Professional Documents
Culture Documents
Berkembangnya geografi di dunia Islam dimulai ketika Khalifah Al-Ma’mun yang berkuasa dari tahun
813 hingga 833 M memerintahkan para geografer Muslim untuk mengukur kembali jarak bumi.
Islam mendorong umatnya untuk membuka pikiran dan cakrawala. Allah SWT
berfirman: Sungguh telah berlaku sunnah Allah (hukum Allah) maka berjalanlah
kamu di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibat (perbuatan) orangorang
mendustakan ayat-ayat-Nya. (QS. Al-Imran: 137). Perintah ini telah membuat umat
Islam di abad-abad pertama berupaya untuk melakukan ekspansi serta ekspedisi.
Selain dilandasi faktor ideologi dan politik, ekspansi Islam yang berlangsung begitu
cepat itu juga didorong insentif perdagangan yang menguntungkan. Tak pelak umat
Islam pun mulai mengarungi lautan dan menjelajah daratan untuk menyebarkan
agama Allah. Seiring meluasnya ekspansi dan ekspedisi ruterute perjalanan melalui
darat dan laut pun mulai bertambah.
Tak heran, jika sejak abad ke-8 M, kawasan Mediterania telah menjadi jalur utama
Muslim. Jalur-jalur laut dan darat yang sangat sering digunakan akhirnya
menghubungkan seluruh wilayah Muslim yang berkembang mencapai India, Asia
Tenggara, dan Cina meluas ke utara dari Sungai Volga hingga Skandinavia dan
menjangkau jauh ke pedalaman Afrika.
Ekspansi dan ekspedisi di abad-abad itu mendorong para sarjana dan penjelajah
Muslim untuk mengembangkan geografi atau ilmu bumi. Di era kekhalifahan,
geografi mulai berkembang dengan pesat. Perkembangan geografi yang ditandai
dengan ditemukannya peta dunia serta jalur-jalur perjalanan di dunia Muslim itu
ditopang sejumlah faktor pendukung.
Umat Islam memang bukan yang pertama mengembangkan dan menguasai geografi.
Ilmu bumi pertama kali dikenal bangsa Yunani adalah bangsa yang pertama dikenal
secara aktif menjelajahi geografi. Beberapa tokoh Yunani yang berjasa
mengeksplorasi geografi sebagai ilmu dan filosofi antara lain; Thales dari Miletus,
Herodotus, Eratosthenes, Hipparchus, Aristotle, Dicaearchus dari Messana, Strabo,
dan Ptolemy.
Selain itu, bangsa Romawi juga turut memberi sumbangan pada pemetaan karena
mereka banyak menjelajahi negeri dan menambahkan teknik baru. Salah satu
tekniknya adalah periplus, deskripsi pada pelabuhan, dan daratan sepanjang garis
pantai yang bisa dilihat pelaut di lepas pantai.
Selepas Romawi jatuh, Barat dicengkeram dalam era kegelapan. Perkembangan ilmu
pengetahuan justru mulai berkembang pesat di Timur Tengah. Geografi mulai
berkembang pesat pada era Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
Ketika itu, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al- Mamun berkuasa, mereka mendorong
para sarjana Muslim untuk menerjemahkan naskah-naskah kuno dari Yunani ke dalam
bahasa Arab.
Berkembangnya geografi di dunia Islam dimulai ketika Khalifah Al- Ma’mun yang
berkuasa dari tahun 813 hingga 833 M memerintahkan para geografer Muslim untuk
mengukur kembali jarak bumi. Sejak saat itu muncullah istilah mil untuk mengukur
jarak. Sedangkan orang Yunani menggunakan istilah stadion.
Upaya dan kerja keras para geografer Muslim itu berbuah manis. Umat Islam pun
mampu menghitung volume dan keliling bumi. Berbekal keberhasilan itu, Khalifah
Al-Mamun memerintahkan para geografer Muslim untuk menciptakan peta bumi yang
besar. Adalah Musa Al-Khawarizmi bersama 70 geografer lainnya mampu membuat
peta globe pertama pada tahun 830 M.
Khawarizmi juga berhasil menulis kitab geografi yang berjudul Surah Al- Ard
(Morfologi Bumi) sebuah koreksi terhadap karya Ptolemaeus. Kitab itu menjadi
landasan ilmiah bagi geografi Muslim tradisional. Pada abad yang sama, Al-Kindi
juga menulis sebuah buku bertajuk ‘Keterangan tentang Bumi yang Berpenghuni’.
Sejak saat itu, geografi pun berkembang pesat. Sejumlah geografer Muslim berhasil
melakukan terobosan dan penemuan penting. Di awal abad ke-10 M, secara khusus,
Abu Zayd Al-Balkhi yang berasal dari Balkh mendirikan sekolah di kota Baghdad
yang secara khusus mengkaji dan membuat peta bumi.
Di abad ke-11 M, seorang geografer termasyhur dari Spanyol, Abu Ubaid Al- Bakri
berhasil menulis kitab di bidang geografi, yakni Mu’jam Al-Ista’jam (Eksiklopedi
Geografi) dan Al-Masalik wa Al-Mamalik (Jalan dan Kerajaan). Buku pertama berisi
nama-nama tempat di Jazirah Arab. Sedangkan yang kedua berisi pemetaan geografis
dunia Arab zaman dahulu.
