You are on page 1of 129

1

EKONOMI KESEJAHTERAAN SYARIAH


M. SUYANTO
www.msuyanto.com

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan

Ekonomi Kesejahteraan Syariah.

1.1.1. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional

Ekonomi Kesejahteraan merupakan cabang ilmu ekonomi yang menggunakan

teknik ekonomi mikro untuk menentukan secara serempak efisiensi alokasi dari

ekonomi makro dan akibat distribusi pendapatan yang berhubungan dengan itu

(O’Connel, 1982). Ekonomi kesejahteraan adalah kerangka kerja yang digunakan

oleh sebagian besar ekonom publik untuk mengevaluasi penghasilan yang

diinginkan masyarakat (Rosen, 2005:99). Ekonomi kesejahteraan menyediakan

dasar untuk menilai prestasi pasar dan pembuat kebijakan dalam alokasi

sumberdaya (Besley, 2002). Definisi ini merupakan seperangkat alokasi nilai guna

(utility) yang dapat dicapai dalam suatu subyek masyarakat terhadap kendala dari

citarasa dan teknologi.

Ekonomi kesejahteraan mencoba untuk memaksimalkan tingkatan dari

kesejahteraan sosial dengan pengujian kegiatan ekonomi dari individu yang ada

dalam masyarakat. Kesejahteraan ekonomi mempunyai kaitan dengan

kesejahteraan dari individu, sebagai lawan kelompok, komunitas, atau masyarakat

sebab ekonomi kesejahteraan berasumsi bahwa individu adalah unit dasar

pengukuran. Ekonomi kesejahteraan juga berasumsi bahwa individu merupakan


2

hakim terbaik bagi kesejahteraan mereka sendiri, yaitu orang-orang akan

menyukai kesejahteraan lebih besar daripada kesejahteraan lebih kecil, dan

kesejahteraan itu dapat diukur baik dalam terminologi yang moneter atau sebagai

suatu preferensi yang relatif.

Kesejahteraan sosial mengacu pada keseluruhan status nilai guna bagi

masyarakat. Kesejahteraan sosial adalah sering didefinisikan sebagai penjumlahan

dari kesejahteraan semua individu di masyarakat. Kesejahteraan dapat diukur baik

secara kardinal yang dalam dollar (rupiah) atau “utils”, atau diukur secara ordinal

dalam terminology nilai guna yang relatif. Metoda kardinal adalah jarang

digunakan sekarang ini oleh karena permasalahan agregat yang membuat

ketelitian dari metoda tersebut diragukan. Ada dua sisi dari ekonomi

kesejahteraan, yaitu efisiensi ekonomi dan distribusi pendapatan. Efisiensi

ekonomi adalah positif lebih luas dan berhadapan dengan " ukuran dari kue".

Distribusi Pendapatan adalah jauh lebih normatif dan berhadapan dengan "

pembagian atas kue".

1.1.2. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Syariah

Ekonomi kesejahteraan konvensional hanya menekankan pada kesejahteraan

material saja, dengan mengabaikan kesejahteraan spiritual dan moral. Ekonomi

kesejahteraan syariah bertujuan mencapai kesejahteraan manusia secara

menyeluruh, yaitu kesejahteraan material, kesejahteraan spiritual dan moral.

Konsep ekonomi kesejahteraan syariah bukan saja berdasarkan manifestasi nilai

ekonomi, tetapi juga nilai moral dan spiritual, nilai sosial dan nilai politik Islami.

Dengan demikian ekonomi kesejahteraan syariah mempunyai konsep lebih

komprehensif (Mannan, 1970:358).


3

Ekonomi kesejahteraan syariah dapat didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu

ekonomi yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu

alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan tujuan,

tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan keseimbangan makroekonomi

dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan

sosial serta jaringan moral masyarakat. Tujuan mendorong kesejahteraan manusia

akan membantu menyediakan suatu arah yang tegas baik bagi pembahasan teoritis

maupun resep kebijakan (Chapra, 2001:108).

1.2. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan

Ekonomi Kesejahteraan Syariah.

1.2.1. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional

Ada dua pendekatan yang dapat diambil terhadap ekonomi kesejahteraan,

yaitu pendekatan Neo-Klasik dan pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru.

Pendekatan Neo-klasik telah dikembangkan oleh Pigou, Bentham, Sidgwich,

Edgeworth, dan Marshall. Pendekatan Neo-Klasik berasumsi bahwa nilai guna

merupakan kardinal dan konsumsi tambahan itu menyediakan peningkatan yang

semakin kecil dalam nilai guna (diminishing marginal utility). Pendekatan Neo-

Klasik lebih lanjut berasumsi bahwa semua individu mempunyai fungsi nilai guna

yang serupa, oleh karena itu hal tersebut mempunyai makna untuk

membandingkan nilai guna individu dengan nilai guna milik orang lain. Oleh

karena asumsi ini, hal tersebut memungkinkan untuk membangun suatu fungsi

kesejahteraan sosial dengan hanya menjumlahkan seluruh fungsi nilai guna

individu.
4

Pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru didasarkan pada yang dikerjaan

oleh Pareto, Hicks, Kaldor, Boulding, Arrow, Robbin, Scitovsky, Galbrairh dan

Sen). Pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru dengan tegas mengenalkan

perbedaan antara bagian efisiensi dari disiplin dan bagian distribusi serta

memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Pertanyaan dari efisiensi ditaksir

dengan ukuran-ukuran seperti efisiensi Pareto dan uji kompensasi Kaldor-Hicks,

sedangkan pertanyaan dari distribusi pendapatan dicakup di dalam spesifikasi

fungsi kesejahteraan sosial. Lebih lanjut, efisiensi tidak perlu memerlukan ukuran

kardinal nilai guna, nilai guna ordinal adalah cukup untuk analisis ini. Banyak

titik-tolak pemikiran ekonomi dapat diambil untuk membahas masalah welfare

(kemakmuran) dan welfare economics (ilmu ekonomi yang berorientasi

kemakmuran). The American Economics Association yang menempatkan

Kenneth Boulding sebagai salah satu pemikir ekonomi konpemtorer pada waktu

itu, bersejajaran dengan tokoh-tokoh lain seperti John Kenneth Galbraith, ragnar

Nurkse, Paul A. Samuelson, Wassly Lointief, Mozez Abramoritz, Andreas

Papandreou, Norman Buchanan, Paul Baran dan Milton Friedman. Lebih dari

setengah abad yang lalu, Howard S. Ellis dari University of California, Berkeley

selaku editor menerbitkan buku A Survey of Contemporary Economic I

(Homewood: Irwin, 1949) yang disponsori oleh The American Economics II

terbit pula dengan editor Prof. Bernard F. Haley dari Stanford University

(Homewood: Irwin 1952), yang juga disponsori oleh the American Economics

Association. Kedua jilid buku ini sebagai kesatuan boleh dibilang merupakan

karya monumental dalam pemikiran ekonomi. Setengah abad yang lalu itu masih

dengan tegas dikatakan oleh Kenneth Boulding bahwa the subject matter of
5

welfare economic, berbeda dengan lain-lain bentuk welfare, harus didekati dari

konsep harta atau “riches” ekonomi. Dengan pendekatannya ini ia lebih lanjut

memperkukuhkan konsepsi yang telah dikenal sebagai “social optimum”, yaitu

Paretian optimality (optimalitas ala Pareto dan Edgeworth), di mana economics

efficiency mencapai social optimum bila tidak seorangpun bisa lagi menjadi lebih

beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain merugi (worse-off). Dalam pada

itu pemborosan (dalam konsepsi social optimum ini) masih terjadi bila seseorng

masih bisa menolong orang lain tanpa merugi. Apa yang dikemukakan Boulding

ini, dalam kaitan Vilfredo Pareto dan Francis Edgeworth, Alfried Marshall dan

A.C. Pigou, pada dasarnya adalah “old utilitarian” dan tidak terlepas dari

mekanisme perfect competition dalam pasar. Welfare dan competition menjadi

dua sejoli diangkat di sini sebagai paradigma klasikal oleh kaum Smithian. Inilah

“old welfare economics” yang berdasar pada utilitas, berorientasi harta atau

kekayaan ekonomi individu dan self-interest maximizalition, yang menegaskan

tercapainya Pareto efficiency. Dengan demikian “social optimum” semacam ini

menggambarkan berlakunya institusi ekonomi berdasar paham individualisme dan

liberalisme ekonomi (Swasono,2005).

Efisiensi alokatif (allocative efficiency) sumber-sumber ekonomi ke

tingkat optimal yang menjadi titik tolak pemikiran kaum klasik Paretian ini (dan

kemudian juga neoklasik) ternyata tidak dengan sendirinya membawakan

kesejahteraan sosial (societal welfare). Bagaimanapun juga pareto efficiency tidak

membukakan kondisi untuk terbentuknya a good society (Sen, 2002) dan tidak

peka terhadap masalah distribusi. Welfare economics setengah abad yang lalu

berhenti di situ. Boulding kemudian dalam bukunya Economics as a Science


6

(1970) kurang lebihnya melepaskan pendapat awalnya tentang social optimum

yang sempit itu. Apa yang disebut sebagai “new welfare economics” mulai

muncul, kemudian menjadi “contemporerary welfare economics” sejak Kenneth

Arrow mengajukan “impossibility theorem”-nya, yaitu theorem yang ia

kembangkan sebagai upaya menggabungkan preferensi-preferensi masing-masing

anggota masyarakat menjadi preferensi sosial (social preference). Dari sini

ditunjukkan secara teoritis bagaimana sulitnya menggabung dan

mentransformasikan preferensi-preferensi individual menjadi preferensi sosial.

sepanjang yang saya ketahui Arrow-lah yang mengawali secara teoritikal proses

transformasi ini. Bila proses transformasi ini saya kaitkan dengan paham

kebersamaan (mutualisme, bukan individualisme). Kesimpulan saya demikian itu

karena dalam berpola interaksi sosial maka individu-individu sebagai makhluk

sosial akan berprilaku berdasar pada kaidah-kaidah nonekonomi yang lebih

kompleks. Dengan kata lain akan terjadi transformasi perilaku individu-individu

dalam pola interaksi sosial, bahkan mungkin terjadi transformasi mind-set,

terbentuk suatu coherent collective mind and behavior. Ada suatu possibility

teoritikal bila dari preferensi-preferensi individual. Preferensi sosial adal secara

independent, sebagai kehendak individu yang hidup bermasyarakat karena “rasa

bersama”. Di sinikah barangkali impossibility theorem-nya Arrow mendapatkan

sambungan dan bagi saya mengagumkan (Swasono,2005).

Sementara itu John Kenneth Galbraith, dengan mengemukakan pandangan

Sraffa (1926), John Robinson (1933) dan Chamberlain (1932) ikut menegaskan

bahwa persaingan (competition) patut diasumsikan sebagai tidak sempurna (non

perfect). Galbraith bisa memahami karya Arthur R. Burn The Decline of


7

Competition (1936) di mana elemen monopoli tidak lagi dipandang sebagai

sekedar kejadian sekali-kali eaktu ataupun deviasi dari persaingan bebas. Ia

berkesimpulan bahwa masalah kebijaksanaan monopoli sejak lama merupakan

masalah intellectual property of men whose faith is in competition. Sejak awal

(1950) Galbraith memprihatinkan bahwa perkembangan monopoli dan

konsentrasi merupakan penyalahgunaan (abuse) kekuasaan ekonomi. Dalam

bukunya The affluent Society (1958) ia menggambarkan keterdiktean konsumen

oleh iklan yang berlebih-lebihan. Iklan semacam itu merupakan pemborosan

sosial. selanjutnya secara konsisten ia membela kepentingan masyarakat luas

terhadap konsentrasi kekuatan ekonomi swasta, sebagaimana ia kemukakan

(1992) “…. The privatization of social services and public enterprises are aimed at

altering property relations and hence the distribution of wealrh and political power

toward the greater empowerment of the rich, big business, and the rentiers at the

cost of the underclass….”. (Privatisasi sarana-sarana dan perusahaan-

perusahaan negara bertujuan merubah hubungan-hubungan pemilikan dan

selanjutnya pula distribusi kekayaan dan kekuasaan untuk lebih memperkuat

posisi kelompok kaya, kalangan bisnis besar dan kaum pemupuk rente ekonomi

atas korban masyarakat bawah).

Setelah dengan sangat brilian dan teliti menggambarkan hubungan antara

welfare and competition (dianggap sebagi dua sejoli) akhirnya Tibor Scitovsky

mengemukakan melalui bukunya yang terkenal Welfare and Competition (1951),

bahwa competition memiliki berbagai kelemahan (shortcomings). Bila kaum

ekonom mengaggap peran kebijaksanaan ekonomi adalah mempertahankan

pekerjaan (employment) dan stabilitas harga (price stability), tugas negara adalah
8

mengobati kelemahan-kelemahan yang ada pada diri competition demi menjamin

welfare. Negara, menurut Scitovsky, harus menyediakan jasa-jasa yang

masyarakat secara kolektif dapat mengambil manfaat. Ia mendukung antitrust

legislation dan menolak aggressive competition yang bertujuan menegakkan

monopoli. Namun ia pada dasarnya tetap berkecenderungan memihak orde

kompetisi dan menghendaki pembatasan terhadap kontrol oleh negara.

Setelah Reder dan Samuelson melemparkan kritik terhadap welfare

economics-nya Boulding, Paul A. Baran lima tahun kemudian (1957) menegaskan

bahwa welfare economics barunya Reder dan Samuelson itu pun masih terbatas

pada masalah perlu tidaknya makna dan dimensi welfare di luar ekonomi an sich

perlu diperhitungkan. Baran secara kritis menunjukkan bahwa efisiensi ekonomi

memang memberikan kontribusi kepada human welfare berdasar kriteria bahwa

pada dirinya efisiensi ekonomi merupakan suatu orde sosial ekonomi yang hidup

di dalam masyarakat. Namun bagi Prof. Baran, posisi welfare economics yang

mengundang perdebatan teoritikal dan moral sesungguhnya terletak pada

melencengnya orde sosial ekonomi dari tujuan kehidupan ekonomi yang lebih

utuh dan mulia, dimana hubungan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada

masyarakat kapitalis (yang mendewakan self interest, perfect individual liberty,

consumers’ sovereignty dan stelsel laissez faire itu) telah menghalangi

tercapainya well being masyarakat sebagai tujuan kehidupan ekonomi masyarakat

yang utuh, yaitu “… suatu masyarakat yang bebas dari keapatisan mental dan

psikis (mental and psychic stupor) yang diakibatkan oleh ideology kapitalis yang

melumpuhkan masyarakat miskin….”. Pada kesempatan ini Baran sempat

mengungkit keheranannya terhadap sikap John Stuart Mill, Alfred Marshall, K.


9

Wicksell dan A.C. Pigou yang terganggu oleh munculnya keraguan terhadap “the

visible hand”. Baran memuji F. Bastiat dan J.B. Clark yang menempatkan

welfare berdasar stelsel laissez faire sebagai “iron low” yang mengabaikan noble

sentiments dan high ethical standards para protagon yang menghendaki prinsip-

prinsip ekonomi yang sehat dalam orde ekonomi. Paretian optimum, kata Baran,

mengundang suatu pemikiran untuk reformasi sosial. sedang “The new

economics”-nya Keynes, meskipun dilihat oleh Baran (1952) sebagai dasar-dasar

perencanaan untuk mencapai full employment dalam sistem kapitalisme, telah

menegaskan tidak terjadinya otomatisme pasar atau tidak adanya mekanisme built

in untuk menjaga aggregate effective demand dalam mempertahankan full

employment. Namun Keynes tidak melihat kemerosotan aggregate demand itu

sebagai masalah struktural dalam alokasi sumber-sumber ekonomi.

Kita perlu pula mencatat apa yang dikemukakan oleh Abramovitz (1952),

bahwa “….Our interest in economic growth stems from, and is relevant to, our

interest in long term changes in economics welfare. But the two subjects are not

equivalents….” (Kepentingan kita pada pertumbuhan ekonomi bermula dari, dan

relevan dengan, kepentingan kita pada perubahan kesejahteraan ekonomi dalam

jangka panjang. Tetapi kedua subjek itu tidaklah sama). Dengan penegasannya ini

ia sepaham dengan Clark. Sampai saat ini kiranya masih berlaku, yaitu bahkan

saat ini banyak di antara kita yang berbicara mengenai growth namun

mengabaikan economic welfare pada tataran sosialnya (dalam dimensi societal

welfare).

Pandangan mengenai welfare economics, substansi dan dimensinya terus

makin berkembang, diawali antara lain oleh Robert A. Dahl dan Charles A.
10

Lindblom dalam buku Politics, Political Economics and Welfare (1963).

Sementara itu, Oscar Lange melepaskan diri dari percaturan mengenai apakah

welfare economics hanya berdasar kriteria ekonomi sempit ataukah harus

mengandung nilai-nilai etikal, apakah welfare economics berlandaskan pada ilmu

ekonomi “positif” atau “normatif”, apakah berdasar pada proposisi “what there

is” atau “what there ought to be “. Lange menegaskan bahwa lingkup ilmu

ekonomi adalah menentukan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan ekonomi

yang telah ditentukan secara politik. Tujuan ekonomi yang ia maksudkan itu

adalah dalam tatarannya sebagai social preference dan social choice.

Dahl dan Lindblom menyayangkan bahwa istilah “political economy”

tidak bisa digunakan saat ini tanpa memainkan trik-trik mistik rohnya Adam

Smith, David Ricardo dan Stuart Mill. Berikut ini ia kemukakan dalam mengawali

bukunya yang terkenal itu : Dalam teori formal, ilmu politik dan ilmu ekonomi

acapkali dianggap sebagai kerabat jauh dan tidak begitu bicara satu sama lain.

Dahl dan Lindblom berusaha mencari jalan untuk menyatukan aspek-aspek

tertentu dari politik dan ekonomi ke dalam teori utuh yang konsisten. Pada ujud

pertamanya, pertanyaannya terpusat ke dalam masalah etika daripada masalah

ilmu. Kedua tokoh ini menegaskan bahwa tidak akan ada teori yang dapat

menyatukan ilmu politik dan ilmu ekonomi kecuali teori ini mengeksplisitkan

premis-premis sosiologi dan psikologi yang dikandung oleh masing-masing ilmu

politik dan ilmu ekonomi. Akhirnya dari situ perlu dapat ditarik suatu “rational

sosial action” untuk mencapai maksimisasi tujuan-tujuan good life, yang harus

dicapai dengan perjuangan melalui kalkulasi rasional dan control demokratis,

yaitu untuk meraih nilai-nilai dasar “freedom”, “equality” dan “progress”.


11

Makna welfare akhirnya bukan lagi sekedar tercapainya economic gain

secara optimal belaka. Efisiensi berdimensi sosial, politik, psikologi dan filosofi,

menjangkau tujuan humanisasi dan humanisme. Akhirnya dahl dan Lindblom

membuka jalan untuk suatu diskusi public yang lebih pelik, suatu yang open

ending dan mungkin akan makin membingungkan kaum ekonom konvensional.

Selanjutnya masalah welfare, lebih mengemuka lagi, setelah Amartya Sen

mengedepankan masalah etika dalam bukunya On Ethics and Economics

(Oxford : Basel Blakwell, 1987) dan demikian pula Amitai Etziomi, seorang

sosiolog terkemuka, dengan buku monumentalnya The Moral Dimensions:

Toward a New Economics (New York : Free Press, 1988).

Dalam relevansi dengan Orasi ini barangkali Hatta (negarawan), Baran

(idelog), Galbraith (reformis), Myrdal (reformis), Sen (ekonom), dan Etzioni

(sosilog) yang melihat bahwa preferensi sosial itu ada secara indpenden, di mana

individu-individu hidup di dalam suatu masyarakat sebagai kenyataan yang given.

Amartya Sen a.l. dalam bukunya Rationality and Freedom (Cambride: Berknap of

Harvard University Press, 2002), bertitik tolak dari social preference, social

choice dan impossibility theorem-nya Kenneth Arrow, menuju social welfare

judgements dan mekanisme social decision. Selanjutnya theorem-nya Arrow

makin berkembang canggih (memerlukan ketekunan dan kedalaman teoritikal

serta subtilitas nilai-nilai untuk memahaminya) berkat pencerahan lebih lanjut

oleh Sen, yang memberi makna lebih pada well being (kesejahteraan dalam arti

luas) dengan freedom (kebebasan) sebagai lawan dari unfreedom.

Welfare economic-nya Sen menjadi suatu gambaran dan proses rasional ke

arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan


12

(unfreedom) selanjutnya dengan mencari kriteria yang lebih luas (ecletic)

diharapkan dapat lebih memberi makna well being yang lebih mapan, dengan

ukuran-ukuran (performance criteria) barunya seperti “tingkat kehidupan” (levels

of living), “pemenuhan kebutuhan pokok” (basic needs fulfillment), “kualitas

kehidupan” (quality of life) atau “pembangunan manusia” (human development).

Sedangkan Bornstein secara normatif (“The Comparations of Economics System”,

1994) mengajukan “performance criteria” untuk social welfare yang makin luas,

sekaligus makin sulit menentukan batasannya, meliputi output, growth, efficiency,

stability, security, inequality dan freedom yang harus dikaitkan dengan suatu

social preference (Swasono,2005).

1.2.2. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional

Karena penekanan pada keadilan inilah, para fuqaha telah meletakkan sejumlah

qaidah ushul (legal maxim) yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan

untuk semua dalam cara yang seimbang dan adil. Diantara kaidah-kaidah ini

adalah sebagai berikut :

• Suatu kerugian atau pengorbanan privat dapat ditimpakan untuk

menyelamatkan pengorbanan atau kerugian publik, dan suatu maslahat

yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk merealisasikan maslahat yang

lebih besar

• Suatu kerugian yang lebih besar dapt digantikan oleh kerugian yang lebih

kecil. Kemaslahatan mayoritas yang lebih besar harus didahulukan

daripada kemaslahatan minoritas yang lebih sempit; kemaslahatan publik

harus dikedepankan daripada kemaslahatan privat.


13

• Penghapusan kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada

mendapatkan kemaslahatan.

• Bahaya harus dihilangkan sejauh mungkin.

Semua qaidah ushul di atas jelas bertentangan dengan konsep Pareto Optimal

yang tidak mengakui solusi apapun yang menuntut pengorbanan dari

sekelompok kecil (orang-orang kaya) untuk meningkatkan kesejahteraan yang

lebih banyak (orang-orang miskin). Karena itu, konsep ini dalam keadaan

apapun, tidak mungkin mendapatkan kedudukan tinggi dalam paradigma ilmu

ekonomi kesejahteraan syariah, seperti yang didapatkannya dalam ekonomi

kesejahteraan konvensional (Chapra, 2001:59).

1.3. Pengertian Efisiensi Ekonomi Konvensional dan Efisiensi

Ekonomi Syariah

1.3.1. Pengertian Efisiensi Ekonomi Konvensional

Kebanyakan ahli ekonomi menggunakan efisiensi Pareto, sebagai tujuan

efisiensi mereka. Menurut ukuran ini dari kesejahteraan sosial, suatu situasi

adalah optimal hanya jika tidak ada individu dapat dibuat lebih baik tanpa

membuat orang lain lebih buruk. Kondisi ideal ini hanya dapat dicapai jika empat

kriteria dipenuhi. Rata-rata marginal substitusi dalam konsumsi harus identik

untuk semua konsumen ( tidak ada konsumen dapat dibuat lebih baik tanpa

membuat konsumen yang lain lebih buruk). Rata-rata transformasi di dalam

produksi harus identik untuk semua produk ( adalah mustahil meningkatkan

produksi setiap barang baik tanpa mengurangi produksi dari barang-barang yang

lain) Biaya sumber daya marginal harus sama dengan produk pendapatan

marginal untuk semua proses produksi (produk fisik marginal dari suatu faktor
14

harus sama dengan semua perusahaan yang memproduksi suatu barang) Rata-rata

marginal substitusi konsumsi harus sama dengan rata-rata marginal transformasi

dalam produksi. (proses produksi harus sesuai dengan keinginan konsumen) Ada

sejumlah kondisi-kondisi yang, kebanyakan ahli ekonomi setuju, boleh tidak

efisien meliputi: struktur pasar yang tidak sempurna ( seperti monopoli,

monopsoni, oligopoli, oligopsoni, dan persaingan monopolistik) alokasi faktor

tidak efisien ( lihat dasar-dasar teori produksi), kegagalan pasar dan eksternalitas (

lihat juga biaya sosial), diskriminasi harga (lihat juga skimming harga),

penuruanan biaya rata-rata jangka panjang (lihat monopoli alami), beberapa jenis

pajak dan tariff. Untuk menentukan apakah suatu aktivitas sedang menggerakkan

ekonomi ke arah efisiensi Pareto, dua uji kompensasi yang telah dikembangkan,

setiap perubahan pada umumnya membuat sebagian orang lebih baik selagi

membuat orang yang lain tidak lebih buruk, maka uji ini menanyakan apa yang

akan terjadi jika pemenang mengganti kompensasi kepada yang kalah.

Menggunakan kriteria Kaldor suatu aktivitas akan memberi kontribusi untuk

Pareto optimal jika jumlah maksimum pemenang siap membayar lebih besar dari

jumlah minimum yang siap diterima oleh yang kalah.

Di bawah kriteria Hick, suatu aktivitas akan memberi kontribusi untuk

Pareto optimal jika sejumlah maksimum yang kalah disiapkan untuk menawarkan

kepada pemenang dalam rangka mencegah perubahan yang kurang dari sejumlah

minimum pemenang disiapkan untuk menerima sebagai uang suap untuk

membatalkan perubahan. Uji kompensasi Hick melihat dari sudut pandang yang

kalah, sedangkan uji kompensasi Kaldor melihat dari sudut pandang pemenang.

Jika kedua kondisi dapat memuaskan yang kalah maupun yang menang maka
15

baik pemenang maupun yang kalah akan setuju bahwa aktivitas yang diusulkan

akan menggerakkan ekonomi ke arah Pareto optimal. Ini adalah dikenal sebagai

efisiensi Kaldor-Hicks atau kriteria Scitovsky.

1.3.2. Pengertian Efisiensi Ekonomi Syariah

Efisiensi dalam pengertian Optimum Pareto yang netral nilai dan ekuilibrium

modern juga tidak muncul dalam literatur Islam. Ini tidak berarti bahwa konsep

efisiensi tidak dikenal. Konsep ini telah diidentifikasi dalam beberapa pengertian.

Salah satunya adalah dalam pengertian usaha untuk melakukannya yang terbaik.

Rasulullah saw. Menjunjung tinggi kualitas dengan menekankan ihsan kebaikan)

dan itqan (kesempurnaan). Beliau mengatakan,”Allah telah mewajibkan kamu

untuk berbuat baik (ihsan) dalam segala hal,” dan bahwa “Allah menyukai orang

yang melakukan pekerjaan, ia melakukannya dengan sempurna”. Upaya untuk

merealisasikan ihsan dapat melengkapi usaha melakukan itqan, dan keduanya

bersama-sama dapat membantu mewujudkan penggunaan sumber-sumber daya

manusia dan alam dengan cara yang paling efisien dan adil. Efisiensi juga perlu

dalam berbagai konteks sementara sumber-sumber daya tidak boleh disia-siakan

atau disalahgunakan karena adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan. Menurut

salah satu nasihat Abu Yusuf kepada Harun ar-Rasyid, yang didasarkan pada

hadits, pertanggungjawaban ini berlaku bagi semua sumber daya, termasuk usia

manusia, ilmu, kekayaan, dan semua kemampuan fisiknya. Pertanggungjawaban

ini menuntut bahwa sumber-sumber daya dipergunakan untuk membantu

memaksimalkan kesejahteraan manusia. Pertanggungjawaban ini berlaku bagi

sumber-sumber daya, tidak pandang apakah itu SDM atau SDA, langka atau

melimpah, mengandung biaya atau gratis (Zarqa,1980:4).


