You are on page 1of 92

Naskah buku

Wacana Ringan dari Kegelisahan

Rekonstruksi Nalar Religius

Memahami Posisi Islam


dalam Konstelasi Geo Sosio Politik

Oleh :
Abaz Zahra

1
Sebagai Jembatan Awal Menatap Dunia Yang Sesungguhnya
Pengantar Penulis

Sejak diterbitkannya buku terbaru Samuel P. Huntington yang berjudul Who Are
We?- ˆ: The Challenges to America's National Identity tahun 2004 lalu kondisi
Islam dalam konstelasi geopolitik semaki1n tertantang. Dalam buku sebelumnya,
The Clash of Civilization, penasehat awakan Gedung Putih ini belum terang-
terangan mengatakan bahwa Islam adalah musuh besar bagi Amerika Serikat, namun
dalam buku terbarunya itu, Huntington mengatakan dengan tegas bahwa Islam
Fundamental adalah musuh besar yang harus dibasmi.
Ketika dilihat dalam buku tersebut memang tercantum Islam Fundamental yang
militant sebagai musuhnya, namun pada realitas di lapangan semua kelompok
Islam, baik Islam moderat, Islam liberal dan kelompok Islam lainnya
mendapatkan serangan dan warning yang sama dari Amerika Serikat.
Secara politis demikian, bahwa kondisi percaturan politik global dalam pemetaan
Huntington sebelumnya, Islam merupakan salah satu kekuatan besar yang akan
menjadi lawan dari peradaban Barat. Benturan peradaban yang akan terjadi salah
satunya adalah antara Islam dan Barat, disamping nanti muncul Confucianisme
yang berkembang di China. Ini memberi alamat yang semakin jelas bagi
perkembangan Islam ke depan, apalagi setelah Irak dan Afghanistan diserang
secara membabi buta oleh Amerika Serikat serta Libanon oleh Israel, ini
mengalamatkan bahwa Islam secara politis akan terus diserang tanpa ampun
untuk memenuhi ambisi Amerika Serikat dan mematahkan kekuatan Islam dalam
konstelasi geopolitik.
Di samping penyerangan secara politis, Barat (baca: Amerika Serikat) juga
menyerang sisi kebudayaannya, dalam bahasa Hassan Hanafi disebut dengan
imperialisme budaya. Dimana kebudayaan non-Barat secara perlahan akan
diputus akar kesejarahannya dan menggantinya dengan budaya popular ala Barat.
Penyerangan sisi budaya ini berbuntut pada hilangnya khazanah local yang
dimiliki oleh negara-negara non-Barat, tradisi dan ritus budaya akan tergilas oleh
kemasan budaya popular yang memang lebih menarik perhatian dibandingkan
dengan khazanah local. Inilah yang kemudian menjadi persoalan pelik disamping
persoalan pada ranah politik.
Sementara itu, dalam tubuh Islam sendiri, komunikasi internal juga belum
selesai, dimana satu madzhab dengan madzhab lainnya belum berada pada satu
pandangan yang sama untuk menentukan satu musuh bersama (common enemy).
Kalaupun telah mencapai kesepakatan itu, jalur pergerakan yang dilakukanpun
masih khilafiyah dikarenakan perbedaan penafsiran atas model perjuangan
(jihad).
Indonesia yang merupakan kandangnya warga Islam dengan jumlah penduduk
yang menganut agama Islam terbesar di dunia tentunya juga menjadi wilayah
yang turut serta tergabung dalam permainan sosio politik dunia. Dan ini juga
tidak hanya terjadi saat ini saja, campur tangan Barat terhadap kemerdekaan
1

3
secara sosial telah terjadi sejak zaman kuno hingga sekarang.
Percaturan politik nasional tidak terlepas dari persoalan politik global, karena
diakui atau tidak Indonesia telah terpetakan sebagai negara Islam moderat yang
dengan mudah telah menjadi boneka Amerika Serikat.
Tulisan yang ada disini merupakan ungkapan dari keresahan yang saya alami
ketika saya membaca buku-buku. Dari buku saya menjadi tahu kondisi yang
sebenarnya tentang dunia ini, tetapi, berangkat dari tanggung jawab saya sebagai
kader organisasi pergerakan, saya tidak mampu melakukan apapun untuk
merubah tatanan busuk ini. Oleh karena itulah saya ingin membagi keresahan
yang saya alami ini kepada semua orang.
Dalam tulisan ringkas ini, bantuan dari berbagai pihak yang telah turut
serta menyumbangkan ide-idenya saya mengucapkan terima kasih yang
tertinggi. Perjuangan dan gerakan kita dalam merumuskan masa depan
intelektual kita bersama di “Rumah Kita” harus tetap kita lestarikan
sampai tedhak turun kita kedepan.
Bapak, Ibu, mbak Zulfa, Nurul Aminah, Mas Amri, mas Tikno, mbak
Nur and the family. My sist and broth, all of you, i love you. Alexa Visti
Angelica (poepoedz) and the Family. Especially for my spirit Dian Sevi
Ferliyah and the Family.
Sahabat-Sahabat penghuni “Rumah Kita” yang saya ucapkan terima kasih
berlebih, M. Suyuti (Ketua Umum PC PMII Wonosobo 2007), Parman
“Parl Marx”, Asep Saefudin, Dwi “Cecek” (Ketua PC IPNU Wonosobo
2008), Mahmoud “Dukun”, Yunus, Syarif, Amin, Ifat, Zen, Samuel Sul
dkk. Serta pendukung utama tercinta Rumah Kita, Syarifah Sukainah Al
Idrus, Ati Nusa Laksani “Juwita Malam”, titin, Muhammad “Wagimin”
Aples, Ulfiatun NF, Nur “Noe” Khasanah.
Pasukan “Senthe Woeloeng United” Kalibeber, PC PMII Wonosobo, PK PMII
Ahimsa Unsiq, Sangkakala Institute, PKC PMII Jateng, Danyang Sumbing For
Brain, Akses Budaya Wonosobo, Jagong Budaya Wonosobo, Teater Banyu
Wonosobo, Jaringan Semi Liberal NU Wonosobo, Pandawa Wonosobo, PPTQ
Al Asy’ariyyah, Universitas Sains Al Qur’an (Unsiq), Yayasan Jurnal Perempuan
Jakarta, Wahid Institute Jakarta, Freedom Institute Jakarta, LBH Jakarta,
Komunitas Salihara, Komunitas Konkow bareng Gus Dur, terima kasih banyak
semuanya.
Tidak lupa kepada seluruh Sahabat-sahabatku di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia PMII Cabang Wonosobo. Terutama kepada salah satu pendiri PMII
wonosobo Bapak Kholiq Arief (Bupati Wonosobo), dan Alumni Mas Arif Kfc
(DPRD Wonosobo), Mas Syarif Abdilah (Aktivis Tani/DPRD Wonosobo), Mas
Hasan (DPRD Wonosobo), Mas Amir (Ketua Ansor Cab. Wonosobo), Mas
Mubin (Dosen UNSIQ dan LAKPESDAM NU), Mas Wonodo (DPC PKB
Wonosobo), Mas Haqqy (Budayawan Wonosobo), Mas Thoriq (Pengusaha
Wonosobo), Mas Thoam (Dosen Unsiq), Mas Slamet (SRC), Mas Jatomo (Ketua
KMBPI Wonosobo).
Teman-teman PMII, Gendhut Dani, Andree and the Back home, Ali
Nazilatul, Ahmad Nadzir, Habibi, Arif Hidayat, eM, Fasihul Lisan alwani,
dukun, sani arab, sani jowo, arie kijo, fajar, sayidi, mahrus, mudzakir,
masruh, mat leader, mat kenong, jamal, benu, afi, cheng foe, libasut
taqwa, ladaina ifa, ninok, nofee medan, my sister Amilati, eni chamidah,
aPim, tarti, udzoh, dan semuanya sajalah, masa harus ngabsen, thanks
abiz pokoknya, I LovE yOu.
Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada semuanya yang telah
turut serta membantu menyelesaikan tulisan kecil ini. Dan penerbit yang
telah menerbitkan catatan kecil ini, semoga bermanfaat dan selamat
berjuang..

Banjarnegara, Februari 2009

Abaz Zahra

5
Daftar Isi
Halaman Judul :..............................................................................

Pengantar Penulis :
Daftar Isi :
Islam Revolusioner :.............................................................................

Dekonstruksi Pemahaman Klasik atas Ajaran Islam :


Jalan Baru, Mungkinkah? :..........................................................................

Dirasat Islamiyyah Hassan Hanafi :

• Al Yasar Al Islam :

Oksidentalisme :
Oksidentalis atau Tukang Ramal?
Jihad, Dulu, Sekarang dan yang akan Datang: .....................................

Jihad Hari Ini dan yang Akan Datang :........................................................

Islamophobia :.............................................................................

• Islamophobia Max Weber................................................................

Kritik Agama Marx :


Dampak Islamophobia :
Konstelasi Geo Sosio Politik dan Pengaruhnya terhadap Geografi

Sosio Religius Nasional

• Definisi dan Gambaran Global :

Realitas Geopolitik Hari Ini :


Geneologi Sosial Politik (Geosospol) :
Islam Indonesia :
Konstelasi Geopolitik dan Geografi Sosio Religius Nasional :
Daftar Pustaka :
Biografi Penulis :

7
ISLAM REVOLUSIONER

Tidak tahu persis tentang apa yang akan ditulis ini, entah ada kaitannya

ataupun tidak, saya ingat ketika beberapa bulan lalu saya duduk di emperan

masjid kampus, mengamati aktivitas mahasiswa, melihat dan membaca tingkah

laku mahasiswa, dan saya baru menyadari bahwa ternyata cengkraman hegemoni

begitu kuat dari satu sistem. Belajar rajin, membaca buku, berdiskusi dengan

dosen, pulang kuliah membuat tugas, dan begitu seterusnya setiap hari.

Untuk yang tidak sepakat dengan sistem ini, jumlahnya kemungkinan lebih dari
70 % terbagi dua macam. Biasanya mereka melakukan pembangkangan dari
‘aktivitas wajib’ yang dibebankan kepada mereka. Yang kebetulan agak kritis,
jumlahnya hanya sekitar 20-30 % dari para pembangkang, lari ke organisasi
pergerakan, organisasi mahasiswa lainnya yang ada diinternal atau eksternal
kampus. Selebihnya, mereka melampiaskan ketidaksukaannya dengan berhura-
hura, pacaran, ngegank, jalan-jalan, nongkrong atau hanya sekedar kumpul-
kumpul dengan teman-temannya.
Fenomena ini, saya begitu yakin tidak hanya ada di kampus saya saja, tetapi
disetiap kampus, disetiap lorong-lorong jurusan, disetiap gedung-gedung fakultas
atau digedung kemahasiswaan. Anehnya, justru budaya semacam ini menjadi
semacam trademark di perguruan tinggi. Baiklah, mari kita refleksi kembali
kedepan mengenai masa depan kita, mahasiswa dan sebagai calon ‘dokter’
masyarakat.
Sebelum sampai pada makna yang sesungguhnya dari Islam Revolusioner yang
sebenarnya esensinya tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang menjadi tesis
Hassan Hanafi yakni The Left Of Islam (Al Yassar Al Islam) atau Islam
Pembebasan (Islam and the Relevance to our age) yang ditulis oleh Asghar Ali
Engineer, ada satu hal yang seharusnya kita kaji dulu dalam Islam itu sendiri
terkait dengan ajaran-ajaran serta semua hal yang melingkupi tentangnya.
Banyak sesungguhnya di dalam Al Qur’an yang mengatakan bahwa Islam
merupakan agama revolusioner atau agama yang hendak merubah tatanan sosial,
ekonomi, politik dan budaya masyarakat secara kolektif ke arah yang lebih baik.
Di dalam Al Qur’an, tidak terlalu tampak secara berlebihan tentang
revolusionernya secara implisit, namun secara eksplisit ketika ayat tersebut
ditafsirkan dengan metode kontekstual histories (meminjam istilah Hassan
Hanafi) hampir sebagian besar isi Al Qur’an merupakan upaya untuk merubah
atau tepatnya menjadikan Al Qur’an sebagai media utama revolusi.
Satu hal lagi yang perlu ditekankan dalam hal ini, yakni terkait dengan makna
Islam revolusionernya sendiri. Bahwa revolusioner yang diangkat dalam Islam
itu tidak hanya hal-hal besar yang cakupannya global saja, tetapi hal-hal kecil
sampai detail merupakan objek perubahan. Sebagai pembandingnya, Islam tidak
hanya merubah tatanan geososiopolitik saja tetapi melakukan perubahan sampai
hal yang sifatnya personal dan tabu sekalipun seperti berkhitan, memotong bulu
kemaluan, sex dan sebagainya. Artinya, revolusi yang ditawarkan oleh Islam
sebagai solusi kolektif atas berbagai persoalan yang sifatnya mendunia hari ini
berangkat dari hal-hal yang sebenarnya ringan dan tidak terpikirkan oleh kita
untuk diubahnya, karena sesungguhnya Islam mempercayai bahwa hal-hal yang
kita anggap sepele akan berbuntut pada hal-hal yang besar yang terkadang kita
sendiri tidak mampu mengatasinya.
Persoalan sederhana yang kita hadapi sehari-hari dengan sendirinya akan menjadi
kebiasaan dan seterusnya mampu menjadi persoalan besar. Ini memang benar
adanya, artinya dalam hal ini Islam mencoba menggulirkan satu wacana baru
tentang bagaimana memanage hal-hal sepele dalam hidup kita sebagai langkah
antisipatif terhadap munculnya hal-hal besar. Analogi sederhananya, ibaratkan
persoalan sepele itu setitik debu, maka lama-kelamaan debu itu akan bergabung
bersama debu-debu lainnya, menggumpal dan kemudian menjadi batu gunung
yang besar yang mampu meremukkan apapun yang dilewatinya.
Dalam wilayah sederhana ini, kemudian Islam mengajak umatnya untuk berkaca
pada sejarah masa lalu untuk di jadikan referensi dan mempelajari kejadian
tersebut mulai dari tahap penampilan masalah sampai pada ending dari sejarah
itu. Klimaks konflik dan anti klimaksnya yang kemudian harus mendapatkan
perhatian khusus agar persoalan-persoalan yang muncul dapat segera diketahui
penyebabnya serta kemudian merumuskan strategi untuk bagaimana persoalan
tersebut mendapat penyelesaian yang paling baik dan solutif.
Hal ini ada kaitannya dengan apa yang dikatakan oleh penganut filsafat
materialisme historis (evolusionisme mekanis) yang cenderung mempercayai
bahwa sejarah pada dasarnya selalu berputar, apa yang terjadi pada kejadian hari
ini dan akan datang sesungguhnya telah terjadi juga di masa lampu dengan
konsep yang sama. Perbedaan dari kejadian itu hanya terletak pada kuantitas dan
kualitasnya saja. Dapat dicontohkan misalnya imperialisme dan kolonialisme
ekonomi hari ini yang kita rasakan sesungguhnya telah terjadi pada masa lampau
dengan kejadian yang sama namun dalam konsep yang berbeda, kolonialisme dan
imperialisme ekonomi yang terjadi pada masa lampau dilakukan dengan system
yang sederhana dan strategi yang masih dangkal.
Islam dikatakan membawa sejarah sebagai referensi umat Islam dalam
menyelesaikan persoalan menjadi alasan kenapa Allah kemudian banyak
menceritakan kisah-kisah para nabi dan rasul terdahulu dalam Al Qur’an. Yang
ditulis di dalam Al Qur’an, terutama kisah-kisah para nabi dan rasul ini bukan
hanya untuk diketahui sebagai pengetahuan umum untuk kemudian di
dongengkan kepada anak cucunya saja tetapi untuk dipelajari dan diambil makna
dari cerita itu. Tiap tokoh kemudian dikaji dari berbagai sisi, baik sisi sosial,
ekonomi maupun budayanya dan kemudian dibandingkan dengan tokoh-tokoh
lainnya, bagaimana munculnya konflik, penyelesaian konflik sampai pada

9
bagaimana menciptakan tata sosial yang baru pasca konflik.
Kisah-kisah nabi dan rasul terdahulu ketika dikaji dengan model kontekstual
histories dapat ditemukan banyak hal terkait dengan persoalan yang dilematis
hari ini. Persoalan mengenai konflik antara rakyat dengan penguasa dapat
dijumpai pada kisah nabi Yusuf dan nabi Musa, bagaimana Yusuf bersikap ketika
sedang dalam masa hukuman di penjara, tentang bagaimana Nabi Musa bersama
pasukannya melawan dominasi kekuatan Raja Fir’aun2. Persoalan mengenai
politik dapat berkaca dari Nabi Sulaiman, tentang manajemen Negara sebesar
negara Sulaiman yang dilakukan secara sentralistik yang langsung kepada Raja
Sulaiman, bagaimana Nabi Sulaiaman melakukan penggabungan negara dengan
negara ratu Bilqis, di bidang militer Kisah Nabi Sulaiman dengan tentara dari
manusia, binatang dan jin dapat di control dalam one man one commando di
tangan nabi Sulaiman.
Di bidang pendidikan, kisah nabi Musa ketika mencari Nabi Khidzir,
ketabahannya dan kesabarannya dalam menuntut ilmu dapat menjadi rujukan hari
ini bagaimana menyelesaikan persoalan rendahnya sugesti masayarakat untuk
bersekolah, sehingga negara kita dilanda kebodohan kolektif. Manajemen
pendidikannya, dapat diambil dari kisah nabi-nabi yang menyampaikan
risalahnya secara kontinyu dengan tempat seadanya dan waktu sesenggangnya.
Artinya belajar dapat dimanapun, kapanpun dengan guru siapapun.
Banyak kejadian sejarah dari para nabi terdahulu yang dapat dijadikan rujukkan
untuk mencari solusi kolektif atas multiproblem yang terjadi di tengah-tengah
kita hari ini.
Sederhananya, dari kisah sejarah yang dituliskan dalam Al Qur’an saja dapat kita
ambil banyak pelajaran untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dilematis
di tengah-tengah kita hari ini. Belum lagi ketika kita buka ayat-ayat makiyyah
yang di turunkan di Makkah yang kebanyakan isinya tentang hukum syariat yang
mengatur hubungan teologis dan hubungan muammalah (sosiologis), disini
secara lebih jelas diatur mengenai bagaimana seharusnya kita berpolitik,
bagaimana menciptakan tata sosial yang madani, tentang apa yang seharusnya
dilakukan ketika berhubungan dengan Allah dan seterusnya.
Dalam Al Qur’an, kisah-kisah nabi terdahulu tidak hanya untuk kemudian
dijadikan petuah dan dongeng saja, akan tetapi apa yang digambarkan tentang
kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang mengabaikan kepentingan teologis
dan humanis di tengah-tengah kaumnya secara nyata, kemudian atas mereka
Allah dengan kebesarannya kemudian menurunkan beraneka bencana yang
terkadang diluar akal sehat manusia. Kaum Nabi Nuh yang berada di sekitar
gurun berpasir oleh Allah kemudian diturunkan bencana berupa banjir bah yang
besar sehingga seluruh kaum, kecuali pengikut nabi Nuh, tenggelam oleh banjir
2 Kisah ini disebutkan dalam Al Qur’an saat bagaimana Bani Isra’il yang dipimpin Musa
melawan Fir’aun, pada akhir cerita Allah menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya saat
menyeberangi lautan. Allah berfirman;
“Maka Fir'aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang
menenggelamkan mereka” (QS.20.78)
tersebut. Atau yang lebih jelas lagi, Raja Ramses (Fir’aun) di zaman nabi Musa
ditenggelamkan di dalam lautan ketika nabi Musa berhasil membelah lautan
hanya dengan pukulan tongkatnya.
Satu hal lagi, bahwa selain memberikan petuah secara implicit dan eksplisit, Al
Qur’an juga memberikan jawaban atas persoalan motivasi dalam melakukan
revolusi (perubahan) sebagai manifestasi atas ajaran yang terkandung di dalam
Islam, seperti misalnya, Allah memberikan sindiran halus dengan Firmannya

“… Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga


kaum itu sendiri merubahnya”.3

Disinilah kemudian apa yang dimaksud Hassan Hanafi bahwa Islam itu

harus mampu menciptakan antroposentrisme yakni peradaban yang berpusat pada

manusia memperoleh legitimasi selain dari ayat yang mengatakan bahwa

manusia adalah khalifatu fi al ardl yang berhak memanage dunia beserta isinya.

Di sisi lain, bahwa terkait dengan manusia sebagai khalifatu fi al ardl maka

manusia memperoleh kebebasan dan tanggung jawab untuk melakukan

perubahan terhadap tata sosial masyarakat dan alam sekitarnya yang tidak sesuai

dengan hokum Islam untuk menciptakan kemaslahatan bersama (kesalehan

kolektif). Allah berfirman :

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak

menjadikan seorang khalifah di muka bumi”4

Jabatan khalifatu fi al ardl dan keharusan manusia melakukan perubahan


terhadap negaranya apabila negara tersebut di pegang oleh kekuasaan yang
menindas dan sewenang-wenang memberikan inspirasi lebih bahwa dengan
hanya dua tanggung jawab ini motivasi untuk revolusi dapat dimunculkan dengan
bermodalkan keberanian dan tanggung jawab secara kolektif masyarakat Islam di
dunia, tanpa membedakan status dan madzhab yang dianut.
Disini baru satu sumber utama, sumber yang kedua berupa hadits dapat lebih jauh
3 Surat Al Ra’d ayat 11
4 Surat Al Baqarah [2] 30

11
lagi diketahui tentang bentuk revolusi yang ditawarkan oleh Islam sebagai
langkah efektif untuk dapat merubah tatanan ipoleksosbudhankam yang dilematis
dan menindas. Hadits memberikan jabaran lebih luas dan mendalam serta lebih
detail, tugas hadits adalah menterjemahkan isi Al Qur’an secara lebih luas dan
teknis, oleh karena itu peran hadits sebagai penerjemah akan lebih luas
cakupannya di bandingkan dengan sumber utamanya.
Menjabarkan tentang peran hadits dalam melakukan dukungan revolusioner
terhadap Al Qur’an akan di temukan penjelasan yang lebih mendalam, mengingat
hadits tidak hanya ucapan nabi Muhammad, tetapi juga tindakan dan sikapnya
maka dapat dengan mudah diketahui tindakan revolusioner nabi Muhammad
dalam melakukan perubahan di tanah Arab khususnya dan dunia pada umumnya.
Masyarakat Arab sebelum nabi Muhammad diangkat menjadi Rasululullah
banyak tindakan yang tidak manusiawi muncul. Bayi yang lahir dengan jenis
kelamin perempuan akan dikubur hidup-hidup, berjudi dan mabuk-mabukan
merupakan identitas mereka, perbudakan, penindasan dan kesewenang-wenangan
terhadap kaum miskin dapat mudah dijumpai. Sesembahan mereka berupa batu
yang dipahat berbentuk berhala yang di letakkan di bangunan suci Nabi Ibrahim,
Ka’bah, yang mereka namai Latta dan ‘Uzza. Dan sederetan tindakan jahiliyyah
lainnya.
Dari fenomena yang kurang manusiawi di tengah-tengah masyarakat Arab ini,
Muhammad muncul sebagai orang yang berhati halus, jujur, berotak cerdas dan
oleh masyarakatnya Muhammad mendapatkan gelar Al Amin5. Muhammad yang
merasa prihatin dengan kondisi ini kemudian menyeret dirinya untuk merenungi
dan menyendiri berkontemplasi di gua Hira’, sebuah gua yang berada di
pegunungan berbatu di luar kota Makkah.
Ditengah kontemplasinya yang dilakukan secara kontinyu (istiqamah), Jibril
kemudian atas perintah Allah menurunkan wahyu pertama yang membuat
Muhammad merasa ketakutan. Asghar Ali Engineer6 mencatat dalam peristiwa
penurunan wahyu pertama ini, bahwa wahyu yang pertama kali secara esensial
memang berwatak religius, namun tetap menaruh perhatian lebih kepada
fenomena sosial yang ada di sekitarnya.
Makkah yang ketika itu merupakan pusat perdagangan yang penting. Dimana
secara geografis Makkah menjadi kota yang paling diperuntungkan karena
menjadi jalur perdagangan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan atau sebaliknya.
Makkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat pertemuan para
pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah.
Pedagang dari Afrika pun banyak yang melakukan transaksi perdagangan melalui
rute Makkah ini. Dari keadaan inilah Makkah kemudian diuntungkan sebagai
kota penting yang menjadi pusat keuangan dari kepentingan internasional yang
besar.
Seiring dengan perubahan kota Makkah menuju wilayah perdagangan
internasional ini, maka secara perlahan masyarakat arab tata nilai sosialnya

5 Gelar Al Amin diterima oleh Muhammad sebelum ia diangkat menjadi Rasulullah. Al Amin
adalah gelar yang diberikan kepada orang yang jujur, menjaga amanat dan dapat dipercaya.
6 Asghar Ali Engineer, 2007, Islam and Relevance to Our Age, Penerj. Hairus Salim dkk, LKiS
Jogjakarta, hal. 4
sedikit demi sedikit bergeser ke arah baru yang lebih praktis. Masyarakat yang
sebelumnya lebih mengutamakan sentiment kesukuan atau sentiment Klan untuk
kemudian mengalami transisi sosial. Dan ternyata tidak hanya perubahan pada
wilayah kesukuan saja, tetapi juga perubahan terjadi pada wilayah kepercayaan
dan pandangan hidup masyarakat.
Masyarakat Badui yang tinggal di sekitar kota Makkah mungkin yang paling
merasakan pil pahit dari perubahan sosial dan ekonomi ini. Biaya hidup yang
harus ditanggung oleh masyarakat suku Badui dan suku-suku lainnya semakin
meningkat karena pertumbuhan ekonomi yang cepat ini.
Hal yang terjadi pada suku Badui ini berbanding terbalik dengan kondisi
ekonomi para pedagang. Dimana ketika masyarakat Badui menderita karena
tekanan ekonomi dengan biaya hidup yang semakin tinggi, justru para pedagang
di kota Makkah merasakan sebaliknya, mereka berlomba-lomba memperkaya diri
dengan menjual komoditas perdagangan yang banyak disukai oleh pangsa pasar.
Keadaan yang terlalu kacau balau ini, merupakan akar pusat yang menyebabkan
banyaknya konflik sosial di kota Makkah. Dimana dari persoalan kesenjangan
ekonomi ini, kemudian secara perlahan mulai menurun pada bidang sosial
lainnya.
Para pedagang yang memegang kendali atas dunia perdagangan pada saat itu
kemudian melakukan berbagai cara untuk memusatkan kekayaan pada diri
mereka masing-masing. Berbagai koorporasi perdagangan kemudian muncul
sebagai akibat dari keinginan untuk terus memperkaya diri. Koorporasi ini selain
untuk menguasai arus perdagangan dalam satu wilayah juga untuk melakukan
monopoli perdagangan sepenuhnya atas wilayah yang telah dikuasainya itu.
Sebagai bentuk tandingan atau strategi banding atas kekuasaan ekonomi dalam
koorporasi itu, orang-orang miskin Makkah kemudian membentuk komunitas
yang sama. Tujuannya adalah untuk mengurangi dominasi ekonomi para
pedagang yang monopolistic, dimana system ini menjerat dan menyingkirkan
secara perlahan kaum miskin. Komunitas ini mereka namai sebagai al Fudul7
(Liga orang-orang tulus). Dalam pembentukan komunitas ini, Muhammad turut
serta menghadirinya dan menyatakan menyetujui dan mendukung berdirinya
komunitas kaum tertindas ini.
Selain untuk menjaga integritas perdagangan, komunitas ini juga bertugas untuk
mencegah keluarnya para pedagang Yaman dari kota Makkah. Hal ini disebabkan
karena pedagang Yaman merupakan para pedagang yang cerdas dalam
managemen perdagangan antar kota, sehingga apabila pedagang Yaman harus
keluar dari Makkah, sebagai akibatnya, komunitas al Fudul ini harus
mengirimkan kafilahnya ke Yaman.
Pedagang yang kaya raya menguasai secara sepenuhnya kehidupan sosial
masyarakat Makkah. Sehingga dari sini, selain menindas secara ekonomi, juga
melakukan penindasan sosial dengan pembudakan manusia. Orang-orang
merupakan komoditas perdagangan yang dapat diperjual belikan antar orang kaya
untuk dieksploitasi tenaganya. Selain eksploitasi tenaga, untuk budak wanita
diperalat untuk memenuhi hasrat seksual para pedagang.
Nabi Muhammad setelah diangkat menjadi Rasul melakukan revolusi sosial
7 Sering dijumpai nama-nama lain untuk menyebut komunitas kaum tertindas ini selain Al Fudul.

13
masyarakat Makkah, dengan tegas ia melawan setiap tindakan pemberhalaan
terhadap batu, mengubur bayi perempuan hidup-hidup, berjudi, penindasan
ekonomi dan sosial dan sebagainya8. Revolusi ini jelas tidak mudah dilakukan,
hal ini dikarenakan tindakan jahiliyah merupakan sesuatu yang telah masuk
dalam lingkaran tradisi masyarakat Arab sehingga untuk merubah tradisi tersebut
akan mendapatkan perlawanan yang jauh lebih tegas dari serangan yang
dilakukan Muhammad.
Nyawa Muhammad menjadi taruhan sebagai konsekuensi dari revolusi yang ia
lakukan bersama pasukannya. Ia tidak menyerah meskipun mendapatkan
pertentangan dari setiap arah. Sampai-sampai karena revolusi yang beliau
lakukan membuatnya di usir dari Makkah dan bersama-sama sahabatnya hijrah
ke kota Madinah yang masih dalam wilayah Hijaz.
Di Madinah, Muhammad bersama-sama sahabatnya masih terus mendapatkan
desakkan dari berbagai pihak, tidak hanya kaum Quraisy di Makkah saja, tetapi
wilayah-wilayah luar Makkah dan Madinah yang mengetahui tentang kerasulan
dan agama baru yang dibawa Muhammad.
Al Qur’an di Madinah masih tetap turun dengan berbagai kondisi social dan
kondisi pribadi Muhammad yang berbeda-beda. Sering kali pula Allah
menurunkan Ayat yang berisi tentang cerita-cerita kenabian terdahulu untuk
menjadi cermin oleh Muhammad dalam menghadapi setiap serangan dari pihak
luar. Ayat-ayat yang turun kemudian oleh nabi dimanifestasikan dalam setiap
gerakan dan perjuangan melawan desakan dan tantangan yang ia terima.
Disinilah peran hadits sebagai penerjemah dari Al Qur’an dapat di ketahui,
bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah hadits dan hadits
tersebut merupakan pengejawantahan dari apa yang dikatakan dalam Al Qur’an.
Selain dalam bidang teknis, hadits secara tekstual juga banyak yang mendukung
revolusionisme Al Qur’an.
Misalnya saja, hadits tentang berperang melawan kebatilan, penindasan,
kesewenang-wenangan dan sebagainya banyak muncul dalam periode kehidupan
nabi Muhammad, hadits tentang berperang merupakan realisasi dari perintah
jihad yang diperintahkan oleh Allah dalam Al Qur’an.
Sampai pada wafatnya nabi Muhammad, perubahan di bidang politik dan budaya
banyak dilakukan dan banyak menyebar di berbagai negara. Revolusi terhadap
budaya lain yang tidak humanis di wilayah Negara lainpun ia lakukan dengan
strategi yang halus dan manusiawi. Perubahan social yang paling kentara adalah
berubahnya pandangan hidup yang semula berwatak imperialistic dan
kolonialistik antara orang kaya dengan orang miskin sedikit demi sedikit mulai
terkikis, Islam yang dibawa Muhammad membawa ajaran agar orang kaya
menyantuni orang miskin. Diakui atau tidak, Islam saat ini merupakan gerakan
yang sedang melakukan revolusi total, dimana Islam mengibarkan bendera kiri
(perlawanan) terahadap system yang primitive.

8 Pada tahap awal Muhammad melakukan sosialisasi secara sembunyi-sembunyi tentang wahyu
yang diperolehnya kepada istri dan sahabatnya untuk mendapatkan dukungan dalam
menyebarkan paham baru yag dia peroleh. Tahap selanjutnya, Muhammad mulai menyebarkan
Islam dengan terang-terangan sebagai agama yang hendak memperbaiki moral (akhlaq)
masyarakat.
Terkait dengan Tesis Hassan Hanafi dengan Kiri Islamnya, maka posisi Islam
Revolusioner merupakan harga mati. Hubungan antara Islam Revolusioner dan
Kiri Islam adalah searah dan saling melengkapi, Tugas Kiri Islam adalah
menguak unsur-unsur revolusioner dalam agama, dan menjelaskan pokok-pokok
pertautan antara agama dan revolusi. Atau dengan kata lain, memaknai agama
sebagai revolusi. Tugas ini merupakan sebuah ‘tuntutan zaman’ yang telah
menerapkan sebuah system yang sistematis tetapi menindas dan melakukan
kesewenang-wenangan halus.
Dikatakan sebagai tuntutan zaman mengingat bahwa hari ini fenomena
kapitalisasi di segala bidang kehidupan telah mencapai titik kritis. Semua bidang
kehidupan telah disusupi oleh kapitalisme yang kapitalisme sendiri menjajah
berbagai peradaban lain yang mencoba menggugurkannya. Dan parahnya lagi
posisi Islam hari ini oleh para penganutnya dianggap sebagai agama teosentris
dimana peran tuhan sebagai pemegang utama atas kendali dunia berperan
dominan, manusia adalah boneka yang harus mengikuti apa yang dikehendaki
oleh Tuhan, sehingga tidak ada kebebasan manusia untuk melakukan perubahan
atas segala yang terjadi pada Islam dan penganutnya.
Paradigma fungsionalis ini menganggap bahwa Tuhan adalah sentral peradaban,
apa yang terjadi di dunia ini adalah merupakan kehendak Tuhan, atau istilahnya
takdir, manusia tidak berhak untuk melakukan perlawanan atau merubah
kehendak Tuhan, tugas manusia adalah sabar menghadapinya dan tawakal ketika
kesabaran itu telah habis. Penindasan, kesewenang-wenangan yang terjadi atas
mereka oleh siapapun merupakan kehendak Tuhan yang harus diterima dengan
lapang dada.
Dari sinilah kemudian memunculkan persoalan yang sangat fatal dan riskan
untuk merealisasikan Islam sebagai agama revolusi. Orang-orang Islam
mayoritas tidak memiliki paradigma yang strukturalisme radikal, hanya sebagian
orang Islam yang sadar dan menganggap bahwa dunia ini merupakan ‘peradaban’
yang dipegang oleh manusia dan manusia diberi kebebasan untuk mengelola dan
memanfaatkan segala sesuatu yang ada di dunia. Apabila terjadi something
trouble dalam system kesetaraan kosmologi maka hal yang harus dilakukan
adalah melawan terhadap apapun atau siapapun yang membuat kesetaraan itu
mengalami something wrong.
Paradigma masyarakat kebanyakan dalam memandang penindasan kapitalisme
dilihat dari kaca mata religiusitas, merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan oleh
Tuhan, sebagai muslim yang taat maka harus menerimanya dengan lapang dada
dan sabar. Penjajahan ekonomi harus diterima dengan tawakal, penguasaan akses
politik dan ekonomi oleh ‘orang hitam’ merupakan sesuatu yang harus ditawakali
dan berpasrah karena semua itu merupakan kehendak dari Allah yang merupakan
cobaan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tugas Islam untuk mampu menjadi
agama revolusioner ada dua macam, dan keduanya merupakan rangkaian yang
tidak mungkin terputus salah satunya, yakni pertama Islam harus mampu
merubah paradigma pemeluknya dari Islam yang konservatif fundamentalis
dengan paradigma fungsionalis ke budaya humanis dengan paradigma
strukturalisme radikal.

