Professional Documents
Culture Documents
2
Bab I
Pendahuluan
Kasus pelanggaran HAM memang selalu menjadi isu menarik. Bahkan semua yang
melanggar kebebasan seseorang dinilai melanggar HAM. Kondisi ini mengingatkan pada
mencuatnya isu kebebasan dan hak-hak dasar manusia yang pernah menjadi ikon
kosmologi pada abad ke-18.
Pada masa itu hak-hak dasar tidak hanya dipandang sebagai kewajiban yang harus
dihormati penguasa. Tetapi, juga hak yang mutlak dimiliki oleh rakyat. Bahkan pada abad
18 muncul kredo (pernyataan kepercayaan) tiap manusia dikaruniakan hak-hak yang kekal.
Hak yang tidak dapat dicabut dan yang tidak pernah ditinggalkan ketika umat manusia
beralih untuk memasuki era baru dari kehidupan pramodern ke kehidupan modern. Serta
tidak pernah berkurang karena tuntutan hak memerintah penguasa. Betapa HAM telah
mendapatkan tempat khusus di tengah-tengah perkembangan kehidupan manusia mulai
abad 18 sampai sekarang.
Seorang penganut hukum alam Locke menyatakan bahwa masyarakat yang ideal
adalah masyarakat yang tidak melanggar hak-hak dasar manusia. Makna terdalam dari
pernyataan Locke adalah untuk mencapai suatu tatanan kehidupan masyarakat diperlukan
aturan ataupun perlengkapan yang dapat digunakan untuk menjaga eksistensi hak-hak dasar
manusia. Lalu apa perlengkapan yang diperlukan dalam upaya penegakan HAM.
Jawaban yang paling tepat tentunya adalah hukum. Seperti ungkapan dari Kant
bahwa manusia sebagai mahluk berakal dan berkehendak bebas sehingga negara memiliki
tugas untuk menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Oleh karena itu penguasa
dalam hal ini pemerintah tidak boleh melanggar maupun menghalangi. Kemakmuran dan
kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum.
3
Di Indonesia, hukum seperti apa yang dalam pelaksanaannya dapat mewujudkan
penegakan hak-hak manusia. Tentunya hukum yang benar-benar ditegakkan tanpa harus
diwarnai dengan carut-marut (segala coreng-moreng) dunia politik. Bahkan dalam rangka
melaksanakannya diperlukan orang-orang yang berani menentang arus. Atau mungkin
orang yang telah putus syaraf takutnya menghadapi kedikdayaan penguasa. Demi kaum
yang lemah.
Sepuluh tahun sudah tragedi Semanggi berlalu tanpa ada kepastian hukum. Saat ini
kembali bangsa Indonesia memperingati momentum Mei berdarah, yang telah melahirkan
pahlawan reformasi. Namun banyak orang sudah mulai lupa makna di balik pejuangan para
mahasiswa tersebut.
Belum adanya titik terang kasus Trisakti-Semanggi sangat erat hubungannya dengan
pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji bahwa pihaknya kesulitan menangani kasus
Trisakti sebagai pelanggaran berat HAM (JawaPos, 13/05/2007). Tragedi Semanggi yang
dikategorikan termasuk Pelanggaran HAM berat, menjadi banyak tanda tanya di
masyarakat. Oleh karena itu tim penyusun makalah akan membahas lebih lanjut mengenai
Tragedi Semanggi itu sendiri, Kejahatan Berat, kaitannya dengan HAM dan penanganan
dari pemerintah sendiri.
4
Bab II
Isi
Peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat antara lain
peristiwa Trisakti dan Semanggi I & II.
5
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang
dwifungsi ABRI/TNI karena dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah
bisa maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari
yang sudah berlalu, jadi, boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang diadakannya
Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan
demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini
mendapat perhatian sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir
seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut,
diliburkan untuk mecegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa
mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di
bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan
bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu
mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.
Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak
menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada
yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob
dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu
6
dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman,
puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievakuasi ke Atma Jaya. Satu
orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari
kemudian ia meninggal dunia.
Anggota-anggota dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu
tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun
mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang
sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya
demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara".
Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka.
Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan
disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah
korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah:
Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas
Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus
Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17
orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di
Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang
anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga
masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan
senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa,
pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar
belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena
peluru nyasar di kepala.
7
2.3. Tragedi Semanggi II
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak
kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa. Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan
transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB)
yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer
untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa
bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB.
Pengertian
8
Demikian pula di tataran nasional. UU Pengadilan HAM No.26/2000 (pasal 9) mengakui
yurisdiksi pengadilan tersebut untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan.
