You are on page 1of 49

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Begitu Perang Dunia I berakhir pada 1918, Kesultanan Turki

Usmani di Turki guncang. Sementara kekuasaan sultan, yang

meneruskan tradisi kekhalifahan Islam di seluruh dunia, mulai

dipersoalkan oleh kaum nasionalis Turki yang dipimpin oleh Mustafa

Kemal Pasha. Akhirnya, pada 1922, Majelis Rakyat Turki menghapus

kekuasaan Sultan Abdul Majid dan menjadikan Turki sebagai

republik. Dan dua tahun kemudian Majelis menghapuskan lembaga

khilafat.

Perkembangan politik di Turki tersebut ternyata cukup membuat

bingung dunia Islam. Ada di antara para pemimpin Islam yang

kemudian mulai berpikir untuk membentuk khilafat baru. Termasuk

kaum muslimin Indonesia, yang merasa ikut bertanggung jawab untuk

menyelesaikan masalah tersebut. Saat itu, pada 1924, Mesir sedang

mempersiapkan sebuah muktamar tentang masalah khilafat tersebut.

Untuk mengantisipasi diselenggarakannya kongres tersebut, pada 4

Oktober 1924 sejumlah ormas Islam membentuk Komite Khilafat di

Surabaya. Komite itu diketuai oleh Wondoamiseno (Syarikat Islam),

dengan K.H.A. Wahab Chasbullah (kalangan pesantren) sebagai

1
wakil. Dalam Kongres Al-Islam III di Surabaya, Desember 1924,

antara lain diputuskan untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafat

di Kairo, yang beranggotakan Suryopranoto (Syarikat Islam), A.R.

Fachruddin (Muhammadiyah), dan K.H. Wahab Chasbullah

(pesantren).

Ternyata Kongres Khilafat di Kairo ditunda, karena perhatian

umat Islam seluruh dunia tertuju pada perkembangan di Hijaz (kini

Arab Saudi) ketika Ibnu Saud, yang kemudian menjadi raja,

mengambil alih kekuasaan Syarif Husein. Berkolaborasi dengan para

ulama Wahabi, pemerintahan baru di Hijaz mulai melakukan

pembersihan terhadap praktik beragama yang dianggap tak sesuai

dengan paham Wahabi, paham yang menganggap praktik-praktik

kaum tradisionalis yang tidak tertera dalam Al-Quran dan hadis adalah

bid’ah.

Pergeseran konstelasi geopolitik pada dekade kedua abad 20

membawa arus baru dalam dunia sosiopolitik Islam. Tidak hanya di

Indonesia yang saat itu masih dibawah kungkungan cengkraman

imperialisme dan kolonialisme Belanda, tetapi di dunia secara umum.

Dengan kemenangan kaum Wahabi yang terjadi di Arab Saudi dan

kenaikan Ibn Saud pada puncak tertinggi pemerintahan Arab Saudi

kemudian memfatwakan pemberlakuan paham Wahabi di kawasan

suci Makkah dan Madinah. Selain itu, Ibn Saud juga berencana

menggusur makam Rasulullah dengan berbagai pertimbangan,


termasuk kekhawatiran adanya syirik dalam setiap ziarah yang

dilakukan umat muslim di dunia. Upaya globalisasi Wahabi, yakni

ketika Hejaz telah dikuasi Wahabi, dunia Islam banyak mengimport

gagasan-gagasan Wahabi dalam bentuk pemurnian Islam1.

Untuk meluluskan keinginannya itu, kemudian Ibnu Saud

berencana mengadakan pertemuan umat muslim se-dunia. Kongres

Umat Islam akan diadakan di Arab Saudi sebagai langkah awal utuk

dapat menjelaskan tentang maksud keinginan menegakkan Islam yang

kaffah.

Perubahan yang dilakukan secara radikal sebagai buah dari

kemenangan gemilang dari pemberontakan yang dilakukan oleh kaum

wahabi di daerah Hejaz kemudian mengubah nama Hejaz menjadi

Arab Saudi. Kontan saja, tindakan frontal ini membuat warga

Indonesia yang tinggal di Hejaz merasa gerah, masalahnya orang

Indonesia yang tinggal di Hejaz adalah penganut Islam Ahlus Sunnah

wal Jama’ah, menganut salah satu dari empat madzhab.

Kegerahan ini tidak berhenti sampai disitu saja. Kegerahan juga

dialami oleh umat Islam di Indonesia, karena bagi mereka, persoalan

di Hejaz tidak hanya menyangkut warga Hejaz saja, melainkan

persoalan umat Islam di seluruh dunia karena Hejaz merupakan sentral

sekaligus sandaran spiritual umat Islam. Selain sebagai tempat dimana

1 Nur Khaliq Ridwan, NU dan Neoliberalisme, Tantangan dan Harapan Menjelang satu Abad,
LKiS, Yogyakarta, 2008, hal 27

3
Islam dilahirkan hingga menuai kejayaan pada masanya, juga karena

di Hejaz terdapat kota suci Makkah dan Madinah yang setiap tahun

selalu diadakan ritual haji untuk memenuhi rukun Islam.

Tersebutlah ketika kabar tersebut sampai di Indonesia,

kekhawatiran ulama Indonesia terhadap cengkraman kaum Wahabi di

Hejaz semaki menjadi. Apalagi ketika melihat rencana-rencana yang

digagas oleh Raja Ibn Saud sebagai penguasa wilayah Hejaz. Ulama-

ulama besar di Jawa Timur kemudian dengan kekhawatirannya itu,

atas gagasan besar Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul

Wahab Hasbullah mengadakan pertemuan untuk membahas persoalan

yang sangat mencekam bagi kelangsungan umat Islam di dunia itu.

Bertempat di Langgar H. Moesa, Kertopaten, Surabaya akhirnya

pertemuan itu dilangsungkan dengan keputusan akan membentuk

semacam komite yang akan dikirim ke Hejaz untuk melakukan

diplomasi dengan raja Ibn Saud. Komite yang dimaksudkan disini

kemudian diberi nama Comite Hejaz.

Namun setelah rencana di Langgar H. Moesa itu disepakati,

ditengah jalan terjadi perubahan rencana. Comite Hejaz yang terdiri

tidak hanya para ulama itu, tetapi juga tokoh muda mengubah alur

kerja agar lebih praktis dan efisien. Semula rencana akan

mengirimkan utusan ke Hejaz untuk melakukan dialog dengan Raja

Ibn Saud kemudian tidak dapat dilakukan, keputusan selanjutnya,

mereka hanya mengirimkan telegram kepada Raja Ibn Saud.


Pada hari Kamis tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1345 H

di Lawang Agung Ampel Surabaya, Comite Hejaz mengadakan

pertemuan untuk kesekian kalinya untuk merealisasikan gagasan-

gagasan pada pertemuan yang diadakan di Langgar H. Moesa,

Kertopaten. Pada pertemuan ini, selain membahas tentang program

kerja utama, bagaimana melakukan diplomasi dan dialog dengan raja

Ibnu Saud juga menghasilkan keputusan bahwa pasca terbentuknya

Comite Hejaz sebagai organisasi taktis para ulama, maka dipandang

perlu untuk membentuk organisasi tetap untuk terus mengawal

keberadaan Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah disetiap tempat di

belahan nusantara. Keputusan final yang diambil adalah, mereka

sepakat mendirikan organisasi bernama Nahdlatoel Oelama (NO)

meskipun dalam era sebelumnya telah berdiri Sjarikat Islam yang

mewakili segmen sosial yang berbeda dengan organisasi lokal

(Surakarta) lainnya yang kemudian berubah menjadi gerakan

keagamaan, kemasyarakatan dan ekonomi2.

