You are on page 1of 15

Kebijakan Persaingan Pada Industri Jasa Penerbangan

Dilihat Dari Perspektif Perlindungan Konsumen

Pendahuluan

Pertanyaan yang paling mendasar bagi masyarakat luas adalah apakah dengan adanya
hukum yang mengatur mengenai larangan praktek curang dalam menjalankan usaha (anti
monopoli) berarti kesejahteraan konsumen akan dengan sendirinya meningkat. Secara teoritis
hukum persaingan usaha akan menguntungkan konsumen di satu pihak dan mengembangkan
iklim usaha yang lebih baik bagi pelaku usaha di pihak lainnya. Dalam perspektif konsumen
dengan adanya larangan monopoli maka konsumen memperoleh dua keuntungan yaitu
pertama kemudahan untuk memilih alternatif barang atau jasa yang ditawarkan dan kedua
adalah harga barang atau jasa akan cenderung lebih murah dengan kompetisi diantara pelaku
usaha.

Pada dasarnya dalam dunia bisnis, upaya untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya merupakan perilaku yang wajar, akan tetapi langkah-langkah yang diambil
untuk mencapai tujuan tersebut harus tetap dalam koridor yang diperbolehkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kondisi ini tentunya tidak hanya membatasi perilaku
sektor swasta saja akan juga berlaku untuk negara dalam hal negara bertindak sebagai pelaku
usaha seperti dalam kasus BUMN. Meskipun demikian tentunya ada sektor-sektor tertentu
yang oleh undang-undang memang diberikan monopoli kepada negara karena menyangkut
hajat hidup orang banyak.

Dalam era globalisasi dan transparansi seperti sekarang ini tentunya monopoli yang
dipegang oleh negara harus kembali dikaji, jangan sampai dengan alasan untuk kepentingan
umum suatu sektor dimonopoli oleh negara akan tetapi hasilnya justru hanya menguntungkan
orang-orang tertentu atau kelompok tertentu saja. Adanya undang-undang persaingan usaha
ini pada dasarnya merupakan salah satu syarat bagi suatu negara yang akan memberlakukan
ekonomi pasar. Oleh karenanya ekonomi pasar tanpa adanya aturan main yang jelas akan
menimbulkan kesewenang-wenangan, dimana pelaku usaha besar akan mematikan pelaku
usaha kecil yang merupakan saingannya. Pasar persaingan sempurna, merupakan struktur
pasar yang paling ideal dalam suatu negara yang menganut sistem mekanisme pasar. Dalam
pasar persaingan sempurna, produsen memiliki kemampuan yang sama antara satu dengan
yang lainnya, sehingga agar dia dapat tetap bertahan atau lebih unggul dari produsen
sejenisnya maka dia harus mempu menciptakan inovasi atau terobosan baru. Sebagai
akibatnya ekonomi pasar yang ditandai dengan adanya persaingan antar pelaku usaha akan
menciptakan efisiensi-efisiensi dalam memanfaatkan sumber daya yang ada. Seorang pelaku
usaha yang tidak dapat menjalankan usahanya secara efisien pasti pada akhirnya akan tergilas
oleh pesaingnya.

Undang-undang No. 15 Tahun 1992 tentang penerbangan merupakan salah satu


tonggak deregulasi bisnis penerbangan di Indonesia. Dengan adanya undang-undang ini,
maka jumlah perusahaan jasa penerbangan meningkat tajam. Sebelum adanya undang-undang
ini perusahaan jasa penerbangan di Indonesia hanya beberapa perusahaan, khususnya yang
tergabung dalam International Air Transport Association (IATA). Banyaknya pemain dalam
industri jasa penerbangan ini antara lain karena industri penerbangan memberikan
kemungkinan memperoleh keuntungan yang cukup tinggi. Sebagaimana diketahui dalam
jangka pendek, meskipun pada kondisi merugi, keuntungan dari penjualan ticket pesawat
masih mampu untuk membayar variable cost. Apalagi dalam kondisi perusahaan
memperoleh untung, kondisi harga tiket masih lebih tinggi dari average cost, keuntungan
yang diperoleh perusahaan jasa penerbangan akan berada di atas keuntungan normal. Kondisi
ini merupakan daya tarik bagi investor atau pelaku usaha untuk masuk dalam bisnis jasa
penerbangan. Dengan semakin banyaknya pemain dalam industri penerbangan ini,
menyebabkan tingkat persaingan antar operator transportasi udara menjadi semakin tinggi.
Sebagai akibatnya industri jasa penerbangan tersebut harus melakukan penyesuaian harga jual
ticketnya. Hal ini memaksa perusahaan jasa penerbangan untuk melakukan efisiensi setinggi
mungkin, agar perusahaan tersebut tidak mengalami kerugian terus menerus. Disamping itu
memaksa maskapai penerbangan untuk melakukan strategi bisnis yang berani dalam
menghadapi kompetisi tersebut.

Mengingat hukum persaingan usaha masih merupakan hal yang baru, maka banyak
pihak yang belum begitu menyadari peran, fungsi dan aturan main dari undang-undang ini.
KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sebagai lembaga independen yang mempunyai
kewenangan untuk menegakan hukum persaingan usaha seringkali menemui hambatan baik
dari kalangan swasta maupun dari kalangan pemerintah sendiri. Hal ini antara lain terlihat dari
masih adanya peraturan atau regulasi yang dikeluarkan oleh pejabat negara justru
bertentangan dengan prinsip persaingan usaha. Selain itu dengan telah diberlakukannya
undang-undang otonomi daerah membawa pengaruh terhadap struktur pasar yang ada pada
saat ini. Kewajiban pemerintah daerah untuk mencari sumber pendanaannya sendiri,
disamping juga adanya pemberian kewenangan yang relatif lebih besar membawa akibat
banyaknya kebijakan-kebijakan daerah yang membatasi ruang gerak pelaku usaha dari daerah
lain. Kebijakan-kebijakan yang lebih mengutamakan BUMD atau pengusaha lokal dengan
menutup kemungkinan pelaku usaha dari daerah lain untuk masuk ke dalam pasar,
kemungkinan melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.

