You are on page 1of 20

PLURALISME AGAMA DAN DIALOG:

Perspektif dan relevansinya dalam membangun kehidupan bersesama


secara damai dalam konteks majemuk Indonesia.

Pengantar

Pluralitas agama sekarang ini telah menjadi suatu keniscayaan dan men-

desak agama-agama, termasuk kekristenan untuk menghadapi dan mengubah

paradigma teologinya. Semua agama menurut Eka Darmaputera, tidak hanya

didesak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul dengan agama yang lain,

tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna kehadiran

agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang lain itu1. Mengembangkan

teologi agama-agama bukan tanpa kesulitan dan resiko. Tantangan internalnya

adalah teologi tradisional (Barat) yang berakar kuat dalam gereja serta resistensi

fundamentalisme kristen. Secara eksternal, pluralisme agama dicurigai sebagai

misi terselubung kekristenan untuk mempertobatkan yang lain dan sekaligus

keengganan mengakui bahwa kebenaran agamanya relatif. Sikap penolakan

terang-terangan terhadap pluralisme agama dilakukan Majelis Ulama Indonesia

(MUI) lewat fatwa hasil Munas VII tahun 2005, karena paham ini bertentangan

dengan ajaran Islam2.

1
Eka Darmaputera, “Prediksi dan proyeksi isu-isu teologis pada dasawarsa sembilanpuluhan:
Sebuah introduksi”, dalam Soetarman SP, dkk., Fundamentalisme, Agama-agama dan
Teknologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 14-15.
2
Kompas 28 Juli 2005.
2

Sekalipun muncul kecurigaan, perlawanan dan penolakan terhadap

pentingnya pluralisme agama dan dialog bukan berarti sikap demikian disetujui dan

menyurutkan tekad mengembangkan pluralisme agama dan dialog. Makalah ini

berusaha mendeskripsikan dan menganalisis sejauh mana relasi kekristenan

dengan agama-agama lain, khususnya agama Islam. Benarkah gereja telah dan

masih bersikap superioritas terhadap agama-agama lain sampai sekarang atau

memang dalam tubuh gereja sudah terjadi perubahan sikap mendasar? Bukan

tidak mungkin jika ditelisik lebih jauh, dalam kekristenan sendiri tidak terdapat

kesatuan dalam menyikapi pluralisme agama.

Selanjutnya, bagaimana sebenarnya kekristenan mengatasi kebenaran

mutlaknya saat berjumpa dengan agama-agama lain serta mencari titik temu

sehingga kehadiran agama-agama bukan sebagai sumber masalah bangsa

(problem maker), tetapi sebagai pemberi solusi atas masalah-masalah sosial yang

muncul (problem solver)? Lebih jauh lagi, sejauh mana pluralisme agama

memberi ruang pada partikularitas atau keunikan dari masing-masing agama dan

tujuan-tujuan semacam apakah yang hendak dicapai dalam dialog.

Akhirnya pada bagian refleksi, penulis mengutarakan pentingnya pluralisme

agama dan dialog untuk dikembangkan guna menanggulangi masalah

kemanusiaan kontemporer, menghadirkan kedamaian dan sekaligus dapat saling

memperkaya kehidupan beriman dalam konteks majemuk Indonesia.


3

Superioritas keagamaan

Kekristenan dapat dikatakan berkembang di Eropa dengan bungkus

kebudayaan Barat dan menganggap agama-agama bukan Kristen di Asia lebih

rendah nilainya dibanding-kan agama Kristen, sehingga tidak perlu dipertim-

bangkan. Orang Kristen (Barat) menanggung beban khusus untuk membawa

terang ke dalam dunia gelap3. Para misionaris telah didoktrin sedemikian rupa

untuk memberangus kekafiran dalam agama-agama lain dan menyelamatkan jiwa-

jiwa mereka bagi Kristus.