Harapan dari terbentuknya organisasi Nadhlatoel Oelama ini

adalah dapat menjadi benteng untuk mempertahankan ajaran Islam

Ahlussunnah wal Jama’ah, Islam yang menghargai dan memeberikan

posisi terhadap khazanah kearifan lokal (tradisi Islam Jawa/Islam

Indonesia)3, dengan menganut salah satu madzhab dari empat

2 DA Rinkes, dalam H. 1083, 35 KITLV (Arsip ) sebagaimana dikutip oleh Kutowijoyo, Raja,
Priyayi dan Kawula, Ombak, Yogyakarta, 2006, hal. 111
3 Mark R. Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus kebatinan, LKiS, Yogyakarta,
2006, hal 96

5
madzhab yang ada, menjadi benteng Islam Indonesia dan

mempertahankan keberlangsungan proses pengembangan Islam

dengan sistem pesantren. Disamping itu, organisasi ini juga

diharapkan mampu menyelesaikan problem sosial, ekonomi, politik

dan budaya di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang saat itu

masih dicengkram oleh penjajah Belanda. Sebagai susunan pengurus

HB (Hoof Bestuur/pegurus Besar) untuk pertama kalinya adalah:


Ra'is Akbar : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Wakil Ra'is : KH. Said bin Shalih

Katib Awwal : KH. Abdul Wahab Hasbullah

Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz

A'wan : 1. KH. Abdul Halim (Leuwimunding)


2. KH. Ridlwan Surabaya (pencipta lambang NU)
3. KH. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang.
4. KH. Said.
5. KH. Abdullah Ubaid, Surabaya.
6. KH. Nahrawi Thahir, Malang.
7. KH. Amin, Surabaya.
8. KH. Kholil Masyhuri, Soditan, Lasem, Jateng

Musytasyar : 1. KH. Asnawi, Kudus


2. KH. Ridlwan, Semarang.
3. KH. Nawawi, Sidogiri, Pasuruan.
4. KH. Doro Muntoho, Bangkalan.
5. KH. Ahmad Ghonaim Al Misri.
6. KH. Hambali, Kudus.

Presiden : H. Hasan Gipo


Penulis : H. Sadik alias Sugeng Yudodiwiryo

Bendahara : H. Burhan

Komisaris : H. Saleh Syamil


H. Ihsan
H. Nawawi
H. Dahlan Abd. Qohar
Mas Mangun

Setelah Nahdlatoel Oelama didirikan, telah lengkap dengan HB

serta rancangan program kerja yang akan disusun, maka secara

7
otomatis keberadaan Comite Hejaz yang sebelumnya telah eksis

dibubarkan. Pertimbangannya adalah agar kinerja keduanya tidak

saling berbeturan dan tidak terjadi pula tanggung jawab ganda bagi

yang berada di kedua organisasi ini. Dengan dibubarkannya Comite

Hejaz, maka seluruh tanggung jawab dan program kerja yang telah

disepakati untuk direalisasikan oleh Comite Hejaz juga dibebankan

kepada Nahdlatoel Oelama

Organisasi yang baru berdiri di tengah blantika organisasi lain di

era pergerakan ini ternyata tidak hanya terhenti pada konsep saja.

Nahdlatoel Oelama membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi

tolok ukur organisasi di zamannya. Keberanian, ketegasan dan

kehebatan gerakannya telah mampu dibuktikan dengan

keberhasilannya. Hal ini dapat dilihat dari hal-hal yang dilakukan NO

setelah disusun, program kerja mampu terealisasikan, baik program

kerja yang dilimpahkan dari Comite Hejaz ataupun program kerja

yang disusun sendiri. Adapun keberhasilan tersebut dapat dibuktikan

dengan agenda sebagai berikut:

Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil menyelenggarakan

kongres Al Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh

organisasi Islam selain NU, seperti: PSII, Muhammadiyah

dan lain-lainnya. Diantara keputusan kongres tersebut adalah

mengirimkan dua orang utusan, yaitu: H.Umar Said

Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur dari


Muhammadiyah, ke Muktamar Alam Islam yang

diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi Arabia) di

Makkah. Disamping itu, Jam'iyyah NU juga mengirimkan

utusan yang khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul

Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad Ghonaim Al Misri.

Alhamdulillah kedua utusan ini berhasil dengan baik.

Kedua beliau ini pulang dengan membawa surat dari raja Sa'ud

ke Indonesia tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928

M., nomor: 2082, yang isinya antara lain menyatakan bahwa

raja Ibnu Sa'ud menjanjikan akan membuat satu ketetapan

yang menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan

Agama Islam menurut paham yang dianutnya.

Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka

sejak lahir, Jam'iyyah NU telah berani memberikan reaksi

secara aktif terhadap rencana pemerintah Penjajah Belanda

mengenai:

Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang

isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan

hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa.

Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale

Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam.

Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga

9
negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.

Dan lain-lainnya.

Hal yang paling menarik dari apa yang disajikan NU dalam

program kerja yang dilakukannya adalah, meskipun NU bukan partai

politik, namun wilayah gerakan yang dilakukannya berkutat mengenai

politik sebagian besar diantaranya.

Pada tanggal 5 September 1929 Jam'iyyah NU mengajukan

Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga

(Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah

Hindia Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat

pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi resmi

dengan nama: "PERKOEMPOELAN NAHDLATOEL OELAMA"

untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31 Januari

1926.

Hoofbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama juga berusaha

membuat lambang NU dengan jalan meminta kepada para Kyai untuk

melakukan istikharah. Dan ternyata Almarhum KH. Ridlwan

Abdullah, Bubutan Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat

gambar lambang itu secara lengkap seperti lambang yang sekarang;

tanpa mengetahui makna simbol-simbol yang terdapat dalam lambang

tersebut satu-persatu.

Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatoel Oelama mendapat


sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar

berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang

relatif singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini

disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain:

Jam'iyyah Nahdlatul Ulama dipimpin oleh para ulama yang

menjadi guru dari para kyai yang tersebar di seluruh

Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.

Kesadaran ummat Islam Indonesia akan keperluan organisasi

Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai

kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan

dari luar.

Sebagai organisasi sosial yang harus menangani semua

kepentingan masyarakat, Nahdlatul Ulama memandang sangat perlu

untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang

sanggup melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh

NU. NU sebagai organisasi yang berbasis pesantren seringkali pula

muncul anggapan bahwa dunia pesantren pada umumnya, telah

dianggap sebagai komunitas dengan proses yang telah “selesai” dan

tidak diyakini bisa mengalami perubahan, apalagi menjadi motor

perubahan4. Untuk itu, pada tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa

KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul Jawa Timur,

4 Hairus Salim HS dkk, Kultur Hibrida, Anak Muda NU di Jalur Kultural, LKiS, Yogyakarta,
1999, hal.2

11
diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menghasilkan

keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu

mendirikan madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok

pesantren. Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua

macam, yaitu:

Madrasah Umum, yang terdiri dari:

Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.

Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.

Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.

Madrasah Mu'allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.

Madrasah Mu'allimin 'Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.

Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:

Madrasah Qudlat (Hukum).

Madrasah Tijarah (Dagang).

Madrasah Nijarah (Pertukangan).

Madrasah Zira'ah (Pertanian).

Madrasah Fuqara' (untuk orang-orang fakir).

Madrasah Khusus.
Pada masa penjajahan Belanda, ummat Islam Indonesia selalu

mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah penjajah Belanda,

disamping penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh golongan di

luar Islam kepada agama Islam, Al Qur'an dan Nabi Besar

Muhammad saw. Untuk menghadapi hal tersebut, maka Nahdlatoel

Oelama memandang perlu untuk mempersatukan seluruh potensi

ummat Islam di Indonesia.

