Professional Documents
Culture Documents
Ditulis oleh Muhammad Imaduddin*
Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa
dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai
tempat aktivitas jual beli harus, dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai
khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi
khalifahkhalifah yang tangguh di muka bumi. Jual Beli Dalam Pandangan Islam
Oleh: Muhammad Imaduddin*
Dalam Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 275, Allah menegaskan bahwa: “...Allah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba...”. Hal yang menarik dari ayat tersebut adalah adanya pelarangan riba yang
didahului oleh penghalalan jual beli. Jual beli (trade) adalah bentuk dasar dari kegiatan ekonomi
manusia. Kita mengetahui bahwa pasar tercipta oleh adanya transaksi dari jual beli. Pasar dapat timbul
manakala terdapat penjual yang menawarkan barang maupun jasa untuk dijual kepada pembeli. Dari
konsep sederhana tersebut lahirlah sebuah aktivitas ekonomi yang kemudian berkembang menjadi
suatu sistem perekonomian.
Pertanyaannya kini adalah, seperti apakah konsep jual beli tersebut yang dibolehkan dan sesuai dengan
pandangan Islam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita perlu melihat batasanbatasan
dalam melakukan aktivitas jual beli. AlOmar dan AbdelHaq (1996) menjelaskan perlu adanya
kejelasan dari obyek yang akan dijualbelikan. Kejelasan tersebut paling tidak harus memenuhi empat
hal. Pertama, mereka menjelaskan tentang lawfulness. Artinya, barang tersebut dibolehkan oleh syariah
Islam. Barang tersebut harus benarbenar halal dan jauh dari unsurunsur yang diharamkan oleh Allah.
Tidak boleh menjual barang atau jasa yang haram dan merusak. Kedua, masalah existence. Obyek dari
barang tersebut harus benarbenar nyata dan bukan tipuan. Barang tersebut memang benarbenar
bermanfaat dengan wujud yang tetap. Ketiga, delivery. Artinya harus ada kepastian pengiriman dan
distribusi yang tepat. Ketepatan waktu menjadi hal yang penting disini. Dan terakhir, adalah precise
determination. Kualitas dan nilai yang dijual itu harus sesuai dan melekat dengan barang yang akan
diperjualbelikan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa yang
diinformasikan pada saat promosi dan iklan.
Dari keempat batasan obyek barang tersebut kemudian kita perlu melihat bagaimanakah konsep
kepemilikan suatu produk dalam Islam. AlOmar dan AbdelHaq (1996) juga menjelaskan bahwa
konsep kepemilikan barang itu adalah mutlak milik Allah (QS 24:33 dan 57:7). Semua yang ada di
darat, laut, udara, dan seluruh alam semesta adalah kepunyaan Allah. Manusia ditugaskan oleh Allah
sebagai khalifah untuk mengelola seluruh harta milik Allah tersebut dan kepemilikan barangbarang
yang menyangkut hajat hidup harus dikelola secara kolektif dengan penuh kejujuran dan keadilan.
Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa
dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai
tempat aktivitas jual beli harus, dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai
khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi
khalifahkhalifah yang tangguh di muka bumi. Abdurrahman bin Auf adalah salah satu contoh sahabat
nabi yang lahir sebagai seorang mukmin yang tangguh berkat hasil pendidikan di pasar. Beliau menjadi
salah satu orang kaya yang amanah dan juga memiliki kepribadian ihsan.
Lalu bagaimana menciptakan sistem jual beli yang dapat melahirkan khalifahkhalifah yang tangguh?
Ada beberapa langkah yang bisa kita praktekkan sedini mungkin. Langkah tersebut antara lain dengan
melatih kejujuran diri kita. Latihlah menjadi orang jujur dari halhal yang kecil. Rasulullah selalu
mempraktekkan kejujuran, termasuk ketika melakukan aktivitas jual beli. Beliau selalu menjelaskan
kualitas yang sebenarnya dari barang yang dijual dan tidak pernah memainkan takaran timbangan.
Selain melatih kejujuran, kita juga harus mampu memanfaatkan peluang bisnis yang ada. Tidak
menjadi orang yang latah melihat kesuksesan dari bisnis pihak lain. Kita harus mampu sabar dan
tawakkal dengan disertai ikhtiar yang optimal dalam melihat peluang yang tepat dalam melakukan
aktivitas bisnis. Langkah lainnya adalah dengan menciptakan distribusi yang tepat melalui zakat, infak,
dan shadaqah. Aktivitas jual beli harus mampu melatih kita untuk menjadi orang yang pemurah dan
senantiasa berbagi dengan sesama. Zakat, infak, dan shadaqah adalah media yang tepat untuk
membangun hal tersebut.
