kontrol kembali. penderita ini sudah dilakukan semua pemeriksaan-pemeriksaan
Pada kontrol di poiiklinik Mata bulan ke tujuh, didapatkan tersebut, kecuali tes PPD. Penyebab uveitis di Nigeria adalah
pada mata kanan visus 2/60, mata kiri: penglihatan kabur ber- lepra (1 penderita), tuberkulosis (1 penderita), herpes zoster (16.
kurang, visus 6/6, palpebra tenang, konjungtiva tenang, kornea penderita), onchocenciasis (3 penderita), sedang toksoplasmosis
jernih, keratic precipitate (–), flare (–), iris/pupil bulat, lensa menyebabkan uveitis posterior(3).
jernih, tekanan intraokuler normal, fundus dalam batas normal. Pada pemeriksaan toksoplasma terdapat IgG (+) 600 IU/ml;
Penderita diberi pengobatan Cendomycos®. Pengobatan tuber- mungkin penderita ini pernah terkena toksoplasmosis, tetapi saat
kulosis diteruskan. ini sudah tidak aktif lagi karena 1gM (–), dan bila mengenai
Pada kontrol bulan ke 11, penderita menyatakan sudah bisa mata biasanya berupa uveitis posterior. Kemungkinan penyebab
membaca dan sudah merasa lebih baik. Pada pemeriksaan di- uveitis karena sifihis pada pende kurang menyokong secara
dapatkan mata kanan visus 2/60, mata kiri visus 6/6, palpebra dan klinis maupun laboratonis, sedang penyebab lain (selain tuber-
konjungtiva tenang, kornea keratic precipitate (–),flare (–), iris/ kulosis) secara klinis kurang menyokong dan secara laborato-
pupil bulat, lensa jernih, tekanan intraokuler normal, fundus nium belum diperiksa, mengingat terlalu spesifik dan biayanya
dalam batas normal. Pada foto dada ulang didapatkan kesan pe- mahal.
nyembuhan. Manifestasi klinis tuberkulosis paru adalah terutama ada-
Pada pemeriksaan terakhir tanggal 1 Oktober 1995 (saat nya batuk kronis dengan sputum yang non purulen, hemoptisis

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


biasanya berupa garis-garis darah pada sputum(10). Mangun- assay (EIA) dan antigen M. tuberkulosis yang murni. Sensitivi-
negoro(11) menyatakan manifestasi klinik tuberkulosis paru an- tas sekitar 80% sedangkan spesifisitasnya 100%(16). Penggunaan
tara lain : a. batuk-batuk lebih dari 4 minggu dengan atau tanpa deteksi M. tuberkulosis dengan polymerase chain reaction
sputum, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada; b. malaise, ano- (PCR) merupakan cara deteksi yang lebih cepat, dengan spesi-
reksia, demam, berat badan menurun, c. gejala yang berhubung- fisitas 74–100%. Pemeriksaan PCR ini berdasar pengenalan
an dengan penyebaran ekstrapulmoner. Manifestasi klinis yang urutan DNA oligonucleotide primers yang dipasangkan dengan
adapada penderita cukup menyokong kriteria tersebut; diagnosis rangkaian lawannya, kemudian dilakukan amplifikasi DNA (di-
tuberkulosis didasarkan atas riwayat penderita,. manifestasi kli- copy secara mu1tipel)(18).
nis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi(12); Tuberkulosis pada mata yang kronis untuk diagnosisnya
segala pemeriksaan tersebut sudah dilakukan dan diagnosis tu- dapat dari pemeriksaan klinis dan histo1ogis(13). Diagnosis Minis
berkulosis sudah ditegakkan oleh bagian penyakit dalam. yang menganah tuberkulosis mata kronis yaitu adanya radang
Pada penderita belum dilakukan pemeriksaan basil tahan granulomatosa kronik dan tidak ada penyebab lain selain tuber-
asam. Penemuan basil tahan asam (BTA) dalam sputum mem- kulosis. Hal ini sesuai dengan yang terdapat pada mata kiri
punyai arti penting dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis, penderita. Tiga bentuk utama tuberkulosis mata kronis adalah:
namun kadang-kadang tidak mudah untuk menemukan BTA ter- 1. tuberkulosis mata anterior kronis; 2. tuberkulosis koroiditis;
sebut. BTA ditemukan dalam sputum bila bronkus telah terlibat. 3. tuberkulosis flebitis retina1is(13). Kim et al(18) menyatakan
Pemeriksaan mikroskopik langsung dengan BTA (–), bukan manifestasi tuberkulosis pada mata sebagai uveitis anterior kro-
berarti tidak ditemukan kuman sebagai penyebab, dalam hal ini nik atau koroiditis yang menyebar. Pada kasus ini manifestasi
penting sekali peranan hasil biakan kuman. Faktor-faktor yang yang dijumpai berupa uveitis anterior.
dapatmenyebabkan hasil bakteriologiknegatifadalah : a. bronkus Padapemeriksaan histologis terdapat tuberkel pada jaringan
belum terlibat; b. kuman dalam sputum terlalu sedikit; c. cara mata, akumulasi sel epiteloid, dari sel raksasa yang dikelilingi
pemeriksaan tak adekuat; d. pengaruh obat, terutama rifampi- oleh infiltrasi limfosit. Pembuktian adanya kuman tuberkulosis
sin(7). Bila diagnosis tuberkulosis paru semata-mata berdasarkan pada jaringan mata sangat sulit(13). Smith & Nozik(19) juga me-
pada ditemukannya BTA pada sputum, maka sangat banyak nyatakan bahwa pada pemeriksaan histologis nodul pada kon-
tuberkulosis paru yang terlewat tanpa pengobatan. Sedangkan jungtiva, iris, koroid, retina atau saraf optikus didapatkan tuber-
justru pada tuberkulosis paru yang baru dengan sputum BTA (–) kel yang dikelilingi sel mononuklear.
dan menular paling mudah diobati dan dapat sembuh sem- Tuberkulosis bisa mengenai berbagai bagian dan mata.
purna(7). Radang dapat menyeluruh mengenai semua bagian mata.
Pada penderita juga belum dilakukan pemeriksaan uji tu- Korioretinitis dan uveitis merupakan manifestasi yang sering.
berkulin. Uji tuberkulin kulit merupakan tes hipersensitivitas Diagnosis tuberkulosis pada mata sulit ditentukan, dan sebagian
(tipe 4) terhadap tuberkuloprotein(12). Tetapi pemeriksaan uji besar diagnosis merupakan dugaan, kecuali keratitis fliktenu-
tuberkulin pada orang dewasa sensitivitasnya rendah, tidak mem- lanis. Hal ini juga sesuai dengan penjelasan Kim et al(18) bahwa
punyai arti diagnostik(7). Friedenwald et al(13), juga menyatakan diagnosis uveitis tuberkulosis hampir selalu dengan dugaan,
bahwareaksi tuberkulin kulit bisa positif kuat, tetapi korelasinya karena pemeriksaan jaringan mata tidak praktis. Diagnosis pe-
sedikit. Bukan hanya reaksinya positif kuat walau tanpa ada nyakit tersebut dibuat dengan berdasarkan kepada kronisitas
uveitis, tetapi juga bisa positif lemah atau negatif walau pada penyakit, mengeksklusi diagnosis lain, kegagalan terapi dengan
tuberkulosis aktif. anti inflamasi konvensional dan adanya respons terhadap peng-
Pemeriksaan lain untuk diagnosis penyakit tuberkulosis, obatan dengan anti tuberkulosis. Pada kasus ini belum dilakukan
tetapi juga belum dikerjakan pada kasus ini antara lain: tes pemeriksaan histologis, karena pemeriksaan ini invasif.
Takahashi, uji peroksidase anti peroksidase (PAP), Uji enzyme Tuberkulosis dapat mengenai mata lewat beberapa jalan.
immunoassay (EIA), bahkan akhir-akhir ini dikembangkan de- Granuloma konjungtiva tuberkulosis disebabkan sindrom
teksi M. tuberkulosis dengan metode polymerase chain reaction okuloglandular Perinauds; konjungtivitis dan keratitis fliktenu-
(PCR). Tes Takahashi merupakan perkembangan pemeriksaan lanis akibat reaksi hipersensitif terhadap tuberkuloprotein; dan
serologik untuk penyakit tuberkulosis. Antibodi anti phos- inidosiklitis tuberkulosms dengan atau tanpa lesi pada kornea(20).
phatide dapat ditunjukkan dengan reaksi phosphatide kaolin Pada kasus dengan gej ala tuberkulosis sistemik perlu dikon-
agglutination test atau tes Takahashi. Kriteria diagnostik bila sultasikàn untuk mendapat pengobatan yang cukup. Dianjurkan
titernya 1/32(14). Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) merupa- pemberian isoniazid 400 mg per hari ditambah ethambutol 750
kan uji serologis untuk menentukan adanya IgG imunospesifik mg atau nifampisin 600 mg per hari, selama 1 tahun atau lebih
terhadap Mikobakterium tuberkulosis. Uji ini bukan hanya se- dengan tambahan vitamin B6 25–50mg per hari. Kortikosteroid
bagai sarana diagnostik dan penyakit tuberkulosis paru maupun diperlukan untuk mengomtrol peradangan pada mata yang be-
tuberkulosis di luar paru, namun juga sebagai sarana memantau rat(19,20). Pengobatan tuberkulosis masa kini menggunakan obat
hasil pengobatan. Uji PAP-TB yang positif umumnya 96% yang bersifat bakterisid yaitu isoniazid, nifampisin, pirazinamid,
menyatakan penderita sedang menderita tuberkulosis, kambuh streptomisin dan satu obat yang bersifat bakteriostatik yang
atau baru sembuh yang kurang dari 3 bulan(15). Pemeriksaan IgG sering digunakan adalah ethambutol(21).
anti TB juga dapat dilakukan dengan metode Enzyme Immuno- Hasil pengobatan paduanjangka pendek ternyata lebih efek

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 35


tif daripada paduan obat jangka panjang, disebabkan karena KESIMPULAN
besarnya putus berobat dan kegagalan berobat(22). Penderita Telah dilaporkan seorang penderita dengan uveitis granulo-
sudah mendapat gabungan obat jangka pendek, tetapi ternyata matosa pada mata kiri dengan penyebab ke arah tuberkulosis.
tak dapat terlaksana dengan baik, karena penderita tidak kontrol Penderita didiagnosis tuberkulosis paru di bagian dalam, sudah
secara rutin. Penyebab kegagalan pengobatan tuberkulosis di mendapat obat-obatan yang baik, tetapi penderita kontrol tidak
antaranya ketidakpatuhan penderita untuk kontrol dan adanya teratur.
infeksi virus pada penderita defesiensi imun(21). Diagnosis tuberkulosis paru berdasarkan riwayat penyakit,
Pada saat ini banyak dilaporkan peningkatan kejadian resis- pemeriksaan klinis dan laboratorium dari pemeriksaan radiologi.
tensi obat terhadap tuberku1osis(24). Kim et al(18) melaporkan Dasar diagnosis uveitis tuberkulosis berdasarkan kepada kronisi
seorang penderita korioretinitis tuberkulosis yang resisten ter- tas penyakit, gambaran klinis, mengeksklusi diagnosis lain, dan
hadap pengobatan isoniazid dan rifamisin yang diberikan sebe- adanya respons terhadap pengobatan dengan antituberkulosis.
lumnya. Mekanisme resistensi ini bervariasi, mungkin disebab Pada penderita belum dilakukan pemeriksaan histologis, karena
kan karena pengobatan yang tidak kengkap atau akibat penderita invasif. Setelah mendapat terapi antituberkulosis dan obat-obat
tidak patuh terhadap pengobatan yang diberikan. Setiap dokter untuk uveitis, penderita mengalami perbaikan.
harus faham betul tentang terapi rasional tuberkulosis paru dan
selalu mengusahakan agar penderita tetap patuh mengikuti peng-
obatannya dengan tertib dan tidak putus di tengah jalan(25).
Prinsip pengobatan uveitis adalah: a. menekan peradangan;
b. mengeliminir agen penyebab; c. menghindari efek samping
obat-obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di luar
mata. Obat-obat non spesifik antara lain : midriatik-sikioplegik, KEPUSTAKAAN
kortikosteroid, imunosupresan. Penderita mendapat terapi ho-
matropin. Homatropin dipakai sebagai sikioplegik karena iris 1. Schroeder SA, Krupp MA, Tiemey LM. Current Medical Diagnosis &
Treatment. Appleton & Lange, Connecticut: 1988; pp. 101–2.
akan tetap dapat berkontraksi supaya tidak terjadi sinekla poste- 2. Kanski JJ. Clinical Opthalmology. A Systematic Approach. London,
rior(9). Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik Butterworth-Heinemann, 1989; 2nd ed. chap. 6, pp. 135–80.
sikloplegik lokal adalah paling logis dan efektif. 3. Ayanru JO. The problem of uveitis in Bendle State of Nigeria : experience
Respons tuberkulosis pada mata dengan kemoterapi baku in Benin City. Br. J. Opthlamol. 1977; 61: 655
4. Aditama TY. Pola dan kecenderungan berobat penderita tuberkulosis paru.
tuberkulosis adalah baik(1,4). Pengobatan uveitis granulomatosa CDK 1990; 63: 17–9.
tergantung pada penyebabnya(1). Pupil perlu dibuat midriasis 5. Chambali, Ginting AM. Uveitis Tuberkulosis. Transaction – Kongres
dengan atropin, prognosis visusnya baik. Pengobatan tuberkulo- PERDAMI IV, Medan; Februari 1980.
sis pada mata ada dua prinsip yaitu non spesifik dan spesifik(5). 6. Char DH, Schlaegel TF. General factors in uveitis. Dalam: Duane TD,
Jaeger EA (eds.): Clinical Ophthalmology. Philadelphia: Harper & Row
Cara pengobatan non spesifik di antaranya: a. cara umum Publisher, 1987; Vol. 4, Chap. 39, pp. 1–7.
dengan meninggikan resistensi terhadap penyakiti/kesehatan 7. Nawas A. Diagnosis tuberkulosis paru. CDK 1990; 63: 13–6.
umum; b. cara topikal dengan mencegah komplikasi antara lain 8. Sumantri ES. Pengobatan tuberkulosis ekstra paru. MDK 1990; 9(3):
dengan pemberian sikoplegia untuk memberi istirahat dan 8–11.
9. Wilson FM. Intraocular Inflamation, Uveitis, and Ocular Tumors. San
mencegah sinekla posterior, pemberian midriatikum untuk Francisco, American Academy of Ophthalmology, 1990; Sec. 3, pp.
mengurangi sinekla posterior; c. cara oral dengan pemberian 77–141.
kortikosteroid dan anti metabolik inimunosupresif, namun efek 10. Daniel TM. Tuberculosis. Dalam: Braunwald EK, lsselbacheri, Petersdorf
samping obat ini besar. Pengobatan spesifik yaitu pengobatan RG, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS (eds.) : Harrison’s Principle of Internal
Medicine. New York: McGraw-Hill Book Company, 1987; 1 ltd ed. Chap
anti tuberkulosis, dalam pengobatan perlu dipikirkan efisiensi, 119, pp. 625–33.
toksisitas, akseptabilitas dan daya beli penderita(5). 11. Mangunnegoro H. Peranan praktis diagnosis dan penatalaksanaan TBparu.
Penderita juga mendapat pengobatan kortikosteroid, yang Ramicin Medinfo. 1993; 1: 4–5.
di samping penggunaannya secara umum, pada penyakit mata 12. Liam CK. Update on tuberculosis and its treatment. Medicine Digest.
1994; 3: 8–18.
terutama pada kasus uveitis sering digunakan(19). Pada uveitis 13. Friedenwald JS, WilderHC, Maumenee AE, Sanders TE, Keyes JE, Hogan
preparat kortikosteroid merupakan salah satu terapi non spesifik MJ, Owens WC. Ophthlamic Pathology: an Atlas and Textbook. Phila-
yang dianjurkan. delphia: WB. Saunders Company, 1952; Chap. 7. pp 112–59.
Tuberkulosis pada mata dapat menyebabkan komplikasi 14. HisyamB. Efusi Pleura. Bagian llmuPenyakitDalamFK-UGMYogyakarta,
1982.
glaukoma sekunder, katarak, ablasi retina, atropi optik, dan 15. Handojo 1. Pola perubahan titer uj PAP-TB pada penderita tuberkulosis
hilangnya fungsi makula akibat scar korioretina pada area paru yang mengalami penyembuhan. Dexa Medica. 1994; 2: 2–5.
makula(19). Komplikasi-komplikasi tersebut belum terjadi pada 16. Muliaty D. Serodiagnostik tuberkulosis. Informasi Laboratorium Prodia.
penderita. Prognosis pada umumnya baik bila diagnosisnya dini 1994; 4: 1–2.
17. Marie-Elise G. Tuberculosis and Leprosy: Molecular approaches to
dan struktur intraokular yang penting seperti makula dan saraf diagnosis. Academisch Proefschrift, Amsterdam, 1995.
optikus tidak mengalami kerusakan permanen akibat radang(19). 18. Kim JY, Carml CP, Opremcak EM. Antibiotic-resistant tuberculous choroidi-

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


tis. Am. J. Opththalmol. 1993; 115(2): 259–61. 22. Kusnindar. Masalah penyakit tuberkulosis dan pemberantasannya di
19. Smith RE, Nozik RA. Uveitis A Clinical Approach to Diagnosis and Indonesia. CDK 1990; 63: 8–12.
Management. Baltimore, Williams & Wilkins, 1983; Chap. 26 & 42, pp. 23. Bellin E. Failure of tuberculosis control. A precription for change, JAMA.
120–4& 179–84. 1994; 271:708–9.
20. Suherman SK. 1981 Adrenokortikotropin, adrenokortikoid dan kortiko- 24. Snider DE, Jr. Cauthen GM, Farer LS, Kelly GD, Kilburn JO, Good RC
steroid sintetik dalam Gan S. (ed.): Farmakologi dan terapi. Bag. Farmako- Dooley SW. Drug-resistant tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 1991; 144
logi UI Jakarta, 1991; 2nd ed. pp. 558–77. 732.
21. Suryatenggara W. Pengobatan tuberkulosis paru. CDK 1990; 63: 25–8. 25. Mukty HA. Terapi rasional tuberkulosis paru. CDK 1990; 63: 20-8.

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 37


HASIL PENELITIAN

Frekuensi M. Atipik, M. Tuberkulosis


dan M.. Bovis pada Limfadenitis TBC
Positif PA Positif Biakan
Misnadiarly
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Penelitian mikobakterium atipik dilakukan padapenderita TB-extraparu limfadenitis
tbc dengan cara pemeriksaan spesimen hasil biopsi kelenjar dan biopsi aspirasi 46 orang
pasien dan RS Hasan Sadikin Bandung dan beberapa RS di Jakarta (1 orang). Spesimen
dibiak pada 3 jenis media L-J (Lowenstein-Jensen), Kudoh dan Ogawa 3% pada suhu
28°C dan 37°C. Identifikasi spesies mikobakteria dan biakan kuman yang tumbuh secara
biokimia dilakukan di laboratorium Puslit Penyakit Menular Badan Litbang Kesehatan.
Data klinis, hasil PA, serta data kuesioner didapatkan dari RS yang dilibatkan pada pe
nelitian ini.
Ditemukan 54% (25 orang) dari kasus limfadenitis tbc, biakannya positif dengan
frekuensi mikobakteria atipik yang paling tinggi (64%) dibandingkan M. tuberkulosis
(20%) dan M. bovis (8%).

