You are on page 1of 12

LEMBAGA ADAT GAMPONG SEBAGAI PENGENDALIAN SOSIAL

MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN


SYARI’AT ISLAM DI ACEH
Oleh T. Mukhlis

Abstrak
Pelaksanaan syari’at Islam di Aceh merupakan salah satu aspirasi
masyarakat Aceh untuk mencapai kesejahteraan. Berdasarkan
pengalaman sejarah, hukum syari’at Islam adalah solusi dalam
menjawab segala permasalahan yang dialami oleh masyarakat
dengan menggunakan pendekatan nilai-nilai adat. Lembaga adat
memberikan dukungan penuh terhadap tegaknya syari’at Islam
dalam masyarakat Aceh. Inti dari lancarnya pelaksanaan hukum
agama dan adat adalah terwujudnya sistem pengendalian sosial
yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan akhirnya
adalah terciptanya tertib-aman dan kesejahteraan. Lembaga adat
gampong memiliki peran besar terhadap keberlangsungan sistem
pengendalian sosial masyarakat, sehingga hukum syari’at dan
hukum adat menjadi nilai-nilai normatif yang dipatuhi dan
dilaksanakan oleh masyarakat. Karya tulis ini diharapkan mampu
menjawab persoalan syari’at Islam dengan mengoptimalkan
fungsi lembaga adat gampong sebagai lembaga yang benar-benar
menciptakan tertib-aman dan sejahtera bagi masyarakat di
Nanggroe Aceh Darussalam.

I. PENDAHULUAN
Pelaksanaan kehidupan bermasyarakat di Aceh tidak lepas dari nilai-nilai
adat dan budaya yang menjadi landasan hidup bagi masyarakat. Hal ini secara
turun-temurun masih dipraktikkan sejak peraturan hukum adat disistematiskan
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1606-1637 M). Dari sisi historis,
pelaksanaan hukum adat ini tidak dapat dipisahkan dari hukum agama. Kedua
hukum ini saling mengikat dalam aplikasinya di kehidupan sehari-hari masyarakat
Aceh.
Pada masa itu muncul istilah adat bersendi syara’, syara’ bersendi adat.
Pengertiannya yaitu bahwa agama bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits serta adat
dirumuskan melalui undang-undang dan resam negeri yang disusun oleh Sultan
dengan bermusyawarah bersama orang-orang besarnya. Apabila agamanya kuat,
maka kuat pula adatnya. Begitu juga sebaliknya, apabila adatnya kuat maka kuat

1
pula agamanya.1 Kemudian kesuksesan Sultan Iskandar Muda dalam penerapan
sistem politik pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi, maupun sosial budaya
yang kuat, tangguh serta perannya dalam segala hal termasuk dunia internasional,
telah menjadi acuan sebagai standar rujukan. Ketangguhan pemerintahannya saat
itu, karena dilatarbelakangi kemampuannya membangun suatu kultur dan struktur
tatanan masyarakat Aceh menjadi salah satu segmen peradaban manusia yang
terkumpul dalam nilai-nilai filosofi : Adat ngon hukom lagei zat ngon sifeut yang
struktur implementasinya disimpulkan dalam : Adat bak po teumeuruhom, hukom
bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana.2
Setelah sekian lamanya hukum agama dan hukum adat mengalami
kevakuman di Aceh pada masa orde baru, maka masyarakat Aceh menuntut
pemerintah agar memberlakukan kembali syari’at Islam di NAD. Tuntutan ini
disikapi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan mencetuskan Undang-
Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh. Salah satu inti dari undang-undang tersebut adalah
penyelenggaraan kehidupan beragama yang diwujudkan dalam bentuk
pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. Kemudian
dipertegas pula dengan lahirnya UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, harapan untuk terlaksananya syari’at Islam lebih besar karena
memungkinkan pembentukan Peradilan Syari’at Islam di Aceh.3
Sesuai Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 Tahun
2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, maka telah ditetapkan sepuluh
lembaga adat yaitu : Imum Mukim, Geuchik, Tuha Peuet, Tuha Lapan, Imum
Meunasah, Keujruen Blang, Panglima Laot, Peutua Seneubok, Haria Peukan, dan
Syahbanda. Sedangkan dalam pasal 98 UU Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