16

Dengan demikian, penggunaan sumber-sumber daya yang paling efisien

dalam ilmu ekonomi konvensioanl dapat didefinisikan menurut Optimum Pareto,

sementara dalam suatu perekonomian Islam akan ditentukan berdasarkan

maqashid. Setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi maqashid harus

dipandang sebagai kesia-siaan dan inefisiensi (Faridi,1983:40). Sebagai

contohnya, dalam ilmu ekonomi konvensional, konsep Optimum Pareto

membolehkan penghancuran kelebihan output jika hal ini memungkinkan pelaku

bisnis menahan penurunan labanya tanpa membuat konsumen menjadi lebih

buruk (kondisinya) karena naiknya harga. Namun, cara seperti ini tidak dapat

diterima dalam paradigma Islam karena perilaku seperti ini tidak hanya akan

merusak sumber-sumber daya yang telah disediakan oleh Allah sebagai suatu

bentuk amanah melainkan juga menimbulkan ketidakadilan kepada para

konsumen. Meskipun usaha mempertahankan harga pada tingkat sekarang tidak

dapat dibuat menjadi lebih bermanfaat jika kelebihan output tersebut tidak

dihancurkan, harga akan turun atau kelebihan itu dapat dibagikan kepada orang-

orang miskin. Begitu juga, waktu dan energi yang dipergunakan untuk shalat dan

berpuasa akan tampak sia-sia jika dipandang menurut kerangka materialisme,

karena hal itu akan menyebabkan, meskipun tidak selalu, penurunan output

sehingga menghambat maksimalisasi output dan laba. Namun, jika dipandang dari

sudut kontribusi si kaya yang akan dapat menciptakan character building dan

peningkatan spiritual serta kesejahteraan manusia, maka shalat dan puasa

sesungguhnya memiliki keunggulan positif. Barangkali karena alasan ini, dan

alasan lain, seperti yang ditunjukkan sebelumnya bahwa salah satu qaidah ushul

membolehkan penetapan suatu pengorbanan privat yang lebih sempit untuk


17

mendapatkan kemaslahatan public yang lebih besar. Umumnya para ulama

memandang bahwa syariat, dengan strategi dan nilai-nilai moral yang disediakan

untuk menanamkan nilai-nilai ini secara efektif dalam masyarakat, bukan saja

akan membantu menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi semua, melainkan juga

mendorong kemajuan manusia. Al-Mawardi mengindikasikan bahwa ajaran-

ajaran Islam telah terbukti menjadi fondasi yang solid bagi peningkatan dan

stabilitas di dunia. Ibnu Khaldun juga menekankan bahwa sebuah negara tidak

dapat mencapai kemajuan dan kekuatan kecuali dengan menerapkan syariat

(Chapra, 2001:61).

1.4. Distribusi Pendapatan Konvensional dan Dstribusi

Pendapatan Syariah

1.4.1. Distribusi Pendapatan Konvensional

Ada banyak kombinasi dari nilai guna konsumen, dagan produksi, dan

kombinasi konsisten dari faktor input dengan efisiensi. Sesungguhnya, ada suatu

ketidak terbatasan dari konsumen dan keseimbangan produksi yang menghasilkan

Pareto optimal. Ada banyak optima yang merupakan titik batas berbagai

kemungkinan agregat produksi. Karenanya, efisiensi Pareto adalah dibutuhkan,

tetapi tak satu pun kondisi yang memenuhi untuk kesejahteraan sosial. Masing-

masing Pareto optimal berhubungan dengan distribusi pendapatan yang berbeda

dalam ekonomi. Beberapa mungkin melibatkan ketidakseimbangan yang besar

dari pendapatan. Maka bagaimana cara kita memutuskan Pareto optimal yang

mana yang paling diinginkan? Keputusan ini dibuat, baik secara diam-diam

maupun secara terbuka, ketika kita menetapkan fungsi kesejahteraan sosial.

Fungsi ini berwujud keputusan nilai tentang nilai guna yang hubungan antar
18

pribadi. Fungsi kesejahteraan sosial adalah suatu cara secara matematika yang

menyatakan kepentingan relative individu-individu yang ada dalam masyarakat.

Suatu fungsi kesejahteraan nilai guna (juga disebut suatu fungsi

kesejahteraan Benthamite) menjumlahkan nilai guna dari tiap individu dalam

rangka memperoleh kesejahteraan keseluruhan masyarakat. Semua orang

diperlakukan yang sama, bukan masalah pada tingkat awal nilai guna mereka.

Satu unit nilai guna tambahan untuk seorang yang miskin tidaklah dilihat untuk

segala nilai lebih besar dibanding suatu unit tambahan dari nilai guna untuk

seorang jutawan yang mempunyai semua kekayaan yang ia pernah belanjakan.

Pada ekstrim yang lain adalah fungsi Max-Min yang diusulkan oleh John

Rawls. Menurut kriteria Max-Min, kesejahteraan maksimalkan jika nilai guna

anggota masyarakat itu yang mempunyai nilai guna paling kecil adalah yang

terbesar. Tidak ada kegiatan ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan sosial

kecuali jika kegiatan itu meningkatkan posisi dari anggota masyarakat yang lebih

buruk (merugi). Kebanyakan ahli ekonomi menetapkan fungsi kesejahteraan

sosial itu adalah pertengahan antara dua ekstrim tersebut.

Fungsi kesejahteraan sosial adalah secara khas diterjemahkan ke dalam

kurva indiferens sedemikian rupa sehingga dapat digunakan di dalam ruang grafis

yang sama sebagai fungsi yang lain yang saling berhubungan. Suatu kurva

indiferens sosial nilai guna adalah linier dan garis miring ke bawah yang

mengarah ke kanan. Kurva indiferens sosial Max-Min mengambil bentuk dari dua

garis lurus yang berpotongan sehingga membentuk suatu sudut 90 derajat. Suatu

kurva indiferens sosial yang digambar dari suatu fungsi kesejahteraan sosial

antara adalah suatu garis miring ke bawah yang mengarah ke kanan.


19

Bentuk antara dari kurva indiferensi sosial dapat ditafsirkan sebagai

peningkatan ketidakseimbangan, suatu peningkatan semakin besar nilai guna dari

individu yang secara relatif kaya diperlukan untuk mengganti kerugian nilai guna

dari individu yang secara relatif miskin. Suatu fungsi kesejahteraan sosial yang

kasar dapat dibangun dengan mengukur nilai dolar subyektif dari barang dan jasa

yang didistribusikan ke pemain di dalam ekonomi ( lihat juga surplus konsumen).

1.4.2. Distribusi Pendapatan Syariah

Beberapa alasan yang menjadi dasar pemikiran distribusi pendapatan

diantara berbagai faktor produksi. Pertama, pembayaran sewa, umumnya pengacu

pada pengertian surplus yang diperoleh suatu unit tertentu dari suatu factor

produksi melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk mempertahankan

factor itu dalam posisi yang sekarang, tampaknya hal ini tidaklah bertentangan

dengan jiwa Islam. Dijelaskan bahwa sewa dan bunga sangatlah berbeda.

Kedua, perbedaan upah akibat perbedaan bakat dan kesanggupan diakui

oleh Islam. Syarat-syarat pokonya ialah para majikan tidak akan mengisap para

pekerja dan dia harus membayar hak mereka sedangkan para pekerja tidak akan

mengeksploitir majikan mereka melalui serikat buruh, dan mereka juga harus

melaksanakan tugasnya dengan tulus dan jujur.

Ketiga, terdapat kontroversi antara riba dan bunga. Tapi bila arti riba

dipandang dalam perspektif sejarahnya tepat, tampaknya tidak ada perbedaan

antara riba dan bunga. Suatu survai singkat tentang semua teori modern mengenai

bunga mengungkapkan bahwa para ahli ekonomi tidak berhasil menemukan

jawaban yang jelas mengapa bunga harus dibayar. Di pihak lain teori Islam

tentang modal mengakui bahwa bagian modal dalam kekayaan nasional hanyalah
20

sejauh sumbangan yang akan ditentukan sebagai persentase berubah dari laba

daripada suatu persentase yang ditetapkan dari modal itu sendiri. Penulis cukup

yakin bila para pemimpin kaum Muslimin melakukan upaya yang tulus, maka

sangatlah mungkin untuk memiliki perekonimian yang bebas bunga. Tidak dapat

disangkal lagi bahwa karena bungalah tumbuh kapitalisme dengan segala

kejahatan yang menyertainya dalam masyarakat. Bunga menimbulkan masalah

pengangguran, memperlambat proses kepulihan depresi menyebabkan masalah

pelunasan utang bagi negeri-negeri terbelakang, juga menghancurkan prinsip

pokok kerja sama, saling bantu, dan menjadikan orang mementingkan diri

sendiri.

Keempat, Islam memperkenankan laba biasa – bukan laba monopoli atau

laba yang timbul dari spekulasi. Akhirnya, telah kami jelaskan beberapa prinsip

yang umumnya diterima dari hukum waris Islam, yang dewasa ini merupakan

suatu system tetap, ilmiah dan indah lagi harmonis. Sumbangan paling positif

dari hukum waris Islam ialah bahwa ia mengakui peran serta wanita dalam proses

kegiatan ekonomi yang rumit.

1.5. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Konvensional dan

Kesejahteraan Sosial Syariah

1.5.1. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Konvensional

Masalah ekonomi kesejahteraan dasar adalah untuk menemukan suatu fungsi

kesejahteraan sosial maksimum secara teoritis, tunduk kepada berbagai kendala

seperti status dari teknologi dalam produksi, sumber alam yang yang tersedia,

infrastruktur nasional, dan kendala perilaku seperti maksimalisasi nilai guna

konsumen dan maksimalisasi keuntungan produsen. Di ekonomi kemungkinan


21

yang paling sederhana ini bisa dilakukan dengan memecahkan tujuh penyamaan

secara serempak. Dalam persamaan Ekonomi yang sederhana ini misalnya hanya

mempunyai dua konsumen ( konsumen 1 dan konsumen 2), hanya dua produk

( produk X dan produk Y), dan hanya dua faktor-faktor produksi yaitu tenaga

kerja (L) dan modal (K)). Model dapat dinyatakan sebagai berikut :

Memaksimalkan kesejahteraan sosial: W=F(U1 U2) tunduk kepada terhadap

kendala : K= Kx+ Ky (Jumlah modal yang digunakan untuk produksi dari barang

X dan Y)

L= Lx+ Ly (Jumlah tenaga kerja yang digunakan di produksi barang X dan Y)

X= X(Kx Lx) ( Fungsi produksi untuk produk X)

Y= Y(Ky Ly) ( Fungsi produksi untuk produk Y)

U1= U1(X1 Y1) ( Preferensi (pilihan) dari konsumen 1)

U2= U2(X2 Y2) ( Preferensi dari konsumen 2)

Solusi masalah tersebut menggunakan Pareto Optimum. Contoh yang

realistis adalah menggunakan jutaan konsumen, jutaan produk dan beberapa

faktor produksi, tetapi persamaan matematiknya sangat kompleks. Juga,

menemukan sebuah solusi terhadap sebuah fungsi abstrak yang tidak secara

langsung menghasilkan sebuah rekomendasi kebijakan. Dengan kata lain,

pemecahan sebuah persamaan tidak memecahkan permasalahan sosial. Meskipun

demikian, sebuah model seperti yang telah disebutkan di atas dapat dipandang

sebagai sebuah argumen yang memecahkan sebuah persoalan sosial (seperti

pencapaian distribusi pareto optimal dari kekayaan) merupakan paling tidak dapat

memungkinkan secara teori.


22

Hubungan antara Produksi dan Konsumsi dalam sebuah model 7 persamaan

sederhana (model 2x2x2) dapat ditunjukkan secara grafik. Dalam Gambar 1.1,

batas yang mungkin produksi agregat, diberi label PQ menunjukkan seluruh titik

dari efisiensi dalam produksi barang X dan Y. Jika ekonomi menghasilkan

kombinasi barang X dan Y ditunjukkan di titik A, kemudian rata-rata marginal

transformasi (MRT), X funtuk Y sama dengan 2.

Gambar 1.1.

Efisiensi Produksi dan Konsumsi

Titik A mendefinisikan sebuah diagram kotak Edgeworth dari konsumsi. Itu

merupakan kombinasi yang sama dari produk yang diproduksi di titik A, dapat

dikonsumsi oleh dua konsumen dalam ekonomi yang sederhana. Preferensi relatif

konsumen ditunjukkan oleh kurva indeferen di dalam kotak Edgeworth. Di titik B


23

rata-rata narginal substitusi (MRS) sama dengan 2, sementara di titik C rata-rata

marginal substitusi sama dengan 3. Hanya di titik B konsumsi seimbang dengan

produksi (MRS=MRT). Kurva 0BCA di dalam kotak Edgeworth (kadangkala

disebut sebuah kurva kontrak) mendefinisikan tempat titik-titik efisiensi dalam

konsumsi (MRS1=MRS2). Sebagaimana yang kita bergerak sepanjang kurva,

kita mengubah kobinasi barang X dan Y yang individu 1 dan individu 2 memilih

untuk mengkonsumsi. Data nilai guna yang menghubungkan dengan masing-

masing titik pada kurva ini dapat digunakan untuk membuat fungsi nilai guna.

Fungsi nilai guna (utility function) dapat diturunkan dari titik-titik pada kurva

kontrak (contract curve). Beberapa fungsi nilai guna dapat diturunkan, satu untuk

masing-masing titik pada garis batas kemungkinan produksi (pada diagram di atas

PQ). Sebuah garis batas nilai guna (juga disebut sebuah garis batas nilai guna

utama) dapat diperoleh dari selubung luar seluruh fungsi nilai guna ini. Masing-

masing titik pada sebuah garis batas nilai guna sosial menggambarkan suatu

alokasi efisiensi sumberdaya ekonomi yang merupakan Pareto optimal dalam

alokasi faktor produksi, konsumsi dan interaksi produksi dan konsumsi

(permintaan dan penawaran).

Pada Gambar 1.2, kurva MN merupakan sebuah garis batas nilai guna sosial.

Ttitik D berhubungan dengan titik B dari diagram sebelumnya. Titik D ada pada

garis batas nilai guna sosial karena rata-rata marginal substitusi pada titik B sama

dengan rata-rata marginal transformasi di titik A. Titik E berhubungan dengan

titik C dalam diagram sebelumnya dan terletak di dalam garis batas nilai guna

sosial (menunjukkan inefisien) karena MRS pada titik C tidak sama dengan MRT

pada titik A. Meskipun seluruh titik pada garis batas nilai guna sosial utama
24

merupakan efisiensi Pareto, hanya satu titik yang menunjukkan kesejahteraan

sosial maksimum. Titik tersebut adalah titik Z (kadangkala disebut titik

kebahagiaan) dimana garis batas nilai guna sosial MN menrupakan tangent

terhadap kurna indiferen sosial yang mungkin yang tertinggi yang diberi label SI.

Gambar 1.2.

Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial

1.5.2. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Syariah

Banyak yang meragukan apakah sebuah fungsi nilai guna kardinal (atau

fungsi kesejahteraan social kardinal) adalah sembarang nilai. Bagaimana Anda

menjumlahkan nilai guna beberapa orang yang mempunyai nilai guna marginal

uang yang berbeda (kaya dan miskin)? Beberapa tetap meragunak nilai dari
25

fungsi nilai guna ordinal. Mereka telah mengusulkan pengertian lain dari

pengukuran “well-being” sebagai suatu alternative untuk menetan indeks harga,

fungsi “ketidakmauan untuk membayar” dan ukuran yang berorientasi pada harga

lain. Ukuran yang berbasis pada harga ini terlihat sebagai peningkatan

konsumerisme dan produktivisme dengan banyak. Ukuran yang berbasis pada

harga akan dicatat bahwa itu mungkin untuk melaksanakan ekonomi

kesejahteraan tanpa menggunakan harga , meskipun ini tidak selalu dilaksanakan.

Secara eksplisit asumsi nilai dalam fungsi kesejahteraan dan seca implicit

dalam pemilihan criteria efisiensi, membuat ekonomi kesejahteraan bidang yang

sangat subyektif dan normatif. Ini dapat membuat controversial. Jika asumsi-

asumsi nilai ini tersembunyi atau diterima secara tidak kritis, ekonomi kesejahtn

akan menjadi berbahaya. Teknik ekonomi kesejahteraan merupakan pegangan

untuk posisi awal permulaan. Maksimalisasi kesejahteraan merupakan optimum

secara relatif terhadap posisi awal permulaan.

Dalam salah satu doanya, Rasulullah saw. Memohon perlindungan kepada

Allah dari ilmu yang tidak bermanfaaat. Mengacu kepada doa ini, tes untuk

menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu cabang ilmu pengetahuan adalah

sejauh mana konmtribusi langsung atau tidak langsung dari sains tersebut

terhadap realisasi kesejahteraan manusia yang secara jelas merupakan target

maqashidusy syariah yang akan dibahas dalam bab ini. Ilmu ekonomi pun tidak

dikecualikan. Sekalipun ilmu ekonomi Islam akan tetap berkonsentrasi pada aspek

alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, persis seperti ilmu ekonomi

konvensional, namun tujuan utamnya hatus merealisasikan maqashid. Hal ini

akan mengesampingkan kemungkinan melihat tiap-tiap ekulibrium pasar sebagai


26

keadaan optimum. Hanya ekuilibrium pasar yang harmoni, atau apaling tidak

mengandung konflik dengan maqashid yang dapat dipandang sebagai optimum

dan bisa diterima. Mengingat optimum Pareto selalu dikaitkan dengan tiap-tiap

ekulibrium pasar, maka perlu menggantikannya dengan konsep optimum Islam,

yang berarti bahwa ekulibrium pasar yang merefleksikan realisasi serentak tingkat

optimalitas aspek efisiensi dan pemerataan yang selaras dengan maqashid.

Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai tingkat efisiensi

optimum jika telah mampu menggunakan keseluruhan potensi sumberdaya

material dan manusianya dalam suatu cara di mana barang dan jasa yang

memenuhi kebutuhan dapat diproduksi dalam jumlah maksimal dengan tingkat

stabilitas ekonomi yang masuk akal dan dengan laju pertumbuhan masa depan

yang berkesinambungan. Uji untuk efisiensi demikian terletak dalam

ketidakmampuan untuk mencapai suatu keadaan yang secara sosial lebih dapat

diterima tanpa menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang

berkepanjangan atau tanpa merusak institusi keluarga dan keharmonisan sosial

atau jaringan moral masyarakat. Suatu perekonomian dapat dikatakan telah

mencapai pemerataan (keadilan) optimal jika barang dan jasa yang diproduksi

dapat didistribusikan dalam suatu cara di mana kebutuhan individu (tanpa

memandang apakah mereka kaya atau miskin, pria atau wanita, muslim atau

nonmuslim) dapat dipenuhi secara memadahi dan juga terdapat distribusi

kekayaan dan pendapatan yang adil tanpa berdampak buruk pada motivasi kerja,

menabung, investasi dan melakukan usaha (Chapra, 2001:100).

1.6. Mengukur Kesejahteraan Sosial Konvensional dan

Kesejahteraan Sosial Syariah


27

1.6.1. Mengukur Kesejahteraan Sosial Konvensional

Bagaimana kesejahteraan diukur ? Ini tidak adak jawaban yang telah

disepakati terhadap pertanyaan tersebut baik dalam disiplin ataupun lintas disiplin

tersebut. Meskipun demikian ada dua pendekatan untuk mengukur kesejahteraan

tersebut, yaitu pendekatan pengukuran secara obyektif dan pendekatan

pengukuran secara obyektif.

Sebagian besar yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan ekonomi

adalah pendapatan nyata rumah tangga yang dimiliki orang, yang disesuaikan

dengan perbedaan ukuran rumah tanggga dan komposisi demografi (Ravallion

dan Lokshin, 2000). Ini dapat didefinisikan sebagai pendapatan total rumah

tangga dibagi dengan sebuah garis kemiskinan yang memberikan biaya dari

tingkat nilai guna (utility) beberapa referensi pada harga yang berlaku dan

demografi rumah tangga. Di bawah kondisi tertentu, rasio ini dapat

diintepretasikan sebagai metrik uang yang nyata dari nilai guna yang

mendefinisikan konsumsi yang lebih (Blackorby dan Donaldson, 1987).

Praktek yang standar adalah mengkalibrasi fungsi biaya dari perilaku

permintaan konsumen. Parameter-parameter fungsi biaya adalah dapat dikenali

secara umum dari perilaku permintaan pada saat atribut-atribut rumah tangga

berubah (Pollack dan Wales, 1979). Masalah ini masih mengganggu jika

diaplikasikan dalam dunia nyata dan intepretasi kebijakan data pada kesejahteraan

ekonomi meliputi profil kemiskinan mengarahkan untuk memberikan ukuran

kemiskinan yang konsisten melwati subkelompok dari masyara.

Organisasi-organisasi internasional menggunakan indikator kualitas hidup

untuk mengevaluasi dan membandingkan kinerja sosio-ekonomi negara Misalnya


28

yang terkenal adalah Human Development Index dari United Nations. Untuk

membangun masing-masing indeks, membutuhkan subindikator untuk dipilih.

Pilihan ini bergantung pada dimensi yang dipertimbangkan relevan, misalnya

pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan pendapatan (Carbonell,2002).

Beberapa ekonom telah mengubah data pada persepsi kesejahteraan itu

sendiri sebagai sumber informasi tambahan untuk merlakukan idendifikasi. Ada

beberapa pendekatan, Van Praag (1968,1971) memperkenalkan the Income

Evaluation Question (IEQ) yang bertanya apakah pendapatan dianggap “sangat

jelek”,”jelek”, “tidak baik”, “tidak jelek”,”baik”, dan “sangat baik”. Metode yang

lain didasarkan pada the Minimum Income Question (MIQ) yang bertanya apakah

pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar mencukupi.

Garis kemiskinan subyektif dapat dikalibrasikan terhadap jawaban

(Kapteyn, 1988). Dengan pendekatan ini, indikator kesejahteraan masih diambil

untuk mengukur pendapatan secara obyektif atau pengeluaran yang dinormalisasi

dengan (subyektif) garis kemiskinan. Carbonell (2000), menggunakan Subjective

Well-Being (SWB) atau General Satisfaction (GS) individu untuk menjawab

pertanyaan kesejahteraan subyektif. Welfare menggambarkan kepuasan individu

dalam arti yang sempit, yaitu kepuasan financial, sedangkan well-being

merupakan kepuasan individu dalam arti yang luas, yaitu kepuasan individu

dalam kehidupan. Tanggapan terhadap pertanyaan subyektif mengenai kepuasan

dengan domain yang kongkrit dari kehidupan merujuk pada Domain Satisfactions

(DS), yang dalam literature ekonomi terdiri dari Financial Satisfaction (FS), Job

Satisfaction (JS) dan Health Satisfaction (HS).

1.6.2. Mengukur Kesejahteraan Sosial Ekonomi Syariah


29

Kelemahan dari konsep Pareto Optimal adalah tidak dapat digunakan untuk

memecahkan masalah-masalah soial yang mendasar dari distribusi dan

redistribusi. Islam sangat memperhatikan masalah-masalah social ini. Ekonomi

kesejahteraan konvensional pada saat mempunyai masalah dalam alokasi dan

mencoba memecahkan masalah alokasi tersebut berdasarkan pada pertimbangan

nilai yang berubah-ubah dari alokasi tersebut. Pertimbangan nilai yang berubah-

ubah tersebut berlaku pada fungsi kesejahteraan konvensional. Pengertian ini

bukan dasar yang kokoh dari ilmu ekonomi kesejahteraan (Chowdhury,1999).

Tetapi pertimbangan moral dan sosial dalam Islam yang saling berhubungan harus

mencakup pertimbangan nilai yang dikandung Al-Qur’an. Fungsi kesejahteraan

semacam ini hanya dibatasi pada masyarakat Islam. Jika para ekonom tidak

mengetahui bagaimana membedakan antara berkembang dan kurang berkembang

yang dihasilkan dari sebuah perubahan kebijakan yang seharusnya terhadap

keputusan investasi baru, maka keputusan tersebut tidak dapat memberikan setiap

rekomendasi mengenai setiap alokasi sumberdaya. Ini tidak ada cara yang

mempertimbangkan hasil bersih yang berdasarkan prioritas obyektif meskipun

masalah perbandingan antar personal. Hanya merupakan jalan keluar berupa

rumusan dari seperangkat pertimbangan nilai secara eksplisit yang memungkinkan

para analis untuk mengevaluasi keputusan investasi yang berdasarkan pada

kriteria kesejahteraan. Prinsip syariah akan menyediakan dasar untuk membuat

alokasi, produksi dan distribusi secara adil dan sah. Oleh karena itu, prinsip

syariah merupakan penting sekali untuk mengelompokkan kriteria umum yang

akan membantu untuk membangun peringkat nilai guna (utility) dari kombinasi

yang berbeda dari barang yang dikonsumsi oleh anggota masyarakat Islam. Peta
30

indeference pada keputusan individu didasarkan barangkali dianggap sebagai

fungsi kesejahteraan social dan moral Islam (Manna, 1984).

Konsep nilai guna dalam Islam merupakan sebuah konsep yang lebih luas

daripada konsep nilai guna dalam ekonomi kesejahteraan konvensional.

(maslahah-al-Ibad). Bentuk maslahah merujuk pada kesejahteraan yang luas dari

manusia. Menurut Al-Shatibi, maslahah merupakan kepenilikan atau kekuatan

barang atau jasa yang menguasai elemen dasar dan sasaran kehidupan manusia di

dunia. Ada lima elemen dasar kehidupan di dunia, yaitu kehidupan (al-nafs),

kepemilikan (al-mal), kebenaran (ad-din), kecerdasan (al-aql) dan keturunan (al-

nasl). Semua barang dan jasa yang mempunyai kekuatan untuk menaikkan lima

elemen dasar ini yang dikatakan mempunyai maslahah dan barang dan jasa yang

mempunyai maslahah akan dinyatakan sebagai kebutuhan. Keinginan dalam

ekonomi konvensional ditentukan oleh konsep nilai guna sementara kebutuhan

dalam Islam ditentukan oleh konsep maslahah (Khan, 1989).

Konsep barang juga berbeda dalam Islam. Dalam Islam barang merupakan

karunia yang terbaik dari Tuhan pada manusia. Menurut Al-Qur’an barang

konsumsi adalah barang yang melambangkan nilai moral dan ideologi mereka

(manusia). Dalam Al-Qur’an, barang dinyatakan dalam dua istilah, yaitu al-

tayyibat dan al-rizq. Kata al-tayyibat digunakan 18 kali, sedangkan kata al-rizq

digunakan 120 kali dalan Al-Qur’an. Al-tayyibat merujuk pada suatu yang bail,

suatu yang murni dan baik, sesuatu yang bersih dan murni, sesuatu yang baik dan

menyeluruh serta makanan yang terbaik. Al-rizq merujuk pada makanan yang

diberkahi Tuhan, pemberian yang menyenangkan dan ketetapan Tuhan (Ali,

1975). Menurut Islam, barang konsumen adalah berdaya guna, materi yang dapat
31

dikonsumsi yang bermanfaat yang bernilai guna yang menghasilkan perbaikan

material, moral, spiritual bagi konsumen. Sesuatu yang tidak berdaya guna dan

dilarang dalam Islam bukan merupakan barang dalam pengertian Islam. Dalam

barang ekonomi konvensional adalah barang yang dapat dipertukarkan. Tetapi

barang dalam Islam adalah barang yang dapat dipertukarkan dan berdaya guna

secara moral (Choudhury, 1991).