Perang Tarif untuk Pengangkutan Udara

Dengan adanya persaingan antar pelaku usaha, maka konsumen memperoleh


keuntungan berupa penawaran harga yang lebih murah dan semakin banyaknya alternatif
pilihan barang atau jasa yang ditawarkan. Alternatif pilihan ini memberikan kesempatan
kepada konsumen untuk dapat memilih barang atau jasa sejenis yang mempunyai kualitas
terbaik dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan barang atau jasa sejenis
lainnya. Pelaku usaha baik itu produsen maupun distributor harus dapat melakukan efisiensi
dalam menekan biaya produksi atau distribusi, tentunya dengan tanpa mengurangi kualitas
dari produk yang ditawarkannya, sehingga pada akhirnya dia dapat menawarkan produk
dengan harga yang lebih rendah tanpa mengurangi kualitasnya.

Dalam melihat sejauhmana pengaruh competition policy terhadap perlindungan


konsumen di Indonesia, maka perlu dilihat faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap
tingkah laku konsumen (consumer behaviour). Pada dasarnya terdapat tiga faktor yang
berpengaruh yaitu (i) utility maximisation; (ii) steble preferences; dan (iii) optimal
information.1
1
The Consumer Guide to Competition; Apractical Handbook, Phil Evans, Consumers International, page
25

-2-
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa industri jasa penerbangan di
Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang demikian pesatnya. Kondisi ini secara
langsung sangat berpengaruh terhadap struktur pasar yang ada. Dari data yang ada pada
Direktorat Jenderal Penerbangan Udara Departemen Perhubungan Republik Indonesia,
tercatat bahwa pada tahun 1999 jumlah perusahaan penerbangan niaga tidak berjadwal
mencapai 55 buah perusahaan. Namun demikian untuk kategori perusahaan penerbangan
niaga yang berjadwal dari tahun 1996 terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun
2001, sehingga jumlahnya mencapai 19 buah perusahaan. Pada tahun 1998 jumlah perusahaan
penerbangan niaga berjadwal sempat mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya,
yaitu dari 6 perusahaan menjadi 5 perusahaan, hal tersebut dapat dilihat pada diagram 1.

Diagram 1
PERKEMBANGAN PERUSAHAAN PENERBANGAN
DALAM NEGERI2

60

50

40
Non Komersial
30
Niaga Tidak Berjadwal
20 Niaga Berjadwal
10

0
1996 1997 1998 1999 2000 2001

Pertumbuhan jumlah perusahaan penerbangan yang menyediakan jasa penerbangan


domestik dilihat dari perspektif konsumen, memberikan dampak yang positif. Masyarakat
memperoleh keuntungan dengan semakin banyaknya pilihan jasa penerbangan yang
menawarkan berbagai kemudahan, seperti pemberian servise yang semakin baik dan harga
ticket yang sangat bersaing. Pertanyaan yang paling mendasar selanjutnya adalah apakah
kondisi tersebut akan secara otomatis berpengaruh terhadap tingkah laku konsumen
(consumer behaviour). Banyak faktor yang berpengaruh terhadap konsumen untuk memilih
salah satu operator angkutan udara tertentu atau bahkan memilih salah satu jenis alat
pengangkutan yang ada. Apakah harga murah merupakan satu-satunya alasan konsumen
untuk memilih salah satu maskapai penerbangan tertentu. Bagaimana dengan pandangan
konsumen terhadap tingkat keamanan yang ditawarkan oleh suatu operator angkutan udara,
apakah menjadi bahan masukan dalam memilih suatu maskapai penerbangan. Bagaimana
dengan penawaran pelayanan yang diberikan oleh suatu operator angkutan udara, kemudahan
fasilitas check in, ketepatan jadwal waktu, dll, apakah menjadi alasan dalam pemilihan suatu
operator angkutan udara.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) pada tahun 2003 terhadap rute penerbangan Jakarta-Medan, Jakarta-
Surabaya, Jakarta-Yogyakarta dan Jakarta-Solo alasan yang paling sering dipakai oleh
responden untuk memilih salah satu operator angkutan udara adalah harga tiket yang murah.
Alasan tersebut sangat masuk akal karena naluri konsumen dalam mengkonsumsi suatu
2
http://www.dephub.go.id/DJU/angud/AIRLINE.htm

-3-
produk secara alamiah adalah berusaha untuk memaksimalkan keuntungan yang diperolehnya
dengan mengeluarkan biaya serendah mungkin, hal ini sesuai dengan prinsip utility
maximisation. Tabel 1 menunjukan beberapa alasan yang dipakai oleh responden dalam
memilih salah satu operator angkutan udara. Survey ini dilakukan terhadap 600 orang
responden penumpang pesawat udara di bandara Soekarno Hatta Jakarta, Medan, Yogyakarta,
Batam dan Pakanbaru.

