You are on page 1of 8

Mendulang ‘Emas Hitam’ di Bumi Etam (4)

Mau Sukses, ‘Hindari’


Lahan, BBM dan Pajak
Dari pengalaman empiric menjalankan usaha penambangan
batubara di Kaltim, untuk bisa bersaing dengan perusahaan-
perusahaan batubara yang sudah stabil selain tidak mudah, ternyata
juga harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup akan
implementasi manajemen (pengelolaan) modern. Dan yang
terpenting adalah kemampuan melakukan indentifikasi pekerjaan
dan indentifikasi potensial lost yang bakal dihadapi semua
perusahaan batubara, tak peduli perusahan kecil atau besar. Dan
dari semua rangkaian potensial lost, mulai dari persiapan
penambangan sampai pada barging (pengapalan) nampaknya yang
harus ‘dihindari’ adalah masalah Lahan, BBM dan Pajak.

Salah satu masalah krusial dalam usaha penambangan adalah masalah


pembebasan lahan. Pembebasan lahan yang salah akan mengakibatkan
munculnya masalah sosial yang pelik dan akan mengganggu aktifitas
penambangan. Oleh sebab itu, masalah pembebasan lahan harus
mendapatkan perhatian khusus. Bukti empiris menunjukkan 80 persen
kasus-kasus yang terjadi di usaha penambangan adalah masalah lahan.

Ironisnya tingkat kejadian dan biaya akibat masalah sosial ini sulit
diprediksi. Dalam kasus-kasus tertentu bahkan kerugian akibat masalah
sosial yang terkait dengan pembebasan lahan justru lebih besar dari
kasusnya sendiri. Bisa dibayangkan, bila tuntutan hanya Rp 100 juta,
kemudian menutup tambang selama beberapa pekan dan aktifitas
penambangan terhenti berapa kerugian yang harus ditanggung pemilik
konsesi / mitra kerja. Akibatnya, cukup banyak (khususnya di Kaltim)
perusahaan tambang batubara yang kehilangan kesempatan mendapatan
profit karena masalah lahan.
Penyebabnya adalah : Sistim ladang berpindah, Kepemilikan tidak
jelas, Biasanya tidak didukung dokumen yang memadai, Bukti-bukti
tanam tumbuh minim, Minimnya data riwayat kepemilikan lahan dari
pemerintah setempat, Maraknya grand sultan, Maraknya lembaga-
lembaga adat, Maraknya organisasi-organisasi kemayarakatan yang
berbasic kesukuan, Kepastian hukum yang lemah, Undang-Undang
Pokok Agraria secara factual tidak bisa dijadikan patokan dalam
pembebasan lahan, Supremasi hukum masih lemah, Investor selalu
dirugikan bila terjadi sengketa lahan, Tidak ada standar harga yang
jelas, Mudahnya prosedur membuat kelompok tani, Mudahnya,
institusi pemerintah menerbitkan surat tanah.

Umumnya munculnya sengketa lahan lebih disebabkan karena proses


pembebasan lahan yang tidak prosedural. Juga biasanya terkait dengan
adanya tengkulak-tengkulak tanah yang memang pekerjaannya melakukan
klaim lahan. Masalah harga juga kerap menjadi pemicu terjadinya sengketa
lahan.

Yang memberatkan posisi perusahaan dalam sengketa lahan ini adalah


belum adanya aturan yang jelas terkait dengan masalah pembebasan lahan
yang dibuat oleh pemerintah setempat. Mekanisme pembebasan lahan yang
dilindungi dan sah menurut hukum juga tidak pernah diterbitkan. Akibatnya
perusahaan melakukan pembebasan biasanya sesuai dengan arahan aparat
pemerintah, yang belum tentu bisa diterima masyarakat banyak.

Kondisi ini akan semakin diperparah lagi bila dalam proses pembebasan
lahan tersebut, ada oknum perusahaan yang ikut bermain dalam proses
pembebasan lahan. Akibatnya proses pembebasan lahan tidak lagi dilakukan
dengan mekanisme ketepatan legalitas dan kepemilikan tetapi lebih pada
keuntungan pribadi.