PENDAHULUAN
Limfadenitis tbc atau tbc kelenjar getah bening termasuk BAHAN DAN CARA
salah satu penyakit tbc di luar paru (Tb-extraparu)(1). Penyakit ini Sejumlah 54 orang penderita limfadenitis tbc, 47 dari RS di
disebabkan oleh M. tuberkulosis, kemudian dilaporkan ditemu- Bandung dan 7 orang dari beberapa RS di Jakarta, menjalani
kan berbagai spesies M. Atipik. Diagnosis penyakit ini paling biopsijaringan kelenjar getah bening (kgb) dan sebagian lainnya
sering dengan pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), dengan di- biopsi aspirasi untuk keperluan pemeriksaan PA, spesimen ter-
temukannya tuberkel yang terdiri dari beberapa unsur yakni sel sebut sebagian dimasukkan ke dalam larutan NaCI 0,85% (sterit)
epiteloid yang berinti lonjong dengan batas sel yang tidak jelas. sebagai media transpor latu dikirimkan melalui LTH dari Ban-
Unsur kedua ialah sel datia Langhans/giant cell, sebuah sel yang dung, dan dijemput/antar dari RS di Jakarta ke laboratorium
besar berinti banyak(3). Basil tbc dapat ditemukan di antara sel Puslit (Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Litbang Ke-
epiteloid, kadang-kadang dalam sel datia, dan pada awal infeksi, sehatan di Jakarta tempat dilakukan identifikasi mikobacteria.
basil tbc berlokasi dalam macrophag, tampak pada pewarnaan Spesimen diolah dengan 2 cara yaitu memakai NaOH 4%
khusus(4); mereka jarang tumbuh di bagian tengah jaringan dan TSP (Trisodium Fosfat 10%), dan dibiak pada 3jenis media;
nekrotik, karena daerah ini kekurangan O2 dan makanan yang di- yaitu: Lowenstein-Jensen, Kudoh dan Ogawa 3% pada suhu
perlukan untuk pertumbuhannya, jadi mikroorganisme ini pada 30°C dan 37°C, sehingga dari spesimen diperoleh 8 biakan.
jaringan nekrotik terutama tumbuh pada bagian tepi(5). Pada pe- Untuk setiap biakan yang tumbuh dilakukan pemeriksaan BTA,
meriksaan PA (Patologi Anatomi) tidak dapat dibedakan dengan pengamatan struktur dan warna koloni serta beberapa tes Bio
pasti apakah mikroorganisme itu M. tbc atau mikobakterium kimia; Katalase, Katalase 68°C, Peroksidase, Reduksi Nitrat,
atipik, sehingga pengobatan tidak selalu tepat, sebab semua Merah Netrat, Hidrolisa Tween, Urease, Toleransi terhadap
dianggap M. tbc. media mengandung NaCI 5%, dan Niasin.

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


HASIL 1) Lesi yang mengalami perkijuan lebih jarang terlihat pada
Dari berbagai data, penderita TB-Extraparu-Limfadenitis jaringan yang terinfeksi atipik, tampak adanya kecenderungan
tbc pada umumnya punya beberapa keluhan: demam lama, berat pencairan jaringan nekrotik dan lesinya lebih akut.
badan turun, batuk-batuk lama, keringat malam, nafsu makan 2) Sel datia/giant cell jarang ditemukan pada kasus atipik, dan
menurun. Gejala ini dapat seluruhnya ditemukan, dan yang kalaupun ada biasanya lebih besar dari sel datia pada jaringan
tersering adalah : demam lama dan berat badan menurun; yang infeksi M. tbc.
paling penting adalah adanya benjolan di leher yang merupakan 3) Lesi granuloma yang mengalami perkijuan tampak baik
pembesaran kelenjar getah bening leher. pada infeksi atipik maupun tuberkulosis.
Pada pemeriksaan PA, ditemukan tuberkel, sel Datia Pada penelitian ini unsur seperti sel datia tidak selalu ada,
Langhans/sel giant, kadang-kadang didapatkan daerah perkijuan demikian juga dengan unsur perkijuan, namun biakan positif.
pada stadium limfadenitis caseosa. Selain hal di atas ditemukan pula kasus tersangka limfadenitis
Dari 46 limfadenitis tbc yang (+) menurut hasil PA, yang tbc ternyata diagnosa PA nya karsinoma metastasis dan kasus
positif biakan ada 25 (54%). Prosentase pertumbuhan biakan yang tidak menunjukkan tandajaringan terinfeksi tbc, tetapi hasil
antara spesimen dan biopsi jaringan hanya sedikit Iebih besar biakan malah positif (M. scrofulaceum).
dari spesimen dan biopsi aspirasi (Tabel 1).
Tabel 2. Beberapa kasus tersangka Limfadenitis tbc, basil PA (–) untuk
Tabel 1. Perbandingan hasil pemeriksaan jaringan kgb menurut jenis tb, tapi biakan (+)
spesimen yang diperiksa
No. Kasus tersangka Hasil PA Biakan
Biakan
No. Jenis Spesimen Jumlah I Limfadenitis tbc Metastasis (+) M. scrofulaceum
(+) % (-) %
Karsinoma
I Biopsi Jaringan kgb 27 15 555 12 44,5 2 Limfadenitis tbc Limfadenitis kronik (+) M. avium komplex
tak spesifik tbc
2 Biopsi Aspirasi 19 10 52,6 9 47,4

Tabel 3. Mikobakterlum spesies yang berhasil ditemukan pada kasus


Dari penelitian ini ditemukan pula beberapa kasus tersangka Limfadenitis tbc di Jawa Barat periode Nopember.Maret 1993
limfadenitis tbc yang hasil PA nya tidak menunjukkan positif Penggolongan Nama Spesies Jumlah
untuk tbc tetapi karsinoma metastase, dan kasus limfadenitis tak
Typical 1. M. tuberculosis–INH Resisten 1
spesifik menurut hasil PA, akan tetapi biakan positif.
Dari beberapa limfadenitis tbc yang biakannya positif, se- Mycobacteria 2. M. tuberculosis–INH Sensitif 4
3. M. bovis
telah diidentifikasi memberikan hasil sebagai berikut : M. simiae
(2); M. marinum (2); M. phlei (2); M. tbc INH sensitif (4); M. Atypical
Mycobacterium
triviale (1); M. gastrii (1); M. haemophilum (2); M. ulcerans (1);
M. gordonae (1); M. szulgai (2); M. kansasii (2); M. malmoense Group Runyon
(I); M. tbc INH-resisten (1); M. bovis (2); M. smegmatis (1) dan I 1. M. kansasii, 2
M. scrofulaceum (1). (Photo chromogen) 2. M. marinum 2
3. M. simiae –
4. M. asiaticum –
PEMBICARAAN
II 1. M. scrofulaceum 1
Penelitian ini memberikan hasil biakan positifsámpai 55,5%
(Scoto chromogen) 2. M. szulgai 2
untuk spesimen biopsi jaringan kelenjar, dan 52,6% untuk spe 3. M. gordonae
simen biopsi aspirasi, jadi biopsi aspirasipun dapat digunakan
III 1. M. avium complex –
karena lebih murah. Akan tetapi di pihak lain beberapa kasus
(Non–photo 2. M. intracellulare –
tertentu seperti limfadenitis kronik tidak spesifik dan kasus chromogen) 3. M. ulcerans
radang kronis spesifik yang dianggap limfadenitis/tersangka, 4. M. triviale 1
ternyata hasil PA tidak menunjukkan positiftbc, akan tetapi hasil 5. M. malmoense 2
biakan positif M. tbc INH Resisten dari kasus yang satunya lagi 6. M. haemophilum 1
M. avium complex. Perbedaan hasil PA dan biakan ini dapat IV 1. M. fortuitum –
disebabkan karena yang dibiopsi hanya bagian nekrosisnya, (Rapid grower) 2. M. chelonei –
sedangkan menurut kepustakaan kuman BTA (tbc atau atipik) 3. M. smegmatis 1
hanya terdapat di bagian tepi jaringan nekrotik karena pada 4. M. phlei 2
daerah ini masih ada O2 yang diperlukan untuk kehidupannya.
Masalah lainnya, diagnosis PA hanya berdasarkan penampakan Tabel 4. Jenis mikobakteriuin llmfadenitis tbc biakan positif (n.-25)
kelainan dan ciri khasjaringan tertentu; BTA amat sulit ditemu- Jumlah positif
kan meskipun dengan pewarnaan khusus, dan tak dapat mem- n %
bedakan antara M. tbc, dan M. atipik serta M. bovis. Perbedaan M. tuberculosis 5 20
M. atipik 16 64
gambaran histopatologi M. tbc dan yang disebabkan
M. bovis 2 8
mikobakteria atipik (mikobakteriosis)(6).

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 39


Ada dua kasus limfadenitis thc yang hasil identifikasinya
M. bovis, satu di antaranya mempunyai kebiasaan minum susu UCAPAN TERIMA KASIH
segar tanpa dimasak dulu. Dari hal yang perlu diperhatikan ialah Ucapan terima kasih disampaikan kepada: dr Eddie S. Soemantri, dr Paula,
pemeriksaan PA perlu didampingi pemeriksaan biakan/mikro- dr Burhanudin Sabirin dli dr di RSHS dan RS lainnya di Bandung yang turut
biologis terutama pada kasus meragukan. membantu penelitian ini.
Jenis mikobakterium atipik yang ditemukan pada penelitian
KEPUSTAKAAN
ini sebagian besar sama dengan yang ditemukan peneliti lain(7),
yaitu M. avium dan M. scrofulaceum pada limfadenitis (Maria 1. Bell MDET. A textbook of Pathology. 8 ed. Philadelphia: University of
dkk dan Alfred dkk), dan M. kansasii, M. avium, M. szulgai, M. Minnesota, 1956.
scrofulaceum, M. chelonei dan M..fortuitum (Emanuel, Australia). 2. Misnadiarly. Bakteri tahan asam pada lymphadenitis tuberkulosa Skripsi
Spesies mikobakteria atipik yang resisten terhadap INH Institut Teknologi Bandung, Departemen Biologi. Laporan kerja praktek di
Bagian Patologi Anatomi RS Hasan Sadikin, FK UNPAD, Bandung, 1979.
adalah: M. marinum, M. scrofulaceum, M. avium, lvi. terrae, M. 3. Simposium Penyakit Tuberkulosa di dalam Masyarakat. Edisi khusus
culcerans dan M. fortuitum, hal yang sama juga terhadap PAS, Majalah Kedokteran Bandung. Fakultas Kedokteran Universitas
sedangkan terhadap streptomisin yang resisten ialah M. avium, Padjadjaran, Bandung, 22-24 Februari 1968.
terhadap etambutol yang resisten ialah M. scrofulaceum dan M. 4. Robertson ND. Pathological Histology. 4 ed. Edinburg: University of
Edinburg, 1951.
ulcerans, M. scrofulaceum, M. chelonei dan M. fortuitum juga 5. Davis BD. Microbiology. International ed. Boston. Massachusetts:
resistensi rifampisin, M.fortuitum dan M. chelonei juga resistensi Harvard Medical School. 1969.
streptomisin. 6. R. Amirulah. Mikobakteriosis Paru, Cermin Dunia Kedokt 1981; 24.
Tampaknya limfadenitis tbc, lebih banyak disebabkan oleh 7. Misnadiarly. Lymphadenitis Tuberculosis dan Lymphadenitis Myco-
bacterial. Medika 1988; 4.
infeksi atipik daripada oleh M. tuberkulosis; hal ini mungkin 8. Maegileth. Andrew M, Edwin L, Kendig JR. Infections with Non
disebabkan kebiasaan makan sayuran mentah. karena pe- tuberculous (Atypical) Mycobacteria. Disorders of the Respiratory Tract in
nyebaran/distribusinya dapat pada tanah, air, tumbuhan dan juga Children, 1983.
pada telur (cangkangnya), jadi makan sayuran mentah tanpa 9. Taha AM, Davidson PT, Bailey W. Surgical treatment of atypical myco
bacterial lymphadenitis in children. Pediatric Infectious Disease 1985;
dicuci dapat menyebabkan infeksi atipik, meskipun dicuci dulu; 4(6).
jadi dalam pencucian sayurperlu dengan air hangat di atas 42°C, 10. Krisnomurti S dkk. Isolasi kuman tuberkulosis pada kasus-kasus radang
karena pada suhu ini M. atipik masih dapat hidup. kelenjar. Simposium tuberkulosa masa kini, 23 Sept 1978.

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


ULASAN

Masalah Respirologi Masa Kini


dan
Tantangannya di Masa Depan

Eddie Soeria Soemantri


Sub Bagian Pulmonologi Laboratorium/UPE Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung

PENDAHULUAN PERGESERAN POLA PENYAKIT


Dampak keberhasilan Pembangunan Nasional Jangka Pan- Keberhasilan pembangunan nasional pada PJP-I telah
jang Ke-I (PJP-I) sudah dirasakan; terdapat kemajuan besar terbukti dan dampaknya telah tampak pada berbagai aspek
dalam bidang kesehatan. Salah satu dampaknya adalah kehidupan, termasuk dalam bidang kesehatan; dampak ini akan
perubahan pola penyakit, yang di antaranya pola penyakit terus berlangsung pada PJP-II. Akan dan sedang terjadi per-
respirasi. geseran pola penyakit di negara kita ini. Selama ini pola pe-
Penyakit respirasi adalah penyakit-penyakit yang berhu- nyakit kita adalah pola penyakit negara berkembang, tetapi
bungan dengan saluran pernapasan. Di Indonesia penyakit kemudian sedikit demi sedikit akan terjadi perubahan ke pola
respirasi ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang negara maju. Pola penyakit negara berkembang, yang ditandai
utama dan masih memerlukan penanganan yang terpadu dan dengan prevalensi penyakit infeksi yang tinggi, gizi yang rendah,
seluruh unsur kesehatan. Ilmu kedokteran sendiri sudah lingkungan hidup buruk, pengetahuan kesehataft yang rendah
demikian luas, sehingga tidak mungkin lagi seseorang mem- dan dalam lingkungan kemiskinan akan bergeser ke pola
pelajari ilmu itu semuanya. Karena itu timbul spesialisme/ penyakit degeneratip, kanker, kelainan jiwa, pengetahuan ke-
subspesialisme dalam bidang kedokteran. sehatan yang baik, dalam keadaan ekonomi yang menyebab-
Demikian pula dalam penanganan penyakit respirasi ini, kan perubahan gaya hidup dan perilaku.
perlu sekali kerjasama di antara berbagai bidang spesialistik/ Saat ini kita dalam masa transisi pola penyakit, sehingga
subspesialistik. Antara lain ilmu dasar kedokteran seperti terdapat indikasi adanya beban ganda yang harus dihadapi, yaitu
anatomi manusia, biokimia manusia, faal manusia, serta ilmu tingginya penyakit infeksi yang masih menjadi masalah,
kedokteran lainnya seperti penyakit paru, penyakit dalam, sedangkan penyakit degeneratif sudah cenderung meningkat.
penyakit THT, radiologi, bedah toraks, penyakit anak, mikro- Karena itu kita harus sudah siap dan harus inampu mendukung
biologi, patologi anatomi, patologi klinik, rehabilitasi medik dan penanganan pola ganda kedua macam penyakit ini, termasuk
lain-lain. dalam bidang respirologi.
Dalam inenyongsong PJP-II yang sekarang in kunci Dampak lain keberhasilan dalam bidang kesehatan adalah
keberhasilannya adalah membangun SDM (Sumber Daya menurunnya Angka Kelahiran, yang pada periode 1981/85
Manusia) Indonesia yang kreatif, produktif dan menguasai masih sebesar 33,72, maka pada 1986/1990 menurun menjadi
teknologi serta tentu harus sehat, cerdas, produktif dan mem- 31,86 dan diharapkan pada 1996/2000 menjadi 25 per 1000
punyai kekuatan fisik dan mental yang menyokong. penduduk. Kemudian Usia Harapan Hidup, yang pada tahun
Bidang respirologi sebagai salah satu unsur kesehatan harus 1971 baru 48,5 tahun, maka pada tahun 1990 sudah baik men-
dapat menyokong dan memelihara Manusia Pembangunan jadi 61,5 tahun. Sehingga dapat diperkirakan bahwa kelompok
Indonesia. Respirologi perlu berkembang bukan saja dalam balita dan anak di bawah usia 15 tahun akan terus menerus,
bidang kuratif atau pelayanan kesehatan lainnya, tetapi juga penduduk usia produktif akan naik dan penduduk usia lanjut
dalam bidang penelitian dan pendidikan. (lansia) akan besar jumlahnya(1,2,4,9).

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 41


Pada Tabel 1 terlihat bahwa Survai Rumah Tangga (SRT) Bag. Pulmonologi Lab/UPF Penyakit Dalam Fakultas Kedok-
tahun 1992 untuk pertama kalinya menunjukkan bahwa pe- teran UNPADIRS Hasan Sadikin Bandung (Tabel 2). Pada tahun
nyebab kematian utama di Indonesia adalah penyakit sistim 1986/1989 penyakit TB tetap menjadi penyakit respirasi yang
sirkulasi, termasuk penyakit jantung, sehingga saat ini telah terbanyak. Kemudian diikuti pneumoni, lalu PPOM, tumor paru
terjadi pergeseran pola penyakit infeksi ke pola penyakit dan asthma bronkial. Tahun 1994 penyakit TB tetap sebagai
degradatif. Tetapi penyakit infeksi masih menjadi masalah, penyakit terbanyak, tetapi pneumoni turun menjadi no. 3 dan
terlihat dengan adanya penyakit TB Paru sebagai penyebab PPOM naik menjadi no. 2. Yang lainnya tetap. Sehingga pola
kematian No. 2 terbanyak. Sebab itu pola penyakit kita ini penyakit respirasi di bagian kami adalah bertambahnya penya
adalah pola penyakit ganda. kit degeneratip saluran napas dan menurunnya penyakit infeksi
paru, kecuali TB; terlihat pula tumor paru telah masuk 5 pe-
Tabel 1. Pola Penyebab Kematian Utama pada Survai Kesehatan Rumah nyakit terbanyak dari penyakit respirasi.
Tangga Thhun 1980,1986 dan 1992

No. 1980 1986 1992 PERUBAHAN LA1NNYA


1 Diarrhea Radang saluran Sistim sirkulasi Selain pergeseran pola penyakit di atas, terdapat pula per-
nafas bawah ubahan-perubahan yang dapat mempengaruhi pola penyakit
2 Radang saluran Diarrhea Tuberkulosis respirasi di masa datang. Antara lain adalah :
3 Kardiovaskuler Kardiovaskuler Tidakjelas 1) Bertambahnya penderita lanjut usia (lansia)
4 Tuberkulosis Tuberkulosis Infeksi saluran nafas
Di masa akan datang lansia akan bertambah banyak se-
5 Susunan saraf Campak Diarrhea
6 Cedera dan kecelakaan Tetanus Infeksi lain hingga penyakit respirasi pada lansia akan ditemukan lebih
7 Neoplasma Malaria Bronkitis, emfisema & banyak, terutama TB, Pneumonia (acute on chronic), PPOM
asma dan kanker paru.
8 Gangguan perinatal Susunan saraf Trauma, keracunan & 2) Penderita Immuno Compromised Host bertambah banyak
kecelakaan
9 Bronkitis, asma dan Gangguan perinatal Sistim pencernaan
Kemajuan teknologi kedokteran akan mengubah penderita
emfisema yang dulu tak dapat berumur panjang, sekarang bisa bertahap
10 - Bronkitis asma dan Neoplasma hidup lebih lama; misalnya penderita gagal ginjal dengan
emfisema hemodialisis, penderita kanker dengan khemoterapi, penderita
thalasemia dan lain-lain. Penyakit saluran pernapasan pada
penderita ini, terutama TB paru dan pnemoni memerlukan
Penyebab kematian terbanyak dan penyakit Respirasi ada- perhatian khusus.
lah TB paru (no. 2), Infeksi saluran nafas (no. 4) dan bronkitis/ 3) Obat/cara pengobatan baru
asthma/ernfisema (no. 7). Jika kejadian kematian penyakit sistim
Obat antimikroba oral dan untuk khemoterapi baru makin
respirasi ini dijumlahkan, maka akan jauh lebih tinggi dan banyak; juga cara pengelolaan baru, seperti untuk penyakit
kejadian kematian penyakit sistim sirkulasi. Sehingga kejadian tuberkulosis, asthma bronkial, pneumoni. Pola penderita yang
kematian yang terbanyak adalah akibat sistim respirasi. dirawat di rumah sakit akan berubah, juga pola mikroorga-
Penyebab kematian utama penyakit respirasi pada SKRT nismenya.
1980 adalah radang saluran napas (no. 2), kemudian penyakit 4) Pemberian antimikroba yang tidak menurut aturan
TB paru (no. 4) dan bronkitis/asthma/emfisema (no. 9). Pada Resistensi kuman akan menjadi masalah, seperti pada TB
SKRT 1986 radang saluran nafas telah menjadi penyebab dan Pnemoni.
kematian utama, sedang TB paru tetap dan bronkitis/asthma/ 5) Masalah rokok/polusi
emfisema turun menjadi no. 10; tetapi pada SKRT 1992 telah Pengaruhnya sangat besar terutama pada kanker paru,
berubah; penyakit infeksi saluran napas turun menjadi no. 4, PPOM dan asthma bronkial.
TB paru naik menjadi no. 2 dan bronkitis/asthma/emfisema 6) Penyakit yang dibawa dan luar, seperti AIDS
naik menjadi no. 7(1,2,4). Penyakit TB pant dan pnemoni pada AIDS sukar disem-
Melihat hal ini, diperkirakan di masa datang bronkitis buhkan.
khronis/emfisema paru, yang lebih dikenal sebagai PPOM
(Penyakit Paru Obstruktif Menahun), serta penyakit asma bron-
TUBERKULOSIS
kitis sebagai penyakit degeneratip saluran napas, prevalensi- Laporan-laporan menunjukkan penyakit TB paru masih
nya akan naik.
Tabel 2. Lima Penyakit Paru Terbanyak yang Dirawat di Sub Unit Bagian
tetap merupakan penyakit respirasi yang dirawat atau berobat
Pulmonologi Lab/SMFI Imu Penyakit Dalam UNPAD/USHS jalan. Misalnya telah diteliti pola penyakit respirasi di satu desa
(Simpang Dolok) di Sumatera Utara. Yang terbanyak adalah
No. Penyakit Tahun 1986/1989 Tahun 1994
1 Tuberkulosis 56,4% 35,5%
penyakitTB pant (4 1,9%), lâlubronkitis (23,9%), asthma
2 Pneumoni 14,7% 10,6% bronkiale (12,9%), emfisema (3,9%) dan bronkiektasis(4,6%)°
3 PPOM 9,7% 12,5% Di Ternate (Maluku), penderita yang terbanyak dirawat adalah
4 Tumor pare 9,6% 7,1% TB Paru (16,7%), lalu Malaria (14%). infeksi saluran kemih
5 Asma/bronkitis 4,3% 3,5%
(12,1%), gastroenteritis akut (4,8%), gastritis (4,1%), asthma
Pola ini telah terlihat pada penderita yang dirawat di Sub

