You are on page 1of 17

MAKALAH KEWARGANEGARAAN

Pelanggaran HAM dalam


Tragedi Semanggi

Dosen Pembimbing : M. Agus Salim, SH. MH.


Tim Penyusun :
Marsha Rindu Ckinthana 2008-11-088
Marha Shabrina 2008-11-089
Mega Prawita Sari 2008-11-090
Melisa 2008-11-091
Mettasari Puspa Wardoyo 2008-11-092
Miranti 2008-11-093
Mita Agustin Syukur 2008-11-094
Mohammad Maulana 2008-11-095
Mohammad Aldi Yudhi Dwitama 2008-11-096
Nur Izan Bazlina Bte Aznordin 2008-11-108
Nur Syafirah Bte Mohmad Nor 2008-11-111
Universitas Prof. Dr. Moestopo ( Beragama )
Tahun Ajaran 2008 / 2009

2
Bab I
Pendahuluan

Kasus pelanggaran HAM memang selalu menjadi isu menarik. Bahkan semua yang
melanggar kebebasan seseorang dinilai melanggar HAM. Kondisi ini mengingatkan pada
mencuatnya isu kebebasan dan hak-hak dasar manusia yang pernah menjadi ikon
kosmologi pada abad ke-18.

Pada masa itu hak-hak dasar tidak hanya dipandang sebagai kewajiban yang harus
dihormati penguasa. Tetapi, juga hak yang mutlak dimiliki oleh rakyat. Bahkan pada abad
18 muncul kredo (pernyataan kepercayaan) tiap manusia dikaruniakan hak-hak yang kekal.
Hak yang tidak dapat dicabut dan yang tidak pernah ditinggalkan ketika umat manusia
beralih untuk memasuki era baru dari kehidupan pramodern ke kehidupan modern. Serta
tidak pernah berkurang karena tuntutan hak memerintah penguasa. Betapa HAM telah
mendapatkan tempat khusus di tengah-tengah perkembangan kehidupan manusia mulai
abad 18 sampai sekarang.

Seorang penganut hukum alam Locke menyatakan bahwa masyarakat yang ideal
adalah masyarakat yang tidak melanggar hak-hak dasar manusia. Makna terdalam dari
pernyataan Locke adalah untuk mencapai suatu tatanan kehidupan masyarakat diperlukan
aturan ataupun perlengkapan yang dapat digunakan untuk menjaga eksistensi hak-hak dasar
manusia. Lalu apa perlengkapan yang diperlukan dalam upaya penegakan HAM.

Jawaban yang paling tepat tentunya adalah hukum. Seperti ungkapan dari Kant
bahwa manusia sebagai mahluk berakal dan berkehendak bebas sehingga negara memiliki
tugas untuk menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Oleh karena itu penguasa
dalam hal ini pemerintah tidak boleh melanggar maupun menghalangi. Kemakmuran dan
kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum.

3
Di Indonesia, hukum seperti apa yang dalam pelaksanaannya dapat mewujudkan
penegakan hak-hak manusia. Tentunya hukum yang benar-benar ditegakkan tanpa harus
diwarnai dengan carut-marut (segala coreng-moreng) dunia politik. Bahkan dalam rangka
melaksanakannya diperlukan orang-orang yang berani menentang arus. Atau mungkin
orang yang telah putus syaraf takutnya menghadapi kedikdayaan penguasa. Demi kaum
yang lemah.

Sepuluh tahun sudah tragedi Semanggi berlalu tanpa ada kepastian hukum. Saat ini
kembali bangsa Indonesia memperingati momentum Mei berdarah, yang telah melahirkan
pahlawan reformasi. Namun banyak orang sudah mulai lupa makna di balik pejuangan para
mahasiswa tersebut.

Belum adanya titik terang kasus Trisakti-Semanggi sangat erat hubungannya dengan
pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji bahwa pihaknya kesulitan menangani kasus
Trisakti sebagai pelanggaran berat HAM (JawaPos, 13/05/2007). Tragedi Semanggi yang
dikategorikan termasuk Pelanggaran HAM berat, menjadi banyak tanda tanya di
masyarakat. Oleh karena itu tim penyusun makalah akan membahas lebih lanjut mengenai
Tragedi Semanggi itu sendiri, Kejahatan Berat, kaitannya dengan HAM dan penanganan
dari pemerintah sendiri.

4
Bab II
Isi

2.1. Penyebab Tragedi Semanggi


Perjuangan Orde Reformasi dimulai dengan adanya krisis ekonomi yang melanda
Indonesia tahun 1997. Dengan dipelopori mahasiswa, rakyat Indonesia mulai melawan
ketidakadilan yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru dan memperjuangkan demokratisasi
di Indonesia.

Pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi memberikan harapan


bahwa demokratisasi telah dimulai. Namun patut disayangkan bahwa krisis ekonomi sejak
tahun 1997 belum membaik. Begitu juga permasalahan penegakan hukum, keadilan, dan
kepastian hukum yang masih jauh dari yang diharapkan masyarakat. Akibatnya, terjadi
beberapa kali kesalahpahaman / bentrokan antara mahasiswa dan masyarakat dengan aparat
pemerintah baik TNI maupun Polri serta terjadi peristiwa-peristiwa yang diduga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia. Kesalahpahaman dan bentrokan yang terjadi telah
mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak mahasiswa serta masyarakat maupun TNI /
Polri.

Peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat antara lain
peristiwa Trisakti dan Semanggi I & II.

Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang


Istimewa untuk menentukan pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda
pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak
mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR
Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta
pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

5
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang
dwifungsi ABRI/TNI karena dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah
bisa maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari
yang sudah berlalu, jadi, boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang diadakannya
Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan
demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini
mendapat perhatian sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir
seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut,
diliburkan untuk mecegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa
mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di
bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan
bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu
mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.

2.2. Peristiwa Semanggi


Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap
pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.
Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998,
masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian
kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang
menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh Jakarta
serta menyebabkan 217 korban luka-luka. Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan
masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks
Tugu Proklamasi.

Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak
menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada
yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob
dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu

6
dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman,
puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievakuasi ke Atma Jaya. Satu
orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari
kemudian ia meninggal dunia.

Anggota-anggota dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu
tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun
mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang
sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya
demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara".

Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka.
Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan
disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah
korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah:
Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas
Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus
Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.

Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17
orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di
Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang
anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga
masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan
senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa,
pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar
belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena
peluru nyasar di kepala.

7
2.3. Tragedi Semanggi II
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak
kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa. Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan
transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB)
yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer
untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa
bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB.

2.4. Kejahatan Berat


2.4.1. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Pengertian

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) merupakan kejahatan


yang sangat serius sehingga menjadi musuh umat manusia (hostis humanis generis). Dalam
hukum internasional pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana terumus
dalam kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan menurut hukum kebiasaan
internasional maupun prisip-prinsip hukum umum. Praktik-praktik internasional
menunjukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan jus cogens.

Kejahatan demikian menimbulkan obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat


internasional seara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan. Oleh
karena itu, terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan berlaku prinsip yurisdiksi universal.
Setiap negara dapat mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di manapun
dan dilakukan oleh warga negara lain.

Disamping kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum umum, kejahatan terhadap


kemanusiaan sudah diterima dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Statuta Roma
mengenai Pengadilan Pidana Internasional. Sudah diterima secara internasional pula bahwa
norma-norma di dalamnya merupakan kodifikasi dari hukum (pidana) internasional.

8
Demikian pula di tataran nasional. UU Pengadilan HAM No.26/2000 (pasal 9) mengakui
yurisdiksi pengadilan tersebut untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan.

Unsur penting dari kejahatan terhadap kemanusiaan adalah adanya serangan yang
dilakukan secara sistematis (systematic) atau meluas (widespread) dan serangan itu
ditujukankepada warga sipil. Tindak kejahatan inilah yang diduga terjadi pada kasus
Trisakti, Semanggi dan II.

Prinsip Non-Retroaktif dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Prinsip non retroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku untuk kejahatan terhadap
kemanusiaan karena alasan-alasan berikut ini:
1. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum kebiasaan
internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua sumber hukum itu,
orang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan baik secacara commission
maupun ommission dapat dihukum secara retroaktif.
2. Pasal 15 (2) kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik memungkinkan
pengecualian asas non retroaktif untuk kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai
kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum umum.

Pertanggungjawaban Komando

Pelaku tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut dalam


kapasitasnya sebagai penanggung jawab komando (command responsibility). Secara
konseptual seorang komandan dapat dimintai pertanggungjawaban baik atas perbuatan
pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang berada dibawah
pengendaliannya untuk melakukan salah satu atau beberapa perbuatan dari kejahatan
terhadap kemanusiaan (by commission) maupun karena membiarkan atau tidak melakukan
tindakan apapun terhadap pasukan dibawah pengendaliannya (by ommission).
Pertanggungjawaban karena pembiaran dilakukan misalnya ketika komandan bersangkutan
tidak melakukan upaya pencegahan perbuatan atau melaporkan kepada pihak berwenang
agar dilakukan penyelidikan.