Tabel 1
ALASAN PEMILIHAN MASKAPAI PENERBANGAN3

No. Alasan Jumlah %

1 harga murah 168 28.00


2 pelayanan baik 108 18.00
3 tepat waktu 42 7.00
4 keamanan/keselamatan 37 6.17
5 jadwal/ jaringan banyak 36 6.00
6 kenyamanan 34 5.67
7 dipesankan kantor 28 4.67
8 kebiasaan 19 3.17
9 kepercayaan/ 14 2.33
pengalaman
10 fasilitas 13 2.17
11 makanannya enak 4 0.67
12 Lainnya 116 19.33

Selanjutnya dari responden tersebut sebanyak 32,8% berpendapat bahwa persaingan


harga tiket pesawat terbang seharusnya dibiarkan karena konsumen dapat diuntungkan dari
adanya persaingan tersebut. Sebanyak 41,3% responden kurang setuju bahwa persaingan
harga tiket antar maskapai penerbangan akan merugikan maskapai penerbangan lainnya. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa persaingan antara operator angkutan udara
memberikan keuntungan kepada konsumen karena konsumen dapat memperoleh kemudahan
dalam memilih operator angkutan udara yang memberikan penawaran harga tiket terendah.
Meskipun demikian sebanyak 35,8% orang responden setuju apabila pemerintah tetap perlu
untuk membuat aturan yang ketat tentang harga tiket pesawat terbang.

Kemampuan masyarakat konsumen untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan


suatu jenis produk akan sangat berpengaruh pada waktu proses pengambilan keputusan untuk
menggunakan produk barang atau jasa yang bersangkutan. Kualitas maupun kuantitas suatu
informasi yang diterima oleh konsumen akan mempengaruhi persepsi konsumen terhadap
suatu produk tertentu, hal ini sesuai dengan prinsip optimal information. Kondisi ini tentunya
juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kemudahan masyarakat untuk mengakases informasi
yang benar mengenai produk tersebut. Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen
apakah iklan mengenai jasa penerbangan di Indonesia merupakan salah satu sumber informasi
penting bagi konsumen dalam memilih suatu maskapai penerbangan. Pertanyaan selanjutnya
adalah apakah iklan yang ditampilkan tersebut dapat mewakili kondisi sebenarnya dari tingkat
pelayanan yang diberikan oleh maskapai penerbangan tersebut. Informasi yang salah akan
dapat menyebabkan konsumen melakukan pilihan-pilihan yang irrasional atau tidak tepat.

3
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Kajian Implikasi Kebijakan Kompetisi pada Tarif
Transportasi Udara, Juli 2003

-4-
Namun demikian dalam hukum persaingan usaha terdapat isu yang dianggap sebagai
upaya untuk melakukan kecurangan dalam persaingan usaha yaitu adanya praktek jual rugi
(predatory price). Dalam hal ini produsen atau distributor menjual produk dengan harga yang
sangat murah jika dibandingkan dengan produk sejenis yang merupakan pesaingnya, dengan
maksud untuk memaksa pesaingnya untuk keluar dari pasar yang bersangkutan. Untuk
melihat apakah seorang pelaku usaha melakukan predatory price ini juga harus dilakukan
dengan sangat hati-hati. Secara umum predatory price terjadi dalam hal harga produk
dibawah harga normal dari produk sejenisnya. Selanjutnya apabila suatu produk ditawarkan
untuk jangka waktu tertentu dengan harga di bawah rata-rata total cost untuk meproduksi
produk tersebut bisa dikategorikan sebagai predatory price. Total cost disini adalah jumlah
dari biaya tetap (fixed cost) dengan variable cost ditambah lagi dengan biaya penjualan dan
biaya administrasi serta biaya lain-lain. Adanya penekanan pada jangka waktu tertentu untuk
penawaran suatu produk juga cukup penting untuk menentukan apakah ada indikasi praktek
predatory price, karena seringkali pelaku usaha melakukan penjualan dengan harga lebih
rendah dari harga tertentu untuk event atau periode tertentu misalnya diskon atau sale pada
masa liburan sekolah, hari raya, atau event khusus lainnya.

Dari sudut pandang hukum persaingan usaha adanya praktek predatory price dapat
dianggap sebagai salah satu praktek persaingan usaha yang curang. Dengan adanya
penawaran harga suatu produk di bawah harga rata-rata pasar untuk jangka waktu yang lama
akan menyebabkan produk sejenisnya tidak laku dan pada akhirnya dapat menyebabkan
produsen dari produk tersebut akan mati. Setelah pesaing keluar dari pasar tersebut, maka
pelaku usaha yang melakukan praktek predatory price ini akan menjadi satu-satunya pelaku
usaha dipasar tersebut sehingga dia dapat menentukan harga dengan sewenang-wenang. Akan
tetapi terhadap teori ini terdapat argumen yang menyatakan bahwa pada saat pelaku usaha
tersebut menaikan harga produk untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka
pada saat yang sama akan muncul pelaku-pelaku usaha lain yang menggantikan posisi pelaku
usaha sebelumnya yang telah mati, sehingga pada akhirnya tetap terdapat keseimbangan harga
pasar yang wajar.

Dari sudut pandang konsumen adanya harga jual yang lebih rendah tentunya akan
sangat menguntungkan. Konsumen tidak terlalu perduli dengan adanya perang tarif yang
dilakukan pelaku usaha. Apalagi dengan adanya kondisi perekonomian Indonesia yang masih
belum pulih, sehingga terjadi perubahan pada pola konsumtif yang melahirkan smart
consumer. Konsumen menjadi semakin peduli terhadap perubahan harga suatu produk dan
tidak lagi menjadi konsumen yang fanatik terhadap suatu produk tertentu.