Pada tahun 1937 Nahdlatoel Oelama telah memelopori

persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia dengan membidani

kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A'la Indonesia (MIAI), dengan

susunan dewan sebagai berikut:

Ketua Dewan : KH. Abdul Wahid Hasyim, dari NU


Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, dari PSII

Sekretaris (ketua) : H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah

Penulis : S.A. Bahresy, dari PAI

Bendahara : 1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad


2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr. Sukiman, dari PII

13
Adapun tujuan perjuangan yang akan dicapai oleh MIAI antara

lain sebagai berikut:

Menggabungkan segala perhimpunan ummat Islam Indonesia

untuk bekerja bersama-sama.

Berusaha mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di

antara golongan ummat Islam Indonesia, baik yang telah

tergabung dalam MIAI maupun belum.

Merapatkan hubungan antara ummat Islam Indonesia dengan

ummat Islam di luar negeri.

Berdaya upaya untuk keselamatan agama Islam dan ummatnya.

Membangun Konggres Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan

pasal 1 Anggaran Dasar MIAI.

Pada masa penjajahan Jepang, MIAI masih diberi hak hidup

oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suara MIAI tetap diijinkan

untuk terbit selama isinya mengenai hal-hal berikut:


Menyadarkan rakyat atas keimanan yang sebenar-benarnya dan

berusaha dengan sekuat tenaga bagi kemakmuran bersama.

Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur'an.

Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari

para ulama atau kyai yang terkenal.

Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai

Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur

Raya.

Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-

angsur.

Akan tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki selaku Gunseikan

pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato di hadapan para ulama dari

seluruh Indonesia yang dipanggil ke istana Gambir Jakarta, yang

isinya antara lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada

pemuda-pemuda yang telah dididik secara agama, tanpa membeda-

bedakan dengan golongan lain asal saja memiliki kecakapan yang

cukup dengan jabatan yang akan dipegangnya, maka sekali lagi

Nahdlatul Ulama tampil ke depan untuk memelopori kalahiran dari

Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi

yang dianggap mampu membereskan segala macam persoalan

kemasyarakatan; baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat

politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia Merdeka, bebas dari

15
segala macam penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan setelah

Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan.

Pemerintah Penjajah Jepang memang mempunyai taktik yang

lain dengan Penjajah Belanda terhadap para ulama di Indonesia. Dari

informasi yang diberikan oleh para senior yang dikirim oleh

pemerintah Jepang ke Indonesia jauh sebelum masuk ke Indonesia

(mereka menyamar sebagai pedagang kelontong dan lain sebagainya

yang keluar masuk kampung), penjajah Jepang telah mengetahui

bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam serta

menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, semuanya ta'at, patuh

dan tunduk kepada komando yang diberikan oleh para ulama.

Oleh karena itu, penjajah Jepang ingin merangkul para ulama

untuk memukul bangsa Indonesia sendiri. Itulah sebabnya, maka

dengan berbagai macam dalih dan alasan, penjajah Jepang meminta

kepada para ulama agar memerintahkan kepada para pemuda untuk

memasuki dinas militer, seperti Peta, Heiho dan lain sebagainya.

Sedang Nahdlatoel Oelama sendiri mempunyai maksud lain,

yaitu bahwa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan

mempertahankan kemerdekaan, mutlak diperlukan pemuda-pemuda

yang terampil mempergunakan senjata dan berperang. Untuk itu

Nahdlatoel Oelama berusaha memasukkan pemuda-pemuda Ansor

dalam dinas Peta dan Hisbullah. Sedangkan untuk kalangan kaum tua,
Nahdlatoel Oelama tidak melupakan untuk membentuk Barisan

Sabilillah dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun

sebenarnya selama penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran

aktif NU selama penjajahan Jepang adalah menggunakan wadah MIAI

dan kemudian MASYUMI.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatoel Oelama

yang dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak

kepada seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela dan

mempertahankan tanah air yang baru saja merdeka dari serangan

kaum penjajah yang ingin merebut kembali dan merampas

kemerdekaan Indonesia.

Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatoel Oelama, Hadlratus

Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, mengeluarkana fatwa bahwa

mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib

hukumnya. Seruan ini merupakan bukti bahwa NU memiliki

komitmen cukup kuat untuk mengembangkan nasionalisme

kebangsaan yang berpijak pada politik kerakyatan5.

Seruan dan ajakan NU serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat

tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan bahkan berhasil

menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga mereka tidak

mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya

dalam peristiwa 10 November '45.


5 Abd A’la, Pembaruan Pesantren, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2006, hal. 145

17
Pengurus Besar NU hampir sebulan lamanya mencari jalan

keluar untuk menanggulangi bahaya yang mengancam dari pihak

penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku

penjajahannya di Indonesia.

Kelambanan NU dalam hal tersebut disebabkan karena pada

masa penjajahan Jepang NU hanya membatasi diri dalam pekerjaan-

pekerjaan yang bersifat agamis, sedang hal-hal yang menyangkut

perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan

selalu disalurkan dengan nama Masyumi.

Atas prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan KH. Abdul Wahid

Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang

merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam, mengadakan

konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada

konggres tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk

meningkatkan Masyumi dari Badan Federasi menjadi satu-satunya

Partai Politik Islam di Indonesia dengan Jam'iyyah Nahdlatoel Oelama

sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan Pimpinan Partai

Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut:

Majlis Syura (Dewan Partai)


Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma

Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim

Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo


Anggota : 1. RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim.
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim.
5. KH. Sanusi.
6. Syekh Jamil Jambek

Pengurus Besar
Ketua : Dr. Sukirman
Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono

Ketua Muda II : Wali Al Fatah

Sekretaris I : Harsono Tjokreoaminoto

Sekretaris II : Prawoto Mangkusasmito

Bendahara : Mr. R.A. Kasmat


Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi benar-

benar di luar keinginan Nahdlatoel Oelama. Sebab Nahdlatoel Oelama

selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam untuk

mencapai cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatoel Oelama

yang dimotori oleh KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan

MIAI, MASYUMI, dan akhirnya mengorbitkannya menjadi Partai

Politik. Bahkan Nahdlatoel Oelama adalah modal pokok bagi

eksistensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatoel Oelama pada

konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU

untuk beramai-ramai menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-

pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor Nahdlatoel Oelama juga

diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII (Gabungan

19
Pemuda Islam Indonesia). Selain itu, Masyumi juga memiliki kesatuan

tentara yang dinamakan Hizbullah. Pada bulan Desember 1944

Hizbullah dibentuk dengan prakarsa dari Masyumi dan Jepang sebagai

barisan pertahanan Nasional6.

Akan tetapi apa yang hendak dikata, beberapa oknum dalam

Partai Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk menendang NU

keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang

mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan

gerak langkah mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang

bersifat politis. Apalagi segala sesuatu persoalan harus diketahui dan

disetujui oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat menghambat

kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai kebebasan

untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik.

Akhirnya ketegangan hubungan antara ulama/kyai dengan golongan

intelek yang dianggap sebagai para petualang yang berkedok agama

semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka para pemimpin

PSII sudah tidak dapat menahan diri lagi. Mereka mengundurkan diri

dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya; sampai kemudian

PSII menjadi partai.

Pengunduran diri PSII tersebut oleh pemimpin-pemimpin

Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar Partai

Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 - 19

6 MD. Sumarto, Tanah Airku, dari Zaman ke Zaman, Jilid II, Mahabarata, Jakarta, 1952, hal. 312
Desember 1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura yang semula menjadi dewan

yang tertinggi diubah menjadi Penasihat yang tidak mempunyai hak

veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan.

Sikap Masyumi yang telah merendahkan derajat para ulama

tersebut dapat ditolelir oleh warga Nahdlatoel Oelama. Namun PBNU

masih berusaha keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam.

Nahdlatoel Oelama meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi

agar organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi Organisasi-

Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga

dari masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun

permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatoel Oelama

untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di Palembang,

tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri

sendiri dan menjadi Partai.