Konsep jual beli dalam Islam diharapkan menjadi cikal bakal dari sebuah sistem pasar yang tepat dan
sesuai dengan alam bisnis. Sistem pasar yang tepat akan menciptakan sistem perekonomian yang tepat
pula. Maka, jika kita ingin menciptakan suatu sistem perekonomian yang tepat, kita harus membangun
suatu sistem jual beli yang sesuai dengan kaidah syariah Islam yang dapat melahirkan khalifahkhalifah
yang tangguh di muka bumi ini. Hal tersebut dapat tercipta dengan adanya kerjasama antara seluruh
elemen yang ada di pasar, yang disertai dengan kerja keras, kejujuran dan mampu melihat peluang
yang tepat dalam membangun bisnis yang dapat berkembang dengan pesat.
Wallahu ‘alamu bishowab.
Keterangan:
Penulis adalah Mahasiswa S2 Islamic Banking, Finance, and Management di Markfield Institute of
Higher Education (MIHE), Markfield, Leicestershire, Inggris.
Referensi:
AlOmar, Fuad. dan AbdelHaq, Mohammed. 1996. Islamic Banking. Theory, Practise, and
Challenges. Karachi: Oxford University Press.
SyaratSyarat Jual Beli Dan Hukumnya
Posted Juni 27, 2007
MediaMuslim.Info – Persyaratan dalam transaksi jualbeli sering kali ditemukan. Terkadang orang
orang yang berjual beli atau salah satu dari keduanya membutuhkan adanya satu pensyaratan atau lebih,
maka hal ini menunjukan pentingnya membahas tentang syaratsyarat tersebut dan menjelaskan apa
yang sah dan tidak sah serta yang wajib dalam syarat jual beli.
Para Fuqaha rahimahumullah mereka mendefinisikan syarat dalam jual beli yaitu salah satu dari yang
berjual beli mewajibkan kepada yang lainnya dengan sebab akad yang mengandung manfaat. Menurut
mereka syarat dalam jual beli tidaklah teranggap untuk dilakukan kecuali jika disyaratkan pada saat
akad. Maka tidak sah syarat sebelum atau setelah akad.
Syarat Jual Beli
Syarat dalam jual beli terbagai ke dalam dua :
1. Syarat yang sah
2. Syarat yang rusak (tidak sah)
Pertama: Syarat yang sah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan konsekuensi akad
Syarat semacam ini harus dilaksanakan karena sabda Rasululloh shallahllahu ‘alaihi wasallam, yang
artinya: ”Orangorang muslim itu berada di atas syaratsyaratmereka.” (Hadits Hasan Sahih dalam
Sahih Abu Dawud No. 2062)
Dan karena pada asalnya syaratsyarat itu sah kecuali jika dibatalkan dan dilarang oleh Syariat Islam.
Syarat jualbeli yang sahih mempunyai dua macam:
1. Syarat untuk kemaslahatan akad.
Yaitu syarat yang akan menguatkan akad dan akan memberikan maslahat bagi orang yang memberikan
syarat, seperti disyaratkannya adanya dokumen dalam pegadaian atau disyaratkannya jaminan, hal
seperti ini akan menenangkan penjual. Dan juga seperti disyaratkannya menunda harga atau sebagian
harga sampai waktu tertentu, maka ini akan berfaedah bagi si pembeli. Apabila masingmasing pihak
menjalankan syarat ini maka jual beli itu harus dilakukan, demikian pula kalau seorang pembeli
mensyaratkan barang dengan suatu sifat tertentu seperti keadaanya harus dari jenis yang baik, atau dari
produk si A, karena selera berbedabeda mengikuti keadaan dari barang tersebut.