15
Setelah semua pemeluknya merubah paradigmanya dan telah sampai pada
common sense (satu pandangan) maka untuk selanjutnya yang kedua Islam baru
dapat melakukan revolusi total di segala bidang kehidupan untuk melawan
dominasi kapitalisme yang menjerumuskan. Namun, satu hal yang kemudian
sampai saat ini belum dapat terrealisasi yakni pengkondisian masyarakat muslim
itu sendiri. Artinya, masyarakat muslim masih terkotak-kotak berdasarkan
madzhab, aliran dan kepercayaan yang berbeda-beda sebagai akibat dari
kesalahan sejarah yang telah membudaya di tengah-tengah Islam. Inilah yang
kemudian membuat komunikasi internal di dalam Islam sampai sekarang belum
dapat terjadi dialog yang komunikatif dan konstruktif. Semuanya berjalan
menurut kepercayaan dan ajaran mereka.
Artinya benar kata Samuel P. Huntington bahwa perang yang terjadi hari ini dan
seterusnya bukan berlatar belakang adu kekuatan militer serta penguasaan satu
negara oleh negara lainnya, tetapi lebih pada perang antar peradaban (The Clash
of Civilization). Perang untuk menjadi weltanschauungs yang diakui di seluruh
dunia sebagai paradigma yang berkuasa dan harus dianut oleh seluruh lapisan
masyarakat di dunia. Peradaban yang menang merupakan peradaban yang akan
menguasai masyarakat dunia secara kolektif dan menjadi kiblat atas peradaban-
peradaban kecil yang dikalahkannya.
Sebelum terlalu jauh, konsep ini akan lebih baik lagi ketika ditarik dalam wilayah
keberagamaan, terutama Islam. Dalam Islam, selalu dipercayai bahwa setiap
orang lahir dalam keadaan suci, tidak ada dosa, tidak ada kejahatan dan kebaikan,
istilah mudahnya, manusia yang baru lahir dalam keadaan fithri. Begitu pula,
dalam relung kesadaran manusia dan dalam naluri kemanusiaannya mempunyai
tendensi ke arah wilayah hanif, yang pro kemanusiaan dan kebenaran.
Namun nalar dan kefitrahan itu akan terkikis ketika manusia dalam pandangan
sadarnya melihat ke fenomena sekelilingnya yang ternyata tidak sesuai dengan
naluri kemanusiaan yang dimiliki. Ada penyelewengan ke arah pemberontakan
terhadap kefitrahannya itu. Sebagai akibatnya, manusia tersebut akan terjadi
pergoalakan bathin yang mencoba mengambil keputusan untuk ikut serta dalam
‘penyelewengan’ tersebut atau tetap mengikuti naluri dan fitrahnya sebagai
manusia dengan konsekuensi akan kehilangan sesuatu yang menjadi target dari
‘penyelewengan’ itu.
Dari sinilah kemudian penyadaran akan sangat dibutuhkan dan agama menjadi
solusi atas transisi sosial dan konflik sosial semacam ini. Jadi benar bahwa
kebaikan pada dasarnya telah tercetak dalam relung kesadaran yang terdalam
dalam diri manusia, manusia telah mengetahui kebenaran dan kebaikan dalam
bersikap, dan oleh karena itulah maka proses penyadaran ini sangat dibutuhkan
sebagai usaha untuk menempatkan kembali pada ranah kefitrahan.
Perubahan sosial yang terjadi dalam Islam akhir-akhir ini dalam era kapitalisme
global yang tidak mengenal batas wilayah hunian manusia dan tradisi lokalnya
telah terjadi secara radikal. Dalam keadaan seperti ini, tidak hanya capitalisme
yang sulit dibatasi, berlari ke wilayah manapun selama di tempat itu menjanjikan
keuntungan secara kapitalistik, tetapi juga kekuatan capital itu telah mempunyai
akibat terhadap aspek sosial dan kemanusiaan yang lain.
Kapitalisme yang selama ini telah dianggap sebagai kekuatan lawan yang
tangguh yang menggerogoti Islam bukan hanya satu-satunya lawan yang harus
dibasmi. Tetapi akibat turunan dari kapitalisme itu justru telah menjadi salah satu
madzhab dalam Islam sendiri, kapitalisme telah me-make up dirinya sehingga
berwajah Islam.
Artinya hari ini Islam sebenarnya dihadapkan pada persolan dilematis, dimana
selain mempunyai musuh besar berupa kapitalisme, ternyata koordinasi internal
Islam sendiri belum selesai, tidak ada integrasi secara paradigmatic dalam Islam.
Selain harus berperang melawan kapitalisme, Islam juga harus menyembuhkan
penyakit yang ada dalam tubuhnya sendiri.

17
DEKONSTRUKSI PEMAHAMAN KLASIK

ATAS AJARAN ISLAM

Membuka Jalan Baru Menuju Pemahaman Ajaran Islam

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa masyarakat Islam sampai hari ini masih
terus terjebak pada pemahaman secara teks normative terhadap ajaran-ajaran
yang ada dalam Islam. Sebagai akibatnya, perkembangan pemikiran dan tindakan
masyarakat secara kolektif belum bisa tersentuh, yang muncul adalah perubahan-
perubahan yang bersifat revolutif dan pencarian paradigma baru dalam
memahami isi kandungan ajaran Islam pada masyarakat muslim kelas menengah
dan intelektual-intelektual muslim. Pemerataan terhadap pemahaman baru dalam
memahami ajaran Islam belum bisa dilakukan secara menyeluruh.
Banyak hal yang menyebabkannya, selain diantaranya kepercayaan public
terhadap ajaran Islam yang telah mengakar juga disebabkan karena rendahnya
kesadaran intelektual masyarakat muslim untuk melakukan kajian-kajian yang
bersifat pencarian cara pandang baru dalam beragama. Untuk banyak kalangan,
agama hanya selesai pada dataran teosentris dan itu cukup dilakukan hanya
dengan shalat lima waktu, puasa, berzakat, haji kalau mampu dan seterusnya.
Sementara aspek keberagamaan yang sifatnya muammalah revolusioner, bagi
banyak kalangan, merupakan bukan esensi dari kehidupan keagamaan.
Kehidupan keberagamaan masyarakat yang cenderung fundamentalis ini, dalam
berbagai wilayah, merupakan penyakit yang mematikan untuk perkembangan
Islam sendiri. Kurangnya kesadaran untuk menumbuhkan jiwa-jiwa religiusitas
dalam ranah muammalah revolutif menyebabkan Islam peranannya akan semakin
mundur dalam percaturan memperebutkan mainstream paling berpengaruh untuk
menjadi weltanschauungs yang diakui diseluruh dunia.
Baiklah, untuk selanjutnya kita kaji dari awal mulai dari penyebab munculnya
fundamentalisasi keberagamaan masyarakat hingga upaya yang mungkin dapat
dilakukan untuk menghilangkan ekstrimisme beragama semacam itu dan
kemudian menanamkan pola keberagamaan baru yang lebih fleksibel dan sesuai
dengan kondisi social politik hari ini.
Tindakan semacam ini, dalam kaca mata kita, ada beberapa kemungkinan yang
mungkin membuat pola keberagamaan semacam ini. Pertama, ini merupakan
reaksi atas tindakan ghuluw (melampaui batas), artinya keberagamaan mereka
merupakan kesadaran keberagamaan teosentris yang melebihi batas ketentuan.
Ini disebabkan karena keyakinan mereka yang berlebih atas ‘Teo’ yang mereka
sembah, sehingga sebagai manifestasi atas keyakinan yang berlebih itu, mereka
mengekspresikan rasa tersebut dengan tindakan ghuluw dalam beribadah, yang
kemudian oleh masyarakat secara umum ditiru tanpa dipandang dari sisi lain. Ini
cukup mempengaruhi mengingat bahwa dalam kepercayaan masyarakat secara
umum, fenomena keagamaan merupakan hubungan teosentrisme, sementara
humanisme yang dimunculkan dalam ekspresi keagamaan merupakan ajaran
subdominant dalam agama.
Dalam masalah ghuluw ini, secara tegas Allah telah memperingatkan manusia
untuk tidak melakukan tindakan semacam ini dalam beragama dalam Al Qur’an
yang artinya :

“Katakanlah, ‘Wahai Ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan

(melampaui batas) dalam beragama. Dan jangnlah kamu mengikuti

hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya, dan menyesatkan

banyak orang, sehingga mereka sesat dari jalan yang sama”9

Untuk lebih mudah dipahami oleh umat Islam pada zaman Rasulullah

tentang ayat ini, nabi Muhammad SAW juga telah memperingatkan kepada umat

Islam untuk menjauhi tindakan ghuluw dalam beragama. Beliau bersabda ;

“Takutlah akan berlebih-lebihan dalam beragama. (kaum10) sebelumnya

telah binasa karena berlebih-lebihan”11

Hadits di atas secara tidak langsung memberi peringatan kepada umat Islam agar
lebih waspada terhadap munculnya sikap ghuluw, karena terkadang sifat
semacam ini muncul tanpa dapat kita sadari. Ghuluw dapat terjadi dengan kita
melakukan tindakan yang tidak ada gunanya dan selanjutnya menjalar pada
ghuluw dalam tingkatan yang sebenarnya.
Di riwayatkan, dalam perjalanan Haji Wada’, setelah sampai di Muzdalifah Nabi
Muhammad SAW meminta Abdullah Ibn Abbas untuk mengumpulkan beberapa
batu untuknya. Ibn Abbas memilih batu-batu yang kecil. Setelah melihat batu-
batu itu, Nabi Muhammad SAW menyetujui ukurannya dan berkata; “Ya, seperti
9 QS. Al Maidah Ayat 77.
Peringatan ini ditujukan kepada Ahlul Kitab serta orang Yahudi atau Nasrani secara keseluruhan
yang meng-’itiqad-kan Isa a.s sebagai Tuhan. Mereka diserukan untuk tidak mengekspresikan
keberagamaan mereka secara berlebih supaya tidak tersesat dalam beragama, serta tidak
mengikuti orang-orang yang telah sesat sebelumnya karena ekspresi keagamaan yang berlebih.
10 Kaum yang dimaksud oleh nabi Muhammad adalah, sebagaimana disebutkan dalam Al
Qur’an, Yahudi dan Nasrani.
11 Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, Abu Abd al Rahman al Nasa’I dan Abu Abdillah ibn
Majah dalam Sunan mereka.

19
itu. Berhati-hatilah akan berlebih-lebihan dalam agama”12.
Dari permisalan melalui batu dalam hadits di atas, Nabi mengisyaratkan bahwa,
dalam memilih batu-batu (dapat di terjemahkan sebagai ritual keagamaan) harus
dapat menetukan ukuran yang dinamis. Tidak terlalu besar (berlebihan) dan tidak
terlalu kecil (kurang).
Orang tidak harus untuk sepanjang hari menyembah kepada Allah, meskipun itu
baik sebenarnya, sementara kewajiban lain yang harus di kerjakan seperti
memberi nafkah, mencari sumber penghasilan (terkait manusia sebagai khalifatu
fi al ardl) dan sebagainya kemudian ditinggalkan. Atau karena semua itu, sebagai
kebalikan atas yang pertama tadi, kemudian Allah ditinggalkan begitu saja.
Karena bekerja lupa shalat dan sebagainya.
Manusia harus fleksibel dalam mengatur masalah keberagamaan, karena pada
dasarnya Allah menurunkan Islam semata-mata tidak hanya untuk manusia
menyembahnya, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Manusia harus
tahu porsinya sebagai abdillah dan sebagai khalifatu fi al ardl. Ada kalanya
orang harus tunduk pasrah kepada Allah, dan pada kesempatan yang lain,
manusia juga diberi kebebasan untuk memanage bumi dengan tanpa intervensi
dari Allah.
Sekali lagi untuk mempertegas itu, Allah telah berfirman;

“Wahai Ahli Kitab, Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu”13

Kedua, dapat juga diketahui bahwa keberagamaan masyarakat yang

demikian itu disebabkan oleh sikap tanattu’ (berlebihan, keberagamaan yang

terlalu ketat). Sikap semacam ini disebabkan, masih berkutat pada wilayah yang

sama, oleh pemahaman teosentrisme beragama. Perbedaan dari yang pertama

adalah, dalam wilayah ini orang cenderung ekstrim terhadap ritual keagamaan

dan terlalu berhati-hati dalam bertindak.

Berhati-hati yang berlebih dalam beragama ini menyebabkan seolah agama


merupakan wilayah yang sacral dalam mengatur manusia, sehingga ketika masuk
di dalamnya orang terikat dengan peraturan dan doktrin keagamaan yang ketat.
Sementara, wilayah lain yang memberikan ruang kebebasan terkadang tidak
berani disentuh karena kehati-hatiannya itu. Yang kemudian patut disayangkan
adalah, kehati-hatian itu hanya berlaku pada hubungan teosentris saja, kehati-
hatian tidak pada aspek pengembangan keagamaan dan pemberdayaan
masyarakat muslim.
Nabi bersabda :

12 Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.


13 Surat An Nisa’ ayat 171.
“Kehancuranlah bagi merkea yang berpuas diri dalam tanattu’”14

Ketiga, tasydid (Kekakuan, kesederhanaan berlebih). Orang yang

berpandangan seperti ini, sulit untuk dapat menerima factor eksternal yang

mencoba masuk kedalam wilayah keberagamaan mereka, tidak hanya factor

eksternal saja, tetapi inovasi dan kreasi yang muncul dalam internal agama itu

sendiri terkadang banyak ditolak dengan serta merta. Menanggap itu sebagai

bid’ah yang tidak pantas untuk dilakukan dan sampai pada pengecapan bahwa

tindakan inovatif tersebut adalah syirik dan seterusnya.

Artinya, sesungguhnya dari berbagai sudut pandang, dapat diketahui bahwa Islam
merupakan agama yang selalu mengajarkan keseimbangan, menempatkan diri
pada posisi moderat. Islam selalu menyeimbangkan antara kebutuhan yang
bersifat rohani dan kebutuhan jasmani, rohani tercukupi dengan tepat, jasmani
juga terpuaskan. Islam sangat mengecam berlebih-lebihan meskipun dalam
beragama. Nabi sendiri memperingatkan kepada sahabat-sahabatnya yang
berlebih-lebihan dalam beribadah dan terlalu asketik, karena tindakan ini
merupakan tindakan melompat dari garis Islam moderat.
Islampun tidak pernah melarang untuk umatnya menikmati keindahan dunia dan
menikmati kenikmatannya. Karena Allah menciptakan semua itu untuk di
nikmati oleh manusia. Allah berfirman;

“Wahai anak-anak Adam! Pakailah perhiasanmu setiap kali pergi ke Masjid, makan

dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sungguh ia tidak menyukai orang-orang

yang berlebih-lebihan”

“Katakanlah: “Siapa yang mengharamkan perhiasan tuhan yang di

sediakan untuk hamba-hamba-Nya, dan rezeki yang baik. Katakanlah, ia

untuk orang-orang yang beriman…”15

Fenomena keberagamaan masyarakat yang jumud dan fundamentalis merupakan


14 H.R. Muslim
15 Surat Al Maidah ayat 31-32

21
tindakan yang berlebih-lebihan atau bahkan asketis. Mengingat posisi
keberagamaan fundamental lebih mengutamakan agama hanya hubungan
teosentris semata yang kemudian sebagai ekspresi atas keberagamaannya itu
dinyatakan dalam peribadatan yang berlebih. Sementara itu, fundamentalisme
beragama seringkali menyingkirkan aspek-aspek muammalah (humanisme)
dalam beragama. Secara dangkal dapat dikatakan bahwa fenomena
keberagamaan semacam ini merupakan penafsiran sepihak atas agama.
Dalam beribadah, juga harus mengedepankan unsure humanisme, dalam wilayah
teosentris juga tidak bisa terlepaskan dari humanisme. Sebagaimana Nabi pernah
sabdakan:

Pada suatu ketika nabi berpesan pada imam shalat dengan marah yang tidak biasa

“Beberapa di antara kalian telah membuat orang-orang tidak menyukai shalat. Maka,

siapa saja di antara kalian yang menjadi imam harus melakukannya dengan singkat,

karena di antara mereka (makmum) ada yang lemah, tua, seseorang yang mempunyai

bisnis yang harus diperhatikan…”16

Orang yang memiliki sifat semacam ini (berlebih-lebihan) akan menutup diri dari
masuknya pemahaman lain tentang apa yang dilakukannya. Dia tidak akan
mengadukan secara ilmiah ataupun cultural tentang ritualitas yang dia lakukan
dengan bentuk-bentuk lain. Ia hanya akan mencari pendukung untuk kemudian
membawa masyarakat ke dalam barisannya.
Hari ini masyarakat Islam telah terkontaminasi virus semacam ini. Orang
menganggap bahwa Islam hanyalah agama teosentris, dan oleh karenanya hanya
ibadahlah yang harus dilakukan. Di sisi lain, asketisme masyarakat dan sifat acuh
tak acuh terhadap ritual keberagamaan juga marak. Islam hari ini telah lari dari
posisi moderatnya.
Posisi semacam ini menyebabkan Islam tidak dapat berkembang dengan pesat,
ketika Islam hanya dibangun pada satu sisi, yakni sisi ubudiyah semata, maka
yang akan terjadi adalah Islam tergilas pada hubungan muammalah-nya karena
wilayah ini tidak dapat dibangun. Islam hanya di beratkan pada sisi timbangan
hablum minallah saja, sementara mangkuk timbangan hablum minannas masih
kosong, apalagi hablum minal ‘alam.
Ketimpangan atas kesetaraan dalam Islam ini kemudian berbuntut pada hilangnya
kreativitas dan inovasi orang-orang muslim dalam mempertahankan dan
mengembangkan agamanya. Orang Islam cenderung untuk mendiskreditkan
persoalan penyesuaian Islam dengan zaman, sehingga fenomena yang terjadi hari
ini bukan zaman sesuai dengan Islam tetapi Islam sesuai dengan zaman. Islam
tidak mampu mengolah zaman dan hanya menjadi satu bagian dari zaman itu.
Autentitas nilai Islam sesungguhnya merupakan problematic dalam sejarah yang
16 H.R Bukhari
harus di rekonstruksi terus menerus dan bukanlah nilai yang sudah jadi, tanpa
imajinasi kaum muslim sendiri. Sehingga, apa yang sering kita bayangkan
sebagai sesuatu Islam yang ‘murni’ dan yang ‘asli’, tidak lain itu semua adalah
bagian dari pengalaman sejarah yang menempatkan nama orang atau tokoh
dengan pikiran dan sikapnya yang terlibat dalam ‘proses’, tatkala kitab suci dan
tradisi itu berhadapan dengan konteksnya masing-masing.
Sederhananya, Islam pada dasarnya merupakan nilai yang bukan harga mati,
yang kemudian harus begini begitu saja. Islam fleksibel dan selalu dapat masuk
dalam zaman manapun dan kondisi social apapun, dengan catatan, yang
membawa Islam pada zaman atau kondisi tersebut dapat menyesuaikan konteks
ke-Islam-annya dengan kondisi riil yang terjadi.
Pada gambaran di atas, kebanyakan orang selalu mengaitkan Islam yang
sesungguhnya dengan tradisi Islam dahulu. Bahwa Islam yang ‘benar’ adalah
Islam yang telah diejawantahkan oleh orang-orang sebelumnya dengan beragam
pemikirannya yang diakui sampai sekarang oleh masyarakat kebanyakan.
Saat ini, mau atau tidak mau, kita harus meyakini bahwa Islam yang benar (tanpa
tanda kutip) adalah Islam yang sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadits yang
merupakan dasar hukum terpercaya dalam Islam.
Selanjutnya, untuk dapat menerapkan Islam yang sesuai dengan konteks social
hari ini adalah bagaimana kita mampu menterjemahkan Al Qur’an dan hadits
tersebut sesuai kondisi riil yang terjadi. Maksudnya, dalam menafsirkan Al
Qur’an dan Al Hadits, agar dapat diterima oleh masyarakat secara keseluruhan,
harus dipertimbangkan aspek social yang sedang terjadi. Tujuannya adalah agar
Islam tetap berada pada posisinya sebagai agama moderat yang berada pada titik
tengah dan dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat non muslim sekalipun.
Al Qur’an dan Hadits selalu bersesuaian dengan zaman. Islam selalu sesuai
dengan zaman apapun dan kondisi bagaimanapun. Yang sesungguhnya membuat
Al Qur’an dan hadits tidak dapat menyesuaikan dengan zaman adalah kita sendiri
yang salah dalam menterjemahkannya. Sehingga, Islam hari ini banyak dicap
dengan asumsi-asumsi kotor yang nyata-nyata tidak sesuai dengan Islam itu
sendiri.
Dapat dipastikan apabila kita mampu membawa Islam pada kondisi social
apapun, kebenaran bahwa setiap ide-ide kemanusiaan yang muncul telah terdapat
dalam Al Qur’an. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat
ide-ide dasarnya telah tercantum dalam Al Qur’an ataupun hadits meskipun hal
tersebut disebutkan secara implicit.
Ketika hal ini telah dapat diyakini oleh masyarakat secara keseluruhan, tentulah
pergulatan pemikiran Islam dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
pembentukan referensi universal dari setiap peradaban baru.
Dalam memahami teks kitab suci, dan untuk mengetahui makna yang paling
dalam atas teks-teks tersebut, maka harus disekularisasikan dan
dirasionalisasikan. Tanpa melakukan berpikir sejarah (historical thinking) atau
mencari kebenaran dalam proses (truth as process), maka teks hanya akan
menghasilkan pengikut-pengikut yang imannya bersemangat, tapi mereka hidup
dalam kesadaran-kesadaran palsu yang menentramkan.
Fenomena yang terjadi hari ini demikian, dalam pandangan kaum muslim

23
kebanyakan teks-teks suci (baca : Al Qur’an) merupakan teks yang dimuliakan
dan dibaca terus menerus yang akan menghasilkan umat yang secara keimanan
dan ketakwaan bersemangat. Sementara untuk penggalian unsur-unsur dan
makna yang terkandung di dalamnya secara lebih dalam orang Islam hari ini
kebanyakan mengabaikannya, bahkan asbab an nuzul atau dalam konteks
masyarakat yang seperti apa teks yang mereka baca tersebut turun sama sekali
tidak diketahuinya.
Inilah yang sesungguhnya konsep masyarakat yang kurang begitu diharapkan
oleh Islam sendiri. Yakni orang yang menganggap Al Qur’an sebagai kitab suci
dan sesuatu yang harus dipuji dan dimuliakan. Sementara peran Al Qur’an
sebagai pedoman dan petunjuk diabaikan. Ini berarti al Qur’an telah mengalami
disfungsi dan dikebiri secara perlahan-lahan oleh umatnya.
Orang yang hanya menganggap teks suci hanya sebagai bahan bacaan sebagai
bentuk perwujudan atas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah berarti orang
tersebut tidak memuliakan Al Qur’an. Yang diburu hari ini adalah bagaimana
orang berlomba-lomba untuk membaguskan suaranya dalam membaca Al
Qur’an, sementara pada sisi lainnya, makna yang terkandung di dalam Al Qur’an
sendiri tidak pernah disentuh. Lalu penghormatan semacam apa yang di berikan
orang Islam kepada teks sucinya? Apakah penghormatan hanya cukup dengan
membacanya tanpa mengkajinya?
Tercatat sejak abad ke VII M umat Islam mulai masuk pada fundamentalisme
beragama. Orientasi keberagamaan manusia saat itu selalu merujuk pada fiqh
sebagai justifikasi keselamatan dan kesesatan. Fiqh berada pada puncak
kesakralan dan kemapanan. Sebagai sebuah rujukan hukum, fiqh tampak
subjektif, hitam putih, benar salah, halal haram. Dengan sifat-sifat yang demikian
itu, fiqh membuat kreativitas dan kebebasan manusia menjadi hal yang mahal.
Dan ortodoksi fiqih ini juga mendapatkan perlindungan pengamanan sempurna
dari penguasa, sehingga mulai saat itu dan hingga hari ini, fiqh menjadi satu-
satunya justifikasi dalam menentukan hukum social dan ubudiyah, dan semua
orang Islam harus mengikutinya tanpa kreativitas apapun.
Kemandekan kreativitas dalam mengekspresikan kegagamaan juga di topang oleh
booming besar para ulama yang mengeluarkan statemen bahwa pintu ijtihad telah
tertutup. Gerakan menjaga otoritas fiqh ini selanjutnya mengorientasikan umat
Islam untuk selalu taklid terhadap peraturan-peraturan yang diciptakan berabad
silam tanpa melihat perubahan zaman yang semakin maju dan komplektisitas
permasalahan.
Belakangan ini, barulah ortodoksi fiqh sedikit demi sedikit mulai mencair.
Namun itu, sekali lagi, belum menyentuh umat Islam secara keseluruhan pada
lapisan grass root dan Islam abangan.
Banyak sudah percobaan-percobaan yang dilakukan oleh pemikir-pemikir besar
yang menggoncangkan dunia Islam, khususnya untuk kaum fundamental.
Dimana pemikiran-pemikiran mereka membuat orang muslim fundamental
gundah dan merasa dilecehkan keislamannya. Nasr Hamid Abu Zaid terpaksa
mengungsi ke Leiden karena membuat lembaga-lembaga keagamaan di Mesir
kebakaran jenggot dengan “Kritik Wacana Keagamaan” yang ia publikasikan.
Muhammad Syahrur juga ikut berperan serta dalam ‘pembangkangan’ ortodoksi
fiqh dengan menulis buku Al Kitab wa Al Qur’an: Qira’ah Muassirah,
Muhammad Said al Asymawi, seorang pemikir secular Mesir juga turut serta
melontarkan ide-ide pembaharuannya dengan perspektif humanisme. Hassan
Hanafi dengan Al Yasar Al Islam dan Oksidentalisme, Muhammad Abed al
Jabiri, Muhammad Arkoun, Ali Gharb, Jamaludin Al Afghani, Muhammad
Abduh dan sederet nama-nama pemikir lainnya.
Di Indonesia sendiri, banyak pemikir besar yang turut serta ‘melawan’ ortodoksi
fiqh dengan ide-ide pembaharuannya. Tercatat ada Munawir Sadzali, (Alm) Nur
Kholis Majid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ulil Abshar Abdalla, Prof. Dr.
Harun Nasution dan lainnya yang mencoba menggulirkan wacana-wacana dan
pemahaman yang baru dalam memandang Islam. Bahkan Ulil Abshar Abdalla
yang juga coordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh kebanyakan ulama salaf
di fatwa-kan halal darahnya karena pemikirannya yang cenderung memancing
konfrontasi antara Islam liberal yang dipimpinnya dengan aliran Islam lain yang
ada di Indonesia. Tulisannya di Koran Kompas yang berjudul “Menyegarkan
Kembali Islam Kita” merupakan titik awal tokoh ini dikenal di blantika
intelektual muslim Indonesia.
Para pembaharu, baik di dalam maupun di luar Indonesia banyak menuai kritik
pedas dari ulama-ulama fundamental. Mereka seringkali tidak hanya difatwakan
halal darahnya, tetapi juga mendapatkan serangan-serangan yang ‘keji’ melalui
pembantahan wacana yang ada. Merekapun mendapatkan gelar riddah17 dari
para ulama fundamental. Dalam pandangan ulama fundamentalis, riddah
konsepnya tidak hanya terhenti pada perpindahan dari satu agama ke agama yang
lain saja, tetapi juga tindak sparatis terhadap peraturan yang telah ada. Sehingga
ulama-ulama salaf banyak menganugerahi gelar riddah untuk para pemikir yang
mencoba memperbaharui tatatan pemahaman dan gerakan dalam Islam. Mereka
dianggap melakukan tindak provokasi terhadap masayakat untuk lepas dari
kekuatan tiranik Fiqh salafiyyah.
Parameter yang digunakan oleh para pembaharu dalam memperbaharui Islam
adalah dengan menguji pada wilayah umat secara kolektif. Tujuannya agar tidak
terjadi penimpangan terhadap hukum yang telah ada sebelumnya. Seberapa
jauhkan hukum baru yang diciptakan oleh para pembaharu itu dapat menyentuh
kemaslahatan kolektif (kesalehan social) dan sejauh mana hukum tersebut dapat
digunakan tanpa melanggar batas-batas norma social. Maksudnya, dalam
menentukan hukum, mereka mempertimbangkan sisi humanisme dan sisi social
disamping sumber hukum tetap Islam.
Hasil ciptaan hukum para pembaharu tersebut sering kali memancing
kontroversi di tengah-tengah kemapanan ortodoksi pemahaman Islam. Taruhlah
mislanya Munawir Sadzali yang melakukan kritik pedas terhadap ayat-ayat dan
hadits tentang hukum waris yang tidak seimbang pembagiannya antara laki-laki
dan perempuan, Jaringan Islam Liberal yang memfatwakan kebolehan tidak
menggunakan jilbab bagi wanita, dan sebagainya.
Baiklah, sebelum sampai jauh, marilah kita tinjau kembali salah satu tesis yang
diajukan oleh pakar keagamaan samawi Karen Amstrong18 dalam pengantar di
17 Istilah yang digunakan untuk menyebutkan orang keluar dari agama (murtad).
18 Karen Amstrong, The History of God, Mizan Pustaka, Bandung

25
buku best sellernya The History of God. Tesis yang dia ajukan adalah, fenomena
keagamaan kita (manusia secara keseluruhan) lebih di dominasi pada
kecondongan ketakutan terhadap sosok makhluk yang diberi nama neraka, dan
kecenderungan mengharapkan sorga, bahkan dari ketakutan terhadap itulah,
manusia sering kali lebih takut pada nerakanya tuhan dibandingkan takut
terhadap tuhan yang menciptakan neraka itu.
Pandangan terhadap sorga dan neraka (yang tentunya immaterial dan mistis)
dengan mudah dapat membawa orang untuk menitik beratkan agama pada
wilayah teologis. Artinya, sorga dalam pandangan awam jelas hanya mampu di
dapat dengan terus menerus beribadah kepada tuhan. Dan untuk menjauhi neraka
(yang penuh dengan siksaan sebagai balasan atas tindakan buruk) juga melalui
peribadatan dan penghambaan sepenuhnya kepada tuhan. Dalam ketakutan dan
harapan ini, pada intinya, yang dibangun dalam agama lebih pada jiwa-jiwa
teologinya saja, sementara aspek humanisme menjadi sesuatu yang di
diskreditkan dalam kehidupan beragama. Fenomena ini banyak dijumpai dengan
banyaknya sufi-sufi yang selalu menghambakan diri sepenuhnya kepada tuhan.
Allah dalam Al Qur’an telah berfirman:

(apakah) perumpamaan (penghuni) sorga yang dijanjikan kepada orang-orang yang

bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada beubah rasa dan

baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak beubah rasanya, sungai-sungai dari

khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang

disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan

ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam Jahannam dan

diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?19

Dari ayat ini setidaknya dapat memberikan gambaran jelas bahwa harapan-
harapan terhadap kenikmatan di sorga selalu akan mengarahkan manusia untuk
lebih mendekati tuhan, menyembahnya dan kemudian mengabdi kepadanya
sepenuhnya. Apalagi ketika melihat neraka sebagai balasan atas kehidupan dunia
yang berbuat dosa sebagai air yang mendidih dan dapat memotong usus manusia,
tentunya mereka akan semakin berlari untuk mengejar tuhan dibandingkan harus
berurusan dengan dunia.
Pada titik ini, manusia akan kehilangan satu hal yang penting dan merupakan
tanggung jawab manusia, yakni jabatan manusia sebagai khalifah fi al ardl yang
mewajibkan manusia untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam di dunia
(termasuk manusia). Yang dibangun hanya pada jabatan manusia sebagai

19 Surat Muhammad [47] ayat 15


‘abdillah yang harus selalu menyebah kepada-Nya.
Dan sebagai dampak selanjutnya, Islam juga kehilangan posisinya sebagai agama
moderat. Ia hanya dipandang sebagai agama vertical yang membangun wilayah
ubudiyah, di doktrin untuk selalu bertaqwa dan beriman. Tidak ada aspek
humanisme dalam Islam.

Jalan Baru, Mungkinkah?