Setelah Nahdlatoel Oelama keluar dari Masyumi, Jam'iyyah NU

yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada

persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatoel Oelama

mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah

badan yang berbentuk federasi dengan tujuan untuk membentuk

masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum-hukum Allah dan

sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan yang

positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952

21
diadakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI

di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggautanya terdiri

dari Nahdlatoel Oelama, PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.

Selama Nahdlatoel Oelama menjadi Partai Islam, dalam gerak

langkah nya mengalami pasang naik dan juga ada surutnya. Saat kabut

hitam melingkupi awan putih wilayah nusantara pada tanggal 30

September 1965, kepeloporan Nahdlatoel Oelama muncul dan mampu

mengimbangi kekuatan anti Tuhan yang menamakan dirinya PKI

(Partai Komunis Indonesia). Sikap Nahdlatoel Oelama pada saat itu

betul-betul sempat membuat kejutan pada organisasi-organisasi selain

NU.

Keberhasilan Nahdlatoel Oelama dalam menumbangkan PKI

dapat diakui oleh semua pihak. Dan hal ini menambah kepercayaan

Pemerintah terhadap Nahdlatoel Oelama. Nahdlatoel Oelama sebagai

Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh

setiap orang di kawasan Indonesia, bahkan oleh dunia internasional.

Apalagi mampu menumbangkan dan menumpas pemberontakan Partai

Komunis yang belum pernah dapat ditumpas oleh negara yang

manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, Nahdlatoel

Oelama dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang sangat

komplek dengan berbagai tetek-bengeknya. Namun Nahdlatoel

Oelama sendiri dalam hal rencana perjuangannya yang terperinci,

mengalami pembauran kepentingan partai dengan kepentingan pribadi


dari para pimpinannya. Oleh sebab itu, pada sekitar tahun 1967,

Nahdlatoel Oelama yang sudah berada di puncak mulai menurun. Hal

ini disebabkan antara lain oleh pergeseran tata-nilai, munculnya

tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus dan lain sebagainya.

Pergeseran tata-nilai ini terjadi di saat Nahdlatoel Oelama

menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955. Nahdlatoel Oelama harus

mempunyai anggauta secara realita, terdaftar dan bertanda anggauta

secara pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang menjadi

tujuan Nahdlatoel Oelama, kini dijadikan nomor dua. Partai

Nahdlatoel Oelama membutuhkan anggota sebanyak-banyaknya,

sekalipun mereka bukan penganut aliran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Akibat dari pergeseran nilai inilah yang membuat kabur antara tujuan,

alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang militan, Nahdaltul Ulama

harus berusaha agar dapat merebut kursi Dewan Perwakilan Rakyat

sebanyak mungkin; demikian pula halnya jabatan-jabatan sebagai

menteri. Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk dapat melaksanakan

program dalam mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena pengaruh

lingkungan dan juga karena pergeseran nilai, maka jabatan-jabatan

yang semula dimaksudkan sebagai alat yang harus dicapai dan

dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat

berpengaruh bagi kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai

tujuan.

Pada sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatoel Oelama mencapai

23
puncak keberhasilan. Akan tetapi sayang sekali, justeru pada saat itu

ciri khas Nahdlatoel Oelama menjadi kabur. Pondok Pesantren yang

semula menjadi benteng terakhir Nahdlatoel Oelama sudah mulai

terkena erosi, sebagai akibat perhatian Nahdlatoel Oelama yang terlalu

dicurahkan dalam masalah-masalah politik.

Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatoel Oelama keluar sebagai

pemenang nomor dua. Hal tersebut membawa anggapan baru bagi

masyarakat umum bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatoel

Oelama adalah sebagai hal yang luar biasa; sementara di pihak lain

terdapat dua partai yang tidak mendapatkan kursi sama sekali, yaitu

Partai MURBA dan IPKI, yang berarti aspirasi politiknya terwakili

oleh kelompok lain. Dari sinilah timbul gagasan untuk

menyederhanakan partai-partai politik.

Kehendak menyederhanakan partai-partai politik tersebut,

datangnya memang bukan dari Nahdlatul Ulama. Akan tetapi

Nahdlatul Ulama menyambut dengan gembira. Dan dalam

penyederhanaan tersebut Nahdlatul Ulama tidak membentuk federasi,

akan tetapi melakukan fusi. Namun demikian, ganjalan pun terjadi,

karena memang masing-masing pihak yang berfusi mempunyai tata-

nilai sendiri-sendiri.

Kehidupan politik yang ditentukan oleh golongan elit telah

menyeret para pemimpin dan tokoh-tokoh Jam'iyyah Nahdlatul Ulama


ke dalam kehidupan elit. Padahal kehidupan elit semacam ini tidak

terdapat dalam tubuh Nahdlatul Ulama. Sehingga kehidupan elit ini

sebagai barang baru yang berkembang biak dan hidup subur di

kalangan Nahdlatul Ulama. Maka timbullah pola pemikiran baru yang

mengarah kepada kehidupan individualis, agar tidak tergeser dari rel

yang menuju kepada kehidupan elit. Dari fusi inilah rupa-rupanya

yang membuat parah kondisi yang asli dari Jam'iyyah Nahdlatul

Ulama sejak mula pertama didirikan sebagai

Selama Nahdlatul Ulama berfusi dalam tubuh Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), tata-nilai semakin berjurang lebar; sementara

dalam tubuh Nahdlatul Ulama sendiri terdapat banyak ketimpangan

dan kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama, secara tidak

disadari, Nahdlatul Ulama telah menjadi kurang peka dalam

menanggapi dan mengantisipasi perkembangan keadaan, khususnya

yang menyangkuat kepentingan ummat dan bangsa. Salah satu

sebabnya adalah ketelibatan Nahdlatul Ulama secara berlebihan dalam

kegiatan politik praktis; yang pada gilirannya telah menjadikan

Nahdlatul Ulama tidak lagi berjalan sesuai dengan maksud

kelahirannya, sebagai jam'iyyah yang ingin berkhidmat secara nyata

kepada agama, bangsa dan negara. Bahkan hal tersebut telah

mengaburkan hakekat Nahdlatul Ulama sebagai gerakan yang

dilakukan oleh para ulama. Tidak hanya sekedar itu saja yang sangat

menyulitkan Nahdlatul Ulama dalam kancah politik selama berfusi

25
dalam PPP; akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri

semakin tajam, sehingga sempat bermunculan berbagai hipotesis

tentang bagaimana dan siapa sebenarnya Nahdlatul Ulama.

Dari kejadian demi kejadian dan bertolak dari keadaan tersebut,

maka sangat dirasakan agar Nahdlatul Ulama secepatnya

mengembalikan citranya yang sesuai dengan khittah Nahdlatul Ulama

tahun 1926. Hal ini berarti bahwa Nahdlatul Ulama harus melepaskan

diri dari kegiatan politik praktis secara formal, seperti yang telah

diputuskan dalam Musyawarah Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Munas

NU) di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo

Jawa Timur tahun 1982.

Pimpinan baru Nahdlatul Ulama di bawah pimpinan

Abdurrahman Wahid terpaksa membangun kembali organisasi yang

telah menderita dua gelombang eksodus anggotanya. Eksodus pertama

terjadi pada tahun 1971 lantaran khawatir dicap sebagai oposan

pemerintah, dan yang kedua dilakukan oleh kelompok aktivis inti

berhaluan keras yang menentang reorientasi ke khittah 1926.

“Kelompok inti”, demikian isitalh yang digunakan oleh Ben

Anderson, tetap bertahan namun banyak juga yang pergi atau memilih

bersikap pasif. Jadi, masalah yang harus dihadapi oleh para pimpinan

baru ini adalah mengaktifkan kembali keikutsertaan para bekas

anggota and meyakinkan para simpatisan akan kebenaran dasar-dasar


reorientasi yang telah diputuskan di Situbondo7.

