Professional Documents
Culture Documents
Pengantar
Pluralitas agama sekarang ini telah menjadi suatu keniscayaan dan men-
didesak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul dengan agama yang lain,
tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna kehadiran
adalah teologi tradisional (Barat) yang berakar kuat dalam gereja serta resistensi
(MUI) lewat fatwa hasil Munas VII tahun 2005, karena paham ini bertentangan
1
Eka Darmaputera, “Prediksi dan proyeksi isu-isu teologis pada dasawarsa sembilanpuluhan:
Sebuah introduksi”, dalam Soetarman SP, dkk., Fundamentalisme, Agama-agama dan
Teknologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 14-15.
2
Kompas 28 Juli 2005.
2
pentingnya pluralisme agama dan dialog bukan berarti sikap demikian disetujui dan
dengan agama-agama lain, khususnya agama Islam. Benarkah gereja telah dan
memang dalam tubuh gereja sudah terjadi perubahan sikap mendasar? Bukan
tidak mungkin jika ditelisik lebih jauh, dalam kekristenan sendiri tidak terdapat
mutlaknya saat berjumpa dengan agama-agama lain serta mencari titik temu
(problem maker), tetapi sebagai pemberi solusi atas masalah-masalah sosial yang
muncul (problem solver)? Lebih jauh lagi, sejauh mana pluralisme agama
memberi ruang pada partikularitas atau keunikan dari masing-masing agama dan
Superioritas keagamaan
terang ke dalam dunia gelap3. Para misionaris telah didoktrin sedemikian rupa
sakit (penganut agama-agama lain)4. Secara khusus, umat Islam dianggap ”orang
sesat yang dihormati” kemudian menjadi ”orang sesat yang tidak disegani”. Ketika
jalan perang dinilai tidak memadai untuk memantapkan penjajahan, studi intensif
dilakukan dan umat Islam dianggap ”penganut agama terbelakang” yang perlu
sebagai musuh yang harus ditaklukkan; dan penaklukkan yang paling efektif adalah
3
Einar M. Sitompul, Gereja menyikapi perubahan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004),
hlm. 4.
4
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agma: Dialog multi-agama dan tanggungjawab
global, diterjemahan oleh Nico A. Likumahuwa, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003),
hlm. 4-5
5
Einar M. Sitompul, Ibid., hlm. 5
6
Jan S. Aritonang, “Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam di Indonesia”, dalam
Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Balitbang PGI,
Agama dan Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa depan. Punjung tulis 60 tahun
Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 182.
4
kekristenan adalah kaki tangan penjajah. Gereja, khususnya zending dan orang
Kristen telah menikmati hak-hak istimewa yang tidak didapati sama sekali oleh
orang Islam. Tuduhan seperti itu didasarkan kemajuan kuantitatif orang Kristen,
lain dengan cara pembatasan siar agama, pengrusakan dan pembakaran gedung
gereja8.
adalah apakah umat dari agama lain itu akan diselamatkan sama seperti kesela-
Paradigma atau tipe sikap teologis dalam kekristenan terhadap isu kemajemukan
7
Jan S. Aritonang, Ibid., hlm. 187.
8
Ibid., hlm. 194-197.
5
agama menurut Alan Race dapat dikategorikan sebagai (1) eksklusivisme, (2)
inklusivisme dan (3) pluralisme9 yang dapat dimengerti sebagai berikut ini.
1. Paradigma Eksklusivisme
belakang. Di satu sisi, agama-agama lain lain tak lepas dari keberdosaan manusia
yang mendasar dan karena itu tidak memiliki kebenaran. Di lain pihak, hanya
bersifat unik, normatif dan hakiki bagi keselamatan. Dasar biblis utamanya10 adalah
Yohanes 14:6, ”Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang
sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” dan Kisah Para Rasul 4:12, ”Dan
keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di
bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang
Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup.”
Paradigma ini dapat dikenali dalam sikap Gereja Roma Katolik (GRK) pra-
istilah extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Paus
Boniface VIII dengan tegas berkata: ”Kita dituntut oleh iman untuk meyakini dan
mempertahankan bahwa ada satu Gereja yang kudus, katolik dan apostolik; kita
dengan tegas mempercayainya dan tanpa ragu mengakuinya; di luarnya tidak ada
9
Joas Adiprasetya, Mencari dasar bersama: Etik global dalam kajian
post-modernisme dan pluralisme agama, (Jakarta: Gunung Mulia dan STT Jakarta, 2002)
hlm. 49.