Kriteria kesejahteraan akan bekerja dalam kondisi untuk memilih di antara

proyek-proyek investasi yang berbeda untuk mengalokasikan sumberdaya dengan

dasar Syariah secara Islam. Memanglah, sebagian besar kriteria ini tumpang

tindih satu dengan yang lainnya. Meskipun, kriteria yang disebutkan tersebut

merupakan kriteria yang hanya indikatif, tetapi tidak yang mendalam. Kriteria

kesejahteran tersebut, antara lain peningkatan ideologi, efisien penggunaan

sumberdaya, keadilan dalam distribusi pendapatan, baik secara kolektif, prioritas

terhadap kebutuhan yang mendesak, stabilitas, kepastian, keberlangsungan,

produktivitas, pertimbangan manusia, universal, etikan dan moral (Choudhury,

1991).

1.7. Keadilan Konvensional dan Keadilan Syariah

1.7.1. Keadilan Konvensional dan Keadilan Syariah

Penelitian organisasional dewasa ini menitik beratkan pada perbedaan

antara keadilan distributif dan keadilan prosedural. Kemajuan-kemajuan tersebut

digambarkan dalam bagian ini dan diringkas dalam GAMBAR 1.3. Satu dari

kebanyakan tugas-tugas dasar yang dihadapi oleh para peneliti keadilan

organisasional saat ini telah menetapkan bahwa perbedaan antara keadilan

distributif dan keadilan prosedural tidak sesederhana sebagai sebuah teori semata,
32

tetapi lebih sebagai sesuatu yang nyata dari perspektif fenomenologi pekerja.

Meskipun beberapa penelitian telah menentukan bahwa daftar pertanyaan (item)

dari ukuran-ukuran keadilan prosedural dan keadilan distributif secara statistik

bebas satu sama lain (Alexander dan Ruderman, 1987, Tyler dan Caine, 1981

dikutip oleh Greenberg, 1996:30), adalah penting untuk menentukan apakah

para pekerja secara intuitif sadar atas perbedaan tersebut. Dua penyelidikan telah

diarahkan pada persoalan-persoalan ini (Greenberg, 1986a: 6, Sheppard dan

Lewicki, 1987 dikutip Greenberg,1996:30). Masih dalam Greenberg (1996:30),

Sheppard dan Lewicki (1987) meminta sebuah sampel atas para manajer yang

menggambarkan kejadian-kejadian kritikal dari perlakuan adil dan tidak adil yag

dilakukan para bos mereka sendiri, dan prinsip yang membuat tindakan-tindakan

adil atau tidak adil ini.

Organizational
Justice

Procedural Distributive
Justice Justice

 Greenberg (1986a)
 Sheppard & Lewicki
(1987)

System Outcome
Satisfaction Satisfaction

 Folger & Konovsky


(1989)
 Fryxell & Gordon
(1989)
33

Sumber: Greenberg,1996:31
GAMBAR 1.3.
KEADILAN DISTRIBUTIF VERSUS KEADILAN PROSEDURAL
Terdapat enambelas prinsip yang diidentifikasi, termasuk di antaranya

prinsip yang sesuai dengan kategori-kategori Leventhal dan gagasan Thibaut dan

Walker tentang pengendalian proses, selain prinsip keadilan Adam. Berdasarkan

konteks manajerial umum, bagaimanapun penelitian ini dilakukan, adalah hal

yang wajar jika beberapa prinsip tambahan telah muncul. Sebagai contoh, aturan

yang berkenaan dengan “menyediakan informasi yang cukup memadai” dan

“memberikan kerja yang menarik dan bermakna” berada di antara prinsip-prinsip

yang dilaporkan oleh para responden, tetapi tidak terdapat dalam tulisan-tulisan

tentang keadilan sebelumnya. Faktor-faktor distributif dan prosedural secara

bebas dapat dikenali oleh para manajer. Mereka peduli dengan distribusi

penempatan kerja yang pantas dan adil serta imbalan-imbalan jabatan selain

prosedur-prosedur pengumpulan masukan mereka, penekanan/pengurangan

prasangka individual, dan diperbolehkan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan.

Menitikberatkan pada konteks performa penilaian/penaksiran yang lebih

spesifik, diperlukan sampel atas para manajer dari beberapa industri untuk

menggambarkan peristiwa-peristiwa yang secara khusus adil atau tidak

berdasarkan performa penilaian-penilaian (Greenberg, 1986a : 6). Tujuh buah

kategori yang dapat dipercaya muncul, yang mana kelompok manajer yang lain

kemudian diminta menanggapi atas arti penting yang mereka terima sebagai

determinan/faktor penentu atas penilaian-penilaian adil. Analisis-analisis faktor


34

atas penilaian-penilaian ini memunculkan dua faktor (yaitu, faktor-faktor penentu

prosedural dan faktor-faktor penentu distributif) yang diperhitungkan hampir 95

% dari nilai varian.

Faktor keadilan distributif terdiri dari dua determinan yang diteorisasikan

untuk mencerminkan alokasi hasil-hasil organisasional yang adil dalam sebuah

konteks performa penilaian-penilaian (Greenberg, 1987b : 7), yaitu menerima

penilaian-penilaian atas dasar performa yang dicapai dan membuat rekomendasi-

rekomendasi bagi gaji dan promosi atas dasar penilaian-penilaian. Temuan-

temuan ini secara kuat menunjukkan bahwa para manajer sadar dan peduli

terhadap determinan-determinan keadilan distributif dan prosedural. Hal itu juga

mendukung tuntutan teoritis yang berkenaan dengan keberadaan berbagai elemen

yang beragam dari keadilan prosedural (misalnya, Leventhal, 1980; Thibaut dan

Walker, 1975 dalam Greenberg, 1996:32).

Dalam salah satu dari penelitian-penelitian pertama pada wilayah ini,

Alexander dan Ruderman pada tahun 1987 menggunakan sebuah daftar perta-

nyaan terhadap kira-kira 2.800 orang pegawai pemerintah federal. Mereka

menemukan bahwa indeks-indeks dari penilaian-penilaian keadilan prosedural

para pegawai ini secara signifikan berhubungan dengan ukuran-ukuran kunci

semacam itu sebagai kepercayaan mereka terhadap manajemen, maksud dan

tujuan untuk pergantian, penilaian/evaluasi terhadap pengawas mereka,

pertentangan/keselarasan, dan kepuasan terhadap pekerjaan. Lagipula, dengan

pengecualian pamrih pergantian, keputusan-keputusan keadilan prosedural dalam

ukuran-ukuran tidak bebas ini diperhitungkan secara signifikan berbeda

dibanding keadilan distributif. Rupanya, baik keputusan-keputusan keadilan


35

distributif maupun prosedural adalah penting, meskipun masing-masing mungkin

menjadi penduga bagi tindakan-tindakan yang berbeda. Gagasan ini sesuai dengan

hasil penelitian Tyler yang dilakukan tahun 1984 terhadap evaluasi-evaluasi para

terdakwa terhadap pengalaman-pengalaman ruang pengadilan mereka. Temuan-

temuan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa keadilan prosedural secara kuat

berhubungan dengan tindakan-tindakan terdakwa terhadap sistem pengadilan,

sedangkan keadilan distributif secara kuat berhubungan dengan kepuasan

terdakwa terhadap putusan-putusan. Meramalkan kemungkinan dari temuan-

temuan semacam itu, beberapa ahli menyimpulkan bahwa “keadilan prosedural

secara khusus mempunyai pengaruh-pengaruh yang kuat terhadap tindakan-

tindakan yang berkaitan dengan institusi atau otoritas sebagai yang berlawanan

dengan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hasil-hasil khusus”. Gagasan

bahwa kepuasan sistem berhubungan dengan keadilan prosedural, sedangkan

kepuasan hasil berhubungan dengan keadilan distributif adalah logis, sepanjang

ini adalah sistem yang mempergunakan prosedur-prosedur dan hasil-hasil yang

membentuk dasar bagi distribusi.

Gagasan ini telah menemukan dukungan dalam beberapa penelitian

organisasional. Sebagai contoh, penelitian yang pernah dilakukan oleh Folger dan

Konovsky pada tahun 1989, menemukan ukuran-ukuran keadilan prosedural dan

keadilan distributif dipolakan setelah laporan-laporan diri yang menerima

perlakuan adil yang diperoleh dalam penelitian survei open-ended saya

(Greenberg, 1986a : 6). Ukuran-ukuran ini ditemukan berbeda dalam kaitannya

dengan beragam kerja yang berhubungan dengan hasil-hasil dalam suatu cara

yang serupa dengan data Tyler 1984. Tegasnya, persepsi-persepsi penggunaan


36

prosedur-prosedur untuk menentukan upah menaikkan secara khas kontribusinya

terhadap faktor-faktor semacam itu sebagai komitmen organisasional dan

kepercayaan terhadap pengawasan, sedangkan persepsi-persepsi keadilan

distributif secara unik berkaitan dengan kepuasan upah miik seseorang.

Hasil-hasil yang sejalan diperoleh dalam penelitian Fryxell dan Gordon

pada 1989 tentang reaksi para pekerja terhadap sistem keluhan organisasional.

Menggunakan sampel yang bermacam-macam, mereka menemukan bahwa

ukuran-ukuran keadilan prosedural yang diterima dapat meramalkan kepuasan

dengan sistem keluhan yang secara signifikan lebih baik dibanding ukuran-ukuran

keadilan distributif. Lagipula, kepuasan terhadap kesatuan (yang membantu

memberikan hasil-hasil yang diinginkan) secara lebih kuat berhubungan dengan

persepsi-persepsi keadilan distributif dibanding kepuasan tehadap manajemen

(yang menghalangi hasil-hasil yang diinginkan). Kecenderungan bagi keadilan

prosedural untuk berhubungan dengan kepuasan sistem keluhan didorong oleh

derajat yang mana hubungan-hubungan dengan kesatuan ditentukan dan

dipaksakan. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tyler pada 1986 dalam

wilayah non-organisasional, Gordon dan Fryxell pada tahun 1989 melaporkan

bahwa hubungan-hubungan antara keadilan prosedural dan kepuasan institusional

(kepuasan sistem keluhan dalam kasus ini) meningkat ketika hubungan-hubungan

organisasional ditetapkan (seperti sebagaimana di antara para pegawai di

perusahaan agensi, yang mewajibkan pembayaran hak-hak secara seragam).

Diambil bersama-sama, penelitian-penelitian ini membuat sebuah kasus yang kuat

bagi peran-peran relatif keadilan distributif dan keadilan prosedural dalam

meramalkan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kerja. Meskipun


37

persepsi-persespsi keadilan prosedural cenderung dihubungkan dengan penilaian-

penilaian sistem organisasioal (khususnya di antara para pegawai yang secara

tidak sengaja berhubungan dengan sistem), persepsi-persepsi keadilan distributif

cenderung dihubungkan dengan hasil-hasil yang diterima.

1.7.2. Keadilan Syariah

Jika sumber-sumber daya merupakan suatu bentuk amanah dari Allah dan

manusia akan mempertanggungjawabkannya di hadapan-Nya , maka tak ada opsi,

kecuali menggunakannya dengan keadilan. Al-Qur’an dan as-Sunnah

menempatkan penekanan tegas terhadap keadilan, menjadikannya salah satu

tujuan pokok syariat. Persaudaraan, salah satu tujuan syariat pokok lainnya akan

hampa sekiranya tidak diperkuat oleh keadilan dalam alokasi dan distribusi

sumber-sumber daya yang telah diberikannya. Menurut Al-Qur’an, penegakan

keadilan merupakan salah satu tujuan pokok Allah menurunjan para rasul (al-

Hadiid:25). Al-Qur’an menempatkan posisi keadilan paling dekat kepada

ketakwaan. Ketakwaan, dengan demikian, merupakan hal yang paling penting

karena berfungsi sebagai batu loncatan bagi semua amal saleh, termasuk keadilan.

Rasulullah saw. Menyamakan ketiadaan keadilan dengan “kegelapan mutlak” dan

memperingatkan “takutlah kepada kezaliman karena kezaliman akan

menyebabkan kegelapan pada hari kiamat”. Ini merupakan keniscayaan karena

merupakan kezaliman menghapuskan persaudaraan dan solidaritas, mempertajam

konflik, ketegangan dan kejahatan, memperburuk problem kemanusiaan, dan pada

gilirannya akan mengantarkan kepada kegelapan di dunia dan azab di akhirat

(Chapra,2001:56).
38

Islam memerintahkan keadilan dalam seluruh persoalan yang berhubungan

dengan masyarakat manusia. Ajaran-ajaran Islam yang mendasar terkandung di

dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pada masa Rasulullah dan Kulafaur Rasyidin,

memberikan gambaran hidup mengenai pelaksanaan ajaran-ajarannya secara

praktis. Pandangan Islam terhadap sebuah tatanan sosio-ekonomi dapat

disimpulkan berkenan dengan ajaran-ajaran dasar tersebut dan catatan sejarah dari

periode Islam yang pertama.

Menurut Al-Qur’an, tujuan utama Tuhan memberikan petunjuk melalui

utusan-Nya adalah agar umat manusia mampu mendirikan keadilan, seperti firman

Allah :

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-

bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca

(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (QS. 57:25).

Tuhan telah menciptakan manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi,

seperti dalam firmanNya :

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS.

2:30)

Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil pada setiap orang,

seperti dalam firman-Nya :

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah

kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(QS.5:8).

Tidak ada permasalahan yang lebih dekat hubungannya dengan konsep

keadilan daripada ‘hak-hak asasi manusia’. Sumber hukum Islam yang pertama
39

(syariah), yaitu Al-Qur’an, meletakkan elemen-elemen yang fundamental dari

sebuah piagam hak-hak asasi manusia yang mana memiliki kekuatan mengikat,

baik tanggungjawab moral maupun sistem hukum. Dan lebih lanjut, dilengkapi

dengan sumber hukum Islam yang kedua, yaitu perkataan dan perbuatan Nabi

SAW, yang biasa dikenal dengan sebutan Sunnah. Dengan menggabungkan

keduanya, mereka menjanjikan penghilangan segala bentuk eksploitasi,

penindasan, dan ketidakadilan (Iqbal, 1994).

Seluruh hak-hak asasi manusia yang diberikan oleh Islam didasarkan pada

prinsip ‘kemaslahatan umum’ (al-maslahah-al-‘ammah). Hak-hak asasi manusia

yang diberikan oleh Islam didasarkan pada prinsip ‘Kemaslahatan umum’ (al-

maslahah al-‘ammah). Hak-hak asasi tersebut yang memiliki hubungan khusus

dengan permasalahan kajian ini adalah sebagai berikut :

a. Hak untuk hidup. Kehidupan manusia adalah suci dan tidak dapat

diganggu gugat, serta setiap usaha (karya) diciptakan untuk melindungi

kehidupan manusia itu sendiri.

b. Kebebasan profesi (pekerjaan). Ada kebebasan untuk memasuki semua

profesi yang diperkenankan oleh Islam.

c. Semua orang adalah sama di hadapan hukum dan berhak terlindungi oleh

hukum sesuai dengan syariah.

d. Setiap orang berhak untuk memiliki harta kekayaan baik secara pribadi

ataupun bekerjasama dengan pihak lain. Negara memiliki kekuasaan yang

sah terhadap sumber-sumber daya ekonomi tertentu bagi kepentingan

umum.
40

e. Kaum miskin berhak atas kekayaan kaum kaya sedemikian sehingga

kebutuhan dasar setiap orang dalam masyarakat dapat dipenuhi.

f. Eksploitasi manusia pada tingkat tertentu, atau bentuk tertentu, ataupun

dalam keadaan bagaimanapun juga adalah anti Islam dan harus diakhiri.

Kesejahteraan yang berkeadilan adalah komponen yang terpenting dalam

tatanan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah.. Segi yang paling patut

diperhatikan dalam skema kesejahteraan yang berkeadilan sebagaimana

dipertimbangkan oleh Islam adalah adanya jaminan pemenuhan kebutuhan dasar

bagi seluruh rakyat, terlepas dari tahapan pembangunan sebuah negara. Hal ini

menyiratkan secara tidak langsung pemberantasan yang sempurna terhadap apa

yang disebut dalam literatur perekonomian mutakhir sebagai ‘kemiskinan

absolut’. Aspek yang kedua dari kesejahteraan yang berkeadilan yang adalah

berkaitan dengan pola umum pemerataan pendapatan di dalam masyarakat. Dalam

hal ini, tinjauan Islam lebih fleksibel di mana garis pedoman untuk pola

pemerataan pendapatan dan kekayaan yang diharapkan terkandung dalam AL

Qur’an dan Sunnah, yang tertulis dalam ketentuan-ketentuan umum dan

memperkenankan banyak sekali kebijaksanaan dalam menghadapi persoalan ini.

Desakan Islam terhadap pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh umat

manusia harus dilihat dalam segi pandangan Islam mengenai tempat manusia di

alam semesta. AlQur’an mengumumkan bahwa Tuhan telah memberi kehormatan

pada anak cucu Adam dan telah membuat ketetapan hal-hal yang baik untuk

mereka. Manusia merupakan wakil-Nya di muka bumi, dan adalah tugas manusia

untuk menata urusan-urusan dunia dimana semua orang memiliki kewajiban

untuk berbagi ‘hal-hal yang baik’ dari kehidupan. Tuhan telah menyediakan
41

seluruh sumber-sumber daya yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan dasar

umat manusia, apapun yang diciptakan di surga dan bumi, telah diciptakan untuk

tunduk pada manusia. Sumber-sumber daya tersebut diciptakan oleh-Nya sebagai

hadiah untuk seluruh umat manusia dan apa saja yang menjadi milik seorang

individu akan diperlukan sebagai ’titipan’. Titipan ini tidak dapat dikatakan untuk

dilepas kecuali jika masing-masing atau setiap orang cukup mendapatkan

kepuasan sedikitnya kebutuhan dasarnya.

Kepercayaan agama Islam memberi tekanan pada sifat tidak kekalnya

kehidupan manusia di bumi dan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan

yang baik demi keselamatannya di Akhirat. Namun demikian, amatlah ditentang

penolakan terhadap dunia ini demi memperoleh kebahagiaan di Akhirat. Dengan

jelas Al Qur’an menyatakan bahwa Tuhan menginginkan kemudahan bagi umat

manusia dan bukannya kesukaran. Demikian sabda Nabi SAW dengan jelas

menyatakan bahwa kemiskinan dan deprivasi (perampasan) bukanlah merupakan

suatu kebaikan yang patut dihargai oleh Islam, dan setiap usaha mesti dilakukan

untuk menghilangkan kemiskinan dan deprivasi tersebut.

Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar bagi seluruh masyarakat,

Islam menetapkan suatu prinsip bahwa kaum miskin memiliki ‘hak’ (haqq) atas

pendapatan dan kekayaan para anggota masyarakat yang mampu. Menurut Islam,

umat manusia adalah satu-satunya ciptaan Tuhan, dan seluruh manusia

mempunyai hak yang sama untuk memperoleh makanan dari sumber-sumber daya

pemberian Tuhan. Betapapun, untuk alasan tertentu, jika ada beberapa anggota

persaudaraan manusia yang gagal memperoleh persediaan yang cukup untuk


42

memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan melalui usaha mereka sendiri, maka

mereka berhak atas penghasilan dan kekayaan anggota-anggota lain.

Islam menggunakan baik peringatan moral maupun aturan hukum untuk

menghilangkan kemiskinan dan deprivasi, sehingga kebutuhan dasar bagi seluruh

rakyat dapat dipenuhi sebagaimana mestinya. Sejumlah ayat dalam Al Qur’an

menekankan kebaikan infaq, yaitu pemberian sukarela untuk kesejahteraan kaum

miskin. Sebagai contoh, telah dinyatakan bahwa tidak ada perkara dimana

manusia akan mencapai kesalehan kecuali jika ia dengan rela mengeluarkan

kekayaannya dengan cara yang diatur oleh Tuhan untuk mereka yang melarat dan

kaum fakir miskin. Bagi mereka yang melakukan infaq telah dijanjikan menjadi

orang-orang pilihan yang memperoleh kenikmatan di surga. Nabi SAW sendiri

menjadikan dirinya sebagai contoh teladan dalam banyak memberi untuk

kesejahteraan kaum miskin. Beliau mendesak para pengikutnya agar saling

mengungguli dalam memberi pertolongan kepada kaum miskin. Beliau juga tiada

henti-hentinya mengingatkan para pengikutnya bahwa sebuah masyarakat yang

gagal memelihara kebutuhan kaum fakir miskin tidak dapat dipandang Islami.

Demikian beliau pun memberi peringatan kepada para pengikutnya apabila ada

suatu tempat dimana seorang masih kelaparan di malam hari maka Tuhan akan

meninggalkan mereka.

Islam sangat peduli bahwa kaum miskin mesti ditolong dengan cara

tertentu yang tidak membuat harga diri mereka terluka. Cara yang terbaik untuk

menolong orang miskin, maka seorang pengangguran disumbang dengan bantuan

tertentu yang mampu membuat drinya berdiri sendiri. Al Qur’an memerintahkan

orang untuk pergi dan mencari orang-ornag tertentu yang membutuhkan tetapi
43

tidak membiarkan mereka mengulurkan tangan untuk meminta. Al Qur’an juga

memberi peringatan bahwa derma menjadi kurang bernilai di hadapan Tuhan

apabila derma tersebut diikuti dengan suatu tindakan yang melukai perasaan si

penerima.

Islam mengakui bahwa masyarakat tidak berperilaku seragam dalam

berbuat sesuai dengan ajaran moral untuk menolong kaum fakir miskin melalui

sebuah sistem jaminan sosial yang sangat kuat. Islam memerintahkan negara

bertugas menghimpun retribusi wajib yang dikenal dengan zakat dari hasil

pendapatan bagian masyarakat yang mampu diperuntukkan bagi tujuan-tujuan

tertentu dalam rangka menolong kaum fakir miskin yang dapat diperhitungkan

secara jelas. Sistem jaminan sosial ini diatur dijaman Nabi SAW. dan berfungsi

secara efektif pada periode Islam pertama dan dalam beberapa waktu tertentu pada

periode berikutnya. Pada kenyataannya, catatan sejarah memperlihatkan bahwa

terdapat beberapa contoh dalam periode ini dimana pada daerah-daerah tertentu

tidak ditemukan seorang fakir miskin yang dipandang bisa memperoleh derma.

Para penguasa pada periode islam yang pertama sangat menyadari

tanggungjawab mereka terhadap pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warga

negara. Keempat khalifah pertama yang berkuasa memerintah negara-negara

Islam setelah wafatnya Nabi SAW. telah menganggap pemenuhan kebutuhan

sebagai salah satu tujuan dasar dari kebijaksanaan negara. Dalam periode khalifah

pertama, Abu Bakar, ada segolongan penduduk yang telah menolak untuk

membayarkan zakat. Penolakan mereka untuk membayar zakat dipandang sebagai

sebuah tindakan pemberontakan yang menentang negara sehingga tindakan yang

bersenjata dilakukan untuk melawan mereka sampai mereka sependapat untuk


44

membayar zakat. Khalifah kedua, Umar, juga sangat menyadari tanggungjawab

ini sehingga ia mengumumkan: ‘Jika seekor unta mati tanpa perawatan di tepi

sungai Eufrat, saya takut Allah akan meminta pertanggungjawaban saya terhadap

hal itu. Para ahli fiqh Islam telah menulis secara mendalam mengenai prinsip

pemenuhan kebutuhan. Mereka semua setuju bahwa secara umum pemenuhan

kebutuhan merupakan kewajiban masyarakat bersama sehingga tak seorangpun

yang dijumpai masih merasa kehilangan keperluan hidup yang mendasar.

Sejumlah ahli fiqh Islam mempunyai suatu pandangan bahwa perlindungan

hukum harus diberikan sesuai dengan prinsip pemenuhan kebutuhan sehingga

setiap warga negara bisa melapor ke pengadilan agar mendapat jaminan

pelaksanaan atas prinsip tersebut.

Para ahli fiqh juga telah membahas pertanyaan penting mengenai

identifikasi kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi seluruh warga

negara. Al Qur’an dan sunnah telah berulang kali menekankan pemberian

makanan kepada mereka yang sedang kelaparan, demikian pemenuhan kebutuhan

gizi bagi setiap oarng harus diperhitungkan secara jelas untuk meringankan

penderitaan kaum miskin. Adapun pemenuhan kebutuhan dasar lainnya yang

menempati prioritas tinggi adalah pakaian dan perumahan. Para ahli fiqh Islam

telah menjelaskan bahwa selain makanan, pakaian dan perumahan yang

diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup, maka ada beberapa

kebutuhan tertentu lainnya yang harus diperhatikan oleh masyarakat Islam.

Literatur para ahli hukum membatasi perbedaan antara tiga jenis kebutuhan

manusia dan diklasifikasikan sebagai daruriyyat (kebutuhan), hajiyyat

(kesenangan) dan tahsiniyyat (kehalusan budi). Kebutuhan tidak saja termasuk


45

hal-hal yang berkaitan dengan usaha untuk menjaga nafs (fisik luar manusia)

melainkan juga hal-hal yang dapat melindungi din (agama), ‘Aql (intelek atau

pikiran), nas (keturunan) dan mal (harta kekayaan). Hajiyyat meningkatkan

kualitas kehidupan dan menghilangkan, baik penderitaan maupun kesukaran

sementara tahsiniyyat menambah keindahan dan kecantikan hidup tanpa

melampaui batas-batas yang berlebihan. Adalah pandangan para ahli hukum Islam

bahwa merupakan tanggung jawab masyarakat bersama untuk menjamin

pemenuhan daruriyyat dalam perkara apapun dan juga hajiyyat apabila sumber-

sumber dayanya memungkinkan. Telah diakui bahwa karena perubahan-

perubahan keadaan maka pembatasan terhadap tiga jenia kebutuhan yang

disebutkan tadi tidak dapat berlaku secara terus menerus dari waktu ke waktu.

Yang terpenting adalah jaminan pemenuhan kebutuhan dasar harus tersedia bagi

setiap individu, bahkan ketentuan yang jelas terhadap kebutuhan dasar tersebut

dan unsure-unsur pokok dim luar itu yang beragam dapat dipuaskan dalam waktu

kapan saja, harus diputuskan sesuai dengan kondisi yang nyata dan standar hidup

rata-rata sebuah Negara.

Terlepas dari usaha pembrantasan kemiskinan absulot dan uapaya

pemenuhan kebutuhan dasari bagi seluruh umat manusia, maka pandangan islam

terhadap sebuah tatanan sosio-ekonomi yang adil juga mempertimbangkan pola

pemerataan pendapatan dan kekayaan. Al Qur’an dan Sunnah membuat

penjelasan lebih lanjut bahwa Islam tidaklah mencari upaya pelenyapan semua

bentuk ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan. Pada kenyataannya, hal

tersebut memperlihatkan kehadiran perbedaan pendapatan tertentu sebagai bagian

dari rencana Tuhan atas segala sesuatu. Al Qur’an mengemukakan bahwa Tuhan
46

meninggikan kehidupan dan derajat social beberapa orang di atas orang-orang lain

sedemikian sehingga ‘beberapa orang tersebut dapat menggunakan jasa orang-

orang lain dalam pekerjaan mereka. Dalam perkataan lain, Islam menghargai

perbedaan pendapatan tertentu sebagaimana mestinya demi kepentingan laju

ekonomi yang lancar.