Misionaris Kristen ibarat dokter yang mendatangi pasiennya yang sedang

sakit (penganut agama-agama lain)4. Secara khusus, umat Islam dianggap ”orang

sesat yang dihormati” kemudian menjadi ”orang sesat yang tidak disegani”. Ketika

jalan perang dinilai tidak memadai untuk memantapkan penjajahan, studi intensif

dilakukan dan umat Islam dianggap ”penganut agama terbelakang” yang perlu

diperadabkan5. Mentalitas perang salib, mengakibatkan umat Islam dipandang

sebagai musuh yang harus ditaklukkan; dan penaklukkan yang paling efektif adalah

dengan mengkristenkan mereka6.

3
Einar M. Sitompul, Gereja menyikapi perubahan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004),
hlm. 4.
4
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agma: Dialog multi-agama dan tanggungjawab
global, diterjemahan oleh Nico A. Likumahuwa, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003),
hlm. 4-5
5
Einar M. Sitompul, Ibid., hlm. 5
6
Jan S. Aritonang, “Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam di Indonesia”, dalam
Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Balitbang PGI,
Agama dan Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa depan. Punjung tulis 60 tahun
Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 182.
4

Penjajahan Belanda atas Indonesia telah memberi citra negatif bahwa

kekristenan adalah kaki tangan penjajah. Gereja, khususnya zending dan orang

Kristen telah menikmati hak-hak istimewa yang tidak didapati sama sekali oleh

orang Islam. Tuduhan seperti itu didasarkan kemajuan kuantitatif orang Kristen,

termasuk dari kalangan Islam, dan secara kualitatif dengan meningkatnya

kesejahteraan sosial-ekonomis orang Kristen dan tampilnya tokoh-tokoh Kristen

dalam panggung politik.

Ketidakadilan dirasakan umat Islam ketika pemerintah Belanda dengan

politik etisnya memberi subsidi kepada pihak zending/gereja dalam mengurusi

program pendidikan, kesehatan dan pertanian, sehingga mengo-barkan kebencian

dan kemarahan orang Islam7. Sejak masa kemerdekaan sampai sekarang,

ekspresi kebencian dan kemarahan terhadap orang Kristen dilampiaskan antara

lain dengan cara pembatasan siar agama, pengrusakan dan pembakaran gedung

gereja8.

Paradigma teologi Kristen terhadap agama-agama lain

Isu sentral dalam hubungan antara kekristenan dan agama-agama lain

adalah apakah umat dari agama lain itu akan diselamatkan sama seperti kesela-

matan yang diterima orang Kristen. Perspektif historis memperlihatkan semacam

evolusi paradigma teologi Kristen menyikapi kehadiran agama-agama lain.

Paradigma atau tipe sikap teologis dalam kekristenan terhadap isu kemajemukan

7
Jan S. Aritonang, Ibid., hlm. 187.
8
Ibid., hlm. 194-197.
5

agama menurut Alan Race dapat dikategorikan sebagai (1) eksklusivisme, (2)

inklusivisme dan (3) pluralisme9 yang dapat dimengerti sebagai berikut ini.

1. Paradigma Eksklusivisme

Paradigma eksklusivisme berangkat dari dua ide pokok yang bertolak

belakang. Di satu sisi, agama-agama lain lain tak lepas dari keberdosaan manusia

yang mendasar dan karena itu tidak memiliki kebenaran. Di lain pihak, hanya

Kristuslah yang menyediakan jejak paling absah menuju keselamatan. Kristus

bersifat unik, normatif dan hakiki bagi keselamatan. Dasar biblis utamanya10 adalah

Yohanes 14:6, ”Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang

sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” dan Kisah Para Rasul 4:12, ”Dan

keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di

bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang

olehnya kita diselamatkan,” serta surat 1 Yohanes 5:12, ”Barangsiapa memiliki

Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup.”

Paradigma ini dapat dikenali dalam sikap Gereja Roma Katolik (GRK) pra-

Konsili Vatikan II yang menempatkan gereja sebagai pusat keselamatan dengan

istilah extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Paus

Boniface VIII dengan tegas berkata: ”Kita dituntut oleh iman untuk meyakini dan

mempertahankan bahwa ada satu Gereja yang kudus, katolik dan apostolik; kita

dengan tegas mempercayainya dan tanpa ragu mengakuinya; di luarnya tidak ada
9
Joas Adiprasetya, Mencari dasar bersama: Etik global dalam kajian
post-modernisme dan pluralisme agama, (Jakarta: Gunung Mulia dan STT Jakarta, 2002)
hlm. 49.
10
Linwood Urban, Sejarah ringkas pemikiran Kristen, diterjemahkan oleh Liem
Sien Kie, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), hlm. 478.
6

keselamatan atau pengampunan dosa.” Akibatnya, GRK bersikap tertutup dan

kurang memandang positif agama-agama lain11.