Fenomena di atas, setidaknya memberikan gambaran bahwa ternyata

masyarakat muslim di seluruh dunia masih terkungkung dalam keterbelakangan

dan kemunduran dalam bidang sains dan teknologi, namun cukup maju dalam

bidang teologi keagamaan (teological religious). Dan sayangnya, kemajuan

bidang ini tidak begitu mampu menjamin kemerdekaan bidang lainnya yang

dapat menjamin kemajuan umat Islam sendiri dalam perebutan wilayah di era

sekarang, termasuk sains dan teknologi tentunya.

Dalam catatan Dr. M. Amin Abdullah20, memberikan gambaran lugas tentang


alur pemahaman agama. Pada penghujung abad ke-19, lebih-lebih pada
pertengahan abad ke-20, terjadi pergeseran paradigma pemaham tentang ‘agama’
dari yang dahulu hanya berkisar pada ‘doktrin’ ke arah entitas ‘sosiologis’, dari
diskursus ‘esensi’ ke arah ‘eksistensi’.
Terlepas dari benar atau tidaknya catatan ini, setidaknya ada beberapa wilayah
yang kemudian harus dikaji lebih jauh. Terkait dengan perkembagan ini, ada
kemungkinan bahwa yang terjadi perubahan hanya di kalangan ‘atas’ yakni
kalangan intelektual agama dan akademisi yang berada pada disiplin ilmu ini.
Perubahan secara social yang menyeluruh belum dapat terjamah.
Dr. Amin Abdullah juga menegaskan bahwa fenomena keagamaan hari ini telah
menjadi sesuatu yang kompleks, dan untuk dapat memahaminya, tidak hanya
dapat di dekati secara teologis normative saja. Salah satu penyebabnya adalah
terbukanya batas-batas ‘geografis’ dalam kebudayaan, percampuran antar satu
budaya dengan budaya yang lainnya menjadi hal yang biasa dan memang perlu
dilakukan untuk mempertahankan eksistensi budaya itu sendiri.
Dalam rangka mendekati agama hari ini, maka, dalam pandangan Dr. Amin
Abdullah, tidak dapat disalahkan ketika orang mengkaji agama secara aspectual,
dimensional, dan bahkan multi dimensional approaches. Diluar keberadaan
agama yang mempunyai doktrin teologis normative, sebagai letak inti dari
keberagamaan manusia, agama dapat pula dipandang sebagai tradisi.
Sisi lainnya, agama yang semula berangkat dari keyakinan bathiniah yang
20 Dr. M. Amin Abdullah, 2004, Study Agama, Normativitas atau Historisitas, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta, hal. 9

27
mendalam (esoteris) perlahan-lahan berubah menjadi lembaga-lembaga agama di
mana di dalamnya terlibat pranata-pranata social yang kadang juga bersifat
birokratis. Dan untuk selanjutnya, kelembagaan-kelembagaan agama itu sudah
dapat dipastikan mengalami proses evolutif dalam bidang ekonomi, social,
militer dan berbagai kevenderungan manusiawi lain yang tidak kalah
kompleksnya dibanding dengan urusan esoteris sebagai inti dasar agama.
Lembaga-lembaga agama ini semakin lama juga akan semakin berkembang
kuantitasnya, dalam satu agama saja misalnya, akan tumbuh berbagai macam
lembaga-lembaga yang antara satu lembaga dengan lembaga yang lain saling
terkait dan hubungannya lebih bersifat kompetitif.
Terlepas dari itu semua, kembali pada bagaimana proses evolusi keagamaan
masyarakat dapat dilakukan. Perubahan secara paradigmatic membutuhkan
perangkat yang lebih kompleks, berbanding searah dengan komplektisitas
masyarakat itu sendiri.
Bagaimana hari ini agama (teologi), dalam perspektif awam, tidak lagi hanya
terbatas sekedar menerangkan hubungan antara manusia dan tuhan, tetapi juga
melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal usul
agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang
kuat dan ketenangan jiwa (psikologis).
Nasib agama hari ini secara umum cukup memprihatinkan, sama halnya dengan
nasib filsafat, pada awalnya filsafat dianggap sebagai “The Mother of
Knowledge” yang menjadi induk dari semua ilmu hari ini filsafat hanya
difungsikan sebagai metodologi berpikir yang kritis konstruktif dalam segala
cabang keilmuan. Agama tidak jauh berbeda, agama yang dahulu memperoleh
predikat sebagai “The Queen of Knowledge” hari ini hanya ditelaah seabgat
aspek-aspek yang terkait dengan doktrin keagamaan secara normative. Dan ini
juga memberikan arahan bahwa agama (teologi) harus mampu bertanding
melawan kawan sejawatnya seperti psychology of religion, sociologi of religion,
history of religion atau phenomenology of religion agar agama mampu kembali
menjadi “Queen” dari semua cabang ilmu yang ada.
Untuk semakin mempermudah dalam mengkaji persoalan agama, Islam
khususnya, maka kita juga harus membedakan terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan agama (religiositas) itu sendiri dan ekspresi keberagamaan.
Yang pertama lebih mengarah pada esoteris dan yang kedua (ekspresi
keberagamaan) lebih menjurus ke arah eksoteris. Yang pertama akan diwakili
pada munculnya truth (iman) dan yang kedua dimanifestasikan dalam ritual
keagamaan (shalat dsb). Sejauh mana pengaruh dari keduanya terhadap eksistensi
Islam, dan metodologi yang seperti apa yang mungkin dapat digunakan untuk
mendekati salah satu diantara keduanya secara lebih jelas dan terstruktur, kedua
hal ini agaknya (dan memang bahkan) mutlak dilakukan untuk membuktikan
fenomena Islam yang sekarang ini.
Iman sebagai pengejawantahan atas nilai religiusitas membawa penganutnya
pada pandangan tentang hal-hal yang harus diyakini eksistensi dan
keberadaannya. Objeknya pun berragam, mulai dari persoalan yang tidak mampu
untuk dikaji dengan nalar (mistis) hingga persoalan sejarah dan masa depan. Pada
titik ini, umat Islam lebih mengarahkan arti iman untuk mempercayai keberadaan
Allah sebagai tuhan umat manusia, mempercayai keberadaan malaikat yang
selalu bertasbih kepada Allah, meyakini keberadaan nabi-nabi yang telah
menyebarkan agama Allah kepada kaum-kaumnya, meyakini adanya kitab-kitab
suci Allah yang dibawa oleh nabi untuk kaumnya, percaya pada keberadaan
sejarah masa depan berupa hari kiamat dan mempercayai adanya qadha dan qadar
yang Allah telah tentukan untuk manusia.
Kesemuanya itu merupakan kerangka awal yang akan membentuk ekspresi
keagamaan atas apa yang diyakininya. Sebagai manifestasi atas keimanannya
kepada Allah, manusia akan mengekspresikan keagamaannya itu dengan shalat,
puasa, haji, membaca al qur’an dan sebagainya. Untuk mengkspresikan
keyakinannya atas keberadaan hari kiamat, umat Islam mempersiapkan diri untuk
menghadapinya dengan beramal baik sesuai dengan syari’at Islam. Ekspresi
meyakini kebenaran nabi-nabi terdahulu, umat Islam mengkaji sejarah
kehidupannya dan meniru tindakan nabi tersebut.

29
DIRASAT ISLAMIYYAH HASSAN HANAFI

Hassan Hanafi adalah pemikir besar yang berasal dari Kairo, Mesir.

Dalam sejarahnya, Mesir merupakan Negara yang paling awal merasakan

masuknya Islam sejak Islam disana dibawah pemerintahan Amr bi Ash pada abad

ke-IV, dan wajarlah ketika Mesir kemudian mendapatkan gelar The Earliest

Arabised Country. Hal ini berbeda dengan kondisi Islam di nusantara dan

wilayah Asia Tenggara lainnya yang termasuk The Least Arabised Country.

Sejak awal perkembangannya, Mesir merupakan pusat peradaban Islam yang

cukup maju, maka kemudian tidak mengejutkan ketika dari Negara ini

memunculkan banyak intelektual Muslim yang handal.

Banyak karya-karya besar yang lahir di Negara sungai Nil ini, mulai dari Tafsir
Al Qur’an sampai wacana politik Islam yang controversial. Pada abad XX saja
misalnya, dinegara ini telah melahirkan tokoh-tokoh besar dunia seperti Rasyid
Ridha, Muhammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Thaha Hussein Muhammad Al
Ghazali, Sayyid Qutb, Yusuf Al Qardhawi dan lainnya. Termasuk diantaranya
tokoh yang menjadi panutan Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afghani juga
menerapkan ilmunya di Negara Mesir ini hingga keduanya diasingkan oleh
pemerintah Mesir ke Prancis.
Tokoh-tokoh yang lahir di Mesir ini, selain aktivis pergerakan terkemuka, juga
memiliki kecemerlangan pemikiran. Sebagian pemikiran mereka mampu
menembus menjadi mainstream dalam pemikiran keagamaan dan pemikiran
politik tidak hanya di Mesir saja, tetapi juga menembus sampai dunia Islam
secara keseluruhan. Demikian juga pemikir paling mutakhir diantara mereka
yang sangat kontroversi, Hassan Hanafi yang mencetuskan gagasan Kiri Islam
(Al Yasar Al Islam atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Islamic Left) dan
Oksidentalisme (Occidentalism).
Hassan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1953. Sejak masa mudanya, Hanfi
sudah tertarik dengan wacana politik di negaranya dan wacana-wacana politik
Islam di dunia Islam secara keseluruhan. Dengan cermat perubahan dan kejadian
politik yang terjadi di negaranya diamati, mulai dari pertarungan sengit antara
Ikhwanul Muslimin dibawah pimpinan Sayyid Qutb melawan Pemerintahan
otoriter Gamal Abdul Nasser hingga pada persoalan ketertarikannya terhadap
organisasi pergerakan Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin dikaji secara
serius oleh Hassan Hanafi terutama dalam keberhasilan dan kegagalannya dalam
perjuangannya melawan Rezim Nasser serta pemikiran-pemikiran religio-politik
Sayyid Qutb. Dari wacana-wacana yang digulirkan oleh Sayyid Qutb inilah,
terutama wacana agama dan revolusi, Hassan Hanafi kemudian konsis
menggeluti dunia Revolusi agama.
Selain bergelut dibidang politik dengan semangat turunan dari Sayyid Qutb,
Hanafi juga merasakan keprihatinannya terhadap arus Barat yang terus melanda
negerinya (westernisasi). Keprihatinannya berangkat dari pengamatannya
terhadap perkembangan Barat yang semakin mengikis khazanah local yang
dimiliki oleh Mesir. Dunia Islam pada umumnya selalu terjebak dan menjadikan
Barat sebagai tolok ukur kemodernan dan kemajuan dalam berbagai aspek
kehidupan. Keperihatinan semacam ini yang kemudian Hanafi harus mencari
solusinya dan menggulirkan wacana oksidentalisme sebagai antitesis melawan
westernisasi dan orientalisme.
Selain terpikat pada wacana-wacana revolusioner dan westernisasi, Hanafi sejak
mudanya juga tertarik kajian-kajian pemikiran dan Filsafat, baik yang berangkat
dari Barat ataupun yang tumbuh dan berkembang di dalam Islam. Hal ini pula
yang menjadikan sugestinya untuk mempelajari lebih dalam di Universitas Kairo
semakin memanas. Di Universitas ini, Hanafi berhasil menyelesaikan studynya
pada tahun 1956 dan melanjutkan pendidikannya di Sorbonne University di Paris
Prancis. Di Sorbonne University inilah dia berhasil menggondol dua gelar
sekaligus, master dan doctor untuk kajian keilmuan filsafat.
Dalam disertasi doktoralnya, Hanafi menyelesaikannya dengan hasil luar biasa.
Disertasi yang ia susun setebal 900 halaman dengan jugul ‘L’ Exegesses de la
Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son
Application au Phenomene Religiux. Disertasi yang ia susun termasuk paling
unik karena dalam disertasi ini dia ‘mengawinkan’ antara Usul Fiqh dengan
Fenomenologi Edmund Husserl. Keunikan pembacaan Usul Fiqh yang dikaji
melalui perspektif filsafat fenomenologi inilah yang kemudian mengantarkan
Hanafi pada titik awal ketenarannya sebagai seorang pemikir revolusioner Islam.
Dalam studynya di Sorbonne University, Hanafi tidak hanya terpaku pada kajian
filsafat dan usul fiqh saja, tetapi di universitas ini, Hanafi berhasil mempelajari
secara lengkap kajian puncak dari filsafat dan pemikiran Eropa. Hanafi dengan
cerdas dapat menyerap gagasan-gagasan liberalisme, demokrasi, filsafat
penmcerahan dan rasionalisme Cartesian. Dan jelasnya, Hanafi juga mempelajari
dengan sempurna filsafat fenomenologi Edmund Husserl, Martin Heifegger,
Marxisme-Sosialisme dengan berbagai varian tafsirannya.
Dari sederet pengetahuannya yang ia geluti di Paris ini, wacana yang paling
membuatnya terpengarah dan mengikutinya secara lebih teliti adalah wacana
filsafat fenomenologinya Edmund Husserl dan Marxisme-sosialisme. Hanafi
dengan tegas mengambil metode materialisme sejarah (Historical Materialism)
dan dialektika materialism (dialectic materialism) sebagai perangkat metodologi
dan piau bedah analisisnya. Hanafi menggunakan ajaran Karl Marx ini untuk
memahami berbagai persoalan sosial, keagamaan dan politik, karena memang
apa yang didoktrinkan Marx bergelut pada ranah ini.
Sebagai contoh, dia menjelaskan sejarah perkembangan pemikiran Islam dan
perjuangan Islam melawan hegemoni cultural Barat dengan metode dialektika.

31
Dengan metode yang sama ia juga menentukan apa dan bagaimana sebuah
revolusi Islam bisa dilakukan di Dunia Islam. Dengan kuatnya pemikiran yang
diambil dari Karl Marx ini, sering kali ia dituding sebagai Marxis.
Hassan Hanafi dalam meniti karirnya di bidang akademis hingga menjadi Guru
Besar Fakultas Filsafat di tempatnya belajar filsafat pertama kali (Universitas
Kairo) sama sekali tidak meninggalkan sisi revolusionernya. Disamping
kesibukannya menularkan ilmu filsafatnya, ia tetap melakukan kajian kritis
terhadap gagasan-gagasan westernisasi dan orientalisme.
Menarik apa yang dituturkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam pengantar
buku tentang kajian pemikiran Hasan Hanafi yang ditulis oleh Kazuo
Shimogaki21. Pemikir Indonesia ini mengatakan, bahwa eksperimentasi yang
dilakukan oleh Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang semakin meningkat
tatarannya. Dari kajian ilmiah atas satu bidang studi keislaman, ia menaikkan
taraf pemikirannya kepada pembuatan paradigma ideology baru, termasuk
pengajuan Islam sebagai alternatif pembebasan bagi rakyat jelata di hadapan
kekuasaan kaum feudal. Pendekatan tersebut diproklamasikan sebagai Kiri Islam.
‘Pujian’ Gus Dur untuk pemikiran solutif-efektifnya Hassan Hanafi ini kemudian
membuka ruang yang lebih luas dalam mempublikasikan wacana-wacana yang
digagas oleh Hassan Hanafi di Indonesia. Bukan berarti karena Gus Dur pernah
kuliah di Mesir dengan serta merta kemudian dia menerima pemikiran orang
Mesir ini, tapi ini memang nyata dan tidak lagi dapat dinafikkan keberadaannya.
Proyek besar ini menurut Gus Dur telah mampu membawa Islam berfungsi
orientatif bagi ideology populistik yang ada, yang waktu itu diwakili oleh
berbagai bentuk sosialisme. Hanafi dengan mengambil posisi kekirian (Al Mauqif
al Yassari) didasari atas kenyataan bahwa ia membawa gagasan pembebasan
melalui penghancuran konstruk lama yang serba reaksioner dari feodalisme
kapitalistik, yang menguasai masyarakat-masyarakat dunia yang sedang
berkembang.
Buku yang diterbitkan Hassan Hanafi pada tahun 1988 yang bertitel Min
al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah merupakan salah satu model dari sekian banyak
model buku yang paling diminati dan ditunggu-tunggu kehadirannya oleh para
pengikut dan peminat kajian Hassan Hanafi. Paling tidak, buku ini tentunya
mendapatkan tempat tersendiri bagi para peminat kajian Hassan Hanafi yang
telah membaca kajian-kajiannya secara terus menerus. Hanafi yang juga seorang
penulis produktif yang berwawasan luas serta memiliki pisau analisis yang cukup
tajam dalam setiap riset dan kajiannya tentunya telah matang dalam melakukan
kajian yang mendalam mengenai buku barunya ini.

Sampai saat ini (1988), sedikitnya ada lima volume buku yang menjadi

hasil riset dan kajian Hassan Hanafi. Volume pertama terfokus pada premis-

premis teorits (Al Muqaddimah an Nazhariyyah) ; volume kedua lebih membahas

21 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical
Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta, Hal. xviii
tentang ketahuidan (at Tauhid); volume ketiga memperbincangkan tentang

keadilan (al- ‘Adl); volume ke empat bertajuk kenabian (An nubuwwah al Mu’ad)

dan volume yang terakhir mendiskusikan tentang amal, keimaman dan imamah

(al Iman wa al ‘Amal wa al Imamah). Dalam pengakuannya, kelima seri buku

tersebut memakan waktu penulisan yang cukup lama, yakni mencapai satu

dasawarsa. Sebuah kajian yang tentunya dipikir secara matang dan bersih.

Al Yassar Al Islam

Islam pada eranya pernah memimpin peradaban dunia, Islam menjadi

central pengetahuan, tolok ukur peradaban dan menjadi sumber utama kajian-

kajian wacana keagamaan. Pada saat itu, Islam mampu membangunkan dunia

dari tidur panjangnya yang terkungkung dalam keterbelakangan.

Kejayaan ini, banyak kalangan mempercayai bahwa ini semua berangkat dari
kekuatan benteng tauhid yang kemudian merambah untuk melakukan
developmentalisasi di berbagai bidang lainnya. Demikian juga Hassan Hanafi,
dia mempercayai bahwa tauhid merupakan kekuatan besar yang mampu merubah
tatanan dunia, dalam bukunya Madza Ya’ni Al Yassar Al Islam sebagaimana
dikutip oleh Kazuo Shimogaki22 dia mengatakan

Tauhid menjadi kekuatan dalam kehidupan di bumi ini, dan ia mempunyai fungsi

praktis untuk melahirkan perilaku dan keyakinan yang kuat guna mentransformasikan

kehidupan sehari-hari muslim dan system sosialnya.

Yang kemudian menjadikan pertanyaan yang paling mungkin adalah kenapa hari
ini Islam ternyata tidak mampu menjawab tantangan zaman untuk kembali
memimpin peradaban. Dengan kata lain, Islam hari ini mengekor zaman yang
sedang berjalan, dia tidak mampu menembus pemimpin peradaban untuk menjadi
22 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical
Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta, Hal. 93

33
pimpinan dari pemimpin peradaban sekarang ini.
Pada dasarnya, dalam system dunia hari ini hanya ada dua kemungkinan dalam
peradaban, yakni pemain dan yang dimainkan. Pemain sebagai subjek yang
mengatur peradaban. Sedangkan yang dimainkan merupakan objek yang
dimainkan oleh pemain dalam percaturan peradaban. Sebagai akibatnya, pemain
akan terus mendominasi system peradaban dan berhak atas otoritarianisme
peradaban.
Islam hari ini merupakan objek yang terus dimainkan oleh dominasi pemain
rezim imperialisme. Apa yang dikatakan oleh Barat merupakan tolok ukur untuk
peradaban Islam, baik dari sisi pengetahuan maupun pada wilayah praksis
kebudayaan dan tradisi. Inilah yang sekarang menyebabkan Islam kehilangan
‘harga diri’ dan dengan terpaksa kemudian menyerahkan haknya untuk
melakukan perubahan dalam tubuh Islam sendiri, sebagai dampaknya,
kemandirian dalam Islam dalam menentukan nasibnya sendiri hilang tertelan oleh
peradaban Barat yang mendominasi.
Fenomena ini yang kemudian oleh Jamaludin Al Afghani, setelah melakukan
kajian kritis atas Islam yang demikian, merupakan dampak dari munculnya
something trouble dalam semangat ketauhidan. Menambah analisis Al Afghani,
Hanafi lebih kritis memandangnya, selain karena hilangnya semangat ketauhidan
sebagai pandangan dunia yang monoteistik, juga karena dari dalam tubuh Islam
sendiri terdapat dualisme yang kuat. Penyebab dari munculnya dualisme dalam
Islam adalah, kata Hanafi, hilangnya semangat tauhid dan beraneka ragamnya
pandangan dunia yang dualistic.
Akhirnya, hal ini akan memaksa kita untuk kembali merumuskan dari awal
tentang Islam itu sendiri dan relevansinya dalam ranah sosio politik global.
Sempat muncul wacana bahwa dalam Islam tidak ada istilah ‘kanan’ dan ‘kiri’,
Islam adalah Islam yang mengadung ajaran transcendental dan humanisme. Tidak
ada ‘kanan’ yang sok religius dan tidak ada ‘kiri’ yang sok jagoan.
Pada wacana ini, Hanafi menolak dengan tegas. Hanafi berpendapat bahwa dalam
Islam tetap ada ‘kanan’ dan ‘kiri’. Wacana tersebut dalam pandangan Hassan
Hanafi bersifat naïf dan mengacu pada prinsip atau sesuatu yang berada diluar
relaitas histories umat Islam. Pandangan tidak adanya kanan dan kiri dalam Islam
berwatak ahistoris karena mengabaikan realitas sosial budaya umat Islam masa
lampau dan masa kini. Hanafi lebih tegas lagi mengatakan, bila kita berpikir
empiris maka sesungguhnya Islam dihadapkan pada pertarungan dan wadah
berbagai kepentingan yang kuat antara kiri (tertindas) dan kanan (penindas).
Ciri utama Kiri Islam adalah dia mengeluarkan slogan-slogan yang revolusioner,
radikal dan berpihak pada kaum tertindas. Slogan-slogan itu menurut hanafi
banyak ditemukan dalam teks-teks Al Qur’an dan tradisi Islam Klasik.
Terminology Kiri hendak menyadarkan umat Islam yang berada dalam situasi
ketertindasan dan keterbelakangan, sehingga diharapkan dari kesadaran yang
tumbuh itu akan memunculkan gerakan untuk merubahnya.
Terkait dengan terminology ‘Kiri’ yang ada dalam Al Qur’an, sempat banyak
ilmuwan yang tidak sependapat pada penggunaan kata ‘Kiri’ itu. Al Qur’an
banyak yang mengidentifikasikan makna ‘Kiri’ dalam artian yang negative. Kiri
dalam Al Qur’an lebih disebut sebagai orang-orang yang banyak melakukan dosa
besar, penghuni neraka, orang-orang Kafir, munafik dan orang-orang yang
termasuk dalam golongan al ashab asy syimal (golongan orang-orang yang
merugi). Sedangkan Kanan selalu diidentikan dengan golongan al ashab al
Yamin (orang-orang yang beruntung) yang sholeh, beriman, penghuni sorga dan
seterusnya.23
Pengambilan kata kiri dalam kiri Islam oleh Hassan Hanafi tidaklah demikian
penafsirannya, yang diarahkan oleh Hassan Hanafi mengambil kata kiri adalah
lebih pertimbangan pada keilmiahan bahasa tersebut. Kiri dalam kajian ilmu
politik melambangkan resistensi dan kritisisme. Artinya, penggunaan kata Kiri
oleh Hanafi tidak bersumber dari Al Qur’an yang mengilustrasikan kiri sebagai
orang yang tersesat, tetapi dia memilih menggunakan kata kiri dalam perspektif
kajian ilmiah yang menandakan resistensi, yang menjelaskan jarak antara
idealitas dan realitas.
Kiri Islam yang merupakan karya terbesar Hanafi dipublikasikan dalam jurnal Al
Yasar Al Islam (Kiri Islam) di Mesir. Menurut berbagai sumber, bahwa
munculnya jurnal ini terinspirasikan oleh jurnal Al Urwah Al Wustqa
(Jalamaluddin Al Afghani & Muhammad Abduh) dan Jurnal Al Manar. Jurnal ini
sayangnya hanya terbit sekali pada bulan Januari 1981 di Kairo, Mesir. Namun
kematian jurnal Al Yasar Al Islam tidak kemudian dapat dengan serta merta
menghapus makna kedatangan gagasan-gagasan Kiri Islam-nya.
Meskipun jurnal itu tidak terbit untuk edisi selanjutnya, Hassan Hanafi yang
paling bertanggung jawab atas jurnal itu serta segala esensi yang terkandung
didalamnya terus secara intens mengawal wacana Kiri Islam itu. Pergulatan
Hanafi dengan khazanah klasik (turats qadim) dan apresiasinya yang mendalam
terhadap tradisi Barat (turats Gharbi) merupakan bukti konkrit kekokohan Kiri
Islam yang tidak terpengaruh matinya Jurnal Al Yasar Al Islam.
Namun ada satu hal yang kemudian harus dikaji lebih mendalam mengenai
pergulatan Hassan Hanafi dengan budaya (tradisi) baik tradisi local (khazanah
klasik), tradisi Barat ataupun tradisi Islam.
Dalam buku Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah, Hassan Hanafi memasukkan satu
premis yang bombastis dengan ide-ide cemerlangnya yang ia beri judul At Turats
wa at Tajdid. Jika dalam buku itu ia menyatakan sikapnya terhadap tradisi masa
lampau (al Mauqif min at turats al qadim) maka pada bagian kedua ini ia
menyatakan sikapnya terhadap tradisi Barat (Al Mauqif min at turats al Gharbi).
Hassan Hanafi dalam buku tersebut juga menunjukkan pandangannya terhadap
tradisi, baik dalam ranah cara memahami dan menafsirkannya ataupun metode-
metode pengkajiannya. Hal itu dilakukan sejak awal hingga sekarang, yakni
mulai dari keyakinan (Al Aqidah) sampai revolusi (Ats tsaurah). Dalam
pandangannya, Hassan Hanafi keyakinan merupakan tradisi (at turats),
sedangkan revolusi adalah pembaharuan (at tajdidi). Demikan juga ia melakukan
pembacaan ulang terhadap Islam untuk merekonstruksi dan mereformulasinya,
23 Secara jelas dapat dilihat dalam surat Al Waqi’ah ayat 8-9. Disini Al Qur’an membagi umat
manusia dalam dua golongan, yakni golongan Kanan yang memperoleh kebahagiaan dan
golongan kiri yang memperoleh siksa dan keterhinaan dihadapan Allah. Lebih terperinci lagi,
pembagian kanan dan kiri dalam al Qur’an disesuaikan dengan pembagian catatan amal, yakni
apabila menerima catatan amal dengan tangan kanan maka dia termasuk golongan kanan yang
beruntung, demikian pula sebaliknya.

35
yakni mencari (melacak kembali) dasar-dasar dan membangun kembali serta
memperbaharui pengetahuan masa lampau.
Menarik pula ketika dalam bagian pengantar volume pertama, yang bertitel, al
muqaddimat at taqlidiyyah, bahwa secara tegas ia menolak premis-premis
ortodoks yang terdapat dalam ilmu ushul ad Din al Islami, yakni ilmu kalam.
Menurutnya, karena premis-premis tersebutmerupakan premis keimanan murni
yang mengungkapkan keimanan sejati-murni (al Imanu khalish dzati) dan yang
bersumber dari kegaiban (Al Ghaib).
Sementara menurut pandangan Hassan Hanafi, pengetahuan yang benar (Al
Ma’rifah ash shalihah) tidak datang dan menjadi sempurna begitu saja seperti
wahyu dan ilham, tetapi hadir melalui perenungan dalam seperangkat data-data
pikiran dan kenyataan, dan menjadi sempurna melalui analisis penalaran dengan
menyimpulkan kejadian-kejadian. Sederhananya, pengetahuan yang benar
menurut keyakinan Hassan Hanafi adalah yang tidak bersumber dari kegaiban
( Al Ghaib) atau hanya sebatas informasi tanpa data dan analisis yang rasional.

Dalam pengantarnya ini pula, ia secara tegas menolak ide-ide mengenai

tradisionalisme (taqlidisme) yang membelenggu dan memenjarakan kebebasan

berpikir masyarakat. Ia juga secara tegas menyatakan untuk tidak mengikuti jejak

para as salaf ash shalih. Dalam pandangannya, orang-orang tersebut (as salaf

ash shalihin/qudama’) juga manusia yang sama seperti manusia saat ini. Jadi

tidak menjadi persoalan ketika mempelajari teori-teori yang disajikan oleh

Qudama’ tersebut, namun dalam menentukan sikap untuk menolak atau

mengikutinya adalah hak-hak individual yang tidak dapat diintervensi secara

bebas. Apa yang para as salaf ash shalihin katakana tidak harus diikuti dan

menjadikan perdebatan yang sengit, tetapi harus dikaji secara kritis sebagai

pijakan untuk merekonstruksi dan melihat ulang.

Mengenai mati surinya Al Yasar Al Islam, Hassan Hanafi mengatakan

ketika dihubungi secara langsung oleh Kazuo Shimogaki24.

“Saya kecewa bukan oleh nasib jurnal itu, melainkan oleh sikap intelektual muslim

24 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical
Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta, Hal. 72
lain. Ada di antara merekamenuduh saya marxis, yang lain marah-marah dengan

istilah ‘Kiri’ yang saya gunakan, dan tidak tertarik pada proyek inovatif ini. Memang

saya tidak bisa melanjutkan menerbitkan jurnal ini, tetapi bukan berarti saya

menghentikan proyek ini. Saya hanya kesulitan financial”.

Pemikiran Kiri Islam yang digagas Hanafi berangkat dari pengamatannya


terhadap gerakan-gerakan Islam revolusioner di Sudan (Revolusi Al Mahdi),
Libya (Revolusi Sanusiyyah), Aljazair (Revolusi Islam), Maroko dan yang paling
berpengaruh diantaranya adalah revolusi yang dilakukan oleh Gerakan Ikhwanul
Muslimin dibawah Sayyid Qutb (Revolusi jihad Ikhwan) di negaranya.
Hanafi dengan cerdas mempelajari dan mendalami revolusi-revolusi di Negara-
negara Islam tersebut, selain itu, dia juga mempelajari bagaimana terjadinya
revolusi-revolusi dalam sejarah keagamaan yang kemudian dari situ membuat dia
yakin bahwa setiap agama revolusioner bersifat Kiri. Setiap agama mengandung
dalam dirinya ajaran-ajaran pembebasan manusia dan perlawanan terhadap segala
bentuk kejahatan yang menistakan dirinya.
Dalam sejarah revolusi keagamaan, seringkali perlawanan terhadap penindasan
dan gerakan pembebasan manusia dipelopori oleh para pemuka agama. Di
zaman Mesir kuno, Nabi Musa membebaskan bangsa Israel (Yahudi) dari
perbudakan Raja Fir’aun. Isa Al Masih (Yesus Kristus) membebaskan bangsa
Yahudi dari penindasan Imperium Romawi. Ayatollah Khomaini menentang
rezim represif Pahlevi yang dikendalikan Amerika Serikat bersama dengan Ali
Syari’ati.
Pada agama lain, gerakan-gerakan pembebasan di Amerika Latin dipimpin para
uskup dan Kardinal Katolik dengan teologi pembebasannya (theology of
liberation). Di Vietnam, para biksu agama Buddha mempelopori gerakan-
gerakan revolusioner menentang kekuasaan tiranik. Di Filipina cardinal Jaime
Sin, pimpinan katholik, menjadi oposisi terhadap rezim repressif koruptif marcos.
Para pendeta di Thailand mengalami penyiksaan, pemenjaraan dan bahkan
pembunuhan karena mempelopori aksi-aksi perlawanan terhadap tirani
kekuasaan.
Hanafi mengklaim bahwa pemikiran Kiri Islam yang digagasnya itu memiliki
akar histories intelektual dalam revolusi-revolusi agama diatas.
Dalam penjelasannya, Hanafi melihat bahwa dalam percaturan geo sosio politik,
dunia dibagi menjadi dua wilayah, yakni pemain atau penindas (penguasa) dan
yang dimainkan atau yang ditindas (rakyat). Hanafi membagi dua kelas ini tidak
hanya berdasarkan realitas di lapangan saja, tetapi dia juga mengambil
pembagian ini atas isi dari Al Qur’an. Sejarah dalam Al Qur’an yang paling
kentara mengenai pembagian ini adalah kisah Fir’aun sebagai penguasa dan Bani
Israil yang dipimpin oleh Nabi Musa. Fir’aun adalah profil yang digambarkan
oleh Al Qur’an sebagai tokoh yang menindas dengan kekuasaannya atas
kebebasan Bani Isra’il.