Unsur penting dari kejahatan terhadap kemanusiaan adalah adanya serangan yang
dilakukan secara sistematis (systematic) atau meluas (widespread) dan serangan itu
ditujukankepada warga sipil. Tindak kejahatan inilah yang diduga terjadi pada kasus
Trisakti, Semanggi dan II.
Prinsip non retroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku untuk kejahatan terhadap
kemanusiaan karena alasan-alasan berikut ini:
1. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum kebiasaan
internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua sumber hukum itu,
orang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan baik secacara commission
maupun ommission dapat dihukum secara retroaktif.
2. Pasal 15 (2) kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik memungkinkan
pengecualian asas non retroaktif untuk kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai
kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum umum.
Pertanggungjawaban Komando
9
Prinsip Non-Retroaktif
Berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hukum internasional yang diakui
dan dihormati dalam hukum nasional prinsip non retroaktif tidak berlaku untuk mengadili
kejahatan terhadap kemanusiaan.
KPP HAM memusatkan perhatian pada tiga (3) rangkaian kejadian di sekitar
kampus Trisakti 12-13 Mei 1998, di sekitar Semanggi 13-14 November 1998 (dikenal
dengan peristiwa Semanggi I), dan pada 23-24 September 1999 (dikenal dengan Semanggi
II). Meskipun kurun waktu terjadinya peristiwa tesebut berbeda, tiga rangkaian peristiwa
ini tidak dapat dipisahkan dan dilepaskan dari kebijakan pemerintah dalam menghadapi
gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat akan perlunya reformasi.
10
dilakukan dalam kerusuhan massa yang diciptakan secara sistematis sebagaimana
terjadi di Jakarta dan Solo pada Mei 1998 (lihat laporan TGPF).
b. Penganiayaan
Telah terjadi penganiayaan untuk membubarkan demonstrasi yang dilakukan sejumlah
mahasiswa dan anggota masyarakat yang dilakukan oleh aparat TNI dan POLRI
(dahulu disebut ABRI). Penganiayaan ini terjadi secara berulang-ulang di berbagai
lokasi, seperti pada kampus Universitas Trisakti, dan Universitas Atmajaya, dan
Semanggi yang mengakibatkan timbulnya korban fisik (seperti terbunuh, luka ringan
dan luka berat) dan mental. Hal ini dikarenakan terkena gas air mata, pukulan,
tendangan, gigitan anjing pelacak dan tembakan sehingga harus mengalami perawatan
yang serius.
c. Perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara
Terutama pada Mei 1998, telah terjadi tindak kekerasan seksual termasuk perkosaan
yang mengakibatkan sejumlah perempuan mengalami trauma dan penderitaan fisik dan
mental. Trauma yang dialami sulit diatasi karena korban tidak berani tampil untuk
menceritakan apa yang dialaminya.
d. Penghilangan paksa
Pada bulan Mei 1998, telah terjadi penghilangan secara paksa terhadap 5 (lima) orang
yang diantaranya adalah aktifis dan anggota masyarakat yang hingga kini nasib dan
keberadaannya tidak diketahui. Dalam peristiwa ini, negara belum juga mampu
menjelaskan nasib dan keberaan mereka.
e. Perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik
Sebagai bagian dari tindakan kekerasan, dilakukan pula tindakan penggeledahan,
penangkapan dan penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang dan melewati
batas-batas kepatutan sehingga menimbulkan rasa tidak aman dan trauma. Perbuatan
ini dilakukan sebagai bagian yang tidak terpisah dari upaya penundukan secara fisik
dan mental terhadap korban.
11
2.4.3. Pemenuhan Unsur-unsur Kejahatan terhadap Kemanusiaan
dan Tanggung Jawab Pidana
Serangan
Serangan yang dilakukan aparat TNI dan POLRI pada tiga rangkaian peristiwa
tersebut sangat jelas bukan merupakan serangan dalam pengertian perang. Tetapi serangan
dalam pengertian “suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil
sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan
organisasi”, sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan UU No. 26/2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Penyerangan terhadap para demonstran pada ketiga peristiwa ini dan di daerah-
daerah luar Jakarta tampak tidak terukur dan di luar batas-batas kewajaran (exesive use of
force). Sebagaimana standar operasi pengendalian huru-hara penggunaan gas air mata,
meriam air dan tembakan salvo memang dilakukan, akan tetapi penggunaan cara itu
terutama senjata api dengan peluru karet atau tajam tetap harus dibatasi. Pada ketiga
rangkaian peristiwa, para demonstran tak hanya dibubarkan dengan perangkat penghalau,
tapi banyak yang diserang secara fisik, ataupun dianiaya, bahkan dalam beberapa kejadian
terjadi pelecehan dan serangan seksual, yang menunjukkan operasi pengendalian itu di luar
batas kewajaran. Setidaknya terdapat dua kasus penganiayaan (Semanggi I dan Semanggi
II) yang dilakukan oleh pasukan pengendali demonstrasi sehingga mengakibatkan korban
tewas.