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


bronkial (3,8%), DM (3,7%), PPOM (3,2%), gagal ginjal Bandung; ternyata 13 penderita mengandung Mikobakteria
khronik (2,1) dan ulkus peptikum (1,9%)(5). Terlihat bahwa Atipik; M. Kansasi (4 penderita)(12). Hal ini harus diperhatikan
penyakit respirasi terbanyak adalah TB paru, asthma bronkial terutama pada penderita TB ekstra paru dan penderita AIDS. Di
dan PPOM. masa datang akan lebih banyak penderita lansia, Immuno
Di rumah sakit, puskesmas dan tempat pelayanan kesehat- Compromised Host dan AIDS yang harus ditanggulangi. Peng-
Ia an lainnya penderita tuberkulosis yang datang tidak saja pen- obatan penderita-penderita tersebut akan lebih sukar.
derita TB paru yang BTA positip, tetapi juga penderita TB paru Saat ini penyakit tuberkulosis masih akan mendominasi
dengan BTA negatip/biakan positip, TB tersangka dan TB ekstra penyakit respirasi. Untuk pengelolaan yang efektif harus lebih
paru. Pada tahun 1993 di Poli Paru RS Hasan Sadikin terdapat banyak diperhatikan masalah non medis, yaitu kepatuhan ber-
457 penderita TB yang baru berobat, tetapi hanya 14,8% de- obat; di masa datang resistensi kuman dapat menjadi masalah.
ngan BTA positip(3). Kemudian di Lab/UPF Penyakit Dalam
FK UNPADIRS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1983-989 PNEUMONI
terdapat TB paru 6 1,7%, TB Ekstraparu 22,2% dan TB paru + Diperkirakan spektrum penyakit pneumoni saat ini telah
TB Ekstra paru 16,1%. berubah. Menurunnyapendudukbalitadan bertambahnya lansia,
Pada tahun 1993 WHO, dan diikuti Departamen Kesehatan akan menurunkan pneumoni pada balita, tetapi pada lansia
RI, mengeluarkan Pedoman Pengobatan yang baru untuk Pe- bertambah. Akan makin banyak penderita immunocopromised
nyakit Tuberkulosis. Dianjurkan pengobatan yang lebih kuat host dan penyakit khronis yang bertahan lama seperti penderita
dengan obat yang lebih banyak. Penyebab kegagalan peng- thalasemia, diabetes mellitus, kanker dengan khemo/radioterapi,
obatan regimen-regimen yang lebih dulu adalah karena pen- gagal ginjal dengan dialisis dan lain-lain; serta masuknya
derita tidak taat berobat; hal ini menyebabkan kuman yang penyakit dan luar seperti AIDS, yang dikenal dengan pneumoni
resisten bertambah banyak. Melihat angka kematian karena yang disebabkan Pneumocystis carinii.
tuberkulosis di Indonesia bertambah, mungkin hal ini terjadi Pemakaian antimikroba yang tidak terajur, akan menyu-
juga di Indonesia. sahkan pengelolaan penyakit ini. Pada tahun 1995 di Lab/UPF
Tabel 3. Penderita yang Lalai Berobat dan Putus Berobat di Poli Paru RS
Penyakit Dalam FK UNAD/RS Hasan Sadikin kebanyakan
Hasan Sadikin Bandung (Oktober 93- September 94) penderita pneumoni yang dirawat adalah penderita pneumoni
yang sudah menderita penyakit lain, biasanya penyakit khronis
No. Berobat Penderita %
(Tabel 5).
1 Teratur 141 32,7
2 Lalai berobat 98 22,7 Tebel 5. Penyakit Pneumon yang Dirawat di Sub. Bag. Pulmonologl Lab/
3 Putus berobat 192 44,6 SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSHS Periode Januari-
Juni 1995
Jumlah 431 100
No. Pneumoni Jumlah %
Pada Tabel 3 terlihat penderita yang berobat di Poli Paru 1 Tanpa penyakit lain 13 14,8
RS Hasan Sadikin Bandung. Hanya 32,7% yang berobat secara 2 Dengan penyakit lain 75 85,2
teratur dan menurut aturannya(8). antara lain : - TB paru/bekas TB
- PPOM
- Karsinoma pare
Tabel 4. Uji Resistensi pada Penderita TB Paru yang Berobat Tidak - Asthma bronkiale
Teratur di Poli Paru RS Hasan Sadikin Bandung (Oktober 93– - dan lain-lain
September 1994)

No. ObatAnti-TB Sensitif Resisten Jumlah 88 100


1 Rifampisin 43,2% 56,8%
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF MENAHUN (PPOM)
2 Kanamisin 51,4% 48,6%
3 Streptomisin 43,2% 56,8% DAN KANKER PARU
4 lsoniazid 32,4% 67,6% Prevalensi kedua penyakit respirasi ini terus bertambah,
5 Ethambutol 59,5% 40,5% apalagi dengan bertambahnya penduduk lansia, maka kedua
6 Pirazinamid 73,0% 27,0% penyakit di atas akan lebih banyak dijumpai.
Diambil dari : Setiawan 1995. Sudah diketahui bahwa masalah utama kedua penyakit di
atas adalah rokok. Kebiasaan merokok di Indonesia telah me-
Tabel 4 memperlihatkan uji resistensi pada penderita yang luas. Menurut Survam Rumah Tangga 1986 didapatkan 52,2%
berobat tidak teratur di Poli Paru RS Hasan Sadikin Bandung. laki-laki dan 3,6% wanita merokok. Tetapi penelitian tahun
Terlihat bahwa untuk Rifampisin, Streptomisin dan Isoniazid 1992 pada 13.994 penduduk desa Tasikmalaya (Jawa Barat)
lebih dari 50% penderita sudah resisten(8). meng ungkapkan 83,7% Iaki-láki dan 4,9% wanita merokok(13).
Harus pula diperhatikan bukan saja penyakit yang Cukai rokok pada tahun 1969/70 adalah 31,1 milyar se-
disebabkan Mikobakteria Tuberkulosa, tetapi pula oleh dang tahun 1990/1991 menjadi 1,7 triliun. Belum pendapatan
Mikobakteria Atipik; t diteliti 84 penderita limfadenitis dan pajak perseroan, pajak deviden, pajak iklan dan pajak
tuberkulosa, yang didiagnosis secara patologi anatomik (PA) di karyawan, yang pada tahun 1990/1991 saja Rp. 1 triliun. Ekspor
Lab/UPF Penyakit Dalam FK UNPAD/RS Hasan Sadikin rokok belum termasuk. Tambah lagi kira-kira 17 juta orang

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 43


atau lebih dari 10% penduduk Indonesia, hidup dan rokok LAIN-LAIN
seperti pegawai industri rokok, petani tembakau, pedagang, Di masa datang yang harus diperhatikan juga adalah
pengecer dan lain-lain. Penyakit Paru/Respirasi Kerja. Dalam masa pembangunan ini,
Sedangkan kerugian-kerugian akibat rokok belum ada akan makin banyak orang bekerja di pabrik-pabrik, tentu akan
datanya, tetapi diketahui prevalensi kanker paru dan PPOM makin banyak orang yang sakit karena pekerjaannya. Serta juga
bertambah (Tabel 6). polusi udara, yang saat ini kurang mendapat perhatian yang
layak.
Tabel 6. Kejadian Kanker Paru di RS Hasan Sadikin UNPAD
Jumlah KESIMPULAN
1) Pola penyakit respirologi akan bergeser dan pola penyakit
No. Penelitian Tahun Penderita Rata-rata
Kanker Paru Per tahun infeksi ke pola penyakit degeneratip. Saat ini masih taraf pola
yang diteliti Rata-rata ganda, penyakit infeksi dan penyakit degeneratip terdapat
1 Topo Harsono 1960 – 1969 27 2,7 bersama-sama.
2 Rosman Faisal 1968 – 1972 25 5 2) Penyakit respirologi yang paling banyak saat ini adalah
3 Syahril Ismail 1973 – 1974 26 13 penyakit tuberkulosis, diikuti oleh penyakit PPOM, pnemonia,
4 Gatot Karsono & 1975 – 1976 37 18,5
Patrakusumah kanker paru dan asma bronkiale.
5 Soeria Soemantri 1985 – 1989 247 49,4 3) Penyakit Paru/Respirologi Kerja dan polusi udara harus
6 Soeria Soemantri 1993 – 1994 104 52 mulai mendapat perhatian lebih banyak.

ASMA BRONKIALE
Diperkirakan prevalensi asma bronkiale di Indonesia ada
lah 3 - 8% (Tabel 7). Di sini terlihat prevalensi asma anak di
beberapa kota di luar Jakarta antara 2 - 8%, sedang di Jakarta
antara 6,9 - 15%. Tidak jelas mengapa di Jakarta Iebih tinggi, KEPUSTAKAAN
tetapi hal ini harus diwaspadai, apakah di kota besar di masa
datang prevalensi asma akan bertambah(11). 1. Budiarso RL. Laporan Sementara Survai Kesehatan Rumah Tangga 1992,
Pola kematian. Lokakarya Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKM) 1992,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Tabel 7. Penelitian Prevalensi Asma pada Anak
RI, Cisarua, 1992.
Kota Penelitian N Prevalensi 2. Budiarso RL, Bakri Z, Soesanto SS dkk. Survai Kesehatan Rumah Tangga
1986. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Pusat Ekologi
Bandung Kartasasmita (1993) Balita 2-6% Kesehatan. Jakarta, 1987.
Jakarta Wirdjodiardjo dkk (1990) 1171 anak SD 13,2% 3. Karnarrudin Z. Pola Bakteriologis Sputum BTA/Biakan pada Penderita TB
Jakarta Siregar dkk (1990) 244 anak 14 tahun 6,9 % Paru di Poliklinik Paru RS Hasan Sadikin selama tahun 1993. Skripsi, Fak.
Jakarta Boediman dkk (1993) 1099 anak SD 12,46% Kedokteran UNPAD, Bandung, 1995.
Jakarta Rahajoe dkk (1993) 1515 anak SD 10,43% 4. Mardjono M, HanafiahY, LoedinAA, Rukmono B, Husin DM. Pandangan
Manado Wantania J (1993) 5101 anak SD 7,99% Tentang Pengembangan Ilmu Kedokteran di Indonesia. Akademi Ilmu
Jakarta PenelitianMultisenter(1993) 1515 anak SD 15,15% Pengetahuan Indonesia, Komisi Bidang Ilmu Kedokteran, Jakarta 1992.
Palembang Idem 5409 anak SD 8,02% 5. Pattiiha MZ, Politan, Indra RA, TandjungA, Pelly R. PoIa Penyakit Rawat
Bandung Rosmayudi dkk (1993) 4865 anak SD 6,4 % Nginap di UPF Penyakit Dalam RSU Temate tahun 1994/1997. KOPAPDI
Palembang Arifin dkk (1993) 5250 anak SD 7,71% IX,Denpasar, 1993.
6. Pokok-pokok Sambutan Menteri Negara Kependudukan Pada Temu
Sering penderita asma hanya berobat atau makan obat bila Wicara Peningkatan Kualitas Hidup Lansia. Kantor Menteri Negara
Kependu dukan, Jakarta 1993.
merasa sesak napas saja dengan aturan sendiri. Pengetahuan 7. Ruswandi, Tangan HMM. Prevalensi Penyakit Paru Khronik pada orang
cara berobat asma didapat dari keluarganya atau kenalannya dewasa di Desa Simpang Dolok Kecamatan Lima Puluh. Kongres IDPI IV,
atau dan koran/majalah/radio/TV. Obatnyapun dibeli sendiri Yogyakarta, 1993.
atau dan resep yang pernah didapat dari dokternya dulu. Bila 8. Setiawan. Kepatuhan Penderita Dalam Pengobatan TB Paru. Skripsi, Fak
Kedokteran UNPAD, Bandung 1995.
cara berobat ini tidak berhasil, maka sesaknya sudah sedemiki- 9. SimgarKN, SuwandonoA. Transisi Demografi di Indonesia, Seabad.
an rupa sehingga harus dirawat di rumah sakit, kadang-kadang Media Litbangkes, 1992; II: 2-4.
demikian berat, sehingga harus dirawat di ruang intensif (ICU). 10. Soeria Soemantri E. Kanker Paru dan Permasalahannya. Hari Ulang Tahun
Cara berobat masa kini adalah menitik beratkan pada cara Yayasan Kanker Indonesia ke 18. Wilayah Jawa Barat, Bandung, 1995.
11. Soeria Soemantri E. Epidemiologi Asma di Indonesia. KONKER PDPI,
pencegahan sesak dan menormalkan fungsi paru. Sehingga di- Bandung, 1995.
harapkan penderita jarang sesak nafas, tidak dirawat di rumah 12. Soeria Soemantri E, Paula Cynthia M, Misnadiarly, Dahlan Z, Zainal K.
sakit dan dapat hidup/bekerja seperti orang lain. Atypical Mylobacterium Isolated from Histologically Program Tubercu
Karena itu pengobatan penderita asma yang paling pen- losis of Cervical Lymphnodes in teaching Hospital in Inddnesia. The 17th
Regional Conference on Tuberculosis and Respiratory Diseases, Bangkok,
ting adalah cara non medis yaitu mendidik penderita asma Thailand, 1993.
untuk berobat sesuai aturannya. Di masa datang pendidikan 13. Wijaya 0, Suhana D, Sukandar H, Gilang NR.M, Brotoprawiro. Alarming
mengenai asma (asthma education) adalah yang harus diutama- prevalence rates of smoking in a rural area of West-Java, Indonesia. Unit
kan. Penelitian, Fak Kedokteran UNPAD, Bandung, 1994.

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dampak
Debu Industri pada Paru Pekerja
dan Pengendaliannya
Faisal Yunus
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Bagian Pulmonologi FKUI/Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta

PENDAHULUAN yaitu deposit particulate matter yaitu partikel debu yang


Kemajuan sektor industri di Indonesia meningkat dari hanya berada sementara di udara, partikel ini segera meng-
tahun ke tahun, peningkatan ini sejalan dengan peningkatan endap karena daya tank bumi. Suspended particulate matter
taraf ekonomi negara. Dengan majunya industri maka terbuka- adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah
lah lapangan kerja buat masyarakat, daerah di sekitar per- mengendap(7). Partikel debu yang dapat dihirup berukuran 0,1
industrian juga berkembang dalam bidang sarana transpor- sampai 10 mikron(7,8).
tasi, komunikasi, perdagangan dan bidang lain. Semua hal Debu yang berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap
ini akan meningkatkan taraf ekonomi dan sosial masyarakat. Di akan tertahan dan tertimbun pada saluran napas bagian atas;
lain pihak kemajuan ekonomi perangsang timbulnya industri yang berukuran antara 3-5 mikron tertahan dan tertimbun
baru yang mempunyai ruang lingkup yang lebih luas. pada saluran napas tengah. Partikel debu dengan ukuran 1-3
Meskipun perkembangan industri yang pesat dapat me- mikron disebut debu respirabel merupakan yang paling ber-
ningkatkan taraf hidup, tetapi berbagai dampak negatif juga bahaya karena tertahan dan tertimbun mulai dari bionkiolus
bisa terjadi pada masyarakat. Salah satu dampak negatif ada- terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya kurang dari
lah terhadap paru para pekerja dan masyarakat di sekitar 1 mikron tidak mudah mengendap di alveoli, debu yang
daerah perindustrian. Hal ini disebabkan pencemaran udara ukurannya antara 0,1-0,5 mikron berdifusi dengan gerak
akibat proses pengolahan atau hasil industri tersebut. Ber- Brown keluar masuk alveoli; bila membentur alveoli ia dapat
bagai zat dapat mencemani udara seperti debu batubara, se- tertimbun di situ(1,8,9).
men, kapas, asbes, zat-zat kimia, gas beracun, dan lain-lain. Meskipun batas debu respirabel adalah 5 mikron, tetapi
Tergantung dari jenis paparan yang terhisap, berbagai debu dengan ukuran 5-10 mikron dengan kadar berbeda dapat
penyakit paru dapat timbul pada para pekerja. Pengetahuan masuk ke dalam alveoli. Debu yang berukuran lebih dari 5
yang cukup tentang dampak debu terhadap paru diperlukan mikron akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang
untuk dapat mengenali kelainan yang terjadi dan melakukan dari 10 partikel per miimeter kubik udara. Bila jumlahnya
usaha pencegahan. 1.000 partikel per milimeter kubik udara, maka 10% dari
jumlah itu akan ditimbun dalam paru(9,10).
Debu yang nonfibrogenik adalah debu yang tidak me-
KARAKTERISTIK DEBU nimbulkan reaksi jaring paru, contohnya adalah debu besi,
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya penyakit kapur, timah. Debu ini dulu dianggap udak merusak paru
atau gangguan pada salurail napas akibat debu. Faktor itu disebut debu inert. Belakangan diketahui bahwa tidak ada
antara lain adalah faktor debu yang meliputi ukuran partikel, debu yang benar-benar inert. Dalam dosis besar, semua debu
bentuk, konsentrasi, daya larut dan sifat kimiawi, lama pa- bersifat merangsang dan dapat menimbulkan reaksi walau-
paran. Faktor individual meliputi mekanisme pertahanan paru, pun ringan. Reaksi itu berupa produksi lendir berlebihan;
anatomi dan fisiologi saluran napas dan faktor imuno logis(1-6). bila m terus berlangsung dapat terjadi hiperplasi kelenjar
Debu industri yang terdapat dalam udara terbagi dua, mukus. Jaringan paru juga dapat berubah dengan terbentuk-