37
Dari gambaran itu, kemudian Hanafi meletakkannya pada dunia kontemporer, dia
menganalogikan Fir’aun sebagai Negara-negara kapitalis imperialis dan Bani
Isra’il sebagai Negara-negara Islam yang terus menerus mengalami penindasan.
Hubungan antara ‘Fir’aun’ dan ‘Bani Isra’il’ mengalami ketimpangan yang luar
biasa, ‘Fir’aun’ melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap Negara-negara
Islam. Selain eksploitasi, Negara kapitalis-imperialis juga melakukan hegemoni
di segala bidang kehidupan untuk diikuti sebagai ‘takdir’ zaman.
Di wilayah inilah kemudian Kiri Islam berperan. Kiri Islam harus menentang
‘Fir’aun’ itu. Titik utama perlawanan yang harus dilakukan adalah pada wilayah
hegemoni budaya, atau lebih tepatnya imperialisme kebudayaan Barat.
Pertanyaannya, kenapa harus imperialisme kebudayaan yang menjadi focus
utamanya.
Dalam kesempatan lain Hanafi25 memperincinya, bahwa imperialisme
kebudayaan inilah yang menghancurkan Islam dengan meotong sejarah umat
Islam saat ini dari akar-akar tradisi dan budaya klasiknya (turats qadim) sehingga
mereka seakan terserabut (up rooted) dari masa lampaunya. Selanjutnya setelah
memotong akar kesejarahan tradisi ini, Negara imperialis budaya ini kemudian
memasukkan apa yang dibahasakan Hanafi sebagai turats gharbi (khazanah
Barat) atau proses westernisasi.
Segala produk budaya Barat disuntikkan ke Negara-negara non-Barat. Ekspor
budaya ini bertujuan untuk menghilangkan kekhasan dunia non Barat dan
memutuskan akar sejarah budayanya. Ambisi utamanya dari semua itu adalah,
semua Negara non Barat akan berkiblat pada Barat, untuk itulah selanjutnya
semua cara dibenarkan dalam upaya westernisasi ini.
Tindakan ini jelas berakibat fatal bagi budaya-budaya non Barat, budaya ini
secara perlahan akan tergeser, karena terbukti budaya popular (yang dikemas
Barat) ternyata lebih menarik perhatian dari pada turats qadim yang dimilikinya
sebagai khazanah klasik. Akhirnya, Negara-negara non-Barat akan kehilangan
harapan untuk menentukan masa depannya sendiri, independensi Negara tersebut
hilang dan harus dependensi terhadap Barat.
Selain itu, secara tidak langsung dengan proses westernisasi yang dikemas dalam
budaya popular ini, Barat juga menggulirkan wacana bahwa apa yang
dikeluarkan oleh Barat merupakan produk unggulan, yang terbaik dan diakui
seluruh dunia, sementara produk local non Barat dianggap sesuatu yang jumud,
terbelakang, tradisional dan primitive. Stereotype rasial semacam ini jelas akan
semakin menunggulkan budaya popular kemasan Barat di tengah-tengah
peradaban dunia.
Pada wilayah ini Hanafi menginginkan penempatan yang seperti tatanan semula.
Barat ditempatkan kembali di peradabannya sendiri, dan Timur juga berhak
mengunggulkan turats qadim yang dimilikinya sendiri. Barat harus didorong
kembali ke belakang untuk duduk kembali di tempat duduk asalnya. Dalam hal
inilah kemudian yang mendorong Hanafi mengembangakan wacana
oksidentalisme (Occidentalism) sebagai anti tesis terhadap orientalisme
(Orientalism).
Orientalisme dalam pandangan Hanafi telah dijadikan senjata Barat yang paling
25 Hassan Hanafi, 2007, Dirasat Islamiyah, Penerj. Miftah Faqih, LKiS, Jogjakarta
ampuh untuk menghadirkan alam fikiran, pandangan hidup dan pandangan dunia
serta motivasi-motivasi kolonialistik-imperialistik Barat dibawah selubung kajian
keilmuan tentang dunia Timur. Dengan orientalisme ini, segala sesuatu tentang
Timur telah diketahui oleh Barat sehingga kelemahan-kelemahan yang dimiliki
oleh peradaban Timur dapat terbaca dengan jelas. Sehingga untuk menyusupi ke
arah itu, Barat dapat dengan mudah menentukan produk mana yang akan
diekspor ke Timur.
Melalui oksidentalisme Hanafi berharap akan mampu membaca kondisi Barat,
mulai dari hal-hal besar hingga hal-hal kecil yang untuk selanjutnya dapat
mendorong kembali Barat untuk duduk kembali pada posisinya. Tidak hanya itu,
Hanafi juga berpesan untuk mewaspadai dua kekuatan lain yang mulai muncul
dan menghancurkan Islam yakni zionisme dan kapitalisme. Oksidentalisme
diharapkan juga mampu mengatasi dua musuh besar ini yang mencoba
mengeksploitasi peradaban pemikiran ketimuran.

Oksidentalisme,

al Muhawilah al Kamilah al Ula26

Oksidentalisme termasuk disiplin ilmu baru kaitannya sebagai wacana

intelektual dan akademis, ia pertama kali dicetuskan oleh Dr. Hassan Hanafi,

guru besar filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1980-an.

Oksidentalisme lahir berangkat dari keprihatinan Hanafi terhadap


keterbelakangan dunia Islam. Hanafi gerah melihat dunia Islam pada umumnya
yang begitu terhegemoni dan terdominasi oleh peradaban Barat dan semakin
rapuhnya tradisi Islam klasik dalam tubuh Islam sendiri. Hanafi lebih jauh
memandang bahwa orang Timur (muslim) cenderung terbuka dalam menerima
paham peradaban baru yang datang dari Barat pada satu sisi, dan pada sisi lain,
orang Islam sendiri menolak khazanah klasik yang dimilikinya sendiri. Sebagai
akibatnya, umat Islam mengalami krisis cultural yang sangat parah.
Disamping itu, Hanafi berharap dengan memasyarakatnya oksidentalisme, maka
wacana orientalisme yang selama berabad-abad mendominasi dunia mendapatkan
counter part yang setaraf. Oksidentalisme akan dibenturkan dengan orientalisme
pada satu sisi, dan pada sisi lain, Hanafi berharap, tradisi klasik yang dimiliki
oleh Islam akan kembali pada posisinya yang terhormat. Dengan inilah kemudian
Hanafi yakin bahwa umat Islam akan berhasil mengatasi krisis cultural yang
26 Permulaan yang sempurna, pujian kepada Hassan Hanafi atas kesuksesannya dalam
merumuskan teori tentang oksidentalisme yang ternyata memang sama dengan kondisi yang
dibutuhkan oleh Islam hari ini. Dalam rumusan teori oksidentalisme ini, Hassan Hanafi banyak
diserang oleh Ilmuwan-ilmuwan lain yang berada di sekitarnya, salah satunya adalah Ali Harb
yang menyerang Hassan Hanafi dengan teori-teorinya dan menyebut oksidentalisme sebagai
ramalan yang tidak memiliki landasan epistemology dan aksiologi. Dia menyebut Hassan Hanafi
sebagai Tukang Ramal dan menyamakan dengan Francis Fukuyama dalam karya “Ramalannya”
yang berjudul The End of History.

39
dialaminya sampai hari ini.
Oksidentalisme pada dasarnya adalah kajian orang-orang non Barat (Islam)
mengenai segala aspek kehidupan Barat. Oksidentalisme hendak menjadikan
Barat sebagai objek kajian keilmuan dengan segala aspek kepentingan yang
muncul di dalamnya. Bila dalam orientalisme Barat menjadikan Timur sebagai
‘objek’, maka oksidentalisme membalik formula ini. Melalui oksidentalisme ini
kemudian orang Timur dapat mempelajari dan memahami Barat.
Hanafi juga mengharapkan, dengan munculnya oksidentalisme maka Timur tidak
hanya selalu menjadi inferior dan terbelakang sementara Barat sebagai superior
dan maju. Inferioritas terhadap Islam dan timur akan terkikis dan tercipta
hubungan Timur dan Barat yang seimbang. Hanafi yakin, ketika hubungan Barat
dan Timur telah sederajat, tidak lagi ada hubungan superior-inferior, tuan-budak,
beradab-biadab, maka dialog antara Barat dan Timur baru dapat diciptakan. Barat
menjadikan Timur sebagai partner atas kepentingannya, dan Timur menjadikan
Barat relasi atas kepentingannya.
Apakah ketika Barat dan Timur telah mencapai kesetaraan, maka keduanya akan
semakin terbuka terhadap peradabannya masing-masing. Timur (muslim)
membuka diri menerima peradaban Barat dan Barat juga menerima warisan
cultural orang-orang Muslim? Padahal, sejauh yang banyak di ketahui produk-
produk budaya yang diciptakan Barat cenderung ‘haram’ dan kurang dapat
menyesuaikan dengan hukum Islam.
Pada pertanyaan ini, Hanafi menjelaskan bahwa tujuan oksidentalisme
menyetarakan dirinya dengan Barat, tidak lalu berarti Timur dan Islam menolak
atau menerima apapun yang berasal dari Barat. Tidak membenarkan atau
menyalahkan produk-produk Barat. Bagi Hanafi, Islam dan Barat masing-masing
harus tetap objektif dan kritis terhadap persilangan peradaban. Timur tetap kritis
dan objektif dalam memahami Barat dan menerima ‘warisan kultural’ Barat yang
sejalan dengan khazanah klasik yang ada dalam Timur sendiri, demikian juga
sebaliknya, Barat tetap menerima peradaban Timur yang sesuai dengan produk-
produknya sendiri.
Oksidentalisme tetap berbeda dengan orientalisme. Kalau orientalisme lebih
subjektif dalam pengkajiannya terhadap kepentingan imperialis dan kolonialis,
maka oksidentalisme lebih mengutamakan prinsip netralitas dan objektifitas
dalam mempelajari Barat. Maksudnya, bahwa kajian oksidentalisme tidak ada
keberpihakan apapun dengan kepentingan politis seperti imperialisme kolonialis
dan sebagainya. Oksidentalisme terlepas dari keinginan untuk melakukan
hegemoni terhadap peradaban dunia secara keseluruhan. Tidak ada upaya dari
oksidentalisme untuk melakukan imperialisme cultural terhadap Barat.
Oksidentalisme murni kajian ilmiah, tidak ada keberpihakan di dalamnya.
Pada oksidentalisme, wilayah geraknya sudah mulai di tata dan di bidikkan
arahannya. Oksidentalisme secara sederhana merupakan kerja lanjutan atas
proyek-proyek peradaban yang dilakukan pada decade 1980-an yang Hanafi
menamakan “Tradisi dan Pembaharuan” (al turats wa al tajdid). Setidaknya ada
tiga masalah pokok yang dikaji dalam oksidentalisme yakni pertama, sikap kita
terhadap tradisi lama, kedua, Sikap kita terhadap tradisi Barat, dan yang ketiga
Sikap kita terhadap realitas (prinsip interpretasi).
Pada wilayah pertama, yakni menyikapi tradisi lama (turats qadim), Hanafi
mencoba menempatkan turats qadim ini sebagai alat dobrak kesadaran berpikir
dan berperilaku. Bahwa perlu ada transformasi dari teologi ke revolusi,
transferensi ke inovasi, dari teks ke rasio. Tujuan adanya transformasi semacam
ini adalah untuk mengembalikan posisi turats qadim ke tempat asalnya sebagai
sebuah peradaban yang terhormat yang oleh Hanafi di pandang banyak
digunakan sebagai topeng oleh antek kapitalisme.
Turats qadim (tradisi lama) yang mencoba di bangkitkan kembali oleh Hanafi
menurutnya banyak menyimpan potensi untuk melakukan serangan balik
terhadap tradisi-tradisi Barat yang terus menelanjangi turats qadim dalam tatanan
peradaban internasional. Keyakinan ini muncul mengingat dalam sejarah
perjalanan Islam, Islam sering kali menjadi pemenang dalam perebutan wilayah
peradaban dengan ideology besar lain yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam memahami turats qadim, Hanafi berpendapat bahwa dalam mengkaji
wilayah ini merupakan wilayah garapan yang terpanjang di bandingkan dengan
dua agenda selanjutnya. Hal ini didasarkan bahwa dalam mendalami khazanah
klasik, maka peran sejarah dan perkembangan ideology dalam sejarah itu tidak
bisa dilepaskan. Kajian histories dan antropologis yang berkembang sejalan
dengan proses sejarah merupakan syarat mutlak untuk dapat membedah khazanah
klasik.
Dalam bahasa Hanafi, dia memberi nama pada khazanah klasik dengan Al Madhi
(kemarin) yang kemudian dipersonifikasikan dengan turats qadim.
Agenda yang kedua adalah sikap kita terhadap esok (al Mustaqbal). Al
Mustaqbal dipersonifikasikan oleh Hanafi sebagai peradaban Barat (turats
gharbi). Disinilah letak oksidentalisme sebenarnya berjalan. Bahwa dalam
wilayah ini, kita setidaknya harus mengkaji secara serius proses sejarah turats
gharbi dan perkembangannya serta langkah-langkah yang dilakukannya untuk
memenuhi ambisinya menguasai peradaban dunia.
Dalam catatannya itu, Hanafi mencatat setidaknya ada tiga agenda besar yang
harus dilakukan dalam mengkaji agenda kedua dari oksidentalisme ini. Pertama,
mengkaji akar sejarah peradaban Eropa. Di titik ini diteliti factor-faktor atau
tradisi peradaban yang menjdi dasar pemikiran dan filsafat pembentukan
peradaban Eropa. Termasuk diantaranya membedah sejauh mana peran
peradaban Yunani-Romawi, peradaban Yahudi dan Nasrani serta peradaban besar
lain seperti Mesir (peradaban Timur) dalam membentuk peradaban Barat.
Kedua, Hanafi mengkaji proses bagaimana kesadaran Eropa muncul, khususnya
pada zaman Reformasi Protestan abad XV-XVI, pada zaman Rasionalisme
Cartesian di abad XVII dan zaman Renaissance di abad XVIII. Dan yang ketiga,
Akhir Kesadaran Eropa. Dalam pandangan Hanafi, Kesadaran Eropa dimulai dari
munculnya filsafat ‘saya berfikir’ menjadi ‘saya ada’. Di fase ini, kesadaran
Eropa melakukan otokritik terhadap masa lampaunya, hasil karya peradabannya,
kritik terhadap idealisme dan positivisme serta ditemukannya ‘jalan ketiga’ dan
fenomenologi.
Tujuan dari digulirkannya wacana oksidentalisme adalah untuk mengurangi
ketergantungan Timur terhadap Barat. Disini Timur hendak menemukan dirinya
kembali dalam rangka menentukan jalan yang akan ditempuh. Tidak ada

41
hegemoni, tidak ada imperialisme. Timur hendak mengembalikan kekuatan
khazanah klasik yang kaya akan rasionalisme tanpa ada mitologi di dalamnya.
Dari menggulirnya wacana oksidentalisme, setidaknya masyarakat Timur percaya
bahwa penjajahan cultural yang dilakukan oleh peradaban Barat telah menindas
habis khazanah klasik ketimuran, dan hal ini membutuhkan perlawanan.
Kolonialisme dan imperialisme cultural harus diakhiri.
Wacana oksidentalisme, oleh banyak pemikir, baik dalam Islam atau non Islam
dianggap sebagai wacana utopis, di mana esensi dari kajian ini hanya merupakan
khayalan yang tidak mungkin terjadi. Namun, sebaiknya, hal ini tidak menjadi
hambatan untuk merealisasikan proyek besar peradaban Hanafi untuk
merevitalisasi khazanah klasik dan mendialogkan antara Timur dan Barat dalam
kesejajaran untuk kepentingan kemaslahatan bersama.

Oksidentalis atau Tukang Ramal?

Dalam setiap kajiannya, terutama yang menyangkut tentang teori

pembangunan peradaban, Hassan Hanafi memberikan rumusan yang sangat tepat

dan jelas mengenai definisi peradaban. Dalam bagian ini, sedikit banyak saya

lebih menyitir pendapat-pendapat Ali Harb dalam salah satu bukunya yang

berjudul, Naqd an Nashsh. Pada bagian pertama buku ini, pemikir besar dari

Libanon ini menitik beratkan kajian tentang pemikiran Hassan Hanafi yang dia

nilai negative atau tidak tepat.

Dari berbagai macam kritikan terhadap Hassan Hanafi, dapat dirangkum


sedikitnya ada tiga belas kritik yang diberikan Ali Harb terhadap pemikiran-
pemikiran revolusioner Hassan Hanafi yang sebenarnya menurut banyak
kalangan termasuk karya monumental. Kritik Ali Harb-pun tidak hanya pada satu
sisi, yakni objek kajiannya tetapi juga dalam sisi lain seorang Hassan Hanafi.
Kritik terhadap Hassan Hanafi sebagai seorang filosof, Kritik sebagai seorang
akademisi, Kritik sebagai seorang pembaharu, kritik sebagai seorang pengamat
peradaban, sebagai seorang pemikir hingga pada Hassan Hanafi dalam wilayah
pribadinya sebagai seorang warga masyarakat yang beragama Islam.
Judul pada sub bab ini merupakan salah satu kritik yang diberikan Ali Harb
dalam menyoal masalah Oksidentalisme dan kajian tradisi Hassan Hanafi. Ali
Harb memandang Hassan Hanafi terlalu berlebihan dalam memandang persoalan
peradaban, terutama persoalan terhadap ramalan masa depan. Sehingga Ali Harb
menyebutnya sebagai Tukang Ramal dan menyamakan kedudukannya itu sama
seperti kedudukan Francis Fukuyama yang meramalkan sejarah masa depan
dalam bukunya The End of History.
Kajian Hanafi tentang peramalan masa depan dengan melihat kejadian pada masa
lampau, terutama pembagian fase sejarah yang di soroti oleh Ali Harb, yang
membagi fase sejarah Islam menjadi masa keemasan dan masa pemunduran
dengan rentang waktu masing-masing tujuh abad. Pada 7 abad pertama, Islam
mengalami masa keemasan, dengan gilang-gemilang membawa kemenangan dan
kemajuan yang luar biasa dari sisi islam sebagai agama, sebagai tata social,
sampai islam sebagai aturan politik (Syiasah).
Di bidang ilmu pengetahuan, islam mengalami kejayaan dengan banyaknya
ilmuwan muslim yang berhasil memecah misteri dunia dan makhluk hidup yang
ada di dalamnya. Taruhlah nama-nama seperti Ibnu Sina (Avicena), Ibnu Rusyd
(Averous), Al Khawarizmi, Al Ghazali merupakan sebagian kecil ilmuwan
muslim yang mampu memecah kebekuan cara pandang manusia terhadap alam
sebelum bangsa Barat mampu berkata apa-apa.
Sementara itu, pada tujuh abad berikutnya, Islam mengalami kemunduruan yang
telak dan memukul kaum muslim terdepak ke pinggiran. Masa ini dimulai
dengan revolusi industri di Inggris, revolusi Prancis dan revolusi-revolusi yang
lainnya di dataran Eropa. Pada saat ini, ditengah Eropa mengalami Pencerahan
(renaissance) justru hal yang antagonis terjadi dalam dunia Islam, Islam
mengalami kemunduran di berbagai bidang. Sampai pada hari ini, fenomena ini
masih dapat kita saksikan.
Dalam kajian Hassan Hanafi tentang Barat, dia menuturkan hal yang sama terjadi
dalam Islam di Barat. Bahwa dalam peradaban Barat mengalami masa-masa yang
demikian itu dengan rentang waktu yang sama, tujuh abad. Hanya saja, kalau
dalam Islam Hanafi membaginya menjadi dua bagian, antara masa keemasan dan
masa kemunduruan, maka ketika Hanafi mengkaji mengenai Barat dia membagi
dalam tiga bagian, yakni masa kebangkitan, masa kemunduruan dan kemudian
diakhiri dengan masa kebangkitan.
Kajian Hanafi ini berkaca dari sejak zaman mula kebangkitan bangsa Barat,
kebangkitan pertama, yang terjadi selama tujuh abad. Pada masa ini dapat
diprediksikan dengan kemajuan Negara-negara Eropa sebelum masehi, baik pada
masa kebesaran suku Arya yang hamper menguasai dunia dan bangsa Yunani dan
Romawi, demikian selanjutnya terjadi secara berurutan sampai pada masa
penurunan dan kemudian kebangkitan kembali seperti yang kita lihat sekarang ini
Barat dengan kemajuan berbagai bidang kehidupan.
Dan pastinya, kemajuan yang sekarang Barat alami, Hanafi meyakini bahwa
dalam akhir masa kebangkitan ini, Barat akan mengalami kemunduran yang
memukul habis kemajuan peradaban mereka tanpa ampun. Dan kemudian yang
terjadi dalam Islam, Islam mengalami kemajuan yang pesat dan memegang
kendali peradaban dunia selama kurun waktu tujuh abad.
Hal ini memungkinkan adanya hubungan yang tidak harmonis antara Barat dan
Timur. Ketika Barat sedang mengalami kemajuan pesat, maka Timur (Islam)
memegang kendali atas peradaban dunia, demikian juga sebaliknya ketika Islam
sedang pada masa kemunduran maka Barat akan dengan leluasa menguasai
dunia.
Pemetaan terhadap Islam lebih dikiblatkan pada wilayah Timur Tengah yang
merupakan central peradaban Islam. Sehingga akan muncul pertanyaan, dimana
posisi Negara-negara di Afrika Tengah, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan

43
Negara-negara etnis China. Karena dalam analisis ini, Hanafi hanya membagi
peradaban dunia secara bipolar antara Islam dan Barat. Apakah Negara-negara
tersebut masuk dalam peradaban Barat atau Islam tidak ada penjelasan yang
meyakinkan tentang itu.
Selanjutnya, dalam beberapa referensi hadits yang ada, Nabi Muhammad pernah
berkata bahwa yang akan menguasai peradaban dunia adalah etnis China (Ras
Mongoloid) dengan berbagai variannya. Anjuran untuk belajar dari peradaban
China juga ada referensi yang khusus yang dikatakan oleh Nabi Muhammad
SAW. Dapat dipastikan dengan sabda Nabi Muhammad SAW ini tentunya
membawa arus tersendiri bagi etnis Tionghoa yang ada di berbagai belahan
dunia. Pada suatu ketika Nabi Muhammad SAW bersabda mengenai China ini
“Tuntutlah Ilmu meskipun sampai ke negeri China”

Ini memberikan gambaran yang lugas bahwa selain keharusan

memetakan peran China dalam konstelasi geocultural ini, upaya memetakannya

juga dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW untuk belajar secara mendalam

tentang China dan berbagai wilayah dalam peradabannya yang telah Berjaya

sejak zaman pra sejarah.


JIHAD

DULU, SEKARANG DAN YANG AKAN DATANG

Para ahli logika sering kali menegaskan bahwa seseorang tidak dapat menentukan
sebuah keputusan terhadap sesuatu, kecuali jia ia mempunyai konsepsi yang jelas
tentang sesuatu itu, karena sesuatu yang tidak diketahui dan tidak memiliki
batasan jelas tak dapat dipertimbangkan. Oleh karena itu, satu hal yang harus
dilakukan sebelum sampai pada pembahasan mengenai konsep jihad adalah
menganalisis serta menterjemahkan apa arti kata jihad. Dari analisis ini
selanjutnya barulah dapat ditentukan untuk menolaknya atau menyambutnya
sebagai upaya untuk mempertahankan identitas keislaman pada era global ini.
Dalam Al Qur’an kata jihad disebutkan sebanyak 14 kali yang tersebar dalam 19
surat. Sebanyak 28 ayat berisi perjuangan seperti tercantum dalam surat Al
Baqarah [2] ayat 216, Ali Imran [3] ayat 142, an Nisa [4] ayat 95, Al Ma’idah [5]
ayat 35 dan 54, Al Anfal [7] ayat 72 dan 74-75, at Taubah [9] ayat 16, 19, 20, 24,
41, 44, 73, 81, 86 dan 88, an Nahl [16] ayat 110, al Hajj [22] ayat 78, al Furqan
[25] 52, al Ankabut [29] 6 dan 69, Muhammad [47] ayat 31, al Hujarat [49] ayat
15, al Mumtahanah [60] ayat 1. keseluruhan dari turunnnya ayat tersebut terbagi
dalam waktu turun di Makah dan Madinah.
Dalam Al Qur’an pemaknaan jihad yang diartikan atau dikaitkan dengan perang
agama (holly war), yakni perang kaum muslim melawan orang-orang kafir,
musyrik dan munafik terdapat pada Surat Al Baqarah [2] ayat 190, an Nisa [4]
ayat 74, at Taubah [9] ayat 122-123, al Hajj [22] ayat 39-40, Al Furqan [25] ayat
52, Al Azhab [33] ayat 48, al Hujarat [49] ayat 9, al Shaff [61] ayat 4 dan al
Tahrim [66] ayat 9.
Dari terjemahan normative teks al Qur’an tentang jihad, yakni bahwa jihad
adalah peperangan melawan orang kafir, musyrik dan munafik yang bertujuan
untuk mempertahankan Islam dari penghancuran yang dilakukan oleh orang-
orang tersebut, jihad kemudian dijadikan sebagai key word yang menjadi
legitimasi bagi munculnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme dalam
Islam. Artinya, fundamentaisme, sebagai model gerakan perlawanan, pada
akhirnya mendapatkan infuse dengan hadirnya kata jihad dan “Seruan berperang”
yang terdapat dalam Al Qur’an.
Bersamaan dengan melemahnya kekuatan Islam dan perkembangan Barat yang
semakin menguat, sedikit demi sedikit fenomena dan wacana tentang jihad tidak
pernah muncul di permukaan. Kalaupun muncul, itu hanya sekedar wacana dan
mengingat kembali kebesaran Islam di masa lampau sebagai sebuah kebanggaan
terhadap sejarah. Pada kurun waktu ini, jihad sama sekali tidak terlihat
gerakannya secara konkrit. Seandainya jihad dapat disamakan dengan harimau
ganas yang menakutkan dan mampu menerkam musuh-musuh Islam, maka pada
kurun waktu ini jihad adalah harimau yang sedang tidur karena cakar kuku dan
taringnya terlepas, sehingga tidak berbahaya ketika musuh Islam berdiri dan
menari diatas harimau itu.

45
Untuk mengobati harimau yang kehilangan taring dan cakarnya itu, serta untuk
membangkitkan semangat naluri melawan dari harimau jihad itu, maka pada
decade 40-an Imam Syahid Hasan al Banna menulis buku yang berjudul Risalah
al Jihad yang berusaha mengembalikan lagi posisi jihad dalam Islam. Ia
menetapkan bahwa jihad adalah faridah (kewajiban) masa lampau hingga pada
hari kiamat.
Dalam buku itu Hasan Al Banna banyak menyitir dari teks-teks yang terdapat
dalam Al Qur’an terkait dengan jihad dan persoalan lainnya terkait dengan jihad.
Sebagai penyokong atas ayat-ayat Al Qur’an, dalam buku itu Hasan al Banna
juga menuliskan hadits-hadits yang jumlahnya melebihi jumlah ayat Al Qur’an
yang tercantum serta pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama abad
pertengahan.
Akan tetapi, Hasan al Banna hanya mencadangkan peran jihad kala itu untuk
melawan penjajahan, dan baru benar-benar mengumandangkannya ketika ia
menyusun angkatan sukarelawan perang yang pergi ke Palestina dan berjuang di
front terdepan melawan penjajah Israel.
Para sukarelawan tersebut juga berpren menggempur instalasi-instalasi militer
Inggris di daerah Qinal pada tahun 1951 dan mempersembahkan gelar syuhada-
nya dalam perang tersebut.
Jihad dalam artian sebuah upaya untuk mempertahankan eksistensi Islam
merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Setiap
orang Islam harus selalu melakukan jihad untuk mempertahankan keutuhan
Islam, baik pengertian Islam sebagai agama ataupun Islam dalam tafsiran lainnya
seperti Islam sebagai ideology, Islam sebagai nalar gerak, Islam sebagai
kebudayaan dan seterusnya. Intinya bahwa Islam, dalam tafsiran apapun, harus
tetap dipertahankan untuk mendapatkan keutuhan Islam sebagaimana yang
diharapkan oleh semua orang muslim agar Islam dapat berjaya sampai hari akhir.
Pada zaman Rasulullah SAW, jihad banyak dilakukan untuk mempertahankan
keutuhan Islam dari perlawanan yang dilakukan oleh kaum Jahiliyyah dan kaum
lainnya yang tidak menyepakati munculnya Islam yang dibawa oleh Muhammad.
Perlawanan itu muncul dikarenakan Muhammad secara tegas menolak system
tradisi lama kaum Quraisy dan sekitarnya yang masih terkungkung pada
peradaban picik yang mengutamakan kesejahteraan pribadi orang tertentu dan
menindas orang lain secara ekonomi, politik, sosial bahkan sampai penindasan
pada level pribadi perseorangan.
Kepala suku yang dibawahnya terdapat banyak Klan-Klan sebagai basis kekuatan
keturunan keluarga tertentu mendapatkan keuntungan yang lumayan besar
sebagai pendapatan pribadi yang kemudian digunakan untuk kesejahteraan
pribadi. Sebagai akibatnya, ketika Rasulullah datang membawa ajaran Islam yang
mencoba menggugurkan tradisi yang telah membudaya tersebut, maka tidak
dapat ditutup lagi, pembesar-pembesar Quraisy yang merasa posisinya akan
terancam segera melakukan perlawanan untuk mendapatkan posisinya di tengah
kehidupan sosial masyarakat Arab saat itu. Rasulullah tidak hanya diserang
secara fisik oleh para pembesar Quraisy, tetapi juga ditindas secara ekonomi
dengan pemutusan akses ekonomi, penindasan sosial dengan pengucilan, dan
penindasan-penindasan lainnya yang mendiskreditkan peran Muhammad sebagai
salah satu bagian dari masyarakat sosial Arab.
Pertentangan oleh pembesar Arab tidak hanya terhenti saat Muhammad berhasil
mendapatkan banyak pengikut. Desakan demi desakan yang dilakukan oleh para
pembesar suku Quraisy terus berlanjut hingga sampai Muhammad beserta
pengikutnya memutuskan untuk melakukan hijrah ke kota Madinah untuk
mendapatkan ketenangan hidup dan keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam
ke semua lapisan masyarakat.
Seringkali ketika di Makkah Muhammad diperlakukan seperti binatang oleh para
pengikut pembesar suku Quraisy, ketika sedang lewat di jalan, pakaiannya sering
diludahi, dilempar kotoran, batu dan sebagainya. Tetapi Rasulullah, mengingat
posisinya sebagai uswatun khasanah bagi para pengikutnya, selalu sabar untuk
menghadapi setiap perlakuan yang tidak manusiawi oleh masyarakat suku
quraisy.
Seruan untuk menyebarkan Islam semakin diperluas wilayahnya, kali ini tidak
hanya Negara Arab saja yang menjadi objek penyebaran Islam, tetapi Mesir,
Persia, Syam dan wilayah lainnya. Ada banyak Negara / suku yang kemudian
dengan lapang dada menerima kehadiran Islam di tengah-tengah mereka, namun
juga tidak sedikit yang menolaknya bahkan mengajak Muhammad untuk
berperang untuk mendapatkan kepercayaan public bahwa apa yang dilakukan
oleh Muhammad hanyalah bualan belaka, tidak ada hikmah yang dapat diambil
dari apa yang diperjuangkan oleh Muhammad bersama kaumnya.
Disinilah kemudian peran Muhammad sebagai panglima perang, pemimpin umat
Islam, utusan Allah, dan uswatun khasanah diuji. Muhammad selalu melakukan
apapun untuk menjaga keutuhan Islam sebagai agama yang dianugerahkan untuk
kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia, berperang bersama pasukan untuk
melawan kekuatan tentara lawan yang hendak menghancurkan Islam. Setiap
peperangan yang beliau bersama pasukannya lakukan selalu mengalami
kekalahan secara kuantitatif dengan pasukan lawan, namun secara kualitatif dan
hasil Muhammad banyak mendapatkan kemenangan.
Keuletan dan kecerdikan Muhammad dalam mengatur strategi perang, memimpin
pasukan serta mengatur hasil rampasan perang sering kali membuat lawannya
merinding. Kekuatannya dihadapan kaum kafir tidak terukur oleh apapun, dan
wajar saja ketika dari sini kemudian dapat dikatakan bahwa kemenangan tentara
Islam dalam setiap peperangan didominasi oleh factor semangan kaum muslimin
dalam berperang dan pengaturan strategi perang yang lebih termanage sesuai
kondisi peperangan. Muhammad dapat secara cepat mengambil keputusan
meskipun dalam kondisi terjepit sekalipun sehingga Muhammad sebagai seorang
panglima perang pantas untuk mendapatkan pengakuan sebagai panglima perang
hebat.
Kekalahan kaum muslimin dalam salah satu peperangan yang dilakukan menjadi
pelajaran yang kemudian dari situlah menemukan kelemahan-kelemahan strategi
yang Muhammad dan kaumnya lakukan. Dari kekalahan ini tidak membuat
Muhammad bersama pasukannya lantas meninggalkan peperangan dan menyerah
begitu saja pada kekuatan lawan, yang terjadi justru sebaliknya, ketika kaum
muslimin mengalami kekalahan, kemudian mengevaluasi peperangan yang telah
dilakukan untuk menemukan strategi peperangan yang lebih efektif dan efesien