Paradigma ini dapat ditemui juga di kalangan Protestan. Karl Barth dalam

bukunya Church Dogmatics menegaskan bahwa agama adalah bentuk ketidak-

percayaan (Religion as Unbelief) dan mustahil dapat mencari dan mengenal Allah.

Dengan pendekatan teologis a priori, Barth dapat mengatakan hanya ada satu

agama yang benar yaitu agama Kristen karena Allah menghendakiNya demikian.

Sebaliknya betapapun baik dan benarnya agama-agama lain tampaknya, namun

tetap saja mereka salah dan tak selamat karena terang Allah tidak mengenai

mereka.

Dalam Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Nairobi tahun 1975,

seorang peserta sidang dengan paradigma eksklusivisme berkomentar: ”Para

pemimpin gereja sangat peduli dengan nasib orang-orang yang miskin dan

menderita, tetapi tidak memperhatikan nasib 2.700 juta orang yang akan binasa

(orang-orang non-Kristen)”. Jelas pandangan demikian mengambarkan kemus-

tahilan berdialog dengan agama-agama lain. Mereka yakin bahwa semua orang

non-Kristen akan binasa (masuk neraka), dan karena itu mereka harus ditolong

dengan cara memberitakan Injil kepada mereka12.

2. Paradigma inklusivisme

11
F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama dalam pandangan Gereja Katolik,
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 23.
12
D.C. Mulder, “Perkembangan Dialog Antar Agama”, dalam Th. Sumartana, dkk.,
Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogjakarta: Penerbit Dian/Interfidei, t.th), hlm. 241.
7

Paradigma inklusivisme melampaui eksklusivisme dengan mengatakan

bahwa keselamatan Allah berlaku universal dan hadir dalam agama-agama lain

dengan tetap mengakui finalitas Yesus Kristus. Yesus Kristus menjadi pemenuhan

final bagi agama-agama lain. Inklusifisme menolak segala bentuk konfrontasi

antar agama lain dengan kekristenan. Malah sebaliknya, berusaha secara kreatif

agama-agama lain diintegrasikan ke dalam refleksi teologis kristiani. Inklusivisme

berusaha memadukan dua pengakuan teologis: bekerjanya anugerah Allah serta

paham keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah Allah dalam Yesus

Kristus13.

Paradigma ini dianut oleh GRK lewat Konsili Vatikan II yang meninggalkan

cara berpikir eksklusivistis-eklesiologis menuju cara berpikir inklusivistis-

universalistis. Keterbukaan baru terhadap agama-agama lain berhubungan erat

dengan pengalaman GRK mengenai kekerasan massif dan keinginan untuk

memperbarui diri sesuai perubahan zaman14. Dalam hal ini perlu dicatat

sumbangsih Karl Rahner sebagai insinyur atau arsitek utama sikap Kristen

inklusivistis pasca Konsili Vatikan II15. Rahner berpendapat bahwa orang Kristen

bukan hanya bisa, tetapi harus menganggap agama-agama lainnya sebagai ”sah”

dan merupakan ”jalan keselamatan”16.

Mengapa demikian? Karena Allah menawarkan anugerah Allah kepada

semua orang di seluruh dunia. Benar bahwa keselamatan ada dalam Yesus Kristus,
13
Joas Adiprasetya, Ibid., hlm. 64.
14
Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, diterjemahkan oleh
Bambang Subandrijo, cet. 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 4.
15
Joas Adiprasetya, Ibid.
16
Paul F. Knitter, Ibid., hlm. 7
8

