You are on page 1of 62

PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI KALANGAN ORANG SUMATRA

(Studi Kasus di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau


Selatan II, Kota Lubuk Linggau Sumatra Selatan Tahun 2004-2006)

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

Disusun Oleh :
MAIMUN
NIM. 211 02 029

JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSYIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2007
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

DEKLARASI .................................................................................................. ii

NOTA PEMBIMBING .................................................................................... iii

PENGESAHAN .............................................................................................. iv

MOTTO .......................................................................................................... v

PERSEMBAHAN ........................................................................................... vi

KATA PENGANTAR .................................................................................... vii

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Pokok Masalah ....................................................................... 5

C. Tujuan dan Kegunaan ............................................................ 5

D. Telaah Pustaka ........................................................................ 6

E. Kerangka Teori ....................................................................... 8

F. Metode Penelitian ................................................................... 9

G. Sistematika Pembahasan ........................................................ 12

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERNIKAHAN DI

BAWAH UMUR

A. Pengertian Pernikahan ............................................................ 15

B. Pandangan Secara Biologis dan Psikologi tentang Masa

Dewasa ................................................................................... 19

ii
C. Usia Pernikahan Menurut Undang-undang Perkawinan

No. 1/1974............................................................................... 21

D. Pernikahan di Bawah Umur ................................................... 22

BAB III PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI KELURAHAN

KARANG KETUAN, KECAMATAN LUBUK LINGGAU

SELATAN II, KOTA LUBUK LINGGAU

A. Gambaran Umum Kota Lubuk Linggau ................................ 25

B. Pelaksanaan Pernikahan di Bawah Umur di Kelurahan

Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota

Lubuk Linggau ........................................................................ 28

C. Faktor-faktor Penyebab Pernikahan di Bawah Umur ............ 32

D. Dampak Pernikahan di Bawah Umur ..................................... 38

BAB IV ANALISA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI

KELURAHAN KARANG KETUAN, KECAMATAN LUBUK

LINGGAU SELATAN II, KOTA LUBUK LINGGAU

A. Faktor-faktor Penyebab Pernikahan di Bawah Umur ............ 41

B. Analisa Dampak Pernikahan di Bawah Umur ........................ 50

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 54

B. Saran-saran ............................................................................. 56

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk yang sangat dimuliakan Allah, sehingga di

dalam kebutuhan biologisnya diatur dalam hukum perkawinan. Oleh karena

itu, manusia terdorong untuk melakukan hubungan diantara lawan jenis sesuai

dengan prinsip-prinsip hukum Islam itu sendiri. Hal ini diharapkan agar

manusia di dalam berbuat tidak menuruti hawa nafsu semata.

Di dalam Al Qur'an surat An Nisa ayat 1, Allah telah menganjurkan

adanya pernikahan, adapun firman-Nya :

‫ﻳﺎأﻳﻬ ﺎ اﻟﻨ ﺎس اﺗﻘ ﻮا رﺑﻜ ﻢ اﻟ ﺬي ﺧﻠﻘﻜ ﻢ ﻣ ﻦ ﻧﻔ ﺲ واﺣ ﺪة وﺧﻠ ﻖ‬


‫ﻣﻨﻬﺎ زوﺟﻬﺎ وﺑﺚ ﻣﻨﻬﻤﺎ رﺟ ﺎﻻ آﺜﻴ ﺮا وﻧ ﺴﺎء واﺗﻘ ﻮا اﷲ اﻟ ﺬي‬
(1) ‫ﺗﺴﺎءﻟﻮن ﺑﻪ واﻷرﺣﺎم إن اﷲ آﺎن ﻋﻠﻴﻜﻢ رﻗﻴﺒﺎ‬
Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.1

Islam memberi wadah untuk merealisasikan keinginan tersebut sesuai

dengan syariat Islam yaitu melalui perkawinan yang sah.

1
Departemen Agama RI, Al Qur'an Terjemah, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al
Qur'an, Jakarta, 1980, hlm. 114
Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia

untuk beranak, berkembang baik dan kelestarian hidupnya, setelah masing-

masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan

tujuan perkawinan.2

Sebagaimana firman Allah surat Al Hujurat ayat 13

‫ﻳﺎأﻳﻬ ﺎ اﻟﻨ ﺎس إﻧ ﺎ ﺧﻠﻘﻨ ﺎآﻢ ﻣ ﻦ ذآ ﺮ وأﻧﺜ ﻰ وﺟﻌﻠﻨ ﺎآﻢ ﺷ ﻌﻮﺑﺎ‬


‫وﻗﺒﺎﺋ ﻞ ﻟﺘﻌ ﺎرﻓﻮا إن أآ ﺮﻣﻜﻢ ﻋﻨ ﺪ اﷲ أﺗﻘ ﺎآﻢ إن اﷲ ﻋﻠ ﻴﻢ‬
(13)‫ﺧﺒﻴﺮ‬
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.3

Adapun perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan untuk hidup berumah tangga yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.4

Oleh karena itu, pernikahan harus dapat dipertahankan oleh kedua

belah pihak agar dapat mencapai tujuan dari perkawinan tersebut, sehingga

dengan demikian perlu adanya kesiapan-kesiapan dari kedua belah pihak baik

mental maupun material. Artinya secara fisik laki-laki dan perempuan sudah

sampai pada batas umur yang bisa dikategorikan menurut hukum positif dan

baligh menurut hukum Islam. Akan tetapi faktor lain yang sangat penting

yaitu kematangan dalam berfikir dan kemandirian dalam hidup (sudah bisa

2
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah , Darul Fikry, Beirut, t.t., hlm. 19
3
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 847
4
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan, Peraturan Pelaksanaan, PT.Pradya
Paramita, Jakarta, 1974, Pasal 1

2
memberikan nakah kepada isteri dan anaknya). Hal ini yang sering dilupakan

oleh masyarakat.

Sedangkan tujuan yang lain dari perkawinan dalam Islam selain untuk

memenuhi kebutuhan hidup jasmani maupun rohani manusia juga sekaligus

untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan

dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga pencegah perzinahan, agar

tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan,

ketentraman keluarga dan masyarakat.5

Sementara itu, sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia itu

sendiri, muncul permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, yaitu sering

terjadinya pernikahan yang dilakukan oleh seseorang yang belum cukup umur

untuk melakukan pernikahan.

Masalah batas umur untuk bisa melaksanakan pernikahan sebenarnya

telah ditentukan dalam UU No. 1/1974 pasal 7 ayat (1), bahwa pernikahan

hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahundan pihak wanita

sudah mencapai umur 16 tahun. Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan

dalam kompilasi pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan

kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan ini sejalan dengan

prinsip yang diletakkan UU perkawinan, bahwa calon suami istri harus telah

siap jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik

tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

5
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996,
hlm. 26-27

3
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang

masih di bawah umur.6

Di sini penulis akan mengadakan penelitian mengenai pernikahan di

bawah umur yang terjadi di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan, Kota Lubuk Linggau. Dimana Kota Lubuk Linggau ini

terbagi menjadi delapan kecamatan, yaitu kecamatan Lubuk Linggau Utara I

dan II, kecamatan Lubuk Linggau Barat I dan II, Kecamatan Lubuk Linggau

Timur I dan II, dan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan I dan II. Dan setiap

kecamatan mengepalai sembilan kelurahan. Sedangkan kelurahan Karang

Ketuan terletak di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, dan Kelurahan

Karang Ketuan terbagi menjadi beberapa RT. Sedangkan kelurahan Karang

Ketuan dijadikan sebagai objek penelitian bagi penulis. Karena masih

banyaknya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan di bawah

umur, faktor-faktor tersebut, yaitu karena dijodohkan oleh orang tua, faktor

ekonomi, faktor pendidikan, faktor agama, faktor adat dan budaya, dan karena

faktor kemauan anak.

Pernikahan dibawah umur ini sangat menarik untuk diteliti, oleh sebab

itu penulis mencoba mengangkat persoalan yang terjadi dalam masyarakat

dengan judul “PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI KALANGAN

ORANG SUMATRA (Studi Kasus di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan

Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau Sumatra Selatan Tahun 2004-

2006 untuk diteliti kebenarannya dengan obyek penelitian warga masyarakat

6
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,

4
Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk

Linggau, Sumatra Selatan.

B. Pokok Masalah

Berdasarkan pada pemikiran di atas, maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penelitian adalah :

1. Bagaimana tata cara pernikahan di bawah umur di Kelurahan Karang

Ketuan ?

2. Bagaimana ketentuan perundang-undangan tentang pernikahan di bawah

umur ?

3. Apa faktor penyebab pernikahan di bawah umur di Kelurahan Karang

Ketuan ?

4. Apa dampak yang ditimbulkan oleh pernikahan di bawah umur di

Kelurahan Karang Ketuan ?

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini oleh penulis adalah :

a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pernikahan di bawah

umur.

b. Untuk mengetahui sebab terjadinya pernikahan di bawah umur di

Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II,

Kota Lubuk Linggau, Sumatra Selatan dan dampaknya.

c. Untuk menganalisa faktor-faktor yang melatar belakangi pernikahan

di bawah umur dan dampak negatifnya.

hlm. 76-77
5
2. Kegunaan

a. Diharapkan berguna sebagai sumbangan pemikiran terhadap

masyarakat Desa Karang Ketuan agar lebih hati-hati dalam

melaksanakan pernikahan.

b. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi siapa yang

membaca skripsi ini dalam memperkaya kebudayaan.

D. Telaah Pustaka

Telah ada beberapa buku dan juga kitab-kitab fiqih yang mengkaji

pernikahan dalam Islam yang membahasnya dalam bab munakahat mengatur

hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan penrikahan, baik pada

masa pra pernikahan maupun pasca pernikahan sebagai ajang pembentukan

keluarga.

Aturan-aturan tentang pernikahan itu ada yang cukup rinci dan ada

yang bersifat global. Salah satu aturan yang bersifat global itu adalah tentang

batasan usia baik laki-laki maupun perempuan, sehingga banyak

menimbulkan perbedaan baik dari Imam Madzhab maupun ahli fiqh. Hal ini

terkait dengan perbedaan pendapat tentang masa taklif, yaitu ketika seseorang

orang dianggap sudah baligh (dewasa) dan dikenai kewajiban secara hukum.

Dalam buku Hukum Perkawinan Islam, karya Ahmad Azhar Bashir, MA,

dijelaskan bahwa pada umumnya perkawinan anak di bawah umur yang

dilakukan oleh walinya digolongkan sebagai perkawinan yang mubah (boleh).

Dia berlandaskan bahwa tidak ada nash Al Qur'an dan hadits yang melarangnya.