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 45


nya jaringan ikat retikulin. Penyakit paru ini disebut pneu- Anamnesis mengenal riwayat pçkerjaan yang akurat dan
mokoniosis nonkolagen(8,10,11). rinci sangat diperlukan, apalagi bila penderita sering berganti
Debu fibrogenik dapat menimbulkan reaksi jaringan tempat kerja. Riwayat pekerjaan yang berhubungan dengan
paru sehingga terbentuk jaringan parut (fibrosis). Penyakit ini paparan debu dan lama paparan hendaklah diketahui secara
disebut pneumokoniosis kolagen. Termasuk jenis ini adalah lengkap(16-18). Berbagai faktor yang berhubungan dengan pe-
debu siika bebas, batubara dan asbes(7,9,12). kerjaan dan lingkungan perlu diketahui secara nnci(19). Pada
tabel 1 dapat diihat faktor kunci mengenal nwayat pekerja-
REAKSI PARU TERHADAP DEBU an dan lingkungan.
Debu yang masuk ke dalam saluan napas, menyebabkan
timbulnya reaksi mekanisme pertahanan nonspesifik berupa Tabel 1. Faktor Kunci Riwayat Pekerjaan dan Lingkungan(19)
batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis Penyakit sekarang: - Gejala-gejala yang berhubungan dengan pekerjaan.
oleh makrofag(2,3,9,13). Otot polos di sekitar jalan napas dapat - Pekerjaan lain yang terkena gejala serupa.
terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini - Paparan saat ini terhadap debu, gas bahan kimia
- dan biologi yang berbahaya.
terjadi biasanya bila kadar debu melebihi nilai ambang ba- - Laporan terdahulu tentang kecelakaan kerja.
tas (1,7,14). Riwayat pekerjaan meliputi catatan tentang semua pekerjaan terdahulu,
Sistem mukosilier juga mengalami gangguan dan me- hari kerja yang khusus, proses pertukaran pekerjaan.
nyebabkan produksi lendir bertambah. Bila lendir makin ba- Tempat kerja : - Ventilasi, higiene industri dan kesehatan, pemeriksaan
pekerja, pengukuran proteksi.
nyak atau mekanisme pengeluarannya tidak sempurna terjadi - Serikat kesehatan dan keamanan cahaya, hari-hari kerja
obstruksi saluran napas sehingga resistensi jalan napas me- yang hilang tahun sebelumnya, penyebabnya, santun-
ningkat(3,9). an kompensasi pekerja sebelumnya.
Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan mem- Riwayat penyakit dahulu : - paparan terhadap kebisingan, getaran, radi-
asi, zat-zat kimia. ubes.
bentuk fokus dan berkumpul di bagian awal saluran limfe Riwayat lingkungan : - Rumah dan lokasi tempat kerja sekarang dan
paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang sebelumnya.
bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas me- - Pekerjaan lain yang bermakna
nyebabkan terjadinya autolisis. Makrofag yang lisis bersama - Sampah/limbah yang berbahaya
- Polusi udara
silika bebas merangsang terbentuknya makrofag baru. Ma- - Hobi : mencat, memahat, mematri, pekerjaan
krofag baru memfagositosis silika bebas tadi sehingga terjadi yang berhubungan dengan kayu.
lagi autolisis, keadaan ini terjadi berulang-ulang. Pembentuk- - Alat pemanas rumah
an dan destruksi makrofag yang terus menerus berperan pen- - Zat-zat pembersih namah dan tempat kerja
- Paparan peptisida
ting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendap- - Sabuk pengaman
an hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada - Alat pemadam kebakaran di rumah atau di
parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan tempat kerja.
interstisial. Akibat fibrosis paru menjadi kaku, menimbulkan Tinjauan semua sistem organ
perhatian khusus : - Perubahan waktu kerja, kebosanan, riwayat re-
gangguan pengembangan paru yalta kelainan fungsi paru produksi.
yang restriktif(8,9).
Penyakit paru yang dapat timbul karena debu selain ter- Pemeriksaan penunjang yang penting untuk menegakkan
gantung pada sifat-sifat debu, juga tergantung pada jenis debu, diagnosis dan menilai kecacatan paru pada penyakit paru
lama paparan dan kepekaan individual. Pneumokoniosis akibat debu adalah pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan
biasanya timbul setclah paparan bertahun-tahun. Apabila ka- faal paru.
dar debu tinggi atau kadar silika bebas tinggi dapat terjadi
silikosis akut yang bermanifestasi setelah paparan 6 bulan. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Dalam masa paparan yang sama seseozang thpat mengalami Pemeriksaan foto toraks sangat berguna untuk melihat
kelainan yang berat sedangkan yang lain kelainnya ringan kelainan yang ditimbulkan oleh debu pada pneumokoniosis.
akibat adanya kepekaan individual(7,9,15). Penyakit akibat debu Klasifikasi standar menunit ILO dipakai untuk menilai ke-
antara lain adalah asma kerja, bronkitis industri, pneumoko- lainan yang timbul. Pembacaan foto toraks pneumokoniosis
niosis batubara, siikosis, asbestosis dan kanker paru. perlu dibandingkan dengan foto standar untuk menentukan
klasifikasi kelainan. Perselubungan yang timbul dibagi atas
DIAGNOSIS perselubungan halus dan kasar(20).
Penyakit paru akibat debu industri mempunyai gejala dan
tanda yang mirip dengan penyakit paru lain yang udak di- A. Perselubungan Halus (Small Opacities)
sebabkan oleh debu d tempat kerja(16). Untuk menegakkan Perselubungan ini digolongkan menurut bentuk, ukuran,
diagnosis perlu dilakukan anamnesis yang teliti meliputi banyak dan luasnya. Menurut bentuk dibedakan alas perselu-
riwayat pekerjaan, dan hal-hal yang berhubungan dengan pe- bungan halus bentuk lingkar dan bentuk ireguler. Perselubung-
kerjaan, karena penyakit biasanya baru timbul setelah paparan an lingkar dibagi berdasarkan diameternya, yaitu:
yang cukup lama(16-18). p = diameter sampai 1,5 mm

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


q = diameter antara 1,5-3 mm vitas pengobatan dan menilai prognosis. Pemeriksaan se-
r = diameter antara 3-10 mm belum seseorang bekerja, dan pemeriksaan berkala setelah
Bentuk ireguler dibagi berdasarkan lebarnya, yaitu: bekerja dapat mengidentifikasi penyakit dan perkembangan-
s = lebar sampai 1,5 mm nya pada pekerja yang sebelumnya tidak mempunyai
t = lebar antara 1,5-3 mm geja1a(16,21-23).
u = lebar antara 3-10 mm Pemeriksaan faal paru lain yang lebih sensitif untuk
Untuk pelaporan bentuk dan ukuran kelainan digunakan mendeteksi kelainan di saluran napas kecil adalah pemerik-
dua huruf. Huruf pertama menunjukkan kelainan yang lebih saan Flow Volume Curve dan Volume of Isoflow. Pengukur-
dominan, contoh p/s. ini berarti perselubungan lingkar ukuran an kapasitas difusi paru (DLCO) sangat sensitif untuk men-
p lebih banyak, tetapi juga ada perselubungan ireguler ukur- deteksi kelainan di interstisial; tetapi pemeriksaan ini rumit
an s tetapi jumlahnya sedikit. dan memerlukan peralatan yang lebih canggih, dan tidak di
Kerapatan (profusion) kelainan didasarkan pada konsen- anjurkan digunakan secara rutin. Pekerja yang pada pemerik-
trasi atau jumlah perselubungan halus persatuan area. Dibagi saan awal tidak menunjuickan kelainan, kemudian menderita
atas 4 kategori, yaitu: kelainan setelah bekerja dan penyakitnya terus berlanjut, di-
Kategori 0 = Tidak ada perselubungan atau kerapatan ku- anjurkan untuk menukar pekerjaannya(16).
rang dari 1.
Kategori 1 = Ada perselubungan tetapi sedikit. PNEUMOKONIOSIS PEKERJA TAMBANG BATU-
Kategori 2 = Perselubungan banyak, tetapi corakan paru BARA
masih tampak. Penyakit terjadi akibat penumpukan debu batubara di
Kategori 3 = Perselubungan sangat banyak sehingga corakan paru dan menimbulkan reaksi jaringan terhadap debu ter-
paru sebagian atau seluruhnya menjadi kabur. sebut. Penyakit ini terjadi bila paparan cukup lama, biasanya
Foto toraks pada pneumokoniosis mempunyai 12 kategori, setelah pekerja terpapar lebih daii 10 tahun. Berdasarkan
yaitu : gambaran foto toraks dibedakan atas bentuk simple dan com-
0/- 0/0 0/1 plicated(2,17,24,25).
1/0 1/1 1/2 Simple Coal Workers Pneumoconiosis (Simple CWP)
2/1 2/2 2/3 terjadi karena inhalasi debu batubara saja. Gejalanya hampir
3/2 3/3 3/+ tidak ada; bila paparan tidak berlanjut maka penyakti ini
Angka pertama menunjukkan kerapatan yang lebih do- tidak akan memburuk. Penyakit ini dapat berkembang men-
minan daripada angka dibelakangnya. Kerapatan adalah pe- jadi bentuk complicated. Kelainan foto toraks pada simple
tunjuk penting .untuk menentukan beratnya penyakit. CWP berupa perselubungan halus bentuk lingkar, perselu-
Luasnya distribusi perselubungan didasarkan atas area bungan clapat terjadi di bagian mana saja pada lapangan paru,
yang terkena. Lapanan paru dibagi atas 6 area, masing-masing yang paling sering di lobus atas. Senng ditemukan perselu-
belahan paru mempunyai 3 area yaitu lobus atas, lobus tengah bungan bentuk p dan q. Pemeriksaan faal paru biasanya tidak
dan lobus bawah. menunjukkan kelainan. Nilai VEP1 dapat sedikit menurun
sedangkan kapasitas difusi biasanya normal(2,16,17,24).
B. Perselubungan Kasar (Large Opacities) Complicated Coal Workers Pneumoconiosis atau Fibrosis
Perselubungan kasar dibagi atas 3 kategori yaitu A, B Masif Progresif (PMF) ditandai oleh terjadinya daerah fibro-
danC. sis yang luas hampir selalu terdapat di lobus atas(17). Fibrosis
Kategori A = Satu perselubungan dengan diameter antara 1-5 biasanya terjadi karena saw atau lebih faktor berikut(16) :
cm, atau beberapa perselubungan dengan dimater masing- 1 . Terdapat silika bebas dalam debu batubara.
masing lebih dari 1 cm, tapi bila diameter semuanya di 2. Konsentrasi debu yang sangat tinggi.
jumlahkan tidak melebihi 5 cm. 3. Infeksi Mycobacterium tubeivulosis atau atipik.
Kategori B = Satu atau beberapa perselubungan yang lebih 4. Imunologi penderita buruk.
besar atau lebih banyak dari A dengan luas perselubungan tidak Pada daerah fibrosis thpat timbul kavitas dan ini bisa
melebihi luas lapangan paru kanan atas. menyebabkan penumotoraks; foto toraks pada PMF sering
Kategori C = Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah miriptüberkulosis, tetapi senng ditemukan bentuk campuran
luasnya melebihi luas lapangan paru kanan atas atau sepertiga karena terjadi emfisema. Tidak ada korelasi antara kelainan
lapangan paru kanan. faal paru dan luasnya lesi pada foto toraks. Gelaja awal
biasanya tidak khas. Batuk dan sputum menjadi lebih sering,
PEMERIKSAAN FAAL PARU dahak berwarna hitam (melanoptisis). Kenisakan yang luas
Pemeriksaan faal paru yang sederhana, cukup sensitif dan menimbuikan sesak napas yang makin bertambah, pada sta-
bersifat reprodusibel serta digunakan secara luas adalah pe- dium lanjut terjadi kor hipertensi pulmonal, gagal ventrikel
meriksaan kapasitas vital (1(V) dan volume ekspirasi paksa kanan dan gagal napas(2,17,24).
detik pertama (VEP1) selain berguna untuk menunjang Penelitian pada pekerja tambang batubara di Tanjung
diagnosis juga perlu untuk melihat lajunya penyakit, efekti- Enim lahun 1988 menemukan bahwa dari 1735 pekerja di-

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 47


temukan 20 orang atau 1,15% yang foto toraksnya menunjuk- tion(16).
kan gambaran pneumokoniosis(26). Jika fibrosis masif progresif terjadi, volume paru ber-
kurang dan bronkus mengalami distorsi. Faal paw menunjuk-
SILIKOSIS kan gangguan restriksi, obstruksi atau campuran. Kapasitas
Penyakit ini terjadi karena inhalasi dan retensi debu difusi dan komplians menurun. Timbul gejala sesak napas,
yang mengandung kristalin silikon dioksida atau silika be- biasa disertai batuk dan produksi sputum. Sesak pada awal-
bas (S1S2). Pada berbagai jenis pekerjaan yang berhubungan nya terjadi pada saat aktivitas, kemudian pada waktu istirahat
dengan silika penyakit ini dapat terjadi, seperti pada pe- dan akhirya timbul gagal kardiorespirasi(16).
kerja(6,16,17,27). Di pabrik semen di daerah Cibinong (1987) dan 176 pe-
1. Pekerja tambang logam dan batubara kerja yang diteliti ditemukan silikosis sebanyak 1,13% dan
2. Penggali terowongan untuk membuat jalan diduga silikosis 1 ,7% Pada tahun 1991 penelitian pada 200
3. Pemotongan batu seperti untuk patung, nisan pekerja pabrik semen ditemukan dugaan silikosis sebanyak 7%.
4. Pembuat keramik dan batubara Perbedaan angka yang didapat diduga karena perbedaan
5. Penuangan besi dan baja kualitas foto toraks, dan kadar silika bebas dalam debu yang
6. Industri yang memakai silika sebagai bahan misalnya memapari pekerja(29).
pabrik amplas dan gelas.
7. Pembuat gigi enamel Silikosis Terakselerasi
8. Pabrik semen Bentuk kelainan ini serupa dengan silikosis kronik, hanya
Usaha untuk menegakkan diagnosis silikosis secara dini perjalanan penyakit lebih cepat dari biasanya, menjadi fi-
sangat penting, oleh karena penyakit dapat terus berlanjut brosis masif, sering terjadi infeksi mikobakterium tipikal atau
meskipun paparan telah dihindari. Pada penderita silikosis atipik. Setelah paparan 10 tahun sering terjadi hipoksemi yang
insidens tuberkulosis lebih tinggi dari populasi umum(2,17). berakhir dengan gagal napas(6,16).
Secara klinis terdapat 3 bentuk silikosis, yaitu si likosis
akut, silikosis kronik dan silikosis terakselerasi(6,16,27). ASBESTOSIS
Penyakit ini terjadi akibat inhalasi debu asbes, menimbul-
Sitikosis Akut kan penumokoniosis yang ditandai oleh fibrosis paru. Papar-
Penyakit dapat timbul dalam beberapa minggu, bila an dapat terjadi di therah industri dan tambang, juga bisa
seseorang terpapar silika dengan konsentrasi sangat tinggi. timbul pada daerah sekitar pabrik atau tambang yang udara-
Perjalanan penyakit sangat khas, yaitu gejala sesaic napas nya terpolusi oleh debu asbes. Pekerja yang dapat terkena
yang progesif, demam, batuk dan penurunan berat badan se- asbestosis adalah yang bekerja di t ambang, penggilingan,
telah paparan silika konsentrasi tingi dalam waktu relatif transportasi, pedagang, pekerja kapal dan pekerja penghancur
singkat. Lama paparan berkisar antara beberapa minggu sam- asbes(16,17,30,31).
pai 4 atau 5 tahun. Kelainan faal paru yang timbul adalah Pada stadium awal mungkin tidak ada gejala meskipun
restriksi berat dan hipoksemi disertai penurunan kapasitas di foto toraks menunjukkan gambaran asbestosis atau penebal-
fusi. an pleura. Gelaja utama adalah sesak napas yang pada awal-
Pada foto toraks tampak fibrosis interstisial difus, fibrosis nya terjadi pada waktu aktivitas. Pada stadium akhir gejala
kemuclian berlanjut dan terdapat pada lobus tengah dan bawah yang umum adalah sesak pada saat istirahat, batuk dan pe-
membentuk djffuse ground glass appearance mirip edema nurunan berat badan. Sesak napas terus memburuk meskipun
paru(6,27). penderita dijauhkan dari paparan asbes; 15 tahun sesudah
awal penyakit biasanya terjadi kor pulmonal dan kematian.
Silikosis Kronik Penderita sering mengalami infeksi saluran napas; keganasan
Kelainan pada penyakit ini mirip dengan pneumokoniosis pada brunkus, gastrointestinal dan pleura sering menjadi pe-
pekerja tambang batubara, yaitu terdapat nodul yang biasa- nyebab kematian(16,17,30,31).
nya dominan di lobus atas. Bentuk silikosis kronik paling se- Pada stadium awal pemeriksaan fisis tidak banyak me-
ring ditemukan, terjadi setelah paparan 20 sampai 45 tahun nunjukkan kelainan, akibat fibrosis difus dapat terdengar
oleh kadar debu yang relatif rendah. Pada stadium simple, ronki basah di lobus bawah bagian posterior. Bunyi ini makin
nodul di paru biasanya kecil dan tanpa gejala atau minimal. jelas bila terjadi bronkiektasis akibat distorsi paw yang luas
Walaupun paparan tidak ada lagi, kelainan paru dapat men- karena flbrosis. Jan tabuh ((clubbing) senng ditemukan pada
jadi progresif sehingga terjadi fibrosis yang masif(6,27). asbestosis(17,30,31).
Pada silikosis kronik yang sederhana, foto toraks menun- Perubahan pada foto toraks lebih jelas pada bagian tengah
jukkan nodul terutama di lobus atas dan mungkin disertai dan bawah paw, dapat berupa bercak difus atau bintik-bintik
klasifikasi. Pada bentuk lanjut terthpat masa yang besar yang yang patht, bayangan jantung sering menjadi kabur. Diafagma
tampak seperti sayap malaikat (angel’s wing). Sering terjadi dapat meninggi pada stadium lanjut karena paw mengecil.
reaksi pleura pada lesi besar yang padat. Kelenjar hilus biasa- Penebalan pleura biasanya terjadi biral, terlihat di daerah
nya membesar dan membentuk bayangan egg shell calcifica- tengah dan bawah terutama bila timbul kalsifikasi. Bila proses