Dalam aktifitas pekerjaan penambangan yang bermuara pada profit


maksimal maka banyak sisi yang harus dilakukan evaluasi terlebih dahulu,
sebelum penambangan, saat penambangan maupun setelah (pasca)
penambangan. Pada dasarnya efisiensi akan terlaksana bila semua
pekerjaan mulai dari persiapan, penambangan dan pasca tambang
dipersiapkan dengan matang dari perencanaan, target, alat kontrol maupun
kemungkinan-kemungkinan terjadinya kerugian sudah diperhitungkan sejak
awal dengan detail / terinci.
Oleh sebab itu, menjadi sangat penting untuk indentifikasi faktor-faktor
yang memungkinkan akan terjadinya pembengkakan biaya produksi sebagai
akibat dari aktifitas usaha penambangan yang tidak terencana, tidak terarah
dan tidak ‘ter-manage’ dengan baik. Sejatinya usaha penambangan akan
menghasilkan profit maksimal bila sejak awal semua cakupan pekerjaan
penambangan diindentifikasikannya faktor-faktor yang bakal mendatangkan
lost (kerugian). Dengan indentifikasi potensial lost yang dilakukan sejak
awal produksi maka efisiensi yang secara paralel diikuti dengan
meningkatnya profit akan berjalan dengan sendirinya.

Secara general pemetaan kemungkinan terjadinya kerugian pada biaya


produksi akan berdampak positif pada kinerja perusahaan yang muara
tunggalnya adalah profit tinggi. Dari seluruh aktiviitas pekerjaan
penambangan yang memiliki potensial lost mulai dari cakupan pekerjaan,
sinergi pekerjaan, sampai pada indikator pembentukan kelembagaan
memiliki efek yang luar biasa pada pembengkakan produksi. Keberhasilan
menekan kebocoran dengan terlebih dahulu melakukan pemetaan pos-pos
yang mungkin bisa bocor merupakan deteksi dini untuk menghindari
operasional tambang yang boros.

Pada akhirnya yang dimaksud dengan efisiensi dalam tataran usaha


penambangan bukan terletak pada kemampuan manajemen
menekan cost produksi tetapi lebih pada kemampuan operator
tambang (manajemen) dalam mengelola potensial lost yang
mungkin bakal muncul. Potensial lost bisa diminimalisir maka profit
dengan sendirinya akan naik. Dengan demikian profit maksimal
tidak perlu dan tidak bisa direkayasa, cukup melakukan pengelolaan
intelek dengan mengolah potensial lost menjadi nirlost.

Untuk melakukan pemetaan potensial lost, bisa digunakan 4 alat ukur /


parameter / indikator, diantaranya: Indikator cakupan pekerjaan, indikator
interaksi (sinergi/keterlibatan) , Indikator kelembagaan (struktur organisasi)
dan indikator measure (mengukur kemampuan). Keempat indikator tersebut
dalam aplikasinya bisa digunakan secara bersama-sama atau parsial
tergantung pada tingkat kebutuhan masing-masing perusahaan yang juga
akan sangat bergantung pada pola kerja yang akan dipergunakan. Namun
agar pemetaan komprehensif maka 4 indikator dipake secara berurutan.

BBM, Pajak dan Lahan


BBM merupakan komponen terbesar menyerap biaya tambang yakni sekitar
30 Persen. Fluktuatif harga langsung berdampak signifikan pada cost
produksi. Disisi lain, BBM cukup rentan terhadap penyusutan baik disengaja
(pencurian) maupun karena alam (terpapar matahari). Oleh sebab itu,
efisiensi disektor BBM dengan cara melalui pengelolaan distribusi BBM yang
benar menjadi salah satu kunci untuk menuju penambangan yang profitable

Pajak disektor tambang, baik selaku owner maupun kontraktor nilainya


cukup besar. Secara general pajak mencapai sekitar 20 Persen dari total
cost produksi. Jumlah tersebut semakin besar apabila digabungkan dengan
kewajiban royalty fee ke pemerintah pusat (owner). 7 persen untuk call
tinggi dan 5 persen untuk low call. Oleh sebab itu, melakukan pembayaran
pajak tepat waktu merupakan salah satu cara untuk menghindari terjadinya
pembengkakan biaya/cost produksi. Diberlakukannya pajak progresif dimana
denda pajak bisa lebih besar daripada pokok pajak maka potensial lost dari
sektor ini sangat besar.

