You are on page 1of 25

Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

MIGRASI DI INDONESIA: KONSEP, POLA DAN PERILAKU MIGRAN

A. PENDAHULUAN

Analisis demografi memberi sumbangan yang sangat besar, baik kualitatif


maupun kuantitatif pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan terjadi
karena adanya dinamika kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan
penduduk (migrasi) terhadap perubahan-perubahan dalam jumlah, komposisi dan
pertumbuhan penduduk. Perubahan-perubahan unsur demografi tersebut pada gilirannya
mempengaruhi perubahan dalam berbagai bidang pembangunan secara langsung
maupun tidak langsung. Selanjutnya perubahan-perubahan yang terjadi di berbagai
bidang pembangunan akan mempengaruhi dinamika kelahiran, kematian dan
perpindahan penduduk.
Khususnya untuk migrasi, Tjiptoherijanto (2000) menyatakan bahwa migrasi
penduduk merupakan kejadian yang mudah dijelaskan dan tampak nyata dalam
kehidupan sehari-hari, namun pada prakteknya sangat sulit untuk mengukur dan
menentukan ukuran bagi migrasi itu sendiri. Hal itu disebabkan karena hubungan antara
migrasi dan proses pembangunan yang terjadi dalam suatu negara/daerah saling
mengkait. Umumnya migrasi penduduk mengarah pada wilayah yang “subur”
pembangunan ekonominya, karena faktor ekonomi sangat kental mempengaruhi orang
untuk pindah. Hal ini dipertegas lagi oleh Tommy Firman (1994), bahwa migrasi
sebenarnya merupakan suatu reaksi atas kesempatan ekonomi pada suatu wilayah. Pola
migrasi di negara-negara yang telah berkembang biasanya sangat rumit (kompleks)
menggambarkan kesempatan ekonomi yang lebih seimbang dan saling ketergantungan
antar wilayah di dalamnya. Sebaliknya di negara-negara berkembang biasanya pola
migrasi menunjukkan suatu polarisasi, yaitu pemusatan arus migrasi ke daerah-daerah
tertentu saja, khususnya kota-kota besar. Migrasi ini juga merefleksikan keseimbangan
aliran sumber daya manusia dari suatu wilayah ke wilayah lainnya.
Tinjauan migrasi secara regional sangat penting dilakukan terutama terkait dengan
kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata, adanya faktor-faktor pendorong
dan penarik bagi penduduk untuk melakukan migrasi, kelancaran sarana transportasi
antar wilayah, dan pembangunan wilayah dalam kaitannya dengan desentralisasi
pembangunan. Di Indonesia dengan alasan pemerataan penyebaran penduduk dan
peningkatan pembangunan daerah serta peningkatan kualitas hidup penduduk maka

1
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

migrasi ini disusun dalam suatu kegiatan yang terprogram dan terencana yang
dinamakan transmigrasi.
Jabbar dan Rofiq Ahmad (1993) menguraikan tentang transmigrasi sejak dari
zaman kolonisasi sampai dengan transmigrasi yang berorientasi ekonomi. Pada zaman
penjajahan Belanda, daerah pengalihan penduduk dari Jawa ialah di Pulau Sumatera.
Tempat yang pertama kali menjadi daerah tujuan transmigrasi yaitu di sekitar Metro,
Lampung. Setelah mengalami perkembangan, saat ini terus diseimbangkan kepadatan
penduduk Indonesia di setiap pulau. Oleh karena itu disamping Pulau Sumatera, Pulau
lain seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua juga diprogramkan untuk menerima
transmigran dari Pulau Jawa. Diluar program transmigrasi, kepadatan penduduk yang
memusat di Pulau Jawa dikarenakan oleh migrasi penduduk yang tidak terkendali dan
menuju ke Pulau Jawa. Dapat dimaklumi mengapa Pulau Jawa sebagai pulau yang
menjadi daerah tujuan utama migran dari pulau-pulau yang lain karena pulau ini
merupakan tempat pusat perekonomian, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat
kegiatan-kegiatan sosial ekonomi lainnya, sehingga penduduk dari pulau-pulau diluar
Jawa ingin menetap (tinggal) di Pulau Jawa.
Mencermati berbagai kajian dan penelitian tentang migrasi, termasuk migrasi
internasional, salah satu kesan yang menonjol adalah kentalnya fokus pada event yang
teramati dan terukur. Maksudnya, kajian migrasi terlalu banyak mengaitkan variabel
yang teramati (observable), khususnya variabel-variabel sosial ekonomi, untuk
menjelaskan berbagai hal yang terkait dengan migrasi, yang memang diyakini memiliki
dimensi yang kompleks. Akhir-akhir ini ada kekhawatiran bahwa kecenderungan ini
akan menyebabkan pendangkalan sekaligus penciutan kajian migrasi meskipun
diupayakan untuk melebarkan konteksnya. Dalam kajian migrasi internasional,
misalnya, permasalahan sering hanya terfokus pada kaitan antara besarnya ketersediaan
tenaga kerja dan peluang kerja di luar negeri. Atau, besarnya daya dorong dan daya
tarik sebagai penyebab arus migrasi merupakan penjelas paling tepat dalam
menganalisis proses migrasi. Dengan kata lain, orang pergi migrasi ke luar negeri
terbatas sebagai respons terhadap stimulus yang ada.
Pandangan ini tidak keliru, tetapi dapat menjebaknya ke dalam cognitive drones.
Mengapa? Di sini manusia tidak dipandang sebagai makhluk yang memiliki latar
belakang sosial dan budaya dan tidak hidup dalam konteks waktu dan tempat tertentu.
Migran kurang diperhatikan sebagai individu dan anggota kelompok sosial. Akibatnya,

2
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

migran sering harus menanggung beban dan menjadi korban atas proses itu, meskipun
mereka juga menikmati hasilnya.
Gejala di atas juga diyakini menyebabkan terpisahnya penelitian migrasi dengan
perkembangan teori-teori sosial, padahal migrasi sebagai salah satu gejala sosial yang
sangat tua tidak mungkin terlepas dari perkembangan sosial, politik, dan ekonomi pada
umumnya (lihat Robinson & Carey, 2000).
Permasalahan ini bukan hanya permasalahan konseptual, tetapi juga permasalahan
pendekatan. Barangkali kajian-kajian yang ada terlalu banyak mengandalkan pada,
seperti yang dikemukakan Giddens (dalam Goss &Linquist, 1995), diskursif yaitu
segala sesuatu yang dikatakan, yaitu data-data yang dikumpulkan dari para migran
seperti pada penelitian survei. Sebaliknya, pendekatan praktikal, tepatnya disebut
Giddens sebagai kesadaran praktikal, yaitu sesuatu yang tidak dapat dikatakan atau
diartikulasikan secara verbal, tetapi menjadi bagian penting dari pemikiran orang yang
bersangkutan, kurang diperhatikan. Hal ini terkait dengan pendekatan dan metode yang
digunakan dalam penelitian migrasi. Sejauh ini perspektif yang digunakan untuk
mengkaji migrasi cenderung berangkat dari salah satu atau kedua perspektif besar yang
sudah mapan, yaitu strukturalis dan fungsionalis. Giddens mengusulkan alternatif lain
yang disebutnya sebagai perspektif strukturasionis. Dalam perspektif ini duality of
structure menjadi bagian penting, agen dan struktur berinteraksi timbal balik, yang
struktur itu direproduksi oleh agen dan agen dipengaruhi oleh norma dan harapan
masyarakat.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menjadi salah satu sumbangan pengisi celah-celah
yang masih dapat dimasuki dari sudut konsep. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk
menjawab semua tantangan yang muncul karena tidak mungkin melakukannya. Kajian
dalam tulisan ini akan menggunakan disiplin sosiologi dengan fokus pada migran
sebagai individu. Dipilih kajian sosiologis karena bagian ini menjadi salah satu
kekurangan yang terus-menerus dirasakan dalam kajian migrasi. Namun pendekatan
sosiologi ini tidak dimaksudkan sebagai jawaban atas kekurangan itu. Hal ini hanya
merupakan upaya untuk mencoba melihatnya dari sisi yang lain tentang migrasi.