Islam secara tegas mencela ketidak merataan pendapatan yang ditimbulkan

dari praktek – praktek yang eksploitatif. Akan tetapi, bukan berarti Islam

menetang perbedaab pendapatan, selama pendapatan itu secara umum merupakan

usaha yang jujur dari jenis kegiatan ekonomi yang beragam dan dibolehkan. Al

Qur’an memerintahkan : ‘Berilah takaran yang penuh, dan janganlah menjadi

orang-orang yang suka memberi sedikit (dari yang seharusnya), menunjukkan

bahwa orang seharusnya mendapatkan kompensasi yang adil atas pekerjaan

mereka sepadan dengan kecakapan dan usaha mereka. Walaupun Islam tidak

menentang kebedaraan perbedaan pendapatan dan kekayaan tertentu di dalam

masyarakat, Islam tetap tidak menyetujui kelaziman ketidakmerataan pendapatan

dan kekayaan yang menyolok. Al Qur’an berhati-hati terhadao ketidakmerataan

pendapatan dan kekayaan yang menyolok dimana dalam ayat 59 : 7 menyebutkan

bahwa kekayaan diperbolehkan menjadi barang dagangan yang beredar diantara

kaum kaya saja di antara kamu’ Ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan

perilaku pribadi atau kebijaksanaan Negara, mempunyai orientasi redistribusi

yang tegas. Keadilan social adalah salah satu aspek yang tidak dapat dicabut dari

keimanan Islam, dan demikian pula ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan

yang menyolok kecuali malah mengotori jiwa keimanan.


47

Patut diperhatikan bahwa bertentangan dengan desakan yang tetap

terhadap pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh umat manusia dalam setiap

keadaan dan waktu, maka Isalam tidak menetapkan standar yang kaku terhadap

pemerataan pendapatan dimana seluruh masyarakat dalam semua umur harus

menyesuaikan diri sebagaimana mestinya. Tidak ada konsep tentang batas-batas

jumlah kekayaan individu meski norma-norma mengenai penghasilan dan

pengeluaran kekayaan secara jelas telah ditetapkan. Tampaknya adalah tujuan

Islam agar tingkat ketidak merataan pendapatan yang dapat diterima ditentukan

oleh masyarakat mengingat hal ini berkaitan dengan keadaan mereka sendiri.

Islam berupaya untuk meningkatkan sepenuhnya pemikiran saling ketergantungan

fungsi pemanfaatan. Islam juga sama sekali mengutuk pemakaian kekayaan yang

dibelanjakan secara berlebih-lebihan dan komsumsi yang menyolok. Kedua hal

ini mencerminkan adapt istiadat sosial sebuah masyarakat dan memiliki hubungan

yang penting dengan tingkat ketidakmerataan yang dapat diterima. Tidak ada cara

apapun untuk menetapkan pemerataan pendapatan yang optimal kecuali jika

cukup diketahui oleh adat istiadat social dari sebuah masyarakat. Betapapun,

memang dapat dinyatakan secara umum bahwa adapt istiadat suatu masyarakat

yang didasari oleh semangat al – ‘adl dan al – ihsan, yang diperintahkan oleh Al

Qur’an dan Sunnah, dan sedikit bagian penduduk yang kaya memperturutkan

konsumsi menyolok, maka semakin tinggi toleransi masyarakat terhadap

ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan. Di lain pihak, semakin jelasnya

deprivasi dipandang relative oleh sebagian penduduk sebagai hasil dari tidak

terpenuhinya kebutuhan dasar dan konsumsi menyolok yang dilakukan oleh kaum

kaya, maka semakin rendahlah toleransi masyarakat terhadap ketidakmerataan.


48

Dengan memperlihatkan sepenuhnya kepedulian terhadap lesejahteraan para

kaum miskin melalui pembrantasan kemiskinan absolute dan dengan memelihara

ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan dalam batas-batas yang dapat diterima,

maka periode Islam yang pertama memberikan demostrasi yang praktis mengenai

tatanan ekonomi kesejahteraaan keadilan syariah (Ahmad, 1998 : 9).


49

BAB 2

IMPLIKASI EKONOMI KESEJAHTERAAN DAN

KEADILAN SYARIAH DALAM EKONOMI GLOBAL

2.1. Kemiskinan dan Ketidakadilan

Setiap masyarakat manusia menggunakan sumber daya yang tersedia

untuk menghasilkan sejumlah produksi yang akan didistribusikan dalam berbagai

cara diantara para anggota. Kesejahteraan yang berkeadilan dalam ketetapan

pemerintah terhadap produksi barang-barang dan jasa serta pemerataan hasil kotor

nasional menjadi pusat perhatian sepanjang sejarah manusia. Meskipun teratur,

namun kurang lebih pemerataan pendapatan yang tidak adil, dapat diamati

diseluruh bagian masyarakat setiap waktu. Uraian gagasan dan kebijakan terhadap

pemecahan masalah kemiskinan dan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan

menempati sebuah spektrum besar. Uraian ini tersusun mulai dari dukungan

perizinan untuk berperan secara penuh dalam kekuatan pasar bebas dengan sedikit

campur tangan terhadap perusahaan swasta sampai pada pengawasan pemerintah

yang sempurna terhadap produksi dan distribusi. Ekonomi kesejahteraan dan

keadilan syariah menguraikan keunggulan pendekatan yang menyolok terhadap

permasalahan kemiskinan dan pemerataan pendapatan di masa lalu dan masa

sekarang, dan bab ini diakhiri dengan sebuah identifikasi mengenai keunggulan

ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap masalah tersebut.


50

Sejak lama dalam sejarah manusia, sebagian besar proses produksi dan

distribusi diatur oleh tradisi. Dalam masyarakat masa lalu yang terikat tradisi, adat

istiadat dan keturunan merupakan faktor utama yang menentukan pembagian

kerja masyarakat berkelompok terpaksa menjadi yang terpaksa menjadi

masyarakat yang egalitar dikarenakan mereka harus memeperbaiki keadaan hidup

sehari-hari dengan susah payah dan melalui usaha sendiri, dan mereka tidak

mempunyai kemampuan memproduksi pertambahan ekonomi yang cukup besar

sebagaimana yang tersedia oleh kelompok tertentu. Keadaan ini kemudian diikuti

dengan masyarakat hortikultura sederhana yang sebagian besar berkembang di

bagian Eropa, Timur Tengah, dan Asia tenggara. Kelompok mereka biasanya

lebih besar, lebih produktif dan kurang egaliter (Lenski, 1966). Namun demikian,

ketidakadilan jauh dari kenyataan jauh dari kenyataan karena tanah yang tersedia

berlimpah-limpah dan sebagian besar materi yang diperlukan denagn mudah

tersedia bagi semua.

Fakta pertama yang menandai ketidakadilan pendapatan dan kekayaan

ditemukan dalam masyarakat holtikultura maju dimana awal perkembangan

mereka dimulai di Timur Tengah sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu dan

kemudian menyebar di lima benua terbesar. Karena kemajuan teknologi dalam

holtikultura, maka besar kemungkinan untuk memproduksi lebih dari kebutuhan

nafkah hidup seseorang. Pertambahan ini sebagian besar diambil oleh kepala suku

yang secara relatif hidup dalam kesenangan yang lebih besar dan juga untuk

membiayai sejumlah pegawai yang bergantung padanya. Lembaga perbudakan

juga muncul dalam periode ini. Pelaksanaan pemberian hadiah istimewa oleh

para kepala suku atau raja membangkitkan hak-hak yang istimewa bagi kaum
51

bangsawan. Adapun di lapisan bawah terdapat kelompok terbesar yang

merupakan masyarakat biasa, yang memproduksi pertambahan itu, dimana kelas-

kelas yang diistimewakan bergantung untuk memperoleh kemudahan dan

kesenangan hidup. Uang, yang pada saat itu dalam bentuk kulit kerang, dan ternak

merupakan jenis-jenis baru dari berbagai aset nyata yang memudahkan

penimbunan harta kekayaan dan perpindahannya dari generasi ke generasi

berikutnya.

Masyarakat agraris, yang merupakan masyarakat yang lebih maju dari

masyarakat holtikultura maju, bercirikan peningkatan yang lebih besar pada

spesialisasi diperlukan untuk menunjukan secara tidak langsung adanya

perkembangan perdagangan dan perniagaan, serta munculnya kelas pedagang

yang khas. Masyarakat agraris di kebanyakan daerah banyak sekali

memperlihatkan dengan jelas ketidakadilan sosial. Penguasa agraria kenyataanya

menikmati hak-hak properti terhadap seluruh tanah dan bisnis yang berada dalam

wilayahnya. Pelaksanaan hak-hak properti ini, melalui pengumpulan pajak, uang

upeti, sewa dan jasa pelayanan, menjadi sumber penghasilan utama bagi

kebanyakan penguasa agraria. Diperkirakan oleh berbagai cendekiawan bahwa

sekelompok kecil penduduk yaitu tidak lebih dari 2 persen dari jumlah penduduk

berbagi tanggung jawab pemerintah dengan mereka. Seringkali para penguasa

menghadiahi anggota-anggota kelas pemerintahan sejumlah tanah milik yang luas

atau pendapatan yang sesungguhnya diambil dari sekelompok kecil penduduk itu.

Menurut barbagai kajian penelitian tertentu, ‘Keliahatan bahwa kelas-kelas

pemerintahan di masyarakat agraria sedikitnya menerima seperempat pendapatan

nasional negara –negara agraria, dan biasanya kelas pemerintah dan penguasa
52

sama-sama menerima tidak kurang dari separoh. Dalam keadaan tertentu,

gabungan pendapatan antara keduanya bisa mendekati dua pertiga dari jumlah

keseluruhan (Lenski, 1966). Para petani, yang membentuk kelompok terbesar dari

jumlah penduduk, hidup hampir mendekati tingkat yang cukup untuk

menyambung hidup. Mereka juga menjadi sasaran dari kerja rodi atau kerja paksa.

Di berbagai daerah tertentu, para petani dibatasi tanah oleh hukum dan adat

kebiasaan. Para bangsawan feodal mengikat mereka dalam batasan-batasan yang

menyeluruh, dalam sejarah ekonomi keadaan ini dikenal dengan perbudakan.

Keadaan ekonomi kaum miskin yang menyedihkan didalam masyarakat

agraria menimbulkan berbagai protes dari para pembaharu sosial pada saat itu

(Heilbroner, 1975:32). Ajaran agama-agama samawi seperti Yahudi, Nasrani dan

Islam menyediakan dasar kritikan moral yang tegas terhadap keberadaan tatanan

perekonomian. Pengaruh kemanusiaan yang kuat dari agama bervariasi dari abad

ke abad dan dari daerah ke daerah. Implementasi pelaksanaan ajaran-ajaran Islam

di jazirah Arab dan di antara wilayahnya pada periode Islam pertama, yang

termasuk di dalamnya pengenalan sistem jaminan sosial Islam, telah

menghasilkan perubahan yang menyolok terhadap nasib kaum miskin.

Masyarakat Muslim memelihara bias egalitarian yang tegas untuk beberapa waktu

tertentu (Taleqani, 1983:76-77), tetapi kemudian sehubungan dengan pengabaian

ajaran Islam yang dilakukan oleh kedua kelompok baik penguasa maupun yang

dikuasai, maka tanggungjawab pertama terhadap perbaikan penderitaan kaum

miskin sangat berkurang dan sistem jaminan sosial yang diatur oleh negara

menjadi tidak bermanfaat (Ahmad, 1998:68).


53

Zaman pertengahan memperlihatkan peningkatan ketidakpuasan para

petani atas nasibnya dan perjuangan yang terus menerus untuk membebaskan

mereka dari genggaman perbudakan. Para ahli sejarah mencatat ribuan

pemberontakan petani pada periode ini di negara-negara Eropa dan daerah lainnya

dimana mereka mendapat perlakuan penindasan yang kejam (Braudel, 1982:251-

255).

Pada mulanya Revolusi Industri yang terjadi di negara-negara Eropa

diiringi dengan keyakinan yang besar terhadap sifat baik perekonomian pasar

bebas sebagaimana yang dicontohkan dalam filosofi laisses-faire. Inti dari filosofi

ini adalah bahwa peranan kekuatan bersaing yang bebas dalam komoditi dan

komponen pasar, tidak dirintangi oleh pengaruh hak masyarakat untuk bertindak,

merupakan resep yang terbaik untuk kemajuan ekonomi. Pertumbuhan pasar

kapitalis yang bersaing dalam fase-fase pertamanya ditandai oleh penderitaan

masyarakat yang dahsyat. Nasib orang-orang tidak bekerja bahkan lebih buruk

lagi. Dominasi laisses-faire meningkatkan sikap acuh tak acuh yang tidak

berperasaan terhadap keadaan kaum miskin yang menyedihkan (Samuelson dan

Nordhaus, 1985:49). Para ahli ekonomi terkemuka masa itu memperlakukan

buruh dalam pandangan mereka sebagai bentuk komoditi lain yang harganya

(upahnya) ditentukan oleh peranan kekuatan pasar yang bebas terhadap

persediaan dan permintaan. Sikap umum terhadap kemiskinan pada masa-masa itu

digambarkan dalam kata-kata sebagai berikut:

…kaum miskin dipandang sebagai obyek yang memalukan atau hina,

bergantung pada kemanusiaan si pengamal, tetapi tidak pernah dipandang

sebagai subyek peningkatan ekonomi melalui tindakan sosial. Beberapa orang


54

memandang kaum miskinsebagai penderita yang tak disengaja dan dikarenakan

nasib buruk...Yanglainnya berpendapat bahwa kaum miskin hanya dapat

mempermasalahkan diri mereka sendiri terhadap tingkat kehidupan mereka yang

rendah…Malthus (seorang ahli ekonomi terkemuka) bahkan mengusulkan

penghapusan bentuk keringanan kaum miskin yang terbatas (yang muncul pada

masa itu) dan menganjurkan agar kepala keluarga dididik…bahwasanya ia tidak

mempunyai hak untuk menuntut porsi makanan terkecil dari masyarakat, kecuali

untuk membayarkan usaha (kerja)nya secara adil. Sementara Malthus

berkeinginan untuk menghentikan keringanan kaum miskin sehingga bisa

menghapuskan jalan menuju kelaparan dan dengan demikian mengesahkan cara

berpikirnya bahwa kaum miskin tak berguna, maka ahli lainnya melihat

kemiskinan sebagai pemacu efisiensi buruh dan rangsangan untuk konformitas

sosial…Sikap negatif yang sama diimpor oleh negara Amerika Serikat dimana

para pengamat memandang kemiskinan sebagai hasil dari perbuatan jahat atau

kemalangan individu, dan tidak pernah dipandang sebagai penderitaan ekonomi

yang tersebar luas yang dihasilkan dari pelaksanaan sistem sosio-ekonomi itu

sendiri sehingga diperlukan tindakan-tindakan sosial untuk menanggulanginya

(Perlman, 1976:4-5).

Meskipun terdapat dominasi filosofi laisseez-faire pada periode itu namun

beberapa suara bangkit menentang ketidakadilan sistem yang berdasarkan filosofi

ini, dan terhitung berbagai reformasi sporadis terjadi dari waktu ke waktu. Di

Inggris, misalnya, seorang tokoh pembangunan di tahun 1795 menyusun Hukum

Speenhamland yang memberikan jaminan bahwa subsidi bantuan upah harus

diberikan sesuai dengan skala harga roti, sehingga pendapatan minimum kaum
55

miskin terjamin, terlepas dari penghasilan mereka (Polanyi, 1957:77-80). Namun

demikian, hukum ini tidak lama bertahan dan telah dihapus pada tahun 1834.

Abad ke 20 menampilkan batasan yang besar dalam sejarah manusia

sehingga masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan merupakan

permasalahan terpenting yang menjadi perhatian di seluruh dunia. Abad ke 19

menjadi saksi ketidakpuasan pertumbuhan akibat kebijakan laisseez-faire gagal

memberikan pemecahan yang efektif terhadap masalah kemiskinan dan

pemerataan pendapatan. Filosofi laisseez-faire hampir ditinggalkan secara

menyeluruh di seluruh dunia selama abad 20. dan memberikan jalan pada dua

pendekatan besar terhadap pembuatan kebijakan perekonomian yang digambarkan

sebagai ‘sosialisme’ dan ‘kapitalisme yang dikelola’ dalam literatur ekonomi

terakhir. Meski kedua pendekatan ini memiliki perbedaan yang substantif akan

tetapi keduanya mewakili usaha perbaikan sosial melalui intervensi negara yang

aktif (Ahmad, 1998:71).

Tujuan-tujuan sosialisme yang terkenal adalah menghapuskan kemiskinan

dan mencipatakan sebuah negara yang melayani masyarakat, mengurangi

ketidakadilan pendapatan dan kekayaan secara tegas serta perencanaan ekonomi

yang memberi kesempatan kerja penuh dan stabilitas. Menurut Karl Marx,

seseorang yang mempunyai reputasi baik dalam menjabarkan doktrin sosialis,

tujuan-tujuan ini hanya dapat dicapai jika kapitalisme telah dirobohkan. Marx

percaya bahwa sistem kapitalisme memiliki sifat kontradiksi yang berbelit-belit

yang tak dapat dielakkan akan mengakibatkan kematiannya. Marx tidak

meragukan kemampuan sistem kapitalis memprodksi peningkatan jumlah barang-

barang dan jasa tetapi merasa bahwa akibat exploitasi kapitalis terhadap buruh,
56

maka keadaan rakyat menjadi tak tertahankan lagi sehingga membangkitkan

pemberontakan dan penggulingan sistem kapitalis. Kapitalisme akan diambil alih

oleh sosialisme dimana seluruh alat-alat produksi dinasionalisasikan, seluruh

pendapatan pribadi kecuali upah dihapuskan, dan para pekerja akan menerima

upah dengan nilai yang penuh terhadap apa yang mereka produksi sedikit dari apa

saja yang dicadangkan untuk simpanan masyarakat. Produksi dan distribusi

barang-barang dan jasa akan dilaksanakan dengan cara yang direncanakan oleh

badan-badan pemerintah. Menurut Marx, sosialisme, akhirnya akan memberikan

jalan bagi komunisme dimana negara akan mengarah dan individu akan berperan

dalam kehidupan umum, membangkitkan pendapatan masyarakat menurut

kebutuhan daripada menurut kemampuan individu untuk memproduksi (Marx dan

Engels, 1937).

Pandangan Marx terhadap pendirian sebuah masyarakat sosialis melalui

penggulingan tatanan kapitalis secara revolusioner oleh kaum buruh tidak

didukung oleh semua pemikir sosialis. Sebagai contoh, sosialis Fabian

mempercayai bahwa sebuah masyarakat sosialis dapat dihidupkan melalui

kemauan demokrasi dari masyarakat yang tidak puas terhadap cara kerja sistem

kepitalisme (Shaw, 1908).

Para pendukung ‘kapitalisme yang dikelola’ mempunyai pandangan

bahwa ketidakcakapan kapitalisme leisse-faire dapat diatasi dengan intervensi

negara yang tepat tetapi tanpa mengorbankan segi-segi fundamental dari sistem

kapitalisme. Mereka mengakui bahwa ada hal-hal tertentu dalam cara kerja

mekanisme pasar bebas yang dapat mengakibatkan kegagalan untuk mencapai

tujuan-tujuan sosial dari masyarakat. Lingkaran siklus dari ‘ledakan dan


57

kemerosotan ekonomi’ yang dialami oleh negara-negara industri pada abad ke 19

telah mengguncang keyakinan terhadap postulasi dasar ekonomi klasik

bahwasanya perekonomian pasar yang bersaing telah terpasang dengan

mekanisme yang memperbaiki sendiri sehingga dapat menghindari periode

ledakan dan kemerosotan ekonomi yang berkepanjangan. Masa Depresi Berat di

tahun 1930-an menghadapi pukulan terakhir terhadap keyakinan tersebut dan

mengancam kelangsungan hidup kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi.

Makro-ekonomi Keynes, yang mengganti peranan positif kebijakan moneter dan

fiskal pemerintah sebagai pengganti leisse-faire, merupakan salah satu

penyelamat kapitalisme. Para ahli ekonomi mengidentifikasikan sejumlah kasus

lainnya, yang dijabarkan sendiri, tidak bisa beroperasi sebaik-baiknya untuk

menghasilkan keuntungan sosial. Peranan yang tepat bagi pemerintah untuk

menghadapi kegagalan-kegagalan tersebut juga menjadi bagian dari pemikiran

ekonomi baru. Pengetahuan juga digunakan untuk menghadapi berbagai

permasalahan yang berupa kemiskinan yang terus menerus dan ketidakadilan

pendapatan dan kekayaan yang nmenyolok serta perhatian yang meningkat

diperlihatkan untuk mencari jalan dan cara yang lebih adil dalam membagi

keuntungan pembangunan dibawah rezim kapitalisme yang dikelola.

Kebangkitan politik liberalisme di negara-negara Barat yang berekonomi

maju menjadi faktor penting dalam masalah-masalah kemiskinan dan

ketidakadilan pendapatan. Setelah peralihan abad, pemerintah dari negara ini tidak

lagi berkeinginan untuk berkeinginan untuk membiarkan kekuatan pasar

menentukan sendiri tingkat kesempatan kerja, produksi dan pendapatan. Mereka

mendapatkan perlunya campur tangan dalam urusan-urusan ekonomi pada bagian


58

yang cukup luas. Intervensi negara mengambil bentuk yang bragam seperti

kepemilikan umum terhadap alat-alat produksi, pemanfatan kebijakan pajak

secara aktif untuk mengurangi ketidak adilan pendapatan dan kekayaan, serta

program-progarm kesejahteraan umum dan jaminan sosial yang memadai. Bias

redistribusi yang ditekankan dalam kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut

dan kecemasan yang jelas terhadap kaum miskin menjadikan mereka memperoleh

julukan ‘negara-negara persemakmuran’.

Negara-negara yang sedang berkembang atau dunia ke tiga yang

mempunyai penduduk miskin terbesar di dunia, juga mengikuti sejumlah

strategiyang beragam untuk mngurangi kemiskinan dan menurunkan

ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. ‘ Kapitalisme yang dikelola’ menjadi

kerangka kerja untuk perilaku kebijakan ekonomi di kebanyakan negra-negara ini.

Secara umum dapat dikatakan, negara-negara Dunia Ketiga yang mengikuti model

‘kapitalisme yang dikelola’ tidak memiliki sistem jaminan sosial sebagaimana

ditemui di negara-negara maju. Beberapa negara di Dunia Ketiga tidak

mempunyai sistem jaminan sosial yang baik, sementara negara-negara lainnya

mempunyai sistem jaminan sosial yang memberi batasan-batasan keuntungan

tertentu terhadap kelompok-kelompok penduduk tertentu. Beberapa negara sedang

berkembang memilih untuk mengikuti model pembangunan sosialis.

Dari sudut pandang manajeman ekonomi, dan khususnya dari sudut

kebijakan untuk mengurangi kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan

pendapatan dan kekayaan, maka negara-negara di dunia saat ini secara kasar dapat

diklasifikasikan menurut tiga kelompok besar: (1) negara-negara kapitalis dengan

sistem jaminan sosial yang baik, (2) negara-negara kapitalis tanpa sistem jaminan
59

sosial atau mempunyai sistem jaminan sosial yang kurang baik, (3) negara-negara

sosialis. Patut diperhatikan bahwa negara-negara yang memiliki sistem jaminan

sosial yang berkembang baik semuanya merupakan negara-negara berkembang

yang berpendapatan tinggi. Tidak ada negara-negara kapitalis yang berpendapatan

rendah dan menengah yang mempunyai sistem jaminan sosial yang baik. Juga

penting untuk dicatat bahwa bahkan diantara negara-negara yang dianggap

kapitalis dan negara-negara yang dianggap sosialis pun, terdapat perbedaan besar

dalam jenis-jenis kebijakan ekonomi dan pola pemerataan pendapatan.

2.2. Kelemahan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Sosialis

Pemberantasan kemiskinan dan pencapaian pola pemerataan pendapatan

yang sangat egalitarian merupakan tujuan sosialisme yang terbesar. Dalam teori

ekonomi sosialisme, semua alat-alat produksi harus dibawah kepemilikan dan

pengawasan negara. Pengalokasian sumber-sumber daya harus diselesaikan

melalui keputusan administrasi daripada melalui mekanisme pasar. Koordinasi

ekonomi diantara badan-badan negara yang berbeda-beda harus diberdayakan

melalui sebuah sistem perencanaan yang komprehensif terutama berdasarkan

anggaran belanja sumber daya material. Penghapusan kepemilikan kapitalis

swasta terhadap alat-alat produksi diharapkan dapat menghasilkan sebuah pola

pemerataan pendapatan yang adil. Model pembangunan sosialis pertama kali

diperkenalkan di Russia pada tahun 1917. Sejak itu negara ini melaksanakan

strategi pembangunan sosialis yang berbeda-beda. Periode awal ditandai dengan

menasionalisasikan bank-bank dan industri –industri besar, pengkolektifan usaha

tani, pemanfaatan kekuatan negara untuk membasmi kepemilikan tanah yang

lebih subur oleh petani (‘kulaks’), cara hidup buruh yang teratur dan penekanan
60

pada pembangunan industri berat. Era perencanaan yang komprehensif dimulai

pada tahun 1928, dan sejak itu rencana lima tahun berturut-turut dimanfaatkan

untuk membentuk langkah dan arah perubahan ekonomi. Dorongan kebijakan-

kebijakan telah berhasil membuat Uni Soviet sebagai salah satu dari dua kekuatan

terbesar di dunia dan menjadi negara yang sangat industrialisasi. Dengan

menggunakan perencanaan yang komprehemsif memungkinkan negara

menyediakan tingkat pekerjaan yang tinggi dan jaminan pendapatan pada

masyarakatnya. Sistem jaminan sosial menjamin pendidikan yang gratis,

pelayanan medis yang gratis, dan tunjangan pensiun bagi penduduk usia lanjut.

Informasi mengenai perubahan pemerataan pendapatan di Uni Soviet agak sedikit.

Sebagaimana diharapkan oleh negara yang sepenuhnya sosialis, maka

penghapusan pendapatan dari para pemilik yang banyak harta kekayaannya

menghasilkan penurunan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan yang berarti.

Akan tetapi masih banyak perbedaan-perbedaan yang muncul diantara kelompok

berpendapatan tinggi dan rendah. Menurut seorang analis, kesenjangan antara

kelompok berpendapatan tinggi dan rendah di Uni Soviet pada tahun 1971 adalah

satu berbanding tiga setengah (1:3,5), dan hampir satu pertiga dari keluarga-

keluarga mempunyai pendapatan dibawah garis kemiskinan (Grutchy, 1977:523).

Selain Uni Soviet, model pembangunan sosialis dilaksanakan disejumlah

negara Eropa Timur pada periode setelah Perang Dunia ke 2. Hingga tahun 1953,

negara-negara ini sangat dekat berhubungan dengan Uni Soviet dan kebijakan-

kebijakan ekonomi mereka hampir identik dengan kebijakan-kebijakan yang

diterapkan di Uni Soviet. Lebih lanjut, negara-negara ini membuat lebih banyak

kebijakan-kebijakan sendiri. Dan beberapa diantaranya mengadopsi sistem alokasi


61

sumberdaya dan pengambilan keputusan produksi yang lebih fleksibel (Bornstein,

1973). Dua negara Eropa Timur, Hungaria dan Yugoslavia, bahkan

memperkenalkan prinsip-prinsip perdagangan/pemasaran tertentu dalam kerangka

kerja sosialis secra menyeluruh. Yugoslavia juga membuat sebuah permulaan

yang penting dari sebuah sistem terpusat (sentraisasi) di tahun 1950-an dengan

memperkenalkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan secara kolektif

oleh para pekerja (Elliott, 1985:408-429). Meski data-data mengenai perubahan-

perubahan pola pemerataan pendapatan sedikit, informasi-informasi terbatas yang

tersedia menunjukkan bahwa bagian kelompok miskin yang berjumlah 20 persen

dari penduduk di negara-negara ini berkisar antara 6,6 sampai 11,2 persen

sementara itu bagian kelompok kaya yang berjumlah 20 persen dari penduduk

berkisar antara 34,3 sampai 40,7 persen. Juga telah dilaporkan bahwa dorongan

kebijakan-kebijakan di negara-negara ini telah membantu menurunkan dan dalam

perkara tertentu menghapuskan bentuk-bentuk yang buruk dari kemiskinan dan

degradasi (Griffin, 1989:218-219).

