You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Al-Quran sebagai etunjuk abi umat mengadung dasar-dasar akidah,

akhlak, dan hokum. Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Rasulullah SAW engan

sunahnya seingga sepanjang hidup beliau, hokum setipa kasus dapat diketahui

berdasarkan nash al-Quran atau sunnahnya. Namun, pada masa berikutnya,

masyarakat menglami perkembangan pesat. Wilayah kekuasaan islam semakin

luas dan para sahabat pun tersebar ke berbagai daerah seiring dengan arus

ekspnasi yang berhasil engan gemilang.

Selain aktif dalam jihad dan dakwah, para para sahabat terkemuka juga

mengemban tanggung jawab sebagai rujukan fatwa dan informasi keagamaan

bagi umat di daerah yang mereka datangi. Kontak antara bangsa arab dan bangsa-

bangsa lain di luar arab dengan corak budayanya yang beragam segera

meninmbulkan berbagai kasus baru yang tidak terselesaikan dengan tujukan lahir

nash semata-mata. Untuk menghadapi hal itu, para sahabat terpaksa melakukan

ijtihad. Tentu saja mereka tetap mepedomani nash-nash al-Quran atau hadis dan

hanya melakukan ijtihad secara terbatas, sesuai dengan tuntutan kasus yang

dihadapi. Pada masa berikutnya tanggung jawab itu beraslih kepada para tokoh

tabi’in, kemudian tabi’ al-tabi’in, dan selanjutnya kepada para ulama mujtahid

dari generasi berikutnya.

Sehubungan dengan perkembangan ilmu ushul fiqh yang telah


digambarkan di atas salah satu pertanyaan yang layak diajukan ialah “seberapa

besarkan peranan as-syafi’i dalam merumuskan ushul fiqih menjadi sebuah

disiplin ilmu tersendiri? Untuk menjawab pertanyaan itu tidak bias hanya

mengandalkan perkiraan semata, tapi membutuhkan analisis yang sangat tetap

untuk menjawabnya.

Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan sedikit menjawab

pertanyaan itu mudah-mudahan tetap sasaran analisis kami ini.

B. Perumusan Masalah

Jadi, masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah

perjalanan ushul fiqh hingga menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri dan

relevansinya dengan as-Syafi’i.

Namun, kajian ini memerlukan tinjauan terhadap masalah terkait, yaitu (1)

sebesar apakah peranan syafi’I dalam merumuskan ushul fiqh; (2) factor-faktor

yang mempengaruhi perkembangan ilmu ushul fiqh; (3) sebarapa besarkah kah

kepedulian para ulama terhadap ushul fiqh yang dibuktikan dengan karya-karya

yang dihasilkannya.

C. Ruang Lingkup Pembahasan

Karena pembahasan yang ada ini cukup singkat, maka pembahasan dalam

makalah ini hanya meliputi perjalanan ushul fiqh hingga menempati posisinya

yang sangat urgen.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan gambaran permaslahan di atas, dapatlah dikemukakan bahwa

tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.


1. Mengetahui perkembangan ushul fiqh yang menjadi fundamen dalam

memahami suatu nash-nash.

2. Mengungkapkan hubungan Syafi’i dengan kodifikasi ilmu ushul fiqh.

3. Mengungkapkan peranan Syafi’i dalam dunia ushul fiqh.

E. Sistematika Penulisan

Berdasarkan ruang lingkup pembahasan sebagaimana dikemukakan di

atas, pembahsan makalah ini disajikan dalam 5 bab, dengan sistematika sebagai

berikut.

Bab 1 memuat uraian tentang latar belakang masalah, perumusahan

masalah, ruang lingkup pembahasan dan sistematika penulisan.

Bab 2 menliputi penjelasan pengertian ushul fiqh, ruang lingkup kajian

ushul fiqh dan manfaat ushul fiqh bagi kemaslahatan umat/manusia.