B. MIGRASI: TINJAUAN TEORITIS


B.1. Definisi Migrasi
Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility
atau secara lebih khusus territorial mobility yang biasanya mengandung makna gerak

3
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

spasil, fisik dan geografis (Shryllock dan Siegel, 1973 dalam Rusli,1996: 136).
Kedalamnya termasuk baik dimensi gerak penduduk permanen maupun dimensi non-
permanen. Migrasi merupakan dimensi gerak penduduk permanen, sedangkan dimensi
gerak penduduk non-permanen terdiri dari sirkulasi dan komunikasi (Rusli,1996: 136).
Defenisi lain, migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap
dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas
administrasi/batas bagian dalam suatu negara (Munir, 2000: 116). Dengan kata lain,
migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara)
ke daerah (negara) lain.
Migrasi sukar diukur karena migrasi dapat didefenisikan dengan berbagai cara dan
merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali sepanjang hidupnya.
Hampir semua definisi menggunakan kriteria waktu dan ruang, sehingga perpindahan
yang termasuk dalam proses migrasi setidak-tidaknya dianggap semi permanen dan
melintasi batas-batas geografis tertentu. (Young,1984: 94).
Untuk Indonesia sendiri, analis migrasi hanya dapat menggunakan data hasil
sensus penduduk yang dilakukan 10 tahun sekali dan data sampel hasil Survei
Penduduk Antar Sensus (SUPAS), yang dilakukan di tengah-tengah antar dua sensus.
Oleh karena itu, analisis migrasi masih sangat kurang dilakukan orang, mengingat data
pendukung analisis ini sangat kurang sekali, kecuali jika program pendataan model
registrasi penduduk telah dilakukan oleh suatu negara dengan baik.
B.2. Jenis-Jenis Migrasi
Jenis migrasi adalah pengelompokan migrasi berdasarkan dua dimensi penting
dalam analisis migrasi, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial) dan dimensi waktu. Dalam
konteks ini, terdapat dua jenis migrasi yaitu migrasi internasional dan mograsi internal.
Migrasi internasional adalah perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain.
Migrasi internasional merupakan jenis migrasi yang memuat dimensi ruang. Migrasi
internal adalah perpindahan penduduk yang terjadi dalam satu negara, misalnya
antarpropinsi, antarkota/kabupaten, migrasi dari wilayah perdesaan ke wilayah
perkotaan atau satuan administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat
kabupaten/kota, seperti kecamatan dan kelurahan/desa. Migrasi internal merupakan
jenis migrasi yang memuat dimensi ruang.
Selain itu migrasi dapat dibedakan berdasarkan dimensi waktunya. Migran
menurut dimensi waktu adalah orang yang berpindah ke tempat lain dengan tujuan
untuk menetap dalam waktu enam bulan atau lebih. Migran sirkuler (migrasi musiman)

4
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

adalah orang yang berpindah tempat tetapi tidak bermaksud menetap di tempat tujuan.
Migran sikuler biasanya adalah orang yang masih mempunyai keluarga atau ikatan
dengan tempat asalnya seperti tukang becak, kuli bangunan, dan pengusaha warung
tegal, yang sehari-harinya mencari nafkah di kota dan pulang ke kampungnya setiap
bulan atau beberapa bulan sekali. Migran ulang-alik (commuter) adalah orang yang
pergi meninggalkan tempat tinggalnya secara teratur, (misal setiap hari atau setiap
minggu), pergi ke tempat lain untuk bekerja, berdagang, sekolah, atau untuk kegiatan-
kegiatan lainnya, dan pulang ke tempat asalnya secara teratur pula (missal pada sore
atau malam hari atau pada akhir minggu). Migran ulang-alik biasanya menyebabkan
jumlah penduduk di tempat tujuan lebih banyak pada waktu tertentu, misalnya pada
siang hari.
Sementara itu menurut versi BPS, ada tiga kriteria migran: seumur hidup, risen,
dan total (dikutip dari http://demografi.bps.go.id/versi1). Migran seumur hidup (life time
migrant) adalah orang yang tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data berbeda
dengan tempa tinggalnya pada waktu lahir. Migran risen (recent migrant) adalah orang
tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data berbeda dengan tempat tinggalnya pada
waktu lima tahun sebelumnya. Migran total (total migrant) adalah orang yang pernah
bertempat tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal pada waktu
pengunpulan data.
Kriteria migrasi yang digunakan dalam makalah ini adala migrasi risen (recent
migration), karena lebih mencerminkan dinamika spasial penduduk antardaerah
daripada migrasi seumur hidup (life time migration) yang relatif statis. Sedangkan
migrasi total tidak dibahas karena definisinya tidak memasukkan batasan waktu antara
tempat tinggal sekarang (waktu pencacahan) dan tempat tinggal terakhir sebelum
tempat tinggal sekarang. Akan tetapi migrasi total biasa dipakai untuk menghitung
migrasi kembali (return migration).
Selain dari jenis-jenis migrasi tersebut di atas, terdapat beberapa istilah lain untuk
jenis migrasi, yaitu:
1. Migrasi masuk (In Migration): Masuknya penduduk ke suatu daerah tempat tujuan
(area of destination)
2. Migrasi Keluar (Out Migration): Perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah
asal (area of origin)
3. Migrasi Neto (Net Migration): Merupakan selisih antara jumlah migrasi masuk dan
migrasi keluar Apabila migrasi yang masuk lebih besar dari pada migrasi keluar

5
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

maka disebut migrasi neto positif sedangkan jika migrasi keluar lebih besar dari
pada migrasi masuk disebut migrasi neto negatif.
4. Migrasi Semasa/Seumur Hidup (Life Time Migration): Migrasi semasa hidup
adalah mereka yang pada waktu pencacahan sensus bertempat tinggal di daerah
yang berbeda dengan daerah tempat kelahirannya tanpa melihat kapan pindahnya.
5. Urbanisasi (Urbanization): Bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di
daerah kota yang disebabkan oleh proses perpindahan penduduk ke kota dan/atau
akibat dari perluasan daerah kota dan pertumbuhan alami penduduk kota. Definisi
urban berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya tetapi biasanya
pengertiannya berhubungan dengan kota-kota atau daerah-daerah pemukiman lain
yang padat. Klasifikasi yang dipergunakan untuk menentukan daerah kota biasanya
dipengaruhi oleh indikator mengenai penduduk, indikator mengenai kegiatan
ekonomi, indikator jumlah fasilitas urban atau status administrasi suatu pemusatan
penduduk.
6. Transmigrasi (Transmigration): Transmigrasi adalah salah satu bagian dari migrasi.
Istilah ini memiliki arti yang sama dengan 'resettlement' atau 'settlement'.
Transmigrasi adalah pemindahan dan/kepindahan penduduk dari suatu daerah
untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia
guna kepentingan pembangunan negara atau karena alasan-alasan yang dipandang
perlu oleh pemerintah berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang.
Transmigrasi diatur dengan Undang-Undang No.3 Tahun 1972. Transmigrasi yang
diselenggarakan dan diatur pemerintah disebut Transmigrasi Umum, sedangkan
transmigrasi yang biaya perjalanannya dibiayai sendiri tetapi ditampung dan diatur
oleh pemerintah disebut Transmigrasi Spontan atau Transmigrasi Swakarsa.
B.3 Teori-Teori Seputar Migrasi
Teori migrasi sebenarnya telah berkembang dan berbagai ahli telah banyak
membahas tentang teori migrasi tersebut dan sekaligus melakukan penelitian tentang
migrasi. Ravenstein (1885) memulai uraian tentang migrasi. Penedekatan Ravenstein ini
dirasakan terlalu general sehingga sulit untuk memilih faktor-faktor determinan
keputusan untuk melakukan migrasi.
Lee (1966) mendekati migrasi dengan formula yang lebih terarah. Lee
menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk bermigrasi dapat
dibedakan atas kelompok sebagai berikut :
a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat asal migran (origin).