namun gereja tidak boleh mengutuk agama lain sebagai palsu dan tidak

mempunyai keselamatan. Walaupun tidak sesempurna yang dimiliki gereja, namun

karena anugerah yang universal itu, maka keselamatan dalam Kristus pun ada di

sana walaupun tidak memakai nama Kristus. Jadi dalam agama-agama lain,

Kristus yang menyelamatkan itu pun ada di sana tanpa bernama Kristus. Rahner

menyebutnya sebagai Kristus tak bernama, (anonymous Christ) dan oleh sebab itu

penganut agama-agama lain sebenarnya adalah juga orang-orang Kristen tanpa

nama (anonymous Christians). Implikasinya bahwa tugas misioner gereja bukan

mempertobatkan dan menjadikan mereka Kristen, melainkan berusaha

menyadarkan orang-orang beragama lain tentang hadirnya Kristus yang

menyelamatkan di tengah mereka. Dengan menyadari hal itu, maka mereka sudah

menjadi orang Kristen dan pengikut Kristus dalam agama mereka sendiri tanpa

harus menjadi orang Kristen dan menjadi anggota gereja. Keselamatan pun ada di

luar gereja17.

Paradigma inklusivisme bersikap positif terhadap agama-agama lain

karena agama-agama lain dipahami sebagai jalan keselamatan. Pemahaman ini

memberi ruang amat luas bagi munculnya kehidupan antar-iman yang dialogis.

Gereja memiliki penghargaan besar terhadap agama-agama lain. Perjumpaan

agama-agama tidak lagi diwarnai konfrontasi frontal, tetapi mengupayakan titik-

temu. Para penganut agama lain tidak dicap sebagai kafir, melainkan sebagai

saudara yang harus dikasihi. Nostra Aetate mencatat, ”Kita tidak dapat sungguh-
17
Victor I. Tanja, Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1994), hlm. 123.
9

sungguh menyapa Allah, Bapa dari semua, jika kita menolak memperlakukan

semua manusia dalam sebuah persaudaraan yang diciptakan sebagaimana ia ada

dalam citra Allah”.

Walaupun paradigma ini terbuka, namun konsep Kristen anonim dapat

menjadi penghalang besar bagi munculnya sebuah dialog yang jujur dan

seimbang.; justru hanya menciptakan jalan buntu bagi sebuah dialog yang

bermakna. Konsep ini terjebak pada imperialisme teologis yang tidak adil karena

menekankan normativitas Kristus bagi agama-agama lain.Konsep ini dinilai tidak

memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara teologis, karena tidak

mampu memandang agama-agama lain sebagai yang unik dan setara dengan

agama Kristen. Agama-agama lain masih tetap dipandang rendah sehingga dialog

yang terjadi adalah meminjam istilah Knitter, dialog antara gajah dan tikus18.

3. Paradigma Pluralisme

Jika eksklusivisme dan inklusivisme tidak memadai bagi kekristenan dalam

relasi dengan agama-agama lain, maka paradigma pluralisme menjadi pilihan

terbaik. Paradigma ini merupakan kritik atas eklesiosentrisme dan kristosentrisme

yang muncul dalam eksklusivisme dan inklusivisme. Pluralisme menggunakan

pendekatan teosentris yang menekankan pada kehendak universalitas Allah untuk

menyelamatkan seluruh manusia. Paradigma pluralisme ini tidak satu sebab

dikembangkan banyak orang seperti John Hick, Paul F. Knitter, Gordon D

18
Paul F. Knitter, No Other Name?; A Critical Survey of Christian Attitudes Towards the
World Religions, (Maryknoll, New York: Orbis Book, 1995), hlm hlm. 142
10

Kaufmann, Wilffred Cantwel Smith, Rosemary Ruether, dsbnya19. Di sini penulis

mengangkat pluralisme yang digagas oleh Paul F. Knitter.