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


lanjut terlihat gambaran sarang tawon di lobus bawah. Mung- Tabel 2. Zat Penyebab Bronkitis Industri(33)
Dipastikan Kcmungkinan Diduga
km ditemukan keganasan bronkus atau mesotelioma. Berbeda
besar
dengan penumokoniosis batubara dan silikosis yang pende-
ritanya dapat mempunyai gejala sesak napas tanpa kelainan Aldehid (akrolein formaldehid) +
foto toraks(16,17,30,31). Ammonia +
Pemeriksaan faal paru menunjukkan kelainan restriksi Debu batubara +
meskipun tidak ada gejala pada sebagian penderita terdapat Kalium (emfisema) +
Khlorin +
kelainan obsiruksi. Kapasitas difusi dan komplians paru me- Khlormetil eter +
nurun, pada tahap lanjut terjadi hipoksemia(17,30,31). Khrom +
Biopsi paru mungkin perlu pada kasus tertentu untuk Debu tambang batubara
menegakkan diagnosis. Biopsi paru transbronkial hendaklah (bronkitis, emfisema) +
dilakukan untuk mendapakatan jaringan paru. Pemeriksaan Kobalt +
Pembakaran arang batu +
bronkoskopi juga berguna menyingkirkan atau mengkonfir- Debu kapas +
masi adanya karsinoma bronkus yang terdapat bersamaan(17). Gas diesel +
Endotoksin +
BRONKITIS INDUSTRI Debu tepung (gandum, barley) +
Berbagai debu industri seperti debu yang berasal dari N02 +
Paraquat +
pembakaran arang batu, semen, keramik, besi, penghancuran Fosgen +
logam dan batu, asbes dan silika dengan ukuran 3-10 mikron Polikhlorinat bifenil +
akan ditimbun di paru. Efek yang lama dali paparan ini me Debu keramik +
nyebabkan paralisis silia, hipersekresi dan hipertrofi kelenjar- NaOH +
Toluen diisosianat +
mukus. Keadaan ini meyebabkan saluran napas rentan ter- Tungsten karbid +
hadap infeksi dan timbul gejala-gejala batuk menahun yang Vanadium +
produktif. Pada pekerja tambang batubara bila paparan meng- Vinil khlorida monomer +
hilang, gejal klinis dapat hilang. Pada pekerja yang berhu- Western red cedar +
bungan dengan tepung keadaanya Iebih kompleks. Berbagai Debu wol +
komponen debu padi-padian (antigen padi-padian, jamur
kumbang padi, tungau, endotoksin bakteri, antigen binatang, tersebut rendah bila dibandingkan dengan prevalensi di ka-
dan debu inert) berperan menimbulkan bronkitis(1,6,32). langan penduduk yang tinggal di sekitar pabrik semen.
Berbagai zat telah dipastikan sebagai penyebab terjadi-
nya bronkitis industri sedangkan zat-zat lain kemungkinan ASMA KERJA
besar atau diduga sebagai penyebab. (Tabel 2) Asma kerja adalah penyakit yang ditandai oleh kepekaan
Pada bronkitis industri atau bronkitis kronik foto toraks saluran napas terhadap paparan zat di tempat kerja dengan
dapat normal, atau menunjukkan peningkat.an corakan bron- manifestasi obstruksi saluran napas yang bersifat reversibel.
kopulmoner terutama di lobus bawah(17,33). Pada awal pe- Penyakit mm hanya mengenal sebagian pekerja yang terpapar,
nyakit pemeriksaan faal paru tidak menunjukkan kelainan. dan muncul setelah masa bebas gejala yang berlangsung
Karena meningkatnya resistensi pemapasan, pada stadium antara beberapa bulan sampai beberapa tahun. Pada tiap indi-
lanjut terjadi obsiruksi saluran napas yang thpat menjadi vidu masa bebas gejal dan berat ringannya penyakit sangat
ireversibel(23,33). Apabila telah timbul obstruksi yang irever- bervariasi(35).
sibel, penyakit akan berjalan secara lambat dan progresif Berbagai debu dan zat di tempat kerja thpat menimbul-
Pemeriksan faal paru berguna untuk menentukan tahap per- kan asma kerja. Zat itu thpat berasal dali tumbuh-tumbuhan
jalanan penyakit, manfaat bronkodilator, perburtikan fungsi seperti tepung gandum, debu kayu, kopi, buah jarak, colo-
paru dan menentukan pmgnosis(22,23). phony, binatang seperti binatang pengerat, anjing, kucing,
Pada penduduk yang tinggal di sekitar pabnk semen kutu ganchim, ulat sutra, kerang; zat kimia seperti isosionat,
kekerapan bronkitis kronik jauh lebih tinggi dali penduduk garam platina, khrom, enzmm seperti iripsin dan papain. Dapat
yang tinggalnya jauh. Pada penduduk yang tinggalnya 25 km juga berasal dali obat-obatan seperti pada pmduksi piperazin,
dari pabrik semen, terdapat kekerapan bronkitis kronik tetrasiklin, spinamisin dan penisilin sintetik(36).
14,66% pada laki-laki dan 23,46% pada perempuan. Pada Pada individu atopik keluhan asma timbul setelah be-
daerah yang terletak 5 km dari pabrik didapatkan angka ke- kerja 4 atau 5 tahun, sedangkan pada individu yang nona-
kerapan penyakit ini 33,33% pada laki-laki dan 22,35% pada topik keluhan ini muncul beberapa tahun Iebih lama. Pada
perempuan(34). Penelitian pada pekerja pabrik semen di daerah tempat yang mengandung zat paparan kuat seperti isosionat
Cibinong pada tahun 1987 tidak menemukan penyakit bron- dan colophony gejala dapat timbul lebih awal bahkan ka-
kitis kronik Penelilian yang dilakukan pada tahun 1991 dang-kadang beberapa minggu setelah mulai bekerja. Keluhan
menemukan kekerapan bronkitis kronik yang sangat rendah asma yang khas adalah mengi yang berhubungan dengan
yaitu 0,5%; prevelensi bronkitis kronik pada para pekerja pekerjaan. Gejala pada tiap individu bervaliasi, kebanyakan

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 49


membaik pada akhir pekan dan waktu libur. Ananinesis ri- Tindakan pencegahan merupakan tindakan yang paling
wayat penyakit yang rinci penting untuk menegakkan diag- panting pada penatalaksanaan penyakit paru akibat debu
nosis. Ada individu yang terserang setelah paparan be- industri. Berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan
berapa menit, pada individu lain sering timbul beberapa jam untuk mencegah timbulnya penyakit atau mengurangi laju
sesudah paparan dengan gejala yang mengganggu pada malam penyakit. Perlu diketahui apakah pada suatu industri atau
berikutnya(35). tempat kerja ada zat-zat yang dapat menimbulkan kelainan
Pemeriksaan faal paru di luar serangan dapat normal. pada paru. Kadar debu pada tempat kerja diturunkan serendah
Pada waktu serangan terlihat tanda obstruksi. Pemeriksaan mungkin dengan memperbaiki teknik pengolahan bahan,
arus puncak ekspirasi menunjukkan penurunan lebih dari misalnya pemakaian air untuk mengurangi debu yang ber-
15% pada waktu serangan. Bilafaal paru normal dan pasien terbangan. Bila kadar debu tetap tinggi pekerja diharuskan
dicurigai menderita asma, pemeriksaan uji provokasi bronkus memakai alat pelindung. Pemeriksaan faal paru dan radiologi
merupakan pemeriksaan yang menunjang. Indikasi utama uji sebelum seorang menjadi pekerja dan pemeriksaan secara
provokasi bronkus adalah(35). berkala untuk deteksi dini kelainan yang timbul. Bila sese-
1.) Bila pekerja diduga menderita asma kerja tapi tidak orang telah mendenita penyakit, memindahkan ke tempat yang
diketahui zat yang menyebabkannya. tidak terpapar mungkin dapat mengurangi laju pe-
2.) Bila pekerja terpapar oleh lebih dari satu zat yang dapat nyakit(6,24,30,32,35).
menyebabkan asma kerja. Pekerja hendaklah berhenti merokok terutama bila be-
3.) Bila konfirmasi mutiak untuk diagnosis penyakit di kerja pada tempat-tempat yang mempunyai risiko terjadi pe-
perlukan, misalnya sebelum menyuruh penderita berhenti nyakit bronkitis idustri dan kanker paru, karena asap rokok
bekerja. thpat meninggikan risiko timbulnya penyakit(6,30,37).
Pemeriksaan lain yang tidak spesifik tapi dapat mem- Penderita yang atopik idealnya dianjurkan menghindari
berikan informasi adalah uji kulit, yaitu dengan tes goresan. tempat yang jelas thpat mencetuskan serangan asma, seperti
Sebagian penderita yang tidak mempunyai gejala akan me- produksi sutra, deterjen, dan pekerjaan yang mempunyai
nunjukkan reaksi positif seget sesuthh uji kulit. Tidak ada paparan garam platinum. Industri dan tempat kerja yang
hubungan yang pasti antara pekerjaan kulit dan bronkus(35). mempunyai risiko tinggi menimbulkan serangan asma hen-
daklah tidak menenima pegawai yang atopik. Pekerja yang
KANKER PARU AKIBAT KERJA mendenita asma kerja hendaklah dihindari dan paparan zat di
Mekanisme terjadinya kanker akibat paparan zat belum tempat kerja(35).
diketahui secara tuntas. Para ahli sepakat paling kurang
ada 2 stadium terjadinya kanker karena bahan karsinogen.
Pertama adalab induksi DNA sel target oleh bahan karsi- PENUTUP
nogen sehingga menimbulkan mutasi sel, kemudian terjadi Debu industri di tempat kerja dapat menimbulkan ke-
peningkatan multiplikasi sel yang merupakan manifestasi lainan dan penyakit paru. Berbagai faktor berperan pada
penyakit(37). mekanisme timbulnya penyakit, diantaranya adalah jenis,
Zat yang bersifat karsinogen dan dapat menimbulkan konsentrasi, sifat kimia debu, lama paparan dan faktor individu
kanker paru antara lain adalah asbes, uranium, gas mustard, pekerja.
arsen, nikel, khrom, khlor metil eter, pembakaran arang, Untuk menegakkan diagnosis penyakit paru akibat debu
kalsium kiorida dan zat radioaktif serta tar batubara(16,37,38). industri perlu dilakukan anamnesis yang teliti mengenai
Pekerja yang berhubungan dengan zat-zat tersebut dapat riwayat pekerjaan, identifikasi debu di tempat kerja, dan
mendenta kanker paru setelah paparan yang lama, yaitu pemeriksaan penunjang seperti uji faal paru dan pemeriksa-
antara 15 sampai 25 tahun. Pekerja yang terkena adalah an radiologis. Diagnosis kadang-kadang sukar ditegakkan oleh
mereka yang bekerja di tambang, pabrik, tempat penyulingan karena sering butuh waktu yang lama antara terjadinya pa-
dan industri kimia(16.37). paran dan timbulnya penyakiL Di samping itu penyakit paru
akibat debu industri mempunyai gejala yang sama dengan
PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN penyakit paru yang tidak disebabkan oleh debu.
Tidak ada pengobatan spesifik dan efektif pada penyakit Pengobatan penyakit paru akibat debu industri bersifat
paru yang disebabkan oleh debu industri. Penyakit biasanya simptomatis dan suportif. Usaha pencegahan merupakan
memberikan gejala bila kelainan telah lanjuL Pada silikosis dan langka penatalaksanaan yang panting. Tindakan pencegahan
asbestosis bila diagnosis telah ditegakkan penyakit dapat terus meliputi pengurangan kadar debu, memakai pelindung diri,
berlanjut menjadi fibrosis masif meskipun paparan di- deteksi dini kelainan dan pemeriksaan sebelum .penerimaan
hilangkan. Bila faal paru telah menunjukkan kelainan obstruksi pegawai.
pada bronkitis industri, berarti kelainan telah menjadi Pemeriksaan faal paru dan radiologis secara berkala
ireversibel(6,24,30). perlu pada jenis kerja tertentu. Pekerja yang telah terkena
Pengobatan umumnya bersifat simptomatis, yaitu mengu- penyakit akibat debu hendaklah dihindani dani paparan lebih
rangi gejala. Obat lain yang diberikan bersifat suportif(6,24,30). lanjut.

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


KEPUSTAKAAN
Achmad H, Achmad M, Boedi S, Jakarta, Bagian Pulmonologi FKUI.
1. Bates DV. Air pollutans and the human lung. Am Rev Respir Dis 1972; 1992; 167-75.
105 : 1-13. 24. Morgan WKC. Coal Workers Pneumoconiosis. In: Morgan WKC,
2. Crofton J. Douglas A. Occupational Lung Diseases, In: Respiratoty Seaton A (eds). Occupational Lung Diseases, Philadelphia; WB
Diseases, Oxford, Blackwell Sceintific Publications, 1980; 164-84. Saunders 1984: 3770-448.
3. Bneger H. The fate of inhaled particles, Arch Env HIth 1963; 1: 57-60. 25. Merchant JA, Taylor G, Hodous TK. Coal workers paeumoconiosis
4. Davie CN. The handling of particles in human lung. Brigd Med Bull and exposure to other carbonaceous dusts. In: Merchant JA<Boehlecke
1963; 83: 49-52. BA, Taylor G, Piccket-Hamer M, edt: Occupational respiratory
5. Ehrlich R. Effect of air pollutans on respiratoly function. Arch Env diseases. Washington DC, US Department of Health and Human Ser-
HIth 1963; 6: 638-42. vice, 1986: 329-84.
6. Seaton A. Siicosis. In: Occupational Lung Diseases. eds Morgan WKC, 26. Raharjo Darmanto D. Faal Pant Pekerja Tambang di PT Tambang
Seaton A. Philadelphia; WB Saunders CO, 1984; 250-4. Batubara Buldt Asam (Persero) Tanjung Enim, Skripsi Bagian Pulmo-
7. Petty FA. Industrial Hygiene and Toxicolugie, New York. lntercience nologi Fakultas Kedoktcran Univesitas Indonesia Jakarta, 1988.
Publis mc, 1958. 27. Peters SM. Silicosis. In: Merchant JA, Bochlecke BA, Taylor G,
8. World Health Organization, Technical Report Series 734, Recommended Pickett-Hamer M (edt). Occupational respiratory diseases, Washington
Health Based limits in Occupational Exposure to selected mineral dust DC: US Department of Health and Human Service, 1986: 219-37.
(silica, coal). Geneva: World Health Organization, 1986; 82. 28. Mariana Kasmara. Penyakit pare dan gangguan faal paru pada tenaga
9. Parkes WR. Occupational Lung Disorders. London: Butterworth, 1982; kerja di pabrik semen. Teals Megistersains Hiperkes, Fakultas Kedok-
17-26, 45-53, 136-74. teran Universitas Indonesia Jakarta, 1988.
10. World Health Organization. Effect of Air Pollutans on Human Health, 29. Meily Widjaja. Penilaian dampak debu di lingksmgan kerja pabrik
WHO monograph series 1961; 46. semen terhadap pans pekerja. Tesis Fakultas Pasca Sarjana Univetsitas
11. Churg A. Wright JL, Wiggs B, Pare PD, Lazar M. Small airways Indonesia, Program Studi Kesehatan dan Keselamatan Kerja Jakarta,
diseases and mineral dust exposure. Am Rev Respir Dis 1985; 131: 1992.
139-43. 30. Seaton A. Asbestos-related diseases. In: Morgan WKC, Seaton A (eds).
12. World Health Organization. Early Detection of Occupational Diseases. Occupational lung diseases. Philadelphia; WE Saunders Co 1984; 323-
Singapore, World Health Organization, 1986; 272. 76.
13. Stuart OB. Richland N, Deposition of inhaled aerosols, Arch Intern 31. Dement JM, Merchant IA, Green FHY. Asbestosis. In: Merchant JA,
Med 1973; 131: 60-72. Bochieck BA, Taylor G, Picket-Hamer M (edt). Occupational respi-
14. Bode FR, Dosman J, Martin RR, Mc Men PT. Reversibility of pul- ratory diseases, Washington DC, US Dpartment of Health and Human
monary function abnormality in smokers. Am I Med 1975; 59: 43-51. Service, 1986; 287-327.
15. Ziskind M, Jones RM. State of art; Silicosis Am Rev Respir Dis 1976; 32. Morgan WKC. Industrial bronchitis and other non-specific conditions
113: 643-5. affected the airways. In: Morgan WKC, Seaton A (edt). Occupational lung
16. Mason RI. Occupational Lung Diseases. In: Wyngaarden JB, Smith diseases, Philadelphia: WE Saunders Co 1984; 521-40.
LH eds. Cecils Texbook of Medicine, Philadelphia, WE Saunders 1985; 33. Kilbun KH. Chronic bronchitis and emphysema. In: Merchant JA,
2279-87. Boehieck BA. Taylor G, Picken-Harner M (eds). Occupational respi-
17. Crompton GK. Occupational Lung Diseases. In: Diagnosis and Mana- ratosy diseases, US Department of Health and Human Service,
gement of Respirastoiy Diseases. Oxford: Blackwell Scien Public, Washington DC, 1986; 503-29.
1980; hal 164-84. 34. Musawaris. Kekerapan bronkitis kronik pads penduduk yang ber-
18. Scaton C. Clinical approach. In: MorganEKC, Seaton A(eds). Occupa- domisili di sekitar pabrik semen. Skripsi Bagian Pulmonologi Fakultas
tional lung diseases, Philadelphia; WE Saunders 1984: 9-17. Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 1985.
19. Becker CE. Principles of Occupational Medicine. In: Wyngaarden JB, 35. Seaton A. Occupational asthma. In: Morgan WKC, Seaton A (eds).
Smith LH (eds). Cecil Textbook of Medicine, Philadelphia, WB Occupational lung diseases, Philadelphia: WE Saunders Co 1984; 498-
Saunders Co 1985; 2277-9. 520.
20. ILO 1980. International Classification of Radiographs c the Pneumo- 36. Salvaggio JE, Taylor G, Weil H. occupational asthma and rhiniti. In:
ccssiosis. In: Guidelines for the use of ILO International Classification Merchant JA, Boehleck BA, Taylor C, Pickeit-Hamer M (eds). Occu-
of Radiographs of Pneumoconiosis. Geneva: International Labour pational respiratory diseases. US Department of Health and Human
Office, 1980: 1-20. Services, Washington DC, 1986; 461-77.
21. Yeung MC, Lam S, Enarson D. Pulmonary function measurement in 37. Seaton A. Occupational pulmonary neoplasm. In: Morgan WKC,
the industrial setting. Chest 1985; 88: 270-4. Seaton A (eds). Occupational lung diseases, Philadelphia: WB Saunders
22. Faisal Yunus. Peranan faal paru pads penyakit pans obstnjksi me- Co 1984; 659-75.
nahun. Dalam: Penyakit p.m obstruksi menahun. Balai penerbit FKUI, 38. Lemen RA. Occupational induced lung cancer epidemiology. In:
1989: 33-34. Merchant JA, Boehleck BA, Taylor G, Pickett-Hamer M (eds). Occu-
23. Faisal Yunus. Peranan pemeriksaan faal paru pads peyakit paru pational respiratory diseases, US Department ci Health and Human
obstruksi. Dalam: Pulmonologi Klinik. ed. Faisal Y, Menaldi R, Services, Washington DC, 1986; 533, 629-56.

Everybody is wise after the event

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 51


HASIL PENELITIAN

Peranan Kader
dalam MenunjangProgram ISPA
di Jawa Barat
Enny Muchlastriningsih SKM.
Pusat Penelitian Pen yakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN • Pengumpulan data penderita rawat jalan selama 3 bulan


Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (selanjutnya sebelum dan sesudah pelatihan kader, tentang angka kesakitan,
disebut ISPA) merupakan masalah kesehatan yang penting di kematian, dan pengobatannya.
Indonesia, hasil SKRT 1986 menunjukkan 42,2% bayi dan Lokasi : Dua kabupaten di Jawa Barat dengan angka ISPA
40,6% balita menderita ISPA. Data Puskesmas 1986 menunjuk- tinggi yaitu Kabupaten Cianjur sebagai kabupaten yang men-
kan bahwa 51,0% dan 43,1% balita mengunjungi puskesmas dapat perlakuan dan Kabupaten Sumedang sebagai kontrol.
karena menderita ISPA, hasil SKRT 1992 menunjukkan ISPA Analisis data dilakukan secara statistik sederhana mencakup
merupakan penyebab kematian utama pada bayi yaitu sebesar frekuensi penyuluhan dan kunjungan kader ISPA ke masyarakat,
37,7%, angka ini menunjukkan peningkatan dibanding pada angka kesakitan dan kematian ISPA di puskesmas sebelum dan
hasil SKRT 1986 yaitu sebesar 12,4%; dan merupakan penyebab sesudah pelatihan.
kematian keempat pada bayi. Pada kelompok umur balita pro-
porsi kematian yang disebabkan ISPA berkisar 20–30%, se- HASIL DAN DISKUSI
bagian besar mortalitas ISPA ini disebabkan oleh pneumonia. Pada penelitian ini dilakukan pelatihan kader sebanyak 20
P2ISPA DitJen PPM-PLP menitikberatkan programnya orang di Kabupaten Cianjur dari 20 orang di Kabupaten Sume-
pada upaya penurunan angka morbiditas dan mortalitas akibat dang, berasal dari dua puskesmas di tiap kabupaten.
pneumonia. Dalam hal ini peranan kader sangat penting dalam Bahan yang dipakai pada pelatihan ini meliputi : bagan
upaya pengenalan kasus secara dini dan penatalaksanaan ISPA tatalaksana penderita, lembar balik (flipchart), dan buku kader.
di rumab agar tidak jatüh menjadi pneumonia. Pada Tabel 1 terlihat pendidikan kader ISPA di Kabupaten
Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah: Cianjur dan Sumedang, tingkat pendidikan kader di Cianjur
Variabel kader ISPA meliputi : berapa kali melakukan penyu- paling rendah adalah lulusan SD, sedang di Sumedang ada 20%
luhan ISPA, berapa orang yang disuluh, ketersediaan materi kader yang tidak lulus SD, tingkat pendidikan kader tersebut
penyuluhan, dan dimana dilakukan penyuluhan. cukup menggembirakan dan cukup potensial sebagai kader ke-
Variabel angka kesakitan dan kematian karena ISPA di puskes- sehatan di daerah.
mas yang meliputi : perubahan apakah angka kesakitan dan
kematian ISPA selama 3 bulan sebelum dan sesudah pelatihan Tabel 1. Persentase tingkat pendidikan kader ISPA pada Penelitian Ka-
kader ISPA. der ISPA di Kabupaten Cianjur dan Sumedang, 1992–1993
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pelatih- Tingkat pendidikan Cianjur (%), n = 20 Sumedang (%), n = 20
an kader ISPA terhadap penurunan kematian karena pneumonia. Tidak tamat SD 0,0 20,0
Tamat SD 30,0 30,0
BAHAN DAN CARA KERJA Tamat SUP 35,0 30,0
Penelitian ini hanya mencakup data yang dikumpulkan me- Tamat SLTA 35,0 20,0
lalui kuesioner terhadap kader dan data sekunder dan puskesmas. Total 100,0 100,0
Pengumpulan data mencakup:
• Kader ISPA:aktifitas kader dalam melaksanakan penyuluhan Untuk selanjutnya yang dibicarakan hanya Kabupaten
ISPA di masyarakat. Jumlah responden 40 orang. Cianjur yang mendapat pelatihan, karena Kabupaten Sumedang