6
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat tujuan migran (destination).


c. Faktor-faktor penghalang atau pengganggu (intervening factors).
d. Faktor-faktor yang berhubungan dengan individu migran.
Faktor-faktor yang ada di tempat asal migran maupun di tempat tujuan migran
dapat terbentuk faktor positif maupun faktor negatif. Faktor-faktor di tempat asal
migran misalnya dapat berbentuk faktor yang mendorong untuk keluar atau menahan
untuk tetap dan tidak berpindah. Di daerah tempat tujuan migran fakor tersebut dapat
berbentuk penarik sehingga orang mau datang kesana atau menolak yang menyebabkan
orang tidak tertarik untuk datang. Tanah yang tidak subur, penghasilan yang rendah di
daerah tempat asal migran merupakan pendorong untuk pindah. Namun rasa
kekeluargaan yang erat, lingkungan sosial yang kompak merupakan faktor yang
menahan agar tidak pindah. Upah yang tinggi, kesempatan kerja yang menarik di daerah
tempat tujuan migran merupakan faktor penarik untuk datang kesana namun
ketidakpastian, resiko yang mungkin dihadapi, pemilikan lahan yang tidak pasti dan
sebagainya merupakan faktor penghambat untuk pindah ke tempat tujuan migran
tersebut.
Jarak yang jauh, informasi yang tidak jelas, transportasi yang tidak lancar,
birokrasi yang tidak baik merupakan contoh intervening faktor yang menghambat. Di
pihak lain adanya informasi tentang kemudahan, seperti kemudahan angkutan dan
sebagainya merupakan intervening faktor yang mendorong migrasi.
Pendekatan Lee tersebut sudah lebih terarah dibanding pendekatan dari
Revenstein. Namun berbagai ahli terus mencoba menjabarkan lebih jauh untuk
menemukan variable kebijaksanaan yang dapat digunakan untuk mempengaruhi
keputusan bermigrasi dari penduduk.
Lewis (1954) dan Fei dan Ranis (1971) menganalisa migrasi dalam kontek
pembangunan. Mereka membagi sektor perekonomian atas sektor tradisional dan sektor
modern, sektor pertanian dan sektor industri. Sedangkan migrasi terjadi dari sektor
tradisional ke sektor modern, dari sektor pertanian ke sektor industri. Tetapi beberapa
kelemahan menyebabkan pendekatan Lewis, Fei dan Ranis ini tidak selalu dapat
diterapkan.
Sjaastad (1962) dan Bodenhofer (1967) mendekati migrasi lewat teori human
investment. Mereka menyatakan bahwa migrasi adalah suatu investasi sumberdaya
manusia yang menyangkut keuntungan dan biaya-biaya. Biaya-biaya bermigrasi
tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) Risiko, (2) Pendapatan yang hilang

7
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

(earning forgone), (3) Ketidaknyamanan karena meninggalkan kampung halaman


(disutility of moving), (4) Ketidaknyamanan dalam perjalanan, (5) Ketidaknyamanan di
lingkungan baru, dan (6) Psychic costs (biaya psikhis) karena berbagai
ketidaknyamanan tersebut.
Sedangkan benefit yang diperoleh adalah pendapatan yang lebih baik yang
diperoleh di daerah baru nantinya. Todaro (1976) menyatakan bahwa pendapatan
tersebut dalam bentuk expected income (pendapatan yang diharapkan).

C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MIGRASI

Sementara itu Lee (1966) mengajukan empat faktor yang menyebabkan orang
mengambil keputusan untuk melakukan migrasi yaitu: (1) Faktor-faktor yang terdapat
di daerah asal, (2) Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan, (3) Rintangan-rintangan
yang menghambat, dan (4) Faktor-faktor pribadi.
Di setiap tempat asal ataupun tujuan, ada sejumlah faktor yang menahan orang
untuk tetap tinggal di situ, dan menarik orang luar luar untuk pindah ke tempat tersebut;
ada sejumlah faktor negatif yang mendorong orang untuk pindah dari tempat tersebut;
dan sejumlah faktor netral yang tidak menjadi masalah dalarn keputusan untuk migrasi.
Selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan-keadaan tertentu tidak seberapa
beratnya, tetapi dalam keadaan lain dapat diatasi. Rintangan-rintangan itu antar lain
adalah mengenai jarak, walaupun rintangan "jarak" ini meskipun selalu ada, tidak selalu
menjadi faktor penghalang. Rintangn-rintangan tersebut mempunyai pengaruh yang
berbeda-beda pada orang-orang yang mau pindah. Ada orang yang memandang
rintangan-rintangan tersebut sebagai hal sepele, tetapi ada juga yang memandang
sebagai hal yang berat yang menghalangi orang untuk pindah.
Sedangkan faktor dalam pribadi mempunyai peranan penting karena faktor-faktor
nyata yang terdapat di tempat asal atau tempat tujuan belum merupakan faktor utama,
karena pada akhirnya kembali pada tanggapan seseorang tentang faktor tersebut,
kepekaan pribadi dan kecerdasannnya.
Sahota (1968) dalam penelitiannya menemukan faktor penghambat dalam
keputusan bermigrasi adalah pendapatan yang hilang di daerah asal dan biaya
akomodasi (penginapan) di daerah baru. Makanya orang lebih mudah pergi ke suatu
tempat jika disana ada kerabat atau keluarga yang dapat menerima mereka untuk

8
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

sementara sampai memperoleh pekerjaan, karena keluarga paling tidak dapat


menyediakan tempat menginap dan lebih-lebih lagi jika dapat memperoleh makan.
Demikian pula Soon (1977) memperlihatkan bahwa income/wage rate merupakan
faktor utama dalam menarik migran untuk datang (penyebab orang tertarik ke Malaysia
untuk memperoleh Ringgit dan ke Saudi Arabia memperoleh Real).
Adanya faktor-faktor sebagai penarik ataupun pendorong di atas merupakan
perkembangan dari ketujuh teori migrasi (The Law of Migration) yang dikembangkan
oleh E.G Ravenstein pada tahun 1885 (Munir, 2000: 122).
Dari faktor-faktor keputusan migran dalam melakukan migrasi seperti yang
disebutkan Lee (1966), ternyata faktor ekonomi merupakan motif yang paling sering
dijadikan sebagai alasan utama untuk bermigrasi (Todaro, 1969). Sehingga daerah yang
kaya sumber alam tentunya akan lebih mudah menciptakan pertumbuhan ekonominya,
meskipun mungkin kurang stabil. Daerah yang kaya sumber daya manusia akan menjadi
lokasi yang menarik bagi manufaktur atau jasa, terutama yang menggunakan teknologi
tinggi. Seperti lazimnya dalam ilmu ekonomi regional, tenaga kerja akan cenderung
melakukan migrasi dari daerah dengan kesempatan kerja kecil dan upah rendah ke
daerah dengan kesempatan kerja besar dan upah tinggi (Brodjonegoro, 2000).
Dari kacamata ekonomi, berbagai teori telah dikembangkan dalam menganalisis
fenomena migrasi. Teori yang berorientasikan pada ekonomi neoklasik (neoclassical
economics) misalnya, baik secara makro maupun mikro, lebih menitikberatkan pada
perbedaan upah dan kondisi kerja antardaerah atau antarnegara, serta biaya, dalam
keputusan seseorang untuk melakukan migrasi. Menurut aliran ini, perpindahan
penduduk merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas keinginan untuk
mendapatkan kesejahteraan yang maksimum. Dalam teori ini, mobilitas penduduk
dipandang sebagai mobilitas geografis tenaga kerja, yang merupakan respon terhadap
ketidakseimbangan distribusi keruangan lahan, tenaga kerja, kapital dan sumberdaya
alam. Ketidakseimbangan lokasi geografis faktor produksi tersebut pada gilirannya
mempengaruhi arah dan volume migrasi.
Namun pada sisi lain, aliran ekonomi baru migrasi (new economics of migration)
beranggapan bahwa perpindahan penduduk terjadi bukan saja berkaitan dengan pasar
kerja, namun juga karena adanya faktor-faktor lain. Keputusan untuk melakukan
migrasi tidak semata-mata merupakan keputusan individu, namun terkait dengan
lingkungan sekitar, utamanya lingkungan keluarga dan kondisi daerah yang ditinggali

9
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

maupun yang dituju. Lingkungan sekitar ini termasuk juga kondisi politik, agama, dan
bencana alam.
Dari kedua teori di atas jelas, bahwa migrasi disebabkan oleh faktor pendorong
(push factor) suatu wilayah dan faktor penarik (pull factor) wilayah lainnya. Faktor
pendorong suatu wilayah menyebabkan orang pindah ke tempat lain, misalnya karena di
daerah itu tidak tersedia sumber daya yang memadai untuk memberikan jaminan
kehidupan bagi penduduknya. Perpindahan penduduk ini juga terkait dengan persoalan
kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di suatu wilayah. Sedangkan faktor penarik
suatu wilayah adalah jika wilayah tersebut mampu atau dianggap mampu menyediakan
fasilitas dan sumber-sumber penghidupan bagi penduduk, baik penduduk di wilayah itu
sendiri maupun penduduk di sekitarnya dan daerah-daerah lain. Penduduk wilayah
sekitarnya dan daerah-daerah lain yang merasa tertarik dengan daerah tersebut
kemudian berpindah dalam rangka meningkatkan taraf hidup.