Persaingan antar operator angkutan udara dapat terlihat dari persaingan antar
perusahaan pada rute penerbangan yang ada. Dari data yang ada pada Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara, dapat dilihat bahwa jumlah rute dan kota yang dilayani oleh angkutan
penerbangan udara domestik terus mengalami penurunan mulai dari tahun 1996 sampai
dengan tahun 2001. Pada tahun 1996 jumlah rute penerbangan mencapai 238 buah
selanjutnya terus mengalami penurunan, sampai dengan April 2001 tersisa tinggal 132 buah.
Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh adanya krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Kondisi perekonomian tersebut selain berpengaruh terhadap industri jasa
penerbangan juga berpengaruh terhadap kemampuan daya beli konsumen pemakai jasa
penerbangan. Sebagaimana bidang lainnya, adanya krisis tersebut memukul sektor industri
jasa penerbangan. Industri jasa penerbangan dituntut untuk melakukan efisiensi dimana salah
satunya adalah mengurangi jumlah rute yang dilayani. Perusahaan-perusahaan tersebut lebih
memfokuskan pada rute penerbangan yang menjanjikan keuntungan besar (golden route).

-5-
Apabila kita melihat diagram 1 yang menggambarkan kondisi jumlah perusahaan
penerbangan domestik yang beroperasi, terlihat bahwa sampai dengan tahun 1999 jumlah
maskapai penerbangan terus meningkat sementara itu jumlah rutenya semakin menurun. Hal
ini menunjukan bahwa tingkat persaingan pada rute-rute penerbangan tertentu akan semakin
tinggi, karena jumlah perusahaan penerbangan yang beroperasi semakin banyak pada rute-
rute tersebut.

Diagram 2
JUMLAH RUTE DAN KOTA YANG DILAYANI
OLEH ANGKUTAN UDARA DALAM NEGERI4

250

200

150
Jumlah Rute
100 Jumlah Kota

50

0
1996 1997 1998 1999 2000 2001

Catatan: posisi April 2001

Salah satu contoh yang cukup menarik untuk melihat sejauh mana kemungkinan
praktek curang persaingan usaha di antara para pelaku usaha adalah perang tarif penerbangan
domestik di Indonesia, khususnya pada rute Jakarta-Surabaya yang merupakan salah satu jalur
gemuk (golden route). Saat ini jalur penerbangan Jakarta-Surabaya dilayani oleh enam
perusahaan penerbangan, yaitu Garuda, Mandala, Bouraq, Star Air, Kartika, dan Indonesian
Airlines (IA). Adanya perang tarif tersebut terlihat antara Indonesian Airlines, sebagai
maskapai penerbangan baru, dan Garuda sebagai maskapai penerbangan yang sudah lama
beroperasi. IA sebagai maskapai penerbangan baru mulai mulai beroperasi pada akhir Maret
2002. Pada jalur Jakarta-Surabaya. IA menetapkan tarif sebesar Rp530 ribu. Garuda sebagai
maskapai penerbangan terbesar tidak mau kalah dan menurunkan tarifnya dari Rp600 ribu
menjadi Rp499 ribu. Merespon hal tersebut IA menurunkan harga tiketnya lagi dari Rp530
ribu menjadi Rp390 ribu, sementara itu maskapai penerbangan lain juga melakukan
penyesuaian harga tiketnya seperti Kartika dan Pelita langsung mematok tarif Rp336 ribu dan
Rp333 ribu. Menanggapi hal tersebut PT. Garuda Indonesia mengatakan, pihaknya akan
merevisi kembali harga tiket penerbangan rute Jakarta-Surabaya mulai 19 April 2002 dari
harga promosi yang sekarang, yaitu Rp499 ribu. Akan tetapi, revisi harga tersebut belum
diketahui, apakah kembali pada harga yang biasa (published rate) yaitu Rp650 ribu atau justru
lebih rendah dari harga Rp499 ribu (Koran Tempo, 10 April 2002). Adanya perang tarif pada
industri penerbangan ini antara lain juga disebabkan karena adanya kebijakan dari Menteri
Perhubungan pada 1 Februari 2002 melalui SK No. KM8/2002 tentang Mekanisme Penetapan
dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam
4
http://www.dephub.go.id/DJU/angud/jmlrute.htm

-6-
Negeri Kelas Ekonomi dan SK No. KM9/2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara
Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Adapun kedua surat keputusan tersebut
mendasarkan pada koridor batas atas dan bawah yang harus dipatuhi semua operator
penerbangan dalam penentuan tarif. Kebijakan inilah yang langsung menciptakan "perang
terbuka" dalam menetapkan tarif angkutan udara serendah mungkin. Sebelumnya adanya dua
surat keputusan tersebut pemberlakuan tarif penerbangan diatur oleh INACA (Indonesian
National Carriers Association), dimana besaran tarif INACA itu dipatok dalam kurs dolar
AS, yaitu 11 sen per seat per kilometer. Terhadap adanya tuduhan perang tarif ini, pihak
maskapai penerbangan Garuda menyatakan bahwa diskon tarif ini hanya dibatasi untuk 5-10
kursi saja dan dilakukan pada waktu penerbangan yang kosong dengan tujuan untuk mendapat
tambahan revenue saja. Hal itu sebenarnya merupakan diberlakukannya sub class dari kelas
ekonomi. Apabila dilihat dari biaya yang diperlukan untuk menerbangkan pesawat sekali
jalan Jakarta-Surabaya sekitar Rp40 juta. Sementara itu Apabila load factor dinaikkan
menjadi 70 persen, tiket bisa dijual dengan harga Rp339 ribu. Artinya, agar tidak rugi,
operator yang menjual tiket murah harus sungguh-sungguh berusaha meningkatkan load
factor-nya.