6
Menurut buku ini juga sejalan dengan tujuan perkawinan menurut

ajaran Islam dan untuk kebaikan pihak-pihak berkepentingan langsung, atas

dasar pertimbangan “maslahat mursalat”.

Dalam buku Fiqh Sunnah 6 karya Sayyid Sabiq yang dialih bahasakan

oleh Moh Thalib, mengatakan bahwa di dunia dewasa ini umur orang kawin

rata-rata 24 tahun bagi perempuan dan pada laki-laki 28 tahun. Umur tersebut

menurutnya umur yang sangat relatif dan paling tengah-tengah.

Dalam buku Membina Rumah Tangga Bahagia dan Peranan Agama

dalam Rumah Tangga, karya Hj. Aisyah Dachlan, dijelaskan bahwa

mengawinkan anak-anak di bawah umur sangat berbahaya. Bermacam-macam

pendapat para ahli mengenai kapan anak-anak itu boleh dikawinkan.

Menurut buku Problematika Hukum Islam Kontemporer, yang diedit

oleh Dr. H. Chuzaimah T. Yanggo dan Drs. H.A. Hafidz Anshary AZ, MA

menerangkan bahwa masalah pernikahan merupakan urusan hubungan antar

manusia (muamalah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk prinsip-

prinsip umum. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia maksimal

dan minimal untuk menikah dapat dianggap sebagai suatu rahmat. Maka,

kedewasaan untuk menikah, temrasuk masalah ijtihadiyah, dalam arti kata

diberi kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas

menikah.

Masih dalam buku yang sama dijelaskan bahwa batas usia menikah

bagi kaum pria juga tidak ada ketentuannya. Adanya seruan Nabi kepada

kaum pemuda yang mampu melakukan pernikahan supaya menikah bukanlah

7
suatu kemestian pembatasan usia. Menurut kondisi Indonesia sekarang, usia

yang tepat bagi seseorang untuk menikah ialah sekurang-kurangnya umur 20

tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria.

E. Kerangka Teori

Adapun teori-teori yang digunakan dalam rangka penelitian sebagai

landasan berfikir dan alat analisis adalah sebagai berikut :

1. Batas usia dalam perkawinan diatur dalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi :

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam

belas) tahun. Dan selanjutnya dalam pasal 6 ayat (2), dinyatakan bahwa

jika belum berumur 21 tahun maka calon pengantin di haruskan mendapat

izin dari orang tua (wali) yang diwujudkan dalam bentuk surat izin

sebagai salah satu syarat untuk melangsungkan pernikahan dan bagi calon

pengantin yang usianya kurang dari 16 tahun harus memperoleh dispensasi

dari pengadilan. Adanya ketentuan ini dimaksudkan agar calon yang akan

melangsungkan pernikahan itu sudah masak jiwa raganya. Namun jika

ternyata ditemukan atau ada pengecualian dari aturan-aturan di atas

merupakan suatu realitas kehidupan yang perlu mendapat perhatian.7

2. Hadits tentang perkawinan Aisyah dengan Rasulullah saw

‫ ﺗﺰو ﺟﻨﻰ اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴ ﻪ وﺳ ﻠﻢ واﻧ ﺎ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ‬


‫ﺑﻨﺖ ﺳﺖ ﺳﻨﻴﻦ وﺑﻨﻰ ﺑﻰ واﻧﺎ ﺑﻨﺖ ﺗﺴﻊ ﺳﻨﻴﻦ‬

7
Undang-undang Perkawinan di Indonesia, op. cit., hlm. 7-8

8
Artinya : Dari Aisyah, ia berkata : Rasulullah menikahi aku sewaktu aku
masih berusia enam tahun, lalu beliau memboyongku ketika aku
sudah berusia sembilan tahun. 8

3. Pendapat Imam Abu Hanifah yang masyhur adalah bahwa anak dianggap

baligh jika sudah berumur 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi

perempuan. Sedangkan menurut Imam Asy Syafi’i dan pengikut-

pengikutnya, anak laki-laki ataupun perempuan sama-sama telah baligh

sewaktu berumur 13 tahun.9 Akan tetapi dari beberapa pendapat tersebut

ada suatu muatan terpenting yang ingin penulis sampaikan berkaitan

dengan batas usia dalam pernikahan, yaitu adanya kesiapan secara fisik,

ekonomi maupun mental baik bagi laki-laki maupun perempuan

memasuki jenjang kehidupan baru tersebut. Hal ini tidak lain karena

dengan ikatan pernikahan akan terbentuk sebuah komunitas baru yang

memiliki aturan-aturan yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban,

masing-masing pihak harus sadar akan tugas dan kewajibannya, harus toleran

dengan penanganan hidupnya, guna mewujudkan keluarga yang bahagia dan

kekal dunia akhirat (mawaddha warrahmah).

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan penulis yaitu metode kualitatif, adalah

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan

dan prilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri.10

8
Adib Bisri Mustofa, Terjemah Shahih Muslim II, terj. Adib Bisri Mustofa, CV. Asy
Syifa, Semarang, 1993, hlm. 777
9
Muhammad Ali As Sayis, Tafsir Ayat Al Ahkam, Muhammad Ali Sabik, 1983,
hlm. 185
10
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English
Press, Jakarta, 1991, hlm. 781

9
1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah file research, yaitu terjun

langsung kelapangan guna mengadakan penelitian pada obyek yang

dibahas.11

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama

yakni perilaku warga masyarakat melalui penelitian.12

b. Data sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan

seterusnya.13

2. Metode Pengumpulan Data

a. Wawancara, yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara

untuk memperoleh informasi dari terwawancara.14 Wawancara ini

dilakukan dengan warga masyarakat Kelurahan Karang Ketuan,

Kecamatan Lubuk Linggai Selatan II, Kota Lubuk Linggau.

b. Observasi, seperti yang dikatakan oleh Karlinger bahwa dalam

mengamati bukan hanya melihat obyek, tetapi mengobservasi adalah

suatu istilah umum yang mempunyai arti semua bentuk penerimaan

data yang dilakukan dengan cara merekam kejadian, menghitung,

mengukurnya, dan mencatatnya. Observasi adalah suatu usaha sadar

11
Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Research I, Yayasan Penelitian Fakultas
Psikologi UGM, Yogyakarta, 1981, hlm. 4
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Yogyakarta, 1986, hlm. 12
13
Ibid.
14
Suharsimi Arikunto, Prosedur Pendekatan suatu Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1998,
hlm. 115

10
untuk mengumpulkan data yang dilakukan secara sistematis dengan

prosedur yang berstandar.15

c. Dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang

berupa catatan perkawinan di Kelurahan Karang Ketuan, metode ini

digunakan untuk memperoleh data tentang jumlah pernikahan.

3. Pendekatan Masalah

a. Pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan yang dasar tujuannya adalah

permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat. Dalam

kaitannya dengan masalah pernikahan di bawah umur, maka

pendekatan ini digunakan untuk mengetahui realitas yang ada di

masyarakat yang mana masih banyak masyarakat yang melakukan

pernikahan di bawah umur, seperti yang terjadi di Kelurahan Karang

Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggai Selatan II, Kota Lubuk Linggau.

b. Pendekatan yuridis yaitu cara pendekatan yang berorientasi pada

gejala-gejala hukum yang bersifat normatif untuk lebih banyak

bersumber pada pengumpulan data kepustakaan. Melalui pendekatan

ini diharapkan sebagai usaha untuk mempelajari ketentuan perundang-

undangan, peraturan-peraturan lain maupun pemikiran yang berkaitan

dengan pelaksanaan pernikahan di bawah umur.16

15
Sutrisno Hadi, Metodologi Researh: untuk Penulisan Paper, Tesis dan Disertasi, cet.
21, Yogyakarta: Andi Offset, 1994, hlm. 193
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1992, hlm. 263

11
4. Analisa Data

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka metode

analisis data digunakan adalah analisis data kualitatif, yaitu teknik

deskriptif non statistik. Metode ini digunakan untuk data nonangka maka

analisis yang digunakan juga analisis non statistik dengan menggunakan

metode induktif, yaitu cara berpikir yang bertolok dari hal-hal yang

bersifat khusus, kemudian digeneralisasikan ke dalam kesimpulan yang

umum. Dan metode deduktif, yaitu berfikir yang berangkat dari masalah-

masalah yang umum kemudian untuk menilai peristiwa-peristiwa yang

khusus. 17

G. Sistematika Pembahasan

Secara global, skripsi ini dibagi dalam lima pembahasan yang satu

sama lain saling berkait dan merupakan suatu sistem yang urut untuk

mendapatkan suatu kesimpulan dalam mendapatkan suatu kebenaran ilmiah.

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pokok

masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori,

metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERNIKAHAN DI

BAWAH UMUR

Bab ini menjelaskan pengertian pernikahan, pandangan secara

biologis dan psikologis tentang masa dewasa, usia perkawinan

17
Sutrisno Hadi, op. cit., hlm. 36

12
menurut UU No. 1/1974, dan pengertian pernikahan di bawah

umur.

BAB III : PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI KELURAHAN

KARANG KETUAN, KECAMATANLUBUK LINGGAU

SELATAN II, KOTA LUBUK LINGGAU

Pada bab ini berisi tentang gambaran umum Kelurahan Karang

Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk

Linggau, data pernikahan di bawah umur di Kelurahan Karang

Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk

Linggau, pelaksanaan pernikahan di bawah umur di Kelurahan

Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota

Lubuk Linggau, faktor-faktor penyebab pernikahan di bawah

umur di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau

Selatan II, Kota Lubuk Linggau dan dampak pernikahan di bawah

umur di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau

Selatan II, Kota Lubuk Linggau.

BAB IV : ANALISA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI

KELURAHAN KARANG KETUAN KECAMATAN LUBUK

LINGGAU SELATAN II, KOTA LUBUK LINGGAU

Bab ini berisi menganalisa faktor-faktor penyebab pernikahan di

bawah umur di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk

Linggai Selatan II, Kota Lubuk Linggau dan analisa dampak

13
pernikahan di bawah umur di Kelurahan Karang Ketuan,

Kecamatan Lubuk Linggai Selatan II, Kota Lubuk Linggau.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran

14
BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR

Pengertian Pernikahan

Pernikahan adalah salah satu kodrat dalam perjalanan hidup manusia.

Pernikahan bukan hanya sekedar jalan yang amat mulia untuk mengatur

kehidupan menuju pintu perkenalan, akan tetapi menjadi jalan untuk

menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Disamping itu

juga pernikahan merupakan jalan untuk menghindarkan manusia dari

kebiasaan hawa nafsu yang menyesatkan.