1
H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara Djilid I, (Medan: Pustaka Iskandar Muda,
1961), hal. 334
2
www.siteresources.worldbank.org. Lihat H. Badruzzaman Ismail, Pengaruh Faktor
Budaya Aceh Dalam Menjaga Perdamaian dan Rekonstruksi. Diakses pada tanggal 10 Juni 2007
3
www.komisihukum.go.id/attach/NAD.doc. Lihat Membangun Peradilan Syari’ah di
Nanggroe Aceh Darussalam. Diakses pada tanggal 10 Juni 2007

2
2006 tentang Pemerintahan Aceh terdapat satu lembaga adat lagi yaitu MAA
(Majelis Adat Aceh).
Di antara lembaga-lembaga adat yang disebutkan di atas, geuchik berperan
besar sebagai pengendali sosial masyarakat dalam mengatur setiap kebijakan yang
berada dalam wilayah hukumnya, termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan
tentang hukum syari’at Islam. Geuchik dalam menjalankan tugas dan fungsinya
dibantu oleh lembaga-lembaga adat lain yang berkompeten dengan cara
musyawarah.
Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, karya tulis ini mencoba
membahas bagaimana peran lembaga adat gampong sebagai pengendalian sosial
masyarakat terhadap pelaksanaan hukum syari’at Islam yang sedang berlangsung
di NAD. Suksesnya pelaksanaan hukum syari’at Islam dan hukum adat
diharapkan mampu membentuk kepribadian masyarakat Aceh yang sesuai dengan
ajaran Islam dan aturan adat.

II. PEMBAHASAN
II.1Kedudukan Lembaga Adat Gampong Dalam Pelaksanaan Syari’at Islam
Dalam Perda Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam disebutkan bahwa aspek pelaksanaan syari’at
Islam meliputi : aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, pendidikan dan dakwah
islamiyah, baitulmal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, qadha,
jinayat, munakahat, dan mawaris. Namun dalam aplikasinya, syari’at Islam di
Aceh lebih difokuskan kepada beberapa bidang saja.
Penerapan syari’at Islam di Aceh sangat berkaitan dengan identitas
masyarakat Aceh, sehingga penerapan syari’at Islam yang pertama-tama
digalakkan lebih bersifat simbolis, bukan hal-hal yang lebih islami dalam arti
yang lebih signifikan seperti pemberantasan korupsi atau kolusi. Bidang-bidang
yang difokuskan sementara ini adalah penggunaan busana islami, pelarangan
tindakan munkarat seperti minuman beralkohol, perjudian dan perzinaan,
pengaturan ibadah shalat jum’at dan ibadah puasa Ramadhan, pelarangan aliran
sesat, penggunaan hukum cambuk sebagai salah satu alternatif dari berbagai

3
bentuk hukuman pidana, penggunaan kalender Hijriah, dan penggunaan penulisan
Arab-Melayu. Hal-hal simbolis seperti inilah yang sementara menjadi prioritas,
karena simbol memiliki hubungan erat dengan identitas. Hal ini tentu saja tidak
menutup kemungkinan bahwa NAD akan menerapkan hukum Islam dalam bidang
yang lain misalkan bidang pidana Islam (hudud dan qishash) di masa yang akan
datang karena hukum ini pernah diterapkan di Aceh.4 Menurut Rusjdi Ali
Muhammad (2005), pelaksanaan syari’at Islam di Aceh meliputi bidang hukum
kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian, dan warisan; pada bidang ekonomi
dan keuangan seperti bank Islam dan zakat; praktik-praktik ritual seperti
kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita ataupun pelarangan resmi hal-hal yang
bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkohol dan judi; dan penerapan hukum
pidana Islam terutama berkenaan dengan jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan bagi
pelanggarnya.5
Pelaksanaan syari’at Islam secara kaffah yang merupakan tuntutan
masyarakat Aceh juga tidak lepas dari pelaksanaan hukum adat yang diawasi oleh
lembaga adat. Dalam aplikasinya, lembaga adat gampong memiliki peran penting
terhadap jalannya hukum syari’at dan hukum adat. Dalam pelaksanaan kehidupan
adat di NAD, dikenal ada tiga kawasan adat yang memiliki fungsi dan tugas
masing-masing. Ketiga kawasan tersebut adalah : kawasan gampong, kawasan
mukim, dan kawasan lembaga-lembaga adat lainnya.
• Kawasan Gampong
Gampong adalah suatu wilayah kelompok masyarakat yang memilki
pemerintahan sendiri, aturan-aturan, dan kekayaan tersendiri. Perangkat
gampong terdiri dari geuchik (pimpinan gampong), imum meunasah, tuha
peut, dan tuha lapan. Gampong yang dipimpin oleh geuchik memiliki
fungsi kekuasaan dan wewenang mono trias function, yaitu
kemanunggalan kepemimpinan dengan memiliki kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif dalam pembinaan, pengembangan adat dan
4
Dara Yusilawati, Penerapan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dan
Identitas Rakyat Aceh, dalam Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia
(Sebuah Pergulatan Yang Tak Pernah Tuntas), (Jakarta: Renaisan, 2005), hal. 213
5
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, H. Hasan Basri (ed.),
(Jakarta: Logos, 2003), hal. 227-228

