Professional Documents
Culture Documents
Ketika seorang penulis Mesir, Muhammad Quthub, memberi judul bukunya Islam: The
Misunderstood Religion, (Islam: Agama Yang Disalahpahami), dia secara sopan
mengungkapkan sentimen Muslim mengenai cara kaum orientalis memperlakukan Islam dan
kaum Muslim secara umum. Tetapi, kritik lebih terus-terang mengenai orientalisme, yang diakui
oleh mayoritas kaum Muslim, adalah yang diajukan oleh Edward Sa’id:
"Hal tersulit untuk diakui oleh para pakar Islam adalah bahwa apa yang mereka lakukan dan
katakan sepenuhnya dilatari, dan dalam beberapa cara secara ofensif, oleh konteks politik. Segala
hal mengenai kajian Islam di Barat Kontemporer dipenuhi dengan kepentingan politik, tetapi
sangat sulit bagi penulis mengenai Islam, apakah mereka itu pakar atau awam, mengakui fakta
dari apa yang mereka katakan itu. Objektivitas dianggap inheren dalam wacana yang dikaji
mengenai masyarakat-masyarakat lain, meskipun sejarah panjang politik, moral, dan konsern
agama yang ada dalam semua masyarakat, baik Barat maupun Islam, mengenai yang asing, aneh,
dan berbeda. Di Eropa, misalnya, kaum orientalis secara tradisional berafiliasi secara langsung
dengan kantor-kantor kolonial."1
Alih-alih menganggap bahwa objektivitas inheren di dalam wacana yang dikaji, ilmuwan Barat
harus menyadari bahwa pra-komitmen terhadap tradisi politik dan agama, pada level sadar atau
di bawah sadar, akan mengantarkan pada keputusan yang bias. Seperti yang ditulis oleh Marshall
Hodgson:
"Bias terutama datang dalam pertanyaan yang dia harapkan dan di dalam kategori yang dia
gunakan, yang sesungguhnya, bias sangat sulit untuk dilacak karena sulit mencurigai terma-
terma yang digunakan seseorang, yang tampak natural tidak bersalah…"2
Reaksi kaum Muslim terhadap gambaran mereka yang diberikan oleh ilmuwan Barat mulai
mendapatkan perhatian layak. Pada 1979 orientalis yang sangat dihormati Albert Hourani
mengatakan:
"Suara-suara dari Timur Tengah dan Afrika Utara, yang mengatakan kepada kita bahwa mereka
tidak mengakui diri mereka berada di dalam gambaran yang kita bentuk untuk mereka, sangat
banyak dan memaksa dijelaskan di dalam terma-terma persaingan akademis dan kebanggaan
nasional."3
Ini adalah mengenai Islam dan kaum Muslim vis-a-vis orientalis. Tetapi, ketika kita fokus pada
kajian Syiahisme yang dilakukan oleh orientalis, kata ‘salah paham’ tidak begitu kuat, tetapi
yang lebih tepat adalah perendahan. Syiahisme bukan hanya disalahpahami, tetapi diabaikan,
disalahpresentasikan dan dipelajari terutama melalui literatur heresiografi dan lawannya.
Tampaknya seolah-olah kaum Syiah tidak memiliki ulama dan literatur mereka sendiri.
Meminjam perkataan Marx, "Mereka tidak bisa merepresentasikan diri mereka sendiri, mereka
harus direpresentasikan, dan itu dilakukan dari lawan-lawan mereka."
Alasan keadaan ini terletak dalam jalan yang digunakan ilmuwan Barat untuk memasuki kajian-
kajian Islam. Hodgson, di dalam salah satu review istimewanya bagi ilmuwan Barat, menulis:
"Pertama, ada orang-orang yang mempelajari khilafah Usmaniah, yang memainkan peranan
besar di Eropa Modern. Mereka biasanya memandang Islam dari sudut pandang sejarah
diplomasi Eropa. Para ilmuwan ini cenderung melihat Islam dari perspektif Istanbul, Ibukota
Khilafah Usmaniah. Kedua, biasanya orang-orang Inggris, yang memasuki kajian Islam dari
India untuk menguasai Persia sebagai pembantu-pembantu sipil yang baik, atau sekurang-
kurangnya mereka diinspirasi oleh kepentingan-kepentingn India. Bagi mereka, transisi kerajaan
di Delhi cenderung menjadi puncak sejarah Islam. Ketiga, adalah peneliti budaya Semit, sering
tertarik terutama dengan kajian-kajian Ibrani, yang kemudian tertarik kepada bahasa Arab. Bagi
mereka, pusat Islam adalah Kairo, kota Arab utama pada abad ke-19, meski sebagian berpindah
ke Syiria atau ke Magrib. Mereka biasanya adalah ahli filologi daripada sejarahwan, dan mereka
mempelajari budaya Islam melalui tulisan-tulisan dari para penulis Suni dan Mesir yang sudah
meninggal terutama dalam model Kairo. Jalan lain—adalah orang-orang Spanyol dan Prancis
yang memfokuskan diri pada kaum Muslim di Spanyol abad pertengahan, dan orang-orang Rusia
yang memfokuskan diri pada kaum Muslim Utara—pada umumnya tidak begitu penting."4
Tampak jelas bahwa tak satu pun dari jalan ini akan mengantarkan ilmuwan Barat kepada pusat-
pusat kajian dan literatur Syiah. Mayoritas dari apa yang mereka pelajari mengenai Syiahisme
diperantarai melalui sumber-sumber non-Syiah. Hodgson mengatakan:
"Semua jalan ini sedikit memberi perhatian kepada wilayah-wilayah pusat dari bulan sabit dan
Iran, dengan kecenderungan mereka kepada Syiahisme; daerah-daerah yang cenderung jauh dari
jangkauan penetrasi Barat."5
Dan setelah perang dunia pertama, ‘Jalur Kairo untuk kajian-kajian Islam menjadi jalan bagi para
pakar Islam par-excellence, sementara jalan-jalan lain bagi kajian-kajian Islam hanya dipandang
sebagai lebih memiliki relevansi lokal.’6
Karena itu, setiapkali seorang orientalis mengkaji Syiahisme melalui jalur Usmaniah, Kairo atau
India, maka secara alamiah dia menjadi bias terhadap Syiah.