Pasca kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang sangat

kontroversial dan berani mengambil sikap, dalam bahasa Andree

Felliard disebut sebagai, vis-à-vis terhadap pemerintahan Soeharto.

NU setidaknya telah menemukan kembali gagasan besarnya sebagai

benteng pertahanan Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta organisasi

yang lahir dari semangat perlawanan terhadap dominasi ekonomi,

politik, sosial yang dilancarkan kaum imperialis8.

Hal yang paling penting untuk dicatat adalah, ketika dalam NU

dalam perjalanan dibawah kendali KH. Abdurrahman Wahid, PBNU

telah membidani lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa, satu partai yang

bertujuan untuk mencegah pemanfaatan suara warga NU oleh partai

politik yang visi misinya tidak sesuai dengan gerakan dasar NU. Partai

ini didirikan setelah membaca kondisi sosial politik setelah lengsernya

presiden Soeharto dan Indonesia berada pada masa transisi menuju

demokrasi. Ketika itu menyebabkan terjadinya evolusi politik dari

rezim orde baru kepada rezim transisional pasca Soeharto yang tentu

saja diakibatkan oleh perpaduan dari berbagai kondisi dan faktor

historis ketika proses transisi itu muncul9.

7 Andree Felliard, NU Vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, 2002, LKiS,
Jogjakarta, hal, 287
8 Nurul Mubin, Menangkal Bahaya Laten Gerakan Anti Aswaja NU, LKiS, Yogyakarta, 2008,
hal. 124-125
9 Ade Armando dkk (Suara Mahasiswa UI), Menyelamatkan Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1999 hal. 56

27
Pada muktamar ke-XXX di Kediri tahun 1999, NU kembali

meneguhkan sebagai organisasi sosial keagamaan bukan sebagai

organisasi sosial politik. Dalam rangka menjalankan fungsi ini, pada

muktamar ini juga telah dirancang ulang mengenai visi dan misi

gerakan sosial keagamaan NU setelah melalui pembacaan panjang

sosial, religius, antropologis sampai politik. Adapun visi yang berhasil

diputuskan adalah, Terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis

dan berkeadilan atas dasar ajaran Islam ahl al-sunnah wa al-

jama’ah.

Dari visi tersebut, misi yang kemudian menjadi patokan

perjalanannya yakni, Mengupayakan sistem perundang-undangan dan

mempengaruhi kebijakan yang menjamin terwujudnya visi tersebut.

Di satu sisi, disisi lain misi NU adalah melakukan pemberdayaan

masyarakat10.

Juni 1999, PKB yang lahir dari bidan PBNU mengikuti pesta

demokrasi dan berhasil menempati urut-urutan puncak kemenangan.

Sementara itu, sayap NU yang lain yang mengikuti pesta demokrasi

selain PKB adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) salah satu

partai politik yang pernah berfusi dengan NU pada era 1972-1984,

partai ini adalah partai yang juga berhaluan sama dengan NU, bahkan

lebih tegas dalam menyatakan keIslamannya dibandingkan dengan

PKB, pada aspek dasarnya. Partai yang digawangi oleh Hamzah Haz
10 Lilis Nurul Husna dkk, Forum Warga, Demokrasi Represetatif VS Deliberatif, PP. Lakpesdam
NU, Jakarta, 2004, hal. 13
ini juga secara terbuka para simpatisannya, terutama kiyai, sering

menyerang ulama PKB secara terang-terangan sebagai warisan

Golkar.

Selain PKB dan PPP, muncul pula nama Abu Hasan, rival KH.

Abdurrahman Wahid pada muktamar 1994 yang menjadi pendiri

sekaligus motor penggerak Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia

(SUNI). Tercatat pula paman KH. Abdurrahman Wahid, Yusuf

Hasyim yang mengakumulasi kekuatan politiknya dalam wadah Partai

Kebangkitan Umat (PKU). Terakhir, Syukron Ma’mun, da’i

bereputasi tinggi yang sering mengkritik sayap progresif NU,

mendirikan Partai Nahdlatul Ummah (PNU).

Para tokoh NU tersebut yang berdiri di barisan depan partai-

partai berhaluan Islam diatas, secara jelas dapat dilihat bahwa

keberadaan mereka merupakan perwujudan ketidaksepakatan mereka

terhadap gerakan politik yang dilancarkan KH. Abdurrahma Wahid.

Bahkan secara terbuka, pamannya sendiri, Yusuf Hasyim menyatakan

posisinya tidak hanya sebagai rival politik tetapi juga musuh lama

yang terus akan mengadakan perlawanan terhadap gerakan Gus Dur

(sapaan KH. Abdurrahman Wahid). Hal ini disebabka karena sifat Gus

Dur yang terlalu kritis bahkan sinis ketika melihat keadaan dimana

tidak sesuai dengan mainstream besar yang dia anut11.

11 Nor Huda, Islam Nusantara, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Ar-Ruzz Media,
Yogyakarta, 2007, hal 446

29
Disamping itu, warga NU yang berada pada lapisan grassroot

terkotak selain dalam partai tersebut diatas, sebagai partai yang

dibidani oleh tokoh-tokoh besar NU, juga banyak diantaranya yang

masuk dalam ruang berbeda. Kebanyakan diantaranya berada di Partai

Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Amanat

Nasional dan Partai Keadilan serta beberapa partai-partai lainnya. Dua

nama terakhir, merupakan partai-partai yang sama sekali tidak

diharapkan oleh para tokoh NU, Ulama-ulama NU serta Pengurus NU

dari PB hingga Ranting untuk dipilih oleh warga NU karena secara

ideologis bertentangan keras. Sederhananya, NU adalah penganut

Islam yang Ahlus Sunnah wal Jama’ah sementara PAN adalah

representasi dari warga Muhammadiyah dan PK adalah salah satu

sayap gerakan politik kelompok Ichwanul Muslimin yang berkembang

di Timur Tengah.

Banyaknya partai politik yang muncul disebabkan karena ketika

menjelang pemilihan umum, pemerintahan BJ. Habibie pada

umumnya berani mengizinkan propinsi-propinsi, partai politik dan

kelompok-kelompok yang berkepentingan agar memutuskan masa

depan mereka sendiri dan menempatkan diri mereka dalam Indonesia

yang menuju alam demokrasi ini. Semua orang merasa antusias untuk

ikut berpartisipasi dalam demokrasi yang baru berjalan ini. Di seluruh

Indonesia kemudian berkibarlah bendera lusinan partai politik12.

12 Richard Mann, Memperjuangkan Demokrasi di Indonesia, Handal Niaga Pustaka, Jakarta,


1999, hal. 318
Kegemilangan gerakan NU semakin terbukti secara politis,

kemenangan PKB dan PPP sebagai representasi gerakan politik NU

semakin digemilangkan dengan terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid

sebagai presiden Republik Indonesia keempat menggantikan BJ.

Habibie berpasangan dengan Megawati Soekarno Putri. Meskipun

pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid dengan Megawati tidak

berlangsung lama, setidaknya warna baru telah tercipta, membawa

semangat baru gerakan politik NU dalam kancah perpolitikan nasioal.

Pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid hanya sekitar setahun

memimpin bangsa ini, dia sudah dipanggil untuk

mempertanggungjawabkan tindakannya di depan DPR beberapa kali

dan di depan MPR pada bulan Agustus 200013.