Bab 3 membahas tentang perjalanan ushul fiqh yang muncul bibit-

bibitnya ketikan zaman Rasulullah hingga dikodifikasikan menjadi sebuah disiplin

ilmu tersendiri dalam memahami nash-nash serta perumusan Syafi’i terhadap

ushul fiqh.

Bab 4 menjelaskan tentang karya-kartya yang telah dihasilkan oleh para

ulama dalam bidang ushul fiqh.

Bab 5 bab penutup, akan mencoba beberapa kesimpulan. Bab ini juga

dilengkapi dengan saran-saran dan disediankan masukan-masukan


BAB II

Pengertian, Topic Kajian,


Ruang Lingkup dan Manfaat Ushul Fiqh

Pengertian

Pengertian ushul fiqh dapat dilihat dari dua sisi: pertama, sebagai

rangkaian dari dua kata: ushul dan fiqh. Kedua sebagai satu bidang ilmu dan ilmu-

ilmu syariat.
Ushul fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi

nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Dilihat dari segi etymologi, kata ushul fiqh

terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih. Menurut aslinya kalimat tersebut bukan

merupakan danam bagi disiplin ilmu tertentu, tetapi masing-masing mudhaf dan

mudhaf ilaih mempunyai pengertian sendiri-sendiri.

Pengertian ushul, menurut etymologi adalah dasar (fundamen) yang

diatasnya dibangun sesuatu. Seangkan pengertian secra terminoligu sama dengan

pengetian etimologi.

Sedangkan fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam

tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan. Sedangkan pengertian fiqh menurut

terminology para fuqaha adlah pengetahuan tentang hokum-hukum syara’

mengenai perbuatan manusia, yang diambil ari dalil-dalil yang terperinci. Dengan

kata lain ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara metode

pengambilan hokum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-

dalil syar’i.

Topik-topik dan ruang lingkup pembahasan ilmu Ushul Fiqh meliputi:

a. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat,

mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah,

batal, azimah dan rukhshah).


b. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti

apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak,

menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan

sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.


c. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah
pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau
tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.

d. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi


keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi
tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua
disebut awarid samawiyah.

e. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah
lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan
muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.

f. Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan ra’yu dan batas-
batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid,
bahaya taqlid dan sebagainya.

g. Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah,


ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man
qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.

h. Masa'ah ra’yu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful
munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul
fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai
bentuk dan penyelesaiannya.

Dengan Usul Fiqh :

- Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan

peradaban umat manusia.


- Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.

- Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum


dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti
kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.

- Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman


dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan
norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau
mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian
atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya;
prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.
Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal

menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah

orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu).

Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu

kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di

dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam

segala bidang.

BAB III
USHUL FIQH : Sejak Kemunculannya Hingga Menjadi Disiplin Ilmu

Sejak periode awal sejarah Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin


dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh hukum Islam. Aturan-aturan ini,
pada esensinya, bersifat religius. Oleh karena itu, dalam pembinaan dan
pengembangannya, selalu diupayakan berdasarkan kepada al-Qur’an, sebagai
wahyu Ilahi yang terakhir, yang pengaplikasiannya untuk sebagian besar
dicontohkan dan dioperasionalkan oleh sunnah Rasulullah saw.
Bagi umat Islam, syari’ah adalah “tugas umat manusia yang menyeluruh”,

meliputi moral dan etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah formal dan

ritual yang rinci. Syari’ah mencakup semua hukum publik dan perseorangan,

kesehatan bahkan kesopanan dan akhlak. Mayoritas umat Islam meyakini bahwa

keseluruhan syari’ah itu bersifat ilahiah. Dan pandangan yang menjadi keyakinan

umat ini akan menjadi hambatan psikologis utama dalam upaya merekonstruksi

syari’ah, apalagi jika ada yang menganggap bahwa bagian tertentu dari syari’ah

sudah tidak memadai, akan dituduh sebagai bid’ah.