4
pelaksanaan peradilan adat gampong. Setiap kawasan gampong memiliki
meunasah sebagai pusat kegiatan keagamaan, pemerintahan, dan
kemasyarakatan.
• Kawasan Mukim
Mukim adalah wilayah adat kemukiman yang meliputi beberapa gampong
yang mempunyai batas-batas tertentu, harta kekayaan sendiri, wewenang,
dan kekuasaan adat dalam kawasannya. Perangkat mukim terdiri dari
imuem mukim (pimpinan mukim), tuha peut dan tuha lapan yang
berfungsi memberi nasehat terutama dalam sidang musyawarah. Mukim
berfungsi sebagai koordinator masyarakat gampong-gampong berkaitan
dengan adat, pelaksana peradilan adat (banding terakhir) dari keputusan
peradilan gampong.
• Kawasan Lembaga-lembaga Adat Lainnya
Untuk menyelenggarakan berbagai kepentingan kehidupan masyarakat,
maka dalam pembinaan dan pengembangan kehidupan adat terdapat
lembaga-lembaga adat lain yang mempunyai wewenang dan kekuasaan
penuh di bidang kawasan tugasnya masing-masing, yaitu : keujrun blang
(bidang pertanian), panglima laot (bidang perikanan), petua seuneubok
(bidang perkebunan), haria peukan (bidang pasar), dan syahbanda (bidang
lalu lintas laut, danau, dan sungai).6
Geuchik selaku pimpinan dalam suatu gampong harus benar-benar
memahami karakter sosial masyarakatnya. Sehingga salah satu syarat untuk
menjadi geuchik sebaiknya adalah asoe lhok, yaitu penduduk asli daerah setempat
dan memiliki kharisma dalam pandangan masyarakat. Geuchik berfungsi sebagai
alat kontrol sosial dalam bidang keamanan, ketentraman, kerukunan, dan
ketertiban masyarakat, baik preventif maupun represif yang antara lain berupa
penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan dan penengah dalam mendamaikan
sengketa yang timbul di masyarakat. Geuchik memiliki wewenang yang luas

6
H. Badruzzaman dkk, Eksposa Majelis Adat Aceh Provinsi NAD, (Banda Aceh: Majelis
Adat Aceh , 2003), hal. 39-40

5
dalam kapasitasnya sebagai seorang pimpinan. Mengenai wewenang geuchik,
Sulaiman Tripa mengutip dari Snouck Hurgronje (1985):
Ada dua wewenang keuchik: memelihara tertib-aman, serta mengusahakan
kesejahteraan. Berkaitan dengan kesejahteraan penduduk, keuchik
berwenang mengatur pemindahan keluarga ke gampong lain, di mana
harus seizin keuchik, hal ini berhubungan dengan berkebun; sama dengan
orang yang bermukim di gampong; perkawinan juga harus mendapatkan
izin dari keuchik, terutama berkenaan dengan usia si gadis apakah masih
di bawah umur atau sudah dewasa, atau perkawinan yang bertentangan
dengan hukum adat, yang berarti bertentangan dengan hukum syari’at.7