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


yang tidak mendapat pelatihan, hasil penelitian I (sebelum pela- Tabel 3. Persentase kader ISPA yang mengatakan apakah anak ISPA
ringan/berat boleh diberi antibiotika, pada Penelitian Kader
tihan) dan penelitian II (sesudah pelatihan) hasilnya hampir
ISPA 1992–1993
sama.
Menurut sebagian besar kader (55%) sebelum pelatihan me- Ringan Berat
Frekuensi
ngatakan ISPA berat tidak perlu diberi obat antipiretik, sedang Pemberian
sesudah pelatihan sebaliknya, yaitu 80% mengatakan harus se- I II I II
lalu diberi dan 20% mengatakan diberi obat antipiretik bila n % n % n % n %
panasnya tinggi. Ya, selalu 20 65 20 65 20 45 20 85
Mengenai kebersihan perseorangan (personal hygiene) da- Kadang-kadang 20 5 20 25 20 20 20 10
Tidak boleh 20 30 20 10 20 35 20 5
lam hal ini membersihkan hidung anak, sebagian besar kader
mengatakan hal itu perlu selalu dilakukan baik dalam ISPA Total 100 100 100 100
ringan maupun berat, ini menunjukkan personal hygiene yang
baik, apalagi bila dikaitkan dengan kesehatan anak balita yang diberikan (85–90%), untuk pemberran makanan anak dengan
sangat dipengaruhi oleh : gizi, sanitasi (termasuk kebersihan ISPA ringan/berat boleh tetap diberikan (70–85%), sedang
perseorangan), penyakit menular, dan kecelakaan. pemberian minuman juga boleh terus diberikan (55–90%).
Dalam hal pemberian obat batuk, terdapat peningkatan Dalam hal apakah sebaiknya ibu balita mencari bantuan
hingga 100% pada pendapat kader bahwa obat batuk selalu di- pengobatan, kader mengatakan agar selalu (95–100%) dalam
berikan baik untuk ISPA ringan maupun berat (Tabel 2), hal ini ISPA ringan/berat baik sebelum maupun sesudah mendapat
sangat baik untuk mengurangi penderitaan anak. pelatihan dan kemana sebaiknya ibu balita mencari bantuan
Tabel 2. Persentase kader ISPA yang mengatakan apakah anak mende-
pengobatan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Persentase kader yang mengatakan sebaiknya Institusi Kese-
rita ISPA ringan/berat boleh diberi obat batuk, pada Penelitian
hatan mana yang dipilih dalam mencari bantuan pengobatan,
Kader ISPA 1992–1993
Penelitian Kader ISPA, 1992–1993
Ringan Berat
n=20
Frekuensi I II I II Institusi
Pemberian Kesehatan Ringan (%) Berat (%)
n % n % n % n %
Ya, selalu 20 80 20 100 20 30 20 100 Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
Kadang-kadang 20 15 20 0 20 10 20 0 Kader Kesehatan 75 55 30 45
Tidak boleh 20 5 20 0 20 60 20 0 Puskesmas 100 100 100 85
Dokter praktek 95 55 100 75
Total 100 100 100 100 Rumah sakit 100 50 100 50
Bidan 55 50 20 35
Perawat 75 50 80 35
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa obat modern yang Apotik 20 15 25 15
paling banyak dipilih untuk pengobatan batuk yaitu Obat Batuk Toko obat/Warung 40 0 30 0
Putih (OBP = 22,02%), menyusul Laserin® (16,67%), kemudian Dukun 0 0 0 0
parasetamol (13,10%), sedang kotrimoksasol hanya kurang dari
5%, di samping itu masyarakat masih banyak yang menggunakan Pada Tabel 4 terlihat bahwa institusi kesehatan yang paling
obat tradisional yaitu jeruk nipis + kecap (57,31%), campuran banyak dianjurkan untuk dimanfaatkan yaitu puskesmas dan
madu +jeruk nipis + kecap (13,5%), daun sirih (7,60%), dan rumah sakit oleh kader sebelum pelatihan baik untuk ISPA
lain-lain(6). ringan maupun berat. Sedangkan sesudah pelatihan untuk ISPA
Pemerintah telah menyediakan dan mendistribusikan antibi- berat maupun ringan sebaiknya ke puskesmas dulu, hal ini sesuai
otika, dalam hal ini kotrimoksasol untuk tahun 1992–1993 se- dengan fungsi puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan ke-
banyak 8.700.000 tablet sesuai dengan jumlah target penemuan sehatan di negara kita.
penderita(5). Dalam kuesioner ini ada kolom untuk Dukun, tetapi ternyata
Untuk melihat apakah pemakaian antibiotika sudah rasional, tidak ada satupun kader yang menganjurkan untuk memanfaat-
dapat dilihat pada Tabel 3. kan jasa dukun tersebut. Sebenamya jasa dukun dapat diman-
Anjuran pemakaian obat antibiotika untuk anak dengan faatkan untuk pelayanan kesehatan, apalagi dukun yang sudah
ISPA ringan masih sangat tinggi, ini kurang rasional bahkan dilatih, mengingat rasio kaderdengan kepala keluarga (KK) yang
merupakan pemborosan, tetapi untuk ISPA berat hal ini masih masih rendah yaitu 2 k der untuk 100 KK, juga apabila diban-
dapat diterima; berdasarkan pengalaman di daerah tertentu dingkan rasio kader dengan posyandu yaitu 4 kader untuk 1
dijumpai masalah dalam pendistribusian obat kotrimoksasol posyandu; sehinggajangkauan pelayanan kesehatan dapat lebih
yaitu adanya kekurangan obat karena penggunaan obat yang luas lagi.
belum rasional. Pada Tabel 4 terlihat seakan terjadi penurunan pemanfaat-
Menurut para kader meskipun anak dalam keadaan sakit an beberapa fasilitas kesehatan, ini terjadi karena 1 orang kader
ISPA ringan/berat, pemberian air susu ibu (ASI) masih dapat boleh memilih lebih dari satu fasilitas kesehatan yang akan di

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 53


anjurkan kepada ibu balita dalam mencari bantuan kesehatan. Dari Tabel 6 terlihat adanya jumlah penurunan penderita ISPA
Setelah diberi pelatihan ternyata tiap kader dapat memberi yang berobatjalan ketiga puskesmas, kecuali di Puskesmas
penyuluhan kepada ibu balita bervariasi yaitu antara l–5 kali Sukasari yang terjadi justru kenaikan jumlah penderita. Terjadi-
selama tiga bulan penelitian dengan jumlah thu balita tiap kali nya penurunan jumlah penderita mungkin karena penyuluhan
penyuluhan antara 10–50 orang. Penyuluhan dilakukan baik yang lebih efektifdari kader atau mungkmn karena penderita telah
secara perorangan maupun rombongan, dan tempat penyuluhan dapat diatasi oleh kader (untuk ISPA ringan) sesuai dengan
yang paling sering dipakai yaitu Posyandu (65%) dan rumah penuturan kader bahwa setelah penyuluhan kunjungan ke kader
penduduk (35%). Banyaknya anak yang diobati oleh kader kesehatan, tetapi sayang data ini tidak terekam dalam penelitian
antara 2–27 anak ISPA ringan dan 2–5 anak ISPA berat, sedang ini, atau mungkin karena penyebab lainnya yang perlu diteliti
yang dirujuk ke rumah sakit l–3 anak selama 3 bulan tersebut. lebih lanjut. Sedang terjadinya kenaikan jumlah penderita mung-
Minimnya peralatan (fasilitas) yang dipunyai kader dapat kin karena ibu balita telah lebih sadar akan kesehatan anaknya
dilihat dari data berikut ini yaitu hanya ada 1 kader yang mem- sehingga yang biasanya dibiarkan tidak mendapat pengobatan,
punyai termometer, dan sebanyak 5 orang yang mempunyai sekarang sudah dibawa ke puskesmas bila anaknya sakit untuk
arloji untuk mengukur pernapasan. mendapat pengobatan.
Persediaan obat-obatan yang ada pada kader dapat dilihat
pada Tabel 5.

Tabel 5. Daftar obat-obatan yang tersedia pada kader pada Penelitian


Kader ISPA, 1992–1993

Macam obat-obatan Jumlah obat/kader Jumlah kader KESIMPULAN DAN SARAN


Dari segi pendidikan, kader yang ada cukup memadai, hal ini
Oralit 10-25 bungkus 96 orang
Ferros (penambah darah) 100-1000 butir 4 kader baik untuk menunjanng program-program dan pemerintah dan
Vitamin A 15-50 butir 2 kader penyampaiannya kepada masyarakat, terutama ibu balita.
Parasetamol 3-10 tablet 2 kader Penggunaan obat-obatan terutama antibiotika masih kurang
Vitamin B Kompleks 20-28 butir 2 kader rasional, hal ini memerlukan penyuluhan lebih lanjut pada kader,
Dextrofort® 4 buah 1 kader
Entrostop© 15 tablet 1 kader
karena di samping merupakan pemborosan biaya juga merugikan
pengguna.
Pilihan untuk menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
Dari Tabel 5 terlihat persediaan obat pada kader tidak me- cukup baik yamtu sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah agar
rata, mungkin hal ini terjadi karena pada satu kader obat tersebut puskesmas menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan, hal ini
banyak terpakai, sedang pada kader yang lain obat tersebut tidak tentu harus disertai dengan peningkatan fasilitas dan pelayanan
termanfaatkan, mungkin memang tidak ada yang memerlukan kesehatan di puskesmas tersebut.
tetapi kemungkinan lain karena faktor ketidak tahuan. Fasilitas yang dimiliki kader untuk pelayanan kesehatan
Dalam memberikan penyuluhan, kader masih sering meng- masih sangat minim, sebaiknya tiap kader mempunyai 1 buah
hadapi berbagai kendala, yang paling sering karena kurangnya thermometer dan 1 buah alat pengukur pemafasan (berupa arloji
dana, kemudian berturut-turut karena alat peraga yang kurang, pnbadi kader) untuk menunjang kegiatannya. Dalam hal obat-
waktu yang kurang baik dan kader maupun ibu balitanya, pemi- obatan persediaan yang ada belum merata, baik dari segi kader
nat kurang, sulit mencari tempat untuk melakukan penyuluhan, yang memilikinya maupun jumlah obat yang ada. Hal ini dapat
karena perhatian ibu kurang terhadap penyuluhan itu sendiri, diatasi dengan adanya pendataan mengenai obat yang dibutuh-
mungkin hal ini berkaitan dengan kurangnya alat peraga dan juga kan dan distribusinya sehingga dapat dihindari satu orang memi-
cara penyampaian yang kurang menanik seperti yang diakui ibu liki berlebihan sedang yang lain tidak mempunyai sama sekali.
balita, dan kendala terakhir yaitu adanya gangguan dari luar yang Secara total terjadi penurunan jumlah penderita ISPA yang
dapat berupa suara gaduh dan sekitarnya, gangguan dan balita berobat ke puskesmas, untuk per puskesmas ada satu puskesmas
maupun anak yang lainnya serta gangguan lainnya. yang mengalami kenaikan jumlah penderita ISPA.
Tabel 6. Jumlah penderita ISPA yang rawat jalan di puskesmas selama 3
bulan sebelum dan sesudah pelatihan kader, pada Penelitian
Kader ISPA di jawa Barat, tahun 1992–1993
Sebelum Sesudah
Lokasi
Pria Wanita Pria Wanita
UCAPAN TERIMA KASIH
Kabupaten Cianjur
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Dr. Suriadi Gunawan DPH.,
Puskesmas Gekbrong 195 1771 182 153
Kapuslit Penyakit Menular; Dr. Imran Lubis CPH., Ketua Kelompok
Puskesmas Sukasari 112 129 168 205
Penelitian Penyakir Menular Lainnya beserta Staf Dr. Cholid Rosyidi,
Kabupaten Sumedang
Kasubdit ISPA Ditien PPM-PLP beserta Staf Kasie P3M Kanwil DepKes Jawa
Puskesmas Kotakaler 394 467 204 175
Barat beserta Staf Kasubsie P2M Dinkes Dati II Cianjur dan Sumedang
Puskesmas Situ 417 426 379 408 beserta Staf dan semua rekan sejawat yang telah memberikan bantuannya
Total 1118 2793 933 941 sehingga penelitian ini dapat berhasil dengan baik

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


KEPUSTAKAAN 1992.
4. Majalah Kesehatan Masyarakat, No. 43, Th. XX11991.
1. Bimbingan Ketrampilan dalam penatalaksanaan ISPA pada anak. DepKes 5. Tantoro, Indriyono. Infeksi Saluran Pernapasan Akut: Kebijaksanaan Pro-
RI. DitJen PPM-PLP, 1990. gram Pemberantasan dan kecenderungan pada Pelita VI. Subdit ISPA, DitJen
2. Profit Kesehatan Indonesia. DepKes RI, Pusat Data Kesehatan, Jakarta, 1993. PPM-PLP, 1993.
3. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA. DepKes RI, Ditien PPM-PLP, 6. Muchlastriningsih E. Laporan Akhir Penetitian Kader ISPA. 1992–1993.

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 55


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penatalaksanaan Gigi Goyang


Akibat
Kelainan Jaringan Periodontium
S.W.Prayitno
Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN dan pemotongan akar.


Gigi goyang merupakan manifestasi klinik kelainan ja- Dengan kemajuan-kemajuan di bidang iptek, dewasa ini
ringan periodontium, khususnya dengan terbentuknya poket ada empat isu mengenai penyakit periodontal yang masih perlu
periodontal dan dapat menyebabkan goyangnya gigi. dibahas. Isu-isu tersebut adalah:
Terlepas dari penyebabnya yang multifaktorial, tujuan pena- 1) Apakah semua gingivitis akan selalu berkembang menjadi
talaksanaan gigi goyang karena kelainan jaringan periodontium periodontitis yang akhirnya menyebabkan gigi goyang?
adalah sama. Yang pertama menghilangkan penyebab atau 2) Apakah periodontitis yang tidak dirawat secara progresif
faktor pengaruh, yang kedua menyembuhkan penyakitnya, dan akan merusak jaringan periodontium?
yang ketiga adalah upaya untuk menstabilkan gigi yang telah 3) Apakah kecepatan kerusakan periodontal berbeda pada ke-
goyang. lompok-kelompok dengan oral hygiene yang baik dan mendapat
Berdasarkan berbagai penelitian, akhir-akhir ini banyak kesempatan untuk pemeliharaan secara profesional?
upaya yang telah dilakukan untuk mempertahankan gigi goyang 4) Apakah perkembangan penyakit periodontal secara terus-
agar dapat berfungsi seoptimal dan selama mungkin dalam menerus atau episodik?
mulut. Lebih-lebih perubahan demografi berupa peningkatan Keempat pertanyaan tersebut di atas diajukan karena ber-
jumlah usia lanjut mempunyai konsekuensi pasien dengan gigi bagai hasil penelitian menggunakan berbagai alat mutakhir
goyang juga akan meningkat jumlahnya. memberikan hasil yang berbeda dengan konsep lama.
Dalam makalah ini akan dibahas secara singkat perkem- Beberapa hasil penelitian baik klinis maupun epidemiologis
bangan penyakit periodontal dewasa ini, patogenesis terjadinya membuktikan bahwa tidak semua gingivitis akan berkembang
gigi goyang serta beberapa cara penatalaksanaannya. menjadi periodontitis; hanya sebagian kecil yang berkembang
menjadi periodontitis, meskipun pada umumnya periodontitis
PERKEMBANGAN PENGETAHUAN MENGENAI didahului oleh gingivitis(1,2). Belum diketahui faktor-faktor yang
PENYAKIT PERIODONTAL menyebabkan terjadi demikian. Hal ini masih memerlukan pe-
Kalau kita membicarakan mengenai penyakit periodontal, nelitian lebih lanjut.
pada umumnya fokus kita adalah terjadinya periodontitis dengan Bukti-bukti yang dikumpulkan baik dan studi kros seksional
gigi yang goyang; memang gigi goyang selama ini selalu mem- maupun longitudinal menunjukkan bahwa prevalensi adult
prihatinkan baik bagi dokter gigi yang merawat maupun bagi periodontitis meningkat dengan bertambahnya umur. Demikian
penderitanya. juga penyakit periodontal yang tidak dirawat akan memberikan
Beberapa dasawarsa yang lalu hanya ada satu alternatif gambaran kerusakan jaringan yang meningkat(3,4). Beberapa
untuk merawat gigi goyang, ialah pencabutan; sedangkan untuk peneliti melaporkan adanya kelompok kecil dengan perkem-
gigi berlubang semenjak dahulu telah diupayakan untuk diper- bangan penyakit periodontal destruktif yang berjalan sangat
tahankan hingga upaya untuk melakukan perawatan saluran akar cepat dan menanggalkan gigi pada usia muda(5). Semuanya ini