Memang dari sekian aspek yang diatur oleh Islam, aspek hukum

mempunyai kedudukan tersendiri, karena ia menyentuh langsung kenyataan yang

dihadapi umat Islam. Kalau dilihat ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung dasar

hukum, baik mengenai ibadah maupun sosial kemayarakatan, bila diikuti

perbandingan yang diberikan oleh Abdul Wahab Khallaf, seperti yang dikutip

oleh Harun Nasution hanyalah sekitar 5,8 persen dari seluruh ayat al-Qur’an yang

berjumlah 6360 ayat.

Rasulullah Saw, dalam memecahkan masalah yang muncul, terkadang

meminta pendapat para sahabat melalui forum musyawarah. Sebagai contoh,

beliau meminta pertimbangan kepada Abu Bakar dan Umar dalam menangani

tawanan perang Badar. Pada masa itu, segala masalah yang timbul di kalangan

umat dapat diselesaikan di hadapan beliau yang memiliki otoritas keagamaan.

Yang jadi masalah barangkali setelah sepeninggal Rasul, yakni perihal siapa yang
mengganti hak otoritatif tersebut. Pada satu sisi, sumber pemecahan masalah

keagamaan telah terputus, sedang pada sisi lain, kejadian-kejadian yang timbul

dalam masyarakat tentu berlangsung tanpa mengenal batas. Untuk mengantisipasi

hal tersebut, maka dibutuhkan pranata ijtihad secara kontinu demi pemenuhan

kebutuhan masyarakat Islam.

Pada masa sahabat yang lebih dekat dengan tradisi kehidupan Rasulullah

saw, pemecahan masalah hukum lebih banyak bersandar pada al-Qur’an dan

tradisi yang dibawa oleh Rasul, dan mereka saling bertukar informasi tentang

tradisi Rasul tersebut. Apabila mereka tidak menemukannya dalam dua sumber

tersebut, mereka dengan segala upaya dan kesungguhan berijtihad mencari

pemecahan masalah dengan selalu mengambil inspirasi dan menangkap pesan-

pesan universal al-Qur’an dan sunnah. Dalam berijtihad seringkali mereka meng-

hasilkan pemecahan yang berbeda. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau Ibnu

Khaldun, seorang sosiolog muslim yang terkenal mengatakan: “Tidaklah sahabat

itu mampu berfatwa, dan tidak semua dari mereka itu dapat diambil dan dijadikan

pedornan dalam agama.” Lain halnya di kalangan Syi’ah yang berkeyakinan

bahwa para imam mereka memiliki hak otoritatif sebagaimana juga yang dimiliki

oleh Rasul dalam menginterpretasikan wahyu Ilahi. Apapun yang diputuskan

olehnya melalui interpretasi dan elaborasi adalah mengikat kaum muslimin.

Dalam perkembangan selanjutnya, Islam yang sudah menyebar

sedemikian luasnya, pluralitas masyarakat tidak dapat dihindarkan lagi, masalah

yang timbul pun tidak kalah kompleksnya yang menuntut upaya ijtihad yang lebih

komprehensip bagi segenap pengikutnya, khususnya para intelektual muslim yang


memiliki tanggung jawab yang paling berkompeten dalam hal tersebut. Hal

demikian dilakukan untuk lebih mengaktualisasikan misi Islam yang bersifat

elastic dan tidak ada unsur pemaksaan bagi manusia.

Dalam tulisan ini akan dipaparkan masalah awal penyusunan ilmu ushul

fiqh (dan kemudian menjadi salah satu dari bagian displin ilmu) yang telah

dipelopori Imam Syafi’i dalam menyusun ilmu tersebut secara sistematis, yang

dengan kecerdasannya, ia mampu menangkap fenomena yang ada dari per-

kembangan ilmu ushul fiqh dari periode sebelumnya dan diaplikasikan dalam

karyanya yang konkrit.

Imam al-Syafi’i Penulis Pertama Ushul Fiqh Sebagai

Disiplin Ilmu.

