You are on page 1of 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul


Sejalan dengan derasnya arus globalisasi, belakangan ini sistem pasar bebas1,
telah menunjukkan "kedigdayaannya" sehingga mampu menerobos kehidupan

ekonomi banyak negara di dunia. Bahkan negara yang semula bersikukuh menganut

sistem yang berlawanan dengan pasar bebas, yakni komunisme, tak kuasa menahan
dentang kematiannya sendiri, untuk kemudian secara terus terang memberlakukan

sistem yang dulu dikutuknya itu.2

Demikian pula negara-negara di Dunia Ketiga3 seperti Indonesia, bukanlah


kekecualian yang steril dari pengaruh sistem pasar bebas. Kendati secara normatif

unsur "bebas" tidak dikehendaki, namun kebijaksanaan pragmatis seperti deregulasi

1
Sistem Pasar Bebas adalah konsepsi derivatif (kata jadian) dari sistem liberalisme
dan kapitalisme Barat, berarti bahwa terbukanya perdagangan antar negara tanpa batas-batas
atau tanpa campur tangan siapapun Sistem ini pertama kali dimunculkan oleh Adam Smith.
Sedangkan sistem komunisme adalah sistem ekonomi yang dipraktekkan oleh negara-negara
seperti Cina dan Rusia/Uni Sovyet yang berarti bahwa kepemilikan dan hak rakyat semua
sama, sama rasa, sama rata, sedangkan pengendalian sentral ada pada penguasa/pemerintah.
lihat Dawam Rahardjo, Pragmatisme dan Utopia; Corak nasionalisme Ekonomi Indonesia,
(Jakarta: LP3ES, 1992), h. 5
2
Husni Rasyad, "Peranan Koperasi dalam Ekonomi Pasar", Harian Terbit, (Jakarta)
25 Januari 1993.
3
Istilah Dunia Ketiga pertama kali dikemukakan oleh Alfred Sauvy pada tahun
1955. Istilah tersebut mengacu kepada berbagai kriteria, yaitu: dari segi politik (sekelompok
negara yang tidak menolak Blok Barat dan Blok Timur), segi ekonomi (negara yang
mempunyai karakteristik keterbelakangan yang sama), atau kombinasi kedua faktor tersebut.
Lihat Mohammad Bedjoui, Menuju Tata Ekonomi Dunia Baru, (Jakarta: Gunung Agung,
1985), cet. 2, h.15

1
2

dan debirokratisasi nampaknya telah memberikan kelonggaran bagi berlangsungnya

unsur tersebut.4 Kebijaksanaan pemerintah tersebut, sebenarnya cukup beralasan.


Dawam Rahardjo dalam " Pragmatisme dan Utopia"-nya, mensiyalir bahwa Indonesia

memang berada dalam kondisi dilematis. Pemerintah, menurutnya, berada dalam 2

kecenderungan, yakni kecenderungan pragmatis, dalam arti mengikuti perkembangan


ekonomi dunia saat ini, dan kecenderungan untuk berpegang teguh pada prinsip yang

sudah ditetapkan oleh para ekonom Indonesia, seperti Moh. Hatta, yang nota bene

terpengaruh konsep Pancasila sebagai ideologi dan UUD 1945 --terutama pasal 33--
yang kemudian terbentuk sistem ekonomi Pancasila sebagai alternatif sistem

perekonomian Indonesia.5

Terhadap fenomena ini, banyak kalangan pemerhati ekonomi menyayangkan


dan mengajukan keberatan-keberatan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan

pemerintah itu. Frans Seda misalnya, mengatakan bahwa betapapun telah dilakukan

deregulasi, debirokratisasi, meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan daya saing itu


semua merupakan suatu keharusan, suatu necessity, tetapi tidak mencukupi (not

sufficient) untuk menghadapi globalisasi yang telah menggoyang dan masuk ke

dalam seluruh tubuh politik, ekonomi, dan sosial bangsa dan negara kita.6
Dengan demikian, berlangsungnya ekonomi pasar bebas di Indonesia, seperti

halnya di negara berkembang lainnya, akan mengalami benturan dengan sistem

4
Faisal H. Basri, "Indonesia dan Blok-blok Dagang", (SINTESIS; Jurnal Bulanan
CIDES), N0. 08, tahun 2, Januari-Februari 1994, h. 44
5
Dawam, op. cit., h. 16
6
Frans Seda, "Relevansi Pemikiran Bung Hatta dalam Era Globalisasi", dalam
Pemikiran Pembangunan Bung Hatta, Kumpulan tulisan, (Jakarta: LP3ES, 1995), h.143
3

ekonomi tradisional.7 Dalam persaingan --yang merupakan nafas sistem pasar--

mereka mudah terdesak oleh sektor yang besar, padat modal dan padat teknologi.
Bahkan pada gilirannya, tak jarang skala ekonomi kecil yang digarapnya menjadi

tidak mempunyai kekuatan yang berarti untuk bermain dalam persaingan tersebut.