D. POLA, ARUS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


MIGRASI DI INDONESIA

D.1. Pola dan Arus Migrasi di Indonesia


Berikut adalah gambaran pola dan arus migrasi di Indonesia dari tahun 2000
dengan menggunakan data data migrasi yang digunakan adalah data Survei Penduduk
Antar Sensus (SUPAS) 2005 dan Sensus Penduduk (SP) 2000. Data pola dan arus
migrasi ini dikutip dari hasil penelitian Beni Darmawan (2007) dan Emalisa (2003).
Ada dua pola migrasi yang akan dibahas yaitu pola migrasi semasa hidup antar pulau
dan pola migrasi semasa hidup antar propinsi.
1. Migrasi Semasa Hidup Antar Pulau
Berdasar pada data hasil penelitian Beny Darmawan (2007) dan Emalisa (2003),
bahwa untuk migrasi keluar, selama 24 tahun terakhir secara absolut Pulau Jawa adalah
pulau yang paling banyak mengeluarkan migran, yaitu: pada tahun 1971 sebanyak
1.935 ribu, tahun 1980 sebanyak 3.584,9 ribu, dan tahun 1990 sebanyak 3.053,2 ribu,
yang kemudian pada tahun 1995 menjadi 5.5330,2 ribu. Dari sebanyak migran keluar
tersebut sampai tahun 1980 sebagian besar menuju Pulau Sumatera, yaitu sebesar
89,66% pada tahun 1971 dan 81,06% pada tahun 1980. Namun demikian mulai tahun
1990 terjadi penurunan arus migran dari Pulau Jawa ke Sumatera yaitu menjadi hanya
sebesar 69,73%, dan tahun 1995 persentasenya menurun lagi menjadi 68,28%. Kondisi
ini memperlihatkan bahwa mulai dekade 1980 - 1990 penyebaran penduduk dari Pulau

10
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

Jawa sudah mulai menyebar ke pulau-pulau lain, tidak hanya terpusat di Pulau Sumatera
saja.
Berikutnya Pulau Sumatera yang menduduki urutan kedua dalam besarnya
migrasi keluar, pada tahun 1971 mempunyai migran keluar sebesar 369 ribu, kemudian
pada tahun 1980 naik menjadi 786,4 ribu migran keluar dan naik lagi menjadi 1.175,7
ribu pada tahun 1990. Selanjutnya pada tahun 1995 naik lagi menjadi sekitar 1.534 ribu.
Sebagian besar migran keluar dari Pulau Sumatera menuju Pulau Jawa yaitu 94,31
% pada tahun 1971, 91,35% pada tahun 1980, 90,94% pada tahun 1990 dan 1991, 94%
pada tahun 1995. Dari data tersebut terlihat arus migrasi dari Pulau Sumatera ke Pulau
Jawa boleh dikatakan hampir tidak ada perubahan. Kecenderungan orang Sumatera
pergi (pindah) menuju Pulau Jawa masih tetap merupakan prioritas utama.
Seperti halnya Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Kepulauan lain juga
merupakan daerah yang migran keluarnya kebanyakan menuju Pulau Jawa. Arus yang
terjadi dari Pulau Kalimantan dan Kepulauan lain menuju Pulau Jawa cenderung tidak
berubah sejak tahun 1971 sampai tahun 1995 atau penurunan persentase yang terjadi
relatif kecil. Berbeda dengan Pulau Sulawesi, arus migran yang keluar dari pulau ini
hampir tersebar secara merata ke pulau-pulau lain dan kecenderungan ini berjalan sejak
tahun 1971 yang berlangsung secara terus sampai tahun 1995.
Menurut Emalisa (2003), dapat dimaklumi mengapa Pulau Jawa sebagai pulau
yang menjadi daerah tujuan utama migran dari pulau-pulau yang lain karena pulau ini
merupakan tempat pusat perekonomian, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat
kegiatan-kegiatan sosial ekonomi lainnya, sehingga penduduk dari pulau-pulau di luar
Jawa ingin menetap (tinggal) di Pulau Jawa.
Emalisa (2003) juga menggambarkan data penelitian migran yang masuk seumur
hidup menurut pulau tempat lahir dan tempat tinggal sekarang. Untuk migrasi masuk,
Pulau Sumatera adalah pulau yang paling banyak menerima migran baik pada tahun
1970, 1980, 1990 maupun pada tahun 1995. Dari jumlah tersebut lebih dari 90 persen
sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 1995 adalah migran yang berasal dari Pulau
Jawa. Demikian juga Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan lain, migran yang
masuk ke pulau-pulau ini sebagian besar berasal dari Pulau Jawa. Sehingga dapat
dikatakan bahwa Pulau Jawa yang memang mempunyai penduduk terbesar di Indonesia
merupakan pulau pengirim migran terbesar untuk setiap pulau-pulau yang ada di
Indonesia. Sedang migrasi masuk ke Pulau Jawa sendiri dari tahun 1971 sampai dengan
tabun 1995 kebanyakan (sekitar 60%) berasal dari Pulau Sumatera. Hal ini dapat

11
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

dimaklumi karena Pulau Sumatera secara geografis berdekatan dengan Pulau Jawa
dibanding dengah pulau-pulau lainnya, dan juga karena sistem transportasi yang
menghubungkan kedua pulau ini lebih baik dan lancar baik dari segi banyaknya
frekuensi maupun jenis angkutan dibandingkan dengan sistem transportasi yang
menghubungkan Pulau Jawa dengan pulau-pulau yang lain, selain Pulau Sumatera.
2. Migrasi Semasa Hidup Antar Propinsi
Pola dan arus migrasi seumur hidup per propinsi di Indonesia sangat bervariasi
dan besarnya tidak selalu sama antara satu propinsi dengan propinsi lain. Secara umum
propinsi-propinsi di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara merupakan propinsi-propinsi
pengirim migran, baik pada tabun 1971 1980, 1990 maupun pada tahun 1995 kecuali
DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan Timor Timur. DKI Jakarta sejak
tahun 1971 hingga pada tahun 1995 merupakan propinsi penerima migran. Sedangkan
Jawa Barat pada tahun 1971 dan 1980 merupakan propinsi pengirim migran, tetapi pada
tahun 1990 dan 1995 menjadi propinsi penerima migran.
Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian sejak tahun 1971 hingga tahun
1990 DKI Jakarta adalah propinsi yang paling banyak didatangi oleh migran, dengan
jumlahnya yang semakin membesar dari tahun ke tahun. Pada tahun 1971 DKI Jakarta
menerima sekitar 1,8 juta migran, tahun 1980 menerima sekitar 2,6 juta migran, tahun
1990 menerima 3,1 juta migran dan pada tahun 1995 menerima 3,4 juta migran. Jika
dilihat asal migran yang ke DKI Jakarta, yang paling banyak adalah migran yang
berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pada tahun 1990 dan 1995. Dan sisanya
adalah berasal dari 24 propinsi lainnya yang persentasenya relatif kecil. Propinsi kedua
terbesar yang didatangi migran pada tahun 1990 adalah Jawa Barat, dengan jumlah
migran sebesar 2,4 juta orang. Selanjutnya hasil SUPAS95 menunjukkan bahwa dengan
jumlah migran masuk sebesar 3,6 juta orang. Propinsi Jawa Barat telah menggeser
kedudukan DKI Jakarta sebagai penerima migran terbesar. Migran yang masuk ke Jawa
Barat ini sebagian besar berasal dari propinsi tetangganya yaitu Jawa Tengah dan DKI
Jakarta dengan persentase masing-masing sebesar 30,25% dan 35,09% pada tahun 1995.
Pada tahun 1971 dan 1980, Lampung merupakan merupakan propinsi kedua
terbesar yang menjadi daerah tujuan migran dengan jumlah migran tidak kurang dari 1
juta orang pada tahun 1971 dan 1,8 juta migran pada tahun 1980 masuk ke propinsi ini.
Tetapi pada tahun 1990 dan 1995, Lampung tergeser oleh Jawa Barat menjadi propinsi
ketiga terbesar yang didatangi oleh migran.