Nama lengkapnya adalah Abi Abdillah Muhammad bin Idris

Asy-Syafi’i, ia adalah keturunan Quraisy dengan nasab

Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi bin Saib bin

‘Abid bin Abdu Yazid ibnu Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf, ia

lahir di Gaza Palestina pada bulan Rajab tahun 150 H/767 M.

(bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah) dan wafat

pada malam jum’at 29 Rajab tahun 204 H/ 29 Januari 820 M. Ia

lebih kurang menulis 100 karya ilmiah. Di antaranya; ar-Risalah,

al-Umm, Ikhtilaf al-‘Iraqiyyin, Ikhtilaf Malik, Ibthal al-Istihsan,

Ahkam al-Qur’an, al-Musnad, al-Radd ‘ala Muhammad bin al-

Hasan, al-Qiyas, al-Imla’, al-Amali, al-Qasamat, al-Jizyah, Qital

Ahl al-Baghyi, Siyar al-Awza’i, dan lain-lain.


Dalam masalah fiqh, ia belajar pertama kali dengan Syeikh

Muslim bin Khalid al-Zinji hingga mendapat kesaksian untuk

memberikan fatwa, walau Syafi’i ketika itu masih berumur lima

belas tahun. Meskipun demikian, ia keberatan memberi fatwa,

karena dirinya telah dikuasai obsesinya untuk menguasai seluruh

faham fiqh yang berkembang pada zamannya. Sebagaimana

Imam Malik di Madinah, Abu Hanifah di Kufah, al-Auza’i di Syam,

al-Laits di Mesir.

Demi memenuhi apa yang menjadi obsesinya tersebut, ia

bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya, dengan menghafal

karya monumental dari Imam Malik, yaitu kitab al-Muwaththa’,

sebelum ia mulai berguru kepada penyusunnya. Sehingga ketika

ia belajar pada Imam Malik hanya dalam beberapa hari saja kitab

al-Muwaththa’ selesai. Imam Malik sempat heran atas

kecerdasan dan kefasihan Syafi’i dan selalu meminta untuk

mengulang atau meneruskan bacaannya ketika belajar.

Setelah di Madinah bersama Imam Malik, ia meneruskan

perkelanaannya mencari ilmu ke Kufah selama dua tahun. Dan

Kufah, ia telah mentransfer seluruh fiqh Abu Hanifah dan telah

banyak mendapat kemajuan yang luar biasa. Hal itu terlihat

dalam setiap majlis pembahasan keagamaan Syafi’i sangat

menonjol dan mendominasi. Di samping itu memang ditunjang

oleh penguasaannya dalam ilmu filsafat, logika, fisika,


kedokteran, falak dan ilmu-ilmu empiris lainnya, yang

sebelumnya telah dipelajari dari tokoh rasionalis di Irak dan para

murid Abu Hanifah selama di Madinah. Syafi’i tinggal di Madinah

di bawah naungan Imam Malik hingga Imam Malik wafat pada

tahun 179 H. Pada saat itu, umur beliau dua puluh sembilan

tahun.

Sepeninggal gurunya, Syafi’i pergi ke Najran dengan tujuan

bekerja, namun di sana ia justru mendapat kesempatan meleng-

kapi obsesinya menguasai fiqhnya al-Laits, di mana dia berguru

pada Yahya bin Hissan, salah seorang murid al-Laits. Dan dialah,

Syafi’i mengambil seluruh pengetahuan fiqh al-Laits. Dan di sana

pula lah, ia banyak bergaul dengan ulama Syi’ah dan banyak

bergesekan dengan penguasa Sunni bahkan dia sempat dituduh

memberontak dan menjadi pengikut golongan Syi’ah karena

perkataan beliau yang bemada condong kepada keturuanan Ali

bin Abi Thalib. Karena itu, ia sempat diajukan ke meja hijau di

masa Harun al-Rasyid karena perkataannya sebagai berikut: “Jika

Rafidhi (Syi’ah) itu mencintai keluarga Muhammad saw maka

saksikanlah bahwa sesungguhnya saya Rafidhi.” Kejadian itu

pada tahun 184 H, ketika ia berusia tiga puluh empat tahun.