Diantara negara sosialis lainnya, Cina patut dikemukakan secara khusus.

Sebelum revolusi di tahun 1949, Cina pada dasarnya marupakan negeri feodal

dengan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan yang menyolok. Sejak itu

kebijakan pertmbuhan yang seimbang telah menghasilkan kemajuan industri yang

besar. Pada mulanya Cina memiliki sistem ekonomi yang sangat terpimpin

(terpusat) dengan mengkolektifikasikan pertanian dan secara ketat mengendalikan

perindustrian. Meski demikian sistem pedesaan yang akrab diperbaikidalam tahun

1960-an untuk memulihkan beberapa insentifmaterial yang hilan akibat kebijakan

kolektivisasi. Di tahun 1980-an, perusahaan industri negara telah otonomi yang


62

lebih besar sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dalam produksi mereka.

Perbaikan-perbaikan terakhir diusahakan untuk meningkatkan bentuk-bentuk

organisasi ekonomi yang bervariasi, dengan beberapa perusahaan negara

desewakan kepada perorangan atau kelompok. Kebijakan yang lebih aktif

didorong untuk menarik investor luar negeri untuk melakukan joint venture atau

investasi yang eksklusif ke dalam perusahaan yang diperlukan untuk modernisasi

ekonomi. Sebagai hasil dari penekanan pembatasan upah dan perbedaan gaji,

maka pemerataan pendapatan di Cina lebih adil daripada di kebanyakan negara-

negara sosialis lainnya. Meskipun negara ini tetap memiliki pendapatan perkapita

yang rendah, akan tetapi kebijakan pemerataannya berusaha untuk menjamin

kecukupan jumlah bahan makanan dan pelayanan sosial yang banyak ragam

(Grutchy, 1977:628).

Filosofi sosialis telah mempengaruhi pengambilan keputusan ekonomi di

sejumlah negara sedang berkembang. Meskipun, hanya sedikit diantara mereka

yang memiliki sifat tatanan ekonomi sosialis yang pokok. Menurut seorang analis,

hanya enam negara di Dunia Ketiga yang bisa diklasifikasikan sebagai sosialis

‘yang tak dapat dibantah lagi’. Negara-negara ini adalah Cina, Kuba, Kamboja,

Mongolia, Korea Utara dan Vietnam. Fakta yang ada membuktikan bahwa,

dibandingkan dengan negara-negara sedang berkembang lainnya, maka negara-

negara yang disebutkan tadi tercatat menampilkan prestasi yang lebih baik,

berkaitan dengan pengurangan kemiskinan dan penurunan ketidakadilan

pendapatan dan kekayaan (Griffin, 1989:194-225).

Meskipun negara-negara sosialis telah mencapai hasil-hasil penting dalam

upaya mencapai pola pemerataan pendapatan yang lebih adil, akan tetapi mereka
63

dikelilingi oleh sejumlah permasalahan yang agaknya memaksa mereka untuk

melakukan permalaan yang penting bagi model pembangunan sosialis ortodoks.

Tingkat pertumbuhan yang menurun, memperlambat langkah perubahan

teknologi, birokrasi yang tidak efisien dalam cara kerja negara yang

mengandalkan industri, dan ketidakpuasan konsumen terhadap persediaan barang-

barang yang digunakan sehari-hari yang sedikit dan tidak tentu merupakan bidang

perhatian terbesar. Walaupun beraneka ragam permasalahan individu di berbagai

negara berbeda-beda, akan tetapi sesuatu telah muncul dalam pola pembaharuan

ekonomi yang umum. Hal ini terdiri dari pergerakan yang menjauh dari

pepengawasan ekonomi terpimpin yang sangat ketat menuju ekonomi yang

berorientasi pasar desentralisasi yang meningkatkan hasil perusahaan dan

manajemen pabrik, pemakaian yang lebih efektif terhadap insentif individu, dan

perhatian yang lebih besar pada kesejahteraan konsumen. Pada saat yang sama,

dikebanyakan negara-negarasosialis, masyarakat memperlihatkan ketidakpuasan

terhadap sifat sistem polotik mereka yang otoriter yang telah mengingkari hak dan

kebebasan polotik mereka sebagaimana ditemui dalam masyarakat yang

pluralistik demokrasi. Hal ini diketahui merupakan ekspresi yang paling konkrit

pada pergolakan polotik yang dapat disaksikan di beberapa negara Eropa Timur

selama tahun 1989 terakhir dan awal tahun 1991. Perekonomian negara-negara ini

sedang dalam keadaaan yang terus berubah dan jalannya peristiwa yang dipakai di

masa depan masih belum ada kepastian.

2.3.Kelemahan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Kapitalis

Di negara-negara kapitalis yang berpendapatan tinggi, kelancaran jaminan

sosial dan egalitarianisme memperhatikan kontras yang sangat dengan


64

pembangunan kapitalis di abad ke 18 dan 19. Sebenarnya, awal keredupan negara

persemakmuran dibeberapa negara dapat dirunut kembali pada akhir abad ke 19

ketika Bismarck Jerman mensponsori asuransi kesehatan dan asuransi lanjut usia,

sebagai reaksi defensif terhadap perkembangan pemikiran sosialis. Perintis lain

dari negara persemakmuran yang modern adalah program kesejahteraan sosial

yang dicanangkan Pemerintahan Liberal Di Kerajaan Inggris, berkembang di

tahun 1908, program ini memuat asuransi sosial untuk kesehatan dan

pengangguran, pensiunan, dan tunjangan bagi pekerja yang berpendapatan rendah

melalui ketetapan undang-undang upah minimum (Schnitzer, 1987:153-154).

Pengangguran yang berskala besar selama masa depresi berat di tahun 1930-an,

memacu kebangkitan negara persemakmuran di negara-negara Barat. Setelah

tahun 1929 Partai Demokrasi Sosial menjadi unsur terbesar dalam sistem politik

di sejumlah negara Skandinavia, dan di bawah pengaruh dan bimbingan mereka,

kebijakan ekonomi dinegara-negara ini menekankan orientasi pada kesejahteraan.

Corak politik dari partai yang berkuasa di negara-negara maju kapitalis lainnya

menjadi faktor terpenting dalam mengatur langkah kebijakan kesejahteraan sosial

dalam periode waktu yang berbeda. Meskipun demikian, seluruh negara kapitalis

yang berpendapatan tinggi telah mengembangkan dengan baik sistem jaminan

sosial yang memberikan perlindungan dari ketidakkokohan sistem kapitalisme.

Ciri-ciri terpenting dari program jaminan sosial di negara-negara kapitalis

maju adalah bahwa pada umumnya ia dirancang untuk semua warga negara,

terlepas dari posisi keuangan seseorang. Fakta yang ada membuktikan bahwa

program semacam ini telah banyak melakukan sesuatu untuk mengurangi

kemiskinan. Akan tetapi, bahkan di negara-negara yang paling maju pun,


65

kemiskinan belum dapat diberantas secara sempurna. Di negara Amerika Serikat,

misalnya menurut survey tahunan yang terakhir dari Biro Sensus, pada tahun 1988

secara resmi ditemukan sekitar 13 persen dari penduduk berada dibawah garis

kemiskinan. Berdasarkan studi penelitian yang baik mengenai profil kemiskinan

di empat negara maju, sekitar 10 persen dari penduduk di negara-negara ini yang

berada dibawah garis kemiskinan pada tahun 1973.

Dengan perubahan sifat kapitalisme selama abad ini, pembagisn

pendapatan nasional yang adil menjadi tujuan nasional yang dipertahankan secara

luas di negara-negara kapitalis maju. Namun demikian, masing-masing negara

mempunyai pandangan yang berbeda-beda terhadap sejauh mana mereka harus

menjamin tujuan ini. Sebuah studi di 1976 yang dilakukan oleh Organisasi

Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan mengenai ukuran pemerataan

pengembalian pajak pendapatan pribadi disepuluh negara-negara industri,

mengungkapkan bahwa Kerajaan Inggris dan negara-negara lainnya seperti

Norwegia dan Swedia, yang mengikuti kebijakan-kebijaka yang lebih egaliter,

memiliki sedikit ketidakadilan dalam pengembalian pajak pendapatan daripada

negara-negara tertentu lainnya seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman.

Tampak dalam banyak analisa bahwa bahkan setelah kedatangan ‘kapitalisme

yang dikelola’, kebijakan ekonomi yang dikejar di banyak negara maju tidak

menghasilkan kekuatan yang menyebabkan penurunan ketidakadilan pendapatan

dan kekayaan yang berarti. Menurut studi yang terperinci mengenai

kecenderungan pemerataan pendapatan disejumlah negara, kelompok

berpendapatan tinggi di dua negara maju yang berjumlah 20 persen berbagi 50

persen dari jumlah keseluruhan pendapatan negara. Menurut studi yang sama,
66

kelompok berpendapatan renadah di 17 negara berkembang yang berjumlah 20

persen rata-rata berbagi 5,5 persen dari jumlah keseluruhan pendapatan negara

(Kakwani, 1980:397-398).

Massa terbesar dari masyarakat yang dilanda kemiskinan hidup dalam

yang dikenal dengan sebutan Dunia Ketiga. Kolonialisme adalah faktor terpenting

yang mempertahankan masyarakat miskin di negara-negara Dunia Ketiga berada

di bawah dominasi luar negeri. Setelah memperoleh kemerdekaan, negara-negara

yang sedang

berkembang mengalami konfrontasi dengan ‘revolusi harapan yang memuncak’

sehingga mereka menggunakan usaha yang berani untuk mengatasi kemunduran

ekonomi dan kemiskinan untuk memenuhi harapan-harapan itu. Beberapa negara

ini mengikuti model pembangunan sosialis sementara negara lainnya mengkuti

jalan kapitalisme yang dikelola. Pengalaman pembangunan negara-negara sosialis

telah diceritakan sebelumnya. Pembangnan ekonomi dalam kerangka kerja

kepitalis telah memberikan hasil yang beragam. Beberapa negara-negara yang

sedang berkembang mencapai keberhasilan yang berarti dalam menurunkan angka

dan proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan dan dalam memperbaiki

pola pemerataan pendapatan. Jenis pembangunan yang dijalankan oleh sejumlah

besar negara, bagaimanapun, belum memberikan pengaruh yang kuat terhadap

kemiskinan dan malah kenyataannya menghasilkan pemerataan pendapatan yang

buruk (Griffin dan Khan, 1978).

Fakta yang ada memperlihatkan bahwa dalam periode setelah Perang

Dunia ke 2 negara-negara sedang berkembang telah mencatat keberhasilan yang

gemilang dalam usaha mereka untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan hasil


67

kotor nasional. Telah dilaporkan bahwa ‘GNP per kapita negara-negara sedang

berkembang tumbuh dengan tingkat rata-rata 3,4 persen setahun selama 1950-

1975 atau 3 persen jika Republik Rakyat Cina diabaikan. Keadaan ini lebih cepat

daripada negara-negara berkembang atau negara sedang berkembang yang

tumbuh dalam periode sebelumnya yang sebanding dengan tahun1950, dan

melampaui baik tujuan-tujuan yang remi maupun harapan-harapan pribadi’.

Betapapun, disejumlah besar negara, pertumbuhan disertai dengan peningkatan

ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Disalah satu penelitian, yang meneliti

data yang berkaitan dengan 43 negara-negara non sosialis setelah periode Perang

Dunia ke 2, telah ditemukan bahwa sebagaiman dihasilkan oleh pertumbuhan

ekonomi, bagian 60 persen dari kelompok penduduk miskin menurun secara

relatif. Juga telah ditemukan bahwa di negara-negara yang lebih miskin

pendapatan kelompok penduduk miskin yang berjumlah 40 persen turun secara

absolut, dan bahwa penduduk ini mempunyai pendapatan yang rendah

sebagaimana ketentuan yang absolut pada akhir dua dekade pembangunan

daripada yang mereka miliki pada awal pembangunan. Data crosssectional

mengenai pola pemerataan pendapatan di sejumlah negara yang dikumpulkan oleh

Bank Dunia, telah beberapa kali memperlihatkan kembali ketidakadilan

pendapatan yang menyolok. Menurut angka-angka ini, bagian 20 persen dari

kelompok rumah tangga yang paling miskin dalam jumlah keseluruhan

pendapatan berkisar antara 1,9 sampai 7,5 persen di 14 negara yang diliputi oleh

studi sementara bagian 20 persen ari kelompok rumah tangga yang paling kaya

berkisar antara 43,4 sampai 66,6 persen. Keterangan mengenai dimensi kuantitatif

dari kemiskinan agak sedikit. Terdapat sangat sedikit perkiraan tentang ‘jurang
68

kemiskinan’ dan perkiraan mengenai jumlah pensduduk dibawah ‘garis

kemiskinan’ yang berbeda dari studi yang satu ke studi lainnya. Menurut salah

satu studi, 35,6 persen dari penduduk di sembilan negara Asia yang meliputi oleh

studi hidup dibawah garis kemiskinan. Persentase penduduk yang hidup dibawah

garis kemiskinan di tujuh negara Afrika yang diliputi oleh studi adalah sekitar 36

persen sedangkan angka untuk limabelas negara Amerika Latin adalah 13 persen.

Angka rata-rata ini sedapat mungkin menyembunyikan perbedaan antar negara.

Kemudian, di negara-negara Asia, proporsi penduduk yang hidup dibawah garis

kemiskinan berkisar antara 1,21 sampai 41,33 persen dan di negara-negara

Amerika Latin antara 0,93 dan 27,46 persen.

Presentasi yang sangat tidak seimbang dari negara-negara yang berbeda

dalam upaya mengurangi kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan

menjadi permasalahan pokok dalam berbagai diskusi yang mendalam diantara

para ahli ekonomi dan sosiologi dalam tahun-tahun terakhir. Sampai pada tahun

1960-an telah diyakini secara luas bahwa harapan yang terbaik untuk penurunan

kemiskinan yang segera adalah dengan memusatkan perhatian pada upaya

mempercepat tingkat pertumbuhan ekonomi yang menyeluruh. Akan tetapi,

analisa terhadap pelaksanaan pembangunan di sejumlah negara menunjukkan

bahwa tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak memberikan suatu jaminan bahwa

keuntungan pertumbuhan tersebut akan turun mengalir kepada rakyat banyak. Hal

ini membangkitkan pemikiran baru terhadap alternatif strategi pembangunan

tetapi sedemikian jauh tidak ada kebulatan suara mengenai jalan terbaik yang

sebaiknya diikuti.
69

Beberapa ahli ekonomi memiliki pandangan bahwa terdapat kekuatan

sistematis yang mengatur perubahan pola pemerataan pendapatan seiring dengan

pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. ‘Hipotesa-U’ menyatakan bahwa

pemerataan pendapatan akan memperburuk dalam tahapan pertama pertumbuhan

tetapi akan memperbaiki tahapan selanjutnya. Alasan dibalik hipotesa ini adalah

sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi melibatkan pergantian kegiatan-kegiatan

dari sektor tradisional ke sektor moderen. Ketidak adilan dalm sektor tradisional

lebih sedikit dari pada dalam sektor moderen. Sebagai mana sektor berkembang

luas seiring dengan pembangunan, maka peningkatan berat badan pada bagian

penduduk sektor moderen akan mempunyai arti peningkatan ketidak adilan

pendapatan secara keseluruhan. Kemudian,pada tahapan pertumbuhan yang lebih

tinggi, kecenderungan ini dibalikan dimana terdapat arus pendapatan yang lebih

besar kepada kelompok yang berpendapatan rendah dengan makin bertambahnya

sektor modern yang lebih luas. Berdasarkan hipotesa ini, diusulkan bahwa

perhatian terpenting dalam strategi pembangunan seharusnya adalah untuk

menekan akibat-akibat yang dihasilkan oleh proses modernisasi dengan tanpa

terlalu banyak memperhatikan pola pemerataan pola pendapatan pada tahap awal

pertumbuhan. Namun demikian, pendekatan ini kehilangan dukungan yang

banyak dalam tahun-tahun terakhir. Telah dikemukakan bahwa ‘Hipotesa-U’

bukanlah sebuah hukum alam. Ia kurang memiliki dasar teori yang kuat dan

memberikan perhatian yang tidak cukup terhadap peranan kebijakan untuk

mempengaruhi lintasan waktu ketidakadilan. Banyak analis mengemukakan

bahwa dorongan strategi pembangunan dan hasil struktur ekonomi lebih jauh

mempengaruhi pemerataan pendapatan daripada income per kapita, dan


70

‘Hipotesa-U’ tidak membenarkan pengejaran kebijakan pemerataan pendapatan

yang netral sebagai hasil pertumbuhan (Papanek, 1978).

Pembahasan strategi pembangunan yang luas dengan memusatkan

perhatian pada permasalahan pemerataan pendapatan dikenal sebagai ‘redistribusi

pertumbuhan’. Intisari dan strategi ini adalah untuk menggantikan tekanan

pembangunan dari pembangunan yang menekankan pada pembagian manfaat-

manfaat pertumbuhan yang lebih adil. Sebuah kerangka kerja kebijakan untuk

strategi semacam ini telah lama dibahas dalam lingkungan akademis akan tetapi

gagasan ini menjadi populer ketika pusat pembangunan penelitian Bank Dunia

dibawah pimpinan Hollis Chenery menghasilkan kajian yang terperinci terhadap

permasalahan tersebut. Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa perbaikan

yang sangat berharga bagi sekelompok penduduk miskin yang berjumlah 40

persen selama periode waktu yang terus menerus adalah memungkinkan melalui

sebuah kebijakan pola pengalihan investasi menurut kebutuhan mereka. Selama

pendapatan yang rendah dihasilkan dari kurangnya modal fisik, akses pada infra

struktur, dan masukan yang beraneka ragam, maka kebijakan pemerintah harus

diarahkan untuk mengatasi rintangan-rintangan ini.

Pendekatan lain yang dibahas secara luas untuk memecahkan masalah

kemiskinan dikenal sebagai pendekatan ‘kebutuhan dasar’. Intisari dari

pendekatan ini adalah prioritas secara definitif terhadap pemenuhan kebutuhan

dasar kaum miskin. Pendekatan ini dengan tegas dikemukakan oleh Organisasi

Buruh se-Dunia (international Labout Organization/ ILO) pada tahun 1970-an.

ILO telah menetapkan kebutuhan dasar dengan memasukkan ‘kebutuhan-

kebutuhan minimum dari sebuah keluarga untuk dikonsumsi secara pribadi’,


71

khususnya makanan, tempat berlindung (rumah) dan pakaian (sandang), serta

‘pelayanan-pelayanan penting lainnya yang disediakan oleh dan untuk masyarakat

luas, seperti air minum yang sehat, kebersihan transportasi umum, serta sarana-

sarana kesehatan dan pendidikan. Selain menguraikan pendekatan ini, ILO

mengakui bahwa tujuan pemenuhan kebutuhan dasar dikebanyakan negara-negara

yang sedang berkembang tidak bisa tercapai jika tanpa redistribusi pendapatan

dan kekayaan yang substansial.

Meskipun terdapat perhatian yang lebih besar terhadap permasalahan

kemiskinan dan pemerataan pendapatan di negara-negara yang sedang

berkembang selama dua dekade terakhir bahkan lebih, namun kenyataannya

kemajuan-kemajuan yang dicapai tetap saja mengecewakan. Walau beberapa

negara telah mengubah berbagai cara dengan mengadopsi strategi pembangunan

yang redistributif, akan tetapi berbagai perubahan dalam kebijakan-kebijaka

sangatlah terbatas untuk memberikan hasil-hasil yang berarti. Besarnya usaha

yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah kemiskinan dapat dinilai dari hasil-

hasil pelaksanaan simulasi yang diadakan oleh ILO pada tahun 1970-an dan

diterbitkan pada tahun 1976. Dalam salah satu perhitungannya, diperkirakan

bahwa nilai GNP akan naik secara terus menerus sebesar 6 persen setiap tahun

dan jumlah penduduk diberbagai daerah akan meningkat secara lamban sesuai

dengan perkiraan PBB. Diketahui bahwa bahkan untuk memuaskan kebutuhan-

kebutuhan dasar yang ditaksir secara hati-hati selama periode 30 tahun, maka

bagian dari 20 persen kelompok paling miskin dari penduduk akan lebih dari dua

kali lipat jika dibandingkan dengan bagian dari mereka pada tahun 1970-an di

sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang, dan pada umumnya di


72

negara-negra tropis Afrika bagian dari kelompok miskin akan meningkat 3-4 kali.

Keseluruhan jumlah redistribusi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan dasar akan menjadi semakin lebih besar jika tingkat pertumbuhan GNP

dipastikan kurang dari 6 persen setiap tahunnya.

Perdebatan mengenai bentuk dan cara penanggulangan masalah

kemiskinan dan pemerataan pendapatan masih berlanjut tetapi sekarang secara

umum diakui bahwa tidak akan ada harapan untuk memberantas kemiskinan

jukalau strategi pembangunan menetapkan redistribusi yang bias. Beberapa analis

menyatakan sikap pesimis mereka tentang kemungkinan mengadopsi strategi-

strategi tertentu, karena mereka sangat meragukan kesediaan kelompok

berpendapatan tinggi untuk melakukan pengorbanan yang dibutuhkan. Beberapa

analis lainnya menaruh harapan pada kekuatan ‘koalisi berbagai kepentingan’

karena mereka melihat beberapa keuntungan yang dicapai dalam melaksanakan

strategi distribusi, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa beberapa bagian

diantaranya menghasilkan kegagalan yang relatif. Berbagai penelitian yang

dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF

mengenai masalah-masalah pembangunan, juga memperlihatkan kebutuhan

terhadap komitmen pemerintah yang kuat untuk mencari solusi yang efektif dalam

upaya memecahkan masalah kemiskinan.

2.4. Keunggulan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Syariah

Setelah meninjau kembali berbagai pendekatan terkemuka terhadap

permasalahan kemiskinan dan pemerataan pendapatan di masa lalu dan masa

sekarang, maka dianjurkan sekarang untuk mengalihkan pandangan pada

pengidentifikasian keistimewaan pendekatan Islam yang khas terhadap masalah


73

kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Kerangka kerja kebijaksanaan terhadap

upaya memberantas kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan,

sebagaimana disimpulkan dari ajaran-ajaran Islam, telah dikemukakan pada bab

sebelumnya. Berbagai komponen yang beragam dari kerangka kerja

kebijaksanaan ini beriisikan konsep-konsep keTuhanan yang secara langsung

berkaitan dengan struktur dasar masyarakat yang memperlihatkan skema

pemerataan dan distribusi yang nyata di dalam masyarakat.Jika seorang mencari

ciri-ciri yang istimewa dari struktur dasar masyarakat, maka elemen-elemen yang

dominan bersandar pada konsep manusia tentang ‘perwalian’. Melalui konsep

perwalian ini, Islam mencoba untuk mengilhami para pengikutnya dengan rasa

tanggung jawab yang kuat terhadap kesejahteraan setiap orang dimasyarakat. Inti

dari konsep perwalian ini adalah bahwa Tuhan adalah pemilik segala sesuatu yang

ada di dunia, dan apa yang dipegang oleh manusia sebagai barang milik

mempunyai sifat sebagai titipan yang diberikan atas kehendak Tuhan. Jika konsep

ini mengendap dalam jiwa manusia maka akan jelas akan mendatangkan tatanan

sosio-ekonomi yang adil dan kesamarataan. Betapapun, Islam tidak hanya

membatasi pada pengajaran prinsip-prinsip etika. Islam memanfaatkan kekuasaan

negara, sepanjang dianggap perlu, untuk menjamin keadilan di seluruh hubungan

manusia, dan hal ini termasuk keadilan ekonomi, dalam pengertian dimana

masyarakat terbebas dari kemiskinan dan kekacauan akibat ketidakadilan

pendapatan dan kekayaan. Garis-garis pedoman untuk semua perbuatan individu

dan negara diambil dari Al Qur’an dan perkataan dan perbuatan Nabi SAW yang

dikenal sebagai sunnah. Pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah

terhadap pemberantasan kemiskinan dan penahanan ketidakadilan pendapatan dan


74

kekayaan dalam batas-batas tertentu dengan demikian merupakan paduan elemen-

elemen etika, sosial-politik dan yuridiksi, yang diambil dari sumber-sumber

agama, yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan lainnya yang tidak

dikelilingi oleh ajaran-ajaran agama tertentu.

Fakta bahwa pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah

terhadap upaya pemberantasan kemiskinan dan penurunan ketidaladilan

pendapatan dan kekayaan didasarkan pada ajaran-ajaran agama, sedangkan

pendekatan-pendekatan lainnya menggambarkan hasil pemikiran keduniaan tidak

berarti bahwa tidak ada hal-hal tertentu yang sama antara pendekatan Islam

dengan pendekatan-pendekatan lainnya. Apabila tujuan akhirnya adalah sama,

maka terdapat beberapa kesamaan antar sistem. Beberapa uraian kebijaksanaan

pemberantasan kemiskinan dan penurunan ketidakadilan pendapatan dan

kekayaan sebagaimana disimpulkan dari ajaran-ajaran Islam, mendapatkan

imbangan dari pendekatan-pendekatan lainnya. Betapapun, meski ada beberapa

kesamaan, namun pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah

memiliki kekhasan tersendiri, dan merupakan sistem yang berdiri sendiri.

Islam berbagi dengan sosialisme dalam permasalahan pemerataan

pendapatan dan kekayaan yang adil (merata). Akan tetapi, sangatlah ditentang

beberapa alat-alat kebijakan yang dianjurkan oleh filosofi sosialis pada

penghapusan harta milik pribadi dan pengsosialisasian alat-alat produksi tidak

seimbang dengan keunggulan perusahaan swasta dalam sistem Islam. Islam

melekatkan kepentingan yang besar terhadap kebebasan individu dan

perlindungan terhadap kehormatan manusia. Hal ini mengharuskan alat-alat

produksi tidak dimonopoli oleh negara dan masyarakat bebas untuk menggunakan
75

seluruh kegiatan yang diizinkan menurut kecenderungan dan pilihan mereka

sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara sosialis itu sendiri mulai

menyadari kekurangan dari penghapusan harta milik pribadi, dan dalam hal ini

berbagai perubahan yang berarti disejumlah negara tercipta dengan

meliberalisasikan kebijakan-kebijakan mereka.

Perbedaan Islam dan sosialisme tidak hanya pada kepemilikan dan

pengontrolan alat-alat produksi; keduanya juga memiliki perbedaan yang tajam

dalam pusat kekuasaan perekonomian, sistem motivasional dan proses-proses

social untuk mengkoordinasikan perekonomian. Negara sosialis memiliki

kebebasan yang tak terkekang dalam merancang kebijaksanaan-kebijaksanaan

mereka untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Namun, dalam Islam,

kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara tidaklah tidaklah mutlak. Menurut

Islam, kedaulatan adalah milik Tuhan. Dengan demikian, kekuasaan negara hanya

bisa dilaksanakan berdasarkan norma-norma yang digariskan oleh shari’ah.