Bila dikomparasikan dengan keseluruhan cost produksi maka sektor ‘lahan’


bisa jadi merupakan salah satu item cost produksi yang cukup rendah/kecil.
Namun bila dilihat dari resiko atau pengaruh ke kegiatan operasional
tambang maka ‘lahan’ menempati posisi terdepan sebagai potensial lost
terbesar yang tidak saja bisa membengkakan cost produksi, lebih dari itu
bisa mengakibatkan perusahaan gulung tikar. (setia
wirawan/bersambung)
---------------------------------------------------------------------

Mendulang ‘Emas Hitam’ di Bumi Etam (6)


Mozaik Usaha Penambangan Batubara di Kaltim
Secara historis berdasarkan telusuran bukti-bukti empiric berupa
peninggalan baik berupa benda-benda maupun tulisan-tulisan,
usaha pertambangan batubara di nusantara ini bermula dari
Kalimantan Timur. Usaha pertambangan batubara di Indonesia
pertama dilakukan oleh NV Oost Borneo Maatschapij pada tahun
1849 di Pangaron Kalimantan Timur. Jauh sebelumnya, yakni pada
tahun 1818 sebuah perusahaan swasta Belanda melakukan kegiatan
penambangan batubara di Pelereng yang terletak 10 Km tenggara
Samarinda. Baru pada tahun 1868-1873, dilakukan penyelidikan
geologis di daerah sungai Durian, Sumatra Barat dan ditemukan
hamparan batubara Ombilin yang potensial. 19 tahun kemudian,
atau tahun 1892, tambang batubara ombilin di Sawahlunto mulai
beroperasi bersamaan dengan selesainya pembangunan kereta api
pada tahun yang sama.

Usaha penambangan di Kaltim relatif lebih aman bagi investor dan pemilik
konsesi. Legalitas dan aplikasinya serta pengawasannya (Dinas
Pertambangan) bisa dibilang cukup memberikan rasa aman bagi investor.
Implikasinya usaha penambangan di Kaltim membutuhkan investasi yang
cukup besar. Perijinan, pembebasan lahan dan pembangunan infrastruktur
tambang menjadi salah satu variable yang memberikan kontribusi mahalnya
investasi tambang batubara di Kaltim.

Tingginya biaya yang harus dikeluarkan, “memaksa” para pemilik konsesi


untuk melakukan kerjasama atau joint operation dengan para pemilik
modal. Dan bila diindentifikasikan maka sinergi yang akan terjadi dalam
usaha penambangan adalah pemilik konsesi, pemodal (investor),
penambangan (kontraktor) dan buyer. Harmonisasi sinergi 4 pilar, pemilik
konsesi, pemodal, penambang dan buyer sangat menentukan dalam
operasional penambangan.

Yang ideal kerjasama 4 pilar dilakukan oleh pihak-pihak yang benar-benar


ahli dibidangnya, Pengalaman menunjukkan, hampir tidak ada yang bisa
bertahan lama bila peran-peran tersebut dilakukan oleh satu pihaknya saja.
Misalnya pemilik konsesi mencoba juga menjadi penambang atau sebaliknya
penambang melakukan perannya menjadi pemilik konsesi.

Model kerjasama penambangan, apakah TO (take over), JO (joint operation)


dan Share Saham atau pemilik konsesi sendiri yang mengoperasionalkan
tambang maka 4 pilar tersebut tetap mesti mendapat perhatian dan
pemisahan yang jelas. Siapa yang mengurus legalitas, siapa yang
menambang (produksi), modal siapa yang dipakai dan siapa yang akan
menjual benar-benar harus berada pada ‘tangan’ yang handal.