Pada pemilu tahun 2004, NU berhasil mendapatkan posisi yang

cukup menggiurkan melalui partai yang pernah digelutinya, PKB dan

PPP. Keduanya masuk dalam urutan 5 besar. Namun beberapa tahun

pasca kemenangan ini, konflik internal menjadi pemicu utama

pecahnya partai-partai ini. PPP yang sebelumnya telah terpecah

menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR) semakin terpecah kembali

dengan kekuatan-kekuatan banding yang menyebabkan banyak tokoh-

tokoh besar partai ini melakukan hijrah ke partai lain. Sementara di

kubu PKB, spekulasi Gus Dur memecat Abdul Kadir Karding dari

jabatannya sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah PW PKB Jawa Tengah

13 Chris Manning dkk (Eds), Indonesia di Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan
Krisis, LKiS, Yogyakarta, 2000, hal. 6

31
dan menggantinya dengan KH. Yusuf Chudzori serta pemecatan

Muhaimin Iskandar dan beberapa tokoh PKB lainnya seperti Idham

Cholied, Eman Hermawan, Hanif Dhakirie, Lukman Edi dan

sebagainya akhirnya membuat PKB semakin terpecahkan. Kelompok

pertama yang dimotori oleh Idham Cholied14 kemudian menggandeng

Kyai Langitan untuk mendirikan Partai Kebangkitan Nasional Ulama

(PKNU) dan kelompok terakhir, Muhaimin Iskandar15 sebagai tokoh

utamanya akhirnya berhasil mematahkan gerakan KH. Abdurrahman

Wahid sebagai ketua dewan suro DPP PKB.

Fakta yang hendak penulis ungkapkan disini adalah, bahwa NU

saat ini telah jauh dari kerangka dasarnya sebagai organisasi sosial

keagamaan. Justru cenderung menjadi underbow dari gerakan sosial

politik melalui partai-partai politik yang ada. NU telah dibawa jauh

dari kerangka dasar yang disusun oleh para founding fathers-nya.

Bahkan upaya NU di tahun 1984 pada muktamar Situbondo, khittah

1926 sama sekali tidak membekas dalam gerakannya.

Berdirinya PKB pada tahun 1998 yang dibidani oleh PBNU

merupakan penyelewengan pertama pasca orde baru, dimana apapun

bentuknya, fungsionaris NU tidak diperkenankan aktif di partai

politik. Selain itu, fakta tampilnya KH. Hasyim Muzadi, ketua umum

14 Mantan ketua DPRD Kabupaten Wonosobo dari Partai Kebangkitan Bangsa, saat ini menjabat
sebagai Sekjen DPP PKNU
15 Mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada masa Orde Baru,
merupakan Kemenakan dari KH. Abdurrahman Wahid. Menjabat sebagai Ketua Dewan
Tanfidziyah DPP PKB.
PBNU sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati

Soekarno Putri yang berujung kekalahan merupakan bukti riil bahwa

NU hari ini hanya digunakan sebagai kendaraan politik oleh para

fugsionarisnya.

Ditingkatan lokal, tampilnya Ketua PWNU Jawa Tengah, DR.

HM. Adnan sebagai calon wakil gubernur yang berpasangan dengan

Bambang Sadono menjadi kenyataan yang terbantahkan. Di Jawa

Timur hal serupa juga terjadi DR. Ali Maschan Moesa yang menjabat

sebagai ketua PWNU Jawa Timur juga mengkandidatkan diri dalam

bursa pemilihan gubernur16. Ada pula Saifullah Yusuf (Ketua PB GP

Ansor) yang mengikuti pesta demokrasi di tempat yang sama. Bahkan

kasus di Jawa Timur itu sendiri, benturan para pembesar NU justru

semakin kuat. Persaingan antara Saifullah Yusuf yang diusung oleh

PAN, DR. Ali Maschan Moesa dan Khofifah Indar P dari PPP

menjadi bukti bahwa NU hanya dijadikan kendaraan politik untuk

mencapai popularitas, sementara mengabaikan kepentingan dasar NU

dalam AD/ART 1926 sebagai organisasi yang memberdayakan

kepentingan sosial keagamaan.

Kasus lainnya juga terjadi dengan tampilnya ketua PWNU

Kalimantan Timur dalam bursa Pemilihan Gubernur Kalimantan

Timur serta tampilnya banyak ketua tanfidziyah dan fungsionaris

PCNU di berbagai tempat sebagai calon Bupati/Wakil Bupati dan atau

16 PW IPNU Jawa Tengah, Majalah Risalah Nusa, Edisi II, Januari 2008, hal. 1

33
Walikota/wakil walikota.

Fenomena semacam inilah yang dimaksud dengan nalar

kekuasaan NU. Yakni nalar yang dibangun untuk menguasai semua

aspek sosial yang ada, kemudian menafsirkan kondisi tersebut dalam

gerakan penguasaan. Kekuasaan adalah wilayah dimana pergerakan

berjalan secara terus menerus untuk mengembangkan diri guna

membangun kondisi-kondisi kemungkionan (condition of

possibilities), basis-basis pertahanan, dan pangkalan-pangkalan

pendararatan yang memungkinkan kita bisa mengartikulasikan dan

mengimplementasikan kerangka dasar kesejahteraan masyarakat

(mabadi khairi ummah).

Kekuasaan selalu ditopang oleh dua hal penting yaitu, Pertama,

nalar atau struktur pengetahuan yang mengkonseptualisasi sekaligus

merasionalisasikan hubungan diantara unsur-unsur politik, dan juga

kedua, pergerakan individu atau kelompok yang bermain untuk

merebut atau mempertahankannya17.

Dalam menganalisis persoalan ini, persoalan nalar kekuasaan

Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, penulis menggunakan metodologi yang

ditemukan Michel Foucault (1926-1984) dalam setiap analisis filsafat

postmodernismenya, yakni arkeologi dan genealogi. Sengaja penulis

mengambil teorinya karena dalam karya-karya Foucault selalu

menggunakan metode yang sama untuk menganalisis serta mengkritik


17 Eman Hermawan, Nalar Kekuasaan Kaum Pergerakan, KLIK R, Yogyakarta, 2008, hal. 12
modernisme, termasuk diantaranya nalar kekuasaan.

Secara global, bahwa sebagai pisau analisis, arkeologi dan

genealogi hanya digunakan sebagai media pendekatan, bukan berarti

metode ini kemudian harus menjadi sesuatu yang taken for granted

dari apa yang diungkapkan oleh Foucault, tetapi dengan penafsiran

sesuai konteks yang dibahas, dalam hal ini mengenai nalar dakwah

NU terkait dengan model kuasa.

Arkeologi akan menjadi metodologi yang tepat dari analisis

diskusivitas lokal dan genealogi akan menjadi taktik yang berdasarkan

pada deskripsi dikursivitas-diskursivitas lokal ini, yaitu suatu

pengetahuan arahan yang kemudian dilepaskan yang akan dibawa

kedalam pembahasan.

Ketika disatu sisi arkeologi berusaha menunjukkan bahwa

subyek merupakan sebuah bentukan imajiner, maka genealogi disisi

lain akan berusaha menghubungkan konteks material bentukan subyek

untuk menarik konsekuensi-konsekuensi politik dari subyektifikasi

dan membantu membentuk perlawanan dalam praktek-praktek

subyektifikasi. Ketika disatu sisi arkeologi mengkritik sains manusia

sebagai suatu keberadaan dalam asumsi-asumsi humanis, maka

genalogi akan menghubungkan teori-teori ini dalam operasi kekuasaan

dan mencoba meletakkan pengetahuan historis dalam perjuangan-

perjuangan lokal. Ketika disatu sisi arkeologi menteorisasi kelahiran

35
sains manusia dalam konteks episteme modern dan memfigurkan

manusia, maka genealogi pada sisi tersendiri akan menunjukkan

hubungan kekuasaan dan efek yang dimunculkan.

Uraian Foucault tentang arkeolgi perlu kita beri perhatian

khusus. Tentu saja, kata ‘arkeologi’ ini bagi Foucault mempunyai arti

lain daripada arti yang biasa, yaitu ilmu purbakala. Kita lihat bahwa

setiap diskursus ditentukan oleh suatu apriori historis. Lebih konkret,

itu berarti bahwa setiap zaman mempunyai suatu ‘sistem pemikiran’

yang menjuruskan cara mempraktekkan ilmu pengetahuan pada zaman

tersebut. Sistem pemikiran ini oleh Foucault disebut sebagai episteme.

