Professional Documents
Culture Documents
NELAYAN BUGIS-MAKASSAR
By :
A. Adri Arief1
1
Contact Person : Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si.
Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10 Tamalanrea, Makassar
90245. E-mail : adri_arief@yahoo.com
Berkaitan dengan itu, masyarakat nelayan suku bangsa Bugis dan
Makassar, Mattulada (1983) dalam tulisannya menggambarkan orang Bugis dan
Makassar yang tinggal di daerah pantai dan pulau-pulau kecil, mencari ikan
merupakan suatu mata pencaharian hidup yang amat penting. Dalam hal ini,
mereka menangkap ikan dengan perahu-perahu layar sampai jauh dilaut. Orang
Bugis dan Makassar adalah sebagai suku bangsa pelaut di Nusantara ini yang
telah mengembangkan suatu kebudayaan bahari sejak beberapa abad yang lalu.
Sebagai suku bangsa pelaut, mereka telah mampu menciptakan teknologi
pelayaran yang sesuai dengan alam lingkungan kelautan, ciptaan perahu layar
yang terkenal seperti tipe ‘Pinisi’ dan ‘Lambo’. telah teruji kemampuannya
mengarungi perairan Nusantara bahkan sampai ke Srilangka dan Philipina untuk
‘berdagang’. Kemampuan berlayar dengan teknologi pelayaran yang dimiliki itu,
telah mendorong terciptanya hukum niaga dalam pelayaran, seperti “Ade
alloppiloping Bicaranna PabbaluE” yang tertulis pada lontarak oleh Amanna
Gappa” dalam abad ke-17 (1667). Dengan tulisan tersebut, terungkap jelas,
bahwa masyarakat nelayan suku Bugis-Makassar telah mengembangkan
kemampuannya menjadi masyarakat nelayan yang tertata pada suatu sistem
sosial kemasyarakatan dengan orientasi kebudayaan kepada laut sebagai
sarana dalam rangka aktivitas kehidupan mereka maupun dalam kegiatan
pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan laut yang tergambar dalam kehidupan
masyarakatnya yang mampu mengembangkan kemampuan dalam bidang
pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha perdagangan dan
aturan-aturan hukum dibidang perdagangan.
Salah satu bukti sejarah dari jiwa bahari nelayan suku Bugis dan
Makassar adalah adanya mobilitas yang tinggi sebagai spirit untuk
berusaha. Konteks itu terekam dalam pengaruh kebudayaan Bugis-Makassar
di pantai utara Australia. Disebutkan bahwa para nelayan Bugis dan Makassar
secara teratur berlayar ke perairan tersebut (Pantai Marege), setidaknya sejak
tahun 1650 (masa Kerajaan Gowa di Makasar). Mereka berlayar dalam bentuk
armada perahu berjumlah 30 sampai 60 perahu, dan masing-masing memuat
sampai 30 orang untuk mencari ikan teripang. Para nelayan suku Bugis-
Makassar diyakini senang berpetualang mencari daerah-daerah baru
penangkapan, para nelayan ikan teripang itu membangun rumah-rumah
sementara, menggali sumur dan menanam pohon-pohon asam di sana. Banyak
orang-orang Aborijin yang bekerja untuk para nelayan teripang tersebut,
mempelajari bahasa mereka, menggunakan kebiasaan menghisap tembakau,
membuat gambar perahu, mempelajari tarian mereka dan 'meminjam' beberapa
kisah yang mereka ceritakan. Beberapa orang Aborijin ikut berlayar pada saat
mereka pulang ke Sulawesi, dan kembali ke Australia pada musim monsun
berikutnya, bahkan beberapa di antaranya ada yang menetap di Sulawesi.
Sampai saat ini, pengaruh orang Bugis dan Makasar dapat dilihat dalam bahasa
dan kebiasaan yang digunakan oleh orang-orang suku Aborijin di Australia
(Heeren, 1972).