Pendekatan pluralisme menurut Knitter berangkat dari keprihatinan utama

bagaimana kepelbagaian agama dapat berdialog secara jujur dan terbuka sehingga

dapat memberikan sumbangsih penting dalam menanggulangi penderitaan

manusia dan kerusakan lingkungan yang akut. Tidak pada tempatnya dalam relasi

dengan agama-agama lain mengutarakan bahasa absolutis seperti: hanya satu-

satunya, definitif, superior, absolut, final, tak terlampaui dan total untuk menjelaskan

kebenaran yang ditemukan dalam Injil Yesus Kristus. Tanpa mengklaim bahwa

semua agama itu setara (equal), umat Kristen dengan mentalitas korelasional

berpendapat bahwa sejak permulaan semua pihak harus saling mengakui

persamaan hak di dalam dialog antar-agama sehingga setiap penganut agama

berhak berbicara, atau membuat klaim, dan peserta lain membuka hati dan pikiran

terhadap kebenaran baru dari partner dialognya.

Di dalam semua agama bagi Knitter terdapat suatu ”kesamaan yang kasar”

(rough parity). Maksudnya, bukan berarti semua agama pada dasarnya memberi-

takan hal yang sama, tetapi bahwa karena perbedaan mereka dari agama Kristen,

agama-agama lain mungkin juga sama efektif dan berhasilnya dalam membawa

para penganutnya kepada kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan bersama

Allah. Dengan kata lain, dengan teologi korelasional umat kristen berpegang pada

19
Lihat uraian lengkapnya dalam Jhon Hick dan Paul F Knitter, Mitos Keunikan
Agama Kristen. ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001)..
.
11

kemungkinan dan mendorong kemungkinan bahwa Sumber kebenaran dan

transformasi yang mereka sebut Allah dalam Yesus Kristus memiliki lebih banyak

kebenaran dan bentuk-bentuk transformasi lainnya yang mampu dinyatakan

daripada yang telah dinyatakan dalam Yesus. Teologi pluralis atau korelasional

tidak hanya mengakui adanya berbagai perbedaan antar-agama yang mencolok

bahkan tak terbandingkan, tetapi juga mengakui nilai dan keabsahan dari dunia

yang serba berbeda ini. Agama-agama lain bukan hanya sangat berbeda, namun

bisa juga sangat bernilai20.

Secara teologis, umat Kristen mengatakan bahwa mereka percaya kepada

suatu Allah yang benar-benar mau menyelamatkan semua orang yaitu Allah dari

Yesus Kristus, Allah ”kasih yang murni tanpa terikat”, yang merangkul semua dan

menghendaki kehidupan dan keselamatan. Allah merangkul semua manusia yang

dikasihiNya di dalam dan melalui tidak hanya persekutuan gerejawi, tetapi juga

dalam persekutuan dari penganut agama-agama lain. Umat Kristen bisa dan harus

mendekati agama-agama lain bukan hanya dengan harapan bahwa mereka

mungkin (possibly) akan menemukan kebenaran dan kebaikan tetapi bahwa

mereka lebih mungkin (probably) menemukannya. Dengan demikian teologi

pluralistik mendorong agar umat beragama untuk mengkomunikasikan dan

membagikan kandungan yang bernilai dari agama mereka. Agama-agama harus

berdialog. Kebenaran setiap agama bukan untuk dirinya sendiri dan mengabaikan

20
Jhon Hick dan Paul F Knitter, Ibid., hlm 42-45.
12

yang lain, tetapi untuk dipertemukan sehingga terjadi proses belajar yang

memperdalam kebenaran masing-masing. Hakikat agama jelasnya relasional dan

dialogis. Jadi semua agama perlu berbicara dan bertindak bersama. Perbedaan

dalam masing-masing agama tidak menghalangi hubungan antar sesama di antara

mereka21.

Keunikan Yesus (Kis 4:12) seharusnya tidak ditafsirkan secara statis.

Masalah keunikan Yesus tetap terbuka terhadap berbagai pemahaman baru. Di sini

umat Kristen bisa terus menegaskan dan memberikan kepada dunia tentang Yesus

sebagai benar-benar (truly) ilahi dan juruselamat, namun mereka tidak perlu

bersikeras bahwa Dia satu-satunya (solely) ilahi dan juruselamat. ”Benar-benar,

namun bukan satu-satunya”, merupakan upaya baru untuk menegaskan

pentingnya Yesus dalam dunia kepelbagaian agama. Secara teologis berarti di satu

pihak kita memberitakan Yesus sebagai Juruselamat, dan di pihak lain bisa terbuka

terhadap kemungkinan bahwa ada pribadi lain yang bisa diakui umat Kristen

sebagai anak Allah. Kristologi pluralistik semacam ini mengizinkan dan

mensyaratkan umat Kristen untuk sepenuhnya percaya kepada Kristus, namun

sekaligus bisa terbuka terhadap umat lainnya yang mungkin memiliki berbagai

peran yang sama pentingnya. Secara gerejawi, gereja dapat saling memberi dan

menerima dalam interaksinya dengan agama-agama lain dengan pesan relevan

dan penting22.