Kalaupun kemudian ada yang bisa melakukan 2 peran sekaligus biasanya


harus dibayar mahal dengan cost produksi yang tinggi, sehingga
penambangan tidak efisien dan efektif. Dengan demikian sesungguhnya
untuk mengoptimalkan profit sebagai ujung dari aktifitas bisnis yang paling
penting dilakukan adalah berbagai peran dengan pihak-pihak yang memang
ahli dibidangnya. Tanpa itu, maksimal profit tidak akan terwujud.

Pada sisi lain, tidak berarti bahwa mengoperasionalkan tambang tidak bisa
dilakukan oleh satu pihak saja, sebut saja misalnya pemilik konsesi. Pemilik
konsesi yang memiliki modal besar tentu bisa mengoperasionalkan tambang
dengan memilih kontraktor (penambang) yang handal. Sementara trading
bisa dilakukan dengan melakukan kontrak jangka panjang dengan and user
atau trader besar. Tentu hasilnya akan berbeda, bila pemilik konsesi
melakukan sendiri penambangan dan melakukan sendiri trading batubara.

Inti dari uraian diatas adalah penambangan akan berhasil dengan optimal
yakni efisiensi biaya dan maksimalisasi profit bila pelaku usaha mampu
beradaptasi maksimal dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan
memetakannya maka diharapkan penambangan akan dilakukan berdasarkan
sistimatisasi terukur dengan membangun sistim kerja yang solid, terarah
dan jelas goalnya.

Perbedaan yang paling mencolok, perusahaan tambang batubara skala


besar dengan skala menengah dan kecil terletak pada sistim pegelolaan
perusahaan. Pada perusahaan besar, pengelolaan perusahaan terletak pada
fondasi sistim manajemen yang kuat dan kokoh serta modern. Sehingga
maju mundurnya perusahaan tidak hanya ditentukan oleh seorang leader
tapi lebih kearah pada sistim manajemen yang dibangun perusahaan.
Sebaliknya untuk skala menengah dan kecil (perusahaan keluarga) biasanya
lebih mengandalkan pada figure owner/leader bukan pada sistim
manajemen yang dibangun. Dan maju mundurnya perusahaan akan sangat
bergantung pada satu orang saja.

Kondisi ini dialami pengusaha tambang local atau nasional yang belum
memiliki pengalaman yang cukup didunia tambang. Tak berlebihan bila
kemudian secara empiric baik di Kaltim maupun di Kalsel (secara histories
memiliki sejarah lebih panjang soal bisnis tambang) data menunjukkan
bahwa yang mampu bertahan hanya pengusaha-pengusaha yang
menjalankan bisnisnya dengan nurani dan selalu memberikan atensi pada
nila-nilai kejujuran serta mengedepankan komitmen dalam menjalankan
usahanya.

Cukup banyak kita mendengar cerita pengusaha local yang tiba-tiba


mendadak kaya raya karena “BATUBARA”, namun hanya dalam hitungan jari
(tak lebih dari lima tahun) masyarakat dikejutkan dengan kisah tragis
pengusaha tambang yang sinarnya meredup. Bahkan dalam kasus kasus
tertentu tak jarang kisah tragis tersebut berujung di hotel prodeo dan
menyisakan masalah hukum yang berkepanjangan.

Kegagalan sejumlah pengusaha tambang tentunya bisa dijadikan cermin


bagi pebisnis lainnya. Meskipun harus diakui tak mudah menelisik penyebab
kegagalan tersebut.

Dari banyaknya variable yang berkontribusi atas banyaknya Kuasa


Penambangan tidak mampu menjalankan kuasa yang diberikan pemerintah
daerah (Kabupaten/Propinsi), yang sangat dominan, diantaranya terkait
erat dengan persoalan SDM dan Mentalitas pengusaha daerah. Sumber
daya manusia dan mentalitas pengusaha yang tidak siap menghadapi
derasnya investor masuk Kaltim dengan membawa modal dan tehnologi dan
SDM yang handal menjadi salah satu mayor variable atas berkembang
biaknya pola pengelolaan tambang yang tidak berpihak pada pertumbuhan
pengusaha daerah menjadi pengusaha mandiri. (setia
wirawan/bersambung)

You might also like