‘Para sejarahwan Muslim yang mengkaji doktrin (yang sebagian besar Suni) selalu berusaha
menunjukkan bahwa seluruh mazhab lain selain mereka bukan hanya salah, jika mungkin, bukan
Muslim sejati. Karya-karya mereka menyebutkan sejumlah besar "firqah" dalam keadaan yang
akan menyesatkan ilmuwan modern ke dalam anggapan bahwa mereka merujuk kepada begitu
banyak ‘sekte sesat.’7
Demikianlah kita juga melihat sampai akhir-akhir ini, ilmuwan Barat dengan mudah menjelaskan
Sunisme sebagai ‘Islam Ortodoks’ dan Syiahisme sebagai ‘sekte sesat.’ Setelah mengategorikan
Syiahisme sebagai sekte sesat Islam, kemudian menjadi ‘perbuatan wajar’ bagi ilmuwan Barat
untuk menyerap skeptisisme Suni mengenai literatur Syiah awal. Bahkan konsep takiyah telah
digelembungkan secara tidak proporsional dan sudah dianggap bahwa semua statemen mengenai
ulama Syiah memiliki makna tersembunyi. Dan, akibatnya, setiapkali seorang orientalis sempat
mengkaji Syiah, pra-komitmen dia kepada tradisi Judeo-Kristen Barat dicampuradukkan dengan
bias Suni kepada Syiahisme. Salah satu contoh terbaik dari bias ini ditemukan dalam cara
pendekatan kepada Ghadir Khum yang dilakukan oleh orientalis.
Kesimpulan
Dalam survei singkat ini, saya telah menunjukkan bahwa peristiwa Ghadir Khum adalah sebuah
fakta sejarah yang tidak bisa ditolak, dan bahwa mempelajari Syiahisme, pra-komitmen kepada
Judeo-Kristen dari para orientalis bercampur dengan bias Suni melawan Syiahisme. Akibatnya,
peristiwa Ghadir Khum diabaikan oleh sebagian besar ilmuwan Barat. Pengabaian ini muncul
dari dari kelalalian yang kemudian diatasi dengan keraguan dan interpretasi baru.
Saya harap satu contoh ini bisa meyakinkan setidaknya beberapa ilmuwan Barat untuk menguji
kembali metodologi mereka dalam mempelajari Syiahisme, dan sebagai ganti dari mendekati
Syiah melalui karya-karya heresiografi seperti Syahrestani, Ibnu Hazam, Maqrizi dan Bagdadi
yang menghadirkan Syiah sebagai sekte bidah dalam Islam, mereka harus kembali kepada karya-
karya lebih objektif baik dari Syiah maupun Suni.
Kaum Syiah sudah lelah, dan benar-benar lelah, digambarkan sebagai sekte sesat yang muncul
karena lingkungan politis dan ekonomis dari periode Islam awal. Mereka meminta
mempresentasikan diri mereka sendiri daripada dipresentasikan oleh musuh-musuh mereka.[]
Catatan:
* Dipublikasikan dalam al-Ghadir, 1990.
1. Edward W Said, Covering Islam, New York: Pantheon Books 1981, pp.xvii.
2. Marshall G S Hodgson, The Venture of Islam, vol.1, Chicago: University of Chicago Press,
1974, pp.27.
3. Albert Hourani, Islamic History, Middle Eastern History, Modern, in M.H Kerr (ed), Islamic
Studies: A Tradition and Its Problems, California: Undena Publications, 1979, pp.10.
4. Hodgson, op.Cit., pp.39-40.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (terjemahan Franz Rosenthal), vol.1, New York: Pantheon
Books, 1958, p 403. In Arabic, see Vol 1, Beirut: Maktabatul Madrasah, 1961, pp.348.
9. Encyclopaedia of Islam, 1953, lihat under 'Ghadir Khum.'
10. I Goldziher, Muslim Studies, (terjemahan Barber and Stern), vol.II, Chicago: Aldine Inc,
1971, pp.112-113.
11. Ibid.
12. Encyclopaedia of Islam, 1911-1938, lihat under 'Ghadir Khum.'
13. Thomas P Hughes, A Dictionary of Islam, New Jersey: Reference Book Publisbers, 1965,
pp.138.
14. Philip K. Hitti, A History of the Arabs, London: Macmillan & Co, 1964, pp.471.
15. Encyclopaedia of Islam, 1953, lihat di bawah judul 'Ghadir Khum.'
16. MA. Sya’ban, Islamic History AD 600-750, Cambridge: University Press, 1971, pp.16.
17. S H M. Jafri, The Origin and Early Development of Shi'a Islam, London: Longman, 1979,
pp.22.
18. M.H Haykal, The Life of Muhammad, (terjemahan Faruqi) (n.p., American Trust
Publications, 1976, pp.492.
19. Lihat Ibnu Sa'd, ath-Thabaqat, dan karya utama sirah Nabi.
20. Untuk lebih jelas, lihat SSA. Rizvi, Imamate, Tehran: WOFIS, 1985, pp.120-121.
21. Untuk referensi penuh, lihat al-Amini, al-Ghadir, vol.1, Tehran: Mu'assatul Muwahhidi,
1976, pp.166-186.