21
Ibid., hlm. 49.
22
Ibid., hlm. 50-51.
13

Teologi pluralistik mensyaratkan dialog sebagai elemen penting dalam

berhadapan dengan agama-agama lain. Dialog antar-agama bukan bertujuan

menciptakan satu agama tunggal dan final, melainkan kepelbagaian yang semakin

berkembang dan berarti dalam agama-agama. Dialog korelasional ini harus disertai

dengan tanggungjawab global dan karena itu pendekatannya bukanlah

eklesiosen-tris, kristosentris atau teosentris, melainkan soteriosentris.

Dasar bersama bagi dialog antar-agama adalah soal penderitaan manusia

dan kerusakan ekologi atau dengan kata lain kesejahteraan manusia dan

lingkungan.23 Dasar bersama dialog ini penting ditetapkan agar tidak terjadi

kelesuan atau kesepian moral sehingga dapat mengambil keputusan etis bersama

demi kesejahteraan manusia dan Bumi24. Terobosan kongkret yang dapat dibuat

adalah merumuskan suatu etika global bagi tindakan bersama. Etika global ini

dapat menjadi kenyataan jika dilakukan dialog global terlebih dahulu sehingga

akhirnya tanggung jawab global dapat dilakukan bersama. Di sini menjadi religius

berarti menjalani kehidupan yang bertanggung jawab secara global. Dengan

tanggung jawab global yang menjadi tugas etis bersama, maka semua umat

beragama bisa lebih saling menghidupkan dan memperbarui25.

Dialog dan tujuannya

23
Ibid., hlm. 81.
24
Ibid., hlm. 83.
25
Ibid., hlm 102-152.
14

Pluralisme agama memberi peranan penting bagi terselenggaranya dialog

agar tercapai saling pengertian yang mendalam. Dialog bukanlah suatu kegemaran

intelektual melainkan suatu keharusan26. Dialog sejatinya dilakukan dalam

kesetaraan, par cum pari (setara dengan setara). Dalam dialog tidak boleh prinsip

diabaikan dan tidak boleh sekedar mencari kedamaian palsu (irenicisme), sebalik-

nya harus ada kesaksian yang diberi dan diterima guna saling memajukan satu

sama lain di dalam perjalanan pencarian dan pengalaman keagamaan; dan saat

yang sama menyingkirkan prasangka, sikap intoleran dan kesalahpahaman.

Kalaupun seseorang mengalami pertobatan lewat dialog, kenyataan itu

harus dapat diterima semua pihak secara positif dan wajar. Dialog mensyaratkan

sikap konsisten, terbuka, kerendahan hati dan keterus-terangan sehingga dialog

dapat memperkaya dan memperbarui masing-masing pihak. Dialog meminta

keseimbangan sikap, kemantapan dan menolak indeferentisme (paham yang

menyamakan semua agama sama) dan tidak menghendaki teologi universal27.

Dalam dialog setiap orang harus diterima sebagaimana ia memahami dirinya

sendiri. Oleh sebab itu, masing-masing hanya dapat berbicara untuk dirinya sendiri

berdasarkan posisinya sediri. Tentu posisi ini tidak boleh menjadi dogma kaku,

melainkan ia harus dinamis sesuai situasi yang berubah28.