Pada abad ke-12, geografer Muslim, Al-Idrisi berhasil membuat peta dunia. Al-Idrisi
yang lahir pada tahun 1100 di Ceuta Spanyol itu juga menulis kitab geografi berjudul
Kitab Nazhah Al- Muslak fi Ikhtira Al-Falak (Tempat Orang yang Rindu Menembus
Cakrawala). Kitab ini begitu berpengaruh sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin, Geographia Nubiensis.
Penjelajah Muslim asal Maroko, Ibnu Battuta di abad ke-14 M memberi sumbangan
dalam menemukan rute perjalanan baru. Hampir selama 30 tahun, Ibnu Battuta
menjelajahi daratan dan mengarungi lautan untuk berkeliling dunia. Penjelajah
Muslim lainnya yang mampu mengubah rute perjalanan laut adalah Laksamana
Cheng Ho dari Tiongkok. Dia melakukan ekspedisi sebanyak tujuh kali mulai dari
tahun 1405 hingga 1433 M.
Sederet geografer Muslim telah banyak memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu
bumi. Al-Kindi diakui begitu berjasa sebagai geografer pertama yang
memperkenalkan percobaan ke dalam ilmu bumi. Sedangkan, Al-Biruni didapuk
sebagai ‘bapak geodesi’ yang banyak memberi kontribusi terhadap geografi dan juga
geologi.
Al-Biruni-lah yang menemukan radius bumi mencapai 6.339,6 km. Hingga abad ke-
16 M, Barat belum mampu mengukur radius bumi seperti yang dilakukan Al-Biruni.
Bapak sejarah sains, George Sarton, juga mengakui kontribusi sarjana Muslim dalam
pengembangan geografi dan geologi. ‘’Kita menemukan dalam tulisannya metedo
penelitian kimia, sebuah teori tentang pembentukan besi.’’
Salah satu kekhasan yang dikembangkan geografer Muslim adalah munculnya bio-
geografi. Hal itu didorong oleh banyaknya orang Arab di era kekhalifahan yang
tertarik untuk mendistribusi dan mengklasifikasi tanaman, binatang, dan evolusi
kehidupan. Para sarjana Muslim mencoba menganalisis beragam jenis tanaman.
‘’ Di restoran seseorang dapat membeli semua jenis hidangan yang telah disediakan,
ungkap Al-Muqaddasi. Restoran yang tersebar di Spanyol Islam menawarkan tiga
menu hidangan utama. Yakni sup, menu utama, dan pencuci mulut. Restoran
kemudian berkembang di peradaban Cina mulai abad ke-11 M.
Lalu kapan peradaban Barat mulai mengenal restoran? Jawabannya adalah pada abad
ke-19. Restoran pertama di dunia Barat muncul di Prancis. Umat Islam telah berhasil
membuat aneka resep hidangan dan masakan. Di era keemasan, terdapat sederet buku
tentang masak-memasak. Beberapa buku kuliner yang dihasilkan para koki Muslim
itu antara lain; Kanz al-fawa’id fi tanwi’ al-maw’id yang ditulis seorang koki tak
dikenal dari Mesir dan Fadhalat al-khiwan fi atayyibat at-taíam wa-’l-’alwan yang
ditulis Ibnu Razin Attujibi pada abad ke-12 di Spanyol.
Selain itu, ada pula Kitab At-tabikh fi al-Maghrib wa-’l-Andalus yang disusun
seorang koki tak dikenal di Maroko pada abad ke-12 M; Kitab At-tabikh yang ditulis
Mohammed al-Baghdadi pada abad ke-13 M di Irak; Kitab At-Tabikh, ditulis Ibn
Sayyar al-Warraq pada abad ke-13 M di Irak; Tadhkira, ditulis Dawad al-Antaki pada
abad ke-13 M di Suriah; dan Wasla ël-habib fi wasf al-tayyibat wa-t-tibb, ditulis Ibnu
A’dim pada abad ke-13 M di Suriah.
Awalnya, resep-resep itu hanya beredar di kalang an istana. Setelah itu, barulah
masyarakat biasa bisa meracik hidangan sesuai resep yang dibuat para koki andal itu.
Saat itu, ilmu gizi telah dikembangkan sebagai salah satu bentuk pengobatan.
Penguasa Muslim di era itu sudah memperkenalkan pentingnya menjaga kesehatan
tubuh.
Di abad ke-13 M, buku-buku gizi beserta resep-resep masakan yang disusun para
dokter Muslim menarik perhatian para penguasa, tak terkecuali gereja di Barat pun
ikut kepincut untuk mempelajarinya. Minat untuk mempelajari ilmu gizi beserta
resep-resep makanan dan hidangannya semakin berkembang pesat ketika Ferrara,
Salerno, Montpellier, dan Paris, menjadi pusat untuk mempelajari ilmu kedokteran
Islam.
Salad dan sup juga merupakan hidangan yang diracik dan disarankan dokter Muslim,
seperi Al-Razi dan Ibnu Zohr. Selain itu, pasta juga ternyata warisan kuliner Islam.
Petualang Muslim pada abad ke-11 M bernama Al-Bakri menuliskannya dalam
catatan perjalanannya. Pada abad itu, wanita-wanita Muslim sudah membuat pasta
untuk jamuan makan. Begitulah peradaban Islam mengembangkan aneka hasil
pertanian