Displin Ilmu yang Dituangkan al-Syafi’i di Dalam Kitabnya

al-Risalah.

Pada diri Syafi’i terakumulasi pemikiran fiqh dari para


fuqaha’ Mekah, Madinah, Irak dan Mesir. al-Razi, seperti yang

dikutip Abu Zahrah, mengatakan bahwa hampir semua ulama

terkemuka yang hidup di zamannya pemah menjadi gurunya,

paling tidak, pemah mendiskusikan persoalan dengannya. Guru-

gurunya yang betul-betul ahli fiqh sekitar sembilan belas orang,

lima orang dari Mekah, enam orang dan Madinah, empat orang

dari Yaman dan empat orang dari Irak.

Ada keterangan bahwa Imam Syafi’i tidak saja mengagumi

rasionalisme Abu Hanifah, tradisionalisme Malik, reformisme

Auza’i dan al-Laits akan tetapi juga pemikiran-pemikiran fun-

damentalisme Syi’ah dan Mu’tazilah. Dalam kajian sejarah Ibn

Katsir disebutkan bahwa Syafi’i berkata secara apresiasif :

“Barang siapa yang ingin memperdalam fiqh, ia harus jadi anak

asuh Abu Hanifah, yang ingin memperdalam sejarah harus

menjadi anak asuh Muhammad bin Ishaq, yang ingin

memperdalam hadis harus menjadi anak asuh Imam Malik dan

yang ingin memperdalam tafsir harus menjadi anak asuh

Muqathil bin Sulaiman.”

Ketika al-Syafi’i telah menjadi seorang Imam untuk

merealisasikan ilmunya, beliau membentuk majelis sebagai

sarana dalam mengajar dan berfatwa. Beliau membuka majelis

di Masjid al-Haram, Mekah, beberapa jam setelah shalat subuh.

Sisa waktu lainnya digunakan untuk berkonsentrasi khusus


mencari metode dalam fiqh. Dari hasil renungannya tersusunlah

kitab “al-Risalah” yang berisi tentang kaidah-kaidah global untuk

mengambil hukum dan prinsip penggalian hukum dan beliau

tetapkan sebagai “ilmu ushul fiqh”.

Dalam menentukan metode yang dikemukakannya, beliau

sangatlah hati-hati, sikap ini tampak ketika ditanya tentang

landasan beliau terhadap ijma’. Untuk menemukan jawaban

tersebut beliau sampai membaca al-Qur’an sebanyak 300 kali

dan akhimya menemukan jawabannya pada surat an-Nisa’ ayat

15.

Dalam membangun pemikiran ushul fiqhnya ke dalam

suatu displin ilmu, Imam Syafi’i mengikuti fenomena perbedaan

dengan cermat sehingga melahirkan suatu sintesa pemikiran

fiqh, yaitu antara fiqh ahl hadits dan ahl ra’yi yang benar-benar

orisinil. Memang benar, bahwa perkembangan Imam Syafi’i pada

masa awal perumusan dua mazhab (Hanafi dan Malik) itu telah

banyak mewamai pemikiran fiqh mazhab Syafi’i yang moderat

dan cenderung pada sikap jalan tengah.

Di tengah-tengah pergumulan intelektual yang terjadi pada

saat itu, Syafi’i menulis buku “al-Hujjah” (Argumentasi) yang

secara komprehensif memuat sikapnya terhadap berbagai

persoalan yang berkembang. Pemikiran-pemikiran baru Syafi’i itu

diantaranya tertuang dalam bukunya “al-Umm”, yang


disampaikannya secara lisan pada murid-muridnya di Mesir.