9
Prinsip Non-Retroaktif

Berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hukum internasional yang diakui
dan dihormati dalam hukum nasional prinsip non retroaktif tidak berlaku untuk mengadili
kejahatan terhadap kemanusiaan.

2.4.2. Fakta dan Pola Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Berdasarkan fakta-fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian berbagai pihak, KPP


HAM menemukan berbagai kekerasan yang pada dasarnya melanggar hak asasi manusia
seperti pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perkosaan, perampasan
kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara sistematis serta meluas yang
dilakukan oleh pelaku tertentu dengan sasaran masyarakat tertentu. Masyarakat tersebut
secara khusus adalah mahasiswa maupun masyarakat yang berdemonstrasi terhadap
kekuasaan politik untukmenuntut perubahan, termasuk terhadap rencana melahirkan UU
PKB.

KPP HAM memusatkan perhatian pada tiga (3) rangkaian kejadian di sekitar
kampus Trisakti 12-13 Mei 1998, di sekitar Semanggi 13-14 November 1998 (dikenal
dengan peristiwa Semanggi I), dan pada 23-24 September 1999 (dikenal dengan Semanggi
II). Meskipun kurun waktu terjadinya peristiwa tesebut berbeda, tiga rangkaian peristiwa
ini tidak dapat dipisahkan dan dilepaskan dari kebijakan pemerintah dalam menghadapi
gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat akan perlunya reformasi.

Kekerasan-kekerasan yang tidak manusiawi dan sangat kejam yang ditemukan


dalam ketiga peristiwa itu mencakup tindakan-tindakan di bawah ini :
a. Pembunuhan
Telah terjadi pembunuhan yang sistematis di berbagai daerah dalam waktu yang
panjang, yaitu pada Mei 1998, Nopember 1998, serta September 1999. Tindakan
pembunuhan itu dilakukan terhadap mahasiswa demonstran, petugas bantuan medis,
anggota masyarakat yang berada disekitar lokasi demonstran, ataupun anggota
masyarakat yang dimobilisasi untuk menghadapi demonstran. Pembunuhan serupa juga

10
dilakukan dalam kerusuhan massa yang diciptakan secara sistematis sebagaimana
terjadi di Jakarta dan Solo pada Mei 1998 (lihat laporan TGPF).
b. Penganiayaan
Telah terjadi penganiayaan untuk membubarkan demonstrasi yang dilakukan sejumlah
mahasiswa dan anggota masyarakat yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI
(dahulu disebut ABRI). Penganiayaan ini terjadi secara berulang-ulang di berbagai
lokasi, seperti pada kampus Universitas Trisakti, dan Universitas Atmajaya, dan
Semanggi yang mengakibatkan timbulnya korban fisik (seperti terbunuh, luka ringan
dan luka berat) dan mental. Hal ini dikarenakan terkena gas air mata, pukulan,
tendangan, gigitan anjing pelacak dan tembakan sehingga harus mengalami perawatan
yang serius.
c. Perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara
Terutama pada Mei 1998, telah terjadi tindak kekerasan seksual termasuk perkosaan
yang mengakibatkan sejumlah perempuan mengalami trauma dan penderitaan fisik dan
mental. Trauma yang dialami sulit diatasi karena korban tidak berani tampil untuk
menceritakan apa yang dialaminya.
d. Penghilangan paksa
Pada bulan Mei 1998, telah terjadi penghilangan secara paksa terhadap 5 (lima) orang
yang diantaranya adalah aktifis dan anggota masyarakat yang hingga kini nasib dan
keberadaannya tidak diketahui. Dalam peristiwa ini, negara belum juga mampu
menjelaskan nasib dan keberaan mereka.
e. Perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik
Sebagai bagian dari tindakan kekerasan, dilakukan pula tindakan penggeledahan,
penangkapan dan penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang dan melewati
batas-batas kepatutan sehingga menimbulkan rasa tidak aman dan trauma. Perbuatan
ini dilakukan sebagai bagian yang tidak terpisah dari upaya penundukan secara fisik
dan mental terhadap korban.

11
2.4.3. Pemenuhan Unsur-unsur Kejahatan terhadap Kemanusiaan
dan Tanggung Jawab Pidana

Serangan

Adanya serangan yang sistematis atau meluas terhadap warga masyarakat


merupakan ciri utama dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari analisis terhadap ketiga
rangkaian kejadian di atas disimpulkan bahwa telah terpenuhi unsur-unsur kejahatan
terhadap kemanusiaan. Di bawah ini kami jabarkan analisis terhadap serangan beserta
konsekuensi pertanggungjawaban pidananya.