12
penyerangan di sekitar kampus IKIP Negeri Yogyakarta yang menyebabkan tewasnya
Mozes Gatot Katja, seperti di Purwokerto, Lampung, dan Palembang.
Meskipun DPR RI telah merekomendasikan agar kasus Trisakti dan Semanggi I dan
II ditindak lanjuti dengan Pengadilan Umum dan Pengadilan Militer, namun sehubungan
dengan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat, tuntutan keadilan bagi
keluarga korban dan masyarakat, dan dalam rangka penegakan hukum dan penghormatan
hak asasi manusia, dipandang perlu Komnas HAM melakukan penyelidikan dengan
membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi
II.
Maka dalam Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001 menyepakati
pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Trisakti,
Semanggi I dan Semanggi II yang selanjutnya dituangkan dalam SK Nomor 034/KOMNAS
HAM/VII/ 2001 tanggal 27 Agustus 2001.
13
2.6. Tugas dan Wewenang
Tugas dan wewenang KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II adalah :
1. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang terjadi dan kasus-
kasus yang berkaitan
2. Meminta keterangan pihak-pihak korban
3. Memanggil dan memeriksa saksi-saksi dan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam
pelanggaran hak asasi manusia
4. Mengumpulkan bukti-bukti tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia
5. Meninjau dan mengumpulkanketerangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang
dianggap perlu
6. Kegiatan lain yang dianggap perlu
Hasil penyelidikan KPP HAM Trisakti dan Semanggi I & II akan diserahkan kepada
Sidang paripurna Komnas HAM untuk disahkan sebelum diserahkan kepada penyidik
untuk ditindak lanjuti sampai dengan Pengadilan HAM.
Pada saat ini KPP HAM Trisakti dan Semanggi I & II sedang menjalankan
kegiatannya sesuai dengan prosedur dan mekanisme kerjanya yang memenuhi standar
internasional maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
14
Bab III
Penutup
Semangat negara hukum yang dianut Indonesia bukan hanya sekedar angan. Tetapi,
merupakan pernyataan yang harus selalu menjadi acuan. Mengingat di dalamnya
terkandung rasa hukum, kesadaran hukum, dan aspek keadilan.Dalam pelaksanaannya
penegakan HAM memang bukan hal yang mudah, meskipun sudah ada dasar
konstitusional. Hal itu disebabkan masih adanya kendala yang terus-menerus membayangi
pelaksanaan HAM. Kendala pertama adalah kendala teknis-prosedural, yang menyangkut
pembuktian secara hukum dan ketersediaan aturan hukum. Kedua, kendala politis yang
ditandai oleh adanya kekuatan yang besar untuk menghambat upaya penyelesaian melalui
pengadilan (Moh. Mahfud MD, 2000).
Dalam rangka penegakan HAM pergeseran konsep negara hukum rawan terjadi.
Terdapat pembenaran secara konstitusional berupa undang-undang atau peraturan
perundang-undangan. Akibatnya negara hanya akan menjadi negara undang-undang. Sarat
ditunggangi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Oleh karena itu selayaknya
15
Indonesia segera menghindar dari kondisi sekedar mengkambinghitamkan UU sebagai
alasan dasar kegagalan pengusutan pelanggaran dan kejahatan.
Dalam rangka mencari jalan keluar dari masalah Trisakti-Semanggi bukan tidak
mungkin panitia ad hoc HAM dibentuk. Bukankah di dalam hukum sendiri terdapat
adagium yang diterima sebagai prinsip yakni salus populi suprema lex yang berarti
keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.
Setiap tindakan dalam rangka menyelamatkan rakyat serta keutuhan bangsa harus
dilakukan oleh negara. Karena tindakan penyelamatan merupakan hukum yang lebih tinggi
dari hukum-hukum yang telah ada. Asalkan alasan-alasannya bisa diterima oleh rakyat dan
bukan merupakan tindakan sepihak oleh penguasa.
16
Daftar Pustaka
http://www.dephan.go.id/fakta/p_semanggi.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi
http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/semanggi.html
http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/06/17/nrs,20040617-11,id.html
(Kamis, 17 Juni 2004)
http://satudunia.oneworld.net/node/3092
http://suarapembaca.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/05/tgl/29/time/17040
5/idnews/786728/idkanal/471
(Selasa, 29/05/2007 17:04 WIB)
http://www.sekitarkita.com/comments.php?id=487_0_1_0_M81
17