Berkaitan dengan hal ini, beberapa ukuran yang telah diadopsi dari sejarah

sosialisme untuk memberantas kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan

pendapatan dan kekayaan gagal mendapatkan legimitasi dalam kerangka kerja

Islam. Misalnya, cara hidup yang digunakan oleh negara sosialis tertentu untuk

mengakhiri pengangguran dan kemiskinan tidak bisa dibuat sebagai bagian dari

strategi Islam untuk memberantas kemiskinan karena Islam menentangnya.

Demikian pula, pemerataan pendapatan fungsional, yang dalam negara yang

berdasarkan system Islam pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan pasar meski

negara diharapkan untuk campur tangan setiap kali mempertimbangkan keadilan

social memerlukan intervensi tertentu.


76

Filosofi sosialis tidak banyak bersandar pada instink filantropi manusia

untuk membantu upaya pemberantasan kemiskinan dan penurunan ketidakadilan

pendapatan. Sosialisme tanpa ragu-ragu menyatakan secara langsung penerimaan

tanggungjawab kolektif untuk memberantas kemiskinan dan menyetujui prioritas

yang tinggi terhadap keringanan penderitaan dan ketidakberuntungan masyarakat.

Akan tetapi, secara eksklusif ia bersandar pada alat negara untuk mencapai tujuan

ini. Di lain pihak, Islam mewajibkan peranan infaq yang menonjol (pemberian

sukarela demi kesejahteraan kaum miskin) dalam memperkuat pola pemerataan

pendapatan. Islam menerpakan system yang menitikberatkan motivasi yang tajam,

berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, untuk menciptakan dorongan

terhadap kelompok masyarakat yang berlebih untuk memberi amal kesejahteraan.

Selain menolong mengatasi masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan,

pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan rasa solidaritas social, sedangkan

tujuan pendekatan sosialisme adalah murni mekanisitik dan impersonal.

Proses-proses sosial untuk mengkoordinasikan ekonomi juga menandai

perbedaan antara kedua system. Negara sosialis mempengaruhi kebijaksanaan

mereka melalui system perencanaan terpimpin yang komprehensif dan

mengembangkan mesin birokratis yang terperinci, walau ada juga beberapa

contoh sosialisme desentralisasi dan mereka banyak melakukan upaya

memperbarui system untuk memindahkan kekuasaan dan menyebarluaskan

kekuatan dan tanggungjawab. Komoditas produksi campuran ditentukan secara

umum oleh kekuasaan negara dan dapat berbeda-beda tergantung dari pilihan-

pilihan konsumen. Harga komoditas dikontrol. Perbedaan upah didalam

masyarakat sosialis juga ditentukan oleh para penguasa negara, dan dengan
77

demikian tidak banyak diperlukan kebijakan fiscal dan moneter untuk memberi

perubahan yang diinginkan dalam pola pemerataan pendapatan. Di lain pihak,

dalam system Islam keputusan produksi pada dasarnya tidak diatur oleh kekuatan

perencanaan yang terpusat, tetapi meresponsi permintaan konsumen meskipun

mungkin ‘kedaulatan konsumen’ agak terbatas jika perintah-perintah Islam sangat

dituntut. Harga- harga komoditas ditentukan oleh factor-faktor persediaan dan

permintaan, dan pemakaian control harga tidaklah disukai kecuali dalam keadaan

yang luar biasa. Perbedaan upah secara umum ditentukan oleh kekuatan pasar.

Kekuatan pasar diperkenankan untuk beroperasi dalam komponen pasar yang lain

meskipun negara diharapkan untuk campur tangan bila pasar menghasilkan

penderitaan bagi kelompok penduduk miskin dan berjalan berlawanan dengan

tujuan-tujuan sosio-ekonomi yang lain. Berbeda dengan kedudukannya dalam

negara sosialis, maka kebijakan mengenai moneter dan fiscal dalam

perekonomian Islam diharapkan memainkan peranan penting dalam

menghasilkan perubahan-perubahan yang diinginkan terhadap pola pemerataan

pendapatan.

Pendekatan ekonomi kesejateraan dan keadilan syariah terhadap

pemberantasan kemiskinan dan penahanan ketidakadilan pendapatan dan

kekayaan dalam ‘batasan-batasan yang diterima’ memiliki keunggulan tertentu

yang membedakannya dengan pendekatan yang diterapkan dalam sistem

perekonomian kapitalis untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan dan

ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Keunggulan yang paling membedakan

adalah bahwa pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap


78

pemberantasan kemiskinan merupakan sifat perintah dari sistem jaminan sosial

Islam. Al Qur’an menyatakan:

Artinya : “Ambillah zakat dari kekayaan mereka, dimana dengannya akan

membersihkan dan membuat kekayaan mereka bertambah…” (QS . 9 : 103)

Keunggulan sistem jaminan sosial Islam yang utama, sebagaimana

mengambil bentuk dari masa periode Islam yang pertama, yaitu masa Rasulullah

dan Kulafaur Rasyidin. Para ahli hukum menyetujui bahwa, terlepas dari tahap

pembangunan sebuah negara dan income per kapitanya, ajaran-ajaran Islam

mengikatkan negara untuk mengelola sistem jaminan sosial dengan suatu

pandangan yang dapat memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tetap

tercabut dari keperluan hidup yang mendasar. Tidak ada kekuatan tertentu yang

memaksa didalam filosofi kapitalis mengenai pembangunan. Sejarah kapitalisme

memperlihatkan bahwa hingga seperempat abad ini, negara-negara kapitalis yang

berkembang bahkan tidak berpikiran untuk membuat sistem jaminan sosial yang

komprehensif. Malahan sekarang perasaan umum yang nampak adalah bahwa hal

tersebut merupakan kemewahan yang hanya dapat dicapai oleh negara-negara

yang sangat kaya saja. Dan meskipun berkembang perhatian yang semakin besar

terhadap kaum miskin, namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa negara-

negara kapitalis tetap tidak memiliki ‘perlindungan yang aman’ bagi kaum

miskin.

Sistem jaminan sosial yang telah dilembagakan dinegara-negara yang

sangat berkembang selama abad ini memperoleh sejumlah dukungan pada saat itu.

Akan tetapi, tidak seperti sistem Islam (Syariah), sistem jaminan sosial tersebut

tidak berdasarkan pada kesucian agama apapun sehingga manfaat yang mengalir
79

kepada kelompok masyarakat yang miskin tidak diterima dengan sebenarnya.

Pada kenyataannya, berbagai lobi muncul dari kelompok yang lebih menyukai

adanya penghentian sistem jaminan sosial. Kelompok-kelompok politik yang

berpengaruh disejumlah Negara industri yang berkembang mendukung penurunan

jangkauan bahwa disejumlah Negara yang memiliki system jaminan sosial yang

baik tidak ditemukan komitmen pemerintah yang tegas bahwa setiap orang yang

membutuhkan akan memperoleh jaminan penghasilan minimum. Bertentangan

dengan hal ini, dalam system Islam, setiap manusia harus mendapat jaminan

tingkat kehidupan minimum, dan banyak ahli hukum mempunyai pandangan

bahwa perlindungan yang sah harus diberikan sesuai dengan prinsip pemenuhan

kebutuhan sehingga setiap warganegara bisa mengadu ke pengadilan untuk

memperoleh pelaksanaan prinsip ini.

Keistimewaan sistem jaminan sosial Islam yang khas lainnya adalah

bahwa syariah menitikberatkan secara khusus pemberantasan kemiskinan,

sedangkan program-program jaminan sosial negara-negara kapitalis maju

dirancang untuk seluruh warga negara, tanpa memperhatikan posisi keuangan

mereka masing-masing. Barangkali karena alasan inilah sehingga meskipun

bentuk program-program jaminan sosial tersebut berukuran luas, akan tetapi

kemiskinan tidak terberantas secara sempurna dinegara-negara ini. Program

jaminan sosial dinegara-negara kapitalis maju secara umum terstruktur sebagai

sebuah sistem yang bersifat kesejahteraan dan jaminan. Dalam kebanyakan

permasalahan, sifat jaminan jauh lebih berbobot daripada sifat kesejahteraan.

Banyak analis memiliki pandangan bahwa dinegara-negara kapitalis maju, kaum

miskin menerima transaksi yang relative sedikit dari masyarakat, dan sejumlah
80

uang yang sangat besar diredistribusi oleh tindakan pemerintah yang

mencerminkan transaksi ‘ulang alik’ diantara kelompok berpendapatan menengah

(Siddiqi, 1988:251-286).

Sifat yang sangat istimewa dari sistem jaminan sosial Islam adalah bahwa

ia mencoba untuk memberantas kemiskinan melalui sebuah pendekatan yang

multi cabang dan tidak hanya membatasi dirinya pada mendermakan uang kepada

kaum miskin untuk penyambung hidup belaka. Pada kenyataannya, system ini

dirancang menurut sifat alamiah dan apat menggunakan cara-cara yang beragam

untuk mencegah kemiskinan dan menghilangkan penderitaan yang disebabkan

oleh kemiskinan. Sejarah masa periode Islam yang pertama memperlihatkan

bahwa system jaminan social bahkan dibayarkan untuk biaya perkawinan bagi

orang-orang yang benar-benar dalam kesusahan dan juga untuk membayarkan

hutang seseorang yang sudah meninggal. Penekanan dititikberatkan pada

pemanfaatan sistem jaminan social untuk menolong orang-orang yang tidak

mempunyai pekerjaan dengan memberikan aset modal kepada mereka agar

mereka memperoleh penghasilan hidup. Berbagai studi tentang program system

jaminan social di negara-negara kapitalis maju menunjukkan bahwa penekanan

utama dari program-program tersebut adalah pada ‘pemberian kompensasi bagi

orang-orang yang tidak bekerja’ daripada menolong orang-orang yang secara tak

sengaja menganggur dengan memberi pekerjaan yang menguntungkan (Ornati.

1966:115-119).

Bagian terbaik dari program sistem jaminan sosial yang dilaksanakan

dinegara-negara kapitalis maju adalah ia dibiayai oleh pajak penghasilan. Untuk

kebanyakan ahli waris, bagian yang terbaik pada dasarnya adalah program
81

pension, yang baik pengusaha maupun pekerja turut mengambil andil dalam

pembiayaan program. Pajak yang dibayarkan oleh kelompok kerja digunakan

untuk membayar para pensiunan. Artinya bahwa, setiap generasi dari pekerja

memberikan bantuan pada kelompok non-kerja atau yang tidak memenuhi syarat

untuk bekerja secara mutlak menginginkan perlakuan yang sama. Sifat system

jaminan social Islam mempunyai cirri yang berbeda. Unsur pension sama sekali

tidak diperhitungkan. Ataupun sifatnya sebagai rencana simpanan sumbangan

wajib bagi masa depan. Sistem jaminan sosial Islam hanya mencerminkan dana

solidaritas dimana dana tersebut diperoleh dari bagian kelompok penduduk yang

berlebih (kaya) dan diperuntukkan membantu mereka yang fakir miskin.

Kebaikan yang memenuhi syarat dari system jaminan sosial Islam tidaklah

bergantung pada seseorang yang lazim memberikan sumbangan terhadap

pembiayaan system ataupun kebaikan yang diterima tidak berkaitan dengan

sumbangan utama seseorang.

Sistem jaminan sosial Islam bertujuan untuk mencegah dan mengatasi

kemiskinan. Akan tetapi, hanya ada satu unsur dari kerangka kerj kebijaksanaan

yang dilaksanakan Islam untuk menghadapi permasalahan ini. Beberapa unsur

dari paket kebijaksanaan yang dibahas, semuanya bertujuan untuk menolong

upaya memberantas kemiskinan.

Selain memberantas kemiskinan, memelihara pemerataan yang adil juga

berada dalam urutan yang paling tinggi dalam prioritas social dari ekonomi

kesejahteraan dan keadilan syariah. Keistimewaan pendekatan ekonomi

kesejateraan dan keadilan syariah yang paling khas adalah memuat ‘batasan-

batasan yang diterima’ dalam ketidakadilan pendapatan dan kekayaan dimana


82

ukuran pemerataan atau redistribusi dirinci secara tegas menurut syariah

(pedoman yang diberikan oleh Al Qur’an dan Sunnah) yang wajib dilaksanakan,

ukuran lainnya yang dipakai harus tidak melanggar ajaran-ajaran Islam dan harus

tidak melanggar ajaran-ajaran Islam dan harus memenuhi persyaratan al-adl

(keadilan). Juga patut diperhatikan bahwa untuk mencapai tujuan pemerataan

yang adil, Islam tidak mengandalkan badan pemerintahan sendiri tetapi mencoba

untuk mengaktifkan kesadaran moral manusia untuk bertindak adil terhadap

sesamanya dan menolong orang-orang yang membutuhkan dengan semangat

persaudaraan yang universal.

Secara khusus sistem ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah

mengamanatkan negara untuk melembagakan pungutan khusus yang dikenal

dengan zakat yang diperolehnya hanya dapat digunakan untuk tujuan-tujaun yang

telah ditetapkan. Selama ruang lingkup zakat adalah pada kelompok penduduk

yang kaya dan perolehannya diutamakan dikeluarkan untuk memberantas

kemiskinan selama masih ada kemiskinan, hal ini berlaku sebagai tujuan

redistribusi. Secara luas, zakat dikeluarkan untuk bentuk aset-aset yang produktif,

sehingga perolehan zakat membri peningkatan pendapatan bagi kelompok

penduduk miskin.

Pemerataan harta kekayaan orang yang meninggal sesuai dengan hukum

warisan secara tegas dinyatakan dalam syariah berjasa untuk menurunkan

ketidakadilan pendapatan dan kekayaan setiap waktu dalam masyarakat Islam.

Keistimewaan hukum warisan Islam bersandar pada kenyataan bahwa, jika

dibandingkan dengan hukum warisan dan adat istiadat yang lazim dibanyak
83

masyarakat lainnya, maka hokum warisan Islam menghasilkan penyebaran

penumpukan kekayaan yang meluas.

Ajaran-ajaran Islam sangatlah melarang semua bentuk transaksi yang

berdasarkan bunga. Pelarangan ini menyingkirkan kemungkinan bentuk

pertambahan kekayaan apapun terhadap pemilik modal uang, kecuali jika

pemakaian modal tersebut menciptakan pertambahan kekayaan. Eksploitasi

terhadap kelompok penduduk yang lemah oleh penyewa uang pribadi, yang

memungut tingkat bunga yang sangat tinggi, tidak dapat dibenarkan dalam

ekonomi kesejateraan dan keadilan syariah yang harus mengadakan ketetapan

alternative untuk memenuhi kebutuhan keuangan dari seluruh bagian masyarakat

sesuai dengan cita-cita Islam yang ideal terhadap keadilan sosial.

Islam menguraikan sejumlah keistimewaan hukum keluarga, yang diantara

hukum-hukum lainnya berbeda, memberikan hak yang sah bagi kerabat dekat

tertentu untuk menuntut bantuan pemeliharaan dari mereka yang berada dalam

posisi baik untuk menolong. Ajaran-ajaran Islam mendorong manusia untuk

membantu secara sukarela kerabat-kerabat mereka yang miskin dan apabila ajaran

ini diabaikan, maka pengadilan berwenang untuk menyelenggarakan bantuan

perlindungan yang layak.

Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menerapkan pendekatan yang

khas dalam mengatur hasil keuntungan dari berbagai faktor-faktor produksi untuk

meningkatkan pemerataan yang adil. Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah

menolak keuntungan apapun yang diperoleh dari modal uang kecuali jika pemilik

modal bersedia berbagi resiko bisnis (usaha) yang berasal dari modal tersebut.

Berbagi laba/rugi dipandang sebagai sistem yang lebih adil. Ajaran-ajaran Islam
84

menekankan bahwa buruh harus dijamin dengan ‘upah yang adil’ yang

melindungi martabat manusia. Negara diharapkan untuk turut campur tangan

setiap kali pemilik factor produksi tampak mengeksploitasi pihak yang lemah

dalam proses produksi.

Ajaran-ajaran Islam menguraikan dengan agak terperinci pedoman-

pedoman yang mengatur praktek-praktek bisnis dan mempercayakan negara

dengan tanggung jawab untuk menjamin praktek-praktek nyata sesuai dengan

pedoman-pedoman tersebut. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan

pihak yang lemah dan mencegah keuntungan yang tidak patut dalam transaksi

bisnis apapun. Pada masa periode Islam yang pertama sebuah lembaga khusu

dibuat yang dikenal dengan hisbah, selain hal-hal lainnya, yang memiliki

tanggungjawab untuk meningkatkan praktek-praktek bisnis yang adil.

Islam memperkenankan sejumlah fleksibilitas bagi penguasa negara yang

dalam hal tertentu tidak diperintahkan oleh syariah. Pada kenyataannya, syariah

hanya menguraikan elemen-elemen penting dari dasar strategi, sedangkan ukuran

kebijaksanaan yang terperinci mesti disusun oleh para penguasa negara sesuai

dengan keadaan masing-masing negara. Satu-satunya persyaratan adalah bahwa

berbagai kebijaksanaan yang diadopsi harus memberikan kontribusi yang positif

terhadap realisasi maqasid (tujuan-tujuan) tanpa menyebabkan pelanggaran

apapun terhadap prinsip-prinsip syariah. Unsur-unsur utama dari kerangka kerja

kebijaksanaan yang memuat ketidakadilan pendapatan dan kekayaan menurut

‘batasan yang diterima’ dalam keadaan sekarang, sebagaimana disimpulkan dari

ajaran-ajaran Islam.
85

Beberapa kebijaksanaan dari paket kebijaksanaan yang menyerupai

sejumlah kebijaksanaan yang dipakai oleh negara-negara kapitalis setelah

menanggalkan kebijakan laissez-faire dibawah rezim ‘kapitalis yang dikelola’.

Akan tetapi, bahkan dalam masalah-masalah ini sering terdapat perbedaan

penekanan dan nuansa kebijaksanaan. Khususnya, hal ini dapat diketahui dalam

hal peranan ‘kedaulatan konsumen’ dan kebijakan moneter, fiscal dan kebijakan

perintah lainnya yang menentukan pengalokasian sumber-sumber daya.

Komposisi hasil di negara-negara kapitalis secara umum ditentukan oleh

pilihan-pilihan konsumen. Dalam sistem Ekonomi kesejahteraan dan keadilan

syariah juga, pilihan-pilihan konsumen memberikan ruang lingkup yang luas

tetapi ‘kedaulatan konsumen’ tunduk pada pengendalian sesuai dengan

kepentingan keadilan sosial. Filosofi kapitalis adalah bahwa manusia bebas

mengeluarkan penghasilannya denagn cara apapun yang ia sukai dan struktur

produksi haruslah menanggapi permintaan konsumen terlepas dari karakter dari

permintaan ini. Pengalokasian sumber daya yang dihasilkan dari interaksi antara

permintaan dan persediaan ini dianggap optimal. Dilain pihak, ajaran-ajaran Islam

menilai optimalitas alokasi sumber daya berasal dari sudut pandang al’adl (adil).

Para ahli hukum menggariskan perbedaan antara tiga jenis kebutuhan manusia

yang digolongkan sebagai daruriyyat (keperluan mendesak), hajiyyat (kesenangan

hidup) dan tahsiniyyat (budi pekerti). Para ahli hukum juga mengindikasikan

bahwa merupakan tanggungjawab masyarakat bersama untuk mengutamakan

pemenuhan daruriyyat terlebih dulu dari pada kedua kategori lainnya. Lebih

lanjut, dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah, komposisi hasil tidak
86

bisa dibiarkan untuk menentukan sendiri kekuatan pasar tetapi harus diatur

menurut kepentingan keadilan sosial.

Untuk alasan yang sama, kebijakan moneter, fiskal dan kebijakan

pemerintah lainnya tidak dapat menjadi nilai netral dalam Ekonomi kesejahteraan

dan keadilan syariah. Dinegara-negara kapitalis kebijakan moneter pada

umumnya berkaitan dengan stabilitas moneter dan pertumbuhan ekonomi, sedang

tujuan-tujuan keadilan dalam pemerataan tidak diperhitungkan secara jelas

sebagai tujuan kebijakan moneter. Pada kenyataannya, penyelenggaraan sistem

perbankan tampak menjadi faktor yang penting dalam mempertajam ketidakadilan

pendapatan dan kekayaan disejumlah negara. Bank-bank dalam negara-negara

kapitalis menyediakan uang terutama pada para pengusaha ‘creditworthy’ yang

umumnya sudah memiliki kekayaan pribadi yang besar jumlahnya dan

kemampuan menawarkan jaminan yang disyaratkan oleh bank. Bank juga

mempraktekkan ‘diskriminasi harga’ dengan memungut tingkat bunga yang lebih

rendah kepada klien kaya yang mengambil kredit dalam jumlah yang besar.

Kedua faktor ini cenderung mempertambah ketidakadilan pendapatan dan

kekayaan. Di lain pihak, kebijakan moneter diharapkan memainkan peranan yang

penting dalam upaya mencapai tujuan-tujaun egaliter dari Ekonomi kesejahteraan

dan keadilan syariah (Chapra, 1985:173-174).

Kebijakan fiskal dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah

dibatasi oleh sejumlah norma yang diuraikan dalam syariah. Negara tidak bisa

menerima pinjaman yang didasarkan bunga untuk menutupi anggaran belanja

defisit. Ajaran-ajaran Islam menekankan perekonomian sepenuhnya pada

pengeluaran pemerintah. Banyak ahli hukum yang mengkaitkan hal ini dengan
87

ketegasan Al Qur’an mengenai pemborosan yang dilakukan oleh individu maupun

pemerintah. Ajaran-ajaran Islam juga menekankan pajak harus diambil hanya dari

biaya ‘pengeluaran pokok’ dan beban pajak harus didistribusikan secara adil.

Meski pemerintah dalam perkonomian Islam tidak dihalangi untuk menjalankan

anggaran deficit, tetapi pemerintah harus mengelola keuangannya dehingga

stabilitas moneter tetap terpelihara. Ekonomi dalam pengeluaran pemerintah,

keadilan dalam pemerataan beban pajak, dan kebijakan ‘keuangan yang bijaksana’

diterima sebagai norma yang diinginkan dari kebijakan fiskal dalam

perekonomian kapitalis juga ajaran-ajaran Islam menginvestasikan mereka dengan

tekanan moral yang lebih besar.

Selain kebijakan moneter dan fiskal, seluruh orientasi kebijakan

pemerintah lainnya memiliki pengaruh yang penting terhadap pola pemerataan

pendapatan. Telah diamati bahwa meskipun tujuan-tujuan egalitar dinyatakan,

namun kebijakan-kebijakan pemerintah di negara-negara kapitalis tidak

menghasilkan keberhasilan dalam menurunkan ketidakadilan pendapatan dan

kakayaan sementara di negara-negara lain ketidakadilan cenderung meningkat

setiap waktu. Kebanyakan negara kapitalis tetap berikrar untuk meningkatkan

kondisi pasar bersaing tetapi pada kenyataannya praktek perekonomian di banyak

negara diciri-cirikan dengan elemen-elemen monopoli. Kelemahan kekuatan

persaingan dan munculnya struktur pasar yang oligopolistik dalam banyak bidang

kegiatan menghasilkan akibat-akibat yang tidak diinginkan terhadap pola

pemerataan pendapatan. Sejarah perekonomian negara Amerika Serikat dan

sejumlah negara Eropa memperlihatkan bahwa setiap waktu pengontrolan industri

semakin dan lebih terpusat. Hal ini menyebabkan beberapa penulis


88

menggambarkan system perekonomian pada saat itu di negara-negara yang

disebutkan tadi sebagai ‘kapitalisme monopoli’. Serupa dengan hal ini, di banyak

negara sedang berkembang, berbagai kebijakan pemerintah yang berhubungan

dengan perdagangan, bea cukai, dan perindustrian serta perizinan terhadap pola

pemerataan pendapatan. Dalam kerangka kerja Islam, semua kebijakan

pemerintah diharapkan mengikuti petunuj yang ditetapkan dalam ayat 59 : 7 dari

Al Quran, bahwa kekayaan tidak diperkenankan menjadi ‘barang dagangan antara

kaum kaya di antara kamu’.

Akan tampak dalam pembahasan ini bahwa negara diharapkan memainkan

peranan yang sangat penting dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah

untuk memberantas kemiskinan dan membolehkan ketidakadilan pendapatan dan

kekayaan dalam batasan-batasn yang diterima. Hal ini tanpa menyebutkan bahwa

untuk memperlengkapi pengharapan ini maka para penguasa perlu mengikuti

petunjuk dari ajaran-ajaran Islam.

Islam tidak mengandalkan badan pemerintahan saja untuk menghasilkan

pemerataan yang adil. Islam mencoba untuk membuat para pengikutnya memiliki

perasaan tanggungjawab sosial yang kuat terhadap kesejahteraan kelompok

masyarakat yang miskin. Jika ajaran-ajaran Islam dilaksanakan, maka pemerataan

yang adil dapat dicapai sementara kebebasan individu terpelihara dan cara hidup

yang teratur dihindari. Ada satu bagian dalam buku ini yang mengemukakan

bahwa beberapa analis mengemukakan sejumlah pesimisme terhadap

kemungkinan memberantas kemiskinan di negara-negara sedang berkembang

dimana mereka sangat meragukan kelompok yang berpendapatan tinggi akan

bersedia untuk memberikan perngorbanan tertentu yang diperlukan. Keengganan


89

ini diatasi dengan memasukkan nilai-nilai moral yang mendorong manusia untuk

melihat lebih jauh dari kepentingan dirinya sendiri. Meningkatkan gagasan saling

ketergantungan dari pemanfaatan fungsi, dapat juga membantu mengatasi masalah

ini. Terakhir sangat jelas terlihat bahwa di sejumlah wilayah penting,

perekonomian beratanggungjawab atas pelaksanaannya yang tidak bagus sebab

tanpa memanfaatkan ‘perbuatan baik’ yang minimal. Sejumlah karya mengenai

peranan altruisme dalam perekonomian telah muncul dalam tahun-tahun trakhir.

Sumbangan ini banyak menekankan bahwa sekali persepsi seseorang tebangun,

maka perbuatan baik menjadi perilaku yang rasional dan dapat diharapkan

menyebar diseluruh masyarakat. Yang dimaksud dari perspektif ini, adalah

pemberantasan kemiskinan dan pemeliharaan keadilan pemerataan yang lebih

besar, sebagai tujuan-tujuan yang ingin dicapai.


90

BAB 3

KESIMPULAN

Kesejahteraan yang berkeadilan merupakan komponen yang paling

penting dalam ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah. Ekonomi

kesejahteraan dan keadilan syariah berpihak pada upaya pemberantasan

kemiskinan absolute yang sempurna dan pengorganisasian kehidupan ekonomi

dengan suatu cara dimana kebutuhan dasar seluruh masyarakat dapat terpenuhi.

Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah tidaklah menyeru permusuhan semua

ketidakadilan pendapatan dan kekayaan tetapi mewaspadai ketidakadilan yang

terlalu menyolok. Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan – kebutuhan dasar bagi

seluruh rakyat, maka ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menyatakan

suatu prinsip bahwa kaum miskin “berhak” atas pendapatan dan kekayaan anggota

masyarakiat lainnya yang berlebihan (kaya). Hukum-hukum Islam dan ajaran-

ajaran ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah dalam bidang produksi,

konsumsi, transaksi, dan pemerataan dan menjamin pola pemerataan pendapatan

dan kekayaan yang adil (merata).