Dan pengertian pernikahan itu sendiri dapat dilihat dari segi bahasa

dan istilah. Secara bahasa nikah berasal dari bahasa Arab

18
‫حاكن حكني حكن‬
Sedangkan dalam Kamus Besar Indonesia nikah mempunyai arti

hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri secara

resmi.19

Ada juga arti nikah menurut syara’ yaitu akad yang membolehkan

seorang laki-laki bergaul bebas dengan perempuan tertentu dan pada akad

menggunakan akad nikah.20 Jadi apabila antara laki-laki dan perempuan yang

sudah siap untuk membentuk suatu rumah tangga, maka hendaklah perempuan

18
Syarifuddin, Kamus Al Misbah, Bina Aksara, Jakarta, t.t., hlm. 573
19
Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, cet. 3, Balai Pustaka, Jakarta, 1990,
hlm. 614
20
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahli Sunnah dan Negara-negara Islam, cet. I, Bulan Bintang, Yogyakarta, 1980, hlm. 104

15
harus melakukan akad nikah terlebih dahulu. Dalam Al Qur'an bahwa

pernikahan disebut dengan nikah dan mitsaq (perjanjian).21

Ada juga beberapa definisi nikah yang dikemukakan oleh fuqoha,

namun pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan yang berarti karena

semuanya mengarah kepada makna akad kecuali pada penekanan redaksi yang

digunakan. Nikah pada hakekatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk

memberikan kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan seluruh tubuh

wanita untuk penikmatan sebagai tujuan primer.22 Pengertian hak milik,

sebagaimana yang dapat ditemukan hampir semua definisi dari fuqaha, ialah

milk al intifa’, yaitu hak milik penggunaan atau pemakai suatu benda.

Bagi ulama Hanafiah akad nikah membawa konsekuensi bahwa suami

istri berhak memiliki kesenangan (mik al mut’ah) dari istrinya, dari ulama

Malikiyah akad nikah membawa akibat pemilikan bagi suami untuk

mendapatkan kelezatan (talazuz) dari istrinya. Sedangkan bagi ulama

Syafi’iyah akad membawa akibat suami memiliki kesempatan untuk

melakukan jima’ (bersetubuh) dengan istrinya.23 Sebagian ulama Syafi’iyyah

memandang bahwa akad nikah bukanlah untuk memberikan hak milik pada

kaum laki-laki saja akan tetapi kedua belah pihak. Maka golongan itu

berpendapat bahwa seorang istri berhak menuntut persetubuhan dari suami

21
Dengan kata Nikah perhatikan surat An Nisa’ (4) : 3 dan An Nur (24): 32, sedangkan
kata mitsaq dalam surat An Nisa’ (4) : 21
22
Bakri A. Rahman dan Ahmadi Sukadja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-
undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Hidakarya Agung, Jakarta, 1981, hlm. 13
23
Abdu Ar Rahman Al Jaziri, Kitab al Fiqih ‘Ala Al Ma’zahib Al Arba’ah, Dar Al Fikr,
Beirut, 1969, hlm. 2-3

16
dan suami berkewajiban memenuhinya sebagaimana suami berhak

menentukan persetubuhan dari istrinya.24

Sedangkan menurut UU No. 1/1974 bahwa pernikahan adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.25

Adapun syarat syahnya pernikahan itu apabila telah memenuhi syarat-

syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang maupun hukum Islam.

Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa

pernikahan adalah syah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing.

Sedangkan menurut hukum perkawinan Islam yang dijadikan pedoman syah

dan tidaknya pernikahan itu adalah dipenuhinya syarat-syarat dan rukun

pernikahan berdasarkan hukum agama Islam. Dalam hal ini hukum Islam

mengenal perbedaan antara syarat dan rukun pernikahan. Rukun merupakan

sebagian dari hakekat pernikahan itu sendiri dan jika tidak dipenuhi maka

pernikahan tidak akan terjadi.26

Rukun pernikahan tersebut antara lain :

1. Adanya kedua mempelai

2. Adanya wali dari pihak calon mempelai wanita

3. Adanya dua orang saksi

24
Ibid., hlm. 40
25
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan, PT. Pradya
Paramita, Jakarta, No. 1/1974, pasal 2 ayat (1)
26
Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan
Ulasan secara Sosiologi Hukum, Pradia Paramita, Jakarta, 1986, hlm. 31

17
4. Adanya shighot akad nikah atau ijab qabul

5. Mahar atau mas kawin.27

Adapun syarat pernikahan menurut UU Perkawinan No. 11 tahun 1974

antara lain :

1. Perkawinan dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya, pasal 2

ayat (1)

2. Tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku, pasal 2 ayat (2)

3. Perkawinan seorang laki-laki yang sudah mempunyai istri harus mendapat

ijin dari pengadilan, pasal 3 ayat (2) dan pasal 27 ayat (2)

4. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur

21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. Pasal 6 ayat (2). Bila orang

tua berhalangan, ijin diberikan oleh pihak lain yang ditentukan dalam

undang-undang pasal 6 ayat (2-5).

5. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 7 ayat (1),

ketentuan ini tidak bertentangan dengan Islam, sebab setiap masyarakat

dan setiap zaman berhak menentukan batas-batas umur bagi perkawinan

selaras dengan system terbuka yang dibakai Al Qur'an dalam hal ini.

6. Harus ada persetujuan antara kedua calon mempelai kecuali apabila

hukum mementukan lain. Pasal 6 ayat (1), hal ini untuk menghindarkan

paksaan bagi calon mempelai dalam memilih calon isteri atau suami.

27
Slamet Abidin dan H. Aminudin, Fiqih Munakahat, Pustaka Setia, Bandung, 1999,
hlm. 72

18
Diantara syarat-syarat tersebut adalah salah satu cara yang harus dipenuhi

dalam mencapai tujuan suatu pernikahan. Dalam pasal 1 Undang-undang

Perkawinan No. 1/1974 dinyatakan bahwa pernikahan adalah untuk membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar

masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan material, yang artinya bahwa pernikahan yang

dilangsungkan bukan hanya sementara saja, akan tetapi untuk selama-lamanya.

Dikarenakan tidak boleh pernikahan yang dilangsungkan untuk sementara saja

seperti pernikahan kontrak. Dari rumusan tersebut dapat mengandung makna

bahwa pernikahan tersebut dapat melahirkan kebahagiaan lahir dan batin yang

bersifat kekal abadi.

Pandangan Secara Biologis dan Psikologi tentang Masa Dewasa

1. Pandangan secara Biologis

Adapun ciri-ciri kedewasaan seseorang cara biologis menurut para

ulama adalah sebagai berikut : para ulama ahli fiqh sepakat dalam

menentukan taklif (dewasa dari segi fisik, yaitu seseorang sudah dikatakan

mukallaf/baligh) ketika sudah keluar mani (bagi laki-laki), sudah haid atau

hamil (bagi perempuan).28 Apabila tanda-tanda itu dijumpai pada seorang

anak laki-laki maupun perempuan maka para fuqaha sepakat menjadikan

umur sebagai suatu ukuran, akan tetapi mereka berselisih faham mengenai

batas seseorang yang telah dianggap sudah dewasa.

28
Muhammad Ali Assayis, Tafsir Ayat Al Ahkam Al Qur'an, terj. Muhammad Ali Sabiq,
1983, hlm. 212

19
Akan tetapi berdasarkan ilmu pengetahuan kedewasaan seseorang

tersebut akan dipengaruhi oleh keadaan zaman dan daerah dimana ia

berada, sehingga ada perbedaan percepat lambatnya kedewasaan

seseorang.

2. Pandangan secara psikologis

Ciri-ciri secara psikologis yang paling pokok adalah mengenai

pola-pola sikap, pola perasaan, pola pikir dan pola prilaku nampak

diantaranya :

a. Stabilitas mulai timbul dan meningkat, pada masa ini terjadi banyak

penyesuaian dalam aspek kehidupan.

b. Citra diri dan sikap pandangan lebih realistis, pada masa ini mulai

dapat menilai dirinya sebagaimana adanya, menghargai miliknya,

keluarganya, orang lain seperti keadaan sesungguhnya sehingga timbul

perasaan puas dan menjauhkannya dari rasa kecewa.

c. Menghadapi masalahnya secara lebih matang, usaha pemecahan

masalah-masalah secara lebih matang dan realistis merupakan produk

dari kemampuan berfikir yang lebih sempurna dan ditunjang oleh

sikap pandangan yang realistis sehignga diperoleh perasaan yang lebih

tenang.

d. Perasaan menjadi lebih tenang, ketenangan perasaan dalam

menghadapi kekecewaan atau hal-hal lain yang mengakibatkan

kemarahan mereka, ditunjang oleh adanya kemampuan pikir dan dapat

menguasai atau mendominasi perasaan-perasaannya serta keadaan

yang realistis dalam menentukan sikap, minat dan cita-cita

20
mengakibatkan mereka tidak terlalu kecewa dengan adanya kegagalan-

kegagalan yang dijumpainya, kebahagiaan akan semakin kuat jika

mereka mendapat proyek respek dari orang lain atau usaha-usaha

mereka.29

Dari beberapa pendapat tersebut ada suatu muatan terpenting yang


ingin penyusun sampaikan yang berkaitan dengan
batas usia dalam perkawinan adalah kesiapan
secara fisik, ekonomi maupun mental baik bagi
laki-laki maupun perempuan untuk emmasuki
jenjang kehidupan baru tersebut. Karena suatu
ikatan dalam perkawinan akan terbentuk suatu
komunitas yang baru dan akan memiliki aturan-
aturan yang amsing-masing mempunyai hak dan
kewajiban, masing-masing pihak juga harus sadar
akan tugas dan kewajibannya, harus toleran dengan
pasnagan hidupnya, agar terwujud suatu keluarga
yang bahagia dan kekal di dunia maupun akherat
(sakinah, mawaddha, warrahmah).

Usia Pernikahan Menurut Undang-undang Perkawinan No.

1/1974

Menurut Undang-undang perkawinan No. 1/1974 sebagai hukum

positif yang berlaku di Indonesia, menetapkan batas umur perkawinan 19

tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, (pasal 7 ayat (1)), namun

batas usia tersebut bukan merupakan batas usia seseorang telah dewasa

yang cukup dewasa untuk bertindak, akan tetapi batas usia tersebut

hanya merupakan batas usia minimal seseorang boleh melakukan

pernikahan.

Di dalam pasal 6 ayat (2), disebutkan bahwa seseorang sudah

dikatakan dewasa kalau sudah mencapai umur 21 tahun, sehingga dalam

29
Andi Mapreare, Psikologi Remaja, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 36-40

21
melakukan pernikahan tidak perlu mendapatkan izin dari kedua orang tuanya.