10
Linwood Urban, Sejarah ringkas pemikiran Kristen, diterjemahkan oleh Liem
Sien Kie, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), hlm. 478.
6
Paradigma ini dapat ditemui juga di kalangan Protestan. Karl Barth dalam
percayaan (Religion as Unbelief) dan mustahil dapat mencari dan mengenal Allah.
Dengan pendekatan teologis a priori, Barth dapat mengatakan hanya ada satu
agama yang benar yaitu agama Kristen karena Allah menghendakiNya demikian.
tetap saja mereka salah dan tak selamat karena terang Allah tidak mengenai
mereka.
pemimpin gereja sangat peduli dengan nasib orang-orang yang miskin dan
menderita, tetapi tidak memperhatikan nasib 2.700 juta orang yang akan binasa
tahilan berdialog dengan agama-agama lain. Mereka yakin bahwa semua orang
non-Kristen akan binasa (masuk neraka), dan karena itu mereka harus ditolong
2. Paradigma inklusivisme
11
F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama dalam pandangan Gereja Katolik,
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 23.
12
D.C. Mulder, “Perkembangan Dialog Antar Agama”, dalam Th. Sumartana, dkk.,
Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogjakarta: Penerbit Dian/Interfidei, t.th), hlm. 241.
7
bahwa keselamatan Allah berlaku universal dan hadir dalam agama-agama lain
dengan tetap mengakui finalitas Yesus Kristus. Yesus Kristus menjadi pemenuhan
antar agama lain dengan kekristenan. Malah sebaliknya, berusaha secara kreatif
paham keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah Allah dalam Yesus
Kristus13.
Paradigma ini dianut oleh GRK lewat Konsili Vatikan II yang meninggalkan
memperbarui diri sesuai perubahan zaman14. Dalam hal ini perlu dicatat
sumbangsih Karl Rahner sebagai insinyur atau arsitek utama sikap Kristen
inklusivistis pasca Konsili Vatikan II15. Rahner berpendapat bahwa orang Kristen
bukan hanya bisa, tetapi harus menganggap agama-agama lainnya sebagai ”sah”
semua orang di seluruh dunia. Benar bahwa keselamatan ada dalam Yesus Kristus,
13
Joas Adiprasetya, Ibid., hlm. 64.
14
Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, diterjemahkan oleh
Bambang Subandrijo, cet. 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 4.
15
Joas Adiprasetya, Ibid.
16
Paul F. Knitter, Ibid., hlm. 7
8
namun gereja tidak boleh mengutuk agama lain sebagai palsu dan tidak
karena anugerah yang universal itu, maka keselamatan dalam Kristus pun ada di
sana walaupun tidak memakai nama Kristus. Jadi dalam agama-agama lain,
Kristus yang menyelamatkan itu pun ada di sana tanpa bernama Kristus. Rahner
menyebutnya sebagai Kristus tak bernama, (anonymous Christ) dan oleh sebab itu
menyelamatkan di tengah mereka. Dengan menyadari hal itu, maka mereka sudah
menjadi orang Kristen dan pengikut Kristus dalam agama mereka sendiri tanpa
harus menjadi orang Kristen dan menjadi anggota gereja. Keselamatan pun ada di
luar gereja17.
memberi ruang amat luas bagi munculnya kehidupan antar-iman yang dialogis.
temu. Para penganut agama lain tidak dicap sebagai kafir, melainkan sebagai
saudara yang harus dikasihi. Nostra Aetate mencatat, ”Kita tidak dapat sungguh-
17
Victor I. Tanja, Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1994), hlm. 123.
9
sungguh menyapa Allah, Bapa dari semua, jika kita menolak memperlakukan
menjadi penghalang besar bagi munculnya sebuah dialog yang jujur dan
seimbang.; justru hanya menciptakan jalan buntu bagi sebuah dialog yang
bermakna. Konsep ini terjebak pada imperialisme teologis yang tidak adil karena
mampu memandang agama-agama lain sebagai yang unik dan setara dengan
agama Kristen. Agama-agama lain masih tetap dipandang rendah sehingga dialog
yang terjadi adalah meminjam istilah Knitter, dialog antara gajah dan tikus18.