91

Hal-hal yang pokok dari kerangka kerja ekonomi kesejahteraan dan

keadilan syariah terhadap upaya pemberantasan kemiskinan dan pencapaian

pemerataan pendapatan dan kekayaan yang adil (merata) sebagaimana

disimpulkan dan dipandang dari ajaran-ajaran Islam. Pertama-tama, ekonomi

kesejahteraan dan keadilan syariah mendorong usaha yang produktif. Ia

menganjurkan seluruh orang yang bertubuh sehat untuk memeliki penghasilan

hidup dan berhenti mencari bantuan dari orang-orang lain kecuali dalam keadaan

darurat yang sangat mendesak membutuhkan pertolongan. Dengan cara membuat

strategi bagi pembangunan, maka pesan-pesan umum ekonomi kesejahteraan dan

keadilan syariah adalah perubahan yang dinamis dari waktu ke waktu melalui

kemajuan teknologi. Disamping tingkat pertumbuhan yang menyeluruh, ekonomi

kesejahteraan dan keadilan syariah sangat memperhatikan mekanisme

pertumbuhan dan pola pertumbuhuan. Islam memerpertim bangkan kegiatan yang

produktif untuk dilaksanakan terlebih dahulu yang didasarkan pada perusahaan

swasta tetapi juga memberi hak bagi Negara untuk mempengaruhi dan mengatur

pekerjaan sector swasta agar tujuan-tujuan ekonomi kesejahteraan dan keadilan

syariah tercapai. Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menginginkan

bahwa sebaiknya pertumbuhuan menjadi landasan utama, dan pembangkitan

kesempatan kerja yang layak secara maksimum merupakan tuntutan yang terkuat

sebagai prioritas utama dalam strategi pertumbuhuan yang berorientasi syariah.

Ajaran-ajaran Islam menguraikan kode etik bisnis yang komprehensif

yang mencoba untuk menghilangkan seluruh bentuk praktek eksploitatif. Tujuan

utama mengatur praktek bisnjios adalah untuk mencegah pengkayaan yang tidak
92

patut dari beberapa orang atas pengeluaran banyak orang dan juga untuk

mengekang ketidakadilan pendapatan dan kekayaan.

Islam sangat menentang stratifikasi social dan menekankan pada

kesempatan yang adil. Hak memiliki harta kekayaan pribadi di dalam Islam

dibebani oleh beberapa kewajiban tertentu. Apabila kewajiban-kewajiban tersebut

tidak diamalkan, maka Negara dapat turut campur tangan demi kepentingan

keadilan social. Pemerataan harta kekayaan orang yang sudah meninggal harus

dijalankan dengan cara tegas sesuai dengan hokum-hukum warisan Islam yang

menghasilkan penyebaran timbunan kekayaan antar generasi.

Ajaran-ajaran Islam memiliki sikap yang penting terhadap factor

kemitraan dan pemerataan pendapatan fungsional yang selanjutnya mempunyai

implikasi terhadap ukuran pemerataan pendapatan perseorangan. Modal uang

menolak hak keuntungan apapun jika ia hanya dipinjamkan pada orang lain untuk

bebrapa waktu yang ditentukan. Hal ini berarti bahwa tidak seorangpun dalam

system perekonomian Islam yang dapat memperoleh penghasilan dengan cara

memungut bunga.

Pembagian keuntungan/kerugian lebih disukai sebagai sistem pengaturan

faktor keuntungan yang adil. Ajaran-ajaran Islam menekankan agar buruh dijamin

dengan ‘upah yang adil’ yang memelihara kehormatan manusia. Negara

diharapkan untuk mengintervensi pada setiap saat pemilik faktor produksi

diketahui mengeksploitasi pihak yang lemah dalam proses produksi.

Islam sangat mendorong pemberian sukarela untuk kesejahteraan kaum

miskin. Memberi makan orang yang kelaparan ditegaskan berulang-ulang,

sedemikian sehingga menghardik anak yatim dan mengabaikan pemberian


93

makanan kepada kaum miskin adalah sama dengan mendustakan agama. Jumlah

kekayaan yang harus dikeluarkan untuk kesejahteraan kaum miskin tidak

diperinci secara khusus menurut ketentuan yang jelas. Betapapun, petunjuk umum

dalam salah satu ayat dalam Al Qur’an bahwa setiap pertambahan kekayaan diatas

kebutuhan hidup seseorang harus dikeluarkan. Hukum-hukum keluarga Islam

memberikan hak yang sah terhadap kerabat dekat tertentu untuk menuntut bantuan

pemeliharaan dari orang-orang yang berada dalam posisi untuk membantu.

Ajaran-ajaran Islam mendesak manusia untuk memberikan bantuan secara

sukarela kepada kerabat dekat yang miskin, akan tetapi jika ajaran-ajaran ini

diabaikan, maka pengadilan mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan

bantuan penyelelenggaraan yang layak.

Kebijakan moneter dan fiskal diharapkan memainkan peranan yang sangat

penting dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan mengekang ketidakadilan

pendapatan dan kekayaan dalam system perekonomian Islam. Kebijakan pajak

harus memiliki nilai keadilan dan berhenti dari mempertambah ketidak adilan

pendapatan dan kekayaan. Pemberantasan kemiskinan dan penghilangan

penderitaan yang dialami oleh kelompok penduduk yang miskin harus

diperhitungkan secara jelas dalam prioritas pengeluaran publik. Untuk membantu

mencapai tujuan-tujuan sosio-ekonomi Islam, maka kebijakan moneter perlu

digunakan untuk mengatur penggunaan sumber dana keuangan system

perbankkan sehingga secara berarti menolong ketidak adilan pendapatan dan

kekayaan dan mendapatkan hasil campuran yang sesuai dengan batasan prioritas

Islam. Kebijakan fiskal dan moneter diharapkan meningkatkan stabilitas moneter,

yang selain hal-hal lainnya mengamankan kepentingan kaum miskin.


94

Ajaran-ajaran Islam membebankan pada Negara tanggungjawab yang

penting untuk menjamin sedikitnya standar kehidupan minimum seluruh

warganegara. Berkaitan dengan hal ini, merupakan kewajiban Negara untuk

menetapkan system jaminan social yang religius dengan menobatkan pemungutan

zakat (hak orang yang miskin) agar memainkan peranan utama. Bagian terbesar

dari pembiayaan yang dibutuhkan untuk melaksanakan system jaminan social

Islam diharapkan dating dari hasil perolehan zakat. Betapapun, sekiranya hasil

perolehan zakat tidak mencukupi untuk tujuan tersebut, maka pembiayaannya

harus ditamabhkan dari dana anggaran umum sejumlah yang dianggap perlu.

Studi ini mencoba untuk mengemukakan keistimewaan pendekatan Islam

terhadap permasalahan kemiskinan dan pemerataan pendapatan dengan

membandingkan pendekatan sistematis tertentu lainnya. Buku ini meninjau sikap

dan kebijaksanaan masa kuno hingga masa modern terhadap kemiskinan dan

ketidakadilan pendapatan dan kekayaan, dan secara khusus mencatat beberapa

kesamaan dan perbedaan antara pendekatan Islam dengan dua pendekatan yang

dipengaruhi oleh dua sistem terbesar yaitu kapitalisme yang dikelola dan

sosialisme. Terlihat bahwa meskipun Islam berbagi dengan sosialisme dalam hal

pemerataan pendapatan dan kekayaan yang adil, namun Islam dengan tegas

menentang aspek-aspek kebijaksanaan

Jika dibandingkan dengan kapitalisme yang dikelola, maka yang paling

istimewa dari pendekatan Islam terhadap pemberantasan kemiskinan adalah sifat

pemerintah dari sistem jaminan sosialnya. Dari sejarah kapitalisme terlihat bahwa

sampai seperempat abad yang pertama dari abad ini, negara-negara yang sangat

maju dari negara kapitalis tidak berfikir untuk membuat sebuah sistem jaminan
95

sosial yang komprehensif. Dan sampai sekarangpun ada pemikiran umum bahwa

sistem jaminan sosial merupakan suatu kemewahan dimana hanya negara-negara

yang sangat kayalah yang mampu melakukannya. Fakta yang ada adalah bahwa

meski terdapat perhatian yang berkembang terhadap keadaan kaum miskin, akan

tetapi mayoritas negara-negara yang kapitalis tetap tidak memberi ‘jaminan

keamanan’ bagi kaum miskin. Bertentangan dengan hal ini, ajaran-ajaran Islam

mengikat negara untuk mengorganisir sebuah sistem jaminan sosial yang dapat

menjamin pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat, terlepas dari tahap-

tahap pembangunan sebuah negara dan sistem jaminan sosial dan income per

kapita negara tersebut. Studi ini juga mencatat titik-titik perbedaan yang utama

antara pendekatan Islam dan sistem jaminan sosial dari negara-negara yang

berekonomi maju pada saat ini.

Beberapa kebijakan yang dianjurkan oleh Islam untuk kepentingan

pemerataan yang adil banyak menyerupai kebijakan sejumlah negara kapitalis

yang memilih mengikuti kebijakan setelah ditinggalkannya kebijakan laissez-

faire. Namun demikian, ada beberapa perbedaan yang berkenaan dengan

penekanan dan nuansa dari kebijaksanaan. Hal ini dapat diketahui dari peranan

‘kedaulatan konsumen’ dan kebijakan moneter, fiskal serta kebijakan-kebijakan

lainnya untuk menentukan pengalokasian sumber daya.


96

DAFTAR PUSTAKA

Abbaasi, .M..,K.W. Hollman dan J.H. Murray, 1990. Islamic Economics:

Foundations and Practices. International Journal of Social Economics.

Jilid V.

Ahmad, Ziauddin. 1998. Islam, Proverty and Income Distribution. The Islamic

Fondation, Lahore

Aronsson,T.,Lofgren,K.G. and Backlund,K. 2004. Welfare Measurement In

Imperfect Markets : A Growth Theoretical Approach, Cheltenham,

Edward Elgar.

Arrow, K.J. and Scitowsky,T. 1969. Readings in Welfare Economics,

HomeWood, hal.255-283

Asheim,G.B. and Buchholz,W. 2004. A General Approach to Welfare

Measurement Through National Income Accounting, Scandinavian Journal

of Economic 106, hal. 361-384.


97

Asheim,G.B. and Weitzman,M.L. 2001. Does NNP Growth Indicate Welfare

Improvement?, Economics Letters 73, hal. 233-239.

Atkinson, A. 1975. The Economics of Inequality, Oxford University Press,

London.

Besley,Timothy. 2002. Welfare Economics and Public Choice, London School of

Economics and Political Science, London, April., hal 1-3.

Boadway,R.W. 1974. The Welfare Foundations of Cost-Benefit Analysis,

Economic Journal 86, Desember, hal. 926-939.

Bornstein, Morris. 1973. Plan and Market, Economic Reform in Eastern Europe,

Yale University Press.

Braudel, Fernand. 1982. Civilization and Capitalism, Harper & Row, hal.251-255.

Carbonell, A.F. 2002. Subjective Questions To Measure Welfare and Well-being,

Discussion Paper, Tinbergen Institute, Amsterdam, hal 1-5.

Chapra, M. Umer, 1970. The Economic System of Islam : Discussion of its Goal

and Nature, The Islamic Cultural Centre, London.

______________, 1979. Objectives of the Islamic Order, The Islamic Foundation,

United Kingdom.

______________, 1979. The Islamic Welfare State and its Role in the Economy,

The Islamic Foundation, United Kingdom.

______________, 1986. Toward a Just Monetary System, The Islamic

Foundation, United Kingdom.

______________, 1992. Islam and the Economic Challenge Order, The Islamic

Foundation, United Kingdom.


98

______________, 2000. The Future of Economics : An Islamic Perspective, The

Islamic Foundation, United Kingdom.

Choudhury, Masudul Alam and Houque, M. Ziaul. 2003 Islamic Finance: A

Westen Perspective – Revisited , International Journal of Islamic Financial

Services, Volume 5, Number 1, April-June

Chowdhury, A. Abdul Mannan. 1999. Resource Allocation, Investment Decision

and Economic Welfare : Capitalism, Socialism and Islam, University of

Chittagong, Banladesh

Creswell, John W. 1994. Research design : Qualitative & Quantitative

Approaches, SAGE Publicatios, London

Crone, P. 1987. Meccan Trade and Rise of Islam, Oxford, Basil Blackwell

Elliot, John E.. 1985. Comparative Economic Systms, Wadsworth Publishing

Company, Belmont, hal.408-429.

Fabozzi, Frank J Franco, Modigliani, Ferri, Michael G.,1994. Foundations of

Financial Markets and Institutios, Prentice-Hall Inc.

Friedman, Thomas L., 2001. The Lexus and The Olive Tree: Undertanding

Globalization, Achor Book, New York

Ghazali, Imam. 1937. Al-Mustasyfa, Al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, Kairo,

Vol.I hlm 139

Giddens, Anthony, 2000. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial

(Terjemahan dari Judul Asli: The Third Way: The Renewal of Social

Democracy), (Penerjemah: Ketut Arya Mahardika), PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, Cetakan ketiga, Juni, Tebal: (xxviii + 189) halaman


99

Griffin, Keith. 1989. Alternative Strategies for Economic Development,

Macmillan, London, hal.218-219.

Grutchy, Allan G. 1977. Comparative Economic Systms, Mifflin Company,

Houghton.

Hause,J.C. 1975. The Theory of Welfare Cost Measurement, Journal of Political

Economy 83, Juni, hal. 1145-1182.

Heilbroner, Robert.L, 1975. The Making of Economics Society, Prentice Hall,

hal.32.

Heilbroner, Robert dan Lester Thurow, 1994. Economic Explained, New

York:Simon & Schuster,

Hyman David N., 2005. Public Finance : A Contemporary Application of

Theory to Policy with Economic Applications, 8th Edition , New York,

Dryden Press.

Kakwani, Nanak C. 1980. Income Inequality and Proverty, Oxford University

Press, hal.397-398.

Kazarian, E. 1991. Finance and Economic Development, Islamic Banking in

Egypt, Lund Economic Studies No.45, University of Lund, Lund.

Kegley, Charles W., Wittkopfl Eugene R. , 2001. The Global Agenda: Issues and

Perspectives, , Penerbit: McGraw-Hill Higher Education – A Division of

The McGraw-Hill Companies, Inc., Singapore, International Edition, Sixth

Edition, Tebal: (xiv + 503) halaman.

Khaldun, Ibnu. 1964. Muqaddimah, hlm 3,4,39


100

Khan, M. Fahim 1999. Financial Modernization in 21st Century and Challenge

for Islamic Banking, International Journal of Islamic Financial Services,

Volume 1, Number 3, Oct-Dec.

Khan, M. Mushin 1979. Sahih Al-Bukhari : Arabic-English, Islamic University

Al-Medina Al-Munawara, Kazi Publication, Lahore, Vol.7 No.277.

hal.208-209

Little, I. 1973. A Critique of Welfare Economics, 2nd edition, Oxford University

Press, London.

Lenski, Gerhard.E. 1966. Power and Privilege : A Theory of Social

Strattification, Mc Graw Hill.

Majid Fakhry, 1997. A Short Introduction in Islamic Philosophy, Theology and

Mysticism, Oneworld Publications, Oxford, England.

Mannan, M. A.,1970. Islamic Economics, Theory and Practic. The Islamic

Foundation, United Kingdom.

Marx, Karl. dan Engels, Friedrich. 1937. Manifesto of the Communist Party.

International Publishers Co., New York.

McKenzie,G.W. 1982. Welfare Measurement : A Syntesis, The American

Economic Review 72(4), September, hal. 669-682.

Nadwi, S.Abu Hasan Ali.1975. The Four Pillars of Islam, Majlis Nashreyat-e-

Islam, Karachi, Edisi kedua,hal.98.

Noman, Abdullah M. 2002. Imperatives of Financial Innovation for Islamic

Banking, International Journal of Islamic Financial Services, Volume 4,

Number 3, Oct-Dec..
101

Nomani, Shibli. 1962. Seeratun Nabi, Matbee Maarif Azamgarh, Karachi, Vol.1,

hal.573.

O'Connell, J. 1982. Welfare Economic Theory, Auburn House Publishing, Boston.

Ornati, Oscar. 1966. Proverty Amid Affluence, A Report on Research Project, The

Twentieth Century Fund, New York.

Perlman, Richard. 1976. The Economics of Proverty, Mc Graw Hill, hal.4-5.

Qureshi, Anwar Iqbal, 1946. Islam and the Theory of Interest, Lahore, Sh. Md.

Ashraf.

Rahardjo, Dawam, 2002. Sejarah Ekonomi Islam, The International Institute of

Islamic Thought, Jakarta, Indonesia

Rahman, Afzalur.,1980. Islamic Doctrine on Banking and Insurance, Muslim

Trust Company, London

Rahman, Yahia Abdul. 1999, Islamic Instruments for Managing Liquidity,

International Journal of Islamic Financial Services, Volume 1, Number 1,

Apr-Jun.

Ravallion, M. and Lokshin, M. .2000. Subjective Economic Welfare,

Development Research Group, World Bank.

Rosen, Harvey S.2005. Public Finance, McGraw-Hill.

Sabzwari, MA.1979. Zakah and Ushr with Special Reference to Pakistan,

Industries Printing Press, Karachi, hal.5

____________.1982. The Concept of Saving in Islam, An NIT Publication,

Karachi, hal.1
102

Samuelson, P.A. dan Nordhaus, William D. 1985. Economics, Edisi kedua belas,

Mc Graw Hll, hal.49.

Sarker, Abdul Awwal. 1999. Islamic Business Contracts : Agency Problems and

The Theory of The Islamic Firms , International Journal of Islamic

Financial Services, Volume 1, Number 2, Jul-Sep.

Schnitzer, Martin C. 1987. Comparative Economic Systms, South-Western

Publishing Group, Cincinnati.

Sen, Amartya. 1998. Social Choice, Welfare Distribution and Poverty, Trinity

College, Cambridge, United Kingdom..

Siddiqi, Muhammad Nejatullah.1982. Recent Work on History of Economic

Thought in Islamic Survey, International Centre for Research in Islamic

Economic, King Abdul Aziz University, Jeddah.

__________________________. 1988. Distributive Justice and Need Fulfilment

in on Islamic Economy, International Intitute of Islamic Economic,

Islamabad, The Islamic Foundation, Leicester, hal. 251-286.

Siddiqui, Amir Hasan.1962. Studies in Islamic History, The

Jamiyatul Falah Publications, Karachi, hal.102.

Smith,V.K. and Haefen,R.V. 1997. Welfare Measurement

and Representative Consumer Theory, Discussion

Paper, Washinton DC, hal.2-4.


103

Stiglitz, Joseph E. ,2002. Globalization and Its Discontent,

Penerbit: WW Norton & Company, New York –

London, Edisi pertama, Tebal: (xxii + 282) halaman.

Swasono, Sri-Edi. 2003. Ekspose Ekonomika : Kompetensi

dan Integritas Sarjana Ekonomi, Jakarta, UI-Press

_________________. 2004. Indonesia dan Doktrin

Kesejahteraan Sosal : Dari Klasikal dan Neoklasikal

Sampai ke The End of Laissez-Fair, Jakarta,

Perkumpulan PraKarsa.

Taleqani, Sayyed Mahmood. 1983. Islam and Ownership,

Mazda Publishers, Lexington. Hal.76-77.

Vartia, Y. 1983. Efficient Methods of Measuring Welfare

Change and Compensated Income in Terms of

Ordinary Demand Functions , Econometrica 51, hal.

79-98.

Wilson, R.,1983. Banking and Finance in the Arab Middle

East, Macmillan, London.


104

Woodhouse, Mark B.,1994. A Preface to Philosophy,

Wadsworth, A Division of International Thomson

Publishing Inc.

Yazdi, M. Taqi Mishbah. 1999. Philosophical Instructions :

An Introduction in Contemporary Islamic Philosophy,

Institute of Global Studies, University of Binghamton.

SISTEM EKONOMI ISLAM: Keniscayaan Menuju


Kesejahteraan Manusia
Publikasi 22/11/2003
hayatulislam.net ?

Pendahuluan
Sosialisme sebagai ideologi dunia boleh
dikatakan telah runtuh walau masih ada
negara yang menganutnya, yaitu sejak
keruntuhan komunis/ sosialis Sovyet pada
awal tahun 1990-an. Dengan demikian, saat
ini ideologi yang mendominasi dunia
adalah ideologi Kapitalisme yang
dipelopori oleh Amerika Serikat dan Eropa
Barat.
105

Apakah itu menandakan, bahwasannya


Kapitalisme sebagai ideologi keluar
sebagai
pemenang dan akan bertahan lama? Orang
banyak menganggap demikian, tetapi
sebenarnya Kapitalisme-pun sebagai sebuah
ideologi akan mengalami kehancuran
seperti apa yang diramalkan oleh Marx.
Karena bentuk dan pertumbuhan
kapitalisme historis seperti yang
diramalkannya, misalnya terjadinya
konsentrasi dan sentralisasi kekuatan
kapital dan terciptanya kemiskinan yang
cukup luas pada saat ini telah terjadi.

Memang secara global, sistem ekonomi yang


lahir dari ideologi Kapitalis ini
berangkat dari asumsi bahwa tujuan
seluruh aktivitas ekonomi adalah
(semata-mata) untuk mengejar puncak
kenikmatan yang bersifat materi, suatu
pemikiran yang lahir dari motivasi
manusia yang terendah (gharizah
baqa==naluri
mempertahankan diri). Berikutnya, kita
dapati realitas masyarakat yang
mengadopsi pemikiran ini, akan senantiasa
berusaha meraih nilai materi yang
sebesar-besarnya, -bahkan bila perlu-
dengan menghalalkan segala macam cara.
Selanjutnya, terbentuklah sekelompok
kecil kaum kapitalis yang mendominasi
sejumlah besar orang yang telah bekerja
keras dan senantiasa hidup dalam
kegelisahan, yang sebagian besar hidup
dalam kemiskinan dan tak mampu memenuhi
106

kebutuhan dasar (basic needs) mereka


Sedangkan dalam menghadapi problematika
yang ada, ekonomi Kapitalis tidak bisa
menjawab

krisis yang terjadi di dunia. Misalnya


dalam menghadapi krisis yang terjadi
sejak pertengan tahun 1997 sistem
Kapitalisme gagal dalam memulihkan
kembali
ekonomi bagi negara-negara yang terkena
krisis ekonomi. Hal itu dapat dilihat,
bagaimana badan internasional, seperti
IMF, World Bank, WTO, yang menangani
negara-negara yang kena krisis, belum
menunjukkan pulihnya ekonomi negara yang
ditangani oleh badan dunia tersebut.
Sebaliknya, hasil riset Johnson dan
Schaefer (1997) menunjukkan selama 1965-
1995, perekonomian 48 dari 89 negara
yang menerima bantuan IMF tidak menjadi
lebih maju. Bahkan, 32 dari 48 negara
tersebut justru menjadi lebih miskin.
Lebih menyedihkan lagi, negara-negara
tersebut telah menjadi pasien IMF selama
puluhan tahun. (Sunarsip, ?Seputar
Konspirasi IMF?, Republika 20 Juni 2001).

Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa


depresi besar (great depression) pada
tahun 1929 yang akhirnya memunculkan
aliran Keynes yang menggantikan aliran
Klasik (Adam Smith, dkk). Dan sekarangpun
aliran Keynes tidak bisa menjawab
krisis ekonomi yang terjadi, sehingga
banyak orang mulai mencari pengganti dari
107

sistem Kapitalisme. Dan ini sebuah


indikasi, bahwasannya sistem Kapitalisme
akan runtuh jika ada alternatif
terpercaya yang siap menggantinya.

Sebenarnya, jauh-jauh sebelum ideologi


Kapitalisme dan Sosialisme yang muncul
akibat sekularisme (pemisahan antara
kehidupan dan agama), Islam telah
menawarkan dan merealisasikan konsep
sistem pemeliharaan dan pengaturan urusan
rakyat, cara pemenuhan kebutuhan pokok
bagi warga masyarakat, cara penanganan
kemiskinan, perwujudan kesejahteraan
hidup, dan lain sebagainya. Islam tidak
berangkat dari keprihatinan sosial, yang
bersifat nisbi dan kondisional atau
berpijak di atas dasar nilai-nilai sosial
dan kemanusiaan semata.

Pada artikel ini, akan diberikan gambaran


tentang ekonomi Islam sebagai sebuah
aturan (nizam) yang dapat memecahkan
problematika kehidupan manusia, yang
bertitik tolak dari pandangan dasar
tentang manusia dan kehidupan ini
(aqidah).
Islam memandang bahwa manusia memiliki
keterikatan dengan hokum dan tata aturan
dari Pencipta Alam Semesta ini.

Sistem Ekonmi Islam


Menurut An Nabhani dalam bukunya An-Nizam
Al-Iqtishadi Fi Al-Islami, system
ekonomi Islam ditegakkan di atas tiga
asas utama, pertama, konsep kepemilikan
108

(al-milkiyah); Kedua, pemanfaatan


kepemilikan (al tasharuf fil al-
milkiyah);
Ketiga, distribusi kekayaan di antara
masyarakat (tauzi'u altsarwah bayna
al-naas).

I. Konsep Kepemilikan (al-Milkiyah)


Islam memiliki pandangan yang khas
tentang harta. Bahwa harta pada
hakikatnya
adalah milik Allah (Qs. 24: 33). Harta
yang dimiliki manusia, sesungguhnya
merupakan pemberian dari Allah (Qs. 57:
7). Kata rizq artinya pemberian
(a'tha). Atas dasar ini, kepemilikan atas
suatu barang ?yang artinya ada proses
perpindahan kepemilikan- harus selalu
didasarkan pada aturan-aturan Allah SWT.
Seseorang tatkala hendak memiliki sepeda
motor, maka cara untuk mendapatkan
?kepemilikan? sepeda motor, maka cara
untuk mendapatkan ?kepemilikan? sepeda
motor tersebut harus didasarkan pada
aturan-aturan Allah SWT, misalnya, dengan
membeli, atau diberi hadiah, atau dengan
cara-cara lain yang dibenarkan oleh
hukum Islam. Pandangan di atas berbeda
dengan paham kapitalisme, yang
menganggap ?harta milik adalah pencurian?
yang muncul dari pernyataan klasik
Proudhon. Artinya negara-negara maju
memperoleh kekayaan yang mereka nikmati
dari tindakan mereka merampas dan
menguras harta negara-negara lain dan
109

kecenderungan ini merupakan faktor


pendorong kapitalisme (Berger, Peter L.,
?Piramida Pengorbanan Manusia: satu
jawaban diantara sosialisme dan
kapitalisme?, IQRA Bandung, 1983).
Pandangan ini menghasilkan sebuah aksioma
?harta adalah milik manusia?, maka
manusia bebas untuk mengupayakannya,
bebas
mendapatakan dengan cara apapun, dan
bebas pula memanfaatkannya. Dari
pandangan
ini muncul pula falsafah hurriyatu al-
tamalluk (kebebasan kepemilikan), yang
merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Manusia bebas menentukan cara
mendapatkan dan memanfaatkan harta,
dengan cara apapun, meskipun cara
tersebut
bertentangan dengan norma dan etika
masyarakat, atau bahkan dengan aturan
Islam.