Pasal 6 ayat 2 ini sejalan dengan pemikiran Yusuf Musa yang berpendapat

bahwa orang dikatakan sudah sempurna kedewasaannya setelah mencapai

umur 21 tahun. Mengingat situasi dan kondisi zaman dan sekaligus juga

mengingat pentingnya pernikahan di zaman modern sekarang ini, orang

menikah demi kemaslahatan umat manusia. Namun kalau dicermati seksama

pasal-pasal yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1974, khususnya sehingga

orang menikah tidak harus mencapai usia yang ditentukan dalam pasal-pasal

undang-undang tersebut. Seseorang sudah boleh menikah jika sudah siap lahir

dan batin. Kesiapan mental dan fisik harus diperhatikan, mengingat tanggung.

Pernikahan di Bawah Umur

Pernikahan di bawah umur adalah pernikahan yang dilakukan oleh

seseorang laki-laki dan seorang wanita di mana umur keduanya masih di

bawah batas minimum yang diatur oleh Undang-undang. Dan kedua calon

mempelai tersebut belum siap secara lahir maupun batin, serta kedua calon

mempelai tersebut belum mempunyai mental yang matang dan juga ada

kemungkinan belum siap dalam hal materi.

Dan berdasarkan pendapat Sarlito Wirawan Sarwono bahwa batas usia

dewasa bagi laki-laki 25 tahun dan bagi perempuan 20 tahun, karena

kedewasaan seseorang tersebut ditentukan secara pasti baik oleh hukum positif

maupun hukum Islam. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa batasan usia

dikatakan di bawah umur ketika seseorang kurang dari 25 tahun bagi laki-laki

22
dan kurang dari 20 tahun bagi perempuan. Sedangkan kata di bawah umur

mempunyai arti bahwa belum cukup umur untuk menikah.

Dari segi psikologi, sosiologi maupun Hukum Islam Pernikahan

dibawah umur terbagi menjadi dua kategori, pertama pernikahan di bawah

umur asli yaitu pernikahan di bawah umur yang benar murni dilaksanakan

oleh kedua belah pihak untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya

maksud semata-mata hanya untuk menutupi perbuatan zina yang telah

dilakukan oleh kedua mempelai. Kedua pernikahan di bawah umur palsu yaitu

pernikahan di bawah umur yang pada hakekatnya dilakukan sebagai

kamuflase dari kebejatan prilaku dari kedua mempelai, pernikahan ini hanya

untuk menutupi perilaku zina yang pernah dilakukan oleh kedua mempelai.

Hal ini berarti antara anak dan kedua orang tua bersama-sama untuk menipu

masyarakat dengan cara melangsungkan pernikahan yang mulia dengan

maksud untuk menutupi aib yang telah dilakukan oleh anaknya. Dan mereka

berharap agar masyarakat untuk mencium “bau busuk” yang telah dilakukan

oleh anaknya bahkan sebaliknya memberikan ucapan selamat dan ikut juga

berbahagia.30

Sedangkan pengertian pernikahan baligh nikah dalam hukum Islam seperti

yang diterapkan oleh ulama fiqh adalah tercapainya usia yang menjadikan

seseorang siap secara biologis untuk melaksanakan perkawinan, bagi laki-laki

yang sudah bermimpi keluar mani dan perempuan yang sudah haid, yang

demikian dipandang telah siap nikah secara biologis. Akan tetapi dalam

23
perkembangan yang terjadi kemampuan secara biologis tidaklah cukup untuk

melaksanakan perkawinan tanpa mempunyai kemampuan secara ekonomis dan

psikis.

Secara ekonomis berarti sudah mampu mencari atau memberi nafkah

dan sudah mampu mebmayar mahar, seangkan secara psikis adalah kedua

belah pihak sudah masak jiwa raganya. Perkawinan dapat dikatakan ideal jika

sudah mempunyai tiga unsur di atas (kemampuan biologis, ekonomis dan

psikis), karena ketiga kemampuan tersebut dimungkinkan telah ada pada

seseorang ketika sudah berumur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi

perempuan.31

Pernikahan bukanlah sebagai alasan untuk memenuhi kebutuhan

biologis saja yang bersifat seksual akan tetapi pernikahan merupakan suatu

ibadah yang mulia yang diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Maka

pernikahan tersebut akan terwujud jika diantara kedua belah pihak sudah

memiliki tiga kemampuan seperti yang disebutkan di atas dengan kemampuan

tersebut maka akan terciptanya hubungan saling tolong menolong dalam

memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing, saling nasehat menasehati

dan saling melengkapi kekurangan masing-masing yang dicerminkan dalam

bentuk sikap dan tindakan yang bersumber dari jiwa yang matang sehingga

keluarga yang ditinggalkannya akan melahirkan keindahan keluarga dunia

yang kekal dan abadi.

30
Abu Al Ghifari, Pernikahan Dini Dilema Generasi Extravaganza, Mujahid Press,

24
BAB III

PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI KELURAHAN KARANG


KETUAN, KECAMATAN LUBUK LINGGAU SELATAN II, KOTA
LUBUK LINGGAU

A. Gambaran Umum Kota Lubuk Linggau

Kota Lubuk Linggau berada pada posisi paling barat propinsi

Sumatera Selatan dengan luas wilayah 401,50 km2, beriklim tropis, topografi

bervariasi, dengan ketinggian 129 m dpl dan secara umum anah dan sumber

daya alamnya cukup subur serta berpotensi guna mendukung pengembangan

dan pembangunan wilayah, posisi wilayah kota Lubuk Linggau berada di

persimpangan (transit) dari beberapa kota di provinsi Sumatera Selatan dan

kota-kota lain di luar provinsi Sumatera Selatan seperti Jambi, Bengkulu dan

Padang. Selain kondisi geografis yang strategis, kota Lubuk Linggau juga

memiliki berbagai sumber daya alam (recoirces) yang dapat dimanfaatkan

untuk membangun dan meningkatkan kemakmuran daerah ini.

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2004 tentang

pemekaran Kelurahan dalam kota Lubuk Linggau maka Kelurahan dalam

Kota Lubuk Linggau yang semula 49 (empat puluh sembilan) Kelurahan

dimekarkan menjadi 72 (tujuh puluh dua) kelurahan. Serta Peraturan Daerah

Nomor 8 tahun 2004 tentang pemekaran Kecamatan dalam kota Lubuk

Linggau dari 4 (empat) Kecamatan menjadi 8 (delapan) kecamatan, dan telah

diresmikan oleh Gubernur Sumatera Selatan pada tanggal 18 Oktober 2004.

Bandung, 2002, hlm. 20

25
Dari 8 (delapan) Kecamatan tersebut, kelurahan Karang Ketuan

terletak di Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II. Kecamatan Lubuk Linggau

Selatan II terdiri 7 kelurahan yang terbagi dalam 9 RW dan 60 RT.

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II terletak di sebelah selatan kota

Lubuk Linggau dan berbatasan dengan Kabupaten Musi Rasa, Kota

Tugumulyo (Mirasi).

Dan Kelurahan Karang Ketuan terletak di sebelah selatan dari

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau, Kelurahan

Karang Ketuan terbagi dalam 4 RT.

Kelurahan Karang Ketuan memiliki 387 kepala keluarga dengan total

penduduk sebanyak 1401 jiwa terdiri dari 708 jiwa laki-laki dan 695 jiwa

perempuan. Rincian secara tabel untuk data jumlah penduduk di Kelurahan

Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau

yang kami himpun data statistik Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau tahun 2006 adalah sebagai berikut :

TABEL I
JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN UMUR

No Umur Jumlah

1 00-04 tahun 142 orang


2 05-09 tahun 93 orang
3 10-14 tahun 145 orang
4 15-19 tahun 146 orang
5 20-24 tahun 170 orang
6 25-29 tahun 115 orang

31
UUP, op.cit., pasal 7 ayat 1

26
No Umur Jumlah

7 30-34 tahun 126 orang


8 35-39 tahun 97 orang
9 40-44 tahun 96 orang
10 45-49 tahun 69 orang
11 50-54 tahun 37 orang
12 55-59 tahun 13 orang
13 60-69 tahun 1 orang
14 70-74 tahun -
15 > 74 tahun 25 orang
Sumber : Data monografi Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan
Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau,
Desember 2006

Penduduk Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau

Selatan II, Kota Lubuk Linggau rata-rata berpendidikan rendah, hal tersebut

dapat dilihat dari tabel berikut :

TABEL II
JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN

No Tingkat Pendidikan Jumlah


1 Tidak tamat SD 139
2 Berpendidikan SD dan sederajat 374
3 SMP dan sederajat 192
4 SMA dan sederajat 174
5 D1 sampai D3 29
6 Perguruan Tinggi/S1 24
7 Pasca Sarjana 1
Sumber : Data monografi Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan
Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau,
Desember 2006

27
Dari hasil prosentase tersebut dapat dilihat betapa terpaut jauh antara

masyarakat kelurahan Karang Ketuan yang berpendidikan pasca sarjana,

S1 dengan yang berpendidikan SD sampai SMA yaitu 90%nya. Hal ini

belum dihitung dengan masih ada masyarakat yang buta huruf yang masih

ada di masyarakat khususnya para orang tua.

Dari segi agama mayoritas hampir 99% penduduk di Kelurahan

Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk

Linggau Karang Ketuan beragama Islam, sisanya Katolik, Protestan dan

Hindu dengan rincian sebagai berikut :

TABEL III
JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA

No Agama Jumlah
1 Islam 1365 orang
2 Katolik 10 orang
3 Protestan 20 orang
4 Hindu 6 orang
Sumber : Data monografi Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan
Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau, Desember
2006

B. Pelaksanaan Pernikahan di Bawah Umur di Kelurahan Karang Ketuan

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau

Dari penelusuran data di Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau untuk periode mulai tahun 2004

sampai 2006 diperoleh data sebagai berikut :

28
TABEL IV
TABEL DATA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR
DI KELURAHAN KARANG KETUAN TAHUN 2004-2006
Nama Umur Pendidikan Tanggal
No Alamat
Suami Istri Suami Istri Suami Istri Menikah
1 Junaidi Elia Jaliah 15 th 15 th SD SD 22-6-2004 RT 01
2 M. Rosyid Elfa S. 26 th 15 th SMP SD 20-5-2003 RT 04
3 Rusdi Ika Eriyana 18 th 16 th SMP SD 1-5-2005 RT 02
4 Firman Syah Heny H. 20 th 14 th SD SD 28-5-2006 RT 01
5 Agusman Nur A. Wasih 19 th 13 th SMP SD 18-8-2004 RT 01
6 Dedy H. Herlina 17 th 15 th SD SD 21-6-2006 RT 02
7 Suryanto Sumarti 18 th 14 th SD SD 20-10-2005 RT 04
8 Parji Heti Andriani 19 th 13 th SMP SD 1-2-2005 RT 01
9 Hariadi Mayya 21 th 14 th SMP SD 27-1-2006 RT 02
10 Haryono Desi 19 th 13 th SMP SMP 24-3-2005 RT 04

Sumber : Data catatan pernikahan Kelurahan Karang Ketuan


tahun 2006
Dari data di atas menunjukkan tingkat pernikahan di bawah umur di

Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk

Linggau pada tahun 2004-2006 ada 91 data perkawinan tetapi data tersebut

yang melakukan pernikahan di bawah umur ada 10 kasus. Dari kasus

pernikahan tersebut yang terjadi karena manipulasi atau pemalsuan umur

yang dilakukan oleh orang tua mereka.