Keterangan di atas sangat relevan terhadap kondisi Aceh sekarang yang


sedang giatnya menerapkan syari’at Islam. Geuchik memberikan dukungan penuh
terhadap jalannya syari’at Islam di wilayah adatnya. Pengalaman sejarah
menyebutkan bahwa dulu dalam pengawasan jalannya hukum syari’at, geuchik
membentuk kelompok pemuda yang bertugas mengawasi keadaan gampong dari
segala macam perbuatan yang dilarang menurut agama dan adat. Kelompok
pemuda ini atas izin dari geuchik senatiasa dalam keadaan waspada. Mereka
berjaga-jaga dari perbuatan warga sekampungnya apabila mereka melakukan
kesalahan. Apabila ditemukan kejanggalan, mereka terlebih dahulu menasehati
tanpa sepengetahuan geuchik. Apabila nasehat mereka tidak diterima maka
mereka melaporkan pada geuchik. Agar tercipta ketentraman di kampung mereka,
pemuda yang belum menikah diharuskan untuk tidur di meunasah.8 Kondisi saat
ini memang tidak layak lagi bagi pemuda untuk tidur di meunasah, namun ada
nilai lain yang dapat diambil dengan cara meramaikan meunasah dengan
kegiatan-kegiatan yang mendukung pelaksanaan syari’at Islam.
Dalam permasalahan ekonomi, geuchik juga memiliki peran penting dalam
menciptakan stabilitas sosial. Misalnya pengelolaan zakat (penghasilan, tabungan,
dan fitrah) yang mekanismenya dilakukan oleh pemerintahan gampong menurut
tradisi setempat. Pemerintah gampong telah menentukan besaran zakat yang harus
dibayar seseorang, kemudian memungut dan menyimpannya serta menentukan

7
Sulaiman Tripa, Pembagian Peran Lewat Adat Gampong, dikutip dari www.aceh
institute.org pada tanggal 10 Juni 2007
8
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudajaan
Provinsi Daerah Istimewa Atjeh, 1970), hal. 184-185

6
orang yang berhak menerimanya, dan terakhir membagi-bagikan kepada yang
berhak.9 Melalui sistem pembagian zakat ini dengan adil dapat menciptakan
suasana yang rukun antar sesama warga masyarakat.
Sangat jelaslah kedudukan geuchik adalah sebagai orang nomor satu
dalam sebuah gampong yang mengatur jalannya hukum agama dan hukum adat.
Secara hukum pemerintahan, kedudukan geuchik telah diatur dalam undang-
undang dan peraturan daerah sebagai lembaga yang berada di bawah mukim
dalam struktur organisasi Pemerintahan Provinsi NAD. Geuchik juga berhak
menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, membina
masyarakat, dan meningkatkan pelaksanaan syari’at Islam menurut adat setempat.

II.2 Geuchik Sebagai Alat Pengendali Sosial Masyarakat


Geuchik dalam kapasitasnya sebagai pimpinan berkewajiban
menciptakan suasana yang aman dan tenteram bagi masyarakatnya. Setelah
keamanan dan ketentraman ini terwujud, maka terbentuklah sebuah sistem
pengendalian sosial yang utuh dalam bingkai agama dan adat. Pengendalian sosial
merupakan suatu kegiatan direncanakan maupun tidak direncanakan, mengajak
atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum adat memegang peran penting
dalam pengendalian sosial masyarakat untuk mewujudkan kelompok masyarakat
yang memiliki nilai-nilai agama. Lembaga adat gampong dapat menciptakan
pengendalian sosial dengan beberapa cara: 1) mempertebal keyakinan masyarakat
akan kebaikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat, 2) memberikan
penghargaan kepada masyarakat yang menaati kaidah-kaidah yang berlaku
dengan menerapkan sanksi positif, 3) mengembangkan rasa malu dalam diri
masyarakat apabila mereka menyimpang dari kaidah-kaidah tertentu, 4)

9
Sampai sekarang hampir seluruh gampong mengakui bahwa pengumpulan zakat
merupakan salah satu tugas gampong. Lihat Al-Yasa’ Abu Bakar, Islam, Hukum, dan Masyarakat
di Aceh; Tajdid Syari’at Dalam Negara Bangsa. Makalah disampaikan pada Konfrensi
Internasional I Studi Aceh dan Asia Tenggara di Banda Aceh tanggal 24 – 27 Februari 2007.
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai peran gampong dalam pelaksanaan adat Aceh lihat juga
Moehammad Hoesin, op cit.