Episteme itu biasanya tinggal implisit dan tidak perlu sama dengan

teori ilmu pengetahuan eksplisit yang terdapat pada zaman itu. Karena

jarak kita sekarang ini terhadap zaman itu sudah cukup jauh, maka

bagi kita menjadi mungkin untuk mempelajari dan memperlihatkan

episteme itu. Usaha eksplisitkan atau ‘menggali’ episteme yang

menentukan suatu periode tertentu oleh Foucault disebut sebagai

arkeologi atau analisa arkeolgis18.

Jadi, arkeologi atau pendekatan arkeologi adalah eksplorasi

sejumlah kondisi historis nyata dan spesifik dimana berbagai

pernyataan dikombinasikan dan diatur untuk membentuk atau

mendefinisikan suatu biang pengetahuan/obyek yang terpisah serta

mensyaratkan adanya seperangkat konsep tertentu dan menghapus


18 K. Bertens, Filsafat Kontemporer Prancis, Jilid II, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal
348-349
batas rezim kedalaman tertentu.

Pendekatan arkeologis Foucault berbeda dengan para pakar

seperti Baudriallard, Lyotard atau Derrida. Hal yang membedakannya

ada dua macam, yakni, pertama, Foucault tidak membongkar semua

bentuk, struktur, koherensi dan daya pikir ke dalam sebuah aliran

signifikansi tanpa akhir. Setelah membersihkan bagian dasarnya, dia

berusaha menangkap bentuk-bentuk keteraturan, hubungan,

kontinuitas dan totalitas apa yang benar-benar ada. Tugas arkeologi

tidak hanya mendapatkan sebuah pluralitas sejarah yang saling

bedekata dan independen satu sama lain, tetapi juga menenutkan

bentuk hubungan apa yang dapat dideskripsikan secara sah antara

rangkaian-rangkaian sesuatu yang berbeda.

Kedua, tidak seperti apokaliptik Baudrillard yag menyebut

posmoderinitas sebagai sebuah kehancuran utuh dari modernitas

industrial, ekonomi politik dan rasio referensial, Foucault

menggunakan sebuah peringatan dan guna berkualitas dari wacana

diskontinuitas. Sebaliknya, dia menyatakan bahwa ia terkadang

melebih-lebihkan tingkat kehancuran historis untuk tujuan pedagogis,

yaitu, menyerang hegemoni teori-teori tradisional perkembangan

historis dan kontinuitas.

Genealogi mengambil bentuk berupa pencarian kontinuitas dan

diskontinuitas dari diskursus. Genealogi tidak mencari asal-usul,

37
melainkan menelusurui awal dari pembentukan diskursus yang apat

terjadi kapan saja. Dalam genalogi tidak menggunakan verstehen

(pemahaman) melainkan destruksi dan pembongkaran hubungan-

hubungan historis yang disangka ada antara sejarawan dan obyeknya.

Genealogi diarahkan untuk mengeanalisis strategi kuasa yang berbelit-

belit, yang harus dipahami dari dalam lewat aturan, nilai yang berlaku

bahkan juga tutur kata dan kebiasaan.

Pada tahun 1970, Foucault mulai membuat suatu transisi dari

arkeologi menuju genealogi, sehingga bisa dikatakan ini merupakan

perubahan atau transisi menuju teorisasi yang lebih tepat dari institusi

dan bentuk-bentuk kekuasaan material. Meskipun genealogi

menunjukkan sebuah perubahan baru dalam fokus dalam karyanya hal

ini bukan merupakan sebuah dobrakan atau penghancuran, tetapi

sebuah pengembangan ruang lingkup analisis. Seperti arkeologi,

Foucault mengkarakterisasi genealogi sebagai sebuah model tulisan

historis baru yang menyebut genealogis sebagai ‘sejarawan baru’19.

Kedua metodologi berusaha meneliti kembali bidang sosial dari sudut

pandang mikrologis yang mampu membuat orang dapat

mengidentifikasi kontinuitas dan penyebaran diskursif, bukan

kontinuitas dan identitas, dan menangkap peristiwa-peristiwa historis

dalam kompleksitas nyatanya. Jadi, kedua metodologi tersebut

berusaha membongkar rantai-rantai kontinuitas historis besar dan

19 Steven Best dkk, Teori Posmodern, Interogasi Kritis, Boyan Publishing, Malang, 2003, hal.49-
50
tujuan teologisnya, serta menghistorisasi pemikiran apa yang tidak

dapat berubah.

Namun dalam transisi tahap genalogisnya, Foucault memberikan

tekanan yang lebih berat pada kondisi material wacana, yang dia

definisikan term ‘institusi peristiwa-peristiwa politik, praktek dan

proses-proses ekonomis’, dan pada analisis hubungan antara domain

dikursif dengan non-diskursif. Intinya bahwa, Foucault arkeologis

idealis dengan Foucault Genealogis materialis tidak dipisahkan dan

bukan merupakan upaya pemisahan, tapi lebih menandakan tematisasi

memadai dari hubungan praktek sosial dan kekuasaan yang

dinyatakan secara implisit dalam karyanya.

Sekali lagi penulis tegaskan, bahwa penggunaan pendekatan

metodologis arkeologis dan genealogis posmodernisme Michel

Foucault adalah hanya sebagai pisau analisis untuk membedah baik

pada sisi kontinuitas dan diskontinuitas sejarah (history), kekuasaan,

dakwah Islamiyyah, konstruksi antropologi dan sosiologi hingga

pembahasan mengenai konstruksi ideal Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Sehingga penulis memberikan judul yang sedikit menutup dan

membatasi lingkup persoalan, yakni, KRITIK NALAR DAKWAH

JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA, Telaah Sosio Politik NU

dengan Pendekatan Arkeologi dan Genealogi Postmodernisme Michel

Foucault.

39
Alasan Pemilihan Judul

Adapun alasan penulis judul skripsi KRITIK NALAR

DAKWAH JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA, Telaah Sosio

Politik NU dengan Pendekatan Arkeologi dan Genealogi

Postmodernisme Michel Foucault adalah sebagai berikut:

Penyalahgunaan posisi struktural NU untuk dijadikan kendaraan

politik praktis semakin lama akan membuat NU kehilangan

kekuatan kulturalnya, sehingga dikhawatirkan dalam beberapa

dekade kedepan NU tidak lagi memiliki kekuatan politik.

Para korban dari penyalahgunaan posisi struktural adalah

masyarakat kelas menengah kebawah. Dimana posisinya selalu

dimainkan untuk mendapatkan suara yang banyak. Hal ini

berpengaruh negatif terhadap keberlangsungan nalar dan

mainstream publik yang telah mengetahui bahwa NU

merupakan lembaga sosial keagamaan bukan lembaga sosial

politik.

Bahwa dalam konstelasi semacam ini, nilai dakwah dan kekuatan

sosial keagamaan NU justru semakin melemah, sehingga untuk

mengantisipasinya juga membutuhkan langkah politik yang

tegas dengan konsekuensi yang tegas pula.


RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH

Mengkaji mengenai problematika seputar Jam’iyyah Nahdlatul

Ulama, prasyarat yang paling penting adalah membaca hubungan

sosiologis, merangkai ulang diskontinuitas sejarah, menangkap

pluralisme sejarah, sosiohistoris, antropohistoris, sampai dengan relasi

kuasa. Penjabaran ini mengingat ada beberapa batasan yang harus

diambil maka wilayah pembahasannyapun harus dipersempit,

kalaupun membutuhkan referensi dari luar batasan, maka akan

dicantumkan hanya sebatas gambaran global, tidak merupakan

penjelasan yang panjang dan mendalam. Rumusan dan batasan yang

penulis gunakan adalah:

Konstuksi sosiologis dan antropologis terbentuknya Islam

Indonesia sebagai citra dasar NU.