Pelaksanaan pernikahan di bawah umur di masyarakat Kelurahan

Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau

merupakan suatu problematika dan simalakama karena ada rasa takut dan

khawatir pada diri orang tua, anaknya akan terjerumus ke jurang maksiat.

Sehingga pernikahan di bawah umur itu dianggap suatu jalan yang terbaik,

29
walaupun anak itu belum mampu baik secara materi maupun immaterial

(psikologis).32

Kenyataan bahwa pernikahan di bawah umur bukan hanya

merupakan kisah lama yang terjadi, peninggalan masa lalu yang dalam setiap

waktu masih ada dan terjadi. Walaupun dalam bentuk dan cara yang berbeda,

seperti halnya yang terjadi di Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau, rendahnya usia pernikahan di

Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk

Linggau ini lebih merupakan tradisi lama yang masih berkembang di

masyarakat, sehingga sulit untuk dihilangkan. Secara sosiologis struktur

masyarakat desa lebih merupakan keluarga luas, yang hal ini sangat

mempengaruhi pola-pola kehidupan masyarakat dalam membentuk sebuah

keluarga yang merupakan awal mula terbentuknya masyarakat.

Praktek pernikahan di bawah umur yang terjadi di masyarakat tidak

diketahui secara pasti kapan awal mula terjadinya, namun yang pasti

pelaksanaan pernikahan di bawah umur tersebut masih berlangsung sampai

sekarang. Kalau dilihat secara sepintas ada dua cara yang ditempuh oleh

masyarakat dalam mensiasati Undang-undang Perkawinan No. 1/1974, yaitu

pertama dengan meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama setempat, dan

yang kedua dengan melakukan pemalsuan umur yang dilakukan oleh orang

tua mereka sendiri. Tetapi yang melakukan dispensasi lebih kecil ketimbang

yang melakukan pemalsuan umur. Alasan orang tua yang tidak meminta

32
Wawancara dengan Bpak Musyhudin selaku tokoh masyarakat di RT 04 Kelurahan
Karang Ketuan tanggal 15 Januari 2007

30
dispensasi di Pengadilan Agama karena mereka takut bila tidak diberikan ijin

oleh kelurahan untuk menikahkan anaknya. Sebab pada hakekatnya pihak

kelurahan tidak akan menerima atau menolak terjadi pernikahan di bawah

umur.

Yang menjadi tolok ukur masyarakat dalam menentukan kedewasaan

seorang anak adalah dari segi fisiknya, sehingga dengan melihat keadaan fisik

anak tersebut, mereka bisa merekayasa umurnya sesuai dengan pertumbuhan

fisiknya walaupun masih dalam usia yang sangat muda. Hal yang semacam

ini sering dilakukan oleh orang tua dalam mendaftarkan pernikahan anaknya

di kelurahan atau aparat desa.

Aparat desa juga tidak perlu lagi menanyakan kepada orang tuanya,

tentang usia sebenarnya anak mereka. Karena orang tua sudah berani memberi

izin dan menandatangani surat izin yang mengatakan bahwa benar apa yang

mereka tulis sudah sesuai dengan kenyataan yang ada. Sehingga aparat desa

memberikan izin untuk anak mereka melangsungkan pernikahan.

Di samping itu, pelaksanaan pernikahan di bawah umur tersebut

adalah karena pada umumnya masyarakat tidak mengetahui secara pasti

tentang aturan-aturan batas usia pernikahan yang terdapat dalam Undang-

undang Perkawinan No. 1/1974. Hal ini disebabkan kurang adanya sosialisasi

mengenai UUP No. 1/1997 oleh pihak yang berwenang, sehingga masyarakat

menganggap bahwa pernikahan yang mereka lakukan bukanlah termasuk

pernikahan di bawah umur, akan tetapi merupakan pernikahan normal yang

dibolehkan dan tidak bertentangan dengan Islam, karena memang Islam

31
menentukan secara pasti batas-batas usia pernikahan seperti yang ditentukand

alam UUP No. 1/1974.

Kebanyakan masyarakat itu mendasarkan pernikahan yang mereka lakukan dengan pernikahan

yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dengan Siti Aisyah yang masih

berusia 9 tahun. Sehingga mereka tidak dapat memahami atau mengambil

hikmah dari aturan yang ditetapkan oleh UUP No. 1/1974.

Dan pada umumnya masyarakat menganggap bahwa pendidikan

anaknya hanya cukup masimal tingkat Sekolah Dasar (SD). Jika diteliti ada

dua penyebab, yaitu pertama karena orang tua kurang mampu dalam ekonomi,

dan yang kedua karena orang tua ingin segera meminang cucu dan ada

perasaan takut anaknya dikatakan tidak laku dan perawan tua.

Dari data yang di dapat, kebanyakan pernikahan di bawah umur

dilakukan oleh kaum wanita daripada laki-laki. Hal ini karena umumnya

masyarakat menganggap bahwa perempuan hanya sebagai pelayan seorang

laki-laki setelah menikah walaupun pendidikan tinggi namun pada akhirnya ia

akan kembali ke dapur dan tinggal di rumah, agar terhindar dari fitnah. Dan

posisi wanita dalam sebuah rumah tangga harus berbakti dan patuh pada laki-

laki.

C. Faktor-faktor Penyebab Pernikahan di Bawah Umur

Seperti yang telah diuraikan di atas, maka secara eksplisit faktor-

faktor yang mendorong terjadinya pernikahan di bawah umur tersebut antara

lain :

32
1. Faktor pernikahan atas kehendak orang tua

Di masyarakat Kelurahan Karang Ketuan pada umumnya tidak

menganggap penting masalah usia anak yang dinikahkan, karena mereka

berpikir tidak akan mempengaruhi terhadap kehidupan rumah tangga mereka

nantinya.

Umur seseorang tidaklah suatu jaminan untuk mencapai suatu

kebahagiaan, yang penting anak itu sudah aqil (baligh), aqil (baligh) bagi

masyarakat desa ditandai dengan haid bagi perempuan berapapun umurnya,

sedangkan bagi laki-laki apabila suaranya sudah berubah dan sudah mimpi

basah.

Jika orang tua sudah melihat tanda-tanda tersebut pada anaknya,

maka orang tua segera mencari jodoh untuk anaknya, lebih-lebih orang tua

dari pihak perempuan. Sehingga bagi orang tua perempuan tidak mungkin

untuk menolak lamaran seseorang yang datang untuk meminang anaknya

meskipun anak tersebut masih kecil. Dan kebanyakan di masyarakat

kelurahan Karang Ketuan anak-anak yang masih usia muda sudah

bertunangan.

Karena dalam perjodohan ini orang tua berperan lebih aktif,

sehingga memberi kesan seakan-akan mencarikan jodoh untuk anaknya

adalah merupakan tugas dan tanggung jawab yang sangat penting bagi

orang tua. Sehingga banyak kasus bila anak tersebut sudah dewasa, maka

mereka akan menentukan sikap dan pilihannya sendiri dengan cara

memberontak dan lari.

33
Akan tetapi orang tua dengan berbagai cara mempertahankan

ikatan pertunangan yang sudah lama mereka bina selama bertahun-tahun

untuk sampai ke pelaminan. Dan para orang tua yang egois dalam

mempertahankan ikatan pertunangan itu mengambil jalan menyumpahi

anak dan mengklaim anaknya sebagai anak yang tidak berbakti kepada

orang tua dan durhaka. Sehingga anak dengan terpaksa menerima

perjodohan tersebut, dan anak tersebut akhirnya putus sekolah karena

orang tua segera mengawinkannya untuk menjaga segala kemungkinan

yang buruk akan terjadi.33

2. Kemauan Anak

Di masyarakat Kelurahan Karang Ketuan, pernikahan di bawah

umur sangat populer dan banyak terjadi. Banyak anak yang melakukan

pernikahan di bawah umur adalah atas kehendaknya sendiri tanpa ada

campur tangan dan dorongan dari orang tua, kenyataan itu disebabkan

karena pengaruh lingkungan yang sangat rendah dengan kejiwaan anak,

sehingga anak tidak mampu untuk menghindarinya.34

Kenyataan ini yang membuktikan bahwa pada umumnya

masyarakat di kelurahan Karang Ketuan sebelum melakukan pernikahan

mereka terlebih dahulu bertunangan. Dan bagi anak yang belum

bertunangan merasa terkucilkan dan kurang dihargai oleh masyarakat.

Karena tidak seperti yang lainnya. Di sini peran orang tua hanya bersikap

pasif, mereka hanya mengikuti apa yang telah menjadi pilihan anaknya.

33
Wawancara dengan Eta S. selaku pelaku pernikahan di bawah umur yang dijodohkan
orang tua bertempat tinggal di RT 04 Kelurahan Karang Ketuan tanggal 19 Januari 2004

34
3. Pengaruh Adat dan Budaya

Di Kelurahan Karang Ketuan, pernikahan di bawah umur sudah

menjadi tradisi turun temurun dan sudah menjadi kebanggaan orang tua

jika anak-anaknya cepat mendapatkan jodoh, agar dapat dihargai oleh

masyarakat.

Suatu kebiasaan yang sudah sejak dahulu dan dipandang kolot pada

zaman modern, masih tumbuh dan berkembang di masyarakat, contohnya

anggapan bahwa anak yang sudah baligh yang belum menikah atau belum

mendapatkan jodohnya, dianggap tidak laku atau dianggap sebagai perawan

tua.

Karena anggapan itulah yang sudah mengakar dalam masyarakat di

Kelurahan Karang Ketuan. Dan dikarenakan malu pada masyarakat jika

mempunyai anak yang lama mendapatkan jodohnya. Sehingga untuk

menutupi rasa malu itu maka orang tua menempuh dua jalan.

Pertama menggunakan hak ijbarnya; kedua dengan cara memotivasi

kepada anaknya untuk segera mencari jodohnya agar anaknya segera

menikah.35

4. Pengaruh Rendahnya Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu pisau bedah yang cukup ampuh

dan kuat dalam merubah suatu sistem adat dan kebudayaan yang sudah

34
Wawancara dengan Junaidi selaku pelaku pernikahan di bawah umur yang berdomisili
di RT 03 Kelurahan Karang Ketuan tanggal 16 Januari 2007
35
Wawancara dengan Bapak M. Taulus S. Kusuma selaku lurah Karang Ketuan tanggal
15 Januari 2007

35
mengakar di masyarakat. Hal ini terkait dengan banyaknya perkawinan di

bawah umur yang terjadi di masyarakat di Kelurahan Karang Ketuan.