Oleh Karena itu, Sri Edi Swasono, lebih cenderung agar Pasar Bebas --dalam arti
Free Fight Liberalism-- tidak diprakrekkan di Indonesia. Tetapi yang perlu

diterapkan adalah Sistem Ekonomi Pasar Terkendali, yang berarti bahwa pemerintah

--sebagai policy maker--harus dapat mengendalikan pasar, melakukan berbagai


intervensi pasar, terutama apabila kepentingan negara dan masyarakat dirugikan.8

Mencermati realita diatas, Ekki Syahruddin,9 dalam sebuah diskusi pada

FORSPIN-- berpendapat, bahwa yang menghambat pencapaian ekonomi kerakyatan


dilatari terjadinya distorsi dalam sistem politik nasional. Perekonomian Indonesia

masih belum berhasil membuka peluang sebesar-besarnya bagi kebanyakan

masyarakat dalam mengakses hasil-hasil pembangunan. Lebih dari itu, sektor

7
Ekonomi Tradisional yang dimaksud terdiri dari ekonomi rakyat seperti pertanian,
kerajinan, industri kecil, koperasi, dan lain-lain. Lihat Irsan Azhary Saleh, Industri Kecil;
sebuah Tinjauan dan Perbandingan, (Jakarta: LP3ES, 1986), cet. 1, h. 20
8
Sri Edi Swasono, "Mewaspadai Pasar Bebas dalam Globalisasi", Ketahanan
Nasional Indonesia, LEMHANAS, No. 63/1995, h. 31
9
Ekki Syahruddin adalah seorang eksponen '66 yang aktif berbicara dalam
forum-forum ilmiah semisal diskusi atau seminar. FORSPIN (Forum Studi Pengembangan
Industri dan Investasi) adalah salah satu forum diskusi yang diikutinya sekaligus ia sebagai
presidiumnya. Diskusi ini dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 1996 di Jakarta. Makalahnya
berjudul: "Ekonomi Kerakyatan, Akan Bertahankah".
4

ekonomi kerakyatan justru mengalami marginalisasi dan terimbas kepesatan

kemajuan struktural secara makro.10


Namun Demikian, upaya pengembangan usaha kecil --terutama koperasi--

semakin mendapatkan perhatian dewasa ini. Tujuannya, pada dasarnya, adalah

pembangunan dan mengantisipasi tuntutan efisiensi dalam era perekonomian global.


Namun tantangan berat dan akut senantiasa menghadang.11 Permasalahannya adalah

bagaimana pelaksanaannya atau sejauh mana upaya yang telah dilakukan? Untuk

membantu pengembangan usaha kecil itu, selain yang diupayakan oleh pemerintah
--terutama dengan koperasi--, juga terdapat konsep ekonomi Islam, misalnya dengan

adanya Bank Mu'amalat Indonesia (BMI), Baitul Mal wa Tamwil (BMT), dan Bank

Perkreditan Rakyat Syari'ah (BPRS), yang mungkin menjadi alternatif yang terbaik.
Hal ini karena Islam memang sudah mempunyai konsep yang jelas tentang ekonomi.

Seorang tokoh bernama Dr. Mohammad Hatta (Selanjutnya disebut Bung

Hatta), sejauh pengamatan penulis, adalah orang yang sangat peduli dengan keadaan
rakyat kecil. Bung Hatta telah meletakkan dasar Ekonomi Kerakyatan sebagaimana

diuraikan

diatas. Selain sebagai seorang ekonom, Bung Hatta juga menguasai ilmu
politik, filsafat, kenegaraan, dan lain-lain. Visinya menembus berbagai dimensi titik

tolak dan masa, yang meliputi agama, budaya, pendidikan, sejarah, politik, filsafat,

10
Ibid
11
Anwar Supriyadi, "Pembinaan Pengusaha Kecil Tak Bisa Sepotong-potong",
Jurnal Bank Syari'ah, Edisi -5/III/96
5

sosial budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan serta kenegaraan.12 Berkat

wawasan keilmuan yang luas dan kegigihan dalam memperjuangkan kepentingan


rakyat kecil, Bung Hatta kumudian merumuskan sebuah konsep Ekonomi Kerakyatan

yang diejawantahkan melalui Koperasi.