12
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

Walaupun demikian dalam jumlah absolut sebagai penerima migran, Lampung


tetap merupakan propinsi penerima migran terbesar di luar Pulau Jawa sejak tahun
1971. Hal ini dapat mengerti karena Lampung rnerupakan daerah tujuan transmigrasi
terbesar di Indonesia pada saat itu. Pada tahun 1971 Lampung menerima tidak kurang
dari 1 juta migran, yang kemudian meningkat menjadi 1,7 juta orang pada tahun 1980
dan 1990, dan hampir 2 juta orang pada tahun 1995. Ada tiga propinsi yang merupakan
propinsi asal sebagian besar migran masuk ke Lampung, yaitu Jawa Tengah (33,50%),
Jawa Timur (28,20%) dan Jawa Barat (13,35%).
D.2. Pengaruh Urbanisasi terhadap Pola dan Arus Migrasi di Indonesia
Berdasarkan data migrasi seumur hidup antar propinsi, sejak tahun 1971 hingga
1990, Jakarta merupakan tujuan propinsi penerima migran paling besar (nomor satu) di
Indonesia. Namun kemudian pada tahun 1995 posisi ini digantikan oleh propinsi Jawa
Barat, yang merupakan propinsi terdekat dari wilayah DKI Jakarta. Hal ini tidaklah
terlepas dari adanya pengaruh urbanisasi yang terjadi di kota Jakarta yang pada
akhirnya mempengaruhi perkembangan daerah-daerah yang ada di sekitarnya, termasuk
kota-kota yang terdapat di propinsi Jawa Barat, seperti yang dikenal dengan istilah
Botabek (Bogor, Tanggerang, Bekasi).
Dengan adanya urbanisasi di wilayah Jakarta ini, banyak penduduk yang bekerja
di Jakarta, namun bertempat tinggal di wilayah di sekitar Jakarta (Botabek), dengan
berbagai sebab, karena ingin mendapatkan tempat tinggal yang lebih luas, lebih baik,
dan lebih sedikit polusi untuk keluarga mereka. Disamping itu banyak Industri didirikan
di daerah pinggiran kota Jakarta (Botabek), banyak menarik tenaga kerja secara khusus
dan penduduk secara umum untuk bermigrasi ke daerah Botabek (Jawa Barat) ini.
Menurut Firman (1995), kecenderungan berkembangnya dengan pesat kegiatan
ekonomi di kota-kota besar seperti di DKI Jakarta adalah tidak lain karena ada
"ekonomi urbanisasi" (urbanisation economies) yang terdapat di kota-kota besar
tersebut, yang secara sederhana didefinisikan sebagai keuntungan-keuntungan ekonomi
dari sebuah kota, terutama kota besar, yang menarik pendirian usaha dalam kota.
Sebagai gambaran sebagaimana kota-kota besar dapat bersaing dengan berbagai macam
aktivitas ekonomi, yaitu adanya kenyataan bahwa hingga Juli 1995, kira-kira setengah
Penanaman Modal asing (PMA) dan Penanaman modal Dalam Negeri (PMDN), dari
koordinasi penanaman modal (BKPM) terkonsentrasi di Jabotabek atau Jakarta
D.3. Pengaruh Program Transmigrasi oleh Pemerintah

13
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

Data migrasi seumur hidup antar pulau maupun antar propinsi, kita dapat melihat
bahwa pulau yang paling besar menerima migran adalah pulau Sumatera sejak tahun
1971 hingga sekarang, sedangkan propinsi terbesar kedua setelah DKI Jakarta
menerima migran adalah propinsi Lampung, yaitu sejak tahun 1971 hingga 1990,
namun kemudian posisi Lampung tersebut digantikan oleh propinsi Jawa Barat.
Besamya migran yang masuk ke pulau Sumatera, khususnya ke propinsi Lampung ini
tidak terlepas dari adanya program pemerintah yang telah menjalankan program
transmigrasi dimana daerah Sumatera, yang mencakup Aceh, Lampung, Sumatera Utara
dan lainnya menjadi daerah penerima transmigrasi.
Jika kita melihat sejarah dari program transmigrasi tersebut, kita ketahui bahwa
program transmigrasi ini telah dimulai pertama sekali oleh pemerintah Belanda, yaitu
pada tahun 1905 dengan mengirim 155 keluarga dari Jawa ke daerah propinsi Lampung,
yang waktu itu dikenal dengan istilah kolonisasi. Dan pada waktu pemerintahan Jepang
di Indonesia usaha transmigrasi inipun tetap dijalankan. Kemudian pada tahun 1950
pemerintah Indonesia melakukan usaha transmigrasi pertama sekali dengan
memindahkan 77 jiwa dari Jawa ke Lampung (Munir, 2000). Dan hingga tahun 1990
propinsi Lampung masih menjadi tujuan transmigrasi. Dan ini tentunya sangat besar
pengaruhnya terhadap besarnya para migran yang masuk ke propinsi Lampung dan ke
pulau Sumatera pada umumnya, disamping adanya pengaruh dari dekatnya posisi pulau
Jawa dengan Sumatera dan dengan adanya prasarana transportasi yang baik dan lancar
hal ini juga mempengaruhi besarnya arus migrasi dari pulau Jawa ke pulau Sumatera.

E. PERILAKU MIGRAN PADA KAJIAN MIGRASI DI INDONESIA

E.1. Migran dan Fenomena Remitan (remittance)


Tenaga kerja akan pindah dari tempat dengan kapital langka dan tenaga kerja
banyak (karenanya upah rendah) ke tempat dengan kapital banyak dan tenaga kerja
langka (karenanya upah tinggi). Oleh karenanya Spengler dan Myers (1977) dalam
Wood (1982) mengemukakan migrasi dapat dipandang sebagai suatu proses yang
membantu pemerataan pembangunan yang bekerja dengan cara memperbaiki
ketidakseimbangan hasil faktor produksi antar daerah.
Migrasi yang terjadi di negara-negara sedang berkembang dipandang memiliki
efek yang sama. Namun, terdapat fenomena khusus dari migrasi di negara-negara ini,
yang diperkirakan lebih mempercepat pemerataan pembangunan. Fenomena tersebut
berbentuk transfer pendapatan ke daerah asal (baik berupa uang ataupun barang), yang

14
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

dalam teori migrasi dikenal dengan istilah remitan (remittance). Menurut Connel
(1980), di negara-negara sedang berkembang terdapat hubungan yang sangat erat antara
migran dengan daerah asalnya, dan hal tersebutlah yang memunculkan fenomena
remitan.
Remitan dalam konteks migrasi di negara-negara sedang berkembang merupakan
bentuk upaya migran dalam menjaga kelangsungan ikatan sosial ekonomi dengan
daerah asal, meskipun secara geografis mereka terpisah jauh. Selain itu, migran
mengirim remitan karena secara moral maupun sosial mereka memiliki tanggung jawab
terhadap keluarga yang ditinggalkan (Curson,1983). Kewajiban dan tanggung jawab
sebagai seorang migran, sudah ditanamkan sejak masih kanak-kanak. Masyarakat akan
menghargai migran yang secara rutin mengirim remitan ke daerah asal, dan sebaliknya
akan merendahkan migran yang tidak bisa memenuhi kewajiban dan tanggung
jawabnya.
Dalam perspektif yang lebih luas, remitan dari migran dipandang sebagai suatu
instrumen dalam memperbaiki keseimbangan pembayaran, dan merangsang tabungan
dan investasi di daerah asal. Oleh karenanya dapat dikemukakan bahwa remitan
menjadi komponen penting dalam mengkaitkan mobilitas pekerja dengan proses
pembangunan di daerah asal.
Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan di daerah Jatinom Jawa
Tengah (Effendi, 1993). Sejak pertengahan tahun 1980an, seiring dengan meningkatnya
mobilitas pekerja, terjadi perubahan pola makanan keluarga migran di daerah asal
menuju pada pola makanan dengan gizi sehat. Perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari
peningkatan daya beli keluarga migran di daerah asal, sebagai akibat adanya remitan.
Peningkatan daya beli tidak hanya berpengaruh pada pola makanan, namun juga
berpengaruh pada kemampuan membeli barang-barang konsumsi rumah tangga lainnya,
seperti pakaian, sepatu, alat-alat dapur, radio, televisi dan sepeda motor. Permintaan
akan barang-barang tersebut telah memunculkan peluang berusaha di sektor
perdagangan, dan pada tahap selanjutnya berefek ganda pada peluang berusaha di sektor
lainnya.
Namun di sisi lain, remitan ternyata tidak hanya mempengaruhi pola konsumsi
keluarga migran di daerah asal. Dalam kerangka pemupukan remitan, migran berusaha
melakukan berbagai kompromi untuk mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya,
dan mengadopsi pola konsumsi tersendiri di daerah tujuan.