Pandangan NU terhadap politik praktis pada era,1972-1984

dan 1984-sekarang.

Ketentuan dakwah Islamiyyah menurut paham Ahlus

Sunnah wal Jama’ah.

Pelanggaran-pelanggaran elite NU terhadap AD/ART NU

1926 dan Khittah 1926.

41
TUJUAN PENELITIAN

Adapun yang menjadi alasan mendasar yang kemudian menjadi

tujuan utama penulis melakukan riset ini adalah:

Penulis mengharapkan NU kembali ke khittah 1926 yang

berkonsentrasi pada organisasi sosial keagamaan.

Fungsionalis NU tidak melakukan politik praktis dan atau

menjadi fungsionalis di partai politik manapun.

Mengembalikan konsentrasi perpolitikan NU pada ranah politik

yang berdasarkan pada prinsip dasar Ahlus Sunnah wal

Jama’ah.

Berupaya menemukan alat dan metode perjuangan politik yang

tepat untuk NU.

Mencari pola relasi kuasa dengan sistem komunikasi agama dan

negara yang berdasarkan pada prinsip Ahlus Sunnah wal

Jama’ah.

SIGNIFIKANSI PENELITIAN

Secara teoritis penelitian ini dilakukan sebagai titik terang

menuju tujuan yang diharapkan dan sebagai sumbangsih

literatur dakwah islamiyah NU yang seharusnya kembali ke


Khittah 1926.

Secara praktisi penelitian ini dapat menjembatani dan sebagai

alternatif untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul

dan dapat mengembangkan metodologi dakwah dalam

ruang politik, sosial, ekonomi dan pengembangan

pengetahuan sosial.

Penegasan Istilah

Untuk memperjelas istilah yang ada dan mengantisipasi

terjadinya kesalahan dalam penafsiran terhadap maksud istilah, maka

penulis mencantumkan beberapa istilah yang menjadi titik tekan

utama pembahasan.

Arkeologis : Yakni metodologi analisis obyek yang

dikembangkan oleh Michel Foucault. Penjelasan

ringkasnya, eksplorasi sejumlah kondisi historis

nyata dan spesifik dimana berbagai pernyataan

dikombinasikan dan diatur untuk membentuk atau

mendefinisikan suatu bidang pengetahuan/obyek

yang terpisah serta mensyaratkan adanya

seperangkat konsep tertentu dan menghapus batas

rezim kedalaman tertentu.

Genealogis : merupakan pengembangan metodologi yang

43
dilakukan oleh Michel Foucault dalam analisisnya.

Titik tekan utama dalam metodologi ini yang

membedakan dengan antropologi yakni tekanan

yang lebih berat pada kondisi material wacana,

yang dia definisikan term ‘institusi peristiwa-

peristiwa politik, praktek dan proses-proses

ekonomis’, dan pada analisis hubungan antara

domain dikursif dengan non-diskursif.

Postmoderinisme : merupakan pembabakan sejarah, baik berdasarkan

waktu, nalar pemikiran, peradaban manusia

ataupun bentuk lain yang dapat menandai adanya

pergeseran secara sosiologis, antropologis dan atau

pengetahuan. Ringkasnya, postmodernisme

merupakan bentuk baru yang mengkritik

modernisme dan menganggap bahwa modernisme

telah mengalami kegagalan sehingga

postmodernisme muncul sebagai antitesis.

Jam’iyyah : adalah berasal dari bahasa Arab. Penafsiran disini

lebih diartikan sebagai tatanan organisasi (bukan

perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya),

organisasi atau bentuk komunal dari sekelompok

komunitas tertentu.
Kontinuitas : artinya berlangsung secara terus menerus,

berkelanjutan.

Diskontinuitas : adalah antonim dari kontinuitas, dapat diartikan

dengan keadaan yang terputus-putus.

Episteme : merujuk pada pengandaian, prinsip, kemungkinan

dan cara pendekatan tertentu yang dimiliki setiap

zaman dan membentuk suatu sistem yang kokoh.

Pluralitas : Foucault menafsirkan pluralitas sebagai upaya

penangkapan realitas dengan banyak cara dan

sistem.

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam riset ini, penulis menggunakan beberapa pendekatan

metodologis dalam upaya mengumpulkan data dan mengukur tingkat

validitas data. Berdasarkan modelnya, penulis menggunakan metode:

Metode Literasi

Literatur yang digunakan sebagai media pengumpulan data

diambil dari buku-buku, majalah, surat kabar, dokumen-

dokumen, serta bentuk media cetak lainnya yang terkait

dengan tema pembahasan.

45
Mengumpulkan data melalui perpustakaan electronic book

(e-book), yakni buku-buku, artikel, karangan ilmiah dan

bentuk lainnya dari koleksi perpustakaan nonprinted.

Menggali data dan bahan lain yang diperlukan melalui

browsing, searching dan downloading di Internet yang

terkait dengan tema yang dimaksud.

Metode Interview

Melakukan penggalian data melalui wawancara langsung

dengan narasumber terkait dengan tema yang dibahas.

Narasumber yang dimaksud adalah orang yang

berkompeten di bidangnya.

Melakukan penggalian data melalui wawancara via telepon,

SMS, chatting, electronic mail (email) dengan

narasumber yang kompeten dibidang terkait dengan

pembahasan dalam riset ini.

Metode Observasi

Yakni dengan melakukan kajian penelitian lapangan,

kunjungan ketempat yang terkait dengan tema serta


mengadakan survey, pola ini menggunakan metode

pengumpulan data dengan model proportional random

sampling, namun, metode ini digunakan apabila diperlukan

dan diharuskan untuk dilakukan.

SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam riset ini, penulis memberikan gambaran sistematika

penulisan yang menjadi bahan acuan pada tingkatan lebih lanjut

setelah dilakukan pengumpulan data. Adapun mengenai sistematika

yang dimaksud sebagai berikut:

Bagian muka

Terdapat halaman judul, halaman nota pembimbing,

halaman pengesahan skripsi, halaman motto, halaman

persembahan, kata pengantar dan daftar isi.

Bagian isi

Bagian ini terbagi dalam bab-bab:

BAB I : Pendahuluan yang memuat tentang

pembahasan yang terdiri dari abstraksi,

penegasan istilah, rumusan permasalahan,

tujuan penelitian, metode penelitian dan

47
sistematika penulisan skripsi.

BAB II : Membahas mengenai tema-tema mendasar

mengenai dakwah, baik sebagai ilmu sosial

ataupun sebagai sebuah system. Selain itu, pada

bab ini juga dijelaskan mengenai pisau analisis

yang digunakan, yakni teori postmodernisme.

BAB III : Konstruksi Sosioantropologis Islam Indonesia,

membahas mengenai konstruk terbentuknya

Islam Indonesia, Sejarah perjalanan NU, etika

politik dan dakwah Islamiyah Ahlus Sunnah wal

Jama’ah.

BAB IV : Analisis Dakwah Islam NU terkait dengan

politik, pada bab ini ditekankan pada

pendalaman mengenai upaya khittah 1926 yang

mengembalikan NU sebagai lembaga sosial

keagamaan dan merumuskan model perjuangan

politik NU. Pembahasan ini dibahas

menggunakan pendekatan metode arkeologi dan

genealogi.

BAB V : Bab ini merupakan bab penutup yang

terdiri dari kesimpulan tentang uraian skripsi

disertai dengan saran-saran dari penulis dan kata

penutup
Bagian akhir

Pada bagian akhir penulisan skripsi ini penulis menyertakan

daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat

pendidikan penulis.

49

You might also like