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


memerlukan upaya pencegahan agar gigi-gigi tersebut masih 1) Dapat diaplikasikan dengan alat semprit dan dapat berubah
dapat dipertahankan lebih lama dalam mulut. menjadi setengah padat dalam poket periodontal.
2) Dapat melekat pada mukosa dan mengisi secara sempurna
TAHAP-TAHAP PENATALAKSANAAN GIGI GOYANG poket periodontal.
Apapun penyebab gigi goyang, penatalaksanaannya dapat 3) Pelepasan yang lambat dan bahan-bahan yang aktif.
dikelompokkan menjadi menghilangkan faktor penyebab dan 4) Bersifat biodegradable.
faktor pengaruh; menyembuhkan, dan kalau mungkin merang- 5) Stabilitasnya bagus.
sang tumbuhnyajaringan baru sebagai pengganti jaringan yang Dari percobaan terapi adult periodontitis dengan berbagai
hilang; dan menstabilkan gigi-gigi yang sakit maupun yang konsentrasi metronidazol gel dan berbagai frekuensi aplikasi,
telah sembuh tetapi masih dalam kondisi goyang. ternyata hasil yang paling efektif adalah pemberian 2 kali dalam
selang waktu 7 hari dengan konsentrasi 25%(13). Beberapa peneliti
Menghilangkan faktor penyebab lain melaporkan bahwa hasilnya sama dengan perlakuan skeling
Dari hasil penelitian klasik Loe dkk. (1965)(6) telah dibukti- subgingiva1(14,15).
kan bahwa ada hubungan erat antara akumulasi plak dengan Di samping dengan pemberian antibiotika (non bedah) sejak
terjadinya gingivitis. Telah pula dibuktikan bahwa dalam aku- semula tindakan bedah periodontal senmng dianjurkan untuk
mulasi plak ditemukan berbagai jenis kuman. Oleh karena itu menghilangkan faktor penyebab. Cara-cara seperti kuretase, ber-
telah disepakati bahwa pada umumnya penyebab utama gingivi- bagai macam cara flap merupakan contoh membuang faktor
tis adalah kuman. Akhir-akhir ini dengan pengetahuan yang lebih penyebab secara fisik.
baik mengenai mikrobiologi, terjadinya periodontitis telah di-
buktikan juga disebabkan oleh kuman-kuman tertentu. Atas da- Menghilangkan faktor pengaruh (oklusi traumatik)
sar inilah antibiotika baik secara sistemik maupun secara lokal Berbagai faktorpengaruh seperti higieneon bentuk anatomi
sering digunakan. gigi, frekuensi menyikat gigi dan lain-lain dapat mempengaruhi
Sistem pemberian obatlantibiotika secara lokal di bidang terjadinya gigi goyang meskipun sifatnya tidak langsung.
periodontik dapat dengan cara irigasi poket dengan larutan Faktor pengaruh gigi goyang yang paling dominan dan
kimiawi atau menempatkan obat-obat tertentu dalam bentuk langsung adalah : oklusi traumatik. Gigi goyang merupakan
padat atau semi padat. Syarat pokok untuk efektifitas cara salah satu tanda klinik adanya oklusi traumatik, meskipun tidak
pengobatan ini adalah obat dapat mencapai dasar poket, dan semua gigi goyang disebabkan oklusi tnaumatik. Pelebaran celah
dapat bertahan beberapa waktu di tempat sampai efek anti- periodontal, terutama di daerah puncak alveolar yang sering
mikrobialnya terjadi. Cara irigasi dengan larutan antibakterial digambarkan sebagai crestal funneling; perubahan kualitas
untuk membantu terapi periodontal konvensional, meskipun funkasi; dari berbagai gambaran Ro dan lamina dura sering di-
dapat menurunkan keparahan gingivitis; untuk perawatan poket kaitkan dengan tekanan yang berlebihan yang mengakibatkan
hasilnya kurang memuaskan(7,8). goyangnya gigi.
Dewasa ini antibiotika yang diberikan secara lokal antara Dalam kasus munni gigi goyang karena oklusi traumatik
lain tetrasiklin dalam ethylene vinyl acetate (tetracycline fibers beberapa hasil penelitian dan kesimpulan yang berkaitan dengan
25%), minosiklin 2% dalam lipid gel atau metronidazol 25% terapi berikut perlu diketahui(16).
dalam lipid gel (Elyzol). 1) Baik pada percobaan pada manusia maupun binatang,
Tetracycline fibers dimasukkan dalam poket dan ditutup oklusi traumatik tidak menyebabkan penubahan patologis pada
dengan bahan adesif untuk jangka waktu 8–12 hari yang ke- jaring an ikat supra alveolar atau epithelium perbatasan.
mudian dilepas. Panjangfibers antara 10–17 cm (rata-rata 14,7 2) Sekali celah periodontal melebar untuk mengkompensasi
cm) bergantung pada macam gigi yang dirawat. Aplikasi cara tekanan oklusal, jaringan ligamen biasanya tidak memperlihat-
ini memerlukan waktu antara 7–10 menit untuk setiap gigi. Dua kan tanda-tanda peningkatan vaskulanisasi atau eksudasi, ke-
penelitian besar yang melibatkan masing-masing lebih dari 100 goyangan gigi tidak lagi prognesif. Dalam hal ini klinisi harus
subyek telah dilakukan untuk menilai efektivitas tetracycline dapat membedakan goyangnya gigi lebih dari normal atau me-
fibers ini(9,10). Hasilnya sangat menjanjikan Kedalaman poket ningkat secara progresif yang pada suatu ketika akan menjadi
turun rata rata 1 02 mm dibandingkan dengan 0 67 mm dengan lebih berat.
skeling saja. 3) Oklusi traumatik dapat menyebabkan resorpsi tulang alveo-
Minosiklin 2% dalam bentuk lipid gel juga digunakan untuk lar. Resorpsi ini dihindani dengan melakukan penyesuaian oklusi.
perawatan poket Gel 0,5 g yang mengandung 10 mg minosiklin 4) Pada proses penyakit periodontal yang berkaitan dengan
diaplikasikan dengan alat suntik dengan ujung plastik. Aplikasi infeksi plak, dalam keadaan .tertentu oklusi traumatik dapat
dilakukan 4 kali setiap 14 hari. Dari penelitian dengan 103 memperhebat kerusakan.
subyek dilaporkan setelah 12 minggu aplikasi, terjadi reduksi 5) Baik jaringan peniodontium yang sehat dengan penurunan
kedalaman poket 1,7 mm dibandingkan 1,4 mm tanpa mino- maupun tanpa penurunan ketinggian, keduanya memberikan
siklin. Meskipun demik.ian tidak terdapat perbedaan bermakna reaksi yang sama dalam penyesuaiannya terhadap kekuatan
mengenai perbaikan perlekatan maupun perdarahan(11). oklusi yang berlebihan.
Penggunaan metronidazol gel 25% dilaporkan cukup efek- 6) Gigi goyang dalam keadaan tulang alveolar mengurang
tif(12). Gel ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: tetapi sehat tanpa pelebaran celah periodontal masih dapat di-

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 57


terima tanpa memerlukan splinting, apabila tidak mengganggu terjadi tanpa pelekatan yang baru terhadap akar (pelekatan
fungsi pengunyahan serta rasa kurang enak dan pasien. semu). Tetapi apabila jaringan ikat gingiva mempunyai ke-
7) Splinting hanya diindikasikan apabila ketinggian tulang sempatan untuk mencapai permukaan akar karena tidak terjadi
alveolar sedemikian rupa sehingga diperkirakan kegoyangan pertumbuhan epitel di pennukaan akar, maka pelekatan akan
gigi akan menjadi lebih berat dari menimbulkan gangguan rasa terjadi. Apabila yang berkontak dengan akar adalah jaringan
dan fungsi kunyah pasien. tulang maka dapat terjadi ankilosis atau resorpsi akar.
Dalam merawat periodontitis yang berkaitan dengan ke- Peniostium dan sel-sel dalam sumsum tulang mempunyai
radangan dan oklusi traumatik, pertama-tama yang harus di- peran juga dalam proses regenerasi(19). Di samping itu ligamen
tangani adalah keradangan. Kemudian kegoyangan gigi di- periodontal mengandung sel-sel yang mempunyai peran untuk
monitor dalam periode waktu yang cukup untuk mengobservasi terjadinya pelekatan baru(20).
apakah gigi goyang akan tetap ataukah akan menjadi progresif. Penggunaan GTR diharapkan dapat menghambat pertum-
Pengalaman klinik menunjukkan bahwa pada kasus-kasus yang buhan epitel yang mempunyai potensi pertumbuhan sangat ce-
jelas dan sangat mengganggu, penyesuaian oklusi dapat dilaku- pat, mendahului pencapaian jaringan ikat gingiva dan sel-sel
kan berbarengan dengan terapi keradangan. lain dan menyebabkan pelekatan banu pada permukaan akar;
dengan demikian terjadinya pelekatan semu dapat dicegah.
Menyembuhkan jaringan rusak penyebab gigi goyang
Dalam kasus-kasus tertentu, setelah faktor penyebab di- MENSTABILISASI GIGI GOYANG
hilangkan, kesembuhan atau regenerasi jaringan yang telah Perlunya splinting untuk menstabilisasi gigi goyang se-
rusak dapat diharapkan terjadi secara fisiologis atau dengan bagai upaya terapeutik penyakit periodontal sebenarnya masih
bantuan bahan-bahan tertentu. Ada 3 prosedur regenerasi(17). dipertanyakan, meskipun pengalaman klinik splinting diperlu-
Prosedur tersebut meliputi pembersihan defek dengan kuretase, kan. Apakah ada indikasi melakukan splinting, harus dipertim-
bone grafting dan guided tissue regeneration. Ketiga-tiganya bangkan penyebab dan goyangnya gigi antara lain:
dilakukan secara bedah. 1) Besarnya kehilangan jaringan pendukung
Secara umum kesembuhan atau regenerasi fisiologis dapat 2) Perubahan kualitas jaringan pendukung yang disebabkan
terjadi dan bekuan darah setelah tindakan bedah. Oleh karena karena oklusi traumatik
itu bekuan darah harus dilindungi sedemikian rupa agar tidak 3) Trauma jangka pendek karena perawatan periodontitis
rusak, yang di bidang periodontik terkenal dengan penggunaan 4) Kombinasi dan ketiga butir di atas.
periodontal dressing. Di samping itu faktor penting dalam re- Gigi goyang yang derajat kegoyangannya tidak meningkat
generasi ini adalah keberadaan dinding (alveolar) poket. Makin pada umumnya tidak memerlukan splinting. Sedangkan gigi
banyak dinding poket (dinding poket dapat 1, 2, 3 atau 4), goyang karena berkaitan dengan oklusi traumatik harus dirawat
regenerasi jaringan akan terjadi lebih baik. dengan penyesuaian oklusi bukan dengan splinting(21). Meskipun
Pada kasus-kasus yang regenerasinya kurang dapat di- splinting seolah-olah dapat menstabilkan gigi dan memberikan
harapkan, misalkan karena tulang alveolar sudah banyak yang nasa enak pada pasien tetapi secara biologis stabilisasi jangka
hilang dapat dilakukan bone grafting atau yang akhir-akhir ini panjang tidak akan terjadi(22).
terkenal dengan menggunakan bahan guided tissue regeneration Di bidang periodontik dikenal beberapa cara splinting yang
(GTR). Tujuan dari bone grafting adalah mengurangi kedalam- dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
an poket periodontal, peningkatan pelekatan secara klinik, peng-
isian tulang di daerah defek dan regenerasi tulang baru, semen
dan ligamen periodontal(18). Dengan demikian akar gigi diha-
rapkan dapat terdukung dengan lebih baik.
Dua macam bone graft yang sering digunakan dalam perio-
dontik adalah autogenous bone graft dan allograft. Yang per-
tama diambil dari dalam tubuh pasien sendiri yang dapat berupa
cortical bone chips, osseous coagulum, bone blend, extraction
socket bone dan extra oral cancellous bone with marrow. Yang
kedua diambil dari spesies yang sima tetapi gen berbeda. Dalam
periodontik ada tiga macam allograft. Allograft yang umumnya Indikasi splinting sementara atau semi permanen adalah
dipergunakan adalah demineralized freeze-dried bone, sedang- untuk gigi goyang sangat berat yang dipergunakan sebelum dan
kan nondemineralized freeze-dried bone dan frozen iliac can- selama terapi periodontal. Penannya adalah untuk mengurangi
cellous bone kurang dipergunakan. trauma pada waktu perawatan. Akhir-akhir ini karena faktor
Prinsip guided tissue regeneration sebagal berikut: Perio- estetik, serat kawat (wire ligature) sebagai splint sementara cekat
dontium terdiri dari 4 bagian jaringan, epithelium gingiva, ja- sudah jarang dipergunakan. Sebagai gantinya adalah bahan
ringan ikat gingiva, tulang dan ligamen periodontal. Setelah komposit dengan etching. Akrilik bening juga dapat dipergunakan
prosedur flap, apabila epithelium gingiva bergerak sepanjang untuk splinting sementara lepasan.
jaringan ikat di sebelah akar yang dirawat, kesembuhan akan Untuk gigi-gigi goyang berat yang mengganggu pengu-

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


nyahan, setelah terapi periodontal splinting semipermanen atau week period. J Periodontol 1971; 42: 268–70.
3. Loe H. The natural history of periodontal disease in man : the rate of
permanen dapat dipergunakan. Kadang-kadang alat retensi periodontal destruction before 40 years of age. J Periodontol 1978: 49:
ortodonti juga dapat dianggap sebagai splinting semipermanen 607–20.
atau permanen. Untuk gigi-gigi anterior, bahan yang sering di- 4. Loe H, Anerud A, Boysen H, Smith M. The natural history of periodontal
gunakan pada spun semipermanen cekat adalah komposit resin disease in man : tooth mortality rates before 40 years of age. J Periodontal
Res 1978; 13: 563–72.
(light cured). Pengikatan sebelum penggunaan komposit dengan 5. Loe H, Anerud A, Boysen H, Morrison E. Natural history of periodontal
serat polyester telah dibuktikan dapatmembantti stabilitas splin(23). disease in man : rapid, moderate and no loss of attachment in Sri Lanka
Untuk gigi-gigi posterior, splinting semipermanen ditujukan un- laborers 14 to 16 years of age. J Clin Periodontol 1986; 13: 431–40.
tuk gigi-gigi goyang berat yang harus menerima beban kunyah. 6. Loe H. Theilade E, Jensen SB. Experimental gingivitis in man. J Perio-
dontol 1965; 36: 5/177–15/187.
Spun ini digunakan sebelum, selama dan sesudah terapi perio- 7. Korman KS. Controlled-release local delivery antimicrobials in perio-
dontal karena prognosisnya belum pasti. Untuk gigi posterior dontics – prospects for the future. J Periodontol 1993; 64: 782–91.
pilihan bahan adalah amalgam atau keramik karena lebih kuat 8. Shiloah J, Havious LA. The role of subgingival irrigations in the treatment
daripada komposit dan diperkuat dengan penggunaan kawat of periodontitis. J Periodontol 1993; 64: 835–43.
9. Goodson JM, Cugini MA, Kent RL et al. Multieenter evaluation of
logam yang kaku. tetracycline fiber therapy 1. Experimental design, methods and baseline
Khusus untuk splinting permanen pada umumnya dikaitkan data. J Periodont Res 1991; 26: 36 1–70.
dengan protesa periodontal. Spun ini hanya dapat dibuat bebe- 10. Goodson JM, Cugini MA, Kent RL et al. Multicenter evaluation of
rapa bulan setelah terapi periodontal dan kesembuhan sudah tetracycline fiber therapy II. Clinical response. J Periodont Res 1991; 26:
37 1–79.
sempurna serta harus memperhatikan inotivasi pasien. Tujuan 11. van Steenbergh D. Bercy P, Kohl Jet al. Subgingival minocycline hydro-
utamanya adalah untuk memperoleh fungsi kunyah yang lebih chloride ointment in moderate to severe chronic adult periodontitis a
efektif; dalam hal ini tidak harus mengganti seluruh gigi-geligi(22). randomized, double-blind, vehicle controlled multicenter study. J Clin
Protesa dapat berupa jembatan, protesa lepasan dengan meng- Periodontal 1993; 64: 637–44.
12. Norling T. Loding P, Engstrom 5, Larsson K, KrogN, Nissen SS. Formu-
gunakan mahkota teleskop atau protesa kerangka logam. Untuk lation of drug delivery system based on a mixture of monoglycerides and
jembatan dan mahkota teleskop persyaratan yang harus dipenuhi tryglycerides for use in the treatment of periodontal disease. J Clin Perio-
adalah tepi mahkota harus supra gingival, bagian interdental dontol 1992; 19: 867–92.
harus mudah dibersihkan, oklusi harus atraumatik. Khusus untuk 13. Klinge B, Attstrom R, Karring T, Kisch J, Lewin B, Stoltze K. 3 regimens
of topical metronidazole compared with subgingival scaling on periodontal
protesa kerangka logam persyaratannya klasp harus memegang pathology in adults. J Clin Periodontol 1992; 19: 708–14.
gigi secara penuh, harus ada occiusal rest, dan tidak ada splin 14. Pedrazoli V, Kilian M, Karring T. Comparable clinical and microbiological
panjang. effects of topical subgingival application of a 25% metronidazole gel and
scaling in the treatment of adult periodontitis. J Clin Periodontol 1992; 18:
7 15–22.
RINGKASAN 15. Ainamo J, Lie 1, Ellingsen BH, Hansen SF, Johansson LA, Karring T.
Gigi goyang merupakan manifestasi klinik kerusakan ja- Kisch J, Paunio K, Stoltze K. Clinical responses to subgingival application
ringan periodontium. Penatalaksanaan gigi goyang meliputi of a metronidazole 25% gel compared to the effect of subgingival scaling
menghilangkan penyebab, terutama bakteri, dengan pemberian in adult periodontitis. J Clin Periodontol 1992; 19: 723–29.
16. Genco Ri, Goldman HM. Cohen DW. Contemporary Periodontics. The
antibiotika atau dengan cara pembedahan, menghilangkan faktor C.V. Mosby Company, St. Louis 1990; 493–94.
pengaruh, terutama oklusi traumatik, menyembuhkan atau me- 17. World Workshop in Clinical Periodontics Proceedings. Chicago, IL
rangsang regenerasi dengan cara grafting atau guided tissue American Academy of Periodontology 1989,
regeneration. Menstabilkan gigi dengan berbagai splin, semen- 18. Dragoo MR. Clinical and histologic evaluation of autogenous bone graft.
J Periodontol 1973; 44: 123.
tara, semipermanen atau permanen diperlukan untuk kasus 19. Melcher AH. On the repair potential of periodontal tissues. J Periodontol
kasus gigi goyang sesuai dengan indikasi. Spun permanen di- 1976; 47: 256–260.
pergunakan khusus untuk gigi-gigi dengan kecenderungan me- 20. Nyman S. Gottlow J, Karring T Ct al. The regenerative potential of the
ningkat kegoyangannya. periodontal ligament. An experimental study in the monkey. J Clin
Periodontol 1982; 9: 257–65.
21. Volmer WH, Rateitschak KH. Influence of occlusal adjustment by
KEPUSTAKAAN
grinding on gingivitis and mobility of traumatized teeth. J Clin Periodontol
1975; 2: 113.
1. Prayitno SW. A comparison of the periodontal health of two groups of 22. Galler C, Selipsky H, Philips C, Ammons WF. The effect of splinting on
young adult Indonesians and characterization of advanced periodontal tooth mobility II. After osseous surgery. J Clin Periodontol 1979:6:317.
disease. Ph.D. Disertation 1990. 23. Rateitschak KH, Wolf HF, Hassel TM. Color Atlas of Periodontology.
2. Suomi JD. Smith LW, Mc. Clendon BJ. Marginal gingivitis duringasixteen Thieme New York 1985 p. 293.

Everything great is not always good, but all good things are great
(Demosthenes)

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 59


LAPORAN KASUS

Hernia Umbilikalis Inkarserata


pada Neonatus
Laporan Kasus

Nawazir Bustami
Laboratorium/U.P.F Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang
Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar, Bukittinggi

ABSTRAK

Dilaporkan satu kasus hernia umbilikalis inkarserata pada neonatus umur 2 hari dan
berat 2000 gr.
Terdapat pembengkakan di daerah pusat waktu lahir, perut bertambah besar. Pada
pemeriksaan terdapat tanda-tanda ileus obstruksi di pusat pembengkakan penampang
3 cm ditutup kulit dan di atasnya terdapat potongan tali pusat. Dilakukan operasi, dalam
kantong hernia terdapat sekum dan appendiks.