Beragam bentuk dialog dapat dipraktekkan seperti (1) dialog kehidupan di

mana masing-masing memelihara solidaritas dan kebersamaan; (2) dialog melalui

26
Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, kata
pengantar oleh Komarudin Hidayat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 122.
27
F.X.E. Armada Riyanto, Ibid., 113-115.
28
Olaf H. Schumann, Ibid., hlm 122-123.
15

percakapan di mana para ahli mempercakapkan ajaran agama mereka masing-

masing; (3) dialog spiritualitas lewat ibadah dan doa bersama dari beragam agama;

dan (4) dialog dalam tindakan lewat kerjasama mengusahakan kedamaian dan

keadilan29. Tujuan dalam dialog dapat ditetapkan misalnya (1) memupuk persauda-

raan lintas agama, (2) merayakan bersama hari raya agama dan nasional,

(3) menghindari sikap intoleran dan mencegah konflik komunal, dan (4) mengupa-

yakan keadilan sosial dengan merancang berbagai pendekatan konstruktif

terhadap masalah-masalah sosial30.

Refleksi teologis

Nurcholish Madjid benar dengan perkataannya bahwa Islam memberikan

landasan teologis yang memadai untuk mencari titik temu antara penganut

berbagai agama berkitab suci (Q.S. Ali ’Imran/3:64) dan jika titik temu gagal atau

ditolak, maka masing-masing harus diberi hak untuk secara bebas memperta-

hankan sistem keimanan yang dianutnya. Titik temu antara agama-agama adalah

paham Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila31. Jelas bahwa

Islam pun terbuka terhadap pluralisme agama dan dialog dan ini dapat menjadi

pintu masuk bagi kekristenan berdialog dengan umat Islam. Dengan belajar dan

mengerti pemahaman agama lain dari sumbernya langsung, maka jelas sikap

eksklusivisme dan inklusivisme sudah tidak tepat dipertahankan dalam konteks


29
Victor I. Tanja, Ibid., hlm. 4-6.
30
Paul F. Knitter, Ibid., hlm. 245.
31
Nurcholish Madjid, “Islam dan Substansiasi Paham Kebangsaan di Indonesia”, dalam
F. Suleeman, dkk., (peny.) Bergumul dalam pengharapan; Buku Penghargaan untuk
Pdt. Dr. Eka Darmaputera, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 490.
16

kemajemukan Indonesia. Jika masih dan tetap dipertahankan, itu dapat menya-

kitkan hati, melukai perasaan dan menyuburkan sikap antipati umat beragama lain

terhadap umat Kristen. Kekristenan harus keluar dari ketertutupannya dan mem-

perbaharui paradigma teologinya secara menyeluruh.

Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari bahwa sikap

superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah

mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya kita harus menjadi

sesama (Lukas 10:36) atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara kita yang

berkepercayaan lain32. Pluralisme agama bukan berarti percampuran atau

sinkretisme, sebab keunikan masing-masing agama tetap dapat dipertahankan dan

dapat dikomunikasikan; dan bukan untuk dipertandingkan. Dengan demikian kita

dapat mengatakan bahwa agama Kristen bukan jalan keselamatan satu-satunya,

melainkan satu dari antara bebarapa jalan lainnya dan begitu sebaliknya. 33

Keterbukaan semacam ini menumbuhkan perdamaian dan toleransi dan bukan

pada tempatnya lagi saling menghujat, menyalahkan, apalagi membunuh34.

Model pluralisme Knitter dengan dialog pluralistik yang bertanggungjawab

global menurut saya dapat dipertimbangkan untuk mengatasi masalah kemiskinan

dan kerusakan ekologi dalam konteks kita. Agama-agama harus memberikan

32
Eka Darmaputera, “Teologi Persahabatan antar umat Beragama”, dalam Karel Erari, et.al.,
Keadilan bagi yang lemah, Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi, MA,
(Jakarta, tanpa penerbit, 1995), hlm. 194.
33
John Hick, “Ketidakmutlakkan Agama Kristen“, dalam, Jhon Hick dan Paul F Knitter,
Ibid., hlm . 55.
34
M. Amin Abdullah, “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar-agama”, dalam
J.B. Banawiratma, dkk., Hak Asasi Manusia Tantangan bagi Agama, (Jogyakarta:
Kanisuis, 1999), hlm 58-59.
17

kontribusi yang berarti mengatasi kedua masalah besar itu. Tentunya sebelum

melangkah lebih lanjut perlu Gereja mempersiapkan dirinya lebih baik dan hati-hati

sehingga tidak ada motif terselubung yang tidak etis misalnya mencari petobat baru

atau kegamangan dalam implementasinya. Model ini mendorong warga masya-

rakat untuk berdialog sebab dialog agama bukanlah monopoli kaum elit agama.