3. Paradigma Pluralisme
18
Paul F. Knitter, No Other Name?; A Critical Survey of Christian Attitudes Towards the
World Religions, (Maryknoll, New York: Orbis Book, 1995), hlm hlm. 142
10
bagaimana kepelbagaian agama dapat berdialog secara jujur dan terbuka sehingga
manusia dan kerusakan lingkungan yang akut. Tidak pada tempatnya dalam relasi
satunya, definitif, superior, absolut, final, tak terlampaui dan total untuk menjelaskan
kebenaran yang ditemukan dalam Injil Yesus Kristus. Tanpa mengklaim bahwa
semua agama itu setara (equal), umat Kristen dengan mentalitas korelasional
berhak berbicara, atau membuat klaim, dan peserta lain membuka hati dan pikiran
Di dalam semua agama bagi Knitter terdapat suatu ”kesamaan yang kasar”
(rough parity). Maksudnya, bukan berarti semua agama pada dasarnya memberi-
takan hal yang sama, tetapi bahwa karena perbedaan mereka dari agama Kristen,
agama-agama lain mungkin juga sama efektif dan berhasilnya dalam membawa
Allah. Dengan kata lain, dengan teologi korelasional umat kristen berpegang pada
19
Lihat uraian lengkapnya dalam Jhon Hick dan Paul F Knitter, Mitos Keunikan
Agama Kristen. ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001)..
.
11
transformasi yang mereka sebut Allah dalam Yesus Kristus memiliki lebih banyak
daripada yang telah dinyatakan dalam Yesus. Teologi pluralis atau korelasional
bahkan tak terbandingkan, tetapi juga mengakui nilai dan keabsahan dari dunia
yang serba berbeda ini. Agama-agama lain bukan hanya sangat berbeda, namun
suatu Allah yang benar-benar mau menyelamatkan semua orang yaitu Allah dari
Yesus Kristus, Allah ”kasih yang murni tanpa terikat”, yang merangkul semua dan
dikasihiNya di dalam dan melalui tidak hanya persekutuan gerejawi, tetapi juga
dalam persekutuan dari penganut agama-agama lain. Umat Kristen bisa dan harus
berdialog. Kebenaran setiap agama bukan untuk dirinya sendiri dan mengabaikan
20
Jhon Hick dan Paul F Knitter, Ibid., hlm 42-45.
12
yang lain, tetapi untuk dipertemukan sehingga terjadi proses belajar yang
dialogis. Jadi semua agama perlu berbicara dan bertindak bersama. Perbedaan
mereka21.
Masalah keunikan Yesus tetap terbuka terhadap berbagai pemahaman baru. Di sini
umat Kristen bisa terus menegaskan dan memberikan kepada dunia tentang Yesus
sebagai benar-benar (truly) ilahi dan juruselamat, namun mereka tidak perlu
pentingnya Yesus dalam dunia kepelbagaian agama. Secara teologis berarti di satu
pihak kita memberitakan Yesus sebagai Juruselamat, dan di pihak lain bisa terbuka
terhadap kemungkinan bahwa ada pribadi lain yang bisa diakui umat Kristen
sekaligus bisa terbuka terhadap umat lainnya yang mungkin memiliki berbagai
peran yang sama pentingnya. Secara gerejawi, gereja dapat saling memberi dan
dan penting22.
21
Ibid., hlm. 49.
22
Ibid., hlm. 50-51.
13
menciptakan satu agama tunggal dan final, melainkan kepelbagaian yang semakin
berkembang dan berarti dalam agama-agama. Dialog korelasional ini harus disertai
dan kerusakan ekologi atau dengan kata lain kesejahteraan manusia dan
lingkungan.23 Dasar bersama dialog ini penting ditetapkan agar tidak terjadi
kelesuan atau kesepian moral sehingga dapat mengambil keputusan etis bersama
demi kesejahteraan manusia dan Bumi24. Terobosan kongkret yang dapat dibuat
adalah merumuskan suatu etika global bagi tindakan bersama. Etika global ini
dapat menjadi kenyataan jika dilakukan dialog global terlebih dahulu sehingga
akhirnya tanggung jawab global dapat dilakukan bersama. Di sini menjadi religius
tanggung jawab global yang menjadi tugas etis bersama, maka semua umat
23
Ibid., hlm. 81.
24
Ibid., hlm. 83.
25
Ibid., hlm 102-152.