Berdasarkan penelitian tersebut, salah satu faktornya adalah

rendahnya tingkat pendidikan. Dan kenyataan inilah yang banyak terjadi di

Kelurahan Karang Ketuan yang melakukan pernikahan di bawah umur

karena rendahnya tingkat pendidikan bila dilihat dari perkembangan

zaman pada saat ini.

5. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang menjadikan

manusia bahagia, walaupun bukan jalan satu-satunya. Tetapi ekonomi

dapat menentukan kedudukan dan kebahagiaan di dunia.

Jika dikaitkan dengan praktek pernikahan di bawah umur, penulis

mendapati bahwa faktor ekonomi merupakan alasan pokok bagi orang tua

dalam menikahkan anaknya. Tujuan dari orang tua untuk segera

menikahkan anaknya agar mereka segera bebas dari tanggung jawabnya

sebagai orang tua, karena pada kenyataannya mereka sudah berumah

tangga perekonomiannya masih tergantung pada orang tuanya.36 Tetapi

ada juga sebagian orang tua yang menikahkan anaknya dengan tujuan agar

anaknya dapat berfikir secara dewasa. Dewasa di sini artinya agar ia bisa

berfikir tentang tanggung jawab dan tidak selalu menggantungkan

hidupnya kepada orang tua.37 Walaupun demikian tidak sesuai dengan

36
Wawancara dengan Bapak Marsimin selaku orang tua dari pelaku pernikahan di bawah
umur tanggal 17 Januari 2007
37
Wawancara dengan Bapak Ridwan selaku orang tua dari pelaku pernikahan di bawah
umur tanggal 17 Januari 2007

36
kenyataan yang ada. Ada juga yang beranggapan bahwa dengan cepatnya

menikahkan anaknya, juga dapat menambah keluarga dan bertambahnya

keluarga maka rizki juga bertambah.

6. Faktor Agama

Faktor agama merupakan salah satu penyebab dari pernikahan di

bawah umur, karena mereka hanya tahu sebatasnya saja, tanpa harus

mengkaji lebih dalam agama tersebut.

Dari keterbatasan itulah orang tua menikahkan anaknya yang masih

dibawah umur, karena mereka takut anak-anaknya akan terjerumus dalam

perbuatan maksiat tanpa mereka memikirkan akibat setelah pernikahan

tersebut.

Melihat perkembangan zaman dan semakin canggihnya teknologi

sehingga masyarakat desapun sudah tak asing lagi dengan acara-acara

televisi yang disiarkan dan VCD-VCD yang sudah tersebar di pelosok

desa, yang hal ini dapat merusak pikiran anak muda.

Terbukti di masyarakat desa banyak anak-anak yang terjerumus ke

dalamnya. Mulai berhubungan dengan obat-obat terlarang seperti narkoba,

minuman keras dan semacamnya, sehingga orang tua khawatir merusak

agama dan akhlak anak-anak, maka mereka mengambil jalan pintas untuk

segera mencarikan jodoh anaknya dan segera menikahkannya agar mereka

tidak terjerumus dan dapat berfikir secara dewasa juga bertanggung jawab

dalam rumah tangga.

37
D. Dampak Pernikahan di Bawah Umur

Pernikahan di bawah umur merupakan suatu bentuk perkawinan yang

tidak sesuai dengan yang diidealkan oleh ketentuan yang berlaku dimana

perundang-undangan yang telah ada dan memberikan batasan usia untuk

melangsungkan perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan di usia muda

merupakan bentuk penyimpangan dari perkawinan secara umum karena tidak

sesuai dengan syarat-syarat perkawinan yang telah ditetapkan.

Secara sederhana bahwa perkawinan usia dibawah umur

mengakibatkan sulitnya untuk mewujudkan tujuan perkawinan yang sakinah,

mawaddah dan warrohmah, apabila dibandingkan dengan perkawinan yang

telah disesuaikan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh perundang-

undangan.

Hal ini tidak berarti bahwa perkawinan usia dibawah umur dapat

dipastikan sulit untuk mewujudkan tujuan perkawinan, karena perkawinan

yang memenuhi persyaratan usiapun pada kenyataannya tidak semuanya

dapat mewujudkan perkawinan sebagaimana yang disebutkan di atas. Namun

demikian perkawinan usia muda jelas beresiko lebih besar daripada

perkawinan yang telah memenuhi persyaratan usia.

Perkawinan usia muda tidak hanya dapat berakibat negatif terhadap

kedua belah pihak mempelai, tetapi juga berdampak pada anak hasil

perkawinan usia muda, keluarga dan masyarakat.

38
Dari hasil wawancara dari 10 responden, dapat dilihat dampak

pernikahan di bawah umur sebagaimana yang terdapat dalam tabel berikut ini

TABEL V
DAMPAK-DAMPAK PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR
No Dampak Pernikahan di Bawah Umur Jumlah
1 Proses persalinan istri
a. Lancar melalui proses alami 8 orang
b. Melalui operasi 2 orang
2 Kesehatan ibu setelah melahirkan :
a. Baik 8 orang
b. Tidak baik 2 orang
3 Kesehatan anak
a. Baik 8 orang
b. Tidak baik 2 orang
4 Masalah pendidikan dan pengajaran anak
a. Diserahkan orang lain 1 orang
b. Dididik sendiri 9 orang
5 Pengetahuan mengenai merawat anak
a. Sudah cukup 7 orang
b. Belum cukup 3orang
6 Cara menyelesaikan masalah keluarga
a. Musyawarah 6 orang
b. Menggunakan pihak ketiga 4 orang
7 Ekonomi keluarga
a. Bekerja sendiri 8 orang
b. Menggantungkan orang tua 2 orang
Hasil wawancara terhadap 10 orang responden

Masalah pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anaknya dari 10

responden ternyata 1 responden menyerahkan pendidikan dan pengajaran

39
anaknya kepada orang lain, karena mereka kurang paham bagaimana cara

mendidik anak. Sedangkan 9 responden lagi masalah pendidikan dan pengajaran

terhadap anak didiknya sendiri karena sudah siap dan paham bagimana cara

mendidik seorang anak.

Pengetahuan bagaimana cara merawat seorang anak dari 10

responden, 7 responden sudah tahu bagaimana cara merawat seorang anak

karena banyak tanya kepada orang lain bagaimana cara merawat anak dan 3

responden lainnya belum begitu paham bagaimana cara merawat anak.

Karena mereka sendiri masih terlalu kecil untuk merawat anak.

Sedangkan penyelesaian masalah yang terjadi dalam keluarga mereka

ada yang menyelesaikan secara musyawarah dan ada juga yang memerlukan

bantuan pihak ketiga. Dari 10 responden, 6 responden menyelesaikan masalah

melalui musyawarah dan 4 responden lainnya menyelesaikan masalah dibantu

pihak ketiga, yaitu orang tua mereka sendiri. Karena tanpa pihak ketiga

masalah dalam keluarga mereka tidak selesai-selesai juga.

Akan tetapi masalah perekonomian dalam keluarga mereka ada yang

sudah bekerja sendiri dan ada juga yang menggantungkan kepada orang tua

mereka. Dari 10 responden, 8 responden sudah dapat memenuhi kebutuhan

perekonomian dan diri mereka sendiri. Karena mereka sudah bekerja baik

kerja sebagai petani atau lainnya. Dua responden lagi masih menggantungkan

perekonomian mereka kepada orang tua, karena mereka belum bekerja dan

orang tua mereka selalu memberikan apa yang diminta oleh anaknya.

40
BAB IV
ANALISA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI KELURAHAN
KARANG KETUAN KECAMATAN LUBUK LINGGAU SELATAN II,
KOTA LUBUK LINGGAU

A. Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Pernikahan di Bawah Umur

Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pernikahan di bawah

umur. Seperti dalam bab III antara lain :

1. Pernikahan atas Kehendak Orang Tua

Pelaksanaan pernikahan di bawah umur yang terjadi di masyarakat

Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota

Lubuk Linggau disebabkan karena faktor orang tua yang menikahkan

anaknya dengan paksa dan memalsukan umurnya. Sebenarnya itu

merupakan tindakan yang kurang bijaksana menurut Islam dan UU

Perkawinan No. 1/1974 sesuai dengan ketentuan dalam pasal 6 ayat (1)

yang berbunyi “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai”

Walaupun orang tua (wali) mempunyai hak untuk menikahkan

anaknya dengan paksa, tapi mereka (orang tua/wali) tidak sewenang-

wenang untuk menentukan pilihan tanpa harus meminta pertimbangan

dahulu dari anak-anaknya.

Agar terjadi kemaslahatan umur dalam melakukan pernikahan yang

benar-benar berdasarkan atas suka sama suka tanpa paksaan dari orang tua,

41
karena yang demikian akan menimbulkan rasa tanggung jawab atas diri

masing-masing.

Menurut penulis proses pernikahan harus lewat kerelaan atau

persetujuan dari kedua calon mempelai (menurut UU Perkawinan No. 1

tahun 1974 pasal 6 ayat (2)) karena setiap pernikahan yang dilaksanakan

dengan paksaan akan menimbulkan akibat yang sangat rawan atau sensitif

untuk membina kehidupan rumah tangga. Sebenarnya banyak anak yang

tidak mau dinikahkan menurut pilihan orang tua dan apabila terjadi maka

tujuan dari pernikahan tidak tercapai, karena pada akhirnya pernikahan

tersebut merupakan tempat untuk melampiaskan hawa nafsu dan

kebutuhan biologis saja.

Sedangkan hukum Islam memang mengakui adanya hak ijbar yang

dimiliki oleh orang tua (wali) untuk menikahkan anaknya yang masih dib

awah umur. Kenyataanyang terjadi di Kelurahan Karang Ketuan

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau anak yang

dinikahkan secara biologis sudah dikatakan baligh, karena mereka pada

umumnya telah mengalami tanda-tanda kedewasaan, seperti haid dan telah

mengalami mimpi basah. Sedangkan umur yang ditentukan oleh UU

Perkawinan No. 1/1974 pasal 7 ayat (1). Namun secara psikologis calon

mempelai tersebut belum tentu dewasa karena tujuan pernikahan adalah

untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-undang Perkawinan No.

1 tahun 1974 pasal 1).

42
Hak perwalian orang tua yang terdapat dalam UU Perkawinan No.

1/1974 diatur dalam pasal 50 ayat (1) yang bunyinya bahwa “anak yang

belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan

perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan walinya”.