15
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

Para migran akan melakukan "pengorbanan" dalam hal makanan, pakaian, dan
perumahan supaya bisa menabung dan akhirnya bisa mengirim remitan ke daerah asal.
Secara sederhana para migran akan meminimalkan pengeluaran untuk memaksimalkan
pendapatan. Migran yang berpendapatan rendah dan tenaga kerja tidak terampil, akan
mencari rumah yang paling murah dan biasanya merupakan pemukiman miskin di
pusat-pusat kota.
Bijlmer (1986) mengemukakan bahwa untuk memperbesar remitan, ada
kecenderungan migran mengadopsi sistem pondok, yakni tinggal secara bersama-sama
dalam satu rumah sewa atau bedeng di daerah tujuan. Sistem pondok memungkinkan
para migran untuk menekan biaya hidup, terutama biaya makan dan penginapan selama
bekerja di kota.
Hal yang sama juga ditemukan oleh Mantra (1994) dalam penelitiannya di
berbagai daerah di Indonesia. Buruh-buruh bangunan yang berasal dari Jawa Timur
yang bekerja di proyek pariwisata Nusa Dua Bali, tinggal di bedeng-bedeng yang
kumuh untuk mengurangi pengeluaran akomodasi. di berbagai daerah di Indonesia.
Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim ditemukan pada tukang becak di Yogyakarta
yang berasal dari Klaten. Pada waktu malam hari tidur di becaknya untuk menghindari
pengelua¬ran menyewa pondokan.
Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa besarnya remitan yang
dikirimkan migran ke daerah asal relatif bervariasi. Penelitian yang dilakukan Rose dkk
(1969) dalam Curson (1983) terhadap migran di Birmingham menemukan bahwa
remitan migran India sebesar 6,3 persen dari penghasilannya sedangkan migran
Pakistan mencapai 12,1%. Bahkan dalam penelitian yang dilakukan Jellinek (1978)
dalam Effendi (1993) menemukan bahwa remitan yang dikirimkan para migran penjual
es krim di Jakarta mencapai 50 persen dari penghasilan yang diperolehnya.
Besar kecilnya remitan ditentukan oleh berbagai karakteristik migrasi maupun
migran itu sendiri. Karakteristik tersebut mencakup sifat mobilitas/migrasi, lamanya di
daerah tujuan, tingkat pendidikan migran, penghasilan migran serta sifat hubungan
migran dengan keluarga yang ditinggalkan di daerah asal.
Berkaitan dengan sifat mobilitas/migrasi dari pekerja, terdapat kecenderungan
pada mobilitas pekerja yang bersifat permanen, remitan lebih kecil dibandingkan
dengan yang bersifat sementara (sirkuler) (Connel,1980). Hugo (1978) dalam penelitian
di 14 desa di Jawa Barat menemukan bahwa remitan yang dikirimkan oleh migran

16
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

sirkuler merupakan 47,7 persen dari pendapatan rumah tangga di daerah asal, sedangkan
pada migran permanen hanya 8,00%.
Sejalan dengan hal tersebut, besarnya remitan juga dipengaruhi oleh lamanya
migran menetap (bermigrasi) di daerah tujuan. Lucas dkk (1985) mengemukakan bahwa
semakin lama migran menetap di daerah tujuan maka akan semakin kecil remitan yang
dikirimkan ke daerah asal.
Adanya arah pengaruh yang negatif ini selain disebabkan oleh semakin
berkurangnya beban tanggungan migran di daerah asal (misalnya anak-anak migran di
daerah asal sudah mampu bekerja sendiri), juga disebabkan oleh semakin berkurangnya
ikatan sosial dengan masyarakat di daerah asal. Migran yang telah menetap lama
umumnya mulai mampu menjalin hubungan kekerabatan baru dengan
masyarakat/lingkungan di daerah tujuannya.
Tingkat pendidikan migran lebih cenderung memiliki pengaruh yang positif
terhadap remitan. Rempel dan Lobdell (1978) mengemukakan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan migran, maka akan semakin besar remitan yang dikirimkan ke
daerah asal. Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan fungsi remitan sebagai pembayaran
kembali (repayment) investasi pendidikan yang telah ditanamkan keluarga kepada
individu migran. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan migran menunjukkan besar
kecilnya investasi pendidikan yang ditanamkan keluarga, dan pada tahap selanjutnya
berdampak pada besar kecilnya "repayment" yang diwujudkan dalam remitan.
Pengaruh positif juga ditemukan antara penghasilan migran dan remitan
(Wiyono,1994). Remitan pada dasarnya adalah bagian dari penghasilan migran yang
disisihkan untuk dikirimkan ke daerah asal. Dengan demikian, secara logis dapat
dikemukakan semakin besar penghasilan migran maka akan semakin besar remitan
yang dikirimkan ke daerah asal.
Besarnya remitan juga tergantung pada hubungan migran dengan keluarga
penerima remitan di daerah asal. Keluarga di daerah asal dapat dibagi atas dua bagian
besar, yaitu keluarga inti (batih) yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak, serta
keluarga di luar keluarga inti. Dalam konteks ini, Mantra (1994) mengemukakan bahwa
remitan akan lebih besar jika keluarga penerima remitan di daerah asal adalah keluarga
inti. Sebaliknya, remitan akan lebih kecil jika keluarga penerima remitan di daerah asal
bukan keluarga inti.
Tujuan pengiriman remitan akan menentukan dampak remitan terhadap
pembangunan daerah asal. Berbagai pemikiran dan hasil penelitian telah menemukan

17
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

keberagaman tujuan remitan ini, namun demikian dapat dikelompokkan atas tujuan-
tujuan sebagai berikut:
a. Kebutuhan hidup sehari-hari keluarga
Sejumlah besar remitan yang dikirim oleh migran berfungsi untuk menyokong
kerabat/keluarga migran yang ada di daerah asal. Migran mempunyai kewajiban dan
tanggung jawab untuk mengirimkan uang/barang untuk menyokong biaya hidup sehari-
hari dari kerabat dan keluarganya, terutama untuk anak-anak dan orang tua. Hal ini
ditemukan Caldwell (1969) dalam Mantra (1994) pada penelitian di Ghana, Afrika. Di
daerah ini, 73 persen dari total remitan yang dikirimkan oleh migran dituju¬kan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari dari keluarga di daerah asal.
b. Peringatan hari-hari besar yang berhubungan dengan siklus hidup manusia
Di samping mempunyai tanggung jawab terhadap kebutuhan hidup sehari-hari keluarga
dan kerabatnya, seorang migran juga berusaha untuk dapat pulang ke daerah asal pada
saat diadakan peringatan hari-hari besar yang berhubungan dengan siklus hidup
manusia, misalnya kelahiran, perkawinan, dan kematian. Menurut Curson (1983) pada
saat itulah, jumlah remitan yang dikirim atau ditinggalkan lebih besar daripada hari-hari
biasa.
c. Investasi
Bentuk investasi adalah perbaikan dan pembangunan peruma¬han, membeli tanah,
mendirikan industri kecil, dan lain-lain¬nya. Kegiatan ini tidak hanya bersifat ekonomi,
tetapi juga sebagai sarana sosial dan budaya dalam menjaga kelangsungan hidup di
daerah asal, tetapi juga bersifat psikologis, karena erat hubungannya dengan prestise
seseorang.
Effendi (1993) dalam penelitiannya di tiga desa Jatinom, Klaten menemukan bahwa
remitan telah digunakan untuk modal usaha pada usaha-usaha skala kecil seperti
pertanian jeruk, peternakan ayam, perdangan dan bengkel sepeda.
d. Jaminan hari tua
Migran mempunyai keinginan, jika mereka mempunyai cukup uang atau sudah pensiun,
mereka akan kembali ke daerah asal. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi investasi,
mereka akan membangun rumah atau membeli tanah di daerah asal sebagai simbol
kesejahteraan, prestisius, dan kesuksesan di daerah rantau. Lee (1992) mengemukakan
bahwa berbagai pengalaman baru yang diperoleh di tempat tujuan, apakah itu
keterampilan khusus atau kekayaan, sering dapat menyebabkan orang kembali ke