7
menimbulkan rasa takut dengan penerapan sanksi yang efektif, dan 5) menyusun
perangkat aturan-aturan hukum.10
Apabila dalam komunitas masyarakat di suatu gampong telah terjadi
pelanggaran hukum syari’at maupun hukum adat, maka geuchik harus bertindak
adil dalam menyelesaikan suatu perkara dan diselesaikan dalam konteks budaya
lokal. Sebagai pengendali sosial, geuchik harus mencari penyelesaian yang arif
dan bijaksana, bukannya mencari siapa yang benar dan salah. Agar terciptanya
keseimbangan sosial, geuchik dalam menyelesaikan perkara harus mengacu pada
asas-asas sebagai berikut: 1) kedudukan pihak-pihak yang bertikai adalah sama, 2)
peradilan dilaksanakan dengan hakim kolegial dengan hakim terdiri dari geuchik,
imuem meunasah, dan tuha peut, 3) hukum harus ditegakkan, akan tetapi harus
diperhatikan pula jangan sampai dengan putusan itu menimbulkan perpecahan
dalam masyarakat, 4) penyelesaian diwujudkan dalam bentuk perdamaian, dan 5)
penyelesaian perkara pidana dilakukan secara formal dan material.11
Setiap terjadinya kasus-kasus pidana maupun perdata baik di lingkungan
keluarga, masyarakat dalam satu gampong maupun dengan gampong lain, maka
geuchik harus memberikan solusi akhir dari penyelesaian kasus berupa
perdamaian. Dalam hal ini, H. Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum, salah seorang
tokoh adat Aceh menulis:
Dalam membangun penyelesaian damai, biasanya mekanismenya “damai
adat” ditempuh melalui dua jalan: pertama prosesi penyelesaian nilai-nilai
normatif (hukum adat), melalui forum “Adat Musapat”, musyawarah para
tokoh adat/lembaga terkait dan pihak-pihak bersangkutan dalam hubungan
penyelesaian sengketa/pelanggaran dengan menggunakan asas “luka
tasipat, darah tasukat” (kompensasi/kerugian), “buet nyan geit peureulee
keu bagah, beik jeut susah watei iblih teuka”. Kedua prosesi penyelesaian
formal melalui seremonial adat (publik) di depan umum, dengan inti acara
khanduri, peusijuek, bermaafan dan salaman, sayam (penyerahan
kompensasi), nasehat dan do’a.12

10
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia Cetakan Kedua, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2005), hal. 79-80
11
T. Juned, Penerapan Sistem dan Asas-asas Peradilan Hukum Adat Dalam
Penyelesaian Perkara, dalam M. Isa Sulaiman dan H. T. Syamsuddin (ed.), Pedoman Adat Aceh:
Peradilan dan Hukum Adat, (Banda Aceh: LAKA, 2001), hal. 18-23
12
H. Badruzzaman Ismail, Pengaruh Faktor Budaya Aceh Dalam Menjaga Perdamaian
dan Rekonstruksi, diambil dari www.acehinstitute.org pada tanggal 10 Juni 2007

8
Pendapat ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr.
Syahrizal, MA dan Ir. Agustina Arida, M.Si dalam penelitian penyelesaian
konflik:
Dalam sejarah adat Aceh diketahui, bahwa konflik yang terjadi dalam
komunitas masyarakat gampong, baik yang bersifat individual (internal
keluarga), antar individu maupun antar kelompok, diselesaikan dengan
bingkai adat dan agama. Pola agama dan adat ini ternyata dapat membawa
kepada kedamaian yang abadi dan permanen. Dalam praktik masyarakat
gampong, penyelesaian kasus pembunuhan dilakukan melalui institusi
di’et, penyelesaian kasus pidana di luar pembunuhan digunakan institusi
sayam, dan penyelesaian kasus perdata, sengketa air dan sawah, dan lain-
lain dipergunakan institusi suloh.13