Peraturan Perundang-undangan

Dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1999 merupakan salah satu tonggak


penting dalam sistem perekonomian di Indonesia, yang menjadi salah satu instrumen untuk
memberlakukan sistem ekonomi pasar. Lebih dari 30 tahun dibawah rezim Orde Baru,
Indonesia telah melakukan pembangunan di segala bidang khususnya pembangunan ekonomi.
Hasil-hasil pembangunan tersebut dapat terlihat baik dari sudut pandang indikator makro
ekonomi seperti tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta secara
mikro dapat terlihat dari sektor bisnis mengalami kemajuan pesat seperti sektor properti dan
perbankan. Namun demikian kondisi kemajuan ini tidak diimbangi dengan perangkat
perundang-undangan yang mengatur persaingan di antara mereka, sehingga akibatnya banyak
pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya mengandalkan cara-cara yang tidak baik seperti
menggunakan pengaruh kekuatan politik atau birokrasi untuk memenangkan persaingan
usaha. Disamping itu tidak sedikit kalangan pejabat atau elit politik yang juga terjun ke dunia
bisnis sehingga seringkali dalam menjalankan kebijakan publiknya mendasarkan pada
keuntungan pribadi atau kelompoknya.

Dengan adanya hukum kompetisi di Indonesia tentunya diharapkan hal-hal tersebut


tidak terjadi lagi. Namun demikian efektifitas dari undang-undang ini dalam mencegah
adanya praktek-praktek bisnis yang curang juga masih perlu dikaji dan masih menjadi bahan
perdebatan. Sebagai contoh sebagian orang menganggap bahwa keberadaan hukum kompetisi
di Indonesia dalam konteks globalisasi perdagangan merupakan salah satu cara bagi
perusahaan-perusahaan yang berasal dari negara-negara maju untuk melakukan penetrasi
pasar ke negara-negara berkembang. Tentunya pendapat ini masih merupakan bahan yang
dapat diperdebatkan kebenarannya.

Belum lengkapnya peraturan pelaksana dari undang-undang anti monopoli juga


merupakan salah satu penyebab terhambatnya KPPU dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Misalnya sampai saat ini belum ada aturan main yang mengatur mengenai merger, akuisisi
dan joint venture, padahal hal tersebut sangat penting bagi KPPU dalam melihat posisi
dominan (pemusatan kekuatan ekonomi) dari suatu pelaku usaha disamping juga untuk
melihat sejauh mana adanya perjanjian yang mengandung unsur persaingan curang.

-7-
Mengenai praktek persaingan tarif angkutan pesawat udara antara beberapa maskapai
penerbangan, ketentuan dalam Undang-undang No. 5 tahun 1999 mengatur hal tersebut ke
dalam beberapa pasal yaitu pasal 20 yang melarang pelaku usaha melakukan jual rugi atau
menetapkan harga yang sangat rendah dan pasal 21 larangan melakukan kecurangan dalam
menentukan biaya produksi.5 Meskipun pasal 20 menyatakan larangan untuk menjual rugi,
namun dalam pelaksanaannya akan mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan kedua
peraturan tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan ketentuan dari beberapa hukum kompetisi
di negara lain yang menyatakan predatory price sebagai illegal per se. Sesuai dengan
ketentuan tersebut ada tiga unsur dari jual rugi yaitu:

1. dilarang melakukan jual rugi atau menerapkan harga yang sangat rendah
2. dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan pesaingnya
3. menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

Sebagaimana penjelasan di atas, untuk menentukan adanya praktek jual rugi sangat
terkait dengan perbandingan antara harga jual barang/jasa dengan biaya produksi barang/jasa
tersebut. Permasalahan yang timbul dalam prakteknya sulit untuk menentukan apakah harga
jual suatu produk sangat rendah ataukah masih dalam batas kewajaran. Harga yang sangat
rendah tersebut apakah merupakan cerminan dari efisiensi biaya termasuk didalamnya strategi
bisnis ataukah merupakan strategi mematikan pesaingnya. Termasuk dalam kategori strategi
bisnis yang sah adalah pemberian diskon atau potongan harga jual. Unsur lain yang perlu
diperhatikan juga adalah dalam penentuan biaya produksi apakah ada unsur subsidi silang dari
usaha lain atau jalur penerbangan lain. Garuda sebagai salah satu maskapai penerbangan milik
negara juga harus melayani jalur penerbangan lain yang secara komersial kurang
menguntungkan, sebagai salah satu bentuk pelayanan umum. Sebagai akibatnya pada rute
penerbangan yang menguntungkan (golden route) Garuda harus mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya untuk menutup biaya produksi secara keseluruhan. Namun demikian salah
satu cara yang sering dipakai untuk menilai apakah harga jual suatu produk sangat rendah
atau tidak adalah dengan melihat dan membandingkan dengan harga rata-rata yang
ditawarkan pada pasar yang sejenis. Disamping juga tetap harus memperhatikan unsur
besarnya biaya produksi yang telah dikeluarkan.

Untuk menentukan apakah penentuan suatu harga yang sangat rendah tersebut
merupakan tindakan untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya perlu dilihat dari
jangka waktunya. Perlu dilihat apakah rentang waktu penawaran penjualan ticket dengan
harga spesial tersebut merupakan bulan promosi yang merupakan salah satu strategi bisnis
ataukah penawaran tarif spesial tersebut benar-benar ditujukan untuk mematikan kompetitor
pada pasar yang sama. Semakin lama hal ini terjadi, semakin besar adanya indikasi bahwa
penjualan ticket pesawat dengan harga murah tersebut merupakan strategi untuk mematikan
kompetitornya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana kekuatan pasar (market share)
dari Garuda dibandingkan dengan pesaing usaha lain. Dalam melihat hal ini apakah akan
melihat pasar secara sempit yaitu hanya jalur penerbangan Jakarta-Surabaya ataukah semua
jalur penerbangan yang dilalui oleh Garuda. Dalam melihat apakah PT. Garuda Indonesia
mempunyai kedudukan monopoli atau memiliki posisi dominan dapat dilihat pada parameter
5
Article 20 “Entrepreneurs are prohibited from supplying goods and/or services by selling without making any
profits or by stting a very low price with the intention to eliminate or end their competitiors’ business in the relevant
market thus causing monopolistic practices and/or unfair business competition.”
Article 21 “Entrepreneurs are prohibited from cheating in setting the production cost and other expenses which is part of
the goods and/or services component, that can cause unfair business competition.”