Musibah bencana alam dan kelaparan yang diderita sebagian rakyat Indonesia

tidak bisa ditangani secara darurat dan sambil lalu saja. Jaring Pengaman Sosial

(JPS) yang dilakukan pemerintah tidak efektif dan hanya merugikan keuangan

negara. Masyarakat harus dilatih kepekaan dan solidaritas terhadap sesama yang

menderita apapun agama dan kepercayaannya. Menumbuhkan kepekan dan

solidaritas terhadap sesama merupakan tugas agama yang hakiki.

Dalam era globalisasi, agama-agama tetap memainkan peranan penting

agar masyarakat tidak hanyut dalam arus fundamentalisme dan liberalisme, karena

keduanya tidak peduli dengan eksistensi orang lain. Jika agama-agama tidak dapat

berdialog, maka kekerasan atas nama agama dapat mencederai kesatuan bangsa

dan menciptakan ketakutan dalam masyarakat. Pluralisme agama menjadikan

dikotomi mayoritas-minoritas tidak relevan lagi sebab semua umat beragama

berpotensi sama baiknya membangun kehidupan bersesama secara damai dalam

bingkai kepelbagaian dalam kesatuan (bhineka tunggal ika).

DAFTAR PUSTAKA

Buku
18

Abdullah, M. Amin, “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar-agama”, dalam


J.B. Banawiratma, dkk., Hak Asasi Manusia Tantangan bagi Agama,
Jogyakarta: Kanisuis, 1999.
Adiprasetya, Joas, Mencari dasar bersama: Etik global dalam kajian
post-modernisme dan pluralisme agama, Jakarta: Gunung Mulia dan STT
Jakarta, 2002.
Aritonang, Jan S. “Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam di Indonesia”, dalam
Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann,
Balitbang PGI, Agama dan Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa
depan. Punjung tulis 60 tahun Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1999.
Darmaputera, Eka. “Prediksi dan proyeksi isu-isu teologis pada dasawarsa
sembilanpuluhan: Sebuah introduksi”, dalam Soetarman SP, dkk.,
Fundamentalisme, Agama-agama dan Teknologi, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1993.
Darmaputera, Eka, “Teologi Persahabatan antar umat Beragama”, dalam Karel
Erari, et.al., Keadilan bagi yang lemah, Buku Peringatan Hari Jadi ke-67
Prof. Dr. Ihromi, MA, Jakarta, tanpa penerbit, 1995.
Hick, Jhon dan Knitter, Paul F, Mitos Keunikan Agama Kristen. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2001.
Knitter, Paul F. No Other Name?; A Critical Survey of Christian Attitudes
Towards theWorld Religions, Maryknoll, New York: Orbis Book, 1995.
Knitter, Paul F. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog multi-agama dan tanggung-
jawab global, diterjemahan oleh Nico A. Likumahuwa, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003.
Lefebure, Leo D. Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, diterjemahkan oleh
Bambang Subandrijo, cet. 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Mulder, D.C. “Perkembangan Dialog Antar Agama”, dalam Th. Sumartana, dkk.,
19

Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Yogjakarta: Penerbit Dian/Interfidei,


t.th.
Riyanto, F.X.E. Armada, Dialog Agama dalam pandangan Gereja Katolik,
Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Schumann, Olaf H. Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, kata
pengantar oleh Komarudin Hidayat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004..
Sitompul, Einar M. Gereja menyikapi perubahan, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2004.
Suleeman, F. dkk., (peny.) Bergumul dalam pengharapan; Buku Penghargaan
Untuk Pdt. Dr. Eka Darmaputera, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Tanja, Victor I. Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Urban, Linwood, Sejarah ringkas pemikiran Kristen, diterjemahkan oleh Liem
Sien Kie, Jakarta: Gunung Mulia, 2003.

Surat kabar
Kompas 28 Juli 2005.
20

You might also like