18
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

tempat asal dengan posisi yang lebih menguntungkan Selain itu, tidak semua yang
bermigrasi bermaksud menetap selama- lamanya di tempat tujuan.
E.2. Adaptasi Migran (Transmigran) Dalam Migrasi Lokal (Transmigrasi)
Saat ini program transmigrasi sudah banyak dilupakan publik. Padahal, tidak
sedikit dari anggota keluarga, tetangga, atau kenalan kita yang menjadi transmigran.
Transmigrasi telah dimulai sejak zaman kolonial, lewat regulasi Politik Etis yang
dicetuskan Van Deventer, yakni emigrasi atau transmigrasi, edukasi, dan irigasi.
Kontingen transmigran pertama merantau ke Gedong Tataan Lampung pada tahun
1905.
Sejak itu, transmigran secara bergelombang merantau ke Sumatera, kemudian
Kalimantan, dan belakangan dikembangkan di Sulawesi, termasuk Maluku hingga
Papua. Di Sumatera konsentrasi terbesar transmigran bermukim di Sumatera Bagian
Selatan (Sumbagsel), khususnya di Lampung serta di Jambi. Kontingen transmigran
biasanya berangkat per kabupaten (dahulu per karesidenan) sejumlah antara 30 hingga
40 kepala keluarga (KK).
Mereka menempati Satuan Permukiman yang disebut SP, ada juga yang disebut
Unit-unit. Secara administratif, transmigran dibagi dalam SP I, II atau Unit I, II, dan
seterusnya. Namun, dalam perkembangannya transmigran asal Jawa lebih suka
mengidentifikasi SP dan Unit ini dengan nama karesidenan atau kabupaten asal, atau
paling tidak menggunakan nama-nama berbau Jawa.
Banyak dari SP atau Unit ini yang kemudian berkembang menjadi desa atau
kecamatan. Sehingga, kita mengenal nama-nama Kecamatan atau Desa Pringsewu,
Kalirejo, Sidodadi, atau Sidomulyo di daerah transmigran.
Transmigran di tanah perantauan telah berkembang dan memiliki keturunan
hingga beberapa generasi. Bila transmigran berangkat pada kontingen pertama tahun
1905 hingga 1920-an, saat ini mereka telah berkembang hingga keturunan kelima atau
keenam. Bila mereka menjadi transmigran setelah zaman republik antara tahun 1950
hingga 1960an- jumlah ini yang paling banyak, mereka telah memiliki tiga hingga
empat generasi. Periode terakhir, tahun 1970-an berkembang hingga keturunan kedua
atau ketiga.
Setelah tahun 1980-an, transmigran asal Jawa mulai dikurangi untuk selanjutnya
dihentikan karena pemerintah setempat mulai banyak mengenalkan program
transmigrasi lokal. Transmigran asal Jawa pada tahun-tahun setelah 1980-an banyak
terkonsentrasi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua.

19
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

Kebanyakan transmigran asal Jawa masih memegang teguh adat dan tradisi yang
dibawa dari Jawa, di samping berbaur dengan budaya dan penduduk lokal. Selamatan,
nyadran, ngelmu petungan, tata krama, prosesi pernikahan, hingga bahasa ibu masih
digunakan oleh transmigran.
Generasi pertama transmigran masih mengikuti adat istiadat ini seperti aslinya
yang dilakukan leluhurnya di Jawa. Namun, bagi generasi kedua dan ketiga tradisi ini
mulai diikuti secara moderat. Maksudnya, tata cara dilaksanakan, namun tidak lengkap
atau dimodifikasi menjadi lebih sederhana.
Meskipun demikian, warna nJawani-nya masih terasa. Namun, tidak sedikit pula
generasi kedua, ketiga, maupun keempat dan kelima yang lebih memilih menggunakan
tata cara nasional sama sekali. Tata cara nasional ini dapat disebut sebagai tata cara
yang sudah diakui menasional dan banyak dilakukan oleh banyak penduduk Indonesia
lain, meski banyak yang diserap dari kebudayaan Jawa.
Tradisi transmigran asal Jawa yang masih dipegang teguh di tanah perantauan
semakin berkurang jumlahnya dan semakin sederhana bentuknya. Hal ini terjadi karena
generasi pertama transmigran sudah banyak yang wafat.
Generasi selanjutnya semakin melonggarkan tradisi yang ada karena di samping
referensi "yang asli" sudah wafat maupun otoritas kebudayaan semisal keraton seperti
halnya di Jawa tidak ada, generasi transmigran ini banyak bersinggungan dengan
kebudayaan lokal maupun kebudayaan pendatang lain hingga kebudayaan nasional.
Akulturasi ini melahirkan kebudayaan yang khas di daerah-daerah transmigran.
Tidak hanya di daerah transmigran saja yang orisinalitas kebudayaannya mulai
meluntur. Di Jawa sendiri pun sebenarnya laju kematian bahasa ibu terus bertambah
setiap tahun hingga tidak banyak penduduk Jawa usia muda yang nJawani.
Namun, tren lunturnya orisinalitas kebudayaan yang menurun pada keturunan
transmigran khas dan berbeda konteksnya dengan melunturnya kebudayaan Jawa pada
generasi muda di Jawa. Keturunan transmigran di perantauan ini kemudian menjadi
individu kosmopolitan.
Menariknya, penduduk lokal masih menganggap keturunan ketiga atau keempat,
bahkan keturunan yang baru lahir dari transmigran asal Jawa sebagai "orang Jawa".
Padahal, banyak keturunan transmigran ini yang sudah tidak mengikuti adat istiadat
Jawa secara utuh, berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, dan tidak mengerti sama
sekali bahasa Jawa, termasuk bahasa ngoko, hingga tidak memiliki keluarga lagi di
Jawa.

20
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

Hubungan dengan leluhur di Jawa yang kepaten obor ini bisa disebabkan karena
mereka di tanah perantauan kurang berhasil-dan jumlah ini sangat banyak- sehingga
tidak memiliki sumber daya lebih untuk menjalin silaturahmi semacam mudik. Dapat
juga disebabkan karena keluarga di Jawa sudah tidak terlacak, sedangkan generasi
pertama sudah wafat.
Keturunan transmigran yang masih dianggap sebagai "orang Jawa" ini berada
dalam situasi kepribadian terbelah (split personality). Mereka oleh penduduk lokal
dianggap sebagai "orang Jawa", namun di Jawa, bahkan oleh keluarga leluhur mereka
dianggap sebagai "orang Lampung" atau "orang Sumatera". Mereka yang dianggap
sebagai "orang Jawa" ini kurang nJawani sekaligus tidak mengerti banyak kebudayaan
lokal. Sehingga, tepat bila keturunan transmigran ini disebut sebagai individu
kosmopolitan: bercita rasa nasional, tidak memiliki akar kebudayaan (bolehlah disebut
apatride kebudayaan; meminjam istilah penduduk yang tidak memiliki
kewarganegaraan karena tidak memenuhi asas kelahiran (ius soli) dan asas keturunan
(ius sanguinis)) sehingga menjadikan mereka "anak-anak kebudayaan Indonesia.