-8-
yang dipenuhi yaitu ada tidaknya pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan, atau
mempunyai posisi yang tertinggi dalam kaitannya dengan kemampuan keuangan, kemampuan
akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan.6
Meskipun pelaku usaha memiliki posisi pasar yang kuat tidak dengan sendirinya melanggar
ketentuan ini karena harus ada pembuktian bahwa pemusatan kekuatan pasar tersebut
mengakibatkan dikuasainya produksi atau pemasaran sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.7 Untuk menentukan sejauh mana
kepentingan umum dirugikan, maka undang-undang ini tidak mengatur sehingga
penafsirannya diserahkan kepada otoritas yang berwenang yaitu KPPU. Dalam kaitannya
dengan hal ini, meskipun semua unsur terpenuhi maka tetap dibuka kemungkinan
pengecualian (de minimis) dimana ada 2 macam yang pertama karena adanya ketentuan
undang-undang dan yang kedua adalah pelaksanaan dari rule of reason. Sebagai contoh
adanya ketentuan undang-undang misalnya peraturan perundang-undangan menyatakan suatu
sektor usaha menjadi monopoli negara karena dimaksudkan dalam penyediaan pelayanan
umum. Sementara pelaksanaan rule of reason misalnya dalam hal pelanggaran oleh
perusahaan dengan omset kecil sehingga pelanggaran yang ada tidak mempunyai pengaruh
yang cukup signifikan. Oleh karenanya dalam melihat sejauh mana ada kerugian perlu dilihat
secara menyeluruh dengan memperhatikan kepentingan semua stakeholders yang ada
termasuk kepentingan konsumen. Dalam hal ini KPPU harus mampu menterjemahkan hal ini
baik melalui keputusan-keputusan individual terhadap suatu kasus maupun melalui regulasi-
regulasi yang akan dikeluarkan sebagai peraturan pelaksanaan dari undang-undang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Diagram 3 dan tabel 2 memberikan sedikit gambaran posisi dari maskapai


Penerbangan PT. Garuda Indonesia dibandingkan dengan maskapai penerbangan yang lain.
Sebagai pemain lama tentunya Garuda memiliki keunggulan-keunggulan tertentu jika
dibandingkan dengan maskapai lainnya. Sebagai contoh apabila dilihat dari jumlah armada
pesawat terbangnya, maka mulai tahun 1999 Garuda menduduki posisi paling atas (lihat
diagram 3).

Diagram 3
JUMLAH PESAWAT TERBANG
ANGKUTAN UDARA BERJADWAL
DALAM NEGERI8

6
Article 1.4. “Dominant position is a situation where an entrepreneur does not have any significant
competitiors in the relevant market with regard to the market share being controlled, or the entrepreneur is in
a high position among its competitors in the relevant market with regard to its financial capability, the ability
to have access to the suppliers or sales, and the ability to adapt to the suppley and demand of certain goods or
services.”
7
Article 1.3.”Monopolistic practices is the centralization of economic power by one or more entrpreneurs
causing the control of production and/or marketing of certain goods and/or services resulting in an unfair
business competition and can cause damage to the public interest.”
8
http://www.dephub.go.id/DATAEIS/Stat99/Udara/T313.htm

-9-
160
140
120 GARUDA
100 MERPATI
BOURAQ
80
MANDALA
60 SEMPATI AIR
40 DIRGANTARA
Lain-lain
20
0
1995 1996 1997 1998 1999

CATATAN: Sumber dari website Departemen Perhubungan dan telah diolah kembali

Tabel 2
PERBANDINGAN KEMAMPUAN PRODUKSI PT. GARUDA INDONESIA DENGAN
TOTAL PRODUKSI PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL
NASIONAL (PENERBANGAN DOMESTIK)
1996 – 20009
PRODUKSI

PRODUCTION Unit 1996 1997 1998 1999

1 2 3 4 5
GARUDA 1. KM-PESAWAT (000)
(AIRCRAFTS – KM)
38,603 23% 36,937 24% 33,883 34% 36,800 47%
NASIONAL
164,381 151,072 98,539 77,885

GARUDA 2. JAM TERBANG Number


(AIRCRAFTS –
HOURS) 63,752 18% 63,238 20% 55,354 28% 60,809 41%
NASIONAL
339,809 310,437 194,438 146,624

GARUDA 4. PENUMPANG Number


DIANGKUT(PASSEN
GERS CARRIED) 3,707,055 27% 3,369,369 26% 2,870,845 37% 337,490 5%
NASIONAL
13,494,810 12,813,548 7,585,853 6,365,481

9
http://www.dephub.go.id/DATAEIS/Stat99/Udara/T3312.htm dan
http://www.dephub.go.id/DJU/angud/PROD-dom.htm

- 10 -
GARUDA 5. T.DUDUK-KM (000)
TERSEDIA (SEATS-
KM AVAILABLE)
6,087,606 36% 5,703,964 35% 5,145,130 48% 5,380,585 61%
NASIONAL
16,530,702 15,877,305 10,543,121 8,770,884

GARUDA 6. FAKTOR (%)


MUATAN
(PASSENGERS LOAD
FACTOR)
57 92% 55 90% 53 89% 58 94%
NASIONAL
61.46 61.04 58.85 61.31

GARUDA 7. FAKTOR (%)