Apabila syarat barang yang dijual telah terpenuhi maka wajiblah menjualnya. Akan tetapi jika syarat
tersebut tidak sesuai dengan yang dikehendaki, maka bagi pembeli berhak untuk membatalkan atau
mengambilnya dengan meminta ganti rugi dari syarat yang hilang (yaitu dengan menuntut harga yang
lebih murah, pent), dan juga pembeli bersedia membayar adanya perbedaan dua harga jika si penjual
memintanya (dengan harga yang lebih tinggi jika barangnya melebihihi syarat yang diminta, pent)
2. Syarat yang sah dalam jual beli.
Yaitu seorang yang berakad mensyaratkan terhadap yang lainnya untuk saling memberikan manfaat
yang mubah dalam jual beli, seperti penjual mensyaratkan menempati tempat penjualan selama waktu
tertentu, atau dibawa oleh kendaraan atau hewan jualannya sampai ke suatu tempat tertentu.
Sebagaimana riwayat Jabir radhiyallahu anhu bahwa, yang artinya: “Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
menjual seekor unta dan mesyaratkan menungganginya sampai ke Madinah” (Mutafaq ‘alaihi).
Hadits ini menunjukan bolehnya menjual hewan tunggangan dengan pengecualian (syarat)
mengendarainya sampai ke suatu tempat tertentu, maka diqiyaskanlah perkara yang lainnya kepadanya.
Demikian pula kalau seandainya pembeli mensyaratkan kepada penjual agar penjual melakukan
pekerjaan tertentu atas penjualannya seperti membeli kayu bakar dan mensyaratkan kepada penjualnya
untuk membawanya ke tempat tertenu, atau membeli darinya pakaian dengan syarat dia
menjahitkannya.
Kedua: Syarat yang rusak (tidak sah)
Jenis ini juga terdiri dari beberapa macam :
1. Syarat yang rusak dan membatalkan pokok akad itu sendri
Misalnya salah seorang dari keduanya (penjual dan pembeli) mensyaratkan dengan syarat yang lain
terhadap yang lainnya, seperti mengatakan Aku jual barang ini dengan syarat engkau memberiku
ganjaran berupa rumahmu atau mengatakan Aku jual barang ini kepadamu dengan syarat engkau
mengikutsertakan aku dalam pekerjaamu atau di rumahmu. Atau juga mengatkaan Aku jual barang ini
seharga ini, dengan syarat engkau meminjamiku sejumlah uang, maka syarat ini rusak (tidak sah), dan
membatalkan pokok akad itu sendiri, karena larangan Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam terhadap dua
jualan diatas penjualan (disahihkan oleh Al Albany dalam Misykatul Mashabih, N0. 2798), sedang
Imam Ahmad rahimahullah menafsirkan hadits tersebut dengan apa yang kami sebutkan.
2. Syarat yang rusak dalam jual beli
Yaitu yang membatalkan akad itu sendiri akan tetapi tidak membatalkan jual beli. seperti pembeli
mensyaratkan terhadap penjual jika dia rugi terhadap barang dagangannya, dia akan mengembalikannya
kepadanya. Atau penjual mensyaratkan kepada pembeli untuk tidak menjual barang dan yang
sejenisnya. Maka syarat ini rusak karena menyelisihi konsekuensi akad yaitu pembeli mempunyai hak
mutlak terhadap penggunaan barang. Disamping itu karena sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
yang artinya: “barangsiapa mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah maka
syarat itu bathil, meskipun ada seratus syarat” (Mutafaq ‘alaihi). Adapun yang dimaksud dengan Kitab
Alloh di sini adalah hukumnya, maka termasuk padanya adalah Sunnah Rasululloh shalallahu ‘alaihi
wasallam.
Jual beli tidaklah menjadi batal dengan batalnya syarat ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam kisah Barirah (Maula Aisyah Radhiyallahu ‘anha) ketika penjualnya mensyaratkan loyalitas dari
Barirah harus kepadanya (penjual) jika dia dibebaskan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
membatalkan syarat ini, akan tetapi tidak membatalkan dari akad (jual belinya), dan beliau bersabda,
yang artinya: “Sesungguhnya perwalian (loyalitas) itu bagi yang membebaskannya” (Shahih Al Jami’ :
2226)
Maka semestinya bagi seorang muslim yang sibuk dengan urusan jual beli untuk mempelajari hukum
hukum jual beli menyangkut sah tidaknya syaratsyarat jual beli, sehingga dia berada di atas bashirah
(ilmu) dalam mu’amalahnya, sehingga akan terputuslah jalan pertentangan dan perselisihan diantara
muslimin. Karena kebanyakan pertentangan dan perselisihan tumbuh dari kebodohan penjual dan
pembeli atau salah satu dari keduanya terhadap hukum jual beli, serta mereka membuat syaratsyarat
yang rusak (tidak sah)
(Sumber Rujukan: SyaratSyarat Jual Beli Dan Hukumnya, Oleh Syaikh Shaleh bin Fauzan Abdullah
Alu Fauzan)
PENGERTIAN JUAL BELI
PENGERTIAN JUAL BELI
Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta. Sedangkan, secara terminologi, jual
beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan.