F. PENUTUP

Determinan migran yang paling utama adalah faktor ekonomi. Ini terlihat dari
pola dan arus migrasi yang terjadi di Indonesia sebagaimana dilaporkan oleh hasil-hasil
penelitian tentang kependudukan. Kesenjangan yang sangat jauh antara tingkat ekonomi
di Jawa dengan luar Jawa mengakibatkan arus migrasi mengalir dari luar Jawa menuju
ke Pulau Jawa. Sehingga tepatlah kalau dikatakan bahwa migrasi di Indonesia masih
bersifat Jawa "centris", dengan pengertian tujuan terbesar migrasi di Indonesia masih
dominan menuju ke kota-kota atau daerah-daerah di pulau Jawa. Adanya urbanisasi
yang terjadi di DKI Jakarta berdampak terhadap meluasnya DKI Jakarta hingga
meliputi wilayah Botabek (Bogor, Tangerang dan Bekasi), yang pada akhirnya
mempunyai pengaruh besar terhadap meningkatnya jumlah migran yang masuk ke
propinsi Jawa Barat, sebagai daerah yang terdekat dengan wilayah DKI Jakarta.
Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan sumber/asal migran terbesar di
Indonesia pada tahun 1980, 1990 dan 1995.Tidak ada satu propinsi pun yang ada di
Indonesia yang tidak mengalami perpindahan penduduk, baik perpindahan masuk,
maupun perpindahan keluar.

21
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

Fenomena migran melahirkan masalah-masalah sosial yang menarik untuk dikaji


dalam pengebangan keilmuan ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi. Fenomena seperti
remiten dan adaptasi migran di tempat tujuan adalah kajian yang sudah “keluar” dari
outline demografi sehingga membutuhkan masuknya analisis dari disiplin-disiplin lain
termasuk sosiologi. Di sinilah menariknya kajian demografi pada waktu-waktu terakhir
ini.

22
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik, Estimasi Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi, Hasil Survei Penduduk
Antara Sensus (SUPAS) 1995, Jakarta, 1995.
Brodjonegoro, P.S. Bambang, “Pemulihan Ekonomi, Otonomi Daerah dan Kesempatan
Kerja di Indonesia”, Warta Demografi, Tahun Ke 30, No. 3, 2000.
Darmawan, Beny, “Perkiraan Pola Migrasi Antarprovinsi Di Indonesia Berdasarkan
“Indeks Ketertarikan Ekonomi”, Makalah Disampaikan Pada Seminar Poverty,
Population & Health Di Kampus Ui Depok, 13 Desember 2007.
Emalisa, Pola dan Arus Migrasi Di Indonesia, diunduh dari
http://library.usu.ac.id/download/fp/sosek-emalisa.pdf. pada tanggal 21 Januari
2008.
Faturochman, “Why People Move: A Psychological Analysis of Urban Migration”,
Populasi 1 (3), 1992.
Fawcett, James T., “Migration Psychology: New Behavioral Model”, Population and
Environment 8 (1), 1986.
Firman, Tommy. “Migrasi Antar Provinsi dan Pembangunan Wilayah di Indonesia”.
Prisma No.7 Th. XXIII, 1994.
Goss, Jon D. and Bruce Lindquist, “Conceptualizing International Migration: A
Structuration Perspective”, International Migration Review 29(2), 1995.
Goetz. J. Stephan, Theory of Population Migration, Migration and Local Labor
Markets, Penn State University, 2003.
Haslam, S. Alexander, Psychology in Organization: the Social Identity Approach.
London: Sage, 2001.
Isserman, A.M., D.A. Plane, P.A. Rogersen and and P.M. Beaumont, “Forecasting
Interstate Migration with Limited Data: A Demographic-Economic Approach”,
Journal of the American Statistical Association, Vol. 80, No. 390, 1985.
Janis, Irving L. and Leon Mann, Decision Making: a Psychological Analysis of Conflict,
Choice and Commitment,. New York: Free Press, 1977.
Kahar, Suleman Hi. Abdul, Migrasi Keluar dari Sulawesi Selatan Analisis Data SUPAS
1995, Jakarta: Program Pascasarjana Program Studi Kependudukan dan
ketenagakerjaan, Universitas Indonesia, 2001.
Keban, Y.T., “Niat Bermigrasi di Tiga Kota, Determinan dan Intervensi”. Majalah
Prisma. No.7. LP3ES Jakarta, 1994.
Lee, Everett S., “A Theory of Migration”, Demography. 3, 1966.
Munir, R., “Migrasi” dalam Lembaga Demografi FEUI, Dasar-dasar Demografi: Edisi
2000, Jakarta: Lembaga Penerbit UI, 2000.
Nasution, M. Arif, “Mobilitas Tenaga Kerja Indonesia Ke Luar Negeri dan Dampaknya
terhadap Diri Migran: Suatu Tinjauan Awal terhadap Kasus Buruh Bangunan di
Kuala Lumpur”, Populasi 9 (2), 1998.
_____, Orang Indonesia di Malaysia: Menjual Kemiskinan Membangun Identitas,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

23
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

Pernia, E. M., “The Impact of Migration on Rural Areas in the Philippines”, The PEJ.
No. 33. Vol. XVI. Nos. 1 and 2, 1977.
Pernia, E. M., “Individual and Household Migration Decision”, The PEJ. No. 36. Vol.
XVII. Nos. 1 and 2, 1978.
Ramadhan KH, Hamid Jabbar dan Rofiq Ahmad, Transmigrasi Harapan dan
Tantangan, Jakarta: Departemen Transmigrasi RI, 1993.
Ritchey, P. Neal, “Explanation of Migration”, Annual Review of Sociology 2, 1976.
Robinson, V. and M. Carey, “Peopling Skilled International Migration: Indian Doctors
in the UK”, International Migration 38(1), 2000.
Rogers, Andrei. “Migration Patterns and Population Redistribution”. In Andrei Rogers
(ed), Migration, Urbanization and Spatial Population Dynamics, Boulder:
Westview Press, 1984.
Roer-Strier, Dorit, “In The Mind of The Beholder: Evaluation of Coping Style of
Immigrant Parents”, International Migration 35 (2),1997.
Rusli, S., Pengantar Ilmu Kependudukan: Edisi Revisi, Jakarta: LP3ES, 1996.
Setiadi, “Konteks Sosiokultural Migrasi Internasional: Kasus di Lewotolok, Flores
Timur”, Populasi 10 (2), 1999.
_____, “Masalah Reintegrasi Sosial dan Ekonomi Migran Kembali”, Populasi 12 (1),
2001.
Sjaastad, L. A., “The Costs and Returns of Human Migration”. JPE. LXX, 1962.
Standing, Guy, Konsep-konsep Mobilitas di Negara Sedang Berkembang, Yogyakarta:
Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, 1983.
Syaukat, Ahmad, Faktor-faktor yang menentukan Pilihan Daerah Tujuan Migrasi
Penduduk Jawa Barat Berdasarkan Data SUPAS 1985, Jakarta: Program
Pascasarjana Program Studi Kependudukan dan ketenagakerjaan, Universitas
Indonesia, 1997.
Tamtiari, Wini, “Dampak Sosial Migrasi Tenaga Kerja ke Malaysia”, Populasi 10 (2),
1999.
Tisdell, Clem and Gopal Regmi. “Push-and-Pull Migration and Satisficing Versus
Optimizing Migratory Behavior: A Review And Nepalese Evidence”, Asian and
Pacific Migration Journal 9 (2), 2000.
Tjiptoherijanto, Prijono, “Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi”, Warta
Demografi, Tahun Ke 30, No. 3, 2000.
Todaro, Michael P., “A Model of Labour Migration and Urban Unemployment”.
American Economic Review, 1969.
Yosephine, Susane, Faktor-faktor Penentu Migrasi Masuk dan Migrasi Keluar Antar
Propinsi di Indonesia, Jakarta: Program Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia,
1989.
Young, E., “Migrasi” dalam Lucas D., dkk., Pengantar Kependudukan, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1884.

24
Subair: Migrasi di Indonesia (Konsep, Pola dan Perilaku Migran)

PERTUMBUHAN, KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PENDUDUK


DAN KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA

Makalah
Mata Kuliah Kependudukan
Dosen : Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MA

Disusun Oleh:
RITA RAHMAWATI / I363080031
SUBAIR / I363080041

PROGRAM DOKTOR MAYOR SOSIOLOGI PEDESAAN


DEPARTEMEN KPM FEMA IPB
2008

25

You might also like