MUATAN BARANG
(WEIGHTS LOAD
FACTOR)
44 80% 43 78% 58 109% 45 83%
NASIONAL
54.55 54.74 52.97 53.82

CATATAN: Sumber dari website Departemen Perhubungan dan telah diolah kembali

Penegakan Hukum dan Monitoring

Dalam melihat sejauh mana pelaksanaan dari competition policy di Indonesia, maka
perlu dilihat institusi yang paling berwenang dalam penyelenggaraan kebijakan persaingan
tersebut, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

KPPU didirikan pada tanggal 7 Juni 2000 merupakan institusi independen yang
bertugas untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persingan Usaha tidak sehat. Sebagai suatu institusi yang masih relatif baru, KPPU harus
berusaha untuk menunjukan eksistensinya dengan dukungan sumber daya yang relatif masih
serba terbatas. Kendala intern yang dihadapi oleh KPPU adalah masih belum bisa mandirinya
lembaga ini secara finansial. Sampai dengan saat ini anggaran operasional dari KPPU masih
merupakan bagian dari anggaran Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang
merupakan lembaga eksekutif sehingga tentunya akan menimbulkan pertanyaan sejauh mana
KPPU dapat mempertahankan independensinya. Belum terpenuhinya sumber daya manusia
pendukung KPPU merupakan juga permasalahan yang dihadapi. Saat ini anggota KPPU
adalah sebelas orang dimana anggotanya terdiri dari satu orang ketua dan wakil ketua serta
sisanya anggota. Ketua dan wakil ketua dipilih secara bergilir antar anggota oleh anggota
KPPU. Pemilihan anggota KPPU dilakukan oleh DPR untuk jangka waktu 5 tahun.
Disamping itu KPPU juga didukung oleh sekretariat yang tugasnya adalah untuk membantu
pelaksanaan tugas dari anggota KPPU. Namun demikian keterbatasan jumlah SDM ini akan
sangat berpengaruh terhadap kinerja dari lembaga ini. Sebagai contoh dalam hal KPPU
melihat adanya pelanggaran undang-undang kompetisi maka lembaga ini harus segera
melakukan investigasi lapangan, permasalahan tentunya akan timbul apabila banyaknya
pelanggaran yang terjadi sementara di sisi lain jumlah tenaga yang memeriksa sangat terbatas.

- 11 -
Secara ekstern tantangan KPPU untuk melakukan pengawasan di bidang hukum
persaingan juga tidak sedikit menempatkan pada posisi berhadapan dengan pemerintah.
Kondisi ini antara lain baik disebabkan oleh karena masih belum semua pejabat maupun
kalangan birokrat mengetahui mengenai keberadaan hukum kompetisi ini ataupun juga karena
adanya alasan lain seperti untuk menarik kalangan investor. Dalam kasus penjualan saham
dari PT. Indomobil Sukses Internasional Tbk yang dilakukan oleh PT. Trimegah Securities
Tbk. Yang diduga adanya dugaan persekongkolan tender, disamping KPPU harus
menghadapi gugatan pada Pengadilan tapi juga KPPU harus menghadapi tentangan keras dari
pejabat pemerintah maupun institusi lain seperti BPPN karena dianggap proses pemeriksaan
oleh KPPU dapat menimbulkan keengganan investor dalam menanamkan modalnya di
Indonesia.

Meskipun KPPU mempunyai kekuasaan yudikatif, dimana dia berhak untuk


memutuskan ada tidaknya pelanggaran UU anti monopoli terhadap pelaku usaha, namun
peran dari lembaga peradilan secara keseluruhan ikut menentukan. Kepolisian sebagai
institusi penyidik sangat berperan besar dalam membantu anggota KPPU yang akan
melakukan investigasi ada tidaknya pelanggaran. Kemampuan untuk melakukan investigasi
sangat penting dalam rangka law enforcement dari undang-undang ini. Demikian juga dengan
kondisi lembaga pengadilan di Indonesia, dimana dalam kondisi tertentu dimungkinkan bagi
pengadilan untuk mengadili perkara persaingan usaha, sebagaimana contoh kasus di atas.
Salah satu isu yang sangat penting dalam rangka penegakan hukum di Indonesia adalah masih
rendahnya kualitas dan integriatas aparat penegak hukum baik itu polisi, hakim, jaksa dan
pengacara. Masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap system hukum di
Indonesia merupakan salah satu indicator belum berfungsinya lembaga-lembaga hukum yang
ada, misalnya masih banyaknya isu tentang korupsi di lembaga peradilan dan adanya mafia
peradilan.

Kebijakan Perlindungan Konsumen di Indonesia

Secara teori dengan berjalannya prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat pada
suatu pasar akan membawa dampak yang positif kepada baik bagi produsen/ pelaku usaha
maupun konsumen, pada pasar yang bersangkutan. Secara langsung adanya persaingan yang
sehat antar pelaku usaha akan memaksa pelaku usaha untuk dapat menjual produk barang atau
jasanya dengan harga yang serendah mungkin dengan tetap mempertahankan mutu atau
bahkan meningkatkan mutu dari produk barang dan jasanya. Hal ini tentunya akan sangat
menguntungkan bagi konsumen disamping itu konsumen juga akan memperoleh keuntungan
berupa kemampuan untuk memilih barang atau jasa yang dipasarkan, karena banyaknya
pelaku usaha yang menawarkan produknya. Secara tidak langsung dalam kondisi pasar
persaingan murni, pelaku usaha agar tetap dapat bertahan harus mampu meningkatkan
efisiensi dan produktivitasnya agar mampu bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Pelaku
usaha dituntut untuk dapat menciptakan inovasi-inovasi baru agar produk barang atau jasanya
mempunyai unsur pembeda atau nilai lebih dengan produk sejenisnya, sehingga dipilih oleh
konsumen.