DASAR HUKUM
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah, ijma, dan dalil akal. Allah SWT berfirman:
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Alquran, 2:275)
KLASIFIKASI JUAL BELI
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun pengklasifikasian
jual beli adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan Objeknya
Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
2) Jual beli asSharf (Money Changer), yaitu penukaran uang dengan uang.
3) Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang.
b. Berdasarkan Standardisasi Harga
1) Jual Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal
barang yang dijualnya.
2) Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan modal barang yang dijualnya.
Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi menjadi tiga jenis:
a) Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui.
b) Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang diketahui.
c) Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal, tanpa keuntungan
atau kerugian.
d) Cara Pembayaran
Ditinjau dari cara pembayaran, jual beli dibedakan menjadi empat macam:
1) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung (jual beli kontan).
2) Jual beli dengan pembayaran tertunda (jual beli nasi’ah).
3) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
4) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran samasama tertunda.
SYARAT SAH JUAL BELI
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus dipenuhi
beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syaratsyarat ini terbagi dalam dua jenis, yaitu syarat yang
berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan syarat yang berkaitan dengan objek yang
diperjualbelikan.
Pertama, yang berkaitan dengan pihakpihak pelaku, harus memiliki kompetensi untuk melakukan
aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Dengan
demikian, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang
yang dipaksa.
Kedua, yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:
• Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu
pihak.
• Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar tidak terhindar faktor
‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing dalam karung’ karena hal tersebut dilarang.
• Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah menjual barang untuk jangka waktu tertentu
yang diketahui atau tidak diketahui.
Juzaf (Jual Beli Spekulatif)
Juzaf ialah menjual barang yang bisa ditakar, ditimbang atau dihitung secara borongan tanpa ditakar,
ditimbang atau dihitung terlebih dahulu. Contoh hal ini adalah seseorang yang menjual setumpuk
makanan, setumpuk pakaian atau sebidang tanah tanpa mengetahui kepastian ukurannya.
Jual beli ini disyariatkan sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar Ra. bahwa ia menceritakan,
“Kami biasa membeli makanan dari para kafilah dagang dengan cara spekulatif. Lalu Rasulullah saw
melarang kami menjualnya sebelum kami memindahkan dari tempatnya.” (HR. Muslim).
Hadits ini mengindikasikan bahwa para sahabat sudah terbiasa melakukan jual beli juzaf (spekulatif),
sehingga hal itu menunjukkan bahwa hal tersebut dibolehkan.
Namun demikian, agar jual beli juzaf ini diperbolehkan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Para
ulama Malikiyah menyebutkan persyaratan tersebut sebagai berikut:
• Baik pembeli dan penjual samasama tidak mengetahui ukuran barang dagangan. Kalau salah satunya
tahu, jual beli itu tidak sah.
• Jumlah barang dangangan jangan banyak sekali sehingga sulit diprediksikan, atau sedikit sekali
sehingga mudah dihitung.
• Tanah tempat meletakkan barang dagangan tersebut harus rata, sehingga tidak terjadi unsur
kecurangan dalam spekulasi.
• Barang dagangan harus tetap dijaga dan kemudian diperkirakan jumlah atau ukurannya ketika terjadi
akad.
Namun demikian, terdapat pengecualian, tidak boleh menjual komoditi riba fadhl dengan jenis yang
sama secara spekulatif, seperti menjual satu tandum kurma dengan satu tandum kurma yang lain. Hal
ini dikarenakan kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhl, “Ketidaktahuan akan kesamaan sama saja
dengan mengetahui adanya perbedaan (ketdaksamaanya).”
Sebabsebab Dilarangnya Jual Beli
Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:
a. Berkaitan dengan objek
1) Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual anak binatang yang
masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam tulang dada induknya (madhamin).
2) Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang najis, haram
dan sebagainya.
3) Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual, seperti jual beli fudhuly.
b. Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli
1) jual beli yang mengandung riba
2) Jual beli yang mengandung kecurangan.