Serangan yang dilakukan aparat TNI dan POLRI pada tiga rangkaian peristiwa
tersebut sangat jelas bukan merupakan serangan dalam pengertian perang. Tetapi serangan
dalam pengertian “suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil
sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan
organisasi”, sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan UU No. 26/2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Penyerangan terhadap para demonstran pada ketiga peristiwa ini dan di daerah-
daerah luar Jakarta tampak tidak terukur dan di luar batas-batas kewajaran (exesive use of
force). Sebagaimana standar operasi pengendalian huru-hara penggunaan gas air mata,
meriam air dan tembakan salvo memang dilakukan, akan tetapi penggunaan cara itu
terutama senjata api dengan peluru karet atau tajam tetap harus dibatasi. Pada ketiga
rangkaian peristiwa, para demonstran tak hanya dibubarkan dengan perangkat penghalau,
tapi banyak yang diserang secara fisik, ataupun dianiaya, bahkan dalam beberapa kejadian
terjadi pelecehan dan serangan seksual, yang menunjukkan operasi pengendalian itu di luar
batas kewajaran. Setidaknya terdapat dua kasus penganiayaan (Semanggi I dan Semanggi
II) yang dilakukan oleh pasukan pengendali demonstrasi sehingga mengakibatkan korban
tewas.

Pola penyerangan yang terjadi di kampus Trisakti, di kampus Atmajaya (yang


dikenal dengan peristiwa Semanggi I) dan di jembatan Semanggi (yang dikenal dengan
peristiwa Semanggi II), juga terjadi di daerah-daerah lain akan tetapi tidak terbatas pada

12
penyerangan di sekitar kampus IKIP Negeri Yogyakarta yang menyebabkan tewasnya
Mozes Gatot Katja, seperti di Purwokerto, Lampung, dan Palembang.

2.4.4. Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi


Manusia Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II

Meskipun DPR RI telah merekomendasikan agar kasus Trisakti dan Semanggi I dan
II ditindak lanjuti dengan Pengadilan Umum dan Pengadilan Militer, namun sehubungan
dengan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat, tuntutan keadilan bagi
keluarga korban dan masyarakat, dan dalam rangka penegakan hukum dan penghormatan
hak asasi manusia, dipandang perlu Komnas HAM melakukan penyelidikan dengan
membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi
II.

Maka dalam Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001 menyepakati
pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Trisakti,
Semanggi I dan Semanggi II yang selanjutnya dituangkan dalam SK Nomor 034/KOMNAS
HAM/VII/ 2001 tanggal 27 Agustus 2001.

2.5. Landasan Hukum


Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia peristiwa
Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II didasarkan atas:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
3. Keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001.
4. Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/2001 tanggal 27
Agustus 2001 tentang Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia peristiwa Trisakti, Semanggi I& II.

13
2.6. Tugas dan Wewenang
Tugas dan wewenang KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II adalah :
1. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang terjadi dan kasus-
kasus yang berkaitan
2. Meminta keterangan pihak-pihak korban
3. Memanggil dan memeriksa saksi-saksi dan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam
pelanggaran hak asasi manusia
4. Mengumpulkan bukti-bukti tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia
5. Meninjau dan mengumpulkanketerangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang
dianggap perlu
6. Kegiatan lain yang dianggap perlu

2.7. Masa Tugas


KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II melaksanakan tugas mulai
tanggal 27 Agustus sampai dengan 27 November 2001 dan dapat diperpanjang selama 90
(sembilan puluh) hari apabila dipandang perlu.

Hasil penyelidikan KPP HAM Trisakti dan Semanggi I & II akan diserahkan kepada
Sidang paripurna Komnas HAM untuk disahkan sebelum diserahkan kepada penyidik
untuk ditindak lanjuti sampai dengan Pengadilan HAM.

Pada saat ini KPP HAM Trisakti dan Semanggi I & II sedang menjalankan
kegiatannya sesuai dengan prosedur dan mekanisme kerjanya yang memenuhi standar
internasional maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

14
Bab III
Penutup

Penanganan dan penyelesaian kasus Trisakti-Semanggi tidak pernah mendapatkan


kepastian hukum. Sepertinya keberadaan UU HAM, Komnas HAM, dan KPP HAM tidak
berdaya mengungkap tragedi kemanusiaan tersebut. Ironisnya justru memunculkan
perbedaan pendapat. Apakah tragedi berdarah ini termasuk pelanggaran HAM berat atau
bukan. Sebenarnya ada apa dengan aparat penegak hukum kita.