47
tanpa harus mengorbankan nyawa dan harta yang berlebih.
Dari kisah Muhammad dan kaumnya diatas, merupakan sebuah upaya untuk
mempertahankan eksistensi Islam atau istilahnya jihad. Dalam konteks saat itu,
jihad direpresentasikan dalam bentuk berperang melawan musuh dan
mendapatkan kemenangan untuk kesejahteraan dan kemerdekaan Islam untuk
masyarkat dunia, karena Islam lahir pada dasarnya adalah rahmatal lil ‘alamin
yang akan memberikan rahmat kepada semua alam semesta, tidak hanya manusia
saja, tetapi binatang, tumbuhan serta mahluk hidup lainnya yang tidak dapat
dilihat secara kasat mata. Intinya bahwa jihad dengan berperang seperti yang
Muhammad lakukan adalah untuk kesejahteraan kolektif semua makhluk.
Perkembangan pemahaman terhadap jihad pasca jihad Hasan Al Banna terjadi
diluar control. Beragam perkembangan itu selanjutnya mendorong sekelompok
dai untuk memulai apa yang di akhiri oleh Hasan al Banna. Mereka kemudian
tidak merasa puas dengan hukum dasar jihad yang hanya, menurut Hasan al
Banna, faridah saja, tetapi menambahi kata sandang di depannya untuk
memperkuatnya sehingga menjadi al faridah serta memperluas basis
yurisdiksinya, sebagai sebuah perkembangan baru dari jihad, menjadi media
penebaran Islam dan penyelamatan Negara-negara Eropa dari kungkungan
kapitalisme dan setan dunia lainnya serta melakukan penyembuhan terhadap
pemujaan terhadap personal dan menggantinya menjadi penyembahan kepada
Allah SWT, satu-satunya tuhan yang harus disembah.
Jihad semacam ini kemudian mendorong mereka untuk ‘berjihad fi sabilillah’
melawan Negara ang dalam pandangan mereka tidak memakai hukum
sebagaimana yang telah diturunkan oleh Allah. Berangkat dari pemahaman
semacam inilah kemudian banyak Negara-negara yang di black list untuk
menjadi objek jihad.
Sebagai akibat fatalnya. Mereka kemudian terpeleset pada usaha-usaha
pembunuhan terhadap aparatur, termasuk pembunuhan kepala Negara,
pembantaian orang-orang non muslim, pengeboman tempat-tempat wisata religi
non muslim, penghancuran tempat hiburan, perampokan toko-toko dan tindakan
anarkhis lainnya yang tidak jauh berbeda dengan tindakan mafia.
Pada titik inilah kemudian kita akan sampai pada pemahaman bahwa, diakui atau
tidak, persoalan jihad merupakan problem yang paling controversial dari sejak
zaman dahulu sampai sekarang. Diskursus mengenai jihad telah mencapai banyak
interpretasi sehingga kemudian sekarang dikonsepsikan sebagai ajaran yang
mengajarkan kekerasan untuk mempertahankan diri. Ini merupakan pengertian
yang paling kurang tepat, dan wajar bila Jamal Al Bana27 kemudian mengatakan
bahwa di era modern ini jihad menjadi wacana yang di dzalimi, baik oleh
kalangan pro maupun kontra syari’at. Juga di dzalimi di dalam dan di luar Islam,
serta paling disalahtangani pula oleh kaum orientalis Barat dan kalangan
organisasi Islam sendiri.
Penyebab adanya kesalahan ini, berangkat dari pencampuradukkan antara perang
(wars/qital) dengan jihad. Pengertian diantara keduanya dicampur aduk sehingga,
sebagai akibatnya, anggapan setiap orang, baik muslim ataupun bukan perang
27 Jamal Albana, 2005, Al Jihad, Dar al-Fikr al Islam, penerj. Kamran A. Irsyadi, Pilar Media,
Jogjakarta, hal. xx
merupakan manifestasi dari jihad, keduanya berhubungan erat sebagai arti yang
sejiwa. Lebih jauh lagi, konsep jihad ini lebih didominasi oleh peperangan, dan
perang merupakan bagian terpenting dari jihad. Interpretasi semacam inilah yang
kemudian membuat kesalahan pemahaman dan keluar dari konteks yang
sebenarnya diharapkan.
Ini merupakan kesalahan penafsiran yang sangat vatal, sehingga segala sesuatu
yang terkait dengan perang merupakan upaya untuk berjihad. Pada dasarnya,
jihad adalah terminology yang memiliki akar kata dan derivasi bahasa yang
menunjukkan muatan tertentu, dan lebih lanjut memiliki sarana dan target yang
menunjukkan atau diingini muatannya. Sementara perang (wars/qital) merupakan
akar kata dan derivasi bahasa yang menunjukkan muatan tertentu yang berbeda
dengan asal kata jihad, begitu juga sarana dan targetnya. Secara ringkas, dapat
dikatakan bahwa antara jihad dan perang merupakan wilayah yang berbeda baik
secara terminology ataupun aksiologi.
Diantara keduanya (jihad dan perang) tidak selalu berjalan beriringan, meskipun
dalam beberapa kasus tertentu kemudian dapat dijumpai pertemuan antara
keduanya. Masing-masing memiliki tujuan dan target yang berbeda. Lebih lanjut,
Jamal Albana kemudian memisahkan keduanya sebagai deduktif induktif, yakni
jihad sebagai sesuatu yang pokok (dalam konsepsi umum), sementara perang
merupakan bagian dari jihad yang dapat dilakukan apabila mendesak dan
memang diperlukan sekali. Artinya, perang merupakan bagian terkecil jihad yang
hanya dan hanya boleh dilakukan apabila dalam kondisi terdesak dan memang
diperlukan sekali.
Satu contoh yang diambil dari kisah Rasulullah misalnya, bahwa Rasulullah
bersama sahabatnya telah melakukan jihad di tanah Makkah selama 13 tahun
dengan menggunakan sarana-sarana jihad yang mengandung pendekatan hikmah,
mau’idzah hasanah, nasihat, petunjuk, ketabahan dan militansi.
Sampai disini kemudian dapat diambil makna yang sesungguhnya dari jihad itu
sendiri, serta sejauh mana perang memiliki kaitan dengan jihad. Dan tentunya
persoalan jihad ini tidak akan membuat penganutnya terjebak pada model jihad
yang mengutamakan heroisme sesaat dengan mengorbankan banyak nyawa dan
dengan hasil yang percuma.
Kesalahan penginterpretasian dari kata dan makna jihad ini lebih disebabkan
karena dari para pengkajinya hanya mengambil satu referensi ayat atau beberapa
ayat dan hadits tanpa menghiraukan hadits atau ayat yang lainnya. Pun kesalahan
dapat ditemui ketika menafsirkan / menterjemahkan ayat tersebut dengan
mengesampingkan kontekstualitasnya. Makna yang tersirat secara implicit tidak
tersentuh oleh para pengkajinya.
Wacana sepenting jihad ini, seharusnya dalam membahasnya tidak hanya
membahas satu persatu ayat atau hadits saja, tetapi harus dikaji secara
keseluruhan dan menemukan ayat atau hadits lainnya yang terkait dengan makna
jihad dan tidak ketinggalan pula untuk menterjemahkan dengan melihat
kontekstual historisnya. Hal ini karena persoalan jihad merupakan persoalan yang
penting yang seharusnya tidak disalahartikan karena menyangkut masa depan
Islam sendiri serta penganutnya secara keseluruhan.

49
Jihad Hari ini dan yang akan datang
Jihad berperang saat itu merupakan sebuah hal yang sangat diidamkan

oleh para pengikut Muhammad (baca : sahabat), hal ini di dasarkan pada doktrin

yang diajarkan oleh Islam bahwa orang yang meninggal dalam peperangan untuk

membela Islam maka baginya ditempatkan di tempat tertinggi yang ada di sorga.

Untuknya diampuni segala dosa yang pernah dia lakukan. Bahkan untuk

menghormati syahid (orang yang meninggal dalam peperangan untuk membela

Islam), Rasulullah melarang untuk mengganti kain yang dikenakannya dengan

kain kafan dalam proses pemakamannya, jenazah para sahabat yang sahid

dibiarkan tetap menggunakan pakaian yang digunakannya ketika meninggal,

bahkan dimandikanpun tidak. Alasannya adalah dengan pakaian yang dikenakan

itu, dengan kondisi meninggal yang seperti itu dapat dijadikan saksi ketika berada

di akhirat kelak. Pakaian yang dikenakan pada saat meninggal itu akan bersaksi

bahwa si pemakainya menggunakan baju tersebut untuk mencari kesyahidan,

darah yang mengalir akan berkata bahwa darah tersebut keluar karena digadaikan

demi kejayaan dan keutuhan Islam.

Jihad merupakan kewajiban untuk semua orang Islam, semua muslim wajib
melakukan pembelaan ketika Islam sedang diserang oleh lawan, tidak ada kata
tidak untuk itu. Dalam kondisi apapun orang Islam harus turut serta
melakukannya. Tujuannya adalah agar Islam sebagai agama tetap terjaga
keutuhannya untuk kesalehan kolektif semua makhluq.
Saat itu ketika jihad dilakukan dengan berperang merupakan langkah yang paling
tepat. Ini semua disebabkan karena musuh yang menentang Islam telah tampak di
depan mata. Musuh yang diperangi merupakan orang yang sama seperti yang
lainnya. Para musuh Islam muncul dengan senjata yang lengkap saat itu untuk
bagaimana mampu menjatuhkan Muhammad.
Dan secara sosio psikologis ini merupakan hal yang lumrah dan manusiawi
mengingat bahwa secara psikologis orang akan mengalami kegoncangan jiwa
yang selanjutnya akan melakukan perlawanan ketika dirinya, orang tuanya, anak-
anaknya atau apapun yang dia cintai diserang, dilawan, dihina dan sebagainya
secara membabi buta oleh orang yang bahkan tidak dikenalnya.
Artinya, sugesti yang timbul untuk melakukan jihad berangkat dari adanya
kecintaan yang berlebih (islamoholic) terhadap Islam yang selanjutnya merasa
tidak terima ketika Islam yang nota benenya dicintainya itu harus dihina dan
dilawan.
Kecintaan terhadap Islam oleh penganutnyapun memiliki alasan yang tepat, yakni
bahwa Islam yang mereka anut oleh mereka dipercaya mampu membawa ke arah
tata sosial yang lebih baik dibandingkan tata sosial yang telah ada. Meskipun
mereka percaya bahwa Islam tidak hanya mengatur kehidupan sosial saja, tetapi
juga bidang ubudiyah yang mengatur tata hubungan antara manusia sebagai
makhluk dengan Allah sebagai khaliq yang menciptakannya.
Ini semua mereka lakukan karena mereka telah jenuh dan bosan dengan system
sosial yang sedang berjalan, dimana system sosial ini cenderung kapitalistik,
feodalistik, imperialistic dan patrialistik. Dibidang ubudiyah mereka telah
dikenyangkan dengan kebohongan berhala yang mereka anggap memiliki
kekuatan gaib yang mampu memberikan keberkahan hidup dan ketenangan jiwa
yang pada nyatanya hanya merupakan batu yang dibentuk sedemikian rupa
hingga seolah tampak memiliki charisma.
Dari sinilah kemudian mereka meyakini, bahwa Islam mampu membawa mereka
pada satu aturan baru yang memungkinkan untuk mendapatkan pencerahan jiwa
dan kesalehan kolektif serta mencapai tata sosial yang humanis, pluralis, agamis
sesuai yang dijanjikan Islam sendiri.
Kembali pada persoalan jihad, bahwa, sekali lagi, wajar saja jihad dilakukan saat
itu dengan berperang, karena musuh utama saat itu adalah orang yang masih
menggunakan kekuatan fisiknya untuk menghancurkan Islam secara serta merta.
Kekuatan militer seringkali digunakan sebagai upaya agar Islam beserta
pemimpinnya dan bala tentaranya tertawan dan dibunuh sehingga jamur Islam
tidak dapat tumbuh kembali.
Islam bagi sebagian besar masyarakat Arab dan sekitarnya saat itu merupakan
virus yang mudah menyebar, sehingga para pembesar suku yang tidak
menyepakati munculnya Islam selalu mencari formula baru untuk mendapatkan
antivirus yang mampu membunuh virus Islam itu. Ini sangat wajar mengingat
ketika Islam maju dan berkembang pesat maka secara politis pemimpin suku
yang tadinya menempati urutan pertama dalam tata politik sukunya untuk
kemudian dapat tergeser pada nomor-nomor terbelakang, karena mau tidak mau
ketika Islam muncul dan berkembang dalam satu wilayah tertentu, maka
Muhammad adalah orang yang akan mereka elu-elukan sebagai pemimpin
mereka.
Secara sederhana, perlawanan yang muncul dari arah luar Islam adalah
disebabkan karena kepentingan politis dimana para pembesar suku tidak mau
kemudian disingkirkan dari posisinya sebagai pemimpin.
Untuk selanjutnya, seringkali selain pertentangan fisik yang dilakukan,
penyerangan dengan model pengguliran wacana islamophobia juga sering
muncul di masyarakat sebagai langkah antisipatif terhadap masyarakat wilayah
tertentu oleh para pemimpinnya agar Islam tidak mampu menembus wilayah
sosial daerah tersebut.
Misalnya dengan pengguliran wacana bahwa Islam merupakan agama militer

51
yang selalu berperang untuk mendapatkan wilayah dan mendapatkan
penghasilan tambahan dari tanah jajahannya. Islam merupakan agama eksploitatif
yang akan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
ada di tanah yang telah ditaklukannya. Orang-orang yang setia terhadap
Muhammad hanya didasarkan pada harapan memperoleh tanah jajahan dan
mengumpulkan harta rampasan perang dari peperangan yang dilakukan.
Pertentangan dengan pengguliran wacana semacam inilah yang kemudian
membuat Islam akan semakin terpojok posisinya ketika memasuki wilayah yang
telah bergulir wacana semacam ini.
Pada konteks hari ini, jihad yang harus dilakukan kalau kita akan mengikuti
sunnah nabi Muhammad adalah dengan melawan hawa nafsu yang muncul dalam
diri kita sendiri. Artinya setiap hawa nafsu yang muncul dari dalam hati kita yang
tentunya menjebak kita dalam kebahagiaan sementara di dunia merupakan jihad
yang pahalanya sama dengan orang yang mati dalam peperangan ketika orang
Islam mampu melawan hawa nafsu yang muncul.
Untuk mendapatkan penafsiran baru terhadap berbagai konsep jihad yang muncul
hari ini, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah melakukan analisis
geososiopolitik. Hal ini terkait bahwa Islam merupakan satu dari berbagai system
ideology yang muncul dan berkembang di dalam tata politik dunia.
Dalam bukunya, The Clash of Civilization, Samuel P. Huntington melakukan
analisis kritis terhadap perkembangan politik dunia pasca perang dingin. Dalam
masa perang dingin kekuatan antara blok Timur yang direpresentasikan oleh
kekuatan Uni Soviet (USSR) dan kekuatan Barat yang direpresentasikan oleh
Amerika Serikat (USA) mengalami masa yang tegang dan menegangkan.
Meskipun dalam perang dingin (cold war) yang terjadi saat itu tidak
memunculkan perang terbuka, namun berbagai konflik politik yang terjadi di
setiap belahan dunia tidak bisa dilepaskan dari kedua kekuatan tersebut.
Perlombaan senjata dengan saling menciptakan teknologi persenjataan yang
paling mutakhir terjadi dan membuat bulu kuduk merinding. Keduanya
menciptakan senjata pemusnah massal yang membahayakan ketenangan dunia.
Selain itu konflik politik internal Negara lain yang terjadi selalu di setting oleh
kekuatan ini, pecahnya Korea menjadi Korea Utara dan Korea Selatan juga
merupakan ulah dari USSR dan USA yang hendak berperang dengan
memanfaatkan konflik internal Negara tertentu.
The End of History yang dituliskan oleh Francis Fukuyama memprediksikan peta
politik global pasca perang dingin, dimana kedua kekuatan tersebut akan
mengalami kehancuran salah satu diantara keduanya yang kemudian salah satu
dari keduanya itu akan menguasai geopolitik dan geoideologi di dunia tanpa
adanya perlawanan yang berarti dari pihak yang kalah. Amerika Serikat sebagai
pihak yang diunggulkan akan mampu mematahkan kekuatan Uni Soviet dibawah
pemerintahan Mikhail Gorbacev saat itu dan kemudian Amerika Serikat sebagai
pihak yang memenangkan perang dingin tersebut akan menjadi satu-satunya
kekuatan yang mampu menghegemoni dunia dengan berbagai kekuatan yang
dimilikinya.
Namun sekali lagi, ternyata apa yang diprediksikan oleh Francis Fukuyama itu
sedikit meleset dan kurang tepat. Pada saat perang dingin itu, Amerika Serikat
terus memacu perkembangan militernya sehingga persoalan ekonomi dalam
negeri mengalami deficit. Sebagai akibatnya hadiah dari kemenangan Amerika
Serikat dalam perang dingin ini adalah PR untuk menyetabilkan kondisi
perekonomian dalam negeri.
Sibuk dengan urusan ekonomi dalam negerinya itu, terjadi hal yang tidak dapat
diduga sama sekali oleh Amerika sebagai kekuatan terbesar dunia saat itu.
Terjadi perubahan terhadap konstelasi geopolitik. Negara-negara pecahan Uni
Soviet yang sebelumnya berbasiskan Islam telah kembali pada Islam, sementara
itu, China, sebagai Negara dengan penduduk terbesar di dunia meningkatkan
bidang perekonomiannya. Disamping membangun bidang perekonomian,
ideology, tradisi dan peradaban yang dimiliki China sebagai warisan nenek
moyang mulai go public dan secara tidak langsung mengadakan launching agar
peradabannya mampu menembus dunia internasional.
China yang kaya akan kebudayaan klasik, mampu menyihir dunia

menjadi tercengang, bahkan hampir di setiap negara, budaya China tumbuh

subur, dimana-mana Klenteng dapat berdiri, ramalan-ramalah Feng Shui laku

laris di setiap pelosok dunia, produk-produk alternatif China bahkan menembus

pasar internasional dan mendominasinya. Di dukung dengan letak geografis yang

berpotensi untuk menjadi central pasar internasional, semakin memposisikan

China, juga dengan kekuatan ekonomi, sosial budaya dan lainnya yang tidak

lekang oleh zaman. Ini semua membuat Huntington menghitung China sebagai

kekuatan yang akan mendominasi dunia, meskipun dengan strategi yang halus.

Sementara itu, Islam, yang sampai hari ini menjadi kekuatan kiri yang
paling berbahaya bagi Amerika Serikat, disamping kiri lainnya, dengan jumlah
penganutnya yang makin lama makin meningkat, membuat Islam semakin di
perhitungkan juga. Apalagi dengan bangkitnya kekuatan negara-negara Islam.
Iran yang dipimpin oleh pemimpin ‘keras kepala’ terhadap AS, Mahmoud
Ahmadinejad, membangkitkan program nuklir, serta ilmu pengetahuan modern
lainnya.
Bukan itu saja yang membuat Islam diperhitungkan oleh Huntington,
Islam, khususnya yang ada di Timur Tengah, merupakan negara-negara penghasil
minyak bumi yang besar dan potensial memenuhi kebutuhan minyak dunia.
Selain minyak bumi, barang tambang lainnya Islam juga mendominasi.

Yang selanjutnya terjadi, berdasarkan analisis pakar geo politik dari Harvard
University, Samuel P. Huntington adalah bahwa perang yang terjadi pasca perang

53
dingin adalah perang antar peradaban, bukan lagi perang antar Negara, perang
antar blok dan seterusnya. Kedepan ideology-ideologi besar yang berkembang
saat ini akan terjadi clash, benturan antara satu peradaban dan peradaban lainnya
yang kemudian akan menentukan peradaban mana yang mampu mendominasi
dunia.
Perang antar peradaban yang diilustrasikan Samuel P. Huntington
mengunggulkan tiga peradaban besar yang berada di dunia, yakni antara Islam,
Kapitalisme Amerika dan China. Ketiga kekuatan ini akan saling mengalami
benturan dan menentukan ideology mana yang akan berhasil menjadi ideology
dominant dan mampu menggilas habis ideology lainnya.
Fenomena geososialpolitik hari ini adalah mendominasinya system sosial, budaya
popular (popular culture), system perekonomian, tata geoantropologis yang
diciptakan Amerika dan sekutunya. Sebagai akibatnya, dunia hari ini dikuasai
oleh sistemnya Amerika dan sekutunya. Setiap persoalan, baik politik, ekonomi,
sosial, budaya dan sebagainya harus berkiblat pada apa yang difatwakan oleh
Amerika.
Dampak yang paling utama adalah, Islam mengalami kehancuran secara
sosiopolitik, keterbelakangan ekonomi, kesesatan kebudayaan dan sebagainya.
Melihat kondisi geopolitik yang seperti ini, maka akan didapati objek jihad yang
baru dan merupakan upaya untuk mempertahankan eksistensi Islam. Karena pada
dasarnya jihad adalah upaya mempertahankan eksistensi Islam dalam kondisi
apapun. Maka hari ini yang harus dilakukan adalah berjihad untuk
mengembalikan kejayaan Islam sebagai agama yang rahmatal lil ‘alamin.
Persoalan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana mendapatkan solusi yang
kreatif dan tepat untuk berjihad. Karena jelas ketika kita jihad secara fisik,
melakukan perlawanan militer dengan Amerika dan sekutunya yang mengklaim
diri sebagai polisi dunia maka jelas Islam akan mengalami kekalahan. Hal ini
dapat dibuktikan dan menjadikan pelajaran dari konflik yang terjadi di Timur
Tengah, tepatnya yang terjadi di Irak, Lebanon, Afghanistan dan sebagainya yang
diporak-porandakan oleh kekuatan militer Amerika dan Israel serta sekutunya
yang lain.
Karena fenomena sosio politik global ini merupakan permainan, maka hanya ada
dua kemungkinan yang akan muncul terhadap Islam dan masa depannya, yakni
Islam akan menjadi pemain atau Islam yang akan menjadi sesuatu yang
dimainkan. Ini semua tergantung dari Islam itu sendiri.
Dan untuk lebih tegasnya, permainan yang terjadi hari ini adalah permainan
system, bukan lagi permainan militer seperti yang terjadi di zaman Nabi
Muhammad, maka perlawanan yang harus dilakukanpun mendapatkan antitesis
terhadap system permainan Amerika Serikat.
System kapitalistik telah mendapatkan antitesis meskipun pada decade terakhir
abad dua puluh mengalami kehancuran, yakni Marxisme, dimana ajaran
komunismenya Karl Marx dalam Das Kapital dan MDH-nya yang mengangkat
konflik buruh majikan dan kelas sosial masyarakat sedikit banyak mampu
memukul kekuatan kapitalisme dengan penghapusan kepemilikan pribadi dalam
tata sosial serta pengaturan tentang alat produksi.
Kemudian dalam konteks hari ini, yang harus dilakukan oleh Islam sebagai upaya
melakukan perlawanan terhadap neo mperialisme dan neo kolonialisme yang di
telorkan oleh Barat adalah dengan kembali menjadikan Islam sebagai agama
revolusi yang akan merubah tatanan dunia yang sesuai dengan hokum Islam
seperti apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad.
Perbedaan dengan apa yang dilakukan Nabi Muhammad adalah, bahwa
pertentangan yang dilakukan Nabi Muhammad terjadi secara fisik dan face to
face antara kawan dan lawan, maka karena yang terjadi hari ini merupakan
pertentangan system dan peradaban, yang harus dilakukan adalah mencari system
yang mampu menyerang system kapitalistik.
Jadi agaknya menarik juga persoalan ini, dan ini optimis akan terrealisasi,
mengingat bahwa menurut study yang dilakukan Max Weber tentang Islam yang
belum diselesaikannya saat dia meninggal telah memberikan gambaran yang
cerah dan menimbulkan motivasi lebih dan keyakinan akan kemampuan Islam
itu.
Sosiologi yang menjadi bidangnya Max Weber menggunakan metode
verstehende dimana Islam merupakan lahan yang paling gersang untuk
tumbuhnya system kapitalisme. Ini berangkat setelah The Protestan Ethic and
the Spirit of Capitalism di pelajari lebih luas sehingga menemukan factor-faktor
lebih detail yang kemudian ternyata merupakan sesuatu yang dikotomik dengan
Islam.
Sisi lainnya, melihat catatan Bryan S. Turner28 dalam Weber and Islam,
memberikan gambaran tentang posisi Islam dalam bidang sosiologi. Menurutnya,
dibanding dengan kepustakaan tentang agama-agama dunia lain dan peradaban
mereka yang telah mapan dan berkembang, study yang sistematik tentang Islam
merupakan sebuah bidang yang terabaikan dalam sosiologi, fenomenologi dan
sejarah agama. Para islamolog terkadang menjelaskan tak adanya tradisi ilmiah
karena sulit ditemukannya sumber terkait yang memadai tentang Islam.
Artinya bahwa Islam telah mendapatkan tempat yang cukup strategis untuk
membuat ideology besar sebagai antitesis terhadap ideology kapitalisme yang
cenderung mendominasi. Dari gambaran-gambaran diatas sudah dapat ditarik
kesimpulan bahwa Islam dalam jangka panjang akan mampu merebut posisi tata
sosial dunia.
Dunia dalam masa postmodernisme ini, menurut Asghar Ali Enginer, berbagai
system kepercayaan diuji secara kritis dalam wilayah yang sangat luas. Tak ada
system pemikiran atau kepercayaan yang saat ini tidak terbuka untuk diuji.29
Dari sini memberikan gambaran bahwa adanya persaingan masing-masing
ideology untuk bersaing dalam ‘ujian’ untuk membuktikan bahwa ideology
tertentu mampu menembus batas dan pantas untuk mendominasi tata sosio
antropologis masyarakat global. Persaingan ini menimbulkan semacam
diskriminasi bahkan eliminasi terhadap ideology lainnya yang menjadi lawan dari
ideology tersebut.
Kembali kepada persoalan jihad di abad post modern hari ini. Bahwa karena

28 Bryan S. Turner,2005, Weber and Islam, penerjemah; Mudhofier Abdullah, Suluh Press
Jogjakarta, hal. 11
29 Asghar Ali Enginer, 2004, Islam Masa Kini, Penerjemah, Tim
FORSTUSIDA, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, Hal. 3

55
peperangan yang akan terjadi adalah peperangan system maka, Islam harus
mampu merubah paradigma penganutnya dari yang fenomenologis dengan nalar
teosentrisme kepada paradigma strukturalisme radikal yang mengatakan bahwa
antrposentrisme merupakan hal yang mutlak yang harus dilakukan untuk
mendapatkan kekuatan yang lebih.
Hal ini juga didukung oleh ayat Al Qur’an yang mengatakan bahwa Allah tidak
akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang
merubahnya. Dimana dalam ayat ini selain dukungan terhadap penguasaan aspek-
aspek keduniawiyan oleh manusia juga Allah memerintahkan untuk melakukan
perubahan disegala bidang kehidupan untuk kemudian menciptakan satu tatanan
sosial yang berwatak civil society. Legitimasi atas gerakan manusia untuk
melakukan perubahan ini sama hal nya dengan sebuah perintah untuk
mempertahankan tatanan yang tepat dan meninggalkan atau merubah tatanan
yang bobrok, kesalehan palsu dan seterusnya.
Ini menunjukkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk memanage dunia ini
serta melakukan perubahan yang berarti terhadap system yang sedang berlaku
sekarang. Dan inilah yang kemudian memberikan inspirasi lebih serta motivasi
untuk menciptakan Islam Revolusioner.
Jelas ini menjadi tugas manusia, karena secara tegas Allah berfirman bahwa Dia
tidak akan melakukan intervensi terhadap persoalan sosio-politik manusia. Dan
ini juga bukan berarti bahwa Allah kemudian dengan serta merta meninggalkan
manusia dan hanya menunggu penyembahan manusia saja diatas singgasana-Nya
seperti yang ditudingkan Karl Marx dalam mengkritisi agama. Bahwa Allah itu
maha feudal yang mengatur tata kelas sosial, Allah maha kapitalis, Allah yang
maha menguasai dan sebagainya.
System yang digunakan Islam adalah menjadikan Islam sebagai agama Islam kiri,
atau dalam bahasa Hassan Hanafi disebut sebagai al Yasar al Islam. Ini akan
menjadi solusi yang jitu kiranya. Mengingat ternyata apa yang ditelorkan oleh
Karl Marx pada dasarnya banyak di jumpai dalam teks normative dan
jurisprudensi hukum Islam.
Isi Das Kapital secara global telah tercantum dalam Al Qur’an ataupun Al Hadits,
yang ternyata dalam Islam sendiri perkembangannya mengalami banyak
hambatan sehingga sering mengalami keterbelakangan dan ketinggalan dari yang
lainnya yang mau untuk lebih konsentrasi dalam perkembangannya.
ISLAMOPHOBIA

Hari ini banyak diskursus-diskursus yang berkembang ditengah-tengah

kehidupan sosial politik global yang mengangkat isu tentang Islam dan sejarah

perkembangannya. Baik yang sifatnya menyambut maupun yang menentang

dengan keras. Hal ini didasari sejak mencuatnya nama Islam ketika aksi terror

terhadap WTC 11 September 2001 yang membawa panji-panji Islam oleh kaum

fundamental anarkis Islam.

Penggambaran kartun nabi Muhammad yang digambarkan dengan wajah yang


bengis, memakai sorban dan bertutup kepala kain dengan bom diatasnya,
ditangannya memegang pedang dan memenggal kepala, bersama pasukkannya
menyerbu kota dan lainnya yang diedarkan secara terbuka di Eropa juga salah
satu dari banyaknya pihak yang melakukan penolakan terhadap Islam.
Diskursus yang semacam inilah yang kemudian menimbulkan ketakutan luar
biasa di tengah-tengah masyarakat dunia bahwa Islam merupakan agama yang
keras, agama militer, agama perang, agama yang hanya mengerti kapan waktu
untuk berperang dan bagaimana merebut tanah jajahan dan sebagainya. Sebagai
akibatnya muncul ketakutan-ketakutan terhadap orang-orang Islam, orang yang
bersurban dan memakai jubah dianggap sebagai teroris, setiap orang muslim
yang hendak melakukan perjalanan antar Negara harus diperiksa hingga hal-hal
yang personal, di Negara Barat, banyak orang Islam yang didiskriditkan dalam
kehidupan sosial.
Parahnya pandangan terhadap Islam inilah yang selanjutnya banyak
menimbulkan pemahaman yang keliru terhadap orang-orang Islam secara
keseluruhan. Persoalannya hanya tertumpu pada gerakan yang dilakukan oleh
kelompok Islam fundamental yang anarkhis kemudian menjadi persoalan yang
pelik yang melibatkan orang muslim secara keseluruhan.

Islamophobia Max Weber

Weber dalam catatannya, selain telah melakukan kajian kritis terhadap

Protestan dan kapitalisme dalam The Protestant Ethic and the Spirit of

Capitalism, juga meneliti dalam tentang Islam, namun sayangnya sebelum dia

sempat menyelesaikan essay-essaynya tentang Islam, ahli sosiologi ini meninggal

57
dunia. Ini bukan berarti bahwa apa yang ditulis oleh Weber tentang Islam tidak

berlaku dan dianggap tidak ada karena belum selesai, tetapi justru ini menjadi

buku sosiologi yang paling kontradiktif dibandingkan dengan kajiannya terhadap

sosiologi agama lainnya seperti protestant.