Islam juga berbeda dengan sosialisme,


yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Mereka berpendapat bahwa harta adalah
milik negara. Seseorang hanya diberi
barang dan jasa terbatas yang diperlukan
dan dia bekerja sebatas yang dia bisa.
Pada hakikatnya, Sosialisme telah
mematikan 'kreativitas manusia'. Motif-
motif
internal yang bersifat individual telah
dikebiri. Prinsip ini, semula diyakini,
dapat menghancurkan dominasi ekonomi oleh
satu atau beberapa kelompok manusia,
110

namun akibat yang ditimbulkan justru


lebih mengerikan. Karena kepemilikan
individu tidak diakui, maka motif-motif
pencapaian ekonomi yang bersifat
pribadi menjadi lemah, bahkan tidak
nampak sekali. Tidak ada gairah kerja
lagi
pada individu-individu sosialis.
Akhirnya, timbullah penurunan drastic
produktivitas masyarakat, karena
masyarakat telah kehilangan hasrat untuk
memperoleh keuntungan (profit motives),
suatu hal yang sangat manusiawi.
Tidaklah aneh bila produksi pertanian
kolektif RRC, tidak mungkin melebihi
tingkat produksi individual rakyat
negara Kapitalis.

Jadi Islam memiliki berbeda dengan


Kapitalisme, yang tidak mengatur
kuantitas
(jumlah) dan cara perolehan harta serta
pemanfaatannya. Begitu pula, Islam
berbeda dengan Sosialisme yang menjadikan
negara mengatur kepemilikan harta.
Dalam hal kepemilikan terhadap harta,
Islam tidak mengenal kebebasan
kepemilikan, sebagaimana sistem
Kapitalisme, dan pembatasan mutlak,
sebagaimana
sistem Sosialisme. Islam hanya mengatur
cara memiliki barang dan jasa serta
cara pemanfaatan pemilikan tersebut.
Kepemilikan adalah izin dari Syaari?
(Allah SWT) untuk menguasa dzat dan
mnafaat suatu benda. Menurut Dr. Husain
111

Abdullah, kepemilikan (milkiyah) dibagi


menjadi tiga macam, yakni: (1)
kepemilikan individu (milkiyah fardiyah),
(2) kepemilikan umum (milkiyah ?amah)
dan (3) kepemilikan negara (milkiyah
daulah).

I.I. Kepemilikan Individu (al-Milkiyah ?


Fardiyah)
Kepemilikan individu adalah izin Syaari?
(Allah SWT) kepada individu untuk
memanfaatkan barang dan jasa. Adapun
sebab-sebab pemilikan (asbabu al-
tammaluk)
individu, secara umum ada lima macam: 1)
Bekerja (al 'amal), 2) Warisan
(al-irts), 3) Kebutuhan harta untuk
mempertahankan hidup, 4) Pemberian negara
(i'thau al-daulah) dari hartanya untuk
kesejahteraan rakyat berupa tanah
pertanian, barang dan uang modal, dan 5)
Harta yang diperoleh individu tanpa
harus bekerja.

Harta dapat diperoleh melalui bekerja,


mencakup upaya menghidupkan tanah mati
(ihyau al-mawat), mencari bahan tambang,
berburu, perantara (samsara),
kerjasama mudharabah, bekerja sebagai
pegawai. Sedang harta yang diperoleh
tanpa adanya curahan daya dan upaya
mencakup, hibah, hadiah, wasiat, diyat,
mahar, barang temuan, santunan.

Islam melarang seorang muslim memperoleh


barang dan jasa dengan cara yang tidak
112

diridhai Allah SWT, seperti judi, riba,


pelacuran dan perbuatan maksiyat lain.
Islam juga melarang seorang muslim untuk
mendapatkan harta melalui cara
korupsi, mencuri, menipu. Sebab hal ini
pasti merugikan orang lain dan
menimbulkan kekacauan di tengah-tengah
masyarakat.

I.II. Kepemilikan Umum (al-Milkiyah ?


Amah)
Pemilikan umum adalah izin dari Syaari'
(Allah SWT) kepada masyarakat secara
bersama untuk memanfaatkan benda. Benda-
benda ini tampak pada tiga macam, yaitu:

1. Fasilitas umum, yaitu barang-barang


yang mutlak diperlukan manusia dalam
kehidupan sehari-haru seperti air, api
(bahan bakar, listrik, gas), padang
rumput (hutan).

2. Barang-barang yang tabiat


kepemilikannya menghalangi adanya
penguasaan
individu seperti; sungai, danau, jalan,
lautan, udara, masjid dan sebagainya.

3. Barang tambang dalam jumlah besar yang


sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
seperti emas, perak, minyak dan
sebagainya.

Ketiga macam benda di atas telah


ditetapkan oleh syara' sebagai
kepemilikan
113

umum, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:


?Manusia berserikat (punya anadil) dalam
tiga hal, yaitu air, padang rumput,
dan api.? (HR. Ibnu Majah)

Pengelolaan terhadap kepemilikan umum


pada prinsipnya dilakukan oleh negara,
sedangkan dari sisi pemanfaatannya
dinikmati oleh masyarakat umum.
Masyarakat
umum bisa secara langsung memanfaatkan
sekaligus mengelola barang-barang 'umum'
tadi, jika barang-barang tersebut bisa
diperoleh dengan mudah tanpa harus
mengeluarkan dana yang besar seperti,
pemanfaatan air disungai atau sumur,
mengembalikan ternak di padang
penggembalaan dan sebagainya. Sedangkan
jika
pemanfaatannya membutuhkan eksplorasi dan
eksploitasi yang sulit, pengelolaan
milik umum ini dilakukan hanya oleh
negara untuk seluruh rakyat dengan cara
diberikan cuma-cuma atau dengan harga
murah. Dengan cara ini rakyat dapat
memperoleh beberapa kebutuhan pokoknya
dengan murah.

Hubungan negara dengan kepemilikan umum


sebatas mengelola, dan mengaturnya
untuk kepentingan masyarakat umum. Negara
tidak boleh menjual aset-aset milik
umum. Sebab, prinsip dasar dari
pemanfaatan adalah kepemilikan. Seorang
individu tidak boleh memanfaatkan atau
mengelola barang dan jasa yang bukan
114

menjadi miliknya. Demikian pula negara,


tidak boleh memanfaatkan atau mengelola
barang yang bukan menjadi miliknya. Laut
adalah milik umum, bukan milik negara.
Pabrik-pabrik umum, tambang, dan lain-
lain adalah milik umum, bukan milik
negara. Atas dasar ini, negara tidak
boleh menjual asset yang bukan menjadi
miliknya kepada individu-individu
masyarakat.

Timbulnya dominasi ekonomi, serta


terakumulasinya kekayaan pada sejumlah
individu, lebih banyak disebabkan karena
kelompok-kelompok tersebut telah
menguasai aset-aset umum, atau sektor-
sektor yang menjadi hajat hidup
masyarakat banyak; karena ada kebijakan
dari Pemerintah. Misalnya; privatisasi
BUMN atas sektor publik.

I.III. Kepemilikan Negara (al-Milkiyah


Daulah)
Kepemilikan negara adalah izin dari
Syaari' atas setiap harta yang hak
pemanfaatannya berada di tangan negara.
Misalnya harta ghanimah, fa'i, khumus,
kharaj, jizyah 1/5 harta rikaz, ushr,
harta orang murtad, harta orang yang
tidak memiliki ahli waris, dan tanah
milik negara. Milik negara digunakan
untuk
berbagai keperluan yang menjadi kewajiban
negara seperti menggaji pegawai,
keperluan jihad dan sebagainya.
115

II. Pemanfaatan Kepemilikan (al-Tasharuf


al-Milkiyah)
Kejelasan konsep kepemilikan sangat
berpengaruh terhadap konsep pemanfaatan
harta milik (tasharuf al-mal), yakni
siapa sesungguhnya yang berhak mengelola
dan memanfaatkan harta tersebut
Pemanfaatan pemilikan adalah cara -sesuai
hukum
syara?- seorang muslim memperlakukan
harta miliknya. Pemanfaatan harta dibagi
menjadi dua topik yang sangat penting,
yakni: (1) Pengembangan harta (tanmiyatu
al-mal), dan (2) infaq harta (infaqu al-
mal).

II.I. Pengembangan Harta (Tanmiyatu al-


Mal)
Pengembangan harta adalah upaya-upaya
yang berhubungan dengan cara dan sarana
yang dapat menumbuhkan pertambahan harta.

Islam hanya mendorong pengembangan harta


sebatas pada sektor riil saja; yakni
sektor pertanian, industri dan
perdagangan. Islam tidak mengatur secara
teknis
tentang budidaya tanaman; atau tentang
teknik rekayasa industri; namun Islam
hanya mengatur pada aspek hukum tentang
pengembangan harta. Dalam sektor
pertanian misalnya, Islam hanya mengatur
pada aspek hukum tentang pengembangan
harta. Dalam sektor pertanian misalnya,
Islam melarang seorang muslim
menelantarkan tanahnya lebih dari tiga
tahun, bolehnya seseorang memiliki tanah
116

terlantar tersebut bila ia mengolahnya,


larangan menyewakan tanah, musaqah, dan
lain-lain. Dalam perdagangan, Islam telah
mengatur hukum-hukum tentang syirkah
dan jual beli. Demikian pula dalam hal
perindustrian, Islam juga mengatur hukum
produksi barang, manajemen dan jasa,
semisal hukum perjanjian dan pengupahan.

Islam melarang beberapa aktivitas-


aktivitas pengembangan harta, misalnya,
riba
nashi'ah pada perbankan, dan riba fadhal
pada pasar modal. Menimbun, monopoli,
judi, penipuan dalam jual beli, jual beli
barang haram dan sebagainya.

II.II. Infaq Harta (Infaqu al-Mal)


Infaq harta adalah pemanfaatan harta
dengan atau tanpa ada kompensasi atau
perolehan balik. Berbeda dengan sistem
Kapitalisme, Islam mendorong ummatnya
untuk menginfaqkan hartanya untuk
kepentingan umat yang lain -terutama
pihak
yang sangat membutuhkan. Islam tidak
hanya mendorong kaum muslim untuk
memanfaatkan hartanya dengan kompensasi
atau perolehan balik yang bersifat
materi saja, akan tetapi juga mendorong
ummatnya untuk memperhatikan dan
menolong pihak-pihak yang memperhatikan
dan menolong pihak-pihak yang
membutuhkan, serta untuk kepentingan
ibadah, misalnya zakat, nafkah anak dan
istri, dorongan untuk memberi hadiah,
hibah, sedekah pada fakir miskin dan
117

orang yang memerlukan (terlibat hutang,


keperluan pengobatan dan musibah);
infaq untuk jihad fii sabilillah.

Islam telah melarang umatnya untuk


menggunakan hartanya pada hal-hal yang
dilarang oleh hukum syara', seperti
riswah (sogok), israf, tadbir, dan taraf
(membeli barang atau jasa haram), serta
mencela keras sikap bakhil. Pelarangan
pemanfaatan harta pada jalan-jalan
tersebut akan menutup pintu untuk
kegiatan-kegiatan tersebut, yang telah
terbukti telah menimbulkan apa yang
dinamakan dengan pembengkakan biaya
(karena ada biaya siluman).

III. Konsep Distribusi Kekayaan (Tauzi?


al-Tsarwah)
Islam telah menetapkan sistem distribusi
kekayaan diantara manusia dengan cara
sebagai berikut:

III.I. Mekanisme Pasar


Mekanisme pasar adalah bagian terpenting
dari konsep distribusi. Akan tetapi
mekanisme ini akan berjalan dengan alami
dan otomatis, jika konsep kepemilikan
dan konsep pemanfaatan harta berjalan
sesuai dengan hokum Islam. Sebab, dalam
kehidupan ekonomi modern seperti saat
ini, di mana produksi tidak menjadi
jaminan konsumsi, melainkan hanya menjadi
jaminan pertukaran saja, maka
118

pengeluaran seseorang merupakan


penghasilan bagi orang lain. Demikian
pula
sebaliknya.

III.II. Bentuk Transfer Dan Subsidi


Untuk menjamin keseimbangan ekonomi bagi
pihak yang tidak mampu bergabung dalam
mekanisme pasar -karena alasan-alasan
tertentu, seperti; cacat, idiot dan
sebagainya-maka Islam menjamin kebutuhan
mereka dengan berbagai cara sebagai
berikut:

1. Wajibnya muzakki membayar zakat yang


diberikan kepada mustahik, khususnya
kalangan fakir miskin.

2. Setiap warga negara berhak


memanfaatkan pemilikan umum. Negara boleh
mengolah dan mendistribusikannya secara
cuma-cuma atau dengan harga murah.

3. Pembagian harta negara seperti tanah,


barang dan uang sebagai modal kepada
yang memerlukan.

4. Pemberian harta waris kepada ahli


waris.

5. Larangan menimbun emas dan perak


walaupun dikeluarkan zakatnya.

IV. Bagaimana Pelaksanaanya?


Islam mendorong setiap manusia untuk
bekerja dan meraih sebanyak-banyaknya
119

materi. Islam membolehkan tiap manusia


mengusahakan harta sebanyak ia mampu,
mengembangkan dan memanfaatkannya
sepanjang tidak melanggar ketentuan
agama.
Sektor swasta didorong untuk berkembang
semaksimal mungkin.

Motif untuk menghasilkan produk bermutu


tinggi dengan harga murah agar unggul
dalam persaingan bebas, akan mendorong
dan menumbuhkan kreatifitas manusia
secara optimal. Atas dasar ini,
pengembangan SDM yang unggul -beriman,
berpengetahuan, berketrampilan tinggi,
dengan kepribadian yang terguh- mutlak
diperlukan.

Keunggulan sains dan teknologi di masa


kejayaan Islam sedikit telah memberikan
gambaran bagaimana kesungguhan umat Islam
untuk "menguasai dunia untu menuju
akhirat". Islam menghargai setiap muslim
yang bekerja keras dan menganggapnya
sebagai bagian dar ibadah. Nabi Muhammad
sangat menghargai orang yang bekerja
keras untuk mendapatkan nafkah. Suatu
ketika, Rasulullah mencium tangan sahabat
Saad bin Muadz yang amat kasar lantaran
habis bekerja keras, seraya berkata,
?affani yuhibbuhuma allahu ta?la? (Dua
tangan yang dicintai Allah SWT).

Islam tidak melarang umatnya untuk


memiliki sebanyak-banyaknya harta. Bahkan
120

ada beberapa kewajiban Islam yang


menuntut dan membutuhkan kemampuan
keuangan
yang cukup. Seperti haji, jihad fi
sabilillah, serta kewajiban-kewajiban
Islam
lainnya.

Dalam sejarah, tidak sedikit para sahabat


yang dikenal sebagai konglomerat,
seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan,
Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman bin Auf,
sebelum wafatnya menghibahkan 50.000
dinar setara dengan 5 milyar rupiah untuk
umat pada saat itu. Ini menunjukkan
bahwa, motif-motif individu untuk meraih
sebanyak-banyaknya barang dan jasa akan
mendorong produktivitas
individu-individu yang ada di dalam
masyarakat tersebut. Sebaliknya, jika
motif-motif ini dikekang, bahkan
dieliminir, maka akan menimbulkan
turunnya
produktivitas barang dan jasa. Bahkan
akan melahirkan masyarakat malas yang
enggan melakukan inovasi dan produksi
secara maksimal.

Harta yang dimiliki seorang muslim tidak


boleh dimanfaatkan dan dikembangkan
dengan cara yang bertentangan dengan
syari'at Islam. Islam telah melarang
aktivitas perjudian, riba, penipuan,
serta investasi di sektor-sektor
maksiyat.
Sebab, aktivitas-aktivitas semacam ini
justru akan menghambat produktivitas
121

manusia. Perjudian, valas, minuman keras,


akan berdampak kemerosotan akhlaq dan
etika masyarakat, serta menurunkan
produktivitas pekerja dan buruh pabrik.
Bahkan lebih keji lagi, aktivitas
tersebut akan mengeliminir nilai-nilai
kemanusiaan dan menghancurkan sendi-sendi
masyarakat, suatu hal yang diupayakan
dalam pembangunan manusia. Islam juga
melarang kaum muslim melakukan aktivitas
yang dapat melabilkan ketangguhan
mekanisme pasar, semisal penimbunan
barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh
publik, serta dominasi atas
sektor-sektor umum. Untuk mencegah
tindakan-tindakan semacam ini, negara
akan
mengambil tindakan tegas bagi para
pelanggarnya.

Tanah sebagai salah satu komponen


ekonomi, harus difungsikan secar optimal.
Tanah yang ditelantarkan lebih dari tiga
tahun tanah oleh pemiliknya, akan
disita oleh negara dan diberikan kepada
orang yang mau menggarapnya.
Optaimalisasi fungsi tanah akan mendorong
kegiatan ekonomi terutama sektor
pertanian, sekaligus akan berpengaruh
kepada sektor-sektor ekonomi lainnya.
Disis lain, tidak ada seorangpun,
termasuk negara, berhak meminta paksa
atau
membeli paksa tanah milik perseorangan,
kecuali dengan kerelaan si pemilik.
Mamaksa di luar keridhaan pemilik tanah
adalah tindkan kedzhaliman, apalagi
122

bila tanah itu adalah gantungan hidupnya.

Individu-individu tertentu, khususnya


yang berhasil mendapatkan kekayaan, Islam
telah mendorong individu-individu
tersebut untuk berinfak kepada orang
lain.
Ini didasarkan pada suatu kenyataan
bahwa, tidak semua orang berkesempatan,
berkemampuan dan mendapatakan
keberuntungan yang sama. Oleh karena itu,
setelah
kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi ia wajib
menolong orang-orang yang
membutuhkan, termasuk dibebani kewjiban-
kewajiban lain, semisal zakat. Sebab,
pada setiap harta sesungguhnya terdapat
hak orang lain. Bagi pihak yang mampu
mengeluarkan zakat, wajib mengeluarkan
zakat kepada pihak yang berhak
(mustahiK). Di sisi lain, harta waris
harus dibagikan kepada ahli warisnya.
Dari sini, harta akan beredar secara
otomatis. Bukan hanya diantara orang kaya
dan mampu saja (melalui mekanisme
ekonomis), tetapi juga diantara orang-
orang
miskin dan orang yang membutuhkan
(melalui mekanisme non-ekonomis, tetapi
berdampak ekonomis). Islam juga
mengingatkan orang yang berkecukupan
untuk tidak
membelanjakan hartanya secara israf,
tadzbir, dan taraf (berlebih-lebihan).
Islam mengutuk berbangga-bangga dengan
banyaknya harta, sikap angkuh dan
123

sombong. Diingatkan, bila hendak


menghancurkan suatu negeri, Allah SWT,
membiarkan golongan mutrafin (hartawan)
untuk berbuat sekehendak hatinya,
termasuk ketika ia dengan kekuatannya
berkolusi menciptakan praktek monopoli.

Pemerintah Islam bertugas mengatur


kehidupan seluruh masyarakat dengan cara
Islam. Dalam hal usaha, pemerintah
mendorong berkembangnya sektor riil
-perdagangan, pertanian, industri dan
jasa. Pemerintah juga harus bertindak
adil kepada rakyat. Pemerintah tidak
boleh memberikan hak-hak istimewa
(monopoli) dalam bentuk apapun (monopoli
bahan baku, produksi, pasar) hanya
kepada pihak tertentu yang kebetulan
dekat dengan penguasa. Seluruh hak
memiliki hak yang sama. Pemberian hak
istimewa kepada seseorang berarti telah
mendzalimi pihak yang lain. Pemerintah
harus menjaga agar perdagangan bebas
(free trade) berjalan fair. Para
pengusaha diperbolehkan bersaing, akan
tetapi
dilarang saling menikam.

Pada sisi lain, negara tidak mentolerir


sedikitpun berkembangnya sector non
riil, seperti perdagangan uang, perbankan
dengan riba, pasar modal dan
sebagainya. Pada dasarnya, bila diteliti
dengan mendalam sektor-sektor semacam
ini telah menyebabkan hal-hal yang
merugikan perekonomian secara umum.
124

Sebagaimana telah disebutkan di dalam


Islam, yakni ?kayla yakuna duulatan bayna
al-aghniai minkum? (agar harta tersebut
tidak beredar di kalangan orang-orang
kaya diantara kalian saja), yakni
beredarnya uang hanya diantara orang kaya
saja. Data saat ini menunjukkan bahwa,
terdapat 10 triliun uang yang beredar di
lantai bursa. Bila 80% di antaranya
terinvestasikan dalam berbagai perusahaan
lewat pasar perdana, berarti terdapat
tidak kurang 2 triliun rupiah yang
?melayang-layang?, yang berarti tidak
menimbulkan efek secara langsung terhadap
kegiatan ekonomi secara luas. Andai saja
uang sejumlah itu diinvestasikan di
sektor riil, berapa pabrik dapat
didirikan, berapa tenaga kerja yang dapat
diserap. Berkembangnya kegiatan-kegiatan
ekonomi riil akan berdampak pada
terserapnya tenaga kerja, sehingga
pengangguran akan berkurang,
kesejahteraan
naik dan merata. Ijin negara untuk hanya
mengembangkan sector riil (investasi)
jelas berefek pada terbukanya lapangan
pekerjaan dalam jumlah yang cukup
berarti, yang itu berarti akan
menghasilkan pertumbuhan sekaligus
pemerataan.

Disisi lain, sistem kepegawaian harus


mengikuti pula aturan Islam. Diantaranya
adalah, adanya akad kepegawaian yang
jelas -mencakup hak dan kewajiban
pegawai-
125

kemudian ?membayar sesuai kerja yang


dilakukan secara wajar?, ?membayar upah
sebelum kering?, dan semua berjalan ?
antaradhin? (dengan saling ridha tanpa
kedzaliman satu sama lain).

Negara harus mendorong munculnya pusat-


pusat pertumbuhan di berbagai wilayah
agar kesenjangan antar kawasan tidak
terjadi. Kebijakan ini pada gilirannya
juga akan mendorong pemerataan
kesejahteraan. Negara juga mendorong
berkembangnya usaha kecil dan menengah,
dan memberikan kesempatan yang sama
dengan usaha besar baik dalam akses
pendanaan, pasar, ketrampilan dan
teknologi
maupun dalam hal regulasi. Bila
diperlukan, untuk melindungi hak-hak
mereka,
pemerintah mengeluarkan undang-undang
perlindungan usaha kecil. Ini adalah
wujud perlakuan adil negara pada semua
pengusaha. Ini juga perwujudan upaya
tawazun (penyeimbangan) yang dilakukan
negara terlebih bila terdapat
ketimpangan pendapatan dan kesempatan,
sebagaimana langkah Rasulullah yang
hanya membagikan harta fa'i Bani Nadlir
kepada kaum Muhajirin yang umumnya
miskin, tidak kepada kaum Anshar yang
umumnya sudah kaya, agar (duulah)
kesempatan dan harta tidak hanya beredar
diantara orang kaya saja (Qs.59: 7-8).

Peningkatan kesejahteraan juga dicapai


dengan cara memberikan kepada individu
126

dalam memanfaatkan pemilikan umum (air,


minyak, gas, listrik dan lainnya)
secara gratis atau dengan harga murah.
Kepemilikan umum semacam ini dikelola
hanya oleh negara. Swastanisasi memang
cenderung lebih efisien, tetapi ini
bertentangan dengan prinsip pemilikan
umum dan tugas negara sebagai pelayan
rakyat. Selain itu swastanisasi sektor
publik biaanya menjadikan harga produk
lebih mahal. Ini harus dihindari karena
jelas akan merugikan rakyat banyak.

Bila rakyat dapat memperoleh kebutuhan


pokoknya dengan harga murah, biaya hidup
dapat ditekan. Uang yang ada dapat
digunakan untuk keperluan lain bagi
kesejahteraan mereka. Apalagi bila negara
dengan kemampuannya memberikan
subsidi (apalagi cuma-cuma) untuk
kesehatan, pendidikan dan sarana sosial
lain,
maka kebutuhan dasar penduduk akan dengan
mudah tercukupi. Jaminan sosial
(social security) semacam ini jelas akan
meningkatkan kesejahteraan golongan
miskin dan memberikan perlindungan pada
masyarakat dalam kesulitan ekonomi.
Optimalisasi sumberdaya yang tidak selalu
menghasilkan optimalisasi distribusi
dapat diatasi.

Secara teoritis, kegiatan ekonomi


(perdagangan, pertanian dan industri)
yang
sehat akan mendistribusikan kekayaan
secara normal. Tetapi dalam faktanya
127

selalu saja dimungkinkan terjadinya


anomali yang disebabkan baik karena
faktor
alamiah (kelemahan fisik, sumberdaya
alam) maupun musibah, yang pada
gilirannya
menyebabkan distribusi normal yang
diharapkan tidak berjalan sehingga
terjadi
ketimpangan. Untuk lapisan masyarakat
yang memang benar-benar miskin atau tidak
memiliki kemampuan, negara sesuai dengan
prinsip tawazun tadi, berhak
memberikan miliknya berupa tanah, atau
barang dan uang untuk modal usaha.
Disamping menjadi kewajiban para karib
kerabat dan tetangganya untuk mendorong
dengan memberikan zakat atau infaq.
Dengan cara lain, mereka yang tidak
terikutkan dalam mobilitas ekonomi ?
ditolong? secara sengaja. Harapnnya,
setelah ini mereka dapat mengikuti derap
kemajuan ekonomi masyarakat, bukan
menjadi lapisan yang kian terpinggirkan.

Faktor lain yang tidak kalah penting


adalah penggunaan emas dan perak sebagai
mata uang negara. Dengan mata uang ini,
dimana nilai intrinsik sama dengan
nilai nominal, menjadikan uang Islam
tidak tergantung pada mata uang

manapun. Ia akan mengukur dengan dirinya.


Dengan demikian, inflasi yang
berakibat penurunan nilai mata uang, yang
berarti pula meningkatnya laju proses
128

pemiskinan -karena uang ditangan rakyat


makin tidak bernilai alias harga barang
makin tak terjangkau-tidak akan terjadi.

Jelaslah, negara dalam Islam berfungsi


sangat sentral karena fungsinya sebagai
ri'ayatu suuni al-ummah (pengatur
kehidupan umat) agar tenang secara
politis
dan sejahtera secara ekonomi. Jadi tidak
sekedar berfungsi minimal (minimalist
state) seperti dalam sistem pasar bebas,
atau mendominasi perekonomian seperti
dalam sistem sosialis. Tidak juga
terjerumus terlalu jauh mengatur sehingga
memberikan monopoli, proteksi, hak
istimewa kepada pengusaha 9tertentu),
atau
ekstrim yang lain pemerintah terlalu
lemah sehingga tidak dapat berbuat apa-
apa
menghadapi penyimpangan para pelaku
ekonomi, khususnya dari pihak swasta
kuat.

Untuk menjaga agar sistem ekonomi Islam


sesuai dengan aturan Islam, peran dan
fungsi negara -untuk mengontrol
pelaksanaan sistem ekonomi Islam- menjadi
sangat signifikan. Peran seperti ini
hanya mungkin dilakukan bila pemerintah
digerakkan oleh para birokrat yang
memiliki kepribadian mulia, bersih, yang
bekerja benar-benar demi kepentingan
kesejahteraan rakyat. Untuk menjaga
mental
129

birokrat agar tetap bertindak jujur dan


objektif. Islam melarang keras praktek
pemberian suap atau komisi pada pegawai
pemerintah. Atas dasar ini pegawai
negeri harus mendapat gaji yang layak.
Selain kontrol dari negara, harus ada
pula pengawasan dari masyarakat. Kontrol
masyarakat dan individu agar negara
serta masyarkat berjalan sesuai dengan
koridor hukum Islam merupakan kewajiban
penting bagi kaum muslimin.

*Disampaikan pada acara Diskusi Publik,


yang diselenggara oleh Hizbut Tahrir
Australia, di Masjid al-Hijrah, Sydney,
Australia.

You might also like