Di Indonesia, hukum seperti apa yang dalam pelaksanaannya dapat mewujudkan


penegakan hak-hak manusia. Tentunya hukum yang benar-benar ditegakkan tanpa harus
diwarnai dengan carut-marut dunia politik. Bahkan dalam rangka melaksanakannya
diperlukan orang-orang yang berani menentang arus. Atau mungkin orang yang telah putus
syaraf takutnya menghadapi kedikdayaan penguasa.Demi kaum yang lemah.

Semangat negara hukum yang dianut Indonesia bukan hanya sekedar angan. Tetapi,
merupakan pernyataan yang harus selalu menjadi acuan. Mengingat di dalamnya
terkandung rasa hukum, kesadaran hukum, dan aspek keadilan.Dalam pelaksanaannya
penegakan HAM memang bukan hal yang mudah, meskipun sudah ada dasar
konstitusional. Hal itu disebabkan masih adanya kendala yang terus-menerus membayangi
pelaksanaan HAM. Kendala pertama adalah kendala teknis-prosedural, yang menyangkut
pembuktian secara hukum dan ketersediaan aturan hukum. Kedua, kendala politis yang
ditandai oleh adanya kekuatan yang besar untuk menghambat upaya penyelesaian melalui
pengadilan (Moh. Mahfud MD, 2000).

Dalam rangka penegakan HAM pergeseran konsep negara hukum rawan terjadi.
Terdapat pembenaran secara konstitusional berupa undang-undang atau peraturan
perundang-undangan. Akibatnya negara hanya akan menjadi negara undang-undang. Sarat
ditunggangi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Oleh karena itu selayaknya

15
Indonesia segera menghindar dari kondisi sekedar mengkambinghitamkan UU sebagai
alasan dasar kegagalan pengusutan pelanggaran dan kejahatan.

Dalam rangka mencari jalan keluar dari masalah Trisakti-Semanggi bukan tidak
mungkin panitia ad hoc HAM dibentuk. Bukankah di dalam hukum sendiri terdapat
adagium yang diterima sebagai prinsip yakni salus populi suprema lex yang berarti
keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.

Setiap tindakan dalam rangka menyelamatkan rakyat serta keutuhan bangsa harus
dilakukan oleh negara. Karena tindakan penyelamatan merupakan hukum yang lebih tinggi
dari hukum-hukum yang telah ada. Asalkan alasan-alasannya bisa diterima oleh rakyat dan
bukan merupakan tindakan sepihak oleh penguasa.

Bagaimana mungkin tragedi Trisakti-Semanggi yang jelas-jelas telah menyebabkan


hilangnya nyawa orang, bisa bebas dari upaya hukum. Apapun kendalanya dan tingkat
kesulitannya tidak menjadi alasan untuk putus asa mengungkap tabir kejahatan pelanggar
HAM.

Upaya memetieskan suatu tindakan pelanggaran memang bisa ditempuh sebagai


alternatif terakhir ketika pelanggaran yang terjadi dianggap sudah terlalu lama berlalu. Itu
pun dengan prasyarat pada saat itu belum ada peraturan yang berlaku. Sedangkan peraturan
yang ada tidak berlaku surut. Namun, bukan berarti kita sebagai orang yang pernah
memetik hasil dari upaya para pendahulu bisa berdiam diri. Penegakan hukum harus terus
dilakukan.

Tragedi Trisakti-Semanggi mungkin telah menjadi sejarah. Namun jangan sampai


penegakan hukum di Indonesia juga hanya menjadi cerita masa lalu. Jangan sampai suatu
tindakan pelanggaran terlepas dari kaca mata hukum hanya karena tertutup oleh isu-isu
yang sedang hangat beredar atau adanya kepentingan tertentu. Aparat penegak hukum harus
terus melebarkan sayapnya demi mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum. Itu tugas
yang jelas diamanatkan pada mereka.

16
Daftar Pustaka

Tim Kewarganegaraan SMA. 2005. Kewarganegaraan Untuk Kelas XII. Jakarta: PT


Galaxy Puspa Mega.

Tim Kewarganegaraan SMA. 2005. Kewarganegaraan Untuk Kelas X. Jakarta: PT Galaxy


Puspa Mega.

http://www.dephan.go.id/fakta/p_semanggi.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi

http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/semanggi.html

http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/06/17/nrs,20040617-11,id.html
(Kamis, 17 Juni 2004)

http://satudunia.oneworld.net/node/3092

http://suarapembaca.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/05/tgl/29/time/17040
5/idnews/786728/idkanal/471
(Selasa, 29/05/2007 17:04 WIB)

http://www.sekitarkita.com/comments.php?id=487_0_1_0_M81

17

You might also like