Dalam merinci kajian ushul fiqh-nya sehingga menjadi

suatu disiplin ilmu, ada beberapa tahapan yang perlu dicatat di

sini; yang pertama, di Mekah selama kurang lebih sembilan

tahun, saat itu adalah masa kehidupan ilmiah yang paling kreatif

dan energik, ia mulai merumuskan pemikirannya khususnya

dalam bidang fiqh, secara sungguh-sungguh dan mendalam.

Tahap pertama ini merupakan periode perumusan metode

berpikir dan kaidah-kaidah dasar, terbukti belum banyak

memasuki masalah-masalah far’iyyah (cabang). Dengan kata

lain, karakteristik pemikirannya masih bersifat global dan kaidah-

kaidah dasar sebagai pijakan dalam berijtihad.

Kedua, dimulai pada tahun 195 H di Baghdad, di sinilah ia

mulai memperlihatkan sikapnya terhadap pendapat-pendapat

fuqaha’ yang hidup di zamannya dan bahkan pendapat para

sahabat dan tabi’in. Ia mempraktekkan kaidah-kaidah ushuliyah

terhadap perbedaan pendapat yang berkembang. Pluralisme

pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang

menyebabkan kematangan pemikiran fiqh Syafi’i.

Ketiga, periode ini dimulai tahun 199 H setelah pindah ke

Mesir, hingga wafatnya tahun 204 H. Pada masa-masa akhir

inilah, ia menggunakan sebagian besar waktunya untuk menulis

buku-bukunya, bahkan merevisi buku-buku yang pernah ditulis-


nya seperti al-Risalah yang merupakan karya monumental

pertama sepanjang sejarah dalam bidang ushul al-fiqh sekaligus

menjadi bukti kecerdasan Syafi’i dalam menganalisis fenomena

yang berkembang dalam pergulatan masalah fiqhiyah. Ia mampu

mengakumulasikan hampir semusa masalah hukum Islam dalam

karyanya tersebut, di mana secara garis besar ia menuangkan

tahapan metode pengambilan hukum, sebagai berikut, pertama

melalui rujukan al-Qur’an sebagai pijakan dasar. Ia

berargumentasi bahwa al-Qur’an telah memuat segala

ketetentuan hukum dari segala persoalan yang muncul. Kedua,

al-sunnah, ia menempatkannya setara dengan al-Qur’an sebagai

sumber hukum, karena pada hakekatnya antara keduanya

memiliki hubungan yang integral. Pranata yang ketiga ijma’, dan

yang keempat qiyas (analog).

Keempat landasan tersebut dijadikannya patokan dalam

pengambilan suatu hukum. Sedangkan istihsan, istishhab, sadd

al-dzari’ah dan metode lainnya dimasukkan ke dalam qiyas bi al-

qawa’id (penalaran analogis terhadap prinsip umum yang terkan-

dung dalam preseden itu sendiri).

BAB IV
KARYA-KARYA DALAM USUL FIQH
Orang-orang yang mula-mula menciptakan ilmu ushul fiqh adalah imam syafe’I

yang meningggal dimensir pada tahun 204 H. beliau menulis sebuh risalah yang

ijaikannya sebagai muqadimmah bukunya yang bernama kitab al-Umm. Jadi

dengan demikian imam syafe’I adalah pendiri dan pencipta utma tentang ilmu

ushul fiqh.

Usahanya itu diikuti oleh para ulama yang termasyhur di antaranya:

a. Abul Hasan Muhammad bin ‘Alal Bashary As Syafe’I meninggal pada

tahun 463 H. beliau membuat buku yang berjudul Al-Mu’tamad.

b. Abu ali abdul malik bin Abdullah an naisaburiy yang dikenal dengan

Imam Haromaini, meninggal pada tahun 478 H, buku beliau berjudul “Al-

Burhan”,

c. Abu Hamid al-Ghazaliy, meninggal pada tahun 505 H, bukunya berjudul

“Al-Mushtasfa”