Tetapi kenyataan yang terjadi pada masyarakat di Kelurahan

Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk

Linggau pada umumnya wali nikah dari anak perempuannya adalah orang

tua kandungannya sendiri selama ia masih hidup ada juga yang orang tua

kandung tidak mau menjadi wali nikahnya dan diserahkan kepada

pengurus P3N, karena menurutnya lebih mengerti tentang perwalian.

2. Faktor Kemauan Anak

Faktor atas kemauan anak dalam pernikahan di bawah umur

menurut pengamatan penulis, karena adanya pengaruh lingkungan di

sekitarnya. Dikarenakan banyaknya anak-anak yang seusianya atau teman-

teman mereka yang sudah menikah, dan akhirnya merekapun terpengaruh

untuk ikut-ikutan menikah disebabkan mereka takut dikatakan tidak laku.

Faktor kemauan anak ini terkadang bukan keinginan sendiri atau

panggilan dari nalurinya, namun dipengaruhi oleh faktor dari luar, seperti

keinginan atau rayuan dari orang tua dan cemoohan dari masyarakat di

sekitarnya. Dan faktor kemauan anak ini masih ada hubungannya dengan

hak ijbar (orang tua/wali) yang menjadi pembeda keduanya adalah siapa

yang berhak menentukan pilihannya. Jika atas kemauan anak, maka anak

itu sendiri yang menentukan pilihannya. Sedangkan orang tua hanya

43
bersikap pasif saja, jika hak ijbar atau perjodohan orang tua, maka yang

berhak menentukan pilihan adalah orang tuanya.

3. Faktor Adat dan Budaya

Praktek pernikahan di bawah umur yang ada pada masyarakat di

Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota

Lubuk Linggau, menurut penulis merupakan tradisi yang sudah ada dalam

beberapa keluarga. Dengan adanya anggapan-anggapan masyarakat

tentang arti sebuah pernikahan, yang menurut mereka merupakan suatu hal

yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat tanpa melihat hakekat

dan tujuan sebuah pernikahan yang lebih dalam lagi, dimana hal itu akan

membawa mereka kepada suatu paradigma yang sebenarnya menyulitkan

mereka, seperti adanya anggapan-anggapan masyarakat bagi anak yang

belum menikah, dengan kata-kata “tidak laku”, “perawan tua”, “sok jual

mahal” dan lain-lain. Da semua itu merupakan bagi seorang wanita yang

lama mendapatkan jodoh atau lama menikahnya.

Adanya tradisi seperti ini tidak mudah diubah dengan adnaya

semangat pendidikan dan kesadaran agama yang tinggi serta peningkatan

ekonomi, karena tidak bertentangan dengan agama Islam yang

membolehkan atau menganjurkan umatnya untuk segera menikah, jika

sudah mempunyai kemampuan. Dan UU No. 1/1974 tidak melarang

mutlak. Ini terbukti karena UU No. 1/1974 masih memberikan

kelonggaran untuk pernikahan di bawah umur yaitu dengan jalan meminta

dispensasi dari Pengadilan Agama (PA).

44
Dengan demikian penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa UU

No. 1/1974 tidak mutlak dalam memberikan suatu ketentuan, sehingga

tidak heran jika banyak terjadi pelanggaran, lebih-lebih fasa umur

pernikahan, yang terjadi di masyarakat Kelurahan Karang Ketuan

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau.

Dan nampak jelas bahwa UU No. 1/1974 sebagai UU positif belum

mampu mengakomodasi semua permasalahan yang dihadapi oleh

masyarakat dan belum nampak jelas bahwa UU No. 1/1974 sebagai

undang-undang positif mampu mengatur masyarakat untuk menjadi lebih

baik. Akibatnya kemudian masyarakat lebih percaya pada hukum adat

yang sudah mengatur di masyarakat.

Suatu kenyataan yang dapat kita lihat dari adanya pernikahan di

bawah umur yang dilakukan di masyarakat Kelurahan Karang Ketuan

Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau pernikahan

tersebut banyak dilakukan karena pengaruh adat, walaupun sebagian dari

masyarakat sudah tahu dengan adanya batasan usia pernikahan, akan tetapi

hal tersebut tidaklah menjadi suatu penghalang bagi mereka untuk

melakukan pernikahan.

45
4. Faktor Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan sebagai salah satu faktor

pelaksanaan pernikahan di bawah umur, menurut penulis adalah

merupakan suatu kewajaran, karena pada umumnya seseorang yang

berpendidikan rendah akan berpikir sempit dan kurang maju serta jauh dari

pertimbangan-pertimbangan.

Namun sebaliknya orang yang berpendidikan tinggi akan

mempunyai pola berpikir yang lebih luas dan lebih bijaksana dalam

mengambil suatu keputusan dan untuk menentukan keputusan melalui

pemikiran yang matang dan jeli, apalagi dalam menentukan suatu

pernikahan dimana pernikahan tersebut adalah suatu pondasi dari

kehidupan bermasyarakat. Namun secara logika bahwa pernikahan yang

dilakukan oleh orang yang berilmu atau berpendidikan akan lebih

bijaksana dalam bertingkah laku dan berfikir, sehingga tujuan dari

pernikahan akan lebih mudah tercapai.

Dengan demikian, maka pelaksanaan pernikahan di bawah umur

suatu bukti bahwa mereka yang belum bisa berfikir secara bijaksana dan

luas, karena mereka yang melakukan pernikahan di bawah umur rata-rata

berpendidikan rendah.

Akibat dari sempitnya pola fikir mereka dan kurangnya

pertimbangan-pertimbangan untuk melakukan pernikahan maka akan

mempengaruhi kehidupan dalam rumah tangga, dan jika di dalam rumah

46
tangganya menemukan permasalahan-permasalahan mereka tidak dapat

memecahkan secara sendiri, dan melibatkan orang tua atau pihak ketiga.

5. Faktor Ekonomi

Adanya faktor ekonomi dalam pelaksanaan pernikahan di bawah

umur di masyarakat di Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau menurut penulis lebih merupakan

pelengkap dan bukan merupakan tujuan utama untuk menikahkan

anaknya, karena dalam kenyataan yang ada mereka yang sudah

berkeluarga atau sudah berumah tangga, ekonominya masih tergantung

kepada orang tuanya. Hal ini terbukti karena mereka belum mempunyai

kemampuan ekonomid an kematangan jiwa raga.

Dari praktek pernikahan di bawah umur tersebut semata-mata

hanya tujuan orang tua agar mereka bahagia dan lega karena sudah

menikahkan anaknya, walaupun secara ekonomi masih tergantung kepada

orang tua.

Namun UU No. 1/1974 pasal 45 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya, (2) dan kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat

(1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.

Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang

tua putus.

Dengan demikian, jelas bahwa sebenarnya orang tua sudah tidak

punya kewajiban lagi untuk memelihara dan mendidik, lebih-lebih

47
memberi nafkah, karena ia sudah menikah. Akan tetapi yang terjadi di

masyarakat pada umumnya orang tua masih ikut campur dalam ekonomi

rumah tangga anaknya.

Menurut penulis hal yang seperti itu akan membuat anak tersebut

lambat untuk berfikir dewasa dan kurang bertanggung jawab dan akan

menjadikan anak sulit untuk cepat mandiri, juga melalaikan keluarganya.

Dari ketergantungan ekonomi bagi mereka yang sudah

berkeluarga, juga dapat menjadi pendorong bagi anak-anak untuk seera

menikah, karena mereka merasa diperhatikan dan kesempatan

menguntungkan bagi yang malas bekerja. Dapat kita lihat bahwa

pernikahan tersebut hanya sekedar untuk melampiaskan nafsu belaka, dan

tanpa terbebani oleh tanggung jawab dalam memberi nafkah kepada

keluarga.

Akan tetapi perlu penulis ingatkan bahwa ada juga merka yang

menikah di usia di bawah umur karena tidak bisa melanjutkan sekolah

disebabkan tidak mempunyai biaya dan kurangnya dorongan dari orang

tua, akhirnya mereka terpaksa harus menikah agar tidak menjadi bahan

pembicaraan atau gunjingan masyarakat.

6. Faktor Agama

Faktor agama juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam

pelaksanaan pernikahan di bawah umur karena dalam Islam tidak ada

larangan pernikahan di bawah umur. Sehingga sebagian masyarakat

berpendapat hal itu merupakan tindakan semata-mata untuk melestarikan

48
sunnah Rasulullah dan masyarakat menjadi pernikahan Rasulullah dengan

Siti Aisyah sebagai pedoman bagi mereka dalam melakukan pernikahan.

Bagi masyarakat pernikahan bukanlah merupakan hal yang sulit

dan bukan termasuk perbuatan dosa, jika harus melanggar UU No. 1/1974,

mengenai batas usia pernikahan. Disamping itu juga masyarakat kurang

mengenal tentang aturan-aturan dalam UU No. 1/1974 tersebut.

Adapun pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah yang dijadikan

pedoman oleh masyarakat dalam melaksanakan pernikahan di bawah

umur, menurut penulis disebabkan karena mereka tidak mengerti atau

tidak tahu hikmah dibalik pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah.

Lebih lanjut penulis melihat bahwa praktek pernikahan di bawah

umur tersebut lebih cenderung sebagai tradisi ketimbang komite religius

dalam rangka melestarikan teladanan pernikahan Nabi dengan Siti Aisyah,

namun hal ini tidaklah mudah dihilangkan oleh semangat pendidikan,

peningkatan ekonomi atau Undang-undang formal sekalipun, seperti yang

terjadi di Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II,

Kota Lubuk Linggau.

Meskipun telah mulai bermunculan sarjana-sarjana mudah semakin

banyaknya berdiri sekolah Islam serta pondok pesantren, akan tetapi

mereka masih banyak yang terbukti melakukan pernikahan di bawah umur

di masyarakat.

Menurut penulis bahwa pernikahan di bawah umur dalam konteks

sekarang kurang atau bahkan tidak cocok lagi untuk dilaksanakan, karena

49
dalam mengemudikan bahtera rumah tangga akan menimbulkan berbagai

masalah yang harus dihadapi apalagi di era globalisasi sekarang ini,

dimana persaingan bagitu ketat terutama dibidang perekonomian.

Walaupun secara yuridis pernikahan di bawah umur yang

dilaksanakan di bawah umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi

perempuan dianggap sah, hanya saja dari segi kedewasaan (psikologi) atau

sosiologi ekonomi masih diragukan dan akan menimbulkan permasalahan

yang kompleks nantinya dalam kehdupan rumah tangganya.

Sejalan dengan ajaran Islam, menganjurkan pernikahan bagi

mereka yang sudah “mampu” tanpa memberi batasan usia, akan tetapi

Islam juga menganjurkan hendaknya dilakukan oleh orang yang sudah

mempunyai kemampuan baik dari berbagai aspek kehdiupan juga

kemampuan yang dipengaruhi oleh adanya kedewasaan dan kematangan

baik jiwa dan umur seseorang, walaupun tidak selamanya.