14
agar tercapai saling pengertian yang mendalam. Dialog bukanlah suatu kegemaran
kesetaraan, par cum pari (setara dengan setara). Dalam dialog tidak boleh prinsip
diabaikan dan tidak boleh sekedar mencari kedamaian palsu (irenicisme), sebalik-
nya harus ada kesaksian yang diberi dan diterima guna saling memajukan satu
sama lain di dalam perjalanan pencarian dan pengalaman keagamaan; dan saat
harus dapat diterima semua pihak secara positif dan wajar. Dialog mensyaratkan
sendiri. Oleh sebab itu, masing-masing hanya dapat berbicara untuk dirinya sendiri
berdasarkan posisinya sediri. Tentu posisi ini tidak boleh menjadi dogma kaku,
26
Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, kata
pengantar oleh Komarudin Hidayat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 122.
27
F.X.E. Armada Riyanto, Ibid., 113-115.
28
Olaf H. Schumann, Ibid., hlm 122-123.
15
masing; (3) dialog spiritualitas lewat ibadah dan doa bersama dari beragam agama;
dan (4) dialog dalam tindakan lewat kerjasama mengusahakan kedamaian dan
keadilan29. Tujuan dalam dialog dapat ditetapkan misalnya (1) memupuk persauda-
raan lintas agama, (2) merayakan bersama hari raya agama dan nasional,
(3) menghindari sikap intoleran dan mencegah konflik komunal, dan (4) mengupa-
Refleksi teologis
landasan teologis yang memadai untuk mencari titik temu antara penganut
berbagai agama berkitab suci (Q.S. Ali ’Imran/3:64) dan jika titik temu gagal atau
ditolak, maka masing-masing harus diberi hak untuk secara bebas memperta-
hankan sistem keimanan yang dianutnya. Titik temu antara agama-agama adalah
paham Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila31. Jelas bahwa
Islam pun terbuka terhadap pluralisme agama dan dialog dan ini dapat menjadi
pintu masuk bagi kekristenan berdialog dengan umat Islam. Dengan belajar dan
mengerti pemahaman agama lain dari sumbernya langsung, maka jelas sikap
kemajemukan Indonesia. Jika masih dan tetap dipertahankan, itu dapat menya-
kitkan hati, melukai perasaan dan menyuburkan sikap antipati umat beragama lain
terhadap umat Kristen. Kekristenan harus keluar dari ketertutupannya dan mem-
Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari bahwa sikap
superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah
mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya kita harus menjadi
sesama (Lukas 10:36) atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara kita yang
melainkan satu dari antara bebarapa jalan lainnya dan begitu sebaliknya. 33
32
Eka Darmaputera, “Teologi Persahabatan antar umat Beragama”, dalam Karel Erari, et.al.,
Keadilan bagi yang lemah, Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi, MA,
(Jakarta, tanpa penerbit, 1995), hlm. 194.
33
John Hick, “Ketidakmutlakkan Agama Kristen“, dalam, Jhon Hick dan Paul F Knitter,
Ibid., hlm . 55.
34
M. Amin Abdullah, “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar-agama”, dalam
J.B. Banawiratma, dkk., Hak Asasi Manusia Tantangan bagi Agama, (Jogyakarta:
Kanisuis, 1999), hlm 58-59.
17
kontribusi yang berarti mengatasi kedua masalah besar itu. Tentunya sebelum
melangkah lebih lanjut perlu Gereja mempersiapkan dirinya lebih baik dan hati-hati
sehingga tidak ada motif terselubung yang tidak etis misalnya mencari petobat baru
rakat untuk berdialog sebab dialog agama bukanlah monopoli kaum elit agama.
Musibah bencana alam dan kelaparan yang diderita sebagian rakyat Indonesia
tidak bisa ditangani secara darurat dan sambil lalu saja. Jaring Pengaman Sosial
(JPS) yang dilakukan pemerintah tidak efektif dan hanya merugikan keuangan
negara. Masyarakat harus dilatih kepekaan dan solidaritas terhadap sesama yang
agar masyarakat tidak hanyut dalam arus fundamentalisme dan liberalisme, karena
keduanya tidak peduli dengan eksistensi orang lain. Jika agama-agama tidak dapat
berdialog, maka kekerasan atas nama agama dapat mencederai kesatuan bangsa
DAFTAR PUSTAKA
Buku
18
Surat kabar
Kompas 28 Juli 2005.
20