Sesudah tiga orang yang tersebut di atas diiringi oleh dua orang ulam yang

terkenal, dia menyimpulkan isi buku-buku para ulama terdahulu itu dalam buku

mereka masing-masing diantara mereka itu adalah:

a. Imam Raziy, meninggal pada tahun 606 H, bukunya “Al-Mahsul”.

b. Imam Amadi, meninggal pada tahun 631 H, bukunya “Al-Ihkam”

c. Abu Bakar Muhammad al-Baqillani al-Maliki (w.403 H), kitabnya al-

Ta’rif wal Irsyad fi Tartib Turuq al-Ijtihad.

Sedangkan dari kalangan Hanafiyah

a. Abu Mansur al-Maturidi (w.333 H), kitabnya berjudul Ma’akhidz al-

Syara’i
b. Abu Hasan al-Ubaidillah ibn al-Hasan al-Karkhi (w.340 H) dengan

kitabnya yang berjudul Risalah al-Karkhi fi al-Ushul

c. Abu Bakar Ahmad ibn al-Razi al-Jashash (w.370 H) kitabnya yang

bernama Ushul al-Jashash

d. Badi’ al-Nizham al-Ihkam di karang oleh Muzhaffar al-Din Ahmad ibn Ali

al-Ba’labaki al-Hanafi (w.694 H).

e. Jam’u Jawami’ oleh Tajudin Abdul Wahhab ibn al-Subki al-Syafi’i

(w.771)

BAB V

PENUTUP

Akhirnya sampai pada suatu kesimpulan, bahwa perjalanan ushul fiqh


hingga menjadi ilmu tersendiri sangat panjang sekali. Ushul fiqh mulai dari zaman

rasulullah yang begitu tidak popular di karenakan setiap ada permasalah yang

berkaitan dengan keagamaan para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah

sehingga setiap permasalah tidak begitu sulit di atasi.

Ketika rasulullah telah meninggal para sahabat mulai kebingungan dalam

menyelesaikan suatu permaslahan keagamaan karena permasalahannya sudah

komplek sehingga ketika masalah tersebut tidak ditemukan dalam nash-nash lalu

mereka memberanikan diri untuk berijtihad sekadarnya saja, setelah para sahabat

senior dan yunior meninggal permasalahan agama semakin komplek karean

wilayah kekuasaan islam mulai meluas ke luar arab sehingga permasalahnya

sesuai dengan kondisi yang ada, dari sinilah para ulama mulai merumuskan

hokum-hukum untuk mengatasi permasalahan tersebut sampai akhirnya imam

syafi’i terpanggil untuk merumuskan secara sistematik menurut beliau dan

membukukannya dalam sebuah buku yang diberinama dengan ar-Risalah.

Setelah syafi’i merumuskan tersebut kemudian diikuti para murid-

muridnya untuk melengkapi dan menjelaskan pembahasan yang dibahas dalam

kitab ar-Risalah tersebut

Demikianlah pembahasan tentang sejarah perkembangan ilmu ushul fiqh

yang bisa kami bahas dalam makalah ini, tentunya juga dalam pembuatan

makalah ini tidak akan terlepas dari kesalahan dan kekuarangan yang kami buat

baik yang sengaja atau tidak sengaja. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada

pembaca sekalian untuk memberikan kritik dan sarannya agar makalah ini bisa

sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

• Imam al-Syafi’i, al-Risalah, (Beirut: t.p., t.th.)

• Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003) Penerjemah: Saefullah Ma’shum dkk. Cet ke-

8
• Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,

(Jakarta: Bulan Bintang, t.th.)

• Amir Nurudin, Ijtihad Umar ibn al-Khattab, (Jakarta:

Rajawali Press, 1991)

• Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M.A, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,

(Jakarta: Raja Grafindo, 2006).

• Dr. Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam

Madzhab Syafi’i. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001)

• Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Masail al-Fiqhiyah, (Bogor:

Kencana, 2003)

You might also like