Ada juga larangan yang berkaitan dengan halhal lain di luar kedua hal di atas seperti adanya penyulitan
dan sikap merugikan, seperti orang yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya,
menjual senjata saat terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya. Juga larangan karena
adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan adzan shalat Jum’at.
Akan tetapi, kemungkinan yang paling banyak tersebar dalam realitas kehidupan adalah sebagai
berikut:
• Objek jual beli yang haram.
• Riba.
• Kecurangan, serta;
• Syaratsyarat yang menggiring kepada riba, kecurangan atau keduaduanya.
7. Jual Beli yang Bermasalah
a. Jual Beli yang Diharamkan
1) Menjual tanggungan dengan tanggungan
Telah diriwayatkan larangan menjual tanggungan dengan tanggungan sebagaimana tersebut dalam
hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra.[9] Yaitu menjual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang
ditangguhkan juga. Misalnya, menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang
dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Ini adalah
bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
2) Jual beli disertai syarat
Jual beli disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum Islam. Malikiyah menganggap syarat ini sebagai
syarat yang bertentangan dengan konsekuensi jual beli seperti agar pembeli tidak menjualnya kembali
atau menggunakannya.
Hambaliyah memahami syarat sebagai yang bertentangan dengan akad, seperti adanya bentuk usaha
lain, seperti jual beli lain atau peminjaman, dan persyaratan yang membuat jual beli menjadi
bergantung, seperti ”Saya jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.”
Sedangkan Hanafiyah memahaminya sebagai syarat yang tidak termasuk dalam konsekuensi perjanjian
jual beli, dan tidak relevan dengan perjanjian tersebut tapi bermanfaat bagi salah satu pihak.
3) Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi, namun terdapat perbedaan dalam
aplikasinya sebagai berikut:
Jual beli dengan dua harga; harga kontan dan harga kredit yang lebih mahal. Mayoritas ulama sepakat
memperbolehkannya dengan ketentuan, sebelum berpisah, pembeli telah menetapkan pilihannya apakah
kontan atau kredit.
Jual beli ’Inah, yaitu menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, lalu si penjual membelinya
kembali dengan pembayaran kontan yang lebih murah.
4) Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau menawar barang yang masih
ditawar orang lain. Mayoritas ulama fiqih mengharamkan jual beli ini. Hal ini didasarkan pada larangan
dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim, ”Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan dalam
transaksi orang lain. Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh orang lain,
kecuali bila mendapat ijin dari pelaku transaksi atau peminang yang pertama.”
5) ’Orang kota menjual barang orang dusun.’ Yang dimaksud dengan istilah ini adalah orang kota yang
menjadi calo bagi pedagang orang dusun.[15] Rasulullah saw bersabda: ”Janganlah orang kota
menjualkan komoditi orang dusun. Biarkan manusia itu Allah berikan rizki, dengan saling memberi
keuntungan yang satu kepada yang lain.” (HR. Muslim)
6) Menjual anjing. Dalam hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah telah melarang mengambil untung dari
menjual anjing, melacur dan menjadi dukun (HR. Bukhari). Kalangan Syafi’iyah dan Hambaliyah
menganggap tidak sah menjual anjing apapun, baik dipelihara (untuk berburu) maupun tidak.
Sedangkan, Malikiyah membolehkan menjual anjing kelompok yang pertama dengan hadits:
”Rasulullah mengharamkan hasil jualan anjing, kecuali anjing buru.” (HR. AnNasa’i).
7) Menjual alatalat musik dan hiburan. Mayoritas ulama mengharamkan semua latalat hiburan dan
alatalat musik yang diharamkan.
Jual beli saat adzan Jum’at dikumandangkan. Allah swt berfirman: ”Hai orangorang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (Alquran, 62: 9).
Adzan yang dimaksud adalah adzan ketika khatib naik mimbar. Parameter diharamkannya jual beli ini
adalah bahwa orang yang melakukan transaksi adalah orang yang wajib shalat Jum’at, mengetahui
larangan tersebut dan tidak dalam kondisi darurat. Jika keduanya tidak wajib shalat Jum’at, maka tidak
apaapa. Namun jika salah satunya wajib, keduanya berdosa.
b. Jual Beli yang Diperdebatkan
1) Jual beli ’Inah. Yaitu jual beli manipulatif agar pinjaman uang dibayar dengan lebih banyak (riba).