Sedangkan menurut Al-Yasa’ Abu Bakar penyelesaian kasus seperti


masalah qishash dan di’et (diyat) diselesaikan oleh pemerintah gampong yang
disesuaikan dengan hukum adat pernah diterapkan pada masa dulu. Seratus ekor
unta dipahami sama dengan seratus ekor kerbau atau lembu. Dalam
implementasinya, hukuman qishash tidak pernah dijatuhkan karena keluarga
korban selalu memberikan pemaafan. Jumlah diyat, walaupun diakui seratus ekor
lembu untuk pembunuhan sengaja, di dalam kehidupan nyata dapat disetujui
hanya dengan membayar beberapa ekor lembu saja. Mengenai ta’zir, hukuman
terlebih dahulu dijatuhkan melalui musyawarah pimpinan gampong, jarang yang
sampai ke mahkamah yang pada waktu itu hanya ada pada tingkat uleebalang dan
ibu kota kerajaan. Hukuman denda, ganti rugi, harus mengaku salah dan minta
maaf merupakan hukuman yang kelihatannya dikenal luas.14
Dari beberapa pandangan di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah
wujud penyelesaian perkara diakhiri dengan damai karena ini merupakan ajaran
hukum syari’at Islam dan hukum adat Aceh. Dendam, caci-maki, dan merasa
dirugikan tidak dirasakan lagi oleh pihak korban karena pihak yang bersalah telah
diproses melalui hukum syari’at dan adat secara adil dengan perantara geuchik. Di
sinilah terjalinnya pengendalian sosial yang menciptakan rasa aman, tenteram,
dan tertib dalam masyarakat. Setelah seluruh penyelesaian perkara selesai, maka
13
Jurnal Seumike Edisi II, 2006, diterbitkan oleh Aceh Institute Banda Aceh. Lihat artikel
Syahrizal dan Agustina Arida, Pola Penyelesaian Konflik dalam Tradisi Masyarakat Gampong
Aceh, hal. 5
14
Al-Yasa’ Abu Bakar, op cit.,

9
segala perkara telah dilupakan masing-masing pihak yang bertikai. Masyarakat
pun dapat merasakan manfaat dan dapat menjalankan kehidupan adat sesuai
norma-norma yang berlaku
.
II.3 Analisis
Pengendalian sosial dalam adat ternyata sangat efektif diterapkan terhadap
berbagai gangguan sosial yang dilarang agama seperti pencurian, perampokan,
penganiyaan, perzinaan, dan lain-lain. Lembaga adat gampong sebagai
pengendalian sosial telah mengambil peran dalam mengatasi gangguan-gangguan
sosial tersebut. Setiap ada perkara-perkara yang terjadi di tengah masyarakat,
geuchik dan jajarannya sangat peka dalam menyelesaikannya. Oleh karena adanya
sikap tegas dan kharisma seorang geuchik serta sanksi-sanksi adat, masyarakat
menjadi segan untuk melakukan kesalahan-kesalahan yang dilarang dalam norma
agama dan adat.
Namun, teori-teori di atas saat ini mulai mengalami kemunduran. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah kurangnya kewibaan
geuchik sendiri dalam memimpin gampong. Geuchik seperti ini tidak akan mampu
menciptakan sistem pengendalian sosial yang utuh. Biasanya geuchik ini berada
dalam gampong-gampong yang dekat dengan masyarakat perkotaan. Akibatnya
nilai-nilai normatif menjadi berkurang disebabkan pengaruh globalisasi modern
yang tidak mampu diaplikasikan dengan budaya lokal.
Berbeda halnya dengan geuchik yang memimpin gampong-gampong di
wilayah terpencil, masyarakatnya masih menghormati nilai-nilai agama dan adat
sehingga jarang ditemukan pelanggaran keduanya. Peran gampong di sini benar-
benar menciptakan sistem pengendalian yang utuh dalam masyarakatnya,
sehingga aman dan tentram dapat dirasakan oleh masyarakatnya. Masyarakat pun
menyambut positif terhadap pelaksanaan hukum agama dan hukum adat di
wilayahnya masing-masing15