Karena sebab belum tercetak dan tersebar luasnya kajian Weber tentang Islam ini
maka kemudian harus merumuskan cara untuk dapat melakukan kajian yang
sama sebagai serangan balik terhadap teori-teori yang dikaji oleh Weber tentang
Islam dan Muhammad.
Sedikitnya ada tiga kunci yang dapat digunakan untuk memasuki kajian tentang
Weber dan Islam. Yakni, Memaparkan apa yang sebenarnya ditulis Weber
tentang Islam, Muhammad dan komunitas muslim, serta mengaitkan komentar-
komentar Weber yang belum selesai dengan minatnya yang besar pada agama
dalam struktur-struktur sosial (Lihat. Economy and Society, Max Weber). Max
Weber sangat dikenal karena studinya tentang Protestantisme dan munculnya
kapitalisme Eropa, yang secara keliru mengklaim bahwa Calvinisme telah
menyebabkan kapitalisme.
Penyebab dari seringnya kesalahan atau kekeliruan dalam penelitiannya Max
Weber terhadap sosiologi agama, selain factor kesalahan ilmiah juga dikarenakan
adanya upaya untuk melakukan pematahan terhadap setiap teori yang dikeluarkan
oleh Karl Marx atau bahkan Maxisme. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
apa yang dikaji oleh Weber merupakan anti tesis terhadap apa yang dirumuskan
oleh Karl Marx.
Dalam pandangan Weber, Islam merupakan agama militer atau agama para
tentara (a religion of warrior). Islam sebagai religion of warrior ini setidaknya
telah mampu menghasilkan sebuah etos yang sesuai dengan semangat
kapitalisme. Dalam catatan lebih lanjut, Weber merumuskan bahwa Islam adalah
agama yang menghambat munculnya prakondisi-prakondisi kapitalis yaitu
hukum yang rasional, pasar kerja bebas, kota-kota yang otonom, perekonomian
uang (a money economy) dan kelas borjuis.
Dapat diketahui bahwa apa yang dikatakan Weber bahwa Islam merupakan lahan
yang paling tandus untuk tumbuhnya kapitalisme merupakan sesuatu yang luar
biasa. Bahwa Islam ternyata tidak mampu menciptakan prakondisi-prakondisi
untuk tumbuhnya kapitalisme, sebagai akibatnya maka masyarakat Arab, tidak
dapat tersentuh oleh kapitalisme Eropa. Tidak mampunya kapitalisme memasuki
ranah sosio ekonomi masyarakat Islam banyak disebabkan oleh kebudayaan
Timur sendiri yang cenderung chauvimistik dan lebih mengunggulkan rasnya,
klannya, sukunya dibandingkan harus mengikuti doktrin dari orang lain yang
bahkan tidak dikenalnya.
Disinilah kemudian apa yang dirumuskan oleh Weber bertemu kembali dengan
apa yang ditulis oleh Karl Marx dalam Cara Produksi Asia (Asiatic Mode of
Production). Meskipun dalam beberapa wilayah penelitian diantara keduanya
banyak ditemui perbedaan, namun setidaknya dari keduanya itu dapat ditemukan
hal yang dikotomik. Kalau Weber memfokuskan pembahasannya mengenai relasi
monopoli kekuasaan politik, maka Marx lebih memfokuskan penelitiannya pada
penguasaan ekonomi.
Sosiologi interpretative Weber (sosiologi verstehende) merupakan sebuah kritik
serius terhadap keragaman positivisme yang mengabaikan peran aktor tentang
realitas dengan cara memaksakan interpretasi-interpretasi dan kategori-kategori
para sosiolog dan pengamat sosial pada realitas sosial. Verstehende merupakan
suatu pendekatan yang berusaha mengerti makna yang mendasari peristiwa sosial
dan histories.
Terlepas dari pertarungan dua ilmuwan ini, ada hal yang lebih penting yang
kemudian harus dikritisi lebih jauh terkait dengan islamophobia yang terjadi di
berbagai belahan dunia. Yakni tentang essay-essay yang dikeluarkan oleh Max
Weber untuk meneliti dan kemudian menyelewengkan ajaran Islam sehingga
Islam dapat dipandang seolah memiliki kekuatan yang dapat menakutkan orang
diseluruh dunia.
Salah satu aspek yang, mungkin, membuat Weber tertarik untuk mengkaji Islam
diantaranya adalah rendahnya kajian terhadap Islam. Dibandingkan dengan
kepustakaan tentang agama-agama dunia lain dan peradaban mereka yang telah
mapan dan berkembang, study yang sistemik tentang Islam merupakan bidang
yang mendapatkna tempat paling terbelakang dalam sosiologi, fenomenologi dan
sejarah agama. Hanya sedikit kajian-kajian sosiologis penting tentang Islam dan
komunitas muslim, beberapa penulis seperti R. Levy menulis, The Structure of
Islam, Clifford Geertz, dengan tesisnya yang berjudul Islam Observed, Maxim
Rodinson, Islam et capitalisme, selain itu hanya sedikit sekali kajian-kajian yang
kemudian menjadi salah satu tema pembahasan yang penting dalam kajian
sosiologi, fenomenologi, antropologi dan cabang ilmu lainnya.
Di lain sisi, Islam memiliki sejarah yang cukup unik, dengan kekayaan budaya
dan keragaman tradisi. Islam telah mampu mendobrak tatanan sosial dunia
sebelum Barat mampu berkata apa-apa. Banyak ilmuwan Islam yang hasil
penelitiannya dijadikan rujukan untuk perkembangan sains hari ini. Taruhlah
Ibnu Sina (Avicena) yang ahli dalam bidang kedokteran, berbagai hasil
penelitiannya mengenai kedokteran dan cabang ilmu lainnya dijadikan rujukan
untuk ilmu kedokteran yang sekarang semakin berkembang. Ibnu Rusyd dan
Imam Ghazali yang fasih berbicara filsafat juga mendapat tempat dalam kajian
mengenai sejarah dan dialektika filsafat. Serta ilmuwan lainnya yang telah
meneliti tentang tata surya, matematika, kimia sampai pada peneitian mengenai
evolusi manusia yang kemudian di kumandangkan dalam The Origin of Species
oleh Charles Darwin.
Pada zaman Islam awal juga dapat menjadi daya tarik, dimana Muhammad yang
yatim piyatu, miskin, ternyata mampu melakukan perubahan yang begitu
mencengangkan. Sebuah revolusi yang dapat dikatakan lebih dahsyat
dibandingkan dengan revolusi sosial di Prancis, Revolusi Bolshevick di Rusia
dan revolusi besar lainnya. Tatanan sosial, ekonomi, budaya dan religius mampu
di ubah untuk mencapai satu tatanan yang lebih tertata dan terarah. Sebuah
kebesaran atas perjuangan Islam kiranya.
Dari beberapa factor itulah yang mungkin membuat Weber tertarik untuk

59
mengkaji Islam, disamping disiplin ilmu yang dia sendiri pelajari sebagai ahli
sosiologi yang tentunya tidak dapat terlepas dari kajian sosiologi agama sebagai
objek pembahasan karena agama merupakan salah satu factor yang paling
mempengaruhi tata sosial masyarakat. Atau besar kemungkinan, alasan Weber
melakukan kajian tentang Islam didorong oleh sebab Karl Marx dan Emile
Durkheim jarang membicarakan tentang Islam dalam setiap study-nya.
Kajian Weber terhadap Islam dalam batasan-batasan tertentu kelihatan sebagai
bagian sosiologis bagi analisisnya tentang Etika Protestan. Memang, Weber
menganggap Islam sebagai lawan dari Puritanisme. Menurut Weber, Islam
menerima spirit kaum hedonis murni, terutama kecenderungan pada kaum
wanita, kemewahan dan hak milik. Apa yang ada dalam Islam seperti tentara
militer dan kondisi-kondisi ekonomi masyarakat Islam tidak cocok bagi
perkembangan kapitalisme karena Islam di dominasi oleh feodalisme dan
birokrasi patrimonial. Bahkan tidak hanya kapitalisme, pra syarat munculnya
kapitalisme pun tidak dapat dijumpai dalam Islam.
Dalam hal ini, Bryan S. Turner30 memberikan dua komentar yang tepat untuk
Weber. Pertama, analisis Weber tentang etika Islam nampak tidak berkaitan
dengan analisisnya tentang struktur sosio-ekonomi masyarakat Islam. Tak ada
upaya yang dilakukan weber untuk mengaitkan apa yang ia anggap sebagai etika
tentara dengan kekuasaan patrimonial para sultan dan para khalifah. Kedua, bila
orang memperhatikan lebih dekat, argument Weber tentang Etika tentara Islam,
maka akan ditemukan bahwa sebenarnya ia bukanlah argument dari pandangan
kaum idealis tentang disiplin ilmu sejarah, tetapi ia juga bukan analisis tentang
‘pertalian elektif’.
Tidak ada hubungan alamiah, kata Weber, antara monoteisme kenabian
Muhammad di Makkah dan gaya hidup para tentara Arab. Lebih jauh, bahwa
masyarakat kesukuan dan tentara di pengaruhi pesan-pesan Muhammad. Dia
mendesain ajaran-ajaran untuk memenuhi syarat-syarat kehidupan mereka. Ia
merupakan kebutuhan para tentara sebagai sebuah kelompok status yang
ditentukan oleh pandangan dunia Islam dan bukan oleh sikap psikologis atau nilai
sosial yang dibentuk Islam.
Weber secara tegas mengatakan bahwa isi Al Qur’an dan hadits merupakan
rekayasa dari ajaran-ajaran yang didesain sendiri oleh Muhammad. Dan
cerdasnya, Muhammad ternyata memiliki keahlian khusus dalam
mempropagandakan ajaran-ajaran yang didesainnya sendiri. Disamping itu,
Weber juga terlalu tegas ketika dia mengatakan bahwa kehidupan sosial para
tentara harus menyesuaikan dengan desain keagamaan yang disusun oleh
Muhammad. Ini merupakan satu hal yang harus digaris bawahi, bahwa dari sini
Weber ternyata dalam mengkaji Islam tidak berangkat dari objektifitas yang
ilmiah tetapi dari subjektif emosional.
Apa yang di tulis oleh Weber berangkat dari catatan individu dan emosionalitas
dirinya sendiri, sehingga syarat utama dalam mengkaji ilmu pengetahuan, yakni
objektif dikesampingkan. Dalam wilayah subjektifitas, beberapa bagian mungkin
dapat dimaklumi mengingat Verstehende31 juga berlandaskan pada makna
30 ibid, Hal. 21
31 Verstehende adalah metode yang digunakan Weber dalam mengkaji sosiologi. Metode ini
subjektif atas tindakan.
Pada kesempatan lain, Weber sempat melakukan analisis tentang pemimpin
kharismatik yang dianggapnya memiliki kekuatan hegemonic yang luar biasa.
Pemimpin kharismatik hanya berhasil jika pesannya dipatuhi oleh kelompok-
kelompok yang mengakomodasi doktrin baru untuk kelompok atau kepentingan-
kepentingan mereka.
Ketika rumusan ini diterapkan dalam kehidupan Muhammad dan Islam, Weber
berpendapat, bahwa pandangan dunia seorang Nabi secara sosial menjadi berarti
hanya setelah ia diterima dan dibentuk ulang oleh suku-suku badui sejalan
dengan gaya hidup mereka dan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka.
Selanjutnya, Weber secara implicit mengatakan bahwa Muhammad adalah
seorang oportunis dan bahwa para pengikutnya yang setia pada Islam semata-
mata didorong oleh harapan-harapan memperoleh harta rampasan dan
penaklukkan.
Statement yang dikeluarkan oleh Weber ini cukup keras dan berani, Sosok
Muhammad yang mendirikan komunitas kaum tertindas di Makkah dari
penindasan para pedagang yang kapitalistik, yang diantara para anggota dari
komunitas tersebut juga orang-orang Badui, dalam pandangan Weber, kehidupan
dunia Muhammad merupakan settingan dari Suku Badui. Persoalan apakah
Muhammad diterima dalam komunitas suku Badui, seperti yang Weber
tuduhkan, Muhammad dalam hal ini jelas diterima, meskipun dalam beberapa
wilayah Muhammad mendapat perlawanan dari suku badui. Dengan kemampuan
Muhammad untuk mengakomodir aspirasi yang muncul dari suku badui yang
merasakan ketertindasan karena naiknya biaya hidup serta melakukan langkah
konkrit untuk mengantisipasi hal tersebut menunjukkan bahwa Muhammad telah
diterima di tengah-tengah komunitas badui.
Kemudian tesis yang keras bahwa Muhammad adalah seorang oportunis murni
dan orang-orang yang setia pada Muhammad adalah dimotivasi adanya janji
mendapatkan harta rampasan perang dan tanah jajahan serta kekuasaan pada
tanah jajahan tersebut merupakan hal yang sangat bertentangan dengan nilai
dasar jihad. Bahwa peperangan yang dilakukan oleh orang-orang muslim didasari
karena wilayah kerajaan lain (suku lain) yang telah diajak secara damai untuk
memeluk Islam ternyata justru menantang kehebatan tentara Muhammad secara
fisik. Persoalan tanah jajahan dan harta rampasan perang sebenarnya tidak masuk
akal, yang diharapkan oleh Muhammad dan para sahabatnya dalam setiap
peperangan adalah untuk dapat memiliki pintu masuk agama Islam dalam suku
atau wilayah tersebut.
Tidak cukup menuduh demikian, Weber memperkeras asumsinya tentang
peperangan Muhammad ini. Weber berpendapat bahwa komitmen pada harta
rampasan perang benar-benar dapat diterima sebagai ‘kesdaran nabi yang paling
jelas dan nyata’ bahwa Islam menyandarkan pada kepentingan-kepentingan
material untuk klan-klan tentara militer.

dilakukan dengan pendekatan yang berusaha mengerti makna yang mendasari peristiwa sosial dan
histories. Pendekatan ini berpijak pada ide, bahwa setiap situasi sosial didukung oleh jaringan
makna yang dibuat oleh sang aktor yang terlibat di dalamnya. Jadi pendekatan ini berusaha
mengungkap suatu makna subjektif sebuah gagasan dari actor yang melakukannya.

61
Sesungguhnya, Al Qur’an dan catatan-catatan biografi awal menunjukkan bahwa
nabi Muhammad dan para sahabatnya menlestarikan permusuhan permanent
dengan para oportunis yang komitmennya pada Islam itu palsu. Contohnya, ada
kutukan yang keras dan efektif terhadap orang-orang munafik. Sampai-sampai
karena itu, Al Qur’an menyediakan satu surat khusus dalam Al Qur’an tentang
keberadaan orang munafik beserta segala sesuatu yang akan menjadi balasan atas
apa yang dilakukan. Al Qur’an sendiri telah melakukan pembagian secara
terperinci mengenai pengertian orang muslim yang beriman (mukmin), orang
yang menolak Islam dengan keras (kafir) dan orang yang mengaku muslim tetapi
sesungguhnya dalam hatinya menolak Islam (munafik), mereka memeluk Islam
untuk tujuan-tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi jangka pendek dan
dari sinilah sesungguhnya orang-orang munafik masih tetap bersikap oportunis.
Weber dalam hal ini terjebak dalam menafsirkan, dia meng-gebrah uyah-kan
(menggeneralisasikan) bahwa setiap orang muslim adalah oportunis, dengan
hanya melihat kejadian yang terjadi pada diri orang munafik. Padahal, dapat
dikatakan bahwa orang-orang oportunis hanya dapat dijumpai pada orang-orang
kafir dan orang-orang munafik. Disinilah kemudian Weber kehilangan kembali
nilai objektif dalam kajiannya.
Muhammad olehnya digambarkan sebagai panglima perang yang gagah berani,
dengan pedang yang diasah tajam, kuda yang kuat, dan kekuatan militer yang
telah terlatih untuk berperang dalam medan-medan berat sekalipun dan
seterusnya. Klaim-klaim kejelekan terhadap Islam muncul menjamur dengan
manisnya.
Dan tentunya, Weber tidak sendirian dalam menolak gagasan-gagasan Islam
secara serius dan objektif. Dalam biografi Muhammad yang ditulis oleh Maxime
Rodinson berusaha memperjelas muatan agama Islam awal menurut pengertian
Marxis dan Freudian.
Beberapa biografi nabi Muhammad lainnya yang ditulis oleh orang Eropa
menyebutkan bahwa Muhammad secara psikologis normal tetapi dia tidak jujur
ketika menyampaikan pesan dari Allah. Ada manipulasi data yang dilakukan oleh
Muhammad, data yang seharusnya disampaikan dengan X misalnya, oleh
Muhammad disampaikan pada kaumnya dengan Y yang esensi dari keduanya
sangat dikotomik.
Atau bahwa Muhammad itu tidak waras yang mempercayai kebenaran kebenaran
dari misi kenabiannya. Rodinson ingin menyelamatkan Muhammad dari tuduhan
sebagai orang gila dan munafik. Tapi, pada awal kajiannya, Rodinson mengakui
bahwa dia adalah seorang ateis dan ateisme ini menimbulkan problem tertentu
dari penafsirannya.
Karena Rodinson adalah seorang ateis, maka harus dipahami bahwa dia telah
meyakini bahwa Muhammad adalah orang yang jujur dan benar, tetapi karena
ateisnya itu, jelas Rodinson akan beranggapan bahwa Al Qur’an adalah palsu,
apa yang tertulis dalam Al Qur’an merupakan karangan semata. Pada titik ini
kemudian kajian Rodinson mengenai biografi Muhammad bertemu dengan hal-
hal yang antagonis antara data yang satu dengan data yang lainnya. Pesan yang
ada dalam Al Qur’an ditemukan dalam kondisi psikologi Muhammad sedang
mengalami ketidaksadaran. Qur’an yang diciptakan oleh Muhammad merupakan
foto copy yang diperbaharui oleh Muhammad dari kitab-kitab suci yang turun
sebelumnya dari agama Yahudi atau Nasrani. Isi Al Qur’an tidak jauh berbeda
dengan kitab suci agama-agama tersebut.
Secara lengkap Rodinson mengatakan, Sulit dipahami bahwa, dalam kata-kata
yang datang kepadanya elemen-elemen dari pengalaman aktualnya, kesanggupan
pikiran-pikirannya, mimpi-mimpinya dan meditasi-meditasinya, serta semua
memori dari penjelasan bahwa dia telah mendengar bisa dimunculkan kembali,
dipotong, diubah dan dibentuk dengan penampakan realitas yang langsung...
Walaupun Rodinson menyatakan bahwa Muhammad itu normal, tetapi Rodinson
mengakhiri komentarnya dengan pandangan bahwa Muhammad itu salah. Qur’an
bukan pesan illahi, ia adalah produk dari penciptaan kembali ketidaksadaran
Muhammad tentang pengalaman-pengalaman dan pengetahuan masa lalu yang
secara salah dicocok-cocokkan oleh Nabi Muhammad.

Kritik Agama Marx

Untuk memahamai pemikiran Karl Marx terhadap agama yang

dianggapnya candu untuk masyarakat perlu penalaran untuk memahami terlebih

dahulu kerangka berpikir penulis Das Kapital ini serta kondisi sosialnya.

Seperti telah diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat bahwa candu adalah obat
yang memabukkan dimana intensitas kesadaran berpikir orang diminimalisir
seminimal mungkin sehingga orang akan lupa diri, terbuai dengan mimpi-mimpi
dan semakin menjauh dari kenyataan yang ada dalam hidupnya. Candu dapat
membebaskan orang dari segala penat yang sedang dialaminya, terbebas dari
tekanan hidup yang menghimpitnya untuk sementara waktu, candu tidak dapat
menghilangan semua kepenatan dan tekanan hidup. Candu bukan solusi untuk
memecahkan masalah, juga bukan alternative lain yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan setiap persoalan, bahkan candu dapat menjadi akar dari persoalan
yang akan muncul selanjutnya sebagai turunan dari masalah yang sedang
dihadapinya. Intinya, bahwa candu merupakan sarana pelarian orang yang sedang
bermasalah, namun sama sekali tidak mampu menyelesaikan masalah itu.
Sedangkan agama adalah merupakan sistematisasi kepercayaan atau dalam
bahasa yang lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa agama merupakan instutusi
kepercayaan, keyakinan manusia akan hal yang transcendental, dimana didalam
agama itu terdapat dogma, ajaran, hukum dan seagala macam olah kesalehan.
Agama menjadi sandaran psikologi dan sandaran spiritualitas manusia, karena
pada dasarnya manusia membutuhkan sandaran spiritual untuk memenuhi
kebutuhan rohani yang tidak tampak.
Dikatakan agama itu candu oleh Marx, berangkat dari fenomena sosial yang
terjadi di sekitar Marx, baik pada saat masih tinggal di Trier Jerman ataupun telah
mengungsi ke Paris, Inggris dan kota besar lainnya. Dimana disana banyak
terjadi penindasan, kesewenang-wenangan, intimidasi dan penguasaan sector
public pada individu lainnya. Tindakan semacam ini yang dialami oleh

63
masyarakat, kemudian masyarakat lari kepada agama yang oleh mereka dianggap
mampu memberikan solusi atas pembodohan dan pemelaratan semacam ini.
Ternyata, dalam bacaan Marx, agama yang diharapkan mampu memberikan
alternative pemecahan masalah semacam ini berbanding terbalik dengan yang
diharapkan oleh masyarkat. Agama hanya mampu memberikan ‘resep-resep’
terhadap penyakit ini. Resep yang berupa keharusan menerima perlakuan
semacam itu dengan sabar dan tabah sebagai ujian dari Tuhan.
Ketika orang sedang menghadap tuhannya sebagai bentuk ritual wajib atas klaim
keagamaannya itu, orang tersebut akan mengalami kebebasan masalah,
ketenangan jiwa, ketenangan bathin, sehingga seolah-olah orang tersebut terbebas
dari masalah yang sedang menghimpitnya. Masalah yang sedang dihadapi terlihat
seolah terlepaskan ketika orang sedang memuja tuhannya. Pada titik ini orang
akan mendapatkan obat penenenang atas derita yang sedang dialaminya.
Namun ketika prosesi pemujaan itu telah selesai, ketika ritual penghadapan tuhan
telah usai, orang tersebut akan kembali pada lingkungan riilnya yang masih terus
merasakan penindasan, kesewenang-wenangan, pembodohan, pemiskinan oleh
para antek kapitalis. Sikap ini juga didukung oleh dogma agama yang menyuruh
untuk selalu qana’ah (nrimo ing pandhum), menerima apa adanya dari apa yang
diberikan oleh Tuhan sebagai cobaan.
Hal ini jelas akan membuat antek kapitalis dapat bersantai ria dalam melakukan
eksplotasi terhadap kaum mustad’afin (proletariat). Dalam doktrin keagamaan
yang mereka terima selalu mengajarkan untuk menerima apa yang diterima
sebagai berkah apabila itu baik dan cobaan apabila itu buruk. Dalam
menghadapinya harus dengan tabah dan sabar. Sehingga dari doktrin ini mereka
percaya bahwa ketika melakukan perlawanan terhadap pihak yang menindas
berarti mereka melakukan ‘perlawanan’ juga terhadap tuhan karena melawan apa
yang digariskan oleh tuhan.
Mengingat Marx bukanlah seorang teolog atau ahli agama dan keahliannya dia
dalam menganalisis bidang sosiologi, Marx hanya memandang fenomena yang
tampak dalam kehidupan sosial saja32. Dalam pandangannya, agama
memberikan legitimasi atas munculnya kemiskinan, pemelaratan, penderitaan
dan penindasan yang dialami masyarakat, karena agama tidak mampu
memberikan solusi kreatif atas persoalan semacam ini. Agama hanya dapat
memberikan ‘resep’ yang harus dibeli di apotek diri sendiri berupa ketabahan dan
kesabaran menerima setiap cobaan yang dialaminya.
Marx sangat menginginkan orang-orang semacam itu untuk ‘bertobat’ atas dosa
yang dilakukannya, dia menginginkan agar mereka menyadari bahwa manusia
adalah mahluk otonom yang berwenang menentukan masa depannya sendiri
tanpa campur tangan agama atau institusi lainnya. Marx sangat meyakini ketika
orang menyandarkan persoalannya pada institusi-institusi, baik itu institusi
keagamaan ataupun institusi lainnya, institusi tersebut akan diperalat oleh antek
kapitalis yang terus mencoba melakukan eksploitasi.
Marx yakin bahwa manusia merupakan makhluk yang otonom, sehingga orang
lain ataupun pihak lain tidak mungkin dapat melakukan intervensi terhadap
32 Eusta Supono, 2007, Agama Solusi atau Ilusi, Kritik atas Kritik Agama Karl Marx,
Komunitas Studi Didaktika, Jogjakarta, Hal. 38
kepentingan pribadinya secara penuh. Sehingga kemungkinan untuk dapat
mengubah perlakuan, semacam perlakuan dalam agama, dapat dilakukan dengan
menyadarkan posisi mereka ditengah kehidupan sosial. Artinya, bahwa kritik
Marx terhadap agama dalam wilayah ini bersifat emansipatoris, untuk
menciptakan tata sosial yang bebas, adil tanpa penindasan.
Bidikan Marx terhadap kritik agama ini sebenarnya lebih pada pola perilaku
hidup beragama yang tidak sesuai dengan logika pembebasan, yang seharunya
menjadi target utama institusi agama dalam bidang humanisme. Sehingga dalam
pandangannya, dia memunculkan asumsi bahwa agama turut serta dalam
pembangunan kemiskinan dan pembodohan dan turut melestarikannya. Semua
perilaku hidup sosial manusia harus tunduk pada peraturan dan ajaran agama
yang didalamnya termuat paham takdir (predestinasi). Dalam paham takdir ini,
setiap tindakan manusia telah diatur oleh Tuhan dan manusia sama sekali tidak
berwenang mencampuradukkan apa yang telah dirancang oleh Tuhan. Bagi
Marx, jargon agama semacam ini merupakan persoalan yang serius dalam agama
kaitannya dengan kehidupan sosial, yang sadar atau tidak, agama tersebut telah
meracuni masyarakat dan mengabadikan penindasan, kemiskinan dan
keterasingan manusia dari dirinya sendiri, masyarakat, dan bahkan keterasingan
dengan hasil-hasil produksinya sendiri.
Institusi agama yang diperalat oleh kapitalis ini Marx dengan tegas menggugat
keberadaannya. Agama yang terus menerus melanggengkan penindasan terhadap
masayarakat serta mendukung kapitalisme melakukan pemiskinan secara
structural dan cultural, maka agama harus dibubarkan, tuhan harus dibunuh.
Perlakuan ‘tuhan’ terhadap manusia merupakan sebuah tindak penindasan yang
tidak dapat ditolerir. ‘tuhan’ telah memaksa manusia untuk meneguk opium yang
telah disediakan oleh ‘tuhan’ untuk memabukkan manusia sehingga seagala
penderitaan yang dialaminya akan hilang untuk sementara waktu, dan
selanjutnya, setelah opium itu habis fungsinya untuk memabukkan maka ‘tuhan’
akan mengembalikan manusia kedalam kesengsaraan yang tidak berujung dengan
bekal bahwa manusia harus tabah menghadapinya.

Dampak Islamophobia

Gambaran terhadap Islam melalui wacana-wacana yang diusung oleh

para ilmuwan menimbulkan bekas yang mendalam yang kemudian muncul dalam

presepsi setiap orang sebagai citra diri agama Islam. Yang memang menulis

Islam apa adanya, itu tidaklah menjadi persoalan, karena pada dasarnya Islam

memang seperti itu, kalaupun ada penambahan, itu semata-mata hanya dikaitkan

dengan fenomena sosial hari ini yang terus berkembang.

Tetapi akan lain ketika wacana-wacana tersebut justru berbalik menyerang Islam

65
dan menganggap Islam sebagai agama yang paling tidak terpuji yang tidak pantas
untuk dipeluk. Dampak yang mungkin akan terjadipun jelas beraneka ragam
sesuai pencitraan yang memakan wacana tersebut. Wacana yang berkembang
semacam itu, selain akan membuat Islam semakin terpojokkan posisinya ditengah
kehidupan multi agama di dunia, juga akan berakibat fatal pada garis perjuangan
Islam sendiri sebagai agama yang bercita-cita untuk memperbaiki tata sosial
masyarakat secara keseluruhan.
Kesalahan penafsiran terhadap agama Islam berakibat pada munculnya
pandangan-pandangan yang keliru terhadap Islam, ajaran, dogma dan ritual
religiusitas Islam. Berangkat dari kesalahan penafsiran itu maka turunan dari
semua yang ada dalam Islam adalah sesuatu yang juga haram untuk disentuh oleh
setiap kalangan karena jelas akan membahayakan bagi keselamatan bersama.
Islam saja misalnya, kata Islam yang berarti keselamatan, kemudian, seperti
wacana yang diusung Weber diatas, ditafsirkan sebagai agama perang, agama
militer yang terus mencoba melakukan invasi ke daerah lainnya untuk
mendapatkan tanah jajahan. Ini kan sudah menunjukkan ketidaksinkronan dalam
memadukan dua wacana yang justru dikotomik.
Study yang dilakukan dalam pengkajian Islam, dengan metode atau kerangka
epistimologi apapun, selama itu bertolak dari kenyataan yang sebenarnya maka
study tersebut hanya omong kosong.
Sebagai contoh, dapat saja saya mengatakan bahwa Hugo Chavez adalah seorang
presiden yang paling kejam dan nekat, dia berani menantang Bush di tempat yang
sama dengan mengatakan bahwa Bush adalah setan, iblis, anjing dan seterusnya
yang dapat menjatuhkan image Bush di tengah masyarkat dunia sebagai ‘Jenderal
Besar’ Polisi Dunia.
Atau keberanian Mahmoud Ahmadinejad yang mengirimkan surat dakwah
kepada Bush yang intinya menyuruh Bush untuk segera bertobat atas setiap
tindakan yang dilakukannya. Ahmadinejad meninginkan agar Bush menarik
pasukannya dari Irak, membiarkan Irak menjadi Negara otonom yang
menentukan masa depannya sendiri. Dia juga menginginkan agar Bush tidak lagi
bergaya sebagai ‘Jenderal Besar’ polisi dunia yang arogan, nonkooperatif,
eksploitatif dan imperialis.
Kedua presiden revolusioner dari Irak dan Bolivia itu satu sisi dapat dikatakan
sebagai presiden yang berani dan memang tidak takut terhadap sesuatu yang
paling ditakuti di seluruh dunia. Satu sisi benar demikian, tapi apakah pada sisi
yang lain Mahmoud Ahmadinejad atau Hugo Chavez juga sama beraninya dan
sama kejamnya ketika berhadapan dengan warga negaranya? Ketika dihadapan
istri dan anak-anaknya? Apakah Ahmadinejad juga akan seberani itu dihadapan
kedua orang tuanya?. Jelas ini tidak mungkin dilakukan oleh mereka, meskipun
dalam beberapa tempat ada juga yang bersikap seperti ini sebagai dampak atas
‘kemanusiaan’ mereka, luapan emosional.
Dalam setiap pidatonya, kalau Mahmoud Ahmadinejad selalu membuka dengan
ucapan salam dan keselamatan, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
maka Hugo Chavez selalu memberanikan diri untuk membuka setiap pidato dan
orasinya dengan salam pembuka, Bush Iblis, Bush Anjing dan seterusnya yang
jelek-jelek. Hal yang sangat kontras meskipun diantara keduanya merupakan
presiden revolusioner yang ditakuti oleh Bush. Ahmadinejad bersikap lebih
toleran dibandingkan dengan sikap yang ditunjukkan oleh Hugo Chavez.
Kembali pada masalah kesalahan penafsiran terhadap Islam, baha apa yang
mereka baca sebagai Islam adalah point terburuk yang dilakukan segelintir orang.
Metode verstehende yang mengungkap makna subjektif setiap tindakan dari actor
(pelaku) hanya digunakan untuk menyoroti subjek dari Islam yang telah
‘mengkafirkan’ diri dari Islam sebagai tokoh paling munafik.
Seperti halnya kesalahan penafsiran dalam menafsirkan jihad pada pembahasan
sebelumnya, kesalahan pembahasan mengenai kata Islam oleh para ‘ilmuwan’
Barat merupakan satu ciri bahwa ‘ilmuwan’ tersebut kurang begitu mendalami
Islam. Islam hanya dilihat pada satu sisi, sementara sisi yang lain diabaikan.
Kemudian akan sangat wajar ketika banyak ilmuwan (tanpa tanda petik
diantaranya) banyak yang mengatakan bahwa seorang ilmuwan tidak boleh
menolak atau menyambut segala sesuatu selama sesuatu itu belum benar-benar
dimengerti sepenuhnya, baik dari esensinya maupun pandangan sosial atasnya.
Secara pribadi penulis tidak pernah menyalahkan Max Weber secara pribadi dan
atas tulisan-tulisannya yang kontradiktif. Hal yang mendasari bahwa Weber
dalam hal ini hanya mengalami ‘kecelakaan’ dimana dia tanpa dia sadari
meninggalkan metode-metode yang diciptakannya sendiri dalam setiap mengkaji
masalah sosiologi (verstehende). Persoalan apakah ‘kecelakaan’ itu memang
sengaja dia lakukan atau tidak itu diluar batas pengkajian dan yang jelas makna
subjektif dari apa yang dilakukan Weber ini hanyalah Weber yang tahu, bisa jadi
Weber mengatakan demikian karena dia menginginkan Islam tidak hanya
dipandang pada sisi jeleknya saja, tetapi makna sesungguhnya dalam Islam yang
mengajarkan kesalehan kolektif.
Namun sayangnya, catatan-catatannya tentang Islam dia tinggalkan sebelum dia
sendiri mampu menyelesaikannya, dia telah mendapatkan ‘anugerah’ bagi Islam
dengan kepergiannya dalam rangka menerima pahala atau sebaliknya dari Tuhan
Yang Maha Kuasa. Anugerah bagi Islam yang dimaksudkan adalah dengan
kepergiannya sang Begawan sosiologi ini maka catatan-catatannya mengenai
Islam yang belum selesai ini tidak dapat diselesaikan dan tidak dipublikasikan
secara lebih luas seperti halnya The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism
sebagai catatan atas teologi Calvinis yang ditudingnya sebagai induk semang dari
kapitalisme.
Dampak yang sampai hari ini terjadi dari proses islamophobia oleh para ilmuwan
ini yang paling kentara adalah ketakutan masyarakat dunia terhadap Islam.
Dimana Islam dianggap sebagai agama yang paling tidak manusiawi, nabinya
mengajarkan bagaimana berperang dan kewajiban berperang atas semua
umatnya, nabinya menyuruh untuk selalu merebut wilayah Negara lain untuk
dijadikan tanah jajahan. Nabinya juga menyuruh bagaimana memberikan
intimidasi yang tepat kepada semua orang.
Hal ini juga ada kaitannya dengan banyaknya tindakan-tindakan anarkis yang
dilakukan oleh tokoh Islam garis keras (Islam fundamental) yang selalu
menafsirkan jihad sebagai peperangan menghancurkan kekuaan lawan yang
mencoba menghancurkan Islam dan semua ajaran yang ada didalam Islam.
Membunuh setiap orang yang memiliki pandangan yang berbeda, mereka selalu

67
menganggap orang yang berbeda paham dengan mereka adalah orang kafir yang
dimana darah, jiwa dan hartanya halal untuk diambil.
Maraknya aksi terorisme yang berbaju agama seperti ini semakin memperkeruh
posisi Islam di mata peradaban dunia. Islam yang pada dasarnya adalah agama
perdamaian sebagai mana namanya, oleh para penganutnya kemudian
diselewengkan menjadi agama yang keras dan radikal. Sungguh fenomena yang
luar biasa, dimana kekuatan dalam Islam sendiri justru menggerogoti Islam
secara sistematis.
Dampak lainnya adalah, sebagai turunan atas ketakutan public terhadap Islam
adalah semakin tertutupnya pintu dakwah untuk menyebarkan agama serta
memperbaiki pemahaman public atas Islam.
KONSTELASI GEO SOSIO POLITIK

DAN GEOGRAFI SOSIO RELIGIUS NASIONAL

Konstelasi geo politik, diakui atau tidak, erat kaitannya dengan geografi

sosio-religius local. Ada semacam pola umum (Weltanschauungs) yang

melingkupi wilayah sosio religius secara global dan pengaruhnya mengakar

hingga tatanan sosial terrendah sekalipun. Tatanan global ini yang kemudian

menjadi satu kesepahaman bersama sebagai satu ideology internasional yang

menjadi tolok ukur.

Artinya, dalam tatanan ini menciptakan suatu arah bersama secara

perlahan menuju satu titik dengan jalan yang berbeda-beda. Berbagai bidang

kehidupan mengikuti alur ini sebagai tolok ukur dan standar kompetensi. Ini

menarik untuk di perhatikan, bahwa dari berbagai ideology yang berlaku dalam

wilayah internasional kemudian mengakar dan mematahkan ideology lainnya

yang berkembang sebagai antitesisnya.

Dunia dalam masa postmodernisme ini, menurut Asghar Ali Enginer33, berbagai
system kepercayaan diuji secara kritis dalam wilayah yang sangat luas. Tak ada
system pemikiran atau kepercayaan yang saat ini tidak terbuka untuk diuji.
Dari sini memberikan gambaran bahwa adanya persaingan masing-masing
ideology untuk bersaing dalam ‘ujian’ untuk membuktikan bahwa ideology
tertentu mampu menembus batas dan pantas untuk mendominasi tata sosio
antropologis masyarakat global. Persaingan ini menimbulkan semacam
diskriminasi bahkan eliminasi terhadap ideology lainnya yang menjadi lawan dari
ideology tersebut.
Gambaran globalnya kurang lebih demikian. Terjemahannya, dalam konstelasi
geopolitik ini, yang pada perang dingin berlaku system bipolar, dua ideology
besar yang menghegemoni masyarakat internasional, yakni Kapitalisme yang
direpresentasikan oleh negara Amerika Serikat dan sekutunya serta Komunisme
yang menjadi tatanan sosio-politik hasil dari revolusi Bolsheviks di Rusia
33 Asghar Ali Enginer, 2004, Islam Masa Kini, Penerjemah, Tim
FORSTUSIDA, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, Hal. 3

69
dibawah pimpinan Vladimir Illich Lenin.
Namun realitas ini kemudian terbalik pasca perang dingin, dengan ditandai
terpecahnya Uni Soviet, banyak system yang berlaku secara global, atau istilah
tepatnya multipolar. Masing-masing ideology ini kemudian mencoba
membangun pengaruh di dunia internasional serta bersaing dengan ideology lain
yang menjadi lawannya.
Kurang lebih demikian deskripsi global kontelasi politik global hari ini. Tentang
sejauh mana konstelasi geopolitik mampu mempengaruhi tatanan sosio religius di
Indonesia, secara lebih detail akan mendapatkan tempat tersendiri nantinya.