PENDAHULUAN Setelah tali pusat dipotong dan diikat puntungnya dipuntir


Pada daerah pusat terdapat beberapa bentuk hernia; sesuai perlahan-lahan supaya usus yang mungkin ada dalam tali pusat
dengan bentuk dan terjadinya dibedakan: tereposisi. Kemudian puntung ini difiksasi dengan plester ke
1) Hernia umbilikalis pada bayi dan anak dinding perut untuk mencegah puntiran terlepas. Setelah tali
Adalah penonjolan melalui defek fasia rektus ditutup si- pusat nekrosis terdapat luka granulasi yang menutup beberapa
katriks tali pusat, terjadi setelah lahir karena tekanan intra- minggu kemudian. Adhesi usus dalam kantong hernia dapat
abdomen meninggi(1). terjadi sehingga reposisi gagal. Bila ini terjadi perlu dilakukan
2) Hernia para umbilikalis : menyerupai hernia umbilikalis, tindakan operasi segera.
penonjolan melalui defek fasia transversal di atas atau di bawah Hernia umbilikalis pada bayi dan anak terjadi karena defek
pusat tertutup oleh kulit; frekuensinya 3%, sedangkan hernia fasia di daerah umbilikus dan manifestasinya terjadi setelah
umbilikalis bayi 97%. lahir. Waktu lahir pada fasia terdapat celah yang hanya dilalui
3) Kongenital yaitu hernia dengan penonjolan waktu lahir yang tali pusat. Setelah pengikatan, puntung tali pusat sembuh dengan
tertutup kulit dan di atasnya terdapat tali pusa(2); disebut juga granulasi dan epitelisasi terjadi dari pinggir kulit sekitarnya.
hernia tali pusat Hernia ini jarang sekali ditemukan. Waktu lahir banyak bayi dengan hernia umbilikalis karena
4) Omfalokel yaitu hernia umbilikalis inkomplet terdapat waktu, defek yang tidak menutup sempurna(5,6,7) dan linea alba tetap
lahir ditutup oleh peritonium, selai Warton dan selaput amnion. terpisah(2,8,9). Pada bayi prematur defek ini lebih sering ditemu-
Makalah ini melaporkan hernia umbilikalis kongenital kan(6,7). Defek ini cukup besar untuk dilalui peritoneum; bila
pada satu neonatus umur 2 hari yang mengalami inkarserasi; tekanan intraabdomen meninggi, peritoneum dan kulit akan
kasus ini baru pertama kali ditemukan di RSAM Bukittinggi. menonjol dan berdekatan(10). Penampang defek kurang 1 cm,
95% dapat sembuh spontan, bila defek lebih 1,5 cm jarang me-
TINJAUAN KEPUSTAKAAN nutup spontan(7). Defek kurang 1 cm waktu lahir dapat menutup
Hernia umbilikalis kongenital adalah hernia utuh ditutup spontan pada umur 1–2 tahun(9).
kulit yang terdapat waktu lahir. Hernia ini dapat menonjol ke- Pada kebanyakan kasus, cincin hernia mengecil setelah
dalam tali pusat, disebut hernia ke dalam tali pusat(3,4). Diduga umur beberapa tahun, hernia hilang spontan(10,11) dan jarang se-
hernia ini terjadi dari omfalokel kecil yang mengalami epitelisasi kali residif. Penutupan defek terjadi perlahan-lah kira-kira
intrauterin(1). Hernia berbentuk oval atau bulat dengan penam- 18% setiap bulan(12). Bila defek lebih besar, penutupan lebih lama
pang 2–3 cm, lehernya sempit dan berisi mid gut(4). dan beberapa hernia tidak hilang spontan. Hernia yang besar se-

* Dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiiah Tahunan X IKABI. Bali 10–11


Maret 1995

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


kali menimbulkan gangguan pada anak dan ibu sehingga perlu dengan berat badan 2000 g, anak ke enam dengan persalinan.
operasi lebih cepat(9). normal. Mekonium keluar hari pertama dan terdapat pem-
Hernia umbilikalis biasanya tanpa gejala, jarang yang bengkakan pada daerah pusat. Kencing jernih.
mengeluh nyeri. Diagnosis tidak sukar yaitu dengan adanya Pada pemeriksaan ditemukan keadaan umum lemah sedikit
defek pada umbilikus(8). Diagnosis banding bila ada defek supra- dehidrasi. Jantung dan paru-paru dalam batas normal. Ekstremi-
umbilikus dekat dengan defek umbilikus dengan penonjolan tas dan genitalia tidak tampak kelainan. Abdomen tampak gem-
lernak preperitonial yang dirasakan tidak enak(8). bung dan mengkilat. Pada daerah pusat tampak pembengkakan
Pengobatan adalah expectant therapy. Defek kecil dengan dengan penampang 3 cm ditutup kulit. Di atas pembengkakan
penonjolan minimal pada semua anak sebaiknya diamati sampai terdapat potongan tali pusat.
umur prasekolah atau sampai timbulnya gangguan emosional. Pada perabaan abdomen tegang dan tanda cairan tidak ada.
Pada hernia yang besar tanpa gangguan emosional pada anak Pembengkakan teraba lunak dan tidak hilang dengan penekanan.
atau orang tua dapat ditunggu sampai sembuh spontan, atau Anus dan rektum tidak ada kelainan.
dioperasi. Pada pemeriksaan foto polos abdomen tampak usus melebar
Pengobatan konservatif dengan strapping masih belum dan di daerah pusat terdapat masa. Udana bebas tidak tampak.
disepakati. Menurut Rains dan Ritchie penyembuhan spontan Batas udara cairan tidak jelas.
lebih cepat dengan memakai Strapping plester melingkari perut Hb 15 g%dan lekosit darah 9100/mm Urine dalain batas
untuk mendekatkan kulit dan otot(4). Sedangkan menurut Swen- normal. Dilakukan nesusitasi cairan, pemasangan pipa lambung
son sulit menentukan apakah strapping umbilikus dapat mem- dan kateter.
bantu proses penutupan defek secara alamiah(10). Biasanya pende- Pada pemeriksaan Rontgen terdapat pelebanan usus-usus,
rita merasa tidak enak dengan masuknya usus ke dalam kantong batas udara cairan tidakjelas dan udara bebas tidak tampak.
hernia. Paling tidak hal ini dapat dicegah dengan strapping. Pada daerah pusat terdapat bayangan massa.
Menurut Kottinier strapping tidak bermanfaat untuk mencegah Ditegakkan diagnosis ileus obstruksi kemungkinan karena
herniasi, malah dapat menutupi tanda-tanda inkarserasi dan hernia umbilikalis inkaserata.
menimbulkan iritasi ku1it(6). Dilakukan operasi dengan sayatan melingkardi bawah pusat
pada hernia; dalam kantong hernia terdapat sekum dan appendik
terjepit pada cincin hernia dengan ganis tengah 1,5 cm. Sekum
KOMPLIKASI
tidak terisi udara dan masih vital, kemudian direposisi. Kolon
Hernia umbilikalis jarang mengalami inkarserasi(3,4,7-10).
bagian distal tidak terisi udara. Dilakukan herniorafi dan luka
Kalau terjadi, kerusakan usus lebih cepat dibanding pada hernia
operasi ditutup. Pasca bedah berjalan baik dan penderita dipu-
inguinal karena cincin umbilikus kurang elastis dibanding hernia
langkan pada hari ke 6.
inguinal(8). Reposisi spontan seperti hernia inguinal tidak di-
anjurkan(9). Pada beberapa kasus yang mengalami inkarserasi,
KESIMPULAN
dalain kantong terdapat usus tidak mengalami nekrosis, hanya
Dilaporkan satu kasus hernia umbilikalis inkanserata pada
ada satu kasus dengan nekrosis omentum(10). Mestel dan Burns
satu neonatus berumur 2 hari.
melaporkan 3 kasus inkarserata satu kasus menjalani reseksi
usus karena gangren(1). KEPUSTAKAAN
Jarang sekali terjadi ruptur kulit dengan eviserasi organ intra
abdomen(10). 1. Mestel, Burns dikutip oleh Swenson.
2. Maingot R. Umbilical hernia. Dalam: Maingot R. (ed). Abdominal opera-
INDIKASI OPERASI tions Maingot. ed 7. Vol. II. New York: Appleton Century Croft, 1980.
hal. 1618.
Operasi dianjurkan bila terdapat keadaan berikut: 3. Morton JH. Abdominal wall hernias. Dalam: Schwartz SI. Principles of
• Defek fasia lebih dari 1 cm, umur pada wanita lebih 2 tahun(4) Surgery ed. 5. New York: McGraw-Hill, 1988. hal. 1529.
dan pada pria Iebih dari 4 tahun(7). 4. Rains AJH, Ritchie MD. Bailey and Loves Short Practice of Surgery, ed 19.
London: H.K. Lewis & Co. 1984. hal. 1093.
• Bila terjadi inkarserasi atau strangulasi(5,6,7,9). 5. Giles GR. The Abdominal Wall and Hernias. Dalam: Cushieri dkk. Essen-
• Bila defek hernia 1 jan longgar pada usia 6 tahun. tial Surgical Practice. Bristol: P.S.G. 1982. hal. 882.
• Bila kantong besar dan kulit tipis dipertimbangkan operasi 6. Kottimier PK. Pediatric Surgical Emergencies. Dalam: Shaftan GW,
karena kemungkinan ruptur(10). Gardner B. Surgical Emergencies. Philadelphia: Lippincot Co. 1974. hal.
549–50.
• Bila anak sering kesakitan waktu hernia menonjol, sedang- 7. de LonnierHA, Hamson MR. Pediatric Surgery. Dalam: Dunphy JE, Way
kan Strapping tidak mungkin karena ada kelainan kulit atau ada LW. Surgical Diagnosis and Treatment. ed 4. Los Altos: Lange Med Publ.
riwayat inkarserasi(10). 1979. hal. 1066–67.
8. Fillton HC. Pediatric Surgery. Dalam: Sabiston. Textbook of Surgery, Vol
• Hernia yang besar sekali mengganggu ibu dan anak(9). II. ed. 10. Tokyo: Igaku-Shoin 1986. hal. 1295.
• Bila selama observasi defek membesar atau menetap atau 9. Guzzetta PC dkk. Pediatric Surgery. Dalam: Schwartz SI (Cd). Principle of
bertambah besar setelah umur 4 tahun(6). Surgery. ed. 5. New York: Mc Graw-Hill Co. 1988. hal. 1712.
10. SwenvnO. Umbilical anomalies. Dalarn: Swenson 0. Pediatric Surgery,
Vol. I. ed 3. New York: Appleton Century-Croffs. 1969. hal. 542-47.
KASUS 11. Sibley dikutip oleh Swenson.
Seorang bayi wanita umur 2 hari, lahir di rumah bidan 12. Heifetz dkk. dikutip oleh Maingot.

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 61


ABSTRAK
KEMOTERAPI TBC 3 bulan, tetapi jangan digunakan efeknya, 43 pria sehat di California, AS
Sejak 1991, Cina melancarkan le-bih dari 6 bulan karena risiko keter- dibagi atas empat kelompok: kelompok
program kemoterapi langsung jangka gantungan. plasebo tanpa exercise, kelompok testos-
pendek (directly observed short-course Efek samping berupa pilek, iritasi teron dengan exercise. Exercise berupa
chemotherapy) dengan bantuan WHO. tenggorolg mata berair, bersin dan angkat besi tiga kali seminggu. Peng-
Untuk pasien baru, terapi berupa batuk Agar cara ini berhasil, harus ukuran dilakukan atas massa otot dan
streptomisin 750 mg., isoniazid 600 mg. disertai juga dengan penghentian to- kekuatan lengan dan tungkai melalui
dan rifampisin 600 mg. selang sehari tal dan dibarengi terapi tingkah laku. cara bench-press dan squatting.
selama 2 bulan, disusul dengan isoniazid Dalam kelompok tanpa exercise,
+rifampisin selang sehari selama 4 bulan. Scrip 1996;2116:19 pemberian testosteron menghasilkan
Brw
Untuk pasien lamalpernah mendapat peningkatan massa otot yang ber-
pengobatan, terapi ditambah dengan makna –di daerah triceps 424 ± 104 vs.
etambutol 1250 mg. selang sehari se- SIKAP DOKTER TERHADAP –8–± 109 mm3 (p ≥ 0,05) dan di daerah
lama 2 bulan, diikuti dengan isoniazid, EUTHANASIA quadriceps 607 ± 123 vs. –131 ± 111
rifampisin dan etambutol selama 6 bu- Suatu survai melalui pos telah di- mm3 (p ≤ 0,05). Juga terdapat pe-
lan berikutnya. lakukan atas para dokter dan atas pen- ningkatan kekuatan pada bench-press
Selama 1991 – 1994 telah diperiksa duduk dewasa di Michigan, AS untuk (9±4 vs. –l ± 1 kg., p ≥ 0,05) dan pada
kira-kira 1,6juta orang, 48% menjalani mengetahui sikap mereka terhadap squatting(16±4 vs. 3±1 kg.,p≤0,05).
pemeriksaan sputum dan ditemukan euthanasia. Jawaban yang dapat diolah Testosteron + exercise menghasil-
104.444 kasus baru sputum positif dan berasal dari 1119 dan 1518 dokter yang kan peningkatan massa otot (6,1 ± 0,6
95.616 kasus lama sputum positif. Peng- diikutsertakan (74%) dan dari 998 dari kg) dan ukuran otot triceps (501 ± 104
obatan berhasil menyembuhkan 89,7% 1307 penduduk dewasa (76%). mm3) dan otot quadriceps (1174 ± 91
(55.2 13) kasus baru dan 81,1% (57.629) Bila diminta memilih antara legali- mm3) dibandingkan dengan kelompok
kasus lama; kegagalan terapi turun dari sasi bunuh diri yang dibantu dokter tanpa exercise, juga kekuatan ototnya
17,6% di antaranya 937 pasien pada ta- dengan larangan eksplisit. 37% dokter meningkat: pada bench-press 22 ±2 kg.
hun 1991 menjadi 6,2% di antara 7.822 dan 26% awam memilih dilarang, dan pada squatting 38 ±4 kg.
pasien pada tahun 1994. sedangkan 8% dan masing-masing Tidak dijumpai perubahan tingkah
Lancet 1996; 347: 358–62 kelompok tidak menyatakan pendapat. laku maupun mood selama percobaan
Brw Bilaparadokterdiberi pilihan yang lebih berlangsung.
luas, 40% memilih legalisasi, 37% me- Para peneliti menyimpulkan bahwa
milih tanpa pengaturan, 17% mendu- testosteron, terutama bila dikombinasi
SEMPROT HIDUNG NIKOTIN kung pelarangan dan 5% jawabannya dengan latihan beban meningkatkan
tidak pasti. massa, ukuran dan kekuatan otot pria
Selain bentuk koyo, para perokok Di antara para dokter, seandainya normal.
yang ingin menghentikan kebiasaan- bunuh diri yang dibantu dokter telah N. Engl. J. Med. 1996; 335: 1–7
nya dapat mencoba cara lain, yaitu legal, 35% menyatakan bersedia bila Ht
semprot hidung (nasal spray). diminta – 22% akan membantu baik
Nicotrol NS nasal spray telah euthanasia maupun bunuh diri, sedang INKOMPATIBILITAS CAMPUR-
disetujui penggunaaimya oleh FDA 13% hanya akan membantu bunuh diri. AN OBAT
AS; cara ini terbukti dapat meng- N. Engl. J. Med. /996; 334: 303–9 Sebuah artikel menyebutkan bahwa
hentikan kebiasaan merokok pada Ht campuran obat berikut dalam larutan
54%, dibandingkan dengan 27% di intravena ternyata incompatible; cam-
kalangan plasebo bila dipakai selama puran tersebut ialah insulin dengan
6 minggu. Berhenti merokok berta- ANDROGEN UNTUK BODY labetalol, insulin dengan norepinefrin,
han selama sedikitnya 1 tahun pada BUILDING insulin dengan dopamin, heparin de-
25% kelompok perlakuan dan pada Akhir-akhir ini para atlet ada yang ngan labetalol, heparin dengan dobu-
13% di kelompok plasebo. Cara ini menggunakan steroid androgen untuk tamin dan heparin dengan nitrogliserin.
dianjurkan untuk digunakan selama meningkatkan kekuatan; untuk menilai Inpharma 1996;1040: 20
Brw

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997


ABSTRAK
PENURUNAN MORTALITAS lanjut usia menunjukkan obat ini dalam kognitif ataupun linguistik yang ber-
AKIBAT PENYAKIT JANTUNG dosis rendah tidak hanya bermanfaat makna.
KORONER mencegah stroke, tetapi juga mengu- JAMA 1996; 276(6): 470–75
Ht
Studi di Minnesota, AS atas pen- rangi komplikasi koroner; selain itu
duduk berusia 30–74 tahun menunjuk- juga efektif meregresi massa ventrikel
kan bahwa mortalitas akibat penyakit kiri. BIAYA HISTEREKTOMI
jantung koroner turun 25% baik di Antagonis kalsium, terutama nifedi- Saat ini terdapat beberapa cara his-
kalangan pria maupun wanita. pin short-acting, sedang disorot karena terektomi; dIn 1049 pasien di Greater
Penurunan kematian di rumahsakit adanya laporan meningkatkan morbidi- Baltimore Medical Center, Maryland,
(41%) lebih nyata daripada penurunan tas dan mortalitas koroner, mungkin AS tahun 1993-1994, 273 (26%) men-
kematian di luar rumahsakit (17%). melalui mekanisme stimulasi jantung. jalani laparoscopically assisted vaginal
Hospitalisasi juga turun 5–10% pada Penyekat ACE, seperti juga penyekat hysterectomy, 566 (54%) menjalani
kurun waktu tersebut. Risiko kematian beta, selain menurunkan tekanan darah, abdominal hysterectomy dan 210(20%)
relatif dalam 3 tahun setelah perawatan terutama bila dikombinasi dengan menjalani vaginal hysterectomy.
rumahsakit juga turun dengan rasio diuretik, juga memperbaiki angina dan Ternyata lama perawatan rata-rata
0,76 (95%CI: 0,65–0,89) di kalangan mengurangi mortalitas pasca infark; ialah berturut-turut 2,6 hari, 3,9 hari dan
pnadan rasio 084 (95%CI 071–1 00) di golongan ini juga memperbaiki fungsi 2,9 hari; sedangkan biaya total rata-
kalangan wanita ginjal dan mengurangi albuminuri. rata sebesar masing-masing US$ 6116,
Risiko ini turun sesuai dengan pe- Penyekat beta terutama efektif me- US$ 5084 dan US$ 4221 (p ≤ 0,001
ningkatan penggunaan trombolitik ngurangi kematian mendadak akibat untuk perbandingan antara teknik
heparin aspirin dan angioplasti penyakit jantung koroner, khususnya laparoskopi dengan dua teknik lain-
N. Engl. J. Med. 1996; 334: 884–90 pada pasien-pasien pasca infark. nya), sedangkan biaya fasilitas rata-
Ht Drugs 1996; 52(1): 1–16 rata masing-masing sebesar US$ 4914,
Brw US$ 3954 dan US$ 3116 (p ≤ 0,001).
Tingginya biaya operasi laparosko-
KOLAGEN UNTUK ARTRITIS RE- pik terutama akibat tingginya biaya alat
MATOID disposable dan lebih lamanya waku
Kolagen tipe II berasal dari anak operasi.
ayam telah dicobakan pada 10 anak dan OPERASI UNTUK EPILEPSI N Engl J Med 1996; 335: 476-82
Ht
remaja 8–14 tahun yang menderita juve- Sejumlah 89 pasien menjalani lo-
nile rheumatoid arthritis sebagai obat bektomi temporal anterior di Graduate
tambahan di samping NSAID atau kor- Hospital, Philadelphia, AS selama April
tikosteroid 1986 sd. Maret 1990; operasi tersebut
Dosis 100 ug/hari selama 1 bulan di- dilakukan atas pasien epilepsi parsial
lanjutkan dengan 500 ug/hari selama 2 kompleks atau umum sekunder yang ANTIDIABETIK ORAL BARU
bulan menghasilkan perbaikan pada 8 refrakter terhadap 3 obat anti epilepsi Hoechst-Marion-Roussel telah mem-
pasien 1 pasien menjadi sama sekali atau kombinasinya dengan frekuensi perkenalkan antidiabetik sulfonilurea
bebas gejala. serangan sedikitnya sekali sebulan se- yang baru – glimepirid. Obat ini dapat
Inpharma 1996; 1036: 11 lama 1 tahun. Obat antiepilepsi tetap dikombinasi dengan insulin, bekerja me-
Brw
digunakan selama sedikitnya 5 tahun rangsang sekresi insulin dan pankreas;
setelah operasi. dibandingkan dengan gliberklamid, obat
Lima tahun setelah operasi, 62(70%) ini kurang berisiko hipoglikemi dan tidak
OBAT ANTIHIPERTENSI pasien bebas serangan, 8 (9%) meng- menyebabkan vasokonstriksi.
Obat antihipertensi dapat dibagi men- alami kurang dari 3 serangan dalam Dosis awal yang dianjurkan ialah 1–2
jadi empat golongan: diuretik, penyekat- setahun atau hanya di malam hari, 4 mg. sekali sehari bersama makan pagi,
beta, penyekat-ACE dan antagonis kal- (4%) meninggal dunia karena sebab dapat ditingkatkan sampai maksimum
sium. lain. 55% serangan timbul dalam 6 bulan 8 mg./hari.
Diuretik akhir-akhir ini kembali po- pertama pasca operasi, 93% terjadi da-
Marketletter 1996; Apr. 8: 20
Brw
puler karena penelitian mutakhir pada lam 2 tahun. Tidak ditemukan gangguan

Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997 63


Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Obat anti tuberkulosis yang tidak digunakan lagi : 5. Partikel debu dapat masuk sampai ke bronkioli terminal
a) INH bi1a diametemya kurang dari:
b) PAS a) l0 mikron
c) Etambutol b) 5 mikron
d) Pirazinamid c) 3 mikron
e) Streptomisin d) 1 mikron
e) ½ mikron
2. Obat anti tuberkulosis yang selalu ada pada tiap regimen:
a) INH 6. Bahaya gangguan pernapasan yang diderita penduduk di se-
b) PAS kitar pabrik semen:
c) Etambutol a) Asbestosis
d) Pirazinamid b) Silikosis
e) Streptomisin c) Pneumokoniosis
d) Kanker Paru
3. Yang termasuk obat anti tuberkulosis pilihan ke dua: e) Aspergilosis
a) Etambutol
b) Pirazinamid 7. Masalah gangguan pernapasan yang utama di Indonesia:
c) Thiacetazon a) Tbc paru
d) Rifampisin b) Pneumonia
e) Streptomisin c) Penyakit paru obstruktif
d) Asma
4. Pemeriksaan ELISA makro untuk identifikasi tbc mengguna- e) Tumor paru
kan prinsip deteksi:
a) IgG 8. Mikobakteria yang dapat ditularkan oleh burung:
b) IgA a) M. bovis
c) IgM b) M. fortuitum
d) IgD c) M. szulgai
e) IgE d) M. chelonei
e) M.avium

8. E 5. C 6. B 7. A
4. A 1. B 2. A 3. C
JAWABAN :

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 115, 1997

You might also like