Berdasarkan uraian diatas, penulis bermaksud melakukan studi tentang


Konsep Ekonomi Kerakyatan menurut pandangan Mohammad Hatta dan

relevansinya dengan Islam. Selengkapnya judul skripsi ini adalah: "Pandangan

Islam tentang Ekonomi Kerakyatan dalam Pemikiran Mohammad Hatta".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


Sebagaimana kita ketahui bahwa pemikiran Mohammad Hatta, menyangkut
banyak bidang kajian. Tapi dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk membatasi

perrmasalahan pada bidang ekonomi-koperasi sebagai pengejawantahan ekonomi

kerakyatan. Dalam bidang ekonomi ini, Bung Hatta sangat concern pada kondisi
rakyat kecil yang untuk penyelesaiannya kemudian dikembalikan pada ide pokok:

mengembangkan ekonomi rakyat kecil melalui koperasi13. Untuk itu, judul yang

diangkat oleh penulis merupakan deskripsi dari ide pokok tersebut.


Tulisan ini diharapkan dapat memecahkan beberapa permasalahan

yang dimunculkan berkenaan dengan konsep yang ditawarkan Bung Hatta. Pertama,

apa landasan pokok rumusan ekonomi --terutama ekonomi kerakyatan-- yang

12
Sri Edi Swasono, "Kata Pengantar", dalam Emil Salim, Kerakyatan dalam
Pembangunan, (Padang: Univ. Bung Hatta), pidato dalam rangka Annual Memorial Lecture
Bung Hatta I, 13 Agustus 1988, h. 14
13
Ibid, h. 52
6

dimunculkan Bung Hatta, sehingga menjadi konsep yang baku di Indonesia. Kedua,

apa relevansi pemikiran Bung Hatta tersebut dengan konsep Islam.

C. Metode Pembahasan
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif analitis
kritis. Penulis pertama-tama mendeskripsikan gagasan primer yang menjadi obyek

penelitian. Gagasan ini diperoleh dari naskah-naskah primer atau naskah-naskah

sekunder. Kemudian membahas naskah-naskah tersebut, yang pada hakekatnya,


memberikan penafsiran terhadap gagasan yang telah dideskripsikan. Terakhir penulis

melakukan kritik terhadap gagasan primer yang telah ditafsirkan tersebut.14.

Untuk mendukung metode tersebut diatas, penulis melakukan penelitian


kepustakaan (library research), baik pada sumber-sumber primer maupun pada

sumber-sumber sekunder. Data-data diambil dari buku-buku, artikel, ensiklopedi,

surat kabar, jurnal ilmiah, data-data lain yang relevan.


Adapun teknik penulisan skripsi ini menggunakan beberapa aturan yang

terdapat dalam buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1989, dan sumber lain yang dipandang sesuai.

D. Sistematika Penyusunan
Sistematika penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab, dengan penjelasan

sebagai berikut:

14
Jujun S. Suria Sumantri, "Penulisan Ilmiah, Kefilsafatan, dan keagamaan",
makalah Simposium Metode Penelitian Filsafat, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 15 Juli
1992, h.8, t.d.
7

BAB I Pendahuluan. Bab ini membahas alasan pemilihan judul yang

merupakan latar belakang dan signifikansi diangkatnya judul skripsi, Perumusan dan
Pembatasan Masalah, Metode Pembahasan, menjelaskan metode dan teknik yang

digunakan, dan Sistematika Pembahasan.

BAB II Biografi Mohammad Hatta. Dalam bab ini dibahas latar belakang
Mohammad Hatta baik secara internal maupun eksternal. Dalam biografi internal,

Bung Hatta dilihat dari latar belakang kehidupan beliau dan perjalanan hidupnya.

Sedangkan dalam biografi eksternal, dipaparkan Bung Hatta dan hubungannya


dengan ekonomi politik Indonesia saat itu, dan juga Hatta dihubungkan dengan Islam

dan kehidupan intelektualnya.

BAB III Wawasan Islam tentang ekonomi kerakyatan.. Penulis mencoba


mengupas konsep ekonomi, ekonomi kerakyatan, dan wawasan Islam tentang

ekonomi kerakyatan, sebagai pengantar ke arah pemikiran Mohammad Hatta.

BAB IV Konsep Ekonomi Kerakyatan Menurut Mohammad Hatta.


Pada bab ini dijelaskan dan dibahas ekonomi menurut Mohammad Hatta, landasan

pokok kerakyatan yang dimunculkannya, dan dijelaskan pula bahwa ekonomi

kerakyatan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah koperasi. Penulis juga mencari
relevansi pemikiran Mohammad Hatta tersebut dengan konsep Islam.

BAB IV Penutup. Bab terakhir ini memberikan kesimpulan dari uraian

bab-bab sebelumnya dengan tidak bertentangan dari pokok masalah yang telah
dirumuskan, sekaligus membuat saran-saran yang konstruktif dan inovatif bagi para

pembaca skripsi ini khususnya, dan pemerhati ekonomi pada umumnya.

You might also like