Oleh sebab itu menurut hemat penulis berdasarkan kenyataan yang

ada bagi mereka yang melakukan pernikahan di usia di bawah umur masih

jauh dari taraf kematangan (mayoritas) baik secara fisik biologis mental

psikologis dan ekonomi.

B. Analisa Dampak Pernikahan di Bawah Umur

Berdasarkan dari uraian pada bab sebelumnya, penulis menilai bahwa

rumah tangga yang dibangun oleh anak-anak yang masih di bawah umur

usianya yang terjadi di masyarakat Kelurahan Karang Ketuan Kecamatan

Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau.

50
Meskipun dampak negatif itu relatif kecil hanya terjadi pada beberapa

pasangan suami isteri dalam kehidupan rumah tangga karena tidak adanya

keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga yang timbul oleh seringnya

terjadi percekcokan, cemburu yang berlebihan, adanya sikap keras suami

terhadap sang isteri, kuarngnya pengetahuan dari pihak istri dalam cara

pendidikan dan pengajaran anak, pengetahuan mengenai merawat anak dan

akhirnya akan menyebabkan lemahnya mental anak-anak yang dilahirkan,

kemiskinan rohani, jasmani dan sebagainya.

Ada juga dampak positif dari pernikahan di bawah umur yang didapati

dalam kehidupan rumah tangga beberapa pasangan suami isteri. Karena tujuan

mereka pada saat melaksankan pernikahan di bawah umur adalah untuk

mencegah dari perbuatan zina dan kemaksiatan diantara mereka dan diawali

dengan niat yang suci sehingga kehidupan rumah tangga mereka tidak mudah

diombang ambing oleh masalah yang ada, dikarenakan adanya rasa tanggung

jawab dan rasa kasih sayang diantara anggota keluarga dan dapat dengan

mudah mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah.

Dengan adanya kematangan jiwa dan raga serta kematangan ekonomi

harus sudah ada sebelum pernikahan jika tidak maka rumah tangga yang

dibangunnya akan mudah terombang ambing oleh setiap permaalahan yang

setiap kali muncul dalam kehidupan berumah tangga, sehingga masa depan

akan suram.

Dalam undang-undang juga menganut beberapa asas yang prinsip

berhubungan dengan pernikahan. Adapun asas-asas tersebut antara lain :

51
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-

masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membentuk dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan material.

2. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa suatu perkawinan adalah

syah, apabila dilakukan meurut masing-masing agamanya dan

kepercayaan itu dan disamping itu setiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Undang-undang perkawinan ini menganut monogami, hanya apabila

dikehendaki oleh orang yang bersangkutan mengizinkan maka seseorang

suami dapat beristri lebih dari satu orang.

4. Undang-undang perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri

harus telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, agar

dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berfikir pada

perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.

5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang menganut prinsip

mempersulit terjadinya perceraian.

6. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak kedudukan suami baik

dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat

52
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat

dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri. 38

Dengan demikian pada dasarnya pelaksanaan pernikahan bukan hanya

untuk kesenangan atau kebahagiaan sementara dan tidak hanya merupakan

pemenuhan kebutuhan biologis belaka, akan tetapi untuk kebahagiaan yang

kekal abadi dan harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. karena

itu perpisahan atau perceraian dalam ikatan pernikahan merupakan perbuatan

yang dibenci oleh Allah SWT.

38
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. III, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

53
BAB V

PENUTUP

Setelah mengadakan pembahasan dan penelitian dari Bab I sampai Bab IV

maka dalam mengakhiri skripsi tentang Perkawinan di Bawah Umur (Studi Kasus

di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk

Linggau) dari tahun 2000-2004 penulis akan membagi dalam dua sub judul

kesimpulan dan saran.

A. Kesimpulan

Dari uraian bab per bab sebelumnya penulis dapat mengambil

beberapa pokok yang dapat menjadikan kesimpulan dari keseluruhan

pembahasan ini.

1. Pelaksanaan pernikahan di bwah umur di masyarakat Kelurahan Karang

Ketuan, Kecamatan Lubuk Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau

merupakan suatu problematika dan simalakama karena ada rasa takut dan

khawatir pada diri orang tua, anaknya akan terjerumus ke jurang maksiat.

Sehingga pernikahan di bawah umur itu dianggap suatu jalan yang terbaik,

walaupun anak itu belum mampu baik secara materi maupun immaterial

(psikologis). Ada dua cara yang ditempuh oleh masyarakat dalam

mensiasati Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 yaitu pertama dengan

meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama setempat, dan yang kedua

1998, hlm. 46-47

54
dengan melakukan pemalsuan umur yang dilakukan oleh orang tua

mereka sendiri.

2. Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 sebagai hukum positif

yang berlaku di Indonesia, menetapkan batas umur perkawinan 19 tahun

bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan (pasal 7 ayat (1)). Namun

batas usia tersebut bukan merupakan batas usia seseorang telah dewasa,

yang cukup dewasa untuk bertindak, akan tetapi batas usia tersebut hanya

merupakan batas usia minimal seseorang boleh melakukan pernikahan.

Di dalam pasal 6 ayat (2), disebutkan bahwa seseorang sudah dikatakan

dewasa kalau sudah mencapai umur 21 tahun, sehingga dalam melakukan

pernikahan tidak perlu mendapatkan izin dari kedua orang tuanya.

3. Untuk periode 2004-2006 ada 19 kasus pernikahan di bawah umur dimana

pernikahan di bawah umur tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

faktor kehendak orang tua yang menikahkan anaknya, atas kemauan anak,

adat dan budaya, pendidikan, ekonomi dan agama. Dan pernikahan di

bawah umur ini membawa dampak dalam kehidupan rumah baik dari segi

kesehatan, pendidikan dan ekonomi.

4. Sesuai dengan data yang ada maka dampak negatif dari pernikahan di

bawah umur yang terjadi di Kelurahan Karang Ketuan, Kecamatan Lubuk

Linggau Selatan II, Kota Lubuk Linggau tersebut relatif kecil hanya

terjadi pada beberapa pasangan suami isteri dalam kehidupan rumah

tangga karena tidak adanya keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga

yang timbul oleh seringnya terjadi percekcokan, cemburu yang berlebihan,

55
adanya sikap keras suami terhadap isteri, kurangnya pengetahuan dari

pihak isteri dalam cara pendidikan dan pengajaran anak, pengetahuan

mengenai merawat anak dan akhirnya akan menyebabkan lemahnya

mental anak-anak yang dilahirkan, kemiskinan rohani, jasmani dan

sebagainya. Dan yang ditakutkan oleh sebagian besar masyarakat akan

pernikahan di bawah umur tidak terbukti, karena apabila seseorang telah

mempunyai kemampuan dan persiapan yang matang baik dari segi lahir

maupun batin maka orang tersebut sudah dapat untuk melangsungkan

pernikahan.

B. Saran-saran

Sebegitu agungnya pernikahan itu sehingga bagi mereka yang

melaksanakan pernikahan dianggap telah memiliki setengah dari agama,

karena telah menjalankan sunnah Rasul. Oleh sebab itu pernikahan tersebut

harus diawali dengan niat yang suci dari dalam hati.

Pernikahan yang dilaksanakan tanpa adanya persiapan mental, spiritual

dan dengan niat yang suci yang memadai akan menimbulkan banyak sekali

dampak negatif dalam mempengaruhi bahtera kehidupan dalam rumah tangga

tersebut.

56
DAFTAR PUSTAKA

A. Kelompok Al-Quran dan Tafsir

As Sayis, Muhammad Ali, Tafsir Ayat Al Ahkam, terj. Muhammad Ali Sabik,
CV As Syifa, Bandung,1963.

Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara


Penterjemah Al Qur'an, Jakarta, 1980.

B. Kelompol Al-Hadis

Al Muslim, Al Imam Abu Husain Muslim Ibn Hajjajal Qursyairi An


Naisaburi, Shahih Muslim, Dar Al Kitab al Nikah, Beiurt, t.t.

C. Kelompok Fiqih dan Ushul Fiqih

Abidin, Slamet dan H. Aminudin, Fiqih Munakahat, Pustaka Setia, Bandung,


1999.

Al Jaziri, Abdu Ar Rahman, Kitab al-Fiqih ‘Ala al-Ma’zahib al-Arba’ah, Dar


Al-Fikr, Beirut, 1969.

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah,(Terj) Moh Thalib jilid 6,Cet I Al-Ma’arif,


Bandung, 1990.

Zahrah, Abu, Usul al-Fiqh, Dal al-Fikr al-Arabi, Kairo, t.t.

D. Kelompok Umum

Al-Bany, Ahmad Zakariya, Hukum Anak-anak dalam Islam, terj. Chotijah


Nasution, Bulan Bintang, Jakarta, 1997.

Al-Ghifari, Abu, Pernikahan Dini Dilema Generasi Extravaganza, Mujahid


Press, Bandung, 2002.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Pendekatan suatu Praktek, Rineka Cipta,


Jakarta, 1998.

Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam


Kalangan Ahli Sunnah dan Negara-negara Islam, cet. I, Bulan
Bintang, Yogyakarta, 1980.

57
Departemen P dan K, Kamus Besar Indonesia, cet. 3, Balai Pustaka, Jakarta,
1990.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Penelitian Research I, Yayasan Penelitian


Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1981.

Ichsan, Ahmad, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam, Suatu


Tinjauan dan Ulasan secara Sosiologi Hukum, Pradia Paramita,
Jakarta, 1986.

Mapreare, Andi, Psikologi Remaja, Usaha Nasional, Surabaya, 1982.

Prints, J., Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia,


Jakarta, 1982.

Rahman, Bakri A. dan Ahmadi Sukadja, Hukum Perkawinan Menurut Islam,


Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Hidakarya
Agung, Jakarta, 1981.

Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta,


1996.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet. III, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1998.

______________, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 1998.

Salim, Peter dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,


Modern English Press, Jakarta, 1991.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1992.

Syarifuddin, Kamus al-Misbah, Bina Aksara, Jakarta, t.t.

Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaan,PT


Pradya Paramita,jakarta,1974

58
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Maimun

Tempat/Tanggal Lahir : Kab. Musirawas, 12 Oktober 1982

Agama : Islam

Nama Ayah : Mujamil

Alamat : Karang Ketuan RT 04/VII

Pendidikan : - SD N 1 Air Ketuan II, lulus tahun 1995

- SMP N II Air Temam, lulus tahun 1998

- SMK N 3 Lubuk Linggau, lulus tahun 2001

- STAIN Salatiga lulus tahun 2007

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

59

You might also like