Mayoritas ulama mengharamkannya tanpa pengecualian, sedangkan Imam asSyafi’i membolehkannya
jika tidak disepakati sebelumnya.
2) Jual beli Wafa. Yakni jual beli dengan syarat pengembalian barang dan pembayaran, ketika si penjual
mengembalikan uang bayaran dan si pembeli mengembalikan barang. Menurut pendapat ulama tujuan
dari jual beli ini adalah riba yang berupa manfaat barang.
3) Jual beli dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang muka (urbun) kepada
penjual dengan perjanjian bila ia jadi membelinya, uang itu dimasukkan ke dalam harganya. Jika tidak
terjadi, urbun menjadi milik penjual. Mayoritas ulama membolehkan jual beli seperti ini, jika diberi
batasan menunggu secara tegas.
4) Jual beli Istijrar. Yaitu mengambil kebutuhan dari penjual secara bertahap, selang beberapa waktu
kemudian membayarnya. Mayoritas ulama membolehkannya, bahkan bisa jadi lebih menyenangkan
bagi pembeli daripada jual beli dengan tawar menawar.
Metodologi Ekonomi Islam
Ditulis oleh Muhammad Imaduddin*
Selama ini kalau kita berbicara tentang muamalah, terutama ekonomi, kita akan berbicara tentang apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh. Hal ini memang merupakan prinsip dasar dari muamalah itu
sendiri, yang menyatakan: “Perhatikan apa yang dilarang, diluar itu maka boleh dikerjakan.” Tetapi
pertanyaan kemudian mengemuka, seperti apakah ekonomi dalam sudut pandang Islam itu sendiri?
Bagaimana filosofi dan kerangkanya? Dan bagaimanakah ekonomi Islam yang ideal itu?
Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut, maka sebenarnya kita perlu melihat bagaimanakah
metodologi dari ekonomi Islam itu sendiri. Muhammad Anas Zarqa (1992), menjelaskan bahwa
ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau
yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur’an,
Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang
ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of
value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi.
Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan positive
part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep
Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka
ekonomi Islam dibangun.
Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury (1998), menjelaskan bahwa pendekatan
ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan
demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli
dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme yang
merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan, karena tidak mengindahkan
adanya distribusi yang tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang
miskin.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara,
misalnya di negara kita? Memang barubaru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic system
di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi
mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Umar Chapra (2000) menjelaskan bahwa terdapat dua aliran
dalam ekonomi, yaitu aliran normatif dan positif. Aliran normatif itu selalu memandang sesuatu
permasalahan dari yang seharusnya terjadi, sehingga terkesan idealis dan perfeksionis. Sedangkan
aliran positif memandang permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi. Aliran positif ini pun
kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional. Perilaku yang selalu melihat masalah
ekonomi dari sudut pandang rasio dan nalarnya. Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua
kutub yang berbeda.
Lalu apa hubungannya kedua aliran tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata
hubungannya adalah akan selalu ada orangorang yang mempunyai pikiran dan ide yang bersumber
dari dua aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi Islam akan diterapkan, akan ada yang menentang
dan mendukungnya. Oleh karena itu sebagai orang yang optimis, maka penulis akan menyatakan ‘Ya’,
Islam dapat diterapkan dalam sebuah sistem ekonomi.
Tetapi optimisme ini akan dapat terwujud manakala etika dan perilaku pasar sudah berubah. Dalam
Islam etika berperan penting dalam menciptakan utilitas atau kepuasan (Tag El Din, 2005). Konsep
Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta manakala pihak lain sudah mencapai
kepuasan atau hasil optimal yang diinginkan, yang juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh
kita. Islam sebenarnya memandang penting adanya distribusi, kemudian lahirlah zakat sebagai bentuk
dari distribusi itu sendiri.
Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodolodi dari
Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta
penerapan konsep shuratic process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka
tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan semua itu harus
dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya (Al
Harran, 1996). Utilitas yang optimal akan lahir manakala distribusi dan adanya etika yang menjadi
acuan dalam berperilaku ekonomi. Oleh karena itu semangat untuk memiliki etika dan perilaku yang
ihsan kini harus dikampanyekan kepada seluruh sumber daya insani dari ekonomi Islam. Agar ekonomi
Islam dapat benarbenar diterapkan dalam kehidupan nyata, yang akan menciptakan keadilan sosial,
kemandirian, dan kesejahteraan masyarakatnya.
Wallahu ‘alamu bishowwab.