15
Pengalaman penulis saat melakukan survey Pilkada di Kecamatan Nisam Kabupaten
Aceh Utara pada tanggal 2 – 10 November 2006 dan pengalaman saat mengadakan investigasi
kasus selama bekerja di GeRAK (Gerakan Anti Korupsi) Aceh Besar di Kecamatan Pulo Aceh
Kabupaten Aceh Besar pada bulan Februari 2007

10
Faktor lain yang menghambat peran geuchik adalah lemahnya peran
geuchik sebagai lembaga yudikatif. Akibat lemahnya peran tersebut, masyarakat
cenderung melaporkan ke Mahkamah Syar’iyah untuk diselesaikan. Sejak
terbentuknya Mahkamah Syar’iyah, banyak kasus-kasus yang telah ditangani.
Dalam periode 2005 – 2006 Mahkamah Syar’iyah telah menangani 192 kasus
perkara jinayat di seluruh NAD. Perkara-perkara ini meliputi khamar (minuman
keras), maisir (judi), khalwat (mesum).16 Tetapi ada juga data yang luput dari
Mahkamah Syar’iyah. Kasus yang luput ini biasanya terjadi di wilayah-wilayah
terpencil. Mengenai kasus ini biasanya tetap dilaksanakan oleh institusi gampong
dalam menyelesaikan perkara sesuai dengan adat yang berlaku di masing-masing
tempat.
Begitu juga ketika terjadi kasus-kasus yang sering ditangkap basah oleh
masyarakat seperti kasus khalwat, sanksi yang dilakukan oleh masyarakat berupa
sanksi adat yaitu dimandikan oleh massa, harus membayar upacara pembersihan
desa, dinikahkan (bagi yang belum menikah) atau diceraikan (bagi yang sudah
menikah),17 yang dalam hukum formal dianggap sebagai penyelesaian yang main
hakim sendiri. Sehingga masyarakat yang melakukan prosesi seperti inilah yang
dianggap melanggar hukum.
Selain beberapa faktor tersebut, diperlukan juga peningkatan kesadaran
masyarakat dalam memahami begitu pentingnya hukum syari’at dan hukum adat
dalam menciptakan sistem pengendalian sosial masyarakat. Lembaga adat
gampong harus merumuskan kembali bagaimana bentuk hukum adat yang berlaku
di wilayah masing-masing seiring dengan semakin majunya globalisasi.
Tujuannya adalah untuk membangkitkan kembali peradaban Aceh yang
bermartabat di mata internasional.

III. PENUTUP
III.1 Kesimpulan
16
Harian Serambi Indonesia, Edisi jum’at 8 Juni 2007, hal. 3
17
Teuku Raja Itam Aswar Syiah Ulama, Penyelesaian Sengketa dan Berbagai Kasus,
dalam M. Isa Sulaiman dan H. T. Syamsuddin (ed.), Pedoman Adat Aceh: Peradilan dan Hukum
Adat, (Banda Aceh: LAKA, 2001), hal. 98

11
Pelaksanaan syari’at Islam di Aceh sangat didukung oleh pelaksanaan
kehidupan adat. Beranjak dari pedoman sejarah masa lalu, masyarakat Aceh saat
ini menyadari bahwa pentingnya pelaksanaan hukum syari’at Islam dengan basis
hukum adat akan mampu menciptakan suatu sistem pengendalian sosial
masyarakat yang kuat.
Untuk mengurangi tingkat pelanggaran hukum syari’at Islam, maka
lembaga adat gampong dapat meningkatkan perannya sebagai pembina adat
dalam menetapkan sanksi-sanksi sebagai efek jera bagi pelanggarnya dan sebagai
pelajaran bagi masyarakat lain agar tidak melanggar larangan-larangan agama dan
adat. Karena biasanya sanksi adat dapat memberikan bekasan pada penerima
sanksi berupa malu dan dikucilkan dalam masyarakat.
Akhirnya diperlukan suatu usaha dalam mengoptimalkan peran lembaga
adat gampong sebagai pengendalian sosial masyarakat agar hukum dapat berjalan.
Usaha ini merupakan tugas bersama bagi seluruh lapisan masyarakat apabila
benar-benar ingin melihat Aceh menjadi sebuah negeri yang memiliki peradaban
dan martabat dalam pandangan bangsa lain. Usaha yang dapat diwujudkan dalam
kehidupan yang nyata.

12

You might also like