Professional Documents
Culture Documents
Ironisnya tingkat kejadian dan biaya akibat masalah sosial ini sulit
diprediksi. Dalam kasus-kasus tertentu bahkan kerugian akibat masalah
sosial yang terkait dengan pembebasan lahan justru lebih besar dari
kasusnya sendiri. Bisa dibayangkan, bila tuntutan hanya Rp 100 juta,
kemudian menutup tambang selama beberapa pekan dan aktifitas
penambangan terhenti berapa kerugian yang harus ditanggung pemilik
konsesi / mitra kerja. Akibatnya, cukup banyak (khususnya di Kaltim)
perusahaan tambang batubara yang kehilangan kesempatan mendapatan
profit karena masalah lahan.
Penyebabnya adalah : Sistim ladang berpindah, Kepemilikan tidak
jelas, Biasanya tidak didukung dokumen yang memadai, Bukti-bukti
tanam tumbuh minim, Minimnya data riwayat kepemilikan lahan dari
pemerintah setempat, Maraknya grand sultan, Maraknya lembaga-
lembaga adat, Maraknya organisasi-organisasi kemayarakatan yang
berbasic kesukuan, Kepastian hukum yang lemah, Undang-Undang
Pokok Agraria secara factual tidak bisa dijadikan patokan dalam
pembebasan lahan, Supremasi hukum masih lemah, Investor selalu
dirugikan bila terjadi sengketa lahan, Tidak ada standar harga yang
jelas, Mudahnya prosedur membuat kelompok tani, Mudahnya,
institusi pemerintah menerbitkan surat tanah.
Kondisi ini akan semakin diperparah lagi bila dalam proses pembebasan
lahan tersebut, ada oknum perusahaan yang ikut bermain dalam proses
pembebasan lahan. Akibatnya proses pembebasan lahan tidak lagi dilakukan
dengan mekanisme ketepatan legalitas dan kepemilikan tetapi lebih pada
keuntungan pribadi.
Usaha penambangan di Kaltim relatif lebih aman bagi investor dan pemilik
konsesi. Legalitas dan aplikasinya serta pengawasannya (Dinas
Pertambangan) bisa dibilang cukup memberikan rasa aman bagi investor.
Implikasinya usaha penambangan di Kaltim membutuhkan investasi yang
cukup besar. Perijinan, pembebasan lahan dan pembangunan infrastruktur
tambang menjadi salah satu variable yang memberikan kontribusi mahalnya
investasi tambang batubara di Kaltim.
Pada sisi lain, tidak berarti bahwa mengoperasionalkan tambang tidak bisa
dilakukan oleh satu pihak saja, sebut saja misalnya pemilik konsesi. Pemilik
konsesi yang memiliki modal besar tentu bisa mengoperasionalkan tambang
dengan memilih kontraktor (penambang) yang handal. Sementara trading
bisa dilakukan dengan melakukan kontrak jangka panjang dengan and user
atau trader besar. Tentu hasilnya akan berbeda, bila pemilik konsesi
melakukan sendiri penambangan dan melakukan sendiri trading batubara.
Inti dari uraian diatas adalah penambangan akan berhasil dengan optimal
yakni efisiensi biaya dan maksimalisasi profit bila pelaku usaha mampu
beradaptasi maksimal dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan
memetakannya maka diharapkan penambangan akan dilakukan berdasarkan
sistimatisasi terukur dengan membangun sistim kerja yang solid, terarah
dan jelas goalnya.
Kondisi ini dialami pengusaha tambang local atau nasional yang belum
memiliki pengalaman yang cukup didunia tambang. Tak berlebihan bila
kemudian secara empiric baik di Kaltim maupun di Kalsel (secara histories
memiliki sejarah lebih panjang soal bisnis tambang) data menunjukkan
bahwa yang mampu bertahan hanya pengusaha-pengusaha yang
menjalankan bisnisnya dengan nurani dan selalu memberikan atensi pada
nila-nilai kejujuran serta mengedepankan komitmen dalam menjalankan
usahanya.