Α . Definisi dan Gambaran Global.

Menelusuri akar epistemology kontelasi geo politik untuk mendapatkan

satu tafsiran yang jelas sehingga memberikan pemahaman yang lebih mendetail,

serta, dan tentunya, mampu menjadi satu pandangan global. Perlu kiranya kajian

epistemology di-kaji secara lebih kritis. Termasuk di dalamnya tentang akar

aksiologinya.

Dalam kajian bahasa, kata geo berarti bumi, tanah dan seterusnya, sedangkan
politik adalah satu strategi, cara, metode dan hal lainnya yang terkait dengan itu.
Geopolitik adalah tatanan politik internasional, demikian secara sederhana kira-
kira. Sedangkan sosio berasal dari kata sosial, yang berarti tatanan masyarakat
dan hal yang melingkupinya. Religius, berasal dari kata religio, bahasa Yunani,
yang kemudian di pingit dalam tata bahasa Inggris menjadi Religious yang
berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan.
Sedangkan secara terminology, geopolitik berarti suatu tatanan politik yang
bersifat mendunia dan menjadi system yang berlaku secara internasional.
Berlakunya system ini, baik secara resmi ataupun datang dengan sendirinya
dalam kehidupan sosial atau bidang lainnya.
Sosio religious ditinjau dari sisi terminology berarti tatanan masyarakat yang
agamis, atau pendek kata dapat berarti tata masyarakat yang beragama. Atau
tatanan masyarakat yang terbentuk dengan pandangan yang sama tentang agama.
Selanjutnya istilah ideology, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Destut
De Tracy34 (1796) ketika Prancis sedang mengalami proses transformasinya
dibawa system politik republiken. De Tracy memberikan pengertian bahwa
ideology adalah suatu system pengetahuan tentang ide, yang menjelaskan
konsep-konsep praktis di dalam ilmu pengetahuan tentang segala yang ada.
Dalam pengertian ini, ideology bersifat positif dan lagi oleh konseptor awalnya,
ideology hendak dijadikan dasar moralitas bagi ilmu politik yang berkutat dalam
34 PC PMII Purworejo, Makalah ini disajikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Cabang
Pureworejo 19-23 Desember 2006.
pembentukan kebijakan-kebijakan publik.

Β . Realitas Konstelasi Geopolitik Hari Ini.

Sebelum membicarkan posisi dan peran stategis Inonesia dalam

kontalasi politik internasional, terlebih dahulu perlu dibicarkaan bentuk dari

system internasional itu sendiri serta gerakannya dan sejarah pemikirannya.

Dalam sejarah perkembangan Negara bangsa Indonesia dari dulu tidak


dapat dengan begitu saja terlepaskan dari konstelasi geopolitik, Indonesia
mempunyai peran strategis dalam wilayah perpolitikan global sejak awal
berdirinya. Dari bukti-bukti sejarah yang ada, Indonesia banyak disusupi wacana-
wacana dan system perpolitikan global yang terkadang berwatak imperalis dan
kapitalis. Satu hal yang sungguh menjadi problem terbesar bagi bangsa.35
Terkadang bangsa Indonesia terlalu bangga ketika harus menelan
wacana-wacana ideology yang datang dari Barat, sampai-sampai terkadang, baik
Negara ataupun rakyatnya, tidak menyadari bahwa Indonesia telah masuk dalam
kungkungan hegemoni yang dilakukan Barat. Sebagai dampaknya, Indonesia
tidak hanya masuk dalam lingkungan hegemoni Barat akan tetapi secara tidak
sadar kemudian masuk dalam wilayah imperialisme dunia yang sangat
hegemonic. Menjadi bagian dari objek imperialisme yang dilakukan oleh Barat.
Dampak turunannnya, Indonesia selalu dikendalikan oleh Negara-
negara Barat dalam wilayah sosial, ekonomi, kebudayaan, politik, ideology dan
sebagainya. Tidak ada kemandirian dalam wilayah itu, karena segala sesuatu
terkait dengan hal tersebut diatas telah disetting sedemikian rupa untuk
selanjutnya menjadi bagian pendukung kelestarian budaya imperialisme dan
neoimperialisme Barat terhadap Negara dunia ketiga. Telikungan imperalisme
hegemonic ini yang kemudian menelusupkan akar serabutnya kesetiap Negara-
negara yang baru berkembang dengan kemasan yang sangat apik berupa
kapitalisme global.
Kapitalisme dalam sejarah perkembangannya di nusantara selalu saja
mendominasi sebagai watak ideology terbesar. Berbagai bidang kehidupan tidak
terlepas dari kungkungan kapitalisme global dari dulu hingga sekarang. Sebagai
imbas dari semua itu, banyak kemudian kebudayaan local yang di banggakan
oleh Indonesia sebagi produk local yang mendunia secara perlahan-lahan mulai
terseret pada jurang kehancuran dan lambat laun semakin hilang terkikis oleh
kemasan kapitalisme dalam bentuk budaya popular (popular culture).
Program utama budaya popular adalah menghapuskan ‘negara’ dalam
artian yang lain, yakni menghilangkan batas geografis tiap Negara dengan
menyeragamkan kebudayaannya. Setiap kebudayaan dalam setiap Negara tolok
ukurnya sama, yakni budaya popular itu sendiri. Untuk kemudian, setelah semua
35 Hasyim Wahid dkk, 1999, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan
Indonesia, LKiS, Jogjakarta, Hal. 3

71
Negara memiliki kebudayaan yang sama, sebagai efek samping atas merebaknya
budaya popular itu adalah hilangnya kearifan local dan tradisi local yang ada
disetiap Negara.
Sebagai contoh sederhana misalnya, hari ini orang akan cenderung lebih
menyukai menonton televisi dengan berbagai kemasan acaranya seperti musik
dan lainnya dibandingkan harus menonton wayang kulit atau lenggeran semalam
suntuk yang diadakan oleh masyarakat sendiri. Atau lainnya misalnya, balet dan
sexy dance lebih popular dikalangan masyarakat dibandingkan dengan jaipongan
atau tarian daerah yang mengandung unsure seni lebih dalam.
Penguasaan sector budaya ini agaknya menjadi penyakit yang paling
menyakitkan. Apa yang kita miliki sebelumnya sebagai kebudayaan yang lebih
tinggi disbanding kebudayaan lainnya pada awal berdirinya, dengan serta merta
hilang begitu saja tergilas oleh kemasan budaya kapitalisme yang cenderung
mengeksploitasi dan menelanjangi kebudayaan kita.
Belum lagi penguasaan kapitalisme di bidang politik yang mencolok
terlihat jelas. Dari sejak berdaulatnya Indonesia sebagai Negara bangsa (nation
state) telah banyak kejadian sejarah dalam bidang politik yang dicampurtangani,
direkayasa bahkan dibuat sedemikan rupa oleh kapitalisme. Dan kadang kita
tidak menyadari hal itu, anggapan kita itu hanya merupakan benturan politis antar
tokoh di Negara kita. Sebut saja misalnya tragedy berdarah G30S/PKI yang
penuh trik intrik oleh tokoh nasional yang disetting oleh kapitalisme, runtuhnya
orde lama yang di pimpin Soekarno dan naiknya rezim orde Baru Soeharto,
sampai kejadian turunnya Soeharto sebagai jenderal Besar penguasa Orde Baru.
Artinya, dari sini dapat diketahui bahwa konstelasi politik nasional
berkibar dibawah bendera kapitalisme global. Untuk mengenal lebih dalam
sejauh mana pengaruh yang masuk ke Indonesia sebagai dampak percaturan dari
geopolitik, mungkin akan lebih baik ketika mengkaji terlebih dahulu sepak
terjang benturan antar ideology politik sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Di mulai dari Perang Dunia II yang membagi kekuatan dunia menjadi
dua blok, antara blok Barat dengan Amerika Serikat dan Inggris sebagai
representasinya, dan blok Timur yang di jendrali oleh Uni Soviet. Pembagian ini
didasarkan atas ambisi keduanya untuk menguasai dunia sebagai kekuatan
hegemonic yang terbesar sehingga akses sosial politik berada dibawah control
salah satu diantara keduanya.
Perang Dunia II selain perang terbuka antara dua kekuatan terbesar di
dunia ini, ada juga perang dingin sebagai titik akhir dari bentuk perang terbuka.
Kedua kekuatan ini tidak pernah terlihat perang dalam satu medan. Tetapi di
balik perang-perang kecil dalam beberapa negara di dunia, peran dari kedua
kekuatan ini tidak bisa dihindari. Kasus terpecahnya korea, antara Korea Utara
yang beraliran ala Uni Soviet dan Korea Selatan yang ideologinya sama dengan
apa yang dianut oleh orang Barat. Perang Vietnam juga sama halnya, dan perang-
perang besar lainnya seperti kasus di buatnya Tembok Berlin di Jerman untuk
membagi Jerman Timur dan Jerman Barat.
Dua kekuatan ini selain bersaing dalam perang, juga ada kompetisi
ideology yang mendasari terjadinya perang. Amerika Serikat dengan ideology
kapitalisme-nya mencoba menjadi satu kekuatan terbesar yang menghegemoni
dunia. Demikian juga Uni Soviet dengan ajaran komunisme-nya. Kalau
kapitalisme sudah membudaya saat itu dan menjadi tatanan dunia baru di Barat,
maka komunisme yang di gagas Karl Marx dan Friedrich Engels dalam Das
Kapital datang sebagai pembanding yang hendak meruntuhkan tradisi kapitalisme
yang cenderung eksploitatif dan imperialis.
Dari sini menarik apa yang dikaji oleh Anthony Giddens dalam
bukunya The Third Ways, dari adanya dua kekuatan besar yang mencoba
mendapatkan posisi dalam kancah perpolitikan dunia. Anthony Giddens36 dalam
pemikirannya perlu ada satu jalan lain yang harus ditempuh oleh negara-negara
yang tidak terlibat dalam dua kekuatan ini. Jalan Ketiga yang di gagas oleh
Giddens sebagai langkah yang solutif bagi negara-negara lain yang tidak ingin
melibatkan dirinya, termasuk Indonesia dengan politik luar negeri bebas aktifnya.
Terlepas dari apakah Giddens menulis The Third Ways untuk kepentingan seperti
ini atau tidak, yang jelas karena ternyata apa yang digagas oleh Giddens tepat
ketika diaplikasikan dalam fenomena politik semacam ini, maka kita gunakan
saja sebagai sebuah alternative yang solutif.
Sebenarnya langkah yang diambil oleh Anthony Giddens ini telah
dirumuskan oleh Soekarno dan sahabatnya dalam bentuk pendeklarasian Gerakan
Non Blok (GNB) yang mencoba melepaskan dunia ketiga dari pengaruh dua
ideology besar ini. Dalam organisasi Gerakan Non Blok ini, Soekarno dan
kawan-kawan dari Negara dunia ketiga lainnya kemudian menggagas pola baru
perlawanan yang diserangkan untuk kedua blok dominant tersebut. Dapat
dikatakan pada era Soekarno ini, peta politik dunia dibagi menjadi tiga kekuatan,
yakni Blok Barat, Blok Timur dan gerakan Non Blok.
Setelah perang terbuka antara dua kekuatan besar ini, muncullah konsep
perang baru yang disebut sebagai perang dingin. Yakni perang dengan tidak
menggunakan senjata. Perang dingin lebih didominasi dari persaingan intelektual
dan perlombaan pembuatan senjata. Perang dingin ini membuat negara-negara
yang tidak tergabung dengan dua kekuatan ini menjadi takut, apalagi dengan
persaingan senjata nuklir yang dalam skala besar.
Dalam hal ini, Francis Fukuyama sebagai pengamat konstelasi geo
politik dalam bukunya The End of History ‘memberikan ramalan’ bahwa setelah
runtuhnya perang dingin ditandai dengan satu diantara dua kekuatan yang
mendominasi maka akan muncul satu kekuatan besar yang menghegemoni dunia
(unipolar). Amerika Serikat, sebagai pihak yang diunggulkan dalam tesis
Fukuyama ini akan menjadi kekuatan terbesar yang pada nantinya akan
menguasai dunia. Yang perlu digaris bawahi dalam ‘ramalan’ Francis Fukuyama
ini adalah, menurutnya Amerika Serikat sebagai pihak yang menang akan
menjadi satu-satunya kekuatan yang menjadi penguasa dunia.
Namun ternyata apa yang diramalkan oleh Francis Fukuyama ini
bertolak belakang dari realitas yang terjadi sebenarnya. Setelah Amerika Serikat
memenangkan perang dingin ditandai dengan runtuhnya negara Uni Soviet.
Ternyata Amerika Serikat tidak menjadi satu-satunya kekuatan yang mampu
menghegemoni dunia.
Samuel P. Huntington dalam tesis terbesarnya The Clash Of
36 Anthony Giddens, 2000, The Third Ways, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 5

73
Civilization, and the Remaking New Order, mendeskripsikan secara rinci,
termasuk kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi dalam konstelasi
politik global yang sedang berlangsung ini.
Di awali dari runtuhnya Uni Soviet, maka secara resmi Amerika Serikat
memenangkan Perang yang selama berpuluh-puluh tahun berlangsung. Setelah
perang fisik semacam ini, kata Huntington37, dalam jangka waktu kedepan tidak
terlalu mendominasi perang seperti perang dingin, perang yang akan terjadi
adalah perang antar peradaban, bukan lagi perang antar negara dan seterusnya.
Setelah perang dingin berakhir politik internasional telah mengalami
beberapa perubahan besar yang cukup mendasar. Perubahan yang paling
mencolok adalah berubahnya system internasional bipolar menjadi suat system
yang multipolar.
Semula perang dingin kerangka politik internasional dibentuk oleh dua
negara adi daya, Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang saling bertentangan.
Konflik antara dua negara adidaya ini berskala global karena baik AS maupun
US berusaha menarik negara-negara lain sebagai sekutu atau simpatisannya, atau
setidaknya mencegah agar suata negara tidak masuk dalam lingkungan pengaruh
pihak lawan. Konflik regional antara negara tetangga dan konflik nasional antara
berbgai kelompok kepentingan, tidak jarnag ikut terseret dalam pertarungan
antara kedua adi daya tersebut.
Dengan runtuhnya Uni Soviet, system politik bipolar yang telah hadir
sejak berakhirnya perang dunia II juga telah menjadi sejarah. Amerika Serikat
menjadi satu-satunya negara adi daya sehingga sempat menimbulkan
kekhawatiran bahwa politik internasional akan menjadi unipolar dibawah suata
Pax-Americana. Pada kenyataannya baik keinginan maupun kemampuan AS
untuk menjadi pemimpin tunggal dunia juga semakin memudar. Robohnya Uni
Soviet merupakan kemenangan bagi system politik AS. Namun kenyataannya,
AS juga harus membayar sangat mahal untuk dapat tampil unggul dalam perang
dingin.
Selama bertahun-tahun AS di bawah Partai Republik sangat kurang
memperhatikan masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri, sehingga
masyarakat AS mengalami kemunduran yang cukup tajam dalam bidangini.
Berakhirnya perang dingindilihat oleh masyarakat dan pemerintah AS yang baru
sebagai kesempatan untuk mengatasi masalah-masalah di dalam negeri,
sedangkan maslah internasional kurang mendapat perhatian yang serius.38
Inilah kecerobohan dan kekurangcermatan AS, dimana ketika setelah
memenangkan perang dingin, AS yang berobsesi menjadi penguasa dunia malah
berpaling dan berkonsentrasi mengurusi urusan dalam negeri di tengah
kejayaannya. Akibatnya, AS secara tidak langsung memberikan kesempatan
kepada negara lain untuk membangun kekuatan dan peradaban yang tidak
sepaham dengan AS, sehingga obsesi AS untuk menjadi satu-satunya penguasa
dunia mengalami gangguan.

37 Samuel P. Huntington, 2001, The Clash of Civilization, and the Remaking New Order, Mitra
Pustaka, Jogjakarta, hal. 8
38 M. Dawam Raharjo, e.d, 1997, Reformasi Politik: Dinamika Politik Nasional dalam Arus
Politik Global, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 34
Huntington menganalisis factor eksternal dari tubuh AS dengan
munculnya kekuatan yang multipolar di tengah konstelasi geopolitik hari ini.
Setelah runtuhnya Uni Soviet, negara-negara bekas Uni Sovet yang pada awalnya
berhaluan Islam kembali ke rumah lama. Negara-negara seperti Aljazair,
Turkmenistan, Uzbekistan, Afghanistan dan sebagainya kembali pada Islam.
Dari berpuluh-puluh kekuatan dunia yang ada, Huntington kemudian
membaginya secara garis besar, kekuatan pertama, Kapitalisme Amerika, kedua
kekuatan China dan yang terakhir dan paling actual adalah kekuatan Islam.
China yang kaya akan kebudayaan klasik, mampu menyihir dunia
menjadi tercengang, bahkan hampir di setiap negara, budaya China tumbuh
subur, dimana-mana Klenteng dapat berdiri, ramalan-ramalah Feng Shui laku
laris di setiap pelosok dunia, produk-produk alternatif China bahkan menembus
pasar internasional dan mendominasinya. Di dukung dengan letak geografis yang
berpotensi untuk menjadi central pasar internasional, semakin memposisikan
China, juga dengan kekuatan ekonomi, sosial budaya dan lainnya yang tidak
lekang oleh zaman. Ini semua membuat Huntington menghitung China sebagai
kekuatan yang akan mendominasi dunia, meskipun dengan strategi yang halus.
Sementara itu, Islam, yang sampai hari ini menjadi kekuatan kiri yang
paling berbahaya bagi Amerika Serikat, disamping kiri lainnya, dengan jumlah
penganutnya yang makin lama makin meningkat, membuat Islam semakin di
perhitungkan juga. Apalagi dengan bangkitnya kekuatan negara-negara Islam.
Iran yang dipimpin oleh pemimpin ‘keras kepala’ terhadap AS, Mahmoud
Ahmadinejad, membangkitkan program nuklir, serta ilmu pengetahuan modern
lainnya.
Bukan itu saja yang membuat Islam diperhitungkan oleh Huntington,
Islam, khususnya yang ada di Timur Tengah, merupakan negara-negara penghasil
minyak bumi yang besar dan potensial memenuhi kebutuhan minyak dunia.
Selain minyak bumi, barang tambang lainnya Islam juga mendominasi.
Samuel P. Huntington sebagai seorang intelektual Amerika Serikat serta
penasehat Gedung Putih telah berkiprah banyak dalam wilayah percaturan politik
dunia. Selain dari buku The Clash of Civilization yang dimana dalam buku ini
dia memprediksikan kondisi sosial politik masyarkat pasca perang dingin. Serta
ramalan akan adanya benturan antar peradaban antara Barat yang teridi dari
WASP (White Anglo-Saxon Protestant) dan Timur yang teridir dari Islam dan
Confucianisme.
Pada buku ini, Huntington tidak secara terbuka mengatakan bahwa
Islam dan Confucianisme merupakan musuh terbesar Amerika Serikat (Barat),
akan tetapi ketika buku selanjutnya diluncurkan (Who Are We?: The Challenges
to America's National Identity, New York: Simon & Schuster, 2004) menyatakan
dengan tegas bahwa musuh utama Amerika Serikat setelah perang dingin adalah
Islam Militan. Serangannya tidak hanya Islam radikal, tetapi juga komunitas
Islam yang tidak mau mengikuti Bush dianggap teroris. Bush dalam persoalan ini
membaca hitam putih, melalui pernyataannya, "either you are with us or you are
with the terrorists", jelas menunjukkan bahwa Bush memberikan kesempatan
kepada setiap Negara dan organisasi massa lainnya yang memiliki jaringan global
untuk menentukan sikap apakah akan mengikuti garis Bush atau mengikuti garis

75
Islam. Antara kekuatan jahat (evil) dan kekuatan baik (good).
Bagi Bush dan Huntington, tragedi 11 September 2001 juga telah
membuka kemungkinan berubahnya parameter yang digunakan AS dalam
menilai sebuah negara. Sekarang ini, AS cenderung lebih hirau pada masalah
terorisme ketimbang isu demokrasi dan hak asasi manusia. Kenyataan bahwa
Presiden Pervez Musharraf di Pakistan dan militer Thailand di bawah Panglima
Angkatan Darat Jenderal Sonthi Boonyaratglin naik ke tangga kekuasaan melalui
kudeta militer tidak lagi menjadi kendala dan penghalang bagi AS untuk menjalin
aliansi antiterorisme dengan kedua negara itu.
Dalam persoalan ini, Huntington mendukung agar AS/Barat melakukan
preemptive strike terhadap kaum militan. Nasihat Huntington memang telah
dijalankan Gedung Putih dengan menyerang Irak dan Afganistan serta
mengintervensi Palestina, apalagi pada 2002 doktrin preemptive strike (serangan
dini) dan defensive intervention (intervensi defensif) telah secara resmi
diumumkan. Kekuatan Islam militan di berbagai belahan bumi pun ''disikat'' oleh
AS, dan yang disebut sebagai Islam militan bukan hanya Usamah bin Ladin atau
kelompok Al-Qaidah, melainkan mencakup juga banyak kelompok lain yang
bersifat negatif terhadap AS.
Pandangan Huntington mempengaruhi Bush, terutama persepsi bahwa
apa yang dulu dilakukan oleh komunis internasional juga dilakukan kini oleh
kelompok-kelompok Islam militan, seperti aksi protes dan demonstrasi damai,
dan partai-partai Islam ikut bertanding dalam pemilihan umum. Kalangan Islam
militan juga melakukan kerja-kerja amal sosial dan kultural.
Analisis terhadap Amerika hari ini dan kedepan sebenarnya merupakan
satu kemenangan bagi Negara-negara berkembang karena lambat laun sekutu
Amerika akan lepas dari persekutuan. Australia misalnya, yang dahulu menjadi
sekutu utama, sehidup semati dengan Amerika setelah John Horward yang
menjadi Perdana Menteri cukup lama di negeri Kanguru telah kalah dengan
kekuatan Partai Buruh dan dalam kepemimpinan Partai Buruh ini Australia akan
menempatkan Amerika sama dengan hubungan bilateral dengan Negara
manapun. Kerja sama bilateral yang akan lebih ditingkatkan lagi oleh Australia
adalah dengan China.
Australia dan China akan menguatkan basis militer, social, politik,
pendidikan dan ekonomi masing-masing Negara dengan kerja sama bilateral
yang lebih akrab lagi, bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi sekutu.
Kedua Negara ini akan terjalin intimitas hubungan yang tinggi karena Partai
Buruh Australia dan Partai Komunis China memiliki korelasi yang mutualisten.
Dimana ada keterkaitan secara politik dan gerakan diantara keduanya.
Australia sendiri, dalam waktu dekat akan menarik tentaranya yang
berada di Irak yang membantu Amerika pada perang Irak tahun 2003 lalu. Ini
merupakan wujud konkrit Australia mencoba menjauh dari hubungan intim
bilateral Negara dengan negeri Paman Sam.
Sementara itu, Amerika dibawah pengaruh Bush yang masa jabatannya
hampir habis akan kehilangan beberapa sekutu, sementara itu, senat dan parlemen
Amerika telah dikuasai oleh Partai Demokrat, sehingga kemungkinan besar pasca
Bush yang akan menduduki jabatan Presiden berasal dari Partai Demokrat yang
kemungkinan akan lebih halus dalam hubungan internasional, tidak ambisius
seperti yang dilakukan Bush terhadap Negara lain yang mengklaim diri Amerika
menjadi Polisi Dunia (World Police) yang mempunyai hak menindak kasus
hokum internasional dengan sanksi sekehendaknya.
Islam Indonesia tidak ketinggalan, dengan berbagai corak yang khas,
menjadikan Islam Indonesia di tempatkan di garda depan, apalagi di dukung
dengan status Indonesia sebagai negara dengan jumlah penganut Islam terbesar di
dunia.

Χ . Geneologi Sosial Politik (Geosospol)

Setiap upaya untuk mengatasi persoalan yang terjadi di Indonesia tanpa

melihat keterkaitan dengan konstelasi global, niscaya akan menemukan

kegagalan yang mutlak. Karena, Indonesia sebagai negara yang berdaulat, tidak

bisa lepas dari konstelasi global internasional. Bahkan ada yang mengatakan

sejarah bangsa Indonesia tidak lain adalah permainan dari pertarungan

kepentingan sosial, politik, ekonomi dan wacana yang bermain di dunia

internasional.

Sedikti menengok pada masa pra kemerdekaan (1596) bangsa


asingmenginjakkan kaki ke Nusantara dan menanamkan pengaruhnya. Jatuhnya
kedaulatan nusantra ketangan asing ditandai sejak berdirinya VOC pada tahun
1602. kehidupan bangsa Indonesia dikendalikan oleh penjajahan bangsa asing.
Pada abad ke-19 terjadi perubahan fundamental di Eropa, yaitu sejak
pemikiran Ernest Renant. Tentang negara bangsa (nation state) mempengaruhi
kawasan Eropa dan berdirilah berbagai Negara bangsa di Eropa. Terjadinya
perubahan ini sangat berpengaruh pada negara-negara jajahan termasuk Hindia
Belanda. Selain itu, pengaruh terhadap Hindia Belanda terlihat sejak keluarnya
kebijakan poltik etis oleh anggota parlemen Belanda yang bernama C. Th. Van
Deventer.
Dampak yang diperoleh penduduk pribumi sejak munculnya konsep
negara bangsa dan kebijakan politik etis adalah kaum pribumi dapat memperoleh
pendidikan modern ala Barat. Yang mulanya hanya dinikmati oleh kalangan
tertentu saja (golongan priyayi) kaum priyayi rendahanpun dapat menikmati
pendidikan tersebut, sehingga ada perubahan signifikan struktur sosial
masyarakat Hindia Belanda.
Pengaruh pemikiranala Barat pada masyarakat pribumi yang
mengenyam pendidikan ala Barat ini akhirnya munculnya semangat nasionalisme
dan berdirinya organisasi-organisasi kepemudaan dan kemasyarkatan (meskipun

77
masih bersifat island people), seperti Boedi Oetomo (1908), Jong Sumatea, Jong
Islament Bond, Jong Cilebes, SI, Muhammadiyah dan organisasi lainnya.
Ditengah suasana konstelasi politik global yang tidak menentu.
Akhirnya bangsa Indonesia mengkonstruksikan faham kebangsaan yang utuh dan
lahirlah Sumpah Pemuda (1928) yang kemudian memunculkan wacana Negara
Bangsa Indonesia. Sementara itu, antara berbagai negara imperialis semakin
menajam dan mencapai puncaknya pada Perang Dunia II (1939). Indonesia
menjadi rebutan negara-negara yang sedang bertikaian untuk menjadikan
pangkalan dan mempertahankan kepentingan geopolitik dan geo strategi masing-
masing pihak. Ditengah suasana perang asifik yang memanas dijadikan moment,
oleh para aktivis gerakan, untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Dari sedikit penelusuran akar histories bangsa, terkait dengan posisi
Indonesia dalam konstelasi geopolitik sebelum kemerdekaan Indonesia. Ada satu
hal yang perlu di garis bawahi bahwa keberadaan Indonesia dalam konstelasi
geopolitik tidak bisa terlepas begitu saja dari geo strategi oleh pihak-pihak global
yang mendominasi, artinya ada pengaruh-pengaruh dari dunia internasional
dalam wilayah sosio antropologis politis di Indonesia. Setidaknya ada empat
pengaruh global yang mewarnai dinamika sosio antropologis politis di Indonesia,
yakni, Indianisasi, Chinaisasi, Eropanisasi dan Islamisasi.
Adanya pengaruh India di Indonesia tidak bisa dilepas begitu saja,
warna bernuansa India telah mengakar kuat di Indonesia, hal ini tidak terlepas
dari pernah berjayanya agama Hindu dalam sejarah keagamaan nasioal. Agama
Hindu yang menjadi agama mayoritas di India, telah berkembang pesat di
Indonesia. Dan yang paling dapat dilihat secara eksplisit adalah adanya
kebudayaan India yang justru berkembang pesat di Indonesia, khususnya Jawa,
yakni seni patung, seni Candi, seni pewayangan, seni memahat dan alat-alat
musik yang bernuansa India lainnya. Ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji.
Selain itu, ada satu hal yang kurang popular dalam sejarah nasional,
tetapi toh tetap membuat pengaruh India di Indonesia terlihat lebih jelas juga.
Pemberontakan kaum Sepoy di Jawa Tengah tahun 1815. pada tahun 1945 ketika
orang Inggris mendarat di Surabaya yang membawa kontingen-kontingen India-
Bengali, setelah merebut Yogyakarta, ternyata Kapten Subandar atau Dhukul
Singh terkejut melihat bahwa Jawa adalah tanah Brahmana dan Sunan adalah
keturunan Rama.
Namun dari semua itu, yang paling membuat pengaruh India di
Indonesia terenal hingga dataran global adalah peneliti-peneliti Eropa sebelum
abad ke-19 yang melakukan penelitian di Indonesia seperti Raffles yang
mengangkat Indianisasi di Indonesia sebagai topik yang paling ia gemari. Hal ini
dia tunjukkandengan mengaitkan Jawa dengan kemaharajaan India Inggris.
Misalnya, dalam buku The History of Java, disini ia tampilkan gambar-gambar
patung yang bernuansa Hindu India dengan berbagai coraknya.
China datang ke Indonesia kurang lebih pada abad ke-13/14. Namun
yang penting dri terjadinya perpaduan antar kedua kerajaan itu adalah masa
dinasti Ming (China) dengan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan Majapahit di
Jawa.
Masuknya masyrakat China ke Indonesia, berdasarkan bukti sejarah,
ditandai dengan ditemukannya makam putri Campa (tertulis 1370). Putri Campa
dalam sejarah nasional adalah saudara raja Pandita dan Raden Rahmat. Keduanya
aalah anak dari keturunan Arab, yang telah mempersuntung gadis setempat. Putri
Campa adalah muslim termasyhur yang datang untuk menikah dengan seorang
pangeran Majapahit. Adapun ia dimakamkan di Trowulan pada tahun 1448.
Versi lain sejarah, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah
berasal dari dataran China yang mengungsi secara berangsur-angsur ke wilayah
selatan yang lebih subur untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Pendapat ini diperkuat dengan masyarkat Indonesia pada umumnya termasuk ras
Mongoloid dengan ciri-ciri bertubuh pendek, warna kulit sawo matang, mata sipit
dan memiliki rambut berwarna hitam pekat.
Terlepas dari semua itu, yang menjadi persoalan adalah, adanya
pengaruh kebudayaan China di Nusantara. Banyak sudah hal-hal yang berbau
China di Indonesia, mulai dari menjamurnya Barongsai, pakaian muslim (Baju
Koko) yang mengambil corak pakaian adat China (di populerkan oleh Laksamana
Cheng Ho), hingga pada diresmikannya agama Konghucu oleh Presiden
Abdurrahman Wahid sebagai agama yang sah di Indonesia.
Demikian halnya dengan budaya Indonesia yang terpengaruh warna
China seperti tata budaya masyarkat, Indonesia merupakan lahan yang subur
untuk perkembangan budaya China sampai hari ini, ditandai dengan maraknya
peringatan-peringatan seperti tahun baru Imlek, kiriman Angpao, klenteng-
klenteng, lampion, hingga pada makanan khas China yang berkembang dan
berproduksi sampai-sampai orang Indonesia mengatakan bahwa itu merupakan
produk local.
Orang Eropa yang pertama kali menginjakkan kaki ke nusantara adalah
Marcopolo. Pelaut tangguh ini memberi nama untuk pulau Jawa sebagai Java
Mayor dan Sumatera sebagai Java Minor.
Pengaruh Eropa dalam tata masyarakat Indonesia terlihat sangat jelas,
apalagi ketika menilik pada negara kita yang berabad-abad mengenyam
imperialisme dan kolonialisme dari negara-negara Barat. Negara Barat yang
pengaruhnya paling mencokol adalah negara Belanda, hal ini disebabkan negara
Belanda selama kurang lebih 3,5 abad menjajah negeri kita ini.
Dimulai dari arsitektur bangunan model Barat yang kemudian banyak
ditiru untuk model bangunan modern saat ini. Dengan tiang yang besar, dinding
yang tebal, pintu tinggi lebar, serta banyak gambar-gambar bernuansa seni pada
kaca-kaca jendela dan seterusnya.
Warisan kolonial lainnya adalah undang-undang dan system
bermasyarakat yang berlaku di negara kita. Undang-undang banyak sekali yang
sampai hari ini merupakan turunan dari warisan zaman londho. Sementara system
feodalisme, kapitalisme dan exploitation de I’home par I’home masih mengakar
di tengah masyarkat kita sampai hari ini.
Pengaruh-pengaruh Eropa, selain berupa peninggalan fisik diatas, ada
satu hal yang penting, yakni ideology dan dasar pemikiran. Dimana banyak sekali
intelektualis Indonesia yang berkiblat pada kebudayaan Barat. Katakanlah
Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan kawan-kawannya yang menempuh
pendidikan di Belanda. Atau Presiden Soekarno, Tan Malaka, H. Agoes Salim,

79
HOS Tjokroaminoto, Sukarni dan tokoh nasional lainnya yang melakukan
peletakan dasar negara Indonesia, dan tentunya suasana Belanda masih sangat
kental terasa. Mereka itulah yang menggunakan kendaraan pendidikan ala Eropa.
Islam masuk ke Indonesia memberikan corak masyarkat yang paling
menonjol, dimana disini Islam mencoba mengubah tata sosial yang sebelumnya
telah mapan dan kemudian di kemas ulang dalam tatanan yang lebih menarik. Di
Indonesia ada dua versi masuknya Islam, pertama dimulai dari perjalanan It Sing
dari China yang dalam catatannya menulis bertemu dengan seorang yang sedang
melakukan gerakan-gerkan aneh serta bacaan-bacaan aneh pula, orang ini
berperawakan Arab, serta menggunakan pakaian mirip orang-orang Arab. It Sing
memulai perjalanannya ini sekitar abad ke tujuh masehi.
Namun catatan sejarah lebih menyepakati versi yang kedua yakni
dengan bukti ditemukannya makam Fatiman binti Maimun yang bertuliskan
sekitar abad kesebelas masehi. Disini kemudian mengakar pada berdirinya
kerajaan Samudera Pasai di Aceh dan Kerajaan Demak Bintoro, dan kerajaan
Banten di Jawa yang bercorak kepemimpinan Islam. Disusul kemudian
munculnya Mataram Islam, Gowa, Talo dan seterusnya.
Pengaruhnya berupa banyaknya peninggalan-peninggalan sejarah yang
bercorak Islam seperti Masjid Agung Demak, Menara Masjid Kudus, makam-
makam Sunan yang tergabung dalam Walisongo, pesantren-pesantren klasik,
kebudayaan dan kesenian masyarakat, lagu-lagu (tembang) yang bernuansa religi,
dan sebagainya. Ini dapat dimaklumi bersama mengingat perkembangan Islam di
Indonesia termasuk dalam kategor cepat dan besar di dunia.