Sebagaimana yang biasanya terjadi pada negara-negara lain, Consumer policy


merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Competition Policy. Di Indonesia lahirnya
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen Nasional, UU No. 8 Tahun 1999,
bersamaan dengan ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1999 tentang anti Monopoli dan
Persaingan Usaha yang Tidak Sehat. Kedua hal tersebut pada dasarnya merupakan dua mata

- 12 -
uang yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Adanya kombinasi yang kuat antara pelaksanaan
consumer policy dengan competition policy akan menciptakan pertumbuhan perusahaan
sehingga lebih efisien dan kompetitif.

Meskipun the United Nation telah membuat guidelines tentang Perlindungan


Konsumen, namun secara Nasional Indonesia telah menentukan aturan tentang hak-hak
konsumen melalui undang-undang tentang perlindungan konsumen. Salah satu indikator dari
telah dicapainya kesejahteraan konsumen adalah dengan diakui dan dilindunginya hak-hak
konsumen, sebagaimana diatur dalam pasal 4 UU No.8 Tahun 1999. Adapun hak-hak tersebut
adalah:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta janinan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang da/atau jasa yang
digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengeta
perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang dterima tidak sesai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.

Disamping hak-hak tersebut di atas pada dasarnya dari sudut pandang konsumen ada
tiga hal yang perlu mendapatkan perlindungan dari kebijakan perlindungan konsumen yaitu:
aspek kemudahan (accessability), kemampuan (affordability), dan ketersediaan (availability).

Adanya kemajuan teknologi yang pesat dengan didukung oleh strategi marketing yang
ekspansif, mendorong konsumen semakin memperoleh kemudahan (accessability) dalam
mengakses layanan jasa penerbangan. Adanya pelayanan melalui internet, telpon dan media
massa semakin memudahkan konsumen untuk memperoleh informasi mengenai jasa
penerbangan disamping juga kemudahan untuk melakukan transaksi melalui jalur tersebut,
tanpa harus ketemu langsung dengan pihak penyedia jasa penerbangan. Selain itu sistem
penjualan tiket secara konvensional seperti melalui travel biro juga memudahkan konsumen
untuk mendapatkan tiket pesawat udara, apalagi dengan banyaknya travel biro yang ada saat
ini. Bahkan melalui strategi bisnis yang ekspansif masing-masing travel biro dapat
menyediakan harga khusus melalui sistem pemberian potongan harga atau diskon khusus bagi
pembelian ticket pesawat udara. Adanya kemudahan untuk mendapatkan informasi termasuk
dalam bentuk iklan harus tetap mendapatkan perhatian dari hukum perlindungan konsumen.
Hukum perlindungan konsumen menjamin adanya informasi yang benar dan jujur kepada
konsumen, sehingga pada saat konsumen memutuskan untuk menggunakan suatu produk
barang atau jasa maka tidak ada perbedaan antara informasi yang dia peroleh dari iklan
dengan kondisi sebenarnya dari produk tersebut.

Salah satu indikator yang cukup penting dalam melihat aspek kemampuan
(affordability) adalah adanya harga yang dapat dijangkau oleh sebagian besar konsumen.
Adanya persaingan harga tiket antar maskapai penerbangan secara umum memberikan

- 13 -
keuntungan kepada konsumen karena dapat menikmati layanan jasa angkutan udara dengan
harga yang relatif lebih murah. Bahkan dengan murahnya penawaran ticket angkutan udara
tersebut berpengaruh terhadap jenis angkutan lainnya seperti kereta api. Adanya
kecenderungan berpindahnya konsumen pengguna jasa kereta api berpindah menggunakan
jasa angkutan udara. Hal ini dapat dimengerti mengingat dengan selisih harga yang tidak
terlalu banyak akan tetapi dengan waktu tempuh yang lebih cepat, jasa angkutan udara lebih
menarik konsumen. Namun demikian perlu diperhatikan oleh semua pihak bahwa harga ticket
yang murah bukan merupakan satu-satunya variabel yang diperhatikan. Faktor keamanan dan
kenyamanan dalam angkutan udara merupakan faktor yang cukup penting mengingat tingkat
resiko keamanan angkutan udara cukup tinggi. Jangan sampai terjadi untuk menekan biaya
produksi agar dapat menjual tiket dengan harga yang rendah, maka maskapai penerbangan
tidak lagi memperhatikan faktor keamanan penumpang, misalnya dengan mengurangi biaya
perawatan armadanya.

Dengan semakin banyaknya maskapai penerbangan nasional yang menyediakan


pelayanan angkutan udara domestik memberikan pengaruh yang baik bagi konsumen, karena
menambah banyak pilihan penawaran jasa angkutan udara. Namun demikian pemerintah
selaku regulator harus tetap memperhatikan bahwa ketersedian (availability) angkutan udara
ini tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Perlu dihindari adanya
pemusatan pada satu rute penerbangan tertentu karena merupakan ,jalur gemuk’, sementara
pada rute penerbangan lainnya tidak ada maskapai penerbangan yang beroperasi karena takut
tidak memperoleh keuntungan.

- 14 -
Daftar Pustaka

Phil Evans; The Consumer Guide to Competition: Apractical Handbook; Consumers


International

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI); Kajian Implikasi Kebijakan Kompetisi pada
Tarif Transportasi Udara; Juli 2003

Knud Hansen, Peter W. Heermann, Wolfgang Kartte, Hans-W. Micklitz, Wolfgang


Pfletschinger, franz Jurgen Sacker, Herbert Sauter; Undang-undang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; PT. Katalis; Jakarta 2002

www. dephub.go.id

- 15 -

You might also like