∆ . Islam Indonesia

Sejarah masyarakat Indonesia, sebelum sampai jauh memperbincangkan

fenomena Islam Indonesia, telah ada dan berkembang ribuan tahun sebelum

masehi. Ada sejarah panjang yang dimiliki bangsa Indonesia yang banyak

tertutup oleh sejarah, tidak pernah diungkap dan saling mengungkap sejarah

masa-masa Indonesia di era ribuan tahun sebelum masehi, kalaupun disebutkan

persoalan tersebut, hanya pada grand theme saja tanpa menyentuh hal yang lebih

detail, termasuk tokoh-tokohnya secara jelas.

Kekuarangan referensi menjadi satu alasan kuat tidak diungkapkannya


khazanah kebesaran sejarah nusantara pada era ini. Peninggalan yang ada hanya
sebatas peningalan-peninggalan fisik yang telah membantu dan terkubur di alam
raya yang luas ini. Tetapi ada beberapa hal yang masih harus kita banggakan
dalam kaitannya mengenai sejarah kebangsaan yang terkubur ini, yakni warisan-
warisan sejarah yang tersimpan rapi dalam alam bawah sadar kita.
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya Islam
merupakan negara yang cukup makmur dengan tingkat keberagamaan yang
tinggi. Masyarakat Indonesia menempatkan agama pada titik tertinggi dalam
relung kesadarannya. Segala bidang kehidupan didasar atas dasar agama,
dihukumi oleh agama.
Menurut catatan sejarah dalam versi Prof. Soediman Kartohadiprojo,
SH., masyarakat Indonesia berasal dari suku Polinisia saja (Prof. Soediman
Kartohadiprojo, 1995). Sementara Agus Sunyoto dalam “Pitutur” mengatakan
bahwa orang Indonesia asli adalah pertemuan dari dua suku: suku Polinisia yang
berasal dari India yang punya kegemaran merampok, menjarah dan punya
pemahaman mistik yang sangat kental, dan ras yang dibawa adalah ras Negroid.
Kemudian bertemu dengan suku Qunlun, yakni pecahan ras Mongoloid yang
kalah perang dan terusir dari daratan Mongolia.
Perjalanan sejarah akan dimulai dari asal usul manusia Indonesia. Dari
dua perkawinan ras inilah lahir ras Javanisme yang berkarakter mistik yang
kemudian pada prosesnya muncul paham animisme dan dinamisme, suka
menjarah dan bermental kalah. Dalam psiko-Historis era sekarang, kita dapat
mengatakan bahwa ras ini melahirkan bangsa yang tidak punya mental dasar
persaingan (Agus Sunyoto, Kebudayaan Indonesia Hasil Asimilasi Aneka
kebudayaan).
Pada awal perkembangannya, masyarakat Indonesia mengenal agama
(kepercayaan) Kapitayan39, yakni sebuah aliran kepercayaan yang menyembah
terhadap Sang Hyang Taya. Aliran ini berkembang pesat pada saat suku Weda
(dalam beberapa referensi Suku Weda dianggap sebagai suku asli bangsa
Indonesia dari ras Negroid) menguasai tatanan social politik di Indonesia
sebelum kedatangan kaum migran besar-besaran dari Yunan, China Selatan pada
kurang lebih enam ribu tahun sebelum masehi.
Kapitayan berasal dari kata dasar Taya yang berarti kosong. Kosong
dalam filosofi kapitayan adalah menyembah kepada Sang Hyang Taya yang tidak
nampak dalam pandangan mata fisik, namun keberadaan Sang Hyang Taya dapat
dirasakan dan dilihat dalam bentuk fisik berupa alam raya. Sang Hyang Taya,
dalam pandangan mereka, adalah hal yang transenden, yang memiliki pengaruh
besar sebagai pencipta, penjaga sekaligus penghancur alam raya beserta semua
kekayaan yang ada didalamnya.
Ritus-ritus keagamaan yang dilakukan oleh penganut kapitayan adalah
sembahyang (Sembah Sang Hyang) tiga kali dalam sehari, yakni pada saat
matahari terbit, matahari diatas kepala dan pada saat matahari terbenam.
Sembahyang dilakukan di sebuah bangunan peribadatan dengan bentuk kotak
persegi empat dengan satu pintu berbentuk persegi panjang dengan bagian atas
setengah lingkaran yang memanjang kedalam. Tempat ini mereka menamainya
dengan langgar. Orang yang masuk didalamnya harus dalam keadaan suci dan

39 Keterangan dan informasi mengenai aliran kepercayaan/agama Kapitayan penulis peroleh dari
wawancara langsung dengan Agus Sunyoto serta mengikuti pelatihan-pelatihan yang beliau
menjadi pematerinya terkait dengan sejarah masyarakat Indonesia. Untuk pertama kali,
keterangan ini penulis dapatkan dari Pelatihan Kader Lanjut PKC PMII Jawa Tengah tahun 2007
di Kebumen.

81
harus melepas alas kaki yang dikenakannya.
Dalam setiap langgar, ada alat utama yang digunakan sebagai media
mengumpulkan masyarakat untuk bersembahyang berupa beduk yang terbuat dari
kayu berlubang dengan lapisan kulit binatang. Alat ini dibunyikan pada saat
menjelang prosesi persembahyangan dimulai. Bentuk langgar yang kotak, dalam
keterangan selanjutnya, adalah representasi dari kepercayaan kadhang papat
kalimo pancer, yakni secara eksplisit melambangkan empat penjuru mata angin
dengan satu titik sentral (yang transenden) mengarah ke bagian atas. Dalam
makna implisitnya, kadhang papat kalimo pancer lebih mengarah pada
kesetaraan ruang fisik dan ruang bathin serta kaitannya mengenai transendensi
hubungan manusia dengan Sang Hyang Taya.
Agama kapitayan mengenal istilah to/tu. Setiap kata yang mengandung
kata ini adalah ajaran-ajaran yang dimiliki oleh kapitayan. Sebagai contoh,
ajaran-ajaran kebaikan mereka menyebutnya sebagai tuah, sedangkan ajaran
jahat mereka menyebutnya sebagai tulah, representasi kekuatan baik sebagai
tuhan, dan pernyataan atas kekuatan jahat disebut hantu.
Dalam ritusnya, penggunaan kata to/tu masih terlihat, keberadaan Sang
Hyang Taya direpresentasikan dalam bentuk watu, tumbak, tugu, tuk dan lainnya.
Sementara itu dalam upacara keagamaan mereka menggunakan sesaji yang
disebut tumbal (yang paling ekstrim) dan ditaruh kedalam tumbu. Sang Hyang
Taya dalam kepercayaan mereka adalah Tuhan yang memiliki kekuatan gaib
yang mampu menciptakan, merawat dan bahkan menghancurkan alam. Sehingga
untuk mencegah penghancuran itu, berbagai ritus keagamaan diadakan.
Peletak dasar agama kapitayan, dalam sejarah disebutkan, bernama
Semar (Bodronoyo). Semar selain mengajarkan tentang ritus peribadatan seperti
itu, juga mengajarkan tentang puasa, balasan kebaikan berupa surgaloka dan
balasan atas tindakan jahat manusia berupa nerakasengkala. Dia juga
mengajarkan tentang anjuran berbuat baik terhadap sesama manusia karena pada
akhirnya nanti setelah meninggalnya manusia akan ada kehidupan selanjutnya
yang merupakan balasan atas kehidupan sekarang di dunia.
Sementara itu, dalam referensi lain disebutkan, ajaran kapitayan ini
disebut sebagai ajaran-ajaran animisme dan dinamisme pada akhir abad ke-19
dan abad ke-20. Dengan ditemukannya peninggalan-peninggalan sejarah yang
dapat telah membatu oleh para ilmuwan rasional dari Barat.
Pada masa pra sejarah, dengan bukti diketemukannya fosil manusia
purba, negara kita telah berpengalaman lebih dalam bidang keagamaan. Terbukti
dengan diketemukannya fosil berupa menhir, dolmen, serta alat pemujaan
lainnya. Bentuk agama mereka adalah, berdasarkan penelitian dari sosiolog,
adalah animisme dan dinamisme. Animisme dan dinamisme begitu kuat
menggelora dalam relung kesadaran orang-orang purba, segala sesuatu yang
mereka lakukan sering kali atas nama kepercayaannya ini.
Belum selesai tradisi animisme dan dinamisme yang berkembang di
Indonesia, datanglah agama Hindu Budha, dimana kedua agama ini juga hampir
sama ajarannya tentang konsep ritual peribadatannya. Hindu Budha menjadi
sesuatu yang mudah di terima oleh masyarakat saat itu, karena apa yang
terkandung didalam ajaran Hindu Budha kebanyakan merupakan perkembangan
lebih lanjut dari apa yang telah mereka percayai sebelumnya. Tata sosial lambat
laun semakin berubah.
Perkembangan Hindu Budha yang sangat pesat memberikan warna
tersendiri bagi kebudayaan masyarkat Indonesia. Seni-seni berupa seni pahat dan
seni mematung direpresenatasikan dengan membuat Candi Borobudur, Candi
Prambanan, Candi Dieng, Candi Mendut dan sebagainya. Ajaran-ajaran berupa
puasa ngrowot (puasa tidak makan nasi), puasa Nyirih (Puasa tidak memakan
sesuatu yang bernyawa), pemberian sesaji, pelestarian terhadap lingkungan, seni
pewayangan dan seterusnya mewarnai kebudayaan Indonesia dan merupakan
peningkatan dari kebudayaan animisme dan dinamisme yang sebelumnya telah
tinggi.
Setelah maju dan berkembangnya agama Hindu Budha di Indonesia,
seiring dengan terbukanya nusantara sebagai jalur perdagangan paling potensial
di dunia, maka peleburan budaya antara budaya asli nusantara dengan budaya
asing yang masuk ke nusantara membuat perbendaharaan budaya nusantara
semakin kompleks. Kemajemukan budaya ini kemudian membuat satu daerah
dengan daerah yang lain memiliki perbedaan yang mencolok. Satu wilayah yang
kebetulan sering disinggahi oleh pedagang-pedagang asing memiliki corak
budaya yang lebih maju dibandingkan dengan wilayah lain yang sama sekali
tidak tersentuh oleh pedagang-pedagang asing. Ini membuat semakin mewarnai
multikuluralisme.
Sisi lain, selain kemajuan budaya, dengan seringnya masuk pedagang
dari Gujarat, India dan Persia yang menganut agama Islam, maka secara
perlahan-lahan kebudyaan nusantara khususnya pesisir mengalami perubahan.
Semakin meningkat, dan semakin mendekati pada kebudayaan Islam pada
umumnya. Hal ini dikarenakan di setiap Bandar perdagangan kerajaan pasti ada
syahbandar yang bertugas sebagai mediator bahasa antara daerah yang satu
dengan daerah yang lain.
Wilayah yang banyak melakukan transaksi perdagangan dengan
pedagang dari Gujarat, Persia dan India harus memiliki syahbandar yang
memahami dan mampu berkomunikasi dengan bahasa itu agar terjadi transaksi
yang benar-benar adil, serta tidak ada penipuan salah satu diantara keduanya.
Syahbandar yang diangkat oleh kerajaan atau bahkan sampai level
kadipaten, biasanya diambil dari orang asing yang memahami dan mampu
berkomunikasi dengan bahasa local. Misalnya, orang Gujarat yang pandai
berbahasa Jawa atau Melayu akan diangkat menjadi syahbandar di wilayah
Tuban, mengingat Tuban adalah terminal perdagangan yang cukup ramai setelah
Malaka.
Syahbandar memiliki kedudukan yang tinggi setingkat menteri untuk
saat ini, artinya kalau boleh menyamakan, posisi syahbandar sama dengan mentri
Luar Negeri atau setidaknya Juru Bicara Kenegaraan. Artinya dia memiliki
kebebasan yang mutlak atas wilayah tertentu yang menjadi garapannya.
Didukung gaya kehidupan masyarakat yang masih fedoalis, maka seolah posisi
syahbandar iBarat orang yang memiliki otoritas penuh terhadap masalah
hubungan eksternal dengan negara lain.
Orang Gujarat yang kebanyakan beragama Islam, yang diangkat

83
menjadi syahbandar, dengan bekal jabatan serta didukung gaya kehidupan
feodalistik masyarakat, maka lambat laun, tata sosial masyarakat terpengaruh
dengan gaya kehidupan syahbandar, dan secara perlahan, mereka mulai
meninggalkan kebudayaan Hindu Budha mereka dan masuk Islam.
Selain itu, banyak syahbandar atau bahkan pedagang dari Gujarat dan
wilayah Arab lainnya yang kemudian menikah dengan gadis pribumi, sehingga
model penyebaran agama melalui pernikahan banyak sekali dilakukan.
Lambat laun dari hal-hal yang semacam ini kemudian menimbulkan tata
sosial yang berlainan dengan budaya asli mereka. Pernikahan budaya antara
kebudayaan Hindu Budha dengan Islam mulai nampak, munculnya bentuk baru
pendidikan keberagamaan yang merujuk pada system pembelajaran ala Hindu
Budha banyak dilakukan oleh penyebar agama ini. Termasuk juga bentuk
bangunan masjid yang mirip dengan kebudayaan bangunan ala Hindu.
Ditarik pada wilayah agama/aliran kepercayaan Kapitayan, Islam yang
muncul di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh agama ini. Sebagai contoh,
adanya langgar (Mushola) sebagai tempat peribadatan. Pemberian nama puasa
untuk menyebut ajaran asy syiyam, menyebut Jannah sebagai
swargo/swargoloko, menyebut nerokosengkolo/neroko sebagai perlambangan
atas an nar. Bedhuk adalah identitas utama Islam Indonesia yang merupakan
salah satu peninggalan penting agam Kapitayan yang digunakan untuk
mengumpulkan orang-orang sebelum bersembahyang. Demikian pula untuk
menyebut kata shalat dengan mengadopsi istilah Kapitayan yakni sembahyang.
Untuk masuk kedalam mushollah (langgar) harus melepas alas kaki merupakan
salah satu khazanah yang dimiliki oleh agama Kapitayan, dalam ajaran Islam
yang lebih dikenal adalah membersihkan sepatu/sandal sebelum masuk ke tempat
peribadatan, dan upaya menganjurkan untuk melepaskannya adalah merupakan
perpaduan antara Kapitayan dengan Islam.
Dalam budaya pewayangan hingga pada khazanah lainnya yang dimiliki
oleh orang-orang Indonesia yang telah berkembang pesat sebelumnya, oleh para
founding fathers Islam di Indonesia juga sedikit demi sedikit mulai ditarik dan
diubah konsepnya agar sesuai dengan hokum-hukum islam. Kita mengenal
adanya wayang yang merupakan warisan kebudayaan suku arya dan dravida di
zaman prasejarah di India. Catatan-catatan ceritanya oleh para founding fathers
negara kita ‘dirapikan’ agar tidak melenceng dari ajaran Islam, Karena terbukti
banyak cerita dalam wayang yang bertentangan dengan hokum islam seperti
budaya poliandri dan sebagainya.
Kita juga setidaknya mengenal tambahan tokoh wayang yang paling
popular di Indonesia, yakni punakawan. Dalam versi aslinya, ponakawan tidak
ada sama sekali. Munculnya Semar, Petruk, Bagong dan Nala Gareng adalah
kekreatifan dari para founding fathers Islam di nusantara. Pemberian nama
punakawan diambil dari istilah samir (Semar) fatru’ (Petruk) mabagha
(Bagong) ‘ala ghair (Nala Gareng). Istilah ini berarti menyingsingkan lengan
baju (cancut taliwondho), meninggalkan kejelekan menuju kebenaran.
Intinya, Islam di Indonesia merupakan Islam yang mengambil Al
Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas sebagai rujukan utama hukum Islam. Yang
kemudian ini semua diakulturasikan dengan budaya local yang ada. Dari sinilah
memunculkan cirri kas khusus yang memberikan warna berbeda dengan Islam
daerah lainnya seperti India, Mesir, Arab Saudi, Iran, Irak dan sebagainya.

Ε . Konstelasi Geo Politik dan Geografi Sosio Relgius Indonesia

Menurut Alvin Toffler40, masa depan seperti yang direfleksikan oleh

perkembangan Amerika Serikat pada umumnya Barat, memasuki apa yang ia

sebutkan revolusi Gelombang ketiga (Third Wave). Gelombang pertama

dicerminkan oleh peradaban pertanian, ketika manusia mulai hidup menetap.

Keluarga bersar (Extended) yang merupakan cirri gelombang pertama ini, hidup

bertani sekedar untuk memenuhi kepertluan sehari-hari. Dijumpai pembagian

pekerjaan yang sederhana, tetapi juga kasta dan kelas masyarakat muncul.

Kedudukan seseorang bergantung pada status keluarga. Kekuasaan otoriter. Ada

juga perdagangan, tatapi terbatas, dan pelautpun berlayar tetapi tidak jauh-jauh.

Gelombang kedua dimulai dengan revolusi industri abad ke-17. revolusi


ini membawa perubahan dalam hidup manusia, dan dengan industri manufaktur,
inovasi mesin uap, listrik, mesin tik, alat pendingin dan sebagainya, hidup
dipermudah. Lambat laun apa yang kini kita pergunakan dihasilkan: Surat Kabar,
bioskop, kereta api bawah tanah, pesawat terbang. Kota-kota industri
bermunculan. Akhirnya,ilmu dan teknologi mengaitkan segala sesuatu di dunia
ini, melampaui jarak dan waktu: dunia menyatu.
Pada masa gelombang keduai ini agama pada umumnya menjadi
terbatas, ia merupakan masalah individu, perseorangan. Dalam pada itu
agnosticism dan atheism juga bertambah menyebar.
Gelombang ketiga ditandai oleh dasar enerji baru yang berasal dari
sumber-sumber yang dapat diolah baru. Revolusi baru ini akan juga ditandai oleh
industri-industri baru, perlatan elektronik dan komputer yang lebih canggih,
industri pesawat lintas udara, industri lautan dalam, dan sebagainya.
Peradaban gelombang ketiga ini akan memperkenalkan flecitime: jam
kerja yang tidak ditetapkan untuk para pekerja, atau para pekerja bisa memilih
jam kerjanya sendiri. Memang ada bagian jam kerja yang pasti, tetapi inipun
bergantung pada para pekerja itu pula. Akan dijumpai juga percampuaran fungsi
antara konsumen dan produsen: prosumer sehingga konsumen juga akan
memproduksi berbagai buatannya sendiri. Ini berarti konsumen juga menjadi
produsen. Berkembang pula globalisasi produksi sebagai hasil ekspansi
40 Abaz Zahrotien, Kiri Islam vis a vis Peradaban Barat,
http://abazzahra.blogspot.com , browsing at. 17.00 pm, may, 10th. 2007.

85
korporasi-korporasi transnasional masa kini.
Intinya, pendapat Toffler tentang rumah tangga sebagai central
kehidupan, di dalam rumah, proses produksi, distribusi hingga konsumsi dapat
dengan mudah dijumpai setiap saat. Rumah menjadi sumber kehidupan. Bukan
sisi ini yang terpenting, tetapi yang lebih penting Toffler memandang bahwa
masa depan dunia akan berkembang sejalan dengan pandangan dan visi Barat.
Pemikiran tentang tiga gelombang peradaban, sama sekali tidak menyentuh
perdaban lain seperti China yang telah berusia ribuan tahun, India yang pernah
berjaya di zaman prasejarah, dan yang paling ‘kurang ajar’ ia melupakan
peradaban Islam yang telah begitu berjasa dalam perkembangan Barat hingga
hari ini.
Pada tahun 1944, apa yang kita kenal sekarang sebagai MNC (multi
National Coorporation) dan TNC (Trans-National Coorporation) berdiri sebagai
dampak munculnya perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju dan
secara perlahan masuk ke negara-negara berkembang. Munculnya perusahaan
trans nasional semacam ini merupakan dampak utama berdirinya PBB, World
Bank, IBRD, IMF dan GATT pada pertemuan Bretton Woods yang bertujuan
untuk mengantisipasi Negara-negara jajahan memproklamirkan kemerdekaannya.
Dalam pertemuan Bretton Woods, PBB, World Bank, IBRD, IMF dan GATT
baru mencapai tahap kesepakatan pendiriannya. Sedangkan pada pendirian
tepatnya masih dalam perencanaan.
Barulah satu tahun setelah itu, tepatnya tahun 1945, PBB resmi berdiri
dan ditandatanganinya deklarasi Hak Asasi Manusia. Sebagai dampak atas
kondisi konflik internasional yang memanas, banyak kemudian Negara-negara
jajahan yang memanfaatkan situasi ini untuk melepaskan diri dari belenggu
penjajahan dan memproklamasikan kemerdekaannya, termasuk Indonesia.
Bulan Oktober 1945, Sekutu kembali ke Indonesia setelah Soekarno dan
Muhammad Hatta resmi memimpin Indonesia, dan Indonesia telah berusia tiga
bulan dalam kedaulatannya. Kedatangan sekutu ini bertujuan untuk merebut
kembali Indonesia dan mencabut kedaulatan atas Indonesia.
TNI sebagai benteng pertahanan nasional menghadapi situasi semacam
ini tidak mengambil tindakan tegas, sehingga dengan semangat perjuangan yang
tinggi akhirnya para ulama dari Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan Resolusi
Jihad yang berisi seruang perang suci untuk menghadapi serangan-serangan
sekutu. Seruan ini menyebabkan terjadi semangat yang menggelora pada setiap
perang yang tidak mengenal tempat dan waktu. Di Surabaya, pertempuran terjadi
sengit antara barisan rakyat yang dibantu kekuatan militer TNI dengan sekutu
yang mengorbankan banyak nyawa, kejadian ini selanjutnya dikenal dengan
peristiwa 10 November 1945 dan dijadikan sebagai hari pahlawan.
Amerika Serikat merasa gerah menerima perlakuan berupa
kemerdekaan di tanah jajahan Barat. Akses Sumber Daya Alam dari Negara-
negara jajahan dengan kedaulatan yang dimiliki Negara berkembang akhirnya
lambat laun akan terputus. Eksploitasi hasil alam dari Negara jajahan tidak akan
dapat diperoleh kembali.
Menghadapi situasi semacam ini, pada tahun 1948 Presiden Amerika
Serikat mengadakan pertemuan dengan para pakar di MIT untuk membahas
bentuk imperialisme yang baru terhadap Negara-negara yang baru merdeka.
Dimana dengan pertemuan itu diharapkan oleh Presiden Amerika Serikat Negara-
negara yang baru merdeka meskipun telah memiliki kedaulatan sepenuhnya
masih berada di bawah naungan Amerika.
Pada pertemuan itu, memunculkan kesepakatan untuk
memproklamirkan dan menerapkan ideology developmentalism
(pembangunanisme) pada Negara-negara yang baru merdeka itu. System
perekonomian yang digunakan dalam model ini adalah system perekonomian
yang digagas oleh W.W. Rostow dan Sosiologi Strukturalisme Fungsional dari
Talcott Parson.
Indonesia dibawah Soekarno saat itu sama sekali tidak tertarik dengan
ideology developmentalisme yang ditelorkan oleh Presiden Amerika Serikat dan
Pakar dari MIT. Indonesia lebih memilih untuk membangun perekonomiannya
sendiri dibawah kekuatan sendiri, karena Soekarno meyakini bahwa Indonesia
akan mampu menjadi macan Asia dengan kekayaan alam yang dimilikinya.
Soekrano menerapkan system ekonomi benteng yang mencoba membentengi diri
dari pengaruh ideology developmentalisme kapitalis.
Namun apa yang diperjuangkan oleh Soekarno yang tidak bosan-
bosannya menyerukan untuk menjalankan system perekonomian dan system
berpolitik yang berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) kemudian runtuh pada
pertengahan decade 60an. PKI, yang tentunya disetting oleh Amerika Serikat,
berhasil menggulingkan Soekarno dan mengantarkan Soeharto menjadi Presiden
kedua Republik Indonesia. Sebagai konsekuensi atas Soeharto menjadi presiden,
maka Soeharto harus menerapkan system ekonomi developmentaisme yang telah
diperbaharui oleh W.W. Rostov dan Talcott Parson pada tahun 1960.
Soeharto menjadi presiden menandakan kemenangan kapitalisme di
Indonesia. Indonesia harus mengikuti apa yang di ‘wejangkan’ oleh Amerika
Serikat dengan menetapkan sosiologi ala Strukuralisme Fungsional Talcott
Parson dan system ekonomi pertumbuhan yang dikembangkan oleh W.W.
Rostov. Rekayasa sosial bertujuan untuk menyingkirkan kelompok-kelompok
tradisional dan menerapkan system sosial yang modern. Selama 32 tahun
dibawah pemerintahan Soeharto dan dibawah kuasa Amerika Indonesia
mengalami kemajuan pesat di bidang ekonomi mikro dan pembangunan. Namun
disisi lain, kebobrokkan Indonesia terlihat sangat jelas, apalagi setelah
terbongkarnya ‘dosa-dosa besar’ Soeharto pada akhir decade 90an.
Terlepas dari semua itu, Indonesia sebagai bagian dari percaturan
politik internasional menyisakan satu persoalan. Persoalan yang sesungguhnya
sangat krusial namun kita sendiri terkadang meremehkannya. Ini semua karena
kita tidak atau kurang kritis dalam memandang pengaruh konstelasi geopolitik
terhadap perkembangan Islam di Indonesia.
Titik persolan yang sebenarnya adalah berkembangnya budaya Barat,
berupa kapitalisme dengan segala kemasannya seperti Globalisasi, Free Trade,
Popular Culture dan sebagainya mengancam keberlangsungan Islam dalam
menatap masa depan baru bagi Islam itu sendiri. Penyerangan berupa serbuan
terhadap peradaban Islam melalui kemasan budaya popular semacam ini sudah
marak dilakukan oleh karena itu, semua ini butuh kewaspadaan kolektif.

87
Jika dibiarkan, maka kondisi Islam di Indonesia, khususnya di
Indonesia akan mengalami penurunan religiusitasnya secara drastic. Dan ini
sangat memperihatinkan dan menjadi tanggung jawab kita bersama untuk,
bagaimana kita mampu menyelesaikan persoalan semacam ini dalam bingkai
Islam Indonesia yang lebih komunikatif dan lebih efektif efesien dalam
menjawab tantangan budaya popular dengan produk-produk konsumtif yang
cenderung hedonistis.
Penyadaran kolektif ini seharusnya menjadi pijakan awal untuk dapat

menyatukan pandangan tentang budaya Barat yang menggigit Islam. Dari siniah

kemudian dapat ditentukan ke arah mana Islam membawa langkahnya untuk

menjadi antitesis terhadap perkembangan kapitalisme yang menghancurkan

dunia. Intinya, pasca penyadaran public dapat segera terjadi revolusi total

disegala bidang kehidupan.

Revolusi merupakan sebuah kekuatan yang dibangun oleh rakyat untuk rakyat
dan dari kekuatan rakyat. Seperti yang pernah di sampaikan oleh Che Guevara
dalam sebuah pidatonya :

“Revolusi sebagaimana yang kita alami sekarang ini, adalah sebuah

revolusi yang dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat, sebuah revolusi

yang tidak akan dapat dicapai kecuali dengan pengerahan seluruh

kekuatan massa, dan oleh massa. Ketika megambil langkah-langkah ini,

dengan penuh semangat kita harus memahami betul proses

revolusionernya, terutama sekali kita harus tahu berul mengapa kita

perlu mengambil langkah itu dan kita melakukannya dengan hati

senang. Yang terpenting adalah, dalam setiap momen pengorbanan, kita

sadar mengapa kita melakukan pengorbanan itu, karena jalan yang kita

bangunmenuju industrialisasi adalah jalan menuju kesejahteraan

bersama dalam kerangka ekonomi dan bukanlah jalan yang mudah


untuk ditempuh. Inilah jalan yang maha sulit …”41

Untuk menambah keyakinan kita dalam melakukan perubahan ini,

marilah kita pegang ayat ini untuk memacu semangat kita:

Dan Katakanlah: "Yang benar Telah datang dan yang batil Telah lenyap".

Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.42

Dan satu hal lagi, bahwa kepercayaan terhadap kemenangan kita telah digariskan
oleh Allah dalam Al Qur’an:

Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan itu telah

datang, Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan

berbondong-bondong, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan

mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha

Penerima taubat.43

41 Che Guevara, 2004, Che Guevara Speaks: Selected Speeches and Writtings, Penerj. Fuad &
Gafna, Diglossia Media, Surabaya
42 Surat Al Isra [17] ayat 81
43
Surat An Nasr [110] ayat 1-3

89
DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta

Abdullah, M. Amin, 2004, Study Agama, Normativitas atau Historisitas,


Pustaka Pelajar, Jogjakarta

Albana, Jamal, 2005, Al Jihad, Dar al-Fikr al Islam, penerj. Kamran A. Irsyadi,
Pilar Media, Jogjakarta

Enginer, Asghar Ali, 2004, Islam Masa Kini, Penerjemah, Tim FORSTUSIDA,
Pustaka Pelajar, Jogjakarta

_________________, 2007, Islam and Relevance to Our Age, Penerj. Hairus


Salim dkk, LKiS Jogjakarta

Giddens, Anthony, 2000, The Third Ways, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Guevara, Che, 2004, Che Guevara Speaks: Selected Speeches and Writtings,
Penerj. Fuad & Gafna, Diglossia Media, Surabaya

Hanafi, Hassan, 2007, Dirasat Islamiyah, Penerj. Miftah Faqih, LKiS, Jogjakarta

Huntington, Samuel P., 2001, The Clash of Civilization, and the Remaking
New Order, Mitra Pustaka, Jogjakarta

PC PMII Purworejo, Makalah ini disajikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD)
PMII Cabang Pureworejo 19-23 Desember 2006

Raharjo, M. Dawam, e.d, 1997, Reformasi Politik: Dinamika Politik Nasional


dalam Arus Politik Global, PT. Intermasa, Jakarta

Shimogaki, Kazuo, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought:
A Critical Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta

Supono, Eusta, 2007, Agama Solusi atau Ilusi, Kritik atas Kritik Agama Karl
Marx, Komunitas Studi Didaktika, Jogjakarta

Turner, Bryan S., 2005, Weber and Islam, penerjemah; Mudhofier Abdullah,
Suluh Press Jogjakarta

Wahid, Hasyim, dkk, 1999, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah


Kebangsaan Indonesia, LKiS, Jogjakarta

Zahrotien, Abaz, Kiri Islam vis a vis Peradaban Barat,


http://abazzahra.blogspot.com , browsing at. 17.00 pm, may, 10th. 2007.

91
Biodata Penulis

Nama : Abaz Zahrotien


TTL : Banjarnegara, 28 Juli 1985
Alamat : Jl. Pasar Manis, No. 07, Punggelan, Banjarnegara
Domisili : Base Camp PC. PMII Wonosobo, Kalibeber, Wonosobo
Telephone : +6281 227 057 954
E-Mail : abazzahra_pmii@yahoo.co.id
Website : http://www.friendster.com/abazzahra & abazzahra.blogspot.com
Pekerjaan : Mahasiswa
Hobby : Nongkrong di Perpusda, Begadang di Warnet dan bertani
Organisasi :
1. Direktur LPM SQ Unsiq.
Menteri Penelitian dan Pengembangan Badan Eksekutif Mahasiswa.
Koordinator Lembaga Pers dan Jurnalistik PC PMII Wonosobo.
Pamong Praja Teater Banyu
Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi Unsiq.
Sekjen PC PMII Wonosobo.
Ketua II PC PMII Wonosobo
Pengurus PPTQ Al Asy’ariyyah.
Pendidikan :
1. SDN Karangsari I, Punggelan Banjarnegara.
SLTP N I Pekuncen, Banyumas.
SMK N I Bawang, Banjarnegara (Drop Out).
SMK Takhassus Al Qur’an Wonosobo.
Fakultas Dakwah dan Komunikasi Unsiq.
Pengalaman Pers :
1. Majalah Multazam PPTQ Al Asy’ariyyah.
Bulletin Kyai Mojo, PC. PMII Wonosobo.
Majalah SQ Unsiq.
Artikel lepas di media massa.
Ikatan Penulis Muslim Wonosobo.

You might also like